64
4.Pandangan Islam Tentang Berbagai Aspek 1.1. Sub Kompetensi Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan: Memahami asal-usul, hakikat dan tugas manusia Memahami konsep Islam tentang masyarakat madani dan toleransi beragama Memahami konsep politik Islam dalam kaitannya dengan demokrasi, penegakan hukum dan HAM Memahami konsep Islam tentang iptek dan sains Memahami persoalan Islam kontemporer Memahami konsep pernikahan dalam kebudayaan Islam 1.2. Uraian Materi A. Manusia: Asal-Usul, Hakikat Dan Tugasnya Menurut slam Pertanyaan-pertanyaan tentang siapakah sebenarnya manusia, dari manaka asal-usulnya, kemanakah tujuannya dan banyak pertanyaan lain yang munc seputar keberadaan manusia telah melahirkan berbagai pandanganatau bahkan paham yang tidak saja berbeda,namun kadangkalajuga berseberangan Pertanyaan tentang keberadaan manusia sekaligus konsekuensinya telah menjadi persoalan paling penting dicari jawabanny oleh umat manusia sepanjang sejarah !rgensinya tidaksaja untuk memperjelas kedudukan manusia diantara entitas lain di jagad raya, tet juga untuk mengarahkan manusia sebagai makhluk yang paling unggul dal mengelola, mengatur dan menentukan masa depan alam semesta Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah sebagai pedoman manusia tentunya membahas persoalan "undamental ini dengan sudut pandangnya yang khas, komprehensi" dan seimbang #isebut komprehe karena Islam membahas tentang eksistensi manusia dari segala a Asal-usul, kelebihan-kekurangan, unsur dan potensi, watak dan si"at, j hidup, tujuan hidup dan apa saja yang menyangkut manusia dijelaskan oleh Islam Sementara keseimbangan ajaran Islam dalam membahas persoalan in dapatdibuktikan dengan, sebagaimana pembahasannya dalam persoalan lainnya, kemungkinannya dipahami oleh pikiran manusia dengan berbagai tingkatannya 1. Asal-usul Manusia Pertanyaan tentang darimanakah manusiaberasal telah melahirkan perdebatan keras, khususnya sejak masa modern Sebelum masa modern MODUL AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 1

Isi modul 4

  • Upload
    hasan

  • View
    38

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cacatan kuliah

Citation preview

MODUL 4.Pandangan Islam Tentang Berbagai Aspek1.1. Sub KompetensiSetelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan: Memahami asal-usul, hakikat dan tugas manusia Memahami konsep Islam tentang masyarakat madani dan toleransi beragama Memahami konsep politik Islam dalam kaitannya dengan demokrasi, penegakan hukum dan HAM Memahami konsep Islam tentang iptek dan sains Memahami persoalan Islam kontemporer Memahami konsep pernikahan dalam kebudayaan Islam

1.2. Uraian MateriA. Manusia: Asal-Usul, Hakikat Dan Tugasnya Menurut IslamPertanyaan-pertanyaan tentang siapakah sebenarnya manusia, dari manakah asal-usulnya, kemanakah tujuannya dan banyak pertanyaan lain yang muncul seputar keberadaan manusia telah melahirkan berbagai pandangan atau bahkan paham yang tidak saja berbeda, namun kadangkala juga berseberangan. Pertanyaan tentang keberadaan manusia sekaligus konsekuensinya telah menjadi persoalan paling penting dicari jawabannya oleh umat manusia sepanjang sejarah. Urgensinya tidak saja untuk memperjelas kedudukan manusia diantara entitas lain di jagad raya, tetapi juga untuk mengarahkan manusia sebagai makhluk yang paling unggul dalam mengelola, mengatur dan menentukan masa depan alam semesta.Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah sebagai pedoman hidup manusia tentunya membahas persoalan fundamental ini dengan sudut pandangnya yang khas, komprehensif dan seimbang. Disebut komprehensif karena Islam membahas tentang eksistensi manusia dari segala aspeknya. Asal-usul, kelebihan-kekurangan, unsur dan potensi, watak dan sifat, jalan hidup, tujuan hidup dan apa saja yang menyangkut manusia dijelaskan oleh Islam. Sementara keseimbangan ajaran Islam dalam membahas persoalan ini dapat dibuktikan dengan, sebagaimana pembahasannya dalam persoalan lainnya, kemungkinannya dipahami oleh pikiran manusia dengan berbagai tingkatannya.1. Asal-usul ManusiaPertanyaan tentang dari manakah manusia berasal telah melahirkan perdebatan keras, khususnya sejak masa modern. Sebelum masa modern, umat manusia secara umum telah menerima pernyataan yang relatif mapan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan. Baik di dalam al-Quran maupun di dalam kitab suci agama-agama lain, pernyataan tersebut diterima sebagai kebenaran yang meyakinkan. Adalah Charles Darwin yang kemudian merubah keadaan ini secara drastis. Persoalan asal usul manusia tiba-tiba menjadi polemik tajam di kalangan ilmuwan di satu sisi, dengan para ahli agama atau theolog di sisi lain. Melalui bukunya origin of species (1859) Darwin mendobrak keyakinan masyarakat manusia dengan teorinya[footnoteRef:2] yang terkenal, evolution by natural selection (evolusi melalui seleksi alam)[footnoteRef:3]. [2: Dengan melihat bermunculannya sanggahan-sanggahan ilmiah atas pandangan Darwin tentang asal-usul manusia, maka sebenarnya penyebutan istilah teori evolusi adalah tidak tepat, karena seharusnya evolusi baru bisa disebut hipotesa. Tapi istilah teori dipakai di sini sebagai gambaran penerimaan umum kalangan terpelajar atas hipotesa Dariwn tersebut. ] [3: Sebenarnya Charles Darwin (1809-1882) bukanlah penggagas awal ide tenatng evolusi organis (makhluk hidup). Lamarck dan Geoffroy Saint-Hilaire lah yang mulanya menyodorkan pemikiran tentang kemungkinan transmutasi makhluk hidup. Lihat: Arthur McCalla, The Creationist Debate: The Encounter between the Bible and the Historical Mind(London and New York: T&T Clark International, 2006), 105.]

Dalam pandangan penganut Darwinisme manusia merupakan produk evolusi spesias lain yang lebih sederhana, dari manusia purba sampai kera.Sementara menurut Islam, asal-usul manusia bisa dijelaskan dengan melihat terlebih dahulu istilah yang dipakai menyebut identitasnya. Ada 4 istilah yang dipakai dalam al-Quran untuk menyebut manusia, yakni basyar, insan, nas dan bani adam. a) Kata basyar; dalam al-quran disebutkan 37 kali. Kata basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari tanah liat, atau lempung kering (al-Hijr : 33 ; al-Rum : 20), manusia makan dan minum (al-Mukminun : 33). [/34]b) Kata insan; disebutkan dalam al-quran sebanyak 65 kali, diantaranya (al-Alaq : 4). Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan. [/4]c) Kata al-nas; disebut sebanyak 240 kali, seperti al-Zumar : 27. Konsep al-nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau secara kolektif. [/27]d) Kata bani Adam; disebut 7 kali, seperti dalam Yasin: 60. Konsep bani adam lebih menunjuk pada garis keturunan manusia. [/60]Sementara dari aspek asal-usul penciptaannya, manusia disebut oleh al-Quran berasal dari tanah (Adam as.), pembuahan (keturunan Adam) serta proses lain yang membutuhkan penelaahan lebih lanjut (Hawa dan Isa as.). Hal ini dapat dilihat misalnya dalam ayat-ayat al-Quran berikut: (12) (13) (14) [/12-14]

