15
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Pada Anak Posted on 21 September 2012 by dr. Silahuddin ISPA terdiri dari infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran nafas atas terdiri dari: Rhinitis (common cold), sinusitis, pharingitis, epiglotitis, laringitis dan otitis media. Sedangkan infeksi saluran napas bawah terdiri dari: bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia. Manifestinya tidak hanya terbatas pada organ pernafasan tapi bisa berefek secara sistemik oleh karena potensi perkembangan infeksi atau toxin bakteri, peradangan dan berkurangnya fungsi paru. Kecuali selama masa perinatal, ISPA paling sering menyebabkan kesakitan dan kematian pada anak di bawah usia 5 tahun. Meskipun perawatan secara medis dapat meredakan keparahan dan fatalitas sampai taraf tertentu, dalam banyak kejadian, infeksi saluran pernapasan bawah tidak berrespon terhadap pengobatan. Sebagian besar oleh karena ketiadaan obat anti virus yang punya efektifitas tinggi. Bahkan, WHO memperkirakan bahwa 2 juta anak yang berusia di bawah 5 tahun meninggal karena pneumonia tiap tahunnya (Bryce and others 2005). Infeksi Saluran Napas Atas Merupakan penyakit infeksi yang paling umum. Sebagian besar penyebabnya adalah virus. Rhinovirus 25 – 30%, respiratory syncytial virus (RSVs), parainfluenza dan influenza virus, human metapneumo virus dan adeno virus 25 – 35%. Corona virus 10% dan sisanya virus yang belum teridentifikasi. Karena sebagian besar infeksi saluran nafas atas ini adalah bisa sembuh sendiri, maka penanganan komplikasi akan menjadi lebih penting dari pada infeksi itu sendiri. Infeksi virus akut dapat memberi kecenderungan terhadap anak untuk terjadinya infeksi bakteri pada sinus dan telinga tengah. Tertelannya sekret dan sel yang terinfeksi dapat menyebabkan terjading infeksi saluran napas bawah.

Ispa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ispa

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Pada   Anak

Posted on 21 September 2012 by dr. Silahuddin

ISPA terdiri dari infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran nafas atas terdiri dari: Rhinitis (common cold), sinusitis, pharingitis, epiglotitis, laringitis dan otitis media. Sedangkan infeksi saluran napas bawah terdiri dari: bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia. Manifestinya tidak hanya terbatas pada organ pernafasan tapi bisa berefek secara sistemik oleh karena potensi perkembangan infeksi atau toxin bakteri, peradangan dan berkurangnya fungsi paru.

Kecuali selama masa perinatal, ISPA paling sering menyebabkan kesakitan dan kematian pada anak di bawah usia 5 tahun. Meskipun perawatan secara medis dapat meredakan keparahan dan fatalitas sampai taraf tertentu,  dalam banyak kejadian, infeksi saluran pernapasan bawah tidak berrespon terhadap pengobatan. Sebagian besar oleh karena ketiadaan obat anti virus yang punya efektifitas tinggi. Bahkan, WHO memperkirakan bahwa 2 juta anak yang berusia di bawah 5 tahun meninggal karena pneumonia tiap tahunnya (Bryce and others 2005).

 Infeksi  Saluran Napas Atas

Merupakan penyakit infeksi yang paling umum. Sebagian besar penyebabnya adalah virus. Rhinovirus 25 – 30%, respiratory syncytial virus (RSVs), parainfluenza dan influenza virus, human metapneumo virus dan adeno virus 25 – 35%. Corona virus 10% dan sisanya virus yang belum teridentifikasi. Karena sebagian besar infeksi saluran nafas atas ini adalah bisa sembuh sendiri, maka penanganan komplikasi akan menjadi lebih penting dari pada infeksi itu sendiri. Infeksi virus akut dapat memberi kecenderungan terhadap anak untuk terjadinya infeksi bakteri pada sinus dan telinga tengah. Tertelannya sekret dan sel yang terinfeksi dapat menyebabkan terjading infeksi saluran napas bawah.

Faringitis Akut

70 persen pharingitis akut disebabkan oleh virus pada anak usia muda. Infeksi streptokokus jarang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun, tapi lebih sering pada yang lebih 5 tahun. Gejala khasnya adalah kemerahan dan pembengkakan yang ringan pada faring serta pembesaran tonsil.

Seringkali disertai dengan rhinitis, tonsilitis ataupun laringitis.

Di negara dengan kondisi kehidupan dan populasi yang padat, yang mempunyai predisposisi genetik, gejala sisa setelah infeksi streptokokus seperti demam reumatik akut dan karditis adalah umum terjadi pada anak pra dan usia sekolah.

