Upload
tajul-patas
View
41
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pustaka
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG JURNAL
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan berlebih jaringan ikat
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasive. Biasanya
tumbuh terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral
atau di daerah kornea. Pterigium ini mudah meradang dan bila terjadi iritasi,
maka bagian pterigium ini akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai
kedua mata. Pterigium diduga disebabkan iritasi lama akibat debu, cahaya
sinar matahari,dan udara yang panas.
PATOFISIOLOGI
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultra violet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinyapenebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultra violet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal,
kemudian melalui pungtum lakrimalisdialirkan ke meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relative mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena
disamping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar
ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada
1
bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan
dengan bagian temporal.
GEJALA DAN GAMBARAN KLINIS
Keluhan penderita :
Mata merah dan timbulnya bentukan seperti daging yang menjalar ke kornea.
Gambaran klinis :
Pterigium ada 2 macam, yaitu yang tebal dan mengandung banyak
pembuluh darah, atau yang tipis dan tidak mengandung pembuluh darah. Di
bagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrat kecil – kecil yang disebut :
“islet of flutch”. Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan
menebal yang kadang – kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita.
PENGOBATAN
Pterigium ringan tidak perlu diobati. Pterigium yang mengalami iritasi,
dapat diberikan anti inflamasi tetes mata (golongan steroid, non steroid seperti
indomethacin 0,1% dan sodium diclofenac 0,1%) dan vasokonstriktor tetes
mata.
Indikasi operasi :
Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3mm dari limbus.
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil.
Pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus. Serta Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
2
Untuk mencegah terjadinya kambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian :
Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatistika) : 2x1 tetes/hari selama
5hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tapering off sampai 6 minggu.
Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
Topical thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1
tetes/3jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotic
Chlorampenicol, dan steroid selama 1 minggu.
PENCEGAHAN
Pada penduduk daerah tropik yang bekerja diluar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet,
dianjurkan memakai kaca mata pelindung sinar matahari.
II. RUMUSAN MASALAH JURNAL
Untuk mengetahui efek dari operasi pterigium dengan topografi
kornea, dimana menjadi masalah penting dalam penyelesaian tatalaksana pre
dan pasca operasi pterigium.
III. TUJUAN JURNAL
Untuk mengevaluasi tingkat kesuksesan efek dari operasi pterigium
topografi kornea. Untuk menyelidiki efek dari operasi pterigium dengan
topografi kornea.
3
IV. MANFAAT JURNAL
Memperdalam pengetahuan tentang operasi pterigium dengan
topografi kornea. Sebagai proses pembelajaran proaktif bagi Dokter Muda
yang tengah menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Mata.
4
BAB II
ISI JURNAL
2.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan berlebih jaringan ikat
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasive. Biasanya
tumbuh terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal
konjungtiva. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral
atau di daerah kornea. Pterigium ini mudah meradang dan bila terjadi iritasi,
maka bagian pterigium ini akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai
kedua mata. Pterigium diduga disebabkan iritasi lama akibat debu, cahaya
sinar matahari,dan udara yang panas.
Beberapa mekanisme telah dilaporkan untuk menjelaskan perataan
kornea yang disebabkan oleh pterigium. Yaser baru – baru ini mendalilkan
bahwa penyatuan air mata di pterigium puncak memainkan peranan penting
dalam perubahan topografi kornea.
2.2 METODE PENELITIAN
Penelitian sampel terdiri dari 20 mata dari 17 pasien yang menjalani
operasi pengangkatan pterigium primer dari Januari 2003 sampai November
2004, di Departemen Ophtalmology Rumah Sakit Nicolle Charles, Universitas
Tunis, Tunisia.
Pasien adalah 14 perempuan dan 3 laki – laki. Rata – rata usia mereka
adalah 29 – 66 tahun, dengan pengecualian riwayat trauma kornea, pernah
operasi mata termasuk operasi pterigium, jaringan parut kornea, dan pterigium
kambuhan setelah operasi.
5
Topografi kornea komputerisasi dan videokeratografi (TMS -2,
Computed Anatomi Inc, New York, NY) diperoleh pada 20 mata dengan
pterigium sebelum operasi. TMS – 2 sistem model topografi bergantung pada
Placido jenis refleksi cincin konsentris. Informasi ini digunakan untuk
menghitung daya dalam dioptri dan jari – jari kelengkungan setiap melingkar.
Untuk setiap mata, akuisisi diulangi sampai gambar terfokuskan.
ANALISIS STATISTIK
Data dinyatakan sebagai rata – rata ± standar deviasi. Perbandingan
antara nilai – nilai pra- dan pasca operasi dilakukan dengan paired dua ekor ;
nilai p kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik.
