55
INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley DALAM PENGAWETAN MENGGUNAKAN LARUTAN FIKSATIF Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN Oleh : CHAERANI KURNIATIN 11161030000087 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2019 M

INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

DALAM PENGAWETAN MENGGUNAKAN LARUTAN

FIKSATIF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

SARJANA KEDOKTERAN

Oleh :

CHAERANI KURNIATIN

11161030000087

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2019 M

Page 2: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Page 3: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Page 4: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Page 5: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

v

ABSTRAK

Chaerani Kurniatin. Fakultas Kedokteran. Intensitas Warna Otot Rangka

Tikus Sprague dawley Dalam Pengawetan Menggunakan Larutan Fiksatif.

2019.

Latar Belakang Kadaver merupakan salah satu instrumen penting pada

pembelajaran anatomi. Pengawetan kadaver berpengaruh pada kualitas kadaver.

Saat ini yang banyak digunakan untuk mengawetkan kadaver yaitu bahan kimia

seperti formalin, alkohol dan gliserin. Akan tetapi penggunaan formalin dalam

konsentrasi tinggi dapat berdampak negatif bagi kesehatan dan pada jaringan akan

tampak lebih gelap karena tingginya reaksi oksidasi. Penggunaan formalin

konsentrasi rendah memberikan efek fiksatif yang lebih singkat. Penambahan

alkohol akan menyebabkan jaringan menjadi tidak terlalu kaku, sedangkan

gliserin selain memberi efek fiksatif juga berfungsi sebagai emolien. Keberadaan

kulit yang mempunyai fungsi salah satunya sebagai sistem pertahanan atau barier

dapat mencegah masuknya zat dari luar tubuh. Hal tersebut diduga dapat

berpengaruh pada penetrasi zat fiksatif saat dilakukan proses pengawetan.

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui intensitas warna otot rangka tikus

Sprague dawley yang diawetkan menggunakan larutan fiksatif dengan perlakuan

dikuliti dan tidak dikuliti. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental.

Sampel yang digunakan adalah 12 ekor tikus jantan Sprague dawley yang baru

saja mati (<2 jam). Tikus yang sudah mati sebagian dikuliti kemudian dimasukkan

ke dalam toples kaca yang berisi campuran larutan fiksatif. Toples kaca ditutup

rapat dan disimpan selama 10 bulan. Pengukuran intensitas warna dilakukan

dengan cara mencocokkan intensitas warna otot rangka dengan skala terang dan

gelap yang sudah dibuat menggunakan aplikasi Photoshop CS3. Hasil Intensitas

warna otot rangka tikus yang diawetkan menggunakan campuran larutan fiksatif

pada perlakuan yang dikuliti dan tidak dikuliti, semua sampel berada pada

kategori terang. Tidak ada perbedaan pada kedua perlakuan. Kesimpulan

Intensitas warna otot rangka berada pada kategori terang.

Kata kunci : formalin, alkohol, gliserin, otot rangka, dikuliti.

Page 6: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

vi

ABSTRACT

Chaerani Kurniatin. Faculty of Medicine. Color Intensity of Sprague

dawley’s Skeletal Muscle in Preservation Using Fixative Solution. 2019.

Background Cadaver is one of the most important instrument on anatomy

teaching. Cadaver embalming has an effect on cadaver quality. Currently, the

most widely used to preserve cadavers are chemical agent such as formaldehyde,

alcohol an glycerin. However, the use of high consentration formalin has negative

impact on health and tissue so it will be looked darker because of the high

oxidation reaciton. The use of low consentration formalin provides shorter

fixative effect. The addition of alcohol will make the tissue is not stiff, while the

addition of glycerin besides giving a fixative effect, it also works as an emollient.

The presence of skin as barier, that can prevent the entry of other substance from

outside. It is also suspected, affecting penetration of fixative sustance during the

preservation. Purpose The purpose of this study is to determine the color intensity

of Sprague dawley’s skeletal muscle are preserved using fixative solution with

skinned and not skinned treatments. Methode The methode used is an

experimental design. The samples used were 12 male Sprague dawley mices that

had just died (<2 hours). Mices were partially skinned and than put into glass jars

containing mixture of fixative solution. The glass jars were closed tightly and

stored for 10 months. Measurement of color intensity is done by matching the

color intensity of skeletal muscle with light and dark scales that have been made

using Photoshop CS3 application. Result The color intensity of mices’ skeletal

muscle were preserved using fixative solution with skinned and not skinned

treatments, all samples were in the light category. There was no difference in both

treatments. Conclusion The color intensity of skeletal muscle is in light category.

Keyword : Formaldehyde, alcohol, glycerin, skeletal muscle, skinned.

Page 7: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

vii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,

Bismillahirrohmaanirrohim,

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-

Nya, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai pada waktunya. Sholawat serta

salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para

Nabi dan Rasul yang telah membimbing umat manusia dari gelapnya zaman

jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan cahaya ilmu pengetahuan.

Alhamdulillahirobbilalamin, selesainya penulisan laporan penelitian ini,

penulis menyadari bahwa laporan ini tidak dapat tersusun dengan baik tanpa

dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Orang tua tercinta, Sobirun dan Parsiyah, serta orang tua saya di rantau

Farido dan Ny Ngatiyah yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan

dukungan sepanjang hidup saya, terkhusus dalam menyelesaikan laporan

penelitian ini.

2. Kementrian Agama Republik Indonesia selaku penyedia Program Beasiswa

Santri Berprestasi (PBSB).

3. dr. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD selaku Dekan Fakultas Kedokteran

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT selaku ketua Program Studi

Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. dr. Lucky Brilliantina, M.Biomed dan Rr Ayu Fitri Hapsari, S.Si.,

M.Biomed selaku dosen pembimbing yang selalu memberi bimbingan, ilmu

dan arahan selama menjalankan dan menyusun laporan penelitian ini.

6. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penannggung jawab modul riset

Program Studi Kedokteran angkatan 2016.

7. dr. Nurmila Sari, M.Kes dan dr. Devy Ariany, M.Biomed selaku penguji

skripsi.

8. Saudara dan sahabat saya Vina Izzatul Awaliyah, Siti Mutia Qutratuain,

Akbar Maulana Azhari Kotta dan Ahmad Faizun Ni’am yang terkumpul

dalam Backpacker ala-ala atas motivasi dan semangatnya.

9. Raden Muhammad Hidayat dan Muhammad Ilham Indraprasta, teman

sepenelitian yang sudah berjuang bersama menghadapi segala rintangan

selama penelitian dan penyusunan laporan penelitian.

10. Mas Panji, Pak Bacok dan Mba Din sebagai laboran anatomi dan histologi

atas bantuannya selama menjalankan penelitian ini.

11. Sahabat saya (alm) Syihabul Anam dan Dian Suci Utami yang telah

memotivasi saya untuk menyelesaikan laporan ini.

Page 8: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

viii

12. Tempat curhat dan berbagi suka duka saya Hibban Ahmad Daffa dan Ratu

Nadia Cahyaningtias.

13. Teman-teman dan keluarga besar CSSMoRA UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta terkhusus MAESTRO 2016 yang selalu memberi dukungan dan

motivasi untuk segera menyelesaikan laporan penelitian ini.

14. Teman-teman Program Studi Kedokteran, PACEMAKER 2016 yang selalu

memberi semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.

15. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik secara

langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun untuk laporan penelitian ini agar kedepannya dapat jauh lebih baik.

Besar harapan penulis bahwa laporan penelitian ini dapat memberikan manfaat

bagi semua pihak. Semoga penelitian yang telah dilakukan bisa menjadi ilmu

yang bermanfaat sehingga menjadi amal jariyah dan diberkahi oleh Allah SWT.

Aamiin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Ciputat, 20 November 2019

Chaerani Kurniatin

Page 9: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iii

ABSTRAK ..........................................................................................................................iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ............................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xii

DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 3

1.3 Hipotesis ............................................................................................................. 3

1.4 Tujuan ................................................................................................................. 3

1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................. 3

1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................ 3

1.5 Manfaat ............................................................................................................... 3

1.5.1 Bagi Peneliti ................................................................................................ 3

1.5.2 Bagi Institusi ............................................................................................... 3

1.5.3 Bagi Masyarakat ......................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5

2.1 Anatomi Otot Rangka ......................................................................................... 5

2.2 Kulit .................................................................................................................... 6

2.2.1 Histologi Kulit ............................................................................................ 6

2.2.2 Kulit Sebagai Barier .................................................................................... 9

2.3 Proses Pembusukan ........................................................................................... 11

2.4 Larutan Fiksatif ................................................................................................. 16

2.4.1 Formalin .................................................................................................... 16

2.4.2 Alkohol ..................................................................................................... 17

2.4.3 Gliserin ...................................................................................................... 17

Page 10: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

x

2.4.4 Campuran Larutan..................................................................................... 18

2.5 Kadaver ............................................................................................................. 21

2.6 Kerangka Teori ................................................................................................. 22

2.7 Kerangka Konsep .............................................................................................. 23

2.8 Definisi Operasional ......................................................................................... 32

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 25

3.1 Desain Penelitian .............................................................................................. 25

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 25

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................ 25

3.4 Variabel Penelitian ............................................................................................ 27

3.5 Cara Kerja Penelitian ........................................................................................ 27

3.6 Analisis Data ..................................................................................................... 28

3.7 Alur Penelitian .................................................................................................. 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 30

5.1 Hasil Pengamatan Intensitas Warna .................................................................. 30

5.2 Kekurangan Penelitian ...................................................................................... 32

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 33

5.1 SIMPULAN ...................................................................................................... 33

5.2 SARAN ............................................................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 34

