Upload
phungdang
View
264
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
1
PEMBANGKIT BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI PERIKANAN
MENGGUNAKAN MICROBIAL FUEL CELL DENGAN JUMLAH ELEKTRODA
YANG BERBEDA
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Listrik adalah salah satu hal yang paling penting dalam suatu bangsa dan bahkan untuk setiap orang di
dunia ini. Krisis energi yang terjadi memaksa kita untuk mengembangkan alternatif sumber energi
terbarukan untuk menggantikan penggunaan minyak bumi yang menjadi sumber utama bagi
masyarakat. Banyak pilihan pengganti, sel bahan bakar merupakan salah satu contoh dari suatu
teknologi alternatif. Sel bahan bakar mikroba adalah sel bahan bakar dimana bakteri menggunakan
bahan organik sebagai sumber untuk metabolisme mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
kemampuan air limbah dalam memproduksi listrik melalui sel bahan bakar mikroba (MFC) teknologi
dengan nomor yang berbeda dari elektroda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ruang
tunggal katoda udara. Jumlah elektroda yang digunakan adalah satu pasang elektroda, dua pasang
elektroda, tiga pasang elektroda, dan empat pasang elektroda. Tegangan listrik diukur dalam 5 hari
(120 jam) dan kualitas air limbah yang kandungan nitrogen total, total Amonia Nitrogen (TAN),
Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), MLSS, MLVSS dan
dianalisis di setiap tiga hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan dari dua pasang
elektroda adalah cara yang optimal untuk menghasilkan tenaga listrik. Sistem ini MFC juga dapat
mengurangi beban pencemaran air limbah perikanan yang ditunjukkan dari penurunan total nitrogen,
TAN, BOD, COD dalam lima hari.
Kata kunci: listrik terbarukan, elektroda, air limbah perikanan, sel bahan bakar mikroba
ABSTRACT
Electricity is one of the most important things in a nation and even for every single people in the
world. Energy crisis that happened force us to develop an alternate of renewable energy source to
substitute the use of petroleum that being the main sources to society. In many choices of the
substitute, fuel cell is one of the examples of an alternate technology. Microbial fuel cell is a fuel cell
where bacteria use the organic material as a source for their metabolism. This research purposed to
study the ability of wastewater in producing electricity through microbial fuel cell (MFC) technology
with different number of electrodes. The method used in this research is single chamber air cathode.
The number of electrodes used are one pair electrode, two pairs of electrode, three pairs electrode, and
four pairs electrode. The electricity voltage was measured in 5 days (120 hours) and the wastewater
quality which are the total nitrogen content, Total Ammonia Nitrogen (TAN), Biological Oxygen
Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), MLSS, and MLVSS were analyzed in every
three days. The result of this research showed that the treatment of two pairs electrode is the optimum
treatment to produce the electricity power. This MFC‟s system can also reducing pollution load of
fisheries wastewater which was indicated from the reducing of total nitrogen, TAN, BOD, and COD
in five days.
Key word: Renewable electricity, electrode, fisheries wastewater, microbial fuel cell
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
2
PENDAHULUAN
Listrik merupakan salah satu komponen yang sangat berperan banyak dalam kehidupan suatu bangsa dan bahkan bagi setiap manusia. Beberapa manfaat listrik adalah untuk kemudahan rumah tangga, pendidikan, produksi (industri), bahkan kesehatan. Krisis listrik akhir akhir ini menurut Suyanto et al. (2010) terjadi karena peningkatan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan permintaan energi listrik semakin besar sedangkan pasokan energi listrik semakin menipis. Krisis energi memicu pengembangan sumber energi alternatif (renewable) untuk mensubstitusi penggunaan minyak bumi yang selama ini menjadi sumber energi utama bagi masyarakat. Sel elektrokimia berbasis mikroba atau microbial fuel cell (MFC) merupakan sel bahan bakar yang memanfaatkan materi organik untuk digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi dalam melakukan aktivitas metabolismenya. Energi fuel cell tidak selalu harus bersumber dari hidrogen murni, melainkan juga dapat bersumber dari zat-zat lain yang mengandung hidrogen atau menghasilkan elektron. Pemanfaatan air buangan sebagai sumber energi (substrat) diharapkan biaya operasional dapat ditekan menjadi lebih murah (Sitorus 2010). Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah industri perikanan. Limbah industri perikanan mengandung banyak bahan organik dalam konsentrasi tinggi karena kandungan lemak, protein, dan nutrien lainnya. Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair industri perikanan menyebabkan limbah ini menjadi sumber pertumbuhan bagi mikroba (Suprihatin dan Romli 2009). Sebanyak 1.300 m
3/hari limbah cair dihasilkan pada musim
ikan (Romli dan Suprihatin 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kemampuan limbah cair perikanan sebagai penghasil listrik melalui teknologi microbial fuel cell (MFC), serta mengetahui jumlah elektroda yang optimal untuk menghasilkan energi listrik dalam sistem MFC MATERIAL DAN METODE Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain lumpur aktif, limbah ikan berupa kulit dan sisa daging, akuades, K2Cr2O7, H2SO4.Ag2SO4, indikator ferroin, ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2], NaOH 45%, HCl 0,05 N, indikator mengsel,
NaOH 0,05 N, Kertas saring Whatman 42, bahan uji amonia. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, kaca akrilik, elektroda karbon grafit, kabel, multimeter digital tipe DT 830B, botol Erlenmeyer, buret, pipet, botol DO, DO meter (Lutron DO5510), aerator, spektrofotometer (Optima SP-300), oven (Yamamoto Drying Oven DV 41), tanur (Yamamoto Muffle Furnace FM 38), cawan porselen, dan desikator.
METODE PENELITIAN Pembuatan limbah cair buatan
Limbah cair buatan dibuat menggunakan limbah padat pengolahan ikan (isi perut, kulit, dan insang). Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan karakteristik limbah cair yang digunakan untuk percobaan. Pembuatan limbah cair dilakukan menurut cara Ibrahim et al. (2009) yakni limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dari proses pengolahan filet ikan dicincang, selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan (kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Air rebusan disaring untuk memisahkannya dari padatan dan ampas ikan. Air rebusan yang dingin siap digunakan untuk percobaan, kemudian dilakukan analisis karakteristik limbah cair buatan meliputi BOD, COD, total nitrogen, dan total amonia nitrogen.
Persiapan alat MFC Bejana yang digunakan terbuat dari bahan akrilik dengan dimensi 10x7x10 cm. Volume limbah cair yang digunakan adalah 700 mL. Elektroda yang digunakan adalah karbon grafit berukuran 7x1x1 cm. Sistem MFC yang digunakan merupakan sistem MFC satu bejana tanpa membran mengacu pada penelitian Lovley (2006). Lumpur aktif dimasukkan ke dalam MFC yang berisi limbah cair dengan perbandingan antara lumpur aktif dan limbah cair sebesar 1:10. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah pemberian katoda dan anoda sebanyak satu pasang, dua pasang, tiga pasang, dan empat pasang dalam satu bejana dengan 3 kali ulangan.
Gambar 1. Skema sistem alat MFC
katoda
pengaduk
dynamo
anoda
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
3
Pengukuran elektrisitas
Masing-masing elektroda grafit di
kedua bejana dihubungkan dengan kabel lalu
bejana ditutup rapat. Kedua kabel dihubungkan
oleh multimeter. Multimeter diatur untuk
pengukuran daya listrik pada skala terkecil
terlebih dahulu kemudian nilai tegangan yang
tertera pada layar multimeter diamati pada
selang waktu tertentu (Suyanto et al. 2010).
Pengamatan terhadap kualitas limbah cair
dilakukan selama 6 hari dengan mengukur
nilai total nitrogen, TAN, MLSS, MLVSS,
BOD, COD, pada hari ke-0 (awal), 3 (tengah),
dan 6 (akhir). Setiap analisis dilakukan 3 kali
ulangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Limbah Cair Perikanan
Karakteristik limbah cair merupakan
hal yang penting untuk diketahui pada tahap
awal proses pengolahan limbah cair. Limbah
cair yang digunakan pada penelitian ini
merupakan limbah cair buatan. Penggunaan
limbah cair buatan sebagai pengganti limbah
cair dari industri perikanan ini agar lebih stabil
selama penelitian (Tabel 1).
Total N yang tinggi dalam limbah cair dapat
berbahaya bagi organisme di dalam air karena
dapat menyebabkan gas buble diseases, yaitu
penyakit yang disebabkan oleh gelembung gas
dalam saluran darah (Firdus dan Muchlisin
2010).
Tabel 1 Karakteristik limbah cair perikanan buatan
Parameter Satuan Limbah cair buatan Limbah cair industri
perikanan*
Total N mg/L 802,8 111
BOD5 mg/L 428 184
COD mg/L 1205,33 571
Amonia mg/L 3,5 1,5
*Sumber: Ibrahim (2007)
Nilai BOD5 dan COD merupakan ukuran
adanya pencemaran air dan dapat
mengakibatkan berkurangnya jumlah oksigen
terlarut (Dwijani et al. 2010).
Semakin tinggi BOD5 dan COD dalam suatu
perairan maka perairan tersebut semakin
tercemar. Senyawa amonia pada air limbah
merupakan produk penguraian dari senyawa
protein, sehingga konsentrasi ammonia yang
tinggi merupakan indikator tingginya proses
penguraian (pembusukan) limbah organic
protein (Poppo et al. 2008).
Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam
Sistem MFC
Karakteristik limbah cair perikanan
buatan disajikan pada Tabel 1. Penggunaan
limbah cair perikanan buatan dalam sistem
MFC dilakukan untuk menjamin konsistensi
beban setiap dilakukan pengulangan, karena
limbah cair yang digunakan dari industri
pengolahan secara langsung mempunyai
fluktuasi beban polusi yang tinggi
keragamannnya. Bahan organik yang
terkandung pada limbah cair buatan ini
merupakan sumber bahan bakar pada sistem
MFC. Microbial fuel cell (MFC) merupakan sebuah sel bahan bakar yang mengkonversi energi kimia ke energi listrik. Sumber bahan
bakar pada MFC secara umum berupa bahan organik yang diuraikan oleh mikroba (Lovley 2006). Microbial fuell cell bisa didesain dengan satu atau dua bejana, secara umum MFC dengan dua bejana ini di tengahnya dihubungkan dengan membran penukar ion. Jenis MFC satu bejana ada yang menggunakan membran, tetapi penggunaan membran ini mahal dan lebih mudah rusak saat penggunaannya. Sistem MFC yang tidak menggunakan membran telah dikembangkan untuk pengolahan air limbah (Chang et al. 2006). Sistem MFC dalam penelitian ini menggunakan MFC satu bejana dan ditambahkan lumpur aktif yang digunakan untuk mengolah limbah cair perikanan.
Total Nitrogen Jumlah total nitrogen dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC disajikan pada Gambar 2. Jumlah total nitrogen mengalami penurunan dari hari ke-0 sampai hari ke-6 pada semua perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap total nitrogen limbah cair perikanan.
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
4
Gambar 2 Total N dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC
Penurunan jumlah total nitrogen ini terjadi karena adanya proses nitrifikasi. Proses
penurunan total nitrogen ini karena adanya konversi amonia menjadi nitrit oleh bakteri
Nitrosomonas, kemudian nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Penurunan
jumlah total nitrogen pada pengolahan limbah cair ini bukan masa nitrogennya yang
menurun, tetapi yang terjadi adalah perubahan
bentuk senyawa nitrogen dari amonia menjadi senyawa nitrit dan nitrat. Menurut Ibrahim
(2007), pada proses nitrifikasi terjadi penurunan jumlah nitrogen-amonia pada badan
air, sehingga terjadi penurunan nilai kebutuhan baik oksigen biologis (BOD) maupun kimiawi
(COD). Dalam pengolahan limbah cair tujuannya memang untuk mereduksi
konsentrasi nitrogen dengan cara
membebaskannya ke atmosfer sebagai gas nitrogen melalui proses denitrifikasi biologis.
Biochemical oxygen demand (BOD)
Pengukuran BOD hari ke-0 sampai hari ke-6 terjadi penurunan nilai pada semua
perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak
memberikan pengaruh signifikan terhadap
penurunan BOD selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan
berpengaruh secara signifikan terhadap BOD limbah cair perikanan. Hal ini terjadi karena
adanya aktivitas mikroorganisme yang menggunakan oksigen untuk mengoksidasi
senyawa organik. Hasil pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC
disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 BOD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC
BOD merupakan jumlah miligram oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk
menguraikan bahan organik karbon dalam 1 L air selama 5 hari pada suhu 20±1
oC (BSN
2009). Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air, semakin sedikit
sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya (Poppo et al. 2008).
Penurunan BOD ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suyanto et al.
(2010) yang menyebutkan bahwa pada sistem MFC tersebut terdapat aktivitas bakteri yang
menyebabkan penurunan BOD dari hari ke-0
sampai hari ke-5. Analisis BOD merupakan
analisis yang mencoba mendekati secara umum proses-proses mikrobiologis yang
terjadi di dalam air. Perubahan nilai BOD ini menandakan bahwa terjadi kecepatan oksidasi
senyawa organik oleh mikroba.
Chemical oxygen demand (COD) Nilai rata-rata COD pada semua
perlakuan mengalami penurunan pada hari ke-0 sampai hari ke-6. Penurunan nilai COD pada
penelitian ini disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme yang menghilangkan zat
organik dalam limbah cair tersebut. Hasil
analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
5
perbedaan elektroda tidak memberikan
pengaruh signifikan terhadap penurunan COD selama di dalam sistem MFC, sedangkan
lamanya hari pengamatan berpengaruh secara
signifikan terhadap COD limbah cair
perikanan. Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC
disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 COD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC
Chemical oxygen demand (COD) dapat
didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang
diperlukan proses kimia di perairan (Firdus
dan Muchlisin 2010). Makin tinggi nilai COD
menunjukkan bahwa limbah tersebut banyak
mengandung bahan-bahan organik dan
anorganik (Ibrahim et al. 2009). Semakin
banyak bahan buangan organik yang ada di
dalam air, maka semakin sedikit kandungan
oksigen yang terlarut dalam air (Poppo et al.
2008). Senyawa organik yang terkandung
dalam air buangan berguna sebagai makanan
dan pertumbuhan sel baru (Edahwati dan
Suprihatin 2009).
Total Amonia Nitrogen (TAN)
Kandungan amonia yang turun setiap
harinya (Gambar 5) karena adanya aktivitas
mikroorganisme dalam menguraikan senyawa-
senyawa organik yang mengandung nitrogen.
Nilai TAN merupakan kandungan nitrogen
yang terikat dalam senyawa amonia di dalam
air limbah. Mikroorganisme menghidrolisis
bahan-bahan organik yang mengandung
nitrogen terutama protein dan asam-asam
amino bebas. Sehingga konsentrasi nitrogen
ammonia dalam air limbah tersebut
dipengaruhi oleh pertambahan melalui proses
hidrolisis protein dan senyawa nitrogen
organik lainnya dan pengurangan melalui
terbentuknya senyawa nitrit dan nitrat melalui
proses oksidasi senyawa amonia. Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan
elektroda tidak memberikan pengaruh
signifikan terhadap penurunan TAN selama di
dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari
pengamatan berpengaruh secara signifikan
terhadap nilai TAN limbah cair perikanan. Hal
ini didukung oleh Dwijani et al. (2010), yang
menyatakan bahwa penurunan kadar amonia
dalam pengolahan air limbah tersebut
disebabkan adanya proses oksidasi N-amonia
lebih besar daripada proses hidrolisis senyawa-
senyawa organik yang mengandung nitrogen
oleh mikroorganisme.
Gambar 5 Nilai TAN limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
6
Organisme pengurai dalam lingkungan akuatik
akan menguraikan senyawa-senyawa organik
berprotein menghasilkan amonia. Proses
degradasi senyawa organik berikatan N akan
membebaskan amonia disebut amonifikasi.
Degradasi senyawa organik kompleks
bernitrogen seperti protein, menghasilkan
senyawa karbon organik sebagai sumber energi
bagi mikroba dan senyawa N sederhana
sebagai nutrien untuk mensintesis sel (Ibrahim
2007).
MLSS dan MLVSS
Nilai MLSS dan MLVSS pada sistem
MFC selama pengolahan limbah cair disajikan
pada Gambar 6 dan 7. Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa perbedaan
elektroda tidak memberikan pengaruh
signifikan terhadap kenaikan nilai MLSS dan
MLVSS selama di dalam sistem MFC,
sedangkan lamanya hari pengamatan
berpengaruh secara signifikan terhadap
kenaikan nilai MLSS dan MLVSS dalam
limbah cair perikanan. Kenaikan nilai MLSS
dan MLVSS ini menunjukkan adanya
pertumbuhan mikroorganisme di dalam sistem
MFC tersebut. Proses pengolahan limbah cair
yang menggunakan lumpur aktif akan
meningkatkan jumlah mikroorganisme
sekaligus mengurangi senyawa organik di
dalam limbah cair tersebut. Pertumbuhan
mikroorganisme dalam sistem MFC ditandai
dengan adanya pertambahan nilai MLSS dan
MLVSS pada pengolahan limbah cair
menggunakan lumpur aktif.
Gambar 6 MLSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC
Gambar 7 MLVSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
7
Biomassa yang dinyatakan dalam MLVSS
adalah mikroorganisme yang memanfaatkan
senyawa-senyawa organik bagi pertumbuhan.
Mikroorganisme yang menjadi perhatian
utama adalah mikroorganisme nitrifikasi dan
denitrifikasi. Kebutuhan pertumbuhan
mikroorganisme memerlukan substrat sebagai
penyedia nutrisi yang dibutuhkan untuk
pembentukan sel-sel baru dalam pertumbuhan
mikroorganisme tersebut. Substrat penyedia
nutrisi merupakan sumber karbon dan
senyawa-senyawa bernitrogen seperti TKN,
amonia, dan nitrat merupakan sumber nitrogen
(Ibrahim 2007).
Elektrisitas dalam sistem MFC
Hasil pengukuran elektrisitas limbah
cair perikanan disajikan pada Gambar 8,
Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.
Sistem MFC dengan perlakuan
elektroda 2 pasang merupakan perlakuan yang
menghasilkan rata-rata listrik paling besar
diantara perlakuan lainnya. Perlakuan
elektroda 2 pasang juga menghasilkan listrik
yang berada di atas nilai rata-rata lebih
banyak dibanding nilai yang di bawah rata-rata
pada tiap jam pengukuran. Hasil uji t
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai
listrik antara elektroda 2 pasang dengan
elektroda 4 pasang (p>0,05). Hal ini yang
menjadikan perlakuan pada elektroda 2 pasang
ini lebih optimal dibanding perlakuan lainnya.
Perlakuan dengan elektroda 4 pasang
menghasilkan listrik paling besar pada jam ke-
98, yaitu sebesar 0,445 V dan jam yang sama
pada perlakuan elektroda 3 pasang
menghasilkan listrik sebesar 0,335 V.
Elektroda 2 pasang menghasilkan listrik paling
besar adalah 0,41 V pada jam ke-10, dan
elektroda 1 pasang menghasilkan listrik paling
besar pada jam ke-9, yaitu sebesar 0,389 V.
Besarnya pengukuran listrik pada jam ke-98
menunjukkan bahwa waktu ini merupakan
yang optimal dalam memanfaatkan limbah cair
sebagai penghasil listrik untuk elektroda 3 dan
4 pasang sebelum listrik yang dihasilkan ini
turun kembali.
Elektrisitas dalam sistem MFC diukur
setiap jam selama 5 hari dalam satuan Volt.
Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa
pengukuran setiap jam pada sistem ini karena
tiap reaksi metabolisme di dalam sistem MFC
sangat cepat sekali sehingga memberikan
pengaruh pada besar kecilnya elektrisitas yang
dihasilkan.
Nilai daya listrik yang dihasilkan pada
penelitian ini masih tergolong rendah. Bila
dibanding dengan penelitian sebelumnya
(Ibrahim et al 2013) terjadi peningkatan
sekitar 80% dari 120 mV menjadi 204 mV
walaupun dalam kondisi jumlah elektroda
yang sama. Banyak faktor yang
mempengaruhi nilai daya listrik yang
dihasilkan dalam sistem MFC, diantaranya
kondisi operasi sistem, luas area elektroda,
tipe elektroda dan jenis mikroorganisme (Pant
et al, 2010). Perbedaan daya listrik yang tidak
signifikan yang dihasilkan dalam sistem
dengan elektroda 1, 2, 3 dan 4 pasang
disebabkan oleh sistem rangkaian yang
disusun secara paralel. Hal ini sesuai dengan
berlakunya hukum Ohm.
Fluktuasi daya listrik yang dihasilkan
pada masing-masing perlakuan ini diduga
karena adanya aktivitas metabolisme yang
dilakukan oleh bakteri dan reaksi kimia yang
terjadi dalam sistem. Aktivitas katabolisme
senyawa kompleks menjadi senyawa
sederhana yang menghasilkan ion-ion positif
dan negatif, dan selisih dari laju total energi
yang dihasilkan dan digunakan oleh bakteri
dapat menurun atau meningkat. Fluktuasi daya
listrik yang dihasilkan ini dapat pula
disebabkan oleh interaksi dan persaingan
antara bakteri di dalam substrat pertumbuhan.
Penurunan yang terjadi pada akhir pengukuran
elektrisitas pada MFC disebabkan karena
menurunnya kandungan organik yang
digunakan oleh bakteri sebagai nutrien bagi
pertumbuhan bakteri.
KESIMPULAN
Limbah cair perikanan dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik
melalui teknologi microbial fuell cell (MFC).
Sistem MFC ini dapat menurunkan rata-rata
total N dalam limbah cair perikanan sebesar
16,98%, BOD sebesar 32,05%, COD sebesar
37,4%, dan nilai TAN sebesar 71,74% dari
hari pertama sampai 6 hari pengukuran.
Peningkatan nilai MLSS dengan nilai rata-rata
pengukuran sebesar 2966 mg/L dan nilai
MLVSS sebesar 2683,25 mg/L pada hari
terakhir pengukuran. Perlakuan dengan 2
pasang elektroda merupakan perlakuan yang
optimal dalam menghasilkan energi listrik
dengan teknologi microbial fuel cell meskipun
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
8
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
dengan sistem 1, 3 dan 4 pasang elektroda.
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Air
dan Limbah - Bagian 72: Cara Uji
Kebutuhan Oksigen Biokimia
(Biochemical oxygen demand/ BOD)
SNI 6989.72. Jakarta: Badan
Standardisasi Nasional
Chang, Seop I, Moon H, Bretschger O, Kyung
JJ, Il HP, Nealson KH, Hong BK.
2006. Electrochemically active
bacteria (EAB) and mediator-less
microbial fuel cells. Journal of
Microbiology and Biotechnology 16
(2): 163-177
Dwijani WS, Budiarsa IWS, Indra NMW.
2010. Efektivitas sistem pengolahan
instalasi pengolahan air limbah
Suwung Denpasar terhadap kadar
BOD, COD, dan amonia. Jurnal
Kimia 4 (2): 141-148
Edahwati L, Suprihatin. 2009. Kombinasi
proses aerasi, adsorpsi, dan filtrasi
pada pengolahan air limbah industri
perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan 1 (2): 79-83
Firdus, Muchlisin ZA. 2010. Degradation rate
of sludge and water quality of septic
tank (water closed) by using starbio
and freshwater catfish as
biodegradator. Jurnal Natural 10 (1):
Ibrahim B. 2007. Studi penyisihan nitrogen air
limbah agroindustri hasil
perikanansecara biologis dengan
model dinamik activated sludge
model (ASM) 1. [Disertasi]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Ibrahim B, Erungan AC, Heriyanto. 2009.
Nilai parameter biokinetika proses
denitrifikasi limbah cair industri
perikanan pada rasio COD/TKN yang
berbeda. Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia 12 (1): 31-45
Ibrahim B, Trilaksani W, Apriyani D. 2013.
Potensi biolistrik dari limbah cair
industri perikanan dengan microbial
fuel cell. Jurnal Dinamika Maritim,
Vol III(2):45-55.
Lovley DR. 2006. Bug juice: Harvesting
electricity with microorganisms.
Nature Reviews Microbiology 4:
497-506
Pant D, Bogaert GV, Diels L, Vanbroekhoven
K. 2010. A review of the substrates
used in microbial fuel cells (MFCs)
for sustainable energy production.
Bioresource Technology 6(101):
1533-1543
Poppo A, Mahendra MS, Sundra IK. 2008.
Studi kualitas perairan pantai di
kawasan industri perikanan Desa
Pengambengan, Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana. Ecotrophic 3
(2): 98-103
Romli M, Suprihatin. 2009. Set up model
industri daur ulang minyak ikan di
Muncar. Jurnal Kelautan Nasional 2:
119-130
Sitorus B. 2010. Diversifikasi sumber energi
terbarukan melalui penggunaan air
buangan dalam sel elektrokimia
berbasis mikroba. Jurnal ELKHA 2
(1): 10-15
Suprihatin, Romli M. 2009. Pendekatan
produksi bersih dalam industri
pengolahan ikan: studi kasus industri
penepungan ikan. Jurnal Kelautan
Nasional 2: 131-143
Suyanto E, Mayangsari A, Wahyuni A, Zuhro
F, Isa SMSH, Sutariningsih ES,
Retnaningrum E. 2010. Pemanfaatan
limbah cair domestik IPAL Kricak
sebagai substrat generator elektrisitas
melalui teknologi microbial fuel cell
ramah lingkungan. Prosiding Seminar
Nasional Biologi UGM, Yogyakarta
24-25 September: 230-242
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…
Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9
9
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100
105
110
115
120
Nil
ai
ra
ta-r
ata
elek
tris
ita
s (V
)
Jam
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100
105
110
115
120
Nil
ai
ra
ta-r
ata
elek
tris
ita
s (V
)
Jam
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100
105
110
115
120
Nil
ai
rata
-ra
ta
ele
ktr
isit
as
(V)
Jam
Gambar 8 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 1 pasang
Gambar 9 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 2 pasang
Gambar 10 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 3 pasang
Gambar 11 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 4 pasang
Rata-rata
0,204 V
Rata-rata
0,213 V
Rata-
rata
0,200 V
Rata-rata
0,212 V
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
10
STUDI BIOLOGI DAN EKOLOGI HEWAN FILUM Mollusca DI ZONA
LITORAL PESISIR TIMUR PULAU BINTAN
Henky Irawan dan Falmi Yandri
Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di pesisir timur Pulau Bintan yang masuk dalam kawasan
Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan (KKLD Kab Bintan). Pemilihan lokasi berada pada KKLD
dikarenakan pada kawasan tersebut di lindungi sehingga organisme yang berada di kawasan tersebut
masih dalam kondisi yang alami dan keberadaannya tidak terganggu. Lokasi yang dijadikan tempat
pengambilan sampel di sekitar daerah KKLD tersebut adalah Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau,
dan Desa Gunung Kijang yang berada di Kelurahan Kawal, wilayah perairan laut Pesisir Timur
Kecamatan Gunung Kijang. Pada lokasi-lokasi tersebut penelitian dilakukan pada zona litoral.
Hasil penelitian menemukan 73 spesies hewan Filum Mollusca dimana terdiri dari 26 spesies
Kelas Bivalvia dan 47 spesies Kelas Gastropoda di pesisir timur pulau bintan. Diantara 47 hewan kelas
gastropoda masih ada 3 hewan yang belum ada nama ilmiahnya. Hewan-hewan Kelas Bivalvia dan
Gastropoda yang ditemukan memiliki kebiasaan hidup melekat pada substrat, menetap tetapi tidak
melekat pada substrat dan bergerak lambat. Keberadaan hewan-hewan tersebut juga terkait dengan
kondisi substrat pasir dan lumpur dimana juga ditemukan dalam lambung hal ini terkait dengan
kebiasaan makan hewan tersebut. Kebiasaan makan hewan-hewan tersebut adalah pemakan endapan
dan penyaring makanan.
Kata kunci: Mollusca, Bivalvia, Gastropoda, Zona litoral
ABSTRACT
This research was conducted on the East coast of Bintan Island, in part of marine conservation
area in Bintan region. The locations were chosen in marine conservation area because the organisem in
that area were protected and still in natural condition. The locations for sampling are at the coastal area
of Malang Rapat Village, Teluk Bakau Villege, and Gunung Kijang Village. Samplings on each
location were take place in litoral zone.