[/5] [/1] [ /59]2. Hakikat ManusiaManusia merupakan sebangsa binatang. Dia memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama manusia memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya, dan ciri-ciri ini menempatkannya lebih unggul daripada binatang. Ada ciri-ciri utama yang mendasar, yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Sifat-sifat manusiawi manusia ditentukan oleh ciri-ciri ini. Ciri-ciri ini, yang juga menjadi sumber dari apa yang dikenal sebagai budaya manusia, berkaitan dengan dua hal. Yaitu, sikap dan kecenderungan.Pada umumnya binatang memiliki kemampuan melihat dan mengenal dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Dan dengan berbekal pengetahuan yang didapat dari melihat dan mengenal ini, binatang berupaya mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti binatang lainnya, manusia juga memiliki banyak keinginan. Dan dengan bekal pengetahuan dan pengertiannya, manusia berupaya mewujudkan keinginannya. Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Bedanya adalah manusia lebih tahu, lebih mengerti, dan lebih tinggi tingkat keinginannya.Kekhasan ini yang dimiliki manusia membedakan manusia dengan binatang, dan membuat manusia lebih unggul daripada binatang lainnya.Hanya melalui indera (alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluripen.) yang dimiliki, binatang mengenal (mengetahui) dunia. Itulah sebabnya.Pertama,pengetahuannya dangkal. Pengetahuannya tidak sampai menguasai detail sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubungan-hubungan internal yang terjadi dalam sesuatu itu.Kedua,pengetahuannya parsial dan khusus, tidak universal dan tidak umum.Ketiga,pengetahuannya regional (terbatas pada wilayah tertentu), karena terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih dari itu.Keempat,pengetahuannya terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa mendatang. Binatang tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau sejarah dunia. Karena itu, binatang tidak berpikir tentang masa depannya, dan juga tidak merencanakan masa depannya.Dari segi pengetahuannya, binatang tak sanggup keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya, lingkungan hidupnya, dan masa sekarangnya. Binatang tak pernah lepas dari keempat bidang ini. Kalau saja secara kebetulan dapat melewati batas-batas keempat bidang ini, itu terjadi secara naluriah dan tidak sadar, bukan karena kehendak dan pilihannya sendiri.Seperti pengetahuannya, tingkat keinginan dan hasrat binatang juga terbatas ruang lingkupnya.Pertama,segenap hasratnya bersifat material, dan tidak lebih dari makan, minum, tidur, bermain, kawin, dan membuat sarang. Binatang tidak memiliki kebutuhan spiritual, nilai moral dan sebagainya.Kedua,segenap keinginannya bersifat pribadi dan individualistis, berkaitan dengan binatang itu sendiri, atau paling banter berkaitan dengan pasangan dan anak-anaknya. Ketiga, binatang bersifat regional, yaitu berkaitan dengan lingkungan hidupnya saja. Keempat, binatang bersifat seketika itu, yaitu berkaitan dengan masa sekarang.Dengan kata lain, dimensi keinginan dan kecenderungan dalam eksistensi binatang ada batasnya, begitu pula dimensi eksistensi pengetahuannya. Dari sudut pandang ini juga, binatang harus hidup dalam batas tertentu. Jika binatang mengejar sasaran yang berada di luar batas ini dan misalnya, yang berkenaan dengan spesiesnya pada umumnya dan bukan dengan satu individu atau berkenaan dengan masa depan dan bukan dengan masa kini, sebagaimana terlihat terjadi pada binatang tertentu yang hidup berkelompok seperti lebah, itu terjadi secara tak sadar, secara naluri, dan karena aturan langsung dari kekuatan yang telah menciptakannya dan yang mengatur seluruh alam.Wewenang manusia di bidang pengetahuannya, informasi dan pandangannya, dan di bidang keinginan dan kecenderungannya, sangat luas dan tinggi. Pengetahuannya berangkat dari sisi eksternal sesuatu menuju sisi realitas internal sesuatu itu, saling hubungan yang terjadi di dalam sesuatu itu, dan menuju hukum yang mengatur sesuatu itu. Pengetahuan manusia tidak terbatas pada ruang atau waktu tertentu. Pengetahuan manusia mengatasi batas-batas seperti itu. Di satu pihak, manusia mengetahui peristiwa yang terjadi sebelum dia lahir, dan di lain pihak manusia bahkan mengetahui planet-planet selain bumi dan bintang-gemintang. Manusia mengetahui masa lalu maupun masa depannya. Dia mengetahui sejarahnya sendiri dan sejarah dunia, yaitu sejarah bumi, langit, gunung, sungai, tumbuhan dan organisme hidup. Yang menjadi pemikiran manusia bukan saja masa depan yang jauh, namun juga hal-hal yang tak terhingga dan abadi. Sebagian dari hal-hal ini diketahui oleh manusia. Manusia bukan sekadar mengetahui keanekaragaman dan kekhasan. Dengan maksud menguasai alam, manusia mencari tahu tentang hukum alam semesta dan kebenaran umum yang berlaku di dunia.Dari sudut pandang ambisi dan aspirasinya, kedudukan manusia luar biasa, karena dia adalah makhluk yang idealistis, tinggi cita-cita dan pemikirannya. Sasaran yang juga ingin dicapainya adalah sasaran yang sifatnya non-material dan tidak mendatangkan keuntungan material. Sasaran seperti ini adalah sasaran yang menjadi kepentingan ras manusia seluruhnya, dan tidak terbatas pada dirinya dan keluarganya saja, atau tidak terbatas pada wilayah tertentu atau waktu tertentu saja.Manusia begitu idealistis, sampai-sampai dia sering lebih menomorsatukan akidah dan ideologinya dan menomorduakan nilai lain. Dia bahkan menganggap melayani orang lain lebih penting daripada mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Dan manusia memandang duri yang menusuk kaki orang lain seperti seakan menusuk kakinya sendiri atau bahkan matanya sendiri. Dia merasa bersimpati kepada orang lain dan mau berbagi suka dan duka. Manusia begitu penuh dedikasi kepada akidah dan ideologi sucinya, sampai-sampai dia mudah mengorbankan hidupnya demi akidah dan ideologi sucinya itu. Segi manusiawi dari budaya manusia yang dianggap sebagai roh sejati budaya tersebut merupakan hasil dari perasaan dan keinginan seperti itu.Berkat upaya kolektif manusia selama berabad-abad, manusia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang dunia. Informasi yang didapat kemudian dihimpun dan dikembangkan. Setelah mengalami proses dan sistematisasi, informasi ini kemudian menjadi dikenal sebagai "ilmu" dalam artinya yang lebih luas, yaitu jumlah seluruh gagasan manusia tentang kosmos (alam semesta). Di dalamnya tercakup juga filsafat, sebuah produk dari upaya kolektif manusia yang diberi bentuk logika yang khusus.Kecenderungan spiritual dan tingginya kesadaran manusia ada karena manusia mempercayai realitas-realitas tertentu dunia ini, dan karena dedikasinya kepada realitas-realitas tersebut. Realitas-realitas ini sifatnya bukan individualistis dan juga bukan material. Sifatnya komprehensif dan umum, di dalamnya tak ada soal keuntungan ekonomi, dan pada gilirannya merupakan hasil dari pengetahuan dan pemahaman tertentu mengenai dunia yang disampaikan kepada manusia oleh para nabi, atau dilahirkan oleh pemikiran idealistis sebagian filosof.Bagaimanapun juga, kecenderungan spiritual dan suprahewani lebih tinggi yang ada pada diri manusia, jika dasarnya adalah infrastruktur doktrinal dan intelektual, memakai nama agama. Karena itu, kesimpulannya adalah bahwa yang membedakan secara mendasar antara manusia dan makhluk hidup lainnya adalah pengetahuan dan agama, dan bahwa pengetahuan dan agama merupakan dasar dari ras manusia, dan ras manusia ini bergantung pada pengetahuan dan agama.Sudah banyak dibahas tentang perbedaan antara manusia dan spesies binatang lainnya. Sebagian berpandangan bahwa antara manusia dan spesies binatang lainnya itu tak ada perbedaan yang mendasar. Mereka mengatakan bahwa perbedaan pengetahuan merupakan perbedaan kuantitas, atau paling banter perbedaan kualitas, namun bukan perbedaan hakikat. Mereka memandang tidak begitu penting prestasi-prestasi manusia yang luas dan luar biasa di bidang pengetahuan, padahal prestasi-prestasi ini menarik perhatian filosof-filosof besar Timur dan Barat.Kelompok sarjana ini mengatakan bahwa dari sudut pandang keinginan dan hasratnya, manusia tak lebih daripada binatang. Sebagian yang lain percaya bahwa perbedaaan utamanya adalah perbedaan kehidupan. Manusia adalah satu-satunya binatang yang sepenuhnya hidup. Binatang yang lain tak memiliki perasaan, dan tak tahu suka dan duka. Binatang yang lain ini hanyalah mesin-mesin yang setengah hidup. Karena itu, definisi yang sebenarnya mengenai manusia adalah bahwa manusia adalah makhluk hidup.