LAMPIRAN ...................................................................................................................... 38

Page 11: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel Intensitas Warna Otot Rangka Tikus .............................................. 34

Page 12: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Vaskularisasi Otot Rangka ................................................................... 5

Gambar 2.2 Lapisan Kulit ........................................................................................ 6

Gambar 2.3 Lapisan Epidermis ................................................................................ 7

Gambar 2.4 Struktur Kimia Formalin ...................................................................... 10

Gambar 2.5 Faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi............................................ 13

Gambar 2.6 Mekanisme Masuknya Zat ke dalam Kulit ........................................... 16

Gambar 4.1 Sediaan Otot Rangka Dikuliti dan Tidak Dikuliti ................................ 30

Page 13: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

xiii

DAFTAR SINGKATAN

ATP Adenosine Triphosphate

UV Ultravolet

LG Lamellar Granules

CCE Comified Cell Envelope

PG Proteoglikan

GAG Glikosaminoglikan

BMI Body Mass Index

BPJ Berat Per Sejuta

NMF Natural Mouisturizing Factor

TEWL Transepidermal Water Lost

Page 14: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keterangan Lolos Kaji Etik ......................................................... 38

Lampiran 2 Foto Makroskopik ................................................................................. 39

Lampiran 3 Identitas Penulis .................................................................................... 41

Page 15: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anatomi merupakan salah satu ilmu dasar yang penting dipelajari pada

pendidikan kedokteran. Proses pembelajaran anatomi menggunakan kadaver

sebagai salah satu media pembelajaran.1 Agar dapat dipelajari dengan baik, maka

kadaver harus diawetkan. Kadaver bisa dikatakan baik untuk pembelajaran

apabila kondisinya menyerupai ketika masih hidup.2

Metode dan teknik pengawetan kadaver sudah ada sejak zaman dahulu yang

berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Teknik budaya kuno

menggunakan bahan-bahan alami seperti madu, minyak cedar (Cedrus deodora),

kemenyan dan tar. Sedangkan untuk teknik modern yang digunakan saat ini yaitu

menggunakan bahan-bahan kimia seperti formalin, gliserin, alkohol, fenol, etanol,

mercurial, oxidizing agents dan pikrat.1,2,3

Pengawetan kadaver saat ini kebanyakan menggunakan larutan fiksatif.

Larutan fiksatif adalah larutan yang berfungsi mencegah autolisis dan degradasi

jaringan serta komponen jaringan sehingga dapat diamati secara anatomis maupun

mikroskopik.4

Larutan fiksatif terbagi menjadi 2 yaitu larutan fiksatif berbasis

formalin (formalin based solutions) dimana dalam larutan tersebut mengandung

>0% formaldehid dan larutan fiksatif berbasis non-formalin (non-formalin based

solutions) yaitu larutan fiksatif yang tidak mengandung formaldehid (0%

formaldehid).1 Larutan formalin merupakan larutan yang paling sering digunakan

sebagai larutan fiksatif.1,5,6

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menggunakan campuran larutan

formalin-fenol dengan konsentrasi formalin 37%. Konsentrasi formalin yang

tinggi tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan diantaranya

yaitu iritasi kulit, konjungtivitis, infeksi saluran nafas dan juga bersifat

karsinogenik.6,7

Selain berdampak negatif bagi kesehatan, formalin konsentrasi

tinggi juga menyebabkan otot tampak lebih gelap atau kecoklatan karena

tingginya reaksi oksidasi.2,6

Penelitian Viskasari dkk (2012) tentang efektivitas

Page 16: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

2

dari formalin konsentrasi rendah (5-7,5%) dengan campuran fenol dan gliserin

pada pengawetan kadaver mendapatkan hasil bahwa hasil pengawetan

menggunakan formalin konsentrasi rendah lebih bagus untuk pembelajaran

anatomi.6 Penggunaan formalin konsentrasi rendah memberikan efek fiksatif yang

lebih singkat, sehingga perlu ditambahkan campuran jenis larutan fiksatif lain.1

Penambahan gliserin dan fenol selain memberikan efek fiksatif, gliserin juga

berfungsi sebagai emolien sehingga jaringan yang diawetkan tidak terlalu kering.

Sedangkan penambahan fenol akan menyebabkan jaringan mejadi tidak terlalu

kaku atau keras.8

Proses pengawetan kadaver dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu teknik

supravital (injeksi) dan perendaman. Proses pengawetan dipengaruhi oleh

berbagai macam faktor, salah satunya yaitu ada tidaknya barier yang menghalangi

masuknya zat fiksatif.2

Kulit pada makhluk hidup mempunyai berbagai fungsi,

antara lain sistem pertahanan, metabolik, termoregulator dan organ sensori.

Sebagai sistem pertahanan, kulit dapat mencegah masuknya zat maupun

mikroorganisme dari luar tubuh.9 Lamanya waktu pengawetan juga

mempengaruhi kualitas dari kadaver. Efektivitas dari pengawetan dapat dilihat

setelah 8-12 bulan untuk kadaver yang digunakan pada pembelajaran anatomi.1

Otot rangka merupakan jaringan otot paling umum yang letaknya

superfisial, yaitu berada di bawah kulit.10

Setelah terjadi kematian, otot rangka

merupakan salah satu jaringan yang akan mengalami proses pembusukan.

Pembusukan adalah keadaan dimana jaringan lunak tubuh akan mengalami

kehancuran baik karena autolisis (penghancuran karena aktivitas enzim intrasel)

maupun karena pengaruh mikroorganisme yang akan mengalami perkembangan

seiring dengan waktu. Otot rangka merupakan jaringan yang termasuk lama

mengalami proses pembusukan.2,11

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui hasil pengawetan jaringan otot rangka. Menggunakan formalin

konsentrasi rendah (7,5%) dengan campuran alkohol dan gliserin. Diharapkan

dengan larutan fiksatif tersebut mampu mengurangi efek negatif paparan formalin

Page 17: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

3

konsentrasi tinggi namun tetap menghasilkan kadaver yang baik untuk

pembelajaran anatomi.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana intensitas warna otot rangka tikus Sprague dawley setelah

diawetan menggunakan larutan fiksatif dengan metode perendaman ?

1.3 Hipotesis

Intensitas warna otot rangka menjadi lebih terang daripada otot rangka yang

diawetkan menggunakan larutan yang mengandung formalin konsentrasi tinggi.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hasil pengawetan tikus Sprague dawley menggunakan larutan

fiksatif yang diberi perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti.

1.4.2 Tujuan Khusus

Mengetahui intensitas warna otot rangka tikus Sprague dawley yang

diawetkan menggunakan larutan fiksatif dengan perlakuan dikuliti dan tidak

dikuliti.

1.5 Manfaat

1.5.1 Bagi Peneliti

1. Diketahuinya hasil pengawetan otot rangka menggunakan larutan fiksatif

yang mengandung formalin konsentrasi rendah.

2. Menambah ilmu pengetahuan tentang pengawetan kadaver.

3. Memperoleh gelar Sarjana Kedokteran.

1.5.2 Bagi Institusi

1. Menjadi referensi tentang campuran larutan fiksatif baru.

2. Menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

3. Diketahuinya perlakuan yang tepat yaitu dikuliti atau tidak dikuliti untuk

mendapat sediaan otot rangka yang baik sehingga dapat digunakan dalam

pembelajaran anatomi.

Page 18: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

4

1.5.3 Bagi Masyarakat

Menambah pengetahuan bahwa formalin konsentrasi rendah (<10%)

bisa memberi efek baik pada proses pengawetan.

Page 19: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Otot Rangka

Otot rangka atau biasa disebut otot lurik merupakan salah satu jenis otot

paling umum dari jaringan otot yang bekerja secara volunter. Sel otot rangka

tersusun memanjang, paralel dan multinuklear, serta dibungkus oleh selubung

kolagen tipe 1. Susunannya yang beraturan menyebabkan otot rangka

memungkinkan untuk melakukan kontraksi yang kuat. Akan tetapi karena struktur

tersebut juga menyebabkan otot rangka mempunyai rentang kontraktil terbatas,

otot rangka hanya mampu memendek 30% dari panjang semula. Oleh karena itu,

apabila memerlukan rentang pergerakan yang lebih besar, diperlukan

pemanjangan yang bisa dilakukan oleh sistem tuas. Otot rangka dipersarafi oleh

saraf motor somatik, dan kadang disebut sebagai otot volunter karena

kontraksinya dimulai dibawah kendali kesadaran. Sistem vaskularisasinya

tergantung pada kebutuhan dan besarnya otot rangka.10

Gambar 2.1 Vaskularisasi Otot Rangka Sumber : Standring, Susan. 2016.

10

Page 20: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

6

2.2 Kulit

2.2.1 Histologi Kulit

Gambar 2.2 Lapisan Kulit Sumber : Mescher, Anthony L. 2016.

9

Kulit merupakan organ paling berat yang ada pada tubuh manusia. Organ

kulit mempunyai beberapa fungsi, yaitu :9,12

1. Proteksi, yaitu kulit menyediakan sawar fisik terhadap suhu dan mekanik

terhadap gaya gesek serta patogen yang menyerang tubuh manusia. Kulit

mempunyai pigmen melanin yang melindungi dari radiasi sinar UV. Kulit juga

melindungi tubuh dari kehilangan atau ambilan air secara berlebihan.

2. Sensorik, dikulit terdapat banyak reseptor sensorik yang penting dalam

interaksi tubuh dengan lingkungan.

