103

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007
Page 2: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

Jantra dapat diartikan sebagai roda berputar, yang bersifat dinamis, seperti halnya kehidupanmanusia yang selalu bergerak menuju ke arah kemajuan. Jurnal Jantra merupakan wadahpenyebarluasan tentang dinamika kehidupan manusia dari aspek sejarah dan budaya. Artikeldalam Jurnal Jantra bisa berupa hasil penelitian, tanggapan, opini, maupun ide ataupemikiran penulis. Artikel dalam Jantra maksimal 20 halaman kuarto, dengan huruf TimesNew Romans, font 12, spasi 2, disertai catatan kaki dan menggunakan bahasa populer namuntidak mengabaikan segi keilmiahan. Dewan Redaksi Jantra berhak mengubah kalimat danformat penulisan, tanpa mengurangi maksud dan isi artikel. Tulisan artikel disampaikandalam bentuk file Microsoft Word (disket, CD), dialamatkan kepada: Dewan Redaksi Jantra,Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Jalan Brigjen Katamso 139,Yogyakarta 55152, Telp. (0274) 373241 Fax. (0274) 381555 E-mail: [email protected]

Alamat Redaksi :

BALAI PELESTARIAN SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL YOGYAKARTAJalan Brigjen Katamso 139, Yogyakarta 55152

Telp. (0274) 373241 Fax. (0274) 381555E-mail : [email protected] : www.bksnt-jogja.com

Pelindung

Penanggung Jawab

Penyunting Ahli

Pemimpin Redaksi

Sekretaris Redaksi

Dewan Redaksi

Distribusi

Dokumentasi/Perwajahan

Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni dan FilmDepartemen Kebudayaan dan Pariwisata

Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan NilaiTradisional Yogyakarta

Prof. Dr. Djoko SuryoProf. Dr. Soegijanto Padmo, M.Sc.Prof. Dr. Irwan AbdullahProf. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, MA.

Dra. Christriyati Ariani, M.Hum.

Dra. Sri Retna Astuti

Drs. SalamunSuhatno, BA.Samrotul Ilmi Albiladiyah, S.S.Dra. Endah Susilantini

Drs. Sumardi

Drs. Wahjudi Pantja Sunjata

Page 3: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

ii

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenan-Nya,Jantra Volume II, No. 3, Juni 2007 hadir kembali di hadapan para pembaca. Ernst Cassirer,seorang filsuf Yahudi pernah mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum, yaknimakhluk yang mengerti serta membentuk simbol. Dengan membentuk simbol, maka manusiadapat menciptakan suatu dunia kultural, dimana terdapat bahasa, mitos dan agama, kesenian,serta ilmu pengetahuan. Sejalan dengan Ernst Cassirer ini, Clifford Geertz juga mempertegasbahwa dengan manusia menciptakan budaya, maka ia akan membentuk pola dari makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam bentuk simbol. Oleh karena itu, seluruhkehidupan manusia selalu berkaitan dengan simbol dan makna yang selalu dimanifestasikandalam perilaku mereka. Untuk itu, simbol, makna dan seni tradisi, menjadi topik yangsangat menarik dalam edisi Jantra kali ini.

Simbol dan makna tentang lingkungan hidup dapat ditemukan antara lain tulisanErnawati, Isyanti, Sumintarsih, maupun Isni Herawati. Di sini terlihat bagaimana simboldan makna diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, melalui nilai-nilai kearifanlokal. Simbol dan makna religius terungkap dari tulisan Titi Mumfangati, Emiliana Sadilah,Siti Munawaroh, serta Endah Susilantini. Perilaku simbolis manusia dalam mengungkapkankebutuhan religi, tercermin dalam kegiatan ritual keagamaan yang diyakininya. TulisanDwi Ratna Nurhajarini dan Suwarno, mengungkapkan bagaimana sebuah simbol dan maknaselalu hadir dalam ruang kota maupun tempat tinggal, yang bisa menunjukkan siapa penguasamaupun pemiliknya. Melalui permainan tradisional Jawa, tulisan Suyami menunjukkanbagaimana simbol dan makna ‘bermain’ dalam aktivitas hiburan manusia.

Tulisan lain yang tidak kalah menarik adalah tentang sosok Koesnadi Hardjasoemantrisebagai tokoh pelestari tradisi, yang ditulis oleh Hisbaron Muryantoro. Sebagai budayawan,kiprah Koesnadi Hardjasoemantri dalam memajukan seni tradisi memang patut dibanggakan.Akhirnya ulasan tentang multikulturalisme Budaya Pendhalungan di Jawa Timur tulisanChristanto P Rahardjo, menambah edisi Jantra kali ini menjadi lebih lengkap dan komplit.Selamat Membaca.

Redaksi

PENGANTAR REDAKSI

Page 4: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

Halaman

Pengantar Redaksi ii

Daftar Isi iii

Air, Makna, Fungsi, dan Tradisi 125Ernawati Purwaningsih

Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris 131Isyanti

Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa 136Sumintarsih

Makna Simbolik Sajen Tingkeban 145Isni Herawati

Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa 152Titi Mumfangati

Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta 160Endah Susilantini

Makna Simbolik Tradisi Prosesi di Gereja Ganjuran 167Emiliana Sadilah

Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam 177Siti Munawaroh

Perubahan dan Pergeseran Simbol di Kota Yogyakarta 1945 - 1949 184Dwi Ratna Nurhajarini

Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus 191Suwarno

Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural 198Christanto P Rahardjo

Bi Bibi Tumbas Timun, Permainan Tradisional Yang Sarat Makna 206Suyami

Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya 213Hisbaron Muryantoro

Biodata Penulis 220

DAFTAR ISI

iii

Page 5: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

125

PengantarAir tidak dapat dipungkiri telah menjadi

kebutuhan pokok bagi setiap makhluk hidup,terlebih bagi manusia. Ketergantungan kitakepada pasokan air bersih mutlak tidaktergantikan, mulai dari kebutuhan untukmandi, mencuci, minum, makan tidak dapatterpisahkan dari air. Sayangnya kita seringmengabaikan bagaimana pasokan air dapattetap lestari. Kita tidak pernah mau pedulidengan air yang terus menetes dari kran,karena kita beranggapan tetesan tersebuthanyalah kecil yang tidak berarti. Kita jugatak acuh manakala air terus mengalir dariselang hingga menggenangi halaman.Beragam gedung beton seakan berlombadibangun dengan mengorbankan lahan yang

berfungsi sebagai area tangkapan air(cachtment area) serta hutan-hutan yangterus digunduli, kita tetap diam takbergeming. Kita baru tersadar manakalaalam marah. Bencana tanah longsor, banjir,kekeringan datang menghampiri kehidupanmanusia.1

Seperti yang dikemukakan Ahimsabahwa air kehidupan, artinya dua kata inihampir identik karena air juga bisa bermaknakehidupan itu sendiri. Artinya dari airlahkehidupan dimulai, sehingga air jugamerupakan tanda-tanda kehidupan.2 Di manaada air di situ ada kehidupan. Demikian pulasebaliknya, di mana ada kehidupan di situtentu ada air. Dikatakan air identik dengankehidupan, sebab air merupakan kebutuhan

Abstrak

Air merupakan sumber kehidupan makhluk hidup. Selain sebagai pemenuhankebutuhan minum dan makan, air juga digunakan untuk mencuci, memasak, serta untukkegiatan pertanian. Meskipun sumberdaya air merupakan sumberdaya yang dapatdiperbaharui, namun kualitas air tetap harus dijaga.

Perilaku manusia dalam memanfaatkan serta mengelola sumberdaya alam sangatmenentukan kelestarian sumberdaya itu sendiri. Apabila sumberdaya alam diperlakukandengan baik, maka sumberdaya itu pun akan memberikan kepada manusia yang terbaikpula. Penebangan pohon secara liar, manajemen pembuangan sampah yang kurang bagus,pembangunan gedung-gedung yang tidak diimbangi dengan area peresapan air hujanakan mempengaruhi kelestarian sumberdaya air.

Pelestarian terhadap sumberdaya air harus dilakukan guna pemenuhan kebutuhanair di masa sekarang dan mendatang. Kearifan terhadap lingkungan merupakan salahsatu bentuk pelestarian sumberdaya air, misalnya melalui upacara bersih sendhang,adanya aturan dalam penebangan pohon, memperlakukan sungai dengan arif, dansebagainya.

Kata kunci: Fungsi air - Tradisi - Makna.

AIR, MAKNA, FUNGSI DAN TRADISI

Ernawati Purwaningsih

1 Isdwi Rahmarto. “Air Mata Air”, dalam Kedaulatan Rakyat. Rabu Wage 28 Maret 2007, hal. 12.

2 Heddy Shri Ahimsa-Putra. “Sistem Air Kehidupan”, dalam Kedaulatan Rakyat. Sabtu Pon 17 Maret2007, hal. 14.

Air, Makna, Fungsi dan Tradisi (Ernawati Purwaningsih)

Page 6: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

126

pokok bagi makhluk hidup. Manusia meng-gunakan air tidak hanya untuk minum danmakan, akan tetapi juga untuk mengairitanaman, sarana transportasi, juga berfungsiuntuk membersihkan, seperti mencucibadan, makanan, pakaian, peralatan dapur.

Masih menurut Ahimsa,3 kualitas air disekeliling kita jelas menurun dibandingdengan beberapa dasawarsa yang lalu.Penurunan kualitas air disebabkan ulahmanusia. Kehadiran manusia yang mem-butuhkan air memang dapat mengganggukelestarian air itu sendiri, yang berarti jugamembahayakan kelestarian kehidupanmanusia itu sendiri. Hal yang dapatdilakukan untuk menghambat penurunanataupun memperbaiki kualitas air yaitudengan memperlakukan alam dalam hal iniair dengan arif.

Batasan KearifanKearifan (wisdom) yang maknanya

disepadankan dengan pengetahuan,kecerdikan, kepandaian, keberilmuan, dankebijaksanaan dalam pengambilan ke-putusan yang berkenaan dengan penye-lesaian atau penanggulangan suatu masalahatau serangkaian masalah yang pelik danrumit. Kearifan adalah seperangkatpengetahuan yang dikembangkan oleh suatukelompok masyarakat setempat (komunitas)yang terhimpun dari pengalaman panjangmenggeluti alam dalam ikatan hubunganyang saling menguntungkan kedua belahpihak (manusia dan lingkungan) secaraberkelanjutan dan dengan ritme yangharmonis.4

Tim G. Babcock menyebutkan bahwakearifan adalah pengetahuan dan caraberpikir dalam kebudayaan suatu kelompokmanusia yang merupakan hasil pengamatan

selama kurun waktu yang lama. Kearifanberisikan gambaran atau tanggapanmasyarakat bersangkutan tentang hal-halyang berkaitan dengan struktur lingkungan,bagaimana lingkungan berfungsi, bagaimanareaksi alam atas tindakan manusia, sertahubungan-hubungan yang sebaiknya terciptaantara manusia dan lingkungan alamnya.5

Kearifan, tradisi yang tercermin dalamsistem pengetahuan dan teknologi lokal diberbagai daerah, secara dominan masihdiwarnai nilai-nilai adat, seperti bagaimanasuatu kelompok sosial melakukan prinsipkonservasi, managemen dan eksploitasisumberdaya alam, ekonomi, dan hubungansosial.

Sumberdaya AirMenurut UU Nomor 11 tahun 1974,

yang dimaksud dengan sumberdaya air(water resources) adalah semua air yangterdapat di dalam dan atau berasal darisumber-sumber air, baik yang ada di atasmaupun di bawah permukaan tanah (tidaktermasuk air yang terdapat di laut). Sumber-daya air dapat digolongkan menjadi 3 (tiga),yaitu air permukaan seperti sungai, danau,waduk, dan rawa; air tanah termasuk mataair dan air udara (curah hujan). Sumberdayaair merupakan sumberdaya yang dapatdiperbaharui. Artinya, meskipun air yangdibutuhkan untuk keperluan makhluk hiduptelah diambil, maka air tersebut tidak akanhabis, akan tetapi akan tersedia kembali.6

Berbagai cara dilakukan manusia untukmendapatkan air bagi keperluan hidupnya.Air tersebut berasal dari air hujan, airpermukaan dan air tanah, sesuai dengankebutuhan dan kondisi daerahnya. Air hujanyang turun ke bumi ini ada yang kembali kelaut dan ada juga yang masuk ke dalam

3 Ibid.4 Imam Habibudin. “Kearifan Lokal Masyarakat”, dalam Pengelolaan Repong Damar Untuk Mendukung

Konservasi Lingkungan di Pesisir Krui Lampung Barat. (Tesis) Pasca Sarjana. (Yogyakarta: UGM, 2006).5 Sumintarsih. Kearifan Lokal Nelayan Madura. (Yogyakarta: BKSNT, 2005).6 Muhammad Aris Marfai. Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis Atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan.

(Yogyakarta: Penerbit Wahana Hijau, 2005).

Page 7: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

127

tanah. Air hujan yang kembali ke laut disebutjuga dengan air permukaan, yaitu yangmengalir melalui sungai atau langsung kelaut. Sedangkan air hujan yang masuk ketanah disebut sebagai air tanah.

Salah satu sumberdaya air yang di-anggap paling murah dan mudah men-dapatkannya adalah air tanah. Namundemikian, tidak semua air tanah mempunyaikualitas yang baik. Kualitas air tanah di suatudaerah dipengaruhi oleh beberapa faktoryaitu: iklim, tanah dan batuan, vegetasi,waktu dan aktivitas manusia.7

Pemanfaatan Sumberdaya AirSumberdaya air yang banyak dimanfaat-

kan terutama oleh manusia adalah sumber-daya air bawah tanah atau disebut juga airtanah. Sumberdaya air tanah memainkanperanan penting di dalam penyediaanpasokan kebutuhan akan air bagi berbagaikeperluan. Air tanah digunakan untukkeperluan air minum baik bagi penduduk dipedesaan maupun perkotaan. Kualitas airtanah berpengaruh juga pada kesehatan.Kualitas air tanah yang jelek, apabiladipergunakan untuk kebutuhan minum danmakan tentunya akan menim-bulkanpenyakit, sebagai contoh, air tanah yangmengandung bouksit berdampak padakerusakan gigi. Air tanah yang banyakmengandung kapur berdampak pada ginjal.Demikian juga dengan air tanah jikadigunakan untuk mencuci serta mandi,apabila kualitasnya jelek maka pakaian yangdicuci tidak dapat bersih dan apabila untukkeperluan mandi, akan berpengaruh terhadapkulit.

Selain untuk kebutuhan domestik(misalnya mandi, mencuci, air minum, dsb.)air tanah juga dimanfaatkan untuk kebutuhanindustri dan pertanian. Bagi petani,kebutuhan air tanah penting untuk irigasi.Pemanfaatan air tanah untuk keperluanirigasi umumnya diatur sesuai dengan

kebutuhan. Apabila kebutuhan irigasi hanyaberasal dari air permukaan, maka bisa jadipemenuhan kebutuhan air tidak sebandingdengan kebutuhan yang diharapkan,misalnya air sungai kering atau sebaliknyaair sungai melimpah, sehingga keduakondisi tersebut dapat merusak tanaman.

Preferensi manusia untuk memenuhikebutuhan hidupnya terhadap sumberdayaair yaitu lebih pada sumberdaya air tanah.Hal ini disebabkan umumnya air tanahtersebar luas dan pemanfaatannya dapatdilakukan di daerah yang memerlukandengan biaya lebih murah dibandingkanpemanfatan air permukaan (sungai).

Permasalahan Terkait Dengan Sumber-daya Air

Banjir merupakan fenomena alam yanghampir dapat dipastikan terjadi bersamaandengan datangnya musim hujan. Bencanabanjir, tanah longsor, kekeringan, merupakanakibat ulah, perilaku dan hasil kerja manusiadalam memberlakukan dan mengelolasumberdaya alam dan lingkungannya.Kesalahan pengelolaan terhadap kondisialam dan sumberdayanya merupakan faktorpenting yang menjadi penyebab utamaterjadinya bencana banjir, tanah longsor,kekeringan. Banjir dapat terjadi oleh bebe-rapa sebab;1. Terjadinya penggundulan hutan dan

rusaknya kawasan resapan air di daerahhulu;

2. Beralihnya fungsi penggunaan lahan didaerah hulu yang semula kawasanpertanian dan budidaya menjadi ka-wasan pemukiman dan atau kawasanterbangun;

3. Pendangkalan di saluran sungai dandrainase;

4. Perilaku manusia dan dampak pemba-ngunan fisik kota;

5. Tidak adanya kesadaran dan kepekaanlingkungan dari perilaku masyarakat;

7 Rosalina Rosina Mirino. Evaluasi Potensi Sumberdaya Airtanah Bebas di Distrik Ransiki KabupatenManokwari Propinsi Papua. (Tesis) Pasca Sarjana. (Yogyakarta: UGM, 2005).

Air, Makna, Fungsi dan Tradisi (Ernawati Purwaningsih)

Page 8: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

128

6. Tidak dipatuhinya berbagai regulasiterutama berkaitan dengan kegiatanpembangunan.8

Banjir yang melanda Ibukota Jakartapada awal tahun 2007 sebagai suatufenomena betapa kearifan lingkungankurang diperhatikan dan cenderung di-abaikan. Bangunan beton atau gedungpencakar langit berlomba menghiasi bumiJakarta, sementara luas area untuk resapanair hujan semakin sempit.

Pada daerah lain di tanah air, kasuspenebangan hutan secara liar (illegallogging), aktivitas penambangan dalamhutan, dan meluasnya kebakaran hutan (hotspot) baik di Sumatera, Kalimantan danJawa, merupakan faktor rusaknya sumber-daya hutan di Indonesia sehingga apabilamusim penghujan datang maka bencanaalam banjir dan tanah longsor menjadiancaman serius di berbagai wilayah tersebut.Terkait dengan kerusakan lingkungan di atas,maka perlu kiranya kita kembali lagimenengok ke belakang, bagaimana nenekmoyang kita dalam memperlakukanlingkungannya.

Wujud Kearifan Sumberdaya Air DalamUpacara Bersih Sendhang

Ungkapan untuk menggambarkan bumiNusantara sebagai daerah yang gemah ripahloh jinawi untuk kondisi sekarang inisepertinya sudah tidak cocok lagi. Konversiareal pertanian semakin meluas dari tahunke tahun, baik untuk kepentingan ekonomi,sarana dan prasarana maupun untukpemukiman. Demikian juga dengan hutan,banyak yang gundul akibat dari penebanganliar, pembuangan limbah yang seenaknyaatau tidak adanya pengelolaan limbahdengan baik. Kesemuanya itu berpengaruhpada kerusakan lingkungan yang padaakhirnya mengakibatkan bencana alamseperti banjir, tanah longsor, kekeringan.

Untuk kembali kepada keadaan jaman

dahulu yaitu sebagai negara yang suburmakmur, gemah ripah loh jinawi rasanyasulit. Namun, paling tidak jangan mem-perparah keadaan atau menambah kerusakanlingkungan. Dengan berlaku arif terhadaplingkungan, paling tidak hal itu dapatmembantu dalam mengurangi resikobencana alam terutama sebagai akibat ulahmanusia.

Reaktualisasi nilai-nilai budaya yangmempunyai bentuk kearifan terhadaplingkungan mulai perlu dihidupkan kembalidi dalam masyarakat, setelah sekian lamamati suri tenggelam akibat individualismeyang kian menggejala dalam masyarakatmodern. Kegiatan gotong royong mem-bersihkan lingkungan, saluran air, peka-rangan dan tertib pembuangan sampah perlumendapatkan porsi waktunya kembali ditengah-tengah masyarakat kita yang sudahmaterialis-individual. Menumbuhkan kesa-daran untuk tidak membuang sampahsembarangan, membuat sumur resapan airhujan, dan berbagai tindak kepedulianlingkungan lainnya perlu digalakkan sebagaibentuk kesadaran budaya yang harus terusdipelihara.9

Upacara bersih sendhang merupakanbentuk dari suatu tradisi. Dalam upacarabersih sendhang terkandung nilai-nilai yangdapat dipakai sebagai alat pemersatu, gotongroyong, dan pengendali sosial. Sebagai alatpemersatu yaitu tampak dalam pelaksanaanupacara saat mereka secara bersama-samamelaksanakan upacara dengan satu tujuanyaitu untuk mendapatkan berkah ke-selamatan, kesejahteraan, dan ketentraman.Nilai gotong royong nampak dari mayarakatpendukung upacara dalam persiapan hinggapelaksanaan upacara, baik dari tempatmaupun kelengkapan upacara. Nilai gotongroyong, terwujud dalam bentuk kerja baktiseluruh masyarakat pendukung upacaradalam membersihkan lingkungan di sekitarmata air yang akan menjadi tempat pelak-

8 Sumintarsih, op.cit.

9 Ibid.

Page 9: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

129

sanaan upacara bersih sendhang. Sebagaipengendali sosial, upacara bersih sendhangsecara langsung maupun tidak langsungmembuat masyarakat pendukungnya dapatberbuat arif terhadap lingkungannya, yaitudengan berbagai pantangan, misalnya tidakboleh mengotori lingkungan sendhang, tidakboleh menebang atau menggunduli hutan disekitar sendhang.

Beberapa contoh upacara bersihsendhang adalah bersih sendhang Pokak diKecamatan Ceper, Kabupaten Klaten;upacara bersih kali di Dusun Gunung Bang,Bejiharjo Karangmojo, Gunungkidul;upacara mohon hujan di Desa Kepuharjo,Cangkringan, Sleman. Upacara bersihsendhang ini dilakukan di mata air yangmenjadi sumber kehidupan masyarakatsekitar sendhang. Upacara tersebut sebagaiungkapan rasa syukur terhadap Tuhan YangMaha Esa, meneruskan apa yang telahdilakukan leluhurnya untuk tetap bersyukurdan sebagai media untuk memohon agartetap diberi keselamatan, kesuburan, danketentraman di daerah masyarakatpendukungnya.

Upacara minta hujan di Desa Kepuharjodisebut upacara becekan. Upacara ini dila-kukan oleh tiga pedukuhan di Desa Ke-puharjo yaitu: Pagerjurang, Manggong, danKepuh. Upacara mohon hujan ini dilatar-belakangi keadaan desa tersebut pada jamandahulu. Menurut cerita, sejak jaman dahuluketiga dusun tersebut selalu menghadapimasalah kesulitan air. Pada musim kemarau,untuk mendapatkan air mereka terpaksaberjalan jauh ke mata air yang berada disungai. karenanya mereka melakukanupacara minta hujan secara bersama-sama.10

Masyarakat Desa Kepuharjo sudahsejak dahulu melestarikan lingkungandengan arif. Kearifan lingkungan (ekologi)

adalah suatu cara melestarikan hutan yangdianggap sebagai pelindung masyarakat. Didaerah tersebut, ada tradisi yang mengaturlingkungan termasuk penebangan hutanuntuk keperluan pribadi, sehingga tidak akanmenimbulkan bahaya banjir. Di daerah inihampir sebagian besar warga masyarakatmenanam pohon keras yang memberikancorak penghidupan baru.11

Uraian di atas menggambarkan bahwasuatu tradisi dalam upacara bersih sendhangmerupakan wujud kearifan lokal terhadapsumberdaya air. Masyarakat pendukungupacara bersih sendhang memperlakukansumberdaya air agar tetap lestari keberadaan-nya yaitu dengan selalu menjaga kebersihansendhang, mentaati larangan ataupun pan-tangan yang terkait dengan sendhang,menjaga kelestarian lingkungan sendhangdengan tidak menebangi pohon di se-kitarnya. Dengan tetap menjaga kelestariansendhang, maka sumber mata air tetapterjaga dengan baik. Selain itu, upacarabersih sendhang yang bertujuan sebagaiungkapan rasa syukur pada Tuhan yangMaha Esa berfungsi untuk selalu menjagahubungan dengan Sang Pencipta dan sebagaikontrol sosial dalam berperilaku terhadapalam lingkungan.

PenutupAir merupakan sumber kehidupan bagi

makhluk hidup, termasuk manusia. Keter-sediaan air baik secara kualitas maupunkuantitas hendaknya senantiasa dijagakelestariannya. Pengelolaan sumberdaya airsecara arif dan bijaksana menjadi hal pentingdalam menjaga kelestariannya.

Upacara bersih sendhang merupakansalah satu wujud dari kearifan terhadapsumberdaya air yang perlu terus dilestarikan.

10 Moertjipto dkk. Upacara Tradisional Mohon Hujan di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (Yogyakarta: Bagian Proyek Pengkajian danPembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997).

11 Ibid.

Air, Makna, Fungsi dan Tradisi (Ernawati Purwaningsih)

Page 10: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

130

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “Sistem Air Kehidupan”, dalam Harian Kedaulatan Rakyat.Sabtu Pon 17 Maret 2007.

Habibudin, Imam, 2006. “Kearifan Lokal Masyarakat”, dalam Pengelolaan RepongDamar Untuk Mendukung Konservasi Lingkungan di Pesisir Krui LampungBarat. (Tesis). Yogyakarta: Pascasarjana UGM.

Marfai, Muhammad Aris, 2005. Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis Atas KrisisLingkungan Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Wahana Hijau.

Mirino, Rosalina Rosina, 2005. Evaluasi Potensi Sumberdaya Airtanah Bebas diDistrik Ransiki, Kabupaten Manokwari Propinsi Papua. (Tesis). Yogyakarta:Pascasarjana UGM.

Moertjipto, Sri Retno Astuti dan Sri Sumarsih, 1997. Upacara Tradisional Mohon Hujandi Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman PropinsiDaerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Bagian Proyek Pengkajian danPembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Rahmarto, Isdwi. “Air Mata Air”, dalam Kedaulatan Rakyat. Rabu Wage 28 Maret2007.

Sumintarsih, 2005. Kearifan Lokal Nelayan Madura. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarahdan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Page 11: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

131

PendahuluanSuatu tradisi merupakan pewarisan

serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai yangdiwariskan dari suatu generasi kepadagenerasi berikutnya. Nilai-nilai yang diwa-riskan berupa nilai-nilai yang oleh masya-rakat pendukungnya masih dianggap baik,serta relevan dengan kebutuhan kelompok.

Dalam suatu tradisi selalu ada hu-bungannya dengan upacara tradisional. Olehkarena itu upacara tradisional merupakanwarisan budaya leluhur yang dipandangsebagai usaha manusia untuk dapat berhu-bungan dengan arwah para leluhur. Padaumumnya mereka masih mempunyai ang-gapan bahwa roh para leluhur dianggapmasih dapat memberikan keselamatan danperlindungan kepada keluarga yang diting-galkan. Agar tujuannya dapat tercapai makamereka mengadakan pendekatan melalui

berbagai bentuk upacara. Dalam upacara inidapat dipakai untuk mengukuhkan kembalinilai-nilai dan keyakinan yang berlaku dalammasyarakat. Oleh karena itu upacara meru-pakan salah satu kegiatan sosial yang sangatdiperhatikan, dalam rangka menggali tradisiatau kebudayaan daerah dan pengembangankebudayaan nasional.1 Dengan demikiandalam setiap kebudayaan terdapat norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi pedo-man bagi masing-masing warga masyarakatpendukungnya dalam bertingkah laku ataubergaul dengan sesamanya.

Norma-norma atau nilai-nilai dapatdimengerti oleh warga masyarakat selakupendukung kebudayaan tersebut melaluibelajar, baik secara formal maupun nonformal. Hal yang serupa juga diungkapkanoleh Peursen2 bahwa kebudayaan merupakansemacam sekolah di mana manusia belajar.

TRADISI MERTI BUMI SUATU REFLEKSIMASYARAKAT AGRARIS

Isyanti

Abstrak

Kegiatan tradisi merupakan pewarisan serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai darisuatu generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai yang diwariskan biasanya adalah nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukung tradisi dianggap baik, relevan dengan kebutuhankelompok dari masa ke masa. Demikian pula dengan adanya tradisi merti bumi inimuncul atas gagasan masyarakat setelah masa panen yang terus menerus melimpah dantidak ada bencana alam yang melanda desanya. Dapat dikatakan bahwa tradisi mertibumi mempunyai tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatandari ancaman bencana alam dan sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur masyarakatatas rezeki, kesehatan dan ketenteraman.

Kata kunci: Merti Bumi - Refleksi - Masyarakat Agraris.

1 Mulyadi. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi DIY. (Yogyakarta: Proyek P2NB Depdikbud,1982/1983), hal. 2.

2 Van Peursen. Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1976), hal. 4.

Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris (Isyanti)

Page 12: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

132

Menurut Budi Santoso3 sumber-sumberinformasi yang tak tertulis dapat diperolehmisalnya dengan memperhatikan tingkahlaku yang ditujukan untuk kegiatan teknissehari-hari mempunyai kaitan dengankepercayaan tertentu ataupun dalam bentukhasil karya masyarakat pendukungnya.Kebudayaan yang merupakan warisanleluhur, sebenarnya oleh warga masyarakatmasih ada yang memegang teguh sertaterikat adanya tradisi yang berlaku dalamkelompoknya.

Demikian pula kebudayaan yang ter-sebar di seluruh kepulauan Indonesia masihbanyak yang disampaikan secara lisanmaupun masih diakui oleh masyarakat pen-dukungnya, sehingga perlu dipertahankan.Menurut Peursen4 upacara tradisional lebihdari sebuah mitos di mana fungsinya tidakhanya sekedar memberikan hiburan tetapiyang penting upacara itu dapat mengukuh-kan nilai-nilai tradisi tentang kebaikan,kehidupan, kesuburan, juga penyucian.Selain itu upacara berfungsi pula untukmengukuhkan ikatan solidaritas. Sehinggaupacara tradisional mempunyai fungsisosial, kultural dan religi.

Dalam masyarakat agraris dapatdijumpai beberapa tradisi yang masih dilaku-kan dan dilestarikan oleh pendukungnyasampai saat ini. Salah satu tradisi yang masihdilakukan sampai saat ini adalah tradisi mertibumi. Tradisi ini digelar masyarakat sebagaiwujud rasa syukur atas karunia Tuhan beruparezeki, kesehatan dan ketenteraman.5

PembahasanLokasi pelaksanaan tradisi merti bumi

ini adalah di Dusun Tunggularum Wono-kerto Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.Matapencaharian penduduknya lebih dari 80% adalah bekerja di bidang pertanian. Tradisi

merti bumi dilaksanakan setiap setahunsekali dan jatuh pada bulan Sapar. Tradisimerti bumi Tunggularum ini muncul atasgagasan masyarakat Tunggularum setelahmasa panen yang melimpah dan tidak adabencana alam yang dialami masyarakat.Pada mulanya Dusun Tunggularum Lamaselalu mengalami bencana alam yang berupalahar Merapi, sehingga masyarakat ataupenduduknya berinisiatif untuk pindah dariDusun Tunggularum Lama ke DusunTunggularum Baru.

Setelah penduduk Dusun Tunggul-arum Lama pindah ke Dusun TunggularumBaru, penduduk mulai merasa tenang danhampir tidak terjadi lagi adanya lahar panasdari Gunung Merapi, bahkan hasil bumimasyarakat sangat melimpah. Walaupunpenduduk Dusun Tunggularum Lama sudahpindah ke Dusun Tunggularum Baru, namunDusun Tunggularum Lama merupakan lahanuntuk mencari nafkah, karena tanahnyamenjadi sangat subur. Dengan adanya laharpanas Gunung Merapi itulah, tanah di DusunTunggularum menjadi subur dan dapatmenghasilkan hasil bumi yang melimpah.Oleh karena itu penduduk Dusun Tunggul-arum Baru menggantungkan hidupnya dilahan yang ditinggalkan yaitu dari DusunTunggularum Lama. Dengan demikian dapatdikatakan bahwa tradisi merti bumi inimempunyai tujuan memohon kepada TuhanYang Maha Esa untuk keselamatan danlindungan dari bencana alam dan sekaligussebagai rasa syukur.

Berkaitan dengan pelaksanaan tradisitersebut dapat dijadikan sarana pemikiranorang Jawa berkaitan erat dengan hubunganantara alam, manusia dan Tuhan. Ketigakomponen tersebut merupakan satu kesatuanyang tidak dapat dipisahkan dan selalu dijagahubungannya agar terjadi keseimbangan.

3 Budi Santoso. “Pembangunan Nasional dalam Perkembangan Kebudayaan”, Makalah PengarahanKajian dan Pembinaan Kebudayaan Pada Penyuluhan Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah.(Yogyakarta: Depdikbud, 1983/ 1984), hal. 8.

4 Van Peursen, op.cit., hal. 18.5 Has. “Merti Bumi Di Guyur Hujan” dalam Kedaulatan Rakyat. 27 Februari 2007, hal. 24.

Page 13: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

133

Dengan keseimbangan antara ketiganyahubungan antar manusia, manusia denganalam dan manusia dengan Tuhan akanberlangsung selaras. Keselarasan padaakhirnya akan membawa suasana damai,aman tenteram, berkecukupan, tanah suburdan melimpah hasilnya. Gambaranhubungan antar manusia, alam dan Tuhandilambangkan dengan simbol-simbol yangterdapat dalam unsur tradisi merti bumi.

Selain itu manusia dengan segala akalbudinya berusaha untuk menjaga kelestarianalam dan pada gilirannya kelestarian alamakan menyebabkan ketenteraman danketenangan hidup manusia. Untuk mewujud-kan kelangsungan hubungan antara manusiadengan alam perlu adanya suatu usaha yangsecara implisit mengandung pesan pen-tingnya kelestarian alam.6 Demikian pulamengenai hukum alam sangat konsisten,setia dan akan bertanggung jawab atas ke-sejahteraan, keselamatan serta kebahagiaankita.

Oleh karena itu masyarakat Tunggul-arum dalam menjaga keseimbanganhubungannya dengan alam, setiap bulanSapar mengadakan persembahan yangberupa tradisi merti bumi. Tradisi tersebutdiawali dengan pengambilan air di SendhangPancuran oleh masyarakat setempat di-maknai untuk penyucian diri lahir dan batin.Penyucian diri ini dilakukan sehari sebelumpelaksanaan kirab pusaka Kyai TunggulWulung dan Tumpeng Kembar GununganSalak.

Air yang ada di Sendhang Pancuran,dipercaya banyak orang dapat menyembuh-kan berbagai penyakit. Gunungan berupaGunungan Salak juga disebut denganGunungan Salak Gung Rinenggo terbuat daribuah salak seberat + 500 kg. Merekamembuat gunungan dari buah salak karenahasil yang diandalkan dari daerah tersebutadalah buah salak.

Tradisi merti bumi diawali denganprosesi pengambilan air suci oleh parapamong desa. Kemudian dilakukan kirabpusaka Kyai Tunggul Wulung disertai kirabTumpeng Lanang Wadon dan Gunungan UluMetu yang diberangkatkan dari balai desamenuju Plataran Tunggularum. Pada puncakproses di Plataran dipersembahkan Gu-nungan Salak Gung Rinengo dan ditampil-kan tari persembahan.

Makna dari Tumpeng Lanang danTumpeng Wadon adalah persembahan rasasyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, jugakepada penjaga desa mereka, dari marabahaya Gunung Merapi, yang setelah kepin-dahannya ke dusun yang baru tidak terjadiapa-apa, bahkan kehidupannya lebih ten-teram dan tenang. Karena memang secarageografis daerah Tunggularum lama meru-pakan daerah bahaya Merapi, bila digunakansebagai daerah pemukiman penduduk sangatmembahayakan penduduk yang tinggal disitu. Pada acara tersebut ditampilkan pulamakanan yang menjadi ciri khas dari daerahtersebut yaitu nasi jagung. Jadi setiap adaritual kegiatan, nasi jagung tidak keting-galan. Nasi jagung merupakan kegemaranpenjaga Gunung Merapi.

Selanjutnya mengenai pantangan-pantangan yang dilakukan saat puncak acarayaitu :

- Tidak boleh berbicara yang tidak baikpada saat mengikuti prosesi kirabpusaka Kyai Tunggul Wulung.

- Harus berpakaian rapi dan sopan.- Selama prosesi harus berjalan hati-hati,

karena jalan yang dilalui licin dansempit.

- Panitia penyelenggara dalam pelak-sanaannya harus memakai pakaiankejawen.

- Pakaian yang dikenakan jangan me-makai pakaian dengan warna gadhungmelati, karena menyamai denganpakaian Kanjeng Ratu Kidul.

6 Titi Mumfangati. Makna dan Fungsi Nyadran Kali di Kabupaten Magelang. Naskah belum diterbitkan.

(Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006 ), hal. 6.

Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris (Isyanti)

Page 14: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

134

Kemudian mengenai nilai-nilai yangterkandung dalam tradisi merti bumimelputi:

- Nilai Gotong RoyongNilai gotong royong dalam upacara

merti bumi ini terlihat dalam pelaksanaanatau penyelenggaraan yang dilakukanbersama-sama antara warga masyarakatTunggularum Baru dan sekitarnya. Misalnyadalam hal biaya penyelenggaraan ditang-gung bersama dengan warga masyarakat.Demikian pula dalam hal gotong royongyang dilakukan warga masyarakat padawaktu diadakan kerja bakti di tempatpenyelenggaraan upacara.

Pada waktu pembuatan GununganSalak Gung Rinenggo, kegotongroyonganjelas terlihat, mereka dengan suka relamembantu sampai selesai. Mereka mem-bantu secara suka rela, sehingga merasapuas, dan gotong royong yang menjadi cirikhas warga masyarakat dapat dilestarikanatau dipertahankan.

- Nilai Persatuan dan KesatuanTradisi merti bumi yang diselenggara-

kan di Tunggularum ternyata dapat berperanuntuk menggalang persatuan dan kesatuanwarga setempat. Persatuan dan kesatuanwarga masyarakat tersebut dinyatakanadanya pembagian makanan dan makanbersama yang dilakukan pejabat desa, tamuundangan dan warga masyarakat. Olehkarena itu dorongan untuk melaksanakantradisi merti bumi merupakan dasar yangkuat bagi warga masyarakat Tunggularumdalam melakukan tugas-tugas yang dibeban-kan kepada mereka. Sebagai contoh dalammembuat sesaji, dalam kerja bakti danpersiapan minuman atau makanan untuksuatu pelaksanaan upacara. Bahkan pada saatpelaksanaan upacara telah selesai, merekabersama-sama membersihkan tempat-tempatyang telah digunakan dan mengembalikanke tempat semula.

Sebagai warga Tunggularum yangmenjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mem-punyai anggapan bahwa manusia tidak dapat

hidup sendirian, tetapi selalu tergantungkepada sesamanya. Oleh karena itu tradisimerti bumi yang menyangkut kegiatanseluruh warga ditujukan untuk kepentinganbersama. Hal ini disebabkan pada dasarnyatradisi tersebut untuk kepentingan bersama,memberikan kesejahteraan, ketenteramandan keselamatan warga Tunggularum. Nilaipersatuan dan kesatuan yang adasehubungan dengan adanya tradisi mertibumi dapat pula dilihat pada waktupelaksanaan upacara. Penduduk sekitartempat pelaksanaan tradisi merti bumidilaksanakan mereka dengan senang hatimembuka pintu rumahnya dan menyediakanmakan dan minum bagi siapa saja yangmampir dirumahnya untuk istirahat sejenak.

- Nilai MusyawarahDalam penyelenggaraan tradisi merti

bumi sangat menjunjung tinggi nilaimusyawarah. Hal ini ditunjukkan dalampelaksanaan tradisi merti bumi. Sebelum di-selenggarakan, dibentuk panitia secaramusyawarah, yang dinamakan rembug desa,antara warga masyarakat dengan aparat desa.Dalam musyawarah tersebut dibicarakanbagaimana cara mencari dana untukpenyelenggaraan.

- Nilai Pengendalian Sosial.Tradisi merti bumi selain merupakan

suatu upaya warga masyarakat Tunggularumdan sekaligus memberikan penghormatandan ucapan rasa syukur kepada Tuhan YangMaha Esa, juga merupakan upaya pelestariantradisi yang sangat besar manfaatnya bagimasyarakat Tunggularum. Berbagai pan-tangan yang berlaku dalam penyelenggaraantradisi tersebut membuktikan ketaatanmasyarakat terhadap tradisi merti bumi yangtelah diyakininya.

- Nilai Kearifan LokalTradisi merti bumi yang dilakukan

masyarakat Tunggularum mempunyaikearifan lokal tradisi yang dapat dilestarikan.Hal ini ditujukan pada waktu pengambilanair di Sendhang Pancuran. Sebelum prosesi

Page 15: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

135

pengambilan air, di lingkungan SendhangPancuran diadakan kerja bakti membersih-kan lingkungan. Air dari SendhangPancuran diyakini dapat menyembuhkanberbagai macam penyakit. Jadi SendhangPancuran harus dijaga kebersihannyasupaya dapat lestari. Selain itu air dariSendhang Pancuran ini dapat digunakansebagai salah satu sumber penghidupan bagimasyarakat disekitarnya.

PenutupTradisi merti bumi berkaitan dengan

kepercayaan dan merupakan salah satubentuk warisan budaya leluhur yang sampaisekarang masih tetap dilaksanakan dandilestarikan oleh masyarakat Tunggularum.

Pada hakekatnya tradisi tersebut merupakankegiatan sosial yang melibatkan seluruhwarga masyarakat dalam usaha bersamauntuk mendapatkan keselamatan, keten-teraman bersama.

Dalam pelaksanaan tradisi merti bumiada beberapa pantangan-pantangan yangharus ditaati oleh warga masyarakat, merekaakan merasa takut dan malu bila me-langgarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwatradisi tersebut merupakan pranata-pranatasosial untuk mengatur sikap dan tingkah lakubagi warga masyarakat. Juga adanya pem-bersihan lingkungan di sekitar SendhangPancuran merupakan kearifan lokal tradisiuntuk kelestarian mata air di SendhangPancuran.

Daftar Pustaka

Budi Santoso, 1983/1984. “Pembangunan Nasional dan Perkembangan Kebudayaan”,Makalah Pengarahan Kajian dan Pembinaan Kebudayaan Pada PenyuluhanPembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah. Yogyakarta: Depdikbud.

Has. “Merti Bumi di Guyur Hujan”, dalam Kedaulatan Rakyat. 27 Februari 2007.

Mulyadi, 1982/1983. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY.Yogyakarta: Proyek P2NB Depdikbud.

Titi Mumfangati, 2006. Makna dan Fungsi Nyadran Kali di Kabupaten Magelang.Naskah belum diterbitkan. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Van Peursen, 1974. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris (Isyanti)

Page 16: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

136

MitosSuku-suku bangsa di dunia pada umum-

nya mempunyai berbagai jenis cerita tentangmitos. Mitos merupakan produk pikiranmanusia, hasil karya manusia secara kolektifdan menjadi milik kolektif. Setiap mitosdigunakan untuk memecahkan kesulitan bagisuatu pemikiran.1 Persoalan tersebut dire-fleksikan dalam cerita dan merupakan upayayang dilakukan oleh penciptanya untukmencari jalan keluar dari suatu persoalanyang dihadapi pada saat itu. Ungkapan ceritadalam mitos ada yang disamarkan, dibuatabstrak, atau menunjukkan bahwa persoalanitu sudah dipecahkan.2

Mitos memberikan contoh-contohmodel karya para dewa dan leluhur mitis, dimana setiap tindakan manusia dibenarkandengan mengambil mitos tersebut sebagaireferensi. Cerita yang ada pada mitos me-ngandung pesan-pesan bagi pendukung

mitos, dan pesan-pesan tersebut tersamardalam jalannya sebuah cerita. Jadi mitosmengandung unsur-unsur simbolik yangmempunyai arti (meaning) serta pesan-pesanbagi kehidupan manusia baik dalamhubungan sosial maupun dalam pergaulanhidup sehari-hari.

Mitologi diakui oleh masyarakatpendukungnya sebagai fakta historis atauriwayat suatu peristiwa yang dianggapsungguh-sungguh terjadi. Lebih dari itumitologi mempunyai fungsi penting bagikehidupan masyarakat sehari-hari. Di dalammitos dijumpai adanya oposisi biner yaituadanya hal yang positif dan negatif ataskekuatan spiritual dan supernatural. Fungsiutama oposisi biner adalah membentuk suatustruktur yang mendasari pemikiran manusia.