The result from this research is there were 73 species of Mullusk wich is 26 species of
Bivalvia class and 47 species of Gastropod class that were found in east coas of Bintan Island. The
species of Bivalvia and Gastropod were found live attach ti substrat, settle but not attach to substrat,
and moving slowly. The existence of that species has relation with subtsrat sand and mud wich is also
found in their gut, wich shown relation to their feeding habit. The feeding habits of of that species
were deposit freeder and filter feeder.
Keyword: Mollusk, Bivalvia, Gastroopod, Litoral Zone
PENDAHULUAN
Hewan dari filum Mollusca
merupakan hewan avertebrata air yang banyak
di kaji dalam beberapa mata kuliah yang di
ajarkan di Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan (FIKP), Universitas Maritim Raja
Ali Haji (UMRAH) yang terletak di
Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.
Dari pengamatan dan penelitian
pendahuluan yang telah di lakukan selama tiga
tahun di daerah perairan laut Pulau Bintan
maka sangat banyak keanekaragaman hewan-
hewan di zona litoral pesisir timur pulau
Bintan yang di temukan sehingga sangat
berpotensi untuk di teliti karena mengingat
telah adanya lembaga akademis yang juga
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
11
bergerak di bidang penelitian seperti Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan UMRAH dan
belum adanya data mengenai hewan-hewan
dari filum Mollusca ini secara terperinci di
Kepulauan Riau umumnya dan Pulau Bintan
khususnya.
Beberapa hewan dari filum Mollusca
yang sudah dikenal umum adalah siput
gonggong, kerang bulu, cumi-cumi dan sotong.
Hingga saat ini belum ada informasi yang
terperinci mengenai biologi dan ekologi
hewan-hewan tersebut yang terdapat di
perairan laut Pulau Bintan, maka oleh karena
itu sangat perlu di lakukan penelitian agar
dapat memperoleh data mengenai biologi dan
ekologi hewan-hewan filum Mollusca
tersebut.
Tujuan dari studi biologi dan ekologi
hewan filum mollusca di zona litoral pesisir
timur pulau bintan adalah untuk menggali
informasi mengenai biologi dan ekologi hewan
filum Mollusca yang terdapat di perairan
Pulau Bintan sehingga informasi tersebut
nantinya dapat berguna khususnya dalam
memperkaya bahan ajar mata kuliah
avertebrata air, Budidaya Laut dan Pesisir,
Bioteknologi Laut, Bahan Hayati Laut,
Keanekaragaman Hayati Laut, Biologi Laut,
dan Ekologi Perairan yang di ajarkan di
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji,
Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.
Di harapkan dengan adanya informasi
dari daerah sendiri yang bersifat spesifik lokal
hewan filum Mollusca yang ada di zona litoral
pesisir timur pulau bintan itu sendiri maka
akan menambah wawasan mahasiswa dan
membuat mahasiswa FIKP UMRAH lebih
mengenal potensi keanekaragaman hayati laut
daeranya sendiri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Agustus hingga November 2013 yang
bertempat di Kawasan Konservasi Laut Daerah
Kabupaten Bintan (KKLD kab Bintan).
Pemilihan lokasi berada pada KKLD di
karenakan pada kawasan tersebut di lindungi
sehingga organisme yang berada di kawasan
tersebut masih dalamm kondisi yang alami dan
keberadaannya tidak terganggu, lalu dari hasil
pengamatan penelitian pendahulian yang telah
di lakukan di sekitar daerah KKLD tersebut
hewan filum Mollusca dapat dengan mudah di
temukan.
Lokasi yang di jadikan tempat
pengambilan sampel di sekitar daerah KKLD
tersebut adalah Desa Malang Rapat, Desa
Teluk Bakau, dan Desa Gunung Kijang yang
berada di Kelurahan Kawal, wilayah perairan
laut Pesisir Timur Kecamatan Gunung Kijang.
Gambar 1. Peta KKLD Pulau Bintan, Kab
Bintan Prov Kepulauan Riau.
Sumber Satker Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional
Laut Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
Departemen Kelautan Dan
Perikanan. 2009.
Gambar 2. Peta Kecamatan Kabupaten Bintan
Provinsi Kepulauan Riau. Sumber
Bappeda Kabupaten Bintan.2009.
Prosedur Kerja Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode survey lapangan untuk
mengambil hewan Mollusca yang ditemukan,
metode wawancara dengan nelayan dan
penduduk sekitar lokasi, dan metode sampling
dengan mengambil hewan Mollusca sebanyak
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
12
3 individu sebagai sampel untukstudi biologi
yaitu pengamatan morfologi dan anatomi di
laboratorium dan mengambil data kualitas
perairan dengan 3 kali ulangan. Setiap kegiatan
penelitian di dokumentasikan dengan
menggunakan kamera digital.
Biologi Mollusca
A. Identifikasi
Identifikasi hewan Mollusca dilakukan
dengan membawa sampel dari lokasi
pengamatan ke laboratorium dan
mengidentifikasi ciri-ciri spesies yang
mengacu pada panduan identifikasi filum
Coelenterata (Suginyo, Widigdo, Wardianto,
Krisanti,. 2005) dan dikonfirmasi serta di
daftarkan World Register of Marine Spesies
dengan alamat website
http://www.marinespecies.org.
B. Pengamatan Morfologi
Pengamatan morfologi juga di lakukan
di laboratorium dan yang dilakukan adalah
dengan menggambarkan bentuk, tubuh, ciri-
ciri spesifik, yang mengacu kepada morfologi
dalam bahan ajar avertebrata air filum
Mollusca oleh Irawan, 2012.
C. PengamatanAnatomi
Pengamatan anatomi juga dilakukan di
laboratorium dan yang dilakukan adalah
dengan membedah tubuh hewan-hewan filum
Mollusca tersebut untuk melihat organ-organ
dalamnya lalu menggambarkannya, yang
mengacu kepada anatomi dalam bahan ajar
avertebrata air filum Mollusca oleh Irawan,
2012.
Ekologi Mollusca
A. Gambaran habitat
Penggambaran habitat Mollusca
dilakukan dengan mengamati keadaan
lingkungan sekitar lokasi penelitian secara
deskriptif.
B. Pengamatan kondisi perairan
Pengamatan kondisiperairan dengan
melihat parameter: Fisika, Kimia dan Biologi
dalam pengamatan in ijuga di lakukan
sampling hewan Mollusca yang diamati lebih
lanjut di laboratorium.Parameter fisika yang di
amati adalah: kecerahan, kedalaman,
danpasangsurut. Parameter Kimia yang di
amati adalah DO, pH, Salinitasbaik yang ada
di permukaandan di dasarperairan.
C. Pengamatan sedimen
Pengamatan sedimen dilakukan
dengan mengambil sedimen permukaan di
lokasi ditemukannya Mollusca. Sedimen
dibawa kelaboratorium untuk diamatistruktur
dan jenisnya secara deskriptif dengan
mikroskop.Karakteristik sedimen yang diamati
adalah tipe sedimen, warna sedimen, dan
organisme yang menempel pada sedimen
tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biologi
Telah ditemukan 75 spesies hewan
Filum Mollusca dimana terdiri dari 26 spesies
Kelas Bivalvia dan 47 spesies Kelas
gastropoda di pesisir timur pulau bintan.
Diantar 47 hewan kelas gastropoda masih ada
3 hewan yang belum ada nama ilmiahnya.
Ekologi
1. Suhu
Dari hasil pengukuran suhu perairan
Kampung Galang Batang berkisar antara 27-
30oC. Kawal 26-32,1
oC. Teluk Bakau 28-30
oC
dan Malang Rapat 28-34,5 o
C. Adapun waktu
pengukuran suhu di tiap lokasi dilakukan pada
pagi dan siang hari. Hasil pengukuran siang
hari dengan suhu tertinggi terjadi di perairairan
Malang Rapat dengan 34,5oC dan pagi hari
suhu terendah terdapat di Kawal dengan 26 oC.
Perubahan suhu mengalami kenaikan
dari pagi menjeleng siang hari dan kembali
turun pada sore hari. Tinggi rendah suhu
perairan sangat dipengaruhi oleh intensitas
penyinaran matahari. Tingginya suhu pada
siang hari dikarenakan posisi matahari tegak
lurus dan tidak condong. Berdasarkan
pengukuran suhu perairain didapatkan bahwa
suhu perairan di masing-masing lokasi masih
dalam kondisi normal atau mendukung
kehidupan biota.
2. Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan atau
kadar garam yang terlarut dalam air. Salinitas
perairan sangat penting untuk mengetahui
karakteristik dari suatu perairan tersebut. Hasil
pengukuran salinitas perairan Kampung
Galang Batang berkisar antara 20-30‰. Kawal
18 - 30‰. Teluk Bakau 30,1 – 33,2‰ dan
Malang Rapat 34,9-36,5 ‰. Hasil pengukuran
salinitas pada saat pasang tertinggi terdapat di
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
13
Malang Rapat dan waktu terendah terdapat di
Kawal.
Tinggi rendahnya salinitas suatu
perairan sangat tergantung dari suplai air tawar
dan air asin. Kisaran salinitas di daerah Teluk
Bakau dan Malang Rapat pada waktu pasang
maupun surut dikarenakan suplai air asin dari
laut lebih dominan dibandingkan air tawar dari
sungai dan ini ditunjang dengan kondisi di
daerah tersebut relativ tidak ditemukan sungai
sebagai pensuplai air tawar keperairan.
3. Keruhan
Hasil pengukuran tingkat keruhan di
masing-masing tempat didapatkan rata-rata di
Galang Batang 1,9 ntu, Kawal 1,8 ntu. Teluk
Bakau 0,39 ntu dan Malang Rapat 0,29 ntu.
Kekeruhan suatu perairan sangat dipengaruhi
oleh banyak sedikitnya jumlah partikel
tersuspensi yang terdapat di kolom perairan
yang bersumber dari aliran sungai yang
memasuki perairan, maupun hasil pengadukan
sedimen didasar perairan yang disebabkan oleh
arus maupun gelombang. Meningkatnya
kekeruhan dikolom perairan menyebabkan
kecerahan di perairan menjadi berkurang.
4. Kecerahan
Hasil pengukuran tingkat kecerahan
perairan Kampung Galang Batang berkisar
antara 134 cm – 153.5 cm, Kawal 148 - 163
cm. Teluk Bakau 100 % dan Malang Rapat
100%. Pengukuran kecerahan perairan
dilakukan pada siang hari karena intensitas
cahaya dan posisi matahari berada tegak lurus
dengan bumi, rendahnya nilai kecerahan di
desa Galang Batang dan Kawal sangat erat
dengan suplai air tawar yang bersal dari sungai
karena di daerah ini terdapat sungai yang
bermuara kelaut yang membawa partikel-
partikel tersuspensi. Sementara di Malang
Rapat dan Teluk Bakau tingginya tingkat
kecerahan menunjukan bahwa perairan
tersebut sangat sedikit mengandung partikel-
partikel tersuspensi. tingkat kecerahannya
100%, Hal ini di karenakan pada saat
pengukuran letak piringan sechidisk
menyentuh dasar perairan
Kecerahan sangat penting karena erat
kaitanya dengan proses fotosintesis yang
terjadi diperairan. Dari hasil pengukuran yang
didapat di Kampung Galang Batang Desa
Gunung Kjang termasuk perairan yang subur.
Syukur. (2002) dalam Iman,M.S, (2010)
kecerahan keeping secchi < 3 m adalah tipe
perairan yang subur eutropik, antara 3-6 m
kesuburan sedang mesotrofik dan > 6 meter
digolongkan pada tipe perairan kurang subur
oligotrofik.
5. Arus
Arus yang diukur adalah arus
permukaan. Arus selama pengukuran di
perairan Galang Batang berkisar antara 0,17 –
1,28 m/dtk. Kawal 0,27 – 3,31 m/dtk. Teluk
Bakau 1,2- 1,25 m/dtk dan Malang Rapat 1,9-
2,5 m/dtk. Cepat lambatnya arus sangat
berpengaruh terhadap karakteristek endapan
sedimen didasar perairan. Pada arus yang kuat
karakteristik sedimen di dasar perairan
cendrung pasir dan berbatuan dan arus yang
lambat cendrung dasar perairannya berlumpur.
6. Derajat Keasaman ( pH )
Pengukuran yang di lakukan di Galang
Batang 7,05. Kawal 7,12. Teluk Bakau 8,02
dan Malang Rapat 8,14. Hasil pengukuran
ditemukan bahwa nilai pH perairan di masing-
masing tempat berada diatas 7, ini dapat
dinyatakan bahwa perairan tersebut cendrung
bersifat basa yang disebabkan oleh banyaknya
suplai air asin dari laut yang mendominasi di
perairan pantai karena parairan laut cendrung
bersifat basa.
7. Dissolved Oxygen ( DO )
Setelah melakukan pengukuran
kandungan oksigen terlarut pada siang hari di
perairan dengan rata-rata desa Galang Batang
7,15. Kawal 7,1. Teluk Bakau 7,5 dan Malang
Rapat 8,1. Oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen) di masing-masing perairan tergolong
baik untuk organisme akuati dalam perairan,
dengan demikian pada siang hari kandungan
oksigen terlarut akan tinggi hal ini di
karenakan seiringnya tingginya intensitas
cahaya matahari yang menyinari perairan akan
menyebabkan lajunya proses fotosintesis oleh
tumbuh-tumbuhan terutama jenis fitoplankton
yang menghasilkan kandungan oksigen.
8. Substrat.
Tipe tanah/substrat secara tidak
langsung juga menjadi salah satu faktor
penentu kehidupan biota bentos terutama
Filum Mollusca, dimana tipe suptrat seperti
yang kita ketahui, pada substrat yang
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
14
berlumpur pekat dan selalu tergenang air laut
menyebabkan tanah kekurangan oksigen dan
mudah menempel sehingga dibutuhkan
adaptasi yang tinggi dalam merespon situasi
ini seperti yang terjadi pada jenis-jenis
mollusca yang mengembangkan adaptasi
morfologinya dengan setae ( bulu halus ) untuk
mencegah terjadinya penyumbatan pada
system respirasi.
Hasil pengukuran substrat di
laboratorium, dengan menggunakan saringan
bertingkat dengan ukuran mesh 2,36mm,
2,00mm, 1,18mm, 500μm(0,5mm),
250μm(0,25mm), 125μm(0,125mm), dan
106μm(0,106mm), di dapat penggolongan
substrat menurut Wenworth pada subtrat dasar
perairan Galang Batang cendrung lumpur
berpasir, Kawal cendrung pasir berlumpur,
Teluk Bakau berpasir dan Malang Rapat
berpasir.
KESIMPULAN DAN SARAN
Jenis hewan Filum Mollusca yang di
temukan di zona litoral pesisir timur Pulau
Bintan adalah dari kelas Bivalvia dan
Gastropoda, hal ini terkait dengan kebiasaan
hidup hewan kedua kelas tersebut yang
menempel pada substrat, bergerak lambat
bahkan cenderung menetap.
kulalitas air di di zona litoral pesisir
timur Pulau Bintan mendukung untuk
kehidupan hewan-hewan tersebut. Ekosistem
yang ditemukan adalah ekosistem hutan
mangrove, padang lamun dan terumbu karang
dimana di ketiga ekosistem ini ditemukan
hewan dari kelas Bivalvia dan Gastropoda.
Keberadaan hewan kelas Bivalvia dan
Gastropoda ini terkait dengan lingkungannya
adalah ketersediaan makanan dan kebiasaan
makan dimana dalam kebiasaan makan hewan
kelas Bivalvia dan Gastropoda ini pemakan
sedimen dan penyaring makanan. Substrat
pada zona litoral tersebut adalah sedimen pasir
dan lumpur yang juga di temukan dalam
pencernaan hewan-hewan tersebut.
Masih ada 3 hewan kelas Gastropoda
yang belum ada nama ilmiahnya ketika di
rujuk pada bank data dunia World Register of
Marine Species sehingga hewan-hewan
tersebut berpotensi untuk di daftarkan sebagai
temuan spesies baru.
Data dari penelitian ini dapat dijadikan
rujukan untuk penellitian berikutnya dalam
keanekaragaman dan struktur komunitas
hewan mollusca di di zona litoral pesisir timur
Pulau Bintan.
Zona litoral pesisir timur Pulau Bintan
dapat dijadikan sebagai lokasi laboratorium
alam dalam mempelajari hewan-hewan
mollusca kelas Bivalvia dan Gastropoda.
TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Lembaga Penelitian
Universitas Maritim Raja Ali Haji yang telah
memberikan dana untuk kegiatan penelitian
studi biologi dan ekologi hewan filum
mollusca di zona litoral pesisir timur pulau
bintan
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Kabupaten Bintan.2009. Peta Admin
Kab. Bintan. Bank Data Bappeda
Bintan. Kabupaten Bintan.
Bupati Bintan 2007 Keputusan Bupati Bintan
Nomor : 36/VIII/2007 TENTANG
Kawasan Konservasi Laut Daerah
Kabupaten Bintan. KAbupaten Bintan.
COREMAP.2013.
http://www.coremap.or.id/datin/molus
c/
Irawan, H. 2012. Bahan Ajar Avetebrata Air,
Filum Mollusca. Handout
Irawan, H. 2012. Penuntun Praktikum
Avertebrata Air, , Filum Mollusca.
McKenzie, L. 2007. Undertanding Sediment.
Seagrass Watch.
Nuraini dan Rusliadi. 2009. Buku Ajar
Avertebrata Air. PUSBANGDIK
UNRI. Pekanbaru.
Satker Direktorat Konservasi dan Taman
Nasional Laut Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil
Departemen Kelautan Dan Perikanan.
2009. Mengenal Kawasan Konservasi
Perairan (Laut) Daerah. Program
rehabilitasi dan pengelolaan terumbu
karang (COREMAM II). Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, Pulau-
Pulau Kecil Departemen Kelautan Dan
Perikanan. Jakarta Selatan. ISBN 978-
602-8717-30-4.
Suginyo.S., Widigdo,B., Wardianto,Y., dan
Krisanti,M. 2005. Avertebrata Air Jilid
I. Penebar Swadaya. Jakarta
World Register of Marine Species. 2013.
http://www.marinespecies.org
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
15
Tabel 1. Spesies dan tempat ditemukannya hewan filum Mollusca di pesisir timur pulau Bintan No Gambar dan nama ilmiah Tampat ditemukan
Desa
gunung kijang
Daerah
kawal
Desa
malang rapat pulau
pucung
Desa
malang rapat
tanjung
keling
Desa
malang rapat
teluk
dalam
Desa
Teluk
Baka
u
1
Anadara antiquata (Linnaeus, 1758)
√
3
Isognomon californicum (Conrad, 1837)
√
3
Isognomon isognomum (Linnaeus, 1758)
√ √ √ √
4
Isognomon radiatus (Anton, 1838)
√ √
5
Pecten maximus (Linnaeus, 1758)
√
6
Placuna sp
√
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
16
7
Barbatia foliata (Forsskål in Niebuhr, 1775)
√
8
Barbatia novaezealandiae (E. A. Smith,
1915)
√
9
Pitar albidus (Gmelin, 1791)
√
10
Coecella chinensis (Deshayes, 1855)
11
Gafrarium sp
√ √ √
12
Fragum unedo (Linnaeus, 1758)
√
13
√
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
17
Circe scripta (Linnaeus, 1758)
14
Lioconcha berthaulti (Lamprell dan Healy,
2002)
√ √
15
Hippopus porcellanus (Rosewater, 1982)
√
16
Lima vulgaris (Link, 1807)
√
17
Atrina (Atrina) vexillum (Born, 1778)
√
18
Atrina zelandica (Gray, 1835)
√ √ √
19
Atrina chinensis (Deshayes, 1841)
√
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
18
20
Pinna muricata (Linnaeus, 1758)
√
21
Corculum cardissa (Linnaeus, 1758)
√
22
Tridacna crocea (Lamarck, 1819)
√
23
Tridacna squamosa (Lamarck, 1819)
√
24
Anomia trigonopsis (Hutton, 1877)
√
25
Carditopsis smithii (Dall, 1896)
√
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
19
26
Pedum spondyloideum (Gmelin, 1791)
√
27
Volema pyrum (Gmelin, 1791)
√
28
Pugilina cochlidium (Linnaeus, 1758)
√ √ √
29
Gibberulus gibberulus (Linnaeus, 1758)
√
30
Canarium urceus (Linnaeus, 1758)
√
31
Canarium mutabile (Swainson, 1821)
√ √
32
Laevistrombus turturella (Röding, 1798)
√ √
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
20
33
Vasum turbinellus (Linnaeus, 1758)
√
34
Chicoreus capucinus (Lamarck, 1822)
√ √
35
Chicoreus sp
√ √
36
Semiricinula fusca (Küster, 1862)
√ √
37
Nerita undata (Linnaeus, 1758)
√
38
Narasius pullus
√ √ √
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
21
39
Cerithidea cingulata (Gmelin, 1791)
√ √
40
Cerithium zonatum (Wood, 1828)
√
41
Thais sp
√
42
Pictocolumbella ocellata (Link, 1807)
√ √
43
Cypraea tigris (Linnaeus, 1758)
√
44
Mauritia arabica (Linnaeus, 1758)
√
45
Lambis lambis (Linnaeus, 1758)
√ √ √
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
22
46
Tectus niloticus (Linnaeus, 1767)
√ √
47
Trochus maculatus (Linnaeus, 1758)
√ √ √
48
Astralium calcar (Linnaeus, 1758)
√ √
49
Cerithium nodulosum (Bruguière, 1792)
√ √
50
Turritella terebra (Linnaeus, 1758)
√
51
Conus tabidus (Reeve, 1844)
√
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
23
52
Rhinoclavis (Rhinoclavis) sinensis (Gmelin,
1791)
√
53
Neverita didyma (Röding, 1798)
√
54
Melo melo (Lightfoot, 1786)
√
55
Cymbiola nobilis (Lightfoot, 1786)
√
56
Conus josephinae (Rolán, 1980)
√
57
Canarium labiatum (Röding, 1798)
√
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
24
58
Turbo haynesi (Preston, 1914)
√
59
Turbo bruneus (Röding, 1798)
√
60
Ampullina sp ( Cossman, 1918)
√
61
Angaria delphinus (Linnaeus, 1758)
√
62
Ergalatax junionae (Houart, 2008)
√ √
63
Planaxis sulcatus (Born, 1778)
√ √ √
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
25
64
Clypeomorus nympha (Houbrick, 1985)
√
65
Clypeomorus pellucida (Hombron &
Jacquinot, 1852)
√
66
Batillaria zonalis (Bruguière, 1792)
√ √
67
Morula (Morula) nodulosa (C. B. Adams,
1845)
√ √
68
Semiricinula tissoti (Petit de la Saussaye,
1852)
√
69
Telescopium telescopium (Linnaeus, 1758)
√ √
Studi Biologi Dan Ekologi….
Henky Irawan, Falmi Yandri
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26
26
70
Engina menkeana (Dunker,1860)
√
Jenis hewan Kelas Gastropoda yang belum ada nama ilmiahnya
71
√
72
√
73
√
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
27
KAJIANANALITIK STOK DAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD
(TKG) IKAN SELIKUR (Megalaspis cordyla) DI TEMPAT
PENDARATAN IKAN KOTA TANJUNGPINANG
Winny Retna Melani dan Andi Zulfikar
Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan
Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kajian stok ikan Selikur (Megalaspis cordyla) di Wilayah Perairan Tanjungpinang
merupakan salah-satu upaya kajian stok ikan berbasis spesies dan diharapkan menjadi langkah
awal pendataan untuk terbentuknya basis data perikanan di Wilayah Perairan Propinsi
Kepulauan Riau, baik secara umum (holistik) maupun spesifik (analitik). Persaman regresi
hubungan panjang berat ikan selikur tiap bulannya adalah y = 2.4951x-1.224, R2 = 0.87
dengan persamaan hubungan panjang berat ikan selikur per bulannya adalah W = 0.2941
L2.4951
. Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan betina Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006]
,
sedangkan untuk ikan jantan Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]
. Laju pertumbuhan ikan selikur jantan
lebih cepat dibandingkan ikan selikur betina.Ikan selikur betina mempunyai nilai L infiniti
(nilai maksimum panjang yang dapat dicapai) sebesar 51.36 cm, lebih besar dibandingkan
ikan jantan (41.59 cm). Laju mortalitas total (Z) ikan selikur jantan sebesar 2,83, mortalitas
alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 1,52, laju mortalitas akibat ditangkap nelayan
(F) 1,31 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,46 (0,5) atau telah mencapai laju eksploitasi
optimum. Persamaan regresi y = -2,83x + 9,535 R2 = 0,89.Laju mortalitas total (Z) ikan
selikur betina sebesar 0,931, mortalitas alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 0,6, laju
mortalitas akibat ditangkap nelayan (F) 0,33 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,35 atau
belum mencapai laju eksploitasi optimum. Persamaan regresi y = -0,931x + 8,137, R2 = 0,81.
Kata Kunci: Pendaratan ikan, selikur, laju pertumbuhan, laju mortalitas
ABSTRACT
Selikur fish (Megalaspis cordyla) stock assessments in Tanjungpinang seawaters area is an
efforts to a species-based fish stock assessment and be expected to become the first step of
establishment fisheries database in Kepulauan Riau Province seawater areas, both in general
(holistic) or specific (analytic). Regression equation length weight relation of selikur fish each
month is y = 2.4951x-1.224, R2 = 0.87 with the weight of the selikur fish length relation
equation per month is W = 0.2941 L2.4951
. Von Bertalanffy growth parameters of female fish
Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006]
, whereas for male fish Lt = Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05].
The growth rate of
selikur male fish faster than the selikur female fish. selikur female fish has L infiniti value (
maximum length value that can be achieved) of 51.36 cm, larger than the male (41.59 cm).
total mortality rate (Z) of selikur male fish was 2,83, natural mortality (M) with an average
temperature of 28oC was 1.52, the rate of mortality from fishermen capture (F), 1.31 with
Exploration rate value (E) was 0.46 (0.5) or has reached the rate of optimum exploitation.
regression equation y = -2,83x + 9,535 R2 = 0,892. Total mortality rate of females selikur fish
(Z) was 0.931, natural mortality (M) with an average temperature of 28oC was 0.6, the rate of
mortality from fishermen catch (F) 0.33 with exploitation rate value (E) 0.35 or has not yet
reached the optimum exploitation rate. Regression equation is: y = -0,931x + 8,137, R2 =
0,81.
Keywords: fish landing, selikur fish, growth rate, mortality rate
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
28
PENDAHULUAN Provinsi Kepulauan Riau
(Kepri) secara geografis terletak pada 1°10' LS-5°10' LU dan 102° 50'-109°20' BT. Luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau mencapai 425.214,6679 km² yang terdiri dari perairan laut seluas 417.005,0594 km² (98,05%). Sementara itu, luas daratannya mencapai 8.209,605 km² (1,95%) yang terdiri dari gugusan pulau besar dan kecil.ProvinsiKepulauan memiliki panjang garis pantai 2.367,6 km, dengan jumlahpulau-pulau kecil 2.408 buah pulau, yang dihunipenduduk hanya sekitar 385 pulau. Kondisi geografis tersebut membuat Provinsi Kepulauan Riau mempunyai potensi kelautan yang sangat besar, khususnya sektor perikanan tangkap.Secara garis besar, jenis sumber daya ikan yang terdapat di perairan laut Kepri adalah: kelompok sumber daya ikan pelagis (tongkol, tenggiri, kembung, layang, teri, selikur dan sebagainya), kelompok sumber daya ikan demersal (kakap merah, kurisi, beloso, bawal, dan lain-lain), kelompok sumber daya ikan karang (kerapu, baronang, napoleon, dan lain-lain), kelompok sumber daya moluska (cumi-cumi, sotong, dan lain-lain), dan kelompok sumber daya krustase (kepiting, rajungan), dan kelompok sumber daya udang.
Kota Tanjungpinang adalah kota utama dan merupakan ibukota Provinsi Kepulauan Riau.Berdasarkan survei yang telah dilakukan (Kapal Riset MV.SEAFDEC, 2006 dan Komisi Nasional Pengkajian Jenis Ikan/Komnasjiskan, 2011yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. KEP.45/MEN/2011)dugaan potensi perikanan tangkap disekitar perairan Kota Tanjungpinang mencapai kisaran 166,3-211,41 ton/tahun. Menurut survey tersebut juga dinyatakan bahwa secara umum sektor penangkapan ikan di Wilayah Kota Tanjungpinang untuk semua kelompok ikan telah melebihi potensi yang ada (overfishing).Survey ini menggunakan pendekatan analisis holistik yaitu berdasarkan data berat total/tonnase ikan dengan metode Catch per Unit Effort (CPUE) dan model surplus production Schaefer, tidak melihat jenis/spesies ikan.