3. Termoregulator, dengan adanya lapisan lemak pada kulit berfungsi untuk

mempertahankan suhu tubuh, selain itu juga kulit dapat mempercepat

pengeluaran panas dengan produksi keringat.

4. Metabolik, yaitu fungsinya dalam sintesis vitamin D serta apabila terjadi

kelebihan elektrolit dalam tubuh dapat dikeluarkan bersama-sama dengan

keringat.

5. Sinyal seksual, yaitu feromon yang dihasilkan oleh kelenjar keringat apokrin.

Kulit tersusun atas tiga lapisan utama. Lapisan pertama yaitu epidermis,

kemudian dibawahnya ada lapisan dermis dan yang terdalam ada subdermis.9

Ketiga lapisan tersebut saling terkait dalam menjalankan fungsinya.

Page 21: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

7

Gambar 2.3 Lapisan Epidermis Sumber : Mescher, Anthony L. 2016.

9

a. Epidermis

Epidermis bersifat dinamis yang aktif beregenerasi dan merespon terhadap

rangsangan dari luar tubuh. Penyusun terbesar dari lapisan ini adalah sel

keratinosit.9 Selain keratinosit, terdapat juga sel melanosit yang menghasilkan

melanin, sel Langerhans sebagai antigent presenting cell, serta sel Merkel yang

berfungsi sebagai reseptor mekanik. Keratinosit tersebut tersusun atas beberapa

lapisan yang menunjukkan terhadap proses diferensiasi secara dinamis. Tujuan

dari regenerasi tersebut yaitu menyediakan sawar pelindung tubuh.13

1) Stratum basalis

Lapisan ini adalah lapisan terdalam yang berbatasan dengan dermis. Tipe sel

pada stratum basalis yaitu berbentuk toraks yang berjajar di atas membran basalis.

Keratinosit dihubungkan dengan membran basalis oleh protein struktural yang

disebut hemidesmosom. Apabila terdapat gangguan pada hemidesmosom maka

kulit tidak mampu menahan tauma mekanis.12,13

Ciri khas dari lapisan ini adalah keratinosit yang aktif membelah dan

merupakan asal dari keratinosit pada seluruh lapisan epidermis. Terdapat berbagai

macam keratin yang dihasilkan oleh keratinosit, dimana dua macam keratin akan

berpasangan (α-heliks) kemudian membentuk ikatan yang nantinya menjadi

sitoskeleton. Sitoskeleton tersebut memberi kekuatan pada keratinosit untuk

menahan gaya mekanik pada kulit. Sitoplasma dari keratinosit mengandung

banyak melanin , yaitu pigmen warna yang tersimpan dalam melanosom. Melanin

berfungsi menyerap sinar UV yang berbahaya bagi DNA. Pada lapisan ini juga

terdapat sel Merkel.9,12

Page 22: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

8

2) Stratum spinosum

Stratum spinosum berada di atas stratum basalis yang memiliki keratinosit

berbentuk poligonal dan berukuran lebih besar dibanding keratinosit pada stratum

basalis.12

Terdapat desmosom yang menyambung antar keratinosit. Desmosom ini

tersusun atas berbagai protein struktural, seperti desmoglein dan desmokolin,

yang memberikan kekuatan pada epidermis terhapat trauma fisis di permukaan

kulit.13

Keratinosit stratum spinosum membentuk lamellar granules (LG) yang

terdiri atas berbagai protein dan lipid dimana nantinya akan berguna dalam

pembentukan sawar lipid pada stratum korneum. Pada lapisan ini juga terdapat sel

Langerhans yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen dan kemudian dipajankan

pada limfosit untuk dikenali.13

3) Stratum granulosum

Keratinosit pada stratum granulosum mengandung keratohyaline granules

yang berisi profilagrin dan loricrin, dimana kedua unsur tersebut penting dalam

pembentukan comified cell envelope (CCE).13

Secara alamiah, keratinosit pada

lapisan ini sudah mulai melakukan program apoptosis.9 Pada saat keratinosit mati,

profilagrin akan diubah menjadi filagrin yang nantinya akan bergabung dengan

filamen intrasitoplasma keratinosit menjadi makrofilamen, sebagian lagi ada yang

menjadi asam urokanat yang akan memberikan kelembaban pada stratum

korneum dan menyaring sinar UV. Sedangkan loricrin akan bergabung dengan

protein struktural desmosom dan berikatan dengan membran plasma desmosom,

yang kemudian nantinya akan menjadi CCE sebagai sawar di stratum

korneum.12,13

4) Stratum korneum

CCE (comified cell envelope) yang sudah mulai dibentuk akan ditata

bersama dengan lipid yang dihasilkan LG (lamellar granules). Matriks lipid

ekstraseluler ampuh menahan kehilangan air, mengatur permeabilitas,

deskuamasi, aktivitas peptida antimikroba, pengeluaran toksin serta penyerapan

zat kimia secara selektif. Keratinosit pada stratum korneum adalah kertinosit yang

sudah mati.13

Page 23: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

9

b. Dermis

Dermis sebagian besar tersusun atas protein kolagen, terdapat juga protein

elastin yang memberi kulit kekuatan dan elastisitasnya. Kedua protein tersebut

tertanam dalam matriks proteoglikan (PG) dan glikosaminoglikan (GAG).9 PG

dan GAG tersebut dapat menyerap dan mempertahankan air dalam jumlah besar

sehingga berperan dalam proses pengaturan cairan.13

Selain itu di dermis juga terdapat fibroblas, makrofag dan sel mast.

Fibroblas berfungsi memproduksi matriks jaringan ikat serta protein kolagen dan

elastin. Makrofag sebagai elemen pertahanan tubuh. Pembuluh darah vena dan

arteri, serabut saraf, folikel rambut dan kelenjar juga terdapat pada lapisan ini.12,13

c. Subdermis

Lapisan subdermis tersusun atas jaringan lemak yang berfungsi

mempertahankan suhu tubuh dan cadangan energi, serta sebagai bantalan apabila

terdapat trauma. Sel-sel lemak tersebut terbagi menjadi lobus yang dipisahkan

oleh septa.13

2.2.2 Kulit Sebagai Barier

Sebagai organ terbesar, kulit berfungsi melindungi tubuh dari bahaya luar,

mencegah invasi mikroba, regulasi suhu dan mempertahankan hidrasi. Fungsi

proteksi kulit dilakukan oleh epidermis sebagai lapisan terluar. Stratum korneum

yang merupakan lapisan terluar dari epidermis, bertugas mempertahankan air

dalam tubuh serta adanya hydro-lipid film sebagai pertahanan pertama yang

berhubungan langsung dengan dunia luar. Stratum korneum tersusun atas

struktural yang tepat berupa korneosit (keratinosit yang mengalami kornifikasi),

NMF (natural mouisturizing factor), jumlah dan rasio lipid tepat, dimana semua

itu akan membentuk “brick and mortar barier”. Prekursor lipid yang berada di

stratum korneum mencakup FFA (free fatty acid), kolesterol dan ceramid.

Konsentrasi dan proporsi lipid inilah yang berfungsi sebagai barier esensial untuk

mencegah TEWL (transepidermal water lost). Fungsi kulit dalam

mempertahankan hidrasi dilakukan oleh keratin dan filagrin superfisial. Fungsi

barier terbesar dari stratum korneum mencakup 20-40% ketebalannya dari

permukaan.13,14

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi kulit sebagai

Page 24: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

10

barier. Antara lain yaitu ras, usia, jenis kelamin, posisi anatomi, gaya hidup dan

indeks masa tubuh.15

Masuknya zat ke dalam kulit dapat terjadi melalui beberapa mekanisme,

yaitu15

:

a. Interseluler, yaitu zat masuk ke dalam kulit melalui celah antar sel yang ada

di stratum korneum. Mekanisme ini tergantung pada karakteristik zat yang

masuk. Partikel dengan ukuran 5-7 nm dapat masuk melalui mekanisme ini.

b. Transeluler, yaitu proses masuknya zat ke dalam kulit terjadi melalui sel

keratinosit. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang paling selektif,

karena zat yang masuk melalui mekanisme ini berarti sudah melewati

berbagai macam lapisan struktural kulit.

c. Transapendageal, yaitu zat masuk melalui derifat dari kulit seperti kelenjar

sebasea, kelenjar keringat dan folikel rambut. Mekanisme ini biasanya

digunakan oleh zat yang larut dalam air. Ukuran partikel yang dapat masuk

melalui mekanisme ini yaitu sekitar 36 nm-210 μm.

Gambar 2.4 Mekanisme Masuknya Zat ke dalam Kulit

Sumber : Dabrowska, AK. 2017.15

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permeabilitas kulit, yaitu posisi

anatomi dari kulit, usia, jenis kelamin dan jenis kulit. Faktor- faktor tersebut

dinilai berdasarkan ketebalan stratum korneum, densitas kelenjar dan folikel

rambut, tingkat hidrasi serta tingkat produksi keringat. Kulit tipis cenderung lebih

permeabel dari pada kulit tebal. Kepadatan folikel rambut dan jumlah kelenjar

Page 25: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

11

berpengaruh pada penetrasi zat karena keduanya merupakan salah satu jalur

penetrasi zat untuk melewati barier kulit. Semakin tinggi tingkat hidrasi kulit

maka semakin permeabel pula bagian kulit tersebut. Selain itu tingkat dehidrasi

kulit yang tinggi dapat menyebabkan kulit menjadi kering kemudian pecah dan

meningkatkan permeabilitasnya.15,16

Karakteristik zat juga mempengaruhi penetrasinya pada kulit. Partikel yang

elastis lebih mudah masuk ke dalam kulit dibanding zat yang kaku.