Tindakan religius orang Jawa di-pengaruhi oleh agama Hindu. Penghormatandan pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu

DEWI SRI DALAM TRADISI JAWA

Sumintarsih

Abstrak

Dalam masyarakat agraris (terutama di Jawa), tradisi penghormatan terhadapkehadiran Dewi Sri masih berlangsung sampai sekarang. Simbolisme penghormatanterhadap Dewi Sri tampak dalam ritus-ritus perkawinan (midodareni), tata ruangbangunan, dan ritus-ritus pertanian. Figur Dewi Sri menjadi simbol dan kerangka acuanberpikir bagi orang Jawa khususnya petani Jawa di dalam prosesi siklus hidup yaituperkawinan, memperlakukan rumah dan tanah pertaniannya. Dalam struktur berfikir,mereka percaya bahwa asal-usul benih kehidupan berasal dari dunia atas (dewa) yangdiberikan kepada dunia bawah (manusia). Supaya benih kehidupan tetap terjagakeberlangsungannya maka harus dijaga hubungan dunia atas dengan dunia bawah denganmelalui ritus-ritus.

Kata kunci: Dewi Sri - Simbol - Tradisi Jawa.

1 J.V. Ball. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antopologi Budaya (Hingga decade 1970). (Jakarta: Gramedia,1984).

2 B. Rahmanto. “Ke Arah Pemahaman Lebih Baik Tentang Mitos”, Basis. No. 2, Yogyakarta, 1993.

Page 17: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

137

menimbulkan adanya asimilasi pahamanimisme dengan paham Hindu. Dari sinilahirlah tokoh simbolik seperti Dewi Sriyang diyakini para petani sebagai dewi yangmemelihara tanaman.3 Dari sini kemudianmuncul tradisi-tradisi4 yang berkaitandengan pemujaan atau penghormatanterhadap Dewi Sri.

Dewi Sri: Dewi KesuburanMenurut Pigeaud, cerita tertua yang

menghubungkan Dewi Sri dengan tumbuh-tumbuhan khususnya padi dijumpai di dalamKitab Tantu Panggelaran yang terdapat padaabad 15-16. Biji-bijian atau tumbuh-tumbuhan tersebut tidak berasal dari tubuhSri akan tetapi dari tembolok burung milikDewi Sri. Terdapat banyak versi mengenaicerita Dewi Sri. Dalam cerita Dewi Sri, padaakhir ceritanya dikisahkan bahwa, figur Srimenitis (berinkarnasi) menjadi ular sawahdan Sadhana menjadi burung. Kedua kakak-beradik tersebut mengalami transformasimenjadi dewa pemurah yang untuk selama-nya mengabdikan diri untuk kemakmuranJawa. Sri menjamin kesuburan, sedangkanSadhana menjamin kekayaan. Sri mengajar-kan seni sesajian dan langkah-langkah yangbertalian dengan pertanian. Dengan de-mikian cerita Sri-Sadhana sesungguhnyadiwarnai dengan detil-detil resep Sri me-ngenai pertanian dan kehidupan produksi.

Dapat dikatakan bahwa hampir semuatempat yang penduduknya mengenalbercocok tanam di sawah mengetahui ceritatentang seorang tokoh yang dipahami olehsebagian besar masyarakat agraris sebagaidewi kesuburan, dewi penjaga sawah, ataudewi padi5. Sebagian dari pemilik cerita

mitos ini menjalankan ritual-ritual yangberkaitan dengan dewi kesuburan. Dewikesuburan kita kenal melalui upacara-upacara pertanian yang masih dilaksanakandi beberapa daerah di Indonesia, sedangkandi beberapa tempat hanya dikenal melaluicerita-cerita rakyat. Mitos tentang terjadinyatumbuh-tumbuhan ini di samping terdapatdi beberapa daerah di Indonesia, juga dikenalhampir di seluruh Indonesia, bahkan hampirdi semua negara-negara agraris di dunia.

Dalam pertanian, melimpahnya hasilpanen padi berkaitan erat dengan kesuburan.Kesuburan identik dengan perempuan,karena perempuan yang melahirkan ke-turunan. Dalam hal ini Dewi Sri digam-barkan sebagai simbol dewi kesuburandalam masyarakat agraris di Jawa. Konsepperempuan sebagai simbol kesuburanberkaitan erat dengan masalah produksi danreproduksi, maka dimunculkanlah dalamcerita Dewi Sri seorang tokoh Sadhana. JadiSadhana dihadirkan dalam cerita tersebutsebagai pelengkap simbol kesuburan.

Di Pulau Jawa mitos asal mula tumbuh-tumbuhan yang sangat penting dalamkehidupan sehari-hari, termasuk di siniadalah padi, yang biasanya dihubungkandengan tokoh dewa-dewi dalam agamaHindu. Misalnya Dewi Sri atau Tiksnawati,atau Laksmi, adalah cakti Dewa Wisnu.6

Dalam cerita-cerita mitos dewi kesuburan,Dewi Sri atau dengan sebutan lainnya selaludidampingi Dewa Wisnu yang juga dalamwujud lain. Cakti merupakan daya kekuatanseorang dewa untuk dapat berkarya danmenciptakan. Banyak mitos tentang ke-lahiran, penerus keturunan yang kemudiandihubungkan dengan tokoh perempuan.

3 B. Herusatoto. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta: Hanindita, 1984).4 Tradisi merupakan sejumlah kepercayaan, pandangan atau praktik yang diwariskan dari generasi ke

generasi (secara lisan atau lewat tindakan), yang diterima oleh suatu masyarakat atau komunitas sehunggamenjadi mapan dan mempunyai kekuatan seperti hukum (Ahimsa-Putra, tt).

5 Mitos tentang asal-usul padi di Pasundan Jawa Barat dikenal nama Ni Pohaci; mitos tentang asal-usulpadi di Kalimantan dikenal dengan Putri Liung Indung Bunga; mitos asal-usul padi di Jawa, Madura, Banyumas,dikenal tokoh Dewi Sri.

6 H. Santiko. “Dewi Sri di Jawa”, Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi. (Jakarta: Pusat PenelitianPurbakala dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K, 1980).

Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa (Sumintarsih)

Page 18: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

138

Berkaitan dengan ini kemudian di ling-kungan masyarakat agraris muncul kultusdewi ibu.7

Inti dari mitos terjadinya tumbuh-tumbuhan pada umumnya menceritakan halyang sama, yaitu munculnya berbagai jenistumbuh-tumbuhan yang diperlukan manusiadari tubuh seorang perempuan. Mitos asalmula tumbuh-tumbuhan ini sangat berhu-bungan dengan seorang dewi ibu (mother-godess) yang dalam kebudayaan agrarisdianggap yang melahirkan tumbuh-tumbuhan yang dibutuhkan manusia. Dalamupacara-upacara keagamaan terutama yangberkaitan dengan harapan manusia terhadaphasil (pertanian) yang melimpah, makamasyarakat pada umumnya melakukanpemujaan terhadap tokoh perempuan yangdiwujudkan dengan arca-arca kecil yangterbuat dari batu, tulang, atau tanduk.8 Gam-baran tokoh perempuan yang disimbolkansebagai dewi kesuburan dapat dilihat daribeberapa peninggalan kuno yang ada diIndonesia dalam bentuk arca maupun relief.9

Kebudayaan agraris dengan tokoh dewi ibusudah ada sebelum ditemukan cara-carabercocoktanam.10

Mitos dewi kesuburan membuktikanadanya penghormatan dan pemujaan yangdilakukan oleh para pemilik mitos tersebut.Sampai sekarang ritus-ritus pemujaanterhadap Dewi Sri masih berlangsung,khususnya yang berkaitan dengan pertanian.Upacara-upacara yang dilakukan oleh ma-syarakat tertentu pada umumnya berorientasipada tindakan-tindakan yang telah dilakukanoleh para leluhurnya. Dapat dikatakan disini bahwa fungsi mitos yang utama adalah

menetapkan contoh model bagi semua tin-dakan manusia baik dari upacara dankegiatan sehari-hari yang bermakna.11

Unsur pemujaan kesuburan tersebutterdapat dalam mitos tanaman yaitu bahwa,tokoh wanita sebagai pemeran utama ter-jadinya tumbuh-tumbuan.Dalam kebu-dayaan agraris perempuan dianggap yang‘melahirkan’ segala sesuatu di dunia ini ter-masuk tumbuh-tumbuhan yang dibutuhkanmanusia; Tokoh perempuan dalam mitostersebut merupakan analogi dari tumbuh-tumbuhan yang sebenarnya merupakanlambang dari biji-bijian tanaman.

Jadi mitos asal mula tanaman yangsangat penting dalam kehidupan sehari-harimanusia termasuk di sini padi, biasanyakejadiannya dihubungkan dengan tokohdewa-dewi dalam agama Hindu. MisalnyaDewi Sri (atau jelmaan Laksmi) dalamcerita-cerita mitos dewi kesuburan Dewi Sriselalu didampingi Dewa Wisnu (menjelmasebagai Sadhana). Banyak mitos tentangkelahiran, penerus keturunan yang kemudiandihubungkan dengan tokoh perempuan.Berkaitan dengan ini kemudian munculkultus dewi ibu dalam masyarakat agraris.

Dalam konteks budaya lokal (localgenius) hal tersebut menandai bahwa dalamsistem kepercayaan masyarakat adahubungan antara otoritas leluhur denganpendukung budaya ritual tersebut. Disebab-kan oleh hal ini kemudian timbul ritus-rituspemujaan, yang bermakna bagaimanapartisipasi tokoh supranatural itu dapatmemberikan ‘sesuatu’ yang bernilai transe-dental bagi pemujanya. Perilaku pemujaan

7 H. Hadiwijono. Agama Hindu dan Budha. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1987).8 H. Santiko, op.cit.9 Terdapat di Candi Prambanan pada Candi Siwa, dan Wisnu; pada Candi Borobudur, Pawon, dan Mendut

(Albilladiyah, 1993). Dalam relief-relief candi menggambarkan seorang dewi yaitu tokoh Hariti. Dalam agamaHindu, Hariti dikenal sebagai dewi pelindung anak-anak, sedangkan dalam agama Buddha, Hariti merupakanlambang kesuburan. Tokoh Hariti dipahatkan di dinding pintu masuk Candi Mendut dan Candi Banyutibo.Hariti juga terdapat di Trowulan, Mojokerto, juga Bali. Ciri-ciri Hariti sebagai dewi kesuburan digambarkandengan payudara, perut, dan pinggul serba besar (Albiladiyah, 1993).

10 H. Santiko. Ibid.11 PS. Harysusanto. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliede. (Yogyakarta: Kanisius, 1987).

Page 19: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

139

tersebut merupakan refleksi kepercayaankepada roh-roh nenek moyang.

Tradisi Yang Bersumber Pada Dewi SriDalam siklus pertanian

Sejak berabad-abad yang lampau ma-syarakat pedesaan Jawa sudah mengenalkehidupan agraris. Pada umumnya mata pen-caharian pokok masyarakat Jawa adalahbercocok tanam. Jadi masyarakat Jawasangat paham bagaimana memperlakukantanah garapannya yaitu dalam mengolah,memelihara, dan memanen. Demikian jugausaha-usaha bagaimana agar hasil sawahdapat melimpah, dan membasmi hama-hamapenyakit yang menyerang tanaman merekadengan cara melakukan kegiatan-kegiatanritual. Berkaitan dengan hal itu mitologimengenai Dewi Sri mengungkapkan me-ngenai asal-usul padi, memelihara, melin-dungi, dan menjaga kesuburan padi, yangsemuanya itu menjadi kekuasaan Dewi Sri.Untuk menjaga hubungan ini pada umumnyapetani melakukan ritus-ritus pemujaanterhadap Dewi Sri.12

Cara hidup bertani pada masyarakatJawa sejak dahulu sampai sekarang padaumumnya masih menggunakan cara-caratradisional baik dalam hal pelaksanaanteknis mengolah pertanian maupun yangberkaitan dengan sistem kepercayaanmereka yaitu penyelenggaraan upacara-upacara yang berkaitan dengan pertanian.Sampai sekarang proses tahap-tahap pena-naman padi di Jawa belum kehilangan sifat

religiusnya dan masih dirayakan dengandisertai slametan.13 Kepekaan orang Jawaterhadap dimensi empiris dunia gaibmenemukan ungkapannya dalam berbagaicara misalnya dalam upacara-upacara adat.Dalam tradisi itu termuat bagaimana harusbersikap untuk tetap dalam keselarasandengan alam raya dan dengan roh-roh yangmengelilinginya.14

Walaupun ritus-ritus atau upacaratersebut sekarang ini semakin berkurangtetapi petani dalam manifestasi peng-hormatan terhadap Dewi Padi masih di-lakukan dengan membuat sesaji secarasederhana. Upacara ritual atau slametanyang masih dilaksanakan terkait denganpenghormatan kepada Dewi Sri antara lainadalah Tingkeb Tandur dan Methik.

Ritual yang dilakukan ketika padiberumur dua bulan oleh sebagian masyara-kat petani adalah slametan Tingkeb Tandur.Secara harafiah kata tingkeb berarti slametanmitoni. Istilah mitoni adalah upacara yangdilakukan pada saat usia kandungan seorangwanita genap tujuh bulan. Slametan inibertujuan agar bayi lahir dengan selamat.Jadi kata ‘tingkeb’ yang artinya slametanmitoni, dan kata tandur yang artinyamenanam dimaksudkan sebagai upacarayang terkait dengan usia hamil tanaman padi.

Upacara Tingkeb Tandur dilaksanakanoleh masyarakat petani dilatarbelakangi olehkondisi lahan di desa tersebut yang rawanterhadap bencana banjir dan kekeringan.Oleh kondisi lahan seperti itu, petani di

12 Dalam masyarakat agraris Jawa Dewi Sri digambarkan sebagai simbol Dewi Kesuburan. Konsepperempuan sebagai simbol kesuburan berkaitan erat dengan masalah produksi dan reproduksi, makadimunculkan dalam cerita mitos Dewi Sri seorang tokoh Sadhana sebagai pelengkap simbol kesuburan; simbolkelaki-perempuanan ini merupakan oposisi eksplisit dalam konteks keturunan (Willis, 1979).

12 Dalam masyarakat agraris Jawa Dewi Sri digambarkan sebagai simbol Dewi Kesuburan. Konsepperempuan sebagai simbol kesuburan berkaitan erat dengan masalah produksi dan reproduksi, makadimunculkan dalam cerita mitos Dewi Sri seorang tokoh Sadhana sebagai pelengkap simbol kesuburan; simbolkelaki-perempuanan ini merupakan oposisi eksplisit dalam konteks keturunan (Willis, 1979).

13 Slametan, adalah ritus-ritus yang dilakukan dengan sederhana dengan membuat sesaji yang dikendurikanoleh masyarakat bersangkutan. Ritus-ritus tersebut dapat meliputi sekitar daur-hidup (lifecycle), maupunyang terkait dengan sumber-sumber kehidupan, terhadap alam supranatural, arwah leluhur/nenek moyang,dan ritus-ritus lain untuk keselamatan dan perlindungan manusia.

14 F. Magnis Suseno. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafati Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. (Jakarta:Gramedia, 1989).

Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa (Sumintarsih)

Page 20: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

140

dalam mengolah sawahnya harus telaten danselalu berharap alam lingkungan memihakkepadanya. Oleh sebab itu keberhasilanpetani di dalam mengolah sawahnya, dariproses menanam padi sampai padi akanmrekatak (keluar malainya secara bersama-sama) dan kemudian meteng atau hamil,dianggap merupakan anugerah dari Yang DiAtas dan perlindungan dari Dewi Sri. Atasdasar itu kemudian ditingkebi supaya padiyang hamil selamat sampai panen nanti.

Jadi upacara Tingkep Tandur merupa-kan ungkapan rasa syukur petani kepadaYang Di Atas, pencipta alam semesta yangtelah memberikan rezeki dan perlindungankepada petani.15 Ungkapan rasa syukurkarena tanaman padi mereka sudah berbuahjuga ditujukan kepada Dewi Sri, dewi padi.Dewi Sri adalah tokoh mitos yang lekatdengan kehidupan petani, yang diyakinisebagai pelindung dan penjaga padi milikpetani. Oleh karenanya masyarakat petanimeyakini bahwa melaksanakan upacara inimerupakan syarat untuk keberhasilan panen.Dalam prosesi upacara tersebut disertakansesaji dan perlengkapan upacara.16

Upacara methik atau panen padi pertamadilakukan sebagai penghormatan kepadaDewi Sri yang telah menjaga padi sampailahir atau panen. Upacara menuai padi yangpertama kali (atau disebut wiwit atau methik)ini, dilakukan dengan prosesi upacara me-motong tangkai padi dan kemudian dibalutdengan kain putih seperti pengantin. Padiyang dipotong tersebut dinamakan parijatha.Tangkai padi kemudian dibawa ke empatsudut petak sawah yang akan dituai setelahitu padi dibawa pulang dan disimpan kedalam lumbung.17

Ritual methik pada umumnya dilaksa-nakan dengan pola umum yang hampir samadari daerah ke daerah. Satu atau dua harisebelum panen dimulai, dhukun methikmembawa sesajian ke sawah dan mengitarisawah tersebut satu kali putaran searahjarum jam, lalu menuju ke bagian tengah dimana dipilih suatu tempat sebagai titik fokusritus methik. Setelah membaca suatu man-tra ia segera memotong beberapa tangkaipadi dan menganyamnya. Kepangan atauanyaman tangkai padi tersebut lalu digen-dong oleh dhukun, dipayungi layaknyaseperti bayi.

Jadi dalam prosesi methik yang berperanadalah dhukun methik. Tangkai-tangkai padiyang dipotong dengan jumlah yang disesuai-kan dengan perhitungan Jawa, kemudiandikepang (dianyam) yang mentransforma-sikan kepangan tangkai-tangkai padi tersebutsebagai pengantin Sri. Sesajian dipersem-bahkan atas nama Dewi Sri, dan hinggabenih padi sebagai figur Dewi Sri menjadikering, yang selanjutnya akan disertakanuntuk ditanam pada musim-musim ke-mudian. Padi yang terkandung dalam figur‘Sri’ tersebut tidak pernah dikosumsi. Ritusmethik ini menunjukkan bahwa Mbok Sripelindung spiritual atas satu dunia kehidupanpertanian dan kerumahtanggaan Jawa.18

Pengepangan tangkai padi menjadipengantin ‘Sri’ adalah suatu proses generasiyang bertalian dengan ranah reproduksimanusia, dan juga reproduksi pertanian.Melalui substitusi mitologis, figur ‘Sri’mempresentasikan suatu surplus di manasimpanan padi dari satu panen hasilnyamelimpah dalam panen berikutnya.

15 Upacara tingkeb tandur masih dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat di Desa Kanoman,Beran, Sungapan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo.

16 Petani membawa besek atau ancak berisi nasi dan lauk-pauk (tempe, peyek gereh, bakmi, sambel alus,tumis buncis/kacang panjang; pisang pulut, pisang raja bandung; pengaron rasulan berupa tumpeng nasigurih, ingkung, urap, jajan pasar, pisang; dan bunga telon.

17 Lumbung adalah tempat menyimpan padi hasil panen.18 J. Pamberton. The Appearance of Order: A Politics of Culture in Colonial and Post colonial Java. A

Dessertation Presented to the Faculty of the Graduate School of Cornell University in Partial Fulfillment ofthe Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy, 1989.

Page 21: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

141

PerkawinanKehadiran figur Dewi Sri juga tampak

dalam upacara perkawinan, di manapertalian antara reproduksi pertanian danreproduksi manusia berada dalam rituskedua dari rangkaian ritus temu pengantin.Pengantin perempuan dan pengantin laki-laki bersama-sama melangkahi sebuahbajak19 yang ditempatkan di ambang pintumasuk rumah di mana upacara perkawinantersebut diselenggarakan. Ritus mengguna-kan bajak sedikit banyak meretensipertaliannya dengan proses reproduksi Sri.20

Di bajak tersebut tertera tanda-tanda darikapur mengenai ramalan yang bertaliandengan reproduksi manusia dan reproduksipertanian. Bajak yang digunakan untuk ritusperkawinan itu secepatnya kemudiandigunakan untuk mengolah lahan sawah,supaya dapat ‘memberikan berkah’ kepadasawah dengan panen yang melimpah.

Jadi ada hubungan simbol kesuburanantara manusia dengan pertanian. Sepertidiketahui pada alat pertanian bajak (yangdigunakan untuk upacara pengantin) biasa-nya tertera suatu perhitungan yang bertaliandengan reproduksi manusia; maknanya ada-lah ramalan yang bertalian antara reproduksimanusia (anak keturunan), dan juga repro-duksi pertanian (kesuburan tanah).

Pada saat panen padi melimpah, di desa-desa biasanya diadakan upacara sedhekahbumi. Dalam rangkaian upacara sedhekahbumi tersebut, ada yang menyertakan penaritayub sebagai personifikasi penghormatankepada Dewi Sri. Dalam tarian ritual itu

penari tayub menyiapkan sesaji yang dianta-ranya terdapat seuntai padi yang diletakkandi tempat di mana dia menari. Untaian paditersebut sebagai simbol Dewi Sri yang diya-kini akan memberi pancaran figurnya kepadapenari tayub.

Pengejawantahan yang bertalian denganfigur Sri juga dalam acara midodareni.21

Oleh dhukun wanita dalam suatu upacaraperkawinan pengantin wanita berusahaditampilkan oleh dhukun tersebut sebagaipengejawantahan yang bertalian dengandunianya Dewi Sri yang menyimbolkan ke-suburan. Pada malam midodareni menurutkeyakinan dhukun pengantin, terjadi prosessubstitusi yang mentransformasi sangpengantin perempuan menjadi figur DewiSri.

Disebut oleh Pamberton bahwa ritus-ritus dalam perkawinan pada dasarnya samadengan kekuatan-kekuatan yang mengaktif-kan adar-istiadat pemetikan hasil panensawah. Pada umumnya orang menyebutkanritus panen atau methik dikatakan sebagai‘pernikahan tangkai padi’. Ritus ini ber-kaitan dengan cerita Sri Sadhana22 yangterkenal itu.

Dewi Sri Dalam Ritus MitoniPada saat kehamilan seorang perem-

puan mencapai usia tujuh bulan, maka untukmenjaga keselamatan bayi yang ada dalamkandungan, dalam tradisi Jawa terdapatupacara yang disebut mitoni atau tingkeban.Ketika kehamilan seorang perempuanberusia tujuh bulan, dalam kepercayaan

19 Bajak adalah alat pertanian yang terbuat dari kayu yang berfungsi untuk menggemburkan tanah.20 H. Santiko, op.cit.21 Midodareni, adalah rangkaian prosesi perkawinan, di mana sebelum acara perkawinan dilangsungkan

malam harinya ada acara midodareni yang diyakini saat itu pengantin wanita mendapat pancaran cahayakecantikan dari para bidadari, di antaranya hadirnya figur Sri dalam diri pengantin.

22 Ringkasan cerita Sri-Sadhana berfokus pada petualangan Dewi Sri dan adik laki-lakinya Sadhana.Keduanya anak raja Mahapanggung. Setelah Sadhana dewasa ia tidak mau mengikuti kemauan ayahnya agarcepat menikah, tetapi Sadhana malahan menaruh cinta terhadap Dewi Sri kakaknya. Sri-Sadhana dimarahiayahnya kemudian meninggalkan istana diikuti oleh Dewi Sri. Setelah mengetahui anaknya pergi, raja kemudianminta tolong kepada raja raksasa yang datang melamar Dewi Sri untuk mencarikan anaknya tersebut. Akhircerita pada perjalanan yang panjang terjadi inkarnasi Dewi Sri menjadi ular sawah, dan Sadhana menjadiburung. Keduanya mengalami transformasi menjadi dewa pemurah yang untuk selamanya mendarmabaktikandirinya untuk kemakmuran: yaitu Dewi Sri menjamin kesuburan, dan Sadhana menjamin kekayaan.

Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa (Sumintarsih)

Page 22: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

142

orang Jawa kehamilan berumur tujuh bulandianggap umur yang ‘rawan’ terhadapbebendu (bencana) atau tahap yangmengharuskan perempuan hamil tersebutharus hati-hati dalam menjaga kehamilannyasupaya lahir sesuai waktunya. Adakepercayaan kehamilan umur tujuh bulandianggap usia kehamilan tua, namunrasionalisasi dari kepercayaan ini tidak adapenjelasannya. Oleh sebab itu kemudiandiadakan ritus-ritus mitoni.

Dalam upacara mitoni ini, ada yangdiselenggarakan secara lengkap atau besar,ada yang sederhana, dengan membuatslametan. Pada masa dahulu, prosesi ber-ganti pakaian tujuh kali setelah upacaramandi, dilaksanakan di depan senthongtengah, atau pasren. Sekarang prosesiupacara tersebut bisa dilaksanakan di ruangtengah atau di ruang mana saja tidak harusdi depan senthong tengah. Demikian jugapada upacara brojolan yang menggunakandua buah cengkir gadhing, bisa dilaksana-kan di tempat upacara mandi atau di ruangtengah. Dua buah cengkir gadhing tersebutmasing-masing digambari tokoh-tokoh yangsudah akrab dalam mitos dongeng-dongengJawa, misalnya Kamajaya-Kamaratih, Panji-Candrakirana, atau Wisnu-Sri.

Upacara mitoni yang dilaksanakan disenthong tengah merupakan simbolisasi Srisebagai dewi kesuburan, dan penggambaransebuah tahap kehidupan yang harus dilaluioleh seorang perempuan yang mempunyaitugas mereproduksi generasi ke generasi.Upacara tersebut sekaligus juga sebagaisimbol permohonan untuk keselamatan ke-hamilan dan kelahiran si bayi sesuai dengangambaran yang ada dalam dua buah kelapacengkir gadhing. Dua buah cengkir gadhingtersebut di samping sebagai simbol tunasmuda, juga sebuah simbol permohonan, bilabayi lahir nanti diharapkan seperti yang

telah digambarkan dalam dua cengkirgadhing tersebut. Ukiran gambar dalamcengkir gadhing tersebut merupakanpersonifikasi hadirnya sepasang dewa-dewiyang mengandung harapan si bayi tidakhanya lahir ‘cantik’ (bila perempuan), dan‘bagus’ (bila laki-laki) seperti halnya Sri-Wisnu, atau Kamajaya-Kamaratih, tetapijuga memiliki sifat-sifat seperti dewa-dewitersebut.

Figur Sri Dalam Tata Ruang RumahTradisional

Penghormatan kepada Dewi Sri jugadiekspresikan dalam sistem tata ruangbangunan rumah Jawa tradisional. Dalamtata ruang tersebut selalu ada ruang untuktempat persinggahan Dewi Sri yang disebutpasren atau petanen, atau pedaringan yaitusuatu ruangan yang terdapat di senthongtengah. Senthong tengah oleh masyasrakatagraris diyakini sebagai tempat istirahatDewi Sri, oleh sebab itu senthong tengahtersebut juga dipergunakan untuk tempatpemujaan kepada Dewi Sri. Tempat tersebutmerupakan simbolisasi keberadaan Dewi Srisebagai dewi kesuburan, dewi padi yangdisakralkan oleh petani. Segala sesuatu yangterkait dengan keberhasilan dan tidaknyausaha tani mereka diyakini tergantung padaDewi Sri. Oleh sebab itu petani melakukanpenghormatan kepada Dewi Sri denganmenyediakan tempat khusus untuk tempatbersemayam Dewi Sri yang disebut pasren,atau petanen tersebut.23 Jadi pasren ataupetanen bagi petani merupakan simboladanya hubungan yang erat antara petanidengan Sri. Petani melakukan penghormatandengan melakukan ritual-ritual untuk DewiSri, dan Dewi Sri diharapkan akan mem-berikan apa yang diinginkan petani yaituhasil panen yang melimpah dari tahun ketahun.

23 Pasren berasal dari kata dasar Sri, mendapat awalan pa dan akhiran an (pa-Sri-an), dalam BahasaJawa menjadi lebur dan dibaca pasren yang berarti sebagai tempat Sri, Dewi Padi; Petanen berasal dari katadasar tani mendapat awalan pe dan akhiran an (pe-tani-an), yang artinya tempat Dewi Padi, dan tempat petanimenghormati Dewi Padi.

Page 23: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

143

24 Patung Loro-blonyo berasal dari kata (loro = dua, blonyo = dilumuri atau diborehi) merupakanpengejawantahan dari Dewi Sri. Patung loro blonyo adalah sepasang patung dari tanah liat atau ada juga yangdari kayu dengan posisi duduk bersila yang melambangkan sepasang pengantin yang sedang duduk bersanding.

Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa (Sumintarsih)

Pada rumah berarsitektur joglo milikseorang bangsawan, pasren dilengkapiaksesori patung Loro Blonyo.24 Patung LoroBlonyo ini merupakan simbol bersatunya Sri-Sadhono sebagai lambang kesuburan. Se-bagai simbol pasangan pengantin, diharap-kan sang pengantin diberi pancaran ke-cantikan seperti Dewi Sri, dan kesuburanuntuk regenerasi sang pengantin.

Figur Dewi Sri dalam pemeliharaanpertanian maupun rumahtangga menjadikerangka acuan bagi orang Jawa khususnyapetani Jawa di dalam memperlakukan tanahpertaniannya dan rumahnya. Dua hal yangmendasari tindakannya ini adalah supayadiberi keselamatan dalam melakukanpekerjaan pertanian dan adanya kepercayaanbahwa proses kehidupan tanaman samadengan kehidupan manusia. Oleh sebab itumereka berfikir untuk menjaga hubunganspiritual terhadap yang memelihara tanahpertaniannya dengan melakukan ritus-ritus,upacara atau slametan.

Arsitektur rumah Jawa tradisionalsekarang ini sudah semakin jarang dijumpai,dengan kata lain rumah tradisional Jawayang memiliki ruang senthong tengah sudahjarang diketemukan. Ini berarti tradisipemujaan Dewi Sri di senthong tengah, ataupasren, atau petanen, pedaringan, yang dila-kukan oleh petani juga sudah mengalamipergeseran. Penghormatan terhadap DewiSri di rumah pada umumnya dilakukan olehpara petani dengan membuat sesaji yangdiletakkan di ruangan lain, misal di tempatmenumpuk padi, menyimpan beras sebelumpadi hasil panen dijual atau dikosumsisendiri, atau di dapur.

PenutupCerita Sri-Sadhana merupakan

ungkapan dari struktur berfikir petani Jawadalam mereka memperlakukan tanahpertaniannya, yang diyakini secara mitisbahwa keberlangsungan usaha pertaniannya

tergantung kepada keberadaan Dewi Sripenjaga sawah tempat sumber kehidupanmereka. Bahwa asal-usul benih kehidupanberasal dari dunia atas (dewa) dan yangdiberikan kepada dunia bawah (manusia),maka untuk menjaga kelangsungan benihkehidupan itu, dan menjaga keserasian hu-bungan antara dunia atas dengan dunia ba-wah petani mengadakan ritus-ritus upacara.Dalam proses pelestariannya dilaksanakandari waktu ke waktu dengan menyesuaikansituasi dan kondisi masyarakat pendukung-nya.

Ritus-ritus atau upacara yang dilakukanmanusia itu pada umumnya untuk memuja,menghormati, dan memohon keselamatankepada nenek-moyang dan Tuhannya, yangmerupakan kelakuan simbolis manusiauntuk memohon keselamatan yang diaturoleh adat yang berlaku. Dalam visualisasinyaritus-ritus itu selalu disertai dengan doa,sesaji, dan slametan atau kenduri.

Mitos Dewi Padi, Dewi Kesuburan atauDewi Sri sampai sekarang masih tetap hidup.Visualisasi pemujaan terhadap Dewi Sridiekspresikan dalam bentuk upacara, sla-metan seperti upacara tingkeb tandur,methik, maupun kehadiran figur Sri yangdiyakini berada di dalam senthong tengah,atau dalam prosesi perkawinan yang disebutmidodareni.

Bagi orang Jawa alam empiris berhu-bungan erat dengan alam gaib, kepekaanorang Jawa terhadap dimensi dunia gaib-dunia empiris tersebut diungkapkan denganberbagai cara misalnya adanya upacarapertanian untuk mensiasati kelangsunganhubungan tersebut. Di dalam hubungannyadengan kepercayaan ini petani tradisionalJawa sangat memperhatikan hal-hal yangberhubungan dengan kehidupan spiritual.Dua hal yang mendasari petani untuk menga-dakan ritus-ritus pertanian adalah keinginanuntuk memperoleh keselamatan dalammelaksanakan pekerjaan pertanian, dan

Page 24: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

144

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H.S., 2006. “Tradisi/Adat-Istiadat: Pemahaman dan Penerapannya”,Materi pembekalan di Direktorat Tradisi, Jakarta.

Albilladiyah, SI., 1993. “Pemujaan Hariti Pada Masa Klasik di Jawa Tengah danPersebarannya”. (Draft laporan penelitian). Yogyakarta: BKSNT.

Ball, J.V., 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade1970). Jakarta: Gramedia

Hadiwijono, H., 1987. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: BPK.Gunung Mulia.

Harysusanto, PS., 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.

Herusatoto, B., 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Magnis Suseno, F., 1989. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafati Tentang KebijaksanaanHidup Jawa. Jakarta: Gramedia.

Pamberton, J., 1989. The Appearance of Order: A Politics of Culture in Colonial andPost colonial Java. A Dessertation Presented to the Faculty of the Graduate Schoolof Cornell University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degreeof Doctor of Philosophy.

Rahmanto, B. “Ke Arah Pemahaman Lebih Baik Tentang Mitos”, dalam Basis. No. 2,Tahun 1993 Yogyakarta.

Santiko, H., 1980. “Dewi Sri di Jawa”, Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi.Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Departemen Pdan K.

kepercayaan bahwa kehidupan tanamanmulai dari penebaran benih sampai dipanenmempunyai siklus yang sama sepertikehidupan manusia. Dalam hal ini menurutkeyakinan petani upacara wiwit dilakukanpetani karena tumbuhan padi merupakanjenis tanaman yang kehidupannya sangattergantung pada penjaga spiritual yangdisebut dengan Dewi Sri.

Adanya beberapa peran yang dibawa-kan oleh figur Sri dalam tradisi Jawa darigenerasi ke generasi yaitu sebagai ibu,pengantin, bayi yang digendong dhukun, dansebagainya, maka melalui personifikasidalam ritual tersebut Dewi Sri mengeja-wantahkan peran-perannya sebagai simboldewi kesuburan.

Page 25: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

145

PendahuluanBerbicara tentang makna dan simbol,

maka keduanya tidak dapat dipisahkan satudengan lainnya. Dalam hal ini tindakan-tindakan yang sifatnya simbolik itudimaksudkan untuk menyederhanakansesuatu yang mempunyai makna; sesuatuyang mempunyai makna itu adalah simboldan maknanya adalah yang dinyatakan olehsimbol tersebut yang harus dicari lewatinterpretasi atau komunikasi terhadapnya.1

Pada hakekatnya pengetahuan manusiaadalah pengetahuan yang simbolis. Fungsiutama dari simbol-simbol itu adalah untukmempermudah berkomunikasi. Komunikasimanusia tidak hanya dengan sesamanya,melainkan juga dengan mahluk di luardirinya, yang bersifat supranatural atau gaib,demi menjaga keseimbangan dalam alamhidupnya. Ketika manusia berkomunikasi

dengan sesama selalu diungkapkan dengankata-kata, sebagai salah satu bentuk daritindakan simbolik. Akan tetapi kalaumanusia itu berkomunikasi dengan mahlukyang lain atau yang ritual maka tindakankomunikasinya adalah secara simbolik.2

Dengan demikian simbol tersebut tidakdapat dipisahkan dengan religi, sebab religimerupakan suatu sistem dan simbol-simboldimana manusia berkomunikasi dengan alamdi dunia. Dengan kata lain dengan melaluiupacara/slametan maka manusia bisamengekpresikan gagasan-gagasan lewattindakan-tindakan simbolik.3

Masyarakat Jawa pada dasarnya adalahmasyarakat yang masih mempertahankanbudaya dan tradisi upacara, serta ritualapapun yang berhubungan dengan peristiwaalam atau bencana, yang masih dilakukandalam kehidupan sehari-hari. Misalnya

1 Soselisa. Makna Simbolik Beberapa Sajen Slametan Tingkeban, Sebuah Kajian Mengenai PrinsipKeseimbangan Dalam Konsep Pemikiran Jawa. (Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1987),hal. 2.

2 Ibid.3 Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).

.MAKNA SIMBOLIK SAJEN SLAMETAN

TINGKEBAN

Isni Herawati

Abstrak

Pada masyarakat Jawa, upacara peralihan dilaksanakan dalam peristiwa kelahiran,perkawinan, dan kematian. Tulisan ini akan mengangkat upacara tingkeban yangtermasuk dalam peristiwa kelahiran. Tingkeban adalah upacara yang dilaksanakan olehwanita yang hamil pertama kali ketika kandungannya genap berusia tujuh bulan. Dalampenyelenggaraan upacara ini ada beberapa rangkaian yang harus dilaksanakan diantaranya siraman dan slametan. Dalam slametan banyak dijumpai adanya sajen-sajenyang mempunyai makna dam simbol yang terkandung di dalamnya.

Kata kunci: Simbol - Tingkeban - Sajen.

Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (Isni Herawati)

Page 26: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

146

dalam upacara daur hidup, masa kehamilan,kelahiran, masa anak-anak, masa remaja,masa perkawinan, dan masa kematian

Pengertian Upacara TingkebanUpacara tingkeban adalah upacara yang

diselenggarakan pada bulan ketujuh masakehamilan dan hanya dilakukan terhadapanak yang dikandung sebagai anak pertamabagi kedua orangtuanya.4 Upacara ini di-maksudkan untuk memohon keselamatan,baik bagi ibu yang mengandung maupuncalon bayi yang akan dilahirkan. Padaumumnya masyarakat Jawa dalam menye-lenggarakan tingkeban dilakukan serang-kaian upacara di antaranya siraman, gantipakaian, brojolan, dan slametan.

Awal mula adanya upacara tingkebanbermula pada jaman Kediri ketika itudiceritakan ada seorang wanita bernamaNiken Satingkeb. Dalam ceritera rakyatdikisahkan bahwa Niken Satingkeb ber-suamikan Sadyo yang hidup pada masakerajaan Widarbo Kundari. Pada waktu ituatas perintah Sang Prabu Jayapurusa, NikenSatingkeb diperintahkan untuk mengadakanupacara.5 Mengenai pelaksanaan upacaratingkeban dipilih hari Selasa atau Sabtusetelah tanggal 15 dalam perhitungankalender Jawa.

Berdasar pada ceritera rakyat itulahmaka upacara tingkeban diselenggarakanoleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Saatini ada sebagian masyarakat yang melak-sanakan upacara tersebut sesuai denganpakemnya, akan tetapi banyak yang menye-lenggarakan secara sederhana, bahkan samasekali tidak melakukannya.

Beberapa Sajen Slametan TingkebanBiasanya rangkaian sesaji ada beberapa

macam, di antaranya:1. Tumpeng Robyong, yaitu tumpeng yang

dibuat dari nasi putih, dibentuk seperti

kerucut hingga menyerupai gunung.Pada tumpeng ini, atasnya dibuatruncing atau lancip sebagai tempatuntuk menancapkan lidi yang diberisebutir telur rebus, bawang merah ataubrambang (allium ascalonicum), dansebuah cabai merah besar (capsicumannum). Kemudian pada tumpengtersebut dihias dengan sayur-sayuranberupa kacang panjang (vigna sinensis),kangkung (ipomoeareptans), dan terong(solanum melongena) yang menge-lilingi tumpeng. Tumpeng tersebutditempatkan di sebuah cething (tempatnasi) yang terbuat dari anyaman bambu.

2. Tumpeng gundhul, terbuat dari nasiyang dibentuk seperti gunung,kemudian disekitarnya dihias dengantelur dadar, gereh pethek (ikan asinyang pipih), dan tempe goreng.Tumpeng ini juga di-tempatkan dalamsebuah cething (tempat nasi) yangterbuat dari anya-man bambu.

3. Jenang abang (merah)-putih sebanyak7 (tujuh) macam yang terdiri dari:Jenang abang (merah), jenang putih,jenang plirit, jenang pupuk, jenangbaro-baro, jenang palang, dan jenangpager ayu. Masing-masing jenang inidimasukkan kedalam takir (tempat ataukotak yang terbuat dari daun pisang).- Jenang abang (merah) adalah jenang

yang terbuat dari bubur beras ketanyang dicampur gula merah supayawarnanya merah.

- Jenang putih adalah jenang yangdibuat dari bubur beras ketandicampur santan kelapa.

- Jenang plirit, yaitu jenang yangdibuat dari bubur beras ketan. Jenangini dimasukkan ke dalam takir (kotakyang dibuat dari daun pisang) separojenang merah dan separo jenang putih.

4 Isni Herawati dkk. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada Masyarakat Pendukungnya diYogyakarta. (Yogyakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek dan Pembinaan Nilai BudayaPropinsi DIY, 1998/1999).

5 Ibid.

Page 27: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

147

- Jenang pupuk, adalah jenang merahdan jenang putih yang dibuatlingkaran dan ditempatkan kedalamtakir (kotak yang terbuat dari daunpisang).

- Jenang baro-baro, jenang putih yangditaburi irisan gula merah dan parutankelapa.

- Jenang palang, adalah jenang abang(merah) yang ditumpang silanganjenang putih.

- Jenang pager ayu, adalah jenangkebalikan dari jenang pupuk, yaitulingkaran sebelah dalam berwarnamerah dan lingkaran luar berwarnaputih

4. Jajan pasar, terdiri dari berbagaimacam buah-buahan dan pangananyang dibeli di pasar. Biasanya buah-buahan yang dipakai adalah buah yangpada waktu itu sedang musim. Untukbuah yang harus ada adalah selirangpisang raja dan selirang pisang pulut.Kemudian untuk panganan jajananterdiri dari kacang rebus, lempeng,gethuk, dan sebagainya.

5. Pring sedhapur, adalah makanan yangterbuat dari tepung beras ketan dicam-pur dengan santan kelapa, dibentuktumpeng-tumpeng kecil menyerupaibentuk gunung. Pada ujung tumpengdibuatkan bulatan-bulatan kecil yangberaneka warna terbuat dari tepungberas jug kemudian ditempatkan dalampiring yang telah diberi alas daun pisangdisebut samir.

6. Uler-uleran, terbuat dari adonan tepungberas dicampur air, kemudian dibentukmenyerupai ulat atau uler serta diberiberbagai macam warna lalu diletakkandi piring saji yang telah diberi alas daunpisang.

7. Ketupat komplit, terdiri dari empatmacam, yaitu kupat sinta (berbentukbelah ketupat), kupat luwar (berbentukpersegi empat panjang), kupat jago(berbentuk seperti seekor ayam jantan),dan kupat sidolungguh (berbentukkerucut). Bahan untuk membuat kupat

adalah beras yang telah dicuci bersihkemudian ditiriskan, dan direbus sampaimatang ke dalam selongsongan kupat.

8. Anak-anakan, dibuat dari tepung terigudicampur dengan sedikit air, dibentukmenyerupai boneka anak laki-laki danboneka anak perempuan. Sajen ini ter-lebih dahulu dikukus, selanjutnya dile-takkan di piring yang telah dialasidengan daun pisang.

9. Babon angrem, adalah klepon yangterbuat dari tepung beras ketan, dicam-pur dengan air kapur, kemudian diben-tuk bulat-bulat dan di dalamnya diberigula merah, lalu direbus. Klepon yangdibutuhkan sebanyak 7 biji, masing-masing diletakkan di atas kue serabi laluditutup dengan kue serabi lagi sehinggaklepon tadi menjadi tertutup. Serabidibuat dari bahan tepung beras, dicam-pur dengan kelapa parut dibentuk bulatkemudian disangan.

10. Jenang abyor-abyor, jenang ini terbuatdari beras dicampur dengan gula merah(gula Jawa) dan santan, lalu dimasakhingga menjadi bubur.

11. Jenang procot, adalah jenang yangterbuat dari tepung beras dicampurdengan gula, air, dan santan laludimasak. Di tengahnya dimasukkansesisir pisang raja yang telah dikukusdan dikupas kulitnya. Sajen tersebutditempatkan ke dalam takir atau kotakyang terbuat dari daun pisang.

12. Rujak dan rujak crobo, dibuat dari buah-buahan mentah yang dipasah atau diris-iris. Buah-buahan ini berjumlah tujuhmacam, di antaranya buah kedondong,pisang kluthuk, nanas, pepaya, mangga,belimbing, dan bengkoang. Adapunbumbunya cabe, garam, terasi, dan gulamerah (gula Jawa). Untuk rujak crobobahannya dari rujak biasa, hanyaditambah dlingo bengle.Untuk rujakditempatkan ke dalam baskom, sedangrujak crobo diletakkan kedalam takir.