Otitis Media Akut

Page 2: Ispa

Otitis media akut terjadi hingga 30 % pada infeksi saluran nafas akut. Di negara berkembang yang pelayanan medisnya tidak adekuat, penyakit ini mugkin yang berperan terjadinya perforasi kendang telinga atau ketulian.

Infeksi telinga yang berulang dapat menyebabkan mastoiditis yang pada gilirannya dapat menyebarkan infeksi ke meningen (selaput otak).

Otitis media ini disebabkan oleh terbuntunya saluran tuba eustachius oleh karena rinitis dan bisa juga karena alergi. Gejalanya ditandai dengan adanya peradangan lokal, otorrhea, otalgia, demam dan bisa juga malaise.

Oleh karena akumulasi mukus dan cairan sebagai akibat dari odema pada tuba eustachius, bakteri dapat menginfeksi pula. Yang paling sering menyerang anak-anak adalah bakteri streptokokus pneumoniae, haemophilus influenzae, dan moraxella catharralis.

Sinusitis

Sinusitis adalah infeksi pada mukosa rongga sinus paranasal. Dengan gejala hidung tersumbat, sekret dari hidung yang kental jernih atau berwarna, berbau, nyeri  tekan pada daerah wajah atau pipi, bisa disertai batuk, demam tinggi, nyeri kepala dan malaise.

Terjadinya bisa akut yang berlangsung kurang dari 30 hari, sub akut yang berlangsung antara 30 hari  sampai dengan 6 minggu, dan  kronis jika berlangsung lebih dari 6 minggu.

Penyebab bisa oleh karena bakteri, virus atau penyebab yang lain, seperti: polip, alergi, infeksi gigi serta tumor.

Bakteri penyebab yang paling sering adalah streptokokus pneumoniae, haemophilus  influenzae, dan moraxella catharralis. Ditularkan lewat kontak langsung dengan penderita melalui udara. Dan seharusnya dapat dicegah dengan pemakaian masker serta cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita.

 

Infeksi  Saluran Napas Bawah

Infeksi saluran napas bawah yang paling sering terjadi adalah pneumonia dan bronchiolitis. Frekuensi napas adalah tanda klinis yang bernilai pada anak dengan batuk dan napas yang cepat. Adanya tarikan kedalam dari dada bawah menunjukkan adanya penyakit yang berat.

Page 3: Ispa

Penyebab paling sering adalah respiratory syncytial virus (RSVs) yang berifat cenderung sangat musiman, berbeda dengan parainfluenza virus (penyebab yang paling umum untuk waktu yang akan datang).

Pneumonia

Penyebabnya bisa virus dan bakteri. Pneumonia bakteri disebabkan oleh streptococcus pneumoniae (pneumococcus) atau haemophilus influenzae sebagian besar tipe b (Hib) dan kadang staphylococcus aureus atau streptococcus yang lain. Sedangkan patogen yang lain seperti mycoplasma pneumoniae dan clamydia pneumoniae menyebabkan pneumonia atipik.

Pemeriksaan baku sebagai gold standar untuk mengetahui pneumonia bakteri adalah dengan kultur bakteri dari aspirasi paru. Sedangkan kultur faring tidak sensitive.

Perbaikan kondisi secara klinis dan radiologis dari pneumonia dalam sebuah uji klinis dengan vaksin konjugasi pneumokokus 9 valent, mengestimasikan tentang problematika penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Sebuah studi di Gambia menunjukkan bahwa 37 % kasus pneumonia radiologis dapat dicegah dan dapat mengurangi angka kematian sampai 16%.

Kolonisasi dari organisme yang berpotensi patogen dari saluran napas atas serta aspirasi dari sekret yang terkontaminasi telah dapat menyimpulkan bagaimana patogenesis pneumonia bakteri pada anak-anak. Infeksi saluran napas atas oleh virus influenza atau RCVs dapat menyebabkan peningkatan kemampuan lapisan sel nasofaring untuk mengikat H. Influenzae dan S. Pneumoniae. Hal ini mungkin bisa menjelaskan tentang kenaikan angka pneumonia pneumokokus yang beriringan  dengan kejadian epidemi  influenza dan RCV.

Di negara berkembang, pada bayi dan anak yang dirawat di rumah sakit oleh karena pneumonia, 40 – 50%  penyebabnya adalah virus. Membedakan secara radiologis antara pneumonia virus dan bakteri adalah sulit. Satu sisi, memang ada kemiripan. Sisi yang lain, setiap infeksi virus influenza, RCVs, dan measles, sering terjadi superinfeksi oleh bakteri.