Fenomena umum ini perlu mendapat perhatian yang serius dan
kajian-kajian lanjut yang lebih spesifik (berbasis spesies/jenis) serta mendetail mengenai kondisi stok ikan di alam, agar potensi tersebut dapat dikelola secara berkelanjutan. Model alternatif selain metode diatas adalah model dengan menggunakan metode analitik (kajian berbasis spesies, panjang, berat dan konversi panjang ke umur ikan dan lain-lain).Metode analitik ini dapat digunakan sebagai pelengkap dan konfirmasi mengenai kondisi stok ikan spesies/jenis tertentu (terutama ikan yang secara ekologi sangat penting atau secara ekonomi mempengaruhi kondisi kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat nelayan yang menangkap ikan tersebut).
Salah-satu spesies ekonomis penting di Kota Tanjungpinang yang layak dijadikan kajian untuk dianalisis dinamika dan kondisi stoknya di alam adalah ikan selikur (Megalaspis cordyla).Ikan selikur merupakan salah-satu jenis ikan dalam kelompok ikan pelagis kecil.Ikan selikur hidup di lingkungan pelagis kisaran kedalaman kurang dari 200 m (Satria et al,2002).Harga ikan selikur dipasaran Kota Tanjungpinang berkisar antara Rp 30.000,-per kilogram (pada saat musim angin sekitar bulan Desember, Januari, Februari dan Maret) dan Rp.25.000,- per kilogram (pada saat musim tenang).
Kajian stok ikan didaerah tropis dapat dilakukan melalui metode analitik berdasarkan ukuran panjang-berat yang dikonversi ke dalam kelompok umur yang sama/kohort (Cadima, E.L., 2003).Analisi hubungan panjang–berat ikan merupakan salah satuinformasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber dayaperikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikanyang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap. Analisa hubungan panjang–berat jugadapat mengestimasi faktor kondisi (index of plumpness)yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkankondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu(Singh,W., 2009).Aspek tingkat kematangan gonad (TKG) diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak, informasi kapan ikan tersebut akan
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
29
memijah, baru akan memijah, atau sudah selesai memijah (Patrick, Ket al.,2009).
Luaran Penelitian
Kondisi geografis Provinsi Kepulauan Riau dimana wilayah perairannya berbatasan dengan beberapa negara, sehingga perlu adanya riset kajian stok ini dalam lingkup lintas antar wilayah negara tersebut.Salah-satu hal yang mendesak adalah pembentukan jaringan basis data perikanan yang melibatkan antar negara, yang tiap negara dapat dengan bebas dan terkontrol untuk mengakses data tersebut untuk keperluan pendidikan ataupun komersial dalam bentuk pertukaran data kajian stok berbagai jenis ikan.Pembentukan basis data perikanan tersebut memerlukan berbagai kajian dasar yang mendalam dan terus menerus berbagai spesies ikan baik melalui model holistik maupun analitik.Selanjutnya kajian stok dan dinamika populasi ikan memerlukan kajian yang komprehensif dan dilakukan dalam runtun waktu yang panjang, terkait dengan pola musim dan tingkat pemanfaatan (penangkapan), agar estimasinya dapat reliable.Kajian yang komprehensif ini hanya dapat dilakukan melalui kolaborasi antar instansi terkait dengan program dan pendanaan yang kontinyu.
Agar hal tersebut dapat terealisasi maka pada tahap awal hasil penelitian ini akan dibuat dalam bentuk makalah untuk dapat disampaikan kepada instansi terkait yang diantaranya Badan Perencanaan Daerah Provinsi Kepri, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Provinsi Kepri agar dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan lingkungan. Selain itu juga hasil penelitian ini minimal akan dimuat di Jurnal Dinamika Maritim PSPL UMRAH. Kajian ini dapat memberikan gambaran data dasar tentang aspek biologi dan dinamika stok ikan selikur (Megalaspis cordyla).
METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel dan Data
Ikan yang dijadikan sampel hanya ikan yang ditangkap di Perairan Kota Tanjungpinang.Ikan sampel diambil di Pelantar (Pelabuhan) II Kota Tanjungpinang dari tanggal 21 Juni-27
September 2013.Interval pengambilan sampel 7 hari sekali dengan jumlah sampel variatif.Jumlah sampel bervariasi disebabkan hasil tangkapan juga beragam tergantung kondisi alam. Pemeriksaan gonad dilakukan di Laboratorium Kelautan dan Perikanan UMRAH.Pengambilan sampeldilakukan secara acak pada nelayan atau pengumpul.
Pengukuran dilakukan terhadap panjang total ikan (dari mulut sampai ujung ekor), berat basah ikan dan berat gonad setelah ikan dibedah.Panjang ikan diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm, berat ikan ditimbang menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 1 gram.Pengambilan gonad ikan selikur menggunakan alat bedah, ditimbang dan diamati dibawah mikroskop.
Model, Tahapan dan Variabel Pengukuran Penelitian
Kajian stok padapenelitian ini menggunakan model analitik berbasis panjang-berat.Umur ikan diduga dari parameter pertumbuhan Von Bertalanffy setelah dilakukan pemisahan kelompok umur (kohort) dengan metode Density estimation via Gaussian finite mixture modeling (dikomparasi dengan metode Bhattacharya dan Normsep).
Analisis Data a. Sebaran Frekuensi Panjang
Berdasarkan data panjang hasil pengukuran, dibuat analisis statistik deskriftifnya untuk melihat pola sebaran data. Kemudian dibuat tabel frekuensi distribusinya, diplotkan dalam grafik untuk melihat pergeseran sebaran kelas panjangnya.Pergeseran tersebut untuk melihat gambaran awal dari kelompok umur (kohort).
b. Pemisahan Kelompok Umur Identifikasi kelompok umur
(kohort) dilakukan menggunakan metode Density Estimation via Gaussian Finite Mixture Modeling(software R paket mclust), Bhattacharya dan dipertajam dengan metode maximum likelihood function (Normal Separation/NORMSEP). Metode Bhattacharyamenggunakan transformasi distribusi normal kedalam suatu persamaan garis lurus, memisahkan suatu distribusi
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
30
komposit ke dalam suatu kelompok umur terpisah.Sementara NORMSEP berdasarkan persamaan :
L= ∑fiLog∑pjqijdimana i=1, j =1
dengan ketentuan :
qij = (1/σj√2π)*exp -1/2(xi-μj/σj)2
Perhitungan menggunakan
bantuan software FISAT II FAO-
ICLARM Ver1.2.2
c. Parameter Pertumbuhan Von
Bertalanffy
-Parameter pertumbuhan menggunakan
persamaan Von Bertalanffy :
L(t) = L∞ * [1 - exp (-K*(t-to)]
- Pendugaan nilai L∞, K, to
menggunakan metode Ford-Walford
K = (-LN b), L∞= a/(1-b),
- Pendugaan to menggunakan persaman
Pauly:
log(-to) = 0,3922 - 0,2752(log L∞)
- 1,038(log K)
d. Mortalitas
Parameter yang diestimasi :
Mortalitas Total (Z), persamaan b = -
Z, langkah-langkahnya sebagai
berikut :
- Mengkonversikan data panjang ke
data umur dengan menggunakan
inverse persamaan von
Bertalanffy
1 L
t(L) = t0 - * In 1-
K L∞
- Menghitung waktu yang
diperlukan oleh rata-rata ikan
untuk tumbuh dari panjang L1 ke
L2 (perubahan nilai t)
1 (L∞ - L1)
∆t = t (L2) – t
(L1)
= *
In
K (L∞ - L2)
- Menghitung (t+ delta t/2)
1 (L1 + L2)
t (L1 + L2)
= t0
- *
In
1-
2 K 2L∞
a.Menurunkan kurva hasil
tangkapan (C) yang dilinierkan yang
dikonversikan ke panjang
C(L1,L2) (L1+L2)
In = c - Z*t
∆t(L1,L2) 2
- Laju Mortalitas Alami (M)
menggunakan rumus Pauly untuk
ikan bergerombol (schooling):
M = 0.8*e (-0.0152-0.279*LN (L∞)
+0.6543*LN (K)+0.463*LN (rata-rata suhu)
- Laju Mortalitas Penangkapan F
= Z-M
- Laju Eksploitasi E = F/Z
e. Hubungan Panjang Berat
Hubungan panjang berat menggunakan
persamaan :
W = a L b ,linearisasi menggunakan
persamaanLN (W) = LN(a) + b LN
(L)Untuk menguji nilai b=3 atau
b ≠ 3 (b>3, pertambahan berat lebih
cepat dari pada pertambahan
panjang) atau (b<3, pertambahan
panjang lebih cepat dari pada
pertambahan berat) dilakukan uji‐t (Sparre and Vanema, 1999 dalam
Pope dan Kruse, 2007), dengan
hipotesis :
H0 : β = 3, hubungan panjang dengan
berat adalah isometrik
H1 : β ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik b1 adalah
nilai b (hubungan dari panjang berat),
b0 adalah 3, dan Sb1 adalah
simpangan koefisien b.Selanjutnya,
nilai thitung dibandingkan dengan nilai
ttabel pada selang kepercayaan 95%,
jika thitung> ttabel maka tolak hipotesis
nol (H0) dan jika thitung< ttabel maka
gagal tolak hipotesis nol (H0).
b1 – b0
t hitung =
Sb1
f. Faktor Kondisi
Faktor kondisi dihitung
berdasarkan ketentuan sebagai
berikut (Sparre and Vanema, 1999
dalam Pope dan Kruse, 2007):
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
31
a) Jika pertumbuhan ikan isometrik (b=3) :
K = W.102 / L3
b) Jika pertumbuhan ikanallometrik(b≠3) :
K = W / aLb
g. Nisbah Kelamin - Indeks Kematangan Gonad
(IKG)
IK = BG/BT X 100
IKG = Indeks Kematangan
Gonad
BG = Berat Gonad (gram)
BT = Berat Total Ikan
(gram)
- Nisbah kelamin digunakan
untuk melihat perbandingan
ikan jantan dan ikan
Betina, menggunakan rumus
berikut:
p = n/N X 100%
p adalah proporsi ikan
(jantan/betina), n adalah
jumlah jantan atau betina, dan
Nadalah jumlah total ikan
(jantan + betina).
- Untuk melihat sebaran
kelamin ikan dengan
menggunakan selang
kepercayaan
95% ialah :
p-1.64√pq/n ≤ π ≤
p+1.64√pq/n
p adalah proporsi betina, q
adalah proporsi jantan, n
adalah jumlah ikan betina
danjantan, dan 1,96 adalah
nilai z pada selang
kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Sampel dan Data Penelitian
Pengambilan data dilakukan
selama ±4 bulan, mulai dari tanggal 21
juni 2013- 27 September 2013 dengan
jumlah total sampel ikan 471 ekor,
dengan jumlah ikan jantan (M) sebanyak
219 ekor, ikan betina (F) sebanyak 204
ekor dan tidak teridentifikasi (NI)
sebanyak 48 ekor. Data pengukuran
meliputi ukuran panjang total (Total
Length), berat basah tubuh (Weight) dan
Berat Gonad (Gonad Weight).
Korelasi antara panjang total,
berat basah tubuh, berat gonad dan
Gonad Somatic Index (GSI)
menunjukkan korelasi yang kuat antara
berat gonad dan GSI (R2 0.91) dan
antara panjang total dan berat (R2 0.87).
Sedangkan korelasi antara panjang total
(total length) dengan berat tubuh
(weight) dan berat gonad (gonad weight)
menunjukkan hubungan yang sedang (R2
0.5).Grafik korelasi antara panjang total
(total length), berat basah tubuh
(weight), berat gonad (gonad weight)
dan GSI (Gonad Somatic Index).
Uji Anova Panjang Total
Uji anova dilakukan untuk
melihat komparasi sebaran panjang total
ikan selikur apakah ada indikasi
perbedaan sebaran panjang baik antar
jenis kelamin maupun per bulannya.
Faktor Bulan
Uji anova panjang total ikan
(respon) dengan faktor bulan
menunjukkan hasil yang sangat
signifikan diantara 4 faktor Bulan
tersebut. Uji lanjut Tukey menunjukkan
pada bulan September merupakan bulan
dengan panjang total rata-rata paling
berbeda dan paling beragam
dibandingkan dengan bulan-bulan yang
lain.
Faktor Jenis Kelamin
Uji anova Panjang Total
(respon) dengan faktor Jenis Kelamin
juga menunjukkan hasil yang sangat
signifikan. Uji lanjut Tukey
menunjukkan antara Jantan (Male) dan
Betina (Female) tidak terdapat
perbedaan, sedangkan untuk ikan yang
tidak dapat teridentifikasi jenis
kelaminnya (NI) berbeda sangat nyata
dengan keduanya.
Hubungan Panjang-Berat Ikan
Selikur (Megalaspis cordyla) Hubungan panjang-berat
menunjukkan pola pertumbuhan
isometric atau allometrik. Hubungan
panjang berat dianalisis menggunakan
persamaan regresi dengan transformasi
log data panjang total dan berat basah
tubuh ikan tiap bulannya. Uji anova
dengan p value < 0.05 menunjukkan
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
32
bahwa model regresi ini bisa digunakan
untuk memprediksi hubungan panjang-
berat.
Dari nilai estimasi log panjang
total diperoleh nilai slope (b) sebesar
2.4951. Untuk menguji nilai b = 3 atau b
≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial), dengan
hipotesis:
H0 : b = 3, hubungan panjang dengan
berat adalah isometrik.
H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan
berat adalah allometrik, dimana:
1. Allometrik positif, jika b>3
(pertambahan berat lebih cepat
daripada pertambahan panjang)
2. Allometrik negatif, jika b<3
(Pertambahan panjang lebih
cepat daripada pertambahan
berat)
Nilai p value menunjukkan <0.05 yang
berarti ikan selikur mempunyai pola
pertumbuhan allometrik negatif tiap
bulannya (b < 3, pertambahan panjang
lebih cepat daripada pertambahan berat)
atau Ho ditolak.
Dari persaman regresi
didapatkan nilai titik potong (a) sebesar
-1.224, dan nilai kemiringan (b) sebesar
2.4951 maka dapat ditentukan
persamaan hubungan panjang berat ikan
selikur per bulannya W = 0.2941 L2.4951
Gambar 1. Grafik Hubungan Panjang-
Berat Ikan Selikur
(Megalaspis cordyla) Selama
Bulan Penelitian (y =
2.4951x-1.224, R2 = 0.87)
Pemisahan Kelompok Umur (Kohort)
Pemisahan kelompok umur
dilakukan menggunakan metode Density
estimation via Gaussian finite mixture
modeling dengan bantuan perangkat
lunak R paket mclust.
Kelompok Umur Ikan Jantan
Hasil pemisahan kelompok
umur ikan Selikur Jantan terindikasi ada
2 kelompok umur dengan nilai rata-rata
panjang sebesar 28.81 cm/jumlah 113
ekor dan 31.15 cm/jumlah 106 ekor.
Gambar 2.Histogram dan QQ-Plot
Distribusi Kelompok Umur
Ikan Jantan
Kelompok Umur Ikan Betina
Hasil pemisahan kelompok
umur ikan selikur betina terindikasi ada
2 kelompok umur dengan nilai rata-rata
panjang sebesar 29.20 cm/jumlah 85
ekor dan 31.69 cm/jumlah 119 ekor.
Gambar 3. Histogram dan QQ-Plot
Distribusi Kelompok Umur
Ikan Betina
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
33
Parameter Pertumbuhan Von
Bertalanffy
Ikan Betina
Parameter pertumbuhan Von
Bertalanffy ikan betinaLt=51.36(1-e[-
0,24(t+0,006]
Parameters: Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
Linf 5.136e+01 5.373e-02 955.968 <2e-16 ***
K 2.413e-01 6.706e-04 359.826 <2e-16 ***
t0 6.678e-03 4.018e-03 1.662
0.0981
Signif.codes: 0 „***‟ 0.001 „**‟ 0.01 „*‟ 0.05 „.‟ 0.1 „ ‟ 1
Residual standard error: 0.01339 on 200 degrees of freedom
Number of iterations to convergence: 2
Achieved convergence tolerance: 2.711e-06
Residual sum of squares: 0.0359
Asymptotic confidence interval:
2.5% 97.5%
Linf 51.25 51.46817888
K 0.239 0.24261186
t0 -0.001 0.014
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Ikan
Selikur Betina(Lt=51.36(1-e[-
0,24(t+0,006])
Ikan Jantan Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan jantan
Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]
Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
Linf 41.59627 0.27062 153.710
<2e-16 ***
K 0.90486 0.02478 36.520
<2e-16 ***
t0 -0.04934 0.02018 -2.445
0.0153 *
Signif.codes: 0 „***‟ 0.001 „**‟ 0.01 „*‟ 0.05 „.‟ 0.1 „ ‟ 1
Residual standard error: 0.2938 on 216 degrees of freedom
Number of iterations to convergence: 3
Achieved convergence tolerance: 3.168e-07
Residual sum of squares: 18.6
Asymptotic confidence interval:
2.5% 97.5%
Linf 41.06288818 42.129660888
K 0.85602350 0.953694325
t0 -0.08911795 -0.009567808
Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Ikan
Selikur Jantan (Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]
)
Dari nilai K (koefisien
pertumbuhan per tahun) dan kurva
pertumbuhan, diketahui bahwa laju
pertumbuhan ikan selikur jantan (nilai K
0,9) lebih cepat dibandingkan ikan
selikur betina (nilai K 0,24). Ikan selikur
betina mempunyai nilai L infiniti (nilai
maksimum panjang yang dapat dicapai)
sebesar 51.36 cm, lebih besar
dibandingkan ikan jantan (41.59 cm).
4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Ikan Selikur
Laju mortalitas total (Z) diduga
dengan kurva tangkapan yang
dilinierkan berdasarkan data komposisi
panjang (Sparre dan Venema
1999). Laju mortalitas yang dihitung
adalah mortalitas total (Z), mortalitas
alami (M) atau mortalitas akibat usia
tua, penyakit, predator dan sebagainya,
mortalitas akibat penangkapan (F) atau
kematian akibat ditangkap nelayan, dari
nilai ini kemudian diduga laju
eksploitasinya (E). Laju mortalitas
penangkapan (F) atau laju eksploitasi
optimum menurut Gulland(1971)
dalamPauly (1984) adalah:Foptimum =
M dan Eoptimum = 0.5. Perhitungan
menggunakan perangkat lunak FISAT II
Ver 1.2.2 FAO-ICLARM .
4.6.1. Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Ikan Selikur Jantan
Laju mortalitas total (Z) ikan
selikur jantan sebesar 2,83, mortalitas
alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC
sebesar 1,52, laju mortalitas akibat
ditangkap nelayan (F) 1,31 dengan nilai
laju eksploitai (E) sebesar 0,46 (0,5)
atau telah mencapai laju eksploitasi
optimum. Persamaan regresi y = -2,83x
+ 9,535 R2 = 0,89.
Gambar 6. Kurva Tangkapan Berbasis
Data Panjang Total Jantan
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
34
Mortalitas dan Laju Eksploitasi Ikan
Selikur Betina
Laju mortalitas total (Z) ikan
selikur betina sebesar 0,931, mortalitas
alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC
sebesar 0,6, laju mortalitas akibat
ditangkap nelayan (F) 0,33 dengan nilai
laju eksploitai (E) sebesar 0,35 atau
belum mencapai laju eksploitasi
optimum. Persamaan regresi y = -0,931x
+ 8,137, R2 = 0,81.
Gambar 7. Kurva Tangkapan Berbasis
Data Panjang Total
IkanSelikur
KESIMPULAN DAN SARAN.
Kesimpulan
1. Perbandingan panjang total ikan
selikur (Megalaspis cordyla)
yang didaratkan pada
pendaratan ikan Pelantar II
Tanjungpinang terdapat
perbedaan yang sangat nyata
tiap bulannya berdasarkan jenis
kelamin (jantan, betina dan ikan
yang tidak teridentifikasi).
Bulan September merupakan
bulan dimana sebaran panjang
total ikan selikur paling berbeda
dengan bulan-bulan lainnya.
2. Persaman regresi hubungan
panjang berat ikan selikur tiap
bulannya adalah y = 2.4951x-
1.224, R2 = 0.87 dengan
persamaan hubungan panjang
berat ikan selikur per bulannya
adalah W = 0.2941 L2.4951
. Ikan
selikur mempunyai pola
pertumbuhan allometrik negatif
tiap bulannya (b < 3,
pertambahan panjang lebih
cepat daripada pertambahan
berat).
3. Kelompok umur ikan selikur
jantan terindikasi ada 2
kelompok umur dengan nilai
rata-rata panjang sebesar 28.81
cm/jumlah 113 ekor dan 31.15
cm/jumlah 106 ekor. Kelompok
umur ikan belikur betinajuga
terindikasi ada 2 kelompok
umur dengan nilai rata-rata
panjang sebesar 29.20
cm/jumlah 85 ekor dan 31.69
cm/jumlah 119 ekor.
4. Parameter pertumbuhan Von
Bertalanffy ikan betina
Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006]
,
sedangkan untuk ikan jantan
Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]
. Laju
pertumbuhan ikan selikur jantan
lebih cepat dibandingkan ikan
selikur betina. Ikan selikur
betina mempunyai nilai L
infiniti (nilai maksimum
panjang yang dapat dicapai)
sebesar 51.36 cm, lebih besar
dibandingkan ikan jantan (41.59
cm).
5. Laju mortalitas total (Z) ikan
selikur jantan sebesar 2,83,
mortalitas alami (M) dengan
rata-rata suhu 28oC sebesar 1,52,
laju mortalitas akibat ditangkap
nelayan (F) 1,31 dengan nilai
laju eksploitai (E) sebesar 0,46
(0,5) atau telah mencapai laju
eksploitasi optimum. Persamaan
regresi y = -2,83x + 9,535 nilai
R2 = 0,89.
6. Laju mortalitas total (Z) ikan
selikur betina sebesar 0,931,
mortalitas alami (M) dengan
rata-rata suhu 28oC sebesar 0,6,
laju mortalitas akibat ditangkap
nelayan (F) 0,33 dengan nilai
laju eksploitai (E) sebesar 0,35
atau belum mencapai laju
eksploitasi optimum. Persamaan
regresi y = -0,931x + 8,137, R2
= 0,81.
Saran
1. Eksploitasi untuk ikan selikur
jantan telah mencapai tingkat
optimum dan ikan betina
mendekati nilai optimum, perlu
dilakukan kajian lanjut yang
kontinyu oleh instansi terkait
untuk verifikasi hasil tersebut dan
untuk formulasi regulasi
Kajian Analitik Stok…..
Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35
35
perikanan khususnya untuk ikan
selikur.
2. Dari hasil penelitian, pada bulan
September terjadi perubahan
signifikan sebaran panjang total
ikan selikur yang didaratkan di
TPI Tanjungpinang (ukuran ikan
didominasi ukuran kecil), perlu
dikaji dengan periode waktu yang
lebih lama dan dengan jumlah
yang lebih besar untuk konfirmasi
hasil tersebut, untuk mengetahui
dinamika perubahan stok ikan
selikur per tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Cadima, E.L.2003. Fish stock
assessment manual. FAO Fisheries
Technical Paper.No. 393. Rome,
FAO. 2003. 161p.
Dinas Kelautan dan Propinsi Kepulauan
Riau.2011. Laporan Akhir : Studi
Identifikasi Potensi Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan Provinsi
Kepulauan Riau. DKP Kepri dan
Pt. Maton Selaras Consultant.981
hal.
Kolding, J. and Ubal Giordano, W.
2002. Lecture notes. Report of the
AdriaMed Training Course on Fish
Population Dynamics and Stock
Assessment.FAO-MiPAF Scientific
Cooperation to Support
Responsible Fisheries in the
Adriatic
Sea.GCP/RER/010/ITA/TD-
08.AdriaMed Technical
Documents, 8: 143 pp.
Patrick, K et al. 2009. Guide to Fisheries
Science and Stock Assesment.
Atalantic State Marine
Comission.NOOA-USA.74p.
Pope,K..L and C.G. Kruse. 2007.
Analysis and Interpretation of
freshwater fisheries data. Pages
423-471 in C.S. Guy, and M.L.
PBrown (editors).American
Fisheries Society, Bethesda, MD.
Richter, T.J. 2007.Development and
evaluation of standardweight
equations for bridge-lip suckers and
large-scalesuckers.North American
Journal of Fisheries
Management27(3): 936-939.
Satria A. 2002. Desentralisasi
Pengelolaan Wilayah Laut (Belajar
dari PengalamanJepang). Prosiding
Lokakarya Regional Pulau
Sulawesi tentang
”DesentralisasiPengelolaan
Wilayah Laut”. Lembaga Studi dan
Pemberdayaan MasyarakatPesisr
dengan Partnership for Governance
Reform in Indonesia dan PT.
PustakaCesindo. Jakarta.
Singh, W. 2009.Assessing the status of
fish stock for management:
thecollection and use of basic
fisheries data and
statistics.Fisheries \training
Programme.99 p.
Valdez, R.A. 2008. Animas River
fisheries database synthesis and
analysis. Final Report.SWCA,
Environmental Consultants,
Broomfield, Colorado.
Ward, T.M and Rogers, P.J. 2007.
Development and evaluation of
egg-based stock assessment
methods for blue mackerel
Megalaspis cordyla in southern
Australia.SARDI Aquatic
Sciences.Australia .468
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
36
KAJIAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK
TERHADAP KELIMPAHAN KEONG BAKAU (Telescopium telescopium)
DI PERAIRAN TELUK RIAU TANJUNGPINANG
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar
Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan
Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kandungan bahan organik terhadap
kelimpahan keong bakau (Telescopium telescopium) di perairan Teluk Riau Kota
Tanjungpinang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan
analisis data menggunakan analisis regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa kelimpahan keong bakau di setiap stasiun penelitian yaitu 1 – 5
ind/m2. Kemudian kandungan organik substrat di setiap stasiun penelitian yaitu 17,75 –
62,70 %. Berdasarkan hasil analisis keong bakau dengan menggunakan tingkat
kepercayaan 95%, diperoleh nilai koefisien determinasi (R²) yaitu 0,655. Artinya
pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau diseluruh stasiun
sebesar 65,5% sementara 35,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
diketahui.
Kata kunci: kandungan bahan organik, keong bakau, kelimpahan.
ABSTRACT
This research aims to know the influence of organic matter content on bakau snail
abundance (Telescopium telescopium) in the town of Tanjung Pinang of Riau in Gulf
waters. The method used in this research was a survey method and analysis of the data
using simple linear regression. The results of this research shows that bakau shell slug
abundance in every research station that is 1 - 5 ind/m2. Then the content of organic
substrates in each research station that is 17,75% - 62.70%. Based on the results of a
simple linear regression analysis among organic substances with an abundance of slugs
belongkeng, adjust R2 value 0,655. It means the influence of the content of organic matter
abundance of snails throughout the bakau shell station of 65,5% while the remaining
35.5% are influenced by other factors is not known.
Keyword : organic content, bakau shell, abundance
PENDAHULAN
Perairan Teluk Riau merupakan
salah satu perairan estuari yang terdapat
di Kota Tanjungpinang. Perairan Teluk
Riau disusun oleh pantai berlumpur,
sebagian ditumbuhi oleh vegetasi
mangrove dan sebagian juga masih
ditumbuhi vegetasi lamun. Dari
aktivitas-aktivitas yang ada akan
menghasilkan limbah akan menggangu
perairan Teluk Riau. Limbah yang
dihasilkan ada yang besifat organik dan
anorganik seperti dari kegiatan rumah
tangga dan kegiatan industri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Melani et al., (2012), bahwa
kondisi perairan Kota Tanjungpinang
yang didalamnya termasuk perairan
Teluk Riau tergolong buruk (poor)
dengan nilai CWQI (Canadian Water
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
37
Quality Index) sebesar 30. Jika bahan
organik melebihi ambang batas yang
sewajarnya maka akan bersifat
pencemar, meskipun bahan organik itu
sendiri merupakan nutrient bagi biota-
biota perairan.