13. Sega golong 7 jodho, adalah nasi yangdibentuk bulat menyerupai bola ber-jumlah 7 jodho (7 pasang) atau 14 biji.

Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (Isni Herawati)

Page 28: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

148

14. Telur penyon, yaitu telur ayam yangsudah direbus dan dikupas kulitnya,kemudian dipenyet sedikit denganmenggunakan bambu (pring) tipis yangdigunakan untuk menjepit telur,sehingga terbentuk lekukan-lekukanseperti penyu. Telur ini jumlahnya 7butir dan ditempatkan dipiring yangsudah dialasi samir dari daun pisang.

15. Dhawet, terbuat dari tepung beras ataupathi diberi air kemudian dibuat bubur.Setelah itu bubur disaring memakaiayakan yang berlobang besar sehinggabubur yang disaring itu menjadicendhol. Cendhol tersebut dicampurdengan gula Jawa dan air santan laluditempatkan ke dalam baskom.

16. Bothok atau ayung-ayung, terdiri daribiji kacang panjang yang direndamlebih dahulu kemudian ditiriskan laluditumbuk setengah lumat atau lembut.Selanjutnya dibumbui dengan garam,kencur, ketumbar, bawang, dan diberiparutan kelapa muda lalu dibungkusdaun pisang dan dikukus sampaimatang.

17. Ketan, kolak, dan apem. Cara mem-buatnya beras ketan dicuci sampaibersih dan direndam ke dalam air sekitar2 jam lalu ditiriskan dan dikukus.Setelah matang ketan dicampur airsantan, garam, dan daun pandan laludikukus lagi sampai masak. Sedangkankolak dibuat dari ketela rambat danpisang raja direbus dengan santankelapa yang diberi bumbu gula merah,daun pandan, manis jangan dan garam.Supaya ketela dan pisang tidak hancursebelum dimasak terlebih dulu diren-dam dengan air kapur. Apem dibuat daritepung beras yang dicampur dengansantan kelapa, gula pasir, garam, tape,dan buah nangka. Setelah mengembangadonan tersebut dimasukkan ke dalamcetakan yang telah diolesi minyak dandimasak.

18. Kembang telon, yaitu bunga yang terdiridari 3 macam (melati, kenanga, dan

mawar). Biasanya juga dilengkapi daunsirih dan tembakau.

Makna Simbolik Beberapa SajenTingkeban

Simbol sebagai alat perantara untukmenguraikan atau menggambarkan sesuatuyang sifatnya abstrak. Dalam upacara sla-metan tingkeban ini, sajen yang mengan-dung makna adalah:

1. Tumpeng robyong dan tumpenggundhul, dalam penempatannya dijadi-kan satu atau berpasangan. Pasangan inimempunyai lambang sebagai lelaki(tumpeng robyong) dan wanita(tumpeng gundhul) yang berarti duajenis kelamin manusia. Pada tumpengrobyong tadi dibuat kerucut ataumenyerupai gunung, mengandungmakna bahwa manusia hendaknya didalam segala aspek kehidupannyamengarah atau beorientasi dan menyatukepada Tuhan sesuai dengan sangkan-parane. Sajen tumpeng melambangkanpemujaan dan pemusatan manusiakepada Tuhan-Nya, (sing gawe urip).Kemudian pada tumpeng diberi sayur-sayuran yang menghiasi sekelilingtumpeng sebagai simbol masyarakat,mengandung makna hubungan manusiadengan masyarakatnya adalah pentingguna menjaga kerukunan, keharmo-nisan, dan mejaga keseimbangan sosial.Untuk sayur yang dipilih adalah kacangpanjang sesuai dengan bentuknya yangpanjang dan kangkung yang bersulur-sulur panjang, melambangkan harapanagar bayi yang akan dilahirkan kelakmempunyai umur yang panjang.

Di dalam rangkaian tumpengrobyong terdapat telur yang ditancapkanmelambangkan sinar kehidupan. Selainyang ditancapkan berupa telur, terdapatpula bawang merah dan cabe merahyang melambangkan harapan orang tuaagar si bayi yang dilahirkan kelak men-jadi orang yang cerdas dan berani meng-hadapi kehidupan.

Page 29: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

149

2. Jajan pasar, disajikan sebagai syaratyang telah menjadi tradisi masyarakatuntuk keperluan tersebut. Selain itu adajuga, jajan pasar ini dimaksudkan untukmemperingati kepada 5 hari pasaran(Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi),pekan 7 hari (Minggu, Senin, Selasa,Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu), 12bulan (Sura, Sapar, Mulud, BakdaMulud, Jumadilawal, Jumadilakir,Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkaidahdan Besar), dan windon 8 tahun (Alip,Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu danJimakir). Tradisi ini dimaksudkan agaribu bayi melakukan permohonan untukkeselamatan diri dan bayinya.

Jajan pasar dengan segala bentukmacamnya, melambangkan kekayaan,dengan demikian sajen ini sebagaisarana permohonan dalam segalapermintaan, baik secara materialmaupun spiritual. Sedangkan buah-buahan yang ada dalam sajen tersebutadalah melukiskan alam tumbuh-tumbuhan menjadi lambang dari duniaramai yang harus dimasuki dan dijalanioleh anaknya kelak. Selanjutnya padabuah-buahan itu tentu ada pisang rajadan pisang pulut masing-masing satusisir. Pisang raja melambangkan agaranak tumbuh sebagai anak yangmemiliki budi yang luhur dan watakyang mulia, sedangkan pisang pulut,sesuai dengan namanya mempunyaiharapan agar anak maupun ibunyadidalam kehidupannya dapat melekat;baik dalam tindak-tanduk danperbuatannya sehingga disenangi olehkeluarganya dan hidup rukun.

3. Jenang-jenangan, dalam sajen inijenang-jenangan yang disajikansebanyak 7 macam, melambangkanbahwa orang yang diselamati kan-dungannya sudah berusia 7 bulan.Menurut kepercayaan Jawa bahwa bayiyang lahir akan bersama-sama dengansaudara gaibnya yang disebut sedulurpapat lima pancer. Mereka ini adalahmarmarti, kawah, ari-ari, getih, dan

puser. Dalam proses persalinan itu,kawah (air ketuban) karena keluarnyalebih dahulu maka disebut sebagaikakak atau kakang (kakang kawah).Sedangkan ari-ari yang keluarnyasetelah bayi lahir disebut adi atau adik(adi ari-ari). Jadi sajen jenang abangdan jenang baro-baro diperuntukkankepada saudara gaibnya sebagai peng-hormatan.

Selain jenang abang-putih sebagaipenghormatan, juga sebagai lambangbenih ayah dan ibu. Warna abang darijenang abang adalah darah ibu yang di-asosiasikan dengan darah wanita ketikasedang datang bulan (menstruasi),sedangkan warna putih dari jenangputih adalah melambangkan darah ayahyang diasosiasikan untuk sperma/airmani yang berwarna putih, yang hanyadapat dihasilkan dari organ tubuh laki-laki. Kemudian untuk jenang yangdibuat dengan warna kombinasi, sepertijenang pupuk, plirit, palang, dan jenangpager ayu melambangkan perpaduanantara benih ibu dan benih ayah, yangmewujudkan adanya bayi yang sedangdikandung.

4. Uler-uleran, menurut orang Jawamempunyai arti yang luas, bahwa oranghidup itu harus melalui tahapan-tahapanseperti seekor ulat atau uler. Untuk men-jadi kupu-kupu, ulat tersebut harusmelalui beberapa proses perkembangan,yaitu dari bentuk ulat kemudian berubahmenjadi kepompong. Ulat melambang-kan harapan orang tua agar si bayi yangakan dilahirkan itu kelak mengikutitahapan-tahapan ulat, yakni dalammenjalani kehidupannya harus prihatindan sabar, supaya tujuan hidupnyamemperoleh kesuksesan dan terkabulcita-citanya.

5. Pring sedhapur, adalah menggambar-kan serumpun pohon bambu yangterdiri dari beberapa pohon. Sajenmelambangkan suatu harapan akanhubungan yang erat diantara sanakkeluarga, tetangga serta masyarakat luas

Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (Isni Herawati)

Page 30: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

150

dengan orang yang sedang slametan.Sajen bertujuan untuk penghormatankepada para leluhur, roh gaib dan dha-nyang penunggu wilayah denganpermohonan agar mereka menjaga danmelindungi orang yang sedang menga-dakan slametan.

6. Kupat atau ketupat komplit, sajenslametan terdapat kupat atau ketupatbertujuan untuk menggerakkan tamuyang hadir agar ikut mendoakankeselamatannya. Ketupat menyimbol-kan lahir dan batin manusia. Kemudianjanur yang digunakan untuk pembung-kus ketupat adalah yang mewakiliaspek lahir sedang isi ketupat berupanasi menunjukkan aspek batin. Jadisajen adalah gambaran aspek lahir danbatin manusia dalam bertindak, berpikirmaupun dalam menciptakan keseim-bangan dalam kehidupannya.

Ketupat yang dibelah tengahnya,kemudian diisi abon sebagai lambangdari alat kelamin wanita (ibu) darisitulah seorang anak dilahirkan dariguwa garba ibunya untuk menjalanikehidupan di dunia nyata. Maksudnya,seorang anak diharapkan untukmencintai ibunya seperti ibu mencintaianaknya. Diharapkan hubungan anakdengan ibu selalu harmonis dan anakharus selalu hormat kepada ibunya.

7. Babon angrem, sajen ini terdiri dariklepon 7 biji dan serabi 7 biji, melam-bangkan bahwa kandungan sudahberusia 7 bulan. Kemudian ibu yangdislameti diumpamakan sebagai babon(induk ayam) yang sedang angrem ataumengerami telurnya. Jadi klepon inimelambangkan telurnya, sedang serabisebagai lambang babon atau induknya.

8. Ketan, kolak, apem, dalam slametantingkeban, sajen ini dimaksudkan untukmengenang para leluhur. Apem melam-bangkan sebagai payung atau tameng,maksudnya agar perjalanan roh si mati

maupun yang masih hidup dapatmenghadapi tantangan, berkat perto-longan atau perlindungan dari TuhanYang Maha Esa atau leluhurmya. Ketanyang mempunyai sifat pliket atau lekat,melambangkan suatu maksud agarantara roh yang mati dan yang masihhidup selalu raket atau mempunyaihubungan yang erat. Kolak melambang-kan suatu hidangan minuman segar,sebagai pelepas dahaga. Selain itu jugamelambangkan suatu keadaan atautujuan yang tidak luntur atau layu yangartinya tidak kenal putus asa.6

9. Rujak Crobo, jika membuatnya terasapedas atau sedap, melambangkan bahwaibu yang mengandung itu akanmelahirkan bayi perempuan. Sebaliknyajika rujak tersebut rasanya biasa makaanak yang dilahirkan kelak adalah laki-laki.7

10. Sega golong 7 jodho, adalah melam-bangkan bahwa bayi yang dikandunggenap berusia 7 bulan.

11. Dhawet atau cendhol, melambangkankelak bayi yang dilahirkan mempunyaisaudara banyak.

12. Anak-anakan, adalah melambangkanjika bayi yang dilahirkan berjeniskelamin laki-laki akan berwajah tam-pan, bila lahir perempuan akan berparascantik seperti bidadari.

PenutupBerdasarkan simbol dan makna

beberapa sajen slametan tingkeban, makatujuan utama adalah untuk memohon ataumengharapkan keselamatan kepada wanitayang mengandung, dan calon bayi yangdikandungnya akan lahir dengan selamat.Dengan adanya sajen-sajen untuk meng-interpretasikan melalui makna dan simboltersebut, kita dapat melihat bagaimanamasyarakat Jawa mengartikan simbol-simbol itu dalam kehidupan mereka.

6 Mulyadi dkk. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY. (Yogyakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, 1982-1983).

Page 31: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

151

Dari pengintepretasian simbol-simbolitu, maka terlihat adanya dua arah hubunganyang dilakukan oleh masyarakat Jawa, yaituhubungan secara vertikal dan horisontal.Hubungan vertikal menunjuk pada hubunganmanusia dengan Tuhan dan makhluk supra-

Daftar Pustaka

Geertz, Clifford, 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:Pustaka Jaya.

Herawati, Isni dkk., 1989/1999. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada MasyarakatPendukungnya di DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.

Mulyadi dkk., 1982/1983. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY.Jakarta: Proyek IDKD.

Rostiyati, Anik dkk., 1994/1995. Fungsi Upacara Tradisional Bagi MasyarakatPendukungnya Masa Kini. Yogyakarta: Proyek IPNB.

Soselisa, Hermien Lola, 1987. Makna Simbolik Beberapa Sajen Slametan TingkebanSebuah Kajian Mengenai Prinsip Keseimbangan Dalam Konsep Pemikiran Jawa.Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

7 Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).

Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (Isni Herawati)

natural dimana sebagai tempat untukmemohon keselamatan. Hubungan manusiasecara horizontal adalah hubungan antaramanusia dengan sesama manusia di dalamhidup bermasyarakat untuk menjaga kehar-monisan dan ketentraman.

Page 32: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

152

PendahuluanZiarah makam merupakan satu dari

sekian tradisi yang hidup dan berkembangdalam masyarakat Jawa. Berbagai maksuddan tujuan maupun motivasi selalumenyertai aktivitas ziarah. Ziarah kuburyang dilakukan oleh orang Jawa ke makamyang dianggap keramat sebenarnya akibatpengaruh masa Jawa-Hindu. Pada masa itu,kedudukan raja masih dianggap sebagaititising dewa sehingga segala sesuatu yangberhubungan dengan seorang raja masihdianggap keramat termasuk makam,petilasan, maupun benda-benda peninggalanlainnya.1

Kepercayaan masyarakat pada masaJawa-Hindu masih terbawa hingga saat ini.Banyak orang beranggapan bahwa denganberziarah ke makam leluhur atau tokoh-

tokoh magis tertentu dapat menimbulkanpengaruh tertentu. Kisah keunggulan ataukeistimewaan tokoh yang dimakamkanmerupakan daya tarik bagi masyarakat untukmewujudkan keinginannya. Misalnyadengan mengunjungi atau berziarah kemakam tokoh yang berpangkat tinggi, makaakan mendapatkan berkah berupa pangkatyang tinggi pula.

Bagi masyarakat Jawa, ziarah secaraumum dilakukan pada pertengahan sampaiakhir bulan Ruwah menjelang Ramadhan.Pada saat itu masyarakat biasanya secarabersama-sama satu dusun atau satu desamaupun perorangan dengan keluargaterdekat melakukan tradisi ziarah ke makamleluhur. Kegiatan ziarah ini secara umumdisebut nyadran. Kata nyadran berartislametan (sesaji) ing papan kang kramat

TRADISI ZIARAH MAKAM LELUHURPADA MASYARAKAT JAWA

Titi Mumfangati

Abstrak

Bagi masyarakat Jawa makam merupakan tempat yang dianggap suci dan pantasdihormati. Makam sebagai tempat peristirahatan bagi arwah nenek moyang dan keluargayang telah meninggal. Keberadaan makam dari tokoh tertentu menimbulkan daya tarikbagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah dengan berbagai motivasi. Kunjunganke makam pada dasarnya merupakan tradisi agama Hindu yang pada masa lampau berupapemujaan terhadap roh leluhur. Candi pada awalnya adalah tempat abu jenazah raja-raja masa lampau dan para generasi penerus mengadakan pemujaan di tempat itu.Makam, terutama makam tokoh sejarah, tokoh mitos, atau tokoh agama, juga merupakantujuan wisata rohani yang banyak dikunjungi wisatawan baik dalam negeri maupunluar negeri.

Kata kunci: Tradisi - Ziarah kubur - Masyarakat Jawa.

1 Christriyati Ariani. “Motivasi Peziarah di Makam Panembahan Bodo Desa Wijirejo, Pandak, KabupatenBantul”, dalam Patra-Widya. Vol. 3 No. 1, Maret 2002. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional),hal. 152.

Page 33: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

153

selamatan (memberi sesaji) di tempat yangangker/keramat.2 Kata nyadran jugamemiliki pengertian lain yaitu slametan ingsasi Ruwah nylameti para leluwur (kanglumrah ana ing kuburan utawa papan singkramat ngiras reresik tuwin ngirimkembang) ‘selamatan di bulan Ruwahmenghormati para leluhur (biasanya dimakam atau tempat yang keramat sekaligusmembersihkan dan mengirim bunga).3

Di daerah-daerah yang mempunyaitempat bersejarah, agak berbau angker,pantai-pantai, goa-goa, yang punya kisahtersendiri biasanya mempunyai upacara adatyang disebut nyadran. Tak ubahnya denganmakna upacara-upacara adat yang lain,nyadran ini juga mengandung maknareligius. Ada yang dengan jalan memasangsesaji di tempat itu selama tiga hari berturut-turut, ada yang dengan cara melabuhmakanan yang telah ‘diramu’ denganberbagai macam kembang. Ada pula yangmengadakan kenduri dengan makanan-makanan yang enak, lalu diadakan per-tunjukan besar-besaran dan sebagainya.4

Kebiasaan mengunjungi makamsebenarnya merupakan pengaruh darikebiasaan mengunjungi candi atau tempatsuci lainnya di masa dahulu dengan tujuanmelakukan pemujaan terhadap roh nenekmoyang. Kebiasaan ini semakin mendalamjika yang dikunjungi adalah tokoh yangmempunyai kharisma tertentu, mempunyaikedudukan tertentu seperti raja, ulama, pe-muka agama, tokoh mistik, dan sebagainya.5

Dengan berkembangnya jaman,berkembang pula pemahaman manusiatentang ziarah, bahkan muncul berbagaimaksud, tujuan, motivasi maupun daya tarikdari aktivitas ziarah ini.

Ziarah Sebagai Ungkapan Doa BagiArwah Leluhur

Secara umum ziarah yang dilakukanmenjelang bulan Ramadhan bagi masyarakatJawa mempunyai maksud untuk mendoakanarwah leluhur mereka. Masyarakat biasanyasecara bersama-sama mengadakan kerjabakti membersihkan makam desa atau dusundengan segala tradisi dan adat kebiasaanyang berlaku secara turun temurun. Ada jugayang dilengkapi dengan mengadakankenduri bersama di makam, atau di rumahkepala dusun mereka. Pada umumnya me-reka mengadakan sesaji dengan tidak lupamembuat kolak dan apem. Tradisi ini biasadisebut ruwahan, sesuai dengan bulan diada-kannya yaitu bulan Ruwah.

Bagi keluarga-keluarga tertentubiasanya telah diadakan kesepakatan untuknyadran pada hari ke berapa dalam bulanRuwah tersebut. Mereka yang berada jauhdari makam selalu menyempatkan diri untukdapat bersama-sama mengunjungi makamkeluarga mereka. Pada waktu ziarah tidaklupa mereka juga membawa bunga taburuntuk ditaburkan ke pusara makam keluargamereka. Setiap keluarga biasanya mengajakserta anggota keluarga supaya merekamengetahui dan mengenal para leluhur yangtelah dimakamkan di situ.

Adanya tradisi nyadran ini menimbul-kan berbagai aktivitas yang muncul hanyapada saat tertentu yaitu hari-hari menjelangmasyarakat melakukan kegiatan nyadran.Aktivitas yang dapat dikatakan insidental iniseperti misalnya penjualan bunga tabur yangmeningkat tajam pada hari-hari sejakpertengahan bulan Ruwah. Hal ini dikarena-kan masyarakat yang nyadran sudahdipastikan akan memerlukan bunga tabur

2 WJS. Poerwadarminta. Baoesastra Djawa. (Batavia: JB Wolters Uitgegevers Maatschappij, 1939), hal.352.

3 Ibid., hal. 537.4 Yusan Roes Sudiro. “Makna Religius Upacara Adat di Kalangan Orang Jawa”, Bernas. Sabtu 25

Januari 1986, hal. 4.5 Ariani, op.cit., hal. 157.

Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa (Titi Mumfangati)

Page 34: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

154

untuk nyekar di makam leluhur mereka.Karenanya tidak aneh apabila pada saat-saatitu penjual bunga mulai marak, baik penjualyang memang biasanya sehari-hari berjualanbunga ataupun penjual bunga tiban, merekahanya berjualan bunga pada saat-saat hariramai nyekar.

Terkait dengan tradisi nyekar ataunyadran ini muncul pula aktivitas lainberupa jasa tenaga membersihkan makam.Di berbagai makam muncul para penyediajasa untuk membersihkan makam keluargatertentu dengan sedikit imbalan. Merekabiasanya berada di sekitar makam danmembersihkan makam bagi keluarga yangdatang untuk ziarah.

Dalam hal ini tradisi ziarah mempunyaifungsi untuk mengingatkan kita yang masihhidup bahwa suatu saat kematian akan kitaalami. Selain itu juga seperti telah disebut-kan dalam uraian di atas, bahwa ziarahmakam akan menimbulkan ikatan batinantara yang masih hidup dengan leluhuryang telah meninggal.

Berbagai Motivasi Bagi Peziarah TokohMitos

Secara umum tujuan ziarah selain se-bagai ungkapan doa dan pengenalan akansejarah nenek moyang, masih ada motivasiziarah yang berkembang dalam masyarakat.Contoh yang dapat disebutkan di sini adalahadanya tradisi nyadran makam di kompleksMakam Sewu di Desa Wijirejo, Pandak,Bantul. Di kompleks makam ini dimakam-kan juga tokoh terkenal yang biasa disebutPanembahan Bodo. Di Makam Sewu padahari-hari tertentu ramai dikunjungi peziarahyaitu pada hari Selasa Kliwon dan SeninPon.6 Panembahan Bodo adalah tokohpenyebar agama Islam, teguh dalam belajaragama Islam, mempunyai sifat rendah hati,tidak mau mengunggulkan diri sendiri.

Walaupun ia telah berguru agama Islamhingga mengharuskan dirinya masuk pondokpesantren, namun ia tetap menganggapdirinya bodoh. Karenanya ia diberi julukanPanembahan Bodo.7

Para peziarah datang dengan berbagaitujuan atau motivasi; ngalap berkah, untukmemperoleh kekuatan, popularitas, stabilitaspribadi, umur panjang, mencari rejeki,maupun mencari kebahagiaan bagi anakcucu atau keselamatan hidup. Hal-hal inibiasanya yang paling umum diharapkanorang apabila berziarah ke makam tokohmitos terkenal.

Secara umum motivasi berziarah dapatdigolongkan dalam empat hal meliputitaktyarasa: berziarah dengan tujuanmemperoleh berkah dan keteguhan hidup(ngalap berkah); gorowasi: (berziarah kemakam legendaris untuk memperolehkekuatan, popularitas, stabilitas pribadi,serta umur panjang, mencari ketenanganbatin; widiginong: (berziarah dengan tujuanmencari kekayaan dunia maupun jabatanduniawi atau mencari rejeki; samaptadanu:upaya mencari kebahagiaan anak cucu agarselamat atau untuk mencari keselamatan.8

Tempat ziarah yang lain dapat disebut-kan di sini yaitu di makam KRA Sosronagoroyang terletak di daerah Manang, Grogol,Sukoharjo. KRA Sosronagoro adalah patihKraton Surakarta Hadiningrat pada masaPaku Buwono X. Beliau semasa hidupnyaadalah seorang patih yang terkenal, bijak-sana, dan berpengetahuan luas serta dalam.Karenanya sampai sekarang beliau masihsangat dihormati oleh anak cucunya. Padahari-hari tertentu biasanya malam Jumat danSelasa Kliwon banyak peziarah datang dariberbagai daerah. Mereka berziarah dantirakat ngalap berkah dengan berbagaitujuan atau permohonan. Pada umumnyamereka yang datang menginginkan pangkat

6 Ibid., hal. 168.7 Ibid., hal. 165.8 Ibid., hal. 173.

Page 35: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

155

yang tinggi, ingin naik pangkat, atau meng-inginkan kedudukan tertentu.9 Semua itukarena kharisma tokoh yang dimakamkanyaitu KRA Sosronagoro. Semasa hidupbeliau sebagai seorang tokoh negara yangkuat bertapa, sifat soleh dan bijakmembuatnya lebih dari manusia biasa.Hidupnya penuh dengan keprihatinan dankesungguhan dalam mengabdi di kraton padamasa mudanya. Bahkan cita-citanyaditempuh dengan tapa kungkum di SungaiPepe. Ketokohannya, bahkan setelah beliauwafat pun masih sangat dihormati dandisegani oleh masyarakat terbuktimakamnya masih selalu ramai dikunjungipara peziarah. Para peziarah datang denganberbagai harapan dan keinginan, rejeki,jodoh, pangkat, kedudukan, ketenteramanbatin, dan sebagainya.

Bagi para peziarah yang bertirakat disana kadangkala juga melihat ataumengalami hal-hal yang aneh, di luar akalsehat. Misalnya ada peziarah dari Jakartayang pada waktu tirakat melihat lampubanyak sekali, ternyata itu merupakanpertanda keinginannya tercapai, yaitu inginmenjadi pedagang yang sukses. Ada pulayang melihat harimau putih, yang kononmerupakan penjaga (mbaureksa) makam.Bagi mereka yang keinginannya terkabuljuga sering mengadakan tahlilan, yasinan,atau selamatan di makam tersebut.

Tokoh mitos lain yang terkenal danmenjadi tujuan ziarah adalah Sunan Drajat,yang dimakamkan di Desa Drajat, Keca-matan Paciran, Lamongan. Mengapa di-namakan Sunan Drajat? Pada masa mudanyabeliau bernama Raden Qosim, putra SunanAmpel dengan Dewi Candrawati. Beliauditugaskan untuk berdakwah di bagian baratdari Surabaya, lalu membuka pesantren didaerah Jelag (termasuk wilayah DesaBanjarwati), Kecamatan Paciran. Setahun

kemudian Raden Qosim pindah ke arah se-latan, sekitar satu kilometer, sesuai petunjukyang diperolehnya, lalu mendirikan langgaryang digunakan untuk berdakwah. Langgaryang didirikan terletak di bukit yang agaktinggi sehingga dinamakan Desa Drajat.Masyarakat sangat menghormati dan seganterhadap Raden Qosim yang sangat tinggiilmunya. Sampai meninggalnya beliaudimakamkan di Desa Drajat tersebut.

Masyarakat lalu mengaitkan antaraharta, derajat, dan pangkat, serta berang-gapan bahwa setiap orang akan dihormatidan dihargai apabila ziarah ke makam SunanDrajat. Karena itu banyak orang yangberziarah ke makam Sunan Drajat denganmaksud agar keinginannya tercapai. Denganmelakukan tata cara seperti umumnya orangberziarah, berdzikir serta mendoakan arwahyang dimakamkan di situ, sebagai imbalan-nya Yang Maha Kuasa akan mengabulkankeinginannya.

Tekanan hidup dan kemiskinan jugamendorong orang untuk melakukan tindakanritual dengan berziarah ke makam tokohmitos terkenal, seperti yang terjadi di makamEyang Seloning di sebelah utara ParangWedang, Parangtritis, Bantul. Ada peziarahyang mempunyai keinginan memiliki rumahkarena ia dan keluarganya selama ini tidakmempunyai rumah yang layak. Denganbertirakat dan berdoa disertai usaha gigihakhirnya peziarah itu berhasil memilikirumah yang layak bagi keluarganya. Tirakatyang dilakukan sangat berat seperti pasangebleng (tidak makan minum sama sekali),pasa nyirik uyah (puasa tidak makan garam),dan lain-lain.10

Masyarakat Jawa mempunyai anggapanbahwa keberadaan makam leluhur harusdihormati dengan alasan makam adalahtempat peristirahatan terakhir bagi manusiakhususnya leluhur yang telah meninggal.

9 Es Riyana. “Ziarah Menyang Makam KRA Sosronagoro Kanggo Nggayuh Undhaking Kalungguhan”,Djaka Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus 2000. Taun XXX, hal. 12.

10 Muladi Isdiharto. “Achmad Syarkoni Sawise Diwenehi Manuk Klakon Bisa Mbangun Omah”, DjakaLodang. No. 20. Sabtu Pon 14 Oktober 2000. Taun XXX, hal. 10-11.

Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa (Titi Mumfangati)

Page 36: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

156

Leluhur itulah yang diyakini dapat memberi-kan kekuatan atau berkah tertentu. Olehkarena itu masyarakat mengaktualisasikandengan perlakuan khusus terhadap makamleluhur. Hal ini akan semakin tampak nyatapada makam para tokoh yang dianggapmempunyai kekuatan lebih pada masahidupnya. Kisah kehebatan dan luar biasa-nya para tokoh yang diziarahi memberikanmotivasi para peziarah untuk bertirakatmengharapkan keberuntungan. Dengandemikian, mereka beranggapan makamdapat memberikan berkah bagi pengunjung-nya atau peziarahnya yang melaksanakantirakat dengan khusuk dan ikhlas.11

Candi Sebagai Persemayaman TokohMitos

Perilaku religius berkaitan denganziarah makam masih banyak lagi di berbagaimakam keramat yang lain. Candi sebagaisalah satu tempat keramat bagi pemelukHindu Budha merupakan tempat ziarah yangselalu dikunjungi pada hari-hari atauperistiwa tertentu. Candi tak ubahnyamakam, merupakan tempat persemayamanraja-raja pada masa lampau.

Asal mula istilah candi berasal dari kataCandika, yaitu sebutan bagi Dewi Durgasesudah mati. Istilah candi juga terdapat diPulau Sumatra, yaitu Candi Japara diLampung dan Candi Bangsu di kompleksMuara Takus. Di Kalimantan Timur juga adayaitu Candi Agung. Masyarakat Jawa Timurlebih senang menyebut dengan istilah cung-kup, di Sumatra Utara biasa disebut biara.12

Dalam paham Hindu, candi merupakangambaran Gunung Mahameru, tempat paradewa-dewi, bidadara dan bidadari. Puncakgunung yang tinggi menggambarkan alam“kehutanan” yang penuh dengan aneka

satwa dan tumbuhan. Di kahyangan ataualam kadewan roh manusia akan menjelmakembali ke dalam wujud berbagai binatang,seimbang dengan perbuatannya semasahidup di dunia yang penuh dengan godaandan hawa nafsu. Hal ini disebut reinkarnasi(kehidupan kedua). Puncak Gunung Maha-meru menggambarkan puncak kesucian.Karenanya candi pada umumnya dibangundi atas bukit atau tanah yang letaknya lebihtinggi daripada sekitarnya.13

Candi Prambanan lebih dikenal dengannama Candi Rara Jonggrang. Dalam prasasti856 M disebutkan susunan dan konstruksibangunan candi Roro Jonggrang dan rajayang membangunnya, yaitu Raja RakaiPikatan dari dinasti Sanjaya. Dinasti Sanjayamempunyai aliran kepercayaan agama Siwaatau Hindu. Dalam kepercayaan Hindu orangyang meninggal jenazahnya tidak dikuburtetapi dibakar. Pada masa itu Candi Jong-grang digunakan untuk menyimpan abujenazah Raja Kayuwangi. Hal ini sesuaidengan bentuk konstruksi candi yang berupalingga dan yoni. Abu jenazah disimpandalam yoni dan ditutup dengan lingga.Lingga dan yoni juga sebagai simbol laki-laki dan wanita.

Makam Tokoh Mitos dan Upacara AdatBerkaitan dengan ziarah ke makam

tidak lepas dari peran tokoh mitos yangsering pula menjadi cikal bakal suatu desaatau daerah tertentu. Banyak upacara adatdesa tertentu yang mengaitkan dengan tokohtertentu yang dimakamkan di sekitar daerahyang bersangkutan. Contoh yang dapatdisebutkan di sini misalnya upacara adat KiAgeng Tunggul Wulung yang setiap tahundiadakan di Dusun Dukuhan, Desa SendangAgung, Minggir, Sleman. Upacara adat ini

11 Sumarno. “Makam Sunan Ampel di Surabaya: Pengkajian Terhadap Persepsi dan Motivasi Pengunjung”,Patra-Widya. Vol. 5 No. 1, Maret 2004. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional), hal. 171.

12 Rini W. “Candi Prambanan Makame Rakai Kayuwangi Pacaran ing Candi Prambanan, bisa Pedhot”,Djaka Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus 2000, Tahun XXX, hal. 31.

13 Ibid., hal. 31-32.

Page 37: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

157

selalu diadakan pada hari Jumat Pon danpada intinya untuk memuliakan danmenghormati jasa-jasa Eyang TunggulWulung.14 Siapakah Eyang Tunggul Wulungitu? Beliau adalah seorang tokoh yang saktimandraguna, masih kerabat KratonMajapahit. Konon pada waktu Majapahitkalah para kerabat dan sentana Majapahitbubar melarikan diri ke berbagai daerahmenyelamatkan diri. Satu di antaranyaadalah Ki Ageng Tunggul Wulung yangmelarikan diri ke arah barat sampai di DusunBeji atau Diro sebelah timur Sungai Progo.Menurut cerita dari mulut ke mulut, per-jalanan Ki Ageng Tunggul Wulung disertaiisterinya yang bernama Raden Ayu GadungMlati dengan tujuh orang punggawa danbeberapa abdi terpercaya. Juga membawapusaka kerajaan yang menurut perintah RajaBrawijaya harus diserahkan kepada calonraja pengganti yang berhak. Pusaka yangdibawa antara lain tombak Tunggul Wasesa,Keris Pulang Geni, Bendera Tunggul Wu-lung. Sampai di Dusun Dukuhan bertempattinggal di sana, sampai akhirnya merekasemua mukswa (meninggal dan hilangbersama raganya). Tempat hilangnya laludiberi tanda dengan batu nisan sepertiumumnya makam, dan dianggap sebagaitempat keramat. Oleh karena itu banyakorang yang berziarah ke tempat itu. MakamKi Ageng Tunggul Wulung berada di DusunDukuhan di lahan dekat tepi Sungai Progo.

Setiap pelaksanaan upacara disertaidengan pergelaran wayang kulit semalamsuntuk dan tarian tayub. Sebab diyakini padamasa hidupnya Ki Ageng Tunggul Wulungsenang dengan kedua jenis kesenian tersebut.Konon pernah suatu saat ada seorang ledhektayub yang ingin hidupnya lebih baikmelakukan tirakat di makam TunggulWulung. Tanpa ada sebab yang jelas ledhekitu menghilang. Karena peristiwa itu masya-rakat menganggap bahwa Eyang TunggulWulung memang senang dengan kesenian itudan mengajak ledhek tayub tersebut.

Sampai sekarang Ki Ageng TunggulWulung diyakini oleh masyarakat DusunDukuhan sebagai cikal bakal mereka danyang memberikan perlindungan terhadapwarga dusun mereka. Terbukti denganadanya ubarampe upacara adat yang berupasesaji dan jodhang berisi hasil bumi yangpada saatnya diperebutkan. Masyarakatmeyakini hasil bumi yang diperebutkan ituakan membawa berkah bagi mereka.

Hal serupa juga terjadi di daerahGunung Kidul, tepatnya di Dusun Ngenep,Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu,Gunung Kidul. Tokoh mitos yang merekasegani adalah Ki Mentokuwoso, seorangtokoh penyiar agama Islam di daerah itu.Karena jasa-jasanya terhadap kraton padawaktu dulu beliau ditawari untuk mintahadiah yang diinginkan. Beliau hanya mintaagar daerahnya dibebaskan dari kewajibanmembayar upeti dan diperbolehkan meng-adakan upacara Garebeg Maulud seperti dikraton, dan permintaan itu dikabulkan olehraja. Sebagai tokoh yang sakti dan mem-punyai ilmu yang tinggi, konon beliau jugamenciptakan masjid tiban sebagai pelengkapUpacara Grebeg. Masjid itu sekaligus jugamenjadi sarana dan tempat dakwah yangdilakukan oleh Ki Mentokuwoso.

Dalam kaitannya dengan asal mulaGrebeg Ngenep, tokoh Ki Mentokuwosomenghubungkan dunia nyata dengan duniagaib bagi masyarakat Ngenep. Bagi orang-orang yang tinggal di Desa Dadapayu dansekitarnya Upacara Grebeg Ngenep me-rupakan peristiwa yang selalu ditunggu-tunggu untuk ikut berpartisipasi. Bahkanmasyarakat secara antusias ikut berebut hasilpertanian (wulu wetu) yang dibentuk dalamwujud gunungan yang memang diperebut-kan setelah acara doa bersama. Nama KiMentokuwoso dan saudara-saudaranya jugaselalu dikenang bahkan makamnya seringdiziarahi. Menurut Kadus Sembuku, makamKyai Bayi, salah satu saudara Ki Mento-kuwoso, sering dijadikan tempat nenepi

14 FX. Subroto. “Upacara Adat Ki Ageng Tunggul Wulung”, Djaka Lodang. No 15. Sabtu Pon 9 Sep-tember 2000, Taun XXX, hal. 31.

Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa (Titi Mumfangati)

Page 38: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

158

orang-orang dari luar Ngenep. Biasanyaorang yang nenepi atau ziarah mempunyaikeinginan agar dapat naik pangkat.15

Makam Sebagai Objek Wisata SpiritualSebagai tempat yang dianggap suci,

makam juga merupakan tempat wisata yangpantas untuk dikunjungi. Makam raja-rajadi Imogiri, misalnya, menjadi tujuan wisatayang selalu ramai dikunjungi. Selain sebagaitempat yang disucikan, makam raja-raja diImogiri memang sebagai kompleks makamyang cukup besar, dengan letaknya di atasbukit yang tinggi, dilengkapi denganberbagai fasilitas bagi para pengunjung.Demikian pula makam keluarga Pakualamandi Girigondo, hampir sama dengan makamraja-raja Imogiri. Demikian pula di MakamSewu (Makam Panembahan Bodo), MakamSunan Ampel, makam para Walisanga, dansebagainya. Masih banyak pula makamtokoh-tokoh terkenal yang sekaligus sebagaiobjek wisata.

Kedatangan pengunjung dari berbagaidaerah, apalagi yang jauh atau bahkan darimancanegara, menimbulkan dampak pulabagi masyarakat sekitar. Selain pada hari-hari tertentu yang berkaitan dengan ziarahritual seperti malam Selasa Kliwon atau

Jumat Kliwon, pada hari-hari libur nasionalbahkan lebih ramai oleh kunjungan parawisatawan, baik dalam negeri maupun luarnegeri. Pada waktu banyak pengunjungdipastikan akan banyak para pedagang tibanatau asongan yang menjajakan berbagaibarang dagangan kepada pengunjung. Halini juga membawa perubahan ekonomi padamasyarakat sekitar makam yang menjadiobjek wisata tersebut.

PenutupTak dapat dipungkiri bahwa dalam kehi-

dupan masyarakat Jawa ada saat di manamanusia akan melakukan aktivitas yangberkaitan dengan makam atau ziarah kemakam. Makam dan segala aktivitas yangberkaitan dengan ziarah akan mengingatkanmanusia bahwa setelah kehidupan akan adakematian, sehingga manusia akan sadaruntuk biasa melakukan perbuatan baiksebagai bekal dalam menghadapi alamarwah. Aktivitas ziarah oleh banyak fihakjuga dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya mencariketenangan, mencari rejeki, keberuntungan,dan sebagainya, sesuai dengan kharisma dankisah keistimewaan tokoh yang dimakam-kan.

15 Titi Mumfangati. “Pengaruh Mitos Ki Mentotruno (Mentokuwoso) Bagi Masyarakat Pendukungnya”,Patra-Widya. Vol. 3 No. 1, Maret 2002. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional), hal. 220.

Daftar Pustaka

Ariani, Christriyati. “Motivasi Peziarah di Makam Panembahan Bodo Desa Wijirejo,Pandak, Kabupaten Bantul”, dalam Patra-Widya. Vol. 3 No. 1, Maret 2002.Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Isdiharto, Muladi.“Achmad Syarkoni Sawise Diwenehi Manuk Klakon Bisa MbangunOmah”, Djaka Lodang. No. 20. Sabtu Pon, 14 Oktober 2000. Taun XXX.

Mumfangati, Titi. “Pengaruh Mitos Ki Mentotruno (Mentokuwoso) Bagi MasyarakatPendukungnya”, Patra-Widya. Vol. 3 No. 1, Maret 2002. Yogyakarta: Balai KajianSejarah dan Nilai Tradisional.

Poerwadarminta, WJS., 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: JB Wolters UitgegeversMaatschappij.

Page 39: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

159

Rini W. “Candi Prambanan Makame Rakai Kayuwangi Pacaran ing Candi Prambanan,bisa Pedhot”, Djaka Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus2000. Taun XXX.

Riyana, Es.“Ziarah Menyang Makam KRA Sosronagoro Kanggo Nggayuh UndhakingKalungguhan”, Djaka Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus 2000. Taun XXX.

Subroto, FX. “Upacara Adat Ki Ageng Tunggul Wulung”, Djaka Lodang. No. 15. SabtuPon 9 September 2000. Taun XXX

Sudiro, Yusan Roes. “Makna Religius Upacara Adat di Kalangan Orang Jawa”, Bernas.Sabtu 25 Januari 1986.

Sumarno, 2004. “Makam Sunan Ampel di Surabaya (Pengkajian Terhadap Persepsi danMotivasi Pengunjung)”, Patra-Widya. Vol. 5 No. 1, Maret 2004. Yogyakarta:Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa (Titi Mumfangati)

Page 40: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

160

PengantarSudah menjadi tradisi bahwa setiap

malam 1 Suro atau tahun baru Hijriah,sebagian warga masyarakat Yogyakarta,melakukan tradisi ritual laku prihatinmubeng beteng, (berjalan kaki mengelilingibeteng Kraton Yogyakarta dengan membisuatau tanpa bicara sedikitpun). Tidak sepertitahun-tahun sebelumnya, bahwa tahun 2007ini, para pelaku ritual mubeng beteng justruberasal dari berbagai kalangan masyarakat,termasuk perwakilan dari beberapa daerahdi wilayah Indonesia, dan para mahasiswayang belajar di kota Yogyakarta. Dengandemikian secara umum, tradisi spiritualmubeng beteng ini dapat diterima oleh semuakalangan, termasuk para mahasiswa dangenerasi muda. Pada dasarnya tradisi mu-beng beteng merupakan wadah dari suatuungkapan rasa prihatin, yang esensinyatergantung dari kepercayaan masing-masingorang yang mengikutinya. Tradisi ritualmubeng beteng yang dilakukan oleh wargamasyarakat, dengan cara membisu memilikimakna simbolis, bahwa di dalam membisutersebut mengandung suatu makna filosofis,bahwa pada perubahan tahun Hijriah ini,sebaiknya setiap orang hendaknya lebihprihatin, antara lain mengurangi berbicara.

Berbicara pada masyarakat Jawa dimaknaisebagai sesuatu hal yang penting di dalamhidup ini, sebab melalui tutur kata, manusiabisa mulia di hadapan Allah. Itulah sebabnyatradisi ritual mbisu mubeng beteng diadakanoleh sebagian warga masyarakat Yogyakarta,dengan maksud untuk membersihkan diri,dan merenungkan dengan tujuan untukintrospeksi dan untuk menyampaikan rasakeprihatinannya atas suatu kejadian yangmenimpa bangsa dan negara.

Tinjauan Historis Mubeng BetengPada tahun 1919 Kraton Yogyakarta

atas permintaan rakyat Yogyakarta me-lakukan upacara ritual berupa pengibaranbendera pusaka, yang bernama Kanjeng KiaiTunggul Wulung, sambil berjalan kakimengelilingi beteng kraton. Upacara tersebutdimaksudkan untuk mencegah dan meng-hentikan terjangkitnya penyakit influenza,yang saat itu mewabah secara luas melandamasyarakat Yogyakarta. Begitu besarnyakeyakinan masyarakat pada masa itu,terhadap keramatnya pusaka tersebut,sehingga menganggap semua penyakit bisadisirnakan. Kanjeng Kiai Tunggul Wulungkonon merupakan bagian dari bungkusKa’bah di Mekah, yang dibawa oleh Iman

MUBENG BETENG, AKTIVITAS SPIRITUALMASYARAKAT YOGYAKARTA

Endah Susilantini

Abstrak

Manusia pada dasarnya adalah makhluk religius, ungkapan rasa keimanan dan carapenyampaian doa serta permohonan sangat dipengaruhi oleh budaya, adat istiadat sertaagama. Untuk itu banyak metode maupun petunjuk yang dilakukan manusia dalamrangka membangun komunikasi dengan Tuhannya, baik secara lahiriah maupun batiniah.