Ukuran dan

pH larutan juga berpengaruh pada penetrasi zat melewati kulit.15

Zat yang

berukuran 5-7 nm atau 36 nm dapat masuk melalui mekanisme interseluler,

sedangkan zat yang berukuran lebih dari 36 nm sampai 210 μm dapat masuk

melalui mekanisme transapendageal. Zat dengan pH asam lebih mudah penetrasi

ke dalam kulit.16

Ada beberapa senyawa yang dapat meningkatan penetrasi zat

melalui kulit yaitu surfaktan, ester, asam lemak, alkohol, amina, terpena, alkana,

fosfolipid, sulfoksida dan amida.15

2.3 Proses Pembusukan

Pembusukan adalah proses penghancuran jaringan lunak yang terjadi setelah

kematian, karena proses autolisis maupun dekomposisi. Perubahan tersebut ada

yang terjadi secara dini dan lanjut. Perubahan awal yang dapat dinilai setelah

kematian adalah keadaan livor mortis, rigor mortis dan algor mortis.17

Livor

mortis adalah kondisi dimana terjadi pengumpulan darah di pembuluh darah

karena berhentinya proses sirkulasi dimana hal tersebut dipengaruhi oleh gaya

gravitasi. Jadi keadaan livor mortis ini dipengaruhi juga oleh posisi mayat.

Keadaan livor mortis ini sudah mulai terlihat 1-2 jam setelah kematian progresif

dan akan sempurna setelah 8-12 jam.17,18

Apabila proses livor mortis sudah

terjadi, warna akibat akumulasi darah tidak akan hilang walaupun dilakukan

perubahan posisi. Selanjutnya, tubuh akan mengalami kehilangan gerak karena

tidak ada lagi proses metabolisme sehingga tidak ada lagi mekanisme kontraksi

dan relaksasi dari otot. Rigor mortis terjadi pada 2-4 jam setelah kematian

progresif dan sempurna setelah 10-12 jam.17

Keadaan ini menetap selama 24-36

jam kemudian menghilang. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pH akibat

konversi glikogen menjadi asam fosfat dan asam sarkolaktat sehingga yang

Page 26: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

12

tadinya basa menjadi asam. Keadaan rigot mortis berkaitan dengan panas. Proses

rigor mortis akan muncul lebih awal pada tubuh yang mati dalam kondisi demam

atau peningkatan suhu tubuh.18

Selain livor dan rigor mortis, perubahan awal yang

terjadi setelah kematian adalah algor mortis. Algor mortis adalah keadaan

pendinginan suhu tubuh mayat sampai sesuai dengan suhu lingkungan. Penurunan

tersebut sekitar 1,5ᵒF-2,0ᵒF perjam selama dua belas jam pertama setelah

kematian. Kemudian penurunan suhu tersebut melambat sekitar 1ᵒF per jam

sampai sama dengan suhu lingkungan.17

Kerusakan tubuh mayat setelah kematian terbagi menjadi tahap autolisis dan

dekomposisi (putrefaksi terjadi secara anaerobik sedangkan pembusukan terjadi

secara aerobik).19

Autolisis adalah proses kematian sel karena aktivitas enzim

ekstrasel dan intrasel.19,20

Berhentinya sirkulasi darah menyebabkan terhentinya

suplai O2 ke sel, hal itu akan menyebabkan terjadinya penurunan pH intrasel.

Keadaaan ini akan memicu enzim hidrolisis untuk mencerna protein, lemak dan

karbohidrat yang akan menyebabkan membran sel kolaps.20

Secara umum, protein

diubah menjadi pepton, polipeptida dan asam amino. Proses inilah yang disebut

dengan proteolisis. Proteolisis ini menghasilkan substansi fenol dan gas seperti

karbon dioksida, hidrogen sulfida, amonia, dan metana. Hasil dari proteolisis ini

juga ada yang digunakan oleh bakteri sebagai bahan metabolisme sehingga

meningkatkan proses dekomposisi. Proses degradasi lemak lebih didominasi oleh

proses hidrolisis daripada proses oksidasi, hal tersebut terjadi karena sedikitnya

ketersediaan oksigen setelah kematian dan adanya aktifitas dari bakteri. Adanya

karbohidrat dalam tubuh setelah kematian, akan dipecah menjadi glukosa oleh

aktivitas mikroorganisme pada tahap awal dekomposisi. Glukosa yang teroksidasi

sempurna akan diubah menjadi karbon dioksida dan air, serta ada sebagian yang

tidak teroksidasi dengan sempurna.17

Akibat kolapsnya membran sel, molekul-molekul tersebut akan larut ke

dalam sirkulasi dan kemudian akan digunakan oleh bakteri-bakteri untuk

berkembang biak.20

Bakteri-bakteri tersebut bisa masuk kedalam sirkulasi darah

dan limfatik melalui usus. Bakteri utama penyebab pembusukan jaringan adalah

Clostridium welchii, biasanya banyak terdapat di usus besar.2,20

Sebagai hasil dari

proses pembusukan oleh bakteri ini adalah warna kehijauan pada mayat yang

Page 27: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

13

sering ditemukan antara 24-48 jam setelah kematian. Warna hijau tersebut

merupakan sulfamethemoglobin dan besi sulfida yang ada di sekitar jaringan.

Kemudian bersama-sama menghasilkan hidrogen sulfida di usus besar.20

Bagian

luar kulit akan terlihat kendur karena aktivitas enzim hidrolisis yang

menyebabkan taut epidermis-dermis lepas.19

Setelah cadangan O2 dalam tubuh

habis, maka aktivitas bakteri yang meningkat adalah bakteri anaerob. Gula yang

digunakan oleh bakteri anaerob merupakan hasil pemecahan dari cadangan

karbohidrat berupa glikogen (3/4 jumlah glikogen ada di otot) serta tahap lanjut

dari penghancuran asam laktat untuk menghasilkan karbon dioksida dan air dalam

jumlah besar. Bakteri penghasil gas kemudian menyerang gaster, dinding usus dan

pembuluh darah. Setelah itu terjadi hemolisis darah yang terjadi di dalam

pembuluh darah, serta untuk darah yang tidak terdestruksi akan terdorong ke

perifer oleh gelembung gas. Hal tersebut menyebabkan adanya perubahan warna

tambahan yang disebut hemolisis infravaskular, marbling (butiran lemak) dan

sugilasi (bintik kecil rata pada daerah memar dan berbatas tidak tegas) yang

disebabkan oleh oksidasi pigmen empedu dan akumulasi hidrogen sulfida.

Adanya peningkatan kadar gas dalam tubuh menyebabkan jaringan tertekan

sehingga menyebabkan tubuh semakin membesar namun melunak.18

Proses pembusukan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Proses autolisis

terjadi karena adanya aktivitas enzim tubuh, sedangkan dekomposisi terjadi

karena berbagai faktor (gambar 2.12).

Gambar 2.5 Faktor yang mempengaruhi dekomposisi Sumber : Wescott, Daniel J. 2018.

18

Page 28: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

14

Faktor abiotik yang berpengaruh pada proses dekomposisi antara lain

temperatur lingkungan, air, oksigen, keasaman, dan pakaian. Temperatur

lingkungan mempengaruhi reaksi kimia yang terjadi setelah kematian, proliferasi

dan metabolisme dari mikroba, serta pertumbuhan dan perkembangan dari

serangga nekrofagus. Secara umum, pada suhu optimal pertumbuhan mikroba,

kolonisasi dan perkembangan arthropoda terjadi paling cepat, sedangkan reaksi

kimia akan meningkat minimal 2 kali lipat apabila terjadi kenaikan suhu 10ᵒC.

Proses pembusukan paling optimal terjadi pada kisaran suhu 21ᵒC-38ᵒC.

Sedangkan pada suhu dibawah 10ᵒC dan diatas 38ᵒC proses pembusukan akan

menjadi lebih lambat. Air juga mempengaruhi proses dekomposisi dari segi

kelembaban, curah hujan dan kandungan air dalam tubuh. Apabila level

kelembaban turun dibawah 85% (lingkungan lembab) maka proses dekomposisi

akan meningkat, sedangkan apabila level kelembapan naik lebih besar dari 85%

(lingkungan kering) maka proses dekomposisi akan turun. Selain itu, ketersediaan

air juga berpengaruh pada pertumbuhan dari aktifitas mikroba. Jumlah air yang

cukup akan meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi mikroba, dan sebaliknya

pada keadaan kelebihan atau kekurangan air maka pertumbuhan dan

perkembangan mikroba akan menurun. Faktor kadar pH dan tekanan oksigen juga

berpengaruh pada proses dekomposisi. Kadar pH yang rendah (asam) dapat

menyebabkan peningkatan pertumbuhan jamur. Pada keadaan terdapat oksigen,

proses pembusukan berlangsung lebih cepat, hal tersebut terjadi karena oksigen

digunakan oleh bakteri aerob yang berperan dalam proses dekomposisi. Pakaian

bisa berpengaruh mempercepat atau memperlambat proses pembusukan. Pakaian

akan mencegah mikroorganisme masuk kedalam tubuh sehingga memperlambat

proses pembusukan. Sedangkan disisi lain pakaian dapat menjaga temperatur dari

udara dingin sehingga tubuh dapat ditinggali beberapa jenis mikroorganisme yang

dapat mempercepat proses pembusukan.3,18,20,21

Adapun faktor biotik yang mempengaruhi pembusukan antara lain mikroba,

serangga, burung dan mamalia. Pada saat masih tersedia oksigen didalam

jaringan, maka yang banyak berkembang adalah bakteri aerob, apabila oksigen

sudah habis maka bakteri anaerob yang akan berkembang. Kemudian jika tubuh

mulai mengering maka bakteri tanah yang akan tumbuh lebih banyak. Selain itu,

Page 29: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

15

aktifitas bakteri yang menghasilkan gas seperti gas metana, cadaverine,

putrescine, hidrogen sulfida dan amonia yang akan menyebabkan tubuh

menggembung dan mempengaruhi pH tubuh sehingga mempengaruhi proses

pembusukan. Selain bakteri, serangga juga berpengaruh pada proses pembusukan

terutama lalat dan kumbang. Pengaruh dari serangga ini dibagi menjadi pre-

kolonisasi yang berkaitan dengan deteksi serangga terhadap keberadaan mayat

dan post-kolonisasi yang berkaitan dengan proses penghancuran mayat oleh

serangga. Serangga akan hinggap karena bau yang dikeluarkan. Setelah itu

serangga akan bertelur di daerah yang terkena sinar matahari seperti lubang mulut,