[2]Pemikir-pemikir lain tidak mempercayai itu, dan berpendapat bahwa antara manusia dan makhluk hidup lainnya itu ada perbedaan yang mendasar. Kelihatannya fokus masing-masing kelompok sarjana ini adalah satu karakteristik manusia. Itulah sebabnya manusia lalu didefinisikan dengan begitu banyak cara yang berlainan. Manusia digambarkan sebagai binatang yang rasional, makhluk yang benar-benar berupaya mendapatkan apa yang dikehendakinya, makhluk yang tak ada ujungnya, makhluk yang idealis, makhluk yang mencari nilai-nilai, binatang metafisis, makhluk yang tak pernah terpuaskan, makhluk yang tak ada batasannya, makhluk yang bertanggung jawab, makhluk yang berpandangan ke depan, agen (faktor atau instrumen) yang bebas, makhluk yang memberontak, makhluk yang suka ketertiban sosial, makhluk yang suka keindahan, makhluk yang suka keadilan, makhluk berwajah ganda, makhluk yang romantis, makhluk yang intuitif, makhluk yang mempercayai standar ganda, makhluk yang dapat mencipta, makhluk yang kesepian, makhluk yang memiliki perhatian kepada publik, makhluk yang fundamentalis, teoretis, dan dapat membuat peralatan, makhluk supranaturalis, imajinatif, spiritualis, transendentalis, dan sebagainya.Tak pelak lagi, masing-masing keterangan ini benar, dilihat dari kualitas-kualitas esensialnya masing-masing. Akan tetapi, jika kita mau mendapatkan ungkapan yang mencakup semua perbedaan mendasarnya, maka harus kita katakan bahwa manusia adalah binatang yang berpengetahuan dan beragama.Kita tahu bahwa manusia adalah sebangsa binatang. Manusia memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Namun manusia juga memiliki banyak karakteristik khas. Karena memiliki banyak kesamaan dan perbedaan dengan binatang lainnya, manusia memiliki kehidupan ganda: Kehidupan binatang dan kehidupan manusia, kehidupan material dan kehidupan budaya. Di sini timbul pertanyaan: Apa hubungan antara segi manusiawi manusia dan segi hewaninya, kehidupan manusiawinya dan kehidupan hewaninya? Apakah nilai penting satu segi adalah esensial, sedangkan segi lainnya nilai penungnya sekunder? Apakah satu segi menjadi dasarnya, sedangkan segi lainnya hanyalah refleksi dari segi yang menjadi dasar tersebut? Apakah satu segi menjadi infrastrukturnya, sedangkan segi lainnya suprastrukturnya? Apakah kehidupan material merupakan infrastrukturnya, sedangkan kehidupan budaya merupakan suprastrukturnya? Apakah segi hewani manusia merupakan infrastrukturnya, sedangkan kehidupan budayanya merupakan suprastrukturnya? Apakah segi hewani manusia itu infrastrukturnya, sedangkan segi manusiawinya itu suprastrukturnya?Dewasa ini, pertanyaan ini diajukan dari sudut pandang sosiologis dan psikologis. Itulah sebabnya pembahasannya berkisar di seputar pertanyaan apakah di antara karakteristik-karakteristik sosial manusia, kecenderungan-kecenderungan ekonominya yang berkaitan dengan produksi dan hubungan produksi lebih penting daripada karakteristik-karakteristik lain manusia, khususnya yang mencerminkan segi manusiawi manusia, dan apakah karakteristik dan kecenderungan lain manusia hanyalah suprastruktur dari karakter ekonominya? Pertanyaan lain yang juga berkaitan adalah apakah betul ilmu, filsafat, sastra, agama, hukum, etika, dan seni pada setiap zaman hanyalah merupakan perwujudan dari hubungan ekonomi pada zaman itu dan tak memiliki nilai intrinsiknya sendiri?Sekalipun pertanyaan ini diajukan dari sudut pandang sosiologis, namun tak pelak lagi pembahasannya membawa hasil psikologis dan pembahasan filosofis tentang karakter manusia, yang dalam istilah modern dikenal dengan sebutan "humanisme". Pada umumnya kesimpulannya adalah bahwa sisi manusiawi manusia tidak penting. Yang penting adalah sisi hewani manusia saja. Dengan kata lain, yang didukung adalah pandangan orang-orang yang menyangkal adanya perbedaan mendasar antara manusia dan binatang.Teori ini bukan saja menolak pentingnya kecenderungan manusia kepada realisme, kebajikan, keindahan, dan kepercayaan kepada Allah, namun juga menolak pentingnya pendekatan rasional manusia terhadap dunia dan kebenaran. Dapat ditunjukkan bahwa tidak ada pendekatan yang netral. Tak pelak lagi, setiap pendekatan menunjukkan pandangan material tertentu. Mengherankan bila sebagian mazhab yang mendukung teori yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang, secara serempak mereka berbicara tentang sisi manusiawi dan humanisme juga.Fakta bahwa perjalanan evolusioner manusia berawal dari sisi hewani manusia dan bergerak menuju sisi manusiawinya, sebuah tujuan yang sangat mulia. Prinsip ini berlaku untuk individu maupun masyarakat. Pada permulaan eksistensinya, manusia tak lebih daripada organisme material. Berkat gerakan evolusioner yang mendasar, manusia berubah menjadi substansi spiritual. Roh (spirit) manusia lahir dalam alam tubuh manusia, dan kemudian menjadi mandiri. Sisi hewani manusia merupakan sarang tempat sisi manusiawi manusia berkembang dan matang. Karakteristik evolusi adalah semakin berkembangnya suatu makhluk, semakin mandiri dan efektiflah dia, dan dia pun akan semakin mempengaruhi lingkungannya. Ketika sisi manusiawi manusia berkembang, sebenarnya sisi ini tengah menuju kemandirian dan mengendalikan aspek-aspek lainnya. Hal ini terjadi pada individu maupun masyarakat. Individu yang sudah mengalami pengembangan mengendalikan lingkungan batiniah maupun lahiriahnya. Arti dari perkembangannya adalah bahwa dia telah merdeka dari dominasi lingkungan batiniah maupun lahiriah, dan memiliki dedikasi kepada akidah dan agama.Terjadinya evolusi masyarakat persis seperti terjadinya evolusi roh dalam alam tubuh, dan evolusi sisi manusiawi individu dalam alam sisi hewani individunya tersebut. Perkembangan masyarakat terutama berawal dari dampak sistem ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Aspek budaya dan spiritual masyarakat sinonim dengan jiwa masyarakat bersangkutan. Karena tubuh dan jiwa saling mempengaruhi satu sama lain, maka antara sistem spiritual dan material juga terjadi saling hubungan yang sama. Kalau evolusi individu berarti individu tersebut berjalan menuju kemerdekaan, kemandirian dan supremasi jiwa yang semakin besar, maka evolusi masyarakat juga berarti seperti itu pula. Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat semakin berkembang, maka kehidupan budayanya semakin tak bergantung pada kehidupan materialnya. Manusia masa depan merupakan manusia budaya dan manusia agama, akidah dan ideologi, bukan manusia ekonomi, manusia yang mengejar kenikmatan jasmani.Tentu saja, semua ini bukan berarti bahwa masyarakat manusia secara tak terelakkan menapaki garis lurus menuju kesempurnaan nilai-nilai manusiawi, juga bukan berarti bahwa pada setiap tahap waktu selangkah lebih maju ketimbang tahap waktu sebelumnya. Boleh jadi manusia melewati tahap kehidupan sosial, di mana meski terjadi kemajuan teknik dan teknologi namun manusia mengalami kemunduran dari sisi spiritual dan moral, sebagaimana diklaim dialami oleh manusia pada zaman kita.Sesungguhnya, dari sudut pandang material dan spiritual, manusia pada umumnya tengah berjalan ke depan. Akan tetapi, gerakan spiritualnya tidak selalu di garis yang lurus. Gerakan tersebut terkadang berhenti, terkadang balik ke belakang, dan terkadang menyimpang ke kanan dan ke kiri. Namun, pada umumnya merupakan suatu gerakan evolusioner ke depan. Itulah sebabnya kami katakan bahwa manusia masa depan merupakan manusia budaya, bukan manusia ekonomi, dan manusia masa depan merupakan manusia agama, akidah dan ideologi, dan bukan manusia yang mengejar kenikmatan jasmani.Menurut teori ini, aspek-aspek manusiawi pada diri manusia karena aspek-aspek tersebut fundamental berkembang mengikuti berkembangnya alat-alat produksi dan bahkan berkembang sebelum berkembangnya alat-alat produksi. Menyusul perkembangannya, aspek-aspek manusiawi manusia berangsur-angsur mengurangi ketergantungan manusia kepada lingkungan natural dan sosialnya, dan mengurangi kesetujuannya kepada kondisi lingkungan. Maka kemerdekaan yang didapat membuat manusia semakin kuat dedikasinya kepada agama dan ideologi, dan meningkatkan kapasitasnya mempengaruhi lingkungan natural dan sosialnya. Kelak, setelah memperoleh kemerdekaan seutuhnya, manusia kemudian menjadi semakin kuat dedikasinya kepada agama dan ideologi.Di masa lampau, manusia kurang mendapat manfaat dari pemberian alam dan belum mampu memanfaatkan sepenuhnya kemampuan-kemampuannya sendiri. Dia menjadi tawanan alam dan tawanan sisi hewaninya sendiri. Namun di masa depan manusia lebih mampu memanfaatkan pemberian alam dan kemampuan-kemampuan yang menjadi sifat manusia itu sendiri. Maka, untuk sebagian besar, manusia akan terbebaskan dari tawanan alam dan tawanan kecenderungan hewaninya sendiri, dan pengendaliannya atas alam dan dirinya pun semakin besar.Menurut pandangan ini, meskipun realitas manusia muncul bersama dengan alam evolusi material dan hewaninya, namun realitas ini sama sekali bukan merupakan cermin daridan tunduk kepadaperkembangan materialnya. Itu adalah sebuah realitas yang independen dan progresif. Sekalipun dipengaruhi oleh aspek material, namun realitas ini mempengaruhinya juga. Yang menentukan tujuan akhir manusia adalah evolusi budayanya dan realitas manusiawinya, bukan evolusi alat-alat produksi. Adalah realitas manusiawi yang dalam evolusinya menyebabkan alat-alat produksi berkembang bersama berkembangnya urusan lain manusia. Tidak betul bila perkembangan alat-alat produksi terjadi secara otomatis, dan bila sisi manusiawi manusia mengalami perubahan akibat berubahnya alat-alat yang mengatur sistem produksi.