Kata kunci: Tradisi - Mubeng beteng - Spiritual.

Page 41: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

161

Safi’i utusan Sultan Hamengkubuwono I,pada tahun 1784 Masehi, sehingga karenapengaruh keyakinan dan sugesti, penyakitdan wabah tersebut dapat dihilangkan.Berikut ini cuplikan dari ceritera kejadiansebenarnya, yang berhubungan denganpengibaran bendera pusaka Kanjeng KiaiTunggul Wulung pada Tahun 1919 diYogyakarta :

“Sapérangan para sedulur ingNgajogjokarto lan sakiwotengenépadha duwé panganggep jèn wesi adjilan pusaka duwé daja rupa-rupa.Umpamané pijandel marang dwadja(klèbèt gendèra) Kandjeng KiaiTunggul Wulung (pusaka ing Kraton)jaiku jèn suk ana ambah-ambahan(epidemi) lelara nular, sapéranganrakjat padha njuwun supaja kelèbètpusaka mau diarak mubeng kutha, kajakang kalakon tahun 1919 mubalé lelarainfluenza”.

“Sawènèh ana kang tjrita jènKandjeng KiaiTunggul Wulung kangasli iku asalé saka tjuwilan singeb“Ka’aba” ing Mekah, kang ngampilKiai Iman Sapi’i utusané IngkangSinuwun Hamengkubuwono I tahun1784 M”.1

Artinya:

Sebagian masyarakat Yogyakartadan sekitarnya mempunyai anggapanbahwa pusaka memiliki khasiat danmakna yang bermacam-macam. Misal-kan terhadap bendera pusaka KanjengKiai Tunggul Wulung, di saat terjadiwabah penyakit menular sebagianrakyat memohon agar pusaka tersebutdi kirab keliling kota, seperti yangterjadi pada tahun 1919 saat terjangkitwabah penyakit influenza.

Sebagian masyarakat menceritera-kan bahwa, Kanjeng Kiai Tunggul

Wulung yang asli berasal dari tutupKa’bah di Mekkah, yang dibawa olehKiai Iman Safi’i atas perintah SultanHamengkubuwono I pada tahun 1784Masehi.

Demikian kejadian itu berulang padatahun 1932, tahun 1946, dan tahun 1951dengan upacara yang sama Kanjeng KiaiTunggul Wulung dikirabkan untuk men-cegah menyebarnya penyakit pes, karenapenyakit tersebut telah menelan korban yangbegitu banyak serta sangat meresahkan.2

Oleh karena itu masyarakat Yogyakartamemohon kepada kraton untuk diadakankirab lagi, sebab waktu itu sarana danprasarana kesehatan belum memadai, olehkarenanya permintaan dikibarkannya pu-saka untuk dibawa berkeliling kota menjadisalah satu alternatif rakyat, guna menang-gulangi penyakit tersebut.

Tradisi ritual mubeng beteng yangdisertai kirab pusaka Kanjeng Kiai TunggulWulung dilaksanakan oleh kraton Yogyakartasecara besar-besaran, dengan urut-urutanpaling depan adalah pusaka Kanjeng KiaiTunggul Wulung diiringi satu batalionprajurit kraton yang telah ditunjuk untuktugas tersebut, kemudian di belakangnyasebagian warga masyarakat Yogyakarta dariberbagai penjuru juga ikut ambil bagianmengikuti jalannya upacara kirab pusaka.

Ujud nyata secara fisik Kanjeng KiaiTunggul Wulung adalah bendera segi empat,dengan latar belakang hitam keunguanbergaris tepi kuning, ditengah-tengahbendera terdapat gambar seperti burungelang bertuliskan rajah (huruf bermakna)dengan huruf Arab. Berikut ini rekamanpenjelasan jalannya upacara pada masa lalu.

“Déné wudjudé dwadja (kelèbèt)Kanjeng Kiai Tunggul Wulung wungukladuk ireng plisir ing pinggir kuning,tengahé pepetan putih nganggo buntuttjawang loro, sarta udjud bunderan

1 N N. “Ngibarake Pusaka Dwaja Kanjeng Kiai Tunggul Wulung”, dalam Majalah Mekar Sari. Taun IIINo. XIX. Juni 1967, Yogyakarta, hal. 12.

2 Ibid.

Mubeng Beteng , Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta (Endah Susilantini)

Page 42: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

162

dalah bunder londjong loro warnanéabang. Kelèbèt mau karakit analandhean kang ing putjuké ana waoselantjip papat (catursula) kaparinganasma Kandjeng Kiai Santri. KandjengKiai Tunggul Wulung kaarak wudjudputran (duplikat), déné kang asliwinadhahan pethi sarta uga kaarak ingdjèdjèré, saking lawasé wudjud wusmbebret (mbedhel) mula bandjurdiputrani mau. Ing djèdjèré uga anaklèbèt pusaka sidji kang kaarakwarnané idjo sarta kuning, warna kajamangkono mau arané Paréanom” 3

Artinya :

Adapun warna pusaka KanjengKiai Tunggul Wulung tersebut ungukehitaman warna tepi bendera kuning,ditengah ada gambar berwarna putihberekor dan bercabang dua, terdapatpula gambar bulat dan lonjong masing-masing dua buah berwarna merah.Bendera diletakkan pada tongkat yangujungnya terdapat catursula diberinama Kanjeng Kiai Santri. KanjengKiai Tunggul Wulung yang dikirabberujud duplikat, adapun yang aslidiletakkan di dalam peti dan ikut sertadikirab. Oleh karena telah berusia tuadan mudah robek, maka dibuatkanduplikatnya. Disebelahnya juga terdapatsebuah pusaka yang ikut dikirab,berwarna hijau dan kuning yang disebutPareanom.

Itulah gambaran sekilas tentang asalmula dari adanya tradisi ritual mubengbeteng, yang pada masa lalu dilakukan olehmasyarakat secara bersama-sama untukmemperoleh suatu kesembuhan, atasberjangkitnya wabah influenza dan pes.Setelah peristiwa itu, selanjutnya tradisiritual kirab pusaka Kanjeng Kiai TunggulWulung dilaksanakan sewindu (8 tahun)sekali, pada setiap Tahun Dal, bersamaan

peringatan Maulud Nabi. Pada saat itu juga,pusaka-pusaka Kraton yang lain ikut dikirab, yaitu Kanjeng Kiai Ageng, KanjengKiai Gadawadana, Kanjeng Kiai Gadatapan(semua berujud tombak) sedangkan pusaka-pusaka yang berujud Bendhé, Wedhung,Cemethi, Ketipung juga dikirabkan padaTahun Dal.4

Pada masa dekade delapan puluhan,para seniman, budayawan dan para penga-mat politik, bersama-sama memanfaatkanmomen ritual mubeng beteng, untukmenyampaikan rasa keprihatinan mereka,terhadap kondisi bangsa dan negara. Merekabersama-sama membaur dengan masyarakatmelakukan ritual ini dengan suatu cara danungkapan rasa yang berbeda, sesuai dengankeyakinan mereka masing-masing. Berda-sarkan hal tersebut, perlu dijelaskan berbagaisudut pandang dan konsepsi ritual ini, sesuaidengan keadaan sebenarnya.

Makna membisu dan Mubeng BetengMenurut Konsep Kejawen

Untuk dapat mengungkap rahasia didalam aspek spiritual dengan konsep ke-jawen, akan ditinjau dari segi kesastraannya.Karya sastra yang berisi ajaran moral danreligi adalah bagian dari ungkapan tradisi,yang salah satu di antaranya memuatungkapan budi pekerti dan religi, yang dapatdijadikan sumber penggalian baik secarahistoris, religius dan kesastraan. Mengingatpeserta ritual mubeng beteng di antaranyaadalah masyarakat yang menganut suatupaham kejawen, maka esensinya akandijelaskan dengan konsep tradisi. Sepertiyang termuat dalam Serat Wedhatama karyaMangkunegara IV, berisi tentang pelajaranbudi pekerti dan akhlak, ternyata dapatdijadikan sebagai sumber untuk memberikanpenjelasan mengenai dasar-dasar spiritual.

Mubeng Beteng menurut konsepkejawen diartikan sebagai laku manusiasecara fisik (sembah raga) dalam usaha-

3 Ibid., hal. 13.4 Ibid., hal. 12.

Page 43: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

163

usaha manusia untuk dapat mendekatkan dirikepada Tuhan. Dalam Serat Wedhatama jugadijelaskan mengenai pengertian sembahraga seperti berikut:

Sembah raga punikupakartining wong amagang lakusesuciné asarana saking warihkang wus lumrah limang wektuwantu wataking wawaton

Artinya:

Sembah raga itu merupakan bagian dariperjalanan hidup yang panjang ditam-silkan sebagai menempuh perjalananhidup kerohanian, seperti orang yangbertapa atau beribadah. Sholat limawaktu dengan suatu pedoman yangdapat dipertanggung jawabkan.

Perjalanan ritual mubeng beteng inimenurut konsepsi yang tercermin dalamSerat Wedhatama diartikan sebagai sembahraga, meskipun lebih menekankan gerak danlaku badaniah, akan tetapi tidak mengaba-ikan aspek rohaniahnya. Sedangkan dalamSerat Sasangka Jati juga dijelaskan bahwasembah raga itu dapat diartikan demikian:

“Roh suci iku uga sipating Pangé-ran kang nguwasani napsu kang patangprakara (lauwamah, amarah, sufiah,mutmainah). Dadi tegesé, roh suci isihperlu nelukaké utawa ngerèh hawanepsuné, supaya manut karsaning rohsuci. Déné anggoné ngerèh utamanelukaké mau sarana panguwasané,yaiku pangaribawané (ciptané), di-anggo ngéling-éling marang Pangéranlan utusané kang langgeng, kanthiangluhuraké asmané Pangéran lansapanunggalané, kang dibabarakésarana pratandha hormat: tumandangéraga lan pengucapané”.5

Artinya :

Roh suci itu adalah dari Tuhan yangmenguasai nafsu manusia dalam empat

hal, yaitu nafsu lauwamah, amarah,sufiah dan mutmainah. Jadi roh yangsuci itu perlu ditundukkan dengantindakan kerohanian, agar tunduk sesuaidengan kehendak-Nya. Tujuan dari pe-nguasaan hawa nafsu adalah untukmengingatkan manusia kepada Tuhandan utusan-Nya, dengan cara selaluingat kepada Tuhan dan selalu meng-ucapkan Asma Allah yang disampaikandengan rasa hormat, baik dengankegiatan fisik maupun non fisik ter-masuk ucapan.

Dari apa yang disampaikan dalam teksSerat Sasangka Jati ini termasuk diantara-nya ibadah, dengan melakukan aktivitas fisikdan batin, termasuk ucapannya adalahmerupakan upaya manusia untuk mem-bersihkan dirinya dari segala macam nafsukeduniawian, mengendalikan dirinya daripenguasaan hawa nafsu untuk selalumengingat kepada Tuhan, agar dirinyaselamat dan sejahtera. Masih dalam SeratWedhatama, bahwa ritual mubeng betengyang diartikan sebagai kegiatan fisik,memiliki makna yang dalam, seperti yangtelah dijelaskan dalam konsep Islam. SeratWedhatama dalam pupuh tembang Gambuhbait 8 menjelaskan demikian:

Wong seger badanipunotot daging kulit balung sungsumtumrap ing rah memarah antenging ati antenging ati nunungkuangruwat ruweting batos

Artinya:

Manakala segenap bagian tubuh dalamkeadaan segar dan sehat berkat kete-kunan menjalani kewajiban bersuci,darah menjadi lancar, hati menjaditenang. Terpusatlah segenap fungsi jiwadengan keheningan dapat melenyapkankegelapan dan keruwetan batin.

5 R. Sunarta (dalam Ardhani). Al Qur’an dan Sufisme. (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995).

Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta (Endah Susilantini)

Page 44: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

164

Makna Membisu dan MubengBeteng Menurut Konsep Islam

Membisu menurut tuntunan Islammerupakan tahapan ibadah dalam unsurTassawuf, yang pada masa lalu seringdilakukan oleh para sunan dan golongan sufi,tujuannya adalah untuk melakukan intro-speksi pada dirinya. Pengertian aktivitasmembisu sendiri dimaknai sebagai sesuatuyang sifatnya beribadah, dengan cara ba-tiniah yang disertai dengan tindakan fisik(jalan kaki mubeng beteng misalnya) dalamrangka mendekatkan diri kepada Allah.

Di dalam Al Qur’an yang terdapatdalam Surat Al Baqarah, ayat 222, Allahberfirman, bahwa:

“ …Sesungguhnya Allah mencintaiorang-orang yang bertaubat dan menyukaiorang-orang yang menyucikan diri”

Demikian pula dalam surat Al A’la ayat14, menjelaskan:

“ ..beruntunglah orang-orang yangmembersihkan diri”.

Jadi agama Islam memperbolehkanacara ritual apapun saja, asalkan tidakmeninggalkan esensinya, yaitu selalu ingatdan memohon kepada Allah.

Selain mendekatkan diri dan beribadahkepada Allah, aspek amaliah dari prosespembersihan diri adalah juga menjalinkontak hubungan dengan sesama manusia,yang dikenal dengan istilah menjagakemaslahatan (kebaikan dalam arti luas) danmencegah kemudharatan (kerugian besar).Berjalan kaki mengelilingi beteng kratonmenurut Islam dapat dijelaskan demikian,bahwa Ajaran Syari’at Islam bersuci(taharah) dengan membawa kesegaranjasmani, dimaksudkan agar setiap orangyang memiliki kesegaran badan, otot,daging, kulit, tulang dan sungsum, akanmeresap kedalam tubuhnya. Semua aktivitastersebut membawa ketenangan hati danmenghilangkan keruwetan batin.6

Agar tidak terjadi kesalahan persepsi didalam mendalami arti membisu dan berjalankaki mengelilingi beteng kraton, maka lebihtepat jika dibicarakan di dalam ilmu Sari’atdan ilmu Hakikat. Ilmu Syari’at adalah ilmuyang mengedepankan aspek lahiriah,sedangkan ilmu Hakikat adalah ilmu yangmengutamakan olah batiniah. Ilmu Hakikatini kemudian dikembangkan, oleh para ahliTassawuf. Mereka lebih mengutamakanolah batiniahnya, serta memiliki tingkatanlebih tinggi serta harus melalui tahapSyari’at. Sebagai umat muslim ritual mu-beng beteng ini bisa dilakukan asalkan masihdalam koridor keduanya yaitu :

1. Ritual mubeng beteng dengan berjalankaki sambil melakukan aktivitas fisikberguna bagi kesehatan badan, dimaknaisecara rasional sesuai Syari’at Islam.

2. Aktivitas fisik selain gerakan sholatwajib dan sunnah seperti pada Tarawihdan Sya’i pada saat mengelilingi Ka’bahdapat dimaknai sebagai sesuatu yangdapat menyegarkan badan.

3. Esensi aktivitas fisik yang dikaitkandengan Syari’at, adalah masih dalamrangka melakukan kontak dengan Allah,sambil mengamalkan Asma Allah(Asmaul Husna), sambil membaca wiriddan berdzikir mengingat Asma Allah(dzikrullah).

4. Menurut Syari’at Islam, ritual mubengbeteng harus dimaknai dalam rangkamelaksanakan aspek amaliah, yaituberjalan bersama-sama masyarakatyang tujuannya untuk menjagakemaslahatan (manfaat dalam arti luas),yaitu: menjaga hubungan baik denganmasyarakat non muslim dan mencegahkemudharatan (kerugian besar duniaakherat), yaitu menghilangkan pra-sangka buruk kepada orang lain yangmerugikan diri sendiri.Kemudian membisu yang diartikan

sebagai membina hubungan batin dengan

6 Syaltut M. Al Islam Akidah Wa Syari’ah. (Mesir: Dar Al Qalam, 1965).

Page 45: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

165

Allah dapat digolongkan sebagai Taharahdalam 4 unsur peribadatan, yaitu member-sihkan kotoran yang bersifat lahiriah, mem-bersihkan perbuatan dosa yang dilakukansecara fisik, membersihkan hati dari sifatjahat, membersihkan hati dari hal-hal yangberasal diluar unsur ke-Tuhan-an. Dianjur-kan oleh Al-Ghazali bahwa dalam melaku-kan ibadah dengan aktivitas batin sebaiknyamembersihkan badan dengan mandi besardan berwudhu. Kemudian dalam melakukanaktivitas batin masih dalam garis Syariatmelakukan ibadah secara batiniah, secaraTarikat membersihkan diri dari ajakan hawanafsu, sehingga akhirnya kebersihan itudilakukan secara Hakikat (mengosongkanhati dari sifat-sifat buruk keduniawian).7

Unsur-unsur yang mengotori batinmanusia

Banyak orang menganggap remeh ilmuHakikat di dalam ilmu Tarikat, sebab merekabelum dapat memahami arti pengosonganhati dari sifat buruk keduniawian. Adanyasuatu cobaan yang diberikan kepada manusiaberupa sakit, cacat, kesengsaraan, kemis-kinan, dan lain sebagainya, adalah merupa-kan sapaan dan teguran dari Allah kepadamanusia. Maksudnya agar seseorang yangmendapat cobaan itu segera mendekatkandiri kepada Allah. Begitu pula cobaanmanusia dengan kondisi berlebihan sepertikekayaan, sifat sombong, dendam, ujub (me-ngagumi diri sendiri), riya (menghambur-hamburkan uang) adalah sifat-sifat manusiayang sangat dimurkai Allah, serta haltersebut akan menjadi halangan manusiamenyembah Allah.8 Banyak manusiagolongan ini malas mendekatkan diri kepadaAllah karena keangkuhannya, sehinggadengan kelebihannya itulah mereka justrusemakin jauh dengan Allah.

Allah berfirman di dalam Surat AlBaqarah, ayat 152:

“ .. Maka ingatlah kamu kepadaKU,niscaya AKU ingat pula kepadamu danbersyukurlah kepadaKU dan janganlahkamu mengingkari nikmatKU”

Dari ayat tersebut jelaslah bahwamanusia wajib selalu mendekatkan dirikepada Allah dan wajib bersyukur atassegala nikmat berupa rezeki, pangkat,derajat, kelebihan lain yang dimiliki.

Mubeng Beteng Menurut KonsepModernitas

Kondisi sosial, politik dan ekonomiyang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesiamengundang keprihatinan segala lapisanmasyarakat, seperti masyarakat umum, kaumintelektual baik mahasiswa maupun dosendan para pengamat. Ungkapan keprihatinanini telah dilakukan dengan berbagai cara,dari kegiatan bantuan sosial untuk bencana,demonstrasi mahasiswa tentang korupsi,penyalahgunaan jabatan, pelanggaranhukum sampai pada forum talk show denganmengkritisi para pejabat dan politisi.

Dengan adanya tradisi ritual mubengbeteng yang bertepatan pada malam 1 Sura(Hijriah), pada tahun 2007 diikuti banyakkalangan untuk menyampaikan rasa kepri-hatinan mereka terhadap kondisi bangsa dannegara Indonesia. Tradisi ritual mubeng be-teng ini digunakan sebagai wadah penyam-paian rasa keprihatinan oleh anggotamasyarakat, yang secara spiritual di dalam-nya mengandung ungkapan rasa prihatinpeserta, sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Aktivitas fisik yang mereka lakukandengan mubeng beteng akan berdampakkepada penyebarluasan ungkapan rasakeprihatinan mereka kepada segenap lapisanmasyarakat. Secara tidak sengaja tradisi inimenimbulkan sosialisasi laku prihatin dimasa datang. Dari sisi hukum laku ritualini dapat dipertanggungjawabkan. Sebablaku ritual mubeng beteng adalah merupakan

7 Al Ghazali. Ihya Ulum Al Din. ( Beirut: Dar al Fikr, tt).8 Ibid., hal. 70.

Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta (Endah Susilantini)

Page 46: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

166

wadah segolongan masyarakat yang berke-inginan menyampaikan rasa keprihatinandengan tertib, tulus tanpa pamrih sehinggamengundang kepedulian mereka terhadapkondisi bangsa dan negara. Laku prihatin inidilakukan dengan tertib dan teratur, apalagidilakukan di bawah naungan laku prihatinyang diselenggarkan oleh Paguyuban AbdiDalem Kaprajan Kraton Yogyakarta.

Ritualisme menyambut tahun baruHijriah dengan mubeng beteng adalah bukanaktivitas mubazir, pemaknaan laku prihatintersebut paralel dengan tawakal dalam Islamdan di lain pihak ekstrapolarisasinya kedalam etos kerja justru sesuai berlaku dengantuntutan modernitas.9

KesimpulanApa yang terjadi pada diri manusia dan

alam semesta seperti hidup, rezeki, jodoh,bencana, penyakit dan kematian adalahsudah menjadi kehendak Allah. Tetapi ma-nusia wajib berusaha, dengan daya upayaserta harapan agar Allah dapat memberikanyang terbaik kepada manusia. Media pe-nyampaian doa yang dilakukan manusia

Daftar Pustaka

Ardhani, Mohamad, 1995. Al Qur’an dan Sufisme.Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.

Ghazali, Al, tt. Ihya Ullum Al-Din. Beirut: Dar Al Fikr.

Sutrisno, Slamet. “1 Sura, Etos Bangsa dan Zaman Waras”, dalam Kedaulatan Rakyat.19 Januari 2007.

Syaltut, M., 1965. Al Islam, Akidah Wa Syari’ah. Mesir: Dar Al Qur’an.

N N. “Ngibarake Pusaka Dwaja Kanjeng Kiai Tunggul Wulung”, dalam Majalah MekarSari. Taun III No. XIX. Juni 1967, Yogyakarta.

dengan ekspresi ungkapan rasa, dilakukandengan berbagai cara termasuk di antaranyaadalah melakukan tradisi ritual membisudengan mubeng beteng. Banyak kalanganbersama-sama menyatukan langkah merasapeduli untuk berdoa agar bangsa dan negara-nya menjadi lebih baik dari sebelumnya, ataubagi yang beragama Islam dengan caramembisu mengelilingi beteng kraton sambilberzikir dan berdoa dalam hati. Aspekspiritual mubeng beteng memiliki maknayang dalam, baik ditinjau dari konsepkejawen, konsep Islam dan konsep mo-dernitas. Ternyata semuanya menjelaskanhal yang sama tentang makna yang terkan-dung di dalamnya. Mubeng beteng tidak bisahilang begitu saja, sebab ritual ini sekarangtidak hanya dilakukan oleh masyarakat Jawasaja, tetapi sudah bisa diterima dan dilaku-kan oleh masyarakat etnis lain selain etnisJawa. Apa yang dilakukan ini dihubungkandengan kondisi bangsa dan negara saat ini,sebagai suatu bentuk keprihatinan danberharap agar kondisi itu akan segeraberakhir, dan tercapai kondisi yang lebihbaik.

9 Slamet Sutrisno. “1 Sura, Etos Bangsa dan Zaman Waras”, dalam Kedaulatan Rakyat. 19 Januari 2007,hal. 12.

Page 47: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

167

Sejarah Gereja GanjuranGereja Ganjuran yang bernama Gereja

Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran berlokasidi wilayah Bantul, tepatnya di DesaSumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro,Bantul. Gereja Ganjuran didirikan oleh ke-luarga Schmutzer pada tanggal 16 April1924. Keluarga Schmutzer, yang pada waktuitu berdomisili di daerah itu sebagai pemilik“Pabrik Gula Gondang Lipuro”. Keluarga inidi samping menjalankan karyanya di bidangekonomi juga di bidang sosial budayadengan merintis mendirikan sekolah-sekolah(dirintis tahun 1919); tahun 1920 menjadiperawat dan pekerja sosial; tahun 1921mendirikan poliklinik; tahun 1924 membuattempat ibadah (Gereja Ganjuran), dan tahun1927 mendirikan Candi Hati Kudus TuhanYesus (Candi Ganjuran) yang di dalamnyabersemayam arca Hati Kudus. Kemudianpada tahun 1930 mendirikan rumah sakityang bernama Rumah Sakit Elisabeth. Pada

tahun 1948 sewaktu terjadi clash II pabrikgula dibumihanguskan, namun candi, gereja,rumah sakit, dan sekolah-sekolah dibiarkantetap berdiri.1

Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Gan-juran dibangun dengan arsitektur Belandadan bercorak Hindu-Jawa. Hal ini dapatdilihat dari lukisan-lukisan yang ada di altar,patung Tuhan Yesus yang berada di sayapkanan, dan patung Bunda Maria yang beradadi sayap kiri. Letak bangunan gereja iniberada pada kawasan Mandala Hati KudusTuhan Yesus. Di kawasan ini, bangunanyang ada selain gereja adalah candi,pasturan, susteran, dan rumah sakit.

Dalam rangka mengemban visi danmisi, ada perkembangan lain baik fisikmaupun non fisik. Untuk pengembanganfisik dapat dilihat dari uraian berikut. Padatahun 1959 gedung gereja diperluas denganmenambah bangunan pada sayap kiri dankanan. Tahun 1965 ada penambahan ba-

MAKNA SIMBOLIK TRADISIPROSESI DI GEREJA GANJURAN

Emiliana Sadilah

Abstrak

Gereja Ganjuran dikenal sebagai salah satu gereja yang memiliki tradisi prosesiatau perayaan arak-arakan terhadap Hati Kudus Tuhan Yesus. Tradisi ini sudah lamaada, sejak jaman Belanda dan dilestarikan hingga sekarang. Dari tahun ke tahun (setiapminggu terakhir Bulan Juni) perayaan arak-arakan ini mengalami perkembangan. Lebih-lebih setelah ditemukannya sumber air di dekat Candi Ganjuran, perayaan arak-arakanini menjadi semakin meriah. Prosesi yang awalnya hanya dihadiri oleh umat Kristianidaerah setempat kini sudah menjadi milik bangsa kita khususnya yang berdomisili diPulau Jawa dan Bali.

Kata kunci: Prosesi - Gereja - Makna dan simbol.

1Panitia Prosesi, Panduan Prosesi 2004 di Gereja Ganjuran Sumbermulya Bambanglipura, Bantul,Yogyakarta, hal. 53 – 55.

Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)

Page 48: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

168

ngunan di sebelah timur gereja, yangdiperuntukkan untuk sakristi, kantor paroki,dan ruang misdinar. Tahun 1981 ada penam-bahan bangunan pastoran menjadi 2 lantai.Tahun 1990 Rama G. Utomo memprakarsaipengadaan perangkat gamelan slendro.Tahun 1995 membangun kompleks peziarahdi komplek Candi Ganjuran, yang dilakukansetelah ditemukan sumber air yang disebutTirta Perwitasari. Tahun 1997 dilakukanpeletakan batu pertama dalam rangkamembuat panel-panel jalan salib yangbercorak Hindu-Jawa. Pada tahun 1998pemberkatan sumber air yang berasal daridasar Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Tahun2001 pengelolaan Rumah Sakit Elisabethdiambilalih oleh Rumah Sakit Panti RapihYogyakarta. Tahun 2002 dipasang konblokdi halaman selatan pastoran, dan diperun-tukkan sebagai areal parkir roda dua. Tahun2003 digali lagi sumber mata air besar dipintu gerbang selatan candi, dan dibangunjuga kamar mandi peziarah berikut rangkaiantoiletnya. Selain itu, pada tahun yang samadibangun 2 buah pendapa kembar untukberbagai keperluan, seperti: keperluan ibadatgereja, tempat istirahat para peziarah, dananeka kegiatan paroki. Pada tahun 2004renovasi atap dan cat gereja. Kemudiandisusul pembangunan 2 pendapa di kanan-kiri Candi Ganjuran bertujuan untukmendukung pelayanan para peziarah. Padatanggal 27 Mei 2006, balkon gereja yangterletak di atas pintu masuk gereja sebelahdepan, runtuh akibat gempa yang mem-porakporandakan daerah ini dan sekitarnya.Pada saat ini gedung gereja masih dalamperbaikan dan belum difungsikan.2

Untuk pengembangan non fisik adabeberapa usaha yang bertujuan untuk me-realisasi visi dan misi gereja yaitu dengandiawali mendirikan sebuah organisasi gereja.Organisasi ini dipelopori oleh Rm. M.Jonckbloedt, SJ dan dirintis pada tahun

1970. Dalam perkembangannya, di tahun1988 Rama. G. Utomo, Pr memprakarsaiuntuk merevitalisasi dengan cara melakukanpenggalian nilai-nilai tradisional budayaJawa yang sudah lama mengakar dan terusberkembang ke dalam bentuk Misa Kudus.Pada tahun 1989, tepatnya pada bulan Ok-tober berdiri sebuah paguyuban yang ber-nama “Paguyuban Tani Hari Pangan Se-dunia”, dengan sasaran utama adalah pem-berdayaan petani kecil. Pembukaan Pagu-yuban Tani HPS ditandai dengan dihasil-kannya Deklarasi Ganjuran. Tahun 1999peresmian ‘Paguyuban Hati Kudus TuhanYesus’ dan tahun 2000 lahir Paguyuban AbdiDalem yang memiliki misi menjagakompleks Mandala Hati Kudus Tuhan Yesusdan melayani para peziarah.3

Tradisi ProsesiTradisi prosesi di Gereja Ganjuran

sudah lama ada, pertama kali diadakan padabulan Oktober, tepat pada Hari Raya KristusRaja. Namun dalam perkembangannya,tradisi prosesi diadakan setiap mingguterakhir pada Bulan Juni. Tradisi prosesi inimeniru tradisi yang dilakukan para umatKristiani di Eropa. Hal ini sangat wajarkarena pendiri gereja ini adalah orangBelanda sehingga budaya Eropa tetapdilestarikan. Upaya melestarikan tradisitidak sama persis dengan budaya Eropa,hanya merupakan hasil inkulturasi denganbudaya Jawa. Dalam budaya Jawa banyaktradisi dilakukan, yang dipahami sebagaisesuatu yang harus dipatuhi, dan dihormati.Hal ini disebabkan tradisi dapat memberikanbahkan menjamin keselamatan hidup merekahingga ke keturunannya.4 Terkait dengantradisi prosesi ini oleh umat melakukannyasecara hikmat, mematuhi dan menghormatiseluruh rangkaian upacara hingga selesai.

Kalau menelusuri awal dari sejarahnya,tradisi prosesi ini sudah ada sejak zaman

2 Ibid., hal. 57.3 Ibid., hal. 55–57.4 Yuwono Sri Suwito. “Indikator Ketahanan Budaya Dari Aspek Sosial Budaya”, dalam Makalah

Lokakarya Penyusunan Indikator Ketahanan Budaya. Tanggal 13 Desember 2005, di Yogyakarta, hal. 2.

Page 49: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

169

Paus Pius X di Eropa. Pada saat itu banyakumat yang mulai ragu dan bimbang terhadapkehadiran Tuhan Yesus Kristus dalamSakramen Mahakudus. Agar tidak terjadisituasi seperti itu dimunculkanlah suatukegiatan prosesi. Awalnya, prosesi diadakanuntuk menepis keraguan umat beriman ataskehadiran Tuhan Yesus Kristus dalamSakramen Mahakudus. Maka saat itu seringdiadakan perarakan Sakramen Mahakuduske luar gereja, melintasi jalan-jalan kotayang diikuti oleh seluruh umat gereja.Kegiatan ini terus menerus dilakukan danmenjadi tradisi, yang kemudian diikuti olehpara umat Kristiani dari bangsa-bangsa laintermasuk umat Kristiani yang ada diIndonesia.

Di Gereja Ganjuran, kegiatan prosesidilakukan sejak gereja ini berdiri tahun 1924.Kegiatan prosesi dilakukan dengan arak-arakan Sakramen Mahakudus oleh umat-Nya dengan berjalan mengitari gerejakemudian kembali masuk ke gereja lagidengan upacara Misa Sakramen MahaKudus di dalam gereja. Dalam perkem-bangannya prosesi ini dilakukan denganarak-arakan Sakramen Mahakudus olehpetugas dari gereja, menuju Candi Ganjuran(masih dalam lingkup kawasan gereja),kemudian dilangsungkan Misa SakramenMahakudus di depan candi tersebut.Perubahan ini terjadi karena pada saat ituumatnya sedikit, hanya masyarakat dilingkungan paroki setempat. Namun setelahbanyak umat yang ikut dalam perayaanprosesi ini, maka arak-arakan tidak diikutioleh semua umat yang hadir dan kegiatanmisa prosesi dipusatkan di halaman CandiGanjuran.

Tujuan prosesi di Gereja Ganjuran iniagar kaum beriman semakin dikuatkanimannya dan dengan penuh keyakinan maumengakui dan menghormati SakramenMahakudus. Prosesi memiliki arti perarakanumat yang mengikuti Sakramen Mahakudus,yang juga dapat dipahami sebagai sim-

bolisasi atas empati umat mengikuti TuhanYesus yang berjalan ke Taman Getsemani.Di tempat yang merupakan simbolisasiTaman Getsemani umat melakukan astuti,yaitu pujian kepada Sakramen Mahakudus.Di Taman Getsemani itulah Tuhan Yesusmembuktikan kesetiaan dan cintanya kepadaumat manusia dengan menyatakan kesediaanuntuk menderita dan wafat di kayu salibuntuk menebus dosa-dosa manusia.5

Mengingat begitu pentingnya arti dantujuan prosesi maka hingga kini prosesi inimenjadi tradisi, setiap tahun mengalamiperkembangan. Berdasarkan observasi umatpengikut prosesi, awalnya prosesi hanyadilakukan secara sederhana dengan diikutioleh para umat di lingkungan setempat.Namun dalam perkembangannya, terlebihsetelah ditemukan Tirta Perwitasari dekatCandi Ganjuran, tradisi prosesi menjadisangat ramai diikuti oleh para umat peziarahdari pelbagai tempat, khususnya Jawa danBali. Sehubungan dengan itu maka dalamtataran ini prosesi dimaknai sebagai simbolpeziarahan umat manusia yang menempuhperjalanan panjang selama hidupnya, namunharus selalu mengarah dan menuju padaKristus Tuhan dan Raja mereka.

Dalam perayaan prosesi itu diharapkanagar umat yang mengikuti prosesi dapatmenimba dari sifat-sifat pribadi Tuhan YesusKristus, yang disertai dengan melakukanpenghormatan khususnya kepada SakramenMahakudus. Pada kesempatan itu umat dariberbagai tempat dan dengan berbagai tujuanpermohonan dan berkat Tuhan datang untukmenghadap Kristus. Puncak acara umatmenyambut kehadiran Tuhan pada KirabAgung Sakramen Mahakudus dan penyam-butan komuni suci.

Makna dan SimbolSebelum melangkah pada uraian tentang

makna dan simbol yang ada pada tradisiprosesi, akan dibahas sekilas tentang me-ngapa ada simbol-simbol. Tradisi prosesi

5 Panduan Prosesi, op.cit, hal. 70–71.

Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)

Page 50: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

170

adalah salah satu strategi dalam melestarikansalah satu wujud budaya bangsa, yang dalamhal ini adalah terkait dengan sistem religi.Dalam religi sistem simbol digunakanmanusia (lewat sistem pengetahuan) sebagaimedia untuk berkomunikasi dengan dunia-nya.6 Bahkan menurut Koentjaraningrat,sistem religi dan upacara keagamaan (sepertidalam tradisi prosesi ini) sukar diubahapalagi dihilangkan karena terkandung nilai-nilai (ada di dalam simbol-simbol) yang di-anggap berguna dalam hidupnya.7

Atas dasar pengertian tadi menunjukkanbahwa dalam suatu upacara keagamaanseperti dalam upacara prosesi ini, banyaksimbol-simbol yang digunakan. Mulai daritempat yang digunakan untuk kegiatanupacara prosesi, peralatan yang digunakan,serta proses/tahap-tahap upacara dalamkegiatan prosesi tersebut, kesemuanyamemiliki makna dan simbol Dengan demi-kian upacara prosesi merupakan saturangkaian yang utuh yang dapat dimaknaisebagai suatu kegiatan prosesi yang bersifatreligius dan menjadi suatu tradisi.

1. Gereja GanjuranGereja ini menjadi tempat awal dalam

melakukan kegiatan prosesi. Sebelumdilakukan arak-arakan, terlebih dahulu umatberkumpul di dalam gereja, kemudian baruberjalan keliling gereja bersama SakramenMahakudus. Namun sekarang, mengingatjumlah umat sangat banyak maka di dalamgereja hanya digunakan untuk berkumpulpara petugas (pastor, misdinar, para diakon,dan pengurus lainnya) arak-arakan sajabeserta segala perlengkapannya. Umatberada di luar gereja, di samping kiri kananjalan yang mau dilewati arak-arakanSakramen Mahakudus.

Secara fisik, gereja merupakan tempatibadah bagi umat Kristiani namun kalaudimaknai gereja ini memiliki kandungannilai sebagai simbol persatuan danperlindungan bagi umat beriman. Di tempatini selalu diselenggarakan perayaan ekaristiSakramen Mahakudus sebagai lambangkehadiran Tuhan ditengah-tengah umat-Nya.Oleh karena itu, gereja inilah yang seharus-nya menjadi tempat persinggahan pertamabagi para peziarah yang ingin memohonperlindungan Tuhan.8

2. Candi GanjuranCandi Ganjuran letaknya masih dalam

satu komplek dengan gereja, berada di suduttimur laut Gereja Ganjuran. Dulu sebelumditemukannya sumber air (Tirta Perwitasari)candi ini tidak digunakan untuk Misa Agungdalam perayaan prosesi ini, khusus sebagaitempat persemayaman Hati Kudus TuhanYesus. Oleh umat, candi ini dimaknai se-bagai simbol keabadian dan kebesaranTuhan. Bangunan yang terbuat seluruhnyadari batu ini tidak lapuk oleh waktu dancuaca, melambangkan penyertaan Tuhankepada umat-Nya yang bersifat kekal abadi.Juga melambangkan kesetiaan Tuhan yangtidak dibatasi oleh waktu dan situasi (cuaca)apapun. Candi ini sebagai tempat sang raja(hati kudus) bersemayam yang memilikikebesaran yang abadi/kekal, ditahtakan didalam candi untuk dipuja dan dimintaipertolongan seluruh umat-Nya. Dalamkaitannya dengan perayaan prosesi, kinicandi ini menjadi tempat untuk melakukankegiatan Misa Prosesi yang diawali denganmengarak arca Kristus Raja dari gereja,diarak ke candi, dan langsung disemayam-kan di dalam candi. Sebagai penghormatandan pemujaan kepada-Nya, dilakukan misa

6 Irwan Abdullah. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan Pada UpacaraGarebeg. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2002), hal. 2.

7 Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. (Jakarta: PT. Gramedia, 1980), hal. 12 –13.

8 Panduan Prosesi, op.cit., hal. 66 – 67.

Page 51: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

171

yang dihadiri oleh seluruh umat yang datangke tempat tersebut.9

3. Arca Kristus RajaArca Kristus Raja adalah arca Tuhan

Yesus Kristus yang diarak dari dalam gerejamenuju ke candi. Dalam arak-arakan inidihadiri oleh seluruh umat Kristiani. Umatmenghantar arca tersebut dengan kidung-kidung pujian menuju candi untuk dise-mayamkan. Dalam acara arak-arakan arcaTuhan Yesus Kristus ini dimaknai sebagaisimbol keagungan dan belas kasih yang takterhingga, dan melambangkan pengakuanumat beriman pada Sang Penguasa Tunggal,yaitu Tuhan Yesus Kristus. Yesus sebagairaja yang berkuasa dan belas kasih-Nya yangtak terhingga tampak dalam Hati Kudus-Nyayang diserahkan kepada umat manusiadengan dibuktikan melalui penderitaan danwafat di kayu salib untuk menebus dosa-dosamanusia.10

Dalam kehidupan umat beriman, arcadimaknai sebagai suatu sarana/jalan untukmenuju ke surga/ke kemuliaan dengan relaberkorban dan melakukan tindakan secaranyata penuh belas kasih seperti yangdiberikan oleh Hati Kudus Tuhan Yesus.

4. Tirta PerwitasariAir suci yang disebut Tirta Perwitasari

yang ditemukan dari dasar Candi Ganjuran,memiliki simbol sebagai berkat kehidupanyang dianugerahkan kepada segenap umatberiman. Air adalah sumber kehidupan bagisetiap makluk hidup sehingga dengan adanyasumber air tersebut menunjukkan bahwaTuhan telah menganugerahkan denganmemberi kehidupan (lewat air tersebut)kepada umat-Nya. Kandungan nilai yangdimaknai air ini bukan sekedar untuk hidup,tetapi hidup untuk mewartakan belas kasihHati Kudus-Nya. Itulah sebabnya air yangdianugerahkan tidak sembarang air tetapi

secara medis air ini memiliki banyakkelebihan daripada air pada umumnya.

Tirta Perwitasari ini menjadi salah saturangkaian dari kegiatan prosesi. Airdianggap suci sehingga memiliki khasiattersendiri sebagai berkah Tuhan digunakanuntuk dipercikkan kepada seluruh umat yangmengikuti Sakramen Mahakudus pada saatberkat penutup misa. Air juga menjadi anekaberkat nyata yang dianugerahkan Tuhankepada umat-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak para peziarah datang ke tempatitu dan mengambil air untuk kepentingankesehatan/medis, dan ternyata banyak yangberhasil. Dari sinilah menunjukkan anugerahTuhan yang penuh belas kasih diberikankepada umat-Nya yang membutuhkan.11

5. Misa ProsesiDalam tradisi prosesi, puncak dari

seluruh acara adalah Misa prosesi. DisebutMisa Prosesi karena pada perayaan misayang disebut akbar ini selalu didahuluidengan arak-arakan Sakramen Mahakudus.Misa Prosesi ini dimaknai sebagai simbolpenyerahan umat kepada kuasa Hati KudusTuhan Yesus. Dalam perayaan akbar ini dila-kukan penghormatan kepada Hati KudusTuhan Yesus yang ditandai dengan berbagaiupacara kebesaran. Pada kesempatan ini paraumat yang mengikuti misa memper-sembahan sebagian hasil karya mereka yangdiungkapkan dalam aneka simbol, yaitu: roti-anggur, hasil bumi, makanan tradisional,gunungan, aneka hiasan, uang, dan buah-buahan. Persembahan ini dimaknai sebagaisebagian berkat Tuhan yang terwujud didalam buah karya manusia yang dihaturkankembali kepada pencipta-Nya. Sang pencipta(Tuhan) berkenan menerima persembahanitu, hadir mengunjungi umat-Nya dalamkirab Agung Sakramen Mahakudus, danbersatu untuk menyertai umatnya dalamkomuni suci. Selanjutnya Sang Pencipta

9 Ibid., hal. 67.10 Ibid., hal. 38.11 Ibid., hal. 68.

Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)

Page 52: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

172

mengembalikan lagi persembahan (berkat)ini kepada umatnya untuk dibagikan kepadaorang-orang yang lebih memerlukannya.

Sesudah Misa Prosesi, kenangan akanTuhan Yesus yang memberi makan lima ribuorang diungkap kembali. Ketika egoismeditinggalkan dan semua orang bersediamemikirkan kebutuhan sesamanya maka takakan ada satu orang pun yang berkekurangankarena sebenarnya Tuhan memberi umatnyalebih dari yang dibutuhkan. Ungkapan inimemberi makna bahwa kita sesama ma-nusia harus saling peduli, lebih-lebih kepadaorang yang kekurangan hendaknya lebihdiperhatikan jangan memikirkan dirisendiri.12

6. Kirab Agung Sakramen MahakudusPada saat ini prosesi dirubah menjadi

Kirab Agung Sakramen Mahakudus, dengantanpa mengurangi makna dari prosesi itusendiri. Hal ini dilakukan karena umat yangmengikuti misa ini sangat banyak sehinggatidak mungkin seluruh umat yang hadir iniikut dalam arak-arakan tersebut. Dengandemikian umat duduk di samping kiri kanantempat yang digunakan untuk lewatSakramen Mahakudus. Kegiatan ini disebutKirab Sakramen Mahakudus yang dimaknaisebagai simbol Tuhan Allah berkenan hadirmelewati umat-Nya (yang duduk di kirikanan) yang menghadap dan mempersem-bahkan diri, hidup, serta hasil karya mereka.