6
WARNA WARMER
Warna (merah, orange, kuning) mewakili daerah “curam” sedangkan
warna dingin (hijau dan biru) menandakan datar untuk mengoreksi indeks bias
kornea.
2.3 HASIL PENELITIAN JURNAL
Sebelum operasi, peta penilaian topografi kornea menunjukan perataan
kornea di garis tengah dan pada kuadran hidung, dimana pterigium berada
(gambar 1A). Ini perubahan fitur topografi kornea menurun atau menghilang
setalah operasi (gambar 1).
Perubahan parameter bias setelah operasi pengangkatan dirangkum
dalam Tabel 1. Pembedahan signifikan meningkatkan kekuatan sferisnya dari
41.65 ± 3,29 – 44,58 ±1,55 dioptri (D) (p = 0,04) (Tabel I, gambar.2).
7
Pra operasi silidris simulasi keratometric di tingkat pusat 3mm
menurun pada 16 mata, meningkat pada 2 mata, dan tetap tidak berubah pada
2 mata (gambar 3). Nilai rata – rata yang menurun secara signifikan dari 5,47
± 3,45 D sebelum operasi menjadi 1,79 ± 1,52 D pasca operasi (p = 0,0005).
Namun tidak ada korelasi linear diamati secara keratometric pra- dan pasca
operasi silindris. Sumbu silindris tidak berubah setelah operasi. Berarti sumbu
pra operasi dari curam meridian kornea
adalah 85,5°.
A
B
8
2
3
2.4 DISKUSI JURNAL
Telah ditetapkan bahwa, sebelum memasuki zona optic, pterigium
dapat menyebabkan pendataran pusat kornea. Sering mengakibatkan
pengaturan silindris. Perubahan topografi kornea telah terungkap
menggunakan komputerisasi sistem topografi kornea. Dalam studi ini, gambar
videokeratoscopic diperoleh TMS – 2 sistem memungkinkan kita untuk
9
menganalisis perubahan permukaan kornea disebabkan oleh pterigium dan
reversibilitas mereka setelah sukses operasi.
Beberapa mekanisme telah dilaporkan untuk menjelaskan
mendatarkan kornea yang disebabkan oleh pterigium. Yasar et al 6 baru-baru
ini mendalilkan bahwa penyatuan air mata di pterygium puncak memainkan
peranan penting dalam topografi kornea perubahan. Bahkan, meniskus air
mata berkembang antara yang kornea puncak dan peningkatan pterygium
dapat meratakan kelengkungan kornea yang normal di daerah itu 7,8.
Selain itu, fibrosis sub-epitel di bawah kepala pterygium dapat
menyebabkan mendatarkan lokal oleh traksi langsung
efek pada stroma yang mendasari 3.
Mekanisme ini tampaknya tidak mungkin 3,6, karena tidak ada
myofibroblast. Sel-sel yang ditemukan di dalam kepala dan tubuh specimen
jaringan pterygium 7.
Namun, Touhami et al 9, menggunakan immunostaining dengan
penanda spesifik sel dan ultra analisis, baru-baru ini ditemukan myofibroblast.
Sel-sel dalam jaringan fibrovascular di sekitar kepala dan tubuh dari
pterygium, yang dipelajari . Hal ini mungkin menjelaskan pterigium yang
mempunyai efek traksi . Sebagai pterygium terutama hasil dari kekurangan sel
induk 2, dan karena ini demikian tingkat kekambuhan rendah dilaporkan
setelah teknik ini 10, kami memilih pterygium eksisi dengan limbo -
konjungtiva autograft sebagai prosedur bedah. Sebagaimana dilaporkan dalam
studi saat ini , perataan horizontal bentuk topografi yang paling sering kornea
mata dengan pterygia 1 , 4 , 6. Namun, perubahan dalam topografi kornea fitur
yang sering berkurang atau hilang setelah berhasil dilakukan operasi 1, 11.
Bahar et al 11, melaporkan penurunan yang signifikan dalam kornea Silindris
di tingkat pusat 3 mm setelah operasi pterygium . Tomidokoro et al 1, sama
melaporkan bahwa operasi menurun.
10
Silindris kornea dengan tidak ada perubahan dalam sumbu , melainkan
juga menurun SAI dan SRI tetapi secara signifikan meningkatkan kekuatan
bola kornea 1. Selain itu , operasi tersebut memberikan perubahan yang terjadi
dalam daya bola dan astigmatisme kornea yang signifikan dimana berkorelasi
dengan pra operasi pterygium ekstensi 1.
Demikian juga, dalam penelitian ini, berarti Silindris keratometric
menurun secara signifikan 5, 47-1, 79 D dalam operasi. Kami tidak
menemukan efek dari operasi pada sumbu pterygium yang di lakukan pada
astigmatisme. Seperti dalam beberapa laporan lainnya 11, kami menemukan
ada korelasi antara pre – dan pasca operasi Silindris kornea. Memang,
Silindris hingga 3 dioptri dapat bertahan dalam beberapa kasus, beberapa
pasien bahkan Silindris pra operasi mereka meningkat setelah operasi.