Kandungan bahan organik yang
tinggi akan mempengaruhi tingkat
keseimbangan perairan. Menurut
Zulkifli et.al,, (2009) tingginya
kandungan bahan organik akan
mempengaruhi kelimpahan organisme,
dimana terdapat organisme-organisme
tertentu yang tahan terhadap tingginya
kandungan bahan organik tersebut,
sehingga dominansi oleh spesies tertentu
dapat terjadi. Pada penelitian ini
parameter kandungan bahan organik
yang diukur adalah Total Organic Matter
(TOM), TOM menggambarkan
kandungan bahan organik total dalam
suatu perairan yang terdiri dari bahan
organik terlarut, tersuspensi, dan koloid
(Hariyadi et. al., dalam Hamsiah, 2000).
Keong bakau merupakan deposit
feeder yang memanfaatkan bahan
organik yang mengendap di substrat
dasar perairan sebagai makanannya.
Ketersediaan bahan organik akan
memberikan variasi kelimpahan
terhadap organisme yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian
tentang kajian kandungan bahan organik
terhadap kelimpahan keong bakau di
perairan Teluk Riau.
Berkembangnya aktivitas
masyarakat di perairan pesisir Teluk
Riau dapat berpengaruh terhadap
kualitas perairan karena limbah yang
dihasilkan dari aktivitas masyarakat
tersebut umumnya dibuang langsung ke
perairan. Salah satu limbah yang akan
berpengaruh adalah limbah organik yang
mempengaruhi jumlah bahan organik
perairan. Jika bahan organik melebihi
ambang batas yang sewajarnya maka
akan bersifat pencemar, meskipun bahan
organik itu sendiri merupakan nutrien
bagi biota-biota perairan termasuk siput
belongkeng. Sehingga perlu diketahui
seberapa besar pengaruh kandungan
bahan organik (TOM) terhadap keong
bakau (Telescopium telescopium).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh kandungan
bahan organik terhadap kelimpahan
keong bakau (Telescopium telescopium)
di perairan Teluk Riau Kota
Tanjungpinang.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai
kelimpahan keong bakau (Telescopium
telescopium) serta kandungan bahan
organik di perairan Teluk Riau.
Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini
adalah:
Ho : Kandungan bahan organik
(TOM) tidak berpengaruh
terhadap kelimpahan
keong bakau (Telescopium
telescopium).
Ha : Kandungan bahan organik
(TOM) berpengaruh terhadap
kelimpahan keong bakau
(Telescopium telescopium).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada
bulan Juli sampai Agustus 2013 yang
berlokasi di perairan Teluk Riau
Kecamatan Tanjungpinang Kota
Provinsi Kepulauan Riau. Sedangkan
penelitian laboratorium dilakukan di
laboratorium Universitas Maritim Raja
Ali Haji dan Laboratorium Pembinaan
dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan
(LPPMHP) Tanjungpinang.
Alat Dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 2 NO Parameter Alat dan Bahan
1 Suhu Mulititest Model
YK-2005WA
2 DO Mulititest Model
YK-2005WA
3 pH Mulititest Model
YK-2005WA
4 Kekeruhan Turbidimeter
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
38
5 Arus Current Drouge
6 Salinitas Salinometer
7 COD Labu Erlemeyer,
Gelas Ukur, pipet
ukur, K2Cr2O2,
H2SO4.
8 TOM Oven, Furnace,
Desikator
9 pH Tanah Soil tester
10 Tipe Substrat Ayakan bertingkat
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode survei, yaitu
metode penelitian yang tidak melakukan
perubahan (tidak ada perlakuan khusus)
terhadap variabel yang akan diteliti
dengan tujuan untuk memperoleh serta
mencari keterangan secara faktual
tentang objek yang diteliti. Sumber data
dalam penelitian ini merupakan data
hasil pengukuran parameter fisika kimia
perairan di lapangan dan di laboratorium
serta data hasil olahan berupa nilai
kelimpahan dan analisis regresi
sederhana. Data yang diperoleh tersebut
ditabulasikan untuk selanjutnya dibahas
secara deskriptif, kemudian untuk
melihat pengaruh kandungan bahan
organik terhadap kelimpahan siput
belongkeng dilakukan dengan
menggunakan analisis regresi linier
sederhana dengan bantuan SPSS Ver.
17,00.
Penentuan Stasiun
Penentuan Lokasi stasiun
menggunakan metode purposive
sampling yaitu penentuan lokasi
berdasarkan atas adanya tujuan tertentu
dan sesuai dengan pertimbangan peneliti
sendiri sehingga mewakili populasi
(Arikunto, 2006). Stasiun pengamatan
tersebut meliputi (Lampiran 2):
Prosedur Pengambilan Sampel
Keong Bakau
Pengambilan sampel keong
bakau dilakukan pada saat surut di setiap
stasiun, dimana pada tiap stasiun
terdapat 3 titik sub stasiun yang terdiri
dari 3 transek. Penentuan transek
dilakukan secara tegak lurus ke arah laut
dengan mengguanakan plot yang
berukuran 1 x 1 m pada setiap transek,
dan jarak antar plot ± 5 m. Hal tersebut
dilakukan dengan pertimbangan batas
aktifitas yang ada di sekitar lokasi masih
memberikan pengaruh terhadap
perairan.
Perhitungan Kelimpahan Keong
Bakau
Kelimpahan populasi keong
bakau dihitung dengan menggunakan
rumus (Brower et al., 1989 dalam
Pratama, 2013).
Dimana :
Di = Jumlah individu per satuan
luas (individu / m2)
Ni = Jumlah individu dalam transek
kuadrat (individu)
A = Luas transek kuadrat (meter2)
Analisis Pengaruh Kandungan Bahan
Organik Terhadap Kelimpahan
Keong Bakau
Untuk melihat pengaruh
kandungan bahan organik terhadap
kelimpahan keong bakau dilakukan
dengan menggunakan analisis regresi
linier sederhana dengan bantuan sistem
komputerisasi SPSS Ver.17.00. Analisis
regresi linear sedehana bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh
variabel X (kandungan bahan organik)
terhadap variabel Y (kelimpahan keong
bakau). Secara matematis persamaan
regresi dapat digambarkan sebagai
berikut (Sudjana, 2002):
y = a + bx
Dimana:
y = Kelimpahan Keong Bakau
a = Koefisien
b = Konstanta
x = Kandungan Bahan Organik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Total Organik Substrat
(TOM)
Berdasarkan hasil pengukuran
nilai rata-rata kandungan total organik
substrat pada setiap stasiun penelitian
berkisar antara 17,75 – 62,70 %.
Kandungan total organik tertinggi
terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung
Unggat) yaitu sebesar 62,50 %,
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
39
kemudian pada Stasiun 1 (Senggarang)
yaitu sebesar 41,77 %, selanjutnya pada
Stasiun 4 (Kampung Bugis) yaitu
sebesar 40,77 % dan terendah pada
Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu sebesar
17,75 %.
Dapat dilihat pada gambar 4 bahwa nilai
total organik terendah terletak pada
Stasiun 3 (Sei Carang), sedangkan nilai
tertinggi terletak pada Stasiun 2
(Tanjung Unggat). Tingginya
kandungan organik substrat pada Stasiun
2 tersebut diduga dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu letak stasiun ini
yang berada di pemukiman penduduk
dan berseberangan dengan eksosistem
mangrove, sehingga mendapat banyak
pasokan bahan organik yang terbawa
oleh arus. Kemudian faktor berikutnya
yang turut berpengaruh terhadap
tingginya kandungan organik substrat
pada Stasiun 2 adalah Substrat yang
berupa lumpur (halus), menurut Wood
(1987) dalam Siddik (2011), pada
sedimen yang lebih halus memiliki
kandungan organik yang lebih banyak
dibandingkan dengan sedimen dengan
butiran yang lebih kasar.
Sedangkan kondisi sebaliknya
terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang)
yang memiliki kandungan total organik
terendah (17,75%). Kondisi ini diduga
dikarenakan tipe substrat yang dominan
terdiri dari pasir dan butiran yang
bertekstur/diameter kasar sehingga
menyebabkan bahan organik yang
berasal dari ekosistem mangrove
disekitarnya lebih sulit untuk tinggal dan
melekat pada substrat.
Kelimpahan Keong Bakau
Kelimpahan keong bakau di
perairan Teluk Riau dapat dikatakan
bervariasi pada setiap stasiun yaitu
berkisar mulai dari 1 – 5 ind/m2.
Kelimpahan tertinggi ditemukan pada
Stasiun 2 (Tanjung Unggat) yaitu 5
ind/m2, kemudian pada Stasiun 4
(Kampung Bugis) dengan kelimpahan 4
ind/m2, sedangkan keliimpahan terendah
terdapat pada Stasiun 1 (Senggarang)
dan Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu 1
ind/m2. Hal tersebut dikarenakan pada
masing-masing stasiun memiliki kondisi
habitat yang berbeda-beda sehingga
perbedaan tersebut sedikit banyak
mempengaruhi kehidupan keong bakau.
Diduga perbedaan utama yang
mempengaruhi keberadaan keong bakau
pada setiap stasiun adalah kadar organik
substrat yang merupakan tempat hidup
dan mencari makan bagi keong bakau.
Kelimpahan individu keong bakau pada
setiap stasiun penelitian dapat dilihat
pada Gambar 4 berikut ini.
Kelimpahan yang lebih tinggi
terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung
Unggat) dan Stasiun 4 (Kampung Bugis)
dibanding dengan stasiun lainnya diduga
karena stasiun ini memiliki substrat
dengan kandungan bahan organik yang
lebih besar di banding stasiun lainnya
sehingga menjadikan ketersediaan bahan
makanan pada stasiun tersebut
melimpah. Kondisi yang demikian
dikarenakan pada kedua Stasiun ini
terdapat banyak pemukiman yang
menyumbang kandungan bahan-bahan
organik kedalam perairan, seperti sisa-
sisa makanan, sampah organik dan
limbah rumah tangga. Wood dalam
Puspitasari (2012) menjelaskan bahwa
bahan organik yang mengendap di dasar
perairan merupakan sumber makanan
bagi organisme benthik, sehingga
jumlah dan laju pertambahannya dalam
sedimen mempunyai pengaruh terhadap
0
20
40
60
80
Stasiun1
Stasiun2
Stasiun3
Stasiun4
TOM
(%
)
0
2
4
6
Ke
limp
ahan
In
d/m
2
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
40
populasi organisme dasar. Substrat yang
kaya akan bahan organik biasanya
didukung oleh melimpahnya fauna
deposit feeder seperti siput atau
gastropoda (Odum, 1993).
Kelimpahan pada Stasiun 1
(Senggarang) dan Stasiun 3 (Sei Carang)
lebih rendah diduga dikarenakan
populasi keong bakau pada Stasiun 1
telah banyak ditangkap/dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar, karena pada
Stasiun ini merupakan tempat
bekarang/mencari siput dan sejenisnya
bagi masyarakat setempat. Sedangkan
pada Stasiun 3 (Sei Carang) memiliki
kandungan bahan organik lebih rendah
dibandingkan stasiun yang lain.
Sehingga ketersediaan makanan bagi
keong bakau pada stasiun ini lebih
sedikit. Kemudian substrat pada Stasiun
3 ini tergolong pasir sehingga
menyebabkan bahan organik yang
berasal dari ekosistem mangrove
disekitarnya lebih sulit untuk tinggal dan
melekat pada substrat.
Karateristik Fisika Kimia Periaran
dan Substrat
Hasil pengukuran parameter
fisika kimia perairan dan substrat pada
setiap stasiun penelitian dapat dilihat
pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 dapat
dilihat bahwa hasil pengukuran suhu
diseluruh stasiun penelitian yaitu
berkisar antara 30,1 – 31,2 0C.
Nilai suhu diseluruh stasiun
penelitian tidak berada dalam kisaran
yang terlalu jauh, hal ini dikarenakan
keadaan cuaca pada saat pengukuran
suhu relatif sama sehingga suhu tidak
mengalami perubahan atau fluktuasi.
Secara umum kisaran suhu yang
diperoleh selama penelitian merupakan
kisaran yang masih dapat mendukung
kehidupan makrozoobenthos. Hal ini
disebabkan karena suhu yang diperoleh
berada di bawah batas toleransi tertinggi
untuk keseimbangan struktur populasi
hewan benthos yaitu mendekati 320C
(Adriman dalam Prihatiningsih, 2004).
Paramet
er
Satuan
Stasiun Penelitian
1
2
3
4
Suhu oC 30,1 31,2 31,1 30,5
Kekeruha
n
NTU 4.23 5,44 6,79 3,38
Arus cm/d 7,23 7,16 8,3 7,03
DO mg/l 7,43 7,1 6,8 7,03
pH - 7,2 7,9 7,3 7,6
Salinitas 0/00 32,8 31,2 29,9 31,4
pH
Tanah
- 6,2 5,7 6,8 6,3
COD mg/l 42,3
9
50,8
8
26,5
8
59,4
9
TOM % 41,2
6
62,7
0
17,7
5
40,7
7
Substrat - Lum
pur
Lum
pur
Pasir Lum
pur
Hasil pengukuran kekeruhan
diseluruh stasiun penelitian berkisar
antara 3,38 – 6,79 NTU. Berdasarkan
Kepmenlh No. 51 (2004) standar baku
mutu kekeruhan untuk biota laut adalah
< 5 NTU. Artinya kisaran nilai
kekeruhan pada perairan Teluk Riau
sudah tidak memenuhi standar baku
mutu yaitu pada Stasiun 2 dan 3
(Tanjung Unggat dan Sei Carang) yang
mencapai 5,44 dan 6,79 NTU.
Sedangkan untuk Stasiun 1 dan 4 masih
tergolong baik karena masih di bawah
standar baku mutu. Tingginya nilai
kekeruhan pada Stasiun 2 diduga
dipengaruhi oleh aktivitas tambat kapal
dan lalu lintas kapal pengangkut bauksit,
sementara tingginya kekeruhan pada
Stasiun 3 diduga dipengaruhi oleh
kandungan bahan organik substratnya
yang tinggi sehingga memudahkan
partikel-partikelnya terangkat saat
terjadinya pengadukan.
Kecepatan arus yang diukur
dalam penelitian ini adalah arus
permukaan secara umum yaitu gerakan
massa air laut kearah horizontal.
Kecepatan arus disetiap stasiun
penelitian berkisar antara 7,03 – 8,3
cm/dtk. Tingginya kecepatan arus pada
Stasiun 3 (Sei Carang) dikarenakan
stasiun ini berada pada selat, dengan
kondisi demikian menyebabkan setiap
arus yang mengalir akan bergabung
searah dengan arah selat. Menurut
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
41
Wibisono (2005), Kecepatan arus yang
paling besar biasanya berada pada
perairan selat yang posisinya searah
dengan arah arus. Hal ini diduga yang
menyebabkan substrat pada Stasiun 3 ini
tergolong pasir, sehingga secara tidak
langsung menyebabkan kelimpahan
siput belongkeng pada stasiun ini rendah
yaitu sebesar 1 ind/m2. Kondisi
sebaliknya pada Stasiun 1,2 dan 4 yang
kecepatan arusnya yang lebih rendah
dibanding Stasiun 3, memiliki substrat
yang tergolong lumpur dan memiliki
kelimpahan siput belongkeng yang lebih
tinggi yaitu sebesar 1 – 5 ind/m2.
Kecepatan arus dapat mempengaruhi
kelimpahan dan keanekaragaman
makrozoobenthos, karena pengendapan
sedimen atau komposisi substrat dasar
yang menjadi salah satu suplai makanan
untuk makrozoobenthos tergantung pada
kecepatan arus (Puspitasari, 2012).
Hasil pengukuran oksigen
terlarut di setiap stasiun penelitian
menunjukkan variasi yang tidak begitu
besar yaitu berkisar antara 6,8 – 7,4
mg/l. Berdasarkan Kepmenlh No. 51
(2004), standar baku mutu oksigen
terlarut untuk kehidupan biota laut
adalah > 5 mg/l. Effendi (2003)
berpendapat bahwa perairan yang
diperuntukkan bagi kepentingan
perikanan sebaiknya memiliki kadar
oksigen yang tidak kurang dari 5 mg/l.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
konsentrasi oksigen terlarut di perairan
Teluk Riau tergolong normal dan baik
bagi kehidupan siput belongkeng.
Konsentrasi oksigen terlarut tertinggi
terletak pada Stasiun 1 (Senggarang)
yaitu 7,4 mg/l. Stasiun ini dikarenakan
nilai kekeruhannya termasuk masih
dibawah baku mutu yaitu 4,23 NTU.
Konsentrasi okesigen terlarut terendah
terletak pada Stasiun 3 (Sei Carang)
yaitu 6,8 mg/l. Stasiun ini dicirikan
dengan tingkat kekeruhan tertinggi yaitu
6,23 NTU, posisi yang cendrung lebih
tertutup dan terdapat aktivitas lalu lintas
kapal pengangkut bauksit serta
pelabuhan tambat kapal.
Hasil pengukuran derajat
keasaman (pH) disetiap stasiun
penelitian berkisar antara 6,8 – 7,9. Nilai
pH terendah terdapat pada Stasiun 1
(Senggarang) dan nilai tertinggi terdapat
pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat).
Berdasarkan Kepmenlh No. 51 (2004),
standar baku mutu nilai pH yang
mendukung untuk kehidupan biota laut
adalah berkisar antara 7 – 8,5. Sebagian
besar biota akuatik sangat sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH antara 7 – 8,5 (Effendi, 2003).
Dengan demikian dapat dikatakan nilai
pH pada perairan Teluk Riau di semua
stasiun penelitian tergolong baik untuk
kehidupan biota laut termasuk siput
belongkeng. Sedangkan hasil
pengukuran pH tanah disetiap stasiun
penelitian berkisar antara 5,7 – 6,8. Nilai
pH tanah tertinggi terdapat pada Stasiun
3 (Sei Carang) yaitu 6,8, dan nilai
terendah terdapat pada Stasiun 2
(Tanjung Unggat) yaitu 5,7. Tingginya
nilai pH pada Stasiun 3 diduga karena
rendahnya kandungan organik substrat.
Hal tersebut menurut Rinawati et al.,
dalam Puspitasari (2012) bahwa nilai pH
yang normal mengindikasikan jumlah
bahan organik sedikit. Semakin banyak
jumlah bahan organik yang terlarut
maka akan mengakibatkan nilai pH
menurun karena konsentrasi CO2
semakin meningkat akibat aktivitas
mikroba dalam menguraikan bahan
organik.
Hasil pengukuran salinitas
disetiap stasiun penelitian berkisar
antara 30,8 – 32,1 0/00. Salinitas tertinggi
terdapat pada Stasiun 1 (Senggarang)
sedangkan nilai terendah terdapat pada
Stasiun 3 (Sei Carang). Berdasarkan
hasil tersebut dapat dikatakan bahwa
nilai salinitas pada perairan Teluk Riau
cukup bervariasi, hal ini di karenakan
pada setiap stasiun penelitian memiliki
karakteristik yang cukup berbada.
Rendahnya nilai salinitas pada Stasiun 3
(Sei Carang) yang tergolong payau
disebabkan karena lokasi stasiun ini
berada pada muara laut Tanjungpinang
dan aliran sungai Sei Carang, sehingga
terus menerima masukan masa air tawar
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
42
yang cukup banyak. Berbeda dengan
Stasiun 3, stasiun lainnya cendrung
memiliki salinitas yang lebih tinggi, hal
ini dikarenakan tidak adanya masukan
air tawar yang cukup berarti yang
mampu mempengaruhi salinitas. Selain
itu juga stasiun-stasiun ini cendrung
berada pada kondisi yang lebih terbuka
dan berhadapan langsung dengan laut
terbuka sehingga pengaruh air laut
dengan salinitas yang tinggi lebih
dominan. Menurut Nontji (2002),
sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan, dan aliran
sungai.
Effendi (2003) mengungkapkan
bahwa COD menggambarkan jumlah
total oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik secara
kimiawi, baik yang dapat didegradasi
secara biologis (biodegradable) maupun
yang sukar didegradasi secara biologis
(non biodegradable) menjadi CO2 dan
H2O. Berdasarkan hasil pengukuran nilai
COD pada setiap stasiun penelitian
berkisar antara 26,58 – 59,49 mg/l. Nilai
COD terendah terdapat pada Stasiun 3
(Sei Carang) yaitu 26,58 mg/l, hal ini
disebabkan karena pada stasiun ini
diduga dikarenakan sedikitnya limbah-
limbah domestik yang masuk ke dalam
perairan, selanjutnya nilai tertinggi
terdapat pada Stasiun 4 (Kampung
Bugis) yaitu 59,49 mg/l. Hal ini diduga
disebabkan banyaknya limbah-limbah
domestik yang berasal dari pemukiman
yang berada disekitarnya.
Pengaruh Kandungan Bahan Organik
Terhadap Kelimpahan Keong Bakau
Dalam menganalisis pengaruh
kandungan bahan organik (x) terhadap
kelimpahan keong bakau (y) dilakukan
dengan menggunakan analisis regresi
linier sederhana. Adapun persamaan
regresi yang terbentuk berdasarkan hasil
perhitungan analisis regresi linear
sederhana adalah sebagai berikut.
Y = 1,983 + 0,108 X
Berdasarkan persamaan regresi
yang dihasilkan, dapat diketahui bahawa
:
1. Konstanta = 1,983, artinya apabila
nilai kandungan bahan organik
tetap, maka kelimpahan keong
bakau sebesar 1,983.
2. Koefisien kandungan bahan organik
(X) bernilai positif yaitu 0,108.
Artinya apabila terjadi peningkatan
kandungan bahan organik sebasar
1%, maka kelimpahan akan
bertambah sebesar 0,108.
Hasil analisis regresi linier
sederhana antara kandungan bahan
organik dengan kelimpahan keong
bakau dengan menggunakan tingkat
kepercayaan 95%, diperoleh nilai
koefisien determinasi (R²) di yaitu
0,655. Artinya pengaruh kandungan
bahan organik terhadap kelimpahan
keong bakau diseluruh stasiun sebesar
65,5% sementara 35,5% sisanya
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
diketahui. Dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa variabel X
(kandungan bahan organik) mampu
menjelaskan variabel Y (kelimpahan
keong bakau).
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat
bahwa hubungan antara kandungan
bahan organik dengan kelimpahan
keong bakau pada setiap stasiun
penelitian ini sedang. Hal ini
menggambarkan bahwa tingginya
kandungan bahan organik sedimen
seimbang dengan kelimpahan keong
bakau yang ada.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
analisis data terhadap populasi keong
bakau (Telescopium telescopium) di
perairan Teluk Riau, dapat disimpulkan
bahwa:
-2
0
2
4
6
8
0 50 100
Ke
limp
ahan
In
div
idu
…
Kandungan Bahan Organik
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
43
1. Kelimpahan keong bakau disetiap
stasiun penelitian yaitu 1 – 5
ind/m2. Di mana kelimpahan
tertinggi terdapat pada Stasiun 2
(Tanjung Unggat) yaitu 5 ind/m2,
sedangkan kelimpahan terendah
terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang)
yaitu 1 ind/m2. Kemudian
kandungan organik substrat disetiap
stasiun penelitian yaitu 17,75 –
62,70 %. Di mana kandungan
organik substrat tertinggi terdapat
pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat)
yaitu 62,50 %, sedangkan
kandungan organik substrat terendah
terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang)
yaitu 17,75 %.
2. Berdasarkan hasil analisis regresi
linier sederhana antara kandungan
bahan organik dengan kelimpahan
keong bakau dengan menggunakan
tingkat kepercayaan 95%, diperoleh
nilai koefisien determinasi (R²) yaitu
0,655. Artinya pengaruh kandungan
bahan organik terhadap kelimpahan
keong bakau diseluruh stasiun
sebesar 65,5% sementara 35,5%
sisanya dipengaruhi oleh faktor lain
yang tidak diketahui.
Saran
Penelitian ini hanya mengkaji
kandungan total organik substrat secara
keseluruhan, diharapkan dilakukan
penelitian lanjutan dengan kandungan
bahan organik yang lebih spesifik seperti
C-organik dan N-organik. Serta perlu
dilakukan penelitian dalam jangka
waktu yang lebih lama.
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ungkapan terima kasih
kepada Ibu Winny Retna Melani, SP,
M.Sc sebagai Pembimbing I dan Bapak
Andi Zulfikar, S.Pi, MP sebagai
Pembimbing II, atas segala kritik, saran,
dan masukkannya. Tak lupa pula kepada
Ibu Diana Azizah, S.Pi, M.Si atas segala
bimbingan dan motivasinya. Ungkapan
terima kasih kepada Ayahanda dan
Ibunda tercinta, serta keluarga besar
yang telah memberikan do‟a, dukungan
moral dan material. Tidak lupa kepada
teman-teman MSP 09 atas kerjasama,
motivasi dan kepeduliannya selama ini
serta semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam pelaksanaan penelitian
ini yang tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu persatu.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka
Cipta. Jakarata.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta. Hadinafta, R. 2009. Analisis Kebutuhan
Oksigen Untuk Dekomposisi Bahan Organik Di Lapisan
Dasar PerairanEstuari Sungai Cisadane, Tangerang.
Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hamsiah, 2000. Peranan Keong Bakau
(Telescopium telescopium) Sebagai Biofilter
Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Tesis. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Houbrick R. S. 1991. Systematic review and functional morphology
of the mangrove snails terebralia and telescopium
(potamididae; prosobranchia). Malacologia 33 (1- 2): 289-
338. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No. 51. 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut.
Jakarta.
Melani, W.R., et.al., 2012. Indeks Kualitas Lingkungan
Perairan Pesisir Kecamatan Tanjungpinang Kota
Kepulauan Riau. Laporan Akhir Penelitian. Universitas Maritim
Raja Ali Haji. Tanjungpinang.
Kajian kandungan bahan organik…
Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44
44
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara.
Penerbit Djambatan. Jakarta.
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan Oleh T.
Samingan. Gadjah Mada
Universty Press. Yogyakarta. 574 hal.
Pratama, R. R. 2013. Analisis Tingkat Kepadatan Dan Pola Sebaran
SIput Laut Gonggong Di Perairan Pesisir Pulau Dompak.
Skripsi Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang.
Prihatiningsih, 2004. Struktur Komunitas
Makrozoobenthos di Perairan Teluk Jakarta. Skripsi Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Puspitasari, Niken. 2012.
Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Perairan
Desa Malang Rapat
Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi
Kepulauan Riau. Skripsi Universitas Maritim Raja Ali
Haji. Tanjungpinang. Rahmawati, Gita. 2013. Ekologi Keong
Bakau (Telescopium telescopium) Pada
Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan Jawa Barat. Skripsi
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siddik J. 2011. Sebaran Spasial Dan
Potensi Reproduksi Populasi Siput laut gonggong
(Strombus Turturela) di Teluk Klabat Bangka – Belitung.
Tesis. Sekolah Pasaca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Standar Nasional Indonesia No. 06-
2412, 1991. Metode Pengambilan Contoh Uji
Kualitas Air. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan. Jakarta. Sudjana, 2002. Metode Statistika. Edisi
Keenam. Tarsito. Bandung. Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu
Kelautan, PT. Grasindo, Jakarta.
www.marinespecies.org Klasifikasi
Keong Bakau. Diakses pada 31 Januari 2014.
Zulkifli, H., Z. Hanafiah., D. A. Puspitawati. 2009. Struktur
dan Fungsi Komunitas
Makrozoobenthos di Perairan Sungai Musi Kota Palembang:
Telaah Indikator Pencemaran Air. Jurusan FMIPA.
Universitas Sriwijaya.
Valuasi ekonomi hutan mangrove ….
Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52
45
VALUASI EKONOMI HUTAN MANGROVE DI PULAU
DOMPAK KOTA TANJUNGPINANG PROPINSI
KEPULAUAN RIAU
Linda Waty Zen dan Fitria Ulfah
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat dan nilai ekonomi
ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak, mengkuantifikasi total nilai pemanfaatan (use
value) dan nilai bukan pemanfaatan (non-use value) ekosistem hutan mangrove, serta
merumuskan strategi pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan aspek fungsi dan peran mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Metode kuantitif deskriptif serta penjelasan kualitatif untuk menggambarkan
tentang karakteristik ekosistem hutan mangrove. Analisis kuantitatif berdasarkan data angka
menjelaskan tentang Nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove. Hasil penelitian
menemukan bahwa manfaat ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak terdiri dari
manfaat langsung berupa hasil hutan (kayu log) , penangkapan ikan, kepiting, udang dan
siput laut (gonggong) , manfaat tidak langsung berupa penahan abrasi dan manfaat pilihan
berupa nilai keanekaragaman hayati. Nilai manfaat ekonomi total hutan mangrove di Pulau
Dompak adalah sebesar Rp 88.257.253.176,20 per tahun atau sebesar Rp 169.725.486,88
per hektar per tahun yang terdiri nilai manfaat langsung sebesar Rp 53,131,453,176.20 per
tahun ( 60,20 %).Nilai manfaat tidak langsung diperoleh sebesar Rp 35,040,000,000.00 (
39,70 %) dan nilai manfaat pilihan sebesar Rp 85,800,000.00 (0,10 %).