Kirab Agung Sakramen Mahakudus inidilaksanakan pada saat konsenkrasi, saat rotidan anggur berubah menjadi Tubuh danDarah Kristus. Dalam Kirab Agung Sakra-men Mahakudus ini umat yang berkenandilewati Tuhan, mereka (umat) melakukansujud dan sembah sebagai lambang kesetiaanumat kepada Sang Maharaja Tuhan YesusKristus.13

7. Gamelan dan TarianGamelan dan tarian adalah serangkaian

kegiatan yang dilakukan untuk mengayu-bagya atas kehadiran Sang Maharaja TuhanYesus Kristus. Jadi musik dan tarian Jawayang dilantunkan merupakan simbolkemegahan, syukur, pujian, dan peng-hormatan yang dilakukan secara tradisionalJawa, sekaligus sebagai simbol penghargaanpada nilai-nilai tradisional budaya Jawa.Kehadiran Sang Maharaja adalah momentyang pantas disyukuri, membuat umatsenang, bahagia, dan mengungkapkannyadalam aneka perilaku sukacita. Itulahsebabnya umat menabuh gamelan (musik),bernyanyi, dan menari dalam sukacita.14

Dalam acara prosesi ini menggunakangamelan dan tarian Jawa karena perayaanMisa Suci ini pendukungnya adalah sukubangsa Jawa sehingga dikemas dalam bu-daya Jawa dengan tujuan mudah dipahamidan diterima di kalangan masyarakat Jawa.Dalam hal ini ingin menunjukkan bahwaTuhan tidak milik sebuah bangsa (sepertibangsa Yahudi karena Yesus lahir di sana)tetapi milik semua bangsa yang beranekaragam suku bangsa dan budaya yang ada didunia ini. Dalam budaya Jawa, lantunanbunyi gamelan itu sendiri menunjukkansuatu kondisi yang harmoni, ditunjukkanpada bunyi ricikan gamelan yang satudengan yang lain berlainan. Cara memain-kannya juga berlainan namun dapat mem-berikan hasil suara yang indah dan enakdidengar oleh siapapun.15

8. Pakaian AdatDalam perayaan prosesi ini selalu

menggunakan pakaian adat untuk parapetugas kecuali misdinar dan sustermenggunakan pakaian formal yang telahditentukan. Namun untuk para pastor

12 Ibid., hal. 69.13 Ibid., hal. 72.14 Ibid., hal. 72.15 Kasidi Hadiprayitno. “Ketahanan Budaya Dari Aspek Filosof Budaya Jawa”, dalam Makalah Lokakarya

Penyususnan Indikator Ketahanan Budaya. Tanggal 13 Desember 2005, hal. 12.

Page 53: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

173

(pemimpin upacara), para diakon, penari,penabuh gamelan dan petugas lainnya,mengenakan pakaian tradisional/adat Jawa.Hal ini dimaknai sebagai simbol penerimaansuatu bangsa (bangsa Jawa) dengan adatJawa, tradisi Jawa, dan seluruh budaya sertaalam pikirnya. Pakaian adat (Jawa) yangmerupakan tampilan luar merupakan cerminhati, alam pikir, dan budaya yang merekamiliki.

Diharapkan dengan mengenakanpakaian adat ini suatu masyarakat maumenerima kehadiran Sang Maharaja dengansepenuh hati, dan dengan segala penghor-matan yang mungkin dapat dilakukan.Dengan demikian, akhirnya seluruh tatahidup (adat dan budaya) masyarakat itudiserahkan sepenuhnya kepada SangMaharaja yang disambut kehadiran-Nya.16

9. Paku, Pukul dan Mahkota DuriPada saat Kirab Agung Sakramen

Mahakudus dilengkapi dengan seperangkatalat-alat yang menempel pada diri TuhanYesus Kristus waktu disalibkan. Seperangkatalat-alat ini adalah paku, pukul, dan mahkotaduri. Ini semua adalah simbol-simbol penya-liban Tuhan Yesus Kristus. Tujuan alat-alattersebut digunakan dalam perlengkapanperayaan ini adalah untuk mengingatkankembali seluruh umat yang hadir betapacinta agung Tuhan Yesus Kristus denganHati Kudus-Nya sungguh suci dan mulia.Cinta yang agung itu telah mengatasiketakutan akan rasa sakit yang ditimbulkanmahkota duri, paku, dan tombak di kayusalib. Cinta agung itu telah membuahkankesediaan untuk mengorbankan diri danmenyerahkan hidup-Nya di dunia ini kepadaumat manusia.17

Peralatan tersebut juga dimaknai se-bagai tanda pengingat bagi seluruh umat

bahwa setiap perbuatan kita yang tidakselaras dengan ajaran Kristus akan menjadipaku, pukul, dan mahkota duri yang baru.Setiap dosa yang kita lakukan berarti pakuatau duri baru yang kita tancapkan kepadaYesus Kristus. Sebaliknya, setiap amal kasihyang kita lakukan dapat dipahami sebagaiupaya membebaskan Yesus Kristus daripaku-paku dan duri-duri yang menancappada kaki tangan, dan kepala-Nya.18

10. Umbul- Umbul (Vandel)Dalam kaitannya dengan perayaan

prosesi ini, umbul-umbul digunakan sebagailambang persekutuan Umat Hati KudusTuhan Yesus yang bersedia menghadap danmenyambut kehadiran Sang MaharajaAgung yaitu Yesus Kristus dengan Hati-NyaYang Mahakudus. Oleh karena itu, pada saatpembukaan (acara prosesi ) dimulai umbul-umbul ini diarak, sebagai lambang kesediaanumat yang mau menyambut dengan dipim-pin oleh imam (pemimpin upacara) yangakan menghantar umat untuk sampai ataubertemu dengan Sang Maharaja YesusKristus.19

Pada Kirab Agung Sakramen Maha-kudus, umbul-umbul kembali diarak dandijajar sepanjang jalan yang akan dilewatiSakramen Mahkudus, sebagai simbol pe-nyambutan seluruh umat kepada SangMaharaja.

11. Gunungan dan Hasil BumiDi dalam adat Jawa, seperti dalam upa-

cara garebeg selalu ada gunungan.Gunungan diasosiasikan sebagai suatutempat yang tinggi letaknya, sesuatu yangsuci, tempat Tuhan bersemayam sehinggaharus dihormati.20 Hal ini tidak jauh berbedadengan gunungan yang ada pada perayaanprosesi, yang dianalogikan sebagai simbol

16 Panduan Prosesi, op.cit., hal. 74.17 Ibid., hal. 75.18 Ibid., hal. 75.19 Ibid., hal. 75.20 Irwan Abdullah, op.cit., hal. 66.

Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)

Page 54: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

174

penghormatan umat kepada Tuhan SangPencipta dengan menghaturkan sebagiandari hasil bumi yang dimilikinya. Gununganyang dibuat dihiasi dengan hasil bumi, yangsemuanya berasal dari umat. Hiasan tersebutberupa sayur mayur, buah-buahan, jajanpasar/makanan tradisional, dan dihiasidengan dekorasi dan bunga. Bagi masyarakatJawa, gunungan melambangkan pemujaanterhadap yang Maha Kuasa yaitu Sang Pen-cipta bumi dan seisinya. Sementara itu,ubarampe yang menghiasi gunungan yangberupa sayur mayur, buah-buahan, jajanpasar, beserta semua hiasannya, melam-bangkan atau memiliki makna sebagaisimbol ungkapan rasa syukur kepada SangMaha Pencipta atas segala rahmat-Nya yangtelah diberikan kepada umat manusia.Sebagai ucapan rasa syukur ini maka umatmempersembahkan sebagian dari pemberianrahmat itu kepada-Nya.21

Berdasarkan pemahaman itu makapemaknaan simbol-simbol di dalam pe-rayaan prosesi ini tidak jauh berbeda denganuraian di atas, yang intinya adalah umatmempersembahkan sebagian hasil bumimiliknya yang diakui sebagai rahmat Tuhan,sebagai tanda rasa syukur kepada-Nya atassegala rahmat dan berkat yang diberikankepada umat manusia. Dalam kepercayaanKristiani, umat Kristiani mensyukuri berkatyang telah diterima dan mempersembahkansebagian hasil yang dimiliki itu kepada yangmemberi berkat yaitu Tuhan Yesus KristusRaja Semesta Alam. Oleh karena padaperayaan prosesi ini Tuhan hadir di tengah-tengah umat maka Tuhan berkenan mene-rima persembahan itu, namun kemudianmenyerahkan kembali kepada umat-Nyauntuk dibagikan kepada orang-orang yanglebih membutuhkan.

Diharapkan dalam suasana ini semuaumat bisa bersikap hormat, jangan sampaiterjadi semacam penjarahan terhadap semuaberkah yang dipersembahkan itu. Umat

harus menghormatinya dan memperlakukan-nya dengan baik, dan sedapat mungkin mauberbagi kepada sesamanya yang berkeku-rangan, miskin, dan yang tertindas. Sehinggadengan demikian berkat ini betul-betul me-miliki arti yang sangat mendalam bagikehidupan manusia.

12. Baldegen, Elar MerakPeralatan lain yang ikut melengkapi

perayaan prosesi ini adalah baldegen danelar merak. Keduanya ini dimaknai sebagaisimbol kebesaran Sang Maharaja. Baldegenitu sendiri mempunyai fungsi ganda yaitusebagai pintu gerbang dan sebagai peneduh.Menurut sejarah, pada zaman dahulu raja-raja di Timur Tengah kalau bepergian meng-gunakan tandhu (ini sama seperti raja-rajadi Jawa), yang dilengkapi dengan baldegenini dengan tujuan supaya tidak kepanasanoleh cuaca di luar. Di samping itu, agar rajamerasa nyaman dalam perjalanannya jugadilengkapi dengan kipas kebesaran yangbahannya dari bulu merak.22

Terkait dengan penalaran itu maka didalam perayaan prosesi ini baldegen dan elarmerak digunakan sebagai simbol penghor-matan yang setinggi-tingginya oleh umatkepada Sang Maharaja. Secara religius,baldegen melambangkan adanya batas pe-misah antara surga dengan bumi, baik danburuk, jasmani dan rohani. Dalam KirabAgung Sakramen Mahakudus, baldegentidak ikut diarak, namun yang jelas baldegenmenjadi simbol jalan keluar dan masukkembali ke dunia abadi.

13. Dupa dan Anglo/TungkuDupa dan anglo juga ikut melengkapi

perayaan prosesi ini. Dalam kepercayaananimisme dan dinamisme sering dijumpaiorang-orang membakar dupa/kemenyandengan menggunakan anglo/tungku. Inidilakukan sebagai tanda penghormatan ke-pada Tuhan dan leluhurnya dengan mengi-

21 Panduan Prosesi 2004 di Gereja Ganjuran, hal. 76.22 Ibid., hal 78.

Page 55: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

175

rim doa dan bau harum dari dupa. Dalamkepercayaan umat Kristiani, pembakarandupa ini mengingatkan pada cerita per-sembahan Habel yang diterima oleh Tuhanyang tampak pada asap putih yang mem-bubung ke atas/ke surga. Sementara bauharum dianalogikan sebagai suatu peman-dangan yang indah yang melambangkan ke-hadiran Tuhan yang membahagiakan, me-nyegarkan, menyembuhkan, dan memuaskanjiwa.23

Pada intinya dilakukan pembakarandupa dengan anglo sebagai tempatnya,dengan harapan agar doa dan persembahanumat yang diunjukkan sungguh harum me-wangi, naik ke hadirat Tuhan Hyang MahaKuasa dan diterima di hadapan Tuhandengan senang hati.

14. Songsong /PayungDalam tradisi Jawa, payung mengan-

dung makna ganda yaitu sebagai peneduhdan sebagai pengayom. Logikanya payungsebagai peneduh dipergunakan untuk me-lindungi sang raja yang diarak supaya tidakkena panas dan hujan. Sebagai pengayom,payung sebagai simbol yang memiliki peranatau fungsi dari pihak yang mengenakannyayaitu selaku pengayom, pelindung, penguasayang memberi keteduhan.24

Dalam konteks liturgi inkulturatif diGereja Ganjuran pada perayaan prosesi,payung dimaknai sebagai alat untuk memu-liakan atau mengakui kebesaran Sang Maha-raja Yesus Kristus yang bertahta dengan HatiKudus-Nya. Para umat yang hadir mengha-dap dan menyembah sebagai tanda hormatkepada Sang Maharaja, saat payung itudiarak lewat dihadapan para umat.

PenutupBerdasarkan uraian tentang ‘Tradisi

Prosesi Di Gereja Ganjuran’, dapat ditariksebuah kesimpulan sebagai berikut:

Menurut sejarah, tradisi prosesi adasejak jaman dulu tepatnya sejak dibangungereja pada tahun 1924. Keberadaannyameniru tradisi yang ada di Eropa, namundalam aktualisasinya mengkombinasikanbudaya Eropa dengan Jawa. Hal ini dapatdilihat dari semua rangkaian upacara yangmenggunakan perlengkapan dan peralatansecara tradisional seperti layaknya yangdiperbuat oleh orang Jawa.

Kalau dilihat sejak persiapan hinggajalannya perayaan arak-arakan sampaiselesai upacara, dilakukan secara hikmatpenuh dengan harapan atas hadirnya SangMaharaja Tuhan Yesus Kristus. Umat yangdatang dari berbagai daerah (khusus Jawadan Bali) dan dari berbagai suku bangsa, relamenanti kehadiran Sang Maharaja sebagaiTuhan penyelamat manusia hingga perayaanitu selesai.

Jalannya arak-arakan dimulai daridalam gereja dan berakhir di depan CandiGanjuran. Di candi ini acara inti dari pe-rayaan prosesi ini dilakukan yaitu MisaProsesi. Sebelum sampai pada Misa Prosesididahului dengan arak-arakan SakramenMahakudus yang dilengkapi dengan ber-bagai rangkaian lainnya termasuk gunungandan ubarampenya.

Peralatan dan perlengkapan yang di-gunakan untuk meluhurkan nama Tuhancukup banyak jenis dan jumlahnya dan itusemua memiliki makna dan simbol-simbolyang berkaitan dengan hubungan manusiabaik secara horisontal maupun vertikal.Mengingat tradisi prosesi ini memiliki man-faat bagi pendukungnya maka sampai se-karang masih dilestarikan, meskipun dalamtahun ke tahun mengalami perkembangan.Kini tradisi prosesi ini tidak hanya menjadimilik umat di wilayah Gereja Ganjuran saja,namun telah menjadi milik bangsa kitakhususnya yang tinggal di Jawa dan Bali.

23 Ibid., hal. 7924 Ibid.

Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)

Page 56: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

176

Daftar Pustaka

Abdullah , Irwan, 2002. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis GununganPada Upacara Garebeg. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Hadiprayitno, Kasidi. “Ketahanan Budaya Dari Aspek Filosofi Budaya Jawa”, dalamMakalah Lokakarya Penyususnan Indikator Ketahanan Budaya. Tanggal 13Desember 2005 di Yogyakarta.

Koentjaraningrat, 1980. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT.Gramedia.

Panitia Prosesi, 2004. Panduan Prosesi 2004 di Gereja Ganjuran, Sumbermulyo,Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta.

Yuwono Sri Suwito, 2005. “Indikator Ketahanan Budaya dari Aspek Sosial Budaya”,dalam Makalah Lokakarya Penyusunan Indikator Ketahanan Budaya. Tanggal13 Desember 2005 di Yogyakarta.

Data Primer, 2004. Pengamatan Langsung dan Partisipasi di Lapangan sebagai umat.

Page 57: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

177

PendahuluanSebagaimana diketahui Islam berasal

dari wahyu Allah yang disampaikan kepadaNabi Muhammad S.A.W. Menurut RifyalKa’bah menerangkan bahwa wahyu ituadalah petunjuk yang menerangi jalan hidupmanusia, dan Nabi Muhammat S.A.W.adalah suri teladan yang mendemontrasikanpetunjuk tersebut dalam kehidupan inimelalui ucapan, gerak-gerik, perubahan, dansikap beliau sehari-hari. Karena itu beliaudisebut Alquran sebagai rahmat bagi seluruhumat.1

Allah Yang Maha Tahu memahaminaluri manusia yang suka berkumpul danberkelompok dalam kehidupan sosial.Karena itu, Ia mengarahkanya untuk tujuan-tujuan positif dalam rangka beribadah danmengingat-Nya. Apa pun jenis kegiatan

beriman, menurut tuntutan Islam, semuanyaadalah dalam rangka mendekatkan dirikepada Allah S.W.T.

Dalam hal hari besar, agama Islammenetapkan Hari Raya Puasa dan Hari RayaHaji sebagai hari besar umat Islam.Keduanya adalah hari bersuka ria untukmensyukuri nikmat Allah yang dirayakanpada hari dan tanggal tertentu. Ada hariperkawinan yang dirayakan denganwalimatul ursy dan ada hari kelahiran yangdirayakan dengan pesta aqiqah (kekahan).Selain itu, juga ada anjuran menjamu tamu,memberi makan orang miskin dan orangyatim, mengundang tetangga, karib kerabatserta kenalan untuk makan bersama.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta bagimasyarakat yang beragama Islam dalammerayakan hajatan seperti tersebut di atas

TRADISI PEMBACAAN BARZANJIBAGI UMAT ISLAM

Siti Munawaroh

Abstrak

Barzanji atau sholawat barzanji (berjanjen) adalah bentuk kesenian yangbernafaskan Islam atau sebagai sarana dakwah Islam, dengan Kitab Barzanji sebagaisumbernya. Seni budaya Islam ini dapat dikategorikan sebagai kelompok senipertunjukan yang terdiri dari vokal, musik atau instrumen terbang, dan tanpa tari ataugerakan anggota badan. Kelompok dalam kesenian ini cukup banyak lebih dari 20 orangbisa laki-laki atau perempuan muda atau dewasa. Kesenian pembacaan barzanji inipada umumnya ditampilkan pada malam hari dengan posisi berdiri. Kesenian iniberkenaan dengan aspek keagamaan dan juga terkait dengan kehidupan bermasyarakatyang berada di daerah pedesaan. Hal ini karena masyarakat pedesaan memiliki tingkatkegotongroyongan yang cukup tinggi. Aspek keagamaan dan kehidupan karena bisaditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam, tujuh bulan usia kehamilan atautingkeban, nadar, dan lain sebagainya.

Kata kunci: Berzanji - Tradisi - Islam.

1 Rifyal Ka’bah. “Tradisi dan Perayaan”, dalam Republika. Sabtu 19 November 1994, hal. 6.

Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam (Siti Munawaroh)

Page 58: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

178

yakni hari perkawinan, hari kelahiran danacara-acara penting yang berkaitan dengansiklus kehidupan, selain diadakan makanbersama-sama juga diramaikan pula denganberbagai kesenian khususnya yang bertema-kan Islami. Menurut Kuntowijoyo, di DaerahIstimewa Yogyakarta banyak kesenian yangbertemakan Islam seperti kesenian Badui,Selawatan Mondreng, Kuntulan, Rebana,Rodat, Qasidah atau Samroh, dan kesenianpembacaan Kitab Barzanji atau selawatan.Walaupun kesenian-kesenian yang bernafas-kan Islam tersebut sekarang sudah menga-lami penyusutan.2

Satu dari sekian kesenian yang bertema-kan Islami dan hingga sekarang masihdilestarikan juga dijadikan suatu kebiasaanatau tradisi bagi umat Islam di DaerahIstimewa Yogyakarta khususnya di Bantuladalah pembacaan Barzanji atau istilah lokalberjanjen. Setiap desa bahkan dusun me-miliki perkumpulan atau organisasi kesenianBarzanji ini, seperti di Dusun Bolon,Kelurahan Palbapang, Kabupaten Bantul. Didaerah tersebut ada dua perkumpulankesenian Barzanji yaitu satu kelompok laki-laki yang dipimpin oleh Bapak Abdullahyang dibantu oleh Bapak Zainudin seorangGuru Madrasah Tsanawiyah Wonokromodan kelompok satunya adalah perempuanyang dipimpin oleh Ibu Dhakir, pensiunanDepartemen Agama Bantul yang dibantu IbuNurkhasanah seorang Guru Agama Islam.Kelompok kesenian Barzanji perempuan inipernah menjadi juara sebanyak tiga kalitingkat Kabupaten Bantul. Terakhir dalamperlombaan pembacaan Barzanji pada tahun2002 di Balai Muslimin Bantul, kelompokini menjadi juara tiga.

PembahasanBarzanji adalah satu dari sekian buku

yang bernafaskan Islam yang tujuannya

untuk berdakwah melalui seni, dan KitabBarzanji sebagai sumbernya. Oleh karenaitu, seluruh anggota kesenian ini juga ber-agama Islam. Bagi masyarakat atau umatyang menganut agama Islam membacabarzanji atau Kitab Barzanji adalah baik danmalahan mendapatkan pahala, karena isiyang terkandung dalam kitab tersebutmengisahkan perjalanan, kehidupan danperilaku atau keteladanan Nabi MuhammadS.A.W. melalui kesenian yakni nyanyiandengan syair Islami yang biasa disebutdengan selawatan. Bagi umat Islam,pembacaan Barzanji yang ditulis denganbahasa Arab ini pada umumnya ditradisikandalam hubungannya dengan peristiwakelahiran anak yang baru berumur tujuh hari,selapan atau 35 hari, yang dilaksanakanbersamaan pula dengan acara aqiqah(kekahan) dengan penyembelihan kambing.

Kuntowijoyo, dalam Endah Susilantinimenjelaskan bahwa bagi sebagian masyara-kat Jawa yang tinggal di desa atau di daerahpantai, tentunya yang beragama Islam dalammemperingati hari selapanan bayi kadang-kadang mementaskan tradisi selawatan yangbersumber pada Kitab Barzanji. Lebih lanjutmereka mengatakan lagu-lagu yang disajikandalam pementasan, disesuaikan dengankepentingan dalam pertunjukan misalnyakhitanan, perkawinan, dan hari besar Islam.Syairnya merupakan puji-pujian kepadaTuhan atau Nabi. Sementara untuk mempe-ringati kelahiran bayi (bayen), syairnyaadalah berisi harapan-harapan supaya kelakanak berguna bagi agama, nusa dan bangsa.3

Kesenian Barzanji ini sangat dinamis dalamarti syair selalu disesuaikan dengan perkem-bangan jaman, namun unsur aslinya masihtetap utuh yakni dari Kitab Barzanji.

Kelestarian kepercayaan tradisi tersebutbagi umat Islam di Jawa dan khususnya diBolon Palbapang Bantul, mempunyai kan-

2 Kuntowijoyo, dkk. Tema Islam Dalam Pertunjukan Rakyat Jawa: Kajian Aspek Sosial, Keagamaan,dan Kesenian. (Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Depdikbud,1986/1987), hal. 12-13.

3 Endah Susilantini. Serat Dzikir Maulud: Kajian Aspek Keagamaan dan Tradisi Masyarakat. Naskahbelum diterbitkan. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2006), hal. 6.

Page 59: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

179

dungan nilai-nilai yang cukup baik bagi pen-dukungnya seperti ajaran moral, keagamaan,budi pekerti, dan sejarah (semenjak lahir,menjadi anak dewasa hingga menjadi rasul).Menurut Endah Susilantini, bahwa syairKitab Barzanji berisikan keteladananRasullulah seperti ajaran akhlak, ibadah, danamaliah.4

Dikatakan sebagai ibadah dan dakwah,karena pelaku dari kesenian Barzanji(membaca Kitab Barzanji yang berisiketeladanan Nabi) ini sendiri merupakanperbuatan baik atau ibadah yang akanmendapatkan pahala dari Allah atau Tuhan.Selain itu, di dalam berkesenian ini jugadiselipkan penyampaian pesan-pesankeagamaan atau bisa disebut sebagai alatpenyampaian dakwah, agar masyarakatselalu taat beribadah. Sementara amaliahbagi seorang yang menganut agama Islam(muslim) dipergunakan sebagai jalan untukmenjaga kemaslahatan atau perbuatan yangbermanfaat dan mencegah kemudharatanatau hal yang tidak berguna, baik denganTuhannya maupun antara sesamanya.

Dengan demikian boleh dikatakanbahwa, suatu warga masyarakat akan merasapuas dan bahagia, apabila telah melaksana-kan tradisi atau upacara tersebut. Selain itu,mereka merasa bahagia karena yang menjadikewajibannya serta menjadi tanggung jawabmereka sebagai orang tua dan pendukungtradisi yang disunahkan oleh junjungan-Nyayakni Allah Subhanahu Watangala telahdilaksanakan. Dapat juga sebagai dorongandasar manusia untuk mempertahankan danmelestarikan hidupnya yang diwujudkandalam hubungannya dengan manusia danmanusia, manusia dengan Tuhannya, baiksecara langsung atau tidak langsung. Unsur-unsur tersebut ternyata telah meresap dalamsanubari masyarakat pedesaan dan dihayatisebagaimana suatu bagian dari kebutuhankehidupannya terutama dalam rangka pem-bangunan mental spiritual melalui ber-

kesenian Barzanji.5

Tradisi dalam suatu upacara tradisionaldalam hal ini kelahiran (bayen) merupakanbagian yang integral dari kebudayaanmasyarakat pendukungnya. Kelestariannyadimungkinkan karena fungsinya bagi kehi-dupan. Pendukungan tradisi atau upacaratradisional itu dilakukan oleh setiap wargamasyarakat karena dirasakan dapatmemenuhui suatu kebutuhan, baik secaraindividual, kemasyarakatan maupun secaraagama yakni Tuhannya dan NabiMuhammad S.A.W. Kemasyarakatan yaknisesuai dengan kodrat manusia sebagaimahluk sosial.

Kesenian solawat Barzanji hanya vokaltanpa adanya suatu gerakan atau tarian.Supaya kesenian ini juga disenangi olehkaum muda dan tidak membosankan, makadalam perkembangannya ditambahkandengan musik yakni rebana dan keyboardsebagai pengiringnya. Jumlah anggota tidakterbatas bisa laki-laki atau perempuan baikgenerasi muda atau orang-orang tua, namunpersonil atau peserta waktu pementasandalam suatu perlombaan atau diundangdalam suatu hajatan di luar maupun di dalamdaerah pada umumnya kurang lebih 25orang.

Kemudian pementasan umumnyadilakukan pada malam hari yakni mulaipukul 19.30 sampai dengan 23.00 dalamposisi duduk, sehingga bisa dilakukan didalam rumah, halaman atau panggung. Posisiberdiri hanya pada waktu adengan vokal atauayat-ayat Barzanji dilagukan yang disebutdengan As-srokal atau srokal. Pada waktusrokal di sini semua yang mengikuti acarabarzanji posisi berdiri sambil berjajar-jajardan berhadapan, karena semua syair yangdibaca ataupun yang dilagukan berkenaandengan saat kelahiran Nabi MuhammadS.A.W. Dengan kata lain untuk memberipenghormatan serta menyambut kelahiranbayi yang nantinya bakal menjadi seorang

4 Ibid., hal. 40.5 Kuntowijoyo, dkk., op.cit., hal. 30.

Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam (Siti Munawaroh)

Page 60: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

180

Nabi utusan Tuhan.6 Kemudian oleh pendu-kung tradisi dalam posisi srokal ini si bayiyang sedang dilakukan hajatan digendongmenuju orang yang dituakan untuk pemo-tongan rambut sekaligus memberi doa.Selanjutnya bayi di ajak keliling atau meng-hampiri semua yang hadir juga untukmemberikan doa sambil meniup sebanyaktiga kali di kepala si bayi. Pemotonganrambut dengan maksud mensucikan ataumembersihkan.

Dalam hal perlengkapan para pemainseperti kostum atau make up pada umumnyatidak seperti kesenian yang bersifat Islamilainnya. Hal ini karena para pemain hanyamemakai pakaian biasa. Hal terpentingadalah pakaian sopan dan rapi, bila tampildalam perlombaan atau pentas, seperti yangdilakukan oleh anggota kesenian Barzanjidi Dukuh Bolon, tampil dengan mengenakanseragam.7

Jalan Pementasan Kesenian PembacaanBarzanji

Pertama-tama mengucapkan Assala-mu’alaikum dan membaca Surat Al-fatikhah,yaitu surat pembuka dalam kitab suciAlquran yang dianggap sebagai induk darikitab suci bagi umat Islam, oleh pimpinanperkumpulan kesenian dan dilanjutkansekaligus sebagai pambowo. Kemudian di-ikuti bacaan solawat Nabi yang berbunyiSholu’ala Nabi Muhammad yang selanjut-nya dijawab oleh anggota jamaahnya denganbacaan Allahumma sholi’alaih. Selanjutnyapemimpin dan juga diikuti semua jamaahyang hadir bersama-sama menyanyikan danmembacakan lagu-lagu syair solawat yangberbunyi seperti berikut:

Allahumma sholli ‘alamuhammad,Yaa robbi sholli ‘alaaihi wa sallim

(Ya Allah sholawat atas Muhammad, YaRobbi sholawat atasnya dan selamatlah)

Ya robbi sholli ‘alaa Muhammad,Ya robbi sholli ‘alaaihi wa sallim.

(Ya Robbi sholawat atas Muhammad,Ya Robbi sholawat atasnya dan sela-matlah)

Kemudian pemimpin melanjutkan ba-caan solawat barzanji pada bait berikutnyadua bait-dua bait sampai ke delapan belasbait yang setiap dua bait para jama’ahnyabersama-sama menjawab: Ya robbi sholli‘alaa Muhammad, Ya robbi sholli ‘alaaihiwa sallim. Adapun bait pertama yang dibacaoleh pemimpin atau yang mendapat giliranmembaca bacaannya adalah sebagai berikut:

Fii hubbi sayyi dinaa Muhammadin,nuurul libadril hudaa mutam mamun

(Cintaku hanya paduka Muhammad,cahaya petunjuk bagi purnama)

Qolbii yahinnu ilaa Muhammadin,Maazaala miw wuj dihii mutay yamun

(hatiku rindu kepada Muhammad,selalu………………………)

Setelah pemimpin selesai menyanyikansyair solawat dalam kitab barzanji sebanyak18 bait kemudian pemimpin kadang-kadangmenyanyikan lagu-lagu yang berisikandakwah seperti dibawah ini:8

Nasabun tah sibul ‘idaa bihulaahu,Qolla dat haa nujuu mahaa jauza-‘u

(Miskin ya orang miskin, miskin belajarQuran, sungguh-sungguh orang IslamDari Allah Tuhan Pangeran)

Habbadhaa ‘iqdusuu da diwwafakhorin, anta fiihil yatiimatul’ash maa-‘u.

(Ingat-ingat malam dan siang, badanmuitu seperti wayang, jangan sekali tinggalsembahyang, nyawamu itu akanlahhilang).

6 Endah Susilantini, op. cit., hal. 117.7 Wawancara dengan Bu Dhakir, tanggal 5 April 2007.8 Maktabu Rohlan An-nasar. Majmu’atal Mawalid. (Terjemahan Indonesia, tt), hal. 76.

Page 61: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

181

Setelah melantunkan lagu-lagu yangberisikan dakwah di atas, maka adeganselanjutnya adalah Assrokal atau srokal.Seperti yang telah diuraikan sebelumnyaadegan Assrokal atau srokal semua yanghadir dalam acara pembacaan selawatBarzanji berdiri berjajar-jajar sambilberhadap-hadapan. Hal ini karena syair yangdinyanyikan berkenaan dengan kelahiranNabi Muhammmad S.A.W. Selain itu,menghormat dan menyambut kedatangan sibayi yang sedang di Khajati dan diharapkansi bayi tersebut nantinya berguna bagi ke-luarga, agama, bangsa dan negara. Para tamuyang hadir semua berdiri, pemimpin besertarombongan kesenian menyanyikan lagusebagai pambowo yang pertama yaknisebagai pembuka akan dibacanya syair kitabBarzanji, seperti berikut:

Shollallohu ‘ala Muhammad

(Sholawat Allah atas Muhammad)

Shollallohu ‘alaihi wa sallam

(Sholawat Allah atasnya danselamatlah)

Kemudian lagu pambowo yang keduaadalah sebagai berikut:

Yaa Nabi salamun ‘alaika

(Wahai Nabi selamat atasmu)

Yaa Rasul salamun ‘alaika

(Wahai rasul selamat atasmu)

Yaa habib salam ‘alaika

(Wahai kekasih selamat atasmu)

Shollawatullah ‘alaika

(Selamat rahmat Allah atasmu)

Syair-syair lagu pambowo pertama dankedua tersebut di atas semua tamu undanganyang hadir dalam acara ini dimohon ikut jugamelantunkan lagu tersebut. Kemudian pem-bawa atau membaca syair Kitab Barzanjibait selanjutnya seperti berikut:9

Asyroqol badru ‘alaika(Bulan purnama telah tampak bagi kita)

akhtafat minhul buduru(beringsutlah purnama-purnama yanglain)Mitslahus nikmaa ro-ainaa

(keindahanmu tidak tertandingi)

Qoth thuyaa wajhas sururi

(wahai wajah yang berseri-seri)

anta syamsun Anta badrun

(Engkaulah matahari Engkaulah purna-ma sempurna)

anta mish baa hush shuduuri

(Engkaulah cahaya diatas cahaya)

anta iksiru wa gholi

(Engkaulah sang penawar)

anta mish bahus shuduri

(Engkaulah sang pelita hati)

Selanjutnya semua yang hadir menja-wab atau melantunkan lagu pambowo keduasaja yakni seperti berikut:

Yaa Nabi salamun ‘alaika

(Wahai Nabi selamat atasmu)

Yaa Rasul salamun ’alaika

(Wahai Rasul selamat atasmu)

Yaa habib salam ‘alaika

(Wahai kekasih selamat atasmu)

Shollawatullah ‘alaika

(Sholawat Allah atasmu)

Kemudian diteruskan lagi lagu-lagu baitberikutnya oleh pembawa lagu. Perlu dike-tahui pembawa lagu atau yang menyanyikanlagu bait satu ke bait berikutnya di sinibergantian. Begitulah dalam menyanyikanlagu dalam adegan As-rokol atau srokal(pembawa membaca bait-bait di bawahnyasebanyak (4 bait) kemudian semua rom-bongan dan yang hadir menyanyikan lagupambowo) dan seterusnya sampai kuranglebih lima kali. Dalam pementasan adakala-nya syair-syair adegan as-srokol yang

9 Ibid., hal. 26-27.

Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam (Siti Munawaroh)

Page 62: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

182

berjumlah 39 bait dinyanyikan semua,namun adakalanya tidak atau menyesuaikankarena waktu pementasan adalah malam haridan dengan posisi berdiri, sehingga mudahlelah.

Selesai membacakan atau menyanyikanlagu As-srokal atau srokal, adegan selanjut-nya membaca Kitab Barzannji tetapi tidakdilagukan dan dengan posisi duduk kembali.Kemudian selesai pembacaan tersebut ber-akhirlah pembacaan bagi kelompok kesenianBarzanji, yang kemudian diakhiri denganpembacaan do’a yang biasanya juga di-ambilkan dari kitab Al-Barzanji juga dandibawakan oleh pemimpin atau sesepuhkelompok kesenian.

PenutupBarzanji adalah satu dari sekian buku

yang bernafaskan Islami yang dijadikansebagai sumber dalam tradisi pembacaanbarzanji atau berjanjen bagi umat Islam. Isidari buku Kitab Barzanji ini merupakan puji-pujian kepada Nabi dan juga berisi kisah-kisah sekitar Nabi, namun unsur yangterpenting dalam buku ini adalah syair-syairyang memuji kepribadian dan akhlakulkarimah atau budi utama Nabi MuhammadS.A.W. Jadi mengagungkan nama Allah danNabi yang diwujudkan dalam bentuk seni,sebagai seni tradisional yang dilakukansesuai dengan salah satu wujud dari peng-abdian mereka kepada panutannya.

Kesenian barzanji sesungguhnyamerupakan suatu kesenian tanpa musik danterdiri dari vokal saja. Namun, dalam per-kembangannya sekarang memakai musikyaitu terbang dan kadang keyboard. Karenamemakai alat musik terbang, maka kesenianbarzanji ini dimasukkan dalam seniterbangan atau selawatan. Unsur terbangsangat menonjol sebagai instrumen musikBarzanji ini dan ternyata kesenian ini jugasudah dikenal sejak masuknya Islam diIndonesia kemudian dijadikan sebagai cirikhas bagi seni musik Islam.

Pada umumnya, pembacaan kitabBarzanji atau kesenian ini ditampilkan pada

saat acara atau tradisi aqiqah atau kekahandan atau juga ditampilkan dalam acaraselapanan (bayen) atau 35 hari usia bayi.Bagi keluarga, kelahiran anak adalah sesuatuyang sangat membahagiakan, apalagi anaktersebut merupakan dambaan yang muliabagi kedua orang tuanya. Anak adalahamanah, atau anak adalah titipan Tuhanitulah ungkapan sebagian besar masyarakat.Dengan demikian, kelahiran anak adalahsepenuhnya menjadi tanggungjawab orangtua untuk membesarkan dan mendapatkanpendidikan. Satu dari sekian pendidikan dantanggungjawabnya sebagai orang tua sertasalah satu dari pengabdian mereka padaTuhannya adalah mengadakan kekahan yaitumenyembelih kambing 2 (dua) ekor bilaanak laki-laki dan 1 (satu) ekor kambingapabila anak yang dilahirkan perempuan.

Untuk memeriahkan acara tersebutsebagian besar masyarakat yang berada didaerah pedesaan mengundang kelompokkesenian atau pembacaan Kitab Barzanjiyang berisi puji-pujian untuk menyongsongkelahiran Nabi. Oleh karena itu, makakesenian tersebut dipentaskan. Pementasanini tidak lain bertujuan untuk menghormatibayi supaya mendapatkan berkah danrahmat-Nya. Mengapa tradisi ini banyakdilakukan di daerah pedesaan? Hal inidisebabkan karena di daerah pedesaan masihmenunjukkan sifat gotong-royong yangtinggi, walaupun ekonomi mereka sudahmembaik, seperti yang ada pada masyarakatdi Pedukuhan Bolon Palbapang Bantul.Tradisi Barzanji malahan tidak hanya untukmenyemarakkan kelahiran anak atau dalamacara kekahan saja, tetapi juga dalam acarapernikahan, tradisi tujuh bulan (tingkeban),dan khitanan (peristiwa lingkaran hidup).Malahan sekarang Barzanji dipentaskandalam acara pada hari-hari besar Islam danhari besar nasional. Di Kabupaten Bantulpernah diadakan suatu perlombaan ataufestival Barzanji. Ini semua tidak lain se-bagai media dakwah sekaligus meng-agungkan nama Allah dan Nabi MuhammadSAW, yang diwujudkan dalam bentuk seni.

Page 63: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

183

Daftar Pustaka

An-nasar, Maktabu Rohlan, tt. Majmu’atal Mawalid. (Terjemahan Indonesia).

Endah Susilantini, 2006. Serat Dhikir Maulud: Kajian Aspek Keagamaan dan TradisiMasyarakat. (Naskah belum diterbitkan). Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah danNilai Tradisional.

Kuntowijoyo, dkk., 1986. Tema Islam Dalam Pertunjukan Rakyat Jawa: Kajian AspekSosial, Keagamaan, Dan Kesenian. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan PengkajianKebudayaan Nusantara (Javanologi) Depdikbud.

Rifyal Ka’bah. “Tradisi dan Perayaan”, dalam Republika. Sabtu 19 Nopember 1994.

Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam (Siti Munawaroh)

Page 64: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

184

PengantarPerkembangan kota pada dasarnya tidak

lain adalah penggunaan ruang secara terusmenerus. Hal yang demikian tidak ter-pisahkan dari perkembangan kota itu adalahpenggunaannya secara simbolik. Kotasenantiasa berubah dari masa ke masa baikdalam batasan ukuran, isi, maupun kera-gaman simbol yang ada. Secara sosiologis,kota dimediasikan lewat simbol. Dalamrealitas kota kita melihat perkembangansimbol-simbol kota yang perwujudannyatidak pernah selesai, dan bentuknya tidakakan tetap. Ia tidak pernah stabil, senantiasaberubah, menurut keperluan vital suatudaerah.1 Sebuah simbol kota, baik ituarsitektur, ruang politik, atau desain kotamengandung pesan-pesan politis dan mem-

bentuk terbangunnya konstruk identitassosial, identitas bangsa dan negara. Sebuahsimbol adalah suatu fenomena yangdikaitkan dengan suatu fenomena tertentudari suatu konteks yang berbeda.2 Lebihlanjut Colombijn mendefinisikan simbolsebagai sebuah perwujudan dengan maknatertentu yang dilekatkan padanya. Adapunmenurut Ahimsa-Putra, simbol adalah segalasesuatu yang dimaknai, atau dengan kata lainsesuatu akan berarti jika diberi makna.3

Dalam konteks simbol, tulisan ini akanmenampilkan bagaimanakah perubahansimbol yang terjadi di Yogyakarta pada masaawal kemerdekaan? Yogyakarta dalamkategori kota dalam tulisan ini lebihmenitikberatkan pada batasan kultural.Ruang yang diambil adalah ruang yang

PERUBAHAN DAN PERGESERAN SIMBOLDI KOTA YOGYAKARTA 1945 - 1949

Dwi Ratna Nurhajarini

Abstrak

Masa lalu (masa kolonial, pendudukan Jepang, revolusi maupun masa kemerdekaan)semuanya meninggalkan jejak di kota-kota (terutama kota-kota besar) di Indonesia.Jejak-jejak peninggalan masa lalu seringkali menjadi simbol penguasa. Oleh karena itupenguasa baru sering berusaha membuat simbol baru dan menghapus simbol penguasasebelumnya. Simbol baru yang dibuat, adalah dalam rangka menanamkan identitas barudalam budaya dan masyarakat serta menghadirkannya dalam wajah kota. Sebuah simbolkota, baik itu arsitektur, ruang politik, atau desain kota mengandung pesan-pesan politisdan membentuk terbangunnya konstruk identitas sosial, identitas bangsa dan negara.

Kata kunci: Simbol kota - Perubahan - Yogyakarta.

1 Soedjatmoko. Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan IlmuPengetahuan. (Jakarta: LP3ES, 1984).

2 Freek Colombijn. “Sejarah Kota Padang dalam Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang” Majalah MSI.(Jakarta: MSI dan Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 107.

3 Heddy Shri Ahimsa-Putra. “Tanda, Simbol, Budaya, dan Ilmu Budaya”, Makalah dipresentasikan dalamCeramah Kebudayaan di Fakultas Sastra, UGM, Tgl. 13 Juni 2002, hal. 4.

Page 65: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

185

menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, danlainnya dan juga bisa dilihat sebagai simbol-simbol dekolonisasi. Tulisan ini memakaisumber yang berasal dari foto-foto sejaman,sumber tertulis terutama harian KedaulatanRakyat, dan juga sumber lisan.

Perkembangan Kota YogyakartaYogyakarta secara historis terbentuk

melalui Perjanjian Gianti. PangeranMangkubumi yang kemudian bergelar Sul-tan Hamengku Buwana I membangunistananya dengan model membuka hutanatau babad alas. Dimulai tahap pemilihanlokasi, pendirian bangunan, konstruksi tataruang, hingga pernak-pernik ragam hiasnyapenuh dengan simbolisme kebudayaan Jawa.Sultan selain membangun kraton besertaalun-alunnya, juga membuat benteng yangmengitari keraton. Beberapa bangunan yangberkaitan dengan eksistensi keraton Yogya-karta sebagai pusat pemerintahan dan politikkemudian dibangun oleh penerusnya.

Para penduduk yang menjadi wargakeraton dan kemudian menjadi warga kotadiberi tempat di sekitar keraton. Lama ke-lamaan permukiman yang berada di sekitarkeraton kemudian meluas, mengikuti arahutara selatan. Tempat-tempat pemukiman itulazim disebut dengan istilah kampung dannamanya diberikan sesuai dengan tugas danpekerjaan dari penduduk yang menempati-nya.

Seiring dengan keberadaan keratonNgayogyakarta, Kompeni juga mulai mem-bangun beberapa bangunan sesuai dengankepentingannya. Benteng, gereja dan rumahresiden dibangun tidak jauh dari alun-alunutara, dan tepat berada di sisi timur dan baratdari sumbu filosofis keraton – tugu pal.4

Bangunan-bangunan lain mulai bermun-culan di sekitar benteng, sesuai dengankebutuhan pihak Kompeni yang kemudiandilanjutkan dengan pihak Pemerintah HindiaBelanda. Pada awal abad XX semakin

banyak orang asing yang tinggal diYogyakarta. Selain orang Cina, orang-orangBelanda dan orang Barat lainnya, banyakyang menetap di Yogyakarta. Mereka adalahpara pegawai perkebunan, pegawai peme-rintah Belanda, para pengusaha, dan lainnya.Orang-orang Eropa semula bertempattinggal di sekitar benteng, kemudianberkembang ke arah Kota Baru, Bintaran,dan juga Sagan. Sedangkan orang-orangCina yang tadinya berada di Ketandankemudian meluas ke arah Kranggan. Untukmemenuhi berbagai fasilitas bagi para wargaEropa yang tinggal di Yogya, pemerintahHindia Belanda membangun beberapafasilitas seperti gereja, sekolah, rumah sakit,tempat hiburan, dan juga kantor-kantor.Selain dari pihak pemerintah, pihak swastajuga membentuk wajah Yogyakarta dengancorak arsitektur indisch. Sehingga diYogyakarta yang merupakan pusat ke-kuasaan tradisional yang berpusat di keratonjuga muncul warna kolonial yang tampildalam arsitektur kota, lengkap dengan segalacitra yang menempel padanya.