hidung dan kemaluan. Setelah 8-14 jam telur akan menetas menjadi belatung yang

akan merusak jaringan lunak dan otot melalui proses perusakan protein sehingga

jaringan mencair. Selain serangga, mamalia dan burung juga berperan dalam

proses pembusukan yaitu berdasarkan kebiasaan makan.3,18,20

Pada penelitian mengenai gambaran makroskopik dan mikroskopik otot

rangka setelah kematian yang menggunakan babi sebagai hewan percobaan

mendapatkan hasil berupa perubahan makroskopik yang terlihat mulai 2 jam

setelah kematian, sedangkan perubahan mikroskopik dapat terlihat 30 menit

setelah kematian. Setelah membandingkan dengan proses perubahan pada organ

lain, otot rangka mengalami perubahan paling lambat setelah ginjal, pankreas,

hepar dan jantung. Adapun gambaran makroskopik yang diamati adalah warna

dan konsistensi otot rangka. Pada 30 menit setelah kematian otot masih berwarna

kemerahan dan lentur, namun konsistensinya semakin lama semakin lunak sampai

48 jam setelah kematian. Sedangkan untuk gambaran mikroskopik yang diamati

adalah perubahan mikroskopik serat otot rangka, nukleus dan corak lintang.

Nukleus otot tampak mengalami piknotik mulai dari 30 menit setelah kematian

dan mulai 2 jam setelah kematian serat otot nampak mengalami degenerasi

hidropik.21

Organ mengalami pembusukan dengan kecepatan yang berbeda-beda.2

Pada

dasarnya, organ yang memiliki banyak enzim adalah yang paling cepat

mengalami pembusukan.11

Kelompok organ berdasarkan kecepatan

pembusukannya adalah sebagai berikut :2

Page 30: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

16

1. Early : jaringan intestinal, pankreas, medulla adrenal, lien, otak, usus, uterus

graviid, uterus post partum dan darah.

2. Moderate : jantung, ginjal, paru-paru, lambung, diafragma, otot polos dan

otot rangka.

3. Late : uterus non gravid dan prostat.

2.4 Larutan Fiksatif

2.4.1 Formalin

Formalin (CH2O) adalah larutan yang mengandung senyawa formaldehid

37% dalam air. Formalin juga dikenal dengan nama Formaldehyde, Formalin,

Methanal, Methylene oxide, Oxymethane, Formic aldehyde, Methyl aldehyde.7 Adapun

ciri-cirinya yaitu senyawa tidak berwarna seperti air, sedikit asam, memiliki

aroma yang sangat kuat, bersifat korosif, terurai jika dipanaskan dan melepas

asam formiat (asam metanoat).7,22

Menurut Badan POM, senyawa formaldehid

merupakan reduktor kuat yang akan bereaksi kuat dengan bahan pengoksidasi dan

berbagai senyawa organik.22

Gambar 2.6 Struktur Kimia Formalin Sumber : Environmental Health and Savety, 2016.

7

Menurut National Fire Protection Association (NFPA) menggolongkan

formalin sebagai bahan yang mudah terbakar dengan titik nyala dibawah 93ᵒC,

bahaya kesehatan termasuk golongan bahaya ekstrim dan tingkat kestabilan yang

stabil.23

Paparan jangka pendek formalin antara lain dapat menyebabkan iritasi

mukosa, rasa terbakar, berdebar serta mual dan muntah.7,23

Sedangkan paparan

jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pada sistem organ, gangguan

kejiwaan dan pada wanita dapat mempengaruhi sistem reproduksi.23

Page 31: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

17

Larutan formalin tersebut mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai

pembunuh kuman sehingga biasanya terkandung pada beberapa cairan pembersih,

bahan pembuatan pupuk lepas lambat (sustained release) dalam bentuk urea-

formaldehyde, bahan pengawet kosmetik dan pengeras kuku, bahan perekat pada

produk kayu lapis serta pada konsentrasi yang sangat kecil (<1%) digunakan

untuk mengawetkan berbagai barang konsumen seperti pembersih rumah tangga,

cairan pencuci piring, pelembut, sampo mobil, lilin dan pembersih karpet.7

2.4.2 Alkohol

Alkohol (C2H6O) adalah cairan jernih tidak berwarna, memiliki bau khas

dan menyengat, larut dalam air serta bersifat stabil. Apabila terpapar pada panas

atau api, alkohol bersifat mudah terbakar.

Alkohol biasanya digunakan sebagai pelarut atau penstabil bahan kimia di

laboratorium. Kontak dengan alkohol dapat menyebabkan iritasi yang

menimbulkan sensasi seperti terbakar pada mata, kulit dan saluran pernafasan.

Uap alkohol apabila terhirup dapat menyebabkan pusing dan lemas.24

2.4.3 Gliserin

Gliserin atau glycerol (C3H8O3) merupakan cairan dengan konsistensi

seperti sirup, tidak memiliki warna, pH netral dan tidak memiliki bau atau bau

ringan. Gliserin larut dalam etanol, sedikit larut dalam etil eter dan tidak larut

dalam benzena, karbon tetraklorida, kloroform, karbon disulfida dan eter

petrolium. Gliserin akan tercampur sempurna dan menjadi stabil dalam

pencampuran dengan air dan etanol (95%), serta akan mengkristal apabila

disimpan pada suhu rendah.2,24

Gliserin dengan konsentrasi 5-10% dapat meningkatkan densitas sampel

sehingga lapisan bagian bawah sampel gel menjadi baik. Efek osmotik dari

gliserin menyebabkan dehidrasi pada jaringan dan menurunkan tekanan cairan

serebrospinal.2,24

Gliserin apabila terkena mata dapat menyebabkan sensasi seperti terbakar

dan melebarkan pembuluh darah mata, namun tidak menimbulkan cedera yang

serius. Pada sistem respirasi, agar tidak menimbulkan efek samping maka hanya

diperlukan pemakaian alat pelindung pernafasan.24

Page 32: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

18

2.4.4 Campuran Larutan

Menurut penelitian Ahmad (2011), kadaver disebut baik untuk proses

pembelajaran anatomi apabila tidak rusak atau membusuk sehingga dapat

dipelajari dengan baik dan kondisinya mendekati kondisi manusia yang masih

hidup. Otot masih berwarna merah tua seperti kondisi saat masih ada mioglobin

yang baik serta konsitensi ototnya tidak lunak ataupun kaku.2 Sedangkan menurut

Nader dkk (2017) kadaver yang sudah diawetkan masuk dalam kategori baik

untuk pembelajaran anatomi yaitu apabila memiliki karakter berupa organ dan

jaringannya harus terfiksasi untuk jangka waktu lama dengan penyusutan,

deformitas dan pengerasan yang minimal serta fleksibilitas yang terjaga.8

Konsentrasi formalin yang biasa digunakan untuk pengawetan kadaver

adalah 37%. Departemen Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,

dalam pengawetan kadaver menggunakan formalin-fenol dengan kandungan

formaldehid 37%. Pada konsentrasi tersebut apabila terpapar dalam jangka waktu

lama, akan menimbulkan efek toksik bagi dosen, teknisi dan mahasiswa.

Viskasari dkk (2012) menggunakan formalin 7,5% sebagai bahan fiksatif aktif,

gliserin, bubuk fenol dan air keran. Satu kadaver membutuhkan sekitar 16 L

cairan dengan komposisi 0,5 L gliserin, 500 g fenol bubuk dalam 0,5 L air keran,

3 L formalin 37% dan 12 L air keran. Hasil dari teknik pengawetan menggunakan

formalin konsentrasi rendah ini, menghasilkan kadaver dengan warna yang lebih

cerah sehingga apabila dilakukan pengamatan mikroskopik dapat terlihat

morfologi dan struktur detailnya seperti otot, neurovaskular dan organ internal

seperti ginjal serta hepar. Selain itu konsistensi otot dan organ internal yang

diawetkan menggunakan formalin konsentrasi rendah lebih elastis dan kering

serta tetap lembab. Serta untuk proses pembelajaran, penampilan dan detail

kadaver yang diawetkan menggunakan formalin konsentrasi rendah lebih baik

daripada kadaver yang menggunakan teknik pengawetan formalin konsentrasi

tinggi. Setelah diamati secara mikroskopik, tidak ditemukan jamur pada teknik

pengawetan ini.6

Pada penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Leipzig, Jerman

menggunakan campuran larutan etanol-gliserin untuk fiksasi dan timol untuk

konservasi. Adapun yang digunakan pada penelitian ini kadaver dengan tinggi

Page 33: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

19

badan 170 cm dan massa tubuh 70 kg (BMI=24,2). Rasio etanol-gliserin yang

digunakan 0,7 L/kgBB kadaver. Gliserin yang digunakan adalah 5% dari volume,

tujuannya untuk menjaga fleksibilitas jaringan, sedangkan jumlah etanol 95% dari

volume. Hasil pengawetan menggunakan campuran etanol-gliserin, kadaver

tampak pucat dan turgid. Pengawetan menggunakan etanol-gliserin menghasilkan

spesimen otot yang lebih pucat namun tetap fleksibel. Guna pengamatan

mikroskopik, pengawetan menggunakan etanol-gliserin memberikan hasil yang

lebih bagus.25

Tujuan dari pengawetan ini adalah untuk menghentikan proses metabolisme

sel dan autolisis. Pengawetan menggunakan formalin menghambat gugus amino

dalam rantai peptida secara irreversibel. Struktur sekunder dan tersier protein

diawetkan menggunakan ikatan kimia. Rantai polipeptida dihubungkan melalui

ikatan silang (cross linked) dengan jembatan hidroksimetilen (jembatan metilen)