Bronkiolitis

Adalah terjadinya obstruksi karena peradangan pada saluran napas kecil yang bisa menyebabkan hiperventilasi paru dan kolapnya sebagian segmen. Bronkiolitis sebagian besar terjadi pada tahun pertama kehidupan. Menurun pada tahun kedua dan ketiga. Gambaran klinis nya adalah adanya pernafasan cepat, tarikan dada bawah dan wheezing. Oleh karena tampilan klinis sama dengan karekteristik pneumonia, maka membedakannya menjadi sulit. Dua hal yang dapat membantu adalah identifikasi berlangsungnya musim RCVs di lingkungan sekitar dan

Page 4: Ispa

keahlian dalam menentukan adanya wheezing. RCVs adalah penyebab utama bronkiolitis di seluruh dunia, hampir 70-80% jika pada high season. Penyebab lainnya bisa human metapneumovirus (gejala hampir sama dengan RCVs), dan virus parainfluenza tipe 3 serta virus influenza.

Intervensi

Intervensi  untuk mengendalikan ISPA terbagi menjadi 4 dasar:

Vaksinasi terhadap patogen khusus, diagnosa dan pengobatan dini terhadap penyakit, Perbaikan nutrisi serta lingkungan yang lebih aman.

Vaksinasi

Penggunaan secara luas vaksinasi terhadap diphteri, campak, pertussis, Hib, pneumokokus, dan influenza telah terbukti mempunyai potensi secara substansial mengurangi insiden ISPA di negara-negara berkembang.

Vaksin Hib

Akhir-akhir ini telah tersedia vaksin konjugasi 3 Hib yang digunakan untuk bayi dan anak-anak. Efikasi vaksin ini dalam upaya pencegahan penyakit invasif (utamanya meningitis, tapi bisa juga pneumonia) telah terdokumentasikan dengan baik di negara-negara industri. Semua study menggambarkan tentang efikasi protektif terhadap penyakit invasif yang terkonfirmasi laboratorium tanpa tergantung dengan pilihan vaksinnya. Konsekuensinya, negara-negara industri telah memasukkan vaksin Hib ini dalam program imunisasai nasional mereka.

Vaksin Pneumokokus

Sekarang ini telah tersedia 2 macam vaksin pneumokokus yakni vaksin polisakarida 23 valent yang lebih cocok untuk dewasa dari pada anak dan vaksin polisakarida protein konjugasi 7 valent. Walaupun beberapa penelitian di negara industri masih menunjukkan hasil yang kontroversi. Efikasi vaksin ini lebih bernilai terhadap anak yang lebih dari 2 tahun dari pada yang kurang.

Para peneliti menyimpulkan berdasarkan penelitian yang mengevaluasi efikasi vaksin polisakarida ini pada anak-anak, bahwa vaksin ini mempunyai pengaruh terhadap pneumonia berat.

Vaksin ini juga mungkin berguna untuk kasus infeksi telinga di negara-negara berkembang yang seringkali dijumpai kasus otitis media kronis dan tuli konduksi.

Menejemen Kasus

Page 5: Ispa

            Penyederhanaan dan sistematisasi menejemen kasus untuk diagnosa dan pengobatan dini ISPA telah memungkinkan adanya penurunan kasus kematian di negara-negara berkembang di mana terdapat keterbatasan akses ke dokter spesialis anak.

Panduan klinis WHO untuk menejemen kasus ISPA memakai 2 tanda :

-          Pernapasan cepat

-          Tarikan dinding dada bawah

Pernapasan cepat – sama dengan atau lebih dari 50 x permenit untuk bayi usia 2 – 11 bulan, sama dengan atau lebih dari 40 x permenit untuk anak usia 1-5 tahun – membedakan pneumonia dengan yang bukan pneumonia. Tarikan dinding dada bawah ketika inspirasi, membedakan pneumonia berat yang mengharuskan untuk dirujuk ke rumah sakit dengan yang tidak.

Tanpa adanya dua tanda tersebut, dianggap hanya ISPA biasa. Adanya pernafasan cepat saja, hanya membutuhkan perawatan pneumonia rawat jalan dengan antibiotika.

Pemilihan antibiotika berdasarkan hasil temuan kuat bahwa kebanyakan penyebab pneumonia bakteri pada anak-anak adalah  S. Pneumoniae atau H. Influenza. Berdasarkan adanya data-data resistensi terhadap penicillin dan cotrimoxazole, Amoxicillin dengan dosis lebih besar dari pemberian sebelumnya, menjadi pilihan yang paling baik dibanding penicillin dan cotrimoxazole untuk kasus bukan pneumonia berat.