Pembangunan kota yang cukup pesatpada masa kolonial seakan terhenti tatkalaJepang mengambilalih kekuasaan atasYogyakarta. Masa pemerintahannya yangsingkat tidak meninggalkan jejak-jejak fisikberupa arsitektur kota. Sedangkan masakemerdekaan sampai dengan beberapa tahunsesudahnya, membawa berbagai perubahanakan simbol-simbol yang semula melekatpada beberapa bangunan kota. Hilangnyawarga Eropa dan Jepang dari Yogyakarta danmerdekanya bangsa ini, membawa semangatantikolonial pada penduduk pribumi. Padamasa kemerdekaan itu banyak pejabat,tokoh-tokoh nasional dari Jakarta dan JawaBarat, hijrah ke Yogyakarta. Banyak pulapasukan yang masuk ke kota ini. Sejak itupula Kota Yogyakarta menjadi kotaperjuangan dan revolusi. Malioboro menjadi

4 Sumbu filosofis itu berada dalam satu garis lurus dari laut selatan – panggung Krapyak – kraton – tugu– Gunung Merapi.

Perubahan dan Pergeseran Simbol di Kota Yogyakarta 1945-1949 (Dwi Ratna Nurhajarini)

Page 66: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

186

pusat kota yang legendaris dan menjadiekologi simbolik bagi Kota Yogyakarta.5

Dari Simbol Kolonial ke Indonesia: Pe-rubahan Nama dan Ruang di Yogya-karta

Yogyakarta pada periode kolonialmenampilkan dua dominasi kekuasaan-budaya, yakni tradisional-kraton dankolonial. Setelah kemerdekaan nuansa ituberubah. Proses dekolonisasi nampak me-warnai Yogyakarta, terlebih setelah menjadiIbukota Negara. Perubahan yang terjadiadalah dalam hal penggunaan ruang, hinggarealitas-realitas sosial, terutama yangterpusat di sekitar Malioboro, sebagai pusatpemerintahan, ekonomi, dan juga budaya.Poster-poster antikolonial, perubahan namadan perebutan penggunaan ruang menjadibagian yang mewarnai kota ini.

Ruang merupakan bagian dari simbolyang diperebutkan untuk kepentinganlegitimasi politik. Penguasaan atas ruang-ruang tertentu tidak jarang menjadi simbolkemenangan politik. Oleh karena itu,perebutan atas ruang-ruang di ibukotaRepublik Indonesia tidak jarang terjadisebagai sebuah perebutan kekuasaan.Perebutan pusat kota menjadi contoh adanyaperebutan ruang. Pendudukan tentara Indo-nesia yang sebelumnya melakukan peranggerilya atas pusat kota selama enam jammenunjukkan kepada dunia tentang eksis-tensi bangsa ini. Mengapa harus kota yangdikuasai, dan bukan ruang lainnya? Hal itumenunjukkan bahwa ruang inilah yangmemiliki simbol politis, dan bukan ruang-ruang lainnya.

Segera setelah kemerdekaan, pe-nguasaan atas ruang-ruang kolonial sepertimenjadi euforia kemenangan. Rasapermusuhan beberapa nasionalis terhadapmasa lalu kolonial terlihat dalam beberapa

kebijakan yang waktu itu diambil dalamsuasana bersemangat untuk menghapuskanmasa lalu kolonial sampai ke kenangannya.Salah satu reaksi pertama adalah kembalinyatoponim asli. Jepang telah menunjukkanjalannya dengan mengganti Batavia menjadiJakarta, juga penyebutan Bogor untukmengganti Buitenzorg, nama Irian untukmenyebut Nieuw Guinea. Pasca kemer-dekaan telah memberikan perubahan nuansadi kota-kota di Indonesia. Di Yogyakarta,kota yang tadinya sebagai pusat peme-rintahan tradisional, kota Indisch, kemudianberganti wajah menjadi ibukota negara,sehingga banyak ruang-ruang kota yangberganti wajah pula. Pengambilalihan ruang-ruang kolonial oleh pihak Indonesiamerupakan satu hal yang mewarnainya.

Masa lalu (masa kolonial, pendudukanJepang, revolusi maupun masa kemer-dekaan) semuanya meninggalkan jejak dikota-kota (terutama kota-kota besar) di In-donesia. Jejak-jejak peninggalan masa laluseringkali menjadi simbol penguasa. Olehkarena itu penguasa baru sering berusahamembuat simbol baru dan menghapussimbol penguasa sebelumnya. Simbol baruyang dibuat, adalah dalam rangka menanam-kan identitas baru dalam budaya danmasyarakat, serta menghadirkannya dalamwajah kota. Sebuah simbol kota, baik ituarsitektur, ruang politik, atau desain kotamengandung pesan-pesan politis danmembentuk terbangunnya konstruk identitassosial, identitas bangsa dan negara. Jadisimbol bisa tercipta dengan sendirinya atausengaja dibangun untuk sebuah kepentingan.Kota adalah produk ideologi yang mem-bentuk ideologi.6 Namun sebaliknya ideologiadalah produk kota yang membentuk kota.Jadi sengaja atau tidak sebuah citra ter-bangun dari simbol-simbol yang muncul.

5 Djoko Suryo. “Penduduk Kota dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990", dalam Freek Colombijndkk., Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota Di Indonesia. (Yogyakarta: Ombak, 2005), hal. 38.

6 Abidin Kusno. “Studi Perkotaan dala Perspektif Postcolonial”, Paper I dalam Workshop: Street Im-ages: Decolonization and Changing Symbolism of Indonesia Urban Culture, 1930– 1960s, di UniversitasGadjah Mada, Yogyakarta, 31 Agustus 2004.

Page 67: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

187

Pengambilalihan ruang-ruang kolonialoleh pihak RI ini ditandai dengan perubahannama-nama pada beberapa bangunan yangsemula merupakan simbol kolonial. Peru-bahan nama-nama tersebut menunjukkansemangat untuk meninggalkan nuansakolonial dan menghadirkan identitas diri.Perubahan nama-nama memang biasa terjadibaik nama-nama gedung maupun namajalan. Hal itu dilakukan sebagai bentuk antikolonial dan pelupaan atas kolonialismeyang terjadi dan telah meninggalkan lukayang dalam. Munculnya negara-negara antikolonial dan merdeka seringkali diiringidengan hasrat untuk melupakan pengalamankolonial tersebut. Amnesia postkolonialmerupakan gejala adanya dorongan untukswapenciptaan sejarah atau kebutuhan untukmemulai awal baru7. Semangat untukmemulai awal baru itu diujudkan secarakasat mata, salah satunya melalui peng-hapusan nama-nama yang berbau kolonial,dan diganti dengan nama-nama yang mampumemberikan suatu nuansa kemerdekaan dananti kolonial. Nama ruang atau bangunanmerupakan identitas pertama yang denganmudah dapat dilihat. Perubahan nama-namaitu merupakan sarana strategis untukmembangun citra. Kemudian, citra baru itujuga dibangun dengan coretan-coretan sertaposter-poster yang ada di sekitar bangunan.

Terkait dengan perubahan nama satu halyang nampak jelas adalah kehadiran namaHotel Merdeka yang mengalami perubahannama Grand Hotel de Djogdja pada masakolonial, Asahi Hotel (Hotel MatahariTerbit) pada masa Jepang. Grand Hotel deDjogdja yang dibangun sejak tahun 1908 danselesai tahun 1911 itu, pada zaman kolonialmerupakan hotel besar yang dalam iklannyamenyebut dirinya sebagai yang terbesar diYogyakarta dengan fasilitas restoran, ruangpertemuan dan tempat tidur yang cukupmewah.8 Jadi hotel merupakan fasilitas

umum yang terkait dengan fungsi hiburandan ruang pertemuan. Kemewahanbangunan yang terletak di jalan Malioborotersebut kemudian diambil alih oleh Peme-rintah Pendudukan Jepang dan namanyadiganti menjadi Asahi Hotel (Hotel MatahariTerbit). Selain dari fisik bangunannya yangmegah, hotel sebagai simbol kemewahanterbaca dari realitas sosial di dalamnya, yangjuga melahirkan simbol elite.

Nama Hotel Merdeka ternyata tidaklama melekat pada bangunan tersebut, hanyasekitar empat tahun, karena pada tahun 1950,bangunan hotel itu memiliki nama baru yakniHotel Garuda. Nama itu mengacu padalambang Negara Republik Indonesia. Fungsiyang melekat pada bangunan itu masih tetapsama, sebagai tempat penginapan, tempatpertemuan dengan fasilitas yang dimilikiseperti restoran dan bar.

Perubahan nama menjadi HotelMerdeka sangat menarik, karena namaMerdeka sangat mewakili nuansa yang ingindibangun. Merdeka berarti bebas daripenjajahan. Semangat inilah yang mewarnaipemilihan nama hotel tersebut. Semangatkemerdekaan itu diperkuat juga denganrealitas-realitas yang ada di sekitar bangunanitu. Sebuah baliho yang bertuliskan“bersatu” dan “merdeka” di depan HotelMerdeka mengubah identitas yang melekatpada hotel tersebut. Keberadaan dua orangpejuang yang tertangkap oleh lensa kamera,memperkuat bagaimana hotel sebagaiidentitas kemewahan kota telah mengalamiperubahan citra. Pada masa revolusi, ruang-ruang hiburan di Yogyakarta mengalamiperubahan-perubahan fungsi ke arah fungsi-fungsi yang bersifat formal, bahkan ke arahmiliter.

Pemanfaatan Hotel Merdeka sebagaiMarkas Jenderal Sudirman membangunsimbol baru, dari simbol kemewahan men-jadi simbol perjuangan-tentara. Dari peris-

7 Leela Gandhi. Teori Postkolonia, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. (Yogyakarta: Qalam, 2001),hal. 5-6.

8 Mooi Jogjakarta, 1931.

Perubahan dan Pergeseran Simbol di Kota Yogyakarta 1945-1949 (Dwi Ratna Nurhajarini)

Page 68: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

188

tiwa itu ternyata terdapat pergeseran darisesuatu yang bernuansa rileks, ke arah yangserius dan ini merepresentasikan suasanarevolusi, terutama revolusi fisik. Hotel itujuga pernah menjadi markas sementara UripSumoharjo, sebelum mendapat tempat yangbaru (sekarang sebagai museum AngkatanDarat). Setelah pasukan Badan KeamananRakyat (BKR) diganti menjadi TentaraKeamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5Oktober 1945, pemerintah yang berkedu-dukan di Jakarta memanggil Urip Sumo-harjo, seorang pensiunan Mayor KNIL,untuk menduduki jabatan Kepala StafUmum dan mengorganisir TKR. UripSumoharjo memilih Yogyakarta sebagaimarkasnya dan segera meninggalkan Jakarta.Untuk sementara Urip Sumoharjo bermarkasdi kamar nomor 23 di Hotel Merdeka.9

Masih dalam konteks perubahan nama,di ujung selatan Jalan Malioboro terdapatbangunan yang terkenal dengan namaGedung Agung atau Istana Kepresidenan.Nama itu merupakan nama baru karena namayang disandang pada masa sebelumnyaadalah gedung Gouvernemen (gedunggubernuran). Pada masa kolonial gedung itudikenal juga dengan sebutan gedung residen.Pada waktu Jepang menduduki Yogyakarta,gedung itu berfungsi sebagai ZimumukyokuTyookan dan sebagai tempat tinggal Koochi.Gedung itu pembangunannya hampirbersamaan dengan pembangunan kratonYogyakarta. Pada masa kolonial gedungtersebut merupakan simbol keangkuhanpenguasa asing, namun kemudian menjadisimbol identitas Indonesia ketika beberapatahun Presiden Sukarno melakukan aktivitaskenegaraan di tempat itu. Aktivitas yangdilakukan dari memimpin upacara benderadalam rangka Hari Kemerdekaan sampaimenerima kunjungan para pembesar negara

lain. Sampai sekarang bangunan itu menjadisalah satu dari beberapa istana presiden yangdimiliki Indonesia.

Keangkuhan Gedung Agung pada masakolonial berubah menjadi tempat meng-ekspresikan kebebasan. Gedung yang semulatidak terjamah itu menghadirkan realitasyang berbeda ketika para pemuda danmahasiswa pada bulan Juni 1947 melakukandemonstrasi, mereka menolak KomisiJendral Belanda.10 Keangkuhan gedung inijuga terpatahkan dengan kehadiranFatmawati yang begitu ramah kepadawartawan yang sedang gelisah menungguhasil rapat penyususnan kabinet. Fatmawati,saat itu sedang bermain korfbal bersama adikNyonya Hatta bersama para pegawai istana,dan tatkala Ibu Fatmawati melihat parawartawan kemudian mengajak mereka untukikut bermain.11 Ruang di salah satu sudutJalan Malioboro ini pun tidak tabu menjadiruang seni dengan dilangsungkannyapertunjukan wayang kulit.12 Meskipun tamuyang diundang dari kalangan tertentu, namunalunan gamelan jelas meruntuhkan simbolkolonial pada gedung ini.

Masih dalam kawasan Gedung Agung,sebuah bangunan yang terletak di sebelahselatannya, dan berada pada bagian palingujung selatan Jalan Malioboro, terdapatbangunan Societeit de Vereniging. Padaawalnya Societeit merupakan tempat hiburanbagi kalangan Eropa dan juga kalangan elitepribumi. Warga Eropa khususnya orang-orang Belanda sering melewatkan waktuluangnya di gedung itu. Pesta dansa, per-mainan bola bilyar, atau sekedar duduksambil menikmati makanan dan minumandengan diiringi alunan musik menjadipemandangan yang selalu ada di tempattersebut. Tempat itu menjadi simbol mo-dernitas bagi warga Eropa. Tempat itu juga

9 TB. Simatupang. Laporan Dari Banaran, Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama PerangKemerdekaan. (Jakarta: Sinar Harapan,1980), hal. 177.

10 “Demonstrasi Pemoeda”, Kedaulatan Rakjat, 16 – 6- 1947.11 “Tenteram dalam Kesiboekan”, Kedaulatan Rakjat, 5 -7- 1947.12 Kedaulatan Rakjat, 16 – 12- 1947

Page 69: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

189

menjadi ajang pamer mode.13 Simbol statusekonomi dan modernitas dengan begitu lekatpada bangunan tersebut.

Gedung itu pada masa Jepang oleh Sul-tan Hamengku Buwana IX diberi nama BalaiMataram. Nama yang sangat jelas acuannya,yakni kebesaran kekuasaan pribumi,Kerajaan Mataram, dan itu berarti mengacupada tradisi, yang melahirkan dinastiKasultanan Yogyakarta. Pada masa kemer-dekaan gedung tersebut menjadi tempatberlangsungnya Kongres Pemuda Indonesiapada tanggal 10-11 November 1945. Nafaspersatuan, kebebasan, hak bersuara dari parapemuda menjadi simbol baru dari gedungtersebut. Ketika Kantor Berita Antara, yaknikantor berita nasional yang dimilikiRepublik Indonesia berkantor di gedung itu,maka simbol-simbol kolonial yang tadinyalekat digedung itu juga mengalami peng-Indonesiaan menjadi ruang informasi.

Gedung Agung dan juga Balai Mataram,pada masa agresi militer Belanda yang ke-2kembali menjadi milik kolonial. Namuntatkala Presiden Sukarno kembali daripengasingan dan berkantor lagi di gedungitu, maka citra yang terbangun adalah simbol

Daftar Pustaka

Abidin Kusno. “Studi Perkotaan dalam Perspektif Postcolonial” Paper I dalam Work-shop: Street Images: Decolonization and Changing Symbolism of Indonesia Ur-ban Culture, 1930 – 1960s, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 31 Agustus2004.

Colombijn, Freek, 1996. “Sejarah Kota Padang dalam Abad ke-20 dan PenggunaanRuang” Majalah MSI. Jakarta: MSI dan Gramedia Pustaka Utama.

Djoko Suryo, 2005. “Penduduk Kota dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”,dalam Freek Colombijn, dkk., Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota Di In-donesia. Yogyakarta: Ombak.

Heddy Shri Ahimsa-Putra. “Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya”, Makalahdipresentasikan dalam Ceramah Kebudayaan di Fakultas Sastra, UGM, Tgl. 13Juni 2002.

Kedaulatan Rakjat, 16-6-1947.

kebebasan, dan kekuasaan pribumi. Denganbegitu ruang yang terbangun adalah jugapribumi. Walaupun simbol kekuasaan tetapmelekat juga di gedung itu, bahkan sampaisekarang, dan menjadi salah satu dari enamistana presiden yang dimiliki Indonesia.

PenutupDari uraian yang telah ada pada bagian

depan, maka ada beberapa kesimpulan yangdapat diambil. Di Yogyakarta pada periode1945-1949 terjadi perubahan dan pergeseransimbol. Simbol-simbol kolonial diambil dandigantikan dengan simbol Indonesia. Ruang-ruang kolonial, kemudian menjadi ruangpribumi. Periode itu kecenderungan yangada adalah mengalih-alih ruang yang telahada sebelumnya, dan tidak membangunsebuah bangunan simbolik baru. Hal itukarena secara politik, dan ekonomi, Indone-sia masih dalam situasi yang rawan, sehinggabelum mampu membangun bangunan baru,yang kemudian dilakukan adalah sebuahpengalihan fungsi dari beberapa ruang yangtadinya milik kolonial. Perubahan fungsipada ruang-ruang Kota Yogyakarta, akhirnyamemunculkan identitas yang baru.

13 Wawancara dengan Bapak Djoko Soekiman di Yogyakarta, tahun 2002.

Perubahan dan Pergeseran Simbol di Kota Yogyakarta 1945-1949 (Dwi Ratna Nurhajarini)

Page 70: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

190

Kedaulatan Rakjat, 5-7-1947.

Kedaulatan Rakjat, 16-12-1947.

Leela Gandhi, 2001. Teori Postkolonial.Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.Yogyakarta: Qalam.

Mooi Jogjakarta, 1931.

Simatupang, TB., 1980. Laporan Dari Banaran, Kisah Pengalaman Seorang PrajuritSelama Perang Kemerdekaan. Jakarta: Sinar Harapan.

Soedjatmoko, 1984. Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang: Agama,Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Informan

Bapak Djoko Soekiman di Yogyakarta, tahun 2002.

Page 71: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

191

PendahuluanRumah merupakan salah satu kebutuhan

hidup utama bagi manusia di sampingkebutuhan sandang dan pangan. Oleh karenaitu setiap manusia akan membutuhkan rumahsebagai tempat tinggalnya dan sebagaitempat berlindung dari gangguan binatangbuas dan gangguan alam seperti panas,dingin, hujan, dan angin. Melalui suatuproses panjang, bangunan rumah mengalamiperubahan baik bentuk maupun carapembuatannya. Hal ini disebabkan adanyakebutuhan hidup yang semakin banyak danyang akhirnya membutuhkan tempat yanglebih luas pula. Sejalan dengan ini berkem-bang pula kebudayaan. Adanya perubahankebudayaan pada umumnya menuntut jugaadanya perubahan teknologi. Dengan katalain bahwa perubahan itu terbawa oleh

suasana proses evolusi kebudayaan yangdialami manusia. Pengetahuan manusiaberubah dari tingkat yang sederhana ketingkat yang lebih rumit dan sempurna.Dengan pengetahuan yang makin sempurnaini, manusia berusaha melengkapi kebutuhanhidupnya yang relatif secara maksimal.Termasuk di dalamnya usaha melengkapikebutuhan akan tempat tinggalnya ke tarafyang lebih komplek.

Pada hakekatnya pendirian bangunanrumah tidak hanya melibatkan aspek teknoekonomis saja, tetapi tersirat juga strukturasisosial dan praktek ritus religius dalamkaitannya dengan dunia spiritual. Aspeksosial dari suatu bangunan tidak hanyameliputi interaksi antara perancang danpemakai saja, tetapi lebih dari itu interaksiantara individu dalam satuan bangunan

MAKNA SIMBOLIS HIASAN WAYANGAN PADA ATAPRUMAH TRADISIONAL KUDUS

Suwarno

Abstrak

Pada hakekatnya pendirian bangunan rumah tidak hanya melibatkan aspek ekonomisaja, tetapi tersirat juga struktur sosial dan praktek ritus religius yang berkaitan dengandunia lain. Oleh karena itu sistem mendirikan rumah tidak begitu saja terjadi tanpamenghiraukan nilai-nilai psikologis dan spiritual. Dalam kehidupan orang Jawa adasuatu paham, bahwa rumah tempat tinggal akan memberikan kebahagiaan lahir batinbagi pemiliknya atau bagi penghuninya. Oleh karena itu dalam menempati suatubangunan rumah, pada umumnya pemilik rumah berusaha untuk mendapatkan rasasenang, aman dan nyaman. Untuk mendapatkan kesemuanya itu pemilik rumah biasanyaberusaha memberi keindahan pada bangunan rumah tempat tinggalnya dengan memasanghiasan baik yang bersifat konstruksional maupun yang tidak. Pada rumah tradisionalKudus, hiasan itu bersifat konstruksional, yaitu diwujudkan dalam bentuk gentengwuwung yang dibuat dari tanah liat. Hiasan semacam itu oleh penduduk setempat disebuthiasan wayangan. Hiasan wayangan pada atap rumah tradisional Kudus di sampingberfungsi praktis dan estetis, ternyata juga mempunyai makna simbolis.

Kata kunci: Simbol - Rumah tradisional.

Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus (Suwarno)

Page 72: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

192

tersebut, antara kelompok individu antarbangunan, antara penghuni antar kelompokbangunan, dan terakhir antara pemukimantar wilayah. Suatu bangunan tidakdibangun untuk sekedar memenuhikebutuhan ruang saja, tetapi kadang-kadangjuga merupakan etalase advertensi sosialdalam mengemukakan sikap hidup dalamlingkungan sosial dari unit batih yangterkecil sampai unit pemukim kota.1

Orang Jawa menganggap bahwa rumahsebagai tempat tinggal itu sama denganpribadi yang memilikinya. Kata omah yangberarti rumah tempat tinggal, mempunyaiarti penting yang berhubungan erat dengankehidupan orang Jawa. Kehidupan orangJawa termaktub dalam tiga ungkapan katayaitu: sandang, pangan dan papan yangartinya pakaian, makan dan tempat tinggal.2

Oleh karena itu cara mendirikan rumah tidakbegitu saja terjadi tanpa memperhatikannilai-nilai psikologis dan spiritual. Halseperti itu identik dengan suatu pahamorang Jawa, bahwa rumah tempat tinggalakan memberikan kebahagiaan lahir batinbagi pemilik atau penghuninya.

Dalam menempati suatu bangunanrumah, pada umumnya pemilik rumahberusaha dan bertujuan untuk mendapatkanrasa senang, aman, dan nyaman. Oleh karenaitu untuk mendapatkan ketenteraman hatidalam menempati bangunan rumah, orangberusaha untuk memberi keindahan padabangunan rumah tempat tinggalnya.Dipasanglah hiasan-hiasan pada bangunanrumah tersebut baik yang bersifat konstruk-sional maupun yang tidak konstruksional.Hiasan yang bersifat tidak konstruksionalada hiasan bangunan yang dapat terlepas daribangunannya dan tidak berpengaruh apapunterhadap konstruksi bangunannya, misalnya

gambar-gambar sebagai penghias dinding.Adapun yang dimaksud dengan hiasankonstruksional adalah hiasan yang jadi satudengan bangunannya. Jadi hiasan ini tidakdapat dilepaskan dari bangunannya, misal-nya hiasan pada tiang-tiang rumah, padapintu, atau pun pada wuwungan rumah.

Rumah-rumah tradisional di daerahKudus, pada umumnya menggunakan hiasanyang bersifat konstruksional. Hiasan itukebanyakan dipasang pada wuwunganrumah dan diletakkan secara berderet kesamping kanan dan kiri. Satu hal yangmenarik, hiasan yang dibuat dari bahanterakota itu mempunyai wujud yang seragamdan spesifik serta pola pemasangan yangsama. Wujud hiasan yang demikian itumenurut asumsi penulis bukan sekedarberfungsi praktis dan estetis saja, tetapi jugamempunyai makna simbolis yang berhu-bungan dengan latar belakang pandanganhidup atau kepercayaan masyarakatpendukungnya.

Indentifikasi Bentuk HiasanHiasan pada atap rumah tradisonal Ku-

dus, merupakan hiasan tiga dimensi, dansebenarnya merupakan wujud dari sebuahwuwung.3 Hiasan itu dibuat dari bahan tanahliat yang dibakar, sehingga berwarna merahkecoklatan seperti halnya warna gerabahpada umumnya. Pada permukaannya ditem-pel bahan-bahan dari kaca dengan memben-tuk pola hias geometris.

Secara umum bentuk hiasan pada ataprumah tradisional Kudus, dapat dikategori-kan menjadi dua macam. Ragam hiaspertama oleh masyarakat setempat seringdisebut sebagai bentuk hiasan wayangan.Hiasan wayangan ini menurut pengamatanpenulis terdiri dari bentuk gunungan (kayon)

1Nurhadi dkk. “Konsepsi dan Dinamika Perubahan Arsitektur Tradisional Yogyakarta”, Makalah padaSarasehan Arsitektur Tradisional Yogyakarta. Yogyakarta, 21 Pebruari 1991, hal. 3.

2 H.J. Wibowo dkk. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. (Yogyakarta: Depdikbud, 1986/1987), hal. 82.

3 Wuwung merupakan istilah lokal (Jawa) pengertiannya hampir sama dengan genteng, tetapi dipasang diatas molo pada pertemuan kedua ujung atap bagian atas.

Page 73: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

193

dan bentuk gelung wayang.4 Ragam hiastersebut dapat dikatakan paling dominanpenggunaannya serta mempunyai wujudseragam.

Wuwung berbentuk hiasan wayangantersebut diletakkan di atas wuwungan rumah(molo), untuk menutup bagian atas yangmerupakan pertemuan dua bidang atap. Olehkarena itu wuwung-wuwung tersebut diguna-kan hanya pada atap rumah tradisionalberbentuk kampung, limasan, dan joglo.Adapun cara pemasangannya adalah sebagaiberikut: Sebuah wuwung berbentukgunungan diletakkan tepat di tengah-tengahdi atas wuwungan rumah. Selanjutnya kearah samping kanan gunungan atau kayon,diletakkan secara berderet wuwung-wuwungberbentuk gelung wayang, dengan meng-hadap ke kanan. Sebaliknya ke arah kiridipasang wuwung berbentuk gelung wayangmenghadap ke kiri, sehingga antara wuwungberbentuk hiasan gelung wayang di sebelahkanan gunungan dan wuwung berbentukhiasan gelung wayang di sebelah kirigunungan tampak saling bertolak belakang.Penataan keletakan semacam itulahkemungkinan yang menyebabkan penduduksetempat menyebutnya sebagai hiasanwayangan, karena susunan wuwung yangdemikian itu kalau diperhatikan identikdengan susunan wayang yang dijejer,5 dalamkelir sebelum pertunjukan yang sebenarnyadimulai.

Pengertian gunungan dalam duniapewayangan sudah jelas yaitu salah satuwayang yang bentuknya menyerupai gunungdengan di dalamnya terdapat lukisan duniaflora dan fauna.6 Bentuk semacam itu dalamdunia pewayangan di Yogyakarta seringdigunakan dalam pementasan, misalnyapertunjukan atau awal pada saat jejer di awalcerita suatu negara, saat akan adegan gara-

gara, pergantian setting cerita, episode dansaat tancep kayon ketika pertunjukan usai.Bahkan karena ketertarikan orang akanadegan gara-gara, maka tidak jarang adayang menyebut gunungan ini dengansebutan gara-gara.

Dalam cerita pewayangan baik itu yangbersumber pada isi kitab Ramayana maupunMahabarata, maka banyak tokoh dalamcerita itu yang digambarkan memakaigelung, di samping kuluk dan makutho(mahkota). Sekarang yang menjadi per-soalan adalah bentuk hiasan gelung wayangpada atap rumah tradisional Kudus itu wujudgelung dari tokoh siapa. Setelah mengamatidan membandingkannya dengan tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan baik yangbersumber pada cerita Ramayana maupunMahabarata maka penulis menginterpretasi-kan bahwa hiasan gelung wayang pada ataprumah tradisional Kudus sebagai gelungwayang tokoh Bima yang telah mengalamistiliran.

Asumsi mengenai hiasan gelung padaatap rumah tradisional Kudus sebagai gelungdari tokoh Bima dapat didukung denganketerangan penduduk setempat dan beberapanarasumber di daerah Kudus. Pada umum-nya mereka itu mengenal tokoh-tokoh dalampewayangan dengan baik dan satu hal yangpatut diperhatikan, di antara merekakebanyakan menganggap bahwa tokoh Bimasebagai tokoh idola dan legendaris.

Kebiasaan sebagian masyarakat meng-gambarkan tokoh Bima, telah memperkuatasumsi di atas. Kebiasaan itu sebenarnya ber-langsung sejak masa klasik. Penggambarantokoh Bima pada sebuah relief di situsGunung Penanggungan merupakan buktiadanya kebiasaan tersebut. Dalam relief ituBima digambarkan masuk ke dalam lautandengan tanda-tanda berkumis panjang, mata

4 Interpretasi ini didukung oleh beberapa narasumber, seperti Bapak Marsudi dari Dinas KebudayaanPropinsi Jawa Tengah, dll.

5 Jejer adalah istilah lokal (Jawa) pengertiannya: 1. Diletakkan atau ditancapkan pada gedebok (batangpisang) secara berderet. 2. Suatu adegan atau (episode) cerita tertentu dalam pertunjukan wayang, baik wayangkulit, wayang golek maupun wayang orang.

6 Pengamatan terhadap bentuk gunungan wayang kulit di Yogyakarta dan Surakarta.

Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus (Suwarno)

Page 74: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

194

bulat, gelung yang khas, kalung, kukupancanaka, dan bertubuh besar.7

Selain digambarkan dalam bentuk re-lief, tokoh Bima juga digambarkan dalambentuk arca. Bima dalam bentuk arcatersebut ditemukan di kompleks candi Cetha,situs Penampihan di lereng Gunung Wilis,dan Pesanggrahan MangkunegaranTawangmangu. Salah satu tokoh Bima dalamwujud arca digambarkan berdiri di atassebuah lapik, pada kepala terdapat gelung,muka berkumis, kedua tangan di sampingbadan dengan salah satunya memegang ularyang melilit di tubuhnya.8 Di daerah bekasKaresidenan Banyumas ada cerita rakyatyang menuturkan bahwa tokoh Bima iniyang membuat Sungai Serayu, sedangkanKali Klarang yang lebih kecil merupakanhasil karya Resi Drona.

PembahasanBerangkat dari hasil identifikasi bentuk

hiasan di atas maka dalam pembahasanselanjutnya, penulis mendasarkan padapandangan hidup sebagian masyarakat Jawaterhadap tokoh Bima.

Dalam kebudayaan Jawa tokoh Bimadikenal sejak masa akhir pemerintahankerajaan Majapahit, yakni sekitar abad XVMasehi. Hal itu dibuktikan dengan arcaBima yang ditemukan di PesanggrahanMangkunegaran,Tawangmangu. Berdasar-kan inskripsi yang terdapat pada bagianbelakang arca tersebut W.F. Stutterheimmenyebutkan sebagai Bima Gana RamaRatu yang berarti angka tahun 1365 Cakaatau 1443 Masehi.9

Pada masa selanjutnya tokoh Bima tetapdikenal dan mengalami perkembangandengan di dalamnya terdapat perubahankonsep sesuai dengan kepercayaan masya-rakat pendukungnya. Tokoh Bima yang

berhasil ditemukan selama ini digambarkandalam tiga bentuk yaitu: arca batu, reliefpada candi, dan digambarkan dalam ceritawayang atau karya sastra.

Dalam bentuk arca batu, Bima digam-barkan dengan tubuh yang seram danmemakai upawita ular. Menurut Stutterheimpenggambaran bentuk Bima yang demikianidentik dengan Bima Bhairawa salah satuaspek dari Dewa Ciwa dalam agama Ciwa.Sedang penggambaran tokoh Bima dalambentuk relief terdapat di kompleks CandiSukuh pada teras ke tiga sisi utara.

Dalam cerita pewayangan, Bima ter-nyata juga digambarkan sebagai salah satutokoh ideal bagi masyarakat Jawa. Dice-ritakan Bima adalah anak ke dua dari limabersaudara Pandawa. Waktu lahir tokoh inidalam keadaan bungkus dan tidak dapatdibuka oleh siapapun, sehingga bungkus itudibuang ke tengah hutan Gandamayit. Ditengah hutan, seekor gajah yang diturunkandari khayangan bernama Gajah Sena berhasilmembuka bungkus dan lahirlah Bima.Selanjutnya disebutkan bahwa tokoh Bimaatau Werkudara digambarkan bertubuhkekar, mata melotot, dan ke dua tangannyamempunyai kuku pancanaka. Diceritakanpula bahwa saudara Pandawa itu berbudiluhur, cinta kebenaran dan setia kepadakeutamaan. Di lingkungan keluarga dan ne-gerinya, Bima merupakan benteng perta-hanan, sebab di samping kekuatan tenagadan kecerdasannya berpikir, Bima jugamempunyai beberapa ilmu kesaktian antaralain aji bandung bandawasa, wungkal bener,blabak pengantolan yang kesemuanya itudapat membentengi keselamatan hidupnyadi dunia fana. Namun demikian suatu ketikadatanglah rasa kecewa yang mengganggusang Bima. Pangkal kekecewaan itu ialahkarena ia belum memiliki Tirtapawitradi,

7 Sukarto K. Atmodjo. “Tokoh Bhima Dalam Arkeologi Klasik”, Makalah tanggapan terhadap ceramahSumarti Suprayitno. (Yogyakarta: Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan, 1986), hal.7.

8 Gunadi. “Sekilas tentang Tokoh Bima”, dalam Berkala Arkeologi VI. (Yogyakarta: Balai Arkeologi,1985), hal. 37-38.

9 Ibid.

Page 75: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

195

yaitu air yang dapat mensucikan diri atauilmu kesempurnaan hidup. Rasa kecewa itutiba-tiba menjadi suatu cita-cita yang teguh,dan dengan diam-diam maka pergilah sangBima mencari seorang guru yang dapatmenunjukkan di mana letak Tirtapawitradi.

Akhirnya Bima mendapatkan seorangguru yakni Resi Drona. Dia berkenanmemberi wejangan petunjuk jalan kepadasang Bima dengan saran-saran yang harusdiindahkan. Berkat ketaatan sang Bima ataswejangan Resi Drona, tanpa menghitungkesukaran dan pengorbanan, akhirnya iapundapat bertemu dengan guru sejati. Gurusejati inilah yang dimaksud dengan Tirta-pawitradi. Di dalam pewayangan guru sejatiini dikenal dengan nama Dewa Ruci atauSang Hyang Wenang.

Pengorbanan sang Bima selama men-cari Tirtapawitradi ini antara lain harusmembongkar Gunung Reksamuka yangdijaga oleh dua raksasa, godaan yang lain,dihadangnya sang Bima di tengah perjalananoleh ke empat saudara tunggalnya, yaituBayu Kinara, Bayu Kanitra, Bayu Anras danBayu Langgeng, agar mengurungkan niat-nya ke Gunung Reksamuka maupun keempat makhluk saudara tunggal sang Bimadi atas merupakan suatu ungkapan filosofiyang sangat tinggi.

Di atas telah dikatakan bahwa dalampengembaraan pertama sang Bima harusmembongkar Gunung Reksamuka. Maknadari ungkapan ini menurut Ki Siswo Harsoyobahwa kata Reksamuka berasal dari kataReksa dan Muka. Reksa berarti menjaga danMuka berarti bagian depan yang tampak atausifat lahiriah.10 Dalam hal ini sang Bimaharus dapat mengatasi atau menjaga sifat-sifat lahiriah yang dimiliki selama ia masihhidup di dunia. Ungkapan ke dua, yaknidalam perjalanan menuju ke laut selatanuntuk mencari Tirtapawitradi, Bima diha-dang lagi oleh ke empat saudara kembarnya.Makna dari ungkapan di atas ialah melam-

bangkan empat nafsu yang dimiliki olehmanusia.

Bayu Kanitra yang dilambangkandengan seekor gajah dalam lambang nafsualuamah, yaitu nafsu makan dan minum.Bayu Anras yang dilambangkan denganraksasa adalah lambang nafsu amarah. BayuKinara yang dilambangkan dengan keraadalah lambang nafsu supiah atau keinginanyang serba baik. Ke empat adalah BayuLanggeng yang dilambangkan dengan Dewaadalah lambang nafsu mutmainah yaitutingkah laku yang suci.

Demikianlah gambaran ke empatsaudara tunggal, yaitu lambang dari ke empatnafsu yang selalu mengikuti jalan hidup danbersatu dengan diri manusia. Di atas telahdisinggung juga bahwa Tirtapawitradi ter-letak di dasar laut selatan. Ungkapan ini jugamerupakan ungkapan filosofis, dasar laut ituadalah perumpamaan dari dasar hati sanubarimanusia. Di sinilah sang Bima dapat ber-temu dengan Dewa Ruci sang Guru sejatiatau sering disebut Sang Hyang Wenang,kemudian sujudlah sang Bima kepada DewaRuci.

Pemujaan Bima atau sering disebutdengan Bima cultus ini muncul kurang lebihawal abad XV M. Masa-masa ini adalahmasa mundurnya kerajaan Hindu di Jawa(Jawa Timur) yaitu Majapahit dan mulai ber-kembangnya pengaruh Islam di Pulau Jawa.Kebudayaan Islam sebetulnya jauh sebelumabad XV M telah datang di Indonesia atauJawa. Hal ini dapat dilihat dari temuanarkeologi Islam seperti makam Fatimah bintiMaimun yang berangka tahun 1082 M.

Di dalam kesusasteraan dan cerita pe-wayangan, Bima digambarkan sebagai tokohyang telah mencapai kesempurnaan, karenahanya dialah yang berhasil menemukanTirtapawitradi yaitu air kesucian. Ilmukesempurnaan hidup semacam ini di dalamkesusasteraan jaman Islam dapat dilihat padaSuluk Malang Sumirang, yang berisi tentang

10 Siswoharsoyo. Tafsir Kitab Dewaruci. (Yogyakarta: Pt. Jaker, 1966), hal. 18-22.

Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus (Suwarno)

Page 76: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

196

pengagungan orang yang telah mencapaikesempurnaan hidup, orang yang telah lepasdari ikatan-ikatan syariah dan berhasilbersatu dengan Tuhan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkanbahwa pemujaan kepada tokoh Bima sepertiterlihat pada arca-arca Bima yang telahdisebutkan di muka adalah pemujaan kepadatokoh yang telah mencapai kesempurnaan.Pertemuan antara sang Bima dengan sangDewa Ruci yang telah disebutkan di atassebetulnya merupakan lambang warangkamanjing curiga, yang berarti bersatunyaBima dengan Dzat Tunggal (Tuhan). Disinilah muncul konsepsi monotheisme padamasa itu. Jadi pemujaan kepada tokoh Bimaadalah pemujaan kepada Dzat Tunggal yangdigambarkan dengan Dewa Ruci dalam pe-wayangan atau pemujaan kepada TuhanYang Maha Esa. Oleh karena itu dalam pe-wayangan dikenal adanya Sang HyangTunggal (= Dewa Pujaan Yang Satu).

Dalam perkembangan selanjutnya peng-gambaran tokoh Bima dan atributnya padasebagian masyarakat Jawa tampaknya masihtetap berkesinambungan walaupun sedikitbanyak mengalami perubahan. Pemasanganhiasan wayangan yang diidentifikasikansebagai gelung wayang Bima pada ataprumah tradisional Kudus kemungkinanmerupakan bentuk kesinambungan tersebut.Kalau identifikasi di atas dapat diterimamaka selanjutnya dapat diasumsikan bahwapemasangan wuwung berbentuk hiasanwayangan pada rumah-rumah tradisionalKudus mengandung arti simbolis yangberhubungan dengan ilmu kesempurnaanatau ilmu Manunggaling Kawula Gusti.

PenutupDari pembahasan mengenai hiasan

wayangan pada atap rumah tradisional didaerah Kudus tersebut dapat diketahui

tentang beberapa hal sebagai berikut: Ke-biasaan (tradisi) membuat hiasan pada ataprumah tradisional Kudus, merupakan salahsatu bentuk kesinambungan budaya darimasa klasik. Kesinambungan budaya itubukan saja diwujudkan dalam bentukbangunan fisik, tetapi juga dalam hal konsepyang melatarbelakanginya. Pendirian rumahyang dalam bab terdahulu disebutkan tidakhanya melibatkan aspek tekno ekonomis,tetapi juga pratek ritus religius, pada pem-bangunan rumah tradisional Kudus tempak-nya masih juga mentradisi.

Di daerah Kudus, hiasan wayanganpaling dominan diterapkan pada atap rumahtradisional yang digunakan sebagai tempattinggal. Hiasan yang diidentifikasikansebagai gelung tokoh wayang Bima yangdistilir itu titi mangsa kemunculannya di-perkirakan sejak masa Islam awal. Hal itudidasarkan pada bentuk stiliran yangmerupakan ciri khas kesenian pada masaIslam awal. Penggunaan ragam hiaswayangan pada bangunan rumah tradisionalKudus ternyata bukan semata-mata untukkepentingan praktis dan estetis saja, tetapijuga sebagai simbolik. Ragam hias gelungwayang dapat diartikan sebagai karya seniyang berhubungan dengan pandangansufisme, hal ini didasarkan pada pandangankebudayaan Jawa tentang tokoh Bima yangsering dianggap sebagai tokoh mistik. Dalampandangan sufisme, simbol memainkanperanan yang sangat penting sebab melaluisimbol inilah kaum sufi dapat terus-menerusingat kepada ajaran mereka. Berdasarkan haltersebut dapat diasumsikan bahwa padamulanya pendirian bangunan rumah-rumahtradisional Kudus adalah penganut ajarantasawuf. Asumsi itu kiranya dapat didukungberdasarkan karya sastra yang dihasilkanpada masa Islam awal yang banyak ditemu-kan di daerah pantai utara Jawa.

Daftar Pustaka

Gunadi, 1985. “Sekilas Tentang Tokoh Bhima”, dalam Berkala Arkeologi VI. Yogya-karta: Balai Arkeologi.

Page 77: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

197

Nurhadi dkk. “Konsepsi dan Dinamika Perubahan Arsitektur Tradisional Yogyakarta”,Makalah Pada Sarasehan Arsitektur Tradisional Yogyakarta. Yogyakarta, 21Pebruari 1991.

Siswoharsoyo, 1966. Tafsir Kitab Dewa Ruci. Yogyakarta: Pt. Jaker.

Sukarta, K. Atmadja. “Tokoh Bhima Dalam Arkeologi Klasik”, Makalah TanggapanCeramah Dra. Sumarti Suprayitno Pada Ceramah di Javanologi. Yogyakarta:Lembaga Javanologi.

Wibowo, H.J., 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:Depdikbud.

Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus (Suwarno)

Page 78: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

198

PendahuluanDalam konteks sosio-politik Jember,

Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Pro-bolinggo, kelima daerah ini sering dianggapsebagai wilayah yang rawan konflik.Sejumlah peristiwa yang menjadikanpembenar justifikasi tersebut antara lain: (a)Peristiwa Jenggawah, konflik antara petanidan pihak PTPN X di Jember, (b) Aksipembakaran gereja di Situbondo tahun 1995,(c) Kasus perebutan tanah antara pendudukdan militer di Sukorejo Jember, (c) Aksipembantaian dengan isu Ninja pada tahun1998, dan (d) Aksi masyarakat ketika GusDur dilengserkan dari kursi kepresidenantahun 2002.