antara kelompok amino pada gugus lisin dan glutamin pada rantai protein yang

berbeda sehingga protein menjadi stabil dan bentuknya terjaga.2,6,25

Proses

tersebut terjadi melalui reaksi oksidatif yang membutuhkan waktu kurang lebih

24 jam. Formalin juga berperan dalam inaktivasi enzim proteolitik. Formalin

cepat menyusup ke dalam jaringan namun lambat dalam memfiksasi. Sedangkan

pengawetan menggunakan etanol-gliserin, campuran ini mendenaturasi protein

secara reversibel yang mempengaruhi lapisan hidrat dari struktur tersier. Ikatan

jembatan hidrogen menjadi terganggu. Gliserin mempunyai efek menstabilkan

protein dan mencegah agregasi protein sehingga kerusakan jaringan akibat

hancurnya protein dapat dicegah.2 Selain itu, gliserin pada pengawetan juga

berfungsi sebagai emolien atau pelembab karena jaringan yang diawetkan

menggunakan formalin akan cenderung menjadi kering.8 Pengawetan

menggunakan alkohol dapat menyebabkan jaringan menjadi rapuh karena sifatnya

yang melunakkan jaringan.2 Etanol-gliserin dapat digunakan untuk fiksasi

temporer karena efek reversibelnya pada struktur tersier. Akan tetapi, penggunaan

gliserin menyebabkan kerugian, yaitu dapat menyebabkan meningkatnya

pertumbuhan jamur.6,25

Proses pengawetan menggunakan bahan kimia dipengaruhi oleh beberapa

faktor yang nantinya dapat berpengaruh pada hasil pengawetan, seperti yang

Page 34: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

20

dijelaskan dalam penelitian Ahmad (2011) yaitu jenis larutan yang digunakan,

konsentrasi larutan, volume pengawet, dapar/buffer, interval waktu, penetrasi, dan

suhu. Larutan yang digunakan dalam pengawetan harus sesuai dengan jaringan

yang akan diamati. Konsentrasi yang digunakan harus sesuai (yang terbaik adalah

formalin 10%) karena konsentrasi yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan dan

menimbulkan artefak, sedangkan konsentrasi terlalu rendah dapat menyebabkan

efek fiksatif yang diperoleh tidak maksimal dan cepat terjadi pembusukan.

Volume pengawetan yang baik yaitu 10-20x volume jaringan yang akan difiksasi.

Lamanya proses fiksasi ditentukan oleh tebal tipisnya jaringan. Proses

pengawetan jaringan akan maksimal apabila dilakukan pada pH yang mendekati

netral (6-8), keadaan asam akan menyebabkan terbentuknya deposit hitam pada

jaringan yang merupakan pigmen heme-formalin. Semakin lama jaringan

diawetkan, jaringan menjadi semakin kering serta kehilangan organelnya.

Kemampuan penetrasi zat berpengaruh pula pada proses pengawetan dimana hal

itu menentukan kapan zat tersebut akan memfiksasi jaringan sehingga

menghentikan proses kerusakan. Suhu yang meningkat akan menyebabkan

peningkatan laju pengawetan.2,6

Pada pengawetan menggunakan formalin, hasil yang didapatkan yaitu

jaringan akan menjadi lebih keras konsistensinya. Menurut penelitian Ahmad

(2011) bahwasannya semakin tinggi kadar konsentrasi formalin maka jaringan

akan semakin keras. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi

larutan, dimana sesuai hukum osmoregulasi bahwa air yang berada di dalam sel

otot akan keluar dari sel untuk menyeimbangkan perbedaan konsentrasi yang ada,

sehingga otot menjadi lebih keras dan semakin mengkerut. Perbedaan osmolaritas

juga mempengaruhi struktur mikroskopik sel otot. Jarak endomisium ditemukan

paling lebar pada sediaan yang diawetkan menggunakan formalin 4% dan

campuran formalin 2,4%, fenol 2,4%, etanol 16,7% serta gliserin 2,4%. Adanya

air yang masuk ke rongga antar sel akibat perbedaan osmolaritas inilah yang

menyebabkan jarak antar sel semakin berjauhan. Pada sediaan yang diawetkan

menggunakan larutan formalin 25% jarak antar seratnya sangat berdekatan, hal

tersebut menunjukkan bahwa sudah banyak air yang keluar dari sel untuk

mencapai keseimbangan osmolaritas karena larutan yang hipertonis.2

Page 35: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

21

2.5 Kadaver

Kadaver menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mayat manusia

yang diawetkan.26

Dalam pendidikan kedokteran, kadaver merupakan salah satu

instrumen penting untuk pembelajaran anatomi selain buku atlas dan manekin.27

Kadaver dapat diperoleh melalui 2 metode, yaitu penyerahan (levering) dan

pemilikan (toe-eigening). Metode penyerahan yaitu dengan sistem wasiat dari

pemilik tubuh sedangkan metode pemilikan yaitu apabila dalam 2x24 jam setelah

kematian namun tidak ada keluarga yang datang ke rumah sakit, kemudian rumah

sakit memberikannya kepada universitas, maka status kepemilikan kadaver

menjadi milik universitas.27

Dalam Islam, masalah terkait wasiat mendonorkan tubuh masih menjadi pro

dan kontra dikalangan ulama. Ada yang membolehkan demi kemaslahatan

pendidikan kedokteran dan ada yang mengharamkan demi menjaga kehormatan

jenazah.28

Wallahu a’lam bisshawaab.

Page 36: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

22

pertumbuhan

bakteri

Jantung

berhenti

memompa

darah

Sistem imun

inaktif

Suplai O2

terhenti

Kematian

Metabolisme

anaerob sel

Aktivasi

enzim intrasel

Perubahan pH

intrasel

Peningkatan

kadar asam

laktat

Bakteri

menginvasi

jaringan

Digunakan

oleh bakteri

Mencerna

protein dan

karbohidrat

sel Sel hancur

Membran

sel kolaps

Materi hasil

pencernaan

keluar ke

pembuluh darah

Dekomposisi

Jaringan

tubuh rusak

Menyebar

ke seluruh

tubuh

Pembusukan

Autolisis

Gliserin Formalin Alkohol

Non-formalin

based Formalin based

Larutan Fiksatif

Inaktivasi

enzim

Anti-

mikroba

Hambat

agregasi

protein

Denaturasi

protein Stabilkan

formalin

Stabilkan

bentuk

protein

Efek

fiksatif

Pengawetan Stratum korneum

sebagai barier

Penetrasi zat melalui

mekanisme

interseluler, transeluler

dan transapendageal

Kulit

2.6 Kerangka Teori

Keterangan :

: Menghambat

?

Page 37: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

23

2.7 Kerangka Konsep

Tidak dikuliti

Gliserin 80%

Dikuliti

Alkohol 70%

Tikus yang sudah

mati diawetkan

Formalin 7,5%

Memberi efek

fiksatif

Intensitas Warna

Otot rangka

Keterangan :

= variabel bebas

= variabel terikat

Page 38: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

24

2.8 Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Operasional Alat Ukur

Cara

Pengukuran

Skala

Pengukuran

1. Intensitas

warna otot

rangka

Keadaan

tingkatan

atau ukuran

intensnya

warna otot

rangka.29

Indra

penglihatan,

dokumentasi

menggunakan

kamera

Canon EOS

3000D dan

dicocokkan

dengan warna

dari

Photoshop

CS3.

Menilai warna

otot dengan

skala :

Terang

R : 255, G : 241,

B : 255. Color

photoshop CS3

Pantone process

coated DS 56-9

C

Gelap

R : 137, G : 115,

B : 110. Color

photoshop CS3

Pantone process

coated DS 323-9

C

Nominal

Page 39: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah desain penelitian

laboratorium eksperimental.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2018 sampai Desember

2018.

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Kertamukti No. 05,

Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini menggunakan tikus yang baru saja mati <2 jam.

Penelitian tersebut menggunakan tikus jantan galur Sprague dawley dengan berat

150-300 gram. Hewan tersebut diperoleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

Untuk menentukan jumlah sampel dalam setiap kelompok penelitian,

digunakan rumus mead, sebagai berikut :

Menggunakan rumus Mead, sejumlah 12 ekor

Rumus Mead :

E = N-B-T

Keterangan :

E : derajat kebebasan komponen kesalahan (10-20)

N : jumlah sampel dalam penelitian (dikurangi 1)

B : Blocking component menggambarkan pengaruh lingkungan yang

diperbolehkan dalam penelitian (dikurangi 1)

Page 40: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

26

T : jumlah kelompok perlakuan (dikurangi 1)

E = N-B-T E = N-B-T

≥10 = (N-1)-0-(2-1) ≤ 20 = (N-1)-0-(2-1)

≥10 = N-1-1 ≤ 20 = N-1-1

≥10 = N-2 ≤ 20 = N-2

N ≥ 12 N ≤ 22

Jumlah sampel yang dibutuhkan adalah minimal 12 ekor dan maksimal 22 ekor.