Untuk pneumonia berat, direkomendasikan oleh WHO untuk menggunakan chloramphenicol succinate intra muskular ½ dosis harian sebelum merujuk pasien. Hal ini berdasarkan pertimbangan kedaruratan, efek samping anemia aplastik yang sangat jarang pada pemberian chloramphenicol pada anak-anak dan tidak adanya bukti bahwa intra muskular chloramphenicol succinat lebih berbahaya dari preparat dan rute pemberian yang lain dan karena efikasinya telah diterima secara luas secara klinis. Pemberian oksigen pada pasien pneumonia berat sangatlah dibutuhkan bagi mereka yang hipoxemia. Karena bila terjadi hipoxemia, kemungkinan akan meningkatkan resiko kematian 1,2 – 4,6 kali. Jika persediaan oksigen cukup, setiap kasus pneumonia berat, direkomendasikan pemberian oksigen 0.5 liter permenit bagi usia kurang dari 2 bulan, 1 liter pemenit bagi yang diatas 2 bulan. Tapi jika persediaan terbatas, oksigen diberikan pada yang mengalami tachipnea lebih dari 70 x permenit atau dengan retraksi dada bawah yang sangat.

Page 6: Ispa

Batuk yang berlangsung lama dan/atau berulang harus dicari penyebabnya. Hal ini

penting sebagai upaya untuk penanggulangannya. Dalam istilah medis yang cukup

terkenal adalah BKB (batuk kronik dan/atau berulang) yaitu batuk yang timbul

hampir setiap hari selama 2 minggu berturut-turut dan/atau 3 kali sakit batuk dalam 3

bulan berturut-turut. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini.

 

Apakah batuk itu?

Batuk adalah refleks tubuh untuk mengeluarkan sesuatu benda asing yang dapat

berupa lendir atau benda dari luar mulut. Sebenarnya rekleks tersebut merupakan

suatu hal yang normal pada semua anak. Yang tidak normal adalah apabila batuk

tidak hilang-hilang sehingga seorang anak  batuk terus menerus sampai

penyebabnya hilang. Di dalam medis batuk dibagi menjadi 2 bagian berdasarkan

lamanya seorang anak batuk. Dikatakan batuk yang akut apabila batuknya

berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan bila lebih 14 hari disebut batuk khronik.

SPA atau infeksi saluran pernapasan akut termasuk penyakit yang sering terjadi

pada anak. Ada 2 pembagian yaitu ISPA atas dan ISPA bawah. Yang termasuk

ISPA atas antara lain radang tenggorok, selesma, dan sinusitis, sedangkan ISPA

bawah antara lain bronkitis akut dan pnemonia.

ISPA Atas

a. Radang tenggorok

Penyebab terbanyak radang tenggorok adalah virus sehingga antibiotika tidak perlu

diberikan. Selain batuk gejala lain yang ada adalah demam, nyeri saat menelan dan

rasa tidak nyaman di mulut. Pemberian obat panas, obat batuk hitam dan minum

yang banyak dapat membantu penanganan radang tenggorok.

b. Selesma (influensa)

Gejala selesma hampir sama dengan radang tenggorok. Pada yang ringan gejala

panas tidak timbul. Gejala yang dapat timbul adalah batuk, pilek, dan hidung

tersumbat. Virus merupakan penyebab tersering, sehingga penggunaan antibiotika

tidak pada tempatnya. Pengobatan bersifat suportif seperti obat penurun panas, dan

minum yang banyak. Biasanya berlangsung kurang dari 2 minggu.

c. Sinusitis

 

Sinusitis  merupakan penyakit ISPA yang harus ditangani secara hati-hati.

Penyebabnya dapat bakteri atau virus. Dalam hal ini pemberian antibiotika pada

tempatnya. Pemberian antibiotika memerlukan waktu yang lama bahkan bisa sampai

3-4 minggu. Selain itu sinusitis dapat mempengaruhi saluran napas bawah sehingga

pada pasien asma perlu difikirkan sinusitis turut berperan dalam terjadinya serangan

asma.

Page 7: Ispa

 

ISPA Bawah

a. Bronkitis akut

Penyebab bronkitis terutama virus. Gejala batuk sangat menonjol. Batuk disertai

lendir yang pada awalnya sedikit tetapi lama kelamaan lendir bertambah banyak dan

kemudian menghilang dalam 2 minggu. Bila dalam waktu 2 minggu belum hilang,

maka perlu difikirkan penyebab lain yang tergolong dalam BKB.

b. Pnemonia

Penyakit pnemonia (radang paru-paru) merupakan penyakit ISPA bawah yang

serius dan perlu penanganan secara seksama. Penyebab tersering adalah bakteri.