Peristiwa-peristiwa tersebut secaralangsung mencitrakan wilayah-wilayah ter-sebut dan komunitas pendukungya sebagaitempat bersemainya kekerasan. Terdapatasumsi bahwa kekerasan itu disebabkandominasi latar belakang budaya Madura

sebagai warga mayoritas. Tentu saja asumsitersebut tidak selamanya benar. Padadasarnya peristiwa kekerasan tidak hanyamenjadi karakteristik masyarakat di wilayahini. Ada latar belakang dan setting politikyang menyebabkan peristiwa-peristiwakekerasan itu terjadi.

Di samping itu, peran media yangselama ini mem-blow up peristiwa kekerasandi wilayah ini juga menjadi penguat stereotiptersebut. Padahal dalam hal kebudayaan,masyarakat di wilayah Jember, Bondowoso,Situbondo, Lumajang, dan Probolinggomempunyai keunikan dan karakteristik yangmenjadikan wilayah ini dinamakanPendhalungan.

Pendhalungan dalam konteks wacanakebudayaan merupakan “tema baru” danbelum banyak mendapat perhatian seriusdari para pakar budaya. Kenyataan tersebutmemang bisa dimaklumi, karena dalamkonteks wilayah kebudayaan dan geografis,

PENDHALUNGAN: SEBUAH “PERIUK BESAR”MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Christanto P Rahardjo

Abstrak

Pendhalungan dalam konteks wacana kebudayaan merupakan “tema baru” danbelum banyak mendapat perhatian serius dari para pakar budaya. Kenyataan tersebutmemang bisa dimaklumi, karena dalam konteks wilayah kebudayaan dan geografis,Pendhalungan memang berada pada “ruang lain kebudayaan”. Mengapa dikatakandemikian? Dari sisi posisi dan wilayah, Pendhalungan hanya merupakan satu wilayahkebudayaan (cultural area) di bagian timur Provinsi Jawa Timur (meliputi Probolinggo,Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang) dan jauh dari pusat informasi sehinggamenjadikannya sebagai “liyan” (the other) yang kurang diminati. Padahal dalam halkebudayaan, masyarakat di wilayah Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, danProbolinggo mempunyai keunikan dan karakteristik yang menjadikan wilayah inidinamakan Pendhalungan.

Kata kunci: Pendhalungan - Multikultural.

Page 79: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

199

Pendhalungan memang berada pada “ruanglain kebudayaan”. Mengapa dikatakandemikian? Dari sisi posisi dan wilayah,Pendhalungan hanya merupakan satuwilayah kebudayaan (cultural area) dibagian timur Provinsi Jawa Timur (meliputiProbolinggo, Situbondo, Bondowoso,Jember, dan Lumajang) dan jauh dari pusatinformasi sehingga menjadikannya sebagai“liyan” (the other) yang kurang diminati.

Di samping itu, masyarakat Pendha-lungan dianggap kurang memiliki atraksi(kesenian) kultural yang bisa dijadikan ikonseperti halnya wilayah kebudayaan lain diJawa Timur (semisal Tengger, Using,Panaragan, Mataraman, Arek, Maduraataupun Samin) sehingga kurang menarikuntuk dijadikan bahan kajian. Tetapi,benarkah “posisi pinggir’ dalam konteksdiskursus budaya tersebut menjadikanPendhalungan kurang menarik untukdijadikan kajian akademis? Tulisan berikutmerupakan naskah awal untuk membahaspotret sosio-kultural masyarakat yang men-diami wilayah Pendhalungan.

Menemukan Pendhalungan: SebuahDefinisi Awal

Sampai saat ini, dikarenakan keter-batasan kajian dan referensi, pengertiantentang Pendhalungan masih kabur. Tidakada kejelasan mulai kapan sebenarnya istilah“Pendhalungan” digunakan. Memang dalampraktiknya, masyarakat awam seringkalimengatakan bahwa ketika orang Jawabercampur dan berinteraksi dengan orang

Madura maka lahirlah Pendhalungan.Sejumlah pakar sepertinya banyak yangmenggunakan pemaknaan seperti itu. HarryYuswadi memberikan definisi sederhanatentang Pendhalungan sebagai (1) sebuahpercampuran antara budaya Jawa danMadura dan (b) masyarakat Madura yanglahir di wilayah Jawa dan beradaptasidengan budaya Jawa.1

Memang ketika membicarakan Pendha-lungan, citra yang lebih banyak munculadalah perpaduan antara dua tradisi besar,yakni Jawa dan Madura. Pendapat tersebuttentu tidak lepas dari fakta bahwa kedua etnistersebut merupakan warga mayoritas diwilayah ini. Tesis tentang perpaduan danadaptasi budaya memang terjadi, meskipunlebih banyak berlangsung di pusat danpinggiran kota, namun pada akhirnya tetapberorientasi pada budaya Jawa. Di Jember,misalnya, interaksi antara warga Madura danJawa melahirkan sebuah Bahasa Jawa DialekJember yang mempunyai perbedaan dalamstruktur dengan Bahasa Jawa padaumumnya2.

Dalam konteks kesenian, juga terjadiproses perpaduan dan, lagi-lagi, lebih cende-rung berorientasi pada kesenian berakar daribudaya Jawa. Di Desa Candi Jati, Keca-matan Arjasa Jember, misalnya, terdapatkelompok kesenian ludruk Masa Jaya yangdalam pertunjukannya menggunakan BahasaMadura karena memang komunitas penon-tonnya berasal dari etnis Madura. Di DesaPanti, terdapat kelompok jaranan TuronggoSakti yang memadukan jaranan Jawa dan

1Dr. Harry Yuswadi, M.A. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk Terhadap KebijakanPembangunan Pertanian. (Jember: Penerbit Kompyawisda, 2005), hal. 101.

2Bahasa Jawa Dialek Jember biasanya digunakan oleh etnis Madura di kota dan pinggiran kota ketikamereka berkomunikasi dalam ranah sosial dengan etnis Jawa, tetapi ketika berkomunikasi dengan sesamaetnis Madura mereka tetap menggunakan Bahasa Madura. Bahasa lisan yang mereka gunakan memang berbedajauh dengan Bahasa Jawa standar. Pemilihan bahasa tersebut didasari beberapa faktor, antara lain (1)beridentifikasi dengan mitra wacana, dalam hal ini etnis Jawa dan (2) menyatakan sifat positif terhadap BahasaJawa. Berikut contoh bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari antara etnis Jawa (EJ) dan Madura(EM): (EJ) Kate nang endi, Mas? (EM) Gak onok, iki ku-mlaku. Jawaban ‘Gak onok, iki ku-mlaku’ merupakanusaha menggunakan Bahasa Jawa yang dipengaruhi Bahasa Madura. Lebih jauh tentang hal ini lihat BambangWibisono dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual(Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)”, dalam Jurnal Ilmu-ilmuHumaniora. Vol. II/No. 1 Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember, hal. 1-13.

Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural (Christanto P Rahardjo)

Page 80: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

200

Using, sedangkan para pelakunya merupa-kan campuran antara warga etnis Madura,Jawa, dan sebagian kecil etnis Using.

Sejumlah definisi dan contoh-contoh diatas sepintas memang sudah mewakilidefinisi Pendhalungan dalam perspektifperpaduan budaya. Namun citra yangdimunculkan dari definisi semacam iniadalah adanya proses sub-ordinasi terhadapbudaya Madura oleh budaya Jawa, meskipunkondisi tersebut tampak sebagai sebuahproses alamiah. Dengan kata lain budayaJawa berposisi sebagai ordinat, sedangkanbudaya Madura sebagai subordinat yangberusaha untuk beradaptasi dan kemudian‘menjadi Jawa’ secara kultural. Apakah iniyang dinamakan Pendhalungan ketika orangMadura dalam sosialisasi dan adaptasidengan masyarakat Jawa, secara evolutifmenjadi ‘Jawa Pendhalungan’? Mungkinsebagian pakar berpikir demikian dan itutidak bisa disalahkan karena fakta tersebutbenar-benar terjadi dan sudah menjadibagian dari dinamika masyarakat di Jember,Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, danLumajang (terutama di wilayah pusat kotadan pinggiran kota).

Kusnadi dengan lebih menekankan sisigenetik menjelaskan pengertian lain tentangPendhalungan dari hasil wawancaranyadengan salah satu informan di Jembersebagai berikut:

……Pak Mangun (51), penduduk TegalBoto, Jember. Ia dilahirkan diPanaongan, Sumenep Utara, Madura.Ketika bekerja di Jember, ia menikahdengan seorang perempuan Tegal Botoyang disebut sebagai orang Jawa. Padaumumnya, orang Jawa yang menjadipenduduk asli Tegal Boto adalah orangUsing. Ketika penulis bertanya tentangsiapa-siapa yang bisa disebut sebagaiorang Pendhalungan, Pak Mangunberkata, “Saya ini kan orang Madura.

Isteri saya orang Jawa. Dari perkawinantersebut, saya dikaruniai 2 anak pe-rempuan. Nah, 2 anak saya itu yang bisadisebut sebagai orang Pendhalungan.Beberapa informan di Situbondo jugamenyampaikan hal serupa tentangmakna Pendhalungan3.

Namun pendapat tersebut menurutKusnadi cenderung mempermudah pema-haman identitas tentang identitas budayaPendhalungan di tataran masyarakat awam.Lebih jauh ia menjelaskan bahwa budayaPendhalungan merupakan hasil dari suatuproses sosial panjang dan dialog intensif diantara bermacam-macam kebudayaansejalan dengan masyarakat pendukungnya4.

Pengertian terakhir yang diberikan olehKusnadi rupanya sejalan dengan makna kata‘Pendhalungan’ yang diberikan olehPrawiroatmodjo (1985) dalam BausastraJawa-Indonesia II. Menurutnya, secaraetimologis Pendhalungan berasal dari dasarBahasa Jawa dhalung yang berarti “periukbesar”. Dalam konsep simbolik, “periukbesar” bisa didefinisikan sebagai tempat ber-temunya bermacam masyarakat yang ber-beda etnis dan kebudayaan kemudian salingberinteraksi dalam ruang dan waktu sehinggamelahirkan varian baru kebudayaan yangkemudian disebut Pendhalungan.

Definisi tersebut akan menjadi pijakanutama dalam membahas Pendhalungandalam tulisan ini. Adapun dalam kontekshistoris maupun sosio-kultural interaksi dankomunikasi beragam etnislah tidak hanyaJawa dan Madura yang telah menciptakankondisi kultural masyarakat Pendhalungan.Pendekatan multikultural juga dapat menjadialat bantu dalam menganalisis perkem-bangan masyarakat Pendhalungan dewasaini.

Dengan menggunakan pendekatan inidiharapkan akan menghasilkan kajian yanglebih komprehensif tentang bagaimana

3Lebih jauh tentang hal ini lihat Kusnadi. “Masyarakat ‘Tapal Kuda’, Konstruksi Kebudayaan danKekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora. Vol. II/No. 2/2001, Fakultas Sastra UniversitasJember, hal. 3-4.

4Ibid.

Page 81: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

201

kondisi, peran, kontestasi, dan beragam ke-budayaan dan masyarakat pendukungnya.

Pendhalungan: Hibridasi dan Orkes-trasi Multikultural Dalam Sebuah“Periuk Besar”

Membicarakan Pendhalungan dalamkonteks yang lebih luas, tentu tidak bisamenegasikan keberadaan etnis lain, selainJawa dan Madura. Tionghoa, Arab danUsing. Kendati dianggap sebagai minoritas,mereka (etnis) juga ikut berpartisipasi dalamproses sosial yang terjadi di masyarakat.Jelas hal itu tidak berlangsung dalam waktuyang singkat.

Di Jember misalnya, sejak migrasi erakolonial sebagai bentuk mobilisasi massaoleh pihak kolonial (dalam hal ini Belanda)telah menghasilkan struktur masyarakatmultietnis5. Dalam kurun waktu yang cukuplama tersebut, sebuah proses budaya dalammasyarakat secara kontinyu berlangsungdalam nuansa damai. Mereka saling ber-interaksi dan beradaptasi untuk salingmelengkapi berdasarkan peran masing-masing. Etnis Tionghoa dan Arab, misalnya,berperan sebagai pedagang. Etnis Maduralebih banyak berperan sebagai pekerja kebundan petani serta sebagian kecil berperandalam dunia pendidikan pesantren sebagaikyai dan ustadz. Sementara etnis Jawa danUsing mengambil peran sebagai petani,pendidik (formal), dan aparat birokrasi.Meskipun saat ini peran tersebut sudah adayang berubah, tetapi secara umum bisadikatakan tetap.

Pola interaksi dan adaptasi antarbudayasebagai konsekuensi proses komunikasiantaretnis, tidak bisa dipungkiri, telahmelahirkan sebuah varian budaya barubernuansa hibrid yang kemudian disebutPendhalungan. Memang sebagai dua etnismayoritas, Pendhalungan kemudian lebihbernuansa perpaduan Jawa dan Madura.Tetapi kalau mau bicara dalam konteks yangluas, maka bisa dimunculkan tesis baru.

Pendhalungan merupakan proses interaksidan komunikasi di antara beragam etnisyang berakar dari peran sosial dan atraksikultural masing-masing yang kemudianmenghasilkan budaya hibrid. Hibridasidalam konteks ini tidak hanya membicarakanproses perpaduan antara bermacam budayayang menghasilkan budaya baru. Hibridasiyang terjadi di wilayah Pendhalunganmerupakan hibridasi struktural dan hibri-dasi kultural.

a. Hibridasi ala PendhalunganPieterse (dalam Barker) menjelaskan

bahwa hibridasi struktural merupakan prosesperpaduan yang menghasilkan pilihanorganisasional bagi masyarakat. Sedangkanhibridasi kultural membedakan berbagairespons budaya yang merentang dari asimi-lasi, bentuk-bentuk pemisahan, sampaidengan hibrida yang mendestabilkan danmengaburkan sekat-sekat budaya sehinggaterjadi persilangan serta munculnya “komu-nitas terbayang” meskipun tidak selamanyasekat masing-masing budaya terhapus (2004:208).

Artinya, dalam masyarakat Pendha-lungan yang multietnik telah terjadipersilangan peran sosial terutama dalampilihan organisasi sebagai akibat dari salingberinteraksinya budaya mereka.

Saat ini, misalnya, sudah banyak wargaetnik Madura yang memilih untuk menjadipegawai pemerintah maupun pendidik for-mal sehingga bukan lagi menjadi dominasietnis Jawa. Sedangkan hibridasi kulturalyang terjadi pada masyarakat Pendhalunganmerupakan percampuran bermacam bahasadan tradisi multi-etnik yang membentuk‘budaya baru’ meskipun tidak selamanyabaru.

Budaya baru tersebut berbentuk, misal-nya, Bahasa Jawa Dialek Jember, yangdigunakan komunitas Madura dan Jawa yangbertempat tinggal di kota dan pinggiran kota.tiga etnis tersebut juga melakukan proses

5Bahkan menurut Kusnadi, pada masa kolonial kebudayaan Jawa dan Madura di wilayah Tapal Kudajuga berinteraksi kebudayaan Eropa, India, Melayu, Bugis, Mandar, dan Bali. Ibid.

Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural (Christanto P Rahardjo)

Page 82: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

202

interaksi dengan warga Jawa dan Madura.Etnis Tionghoa, terutama dalam transaksidagang, banyak berinteraksi dengan meng-gunakan Bahasa Madura maupun BahasaJawa bercampur logat Tionghoa yang cukupkental. Begitu pula dengan etnis Arab. Dikota-kota kecamatan, seperti AmbuluJember, kita bisa menjumpai perkampunganArab di mana warganya banyak yang ber-komunikasi dengan Bahasa Jawa bercampurlogat Bahasa Arab.

Sedangkan dalam tradisi kesenian, disamping penterjemahan konsep kesenianJawa ke dalam Bahasa Madura, juga terjadiketerlibatan lintas-etnis dalam kesenianTionghoa dan Arab, tetapi tanpa mengubahformat pertunjukan maupun bahasanya.

Dalam kesenian Barongsai dan LiangLiong Jember, misalnya, banyak anggotabaik penari maupun pemusiknya yangberasal dari etnis Madura maupun Jawa.Begitupula yang terjadi dengan penggarapankesenian Gambus (Arab), Kendang Kempuldan Janger (Using) yang juga melibatkanetnik Madura dan Jawa. Di sini tampak jelas,meskipun telah terjadi hibridasi, namun diPendhalungan tetap belum menghasilkan“sesuatu yang sepenuhnya baru”. Dengankata lain ada kesadaran dan kemauan per-sonal untuk berpartisipasi ke dalamkelompok kesenian etnis lain baik karenamotivasi ekonomi ataupun kesadaran budayadan tidak berarti mereka kehilangan jati diribudaya etnis asal mereka.

Di samping hibridasi yang berorientasipada keterlibatan personal, ada juga hibri-dasi yang menghasilkan bentuk kesenianbaru, semisal kesenian Can-Macanan Kadukdan Musik Patrol (Jember), Singo Ulung danWayang Kerte (Bondowoso).

Can-Macanan Kaduk merupakan ke-senian yang diduga berasal dari tradisipekerja kebun ketika mereka harus menjagakebun dari serangan hewan liar ataupunpencuri. Kesenian ini kalau dilihat dariestetika pertunjukannya bisa dikatakanmemadukan konsep kesenian BarongsaiTionghoa dan Barongan Using sertainstrumen musik Jawa. Meskipun berbeda

latar historis penciptaan, Singo Ulung bisadikatakan hampir mirip dengan Can-Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilankostum dan gerakan-gerakan tarinya lebihterlihat bagus karena sudah mendapatkansentuhan dari koreografer profesional.

Sedangkan Wayang Kerte, terbuat darikayu pipih (seperti wayang krucil) namunkarakter dan ceritanya diambil dari ke-hidupan sehari-hari masyarakat.

b. Orkestra Multikultural MasyarakatMulti-etnik

Selain membicarakan Pendhalungansebagai proses perpaduan, sebenarnya kitajuga bisa membicarakan Pendhalungandalam konteks masyarakat multikultural.Mengapa demikian? Karena di sampingditemukannya data tentang perpaduan yangmenghasilkan sebuah budaya baru, di wila-yah kebudayaan ini juga bisa dilihat adanyabudaya masing-masing etnis yang tetapdipertahankan dalam sebuah proses sosialyang menempati ruang dan waktu yangsama. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka berinteraksi, tetapi mereka tetapkukuh dalam menjalankan aktivitas budayasesuai dengan identitas masing-masing demiterjaganya jati diri, meminjam istilah Barker(2004: 209), sebagai absolutisme etnis. Halitu membuktikan tesis yang dilontarkanPietersen bahwa meskipun terjadi proseshibridasi ketika berada dalam ranah interaksisosial, tetapi identitas etnis tidak terhapusbegitu saja dalam tataran kognitif dan praktiskehidupan mereka.

Di Jember, misalnya, kondisi tersebuttampak ketika kita melihat aktivitas budayadi wilayah Jember selatan dan Jember utara.Sebagai produk segregasi etnis ala kolonial,masyarakat etnis Jawa yang menempatiwilayah selatan Jember (seperti Ambulu,Wuluhan, Balung, Puger, Gumukmas, Ken-cong, Jombang, Umbulsari, dan Semboro)sampai saat ini masih mempraktikkanproduk budaya Jawa baik dalam hal bahasa,kesenian, maupun adat-istiadat lainnya.Masyarakat Jawa di Ambulu dan Wuluhan,misalnya, sampai saat ini masih melestarikan

Page 83: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

203

kesenian Reog yang berasal dari nenekmoyangnya di Ponorogo. Di samping itu,hampir semua masyarakat di selatan jugamenggemari Wayang Kulit, Jaranan, danCampursari. Sedangkan untuk urusanpendidikan mereka tetap berorientasi padapendidikan formal, meskipun di sana jugaterdapat pondok pesantren.

Di wilayah utara, masyarakat tetapbertahan pada orientasi budaya Madura.Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-hari masyarakat di Kecamatan Arjasa,Jelbug, Sukowono, Kalisat, Sumberjambe,Ledokombo, Mayang, dan sebagianPakusari. Di samping ludruk ala Madura,masyarakat di sana gemar melihat pertun-jukan Hadrah sebagai kesenian pesantrenyang menjadi orientasi pendidikan etnisMadura. Pengajian juga menjadi acarafavorit karena di samping mendapatkanwejangan-wejangan tentang Islam, merekajuga bisa bertemu dengan para Lorah(sebutan untuk kyai) ataupun Gus (anakkyai) yang dianggap bisa mendatangkanberkah bagi kehidupan warga.

Sedangkan di wilayah tengah kota danpinggiran kota di samping berdagang, etnisTionghoa sebagai berkah reformasi politiknasional juga mulai mengembangkankesenian Barongsai dan Liang liong sebagaikesenian khas mereka. Pada peringatanImlek, kesenian ini dipertontonkan me-nyusuri jalan-jalan protokol kota Jember.Meskipun generasi mudanya sudah banyakyang menggunakan Bahasa Indonesia danBahasa Jawa dengan aksen Tionghoa,Bahasa Mandarin sudah mulai diperkenal-kan lagi. Dalam hal pendidikan sebagianbesar warga etnis Tionghoa tetap menye-kolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolahyang dikelola gereja, seperti SD, SMP, danSMA Santo Yusuf, SMA Setya Cadika, danlain-lain. Sementara etnis Arab tetap kukuhmempertahankan identitasnya dengan tetapmelestarikan pernikahan sesama etnis.Mereka juga masih mempertahankan Musik

Gambus sebagai pemenuh kebutuhanestetiknya.

Fakta-fakta di atas merupakan sisi lainPendhalungan. Sebuah komunitas budayayang selama ini hanya dianggap bercirikanperpaduan budaya Jawa dan Madura, ter-nyata menyimpan “sebuah orkestrasi multi-kultural” yang berjalan dengan harmonis dandinamis. Meskipun seringkali dikatakanmenghasilkan produk budaya hibrid yangdinamakan Pendhalungan ternyata merekatetap menikmati kesejarahan dalam bentukpemerintahan identitas kultural etnis masing-masing. Mereka yang selama ini melang-sungkan kehidupan dalam sebuah “periukbesar” di Jember, Bondowoso, Situbondo,Probolinggo, dan Lumajang ini berhasilmengembangkan satu bentuk masyarakatmultikultural yang sangat toleran dalammenghargai perbedaan.

Orkestra multikultural dalam sebuah“periuk besar” bernama Pendhalungan inimerupakan sisi positif dari sebuah kebe-ragaman yang semestinya terus dikem-bangkan dalam kehidupan masyarakat.Komunitas Pendhalungan dengan segalakekurangannya telah memberikan contohtentang bagaimana membangun kesadaranbersama dalam masyarakat multikultural.Parsudi Suparlan mengatakan:

Dalam model multikulturalisme ini,sebuah masyarakat (termasuk jugamasyarakat bangsa seperti Indonesia)dilihat sebagai mempunyai sebuahkebudayaan yang berlaku umum dalammasyarakat tersebut yang coraknyaseperti sebuah mosaik. Di dalam mo-saik tercakup semua kebudayaan darimasyarakat-masyarakat yang lebih kecilyang membentuk terwujudnya masya-rakat yang lebih besar, yang mempunyaikebudayaan yang seperti sebuah mosaiktersebut6.

Menyitir pendapat di atas, bisa dikata-kan bahwa komunitas pendukung di wilayah

6Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural”, Makalah dalam SimposiumInternasional Bali ke-3. Denpasar, 16-21 Juli 2002.

Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural (Christanto P Rahardjo)

Page 84: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

204

kebudayaan Pendhalungan ternyata tidakhanya membuat mozaik budaya, tetapi lebihdari itu, mereka telah menghasilkan orkestramultikultural yang indah di tengah suburnyalahan pertanian dan perkebunan serta denyutnadi bisnis modern dan pendidikan yangmulai menggeliat. Masyarakat Pendha-lungan berhasil menggugurkan analisis yangdilontarkan Muhaemin el-Mahdy yangmengatakan bahwa:

Sedikitnya selama tiga dasawarsa, ke-bijakan yang sentralistis dan penga-walan yang ketat terhadap isu perbedaantelah menghilangkan kemampuanmasyarakat untuk memikirkan, mem-bicarakan dan memecahkan persoalanyang muncul dari perbedaan secaraterbuka, rasional dan damai. Kekerasanantarkelompok yang meledak secarasporadis di akhir tahun 1990-an di ber-bagai kawasan di Indonesia menun-jukkan betapa rentannya rasa keber-samaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangkaantara kelompok dan betapa rendahnyasaling pengertian antar kelompok.7

Ternyata selama puluhan bahkan ra-tusan tahun masyarakat Pendhalunganberhasil menciptakan mekanisme interaksisosial yang mampu menjaga keharmonisandalam kontestasi budaya masing-masingetnis.

SimpulanSeperti halnya sebuah orkestrasi yang

mengusung perpaduan dari permainan ber-

macam instrumen musik dalam irama har-monis, Pendhalungan bisa dikatakan sebagai‘sebuah proses yang akan terus menjadi’ ditengah-tengah keragamannya. Artinya apa-apa yang saat ini bisa dikaji dan dipahamidari wilayah kebudayaan ini adalah sesuatuyang belum mapan (established) dan akanterus menjadi sesuai dengan gerak dinamiskebudayaan etnis-etnis pendukungnya.

Berangkat dari kenyataan tersebut, adabeberapa kemungkinan yang bisa lontarkan.Pertama, bisa jadi, pada suatu ketika perpa-duan kebudayaan masing-masing etnis diwilayah ini akan menghasilkan sebuahbudaya yang ‘benar-benar baru’ sehinggaorang-orang di luar komunitas ini tidak lagiakan mengatakan Jawa Pendhalungan,Madura Pendhalungan, Tionghoa Pendha-lungan, ataupun Arab Pendhalungan, tetapibenar-benar mengatakan Kamu Pendha-lungan. Kedua, Pendhalungan akan tetapseperti sekarang ini, ada hibridasi dan adajuga atraksi kultural dari masing-masingetnisnya dengan suasana yang semakindinamis karena datangnya etnis-etnis laindari seluruh bagian Indonesia, baik karenaalasan pendidikan ataupun pekerjaan. Se-muanya bisa saja terjadi dan semuanya akanberdampak positif selagi komunitas pendu-kung menyadarinya. Yang tidak baik adalahketika periuk besar ini hancur karena sengajadipecah oleh mereka yang mengatasnama-kan kebenaran demi kepentingan politik,agama, ekonomi, ataupun perut.

7Muhaemin el-Ma’hady dalam artikelnya “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, diaksesdari http://artikel.us/muhaemin6-04.html.

Daftar Pustaka

Barker, Chris, 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. (Terjemahan Indonesia olehNurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana..

El-Mahady, Muhaemin. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, dalam http://artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses pada 15 Pebruari 2006, 11.30 WIB.

Page 85: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

205

Kusnadi. “Masyarakat “Tapal Kuda”: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik”,dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora. Vol. II/No. 2/Juli 2001. Fakultas Sastra Uni-versitas Jember.

Prawiroatmodjo, S., 1985. Bausastra Jawa-Indonesia I. Jakarta: Gunung Agung.

Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Makalah dalamSimposium Internasional Bali ke-3.Denpasar, 16-21 Juli 2002.

Sutarto, Ayu, 2004. “Pendekatan Kebudayaan: Wacana Tandingan untuk MendukungPembangunan di Provinsi Jawa Timur”, dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwana(et.all). Pendekatan Kebudayaan Dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur.Jember: Kompyawisda.

Wibisono, Bambang dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan BahasaPada Masyarakat Multilingual (Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh MasyarakatEtnik Madura di Jember)”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora.Vol. II/No.1/Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember.

Yuswadi, Harry, 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani JerukTerhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Kompyawisda.

Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural (Christanto P Rahardjo)

Page 86: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

206

PengantarPada tahun 1840 Friedrich Frobel men-

dirikan taman anak pertama kali dan diberinama Kindergarten. Di dalam taman anakini diisi beberapa macam pelajaran dan salahsatu caranya yaitu dengan memasukkanpermainan sebagai metode pendidikannya.Permainan anak diakui sebagai metode yangsangat efektif untuk mengembangkanpotensi dan kreatifitas anak. Mengapa demi-kian? Karena secara simultan permainananak tersebut bisa mengembangkan raga danjiwa anak sekaligus, yaitu antara olah raga,olah pikir, olah seni, dan olah rasa.

Keseluruhan metode pengembanganpotensi termanifestasi pada sembilan fungsipermainan anak, yaitu fungsi rekreatif,membina fisik, melatih keterampilan,melatih ketelitian, melatih keseksamaan,mengasah konsentrasi, belajar kesenian,belajar berkompetisi, serta belajar menter-jemahkan pesan-pesan moral.

Permainan merupakan kegiatan anakyang dilakukan dengan spontan dan dalamsuasana riang gembira. Jadi apabila dalamkegiatan bermain itu terasa menyenangkan,

maka anak akan terus melakukannya. Namunapabila dirasa tidak lagi menyenangkanmaka anak pun akan menghentikan per-mainan tersebut.

Berdasarkan kegiatannya, permainananak dapat dibedakan menjadi dua, yaitubermain aktif dan bermain pasif. Bermainaktif adalah jenis bermain di manakegembiraan anak muncul dari apa yangtelah dilakukan, seperti berkejar-kejaran,melukis, bermain drama, dan lain-lain.Bermain pasif adalah jenis bermain di manaanak memperoleh kegembiraan melaluiusaha yang dilakukan oleh orang lain, sepertimendengar dongeng, menonton permainanorang lain, menonton televisi, membacabuku, dan sebagainya.

Secara umum permainan anak dapatdikategorikan dalam dua kategori, yaitu per-mainan anak tradisional dan permainan anakmodern. Permainan anak tradisional meru-pakan perwujudan dari kearifan yang ditu-runkan kepada masyarakat secara turuntemurun, sedangkan permainan anak modernmerupakan hasil perkembangan teknologidan ilmu pengetahuan. Permainan anak

BI BIBI TUMBAS TIMUN, PERMAINANTRADISIONAL YANG SARAT MAKNA

Suyami

Abstrak

Permainan tradisional Bi Bibi Tumbas Timun merupakan permainan tradisionalJawa yang sarat dengan nilai dan kandungan makna. Nilai-nilai yang terkandung dalampermainan tradisional Bi Bibi Tumbas Timun antara lain: nilai kesenangan, nilai sosial,nilai seni, nilai keterampilan, nilai pengetahuan, dan nilai etika. Di samping itu,permainan ini juga mengandung makna simbolik, yaitu sebagai sarana dan wahanauntuk menanamkan nilai kehidupan, khususnya dalam rangka untuk menjadi manusiayang arif bijaksana.

Kata kunci: Permainan tradisional - Makna - Anak.

Page 87: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

207

tradisional lebih bersifat sosial, sementarapermainan anak modern lebih bersifatindividual.

Permainan anak modern dipercaya bisameningkatkan kecerdasan dan daya kreati-fitas anak. Namun karena sifatnya amatpersonal, di mana dalam bermain merekahanya berbuat sendiri, tidak berinteraksisosial dan tidak terlibat emosional denganteman-temannya, kesendirian tersebut dapatmenyebabkan perkembangan jiwa si anaktidak bisa mengerti perasaan orang lain dantidak mampu melakukan musyawarahdengan teman lainnya. Akibatnya merekamenjadi generasi yang egois, serta engganmengerti dan memahami kondisi ling-kungan. Lain halnya dengan permainantradisional. Dalam permainan tradisionalanak terlibat secara emosional dengan kawanlain, merasa saling membutuhkan, sehinggamereka akan berkembang menjadi generasiyang penuh tepa slira, bisa mengerti danmemahami perasaan orang lain. Permainantradisional memiliki pesan yang sarat bagibekal kehidupan anak-anak di masa yangakan datang, karena tingkat perkembanganmental anak pada masa kanak-kanak akanberpengaruh pada kualitas manusia di masadepan, pada saat mereka menginjak usiadewasa.

Konsep Permainan TradisionalKata “permainan” berasal dari kata

dasar “main” yang antara lain berarti‘melakukan perbuatan untuk bersenang-senang’.1 Berdasarkan pengertian tersebut,berarti suatu permainan harus bisa mencip-takan atau menimbulkan rasa senang bagipelakunya. Apabila ‘permainan’ tidak bisamemberikan kesenangan, itu tidak lagi bisadisebut sebagai ‘permainan’, melainkansudah merupakan suatu pekerjaan, yangtentu saja efeknya akan sangat berbeda.Artinya, sebuah permainan akan benar-benarberarti sebagai permainan apabila para

pelakunya melakukannya dengan senanghati, tanpa rasa tertekan atau terbebani.Sehubungan dengan hal itu, Ki HajarDewantara dalam bukunya Tentang Frobeldan Methodenya, menganjurkan adanyasyarat-syarat yang perlu dimiliki dalamsebuah permainan, khususnya permainananak yang ditujukan untuk pendidikan.Syarat-syarat untuk permainan anak tersebutadalah:

1. Permainan harus menyenangkan danmenggembirakan anak, karenakegembiraan adalah pupuk bagitumbuhnya jiwa. Sebaliknya, kesusahanakan menghambat kemajuan jiwa anak.

2. Permainan harus memberi kesempatankepada anak untuk berfantasi. Anakjangan dibebani pekerjaan yangmemaksa untuk meniru sesuatu yangtidak hidup dalam jiwanya.

3. Permainan harus mengandung semacamtantangan, sehingga merangsang dayakreatifitas untuk terus meningkatkankemampuan guna mencapai suatukemenangan atau kepuasan tertentu,karena rasa kemenangan akan sangatmemajukan kecerdasan jiwa.

4. Permainan hendaknya mengandungkeindahan atau nilai seni, karena rasakeindahan akan menarik jiwa ke arahkeluhuran budi.

5. Permainan harus mengandung isi yangdapat mendidik anak-anak ke arahketertiban, kedisiplinan, dan sportivitas,karena ketertiban akan mendidik rasakesosialan yang akan sangat bergunabagi hidupnya kelak.‘Permainan Tradisional’, perlu dipa-

hami dari asal katanya mengenai artikatanya. Kata “tradisional” berasal dari katadasar “tradisi”, yang antara lain berarti ‘adatkebiasaan turun-temurun (dari nenek mo-yang) yang masih dijalankan di masya-rakat)’. Sedangkan kata “tradisional” sendiriberarti ‘sikap dan cara berpikir, serta ber-

1 Tim Penyusun Kamus PPPB. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Yogyakarta: Balai Pustaka, 1995), hal.614.

Bi Bibi Tumbas Timun, Permainan Tradisional Yang Sarat Makna (Suyami)

Page 88: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

208

tindak yang selalu berpegang teguh padanorma dan adat kebiasaan yang ada secaraturun temurun’.2

Sehubungan dengan pengertian ter-sebut, yang dimaksud dengan permainantradisional adalah segala bentuk permainanyang sudah ada sejak jaman dahulu, dandiwariskan secara turun temurun darigenerasi ke generasi. Pada umumnya,permainan tradisional sangat susah untukdicari dari mana asal muasalnya, maupunmengenai siapa penciptanya. Biasanyapermainan tradisional yang tumbuh danberkembang dalam suatu masyarakatmencerminkan warna kebudayaan setempat.Misalnya dalam kehidupan masyarakatagraris, akan berkembang jenis-jenispermainan yang menggambarkan kehidupandalam dunia pertanian, seperti permainanAncak-ancak Alis, Bibi Tumbas Timun,Jamur-jamur Cepaki, dan lain sebagainya.Dalam kehidupan masyarakat pedagangberkembang jenis-jenis permainan yangmenggambarkan kehidupan dalam duniaperdagangan, seperti pasaran, Cublak-cublak Suweng, dan lain sebagainya. Dalamkehidupan masyarakat priyayi (bangsawan)berkembang jenis-jenis permainan yangmenggambarkan dunia kehidupan priyayi,seperti: Jaratu, Soyang, Dhakon, dansebagainya.

Nilai Budaya yang Terkandung DalamPermainan Tradisional

Permainan tradisional banyak mengan-dung nilai-nilai budaya yang sangat berman-faat bagi pengembangan jiwa anak, untukmembentuk sikap mental dan moral anak,yang akan menjadi bekal dan modal dasarbagi sikap mental dan moralnya setelahmenjadi orang dewasa. Berikut penjelasantentang nilai-nilai budaya yang terkandungdalam permainan tradisional antara lain:

1). Nilai sportivitas;2). Nilai demokratis;

3). Nilai kepemimpinan;4). Nilai ketaatan pada peraturan;5). Nilai kejujuran;6). Nilai kedisiplinan;7). Nilai ketertiban;8). Nilai kerukunan;9). Nilai kegotongroyongan dan kerja

sama;10). Nilai tanggung jawab.

Di samping banyak mengandung nilaibudaya yang luhur, permainan anak jugasangat bermanfaat bagi perkembangan jiwaanak untuk masa depannya setelah diamenjadi manusia dewasa. Permainantradisional juga sangat bermanfaat untukmembentuk jiwa dan pribadi anak padamasanya. Manfaat permainan tradisionalbagi perkembangan jiwa dan pribadi anakpada usianya adalah:

1). Memberikan rasa senang dan gembira;2). Memberikan rasa bebas;3). Meningkatkan daya kreativitas;4). Menumbuhkan rasa berteman;5). Menumbuhkan rasa kasih sayang

sesama teman;6). Menumbuhkan rasa saling membu-

tuhkan di antara sesama teman;7). Menumbuhkan rasa tanggung jawab;8). Menumbuhkan jiwa demokrasi;9). Melatih kecakapan berfikir;

10). Melatih bandel (tidak cengeng);11). Melatih keberanian;12). Melatih mengenal lingkungan;13). Dan lain sebagainya.

Jenis Permainan Anak TradisionalMenurut Ki Hadisukatno permainan

anak tradisional dapat dikelompokkan dalamlima macam:3

1. Permainan yang bersifat menirukanperbuatan orang dewasa, misalnya:pasaran, manten-mantenan, dhayoh-dhayohan, membuat rumah-rumahan,membuat pakaian boneka dari kertas,

2 Ibid., hal. 1069.3 Ki Hadisukatno. “Permainan Kanak-Kanak Sebagai Alat Pendidikan”, dalam Buku Peringatan Taman

Siswa 30 Tahun 1922 - 1952. (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1970).

Page 89: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

209

membuat wayang dari janur ataurumput-rumputan.

2. Permainan untuk mencoba kekuatandan kecakapan, misalnya: tarik menarik,bergulat, berguling-guling, kejar-kejaran, gobag sodor, gobag bunder,bengkat, benthik uncal, jethungan,genukan, obrok, dan lain sebagainya.Permainan tersebut secara tidak disadarioleh anak telah melatih kekuatan dankecakapan jasmani.

3. Permainan untuk melatih panca indra,misalnya: gatheng, dhakon, macanan,sumbar-suru, sumbar-manuk, sumbar-dulit, kubuk, adu kecik, adu kemiri, mainkelereng, jirak, bengkat, pathon,dhekepan, menggambar di tanah, mainpetak umpet, main bayang-bayangan,serang-serongan, dan lain sebagainya.Permainan tersebut secara tidak disadarisi anak ternyata termasuk latihankecakapan meraba dengan tangan,menghitung bilangan, memperkirakanjarak, menajamkan alat penglihatan danpendengaran, dan melatih keterampilantangan.

4. Permainan dengan latihan bahasa,misalnya: permainan anak denganpercakapan/cerita, permainan denganteka-teki dan tebak-tebakan, dan lainsebagainya. Dalam permainan inibiasanya anak tidak hanya terbatas padacerita-cerita atau teka-teki yang sudahlazim, melainkan mereka akan berusahamengemukakan cerita atau teka-tekibuatannya sendiri, agar tidak mudahditebak atau diketahui oleh teman-temannya. Di situ akan tumbuh keca-kapan berbahasa dan meningkatkankecerdasan anak.

5. Permainan dengan lagu dan irama,misalnya: jamuran, cublak-cublaksuweng, bibi tumbas timun, ancak-ancak alis, manuk-manuk dipanah,tokung-tokung, blarak-blarak sempal,dhemplo, dan lain sebagainya. Per-mainan tersebut secara tidak langsung

akan melatih anak dalam hal seni suaradan seni irama.

Permainan Tradisional Bi Bibi TumbasTimun

Permainan tradisional Bi Bibi TumbasTimun sangat cocok untuk anak usia dini.Menurut hasil penelitian para ahli, anak usiadini (0 – 8 tahun) merupakan masa emas(golden age), di mana pertumbuhan danperkembangan sel-sel otak dan berbagaiaspek pada anak mencapai 80 %. Selain itu,pada usia dini anak sedang mengalami masaperkembangan, baik fisik maupun psikis,sehingga anak mudah terpengaruh olehlingkungan dan peka untuk menerimarangsangan, guna mengembangkan imajinasidan kreativitas. Oleh karena itu, pada masaini perlu usaha untuk menstimulasi agar anakdapat berkembang secara optimal. Banyakupaya dapat dilakukan untuk menstimulasitumbuh kembang anak, yang salah satunyaadalah dengan permainan tradisional.

Anak usia dini adalah masa di manaanak mulai belajar bersosialisasi untukmengenal lingkungan yang sekaligusmerupakan masa awal pembentukan mentalanak, maka agar pada anak tertanam jiwasosial, permainan yang cocok adalah per-mainan yang mengutamakan kebersamaan.Bahwa anak pada usia dini tenaga fisiknyabelum begitu kuat, maka jenis permainanyang cocok adalah permainan yang tidakterlalu menuntut kekuatan fisik.

1. Cara BermainSeorang anak (A) duduk bersila. Beberapaanak yang lain berdiri berjajar bergandengantangan di depan A sambil bernyanyi danberjalan maju-mundur. Setelah nyanyianselesai, anak-anak tersebut berhenti lalududuk di depan A, lalu terjadi dialog.

A : Sampeyan sinten(kamu siapa)

Anak-anak : Kengkenane mBok Tanureja(suruhan Bu Tanureja)

A : Ajeng napa(mau apa)

Anak-anak : Ajeng tumbas timun(mau beli mentimun)

Bi Bibi Tumbas Timun, Permainan Tradisional Yang Sarat Makna (Suyami)

Page 90: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

210

A : O, timune lagi ditandur(O, mentimunnya baruditanam)

Anak-anak lalu pergi, mengulangi nyanyiandan gerakan seperti semula, setelah nyanyianselesai lalu berhenti dan duduk seperti padaakhir nyanyian pertama. Kemudian terjadidialog lagi berturut-turut seperti dialogpertama, hanya berbeda pada jawaban akhirdari A, yaitu:

- Lagi thukul (baru tumbuh)- Lagi godhong siji dipangan sapi (baru

berdaun satu sudah dimakan sapi)- Lagi godhong loro dipangan kebo (baru

berdaun dua dimakan kerbau)- Lagi kembang dipari kombang (baru

berbunga diserbu kumbang)- Lagi pentil wis padha prithil (baru bakal

buah sudah berguguran)- Saiki wis awoh, olehe akon tuku pira

(sekarang sudah berbuah, disuruh beliberapa)

Anak-anak menjawab: sigar mawon (sepa-ruh saja). Kemudian A menjawab: Ya golekadhewe, ning sing ngati-ati lho, akeh asune(Ya, carilah sendiri, tapi hati-hati karenabanyak anjing). Setelah mendapat jawaban,anak-anak bergaya seperti sedang memetikmentimun di kebun, seraya digonggongianjing (anak-anak secara bersama-samabersuara menirukan gonggongan anjing).Kemudian ada anjing yang pincang sepertihabis terkena lemparan. Melihat hal itu Amarah, lalu anak-anak disuruh mengobatianjing yang sedang kesakitan.

2. NyanyianPermainan ini diiringi dengan nyanyian BibiTumbas Timun Slendro Pt. 9 sebagai berikut:1 1 1 2 I 2 3 2 1 I 1 .Bi bi - bi tum - bas ti - mun,

2 I 3 . 1 . Idhè - dhèk - a -

5 3 4 5 I 1 4 5 3 I 4 .né mbok bi - bi Ta – nu - rê - ja mur

5 1 I 3 4 5 1 I- mêg mur -

4 4 5 1 I 3 4 5 4 I 4 4wa, un - tu - né kê-na di - pra - da, lam-

5 1 I 3 4 5 4 Ibé - né kê- na di- grén

4 1 1 1 I 1 1 4 1 I 5 5da, bi - bi bi - bi tum-bas ti - mun, si

4 4 I 3 . . 0 IIgar ma - won

3. Nilai yang terkandungNilai yang terkandung dalam permainan iniantara lain:

- Mengandung unsur kesenangan, denganmelakukan kegiatan permainan ini anakakan mendapatkan kesenangan karenabisa melepaskan emosi dan kreativitas-nya melalui aktivitas gerak dan suara.