Kata kunci : hutan mangrove, Pulau Dompak, manfaat, nilai ekonomi
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the benefits and economic value of
mangrove forest ecosystems on Dompak island, quantifies the total value of the utilization
(use value) and the value is not use (non-use value) of mangrove forest ecosystems, as well
as formulating strategies of sustainable management of mangrove forests while attention to
aspects of the function and role of mangroves. The method used in this research is
descriptive quantitative method and qualitative explanations to describe the characteristics of
mangrove forest ecosystems. Quantitative analysis based on the data rate describes the
economic value of mangrove forest ecosystems. The study found that the benefits of the
mangrove forest ecosystem on the Dompak island consists of direct benefits such as forest
products (wood logs), catching fish, crabs, shrimp and sea slugs (“gonggong”), indirect
benefits in the form of retaining abrasion and benefits of options such as biodiversity values.
Total value of the economic benefits of mangrove forests in densely packed island is
Rp 88,257,253,176.20 per year or Rp 169,725,486.88 per hectare per year consisting of
direct benefit value of Rp 53,131,453,176.20 per year (60.20%). Indirect benefits derived
value of Rp 35,040,000,000.00 (39.70%) and the option value of benefits Rp 85,800,000.00
(0.10%).
Keywords : mangrove forest, Dompak island, benefit, economic value.
Valuasi ekonomi hutan mangrove ….
Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52
46
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan
salah satu sumberdaya pesisir dan laut
yang sangat bermanfaat dalam
mendukung kehidupan penting di
wilayah pesisir dan lautan. Fungsi
ekologis hutan mangrove diantaranya
adalah penyedia makanan bagi biota
perairan, tempat pemijahan (spawning
ground) bagi bermacam-macam biota,
pelindung terhadap abrasi , angin taufan
dan tsunami, penyerab limbah, pencegah
intrusi air laut dan sebagainya.Fungsi
ekonomis hutan mangrove diantaranya
sebagai penyedia kayu bakar, daun-daun
untuk obat, bahan bakar, alat penangkap
ikan, bahan baku kertas dan sebagainya.
Pulau Dompak merupakan salah
satu kategori pulau kecil di Propinsi
Kepulauan Riau, yang terletak
disebelah Selatan Kota Tanjungpinang.
Pulau Dompak memiliki potensi
sumberdaya mangrove yang cukup luas,
dimana dari seluruh total ekosistem
mangrove di Kota Tanjungpinang
sebanyak 27,6 persen terdapat di Pulau
Dompak. Kegiatan pembangunan yang
cukup pesat di Kota Tanjungpinang
menjadikan pulau Dompak sebagai salah
satu kawasan pengembangan pusat kota.
Pulau Dompak dengan luas
lebih kurang 957 ha telah ditetapkan
menjadi daerah perkantoran dan pusat
pemerintahan daerah Propinsi Kepulaun
Riau. Beragam aktifitas pembangunan di
kawasan pulau Dompak menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas
lingkungan yang dapat merusak
lingkungan kawasan Perairan di Pulau
Dompak.
Sampai saat ini, kebanyakan
manusia khususnya para perencana dan
pengambil keputusan menghargai nilai
manfaat ekosistem alamiah hanya dari
segi manfaat langsung (direct-use
value), padahal Nilai Ekonomi Total
suatu ekosistem alamiah terdiri dari nilai
penggunaan (use-value) dan nilai bukan
penggunaan (non-use value), sehingga
mereka memberikan penilaian yang
rendah terhadap keberadaan ekosistem
mangrove. Oleh sebab itu, begitu mudah
mereka mengkonversi ekosistem
alamiah ( hutan mangrove) menjadi
peruntukan lain ( Dahuri, 2003).
Penilaian ekonomi dari
ekosistem hutan mangrove di Pulau
Dompak Kota Tanjungpinang perlu
dilakukan sehingga dapat memberikan
gambaran tentang nilai ekonomi
ekosistem mangrove di Pulau Dompak
tersebut, serta dapat dirumuskan strategi
pengelolaan hutan mangrove yang
berkelanjutan dengan tetap
memperhatikan aspek fungsi dan peran
mangrove.
Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui manfaat dan nilai
ekonomi ekosistem hutan
mangrove di Pulau Dompak
2. Mengkuantifikasi total nilai
pemanfaatan (use value) dan
nilai bukan pemanfaatan
(non-use value) ekosistem
hutan mangrove.
3. Merumuskan strategi
pengelolaan hutan mangrove
yang berkelanjutan dengan
tetap memperhatikan aspek
fungsi dan peran mangrove.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai sumber informasi tentang
kondisi dan potensi sumberdaya
mangrove pulau Dompak sehingga
bermanfaat bagi pemerintah dalam
merumuskan strategi kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove yang
berkelanjutan di Pulau Dompak Kota
Tanjungpinang Propinsi Kepulaun Riau.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Lokasi dari penelitian ini adalah
kawasan pulau Dompak yang terletak di
daerah administrasi Kota Tanjungpinang
Propinsi Kepulauan Riau. Penelitian
Valuasi ekonomi hutan mangrove ….
Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52
47
dilaksanakan pada bulan Juni sampai
Oktober 2013.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. .Data primer diperoleh
melalui observasi dan wawancara. Data
tersebut meliputi data variabel valuasi
ekonomi hutan mangrove, profil
masyarakat, pandangan responden
terhadap hutan mangrove, interaksi
masyarakat dengan hutan
mangrove. Sedangkan d Data sekunder
diperoleh dari Kantor Kelurahan
Dompak, mencakup monografi
meliputi data penduduk (KK, jumlah
jiwa, dll).
Pengumpulan data dan informasi
dilakukan melalui wawancara, observasi
lapangan, yang meliputi :
1. Wawancara langsung dengan
responden tentang masalah yang
diteliti dengan menggunakan
pedoman wawancara berupa daftar
pertanyaan
2. Observasi : melakukan pengamatan
secara langsung pada obyek yang
diteliti, yaitu pengamatan secara
langsung tentang kondisi ekologi
hutan mangrove, serta tingkat
pemanfaatan langsung terhadap
hutan mangrove.
Metode Pemilihan Responden
Metode pemilihan sampel/
responden yang digunakan
adalah purposive sampling,yaitu metode
pengambilan sampel berdasarkan
pertimbangan tertentu atau sengaja,
dimana yang menjadi sasaran responden
penelitian adalah masyarakat yang
bermukim di Pulau Dompak yang terdiri
dari 193 KK. Responden yang dipilih
adalah masyarakat yang sering
berasosiasi dengan mangrove yang
tinggal di pesisir Pulau Dompak. Jumlah
responden penelitian ini adalah
sebanyak 23 orang.
Analisis Data
Metode Penelitian yang
digunakan adalah Metode kuantitif
deskriptif serta penjelasan kualitatif
untuk menggambarkan tentang
karakteristik ekosistem hutan mangrove.
Analisis kuantitatif berdasarkan data
angka menjelaskan tentang Nilai
ekonomi ekosistem hutan mangrove.
Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove
Penilaian ekonomi sumberdaya
mangrove dilakukan dengan
menggunakan tahap sebagai berikut:
(Bakosurtanal, 2005 & Bann,1998 ) :
1. Identifikasi manfaat dan fungsi-
fungsi sumberdaya hutan mangrove
2. Kuantifikasi besarnya dampak
3. Dampak kuantitatif dinyatakan
dalam nilai uang (rupiah)
4. Analisis ekonomi.
Identifikasi dan Fungsi Sumberdaya
Hutan Mangrove
Nilai ekonomi sumberdaya mangrove
dibagi menjadi nilai penggunaan (use-
value) dan nilai non penggunaan (non-
use value). Nilai penggunaan dibagi
menjadi dua yaitu nilai langsung (direct-
use value) dan nilai tidak langsung (
indirect- use value). Sedangkan nilai
non-penggunaan dibagi menjadi tiga,
yang meliputi nilai manfaat langsung
(option value), nilai manfaat keberadaan
(existence value) dan nilai warisan
(bequest value) (Fauzi, 2004). Nilai
manfaat langsung (direct-use value)
Nilai manfaat langsung adalah nilai yang
dihasilkan dari pemanfaatan secara
langsung dari suatu sumberdaya.
Manfaat langsung diartikan sebagai
manfaat yang dapat dikonsumsi.
Nilai manfaat langsung hutan mangrove
dihitung dengan persamaan :
DUV = ∑ DUV i
Keterangan : DUV = Direct Use Value
DUV 1 = manfaat kayu ( Rp/th)
DUV2 = manfaat penangkapan ikan
(Rp/th)
DUV3 = manfaat penangkapan udang
(Rp/th)
DUV4 = manfaat penangkapan kepiting
(Rp/th)
DUV5= manfaat penangkapan siput laut
(gonggong) (Rp/th)
Valuasi ekonomi hutan mangrove ….
Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52
48
1) Nilai manfaat tidak langsung
(indirect-use value)
Manfaat tidak langsung adalah
manfaat dari suatu sumberdaya
(mangrove) yang dimanfaatkan secara
tidak langsung oleh masyarakat.
Manfaat tidak langsung dapat berupa
manfaat fisik yaitu penahan abrasi air
laut.
Penilaian hutan mangrove secara fisik
dapat diestimasi dengan fungsi hutan
mangrove sebagai penahan abrasi.
(Rp/th)
2) Nilai manfaat pilihan (option value)
Manfaat pilihan yaitu nilai ekonomi
yang diperoleh dari potensi pemanfaatan
langsung maupun tidak langsung dari
sebuah sumberdaya/ekosistem di masa
datang yaitu berupa nilai Biodiversity (
Rp/th).
Menurut Ruitenbeek ( 1992), hutan
mangrove Indonesia mempunyai nilai
biodiversity sebesar US $ 1.500 per
km2.
Nilai manfaat pilihan ini diperoleh
dengan persamaan :
OV = US $ 15 per ha x luas hutan
mangrove
Keterangan : OV = Option Value (nilai pilihan)
Kuantifikasi Manfaat Ke dalam
Nilai Uang
Setelah seluruh manfaat dapat
diidentifikasi, maka selanjutnya adalah
mengkuantifikasi seluruh manfaat ke
dalam nilai uang dengan beberapa nilai,
yaitu :
1. Nilai pasar
Pendekatan ini digunakan untuk
menghitung nilai ekonomi dari
komoditas-komoditas yang langsung
dapat dimanfaatkan dari sumberday
mangrove
2. Harga tidak langsung
Pendekatan ini digunakan untuk menilai
manfaat tidak langsung dari hutan
mangrove.
3. Contingent Value Method
(CVM)
Pendekatan ini digunakan untuk
menghitung nilai dari suatu sumberdaya
yang tidak dijual dipasar, contohnya
nilai keberadaan.
4. Nilai Manfaat Ekonomi Total
Teknik perhitungan untuk menilai
ekonomi suatu sumberdaya, mengacu
pada metode valuasi ekonomi atau Total
Economi Value (TEV) (Dahuri, 2003).
Nilai manfaat ekonomi total dari hutan
mangrove merupakan penjumlahan dari
seluruh nilai ekonomi dari manfaat
hutan mangrove yang telah diidentifikasi
dan dikuantifikasikan.
Secara matematis dapat dirumuskan
dalam persamaan sebagai berikut ;
TEV = DUV + IUV + OV Keterangan :
TEV = Total Economi Value ( Total Nilai
Ekonomi)
DUV = Direct Use Value ( Nilai
Penggunaan langsung)
IUV= Indirect-Use Value (Nilai
Penggunaan Tidak langsung)
OV = Option Value ( Nilai pilihan)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Daerah Penelitian
Letak Administratif
Kependudukan
Jumlah penduduk kelurahan Dompak
terbilang cukup sedikit yaitu sekitar
2.679 jiwa, terdiri dari penduduk yang
berjenis kelamin laki-laki sebanyak
1.395 jiwa dan penduduk yang berjenis
kelamin perempuan sebanyak 1.284 jiwa
sehingga kelurahan Dompak hanya
memiliki 13 buah Rukun Tetangga dan 4
buah Rukun Warga. Pulau Dompak
yang sebagian besar berupa hutan hanya
dihuni sejumlah kecil penduduk. Pulau
Dompak didiami oleh 193 KK. .(Pemko
Tanjungpinang, 2011).
Kondisi Umum Perairan Pulau
Dompak
Kondisi perairan Pulau Dompak mampu
menunjang kehidupan hutan mangrove.
Berdasarkan hasil penelitian Lestari, et
al (2012) diketahui bahwa suhu
perairan di lokasi penelitian rata-rata 29
°C. Secara umum kisaran suhu yang
diperoleh merupakan kisaran yang
masih dapat mendukung kehidupan
Valuasi ekonomi hutan mangrove ….
Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52
49
mangrove (baku mutu suhu sebesar 28 –
32 °C). Sedangkan nilai kekeruhan di
Perairan Pulau Dompak cukup tinggi
jika dibandingkan dengan nilai ambang
baku mutu untuk kehidupan biota laut
menurut KepMenLH Nomor 51 Tahun
2004 (< 5 NTU).
Kecepatan arus pada lingkungan
perairan kawasan mangrove di Pulau
Dompak berkisar antara 0,104 – 0,13
m/s. Jika hutan mangrove masih banyak
maka arus perairan semakin kecil
sampai ke pantai, sehingga keberadaan
hutan mangrove harus selalu dijaga
kelestariannya supaya tidak terjadi
abrasi.
Nilai salinitas berkisar antara 30 – 30,5
‰. Menurut baku mutu (KEPMENLH,
2004) bahwa mangrove dapat
berkembang secara optimum pada
salinitas sampai dengan 34‰. Oksigen
terlarut (DO) di perairan Pulau Dompak
berkisar antara 6,77 – 8,99 mg/l. Nilai
ini masih dalam kisaran baku mutu
menurut MENLH, 2004 ( > 5 mg/l).
Kadar pH di lokasi penelitian berkisar
antara 7,6 – 7,7. Nilai pH pada lokasi
penelitian berada pada nilai optimum
baku mutu menurut MENLH, 2004 (7-
8,5). Hal ini berarti bahwa pH di lokasi
penelitian berada pada kondisi yang
sehingga masih baik untuk menunjang
kehidupan hutan mangrove.
Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove
Nilai Manfaat Langsung Hutan
Mangrove
Berdasarkan hasil identifikasi di
lokasi penelitian, manfaat langsung dari
ekosistem hutan mangrove yang dapat
dihitung nilainya adalah potensi kayu
(nilai kayu log) ,manfaat penangkapan
hasil perikanan; terdiri dari ikan,
kepiting, udang dan gonggong (siput
laut).
Nilai Kayu Log
Hutan mangrove di Pulau Dompak
memiliki luas mencapai 520 hektar.
Nilai manfaat kayu log yang dihasilkan
hutan mangrove dihitung berdasarkan
volume kayu mangrove per ha tahun
dikali dengan harga kayu mangrove.
Untuk menentukan volume kayu total
dihitung dengan menggunakan Metode
Meyer ( metode factor kulit kayu) (FAO
1994 dalam Kustanti, 2011).
Dari hasil survey dilokasi penelitian di
dapatkan rata-rata diameter pohon
Rhizopora sp adalah 23,73 cm maka
berdasarkan metode Meyer volume total
(termasuk kulit kayu) Rhizopora sp
dengan rata-rata diameter 25 cm adalah
0,4989 ( FAO, 1994 dalam Kustanti,
2011). Nilai manfaat kayu mongrove di
Pulau Dompak dapat dilihat pada table
dibawah ini.
Tabel 1. Nilai Manfaat Hutan
Mangrove sebagai Kayu Log
Sumber : data primer setelah diolah
Dari table diatas terlihat bahwa
dengan memperhitungkan biaya
operational untuk penebangan dan
pengangkutan sebesar Rp 55.000/m3
maka didapatkan nilai ekonomi hutan
mangrove di Pulau Dompak sebagai
produsen kayu log adalah Rp.
26,494,084,500.00.
Nilai Ikan
Manfaat langsung yang dapat dikonsumi
adalah manfaat penangkapan ikan.
Penangkapan ikan dilakukan dengan
menggunakan peralatan yang tergolong
sederhana seperti pancing dan jarring.
Penangkapan ini juga dilakukan dengan
menggunakan armada penangkapan
yang sederhana berupa perahu
berukuran kecil/sampan yang
dilengkapi dengan mesin kapal
berkuatan kecil, sehingga jarak
penangkapan (fishing ground) nya pun
terbatas di sekitar perairan pulau
Dompak.
Biaya/harga Satuan Nilai
Harga kayu
mangrove
Rp/m3 150,000.00
Biaya
Operasional
Rp/m3 55,000.00
Laba Kotor Rp/m3 95,000.00
Produksi
kayu/ha
m3 536.32
Luas hutan
total
ha 520.00
Produksi total m3 27885.10
Nilai Kayu Rp 26,494,084,500.00
Valuasi ekonomi hutan mangrove ….
Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52
50
Nilai manfaat bersih
penangkapan ikan mencapai Rp.
5,956,986,956,52. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada table berikut ini.
Tabel 2. Nilai Manfaat Langsung Hasil
Penangkapan Ikan Biaya/harga Satuan Nilai
Tangkapan Ikan Kg/trip 1,584.13
Harga Jual Ikan Rp/kg 25,217.39
Biaya Operasional Rp/trip 11,086.96
Frekwensi
penangkapan
Trip/thn 325.00
Nilai manfaat ikan Rp/thn 5,956,986,956.52
Sumber : Data primer setelah diolah
Nilai Kepiting
Manfaat langsung yang dapat dikonsumi
dari ekosistem mangrove di Pulau
Dompak selain daripada ikan adalah
penangkapan kepiting bakau (Scylla sp).
Kepiting bakau yang hidup di ekosistem
mangrove ditangkap dengan
menggunakan peralatan perangkap
(bubu). Meskipun hasil tangkapan tidak
banyak untuk setiap kali melakukan
penangkapan, tetapi nelayan setempat
setiap hari melakukan penangkapan
kepiting.
Tabel 3. Nilai Manfaat Langsung Hasil
Penangkapan Kepiting Biaya/harga Satuan Nilai
Tangkapan kepiting Kg/trip 859.30
Harga Jual kepiting Rp/kg 35.000.0
0
Biaya Operasional Rp/trip 7,134,78
2.61
Frekwensi
penangkapan
Trip/thn 288.52
Nilai manfaat kepiting Rp/thn 5,666,870,128.00
Sumber : Data primer setelah diolah
Dari hasil perhitungan manfaat
hasil penangkapan kepiting di peroleh
nilai manfaat langsung hail penangkapan
kepiting adalah sebesar Rp
5,666,870,128 per tahun.
Nilai Udang
Udang (Peneus sp) merupakan biota
perairan disekitar ekosistim hutan
mangrove yang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi, sehingga ditemukan banyak
masyarakat pulau Dompak yang
melakukan penangkapan udang,
Masyarakat Pulau Dompak
menggunakan jaring untuk menangkap
udang di sekitar hutan mangrove Pulau
Dompak. Hasil tangkapan untuk setiap
kali penangkapan adalah 3,96 kg,
sedangkan frekwensi penangkapan per
tahun adalah 274,43 trip.
Hasil perhitungan nilai manfaat
langsung dari hasil penangkapan udang
yang dilakukan oleh nelayan di
P,Dompak disajikan pada table dibawah
ini.
Tabel 4.Nilai Manfaat Langsung Hasil
Penangkapan Udang Biaya/harga Satuan Nilai
Tangkapan udang Kg/trip 1,085.74
Harga Jual udang Rp/kg 62,173,91
Biaya Operasional Rp/trip 6,540,521.74
Frekwensi
penangkapan
Trip/thn 274,43
Nilai manfaat
udang
Rp/thn 11,766,076,809.
07
Sumber : Data primer setelah diolah
Hasil perhitungan manfaat
langsung penangkapan udang diperoleh
nilai manfaat langsung penangkapan
udang di Pulau Dompak adalah sebesar
Rp. 11.766.076.809 per tahun.
Nilai Siput Laut (Gonggong)
Siput laut (gonggong) Strombus
sp merupakan salah satu biota khas
Kepulauan Riau. Gonggong termasuk
salah satu jenis moluska Gastropoda
yang digemari oleh masyarakat untuk
dikonsumsi baik oleh masyarakat
setempat maupun wisatawan. Siput ini
ditangkap mulai dari yang berukuran
kecil sampai yang berukuran besar.
Siput laut ( Gonggong) Strombus sp
hidup pada substrat lumpur dan berpasir.
Pulau Dompak merupakan
salah satu kawasan di Tanjungpinang
yang merupakan habitat bagi siput laut
Gonggong. Di Pulau ini sekaligus
menjadi salah satu daerah penangkapan
siput laut Gonggong bagi masyarakat
sekitarnya.
Besarnya nilai manfaat langsung
yang dihasilkan dari penangkapan siput
laut (gonggong) di ekosistem hutan
Valuasi ekonomi hutan mangrove ….
Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52
51
mangrove Pulau Dompak dapat dilihat
pada table berikut.
Tabel 5. Nilai Manfaat Langsung
hasil penangkapan Siput Laut
(Gonggong) Biaya/harga Satuan Nilai
Tangkapan
Gonggong
ekor /trip 1,385.22
Harga Jual
Gonggong
Rp/100
ekor
28,043.48
Biaya
Operasional
Rp/trip 3,365,217.39
Frekwensi
penangkapan
Trip/thn 336.52
Nilai manfaat
Gonggong
Rp/thn 3,247,434,782.61
Sumber : Data primer setelah diolah
Manfaat penangkapan siput laut
(gonggong) diperoleh sebesar Rp
3,247,434,782.61 per tahun
Nilai Manfaat Total
Nilai manfaat total dari hutan
mangrove merupakan penjumlahan dari
seluruh manfaat hutan mangrove yang
telah diidentifikasi dan dikuantifikasi ke
dalam bentuk nilai uang (rupiah). Jenis
manfaat hutan mangrove Pulau Dompak
terdiri dari manfaat langsung yaitu
produksi kayu, penangkapan ikan,
penangkapan kepiting, penangkapan
udang, dan penangkapan siput laut
(gonggong) , manfaat tidak langsung
sebagai penahan abrasi dan manfaat
pilihan. Nilai fungsi dan manfaat
tersebut memberikan gambaran
keseluruhan dari fungi yang dimiliki
oleh kawasan hutan Pulau Dompak.
Nilai manfaat (ekonomi) total hutan
mangrove Pulau Dompak adalah sebesar
Rp 88,262,330,976.20 per tahun atau
sebesar Rp 169,735,251.88 per hektar
per tahun. Dari nilai ekonomi total
tersebut dapat diketahui bahwa manfaat
langsung memiliki nilai yang paling
besar dibandingkan dengan manfaat
lainnya yaitu sebesar Rp
53,131,453,176.20 per tahun ( 60,20 %).
Nilai manfaat tidak langsung diperoleh
sebesar Rp 35,040,000,000.00 ( 39,70
%) sedangkan nilai manfaat pilihan
diperoleh sebesar Rp 90,877,800.00
(0,10 %).
Untuk lebih jelasnya tentang besarnya
nilai seluruh manfaat hutan mangrove
berdasarkan jenis-jenis manfaatnya serta
persentase masing-masing nilai manfaat
tersebut terhadap total manfaat dapat
dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 6. Nilai Manfaat Total Hutan
Mangrove di Pulau Dompak Jenis Manfaat Nilai Manfaat
(Rp/tahun)
Persen
tase
(%)
Manfaat Langsung
Produksi Kayu 26,494,084,500.00 30.02
Penangkapan
Ikan
5,956,986,956.52 6.75
Penangkapan
Kepiting
5,666,870,128.00 6.42
Penangkapan
Udang
11,766,076,809.07 13.33
Penangkapan
Siput Laut
(gonggong)
3,247,434,782.61 3.68
Manfaat Tidak
Langsung
35,040,000,000.00 39.70
Manfaat Pilihan 90,877,800.00 0.10
Nilai Ekonomi Total 88,262,330,976.20 100.00
Sumber : Data primer setelah diolah
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil penelitian Valuasi
Ekonomi Hutan Mangrove di Pulau
Dompak Kota Tanjungpinang dapat
disimpulkan :
1. Manfaat ekosistem hutan mangrove
di Pulau Dompak terdiri dari manfaat
langsung berupa hasil hutan (kayu log) ,
penangkapan ikan, kepiting, udang dan
siput laut (gonggong) , manfaat tidak
langsung berupa penahan abrasi dan
manfaat pilihan berupa nilai
keanekaragaman hayati.
2. Nilai manfaat ekonomi total hutan
mangrove di Pulau Dompak adalah
sebesar Rp 88.257.253.176,20 per tahun
atau sebesar Rp 169.725.486,88 per
hektar per tahun, terdiri nilai manfaat
langsung sebesar Rp 53,131,453,176.20
per tahun ( 60,20 %).Nilai manfaat tidak
langsung diperoleh sebesar Rp
35,040,000,000.00 ( 39,70 %) dan nilai
manfaat pilihan sebesar Rp
85,800,000.00 (0,10 %).
3. Strategi pengelolaan ekosistem
hutan mangrove di Pulau Dompak
adalah menjaga fungsi dan peranan
ekosistem mangrove melalui
pengembangan ekowisata mangrove,
Valuasi ekonomi hutan mangrove ….
Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52
52
mata pencaharian altenatif bagi nelayan
atau wanita nelayan, alternatif potensi
pemanfaatan hutan mangrove seperti
pemanfaatan buah mangrove, penerapan
peraturan tentang pentingnya menjaga
kelestarian ekosistem mangrove, dengan
pengawasan yang ketat baik oleh pihak
pengelola maupun dengan partisipasi
masyarakat setempat.
Saran :
Mengingat besarnya nilai manfaat hutan
mangrove maka saran dari hasil
penelitian ini yaitu :
1. Dalam perencanaan wilayah
pulau Dompak seharusnya
memperhitungkan nilai ekonomis-
ekologis ekosistem hutan mangrove,
mengingat besarnya potensi ekonomi
ekositem hutan mangrove yang besar,
jika dimanfaatkan dengan baik akan
memberikan manfaat yang lebih
maksimal bagi masyarakat.
2. Pengambil kebijakan sepatutnya
memahami penilaian sumberdaya pesisir
karena pemahaman nilai yang baik dan
utuh terhadap sumberdaya akan
memberikan umpan balik yang positif
bagi pembangunan wilayah.
3. Perlu dikaji potensi dan tingkat
pemanfaatan kepiting, udang serta siput
laut gonggong diperairan Pulau Dompak
karena biota tersebut merupakan biota
laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi
dan punya peran yang penting dalam
kawasan perairan disekitar ekosistem
hutan mangrove. Potensi ini perlu
dikelola secara lestari agar dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan.
4. Perlu dikembangkan konsep
ekowisata di Pulau Dompak, mata
pencaharian altenatif bagi nelayan atau
wanita nelayan, alternatif potensi
pemanfaatan hutan mangrove seperti
pemanfaatan buah mangrove, penerapan
peraturan tentang pentingnya menjaga
kelestarian ekosistem mangrove, dengan
pengawasan yang ketat baik oleh pihak
pengelola maupun dengan partisipasi
masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, J, M.Nurdin, A.Munir 2008.
Valuasi Ekonomi SUmberdaya
Alam dan Lingkungan Pesisir
kota Bontang Kalimantan
Timur. Analisis vol.5.no.1 Maret
2008. ISSN 0852-8144. Hal 53-
64
Bann, Camille,1998. The Economic
Valuation of Mangroves ; A
Manual for Researchers.Ottawa
Canada, Special Paper .
EEPSEA, International
Development Research Centre.