WHO dalam program pemberantasan ISPA (dalam hal ini pnemonia) sampai

mengeluarkan dana yang  tidak sedikit dan melibatkan seluruh tenaga kesehatan

yang ada. Hal ini dapat dimengerti karena angka kematian akibat pnemonia masih

tinggi.

 

Di Indonesia, angka kesakitan dan kematian karena pnemonia masih tinggi. Untuk

tujuan tersebut WHO membuat penyederhanaan dalam hal penemuan dini

pnemonia. Ada 2 hal penting dalam diagnosis dini pnemonia yaitu nafas cepat dan

tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (retraksi). Disebut napas cepat yaitu

bila anak usia di bawah 2 bulan bernapas > 60 kali per menit, 2 bulan – 1 tahun

bernapas > 50 kali permenit dan di atas 1 tahun bernapas > 40 kali per menit.

Dialami sejak kurang lebih 4 hari yang lalu , lendir (+), awalnya warna hijau dan beberapa akhir ini warna putih ,gatal tenggorokan (+), pilek (+) sejak 4 hari yang lalu.Sesak (-). Demam (-), Sakit kepala (+). Riwayat nyeri dada (-). Mual (-), muntah (-). NUH (-), nafsu makan di rasakan berkurang. Riwayat komsumsi obat batuk (+) konidin1 papan tapi tidak ada perubahan. Pasien sering minum yang dingin-dingin. Riwayatmerokok (-).

2.1.1 DefinisiPneumonia adalah inflamasi akut pada parenkim paru. Inflamasi ini disebabkan oleh sebagian besar oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil oleh hal lain seperti aspirasi dan radiasi (Said, 2008; Sectish and Prober, 2007).

2.1.2 KlasifikasiSaat ini dikenal dua bentuk pneumonia berdasarkan tempat terjadinya infeksi, yaitu pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) yaitu infeksinya terjadi di masyarakat dan pneumonia nosokimoal (hospital-acquired pneumonia) bila infeksinya didapat di rumah sakit. Pneumonia nosokomial seringkali merupakan infeksi sekunder pada berbagai penyakit dasar yang telah diderita pasien sehingga spektrum etiologi, gejala klinis, derajat beratnya penyakit, komplikasi, dan terapi yang diberikan berbeda dengan pneumonia-masyarakat (Said, 2008). Sedangkan secara anatomis, pneumonia dibagi menjadi: (1) pneumonia lobaris, (2) pneumonia lobularis

Page 8: Ispa

(bronkopneumonia), dan (3) pneumonia interstisialis (Hassan dan Husein, 2005). Pada pembahasan berikutnya dalam bab ini khususnya dan dalam penelitian ini umumnya akan difokuskan pada pneumonia-masyarakat.

2.1.3 EpidemiologiDi Indonesia ISPA masih mendapat perhatian cukup besar. Antara 40-60% kunjungan di puskesmas adalah karena ISPA. ISPA dibagi menjadi pneumonia dan nonpneumonia. Penyakit ISPA yang menjadi fokus program kesehatan adalah pneumonia karena merupakan salah satu penyebab utama kematian anak (Depkes RI, 2009).Menurut WHO (2006), pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak usia di bawah 5 tahun (balita), yaitu sekitar 19% atau sekitar 1,8 juta balita tiap tahunnya meninggal karena pneumonia. Angka ini melebihi jumlah akumulasi kematian akibat malaria, AIDS, dan campak. Diperkirakan lebih dari 150 juta kasus pneumonia terjadi setiap tahunnya pada balita di negara berkembang, yaitu sekitar 95% dari semua kasus baru pneumonia di dunia (UNICEF/WHO, 2006). Kejadian pneumonia di negara maju jauh lebih kecil (0,026 episode/anak/tahun dibandingkan negara berkembang 0,28 episode/anak/tahun). Hal ini diperkirakan karena peran antibiotik, vaksinasi, dan asuransi kesehatan anak yang berkembang di negara maju (Sectish and Prober, 2007).Antara 11 sampai 20 juta anak dengan pneumonia butuh rawat inap dan lebih dari 2 juta meninggal. Perlu pula diingat bahwa insidensi pneumonia berkurang seiring dengan bertambahnya usia anak (UNICEF/WHO, 2006).Tiga perempat kejadian pneumonia pada balita di dunia terjadi di 15 negara dan Indonesia menduduki urutan keenam dengan insidensi per tahunnya sekitar 6 juta (UNICEF/WHO, 2006). Pada tahun 2001, SKN menyebutkan 22,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori terutama pneumonia (Said, 2008). Propinsi NTB, menurut Depkes RI tahun 2008, menduduki urutan pertama kejadian pneumonia anak di Indonesia yaitu sekitar 56,6% (Depkes RI, 2009).Di Propinsi NTB, Dinkes Propinsi NTB melaporkan bahwa jumlah kejadian pneumonia pada tahun 2007 sebanyak 55.752 kasus dimana lebih dari 70% tersebar di empat kabupaten/kota yaitu 14.247 kasus (25,5%) di Kabupaten Lombok Barat, 9.877 kasus (17,7%) di Kabupaten Lombok Timur, 9.828 kasus (17,6%) di Kota Mataram, dan 9.741 kasus (17,4%) di Kabupaten Lombok Tengah (Dinkes Propinsi NTB, 2008).