Pada penelitian ini menggunakan 12 ekor tikus yang baru saja mati <2 jam

sebagai sampel yang akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, sehingga

masing-masing kelompok terdiri dari 6 hewan percobaan.

3.3.1 Kriterian Inklusi

1. Tikus jantan strain Sprague dawley

2. Tikus baru saja mati <2 jam

3.3.2 Kriteria Eksklusi

1. Tikus sudah berbau busuk

2. Tikus sudah menunjukkan perubahan warna akibat pembusukan

Kelompok perlakuan :

Kelompok Dikuliti

Pada kelompok ini tikus yang baru saja mati dikuliti seluruh tubuhnya

sehingga langsung tampak otot rangkanya kecuali bagian kepala kemudian

langsung dimasukkan ke dalam campuran larutan fiksatif.

Kelompok Tidak Dikuliti

Pada kelompok ini tikus yang baru saja mati langsung dimasukkan ke dalam

campuran larutan fiksatif.

Page 41: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

27

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Bebas

Variabel bebas penelitian ini adalah perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti.

3.4.2 Variabel Terikat

Variabel terikat penelitian ini adalah gambaran makroskopik jaringan otot

rangka setelah diawetkan, meliputi intensitas warna.

3.5 Cara Kerja Penelitian

3.5.1 Alat Penelitian

1. Tikus

2. Minor set

3. Ember

4. Toples kaca besar

5. Label

6. Spidol

7. Gelas ukur

8. Drum besar

9. Kayu panjang

3.5.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini :

1. Formalin 37%

2. Gliserin 80%

3. Alkohol 70%

4. Air kran

5. Tikus yang baru saja mati <2 jam

3.5.3 Pembuatan Larutan

Dalam membuat campuran larutan untuk pengawetan digunakan rumus

pengenceran :

M1.V1 = M2.V2

Keterangan :

M1 = konsentrasi awal formalin

Page 42: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

28

V1 = volume awal formalin

M2 = konsentrasi akhir formalin

V2 = volume akhir formalin

Proses pembuatan larutan :

1. Formalin 37% diencerkan menjadi 10% (Formalin 37% 10 liter + 27 liter air

kran).

2. Formalin 10% diencerkan menjadi formalin 7,5% (formalin 10% 11,25 liter

+ 3,75 liter air kran).

3. Masukkan formalin 7,5% ke masing-masing toples kaca sebanyak 1.125 ml.

4. Masukkan alkohol 70% ke dalam toples sebanyak 37,5 ml kemudian aduk

menggunakan metode konvensional.

5. Masukkan gliserin 80% ke dalam toples sebanyak 37,5 ml kemudian aduk

menggunakan metode konvensional.

3.5.4 Menguliti Tikus

Hewan coba merupakan tikus yang baru saja mati <2 jam dan merupakan

sisa dari penelitian lain. Sehingga pada alur penelitian ini tidak melalui proses

sacrifice. Bangkai tikus tersebut kemudian dikuliti sebanyak 6 ekor.

3.5.5 Perendaman Tikus Dalam Larutan

Tikus mati dimasukkan ke dalam larutan sesuai dengan kelompoknya.

Kemudian tutup toples menggunakan tutup yang telah dilapisi dengan kertas agar

tertutup rapat. Setelah itu simpan toples berisi tikus di lemari penyimpanan yang

ada di laboratorium anatomi dan ditunggu selama 10 bulan (Februari 2018-

Desember 2018).

3.5.6 Pengamatan Makroskopik Jaringan

Pada penelitian ini akan dilakukan pengamatan secara makroskopik yaitu

berupa intensitas warna jaringan otot. Setelah tikus diangkat dari dalam larutan

fiksatif, diamati secara makroskopik intensitas warnanya mendekati kategori

terang atau gelap.

3.6 Analisis Data

Data yang sudah diperoleh dari hasil pengamatan kemudian dideskripsikan

sesuai yang terlihat pada saat pengamatan.

Page 43: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

29

3.7 Alur Penelitian

Tikus mati

Pembuatan

larutan fiksatif

Tidak

dikuliti

Dikuliti

Dikuliti seluruh bagian

tubuhnya kecuali

kepala dan ekor

Masing-masing tikus

dimasukkan ke

dalam toples berisi

campuran larutan

Tutup toples

sampai rapat

Bulan ke-10

Pengamatan intensitas

warna otot rangka

Page 44: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Pengamatan Intensitas Warna

Hasil pengamatan intensitas warna otot rangka tikus setelah pengawetan

menggunakn larutan fiksatif dengan perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti dapat

dilihat pada grafik (gambar 4.1).

Tabel 4.1 Tabel Intensitas Warna Otot Rangka Tikus

Perlakuan Intensitas warna

1 2 3 4 5 6

Dikuliti Terang Terang Terang Terang Terang Terang

Tidak

Dikuliti Terang Terang Terang Terang Terang Terang

Data pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa hasil pengawetan otot rangka tikus

yang dikuliti dan tidak dikuliti menggunakan larutan fiksatif intensitas warna otot

rangka berada dalam kategori terang.

Pada tabel di atas menunjukkan tidak adanya perbedaan antara perlakuan

dikuliti dan tidak dikuliti. Intensitas warna otot setelah diawetkan tampak terang

seperti yang terlihat pada gambar 4.1 dengan perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti.

Gambar 4.1 Sediaan otot rangka dikuliti (A) dan tidak dikuliti (B)

A. Dikuliti

B. ikuliti

B. Tidak Dikuliti

C. ikuliti

A B

Page 45: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

31

Penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilakukan di FK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gabriella dkk (2016)

mengenai keadaan otot rangka setelah kematian ditemukan perubahan gambaran

makroskopik dan mikroskopik otot rangka. Perubahan makroskopik berupa warna

sudah mulai bisa diamati 2 jam setelah kematian. Proses perubahan warna pada

jaringan terjadi karena adanya hemolisis darah yang terjadi akibat aktifitas bakteri

serta adanya akumulasi hidrogen sulfida.21

Hasil penelitian makroksopik pada intensitas warna jaringan otot setelah di

awetkan menggunakan formalin konsentrasi <10% (7,5%) mendapatkan hasil

intensitas warna yang terang dan tidak menghitam, hal tersebut didukung oleh

penelitian Viskasari, dkk (2012) yang menyatakan bahwa hasil pengawetan

menggunakan formalin 7,5% mendapatkan hasil warna yang lebih terang apabila

dibandingkan dengan yang diawetkan menggunakan formalin konsentrasi tinggi.6

Menurut penelitian Ahmad (2011) menyebutkan bahwasannya pengawetan

menggunakan formalin konsentrasi diatas 10% (25%) dapat menyebabkan

jaringan otot menjadi berwarna kecoklatan karena terjadinya reaksi oksidasi.2

Pada penelitian ini digunakan konsentrasi formalin dibawah 10% (7,5%) sehingga

reaksi oksidasi yang terjadi tidak terlalu kuat dan warna jaringan otot yang

diawetkan tidak berubah menjadi kecoklatan.2,6

Efek kulit pada pengawetan ini karena hanya dilakukan perendaman tanpa

injeksi zat melalui pembuluh darah atau pengawetan teknik supravital, maka kulit

diduga akan memperlambat proses penetrasi dari larutan fiksatif. Stratum

korneum merupakan lapisan yang berperan dalam menghambat penetrasi zat dari

luar tubuh. Larutan fiksatif masuk melewati kulit melalui mekanisme interseluler,

transeluler ataupun transapendageal, hal tersebut melihat ukuran partikel dan pH

zat fiksatif yang digunakan.24

Tidak ada perbedaan antara perlakuan pada tikus

yang dikuliti dan tidak dikuliti. Tidak adanya perbedaan pada kedua kelompok

yaitu karena pengaruh lamanya waktu perendaman sehingga kedua perlakuan

tetap mendapatkan efek fiksatif. Hal ini sesuai dengan penelitian Joy (2015) yang

menyatakan bahwa baik tidaknya kadaver untuk pembelajaran anatomi dapat

dinilai setelah diawetkan lebih dari 8-12 bulan.1

Pada peneletian ini pengawetan

dilakukan selama 10 bulan.

Page 46: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

32

Menurut Ahmad (2011), bahwasannya salah satu kelemahan dari formalin

adalah memerlukan waktu minimal 1 hari untuk dapat digunakan dan dapat

menjadi asam apabila disimpan terlalu lama. Pada penelitian pembuatan larutan

dilakukan pada hari yang sama sehingga kemungkinan efek fiksatifnya berkurang

karena bentuk polimer formaldehid belum diubah sempurna menjadi monomer

formaldehid yang mempunyai efek fiksatif. Pada penelitian ini menunjukkan

bahwa penggunaan formalin dengan konsentrasi berapapun akan tetap

memberikan efek fiksatif pada jaringan.14

5.2 Kekurangan Penelitian

1. Homogenisasasi larutan tidak menggunakan mesin centrifuge, akan

tetapi menggunakan metode konvensional.

2. Pelarut menggunakan air kran biasa.

3. Larutan dibuat langsung pada saat itu dan tidak didiamkan terlebih

dahulu selama 2-3 hari, sehingga diduga efek fiksatif larutan muncul

lebih lambat.

4. Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah sisa dari

penelitian lain, namun tidak ada pengaruhnya pada otot rangka yang

akan diteliti.