Bakosurtanal. 2005. Pedoman
Penyusunan Neraca dan Valuasi
Ekonomi Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut. Pusat Survei
Sumberdaya Alam Laut
BAKOSURTANAL.Cibinong.
Dahuri , 2003. Keanekaragaman Hayati
Laut, PT.Gramedia Pustaka
Utama Jakarta
Fauzi, Ahmad. 2004. Ekonomi
Sumberdaya Alam dan
Lingkungan: Teori dan
Aplikasi, PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Harahab, Nurdin. 2011. Valuasi
EKonomi Ekosistem Hutan
mangrove dalam
Perencanaan Wilayah Pesisir.
Berkala Penelitian Hayati
Edisi Khusus 7A hal, 59-67.
Kustanti, Asihing., 2011. Manajemen
Hutan Mangrove.
PT.Penerbit IPB Press.
Bogor.
Kordi, M.G.H. 2012. Ekosistem
Mangrove Potensi, Fungsi
dan Pengelolaan. PT.Rineka
Cipta. Jakarta
Lestari, F., Linda W.Z & Lily V., 2012.
Identifikasi Kondisi
Ekosistem Mangrove dan
Karakteristik Sosial Ekonomi
Masyarakat di Pulau
Dompak Kota
Tanjungpinang Propinsi
Kepri. Laporan
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
53
KARAKTERISTIK CARBOXYMETHYL CHITOSAN DENGAN
VARIASI KONSENTRASI NaOH
Pipih Suptijah, Uju, Mochammad Jamil Awal Saputra
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Jl. Agatis, Bogor 16680 Jawa Barat
Telp. (0251) 8622909-8622906, Fax (0251) 8622907
E-mail: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Carboxymethyl chitosan (CMCh) merupakan senyawa turunan kitosan yang
diperoleh dengan modifikasi kimia sehingga larut air. Pembuatan CMCh dilakukan
melalui proses alkalisasi dan karboksimetilasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
karakteristik karboksimetil kitosan antara lain kelebihan natrium hidroksida pada proses
alkalisasi kitosan, rasio antara kitosan dan asam monokloroasetat serta suhu
karboksimetilasi kitosan menjadi karboksimetil kitosan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi NaOH terhadap kualitas
carboxymethyl chitosan yang dihasilkan, mempelajari proses pembuatan CMCh,
menetapkan konsentrasi NaOH yang tepat dalam proses pembuatan CMCh, dan
menganalisis karakteristik CMCh yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian, CMCh
terbaik terdapat pada penggunaan konsentrasi NaOH 10 M dengan rendemen berkisar
antara 110,72%-114,22%. Nilai pH berkisar antara 3,74-4,31. Persentase kadar air
sebesar 10,70%-11,42%. Kadar abu dan nitrogen masing-masing berkisar antara 0,49%-
0,50% dan 4,52%-4,81%. Nilai viskositas sebesar 6,50-8,25 cPs, serta kelarutan sebesar
61,61%-91,50%. Gugus fungsi yang berbeda dari kitosan yaitu gugus C O, gugus CH
alkena, gugus C O, dan gugus C O C.
Kata kunci: carboxymethyl chitosan, gugus fungsi, karakteristik CMCh, kelarutan,
kitosan.
ABSTRACT
Carboxymethyl chitosan (CMCh) is chitosan derivative product obtained from
chemical modification. CMCh were made by alkalization process and
carboxymethylation process. Factors that affect CMCh characteristics were excess
sodium hydroxide in alkalization process, ratio between chitosan and monochloroacetic
acid, and carboxymethylation temperature. The objectives of this research were to study
the NaOH effect to CMCh characteristics, to learn process of making CMCh, to set the
proper concentration of NaOH, and to analyze CMCh characteristics. CMCh yields were
110.72%-114.22%. CMCh pH value were 3.74-4.31. The optimum NaOH concentration
to obtain the best CHCh was 10 M. Percentage of CMCh moisture content was 10.70%-
11.42%. Ash content and nitrogen content of CMCh were 0.49%-0.50% and 4.52%-
4.81%. CMCh viscousity was 8.25 cps. Percentage of CMCh solubility was 61.61%-
91.50%. The different functional groups from chitosan which observed in CMCh were
C O group, CH group from alkene functional group, C O group, and C O C group.
Keywords: Carboxymethyl chitosan, chitosan, CMCh characteristics, functional group,
solubility.
PENDAHULUAN Kitosan merupakan biopolimer turunan kitin yang dapat diperoleh dari
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
54
karapas udang dan kepiting. Miao et al. (2008) melaporkan bahwa kitosan merupakan polisakarida kationik yang diperoleh dari deasetilasi basa kitin. Kitosan memiliki tiga tipe gugus fungsional yaitu gugus amino/asetamido dan gugus hidroksil yang berikatan secara primer maupun sekunder, masing-masing berada pada C-2 dan C-3.
Mutu kitosan terdiri dari beberapa parameter yaitu bobot molekul, kadar air, kadar abu, warna, derajat deasetilasi dan kelarutan. Kelarutan merupakan salah satu karakteristik yang penting bagi kitosan. Kitosan hanya larut pada sebagian besar larutan asam organik dengan pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5. Mourya et al. (2010) mengungkapkan bahwa rendahnya kelarutan kitosan dalam pH netral maupun alkali karena adanya struktur kristal yang stabil yang terbentuk dari ikatan kuat hidrogen, oleh karena itu aplikasi kitosan menjadi terbatas. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kitosan yang ada dapat dimodifikasi menjadi senyawa-senyawa turunannya yang memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dalam pH netral dan alkali. Modifikasi kitosan dapat dilakukan secara kimiawi maupun melalui proses depolimerisasi. Salah satu senyawa turunan kitosan yang dapat larut dalam pH netral adalah carboxymethyl chitosan (CMCh) (Miranda et al. 2003).
Carboxymethyl chitosan merupakan senyawa turunan kitosan yang telah dimodifikasi dengan penambahan gugus hidrofilik sehingga dapat larut dalam air. An et al. (2009) mengungkapkan bahwa karboksimetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara alkilasi menggunakan reagen asam monokloroasetat. Aplikasi CMCh antara lain sebagai senyawa pengantar obat, senyawa pengantar obat yang responsif terhadap perubahan pH, kosmetik, senyawa pengantar DNA, dan senyawa peningkat aktivitas penyebaran obat. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan karboksimetil kitosan adalah tingkat kemurnian kitosan, kelebihan natrium hidroksida pada proses alkalisasi kitosan, rasio antara kitosan dan asam monokloroasetat serta suhu karboksimetilasi kitosan menjadi karboksimetil kitosan.
Informasi mengenai pengaruh konsentrasi NaOH terhadap karakteristik
carboxymethyl chitosan belum diketahui, sehingga diperlukan penelitian mengenai hal tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi NaOH terhadap kualitas carboxymethyl chitosan yang dihasilkan, mempelajari proses pembuatan CMCh, menetapkan konsentrasi NaOH yang tepat dalam proses pembuatan CMCh, dan menganalisis karakteristik CMCh yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan CMCh adalah kitosan yang diperoleh dari CV. Bio Chitosan Indonesia, asam monokloroasetat produksi Merck, NaOH, isopropil alkohol, dan metanol. Bahan-bahan digunakan dalam analisis proksimat adalah akuades, selenium, H2SO4, NaOH, HCl, dan asam borat (H3BO3). Bahan yang digunakan dalam analisis kelarutan dan viskositas adalah akuades. Bahan yang digunakan dalam analisis pH adalah larutan buffer.
Alat yang digunakan untuk pembuatan CMCh adalah beaker glass, Erlenmeyer, corong kaca, kertas saring, magnetic stirrer merek Yamato, magnetic bar, batang pengaduk, sudip, termometer, mortar, kertas pH indikator, dan sendok. Alat yang digunakan dalam analisis rendemen adalah timbangan digital merek Sartorius TE1520S. Pengujian pH menggunakan alat pH meter merek Eutech. Alat yang digunakan untuk analisis proksimat adalah timbangan digital merek Sartorius TE1520S, desikator merek Yamato, oven merek Yamato, cawan porselen, sudip (analisis kadar air); tabung kjeldahl, destilator, buret, labu ukur, Erlenmeyer (analisis kadar protein); tanur dan desikator (analisis kadar abu). Alat yang digunakan dalam uji kelarutan adalah oven. Pengujian viskositas dilakukan dengan alat Viscometer Brookfield tipe LV dengan spindle nomor 1 dan kecepatan 60 rpm. Alat yang digunakan dalam analisis gugus fungsi adalah Fourier Transform Infrared (FTIR).
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pembuatan carboxymethyl chitosan dengan perlakuan perbedaan konsentrasi sebesar
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
55
5 M, 10 M, dan 15 M. (Xue et al. 2009 dengan modifikasi), tahap analisis carboxymethyl chitosan yang terdiri dari analisis kadar air (AOAC 2005), analisis kadar abu (AOAC 2005), analisis kadar nitrogen (AOAC 2005), analisis derajat keasaman (pH), analisis viskositas (BSN 1998), analisis kelarutan (Lembono 1989 dalam Khalil 2007), analisis gugus fungsi (Domsay dan Robert 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kitosan Komersil
Kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian memiliki kenampakan yang berwarna kuning pucat dengan ukuran partikel 20-30 mesh. Kadar air kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 8,6% (Tabel 1). Nilai persentase kadar air kitosan yang digunakan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suptijah (2004) dengan nilai 8,5%. Kelembaban lingkungan serta lamanya penyimpanan dapat memberikan pengaruh terhadap persentase kadar air kitosan. Sofia et al. (2010) menyatakan bahwa penyimpanan yang lama memungkinkan terjadinya perubahan kadar air, tergantung kondisi kelembaban lingkungannya. Nilai kadar air kitosan dipengaruhi juga oleh sifat higroskopis kitosan. Kurniasih dan Kartika (2011) menyatakan bahwa selain kelembaban lingkungan, sifat kitosan yang higroskopis menyebabkan berikatannya molekul air dengan gugus amina kitosan sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan kadar air.
Kadar abu kitosan komersil yang diperoleh adalah 0,3% (Tabel 1). Nilai tersebut telah memenuhi standar mutu kadar abu kitosan menurut Protan Laboratories yaitu kurang dari sama dengan 2%. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar abu pada kitosan adalah efektivitas proses demineralisasi. Menurut Kim (2004) kadar abu merupakan indikator keefektivan proses demineralisasi dalam menghilangkan kalsium karbonat.
Kadar protein pada kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0,5%. Nilai tersebut lebih rendah dari pada kitosan hasil penelitian Kurniasih dan Kartika (2011) yang mencapai 39,98%. Perbedaan nilai kadar protein ini dapat disebabkan oleh lamanya waktu deproteinasi. Poeloengasih et al. (2008) melaporkan bahwa semakin lama waktu
yang digunakan untuk proses deproteinasi, maka semakin rendah kandungan nitrogen pada kitin dan kitosan. Faktor lain yang mempengaruhi kadar protein pada kitosan yaitu suhu proses dan konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi. Zahiruddin et al. (2008) melaporkan bahwa protein yang masih terikat setelah proses deproteinasi akan semakin sedikit jumlahnya apabila proses deasetilasi dilakukan dengan suhu yang semakin meningkat dan konsentrasi NaOH yang tinggi.
Derajat deasetilasi kitosan komersil yang digunakan sebesar 88,5%. Nilai tersebut lebih tinggi daripada hasil penelitian Hargono et al. (2008) dengan nilai sebesar 82,98%. Nilai derajat deasetilasi ini telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Protan Laboratories. Besarnya nilai derajat deasetilasi dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang digunakan dalam proses deasetilasi. Zahiruddin et al. (2008) melaporkan bahwa konsentrasi NaOH yang cukup tinggi pada saat deasetilasi akan mempermudah pemutusan gugus asetil.
Rendemen Carboxymethyl Chitosan (CMCh)
Rendemen CMCh dihitung sebagai persentase bobot CMCh yang dihasilkan terhadap bobot awal kitosan. Rendemen CMCh yang diperoleh berkisar antara 110,72%-114,22%. Persentase rendemen CMCh yang dihasilkan lebih besar daripada persentase rendemen hasil penelitian Khalil (2007) yang hanya mencapai 91,66%-98,82%. Nilai persentase rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan alkalisasi menggunakan 10 M NaOH yaitu 114,27±1,76%, sedangkan nilai rendemen terendah terdapat pada perlakuan alkalisasi menggunakan 5 M NaOH yaitu 110,70±2,49%.
Hasil rendemen yang lebih besar dari 100% diduga oleh adanya kompetisi reaksi substitusi ion Cl
- dari asam
monokloroasetat dengan NaOH yang menghasilkan sodium klorida (NaCl) dan sodium glikolat (HOCH2-COONa). Berikut merupakan rekasi kimia yang terjadi pada proses pembuatan CMCh menurut Basmal et al. (2005): Kitosan-OH + NaOH Kitosan-ONa
Kitosan-ONa + ClCH2COOH Kitosan-OCH2COONa + NaCl +2H2O
ClCH2COOH + 2NaOH HOCH2-COONa +
NaCl + H2O
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
56
Sodium klorida dan sodium
glikolat yang dihasilkan merupakan
senyawa yang menjadi pengotor pada
CMCh. Hasil penelitian Wijayani et al.
(2005) menunjukkan bahwa kemurnian
carboxymethyl cellulose meningkat pada
penambahan NaOH tetapi mengalami
penurunan bila ClCH2COONa semakin
naik, penurunan yang terjadi disebabkan
oleh semakin banyaknya NaCl yang
dihasilkan. Persentase rendemen CMCh
yang mencapai lebih dari 100% menurut
Basmal et al. (2007) disebabkan karena
adanya substitusi H+ pada atom C6
dengan CH2COO- dari asam
monokloroasetat. Hasil perlakuan
penambahan konsentrasi NaOH yang
berbeda terhadap rendemen CMCh
disajikan pada Gambar 2.
Hasil perhitungan rendemen pada
Gambar 2 menunjukkan terjadinya
kecenderungan peningkatan rendemen
CMCh yang dihasilkan seiring dengan
peningkatan konsentrasi NaOH yang
digunakan, namun secara statistik tidak
memberikan pengaruh yang berbeda
nyata (p>0,05). Salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi persentase
rendemen CMCh yang dihasilkan adalah
jumlah asam monokloroasetat yang
ditambahkan. Oktavia et al. (2005)
melaporkan bahwa bila jumlah
monokloroasetat yang ditambahkan
cukup banyak, rendemen karboksimetil
kitosan juga meningkat. Faktor lain yang
mempengaruhi peningkatan rendemen
CMCh adalah waktu reaksi pada saat
karboksimetilasi, hal ini dibuktikan
dalam penelitian An et al. (2009) yang
melaporkan bahwa terjadinya
peningkatan rendemen yang sejalan
dengan peningkatan waktu reaksi
karboksimetilasi dari 1 hingga 3 jam,
namun setelah itu tidak terjadi
peningkatan rendemen yang signifikan
Karakteristik Kimia Carboxymethyl
Chitosan (CMCh)
Persentase kadar air CMCh yang
dihasilkan berkisar antara 10,70%
hingga 12,60%. CMCh yang dihasilkan
memiliki nilai persentase kadar abu dan
nitrogen masing-masing berkisar antara
0,49%-0,50% dan 4,52%-4,81%.
Hasil analisis karakteristik kimia
CMCh pada Tabel 2 menunjukkan nilai
pH CMCh yang dihasilkan berkisar
antara 3,74 hingga 4,31. Nilai pH CMCh
yang dihasilkan meningkat seiring
peningkatan konsentrasi NaOH, namun
berdasarkan hasil ANOVA perbedaan
konsentrasi NaOH tidak mempengaruhi
pH CMCh (p>0,05). Nilai pH tertinggi
terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M
yaitu 4,31±0,18, sedangkan pH terendah
terdapat pada konsentrasi NaOH 5 M
yaitu sebesar 3,74±0,06.
Nilai pH CMCh yang dihasilkan
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penelitian Oktavia et al. (2005)
yang mencapai 3,5-4, namun tidak
memenuhi nilai pH dari Wuxi Asailuo
(2013) yang mencapai 7. Rendahnya
nilai pH yang dihasilkan selain
dipengaruhi oleh pencucian yang
dilakukan menggunakan metanol tidak
sampai netral disebabkan pula oleh
NaOH yang menyebabkan
mengendapnya larutan. Khalil (2007)
melaporkan bahwa rendahnya nilai pH
dapat disebabkan oleh natrium
hidroksida yang menyebabkan semua
larutan mengendap sehingga sulit
dipisahkan dan tidak dapat ditarik
dengan isopropil alkohol.
Persentase kadar air tertinggi
terdapat pada CMCh dengan perlakuan
konsentrasi NaOH 10 M yaitu
12,60±0,35%, sedangkan nilai kadar air
terendah terdapat pada CMCh dengan
perlakuan konsentrasi NaOH sebesar 5
M yaitu 10,70±4,57%. Berdasarkan
hasil uji ANOVA, peningkatan
konsentrasi NaOH tidak mempengaruhi
kadar air CMCh (p>0,05). Kadar air
CMCh yang dihasilkan lebih rendah dari
pada hasil penelitian Khalil (2007)
dengan nilai persentase sebesar 17,12%-
20,7%, namun nilai tersebut masih lebih
tinggi dibandingkan hasil penelitian
Basmal et al. (2007) dengan nilai
9,75%-9,82%. Perbedaan kadar air yang
terkandung dalam CMCh dapat
disebabkan oleh banyaknya asam
monokloroasetat yang digunakan.
Basmal et al. (2005) melaporkan bahwa
semakin banyak asam monokloroasetat
yang digunakan menyebabkan jumlah
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
57
gugus karboksimetil (-CH2COO-) yang
berikatan dengan kitosan lebih banyak
sehingga pada saat dikeringkan jumlah
air di dalam CMCh yang keluar lebih
sedikit. Kadar air CMCh yang yang
dihasilkan telah memenuhi standar mutu
Wuxi Asailuo (2013) yang nilainya
kurang dari 15%.
Nilai kadar abu CMCh yang
diperoleh yaitu 0,49%-0,5%. Kadar abu
CMCh yang dihasilkan tidak mengalami
perubahan untuk setiap peningkatan
konsentrasi NaOH. Berdasarkan hasil uji
ANOVA, perbedaan konsentrasi NaOH
yang digunakan tidak mempengaruhi
kadar abu CMCh yang dihasilkan
(p>0,05). Nilai persentase kadar abu
yang dihasilkan lebih rendah dari pada
hasil penelitian Khalil (2007) dengan
nilai persentase sebesar 0,76%-1,24%.
Tidak terpengaruhnya nilai persentase
kadar abu yang dihasilkan diduga karena
jumlah asam monokloroasetat yang
digunakan sama untuk setiap perlakuan.
Basmal et al. (2005) melaporkan bahwa
jumlah asam monokloroasetat yang
diberikan pada waktu eterifikasi
berpengaruh terhadap peningkatan
jumlah kadar abu pada CMCh. Nilai
kadar abu CMCh yang dihasilkan telah
memenuhi standar mutu dari Wuxi
Asailuo (2013) yang nilainya kurang
dari 1%.
Kadar nitrogen CMCh yang
diperoleh yaitu 4,52%-4,81%.
Persentase kadar nitrogen tertinggi
terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M
yaitu sebesar 4,81±0,02%, sedangkan
nilai kadar nitrogen terendah terdapat
pada konsentrasi NaOH sebesar 10 M
yaitu 4,52±0,17%. Nilai kadar nitrogen
yang dihasilkan lebih tinggi daripada
hasil penelitian Khalil (2007) dengan
nilai 3,03%-3,59%. Berdasarkan hasil
uji ANOVA, perbedaan konsentrasi
NaOH yang digunakan tidak
mempengaruhi kadar nitrogen CMCh
yang dihasilkan (p>0,05). Kadar
nitrogen CMCh yang tidak terpengaruhi
oleh perlakuan yang diberikan
disebabkan karena NaOH hanya
digunakan sebagai senyawa untuk
mengaktifkan gugus OH sehingga tidak
bereaksi dengan gugus amino pada
kitosan. Wijayani et al. (2005)
melaporkan bahwa alkalisasi
menggunakan NaOH bertujuan untuk
mengaktifkan gugus-gugus OH dan
berfungsi sebagai pengembang pada
molekul selulosa.
Viskositas Carboxymethyl Chitosan
(CMCh)
Nilai viskositas CMCh yang
diperoleh berkisar antara 6,50-8,25 cPs
(Gambar 3). Nilai viskositas tertinggi
terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M
yaitu 8,25±0,35 cPs, sedangkan nilai
viskositas terendah terdapat pada
konsentrasi NaOH 5 M yaitu 6,50±0,00
cPs. Hasil ANOVA menunjukkan
bahwa peningkatan konsentrasi NaOH
mempengaruhi nilai viskositas CMCh
(P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi NaOH menghasilkan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap
viskositas CMCh, dimana perlakuan
konsentrasi 5 M berbeda nyata dengan
konsentrasi 10 M dan 15 M.
Terjadinya peningkatan nilai
viskositas CMCh seiring dengan
peningkatan konsentrasi NaOH diduga
karena semakin banyak terbentuknya
sodium glikolat yang sukar larut dalam
air sehingga meningkatkan sifat tahanan
dari larutan CMCh. Santoso et al. (2012)
melaporkan bahwa sodium glikolat dan
sodium klorida memiliki kelarutan yang
sangat rendah dalam air dingin.
Nilai viskositas CMCh yang
dihasilkan lebih rendah daripada hasil
penelitian Khalil (2007) dengan
nilai 123,67-338,33 cPs, namun nilai
viskositas tersebut masih memenuhi
standar mutu Wuxi Asailuo (2013) yang
nilainya sebesar ≤100 mpa.s.
Miranda et al. (2003) melaporkan bahwa
viskositas suatu cairan dipengaruhi oleh
suhu dan tekanan, namun untuk senyawa
polimer dipengaruhi oleh massa molar,
struktur polimer, konsentrasi, bahan
tambahan, suhu dan sifat pelarut.
Berdasarkan hasil penelitian
Basmal et al. (2007) suhu eterifikasi
mempengaruhi viskositas CMCh,
semakin tinggi suhu nilai viskositas
semakin menurun
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
58
Kelarutan Carboxymethyl Chitosan
(CMCh)
Persentase kelarutan CMCh yang
diperoleh berkisar antara 61,61%-
91,50% (Gambar 4). Nilai persen
kelarutan tertinggi terdapat pada
konsentrasi NaOH 10 M yaitu
91,50±0,71%, sedangkan nilai viskositas
terendah terdapat pada konsentrasi
NaOH 15 M yaitu 61,61±9,49%. Hasil
ANOVA menunjukkan bahwa
peningkatan konsentrasi NaOH
mempengaruhi persentase kelarutan
CMCh (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi NaOH menghasilkan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap
persentase kelarutan CMCh yang
dihasilkan, dimana perlakuan
konsentrasi 15 M menghasilkan
pengaruh berbeda nyata terhadap
perlakuan konsentrasi 5 M dan 10 M.
Hasil analisis pada Gambar 4
menunjukkan terjadinya peningkatan
persentase kelarutan CMCh dari 87,06%
menjadi 91,50% pada perlakuan
konsentrasi NaOH 5 M menjadi 10 M,
namun mengalami penurunan menjadi
61,61% pada perlakuan konsentrasi
NaOH 15 M. Penurunan persentase
kelarutan ini diduga karena semakin
banyak terbentuknya sodium glikolat
dan sodium klorida dengan
meningkatnya konsentrasi NaOH yang
digunakan sehingga substitusi gugus
hidroksil dengan gugus karboksil
terhambat. Muzzarelli et al. (1982)
dalam Mourya et al. (2010) melaporkan
bahwa konsentrasi alkali lebih dari 60%
menyebabkan terjadinya reaksi samping
antara NaOH dengan asam
monokloroasetat sehingga reaksi
substitusi menurun.
Nilai kelarutan CMCh yang
dihasilkan lebih rendah daripada
penelitian Khalil (2007) dengan nilai
95,08%-99,84%. Perbedaan tersebut
dapat dipengaruhi oleh jumlah asam
monokloroasetat yang digunakan, suhu
dan waktu pada saat proses
karboksimetilasi, serta rasio penggunaan
air dengan isopropil alkohol. Menurut
Mourya et al. (2010), peningkatan suhu
reaksi menyebabkan meningkatnya
fraksi pada proses karboksimetilasi
sehingga meningkatkan ketidaklarutan
dalam pH yang rendah, sedangkan
peningkatan rasio antara air dan
isopropil alkohol sebagai pelarut dapat
menurunkan fraksi pada proses
karboksimetilasi sehingga meningkatkan
ketidaklarutan dalam pH yang tinggi.
Gugus Fungsi Carboxymethyl
Chitosan (CMCh)
Hasil pada Tabel 3 menunjukkan
bahwa gugus fungsi CMCh memiliki
puncak-puncak spesifik seperti gugus
hidroksil (-OH) pada bilangan
gelombang 3.394 cm-1
dan 3.364 cm-1
,
gugus CH pada bilangan gelombang
2.939 cm-1
dan 2.893 cm-1
, gugus C O
pada bilangan gelombang 1.643 cm-1
,
gugus amina (-NH2) pada bilangan
gelombang 1.535 cm-1
, gugus CH dari
gugus fungsional alkena pada bilangan
gelombang 1.389 cm-1
dan 1327 cm-1
,
gugus C O pada bilangan gelombang
1.250 cm-1
dan 1.149 cm-1
, dan gugus
C O C pada bilangan gelombang
1.080 cm-1
. Hasil analisis gugus fungsi
yang membandingkan antara gugus
fungsi CMCh dengan kitosan komersil
disajikan pada Gambar 5.
Hasil analisis gugus fungsi pada
Gambar 5 menunjukkan adanya
perbedaan gugus fungsi yang diperoleh
antara CMCh dengan gugus fungsi
kitosan komersil yang digunakan.
Perbedaan yang didapatkan yaitu
munculnya gugus C=O, C-O, C-O-C,
dan gugus CH dari gugus fungsional
alkena pada CMCh yang tidak ada pada
kitosan komersil. Adanya vibrasi
molekul O-H dan C-O menunjukkan
bahwa kitosan telah berhasil disubstitusi
oleh asam monokloroasetat yang
merupakan senyawa dari grup asam
karboksilat. Grup asam karboksilat
memiliki gugus karboksil yang bersifat
polar sehingga kitosan yang berhasil
disubstitusi dapat larut dalam air. Gugus
karboksil (-COOH) memiliki sifat polar
dan tak terintangi (Fessenden 2006)
Gugus C-O pada bilangan
gelombang 1.250 cm-1
dan 1.149 cm-1
mewakili senyawa (–CH2COOH).
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
59
Zamani et al. (2010) melaporkan bahwa
puncak pada bilangan gelombang 1.728
cm-1
mewakili vibrasi peregangan C=O
dan puncak 1.238 cm-1
mewakili vibrasi
peregangan ikatan C-O dari senyawa
(–CH2COOH). Gugus C-O-C pada
bilangan gelombang 1.080 cm-1
menunjukkan bahwa karboksimetilasi
terdapat pada gugus hidroksil primer
dari kitosan, hal ini sesuai dengan
pernyataan Xue et al. (2009) yang
melaporkan bahwa semakin kuatnya
vibrasi ikatan ether pada bilangan
gelombang 1.076 cm-1
, dan tidak
signifikannya puncak alkohol primer
pada bilangan gelombang 1.031 cm-1
menunjukkan bahwa karboksimetilasi
terdapat pada gugus hidroksil primer
dari kitosan.
KESIMPULAN
Perbedaan konsentrasi NaOH
dalam proses alkalisasi mempengaruhi
persentase kelarutan serta viskositas
CMCh yang dihasilkan. Hasil CMCh
terbaik terdapat pada perlakuan
konsentrasi NaOH sebesar 10 M. Nilai
persentase rendemen pada perlakuan
alkalisasi menggunakan 10 M NaOH
yaitu sebesar 114,27±1,76%. Nilai pH
CMCh pada perlakuan alkalisasi
menggunakan 10 M NaOH sebesar
4,00±0,28. Nilai kadar air, kadar abu,
dan kadar nitrogen CMCh pada
perlakuan alkalisasi dengan 10 M NaOH
masing-masing sebesar 12,60±0,35%,
0,49±0,00%, dan 4,52±0,17%. Nilai
viskositas dan kelarutan CMCh pada
perlakuan alkalisasi dengan 10 M NaOH
masing-masing sebesar 7,69±0,27 cps
dan 91,50±0,71%. Spektrum FTIR
CMCh menunjukkan munculnya gugus
C O, C O, C O C, dan gugus CH
dari gugus fungsional alkena pada
CMCh yang tidak ada pada kitosan
komersil.