2.1.4 EtiologiFaktor penting dalam kekhasan pneumonia anak adalah usia (Said, 2008). Namun secara umum, Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab pneumonia yang paling sering (Sectish and Prober, 2007). Di negara berkembang pneumonia anak khususnya disebabkan oleh bakteri khususnya S. pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza, termasuk strain atipik, (McIntosh, 2002; Said, 2008).Ditemukan pula pneumonia yang disebabkan oleh virus. Di negara maju, virus yang terbanyak ditemukan adalah RSV, Rhinovirus, dan virus parainfluenza (Said, 2008). Frekuensi tertinggi dari viral pneumonia terjadi pada usia 2-3 tahun, lalu menurun perlahan setelahnya (Sectish and Prober, 2007).Pada tabel 2.1 ditampilkan daftar etiologi pneumonia anak di negara maju. Spektrum etiologi ini tidak dapat serta merta di ekstrapolasikan di Indonesia karena faktor risiko pneumonia yang berbeda. Di negara maju pelayanan kesehatan dan akses ke pelayanan kesehatan sangat baik, cakupan vaksinasi Hib dan Pneumokokus cukup luas (Said, 2008).

Tabel 2.1 Etiologi pneumonia pada anak sesuai kelompok umur di negara majuUsia Etiologi yang sering Etiologi yang jarangLahir – 20 hari Bakteri:- Eschericia coli- Streptococcus group B- Listeria monocytogenes Bakteri:- Bakteri anaerob- Streptococcus group D- H. influenzae- Ureaplasma urealyticumVirus:- Virus sitomegalo- Virus herpes simpleks3 minggu – 3 bulan Bakteri:- Chlamydia trachomatis- S. pneumoniaVirus:- Virus adeno

Page 9: Ispa

- Virus influenza- Virus parainfluenza 1,2,3- RSV Bakteri:- Bordetella pertusis- H. influenza tipe B- Moraxella catharalis- S. aureus- Ureplasma urealiticumVirus:- Virus sitomegalo4 bulan – 5 tahun Bakteri:- Chlamydia pneumoniae- Mycoplasma pneumoniae- S. pneumoniaeVirus:- Virus adeno- Virus influenza- Virus parainfluenza- Virus rino- RSV Bakteri:- H. influenza tipe B- Moraxella catharalis- Neisseria meningitidis- S. aureusVirus:- Virus varisela-zosterSumber: Opstapchuk M, Robert DM, dan Haddy R, 2004 mengutip dalam Said, 2008.

2.1.5 Faktor RisikoTerdapat berbagai faktor risiko yang tercatat sebagai faktor risiko pneumonia antara lain, pneumonia yang terjadi pada masa bayi, BBLR, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat atau tidak mendapat ASI eksklusif, malnutrisi, defisiensi vitamin A, asupan zink yang tidak adekuat, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan koinsidensi dengan penyakit lain seperti AIDS dan campak. Faktor lingkungan seperti tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri dan asap rokok serta polusi ruangan) dan lingkungan perumahan yang padat juga meningkatkan kecendrungan balita untuk terserang pneumonia (Said, 2008; UNICEF/WHO, 2006; Misba dkk, 2009).