3. Tugas dan Tanggung Jawab ManusiaTugas dan tanggung jawab manusia dijelaskan secara tegas oleh agama Islam. [/56]Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.Ayat di atas jelas menyebut bahwa hakikat tugas manusia di dunia ini adalah mengabdi kepada Allah Swt., dan karenanya melekat dalam diri manusia status sebagai abdullah (hamba Allah). Di dalam status sebagai hamba Allah itu, melekat pula status manusia sebagai khalifah Allah (wakil Allah), dalam kaitannya secara khusus dengan kehidupan di muka bumi. Allah Swt. berfirman:

[/30[Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Dua tugas utama manusia ini bukanlah tugas biasa. Tugas ini disebut Oleh Allah di dalam Qs. Al-Ahzab 72 dengan amanah. Sebelum menawarkan kepada manusia, Allah pernah menyodorkannya kepada makhluk-makhluknya yang lain dan semuanya menolak. Karena itulah maka Allah memberi kepada manusia banyak kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah berfirman: [/31[Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"Ilmu adalah kelebihan yang paling khas yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Ilmu dalam konsepsi yang saat ini kita pahami adalah alat satu-satunya untuk memahami, mengatur dan menjalankan tugas manusia, baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Selain ilmu, manusia juga diberi Allah kelebihan-kelebihan lain yang bersifat umum:

[/70]Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.

Bahkan allah sendiri menyebut bahwa seseungguhnya penciptaan manusia adalah penciptaan yang paling baik: [/4]Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya

Namun demikian, dibutuhkan kehatia-hatian yang cukup dalam memanfaatkan berbagai kelebihan tersebut. Kesalahan dalam menjalankan tugas utamanya, akan meinmbulkan dampak dan konsekuensi yang berat pula bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah misalnya mengingatkan:

[/41]Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).Karena itu, setiap langkah yang akan kita ambil, maka perlu mengingat kembali tugas dan tanggung jawab yang berat ini..B. Konsep Islam Tentang Masyarakat1. Konsep UmatManusia mengemban tugas dan tanggung jawab yang cukup besar dengan statusnya sebagai hamba Allah dan wakil-Nya di Bumi. Tugas dan tanggung jawab ini disebut di dalam al-Quran dengan amanah, yang sebelumnya ditolak oleh makhluk Allah yang lain karena konsekuensinya yang amat berat. [/72]Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Untuk dapat mengemban amanah tersebut dengan baik, Islam tidak saja membekali manusia dengan seperangkat nilai yang positif seperti tauhid, kesederajatan, keadilan, kemanusiaan, kedamaian, kesejahteraan dan seterusnya, tetapi Islam juga memberi dorongan terjadinya kerjasama sosial yang kokoh dalam bentuk masyarakat. Islam bukanlah agama yang mengajarkan manusia supaya hidup dalam kesalehan individu dan mengisolasi diri. Ajaran Islam justru memberi penekanan yang besar dalam aspek sosial sebagai tolak ukur kesalehan individual. Di dalam al-Quran, ungkapan iman selalu dibarengi dengan amal atau ungkapan yang semakna dengannya. Karena itu, terwujudnya dar al-Salam (negeri sejahtera) atau dalam istilah lain baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri sejahtera di bawah lindungan Tuhan) sebagai indikator keberhasilan manusia mengemban amanah dari Allah Swt. tidak mungkin diraih secara personal. Di sinilah kehadiran institusi masyarakat Islami (masyarakat yang merepresentasikan nilai-nilai Islam) menjadi mutlak diperlukan.Khazanah intelektual Islam mengenal ada dua level institusi masyarakat Islam, yakni level keluarga sebagai institusi sosial terkecil, dan level ummah (umat) yang merepresentasikan ikatan sosial yang lebih kompleks dan luas. Di dalam level keluarga, Islam tidak saja mendorong setiap individu Muslim dalam keluarga untuk melaksanakan nilai-nilai luhur ajaran Islam, tetapi juga agar mereka menjadikan institusi keluarga sebagai media utama transformasi nilai, sehingga terwujud kesejahteraan bersama antar anggota keluarga. Kehidupan keluarga yang sesuai dengan nilai-nilai Islam juga dapat menjadi representasi kehidupan kaum Muslim dalam skala yang lebih luas. Karenanya Allah Swt. berfirman: [/6]Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ....Sementara Nabi Saw. bersabda: ...Telah bersabda Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam: "Tidak ada seorang anak pun yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi...(HR. Bukhari)

Adapun pada level umat, Islam membawa lebih banyak daftar referensi yang dapat digali dan dielaborasi secara berkelanjutan. Di dalam al-Quran, konsep institusi sosial yang diungkapkan dengan istilah ummah (umat) disebut di beberapa tempat. Tidak kurang 47 kali kata ummah disebutkan oleh Allah di berbagai ayat berebeda. Dari sekian puluh ayat tersebut, setidaknya terdapat 8 istilah yang dapat dimaknai sebagai masyarakat model menurut Islam, yakni ummah wahidah (umat yang satu)[footnoteRef:4], ummah muslimah (umat yang berserah diri kepada Allah)[footnoteRef:5], ummah qa`imah (umat yang jujur)[footnoteRef:6], ummah muqtasidah (umat yang jujur dan taat)[footnoteRef:7], ummah adilah (umat yang adil)[footnoteRef:8], ummatan qanitan (umat yang patuh)[footnoteRef:9], ummatan wasathan (umat pertengahan)[footnoteRef:10] dan khairu ummah (umat terbaik)[footnoteRef:11]. Enam istilah pertama menjelaskan tentang karakteristik utama masyarakat ideal pada masa sebelum nabi Muhammad, sementara dua istilah terakhir menjelaskan tentang karakteristik khas masyarakat ideal yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad bersama sahabat. [4: [/92]] [5: [/128]] [6: [ /113]] [7: [/66]] [8: [/181]] [9: [/120]] [10: [/143]] [11: [ /110]]

Sifat ajaran Islam yang kontekstual (dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda) senantiasa menginisiasi kaum Muslim untuk menemukan formulasi baru konsep Islam tentang berbagai persoalan, termasuk tentang masyarakat Islam. Al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam tetap menjadi pijakan kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan-persoalan mereka(Hamim, 2000: 115-127). Setelah bertahan empat belas abad sejak masa Nabi saw. konsep umat yang banyak disebut di dalam sumber otentik ajaran Islam, serta mengakar kuat dalam kesadaran intelektual kaum Muslim, tiba-tiba mendapatkan ujian paling berat pada masa modern. Konsep umat sebagai institusi ideal masyarakat Islam dinilai gagal dalam menghadapi dinamika masyarakat modern yang westernized (terbaratkan). Tudingan kegagalan itu tentu saja dikaitkan dengan ketertinggalan kaum Muslim dari bangsa Barat modern dalam tatanan sosialnya secara umum. Di Barat, konsep dan praktek civil society dianggap sebagai salah satu kunci hegemoni mereka atas masyarakat non Barat. Dalam konteks inilah kemudian muncul konsepsi baru tentang masyarakat Islam dengan sebutan masyarakat madani.

2. Konsep Masyarakat MadaniMasyarakat madani yang sering disama-padankan dengan civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab (mujtama madani), yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000:180-181). Kata madani berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep madani bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan. Nabi Muhammad sendiri menggunakan nama Madinah (istilah yang memiliki kesamaan akar kata dengan madani) sebagai pengganti atas nama kota Yatsrib, sebentar setelah hijrah beliau ke tempat tersebut. Penamaan kembali kota Yatsrib dengan nama Madinah tentu saja bukan sebuah kebetulan. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Nabi dalam membangun masyarakat Madinah telah disebut oleh para sejarawan, di antaranya Montgomery Watt, sejatinya telah merepresentasikan nilai-nilai yang kemudian diklaim melekat dalam konsep civil society. Adam Seligman (Azizi, 2000: 88-89) mengemukakan bahwa penggunaan istilah civil society dalam masyarakat Barat sejatinya memiliki dua level makna, yakni makna sosiologis, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan makna ideologis. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press), (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference.Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville the people can be trusted to rule themselves (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern.Jika kita pelajari lebih sekasama shahifah Madinah (Piagam Madinah), maka kita akan mendapati bahwa nilai-nilai fundamental yang dipakai oleh Nabi dalam membangun masyarakat Madinah sejatinya lebih maju dari konsep civil society. Nilai kesetaraan manusia, kebebasan individu, persaudaraan, keadilan, solidaritas sosial tercermin dalam kehidupan masyarakat Madinah secara lebih kokoh karena diletakkan di atas paradigma tauhid. Kenyataan inilah yang membedakan antara masyarakat Madinah dengan masyarakat Barat yang sebenarnya tetap disakriminatif dan rasialis. Sebabnya jelas, nilai-nilai HAM, kesetaraan, keadilan dan kebebasan yang inhern dalam konsep civil society dibangun di atas paradigma etika rasional yang antroposentris.Secara sosiologis, munculnya konsep masyarakat madani di Indonesia menemukan relevansinya pada masa-masa menjelang reformasi tahun 1998. Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan. Hegemoni politik pemerintah Orde baru yang berkepanjangan secara pelan namun pasti memunculkan respon sosial berupa institusi-institusi sosial independen yang menjadi kekuatan penyeimbang sekaligus pengontrol atas kebijakan pemerintah. Di dalam konsep Islam tentang masyarakat, konsep semacam ini dapat diambil dari firman Allah Swt.: [ /104]Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan hasil dari reinterpretasi ajaran Islam di satu sisi, dan merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas (Barat) dalam waktu yang sama. Reinterpretasi Islam terhadap perkembangan zaman bukan sesuatu yang tabu melainkan suatu keharusan dari hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik.Selain itu, sejarah dialektika hubungan Islam dan Barat sesungguhnya bersifat aktif, karena sebelumnya Barat telah melakukan studi perbandingan dengan peradaban Islam ketika akan merumuskan civil society. Pada waktu itu, Barat sedang dalam cengkeraman pemerintahan otoriter, dan menilai sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW adalah sangat baik. Pengaruh Islam dalam civil society sudah dijelaskan C.G. Weeramantry dan M. Hidayatullah dalam bukunya Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (1988). Menurutnya, pemikiran John Locke dan Rousseau tentang teori kedaulatan (sovereignty) mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke, ketika menjadi mahasiswa Oxford, sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, profesor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan, dan kebebasan individu.

Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis indeed there are many specific references to the Quran and to the Islamic law in the writing of Montesquieu (Azizi, 2000: 94).

3. Masyarakat Madani dan NegaraKonsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113).Kadang, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat sipil, terjemahan civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Hal tersebut diperkuat oleh latar belakang dimunculkannya civil society di Indonesia, sebagai lawan atas dominasi ABRI (nama waktu itu untuk tentara dan polisi di Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi fungsi, dimana ABRI memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepala pemerintahan dari pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI. Kebencian terhadap ABRI semakin dalam ketika mereka terkooptasi oleh rezim Soeharto untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap gaya pemerintahan yang feodal dan otoriter. Orang juga tahu kalau ABRI berada di belakang semua aksi teror dan penculikan terhadap para aktivis demokrasi (Hamim, 2000: 113).Para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum (Azizi, 2000: 87). Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi pergantian pemerintahan, karena penegakkan hukum masih lemah dan MPR/DPR mempunyai kekuasaan yang besar.Pada dasarnya, kaum Muslim di Indonesia boleh mengambil pelajaran dari keberhasilan bangsa Barat dalam membangun masyarakatnya, namun bukan mengekor. Perbedaan situasi dan kondisi serta terutama paradigma nilai yang menjadi pijakan tentu akan melahirkan perbedaan produk budaya antara masyarakat model dengan masyarakat yang menirukannya. Adalah mungkin kaum Muslim belajar dari pelaksanaan hukum di Barat, dan mengkoreksi posisi negara yang lemah vis--vis masyarakat. Islam mengembangkan prinsip keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dalam bidang hukum pun demikian, karena negara tidak boleh tunduk kepada keinginan masyarakat yang menyimpang dari akal sehat seperti menuruti suara mayoritas yang menghendaki diperbolehkannya minuman keras.

Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah posisi eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan dengan prinsip keseimbangan juga mengingkari sejarah masyarakat madani ciptaan Nabi Muhammad Saw. yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut terjadi karena lahirnya civil society bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled.

Dengan penjelasan di atas, Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan, konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu:

how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange, and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first, the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second, it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern liberalism.

Hegel dan Rousseau (Gamble, 1988: 56) memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangnya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama

4. Masyarakat Madani di IndonesiaMasyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).

Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.

Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.

Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan. Sebagian peneliti berpendapat bahwa munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan tradisionalis (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan modernis (Rumadi, 1999). Kesimpulan semacam ini muncul karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society. Lihat saja mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan dengan sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

Terlepas dari pendapat di atas, kaum modernis Islam yang terwakili dalam organisasi Muhammadiyah pada dasarnya juga telah merepresentasikan kekuatan civil society melalui amal usahanya yang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Di dalam AD/ART nya, Muhammadiyah menyebut pernyataan Q.S. ali Imron 104 sebagai ruh gerakannya. Peran Muhammadiyah sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol atas pemerintah juga tak terbantahkan saat Amin Rais sebagai representasi Muhammadiyah aktif mempelopori gerakan reformasi sejak dekade 90-an.Kedua realitas di atas sejatinya menunjukkan bahwa nilai-nilai ajaran Islam senantiasa dapat menjadi titik pijak bagi usaha-usaha mewujudkan masyarakat yang sejahtera, damai dan penuh ampunan Tuhan.

C. Konsep Islam Tentang PolitikPerkataan politik berasal dari bahasa Yunani politicos atau bahasa Latin politica. Dalam bahasa Perancis disebut politique. Asal katanya adalah dari akar kata polis yang berarti negera kota. Polis juga bererti kemajuan. Politik dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-Siyasaah yang merupakan masdar dari kosa kata saasa yasuusu yang berarti melatih, memimpin, memerintah atau mengurus. Menurut Ibn Manzur dalam Lisanul Arab,al-Suus berarti kempimpinan. Jika seseorang diangkat menjadi pemimpin maka bisa dikatakan sawwasuhu wa asasuhu. Ungkapan wasasa al-amr siyasah berarti seseorang mengatur urusan politik. Bila dikatakan: sawwasa fulanun amra bani fulan maka artinya adalah Si Fulan itu memberi mandat untuk mengetuai Bani Fulan. Dalam kamus al-Munjid, pengertian siyasah disebut sebagai mengedalikan urusan sebuah negara, memperbaiki keadaan dan urusan manusia, dan mengatur urusan sesebuah negeri.Menurut Al-Nasafi, siyasah ialah mengawal masyarakat dengan sesuatu yang membawa kepada kemaslahatan, baik dengan cara lemah lembut atau kekerasan. Sementara Ibn Aqil berpendapat bahwah siyasah adalah perbuatan yang dapat membawa manusia kepada kebaikan dan menjauhkan mereka dari kerusakan, sekalipun dengan perkara yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah.Menurut Abdul Wahab Khalaf, siyasah membawa arti mengatur urusan umat dalam negara Islam dengan sesuatu yang dapat melaksanakan kepentingan dan menolak bencana selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam syariat Islam.Meskipun terdapat beberapa perbedaan antara politik dan siyasah apabila dikaji lebih teliti dan mendalam seperti yang pernah dilakukan oleh para pemikir Islam, namun dalam konteks ini, penggunaan kedua istilah tersebut adalah berdasarkan pada penggunaan dan pemahaman umum, yaitu satu bidang yang membahas soal-soal yang berkaitan dengan pemimpin dan kepimpinan. Lebih tegasnya, yang dimaksud dengan kepimpinan adalah yang menyentuh secara langsung persoalan urusan kepimpinan umat dan negara.Ketika disebut politik sebagai bidang aktifitas manusia yang terkait dengan urusan umat atau masyarakat, maka mudah dipahami bahwa pembahasan tentang konsep politik Islam sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan pembahasan tentang masyarakat Islam. Jika konsep masyarakat madani menitikberatkan pada pembahasan tentang model masyarakat atau tatanan sosial ideal yang harus diwujudkan dalam kehidupan kaum Muslim, maka politik Islam sejatinya membicarakan tentang cara-cara khas yang diajarkan oleh Islam dalam mengelola masyarakat dan negara yang memenuhi kriteria masyarakat Islam.Setidaknya ada 3 pendapat Umat Islam dalam memandang kedudukan sistem politik dalam ajaran Islam: Islam adalah agama yang serba lengkap, sehingga juga memuat sistem ketatanegaraan, dan fiqih siyasah merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah dan Khulafa Rasyidin Islam tidak mengatur ketatanegaraan. Muhammmad adalah rasul yang tidak bertugas untuk mendirikan atau memimpin suatu negara. Dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi hanya terdapat seperangkat tata nilai, etika, dan prinsip-prinsip bagi kehidupan bernegaraDi dalam modul ini pendapat ketiga akan dijadikan kerangka pembahasan, tidak saja karena alasan moderasi (jalan tengah), tetapi juga karena alasan-alasan lain yang akan disampaikan dalam perkuliahan.Nilai-nilai Dasar Sistem Politik Dalam IslamDi dalam al-Quran, terdapat beberapa nilai dasar yang berkatan dengan persoalan politik:1. Kemestian mewujudkan kesetaraan antar warga negara serta persatuan dan kesatuan umat Setiap individu mempunyai kedudukan yang sama dari segi hak, kebebasan, tanggungjawab dan dalam persoalan-persoalan umum tanpa melihat warna kulit, suku, bahasa dan sebagainya. Firman Allah Swt.:Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat :13)Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku. (Q.S. 23:52)2. Kewajiban berlaku adilSetiap rakyat mempunyai hak kedudukan yang sama di mata hukum (equality before the law), dan tidak ada yang memiliki kekebalan hukum. Siapa yang melakukan kesalahan harus dihukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Firman Allah Swt.: (16) [/16 17]16. Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima Maka bantahan mereka itu sia-sia saja, di sisi Tuhan mereka. mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras.17. Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan). dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat ?Seruan al-Quran mengenai kewajiban berlaku adil bukan saja yang melibatkan kaum muslimin. Al-Quran juga menyeru supaya keadilan ditegakkan kepada semua manusia termasuk orang-orang bukan Islam, malah terhadap musuh. (Q.S. al-Maidah :8)3. Keharusan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah (Q.S. 42:38, 3:159)Sejak membangun pemerintahan politik di madinah, Nabi Muhammad kerapkali mendemonstrasikan praktik syuro atau musyawarah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berhubungan erat dengan kepentingan publik. Dalam catatan sejarah, beliau sebagai pemimpin tetap melibatkan anggota masyarakatnya dalam menyelesaikan urusan-urusan mereka seperti tentang strategi perang, perlakuan terhadap tawanan perang, cara memanggil kaum Muslim shalat berjamaah dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja sebagai implementasi langsung atas seruan Allah kepada kaum Muslim untuk melaksanakan prinsip syuro: [ /159]Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. [/38]Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.