- Mengandung unsur sosial, dalampermainan ini anak-anak akan merasasaling membutuhkan antara yang satudengan yang lain, karena mereka tidakakan bisa bermain jika hanya sendirian.Dengan begitu anak akan belajarbersikap saling menghargai sesamateman. Sikap ini akan membentukmental dan moral yang sangat mendasarbagi perkembangan kejiwaan anaksetelah mereka dewasa.

- Melatih ketrampilan motorik kasar,yaitu anak berlatih berjalan denganirama.

- Melatih anak dalam berseni irama- Melatih anak dalam berseni suara- Melatih anak untuk memahami proses

dalam sesuatu hal, dalam hal ini adalahproses dalam hal bertani, yaitu untukmenghasilkan buah mentimun.

- Melatih anak untuk mengenal unggah-ungguh bahasa (tataran dalam BahasaJawa) dalam berdialog.

Makna Simbolik Dalam PermainanTradisional Bi Bibi Tumbas Timun

Permainan tradisional Jawa diciptakanbukan sekedar sebagai pelipur lara, peng-hibur diri ataupun pengisi waktu luang. Akantetapi juga dimaksudkan sebagai sarana dan

Page 91: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

211

wahana untuk menanamkan nilai-nilaitertentu kepada anak. Begitu pula halnyadengan permainan anak Bi Bibi TumbasTimun.4

Makna simbolik dalam permainantradisional Bi Bibi Tumbas Timun dapatdigali dari makna tembangnya bahwa:

- Kata bibi adalah sebagai sebutan kepadaseseorang yang lebih tua.

- Kata tumbas (membeli) merupakanungkapan sebagai usaha untuk men-dapatkan sesuatu.

- Kata timun merupakan kata simbolis(jarwa dhosok) dari kata tinemumu(pendapatmu/pengetahuanmu).

- Kata Dhedhekane mengandung maksud‘yang diincar/diinginkan’.

- Kata Mbok Bibi Tanureja maksudnya‘orang tua yang sudah sukses dalamhidupnya’ (tanu = terhormat, reja =makmur/sejahtera). Yang dimaksud‘hidup sukses’ di sini bukan berartisukses dalam hal materi atau kedunia-wian, melainkan orang yang sudahsempurna dalam segi kerokhaniannya.

- Kata murmêg murwa merupakankependekan dari kata umure wus tumeg(usianya/hidupnya sudah puas) dan kataumure wus dawa (usianya sudahpanjang/memiliki banyak pengalamanhidup).

- Kata untune kena diprada (giginya bisadiprada/diwarnai emas) mengandungmaksud bahwa apapun yang keluar darilisannya mengandung keindahan/kebaikan.

- Kata lambene kena digrenda (bibirnyabisa dihaluskan) mengandung maksudbahwa apapun yang terucap daribibirnya selalu halus, tidak pernahberkata kasar.

- Kata Bi Bibi tumbas timun sigar mawon(Bibi membeli mentimun separuh saja),kata sigar berarti ‘membelah’. Hal inidimaksudkan sebagai ungkapan ‘mem-

buka ilmu yang semula tertutup agardibuka/dijelaskan’. Hal itu sebagaimanakita ketahui bahwa kata ‘membelah’dapat dimaknai ‘membuka untukmelihat isi dalamnya’.

Permainan tradisional Bi Bibi TumbasTimun mengandung makna simbolik, bahwaorang muda (generasi muda) hendaklahmembiasakan diri untuk bergaul danberkumpul dengan kaum tua (generasi tua),untuk menimba ilmu dan meneladanijejaknya. Hal itu karena orang tua sudahmengetahui banyak hal tentang hidup, danbahkan sudah melaluinya dengan selamat.Terutama orang tua yang sukses danberkualitas.

Ukuran orang tua yang sukses danberkualitas, bukan hanya tua berdasarkanusia, maupun sukses dalam urusan duniawiatau materi, melainkan orang yang sempurnadalam pengetahuan maupun pemikirannya.Hal itu dapat tercermin dalam tutur katanyayang berkualitas (bermanfaat) dan perilaku-nya yang halus dan tulus lahir batin.

PenutupKebudayaan adalah hasil refleksi dari

budi dan daya manusia, yang merupakanungkapan dari cipta, rasa, dan karsa. Begitupula dengan berbagai tradisi dalam kehi-dupan manusia, termasuk berbagai jenispermainan anak. Berdasarkan uraian di atas,dapat diketahui bahwa suatu jenis permainananak bukan hanya berfungsi sebagai saranauntuk mendapatkan kesenangan bagi anak,akan tetapi, juga berfungsi sebagai saranauntuk menanamkan nilai-nilai kehidupanyang sangat bermanfaat dalam pengem-bangan jiwa dan kepribadian.

Pada masa sekarang, permainantradisional sudah nyaris hilang dariperedaran. Dunia anak sudah jarang sekaliberkutat dengan permainan tradisional.Sorak sorai dan suasana ceria dari duniapermainan anak sudah tak terdengar lagi

4 K.P.A. Kusumadiningrat. Serat Rarywa Saraya. (Surakarta: Widya Pustaka, 1913).

Bi Bibi Tumbas Timun, Permainan Tradisional Yang Sarat Makna (Suyami)

Page 92: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

212

gemanya. Kita tahu, bahwa permainantradisional banyak terkandung nilai-nilaipositif yang sangat berguna bagi anak. Olehkarena itu, kita perlu menggali kembali

kekayaan budaya bangsa yang sungguh adiluhung agar tidak hilang tertelan jaman.Semoga.

Daftar Pustaka

Hadisukatno, Ki, 1970. “Permainan Kanak-kanak Sebagai Alat Pendidikan”, dalamBuku Peringatan Taman Siswa 30 Tahun 1922 – 1952. Yogyakarta: Majelis LuhurPersatuan Taman siswa.

Kusumadiningrat, K.P.A., 1913. Serat Rarywa Saraya. Surakarta: Widya Pustaka.

Tim Penyusun Kamus PPPB, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka

Page 93: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

213

PROF. DR. KOESNADI HARDJASOEMANTRI, SH, M.L. :PELESTARI BUDAYA

Hisbaron Muryantoro

Abstrak

Prof. Koesnadi adalah sosok intelektual yang sangat peduli terhadap kebudayaannyasendiri. Meski kepakarannya di bidang hukum lingkungan, tetapi ia secara terus menerusmensosialisasikan keberadaan kebudayaan Indonesia pada umumnya dan seni tradisikhususnya seperti Pencak Silat dan obat-obatan tradisional. Bahkan mengenai pencaksilat dan obat-obatan tradisional dikajinya secara ilmiah lewat lembaga-lembagapenelitian yang ada di UGM. Benda-benda budaya yang berada di luar negeri telahdapat dikembalikan ke tanah air. Berkat usahanya ketika ia menjadi Atase Kebudayaandi Negeri Belanda

Sebelum Prof. Koesnadi meninggal dunia, ia berpesan bahwa sudah saatnya paraahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memperhatikan keberadaan kebudayaan Indonesia,khususnya seni pertunjukan tradisional. Ia memperkenalkan wayang kulit pada generasimuda, khususnya para mahasiswa. Dalam bidang olahraga seperti pencak silat danpengkajian tentang obat-obatan tradisional. Sudah barang tentu gerak langkah danaktivitas Prof. Koesnadi perlu diteladani.

Kata kunci: Koesnadi - Budayawan.

Lingkungan KeluargaKoesnadi Hardjasoemantri dilahirkan

pada tanggal 9 Desember 1926 di Manon-jaya Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia merupakananak tertua di antara lima bersaudara daripasangan Gaos Hardjasoemantri dan Hj.R.E. Basriah.1 Pada mulanya ayahnya men-jadi pegawai pamong praja di masa peme-rintahan kolonial Belanda hingga akhirnyadiangkat sebagai jaksa. Seringkali Koesnadidiajak oleh ayahnya untuk ikut serta kekantor dan dikenalkan dengan rekan-rekanayahnya. Semenjak itu ia bercita-cita inginmenjadi seorang jaksa seperti ayahnya.Keinginan itu diwujudkan dengan masukkuliah di Fakultas Hukum.

Dalam struktur masyarakat kolonialayahnya termasuk golongan elite pribumi.Kakeknya merupakan pemuka masyarakatyang pernah menjabat sebagai anggotaDewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedang-kan dari garis keturunan ibu, kakeknyamerupakan ulama yang disegani. Keduafaktor inilah yang kemudian membentukpribadi Koesnadi sebagai seorang intelektualsekaligus individu yang sangat taat ber-ibadah.

Menurut pengakuannya ayahnya yangmemberikan teladan kejujuran dan bekerjakeras. Sedang dari ibunya ia dibesarkandengan kasih sayang.2 Sewaktu kecil iamenggemari olahraga sepakbola, kasti dan

1 Wawancara dengan Prof. Koesnadi Hardjasoemantri di rumahnya pada tanggal 17 Agustus 1997.2 Koesnadi Hardjasoemantri. “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan

Hidup”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM. 15 April 1985, hal. 30.

Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya (Hisbaron Muryantoro)

Page 94: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

214

pencak silat. Selain itu ia juga diperkenalkanoleh ayahnya dengan kesenian Sundakhususnya seni tari. Menurutnya ia belajartari Sunda sebelum masuk sekolah dan diajaroleh guru tari kondang asal Cirebon.3 Padawaktu itu ia menarikan tari Gatotkaca dantari topeng. Baginya kesenian itu sangatmemberi kesan sampai sekarang dan semasakuliah ia pernah ditunjuk menjadi KetuaBadan Kerjasama Mahasiswa se Indonesia.Dengan penunjukan itu menjadi bukti bahwaia memiliki landasan kuat dalamberkesenian. Selain itu ia juga berupayamengembangkan pencak silat sampai keEropa dan pernah pula ditunjuk menjadianggota Dewan Pembina IPSI Pusat.

Pada tahun 1957 Koesnadi mengakhirimasa lajangnya dengan mempersuntingToeti Rahajoe yang merupakan temansemasa kuliah di Fakultas Hukum Univer-sitas Gadjah Mada. Dari perkawinannya iadikaruniai dua orang anak yang diberi namaIka Koesnadi dan Ira Koesnadi. Namun ditengah masa pengabdiannya kepada bangsadan negaranya ia harus kehilangan istritercintanya, sudah barang tentu kepedihanitu sangat membekas dalam hatinya. Sebagaiseorang yang berpikir rasional danmempunyai berbagai jabatan, maka ia tidakingin terus larut dalam kesedihan. Atas saranrekan serta anak-anaknya akhirnya ia me-nikahi Nina Sutarinah sebagai pendampinghidupnya yang pernah bekerja di KBRIBelanda. Menjelang 1000 hari wafat istripertamanya ia mengatakan kepada NinaSutarinah, “ …saya dibantulah membesar-kan anak-anaknya begitu…”4. Akhirnyakeluarga itupun bahagia hingga sekarang.

PendidikanPada awal abad XX tugas pokok Peme-

rintah Hindia Belanda di lapangan pendi-dikan adalah memberi pengajaran rendah

kepada bangsa Indonesia sesuai dengankebutuhannya.5 Pada tahun 1907 atasperintah Gubernur Jenderal Van Heutz di-dirikanlah Sekolah Desa untuk memberantasbuta huruf, di samping mencari tenaga kerjayang sedikit terdidik dan murah. Pendidikandalam arti sebenarnya tidak diberikankecuali membaca, menulis dan menghitungyang berlangsung selama tiga tahun. Adapunyang menjadi murid di Sekolah Desa hanyaanak-anak desa, sedangkan anak-anakpriyayi atau bangsawan tidak mau masukSekolah Desa karena dipandang mutupendidikannya rendah. Pada tahun yangsama, berdiri Sekolah Eerste InlandscheSchool (Sekolah Bumi Putera Kelas Satu)yang diberi pelajaran bahasa Belanda, sejakkelas tiga hingga kelas lima dan kemudianmasa belajar dijadikan enam tahun denganpengantar bahasa Belanda untuk kelas enam.Pada tahun 1911 masa belajar di EersteInlandsche School berubah menjadi tujuhtahun dan sejak tahun 1914 sekolah inidiubah menjadi Holland Inlandsche School(HIS) dan merupakan bagian pengajaranrendah barat.6

Di samping HIS masih terdapat pendi-dikan Eropa lainnya yaitu EuropeescheSchool (ELS) yang diperuntukkan khususorang-orang Eropa dan orang-orang yangkedudukannya disamakan dengan orang-orang Eropa. Berdasarkan ketentuan peme-rintah (Statblad 1914 No. 359) ada empatdasar penilaian yang memungkinkan anak-anak mereka bersekolah di HIS yaituketurunan, jabatan, kekayaan, dan pendi-dikan. Oleh sebab itu seseorang yang me-miliki keturunan bangsawan tradisionalmempunyai hak untuk memasuki HIS.Demikian pula seseorang yang mempunyaijabatan dalam pemerintahan seperti wedana,demang dan asisten demang. Di sampingpendidikan Barat yang pernah diterima si

3 Wawancara dengan Prof. Koesnadi di rumahnya tanggal 17 Agustus 1997.4 Wawancara dengan Ibu Koesnadi di rumahnya tanggal 29 September 1997.5 Sartono Kartodirdjo, dkk. Sejarah Nasional V. (Jakarta : Balai Pustaka, 1977), hal. 146.6 Wawancara dengan Prof. Koesnadi tanggal 17 Agustus 1997.

Page 95: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

215

orang tua paling sedikit Meer UitgebreidLager Onderwijs (MULO) atau yangsetingkat dan berpenghasilan rata-rata 100gulden sebulan, mempunyai hak untukmemasukkan anaknya ke HIS.7

Dengan adanya peraturan seperti itumemungkinkan Koesnadi yang ayahnyabekerja sebagai Asisten Wedana di salah satuwilayah Kabupaten Bandung dapatmengenyam pendidikan di HIS. Ia dimasuk-kan ayahnya ke HIS yang digunakan untuklatihan para calon guru atau Kweek School.Sedang HIS nya dinamakan Tweede HIS(HIS Banjarsari) yang di kalangan priyayiPriangan sekolah ini sangat digemari,sehingga dapat disebut sebagai SekolahMenak sebab hampir sebagian besar anak-anak priyayi masuk sekolah itu.8

Koesnadi lulus dari HIS Banjarsari padatahun 1940.9 Namun sebelum lulus dari HISBanjarsari ia sempat sekolah di Jakartaketika ayahnya mendapat tugas di sana.Mula-mula ia dimasukkan ke SekolahKristen. Setelah naik kelas III dipindahkanke Sekolah Muhammadiyah. Kemudian naikkelas IV dimasukkan ke Sekolah Katholik.Setelah menamatkan sekolah di HISkemudian ia melanjutkan studi di HBS,tetapi baru duduk di kelas II sekolah itudibubarkan, sebab sejak tanggal 8 Maret1942 terjadi peralihan kekuasaan ke tanganBala Tentara Jepang. Hal ini menyebabkanperubahan pada sendi-sendi kehidupan ma-syarakat termasuk sistem pendidikan yangditerapkan.

Situasi ini mengubah pola pendidikanKoesnadi, kemudian ia melanjutkan pen-didikan di SMP II Manggarai dan lulus padatahun 1944.10 Setamat SMP ia kemudianmeneruskan ke SMT dan lulus pada tahun

1947. Akhirnya ia melanjutkan ke perguruantinggi dan menyelesaikan studinya diFakultas Hukum tahun 1964.11

Di sela-sela kesibukannya menjadipegawai ia sempat mendapat tugas belajarke luar negeri dan menggondol gelar Masterof Law yang diraihnya pada tahun 1981.12

Pada tahun itu juga ia berhasil menggondolgelar Doktor dari Universitas Leiden Neder-land. Setelah itu ia dikukuhkan menjadi gurubesar di almamaternya sendiri FakultasHukum Universitas Gadjah Mada. Beliaumengucapkan pidato pengukuhannya dimuka Rapat Senat terbuka pada tanggal 15April 1985 yang berjudul “Aspek HukumPeran Serta Masyarakat Dalam PengelolaanLingkungan Hidup”. Di bidang Ilmu HukumLingkungan inilah Koesnadi mengukirprestasi intelektualnya di dunia pendidikantinggi Indonesia.

Pelestari dan Pecinta BudayaSetelah menyelesaikan studinya di

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,ia mulai bekerja pada Departemen Pen-didikan dan Kebudayaan sebagai KepalaBiro Hubungan Departemen PTIP (1964-1967). Kemudian karirnya semakin me-nanjak dan sejumlah jabatan penting terusdiembannya. Pada tahun 1974 ia diangkatmenjadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan,KBRI Den Haag, Nederland. Selama men-jadi Atase itu ia telah menyumbangkantenaga dan pikirannya bagi bangsa dannegara. Selain memperkenalkan budayaIndonesia di luar negeri, khususnya di negeriBelanda ia telah dapat pula mengembalikanbenda-benda purbakala ke Indonesia. Diantaranya pengembalian koleksi fosil yangberasal dari Timor dan Flores. Serah terima

7 Ibid.8 Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.9 Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.10 Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.11 Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.12 Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.

Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya (Hisbaron Muryantoro)

Page 96: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

216

benda cagar budaya itu dilakukan padatanggal 24 Maret 1976.13 Selain itu telahdisepakati pula adanya penyerahan timbalbalik microfilm antara Lembaga ArsipNasional Republik Indonesia dan AlgemeenRijksarchief yang dilakukan pada tanggal 25Maret 1976 di KBRI Den Haag. PihakIndonesia menyerahkan 20 reels microfilmmengenai Doopboeken dari berbagai gerejadalam periode 1623-1864 yang terdapatdalam “Batavia Burggerlijke StandsRegisters”. Sedangkan pihak Belandamenyerahkan microfilm melalui kedutaan-nya di Jakarta berupa microfilm mengenai“Memories Van Overgave” dan “PoliticheVerslagen” dari permulaan abad XX se-banyak 94 reels. Sedang pihak Indonesiamenyerahkan microfilm mengenai“Daghregisters Gekonden in’t KasteelBatavia” dari tahun 1640-1807 sebanyak 63reels.14

Selama menjabat sebagai AtaseKebudayaan Prof. Koesnadi telah dapatmengusahakan pengembalian benda-bendabudaya ke Indonesia dalam tujuh gelom-bang. Di antaranya patung Prajnaparamita(Ken Dedes), lukisan Raden Saleh danPenangkapan Pangeran Diponegoro.15 Selainitu juga memperkenalkan budaya Indonesiayang berupa kesenian daerah pencak silathingga ke Eropa.

Upaya lain yang dilakukan Prof.Koesnadi sebagai pecinta dan pelestaribudaya di antaranya:

a. Menumbuhkan Pusat Penelitian ObatTradisional yang dilengkapi denganperalatan canggih di laboratoriumbeserta perangkat lunak yang memadaiberupa kemampuan akademik tenagapeneliti/pengajar. Sesuai dengan SKRektor No. UGM/ 191/7356/UM/01/37tertanggal 1 Desember 1987 telah di-

bentuk Pusat Penelitian Obat Tradi-sional UGM disingkat PPOT UGM,sebagai pusat yang berstatus nonstruktural di bawah koordinasi LembagaPenelitian UGM. PPOT-UGM mem-punyai tugas melaksanakan pengkajiandan penelitian semua aspek obattradisional termasuk pengobatan tradi-sional.16

b. Membangun Wanagama yang terletak diKabupaten Gunung Kidul dengan luas+ 600 Ha sebagai hutan pendidikanlingkungan sekaligus hutan konservasiyang lebat, sehingga ikut berperandalam upaya penyelamatan lingkunganhidup yang digalakkan oleh negara-negara di dunia.

c. Laboratorium Pencak SilatDalam seminar yang diadakan oleh PBIkatan Pencak Silat Indonesia (IPSI)pada tanggal 25 November 1986 telahpula dibicarakan peranan perguruantinggi di dalam mengembangkan pencaksilat. Laboratorium tersebut bertujuan:- menganalisis gerakan-gerakan

pencak silat secara ilmiah.- mendokumentasikan seluruh

gerakan pencak silat yang ada diIndonesia.

- menyusun pembakuan gerakanpencak silat.

- menyusun pembakuan nomenklaturpencak silat.

- menyusun buku tentang pendidikandan pertandingan pencak silat.

- melaksanakan tugas-tugas lain yangdipandang perlu.

Pada tanggal 24 Januari 1989 telahditandatangani perjanjian kerjasamaantara IPSI dan UGM tentang Labo-ratorium Pencak Silat yang disaksikanMenpora Akbar Tanjung dan KONI

13 Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.14 Ibid.15 Ibid.16 Wawancara dengan Prof Koesnadi di rumahnya tanggal 15 Januari 1998.

Page 97: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

217

Pusat. Pendirian gedung LaboratoriumPencak Silat UGM-IPSI dilaksanakanpada tanggal 2 Februari 1990.17

d. Memelihara serta melestarikan Panca-sila sebagai ideologi dan dasar negarayang digali dari akar budaya bangsaIndonesia. Menurut Prof. Koesnadi,Pancasila dalam pelaksanaannya perluuntuk terus menerus dikaji ulang danbukan untuk dikeramatkan. Hal iniberarti bahwa perlu adanya revolusiparadigma yaitu merubah pola berpikirdan sistem yang sekarang diterapkan.

e. Memperjuangkan hasil karya batik diforum internasional untuk mendapatkanhak paten dan diakui secara inter-nasional bahwa batik merupakan hasilkarya bangsa Indonesia.Selain itu ia juga memperkenalkan

kesenian tradisional kepada para mahasiswaUGM. Di antaranya berupa pergelaranwayang kulit semalam suntuk yangkeseluruhannya dilaksanakan oleh paramahasiswa sendiri.18 Melalui aktivitas itudiharapkan dapat menumbuhkan rasamencintai di kalangan generasi mudakhususnya bagi para mahasiswa.

Selain sebagai sosok seorang pakarhukum lingkungan, ia juga menjadi sosokmanusia Indonesia yang sangat mencintaikebudayaan sendiri dengan tekad untuk terusberupaya dalam mensosialisasikannya ditengah kehidupan masyarakat. Oleh sebabitu, tidaklah mengherankan jika ia dipercayauntuk duduk sebagai Dewan PenasehatPerkumpulan Kesenian “Irama Citra” se-buah kelompok kesenian yang mengkader,melatih, mengkursus dan memberi pelajarankesenian tradisional khususnya mendidiktari-tari tradisional Jawa kepada generasimuda.19

Sedangkan sumbangan pemikirannyadalam bidang kebudayaan banyak tertuang

lewat beberapa makalahnya antara lain yangberjudul “Wawasan KeanekaragamanLingkungan Budaya Memperkokoh Jati DiriBangsa” yang disampaikan dalam ceramahpada Pembinaan/Penyuluhan KebudayaanDaerah. Inti persoalan ceramah yangdisampaikan Prof. Koesnadi yaitu meng-ingatkan kepada para peserta pembinaankhususnya dan masyarakat pada umumnyauntuk tetap memperkokoh jati diri bangsaIndonesia. Menurut Prof. Koesnadi bahwabudaya itu bersifat dinamis sehingga pe-ngaruh dan perubahan suatu budaya tidakbisa dihindari lagi. Namun yang terpentingdalam perubahan-perubahan itu hendaknyanilai-nilai luhur bangsa yang menampakkanjati diri bangsa harus tetap dipertahankan.Jati diri bangsa tersebut telah tercermindalam Pancasila yang merupakan pandanganhidup dan filsafat bangsa Indonesia.Ceramah lain yang juga tidak kalah menarikberjudul “Peranan Hukum Dalam Peles-tarian Budaya”, yang diselenggarakan padabulan Juli 1997 oleh Lembaga JavanologiYayasan Panunggalan Yogyakarta. Pokok-pokok ceramahnya itu berisi tentangUndang-undang No. 4 tahun 1982 yangberisi ketentuan-ketentuan Pokok Penge-lolaan Lingkungan Hidup dan penjabaran-nya yang diundangkan pada tanggal 11Maret 1982.

Di kalangan para koleganya, salah satudi antaranya Dr. Maria SW. Soemardjono,SH, MCL, MPA yang pada waktu itumenjabat sebagai Dekan Fakultas HukumUGM mengatakan bahwa :

“Pak Koesnadi yang saya kenal adalahpribadi yang sangat mengesankan. Sayasering menyamakan Pak Koesnadisebagai Semar. Dalam arti beliau ituuntuk seorang kecil atau mahasiswanyabeliau itu membimbing sifatnya, tetapipada saat tertentu beliau itu sebagai

17 Wawancara dengan Prof Koesnadi di rumahnya tanggal 15 Januari 1998.18 Prof. Koesnadi Hardjasoemantri. Memorandum Akhir Jabatan Rektor Masa Bhakti Tahun 1986-1990.

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hal. 23.19 Wawancara dengan Supadiman tanggal 20 Maret 2007.

Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya (Hisbaron Muryantoro)

Page 98: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

218

Semar juga bisa bergaul dengan atasanatau dengan orang-orang yang sedangberada di puncak kekuasaan. Pada saatdiperlukan beliau juga dapat memberi-kan nasehat-nasehatnya secara bijak-sana. Jadi Pak Koes adalah pribadi yangmenyeluruh yang dapat bergaul baikdengan kalangan muda, kalangan tuayang berpangkat maupun orang-orangkecil dan kepeduliannya pada ling-kungan memang sangat istimewa”.20

Mengenai julukannya sebagai tokohSemar Prof. Koesnadi mengatakan bahwa :

“…saya pertama kali dianggap sebagaiSemar adalah pada waktu ada di negeriBelanda. Pada waktu itu saya masihingat ada perpisahan dengan para GuruBesar Belanda. Teman-teman guru besardi Universitas Leiden atau universitaslain, dan mereka mengatakan bahwaSemar diberikan kepada saya karenamereka menganggap saya ini yangmengayomi mereka dan menegurmereka. Dan menurut mereka di pewa-yangan yang berfungsi seperti itu adalahSemar katanya. Jadi saya merasa sangatterhormat karena teman-teman itumengerti benar mengenai keadaanpewayangan khususnya yang ahliIndonesia. Tetapi kemudian dibisikkankepada saya tolong nanti wayang itudikembalikan, karena mereka pinjamdari museum katanya. Jadi dengansendirinya saya mengembalikan itu,tetapi sesuatu yang bagi saya sangatpenting maknanya. Kemudian padawaktu saya selesai sebagai Guru Besartetap. Pada waktu saya selesai menyam-paikan pidato akhir jabatan, Ibu MariaSoemardjono yaitu Dekan FakultasHukum UGM juga menyerahkan padasaya wayang Semar itu. Beliaumengatakan bahwa mereka tahu sayasering menegur para pejabat tinggi dansebagainya dan memang sebenarnya

bagi saya kalau ada sesuatu ya ditegur,tetapi saya selalu mengemukakan saran-saran saya. Dengan demikian memangbentuk badan saya mendekati Semarbegitulah, tetapi yang lebih bermaknalagi rupa-rupanya mereka anggap sayasebagai seorang yang dapat memberikanapa namanya itu, entah pengayoman,saran-saran yang rupa-rupanya inimerupakan suatu kehormatan bagi dirisaya….”.21

Rupanya julukan itu bagi Prof.Koesnadi sangat membanggakan. Seba-gaimana diakui bahwa memang bentukbadannya mendekati Semar pendek dantambun. Sedang dalam dunia pewayanganSemar merupakan simbol dewa ngejawantahyang artinya keagungan yang diwujudkandalam kesederhanaan. Selain itu Semar jugamerupakan simbol pamomong, penuntun kejalan kebaikan dan kebenaran yang hakikidan universal milik siapapun, dan julukanitu memang sangatlah tepat. Kiprah Prof.Koesnadi dalam dunia kebudayaan sudahtidak diragukan lagi.

PenutupSebagai penutup untuk mengakhiri

tulisan ini, maka dapatlah dikatakan bahwaProf. Koesnadi sebagai seorang pelestaribudaya, kiprahnya dalam dunia kebudayaanantara lain memperkenalkan kebudayaanIndonesia keluar negeri seperti pencak silatdan pertunjukan tradisional. Selain itukebudayaan bangsa Indonesia juga diperke-nalkan pada generasi muda seperti pertun-jukan wayang kulit. Bahkan dunia kampusjuga diharapkan dapat mengkaji produk-produk kebudayaan Indonesia secara ilmiahseperti adanya Laboratorium Pencak Silat,penelitian dan pengkajian mengenai obat-obat tradisional. Dengan demikian, maka halini menunjukkan bahwa Prof. Koesnadibenar-benar mencintai budayanya sendiri.

20 Wawancara TVRI dengan Prof. Adnan tanggal 24 Mei 1997.21 Ibid

Page 99: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

219

Dalam suatu kesempatan ketika di-wawancarai oleh TVRI seusai SeminarKebudayaan di UGM, ia mengatakan bahwa:

“ Sudah saatnya sekarang ini para pakardari berbagai disiplin ilmu untuk secaraterus-menerus menyumbangkan pemi-kirannya demi tumbuh dan berkem-bangnya kesenian tradisional…”.

Namun sayang kini Prof. Koesnadi telahpergi untuk selama-lamanya. Meskipundemikian aktivitasnya dalam dunia kebu-dayaan dapat diteladani khususnya bagigenerasi muda.

Daftar Pustaka

Koesnadi Hardjasoemantri. “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam PengelolaanLingkungan Hidup”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas HukumUGM. 15 April 1985.

Koesnadi Hardjasoemantri, 1990. Memorandum Akhir Jabatan Rektor Masa BhaktiTahun 1986-1990. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sartono Kartodirdjo, dkk., 1977. Sejarah Nasional V. Jakarta: Balai Pustaka.

Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.

Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya (Hisbaron Muryantoro)

Page 100: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

220

BIODATA PENULIS

ERNAWATI PURWANINGSIH, lahir di Yogyakarta 21 Agustus 1971. Memperoleh gelarS.Si Jurusan Geografi Manusia, Fakultas Geografi, UGM (1996). Sejak tahun 1997 sebagaipeneliti di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, sebagai Asisten PenelitiMadya, bidang Sejarah dan Nilai Tradisional. Seringkali mengikuti kegiatan seminar,penelitian, diskusi. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain: Strategi AdaptasiPetani di Kulon Progo (2004); Aktivitas Penambangan Breksi Batu Apung di Desa Sambirejo,Prambanan (2005); Aktivitas Budidaya Udang di Tambak: Sebagai Alternatif Bagi PetaniDesa Karanganyar (2005); Budaya Spiritual Petilasan Parangkusuma dan Sekitarnya(2003), dan sebagainya.

ISYANTI, lahir di Yogyakarta tahun 1955, Sarjana Geografi UGM tahun 1982. Sejak tahun1982 hingga sekarang berstatus sebagai PNS di Balai Kajian Sejarah dan Nilai TradisionalYogyakarta. Sebagai peneliti sering melakukan penelitian yang berkaitan dengan bidangkeilmuannya dan aktif pula mengikuti berbagai seminar kebudayaan. Beberapa hasilpenelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan antara lain: Kehidupan Sosial Budayapada Masyarakat Padat Penduduk di Desa Pucungrejo Kecamatan Muntilan Kab. Dati IIMagelang Jawa Tengah; Samiran Salah Satu Desa Menarik di Jalur SOSEBO KabupatenBoyolali; Perkawinan Antar Etnik Jawa dan Minang; Toponimi Bekas Kasunanan Surakartadi Jawa Tengah; Peranan Media Massa Lokal Bagi Pengembangan Kebudayaan Daerah;Kesadaran Budaya Tentang Ruang Pada masyarakat Di DIY (Suatu Studi Mengenai ProsesAdaptasi); Dampak Masuknya Media Komunikasi Terhadap Kehidupan MasyarakatPedesaan DIY; Sistem Pengetahuan Kerajinan Tradisional Tenun Gedog Tuban PropinsiJawa Timur; Tata Krama Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Sleman DIY.

SUMINTARSIH, memperoleh gelar Sarjana Antropologi, dari UGM tahun 1983, danMagister Humaniora Antropologi UGM pada tahun 1998. Pernah bekerja sebagai penelitidi Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) UGM pada tahun 1974 – 1982. Sejak tahun 1983menjadi PNS di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, hingga sekarang.Hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan oleh Balai Kajian Sejarah dan NilaiTradisional antara lain: Strategi Adaptasi Penduduk Rawapening; Perajin Batik Wukirsari,Imogiri; Wanita Perajin Tenun Gedog, Tuban; Eksistensi Perajin Tenun Kulon Progo;Sumbang Menyumbang di Lingkungan Masyarakat Perajin Akik Pacitan; SistemPengetahuan Aktifitas Nelayan Bonang; Strategi Adaptasi Masyarakat di Daerah RawanPenggenangan di Daerah Demak; Aspirasi di Lingkungan Generasi Muda Pedesaan. Selainitu beberapa hasil penelitian yang telah diterbitkan oleh penerbit profesional antara lain:Khasanah Budaya Lokal (Adicita, 2000) dan Ekonomi Moral, Rasional dan Politik DalamIndustri Kecil di Jawa: Esai-Esai Antropologi Ekonomi (Keppel Press, 2003).

ISNI HERAWATI, lahir di Sleman 7 Agustus 1955, Sarjana Antropologi UGM tahun 1982.Sejak tahun 1983 sampai sekarang bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Kajian Sejarahdan Nilai Tradisional Yogyakarta. Sebagai peneliti, seringkali mengikuti kegiatan seminar,penelitian dan diskusi. Sebagai Peneliti Madya ia banyak melakukan penelitian: Sistem

Page 101: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

221

Teknologi Masyarakat Nelayan di Wonokerto, Pekalongan (1994/1995); NelayanRawapening: Studi Kasus Pencari Ikan (1997/1998); Perubahan Pemanfaatan LahanTegalan: Kasus Desa Pagerharjo, Samigaluh (1998/1999); Sistem Teknologi TradisionalPetani Tembakau Temanggung (1999/2000); Sistem Pengetahuan Kerajinan TradisionalTenun Gedhog Tuban, Jawa Timur (2000); Petani Bunga: Kasus Desa Kenteng, Ambarawa(2002); Kerajinan Agel di Desa Salamrejo, Kulon Progo (2002); Petani Garam Kalianget:Teknologi dan Distribusi (2003); Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan Jepara, Jawa Tengah(2005); Batu Akik Pacitan: Teknologi dan Fungsinya (2005); Rokok Kretek: Pekerja Wanita,Teknologi dan Strategi Kerja (2006).

TITI MUMFANGATI, lahir di Kulonprogo, 13 April 1965, Sarjana Sastra Jurusan SastraNusantara, UGM, lulus tahun 1990. Bekerja sebagai staf peneliti Balai Kajian Sejarah danNilai Tradisional Yogyakarta sejak tahun 1992. Sebagai peneliti aktif melakukan penelitianyang berkaitan dengan kebudayaan. Beberaapa hasil penelitian mandiri yang telah diterbitkandalam Patra-Widya antara lain: Serat Purwakasurti: Kedudukan dan Fungsinya dalamrangka Transformasi Nilai Didaktik di Kalangan Sastra Jawa; Unsur Tapa Dalam SeratSuryaraja: Suatu Kajian Aspek Filsafat Kejawen; Kajian Nilai Budaya Dalam SeratJayengbaya; Pengaruh Mitos Ki Mentotruno (Mentakuwoso) Bagi MasyarakatPendukungnya; Kajian Nilai Budaya Tentang Upacara Grebeg Ngenep. Hasil penelitiantim yang sudah diterbitkan antara lain : Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa dalam SeratSuryaraja (1997); Serat Tajusalatin: Suatu Kajian Filsafat dan Budaya (1997/1998); TradisiKehidupan Sastra di Kasultanan Yogyakarta; Geguritan Tradisional Dalam Sastra Jawa(2002); Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah(2004).

ENDAH SUSILANTINI, lahir di Yogyakarta 25 Juni 1953. Sarjana Sastra Nusantara (Jawa)dari Fakultas Sastra – UGM (1984). Sejak tahun 1983 bekerja sebagai peneliti di BalaiKajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, terutama menekuni naskah kuna. SebagaiPeneliti Madya, ia aktif di berbagai kegiatan ilmiah seperti penelitian, seminar dan diskusisastra. Beberapa karya ilmiah yang telah dihasilkan antara lain: Refleksi Nilai-Nilai BudayaJawa Dalam Serat Suryaraja (1996/1997); Kajian Tasawuf Dalam Serat Jaka Salewah(1998); Wirid Hidayatjati Suatu Kajian Filosofis (2002); Kajian Nilai Budaya Dalam SeratJoharmukin (2003); Kajian Aspek Dikdatis Filosofis Dalam Suluk Sujinah (2004); SeratKadis Mikraj Kanjeng Nabi Muhammad Kartanneya Dengan Peringatan Isra’Miraj KratonKasultanan Yogyakarta (2005); Serat Dzikir Maulud: Kajian Aspek Keagamaan dan TradisiMasyarakat (2006).

EMILIANA SADILAH, Sarjana Geografi dari Fakultas Geografi UGM (1978). Sejak tahun1989 mengabdi di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Sebagai Penelitiseringkali mengikuti seminar, penelitian serta diskusi. Sebagai Peneliti Madya, ia banyakmelakukan penelitian terutama tentang geografi manusia antara lain: Pengembangan SumberDaya Manusia, Studi Tentang Strategi Masyarakat di Desa Palbapang Bantul (1994/95);Migrasi Sirkuler Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi Lingkungan, Studi Kasus Migran AsalGunung Kidul di Kodya Yogyakarta (1995); Hubungan Antar Etnik, Studi Kasus Mahasiswadi Desa Caturtunggal Sleman (1996); Konsep Ruang Pada Masyarakat Pendatang di DIY(1998); Masyarakat Petani Garam di Kalianget, Sumenep (!999); Konsep Tata Ruang RumahTinggal Masyarakat Padat Penduduk di Magelang, Jateng (2000); Adaptasi Petani diDaerah Rawan Ekologi di Kecamatan Sayung, Demak (2001); Pemberdayaan Alam di

Biodata Penulis

Page 102: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605

222

Kampung Nelayan Kecamatan Bonang, Demak (2002); Profil Pekerja Wanita BuruhPelinting Rokok di Kudus (2003); Kinerja Program Pemerintah Desa di Era Otoda, DIY(2004); Partisipasi Masyarakat di Daerah Perbatasan di Pacitan (2005).

SITI MUNAWAROH, lahir di Bantul 26 April 1961. Sarjana Geografi Manusia, UGM tahun1991. Sejak tahun 1992 berstatus sebagai PNS, di Balai Kajian Sejarah dan Nilai TradisionalYogyakarta. Sebagai peneliti sering melakukan penelitian yang berkaitan dengan bidangkeilmuannya. Aktif mengikuti berbagai seminar kebudayaan. Beberapa hasil penelitian yangtelah dipublikasikan antara lain: Kehidupan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat PembuatGula Jawa di Desa Karangtengah Imogiri (1993/1004); Pergeseran Tatanan TradisionalSebagai Akibat Modernisasi di Desa Palbapang Bantul (1994/1995); Pengaruh ProgramIDT Terhadap Kehidupan Rumah Tangga di Desa Girirejo, Imogiri (1996/1997); ManifestasiGotongroyong Pada Masyarakat Tengger (2000); Masyarakat Using di Banyuwangi StudiTentang Kehidupan Sosial Budaya (2001); Masyarakat Cina: Studi Tentang Interaksi SosialBudaya di Surabaya (2002).

HISBARON MURYANTORO, lahir di Yogyakarta 8 Juni 1954, Sarjana Sejarah padaFakultas Sastra UGM lulus tahun 1985. Sejak Tahun 1986 sebagai PNS pada Balai KajianSejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, jabatan saat ini sebagai Peneliti Madya. Sebagaiseorang peneliti aktif mengikuti diskusi maupun seminar kesejarahan serta melakukanpenelitian baik melalui instansi maupun secara mandiri. Beberapa hasil penelitian yangditerbitkan antara lain: Peranan Kyai Pada Masa Revolusi 1945 – 1949; BanjarnegaraPada Masa Pendudukan Jepang 1942 – 1945; Klaten Pada Masa Revolusi 1945 – 1949;Pabrik Gula Colomadu; Kerusuhan Sosial di Madura; Kerusuhan Sosial di Pekalongan,dan lain sebagainya.

DWI RATNA NURHAJARINI, lahir di Yogyakarta 1966, Sarjana Sejarah UGM, memperolehgelar Magister Humaniora Ilmu Sejarah UGM tahun 2003. Sebagai Staf Peneliti di BalaiKajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, aktif melakukan penelitian kesejarahanserta duduk sebagai sekretaris I di dalam organisasi profesi kesejarahan MasyarakatSejarahwan Indonesia (MSI) cabang Yogyakarta tahun 2006 – 2010. Hasil karya yang telahditerbitkan antara lain: ORI, Peranannya Dalam Perjuangan Bangsa (1946 – 1950); SaneringUang Tahun 1950: Studi Kasus “Gunting Syafrudin” Akibatnya Dalam Bidang SosialEkonomi di Indonesia (1997/1998); Peranan Masyarakat Sumbertirto Pada MasaPerjuangan Kemerdekaan 1948 – 1949 (1998/1999); Pertanian dan Ekonomi Petani: StudiEkonomi Pedesaan di Yogyakarta 1920 -1935 (1999/2000); Dinamika Industri BatikPekalongan 1930 -1970 (2001); Diversifikasi Pakaian Perempuan: Studi Tentang PerubahanSosial di Yogyakarta 1940 – 1950 (2002); Batik Belanda: Wanita Indo Belanda dan Bisnis“Malam” di Pekalongan 1900 – 1942 (2003); Petani Versus Perkebunan Pada MasaReorganisasi Agraria: Studi Kasus di Klaten (2004)

SUWARNO, lahir di Bantul 22 Juni 1956, Sarjana Arkeologi UGM, lulus tahun 1992.Sejak tahun 1986 hingga sekarang menjadi PNS di Balai Kajian Sejarah dan Nilai TradisionalYogyakarta. Sebagai seorang peneliti, banyak melakukan penelitian di bidang keilmuannya,baik secara mandiri maupun dengan tim. Selain itu juga sering mengikuti seminar dandiskusi yang berkaitan dengan kebudayaan. Beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukanantara lain yaitu: Beberapa Bangunan Bersejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta; MasjidMakam Mantingan di Jepara; Tradisi Seni Ukir Jepara; Sonder Sebagai Pertapaan Ratu

Page 103: Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007

223

Biodata Penulis

Kalinyamat; Makam Bethoro Katong di Ponorogo; Masjid Makam Sendhang Dhuwur diPaciran, Lamongan.

CHRISTANTO P RAHARDJO, Penulis adalah staf Pengajar Fakultas Sastra, UniversitasJember Jawa Timur, alumnus Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta danPascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Pengalaman kerja: Koresponden SCTV(2000-2003), News Programmer radio TRIJAYA Network (2005-2006), Redaktur HarianJawa Pos/Radar Jember (sampai sekarang).

SUYAMI, lahir di Magelang 1 Januari 1965. Lulusan Jurusan Sastra Jawa UNS Surakarta(1988). Magister Humaniora UGM (1999). Sejak tahun 1990 hingga kini aktif melakukanpenelitian kebudayaan, terutama mengkaji naskah kuna. Sebagai Peneliti Madya, aktifmenulis dan mengisi artikel pada berbagai jurnal dan terbitan ilmiah, serta aktif sebagaipemrasaran dalam berbagai pertemuan ilmiah. Sejak tahun 1990 mengabdi sebagai PNS diBalai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Hasil-hasil penelitian yang telahditerbitkan antara lain: Serat Cariyos Dewi Sri Dalam Perbandingan (Keppel-Press-2000);Tinjauan Historis Serat Babad Kediri (Direktorat Jarahnitra, Jakarta); Kajian Mitos DalamKitab Tantu Panggelaran; Makna Filosof Dalam Aksara Jawa; Mistik Islam Dalam KitabKanjeng Kyai Suryorojo (YKII Yogyakarta); Mistik Islam Dalam Primbon (YKIIYogyakarta); Pembinaan Budi Pekerti Melalui Permainan Anak Tradisional, dalam JurnalTONIL (ISI Yogyakarta).