2.1.6 PatogenesisSaluran napas memiliki mekanisme pertahanan yang menjaganya tetap steril, yaitu bersihan oleh mukosiliar, IgA sekretori, sel-sel imun, dan mekanisme batuk. Mekanisme pertahanan imunologis di paru yaitu makrofag yang berada di alveoli dan bronkiolus, IgA sekretori, dan Ig lainnya (Sectish and Prober, 2007). Karena saluran napas terus-menerus terpapar agen infeksius, tidak efektif dan lemahnya mekanisme pertahanan ini menyebabkan terjadinya infeksi saluran napas dan paru (Hazinski, 2003).Umumnya mikroorganisme penyebab pneumonia terhisap ke paru bagian perifer, penyebarannya langsung dari saluran napas atas (Asih dkk, 2006). Reaksi jaringan menimbulkan edema yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Terjadi konsolidasi yaitu terjadi serbukan sel polimorfonuklear, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli dari bagian paru yang terkena. Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat, warna menjadi merah, dan pada perabaan seperti hepar. Inilah yang disebut sebagai stadium hepatisasi merah. Stadium ini berlangsung sangat pendek. Selanjutnya deposisi fibrin semakin meningkat, terdapat fibrin dan leukosit di alveoli, dan terjadi fagositosis yang cepat. Lobus tetap padat dan warna menjadi pucat kelabu. Stadium ini disebut sebagai stadium hepatisasi kelabu. Pada tahap berikutnya terjadi peningkatan jumlah makrofag di alveoli, sel mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner yang tidak terkena akan tetap normal (Hassan dan Husein, 2005; Said, 2008).Pemberian antibiotik sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit pasien pneumonia, sehingga stadium yang telah disebutkan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentu memiliki gambaran patologis khas. Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata diseluruh lapangan paru (bronkopulmoner), pada anak atau remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia

Page 10: Ispa

lobaris). Staphylococcus aureus pada bayi sering menyebabkan abses-abses kecil atau pneumotokel, karena kuman ini menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase yang menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kavitasi (Said, 2008).Pada pneumonia terjadi gangguan ventilasi akibat kelainan langsung di parenkim paru sehingga rasio optimal ventilasi (V) – perfusi (Q) tidak tercapai (V/Q 1 tanda bahaya Harus dirawat dan diberi antibiotik Penumonia Sesak napas (–) Ada napas cepat bila laju napas:o >50 x/menit untuk usia 2 bulan – 1 tahuno >40 x/menit untuk usia >1 – 5 tahun Tidak perlu dirawat, beri antibiotik oral Bukan pneumonia Napas cepat dan sesak napas tidak ada Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti antipiretikb. Bayi berusia di bawah 2 bulanPneumonia pada bayi 60 x/menit) atau sesak napas Harus dirawat dan diberi antibiotik Bukan pneumonia Tidak ada napas cepat atau sesak napas Tidak perlu dirawat, cukup pengobatan simptomatisNapas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi napas selama satu menit penuh dalam keadaan anak/bayi tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi epigastrium). WHO juga menetapkan beberapa tanda bahaya, agar anak segera dirujuk ke pelayana kesehatan. Tanda bahaya pada anak usia 2 bulan – 5 tahun yaitu tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, selalu memuntahkan segalanya dan gizi buruk. Tanda bahaya bayi usia <2 bulan yaitu malas minum, kejang, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Penilaian tanda bahaya harus diselesaikan sebelum penilaian lainnya agar dapat dilakukan penanganan segera dan rujukan tidak terlambat (Depkes RI, 1999; Said, 2008).Pneumonia berulang didefinisikan sebagai 2 atau lebih episode dalam setahun atau 3 atau lebih episode yang pernah dialami pasien, dengan hasil radiologis normal diantara episode pneumonia. Jika anak mengalami pneumonia berulang maka perlu dipertimbangkan adanya kelainan yang mendasari seperti fibrosis kista, AIDS, bronkiektasis, dan lain-lain (Sectish dan Prober, 2007).

2.1.9 Pemeriksaan penunjang2.1.9.1 Darah perifer lengkapPada pneumonia virus atau mikoplasma, umunya leukosit normal atau sedikit meningkat, tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan predominan limfosit (Sectish and Prober, 2007). Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan sel polimorfonuklear khususnya granulosit. Leukositosis hebat (30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan pneumonia bakteri. Adanya leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan peningkatan LED. Namun, secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus dan bakteri secara pasti (Said, 2008).2.1.9.2 Uji serologisUji serologis untuk deteksi antigen dan antibodi untuk bakteri tipik memiliki sensitivitas dan spesifisitas rendah. Pada deteksi infeksi bakteri atipik, peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis (Said, 2008).2.1.9.3 Pemeriksaan mikrobiologisPada pneumonia anak, pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan, kecuali pada pneumonia berat yang rawat inap. Spesimen pemeriksaan ini berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru (Said, 2008). Spesimen dari saluran napas atas kurang bermanfaat untuk kultur dan uji serologis karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri (McIntosh, 2002).2.1.9.4 Pemeriksaan rontgen toraksFoto rontgen tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang rawat inap. Kelainan pada foto rotgen toraks tidak selalu berhubungan dengan manifestasi klinis. Kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis, namun resolusi infiltrat seringkali memerlukan waktu yang lebih lama bahkan setelah gejala klinis menghilang. Ulangan foto rontgen thoraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk tindak lanjut. Umumnya

Page 11: Ispa

pemeriksaan penunjang pneumonia di instalasi gawat darurat hanyalah foto rontgen toraks posisi AP (Said, 2008).Ilfltrat alveolar spesifik mengindikasikan infeksi bakteri, namun tidak sensitif (McIntosh, 2002). Secara umum gambaran foto rontgen toraks tidak dapat membedakan secara pasti antara pneumonia virus, bakteri, mikoplasma, atau campuran mikroorganisme tersebut (Said, 2008). Foto rotgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotokel, pneumotoraks, pneumomediastinum, atau perikarditis (Hassan dan Husein, 2005).