.

4. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil Pemerintah pemegang amanah dan mempunyai tanggungjawab serta wajib bersikap adil dalam melaksanakan tugas pemerintahan tanpa mementingkan keperluan pribadi. Allah Swt. berfirman:Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. Al-Nisa :58)Sementara Rasulullah Saw. bersabda:Tidak seorang pun wali (pemimpin ) bagi kaum muslim yang meninggal dunia dalam keadaan dia menipu (mengkhianati) mereka, kecuali ia pasti tidak masuk syurga kerana Allah mengharamkannya. (Bukhari dan Muslim)

5. Keharusan menaati Allah, Rasul, dan Ulil Amri Dalam pandangan Islam, patuh dan taat kepada pemimpin dalam perkara yang baik dan tidak bertentangan dengan hukum Allah Swt adalah wajib. Firman Allah Swt.:Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. 4:59)

Sementara di dalam surah Al-Mumtahanah:Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Mumtanah 60:12)6. Amar Makruf dan Nahi MungkarWajib melakukan yang benar ,mempertahankan kebaikan ,mancegah kemungkaran dan menghukum kebatilan. Firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(al-Maidah:2)

Dan Firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(Surah Al-Nisaa 4:135)

Amar makruf nahi mungkar ini hendaklah berlaku secara timbal balik di antara pemerintah dengan rakyat. Firman Allah Swt.:Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.(Surah al-Taubah 9:112)Rasulullah Saw. berpesan kepada umatnya agar tidak memandang ringan terhadap tanggungjwab menegur dan membetulkan pemerintah apabila mereka menyimpangng dari hukum Allah.7. Keharusan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat (Q.S. 49:9) [/9]8. Keharusan mempertahankan kedaulatan negara dan larangan melakukan agresi dan invensi (Q.S. 2:190) [/190]9. Mementingkan perdamaian daripada permusuhan (Q.S. 8:61) [/61]10. Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan (Q.S. 8:60) [/60]11. Keharusan menepati janji (Q.S. 16:91) [/91]12. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa (Q.S. 49:13) [/13]13. Mengupayakan peredaran harta dalam seluruh lapisan masyarakat (Q.S. 59:7) [/7]

D. Konsep Islam Tentang Ilmu Pengetahuan Dan SainsSejak generasi awal Islam sampai sekarang, pandangan kaum Muslim tentang kedudukan ilmu dalam kehidupan mereka tetap sama, bahwa ilmu adalah kunci kesuksesan; ilmu adalah prasyarat mutlak bagi usaha-usaha meraih kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Al-Quran dan al-Sunnah dalam kedudukannya sebagai sumber utama ajaran Islam memang memberi landasan kuat terbentuknya kerangka berpikir yang menempatkan ilmu sebagai asas kehidupan umat Muslim dan asas peradaban Islam. Secara historis-sosiologis dapat dikemukakan bahwa kehadiran al-Quran sebagai mukjizat Nabi Muhammad Saw. melahirkan situasi yang berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada nabi-nabi sebelum beliau. Kendati pada nabi Musa as., Dawud as. dan Isa as. diturunkan kitab-kitab suci yang kelihatannya memilki kedudukan yang serupa dengan kitab suci al-Quran, yakni sebagai manifestasi kehendak Tuhan Allah yang harus dijadikan pedoman bagi umat manusia, namun di sana terdapat perbedaan yang cukup signifikan dan khas. Umat nabi-nabi sebelum Muhammad masih melihat kemukjizatan yang bersifat fisik (tongkat Musa as. yang berubah jadi ular dan dapat membelah laut, kehebatan Dawud as. dalam perang mengalahkan Jalut yang kuat, kesaktian Isa as. membangkitkan orang yang mati dst.) sebagai alasan terkuat keyakinan mereka kepada nabi-nabi Allah. Kitab suci baik Taurat, Zabur maupun Injil baru berfungsi sebagaimana mestinya sebagai aturan Tuhan Allah yang wajib ditaati manakala telah terbukti kebenaran risalah nabi-nabi mereka melalui kemukjizatan secara fisik. Nalar mereka baru tunduk manakala dihadapkan pada peristiwa-peristiwa fisik yang diluar jangkauan pengetahuan mereka.Hal ini tentu berbeda sekali dengan yang dialami oleh nabi Muhammad saw. Kepada beliau diturunkan al-Quran sebagai pedoman hidup kaum Muslim. Dan melalui al-Quran pula kebenaran risalah beliau ditegakkan. Al-Quran adalah kitab suci sekaligus inheren di dalamnya mukjizat nabi Muhammad saw. Sejak pertama diturunkan, al-Quran menghadirkan tantangan bagi nalar masyarakat Arab jahiliyyah pada waktu itu. Al-Quran (sebagai representasi kehendak Allah) menantang mereka untuk menggubah baik syair ataupun karya prosa yang keindahannya melebihi atau bahkan sekedar menyamai keindahan susunan bahasanya. Al-Quran juga menggugah kesadaran dan emosi mereka untuk bisa menghadirkan infromasi-informasi sejarah, argumentasi-argumentasi menyangkut masalah keyakinan, kemasyarakatan, nilai-nilai, dan lain sebagainya, yang lebih dapat diterima oleh nalar manusia daripada penjelasan-penjelasan al-Quran. Kemukjizatan al-Quran ini tidak saja menunjukkan kebenaran risalah Nabi Muhammad Saw., tetapi juga mendorong manusia untuk mengeksplorasi potensi nalar sebagai kekuatan utama manusia. Di dalam al-Quran, ungkapan afala ta'qilun (Maka tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?) terulang dalam al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qilun (agar kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin ya'qilun (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8 kali; belum lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluna biha, ya'qiluha, takunu ta'qilun, dsb. Dengan demikian, ajaran Islam menempatkan ilmu pengetahuan dalam kedudukan yang sangat terhormat dan khas.

1. Keutamaan Orang yang BerilmuPenghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi karena sesungguhnya hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek.Pertama, turunnya wahyu pertama ( al-Alaq : 1-5), ayat yang dimulai dengan perintah untuk membaca. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya aktivitas membaca bagi kehidupan manusia terutama dalam menangkap hakikat dirinya dan lingkungan alam sekitarnya. Membaca dalam arti luas adalah kerja jiwa dalam menangkap dan menghayati berbagai fenomena di dalam dan di sekitar diri hingga terpahami betul makna dan hakikatnya.Kedua, banyaknya ayat Al-quran yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, pikiran dan pemahaman (Al-Baqarah 2 : 44, Yaa siin 36 : 68, Al-Anaam 6 : 50). Ini menandakan bahwa manusia yang tidak memfungsikan kemampuan terbesar pada dirinya itu adalah manusia yang tidak berharga.Ketiga, Allah memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah dari itu (al-Araf 7 : 179).Keempat, Allah memandang lebih tinggi derajat orang yang berilmu dibandingkan orang-orang yang bodoh (Az-Zumar 39 : 9).