DAFTAR PUSTAKA
An TN, Thien DT, Dong NT, Dung PL.
2009. Water-soluble N-
carboxymethylchitosan
derivatives: preparation,
characteristics and its application.
Carbohydrate Polymers. 75:489-
497.
[AOAC] Association of official
Analytical Chemist. 2005. Official
Method of Analysis of the
Association of Official Analytical
of Chemist. Virginia (US):
Published by The Association of
Analytical Chemist, inc.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional.
1998. Cara Uji Viskositas
Larutan Karboksimetil Selulosa
(CMC). SNI 06-4558-1998.
Jakarta: Bandar Standarisasi
Nasional.
Basmal J, Prasetyo A, Fawzya YN.
2005. Pengaruh konsentrasi asam
monokloro asetat dalam proses
karboksimetilasi kitosan terhadap
karboksimetil kitosan yang
dihasilkan. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. 11(8):1-9.
Basmal J, Prasetyo A, Farida Y. 2007.
Pengaruh suhu eterifikasi
terhadap kualitas dan kuantitas
kitosan larut air yang dibuat dari
cangkang rajungan. Jurnal
Pascapanen dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan. 2(2):
99-106.
Central Connecticut State University.
Table of IR Absorptions.
www.ccsu.edu. [17 September
2013]
Domsay TM, Robert. 1985. Evaluation
of infra red spectroscopic
techniques for analyzing chitosan.
Journal Macromol Chemical.
186:1671.
Fessenden R J, Fessenden J S. 2006.
Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
Ibrahim B, Suptijah P, Prantommy.
2009. Pemanfaatan kitosan pada
pengolahan limbah cair industri
perikanan. Jurnal Pengolahan
Hasil Perikanan. 12(2):154-166.
Hargono, Abdullah, Sumantri I. 2008.
Pembuatan kitosan dari limbah
cangkang udang serta aplikasinya
dalam mereduksi kolesterol lemak
kambing. Reaktor. 12(1):53-57.
Khalil M. 2007. Kajian pengolahan dan
toksisitas khitosan larut air
dengan menggunakan tikus putih
(Rattus norvegicus) [tesis]. Bogor
(ID): Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
60
Kim SOK. 2004. Physicochemical and
functional properties of crawfish
chitosan as affected by different
processing protocols [tesis]. Seoul
(KR). Seoul National University.
Kurniasih M, Kartika D. 2011. Sintesis
dan karakterisasi fisika-kimia
kitosan. Jurnal Inovasi. 5(1): 42-
48.
Miao J, Chen G, Gao C, Dong S. 2008.
Preparation and characterization
of N,O-carboxymethyl
chitosan/Polysulfone composite
nanofiltration membrane
crosslinked with epichlorohydrin.
Desalination. 233:147-156.
Miranda ME, Rodrigues CA, Bresolin
TMB, Freitas RA, Teixeira E.
2003. Rheological aspect of n-
carboxymethyl chitosan in diluted
solutions. Alimentos e Nutrição
Araraquara. 14(2):141-147.
Mourya VK, Inamdar NN, Tiwari A.
2010. Carboxymethyl chitosan
and its applications. Advanced
Materials Letters. 1(1):11-33.
Oktavia DA, Wibowo S, Fawzya YN.
2005. Pengaruh jumlah
monokloro asetat terhadap
karakteristik karboksimetil
kitosan dari kitosan cangkang dan
kaki rajungan. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. 11(4):79-
88.
Poeloengasih CD, Hernawan, Angwar
M. 2008. Isolation and
characterization of chitin and
chitosan prepared under various
processing times. Indonesia
Journal Chemical. 8(2):189-192.
Santoso PS, Sanjaya N, Ayucitra A,
Antaresti. 2012. Pemanfaatan
kulit singkong sebagai bahan
baku pembuatan natrium
karboksimetil selulosa. Jurnal
Teknik Kimia Indonesia.
11(3):124-131.
Sofia I, Pirman, Haris Z. 2010.
Karakterisasi fisikokimia dan
fungsional kitosan yang diperoleh
dari limbah cangkang udang
windu. Jurnal Teknik Kimia
Indonesia. 9(1):11-18.
Suptijah P. 2004. Tingkatan kualitas
kitosan hasil modifikasi proses
produksi. Buletin Teknologi Hasil
Perikanan. 7(1):56-67.
Wijayani A, Ummah K, Tjahjani S.
2005. Karakterisasi karboksimetil
selulosa (CMC) dari eceng
gondok (Eichornia crassipes
(Mart) Solms). Indonesia Journal
Chemical. 5(3):228-231.
Wuxi Asailuo. 2013. Carboxymethyl
Chitosan. asl888.en.made-in-
china.com. [27 Agustus 2013].
Xue X, Li L, He J. 2009. The
performance of carboxymethyl
chitosan in wash-off reactive
dyeing. Carbohydrate Polymers.
75:203-207.
Zahiruddin W, Ariesta A, Salamah E.
2008. Karakteristik mutu dan
kelarutan kitosan dari ampas
silase kepala udang windu
(Penaeus monodon). Buletin
Teknologi Hasil Perikanan.
11(2):140-151.
Zamani A, Henriksson D, Taherzadeh
MJ. 2010. A new foaming
technique for production of
superabsorbents from
carboxymethyl chitosan.
Carbohydrate Polymers. 80:1091-
1101.
LAMPIRAN
Tabel 1 Karakteristik kitosan komersil
Parameter Kitosan Komersila
Standar Kitosanb
Kenampakan Kuning Pucat -
Kadar Air 8,6% ≤ 10%
Kadar Abu 0,3% ≤ 2%
Kadar Protein 0,5% ≤ 5%
Ukuran Partikel 20-30 mesh serpihan/bubuk
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
61
6,5 a 7,69 b 8,25 b
0
2
4
6
8
10
5 10 15
Vis
ko
sita
s (c
ps)
Konsentrasi NaOH (M)
Derajat Deasetilasi 88,5% ≥70% Sumber:
aCV. Bio Chitosan Indonesia.;
bProtan Laboratories diacu dalam Ibrahim et al. (2009)
Tabel 2 Karakteristik kimia carboxymethyl chitosan
Parameter Hasil Khalil (2007) Standarb
5M 10M 15M
pH 3,74±0,06a 4,00±0,28a 4,31±0,18a 4,33-4,57 7,00-9,00
Kadar Air 10,70±4,57%a 12,60±0,35a 11,42±0,35a 17,12-20,7% ≤15,00%
Kadar Abu 0,50±0,00%a 0,49±0,00a 0,50±0,00a 0,76-1,24% ≤1,00%
Kadar Nitrogen 4,63±0,01%a 4,52±0,17a 4,81±0,02a 3,03-3,59% -
Sumber:bWuxi Asailuo (2013).
aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5%
Tabel 3 Hasil analisis gugus fungsi CMCh. Daerah Serapan
Gugus Fungsional
Wilayah Serapan a
(cm-1)
Puncak Serapan
CMCh (cm-1)
Keterangan
Alkana 2.950-2.800 2.939 Peregangan C H
Alkena 1.430-1.290 1.389 dan 1.327 C H in-plane bend
Eter 1.300-100 1.080 Peregangan C O C
Asam Karboksilat 3.400-2.400
1.320-1.210
3.394 dan 3.364
1.250 dan 1.149
Peregangan O H
Peregangan C O
Amida 1.640-1.550
1.680-1.630
1.535
1.643 Ikatan N H
Peregangan C O
Sumber: aCentral Connecticut State University (2013)
Gambar2 Rendemen carboxymethyl
chitosan. Hasil yang
diperoleh merupakan basis
kering. aAngka-angka pada
kolom yang sama yang
diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5%.
Gambar 1 Kenampakan fisik
carboxymethyl chitosan.
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
62
110,70a 114,27a 112,10a
0
20
40
60
80
100
120
140
5 10 15
Ren
dem
en (
%)
Konsentrasi NaOH (M)
87,06 a 91,5 a
61,61 b
0
20
40
60
80
100
5 10 15
Kel
aru
tan
(%
)
Konsentrasi (M)
Gambar 4 Diagram hasil analisis kelarutan
carboxymethyl chitosan. Huruf
diatas balok yang berbeda
menunjukkan hasil yang
berbeda nyata dari uji lanjut
Duncan
Gambar 3 Diagram hasil analisis viskositas
CMCh. Huruf diatas balok
yang berbeda menunjukkan
hasil yang berbeda nyata dari
uji lanjut Duncan.
OH CH
C=O
NH
CH
C-O C-O-C
CH OH
NH
Gambar 5 Grafik hasil analisis gugus fungsi CMCh. a) CMCh, b) Kitosan
b
A
Komponen Bioaktif Buah Pil…
Lily Viruly
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 63-67
63
KOMPONEN BIOAKTIF BUAH PIL (Melia azedarach)ASAL PULAU TAMBELAN SEBAGAI ALTERNATIF OBAT
HIPERTENSI ALAMI
Lily Viruly
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang penderita hipertensinya tertinggi. Hal ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah Kepri untuk mengurangi penderita hipertensi di provinsi ini. Salah satu cara untuk mengurangi penderita hipertensi ini yaitu dengan cara mencari natural product atau herbal yang memiliki fungsi untuk menurunkan atau mengobati penyakit hipertensi. Tanaman buah “pil”/Mindi (Melia azedarach) secara empiris dipercayai oleh masyarakat Tambelan dapat mengurangi hipertensi. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Tambelan maka Buah pil banyak ditemukan di hutan-hutan di Pulau Tambelan. Tujuan penelitian ini secara umum adalah : (1) Membuktikan secara empiris penggunaan buah pil untuk obat hipertensi melalui quisioner kepada penduduk Tambelan yang pernah menderita hipertensi. (2) Mengidentifikas senyawa bioaktif dari biji buah “pil” (Melia azedarach). (3) Menguji toksisitas dari buah “pil” dengan metode BSLT sehingga aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Tambelan umumnya memakan biji dari buah pil jika sedang menderita hipertensi, mereka langsung mengunyah buah pil sebanyak 20 biji pagi dan 20 biji sore dan bisa sembuh hanya dalam waktu 24 jam. Secara kualitatif buah pil mengandung komponen bioaktif alkaloid, flavonoid, steroid, tannin, saponin dan triterpenoid. Total kandungan bioaktif flavonoid pada buah pil 0,32% (b/b). Hasil uji toksisitas dari buah pil sebesar 397,022 ppm, ini menunjukan bahwa buah pil aman untuk dikonsumsi sebagai atrenatif antihipertensi alami dengan takaran 20 biji pagi hari dan 20 biji sore hari. Kata kunci: buah pil, Melia azedarach , flavonoid, natural product ,hipertensi
ABSTRACT
Kepulauan Riau is one of the provinces in Indonesia that people with the highest
hypertension. One way to reduce hypertension sufferers this is by way of searching for
natural or herbal product that has a function to reduce or treat hypertension. "Buah pil”
/Mindi (Melia azedarach) empirically Tambelan believed by the public to reduce
hypertension. From interviews with the community Tambelan “Buah pil” are found in the
forests of the island Tambelan. This study aim was: (1) Demonstrate the use of
empirically Buah pil for hypertension drug Tambelan‟s through questionnaires to
residents who had suffered from hypertension. (2) Identify bioactive compounds from the
seeds of "buah pil" (Melia azedarach). (3) Analysis the toxicity of the "buah pil" with
BSLT method that is safe for consumption. The resulted that general people that
consumption buah pil Tambelan‟s if you're suffering from hypertension, they are
immediately chew buah pil as many as 20 seeds in the morning and afternoon and can be
cured in just 24 hours. Qualitatively buah pil contain bioactive components consists of
alkaloids, flavonoids, steroids, tannins, saponins and triterpenoids. The total bioactive
flavonoids buah pil 0.32% (w / w). The toxicity test of buah pil at 397.022 ppm, this
indicates that buah pil are safe for consumption as a natural antihypertension alternatif
with a doses as many as of 20 seeds morning and afternoon.
Keywords: Buah pil, Melia azedarach, flavonoids, natural product, hypertension
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
64
PENDAHULUAN
Kepulauan Riau merupakan
salah satu provinsi di Indonesia yang
penderita hipertensinya tertinggi.
Salah satu kabupaten di provinsi ini
yaitu Kabupaten Natuna sekitar 53,3
% penduduknya menderita hipertensi
(Antara News Kepri: 5/12/13). Hal
ini tentu akan menjadi pekerjaan
rumah buat pemerintah Kepri untuk
mengurangi penderita hipertensi di
provinsi ini. Salah satu cara untuk
mengurangi penderita hipertensi ini
yaitu dengan cara mencari natural
product atau herbal yang memiliki
fungsi untuk menurunkan atau
mengobati penyakit hipertensi.
Secara empiris banyak herbal yang
dipercayai oleh masyarakat terutama
di Provinsi Kepulauan Riau yang
dapat menyembuhkan penyakit
hipertensi. Tanaman buah “pil” atau
nama umunya yaitu pohon Mindi
(Melia azedarach) merupakan
tanaman yang tumbuhnya cepat dan
berasal dari Cina ini dapat ditemukan
dari dataran rendah sampai
pegunungan dengan ketinggian 1.100
m diatas permukaan laut. Tanaman
buah “pil” atau Mindi secara empiris
dipercayai oleh masyarakat
Tambelan dapat mengurangi
hipertensi. Dari hasil wawancara
dengan masyarakat Tambelan maka
Buah pil atau buah Mindi banyak
ditemukan di hutan-hutan di Pulau
Tambelan. Secara ilmiah penelitian
mengenai fungsi biji tanaman ini
sebagai antihipertensi belum perbah
dikaji secara komprehensif. Oleh
karena itu perlu dilakukan penapisan
awal dari kandungan bioaktif dari
biji tanaman ini untuk dasar
pengembangan sebagai obat
antihipertensi alami. Tujuan umum
penelitian ini adalah: (1)
Membuktikan secara empiris
penggunaan buah pil untuk obat
hipertensi melalui quisioner kepada
penduduk Tambelan yang pernah
menderita hipertensi. (2)
Mengidentifikas senyawa bioaktif
dari biji buah “pil” (Melia
azedarach). (3) Menguji toksisitas
dari buah “pil” dengan metode BSLT
sehingga aman untuk dikonsumsi.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari
bulan Oktober 2013 sampai Maret 2014,
di Pulau Tambelan-KEPRI dan di
Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan, Universitas Maritim Raja
Ali Haji, Universitas Maritim Raja Ali
Haji Tanjungpinang serta Laboratorium
Biofarmaka, IPB, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan
dalam penelitian ini adalah biji buah
tanaman “buah pil‟ (Melia azedarach)
yang diambil dari Pulau Tambelan.
Bahan lain yang digunakan yaitu bahan
untuk analisis komponen bioaktif, bahan
analisis Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT). Peralatan yang digunakan
dalam penelitian ini diantaranya,
timbangan digital, mortar, aerator,
tabung reaksi dan alat untuk analisis
bioaktif dan Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT).
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam
dua tahapan. Tahap pertama yaitu
pengambilan dan preparasi biji buah
“pil” serta pembuktikan secara empiris
penggunaan buah pil untuk obat
hipertensi melalui quisioner kepada
penduduk Tambelan yang pernah
menderita hipertensi. Tahap kedua yaitu
pengujian komponen bioaktif dari biji
buah “pil” dan uji toksisitas untuk
keamanan mengkonsumsinya dengan
metode BSLT.
Penelitian pendahuluan Penelitian ini dimulai dengan
pengambilan buah “pil” di hutan-hutan
di Pulau Tambelan, Kabupaten Bintan,
Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian
diambil biji dari buah pil tersebut lalu
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
65
dikeringkan. Setelah
dikeringkan, kemudian dicobakan
kepada penduduk Tambelan yang
menderita hipertensi dan diobservasi
setelah 24 jam dengan pengisian
kuisioner untuk mengetahui pengaruh
penggunaan buah pil sebagai obat
antihipertensi alami.
Penelitian lanjutan
Penelitian lanjutan yaitu
pengujian kandungan bioaktif dari buah
pil (Harborne 1984) dan uji toksisitas
dengan metode BSLT (Brine Shrimp
Lethality Test ) dari Loomis 1978.
Uji toksitologi buah pil dilakukan
dengan metode BSLT (Brine Shrimp
Lethality Test ). Sampel dilarutkan di
air laut. Kemudian, masing-masing plat
pengujian dimasukkan 10 ekor larva
udang dan larutan sampel hingga
diperoleh konsentrasi 10-1000 ppm.
Larva udang diinkubasi selama 24 jam.
Jumlah larva udang yang mati dihitung
dan ditentukan jumlah rata-rata yang
mati. Dibuat kurva hubungan antara
konsentrasi eksrak sebagai sumbu x dan
persen kematian di sumbu y untuk
mendapatkan nilai LC50 dengan
menggunakan Tabel Probit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanaman “buah pil” (sebutan
obat herbal hipertensi oleh penduduk
Tambelan) atau nama umumnya dikenal
sebagai pohon mindi dengan nama
latinnya Melia azedarach, merupakan
pohon liar di daerah-daerah dekat pantai
dan dapat ditemukan dari dataran rendah
sampai pegunungan, tanaman asli dari
cina ini dapat tumbuh pada ketinggian
1.100 m diatas permukaan laut.
Buahnya berjenis buah batu dan jika
masak, warnanya coklat kekuningan,
dan biji buah berwarna hitam.
Tumbuhan ini cepat bertumbuh, dalam 2
tahun, tinggi tumbuhan ini mencapai 4-5
meter (Dalimartha 2007). Buah pil yang
sudah dikeringkan dan dapat digunakan
sebagai obat hipertensi (Gambar 1.)
Gambar 1 Buah pil yang sudah
dikeringkan
Pembuktian Empiris Buah Pil
Sebagai Obat Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu
keadaan seseorang ketika terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, penderita memiliki resiko
penyakit jantung, stroke, dan gagal
ginjal (Iskandar 2007; Yusuf 2008).
Beberapa penyebab munculnya
hipertensi antara lain penyakit gagal
ginjal, kelainan endokrin, asupan garam
terlalu tinggi, stress atau salah
pemakaian obat (Iskandar 2007).
Tinggi rendahnya tekanan
darah juga dipengaruhi oleh faktor
Renin Angiotensin System (RAS), yang
melibatkan pengubahan zat angiotensin I
menjadi angiotensin II (Yusuf 2008).
Angiotensin II berfungsi untuk sekresi
aldosteron penyebab retensi sodium
yang dapat meningkatkan volume cairan
ekstraseluler, sehingga mengakibatkan
terjadinya hipertensi. Dengan
menghambat aktivitas angiotensin
converting enzyme (ACE), maka
angiotensin I tidak diubah menjadi
angiotensin II, sehingga hipertensi dapat
dicegah. Metode inhibitor ACE
merupakan metode skrining
antihipertensi yang efektif (Wagner et
al. 1991; Hansen et al. 1995;
Somanadhan et al. 1996). Hasil
wawancara dengan penderita hipertensi
yang sudah pernah berobat dengan
mengkonsumsi buah pil maka buah pil
yang dikonsumsi oleh penderita
hipertensi dapat menurunkan tekanan
darah selama 24 jam setelah
mengkonsumsi buah pil sebanyak 20 biji
pagi hari dan 20 biji sore hari. Jika
takaran konsumsi biji buah pil ini
dikurangi menjadi 10 biji pagi dan 10
biji sore hari maka akan memperlambat
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
66
khasiatnya, sehingga baru akan
mampu menurunkan tekanan darah
selama 3 hari.
Kandungan Bioaktif pada Buah Pil
Komponen bioaktif/metabolit
sekunder adalah suatu zat yang
dibiosintesis terutama dari banyak
metabolit-metabolit primer seperti asam
amino, asetol koenzim-A, asam
mevalonat, dan zat antara (Intermediate)
dari alur shikimat (Shikimic acid)
(Herbert 1995). Metabolit sekunder
sangat bervariasi jumlah dan jenisnya
dari setiap organisme. Beberapa dari
senyawa tersebut telah diisolasi sebagian
diantaranya memberikan efek fisiologis
dan farmakologis yang lebih dikenal
sebagai senyawa kimia aktif (Copriady
et al. 2005).
Makhluk hidup dapat
menghasilkan bahan organik sekunder
(metabolit sekunder) atau bahan alami
melalui reaksi sekunder dari bahan
organik primer (karbohidrat, lemak,
protein). Bahan organik sekunder
(metabolit sekunder) ini umumnya
merupakan hasil akhir dari suatu proses
metabolisme. Bahan ini berperan juga
pada proses fisiologi. Bahan organik
sekunder itu dapat dibagi menjadi tiga
kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid
dan terpenoid, tetapi pigmen dan
porfirin juga termasuk di dalamnya
(Purwanti 2009).
Zat metabolit sekunder memiliki
banyak jenis, adapun jenis dari metabolit
sekunder yang dapat kita ketahui antara
lain kumarin (Copriandy et al. 2005),
azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin
(Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat
metabolit sekunder sangat banyak.
Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan
sebagai antioksidan, antibiotik,
antikanker, antikoagulan darah,
menghambat efek karsinogenik
(Copriandy et al. 2005), selain itu
metabolit sekunder juga dapat
dimanfaatkan sebagai antiagen
pengendali hama yang ramah
lingkungan (Samsudin 2008).
Hasil analisis fitokimia pada buah
pil menunjukkan bahwa komponen
bioaktif yang terdapat pada buah pil
diantaranya:alkaloid, flavonoid, tannin,
saponin, steroid dan triterpenoid.
Adapun kandungan flavonoid pada buah
pil yang berfungsi untuk menurunkan
tekanan darah adalah sebesar 0,32%
(b/b). Flavonoid merupakan senyawa
yang larut dalam air. Flavonoid berupa
senyawa fenol, oleh karena itu warnanya
berubah bila ditambah basa atau amonia
(Harborne 1987). Flavonoid merupakan
salah satu golongan fenol alam terbesar
yang banyak terdapat dalam tumbuh-
tumbuhan hijau. Flavonoid merupakan
senyawa antioksidan alami, mencegah
bergabungnya oksigen dengan zat lain
sehingga tidak menimbulkan kerusakan
pada sel-sel tubuh (Liu dan Guo 2006).
Flavonoid mengandung cincin aromatik
yang terkonjugasi, oleh karena itu
menunjukkan pita serapan kuat pada
daerah spektrum UV dan spektrum
tampak. Flavonoid terdapat dalam
tumbuhan, terikat pada gula sebagai
glikosida dan aglikon flavonoid.
Penggolongan jenis flavonoid dalam
jaringan tumbuhan mula-mula
didasarkan pada telaah sifat kelarutan
dan reaksi warna. Terdapat sekitar
sepuluh kelas flavonoid, yaitu
antosianin, proantosianidin, flavonol,
flavon, glikoflavon, biflavon, khalkon,
auron, flavanon, dan isoflavon
(Harborne 1987).
Toksisitas Buah Pil
Hasil analisis toksisitas buah pil
sebagai obat antihipertensi dengan
menggunakan metode BSLT (Brine
Shrimp Lethality Test ) sebesar 397,022
ppm. Umumnya buah pil (Melia
Azedarach) memiliki tingkat keracunan
yang tinggi, jika dikonsumsi setiap hari
terutama pada bijinya, hal ini dibuktikan
dengan rasa pahit yang bersangatan pada
biji buah pil (Azam, 2013). Dengan
demikian maka konsumsi buah pil
selama 24 jam dengan takaran 20 biji
pagi hari dan 20 biji sore hari sampai
saat ini bisa aman untuk dijadikan obat
antihipertensi alami.
Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…
Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62
67
KESIMPULAN
Tanaman buah “pil”/Mindi
(Melia azedarach) secara empiris
dipercayai oleh masyarakat Tambelan
dapat mengurangi hipertensi. Dari hasil
wawancara dengan masyarakat
Tambelan maka Buah pil banyak
ditemukan di hutan-hutan di Pulau
Tambelan.
Hasil penelitian menunjukan
bahwa masyarakat Tambelan umumnya
memakan biji dari buah pil jika sedang
menderita hipertensi, mereka langsung
mengunyah buah pil sebanyak 20 biji
pagi dan 20 biji sore dan bisa sembuh
hanya dalam waktu 24 jam. Secara
kualitatif buah pil mengandung
komponen bioaktif alkaloid, flavonoid,
steroid, tannin, saponin dan triterpenoid.
Total kandungan bioaktif flavonoid pada
buah pil 0,32% (b/b). Hasil uji
toksisitas dari buah pil sebesar 397,022
ppm, ini menunjukan bahwa buah pil
aman untuk dikonsumsi sebagai atrenatif
antihipertensi alami dengan takaran 20
biji pagi hari dan 20 biji sore hari.
DAFTAR PUSTAKA
Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005.
Isolasi dan karakterisasi
senyawa kumarin dari kulit buah
jeruk nipis (Citrus hystrix DC).
Jurnal Biogenesis 2:13-15.
Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005.
Isolasi dan karakterisasi
senyawa kumarin dari kulit buah
jeruk nipis (Citrus hystrix DC).
Jurnal Biogenesis 2:13-15.
Dalimartha, Setiawan. 2005. Atlas
Tumbuhan Obat Indonesia.
Depok: Puspa Swara.
Iskandar Y. 2007. Tanaman obat yang
berkhasiat sebagai antihipertensi
[karya Bandung: Fakultas
Farmasi, Universitas Padjajaran
Bandung.
Hansen K. et al. 1995. In vitro screening
of traditional medicines for
antihypertensive effect based on
inhibition of the angiotensin
converting enzyme (ACE). J.
Ethnopharmacol, 48:43-51.
Harborne JB. 1984. Metode Fitokimia.
Padmawinata K, Soediro I,
penerjemah. Bandung: ITB.
Terjemahan dari: Phytochemical
Methods.
Herbert R B. 1995. Biosintesis Metabolit
Sekunder. Diterjemahkan:
Srigandono dari, The Biosintesis
of Secondary Metabolites.
Semarang: IKIP Semarang
Press.
Liu W, Guo R. 2006. Interaction of
flavonoid, quercetin with
organized molecular assemblies
of nonionic surfactant. Colloids
and Surfaces A: Physicochem.
Eng. Aspects. 274:192-199.
Loomis TA. 1987. Essential of
toxicology.3rd ed. Philadelpia
M.M. Azam et al. 2013.
Pharmakological Potentials
Melia Azedarach L. Review.
J.American Biosciences 1(2):44-
49
Purwati E. 2009. Profil komponen
bioaktif tanaman kava-kava
(Pipermethysticum, Forst, f)
dengan pelarut etanol dan
methanol [skripsi]. Malang:
Universitas Muhamadiyah
Malang.
Samsudin. 2008. Azadirachtin Metabolit
Sekunder dari Tanaman Mimba
sebagai Bahan Insektisida
Botani. Lembaga Pertanian
Sehat.
Somanadhan B. et al. 1996. An
ethnopharmacological survey
for potential angiotensin
converting enzyme inhibitors
from Indian medicinal plants. J
Ethnopharmacol, 65:103-112.
Wagner H, Elbl G, Lotter H, Uinea M.
1991. Evaluation of natural
products as inhibitors of
angiotensin I-converting enzyme
(ACE). Pharm Pharmacol Lett
1:15-18.
Yusuf I. 2008. Hipertensi sekunder.
Medicinus, 21:71-79.
Komposisi Jenis dan sebaran …
Febrianti lestari
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75
68
KOMPOSISI JENIS DAN SEBARAN EKOSISTEM
MANGROVE DI KAWASAN PESISIR KOTA
TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU
Febrianti Lestari
Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan
Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang komposisi dan sebaran ekosistem mangrove di
kawasan pesisir Tanjungpinnag. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui komposisi
jenis dan sebaran ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kota Tanjungpinang, serta
mengetahui potensi luas ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah Kota
Tanjungpinang. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dan pengamatan
langsung (observasi) dengan menggunakan metode transek untuk analisis vegetasi, data
biofisik dianalisis melalui citra dan analisis Geographic Information System (GIS). Hasil
penelitian menemukan komposisi jenis mangrove sejati di kawasan pesisir Tanjungpinang
terdiri dari enam jenis yaitu Rhizophora sp, Bruguiera sp, Sonneratia sp, Avicennia sp,
Ceriopps sp dan Xylocarphus sp dengan sebaran ekosistem mangrove yang paling dominan
ditemukan pada kawasan muara Sungai Dompak. Potensi luas ekosistem mangrove yang
paling besar terdapat pada kawasan mangrove muara Sungai Dompak seluas 305,53 ha
(kerapatan 138 pohon/ha), dan luas terkecil terdapat pada kawasan pesisir Tanjung
Unggat (27,38 ha dengan kerapatan 52 pohon/ha) dibandingkan luas total ekosistem
mangrove yang ditemukan diseluruh kawasan pesisir Kota Tanjungpinang (774,25 ha).
Kata Kunci: Komposisi Jenis Mangrove, Sebaran Ekosistem Mangrove, Kawasan Pesisir
Tanjungpinang
ABSTRACT
A research on the composition and distribution of mangrove ecosystems in coastal areas
of Tanjungpinang. The purpose of this study was to determine the species composition
and distribution of mangrove ecosystems in coastal areas of Tanjungpinang, and to know
the vast potential of mangrove ecosystem located in the Tanjungpinang city. Data
collected through direct observation and measurement using transect method for the
analysis of vegetation, biophysical data were analyzed Citra and analysis Geographic
Information System (GIS). The results found true mangrove species composition in
coastal areas Tanjungpinang consists of six types namely Rhizophora sp, Bruguiera sp,
Sonneratia sp, Avicennia sp, Ceriopps sp and Xylocarphus sp with the distribution of the
most dominant mangrove ecosystems found in the estuary area of densely packed. Vast
potential of mangrove ecosystem found in most large mangrove estuary densely packed
area of 305.53 ha (density of 138 trees / ha), and the smallest area located on the coastal
area of Tanjung Unggat (27.38 ha with a density of 52 trees/ha) compared to extensive
total mangrove ecosystems found throughout the coastal areas Tanjungpinang (774.25
ha).
Keywords: Composition Type Mangrove, Distribution of Mangrove Ecosystems, Coastal
Zone Tanjungpinang
Komposisi Jenis dan sebaran …
Febrianti lestari
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75
69
PENDAHULUAN
Pengembangan suatu kota
berimplikasi terhadap peningkatan
jumlah penduduk yang cukup signifikan,
sehingga mengakibatkan kebutuhan
lahan menjadi semakin tinggi. Pada
akhirnya dapat memicu peningkatan
konversi lahan untuk permukiman,
kawasan industri, sarana dan prasarana
dan kegiatan lainnya. Konversi lahan
mangrove merupakan salah satu bentuk
konversi lahan yang tidak terelakkan
dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
akibat peningkatan pertumbuhan
penduduk yang tak terkendali pada suatu
daerah. Hal ini mendorong terjadinya
kerusakan sumberdaya pesisir dan laut,
yang nantinya akan berdampak negatif
terhadap kehidupan manusia.
Keberadaan hutan mangrove di
wilayah pesisir barat pulau Bintan
tepatnya kawasan pesisir wilayah
administrasi Kota Tanjungpinang pada
kenyataannya terus mengalami
kerusakan atau degradasi akibat
berbagai tekanan dalam pemanfaatan
dan pengelolaan yang kurang
memperhatikan aspek kelestarian. Di
beberapa kawasan mangrove di Kota
Tanjungpinang sudah mengalami
kerusakan yang cukup memprihatinkan
seperti kawasan mangrove pulau
Dompak yang memusnahkan habitat
mangrove untuk pembangunan struktur
dan infrastruk pusat kota berupa jalan
dan jembatan serta pendirian gedung-
gedung untuk perkantoran. Pada
kawasan yang lain terdapat fragmentasi
habitat mangrove akibat penambangan
bouksit pada ekosistem mangrove.
mengingat pentingnya keberadaan
ekosistem mangrove untuk
mempertahan fungsi ekologis suatu
kawasan, maka perlu dilakukan upaya
untuk mempertahankan fungsi ekologis
penting mangrove sebagai pengendali
kerusakan lingkungan di kawasan
pesisir. Terkait dengan upaya tersebut,
upaya mengatasi laju kerusakan
lingkungan pesisir, berupa abrasi dan
intrusi air laut dengan pendekatakan
ekosistem merupakan salah satu aspek
keseimbangan yang harus dicapai dan
dipertahankan keberlanjutannya.
Sebagai upaya awal untuk
mencegah dan menanggulangi
kerusakan ekosistem mangrove
diperlukan data dan informasi yang
akurat tentang kondisi ekosistem yang
meliputi identifikasi dan inventrarisasi
kondisi eksisting biofisik mangrove
ekosistem mangrove di suatu kawasan.
Data yang akurat tentang kondisi aktual
mangrove di pesisir Tanjungpinang saat
ini sangat diperlukan sebagai data dasar
serta acuan program-program
pengelolaan mangrove secara
berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh data dan informasi yang
akurat tentang komposisi jenis dan
sebaran ekosistem mangrove di kawasan
pesisir Kota Tanjungpinang, serta
potensi luas ekosistem mangrove yang
terdapat di wilayah Kota
Tanjungpinang. Data dan informasi ini
dapat dijadikan landasan dasar bagi
kebijakan program-program pengelolaan
mangrove untuk kawasan pesisir Kota
Tanjungpinang.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada
kawasan pesisir Kota Tanjungpinang
mulai bulan Mei sampai bulan Oktober
2013. Informasi biofisik dikumpulkan
melalui analisis citra dan analisis
Geographic Information System (GIS),
dan dilanjutkan dengan verifikasi
Komposisi Jenis dan sebaran …
Febrianti lestari
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75
70
melalui survei langsung lapangan
dengan menggunakan metode transek
untuk analisis vegetasi. Data penunjang
seperti hasil kajian sebelumnya dan data
dari instansi telah direview sebagai
pembanding kondisi ekosistem
mangrove terkini (current condition).
Pengumpulan data dilakukan melalui
cara pengukuran dan pengamatan
langsung (observasi) dan pengambilan
sampel. Parameter pengukuran biofisik
ekosistem mangrove di lapangan terdiri
dari (a) jenis mangrove, (b) kerapatan
mangrove, (c) dominansi mangrove, dan
(d) penutupan vegetasi. Data yang telah
dikumpulkan kemudian ditabulasi dan
dianalisis secara deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Jenis Mangrove di
Kawasan Pesisir Tanjungpinang
Hasil penelitian ditemukan
sebanyak tujuh jenis mangrove sejati di
kawasan pesisir Kota Tanjungpinang
yang terdapat pada empat Kecamatan,
yaitu Kecamatan Tanjungpinang Kota,
Tanjungpinang Barat, Tanjungpinang
Timur, dan Bukit Bestari. Berdasarkan
pengamatan pada masing-masing lokasi
penelitian menunjukan bahwa komposisi
vegetasi mangrove sejati di kawasan
pesisir Tanjungpinang dapat
dikategorikan homogen. Hal ini sesuai
dengan karakteritik mangrove di pulau
kecil yang memiliki keragaman jenis
yang sangat rendah. Namun penyebaran
ekosistem mangrove di wilayah pesisir
Tanjungpinang ditemukan menyebar
pada kawasan daerah estuari atau muara
sungai, diantaranya adalah kawasan
muara Sungai Ular, muara Sungai Ladi,
muara Sungai Carang, muara Sungai
Tanjung unggat, muara Sungai Jang dan
muara Sungai Dompak.
Kehadiran tegakan ekosistem
mangrove pada kawasan pesisir Kota
Tanjungpinang sangat spesifik terlihat
bahwa proporsi terbesar kehadiran
dijumpai di daerah muara sungai atau
estuari yang dicirikan oleh adanya
pengaruh aliran sungai. Sebaran jenis-
jenis mangrove yang ditemukan pada
wilayah pesisir Tanjungpinang secara
spesifik disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Jenis Mangrove di
Kawasan Pesisir
Tanjungpinang Kawasan
Penyebaran
Jenis
Mangrove
Jenis Penting
Dominan
Muara
Sungai
Ular
Soneratia sp
Rhizophora sp
Burguiera sp
Xylocarpus sp
Burguiera sp
(INP =151,9)
Muara
Sungai
Ladi
Burguiera sp
Rhizophora sp
Ceriopps sp
Sonneratia sp
Xylocarphus sp
Rhizophora sp
(INP =117,2)
Muara
Sungai
Carang
Avicennia sp
Burguiera sp
Xylocarphus sp
Rhizophora sp
Sonneratia sp
Rhizophora sp
(INP =168,3)
Sungai
Tanjung
Unggat
Avicennia sp
Rhizophora sp
Bruguiera sp
Sonneratia sp
Avicennia sp
(INP =176,7)
Muara
Sungai
Jang
Xylocarphus sp
Rhizophora sp
Sonneratia sp
Bruguiera sp
Rhizophora sp
(INP =168,3)
Muara
Sungai
Dompak
Burguiera sp
Sonneratia sp
Xylocarhus sp
Rhizophora sp
Ceriopps sp
Rhizophora sp
(INP= 151,8)
Kerapatan mangrove tertinggi
ditemukan pada kawasan muara sungai
Dompak sebesar 138 pohon/ha,
kerapatan tertinggi berikut terdapat pada
kawasan muara sungai Ladi dan sungai
Ular masing-masing adalah sebesar 102
pohon/ha dan 101 pohon/ha. Sedangkan
kerapatan mangrove terendah terdapat
pada kawasan pesisir Tanjung Unggat
sebesar 72 pohon/Ha (Tabel 2).
Komposisi Jenis dan sebaran …
Febrianti lestari
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75
71
Tabel 2. Kerapatan dan Luas
Mangrovedi Kawasan Pesisir
Tanjungpinang
No Kawasan
Penyebaran
Kerapatan
Mangrove
(Pohon/ha)
Luas
Mangrove
(Ha)
1. Muara Sungai
Ular 101 140,82
2. Muara Sungai
Ladi 102 182,57
3. Muara Sungai
Carang 87 55,63
4. Tanjung
Unggat 52 27,38
5. Muara Sungai
Jang 69 62,32
6. Muara Sungai
Dompak 138 305,53
Total Luas Ekosistem Mangrove
Tanjungpinang 774,25
Sebaran Ekosistem Mangrove di
Kawasan Pesisir Tanjungpinang
a. Penyebaran Mangrove di Kawasan
Muara Sungai Ular
Kawasan muara Sungai Ular
berada pada koordinat N:00°56‟21.1” E:
104°27‟18.5”, merupakan sebuah daerah
yang cukup luas. Hasil pengamatan pada
masing–masing transek menunjukan
bahwa karakteristik vegetasi mangrove
di kawasan muara Sungai Ular
berkembang pada kondisi kelas
genangan yang sama sesuai dengan
klasifikasinya. Mangrove di Pesisir
Sungai Ular memiliki kondisi tanah
yang berlumpur dan tergenangi air. Air
pasang laut juga mempengaruhi kondisi
lumpur di area ini. Warna lumpur dan
tanah hitam kecoklatan gelap dengan
salinitas 5-10%. Kondisi hutan
mangrove masih baik dengan zona
terbuka ditempati oleh empat jenis
mangrove sejati pada tingkat pohon
yaitu; Rhizophora sp, Xylocarphus sp,
Sonneratia sp dan Bruguiera sp.
Menurut perhitungan Indeks nilai
penting teridentifikasi bahwa jenis
Burguiera sp merupakan jenis yang
paling dominan untuk tingkat pohon di
kawasan pesisir Sungai Ular
(INP=151,9). Hal ini menjelaskan
bahwa jenis Burguiera sp mempunyai
peran penting pada ekosistem mangrove
di kawasan pesisir Sungai Ular.
Selanjutnya kerapatan mangrove yang
ditemukan di sungai Ular adalah sebesar
101 pohon/Ha, dengan luasan mangrove
sebesar 140,82 Ha (Gambar 1).
Gambar 1. Sebaran Jenis Mangrove di
Kawasan muara Sungai Ular
b. Sebaran Mangrove di Kawasan
Muara Sungai Ladi
Kawasan muara Sungai Ladi
berada pada koordinat N:00°56'50.03"
E: 104°27'03,5" dengan kondisi tanah
berlumpur dan tergenangi air. Air
pasang laut selalu menggenangi setiap
hari sehingga mempengaruhi kondisi
lumpur di kawasan ini. Warna lumpur
dan tanah hitam kecoklatan terang
dengan keadaan pH 5 dan salinitas 17
promil. Zonasi mangrove yang
membentuk kawasan ini terdiri dari
Rhizophora sp, Xylocarpus sp, dan
Bruguiera sp sebagai mangrove sejati.
Kawasan mangrove sungai Ladi
didominasi oleh jenis Rhizophora sp
yang dapat tumbuh baik karena jenis
substratnya berupa lumpur sangat
mendukung pertumbuhan jenis tersebut.
Hasil perhitungan nilai penting terbesar
ditemukan pada jenis Rhizophora sp
yaitu sebesar 117,2. Jenis-jenis
mangrove sejati yang di temui adalah:
Bruguiera sp, Rhizophora sp,
Sonneratia sp, Xylocarphus sp, dan
Ceriopps sp. Kerapatan mangrove yang
ditemukan adalah sebesar 102
pohon/Ha, sementara luas mangrove
yang masih tersisa adalah sebesar
182,57 Ha (Gambar 2).
Kerapatan
(Pohon/Ha)
Luas Mangrove
(Ha)
101 50.668
Sonneratia spRhizophora spBurguiera sp
Xylocarphus sp
Sonneratia spRhizophora spBurguiera sp
Xylocarphus sp
438000
438000
438600
438600
439200
439200
439800
439800
103800
103800
104400
104400
105000
105000
PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE
N
EW
S
80 0 80 160 Meters
1:10001Skala Skala
Legenda :Legenda :
D ara t
Lau t
Sun ga i
M ang rove
Sumber :Citra QuickBird perekaman tahun 2009
Sumber :Citra QuickBird perekaman tahun 2009
UTMUTM
Sun
gai U
lar
Komposisi Jenis dan sebaran …
Febrianti lestari
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75
72
Gambar 2. Sebaran Jenis Mangrove di
Kawasan Muara Sungai
Ladi
c. Sebaran Mangrove di Kawasan
Muara Sungai Carang
Kawasan muara Sungai Carang
merupakan salah satu lokasi yang telah
mengalami pengembangan khusus
pemanfaatan mangrove sebagai wilayah
pariwisata. Di kawasan ini ditemukan
mangrove trail yang mengitari lingkar
luar atau daerah batas mangrove dengan
perairan Sungai Carang. Kawasan
mangrove Sungai Carang berada pada
koordinat 00°55'46.19"N
104°29'18.59"E. Jenis mangrove yang di
temukan pada ketegori pohon adalah
Avicennia sp, Bruguiera sp,
Xylocarphus sp, Rhizophora sp dan
Soneratia sp. Dengan kondisi substrat
lumpur terdapat ketebalan mangrove
yang bervariasi antara 50 hingga 100
meter kemudian dilanjutkan dengan
tanaman dataran rendah.
Komposisi vegetasi mangrove di
kawasan Sungai Carang dapat dikatakan
homogen. Jenis-jenis mangrove yang
menyusun zona terbuka adalah
Avicennia sp dan Sonneratia sp, namun
jenis ini hanya ditemukan pada jarak 0-
15 meter dari bibir pantai. Zona tengah
di temukan jenis Rhizophora sp,
Bruguiera sp, dan Xylocarphus sp.
Secara umum kondisi mangrove di
kawasan Sungai Carang sudah banyak
mengalami kerusakan berupa
fragmentasi habitat akibat adanya
kegiatan penambangan bauksit. Air
pasang laut mempengaruhi kondisi
lumpur di area ini. Warna lumpur dan
tanah hitam gelap dengan salinitas 20
promil.
Hasil perhitungan nilai penting
terbesar pada tingkat pohon
teridentifikasi bahwa dua jenis
mangrove yaitu Avicennia sp (INP =
116,7) dan Rhizophora sp (INP= 168,3)
merupakan jenis yang memiliki peranan
yang penting untuk ekosistem mangrove
tingkat pohon di kawasan muara Sungai
Carang. Kerapatan jenis ditemukan
sebesar 88 pohon/Ha, sedangkan luas
mangrove yang didapat di kawasan
Sungai Carang sebesar 55.63 Ha (Gambar 3).
Gambar 3. Sebaran Jenis Mangrove di
Kawasan Sungai Carang
d. Sebaran Mangrove di Kawasan
Pesisir Tanjung Unggat
Kawasan pesisir Tanjung Unggat
berada pada koordinat N 00°55'24.8" E
104°28'08.2". Dengan kondisi tanah
yang berlumpur dan tergenangi air.
Warna lumpur dan tanah hitam
kecoklatan gelap dengan salinitas 25
promil. Kondisi hutan mangrove tampak
mengalami gangguan berupa limbah
rumah tangga, hal ini disebabkan lokasi
mangrove dekat daerah pemukiman
warga sekitar. Zona terbuka ditempati
jenis Avicennia sp dan Sonneratia sp,
kemudian zona tengah ditempati jenis
Rhizophora sp.
Kondisi substrat berlumpur dalam
dan tergenang di kawasan pesisir
Tanjung Unggat merupakan habitat yang
cocok untuk jenis Avicennia sp sehingga
tumbuh dengan baik di sepanjang pantai.
Hasil perhitungan nilai penting terbesar
menurut analisis vegetasi teridentifikasi
Bruguiera spRhizophora sp
Sonneratia sp
Xylocarphus sp
Ceriopps sp
Bruguiera spRhizophora sp
Sonneratia sp
Xylocarphus sp
Ceriopps sp
439200
439200
440100
440100
441000
441000
441900
441900
442800
442800
103500
103500
104400
104400
105300
105300
106200
106200
UTMUTM
PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE
N
EW
S
100 0 100 200 Meters
1:18380Skala Skala
Kerapat an
(Pohon/ Ha)
Luas Ma ngrove
(Ha )
102 74.469
Legenda :Legenda :
Darat
Laut
Sungai
Mangrov e
Sumber :Citra QuickBird perekaman
tahun 2009
Sumber :Citra QuickBird perekaman
tahun 2009
Sungai L
adi
441900
441900
442800
442800
443700
443700
444600
444600
445500
445500
101700
101700
102600
102600
103500
103500
104400
104400
UTMUTM
PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE
N
EW
S
100 0 100200 Meters
1:16924Skala Skala
Kerapatan
(Pohon/Ha)
Luas Mangrove
(Ha)
88 55.823
Legenda :Legenda :
Darat
Lau t
Su nga i
Man grove
Sumber :Citra QuickBirdperekaman tahun2009
Sumber :Citra QuickBirdperekaman tahun2009
Sungai Cara
ng
Avicennia spRhizophora sp
Sonneratia spBruguiera sp
Xylocarphus sp
Avicennia spRhizophora sp
Sonneratia spBruguiera sp
Xylocarphus sp
Komposisi Jenis dan sebaran …
Febrianti lestari
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75
73
jenis Avicennia sp (INP = 176,7), hal ini
menjelaskan bahwa jenis Avicennia sp
memiliki peran penting pada ekosistem
mangrove di kawasan Pesisir Tanjung
Unggat. Kerapatan mangrove yang
didapat di Tanjung Unggat sebesar 72
pohon/Ha, sedangkan luasan mangrove
hanya sebesar 27,38 Ha. Luasan
mangrove di Tanjung Unggat memiliki
luasan yang paling sedikit, ini diduga
lahan mangrove telah banyak di
konversi menjadi permukiman,
pelabuhan, hotel dan restoran serta
industri (Gambar 4).
Gambar 4. Sebaran Jenis Mangrove di
Kawasan Tanjung Unggat
e. Sebaran Mangrove Kawasan
Muara Sungai Jang
Pengamatan yang dilakukan di
kawasan muara Sungai Jang berada pada
koordinat N: 0°53'51.69" E:104°28'14.26".
Jenis substrat di daerah ini lumpur tanah
coklat gelap dan selalu tergenang pasang
air laut. Mangrove yang ditemukan di
kawasan muara Sungai Jang termasuk
mangrove zona payau. Jenis mangrove
yang tercatat berdasarkan hasil
pengamatan terdapat empat jenis
mangrove sejati pada tingkat pohon
yaitu: Burguiera sp, Xylocarphus sp,
Rhizophora sp, dan Sonneratia sp.
Kerapatan mangrove yang didapat di
kawasan Sungai Jang sebesar 69
pohon/Ha, dengan luas mangrove
sebesar 62.32 Ha (Gambar 5).
Gambar 5. Sebaran Jenis Mangrove di
Kawasan Sungai Jang
f. Sebaran Mangrove di Kawasan
Muara Sungai Dompak
Pengamatan ekosistem mangrove di
kawasan Sungai Dompak berada pada
koordinat N: 0°53'5.34" E:104°27'35.81".
Jenis substrat di daerah ini lumpur tanah
coklat gelap dan selalu tergenang air
pasang. Vegetasi mangrove di kawasan
estuari Dompak termasuk mangrove zona
terbuka. Jenis mangrove yang tercatat
berdasarkan pengamatan adalah sebanyak
6 jenis mangrove sejati terdiri dari:
Bruguiera sp, Rhizophora sp, Sonneratia
sp, Ceriopps sp dan Xylocarphus sp. Rata-
rata ketebalan vegetasi mangrove ± 70m
diukur dari bibir pantai. Kerapatan
mangrove yang di dapat sebesar 138
pohon/Ha, sedangkan luasan mangrove
sebesar 305,53 Ha (Gambar 6).
Gambar 6. Sebaran Jenis Mangrove di
Kawasan Muara Sungai
Dampak
Rhizophora sp
Sonneratia sp
Avicennia sp
Rhizophora sp
Sonneratia sp
Avicennia sp
440400
440400
441000
441000
441600
441600
101400
101400
102000
102000
102600
102600
UTMUTM
PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE
N
EW
S
40 0 4080 Meters
1:9023SkalaSkala
Kerapatan
(Pohon/Ha)
Luas Mangrove
(Ha)
72 27.383
Legenda :Legenda :
Darat
Laut
Mangrove
Kanal Tanjung Unggat
Sumber :Citra Quickbird perekamantahun 2009
Sumber :Citra Quickbird perekamantahun 2009
Tanjung UnggatTanjung Unggat
Rhizophora sp
Sonneratia spBruguiera sp
Xylocarphus sp
Rhizophora sp
Sonneratia spBruguiera sp
Xylocarphus sp
440100
440100
441000
441000
441900
441900
442800
442800
443700
443700
98100
98100
99000
99000
99900
99900
100800
100800
UTMUTM
PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE
N
EW
S
50050100 Meters
1:14973Skala Skala
Kerapat an
(Pohon/ Ha)
Luas Ma ngrove
(Ha )
69 62.504
Legenda :Legenda :
Darat
Laut
Sungai
Mangrove
Sumber :Citra QuickBird perekamantahun 2009
Sumber :Citra QuickBird perekamantahun 2009
Sungai Jang
Rhizophora spXylocarphus spBruguiera spCeriopps spSonneratia spLumnitzera sp
Rhizophora spXylocarphus spBruguiera spCeriopps spSonneratia spLumnitzera sp
440000
440000
442000
442000
444000
444000
446000
446000
96000
96000
98000
98000
100000
100000
UTMUTM
PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE
N
EW
S
200 0 200400 Meters
1:26770Skala Skala
Kera pata n
(Poh on/H a)
Luas Man gro ve
(H a)
138 229. 793
Darat
Laut
Sungai
Mangrove
Legenda :Legenda :
Sumber :Citra QuickBird perekamantahun 2009
Sumber :Citra QuickBird perekamantahun 2009
Sungai Dompak
Komposisi Jenis dan sebaran …
Febrianti lestari
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75
74
Potensi Luas Mangrove di Kawasan
Pesisir Tanjungpinang Berdasarkan hasil pengamatan
di lapangan dan pengolahan analisis
citra diketahui luas total ekosistem
mangrove yang terdapat di kawasan
pesisir Kota Tanjungpinang adalah
seluas 774,25 hektar. Luas ekosistem
mangrove yang ditemukan dalam
pengamatan membentuk pola
penyebaran yang terdistribusi pada enam
kawasan muara sungai, meliputi luas
mangrove di kawasan muara sungai Ular
dan muara Sungai Ladi yang termasuk
pada wilayah Kec. Tanjungpinang Kota
adalah seluas 323,39 ha, luas mangrove
di kawasan muara Sungai Carang yang
merupakan wilayah Kec. Tanjungpinang
Timur adalah seluas 55,63 ha, luas
mangrove di kawasan pesisir Tanjung
unggat yang termasuk ke dalam wilayah
kec. Tanjungpinang barat adalah seluas
27,38 ha, dan luas mangrove di kawasan
muara sungai Jang dan muara sungai
Dompak yang termasuk ke dalam
wilayah administrasi Kecamatan Bukit
Bestari adalah seluas 367,85 ha (Gambar
7).
Gambar 7. Peta Luas Mangrove di
Kawasan pesisir Kota Tanjungpinang
Gambar 7 memperlihatkan pada
masing-masing kawasan muara sungai,
luas mangrove yang paling besar
ditemukan di Muara Sungai Dompak
wilayah kec. Bukit Bestari dengan luas
mangrove 305,53 ha, ini di karenakan
kondisi mangrove di kawasan tersebut
relatif masih baik dan belum banyak
mengalami konversi lahan mangrove
menjadi fungsi lain. Sedangkan luas
mangrove yang paling sedikit terdapat
pada Kecamatan Tanjungpinang Barat
yaitu kawasan pesisir Tanjung unggat
yaitu hanya seluas 27,38 ha. Hal ini
disebabkan di kawasan tersebut sudah
banyak kegiatan konversi lahan
mangrove menjadi kawasan
pertambangan, permukiman dan
kegiatan perkotaan lainnya.
KESIMPULAN
1. Komposisi jenis mangrove di
kawasan pesisir Tanjungpinang
terdiri dari enam jenis yaitu
Rhizophora sp, Bruguiera sp,
Sonneratia sp, Avicennia sp, Ceriopps
sp dan Xylocarphus sp dengan
sebaran ekosistem mangrove yang
paling dominan ditemukan pada
kawasan muara Sungai Dompak,
sedangkan yang paling rendah
terdapat pada kawasan pesisir
Tanjung Unggat.
2. Potensi luas ekosistem mangrove
yang paling besar terdapat pada
kawasan ekosistem mangrove
muara Sungai Dompak seluas
305,53 ha sekaligus memiliki
kerapatan jenis tertinggi (138
pohon/ha), sedangkan luas kawasan
ekosistem mangrove terendah
terdapat pada kawasan mangrove
Tanjung Unggat hanya seluas 27,38
ha dengan kerapatan 52 pohon/ha
dibandingkan luas total ekosistem
mangrove yang ditemukan
diseluruh kawasan pesisir Kota
Tanjungpinang (774,25 ha).
DAFTAR PUSTAKA
Badola R, Barthwal S, Hussain SA.
2012. Attitudes of local
Comunities towards conservation
of mangrove forest: A case study
from the east Coast of India.
Estuarine, Coastal and Shelf
Science 96: 188-196.
Komposisi Jenis dan sebaran …
Febrianti lestari
ISSN: 2086-8049
Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75
75
Bengen DG. 2002. Pedoman Teknis:
Pengenalan dan Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Bogor:
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor.
Ditjen RLPS, 2005. Pedoman
Identifikasi dan Inventarisasi
Mangrove Departemen
Kehutanan Republik Indonesia,
Jakarta, 2005.
Gill AM, Tomlinson PB. 1977. Studies
on the growth of red mangrove
(Rhizophora mangle L). The adult
root system. Siotropica 9: 145-
155
Kusmana C et al. 2005. Teknik
Rehabilitasi Mangrove. Bogor:
Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan
mangrove. Bogor: PT. Penerbit
IPB press.
Mandal S, Ray S, Ghosh PB. 2012.
Comparative study of mangrove
litter nitrogen cycling to the
adjacent estuary through
modelling in pristine and
reclaimed islands of Sundarban
mangrove ecosystem, India.
Procedia Environmental Sciences
13 : 340 - 362.
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut:
Suatu Pendekatan Ekologis.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Wilkinson C and Salvat B. 2012.
Coastal Resource Degradation in
the tropics: Does the tragedy of
the commons apply for coral
reefs, mangrove forest and
seagrass beds. Marine Pollution
Bulletin 64: 1096-1105.