2.1.10 Diagnosis BandingDiagnosis banding pneumonia pada balita yaitu ronkiolitis, aspirasi benda asing, meningitis, dan asma (Said, 2008).

2.1.11 TatalaksanaTatalaksana pneumonia berdasarkan perkiraan penyebab dan keadaan klinis pasien (Sectish and Prober, 2007). Namun, identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak selalu dapat dilakukan, oleh karena itu antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman (empiris). Pada pneumonia ringan rawat jalan, dapat diberi antibiotik lini pertama peroral seperti amoksisilin dan kotrimoksazol. Efektifitas pemberian antibiotik tunggal oral mencapai 90%. Dosis amoksisilin yaitu 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol 4 – 20 mg/kgBB (Said, 2008).Pada pneumonia rawat inap, lini pertama dapat menggunakan golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Jika tidak responsif dengan kedua antibiotik tersebut, dapat diberikan gentamisin, amikasin, atau sefalosporin sesuai petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari jika tidak ada komplikasi (Hazinski, 2003; Said, 2008). Pada neonatus dan bayi kecil, karena tingginya kejadian sepsis dan meningitis, terapi awal antibiotik intravena harus sesegera mungkin dimulai. Bila keadaan telah stabil dapat diberi antibiotik oral selama 10 hari. Pemberian zink peroral (20 mg/hari) dapat membantu mempercepat penyembuhan pneumonia berat (Said, 2008).Bakteri atipik tidak responsif terhadap antibiotik golongan beta-laktam. Pilihan utamanya adalah makrolida. Dosis eritromisin untuk anak 30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin dan roksitromisin diberikan 2 kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB untuk klaritromisin dan 5-10 mg/kgBB untuk roksitromisin. Azitromisin diberikan sekali sehari selama 3-5 hari dengan dosis 10 mg/kgBB pada hari pertama, dilanjutkan dengan dosis 5 mg/kgBB untuk hari berikutnya (Said, 2008).Jika dicurigai pneumonia viral, penundaan pemberian antibiotik dapat diterima. Sekitar 30% pneumonia viral juga disertai pneumonia bakteri. Namun, antibiotik segera diberikan jika terjadi perubahan status klinis (Sectish and Prober, 2007).2.1.11.1 Indikasi rawat inapIndikasi rawat inap anak dengan pneumonia yaitu bila pasien tampak toksik, usia <6 bulan, distres pernapasan berat, dehidrasi atau muntah, hipoksemia dan hipoksia (saturasi O2 < 93-94% pada kondisi ruangan), apneu, perburukan status klinis setelah inisiasi terapi, atau adanya kompliksi seperti efusi pleura atau empiema, pemberian nutrisi yang kurang, ketidakmampuan orang tua untuk merawat, imunokompromais, ada penyakit penyerta seperti penyakit jantung bawaan, dan pasien membutuhkan antibiotik parenteral (pneumonia berat) (Asih, dkk, 2006; Hazinski, 2003; Sectish and Prober, 2007). Biasanya pneumonia tanpa komplikasi akan menunjukkan perbaikan secara klinis setelah 48-96 jam pemberian antibiotik (Sectish and Prober, 2007).2.1.11.2 Tatalaksana suportif pada pasien rawat inapPasien yang dirawat inap perlu diberi cairan dan kalori yang cukup (bila perlu perparenteral) dan suplementasi oksigen jika saturasi oksigen < 92%. Terapi antibiotik parenteral dihentikan dan diganti dengan antibiotik oral jika pasien afebris dan tidak lagi membutuhkan suplementasi oksigen (Hazinski, 2003).

2.1.12 KomplikasiPemberian terapi yang adekuat dapat mencegah timbulnya komplikasi (Hassan dan Husein, 2005). Komplikasi pneumonia anak yaitu empiema torasis (komplikasi tersering pada pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, miokarditis, pneumothoraks, atau infeksi ekstrapulmuner seperti meningitis purulenta (Said, 2008).