2. Pengertian Ilmu Pengetahuan dan TeknologiSecara sederhana pengetahuan dapat dimaknai dengan pemahaman subyek terhadap obyek. Sementara ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (International Websters Dictionary dalam Modul Acuan Proses Pembelajaran MPK, 2003). Istilah ilmu kadangkala dipadankan pula dengan istilah sains, yang biasa diartikan sebagai pengetahuan tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya adalah botani, fisika, kimia, geologi dan biologi. Bisa juga dikatakan sains adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari observasi penelitian dan uji coba yang mengarah pada penemuan sifat dasar atau prinsip sesuatau yang diteliti. Dengan demikian pengetahuan memiliki arti yang lebih umum, sementara ilmu lebih spesifik.Secara etimologis, kata ilm (ilmu) dalam bahasa Arab berarti kejelasan. Karena itu segala kosakata yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan (Quraish Shihab, 1996). Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran Islam, sains tidak bebas nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal. Sedangkan teknologi merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia, tetapi juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia yang berakibat kehancuran alam semesta. Sebagian intelektual Islam dewasa ini berusaha membuat elaborasi yang menarik dan berlawanan dengan pendapat umum, bahwa sebagai produk budaya, teknologi tidaklah bersifat netral. Artinya, pernyataan bahwa teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya atau juga bisa digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri patut dipertanyakan ulang. Kesimpulan tersebut sesungguhnya muncul karena adanya perbedaan yang tajam antara perspektif Islam tentang sains dengan perspektif Barat. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan akal manusia serta mengakui ilmu pengetahuan termasuk sains adalah berasal dari Tuhan. Sementara konsep dan identitas sains Barat seperti yang disinyalir oleh intelektual Muslim seperti Nasr, Sardar dan Naquib al-Attas, bersifat sekular, tidak dibimbing oleh kehidupan nilai moral dan bahkan dikuasai oleh materialisme dan arogansi. Sehingga dampaknya jelas, seluruh cabang ilmu dan aplikasinya terkontamitnasi oleh borok yang sama.Indikasi dari pernyataan ini jelas, bahwa sains Barat itu sudah tidak netral dan tentu berbeda dengan sains Islam. Terbukti sains Barat tidak memberi tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan. Realitas Tuhan tidak menjadi pertimbangan lagi dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riil. Akibatnya, agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi kemudian dimarginalkan.Secara lebih luas, perbedaan keduanya jika ditelusuri dari pandangan hidup (world view). Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep fundamental tentang Tuhan, ilmu, manusia dan alam, etika dan agama yang tentu saja berbeda-beda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situsasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya sains Barat modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup Islam.Dalam Islam pengetahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan akal saja, tapi juga wahyu, instuisi dan pengalaman. Tapi dalam sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari pada wahyu. Sehingga sains tidak berhubungan harmonis dengan agama bahkan meninggalkan agama.Sementara tentang teknologi ada yang memahami bahwa ia adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan dan kenyamanan manusia. Dengan demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan bukanlah teknologi, tetapi merupakan hasil dari teknologi.Meskipun sains dan teknologi benar telah membawa dampak positif berupa kemajuan, kemudahan hidup dan kesejahteraan bagi manusia, namun kenyataan yang juga tidak boleh diabaikan adalah munculnya berbagai problem besar seperti kerusakan alam, alienasi individual, senjata pembunuh massal, gaya hidup yang merusak dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan iptek sekurang-kurangnya harus senantiasa berada dalam jalur nial-nilai keimanan dan kemanusiaan.Menurut pandangan hidup Islam, terdapat dua obyek utama dari ilmu, yakni al-Quran dan alam semesta. Dalam sebuah riwayat dari Ibn Masud ra. Disebutkan: Sesungguhnya Kitab Suci Al-Quran ini adalah jamuan Allah di bumi, maka belajarlah dengan sepenuhnya dari Jamuan-NyaMaka kitab suci Al-Quran adalah undangan Allah ke suatu jamuan spiritual di bumi dan kita di nasihati untuk ikut mengambil bagian dengan cara mengambil ilmu sejati darinya. Pada akhirnya ilmu yang benar itu adalah mengecap rasanya yang sejati, dan itulah sebabnya dapat dikatakan, dengan merujuk kepada unsur-unsur utama ilmu jenis pertama, bahwa manusia menerima ilmu dan kebijaksanaan spiritual dari Allah melalui ilham secara langsung. Pengalaman tersebut hampir secara serentak menyingkapkan realitas dan kebenaran sesuatu kepada penglihatan spiritualnya.Selain kitab suci al-Quran. alam semesta juga merupakan obyek utama ilmu. Alam adalah great book, kitab ciptaan Tuhan, dan karenanya alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandangan hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam sebagai obyek utama sains. Cara pandang Islam yang di refleksikan oleh pandangan hidup Islam dapat di lacak dari peristilahan yang di gunakan dalam Alquran dan hadits. Istilah ilmu (ilm), ilmuwan (al alim), dan alam (al alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama dengan moralitas manusia. Ini menunjukan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. Kaitan antara ilmu, ilmuwan, dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya mempunyai indikasi-indikasi kuat. Korelasi ketiganya bagi orang yang mau berpikir akan menunjukan tuhan adalah penciptanya. Integralitas seperti yang digambarkan di atas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat muslim dann itu adalah sebagian dari world view Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam.Pandangan para ilmuwan, yang dalam hal ini adalah ilmuwan muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan al-Quran yang dijelaskan oleh Nabi Saw. Bagaimana Nabi Saw. mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam al Quran dapat ditelusuri terutama sejak Nabi hijrah ke Madinah. Nabi membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa selanjutnya.As-Shuffah adalah universitas pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi. Di Madinah mahasisiwanya: disebut Ashab as-Shuffah atau Ahl as-Shuffah. Di dalamnya mereka menulis, membaca, belajar hukum-hukum Islam dan mempraktekan kandungan al quran dan ilmu-ilmu lainya. Ubaidah Ibn al-Samith seperti disebut dalam Sunan Abu Daud ditunjuk oleh Nabi sebagai pengajar di Madrasah as-Shuffah untuk belajar menulis dan ilmu al-Quran.Aktifitas ilmiah dalam rangka memahami al-Quran yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan. Hingga ada mata rantai yang menghubungkan generasi ke generasi selanjutnya.Dengan paparan di atas, identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi baik secara historis, teoristis, ataupun prospektif.

3. Sumber Ilmu PengetahuanDalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan Ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired knowledge), serta tingkat kebenarannya nisbi (relative). Karena itu, tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk dilakukan kajian ulang atau perbaikan kembali.al-Quran menganggap anfus (ego) dan afak (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas karena ditimbang dari berbagai sisi pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan pengembaraan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya yang atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi. Sedangkan al-Quran membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan sejarah. 4. Batasan Iptek dalam IslamIptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh masyarakat Islam manakala bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil iptek akan melalaikan seseorang dari dzikir dan tafakkur, serta mengantarkan pada rusaknya nilai-nilai kemanusiaan, maka bukan hasil teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya yang harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan teknologi.Adapun tentang seni, dalam teori ekspresi disebutkan bahwa Art is an expression of human feeling adalah suatu pengungkapan perasaan manusia. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang dan hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dan budaya manusia. Seni identik dengan keindahan, keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran, dan keduanya memiliki nilai yang sama, yaitu keabadian. Dan seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu, bukan akal budi.Islam sebagai agama yang mengandung ajaran aqidah, akhlak dan syariah, senantiasa mengukur segala sesuatu (benda-benda, karya seni, aktivitas) dengan pertimbangan-pertimbangan ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya, seni yang bertentangan atau merusak akidah, syariat, dan akhlak tidak akan diakui sebagai sesuatu yang bernilai seni. Dengan demikian, semboyan seni untuk seni tidak dapat diterima dalam Islam.Dalam prespektif Islam, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni, merupakan pengembangan potensi manusia yang telah diberikan oleh Allah berupa akal dan budi. Prestasi gemilang dalam pengembangan iptek, pada hakikatnya tidak lebih dan sekedar menemukan bagaimana proses sunnatullah itu terjadi di alam semesta ini, bukan merancang atau menciptakan hukum baru di luar sunnatullah (hukum alam hukum Allah).Seharusnya temuan-temuan baru di bidang iptek membuat manusia semakin mendekatkan diri pada Allah, bukan semakin angkuh dan menyombongkan diri.Sumber pengembangan iptek dalam Islam adalah wahyu Allah. Iptek yang Islami selalu mengutamakan dan mengedepankan kepentingan orang banyak dan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Untuk itu iptek dalam pandangan Islam tidak bebas nilai.

5. Integrasi Iman, Ipteks dan Amal Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga inti ajaran itu terintegrasi di dalam sebuah sistem ajaran yang disubut Dienul Islam.Dalam Al-Quran surat Ibrahim: 24-25, Allah telah memberikan ilustrasi indah tentang integrasi antara iman, ilmu dan amal. Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu, dan amal atau akidah, syariah dan akhlak dengan menganalogkan bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Iman diidentikan dengan akar sebuah pohon yang menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, sedangkan amal ibarat buah dan pohon identik dengan teknologi dan seni.Iptek yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal saleh. Selanjutnya perbuatan baik, tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan baik tersebut tidak dibangun di atas nilai iman dan ilmu yang benar. Iptek yang lepas dan keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia.6. Hakikat dan Tujuan Ilmu Menurut Pandangan IslamTelah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang di bawa oleh peradaban Barat saat ini. Seorang pemikir Islam abad ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas berani mengatakan bahwa tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam di zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kejahilan, tetapi ilmu yang difahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat.Hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia bahkan ilmu yang terkesan nyata justru menghasilkan kekeliruan. Ilmu yang di sajikan dan disampaikan dengan topeng dilebur secara halus bersama-sama dengan ilmu yang benar sehingga orang lain tanpa sadar menganggap secara keseluruhannya merupakan ilmu yang sebenarnya. Watak, kepribadian, esensi, dan ruh peradaban Barat seperti apakah yang telah mengubah dirinya sendiri serta dunia ini dan membawa semua yang menerima tafsiran ilmu itu ke dalam suatu kekacauan yang menuju kepada kehancuran ?Peradaban Barat yang Al-Attas maksudkan adalah peradaban yang berkembang dari pencampuran historis berbagai kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno, penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen dan perkembangan serta pembentukan lebih jauh yang dilakukan oleh orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik. Dari Yunani kuno diserap unsur-unsur filosofis, epistemologis, dasar-dasar pendidikan, etika, dan estetika. Dari Romawi diserap unsur- unsur hukum, ketatanegaraan, dan pemerintahan. Dari ajaran Yahudi dan Kristen diserap unsur-unsur keyakinan beragama. Dan dari orang-orang Latin, Germanik, Celtik, dan Nordik kemerdekaan, semangat kebangsaan dan nilai-nilai tradisi mereka, serta pengembangan ilmu sains (fisika) dan teknologi.Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah mendorong peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberikan banyak sumbangan yang penting kepada peradaban Barat di dalam bidang ilmu dan di dalam menanamkan semangat rasional dan sains. Tetapi ilmu serta semangat rasional dan sains itu telah di susun kembali dan ditata ulang untuk di sesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat, sehingga melebur dan menyatu dengan unsur-unsur yang lain yang membentuk watak serta kepribadian peradaban Barat.7. Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam LingkungannyaAda dua fungsi utama manusia di dunia, yaitu sebagai Abdullah (hamba Allah) dan sebagai Khalifah Allah (wakil Allah) di bumi. Esensi dari Abdullah adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi dari Khalifah adalah tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.Dalam konteks Abdun, manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah yang memiliki konsekwensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta dirinya akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang pencipta kepadanya. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan manusia menghamba kepada selain Allah, termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada sesama manusia termasuk kepada dirinya.Fungsi kedua adalah sebagai Khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Dalam posisi ini manusia mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya tempat mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksploitasi, menggali sumber-sumber alam, serta memanfaatkannya dengan sebesar-besarnya untuk kemanfaatan umat manusia, asalkan tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas. Karena pada dasarnya, alam beserta isinya ini diciptakan oleh Allah untuk kehidupan dan kemaslahatan manusia.Untuk menggali potensi alam dan pemanfaatannya diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup (para ilmuwan atau para cendekiawan) yang sanggup menggali dan memberdayakan sumber-sumber alam ini. Akan tetapi, para ilmuwan juga harus sadar bahwa potensi sumber daya alam ini terbatas dan akan habis terkuras apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh karena itu, tanggung jawab memakmurkan, melestarikan, memberdayakan dan menjaga keseimbangan alam semesta banyak bertumpu pada para ilmuwan dan cendekiawan. Mereka mempunyai amanat atau tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan.Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah tangan manusia sendiri (Qs. Ar Rum : 41). Mereka banyak yang menghianati perjanjiannya sendiri kepada Allah. Mereka tidak menjaga amanat sebagai khalifah yang bertugas untuk menjaga, melestarikan alam ini. Justru mengeksploitsi alam ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.Kedua tugas dan fungsi manusia tersebut tidak boleh terpisah, artinya keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang seharusnya diaktualisasikan dalam kehidupan manusia. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara terpadu, akan dapat mewujudkan manusia yang ideal (insan kamil) yakni manusia sempurna yang pada akhirnya akan memperoleh keselamatan hidup dunia dan akhirat.

8. RangkumanPara sarjana muslim berpandangan bahwa yang disebut ilmu itu tidak hanya terbatas pada pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science) saja, melainkan ilmu oleh Allah dirumuskan dalam lauhil mahfudz yang disampaikan kepada kita melalui Alquran dan As-Sunnah. Ilmu Allah itu melingkupi ilmu manusia tentang alam semesta dan manusia sendiri. Jadi bila diikuti jalan pikiran ini, maka dapatlah kita pahami, bahwa Alquran itu merupakan sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan manusia (knowledge and science).Menuntut ilmu pengetahuan adalah suatu perintah (amar) sehingga dapat dikatakan suatu kewajiban. Harus kita sadari bahwa agama adalah merupakan pedoman bagi kebahagiaan dunia akhirat, sehingga ilmu yang tersimpul dalam agama tidak semata ilmu yang menjurus kepada urusan ukhrawi, tetapi juga ilmu yang mengarah kepada duniawi.Manusia dituntut untuk menuntut ilmu, dan hukumnya wajib. Jika tidak menuntut ilmu berdosa. Selain hukum tersebut menuntut ilmu bermanfaat untuk mencapai kecerdasan atau disebut ulama (orang yang memiliki ilmu). Namun di balik itu, orang yang memiliki ilmu (ilmuwan) akan berdosa jika ilmunya tidak diamalkan.Dalam kaitannya dengan orang yang beriman harus didasarkan pada pengetahuan (al-ilm) dan direalisasikan dalam karya nyata yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia dan akhirat, tentunya amal yang dibenarkan oleh ajaran agama (amal saleh).Seni adalah keindahan yang merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia atau fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Tanggung jawab ilmuwan dan seniman meliputi: (1) nilai ibadah, (2) berdasarkan kebenaran ilmiah, (3) ilmu amaliah, dan (4) menyebar-luaskan ilmunya.

Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. (Jamaluddin al-Afgani)Dilatar belakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat dengan globalisasinya, westernisasi dan berbagai ideologinya tersebar ke seluruh dunia, termasuk Islam. Komunitas muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Begitu mengakarnya di setiap sendi kehidupan berakibat pada terjadinya pengkaburan paradigma, cara pandang terhadap sains Islam. Sehingga banyak di antara kita yang sulit untuk mengidentifikasi, sinis, bahkan takut terhadap identitas kita sendiri. Tidak sedikit cendekiawan muslim yang canggung terhadap sifat Islam terutama pada ilmu sosiologi, fisika, psikologi, politik, dan ilmu ekonomi.Padahal ketika seseorang menyebut sains modern atau sains Barat, tanpa disadari telah meletakkan identitas itu, yaitu sains yang diproduksi oleh ideologi dan pandangan-pandangan dari Barat. Dampak dari hilangnya identitas itu dapat diamati dari berbagai pernyataan cendekiawan muslim. Jamaluddin al Afghani seorang tokoh pembaharu misalnya mengatakan, Barang siapa melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya.Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan bahkan tidak ada ketidaksesuaian dengan ilmu pengetahuan dasar-dasar agama. Sebagaimana yang disinyalir oleh al Afgani di atas.

E. Perkembangan Pemikiran Islam KontemporerAmong the currents and tendencies presently operating in the Muslim world, the fundamentalist, the modernist, and the traditionalist can be considered as the three most important and influential. Despite this, only the firstand, in smaller measure,the secondreceive attention from our newspapers and television stations, media that undoubtedly forge the souls of the majority of our contemporaries. (Mateus Soares De Azevedo, Men Of Single Book: Fundamentalism In Islam, Christianity And Modern Thought)Perkembangan pemikiran dan gerakan Islam pada masa kontemporer telah mencapai titik kulminasinya, sehingga banyak timbul bukan saja perbedaan dan perpecahan, tapi juga konflik antar umat islam yang sejatinya merugikan umat Islam sendiri. Karena itu penting memahami peta perkembangan pemikiran dan gerakan itu untuk kemudian dapat mengambil langkah-langkah bijak untuk kebaikan bersama seluruh umat Islam.Taksonomi Orientasi Gerakan IslamBerkembangnya beragam varian atau manifestasi keagamaan Islam, terutama gerakan dan pemikiran keislaman, mendorong beberapa sarjana membuat tipologi, klasifikasi, atau taksonomi (taxonomy). Dalam Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, Nazih Ayubi membuat taksonomi orientasi gerakan Islam: reformisme atau modernisme Islam, salafisme, fundamentalisme, neo-fundamentalisme, Islamisme, dan Islam politik (political Islam).Menurut Ayubi, reformisme Islam atau modernisme Islam (diwakili antara lain oleh al-Afghani dan Abduh) berpandangan bahwa Islam adalah sistem keyakinan yang sempurna tetapi cukup fleksibel untuk mengakomodasi perkembangan modern (modernitas). Sementara itu, salafisme menekankan kepada sumber Islam yang otentik (al-Quran, Sunnah Nabi dan tradisi pasa generasi Muslim awal, salaf). Salafisme cenderung skripturalis dan tradisionalis, seperti direpresentasikan oleh Wahhabiyah, Sanusiyyah, Mahdiyyah, dan ajaran-ajaran yang bersumber dari dari Rashid Rida dan tokoh al-Ikhwan al-Muslimun awal, seperti Hasan al-Banna. Kaum salafi cenderung kepada dogmatisme doktrinal, meskipun kadangkala secara politik fleksibel. Sedangkan fundamentalisme, hampir sama dengan salafisme, menekankan kepada sumber asli Islam (al-Quran dan al-Sunnah), tetapi kurang simpatik terhadap fiqh. Fundamentalisme memegangi pandang