Temuan ini telah dilaporkan oleh lain 1, 11, 12. Bahar et al11,
menggambarkannya sebagai efek yang tidak terduga pada operasi bentuk
kornea . Hal Ini bisa dikaitkan bentuk kornea itu sendiri, karena semua kasus
telah mengalami prosedur operasi yang sama .
Dalam penelitian kami, SAI dan SRI juga menurun operasi,
menunjukkan kualitas optic (pengelihatan / lensa) yang lebih baik dari
permukaan kornea . Kami percaya bahwa UCVA dan BSCVA terjadi
perbaikan setelah dilakukan operasi , seperti yang dilaporkan oleh penulis
lain11, 13, dapat dijelaskan dengan kualitas optik yang lebih baik terkait dengan
kornea.
11
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Melalui peningkatan yang signifikan dalam kekuatan kornea bola
setelah operasi , kita bisa menunjukkan bahwa mendatarkan kornea sentral
disebabkan oleh pterigium adalah reversibel oleh operasi pengangkatan .
Selain itu , peningkatan bola kekuatan kornea mungkin telah diinduksi sedikit
non – statistic pergeseran rabun signifikan dicatat setelah operasi ( Tab. I).
Dengan demikian , seperti yang sebelumnya disarankan ( 1 ), kami
percaya bahwa katarak atau operasi bias , jika dipertimbangkan pada pasien
ini, harus dilakukan setelah operasi pterygium sehingga memiliki stabilisasi
komponen bias kornea .
Penelitian kami menegaskan bahwa operasi pterygium sukses secara
signifikan mengurangi Silindris topografi , SRI , SAI , dan merata kornea .
Perubahan topografi kornea yang disebabkan dengan pterygium yang hampir
reversibel setelah perawatan bedah .Namun, prediksi yang tepat dari
perubahan bias kadang-kadang diperlukan terutama jika katarak lebih lanjut.
SARAN
Penelitian ini akan lebih bermanfaat apabila dilanjutkan dengan
penyajian mengenai standart penatalaksanaan pterigium yang disesuaikan
dengan hasil – hasil penelitian terkait
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Tomidokoro A, Myata K, Sakaguchi Y, Samejima T, Tokunaga T, Oshika
T. Effects of pterygium on corneal spherical power and astigmatism.
Ophthalmology 2000; 107:1568-71.
2. Dushku N, Reid TW. Immunohistochemical evidence that human
pterygium originate from an invasion of vimentinexpressing altered limbal
epithelial basal cells. Curr Eye Res 1994; 13: 473-81.
3. Corbett MC, Rosen ES, O’Brart DPS. Presentation of topographic
information. Corneal Topography: Principles and Applications. London: BMJ
Books, 1999; 32-58.
4. Lin A, Stern GA. Correlation between pterygium size and induced cornea
astigmatism. Cornea 1998; 17: 28-30.
5. Pavilack MA, Halpern BL. Corneal topographic changes induced by
pterygia. J Refract Surg 1995; 11: 92-5.
6. Yasar T, Ozdemir M, Cinal A, Demirok A, Ilhan B, Durmus AC. Effects of
fibrovascular traction and pooling of tears on corneal topographic changes
induced by pterygium. Eye 2003; 17: 492-6.
7. Oldenburg JB, Garbus J, McDonnell JM, McDonnell PJ. Conjunctival
pterygia: mechanisms of corneal topographic changes. Cornea 1990; 9: 200-4.
8. Corbett MC, Rosen ES, O’Brart DPS. Corneal surface disease. Corneal
Topography: Principles and Applications. London: BMJ Books, 1999; 101.
9. Touhami A, Di Pascuale MA, Kawatika T, et al. Characterisation of
myofibroblasts in fibrovascular tissues of primary and recurrent pterygia. Br J
Ophthalmol 2005;89: 269-74.
10. Fernandes M, Sangwan VS, Bansal AK, et al. Outcome of pterygium
surgery: analysis over 14 years. Eye 2005; 19: 1182-90.
13
11. Bahar I, Loya N, Weinberger D, Avisar R. Effect of pterygium surgery on
corneal topography: a prospective study. Cornea 2004; 23: 113-7.
12. Cinal A, Yasar T, Demirok A, Topuz H. The effect of pterygium surgery
on corneal topography. Ophthalmic Surg Lasers 2001; 32: 35-40.
13. Walkow T, Daniel J, Meyer CH, Rodrigues EB, Mennel S. Long-term
results after Bare sclera pterygium resection with excimer smoothing and
local application of mitomycin C. Cornea 2005; 24: 378-81.
14