5. Tidak ada kelompok kontrol negatif.

Page 47: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

33

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Dari hasil penelitian intensitas warna otot rangka tikus Sprague dawley

dalam pengawetan melalui metode perendaman menggunakan larutan fiksatif

yang mengandung formalin konsentrasi rendah (7,5%) serta diberi perlakuan

dikuliti dan tidak dikulit didapatkan hasil intensitas warna otot rangka berada pada

kategori terang.

5.2 SARAN

1. Dilakukan penambahan macam-macam jenis dan konsentrasi larutan

fiksatif, terutama formalin dengan konsentrasi rendah.

2. Dilakukan teknik pengawetan supravital.

3. Perlu dilakukan penambahan kelompok kontrol negatif.

4. Mencari referensi yang lebih banyak mengenai perlakuan dikuliti dan

tidak dikuliti.

Page 48: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Balta, Joy Y., Cronin, Michael., Cryan, John F., O’mahony, Siobhain M.

Human Preservation Technique in Anatomy a 21th Century Medical

Education Perspective. Ireland : Wiley Periodicals; 2015.

2. Habibi, Ahmad Azwar. Penggunaan Beberapa Campuran Larutan Formalin

pada Pengawetan Jaringan Otot dan Otak Tikus (Tesis). Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.

3. Brenner, Erich. Human Body Preservation – Old and New Techniques.

Austria: Division for Clinial and Functional Anatomy, Department of

Anatomy, Histology and Embriology, Innsbruck Medical University; 2014.

p.316-344.

4. Musyarifah, Zulda., Agus, Salmiah. Proses Fiksasi pada Pemeriksaan

Histopatologis. Padang : Jurnal Universitas Andalas; 2018. Diunduh dari

http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka pada tanggal 23 September 2019.

5. Suprianto, Abang., Ilmiawan, Muhammad In’am., trianto, Heru Fajar.

Perbandingan Efek Fiksasi Formalin Metode Intravital dengan Metode

Konvensional pada Kualitas Gambaran Histopatologis Hepar Tikus. Pontianak

: Universitas Tanjungpura; 2014. Diunduh dari

https://media.neliti.com/media/publications/193490-ID-none.pdf pada tanggal

23 September 2019.

6. Kalanjati, Viskasari P., Prasetiowati, Lucky., Alimsardjono, Haryanto. The

Use of Lower Formalin-Containing embalming Solution for Anatomy Cadaver

Preparation. Surabaya : Departemen Anatomi dan Histologi Fakultas

Kedokteran Universitas Airlangga; 2012. h.203-207

7. Environmental Health and Savety. Formaldehyde Safety Guidlines. Canada :

Concordia University; 2016, p.1-7.

8. Goodzari, Nader. Akbari, Ghasem. Tehrani, Payam R. Zinc Chloride, A New

Material for Embalming and Preservation of the Anatomical Specimens. Iran

: Anatomical Sciences ; 2017

9. Mescher, Anthony L. Junqueira Basic Histology Text and Atlas 14th Edition.

New York : Mc-Graw Hill Education; 2016, p.193-205.

Page 49: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

35

10. Standring, Susan. Gray’s Anatomy 41th Edition. UK : Elsevier; 2016, p.103-

108.

11. Indriyastuti, A., Rohmah, IN. Perbandingan Antara Durasi Waktu Pembekuan

Terhadap Terjadinya Pembusukan Jaringan Hepar Pada Kelinci. Jurnal

Kedokteran Diponegoro. 2014. Diunduh dari

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/medico/index pada tanggal 21 Juli

2019.

12. Eroschenko, Victor P. diFIORE’S Atlas of Histology with Functional

Correlations 12th Edition. China : Lippincott Williams and Wilkins; 2013,

p.143-155

13. Menaldi, Sri Linuwih SW., Bramono, Kusmarinah., Indriatmi, Wresti. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Jakarta : Badan Penerbit FK UI; 2018:3-

6.

14. Vaughn, Alexandra R., Clark, Ashley K., Sivamani, Raja K., Shi, Vivian Y.

Natural Oils for Skin-Barrier Repair : Ancient Compounds Now Backed by

Modern Science. Switzerland : Springer International Publishing. 2017.

Diunduh dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28707186 pada 3

September 2019

15. Dabrowska, AK., Spano, F., Derler, S., Adlhart, C., Spencer, ND., Rossi, RM.

The Relationship Between Skin Function, Barrier Properties, Body-Dependent

Factors. Switzerland : Wiley. 2017. Diunduh dari :

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29057509 pada 3 September 2019

16. Baroli, Biancamaria. Penetration of Nanoparticles and Nanomaterials in The

Skin : Fiction or Reality ?. Italy : Wiley Interscience ; 2009.

17. Janawa, RC., Wilson, Andrew S., Percival, Steven L. Decomposition of

Human Remains. University of Bradford. 2009. Diunduh dari :

https://www.researchgate.net/publication/225914421 pada 25 Juli 2019

18. Wescott, Daniel J. Recent Advances in Forensic Anthropology :

Decomposition Research. USA : Department of Anthropology, Texas State

university; 2018, p.327-342

Page 50: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

36

19. Hau, Teo Chee., Hamzah, Noor Hazfalinda., Lian, Hing Hiang., Hamzah, Sri

Pawita Albakri Amir. Decomposition Process and Post Mortem Changes :

Review. Malaysia : Sains Malaysiana; 2014

20. Miller, Robyn Ann. The Affect of Clothing on Human Decomposition :

Implications for Estimating Time since Death. USA : University of Tennessee,

Knoxville; 2002

21. Nelwan, Gabriella B., Wangko, Sunny., Pasiak, Taufik F., Gambaran

Makroskopik dan Mikroskopik Otot Skelet pada Hewan Coba Postmortem.

Manado : Bagian Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas

Sam Ratulangi; 2016

22. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Formalin (Larutan

Formaldehid). Jakarta : Direktorat Pengawas Produk dan Bahan Berbahaya;

2008, h.1-8

23. Department of Licensing and Regulatory Affairs. Formaldehyde, Dalam:

General Industry and Construction Safety and Health Standard. USA :

Micighan University; 2018, p.3-7

24. US National Library of Medicine. Toxicology Data Network. Diunduh dari

https://toxnet.nlm.nih.gov/ pada 17 September 2019

25. Hammer, Neils., Loffler, Sabine., Feja, Christine., Sandrock, Mara., Schmidt,

Wolfgang. Ethanol-Glycerin Fixation With Thymol Conservation : Potential

Alternative to Formaldehyde and Phenol Embalming. Germany : Faculty of

Medicine, Institute of Anatomy, University of Leipzig ; 2012

26. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kadaver. Diunduh dari :

https://kbbi.web.id/kadaver pada 1 Desember 2019.

27. Yanti, Rizki Februamina., Soularti, Dirwan Suryo. The Ethics Review of

Cadaver Donor Disection. Yogyakarta : Departemen Forensik Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta; 2013. Diunduh dari :

https://docplayer.info/51225336-The-ethics-review-of-cadaver-donor-

decision-tinjauan-etika-keputusan-seorang-calon-pendonor-kadaver.html

pada 1 Desember 2019.

28. Fahriansah. Hukum Wasiat Pendonoran dan Transplantasi Organ Tubuh.

Langsa : IAIN Langsa; 2018.

Page 51: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

37

29. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Intensitas. Diunduh dari :

https://kbbi.web.id/intensitas pada 1 Desember 2019.

Page 52: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

38

LAMPIRAN

Lampiran 1

Surat Keterangan Lolos Kaji Etik

Page 53: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

39

Lampiran 2

Foto Makroskopik

Dikuliti

Gambar 6.1 Sediaan otot

tikus 1 dikuliti

Gambar 6.2 Sediaan otot

tikus 2 dikuliti

Gambar 6.3 Sediaan

otot tikus 3 dikuliti

Gambar 6.4 Sediaan otot

tikus 4 dikuliti

Gambar 6.5 Sediaan otot

tikus 5 dikuliti

Gambar 6.6 Sediaan

otot tikus 6 dikuliti

Page 54: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

40

(Lanjutan)

Tidak Dikuliti

Gambar 6.7 Sediaan otot

tikus 1 tidak dikuliti

Gambar 6.8 Sediaan otot

tikus 2 tidak dikuliti

Gambar 6.9 Sediaan otot

tikus 3 tidak dikuliti

Gambar 6.10 Sediaan

otot tikus 4 tidak dikuliti

Gambar 6.11 Sediaan

otot tikus 5 tidak dikuliti

Gambar 6.12 Sediaan

otot tikus 6 tidak dikuliti

Page 55: INTENSITAS WARNA OTOT RANGKA TIKUS Sprague dawley

41

Lampiran 3

Identitas Penulis

Identitas Penulis

Nama

NIM

: Chaerani Kurniatin

: 11161030000087

Tempat Tanggal Lahir

Agama

Alamat Sekarang

: Cilacap, 19 Desember 1998

: Islam

: Jl. H Khayar No.29 RT 08/06 Kel. Ciganjur, Kec.

Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12530

Alamat Asal : Sidamulya RT 001/011 Desa Sikanco, Kec. Nusawungu,

Kab. Cilacap, Jawa Tengah 53283

Email

No.Hp

: [email protected]

: 085842993192

Riwayat Pendidikan

2004-2010 : MI Negeri Sikanco, Nusawungu, Cilacap, Jawa

Tengah

2010-2013 : MTs Wathoniyah Islamiyah Kebarongan,

Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah

2013-2016 : MA Wathoniyah Islamiyah Kebarongan, Kemranjen,

Banyumas, Jawa Tengah

2016-sekarang : Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta