Upload
vuongcong
View
239
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
1
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
2
STUDI PENGEMBANGAN KAPASITAS
INSTITUSIONAL POKMASWAS DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
TERUMBU KARANG
DI KAB. PANGKEP
Ratnawati1 1, Y. N. Indar 2, Budimawan 2, dan A. Faisal2
1) Mitrabahari Sulsel 2) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Unhas
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi pembangunan yang terdapat di
wilayah pesisir dan lautan secara garis besar
terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya
dapat pulih (reneweble resources), (2)
sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable
resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan
(environmental services). Namun
pengelolaannya dihadapkan pada dua
permasalahan yaitu pemanfatan yang melebihi
carring capacity dan di lokasi lain tidak
optimalnya pemanfaatan. Oleh karena itu,
salah satu kegiatan yang sangat penting dalam
menunjang pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan adalah adanya kegiatan
pengawasan terhadap pemanfaatan sumberday.
Pelaksanaan fungsi pengawasan tidaklah
mungkin hanya mengandalkan peran dari
aparat dan instansi pemerintah semata
(Diskanlut, 2004). Sehingga sangat di
perlukan pengawasan berbasis masyarakat
dengan fungsi (a) meningkatkan efesiensi
pengadaan fasilitas; (b) mengurangi beban
1 Kontak Person :
Ratnawati , SPi. M.Si Gedung PKP Lt.5 Kampus Unhas Tamalanrea Email : [email protected]
kelembagaan dan pembiayaan pemerintah;
(c) control pemerintah terhadap pengawasan
akan lebih mudah; (d) aturan lebih mudah
ditegakkan karena diambil berdasarkan
aspirasi masyarakat sehingga disesuaikan
dengan kebutuhan, prioritas, manfaat dan
kepentingan masyarakat. Sedangkan bagi
masyarakat adalah sebagai berikut: (a) dapat
melaksanakan pengawasan sesuai dengan
aspirasi dan kebutuhannya; (b) secara moral
masyarakat merasa memiliki dan merupakan
bagian dari pelaksana pembangunan yang
selanjutnya akan memelihara dengan suka
rela; (c) secara khusus pelaksana pengawasan
dapat berfungsi sebagai mediator antara
masyarakat dan pemerintah atau petugas
Salah satu model pengawasan yang ada
di masyarakat pesisir adalah Sistem
pengawasan terumbu karang berbasis
masyarakat ini disebut SISWASMAS, yang
tata cara pelaksanaannya diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor KEP. 58/MEN/2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat
Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
(Coremap, 2004). Pokmaswas diharapkan
dapat menjadi mitra pengawas perikanan dan
berperan aktif memberikan informasi serta
melaporkan pelanggaran-pelanggaran dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan perikanan kepada instansi terkait
dan instansi penegak hukum (Dirjen P2SDKP,
2006). Namun, di beberapa daerah termasuk
Kabupaten Pangkep fungsi Pokmaswas belum
optimal disebabkan oleh tidak adanya prosedur
dan mekanisme pokmaswas yang jelas
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
3
sehingga peran serta masyarakat belum
didudukkan sesuai dengan tugas dan fungsinya
sebagai pemantau dan pemberi informasi
adanya pelanggaran perikanan, kurangnya
sosialisasi bimbingan teknis pembinaan
pengawasan, kurangnya sarana dan prasarana
pengawasan, serta kurangnya strategi tindak
lanjut dari komitmen penegak hukum terhadap
pelaporan pelanggaran.
Tujuan kegiatan ini adalah
pengembangan kapasitas institusional
Pokmaswas dalam pengelolaan sumberdaya
Perikanan dengan menemu kenali faktor-faktor
utama yang mempengaruhi secara signifikan
pengembangan kapasitas institusional
Pokmaswas dan memformulasi strategi
pengembangan kapasitas kelembagaan
Pokmaswas dalam pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan di Kabupaten Pangkep,
yang mengacu pada Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.
58/MEN/2001 serta Bentuk partisipasi
masyarakat pulau dan pesisir Kabupaten
Pangkep dalam pengembangan kapasitas
institusional Pokmaswas.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah Wilayah
Coremap II Kabupaten Pangkep yang terdiri
dari 9 kecamatan dengan 37 desa, dari
sejumlah desa tersebut yang diambil 6 desa di
4 kecamatan, yaitu : Kecamatan Pangkajene,
Sigeri, Bungoro, dan Liukang Tupabbiring
dengan alasan keterwakilan lokasi pesisir dan
pulau. Waktu penelitian pada bulan Juni –
November 2008.
Tipe penelitian ini adalah bersifat
deskriptif kualitatif, yaitu suatu tipe penelitian
yang bertujuan untuk membuat atau
memberikan gambaran keadaan subyek/ obyek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat
dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya, dengan mempergunakan data primer
dan sekunder. Prosedur sampling yang
terpenting adalah bagaimana menentukan
informan kunci (Key Informan) yang sarat
informasi sesuai dengan fokus penelitian
(Nawawi, 2001).
.
Analisis yang di lakukan dalam
penelitian yang akan mengarah pada
pengukuran sikap, terutama untuk keperluan
konfirmasi atau cross check pernyataan
informan. Analisis statistik dilakukan dengan
menggunakan skala likert dan Trade Off
Analysis untuk uji sensitivitas (Hobbs 1980,
Rowe and Pierce 1982; Lai and Hopkins 1989
dalam Pereira and Duckstein, 1993) karena
model data lapangan yang ada dalam bentuk
data in tangible (sesuatu yang tidak dapat
dihitung) dan data dalam bentuk data
rangking (prosentase) selanjutnya penentuan
perioritas dengan uji sensitivitas, ditentukan
tingkat perioritas dengan menggunakan
Metode Skala Banding Secara Berpasangan
dari Analytic Hierarchy Process. Dengan
menggunakan software expert choice asumsi-
asumsi tersebut di formulasi dan dikonversi
menjadi data numeric yang validitasnya dapat
dievaluasi dengan suatu uji konsistensi (Saaty,
1993).
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
4
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Pangkep terletak pada 110o
– 113o BT dan 4.40
o –8.00
o LS, di pantai Barat
Sulawesi Selatan, dengan luas wilayah
12.362,73 km2
dengan luas wilayah daratan
898,29 km2
dan luas wilayah laut 11.464,44
km2 (4 mil dari garis pantai). Kabupaten
Pangkep terdiri dari 12 kecamatan, 3
kecamatan terletak di kepulauan dan 9
kecamatan terletak di daratan (BPS Pangkep,
2005).
Wilayah kerja kegiatan COREMAP
PHASE II meliputi 6 (enam) kecamatan pesisir
yaitu Kecamatan Pangkajene, Kecamatan
Bungoro, Kecamatan Labakkang, Kecamatan
Ma‟rang, Kecamatan Segeri, Kecamatan
Mandalle, dan 3 (tiga) kecamatan kepulauan
yaitu Kecamatan Liukang Tupabbiring,
Kecamatan Liukang Tangayya, dan
Kecamatan Liukang Kalmas. Jumlah pulau
yang berada di dalam wilayah kepulauan
Kabupaten Pangkep sebanyak 112 buah. Dari
jumlah tersebut hanya 65 buah yang dihuni,
sedangkan yang tidak berpenghuni sebanyak
47 buah (Pemkab Pangkep, 2008).
Berdasarkan data statistik (2007) luas
mangrove di Kabupaten Pangkep 1.055
hektar, sedangkan luas mangrove di wilayah
pesisir lokasi Coremap II adalah 360 hektar.
Luas mangrove ini telah mengalami penurunan
sebagai akibat konversi hutan mangrove
menjadi lahan pertambakan. Potensi lainnya,
Kabupaten Pangkep memiliki luas terumbu
karang sekitar 37.000 ha, namun kondisi
terumbu karang tersebut saat ini mulai
mengalami kerusakan sebagai akibat dari
kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan, yakni dengan menggunakan bom
dan bius.
3.1. Pokwasmas dan Permasalahannya
Berdasarkan hasil penelitian ada
beberapa factor yang mempengaruhi kinerja
POKWASMAS sebagai berikut :
- Wawasan, motivasi, dan tingkat
pendidikan anggota Pokmaswas;
wawasan, motivasi, dan tingkat
pendidikan anggota Pokmaswas di
Kabupaten Pangkep tergolong kurang
baik dalam mendukung
pengembangan kapasitas instutusional
Pokmaswas sebagai organisasi
pengawasan sumberdaya perikanan
untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan dan menjamin
ketersediaan sumberdaya ikan secara
lestari.
- Pengaturan dan tata laksana
institusional Pokmaswas; meliputi,
pembagian tugas Pokmaswas yang
kurang merata, tidak adanya penilaian
prestasi dan system imbalan bagi
anggota Pokmaswas sehingga
menyebabkan kurangnya motivasi
anggota untuk melakukan pengawasan
di Kabupaten Pangkep. Pokmaswas di
Kabupaten Pangkep telah memilki
aturan khusus tentang pengawasan
baik bersifat daerah maupun nasional,
namun masih membutuhkan
sosialisasi yang lebih intensif agar
dapat dijalankan oleh anggota
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
5
Pokmaswas dan dapat dimengerti
masyarakat umum.
- Pembiayaan; tidak ada pembiayaan
khusus bagi anggota Pokmaswas, serta
tidak adanya pihak swasta yang
membantu/bekerjasama dalam
melaksanakan siswasmas di
Kabupaten Pangkep.
- Sarana dan prasarana;sarana dan
prasarana anggota Pokmaswas di
Kabupaten Pangkep tergolong
lengkap, namun seharusnya
dipergunakan sebagaimana mestinya
dan ditingkatkan kapasitasnya agar
dapat menunjang kegiatan
pengawasan anggota Pokmaswas di
lapangan.
- Peranan pemerintah, peranan
pemerintah dalam mendukung
kelembagaan Pokmaswas di
Kabupaten Pangkep tergolong masih
kurang memadai, terbukti masih
adanya pelaku illegal fishing yang
dibebaskan dari jeratan hukum.
3.2. Strategi Pengembangan Kapasitas
Institusional Pokmaswas
Untuk merumuskan strategi
diperlukan identifikasi permasalahan utama
yang perlu dibenahi atau permasalahan yang
menjadi perioritas utama. Identifikasi masalah
yang dilaksanakan dengan menggunakan
Trade Off Analysis (Hobbs 1980, Rowe and
Pierce 1982; Lai and Hopkins 1989 dalam
Pereira and Duckstein, 1993). Penggunaan
metode ini sangat beralasan karena model
data lapangan yang ada dalam bentuk data in
tangible (sesuatu yang tidak dapat dihitung)
dan data dalam bentuk data rangking
(prosentase), meskipun selama ini metode
tersebut banyak di gunakan dalam arahan
sumberdaya lahan sebagai bagian dari metode
pengambilan keputusan spasial.
Pengembangan metode tersebut sangat
memerlukan identifikasi isu dari data hasil
survey dan penyusunan hirarki pengambilan
keputusan, hasil identifikasi isu utama
menjadi empat kategori, masing-masing
seperti pada Tabel 12 berikut:
Tabel 1. Identifikasi Isu Utama
Pengembangan Pokmaswas di
Kabupaten Pangkep
No
. Isu Utama Variabel
1. Sumberdaya
Manusia
1. Wawasan/Pengeta
huan
2. Motivasi
3. Pendidikan
2. Pengaturan dan
Tata Laksana
1. Pembagian Tugas
2. Penghargaan
3. Dukungan
Pemerintah
3. Pembiayaan 1. Ada
2. Tidak ada
4. Sarana dan
Prasarana
1. Ada
2. Tidak Ada
Sumber: Hasil Analisa Data Primer 2008
Tabel 2. Profil Tingkat Permasalahan
Pokmaswas di Kabupaten
Pangkep sesuai dengan skala likert
yang telah dikembangkan pada
Metode Penelitian
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
6
Kriteria
Skala Kondisi Pokmaswas
Sangat Baik Baik Kurang
Baik
Tidak
baik
Tingkat wawasan/
pengetahuan (%) 7,5 22,5 37,5 32,5
Motivasi (%) 13,33 23,33 36,67 26,67
Pendidikan (%) 0 6,67 23,33 70
Dukungan kebijakan
Pemerintah (%) 5 30 58,33 6,67
Pembagian tugas (%) 11,11 13,33 64,45 11,11
Penghargaan (%) 11,66 11,67 43,33 33,34
Pembiayaan (%) 0 0 23.33 76.67
Sarana dan Prasarana (%) 0 13.33 70 16,67
Sumber: Kompilasi Data Primer
Hasil analis dengan metode rangking
dikembangkan oleh Sugiyono (2006)
didaptkan bahwa ah dikonversi kedalaman
efektifitas kelembagaan yang telah) terlihat
bahwa, 43,9% Kurang efektif, 32,3% tidak
efektif, 16.6% dalam kondisi efektif, dan
hanya 7,2% dikategorikan sangat efektif.
Gambar 1. Hasil Analisis Senstivitas dengan Metode Trade Off
Gambar 1. menyajikan keterkaitan antara varibel dalam penentuan tingkat efektifitas, terlihat bahwa
dalam meningkatkan efektifitas Pokmaswas di Kabupaten Pangkep perlu beberapa pembenahan
antara lain : (1) pendidikan, (2) pembiayaan kelembagaan, (3) sarana dan prasarana, (4) pembagian
wewenang tugas sesuai dengan tupoksi yang ada, dan (5) dukungan pemerintah dalam hal ini
kebijakan .
Namun untuk menentukan perioritas yang lebih dahulu untuk dilaksanakan, grafik di atas
tidak dapat langsung digunakan dengan alasan bahwa grafik diatas adalah presepsi masyarakat,
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
7
sehingga ada beberapa hal berdasarkan teori perencaanaan berbasis masyarakat tidak bisa langsung
digunakan, misalnya data yang berhubungan dengan pembiayaan serta sarana dan prasarana karena
kecenderungan manusia dalam hal ini masyarakat selalu menginginkan biaya yang besar dan sarana
yang lengkap. Untuk itu, dalam menentukan skala perioritas di perlukan analisis lebih lanjut dengan
dasar knowledge dengan melihat beberapa contoh analisis hirarki proses (AHP) yang telah
dikembangkan oleh Saaty (1993). Analisis ini dengan menggunakan asumsi-asumsi untuk masing-
masing (1) Pendidikan (PD) ; (2) Pembiayaan Pokmaswas (BI); (3) Sarana dan Prasarana (SP); (4)
Pembagian Tugas (PT); (5) Kebijakan Pemerintah yang mendukung (KP), dengan skala 1-9.
Tabel 3. Kriteria Lanjut Penentuan Skala Prioritas dengan Menggunakan Nilai Skala dari Saaty
(1993)
Kriteria PD BI SP PT KP
PD
PD sedikit lebih
penting
dibandingkan
dgn BI
PD sedikit lebih
penting
dibandingkan
dgn BI
PD jelas lebih
penting
daripada PT
PD sangat
penting di
bandingkan KP
BI
Sama
pentingnya
BI sangat
penting
dibandingkan
PT
BI sedikit lebih
penting daripada
KP
SP
SP sangat
penting
dibandingkan
PT
SP sedikit lebih
penting daripada
KP
PT
KP sedikit lebih
penting
dibandingkan
dgn PT
KP
Sumber: Interview dan Diskusi Terbatas Dengan Stakeholders
Dengan menggunakan software expert choice asumsi-asumsi di atas di formulasi dan di
konversi menjadi data numeric sesuai dengan skala yang di sarankan oleh Saaty (1993) seperti pada
Gambar 13 dan tingkat perioritas dijelaskan pada Gambar 14.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
8
Gambar 2. Skala Prioritas Peningkatan Institusional Pokmaswas di Kabupaten Pangkep
Berdasarkan Gambar 2, dengan
menggunakan metode AHP dan software
Expert Choice didapatkan bahwa perioritas
pertama yang perlu di benahi adalah
pendidikan dengan persentase (46,9%),
pembiayaan kelembagaan serta penyediaan
sarana dan prasarana masing-masing (20,1%),
dukungan kebijakan pemerintah (8,6 %), dan
pembagian tugas (4,3%)
Berdasarkan kriteria tersebut maka
dirumuskan strategi-strategi pengembangan
kapasiatas kelembagaan dengan tiga skala
perioritas yaitu : skala pendek (mendesak),
skala menengah, dan skala jangka panjang.
Dengan strategi pengembangan masing-
masing sebagai berikut :
1. Skala jangka pendek: peningkatan
kapasitas dan kemampuan anggota
Pokmaswas melalui pendidikan, dalam
hal ini pendidikan formal tidak
memungkinkan sehingga hanya
diarahkan pada pendidikan non formal
saja, misalnya pelatihan, lokakarya,
penyuluhan, studi banding ataupun
magang..
2. Skala jangka menengah: peningkatan
pembiayaan operasional kegiatan
siswasmas, dengan membebankan
anggaran pengawasan ke APBD atau
sumber lainnya. Serta peningkatan sarana
dan prasarana sesuai dengan kemampuan
pemerintah setempat sehingga dapat
menunjang efektifnya kegiatan siswasmas
di Kabupaten Pangkep.
3. Skala jangka panjang: peningkatan
dukungan pemerintah daerah terhadap
Pokwasmas melalui PERDA atau aturan
lain yang mengikat dan menjadi sumber
motivasi tambahan dari para anggota
Pokwasmas, dan rekonstruksi
institusional pokmaswas melalui
pembenahan pengaturan dan tata laksana
yang ada secara adil dan merata sesuai
dengan tupoksi anggotanya.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
9
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dalam pengembangan kapasistas
POKWASMAS di Kabupaten Pangkep sangat
di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
Pendidikan dengan persentase (46,9%),
pembiayaan kelembagaan serta penyediaan
sarana dan prasarana masing-masing (20,1%),
dukungan kebijakan pemerintah (8,6 %), dan
pembagian tugas (4,3%) sehingga sangat di
perlukan berbagai strategi pengembangan
kapasitas institusional Pokmaswas Strategi
pengembangan kapasitas institusional
Pokmaswas di Kabupaten Pangkep; jangka
pendek: peningkatan kapasitas dan
kemampuan anggota Pokmaswas melalui
pendidikan, jangka menengah: peningkatan
pembiayaan operasional kegiatan siswasmas,
dan jangka panjang: peningkatan dukungan
pemerintah daerah terhadap Pokwasmas
Saran-Saran
Beberapa hal yang menjadi entry point
dalam upaya pengembangan kapasitas
kelembagaan Pokmaswas, antara lain:
1. Pemerintah perlu meningkatkan upaya
sosialisasi program dalam hal peningkatan
kapasitas Pokmaswas agar dapat
dimanfaatkan secara maksimal.
2. Peran kelembagaan Pokmaswas masih
perlu diefektifkan guna peningkatan
kinerja anggota Pokmaswas dengan cara
memperbaiki koordinasi antara pemerintah
dengan anggota Pokmaswas serta
pengembalian rasa percara masyarakat
terhadap pemerintah yang masih kurang
akibat lemahnya penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. PT Rineka
Cipta. Jakarta.
BAPPENAS. 2001. Kerangka Nasional
Pengembangan Kapasitas Untuk
Mendukung Desentralisasi, Draft #
3, Jakarta.
Barracuda. 2006. Membangun Kelembagaan
Pengawasan Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan. Media Informasi dan
Komunikasi Internal Ditjen
Pengawasan dan Pengendalian
Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan. Volume III. Jakarta.
Baso, A. dan B.S. Parawansa. 2004. Faktor-
Faktor Berpengaruh Terhadap
Produksi Unit Tangkapan Jaring
Insang Hanyut di Perairan Selat
Makassar. Ponggawa Jurnal Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Vol.1 No.1. FIKP-Unhas. Makassar.
Coremap. 2004. Draft Pedum Siswasmas
(MCS-Terumbu Karang Berbasis
Masyarakat). DKP. Jakarta.
Coremap. 2006. Pedoman Pelaksanaan
Siswasmas (MCS-Terumbu Karang
Berbasis Masyarakat). DKP. Jakarta.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
10
Coremap. 2008. Petunjuk Teknis Pengawasan
Perikanan Berbasis Masyarakat.
DKP. Jakarta.
Dahuri, R., Jacub R., Sapta P.G., dan M.J.
Sitepu. 2004. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT.
Paradyna Paramitha, Jakarta.
Dirjen P2SDKP. 2006. Panduan Pembentukan
Pokmaswas Terumbu Karang
(Kelompok Masyarakat Pengawas).
Direktorat Pengawasan dan
Pengendalian Sumberdaya Kelautan.
Jakarta.
Ditjen P2SDKP. 2006. Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Dengan Sistem MCS. Departemen
Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia. Jakarta.
Diskanlut Sulsel. 2004. Materi Sistem
Pengawasan Masyarakat
(Siswasmas). Proyek Pengelolaan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Sulsel. Makassar.
Grindle, M. S (Eds). 1997. Getting Good
Government : Capacity Building in
The Public Sectors of Developing
Countries, Boston, MA : Harvard
Institute for International
Development.
Hidayat, M.M. dan Surochiem As. 2002.
Pokok-Pokok Strategi
Pengembangan Masyarakat Pantai
Dalam Mendorong Kemandirian
Daerah. Maritime Article. Hang
Tuah University. Surabaya.
Imron, M.A. 2002. Peran Institusi Lokal
Dalam Pembangunan Desa (Suatu
Kajian Tentang Peran Lembaga
Tahlil Dalam Pembangunan Desa di
Desa Simorejo Kecamatan Kanor
Kabupaten Bojonegoro). Tesis
Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya. Malang.
Indar, Y. N. 2006. Pengelolaan Terumbu
Karang Berbasis Masyarakat.
Makalah Pelatihan Staf dan
Monitoring dan Evaluasi Pengelola
Coremap II. Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan
– Program Coremap II. Makassar
Keban, T. 2000. ”Good Governance dan
Capacity Building Sebagai Indikator
Utama dan Fokus Penilaian Kinerja
Pemerintahan”, Dalam Jurnal
Perencanaan Pembangunan, Edisi 20
Tahun 2000. BAPPENAS. Jakarta.
Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan.
LKIS Yogyakarta. Yogyakarta.
LEPSI. 2006. Laporan Akhir Pelatihan
Siswasmas Program Coremap Fase
II di kabupaten Selayar. Dinas
Kelautan dan Perikanan kabupaten
Selayar. Benteng.
Lubis, H dan Martani, H. 1987. Teori
Organisasi (Suatu Pendekatan
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
11
Makro). Universitas Indonesia.
Jakarta.
Mentz. J.C. N (1997) Personal and
Institutional Factors in Capacity
Building and Instutional
Development, Working Paper No.
14, Maastrict : ECDPM
Nawawi, H. 2000. Manajemen Strategik
Organisasi Non Profit Bidang
Pemerintahan. Gama University
Press. Yogyakarta.
Nawawi, H. 2001. Metode Penelitian Bidang
Sosial. Gama University Press.
Yogyakarta.
Nazam, M. 2006. Analisis Aspek Lingkungan
Usaha Pembesaran Ikan dalam
Keramba Jaring Apung (Kasus Di
Teluk Ekas, Lombok Timur). Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian
NTB. Mataram.
Orangbuton. 2008. Prakarsa Dan Kreatifitas
Serta Peran Masyarakat Sebagai
Stakeholder Good Governance
Dalam Mendorong Terciptanya
Clean Dan Clear Government.
http://orangbuton.wordpress.com/pe
ranan pemerintah. [diakses 7 April
2009].
Pemkab Pangkep. 2008. Profil Daerah
Kabupaten Pangkep. Site Resmi
Pemerintah Kabupaten Pangkep.
http://www.pangkep.go.id [diakses
15 April 2009].
PERFORM. 2003. Program Pengembangan
Institusional. Modul Training.
PMU Pangkep. 2007. Laporan PRA
Kabupaten Pangkep 2007. Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Pangkep. Makassar
Pereira, J.M.C., & Duckstein, L. 1993. A
Multiple Criteria Decision Making
Approach to GIS-Based Land and
Suitability Evaluation. International
Journal of Geographical Information
system, Vol.7 hal 407 – 424.
Pratomo, L. 2007. Budaya Lokal Indonesia
Menjaga Alam. http://Berita
Habitat.Net [diakses 24 April 2008].
Robbins, S. P. 1994. Teori Organisasi,
Struktur, Desain dan Aplikasi. Alih
bahasa: Udaya Yusuf. Edisi 3.
Arcan. Jakarta.
Rohdewhold, R. and Poppe, M. 2005.
”Guidelines on capacity building in
The Regions”, (Version 2,0), SfDM
Project Report.
Saaty, TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi
Para Pemimpin. PT Pustaka
Binaman Pressindo. Jakarta.
Sallatang, A. 2007. Laporan Advisor CBM
Individual Consultant Coremap II.
Kabupaten Pangkep.
Salman, D. 2005. Peranan Masyarakat Dan
Lembaga Lokal Dalam Pengelolaan
Pembangunan. Makalah Diklat
Fungsional Penjenjangan Perencana
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
12
- Pertama (DFPP-P). Bappenas-
PSKMP Unhas. Makassar
Sedarmayanti. 2000. Restrukturisasi dan
Pemberdayaan Organisasi Untuk
Menghadapi Dinamika Perubahan
Lingkungan. CV Mandar Maju.
Bandung.
Sopiah. 2008. Perilaku Organisasional.
Penerbit ANDI Yogyakarta.
Yogyakarta.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.
Alfabeta. Bandung.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Tulungen, J.J., Bayer t. G., Crawford, B. R.,
Dimpudus, M., Kasmidi, M.,
Rotihsulu, C., Sukmara, A.,
Tangkilisan, N., 2003. Panduan
Pembentukan dan Pengelolaan
Daerah Perlindungan Laut Berbasis
Masyarakat. USAID-Indonesia
Coastal Resources Management
Project. Koleksi Dokumen Proyek
Pesisir 1997 – 2003. 76 hal.
UNDP. 1998. Capacity assessment and
development in a systems and
strategic Management Context
(Technical Advisory Paper No. 3,
Management Development and
Governance Division).
Wikipedia Indonesia. 2008. Panglima Laot.
http://id.wikipedia.org./wiki/panglim
a laot. [diakses 24 April 2008].
World Bank. 1994. Africa: “A Framework for
Integrated Coastal Zone
Management.” Land, Water, and
Natural Habitats Division and Africa
Environmentally Sustainable
Development Division. Washington,
D.C.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
13
Membangkitkan Teluk Banten Yang Penuh Kontroversi untuk
kesejahteraan Oleh
Mochammad Farchan
*Dosen STP/Ketua konsorsium PMB Banten)
ABSTRACT
Banten Bay which is located at serang Regeny ant between Sunda Staits and Java sea
has some controversial phenomena. The condition has been influenced by the differces of
regional condition and social culture of three regencies and one municipality those are
Serang, Pandeglang, Lebak and Cilegon. The rapid industrial development and the diffent
interest of industry, eviroment and society consisting af fishermen, aquaculturist and fish
processors need to have much ettention to enable to produce some appropriate policies in
accommodation some diffent interest in order to the environmental conservation guarded and
Banten Bay still has role in development significantly.
KEYWORDS : Banten Bay, Conservation sea, Serang.
I. PENDAHULUAN
Teluk banten salah satu kawasan
yang terletak di kabupaten Serang,
mempunyai panjang pantai sekitar 30 km,
berbatasan dengan laur Jawa dan Selat
Sunda. Kondisi oceanografinya banyak
dipengaruh oleh ke dua perairan ini.
Jumlah sungai besar yang bermuara di
Teluk Banten mengalir dari berbagai
daerah seperti Pandeglang, Lebak adalah
lima buah. Jumlah ini belum termasuk
sungai – sungai kecil pertambakan yang
mempunyai hulu di pedesaan dan
pertambakan. Sungai ini telah melewati
berbagai aktifitas mulai rumah tangga,
pasar, rumah sakit dan industri kecil
lainnya. Pada kawasan Teluk Banten
Bagian Barat telah berdiri Pelabuhan
Internasional Bojonegara (PIB) dan tidak
kurang dari 51 industri yang
menggunakan kawasan ini. Beberapa
pelabuhan antar pulau dan perikanan juga
bermuara di Teluk banten seperti
Karangantu, Teratai, Domas, Lontar.
Di kawasan Timur juga berdiri
kawasan industri hulu seperti tekstil dan
industri lainnya yang menggunakan Teluk
Banten sebagai muara buangan limbah
industrinya. Areal laut yang berbatasan
dengan laut Jawa sebelah Timur, masuk
dalam proyek penggalian pasir oleh empat
perusahaan yang telah mendapatkan ijin
pengerukan. Sepanjang pesisir Teluk
selain dihuni oleh penduduk juga
digunakan untuk areal pertambak
Beban Teluk banten yang demikian ini,
akan membawa pengaruh yang cukup
besar terhadap daya dukung Teluk Banten.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
14
KAM PUS PANTAI BAPPL - STP
TELUK
BANTEN
LAUT JAWA
SELAT SUNDA
PERTAMBAKAN
Gambar 1. Peta Teluk banten
II MATERI DAN METODE
Analisa kegiatan ini menggunakan
metoda survey pada perairan Teluk Banten
dan analisa data skunder hasil penelitian
yang telah dilakukan. Kondisi yang
terdapat dilapangan dihubungkan dengan
bahasan ilmiah dan harapan ke depan akan
dibuat kesimpulan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbagai fenomena Teluk Banten
yang ada akan dibahas dan diharapkan
menjadi output yang dapat dijadikan
langkah dalam pengambilan kebijakan.
1. Kontroversi kepentingan
Berbagai kepentingan dalam
pemanfaatan teluk banten dan beberapa
kondisi yang ada akan dijelaskan dibawah
ini.
a.Pertambakan
Luas tambak sekitar Teluk Banten
5500 ha yang dikelola secara tradisional
sampai intensif. Tahun 1992 tidak kurang
dari 500 Ha dioperasikan untuk budidaya
udang windu (Penaeus monodon). Kalau
satu Ha dapat berproduksi 3 ton, maka
dalam satu siklus dapat berproduksi 1.500
ton. Satu tahun dapat dioperasikan 2
siklus, sehingga dalam satu tahun produksi
udang 3000 ton. Harga udang windu satu
ton sekitar 50 juta rupiah, sehingga dalam
satu tahun dapat menghasilkan devisa 150
milyard rupiah. Namun saat ini hanya
beberapa petak saja yang digunakan untuk
budiadaya udang. Di kampus BAPPL
Sekolah Tinggi Perikanan yang terletak
Karangantu sekitar 2 Ha yang digunakan
untuk budidaya udang dengan teknologi
tertutup (closed system) , dan digunakan
untuk penelitian, pendidikan dan
pengabdian masyarakat. Demikian juga
dengan tambak ikan, berbagai keluhan
dirasakan masyarakat seperti tambak ikan
bandeng yang sulit menjadi besar dan
menurun hasil panennya. Akibat samping
(multiplayer effect) yang dtimbulkan
cukup besar. Tenaga kerja pengangguran
semakin meingkat, pendukung operasional
seperti pakan, bengkel yang biasa
memperbaiki mesin pesanan (order) turun,
dan banyak dampak yang lainnya.
Kondisi ini telah dilakukan
penelitian di beberapa saluran masuk
pertambak dan setelah dilakukan uji
metoda indeks shanon, disimpulkan
bahwa tambak sudah menurun daya
dukungnya dan disebabkan oleh bahan
organik yang terlalu tinggi. Untuk dapat
memacu produksi perikananya di daerah
ini, maka riset dan pengembangan
(research and development) untuk
memacu produksi harus dilakukan. Kerja
sama antar stakeholder yang
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
15
memanfaatkan Teluk Banten harus
diselenggarakan melalui regulasi dan
pengawasan yang ketat, sehingga kondisi
pesisir dan laut terjaga. Pada teknologi
pemeliharaan udang di tambak harus
dilakukan kombinasi untuk mengantisipasi
penurunan kualitas lingkungan ini.
Beberapa riset di BAPPL Sekolah Tinggi
Perikanan seperti pemeliharaan udang
dengan system tertutup ( closed system),
penumbuhan pakan alami untuk
pemeliharaan ikan sebagai salah satu
alternatif
menaikan daya dukung perairan.
Gambar 2. Tambak dengan teknologi tertutup sebagai alternative teknik budidaya
udang di pesisir Teluk Banten.
b. Nelayan
Tahun 1993 daerah tangkapan ikan
(fishing ground) nelayan mulai jarak 100m
dari garis pantai sudah banyak bertebaran
bagan (penangkap ikan stasioner) dan
nelayan sudu secara perorangan
menangkap di pantai. Namun sekarang
sudah tidak terlihat nelayan bubu , akibat
tidak mendapat ikan hasil tangkapan.
Kondisi ini disebabkan antara lain
oleh kualitas air yang menurun akibat
buangan limbah dari segala arah, jumlah
tangkapan yang berlebih (over fishing),
kerusakan lingkungan pesisir akibat abrasi
sehingga hutan bakau semakin kritis.
Kondisi ini diperburuk oleh reklamasi atau
pengurukan pantai yang tidak mengikuti
pola arus.
Berkenaan dengan hal tersebut perlu
regulasi dan pengawasan yang intensif
serta rahabilitasi daerah yang dianggap
mempercepat proses kemunduran perairan.
Gambar 3. Bagan ikan di Teluk Banten
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
16
c. Terumbu Karang (coral reef )
Terumbu karang sangat sensitif
dengan bahan kimia, pengendapan lumpur
dan perubahan salinitas. Tahun 1992 masih
terlihat anemone dan ikan yang berwarna-
warna di Pulau Pamujan Besar, Pulau
Semut, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Lima,
Pulau Kubur. Namun saat ini, hanya
tinggal kenangan. Penyebabnya antara lain
adalah penangkapan ikan yang tidak
ramah lingkungan dengan menggunakan
bahan kimia atau peledak, pembuangan
lumpur pengerukan alur pelabuhan,
sedimen yang dibawah oleh sungai besar
dari pegunungan dan pembuangan limbah
industri dan limbah penggalian pasir laut
Untuk membangkitkan lagi kawasan
ini adalah dengan menetapkan sebagai
kawasan konservasi dan rehabilitasi yang
dibiayai oleh pengguna Teluk Banten
sebagai tempat pembuangan limbah
industri. Jadi azas manfaat dan biaya
dihitung untuk memberikan kontribusi
masing – masing pengguna untuk
berkontribusi perbaikan lingkungan. Untuk
itu, perlu peraturan daerah yang dapat
mengakomodasinya.
Beberapa hasil penanaman
transplantasi karang oleh Taruna Sekolah
Tinggi Perikanan dalam kegiatan Praktek
keahlian di Pulau Lima dan Pisang yang
mempunyai kandungan lumpur cukup
tebal ternyata dapat ditumbuhkan karang
yang mempunyai nilai alami cukup tinggi.
Pemulihan terumbu karang, yang
dibarengi dengan perbaikan padang lamun
(sea grass), rumput laut (sea weed) akan
dapat meningkatkan populasi ikan hias dan
ikan konsumsi karena tempat ini sebagai
tempat asuhan (nursery ground),
pemijahan ( spawning ground).
Gambar 4. Transplantasi karang di Pulau Pisang oleh praktik keahlian Taruna
Sekolah Tinggi Perikanan di BAPPL-STP Serang
Selain transplantasi karang, untuk
memulihkan perairan telah dicoba
pembuatan terumbu karang yang terbuat
dari ban bekas yang disusun untuk
terumbu karang. Hasil praktek Taruna
Sekolah Tinggi Perikanan di Pulau Lima
dalam waktu satu tahun sudah banyak
dihuni oleh ikan dan diharapkan nantinya
sebagai tempat pemijahan dan perawatan
benih ikan.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
17
Gambar 5. Terumbu karang buatan yang terbuat dari ban sebelum di pasang di pulau
Lima Teluk Banten.
d. Padang lamun
Padang lamun di wilayah Barat
Teuk Banten daerah Kecamatan
Bojonegara, dan Desa Margagiri cukup
luas dan merupakan habitat ikan duyung,
namun saat ini hanya tinggal kenangan.
Tahun 1997 luas pada lamun lebih dari
500 Ha, namun sekarang sudah banyak
yang musnah akibat pembangunan yang
tidak ramah lingkungan. Pengurukan
(reklamasi) pantai yang tidak teratur,
pembangunan dermaga kapal yang tidak
mengikuti garis pantai, pola arus
menyebabkan kerusakan tidak hanya di
pesisir ini namun juga diraskan di tempat
lain seperti Karangantu yang mempunyai
jarak lebih dari 5 Km. Reboisasi padang
lamun yang dilakukan oleh salah satu
Lembaga Swadaya (LSM) akhir – akhir ini
juga tidak dapat berjalan dengan baik,
akibat manajemen kawasan yang tidak
mendukung, sehingga tidak tumbuh
dengan baik. Jumlah insdustri di kawasan
Barat tidak kurang dari 50 buah, dengan
limbah yang bervariasi sangat memporak
porandakan padang lamun ini.
Untuk itu perlu kesadaran dan kerja
bersama – sama untuk tetap melestarikan
dan menjaga keindahan Teluk Banten ini.
Tidak berpikir sesaat untuk kepentingan
sendiri, tapi dimasa mendatang harus tetap
dijaga kelestariannya.
Gambar 6. Kawasan Teluk Banten sebelah Barat Bojonegara ( Banten research, 1999)
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
18
e. Hutan Bakau
Beberapa tempat seperti sisi Utara
Pulau Dua, Sisi Timur Pulau Panjang
masih terlihat pohon ini, tetapi beberapa
tempat seperti di Pantai Karangantu
sebelah barat sampai kearah Tonjong
sepanjang sekitar 3 km hutan bakau tidak
ditemukan lagi dan bahkan dalam kurun
waktu 10 tahun ini pengkisan sudah
mencapai 100 m. Banyak tambak yang
tertutup oleh pasir dan hutan bakau yang
berjatuhan. Pada sisi lain, sebelum tahun
1994 kawasan ini mempunyai pantai yang
menambah akibat pengendapan lumpur.
Kondisi ini disebabkan oleh pembangunan
pantai yang tidak ramah lingkungan,
sehingga terjadi perputaran arus yang
mengarah ke bibir pantai ini.
Berkenaan dengan hal terbut untuk
mencegah dampak lebih buruk lagi, maka
pencegahan abrasi dengan cara membuat
penangkap sedemen (catching area) dan
menanam dengan pohon bakau.
Gambar 7. Tahun 1993 tempat ini cukup sejuk dengan hutan bakaunya, namun saat
ini sudah dikikis sehingga terliht gersang.
Gambar 8 . Untuk mencegah abrasi lebih jauh, petakan tambak juga dikorbankan
ditanam bakau untuk mencegah abrasi lebih jauh.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
19
f. Tata Ruang
Tata ruang pesisir di teluk Banten
belum ditetapkan dalam peraturan daerah
rencana umum tata ruang (RUTR). Garis
sepandan laut tidak dibuat sehingga
pengurukan pantai dan laut dapat dengan
mudah dilakukan oleh beberapa kalangan.
Untuk itu, penetapan tata ruang dan
pengawasan yang ketat akan dapat
menjadikan kawasan Teluk Banten yang
asri dan indah.
Gambar 9. Pulau Lima (kiri) dan Pulau Pisang (kanan) Potensi alam yang perlu di
kelola dengan baik.
2. Upaya Pengelolaan
Beberapa usaha untuk menjaga
kondisi teluk agar tetap terjaga dan dapat
digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat antara lain akan
dibahas dibawah ini .
a. Membentuk Badan Pengelola Teluk
Banten
Badan pengelola Teluk Banten
(BPTB) dibentuk untuk memberikan
pertimbangan kepada kepala daerah
tentang kebijakan yang akan diambil dan
memantau secara rutin kondisi teluk.
Anggotanya terdiri dari berbagi klangan
yaitu Dinas yang ditunjuk oleh kepala
daerah, lembaga swadaya masyarakat dan
perguruan tinggi.
b. Wisata Bahari
Beraneka ragam hayati ini
menjadikan daya tarik untuk mengadakan
penelitan dan wisata bahari.
Berkembangnya wisata ini akan
mendorong perekonomian masyarakat
sekitar. Angkutan air, warung atau toko,
wisata pemancingan, penyelaman
(diving), dan sector jasa lainnya.
Gambar 10. Pulau Lima di Teluk Banten (on flight)
c. Usaha Budidaya rumput laut dan
ikan
Suatu harapan yang dapat di
wujudkan dengan keterpaduan antar
stakeholder. adalah budidaya rumput laut.
Pemasaran rumput laut yang mudah
dilakukan dan mempunyai lama
pemeliharaan hanya 45 – 60 hari dapat
memberikan kontibusi tersendiri bagi
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
20
peningkatan perekonomian. Daerah yang
dapat dikembangkan sebagai budidaya
rumput laut adalan pesisir Pulau Panjang,
dan buan tertentu pada Pulau Lima,
Pisang, kubur dan Pamajan Besar.
Pada celah pulai lima lima dna
pisang serta daerah sisi barat Pulau tarahan
merupakan tempat yang ideal digunakan
sebagai tempat budidaya ikan.
d. Kawasan konseravasi perairan
Observasi di beberapa pulau seperti
Pulau Lima, Pisang, Kubur Pulau
Pamujan dan Semut ada harapan untuk
tetap dijaga kelestariannya ini dengan
berbagai upaya.
Untuk menjaga kondisi alami ini maka
pada tahap awal harus ada kepedulian dari
Pemda melalui Bupati untuk menetapkan
kawasan konservasi laut daerah (KKLD).
Tahap berikutnya membangun
infrastruktur, biota, dan vegetasi, daratan
pendukungnya untuk berorientasi pada
alam.
Namun disisi lain apabila dikemas
secara profesional dan adanya kepedulian
yang baik dari semua stake holder ini,
dapat menjadikan kawasan ini menjadi laut
emas (golden sea) yang dapat
mensejahterakan masyarakat sekitar.
IV. KESIMPULAN
Untuk memanfaatkan Teluk Banten
dalam pembangunan yang bertanggung
jawab dan berkelanjutan dapat dilakukan
dengan memulihkan perairan Teluk
Banten melalui kegiatan anatar lain
a. Menetapkan kawasan konservasi
Laut daerah (KKLD)
b. Menetapkan beberapa Pulau yang
ada di Teluk Banten sebagai
kawasan konservasi
c. Membuat Rencana Umum tata
Ruang wilayah Teluk Banten
d. Rehabilitasi kawasan perairaan dan
pulau
e. Menjadikan sebagai kawasan
wisata bahari
f. Membentuk Badan Pengelola
g. Monotoring dan evaluasi yang
intensif.
h. Melibatkan stake holder yang
memanfaatkan Teluk Banten.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
21
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
22
PENDAMPINGAN DAN PENGEMBANGAN GREEN BELT DENGAN MANGROVE
PADA PANTAI DESA LAWANGREJO KABUPATEN PEMALANG
Ambariyanto*
Konsorsium Mitra Bahari Jawa Tengah
ABSTRACT
Dalam kegiatan ini masyarakat sangat aktif terlibat, diawali dengan asesmen terhadap kondisi
mangrove di lokasi, pendekatan kepada masyarakat, sosialisasi, penanaman dan dilakukan
workshop pengelolaan sabuk hijau berbasis masyarakat. Hal sangat menarik yang dihasilkan
berhasil disusunnya Rencana Kerja MAsyarakat dan Kesepakatan Lokal masyarakat untuk
mengelola mangrove yang ada maupun yang baru saja ditanam. Kesepakatan ini secara adat lokal
mengikat masyarakat setempat untuk menjaga kondisi dan berusaha untuk memperbaiki kondisi
mangrove di wilayah tersebut.
PENDAHULUAN
Dalam kegiatan Pendampingan dan
Pengembangan Greenbelt dengan Mangrove
pada Pantai Desa Lawangrejo. Kabupaten
Pemalang, maka berdasarkan informasi /data
dari Pemda Kabupaten Pemalang, maka
luasan kawasan mangrove di kabupaten ini
adalah sebesar 4.427,95 ha. Dari jumlah
tersebut yang yang merupakan kawasan kritis
adalah 1.772,5 ha, yang tersebar di lahan
pertambakan 1.487 ha dan perairan pantai
305,5 ha. Selama ini pula tepatnya sejak
tahun 2001 hingga 2005 Pemerintah
Kabupaten Pemalang melalui instansi terkait
bersama masyarakat mulai telah
merehabilitasi sekitar 465 ha areal mangrove
di seluruh pantai Pemalang termasuk Desa
Lawangrejo.
Kesadaran akan perlunya dilakukan usaha
rehabilitasi hutan mangrove ini terjadi karena
adanya kesadaran mengenai pentingnya
hutan mangrove dilihat dari fungsi ekologis,
ekonomis, maupun fungsi fisik yakni sebagai
pelingdung pantai. Tentu kesadaran seperti
ini perlu dijaga dan peluru secara terus-
menerus dilakukan pembinaan dan
pendampingan dari khususnya dari Program
Mitra Bahari RC Jateng, melalui konsultan
pelaksana. Maka pada tahun 2006 yang lalu
dilakukan kegiatan Pendampingan dan
Pengembangan Green belt dengan Mangrove
pada Pantai Desa Lawangrejo untuk
menghijaukan kembali kawasan pantai di
daerah tersebut.
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah (1)
melakukan pengembangan green belt
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
23
dengan mangrove dan membantu regenerasi
sumberdaya perikanan pantai; dan (2)
mendampingi masyarakat dalam
pengembangan green belt dengan mangrove
secara efektif.
Target
Target kegiatan ini adalah (1) pengembangan
Green belt yang melibatkan stakeholder; dan
(2) masyarakat mampu mengembangkan
Green belt dan mengelolanya secara baik
dan benar.
Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam kegiatan ini
adalah masyarakat nelayan dan petani
tambak serta pihak-pihak terkait/stakeholder
HASIL KEGIATAN
Pengukuran vegetasi mangrove yang ada
di Desa Lawangrejo
Panjang pantai Lawangrejo adalah
1,1 Km pada koordinat 1090
21‟33,1”BT-1090 21‟36,4”BT dan
60 51‟20,2” LS - 60 52‟1” LS.
Vegetasi mangrove dipantai dengan
panjang ± 500 m dengan lebar 5 -10
m.
Gambar 1. Lokasi vegetasi mangrove di Lawangrejo
0 450
meters
900
No active Legend.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
24
Gambar 2. Luas vegetasi mangrove di Desa Lawangrejo
Tabel 1. Komposisi Vegetasi Mangrove di Desa Lawangrejo
Famili Spesies Golongan
Avicenniaceae Avicennia marina (Am; api-api) Sejati mayor
Avicennia alba (Aa; api-api) Sejati mayor
Rhizophoraceae Rhizophora mucronata (Rm; bangka) Sejati mayor
Euphorbiaceae Excoecaria agallocha (Ea;madengan) Sejati minor
Malvaceae Hibiscus tiliaceus (Ht; waru) Asosiasi mangrove
Spesies mendominasi di Lawangrejo adalah
Rhizophora mucronata. Indeks
keanaekaragaman menurut Shannon-Wiener
(H‟)untuk kategori pohon (H‟ = 0,26),
sapling (H’ = 0.07) dan seedling (H’ = 0,21)
termasuk dalam kategori rendah
Gambar 4. Kerapatan (ind/Ha) pada tiap Jenis Mangrove
di Desa Lawangrejo
Gambar 5. Kerapatan (ind/Ha) pada tiap Jenis Sapling
Mangrove di Desa Lawangrejo
4500
560
75 216.67 112.5
0500
10001500
20002500
30003500
40004500
5000
Rm Aa Am Ea Hi
Jenis Mangrove
Kera
pata
n (
Ind/H
a)
25
645
200
0
100
200
300
400
500
600
700
Rm Am Ea
Jenis Mangrove
Kera
pata
n (
Ind/H
a)
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
25
Gambar 5. Kerapatan (ind/Ha) pada tiap Jenis Seedling
Mangrove di Desa Lawangrejo
Penanaman Mangrove
30.000 batang ditanam di hamparan
seluas 1 ha
Lokasi hamparan di sebelah kiri
muara Sungai Plawangan
20.000 batang ditanam di pematang
sungai, tambak dan untuk sulaman
Sosialisasi tiga kali di Balai Desa
Lawangrejo dengan peserta
masyarakat, tokoh masyarakat,
perangkat desa, wakil pemda
Kabupaten Pemalang
240
50 62.5
262.5
0
50
100
150
200
250
300
Rm Ht Aa Ea
Jenis Mangrove
Kera
pata
n (
Ind/H
a)
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
26
Pendampingan Masyarakat
Lokakarya internal kelompok tentang
pengembangan green belt dengan
mangrove (lokasi, bibit, waktu
tanam, pemeliharaan dll)
Melakukan identifikasi potensi dan
masalah dengan teknik PRA dan
TOP
Melaksanakan outbond bagi
pengurus dan anggota kelompok
Menyusun RKM kelompok
RKM Kelompok Rimba Bahari
No Masalah Pemecahan Waktu Biaya Sumber Biaya Penanggung
Jawab
1 Pencemaran
Kawasa Pantai
Penyuluhan dan Sosialisasi
Dampak Perusakan
Lingkungan dan Sanksi
Hukum
Berkelanjutan - Dishut & LH
Kepala Desa
dan Ketua
Kelompok
2 Erosi Sungai
Plawangan Pembuatan Senderan Tepi
Pengerukan Muara Sungai
Penanaman Bakau di Tepi
Sungai
Berkelanjutan - DKP, Dishut & LH,
Bappeda
Kepala Desa
dan Ketua
Kelompok
3 Kerusakan Bakau Harus ada Pemeliharaan
Sanksi Hukum dan
Penyadaran Terhadap
Masyarakat akan
Lingkungan
Adanya Pengawasan
Terhadap Tanaman
Bakau
Berkelanjutan - DKP, Dishut&LH
Polisi,
KODIM,
Aparat Desa
dan Kelompok
4 Hasil Tambak
Turun
Pelatihan Pembuatan Pakan
Ikan Berkelanjutan - DKP
Ketua
Kelompok
5 Pemodalan Bagi
Petani Tambak
Kurang
Pengajuan Modal ke
Dinas Perikanan
Pendekatan Ke Pihak
Perbankan
Berkelanjutan - Dinas Koperasi,
Disperindag
6 Akses Jalan Ke
Pantai Tidak Ada Pengusulan Pembuatan
Jalan Ke Lokasi Hutan
Bakau Rakyat (HBR)
September
2006 - DPU Kepala Desa
7
Tambak di
Suguwu Kurang
Air
Pembuatan Saluran Air Baru
yang menghubungkan sungai
Plawangan dan Sungai
Siguwu
September
2006 - DPU
Kepala Desa
dan Ketua
Kelompok
8
Kesadaran
Masyarakat
Kurang Dalam
Menjaga Bakau
Pengawasan Secara
Rutin Berkelanjutan - DKP
Ketua
Kelompok
9 Belum Ada
Drainase
Penyusunan Proposal Untuk
Pembuatan Drainase Oktober 2006 - DPU
Kepala Desa
dan Ketua
Kelompok
10 Abrasi Pantai
Koordinasi Dengan
Instansi Terkait untuk
Penanganan Abrasi dan
Penanaman Bakau
Penanaman Hutan Bakau
Pembuatan Tanggul
Sebagai Penahan Pasang
Surut Dan Gelombang
Oktober –
Desember
2006
- DPU, DKP
Dishut&LH
Kepala Desa
dan Ketua
Kelompok
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
27
Air Laut
Jalan Kampung
Masih Tanah Liat
Pembuatan Paving Di Jalan
Kampung
Oktober –
Desember
2006
- DPU Kepala Desa
Pengurus dan
Anggota Kurang
Aktif
Pertemuan Kelompok Tiap Bulan Ketua
Kelompok
Luas Areal
Manggrove
masih Kurang
Penanaman Mangrove
50.000 bibit
27 Juli -
selesai
Dinas / Instansi /
LSM
Ketua
Kelompok
Penanaman di kanan kiri
sungai Plawangan
Minggu Ketiga
Agustus 2006 Dinas/Instansi/LSM
Ketua
Kelompok
15
Bibit Mangrove
Banyak Yang
Mati
Pemeliharaan dan
Penyulaman Berkelanjutan
DKP, Dishut
& LH
16
Tidak Ada
Kegiatan
Kelompok
Adanya Usaha Kelompok Berkelanjutan
DKP, Dinas
Koperasi,
Disperindag
Pembinaan mengenai
peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar hutan
bakau
Berkelanjutan
DKP, Dinas
Koperasi,
Desperindag
17
Adanya
Penyerobotan
Tanah Timbul
Pengaturan Tanah Timbul Berkelanjutan
DKP, Polisi,
KODIM,
BAPPEDA
Workshop pengelolaan kawasan sabuk
hijau berbasis masyarakat
Ruang pertemuan Bappeda Pemalang
Peserta 42 orang terdiri dari anggota
dan pengurus kelompok, Bappeda,
DKP, DKLH Kab. Pemalang serta
DKP Propinsi
Kesepakatan Masyarakat
Pengelolaan kawasan sabuk hijau
merupakan tanggung jawab bersama
masyarakat dan pemerintah, sehingga
penting untuk bekerja sama
melaksanakannya. Untuk itu perlu
tindak lanjut baik dari Pemerintah
Desa, Kecamatan maupun Kabupaten
agar kegiatan penghijauan pantai dan
pendampingan masyarakat dapat
terus dilakukan di lain kesempatan.
Prinsip bahwa alam akan lestari jika
ada kemauan dari masyarakat untuk
melindunginya harus terus
ditingkatkan. Untuk itu perlu gerakan
yang berkelanjutan agar masyarakat
mau berpartisipasi secara sadar
dalam perlindungan kawasan pantai
Sebenarnya telah ada Rencana Tata
Ruang Kabupaten Pemalang
sebagaimana diatur dalam Perda
Nomo 13 Tahun 1999 namun
implementasinya masih belum
optimal. Masih banyak kegiatan baik
yang dilakukan oleh masyarakat
maupun pemerintah yang tidak
sesuai dengan aturan tersebut.
Seperti kasus tanah timbul yang
sering terjadi di Pemalang, selama ini
belum ada ketegasan dari Pemerintah
Kabupaten dalam pelaksanaannya
meskipun hal tersebut telah diatur
dalam Perda Nomor 13 tahun 1999.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
28
Untuk itu perlu sosialisasi dan
ketegasan dalam penegakan hukum
menyangkut pemanfaatan kawasan
pesisir sehingga dalam
pengelolaannya nanti tidak terjadi
benturan dengan masyarakat sekitar
Bappeda sebagai perencana kegiatan
pembangunan di Kabupaten
Pemalang bersedia untuk
memfasilitasi usulan-usulan dari
Dinas/Instansi terkait dengan
pengelolaan kawasan pantai.
Selain kegiatan fisik, pendampingan
masyarakat menjadi sangat penting
untuk dilakukan agar kapasitas dan
partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan mangrove
dapat ditingkatkan. Kedepan
diharapkan kegiatan pengembangan
mangrove ini bisa dilakukan secara
swadaya dan mandiri oleh
masyarakat sekitar
Rencana Kerja Masyarakat
Lawangrejo yang telah dibuat dan
disepakati bersama dapat menjadi
triger atau contoh bagi seluruh desa
pantai yang ada di Pemalang untuk
membuatnya. Namun demikian,
RKM tersebut hendaknya harus
benar-benar ditaati dan dilaksanakan
agar tidak menjadi preseden buruk
bagi anggota, pengurus dan
pemerintah sendiri. Untuk itu RKM
tersebut harus mendapatkan
dukungan dari pemerintah, baik
dalam bidang pendanaan,
pelaksanaan maupun
pemantauannya.
Pada tahun 2007 Pemerintah
Kabupaten Pemalang akan
melakukan kegiatan normalisasi
saluran tambak yang ada di Desa
Lawangrejo dimana diharapkan hasil
kegiatan tersebut dapat membantu
masyarakat dalam peningkatan
pendapatan khususnya bagi para
petambak.
Mekanisme pengelolaan kawasan
mangrove
perawatan mangrove yang sudah ada,
perbaikan kawasan mangrove yang
rusak dan pengembangan kawasan
baru
Jika ada kerusakan baik yang
disengaja atau yang tidak disengaja,
kelompok akan melaporkannya
kepada Pemerintah Desa untuk
diteruskan kepada aparat yang lebih
atas.
mengusulkan perbaikan dan
pengembangan kawasan baru untuk
ditanami mangrove kepada
pemerintah
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
29
Analisis Prioritas Program Pembangunan Perikanan dan Kelautan Berdasarkan
Persepsi Masyarakat di Provinsi Gorontalo
Oleh:
Ade Muharam, S.Pi, M.Si
ABSTRACT
The planning of Fisheries and Marine Development of fishery represent a process strive to
control the human activity in region of marine and coastal area, so that can guarantee the maximal
advantage for society, now and in the future. Especial attention in this development will be more
concentrated to activity of human being in experienced resources exploiting. The efforts even also
often pushed from the top (supply-led) compared to pursuant to requirement (demand-driven).
Capacities development is oftentimes compared to training and generally remain to use the
approach which no longger according to and effective
One of paradigm of development approach which intensive in this time executed paradigm
compile the development program of through active participation mechanism of society, especially
society which have direct interaction with the the development management. Implementation from
this approach concept, is give the opportunity to society to express the desire, expectation and its
goals in experiencing everyday life whether/what as fisherman catch the, budidaya and or society
conducting processing of result of fishery. Others, governance in storey; village level require to be
heard by its aspiration, is relevant especially with the its region development future. Intention of
this research is to determine the alternative priority program and form the activity of development
of marine and fishery in Provinsi Gorontalo of pursuant to aspiration of coastal area society
Pursuant to research result, alternative programs are becoming priority of pursuant to
perception and society aspiration are Added Facilities Program (21.8%), Applied Technology
Program (20.6%), Human Resources Improvement (19.6%), Capital Support Program(19.4%) and
Product Market Program (18.6%).
Key Words : Priority, Fisheries and Marine Development
PENDAHULUAN
Provinsi Gorontalo terletak di
dataran yang berbentuk semenanjung dan
diapit oleh dua perairan yakni Laut Sulawesi
di sebelah Utara dan Teluk Tomini di
sebelah Selatan. Memiliki 58 pulau-pulau
kecil yang tersebar di kabupaten-kabupaten,
Provinsi Gorontalo menempati areal seluas
12.215,45 km2 atau 0,15% dari luas
Indonesia dengan jumlah penduduk Provinsi
Gorontalo pada tahun 2003 adalah 867.894
jiwa, serta memiliki garis pantai sepanjang
560 km dengan luas laut + 10.500 km2.
Bertolak dari batasan pesisir yang
ada, maka + 80% wilayah Provinsi Gorontalo
adalah kawasan pesisir. Hal ini juga
diindikasikan oleh sosio-kultural masyarakat
yang kehidupannya sangat erat dengan
sumberdaya pesisir, selain jumlah desa
pesisir yang mencapai 38% (137 desa) dari
363 desa yang masuk dalam 13 kecamatan.
Selain itu, Provinsi Gorontalo adalah salah
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
30
satu dari 33 provinsi di wilayah Indonesia
yang secara geografis diapit oleh 2 buah
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yakni
sebelah utara WPP Laut Sulawesi sampai
dengan Samudera Pasifik dan sebelah selatan
adalah WPP Teluk Tomini sampai dengan
Laut Seram sangat strategis bagi
pengembangan perikanan dan kelautan
nasional.
Perencanaan pembangunan
perikanan dan kelautan merupakan suatu
proses upaya untuk mengendalikan kegiatan
manusia di wilayah pesisir dan laut, sehingga
dapat menjamin keuntungan yang sebesar-
besarnya bagi masyarakat, sekarang dan di
masa mendatang. Perhatian utama dalam
pembangunan ini tidak lain akan lebih tertuju
pada kegiatan manusia di dalam pemanfaatan
sumberdaya alam. Upaya-upaya tersebut pun
sering “didorong oleh pasokan dari atas”
(“supply-led”) ketimbang “berdasarkan
kebutuhan” (“demand-driven”).
Pengembangan kapasitas seringkali
disamakan dengan “pelatihan” dan umumnya
tetap menggunakan pendekatan-pendekatan
yang tidak lagi sesuai dan efektif
Salah satu paradigma pendekatan
pembangunan yang saat ini intensif
dilaksanakan adalah paradigma menyusun
program pembangunan melalui mekanisme
partisipasi aktif masyarakat, terutama
masyarakat yang berinteraksi langsung
dengan pengelolaan pembangunan tersebut.
Implementasi dari konsep pendekatan ini,
adalah memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk menyatakan keinginan,
harapan dan cita-citanya dalam menjalani
kehidupan sehari-hari apakah sebagai
nelayan tangkap, budidaya ataupun
masyarakat yang melakukan pengolahan
hasil perikanan. Selain itu, pemerintahan di
tingkat desapun perlu didengar aspirasinya,
terutama yang terkait dengan masa depan
pengembangan wilayahnya
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan prioritas alternatif program dan
bentuk kegiatan pembangunan perikanan dan
kelautan di Provinsi Gorontalo berdasarkan
aspirasi masyarakat pesisir. Sedangkan
manfaat dari penelitian ini adalah untuk
memberikan masukan kepada Pemerintah
Daerah Provinsi Gorontalo, dalam hal ini
Dinas Perikanan dan Kelautan untuk
mengakomodir berbagai kepentingan dan
keinginan serta harapan masyarakat dalam
pengembangan perikanan dan kelautan.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini meliputi seluruh
pusat-pusat kegiatan dan daerah potensial
untuk kegiatan perikanan di sepanjang pesisir
Provinsi Gorontalo, dan dilaksanakan pada
bulan Agustus – Oktober 2006.
Metode Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan Data Primer akan
dilakukan melalui metode wawancara dan
pengisian kuisioner, yaitu metode
pengumpulan data yang menggunakan
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
31
pertanyaan lisan dan tertulis yang
disampaikan oleh peneliti kepada responden.
Data yang dikumpulkan melalui metode
wawancara dan pengisian kuisioner ini
merupakan data subyek yang menyatakan
opini, sikap, pengalaman atau karakteristik
subyek penelitian secara individu atau
kelompok. Oleh karena itu, melalui metode
wawancara ini diharapkan diperoleh
informasi mengenai persepsi dan aspirasi
responden terhadap program prioritas dan
kegiatan yang diharapkan.
Metode Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan
terdiri dari dokumen yang diperoleh dari
instansi yang berwenang terutama Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo,
dan berbagai dokumen dan laporan hasil
studi dari berbagai lembaga yang relevan
dengan materi penelitian.
Analisis Data
Analisis Data dilakukan setelah
seluruh data yang diperlukan dalam
penelitian sudah selesai dikumpulkan. Untuk
memudahkan dalam melakukan analisis data
dan untuk menginterpretasi hasilnya, maka
terlebih dahulu dilakukan beberapa tahap
persiapan analisis data, yaitu Pengeditan
(Editing), dan Pemrosesan Data (Data
Processing).
Analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan AHP
(Analytic Hierarchy Process) yang
merupakan salah satu alat analisis (tools
analysis) pendukung pengambilan keputusan
dalam perencanaan pembangunan, alokasi
sumberdaya, serta penentuan bobot dan
prioritas altematif strategi atau kebijakan
(Saaty, 1988). Metode ini dapat digunakan
untuk kondisi pengambilan keputusan banyak
kriteria, ketidakpastian serta
ketidaksempurnaan data dan informasi, dan
dibutuhkan segera untuk diimplementasikan.
Analisis ini dengan menggunakan software
Program Expert Choice.
Proses analisis dengan AHP
dilakukan dengan menyusun perbandingan
berpasangan (pairwise comparisons) untuk
mendapatkan tingkat kepentingan
(importance) suatu kriteria dibandingkan
dengan kriteria lainnya. Proses perbandingan
berpasangan ini dilakukan untuk setiap
tingkatan atau hirarkis. Dalam penelitian ini
digunakan hirarkis 6 (enam) hirarkis, yaitu
Hirarkis 1 (Fokus), 2 (Aktor), 3 (Kegiatan
Ekonomi Yang Dilakukan), 4 (Tujuan), 5
(Faktor Yang Dipertimbang kan), dan 6
(Alternatif Program). Tingkatan atau hirarkis
ini disusun secara berurutan sesuai dengan
posisi pada levelnya (Tabel 1).
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
32
Tabel 1. Hirarkis Yang Digunakan dalam Penelitian
FOKUS Program Prioritas Pembangunan Perikanan Dan Kelautan Yang Berkelanjutan
AKTOR Nelayan Tangkap Pembudidaya Pengolah Perikanan Pemerintah Daerah
KEGIATAN
EKONOMI
Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Perikanan
Pengolahan
Jasa-Jasa
Lingkungan
TUJUAN Peningkatan
Ekonomi Masyarakat
Peningkatan Produksi Peningkatan PAD Peningkatan
Kesempatan Kerja
FAKTOR YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN
Sumberdaya Alam
(SDA)
Sumberdaya Manusia Sarana Prasarana Teknologi Potensi Pasar
ALTERNATIF PROGRAM PEMBANGUNAN PERIKANAN DAN KELAUTAN YANG
BERKELANJUTAN
Program Penyediaan
Sarana dan Prasarana
Program Peningkatan
Penerapan Teknologi
Program Peningkatan
SDM
Program Peningkatan
Dukungan Modal
Usaha
Program
Peningkatan Akses
Pasar
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prioritas Berdasarkan Aktor
Berdasarkan hasil pengolahan data
yang menggunakan program Expert Choice
dalam menentukan prioritas atribut pada
Program Pembangunan Perikanan dan
Kelautan menunjukan bahwa aktor yang
paling berperan dalam menyampaikan usulan
persepsi dan aspirasi Program Pembangunan
Perikanan dan Kelautan yaitu Nelayan
Tangkap dengan nilai 0.391, selanjutnya
pembudiaya dengan nilai 0.276, dan
pengolah ikan dengan nilai 0.195, serta
Pemerintah Daerah dengan nilai 0.138 (Tabel
2).
Tabel 2. Hasil Analisis Aktor Yang Berpengaruh Dalam Pengusulan Program dan Bentuk
Kegiatan Pembangunan Perikanan Provinsi Gorontalo
No Aktor Yang Berperan Nilai Prioritas
1 Nelayan Tangkap 0.391 1
2 Pembudidaya 0.276 2
3 Pengolah Ikan 0.195 3
4 Pemda 0.138 4
Kondisi ini sesuai dengan struktur
masyarakat pesisir di Provinsi Gorontalo
yang sebagian besar merupakan masyarakat
nelayan tangkap. Berdasarkan data dari
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Gorontalo, jumlah nelayan tangkap pada
periode 2001 – 2005, jumlahnya mengalami
peningkatan rata-rata 0,88% per tahun, yaitu
dari 16.868 orang pada tahun 2001, menjadi
17.468 orang pada tahun 2005. Pada periode
ini jumlah nelayan perikanan laut meningkat
rata-rata 0,60 % per tahun, dan jumlah
nelayan perikanan perairan umum naik rata-
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
33
rata 3,10% per tahun (Dinas Perikanan dan
Kelautan, 2005).
Sebagian besar nelayan perikanan
laut adalah nelayan penuh yang seluruh
waktu kerjanya digunakan untuk melakukan
penangkapan ikan. Dalam empat tahun
terakhir ini, jumlahnya menurun rata-rata
1,69% per tahun. Nelayan sambilan utama
dan sambilan tambahan mengalami kenaikan
rata-rata 4,29% per tahun dan 4,84% per
tahun.
Nelayan perikanan perairan umum,
sebagian besar adalah nelayan sambilan
tambahan yang sebagian kecil waktu
kerjanya dilakukan untuk melakukan
penangkapan ikan. Dalam kurun waktu yang
sama, jumlah nelayan yang termasuk dalam
kategori ini meningkat rata-rata 13,43% per
tahun. Sementara untuk nelayan penuh dan
nelayan sambilan tambahan mengalami
kenaikan rata-rata 1,90% per tahun dan
7,63% per tahun.
Sedangkan jumlah pembudidaya ikan
pada tahun 2005 sebanyak 4.334 orang yang
meningkat sekitar 15.3% bila dibandingkan
dengan jumlah pembudidaya ikan pada tahun
2004 yakni sebesar 4.131 orang. Demikian
halnya untuk luas budidaya mengalami
kenaikan sebesar 5,7 %, dimana luas
budidaya pada tahun 2004 sebesar 2.145 Ha
menjadi 2.268 Ha di tahun 2005 (Dinas
Perikanan dan Kelautan, 2005).
.Masyarakat yang bergerak dalam
usaha perikanan olahan yang menjadi
responden selama penelitian ini memang
tidak terlalu banyak, kalaupun ada, hanya
sebatas masyarakat yang melakukan proses
pengeringan dan penggaraman ikan secara
tradisional. Oleh karena itu kontribusi yang
diberikan dalam penelitian ini tidak terlalu
besar, dan hanya menduduki prioritas ketiga.
Selanjutnya, kelompok terakhir yang
menjadi prioritas dalam memberikan usulan
berdasarkan persepsi dan aspirasinya adalah
Pemerintah Daerah (Pemda) dengan bobot
nilai 0.138. Hal ini disebabkan karena
keterwakilan Pemda dalam diskusi ini adalah
Pemda Tingkat Desa yang lebih berperan
sebagai pembina dalam implementasi
Program Pembangunan Perikanan dan
Kelautan dan karena usulan program ini
memang lebih diarahkan kepada persepsi
masyarakat, dalam hal ini masyarakat
perikanan di level pemerintahan yang paling
bawah.
Prioritas Berdasarkan Tujuan Program
Analisis prioritas berdasarkan tujuan
program Pembangunan Perikanan dan
Kelautan ini ditujukan untuk mengetahui
tujuan dari masing-masing responden dalam
menyampaikan usulan program tersebut.
Tujuan-tujuan itu adalah (1) Peningkatan
Ekonomi Masyarakat, (2) Peningkatan
Produksi, (3) Peningkatan PAD, dan (4)
Peningkatan Kesempatan Kerja.
Berdasarkan hasil analisis berdasarkan tujuan
program, diperoleh informasi bahwa baik
nelayan tangkap, maupun pembudidaya dan
pengolah ikan menetapkan peningkatan
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
34
ekonomi merupakan tujuan yang menjadi
prioritas utama, dengan nilai bobot masing-
masing 0.301 untuk nelayan tangkap, 0.395
pembudidaya, dan 0.340 untuk nilai prioritas
yang disampaikan oleh kelompok masyarakat
pengolah ikan. Hal ini menunjukan bahwa
pada tingkat masyarakat, motivasi ekonomi
masih merupakan tujuan utrama dalam
melaksanakan kegiatan perikanan.
Prioritas tujuan selanjutnya adalah yang
terkait dengan peningkatan produksi, baik
produksi hasil tangkapan ikan, budidaya dan
hasil pengolahan ikan. Terkait dengan
kondisi ekonomi dan produksi perikanan di
Provinsi Gorontalo, sejauh ini sudah
menunjukan kecenderungan yang membaik,
sesuai dengan data dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Gorontalo, bahwa
pendapatan nelayan tangkap pada tahun 2004
sebesar Rp. 6.327.500,- atau sebesar Rp.
527.300,-/bulan, sedangkan pada tahun 2005
pendapatan nelayan tangkap meningkat
sebesar Rp. 8.750.718,- atau sebesar Rp.
729.226,-/bulan atau secara persentase naik
sebesar 38,29%. Sedangkan untuk
pendapatan pembudidaya ikan pada tahun
2004 sebesar Rp. 12.956.369 atau
Rp.1.079.697/bulan dan pada tahun 2005
menjadi Rp. 16.454.558,-atau Rp.
1.371.213/bulan dengan demikian ada
peningkatan pendapatan sebesar 27%.
Naiknya pendapatan ini didorong
oleh kecenderungan peningkatan volume
produksi baik yang dihasilkan oleh nelayan
tangkap maupun pembudidaya. Volume
produksi nelayan tangkap pada tahun 2005
mengalami peningkatan sebesar 5,8% bila
dibandingkan dengan tahun 2004 yakni dari
35.818 ton menjadi 37.896 ton. Sedangkan
nilai produksi ikan mengalami peningkatan
sebesar 42,9% yakni dari Rp.
125.497.621.000 ditahun 2004 menjadi Rp.
179.361.475.000 ditahun 2005. Sedangkan
volume produksi pembudidaya pada tahun
2005 mengalami peningkatan sebesar 18.7%
bila dibandingkan dengan tahun 2004 yakni
dari 7.468,1 ton menjadi 8.130,1 ton.
Sedangkan nilai produksi ikan mengalami
peningkatan sebesar 33.4 % yakni dari Rp.
35.194.551.000 ditahun 2004 menjadi Rp.
37.843.503.500 ditahun 2005.
Kecenderungan peningkatan
pendapatan dan volume produksi pada dua
tahun terakhir ini menunjukan adanya
keberpihakan program Pemerintah Provinsi
Gorontalo terhadap tujuan yang diharapkan
oleh masyarakat pesisir. Selain kedua tujuan
tersebut, peningkatan kesempatan kerja dan
peningkatan PAD juga menjadi prioritas para
responden sebagai tujuan dari program
pembangunan perikanan dan kelautan di
Provinsi Gorontalo.
Kondisi yang berbeda terjadi pada
responden yang merupakan kelompok atau
bagian dari Pemerintah Daerah yang lebih
memprioritaskan Peningkatan PAD (0.338)
sebagai tujuan dari program pembangunan
perikanan dan kelautan di Provinsi
Gorontalo, selain tentunya juga untuk
Peningkatan Ekonomi Masyarakat (0.288),
Peningkatan Kesempatan Kerja (0.205) dan
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
35
Peningkatan Produksi (0.169). Hal ini
sesuai dengan salah satu tugas Pemerintah
Daerah baik itu di tingkat Desa, Kecamatan,
Kabupaten dan Provinsi untuk berupaya
mendorong terjadinya Peningkatan PAD
sebagai salah satu modal pembangunan di
daerah. Peningkatan ekonomi masyarakat
dan peningkatan kesempatan kerja juga
menjadi prioritas dalam menentukan tujuan
program pembangunan perikanan dan
kelautan di Provinsi Gorontalo, karena
semakin tinggi tingkat ekonomi masyarakat
di wilayahnya, dan semakin rendah tingkat
pengangguran, maka akan menjadi ukuran
kinerja yang lebih baik bagi pemerintah
daerah setempat.
Tabel 3. Hasil Analisis Tujuan Program Yang Diharapkan Oleh Masing-masing Berdasarkan
Aktor
Aktor Nilai Prioritas
Menurut Nelayan Tangkap
Peningkatan Ekonomi Masyarakat 0.301 1
Peningkatan Produksi 0.276 2
Peningkatan PAD 0.138 4
Peningkatan Kesempatan Kerja 0.195 3
Menurut Pembudidaya
Peningkatan Ekonomi Masyarakat 0.395 1
Peningkatan Produksi 0.278 2
Peningkatan PAD 0.163 3
Peningkatan Kesempatan Kerja 0.163 3
Menurut Pengolah Ikan
Peningkatan Ekonomi Masyarakat 0.340 1
Peningkatan Produksi 0.239 2
Peningkatan PAD 0.140 4
Peningkatan Kesempatan Kerja 0.281 3
Menurut Pemda
Peningkatan Ekonomi Masyarakat 0.288 2
Peningkatan Produksi 0.169 4
Peningkatan PAD 0.338 1
Peningkatan Kesempatan Kerja 0.205 3
Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan
Analisis faktor yang perlu
dipertimbangkan ditujukan untuk
memperoleh informasi mengenai prioritas
yang menjadi pertimbangan masing-masing
aktor untuk mengajukan usulan program
yang diinginkannya. Pada kenyataannya
faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan ini
merupakan berbagai isu yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya perikanan dan
kelautan di Provinsi Gorontalo. Sesuai
dengan tingkatannya, maka faktor yang perlu
dipertimbangkan ini dipasangkan dengan
tujuan yang diharapkan dari masing-masing
aktor, yaitu (1) Terjadinya peningkatan
ekonomi masyarakat pesisir, (2) Terjadinya
peningkatan produksi, (3) Meningkatnya
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
36
PAD, dan (4) Terjadinya perluasan
kesempatan kerja bagi masyarakat.
Faktor-faktor yang perlu
dipertimbagkan dalam pengajuan usulan
program pembangunan perikanan dan
kelautan di Provinsi Gorontalo sesuai dengan
persepsi dan aspirasi masyarakat adalah (1)
Faktor Sumberdaya Alam, (2) Faktor
Sumberdaya Manusia, (3) Faktor Sarana dan
Prasarana, (4) Faktor Teknologi, (5) Faktor
Pasar. Hasil analisis faktor yang
dipertimbangkan ini disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Prioritas Faktor-faktor Yang Perlu Dipertimbangkan dalam Menyusun
Program Pembangunan Perikanan dan Kelautan di Provinsi Gorontalo.
Tujuan Program Faktor Yang Dipertimbangkan
SDA SDM Sapras Teknologi Pasar
Nelayan Tangkap
Peningkatan Ekonomi Masyarakat 0.050 0.021 0.021 0.021 0.038
Peningkatan Produksi 0.035 0.021 0.016 0.021 0.016
Peningkatan PAD 0.011 0.011 0.011 0.011 0.011
Peningkatan Kesempatan Kerja 0.015 0.015 0.015 0.015 0.015
Jumlah 0.111 0.068 0.063 0.068 0.080
Prioritas 1 3 4 3 2
Pembudidaya
Peningkatan Ekonomi Masyarakat 0.022 0.028 0.027 0.021 0.011
Peningkatan Produksi 0.015 0.015 0.015 0.015 0.015
Peningkatan PAD 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009
Peningkatan Kesempatan Kerja 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009
Jumlah 0.055 0.061 0.060 0.054 0.044
Prioritas 3 1 2 4 5
Pengolah Ikan
Peningkatan Ekonomi Masyarakat 0.008 0.013 0.011 0.012 0.021
Peningkatan Produksi 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009
Peningkatan PAD 0.005 0.005 0.005 0.005 0.005
Peningkatan Kesempatan Kerja 0.011 0.011 0.011 0.011 0.011
Jumlah 0.033 0.038 0.036 0.037 0.046
Prioritas 5 2 4 3 1
Pemda
Peningkatan Ekonomi Masyarakat 0.009 0.009 0.007 0.006 0.009
Peningkatan Produksi 0.005 0.005 0.005 0.005 0.005
Peningkatan PAD 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009
Peningkatan Kesempatan Kerja 0.006 0.006 0.006 0.006 0.006
Jumlah 0.029 0.029 0.027 0.026 0.029
Prioritas 1 1 2 3 1
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
37
Berdasarkan hasil analisis, nelayan
tangkap menganggap bahwa faktor
sumberdaya alam (0.111) merupakan faktor
yang paling prioritas yang perlu
dipertimbangkan dalam megajukan usulan
program pembangunan perikanan dan
kelautan, yang lebih prioritas dari faktor
pasar (0.080), faktor SDM dan Teknologi
(0.068), serta faktor sarana dan prasarana
yang hanya merupakan prioritas yang
keempat (0.063). Hasil analisis ini
menunjukan bahwa nelayan tangkap lebih
memperhitungkan dan mempertimbangkan
sekali kondisi sumberdaya alam, yang
didalamnya termasuk musim dan gejala alam
lainnya yang membawa implikasi terhadap
ketidakpastian jumlah dan posisi ikan yang
akan ditangkap. Kesulitan dalam mendeteksi
potensi ikan inilah yang mendorong nelayan
cenderung melakukan kegiatan eksploitasi
sumberdaya perikanan dengan cara yang
kurang ramah lingkungan, seperti
penggunaan alat tangkap yang berpotensi
merusak lingkungan perairan, dan
penggunaan bahan peledak serta bahan
kimia. Oleh karena itu, program yang
mendorong peningkatan dan perluasan
informasi serta sosialisasi mengenai data
potensi perikanan dan migrasi ikan menjadi
suatu kebutuhan yang penting untuk segera
dipenuhi.
Faktor selanjutnya yang menjadi
prioritas untuk dipertimbangkan menurut
nelayan tangkap di Gorontalo adalah faktor
pasar, dalam hal ini yang paling menjadi
pertimbangan adalah harga jual ikan hasil
tangkapan yang sangat berfluktuasi. Ikan
hasil tangkapan pada musim-musim tertentu
sangat dihargai dengan harga yang sangat
murah, belum lagi kalau sudah dikaitkan
dengan kualitas ikan hasil tangkapan yang
sering mengalami penurunan kualitas,
sehingga harganyapun cenderung turun.
Namun demikian, dalam kondisi nelayan
tangkap tidak ada pilihan lain selain menjual
ikan hasil tangkapannya dengan harga murah.
Oleh karena itu, program yang akan disusun
diharapkan dapat mempertimbangkan faktor
pasar dan harga jual dari ikan hasil tangkapan
nelayan ini.
Faktor Sumberdaya Manusia dan
Teknologi juga menjadi faktor yang perlu
dipertimbangkan, walaupun berdasarkan
persepsi dan aspirasi nelayan tangkap, faktor-
faktor tersebut menempati prioritas yang
ketiga. Relatif masih rendahnya kualitas
SDM dan muatan teknologi perikanan dan
kelautan menggambarkan bahwa dalam
strukturnya, sektor tradisional masih
mendominasi pada perikanan tangkap, yaitu
sebesar 87% (Dahuri, 2003). Struktur yang
cenderung tradisional ini yang menyebabkan
optimalisasi terhadap kinerja perikanan
belum sesuai dengan potensi yang ada. Oleh
karena itu, tanpa mengurangi terdapatnya
variabel lokal seperti traditional knowledge
dan local wisdom nelayan tangkap Gorontalo,
maka program yang mengarahkan kepada
peningkatan level kinerja perikanan dari
sektor tradisional menuju sektor post-
traditional dengan penerapan teknologi yang
tepat dan disertai dengan upaya peningkatan
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
38
kualitas SDM, masih perlu untuk
ditingkatkan.
Nelayan tangkap di Gorontalo sudah
tidak menempatkan penyediaan sarana dan
prasarana operasional perikanan menjadi
faktor yang paling prioritas untuk
dipertimbangkan. Hal ini diduga bahwa
sejak tahun 2002 – 2005, pihak pemerintah
baik pemerintah pusat maupun daerah sudah
banyak memberikan bantuan berupa berbagai
jenis alat dan armada penangkapan ikan.
Berdasarkan informasi dari Dinas Perikanan
dan Kelautan Provinsi Gorontalo, bahwa
terjadinya peningkatan produksi hasil
tangkapan nelayan tangkap di Gorontalo
adalah seiring dengan peningkatan jumlah
dan kemampuan armada penangkap ikan
yaitu meningkatnya armada Perahu Motor
Tempel (PMT) sebesar 2.5% dan armada
yang berstrata kapal motor (KM) mengalami
peningkatan sebesar 7.1 %, sedangkan
armada penangkap ikan Perahu Tanpa Motor
(PTM) cenderung mengalami penurunan
sebesar 2.1 %. Namun demikian, nelayan
tangkap hingga saat ini masih sangat
mengharapkan adanya peningkatan fungsi
dan layanan di TPI dan PPI, perbaikan sarana
transportasi darat serta perluasan jaringan
listrik terutama di pemukiman nelayan yang
terpencil.
Menurut pembudidaya ikan, prioritas
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
penyusunan program adalah yang pertama
faktor sumberdaya manusia (0.061), faktor
sarana dan prasarana (0.060), faktor
Sumberdaya Alam (0.055), faktor teknologi
(0.054) dan faktor pasar (0.044).
Peningkatan kualitas SDM pembudidaya
merupakan faktor yang menjadi
pertimbangan utama dalam menyusun
program pembangunan perikanan. Hal ini
sangat terkait dengan keahlian pembudidaya
dalam menjalankan usahanya. Keterbatasan
keahlian ini seringkali menjadi permasalahan
yang menyebabkan gagalnya usaha budidaya
yang dijalankan. Oleh karena itu, program
peningkatan pelatihan dan sekaligus dengan
teknologi budidaya yang lebih baik, perlu
segera diimplemntasikan, sehingga sektor
busidaya perikanan ini tidak termarjinalkan
dan senantiasa tertinggal dari perikanan
tangkap.
Selanjutnya faktor sarana dan
prasarana juga merupakan faktor yang perlu
dipertimbangkan, mengingat kegiatan
budidaya ini membutuhkan sarana
pendukung yang cukup banyak. Program
bantuan sarana budidaya seperti rumput laut
dan jaring apung masih sangat diperlukan
oleh para pembudidaya. Selain itu, perbaikan
sarana pengairan tambak pada beberapa
lokasi juga menjadi faktor yang perlu
mendapat perhatian. Walaupun tidak
menjadi prioritas, namun faktor teknologi
budidaya dan pembesaran ikan hasil
budidaya juga perlu menjadi perhatian dalam
penyusunan program pembangunan
perikanan dan kelautan Provinsi Gorontalo.
Kelompok masyarakat pesisir yang
melakukan kegiatan pengolahan ikan seperti
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
39
pengasapan, penggaraman dan pengeringan
yang dilakukan secara tradisional, umumnya
menempatkan faktor pasar menjadi prioritas
utama sebagai faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam menyusun program,
yaitu dengan bobot 0.046. Sedangkan faktor-
faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan
berturut-turut adalah faktor SDM (0.038),
faktor teknologi (0.037), faktor sarana dan
prasarana (0.036) dan faktor sumberdaya
alam (0.033). Hal ini menunjukan bahwa
para pengolah ikan tersebut masih sangat
membutuhkan program-program yang terkait
dengan perluasan jaringan pemasaran hasil
ikan olahan, peningkatan pelatihan
pengolahan ikan menjadi berbagai produk
yang berdaya saing, beserta dengan teknolgi
pengolahannya yang lebih efesien dan
higienis, program bantuan sarana dan
prasarana pengolahan ikanpun masih sangat
diperlukan.
Pemerintah daerah yang dalam
penelitian ini diwakili oleh aparat pemerintah
desa, cenderung menganggap faktor
sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan
faktor pasar merupakan faktor prioritas yang
harus dipertimbangkan dalam penyusunan
program pembangunan perikanan dan
kelautan di Provinsi Gorontalo, yaitu dengan
bobot prioritas 0.029. Sedangkan faktor
sarana dan prasarana serta faktor teknologi
merupakan prioritas kedua dan ketiga,
masing-masing dengan bobot 0.027 dan
0.026. Penempatan prioritas faktor yang
perlu dipertimbangkan oleh pemerintah
daerah ini sangat sesuai dengan kondisi
umum di wilayah desa-desa pesisir, yang
ketergantungan terhadap sumberdaya alam
masih sangat besar, dan umumnya pula
didiami oleh kelompok masyarakat yang
mempunyai tingkat kualitasnya yang relatif
masih rendah. Akses terhadap pasarpun
menjadi prioritas yang perlu diperhatikan,
mengingat ikan sebagai hasil tangkapan
maupun produksi budidaya merupakan bahan
pangan yang mudah mengalami penurunan
kualitas, sehingga akan berdampak kepada
penurunan harga jual.
Alternatif Program dan Bentuk Kegiatan
Analisis alternatif program ditujukan
untuk mengetahui dan mengidentifikasi
program-program yang dapat
direkomendasikan untuk menjadi program
pembangunan perikanan dan kelautan di
Provinsi Gorontalo. Bebeberapa alternatif
program tersebut adalah (1) Penyediaan
Sarana dan Prasarana, (2) Peningkatan
Penerapan Teknologi, (3) Peningkatan SDM,
(4) Peningkatan Dukungan Modal dan (5)
Peningkatan Akses Pasar.
Berdasarkan analisis yang dilakukan
diperoleh informasi bahwa Program
Penyediaan Sarana dan Prasarana merupakan
program prioritas pertama yang diharapkan
oleh masyarakat dapat segera diterapkan,
yaitu dengan nilai 21.8%. Program-program
selanjutnya yang menjadi prioritas berturut-
turut adalah Peningkatan Penerapan
Teknologi (20.6%), Peningkatan SDM
(19.6%), Peningkatan Dukungan Modal
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
40
Usaha (19.4%) dan Peningkatan Akses Pasar (18.6%).
Tabel 4. Hasil Analisis Alternatif Program Yang Diharapkan Terakomodir Dalam
Pembangunan Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan
Kode Alternatif Program Skor Prioritas
A Penyediaan Sarana dan Prasarana 21.8 % 1
B Peningkatan Penerapan Teknologi 20.6 % 2
C Peningkatan SDM 19.6 % 3
D Peningkatan Dukungan Modal Usaha 19.4 % 4
E Peningkatan Akses Pasar 18.6 % 5
Selanjutnya, dilakukan analisis pula terhadap
beberapa bentuk kegiatan yang dapat
dilaksanakan pada masing-masing program
pembangunan tersebut. Bentuk-bentuk
kegiatan ini diaspirasikan secara langsung
oleh masyarakat, dan kemudian ditentukan
skor dari masing-masing bentuk kegiatan
tersebut, untuk mengetahui skala prioritas.
Hasil analisis bentuk-bentuk kegiatan dari
masing-masing program tersebut disajikan
dalam Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Prioritas Bentuk Kegiatan Masing-masing Program Pembangunan Perikanan dan
Kelautan Provinsi Gorontalo
Kode Bentuk Kegiatan Skor Urutan
Prioritas
A A.1. Optimalisasi TPI dan menambah jumlah sentra-sentra penampungan
ikan. 0.534 1
A.2. Pengembangan dan Penambahan Alat Tangkap 0.306 2
A.3. Perluasan Jaringan Listrik 0.109 3
A.4. Perbaikan Sarana Jalan dan Jembatan 0.052 4
B B.1 Mengembangkan sistem pengolahan perikanan yang lebih baik 0.445 1
B.2 Mengembangkan penelitian di bidang bioteknologi kelautan untuk
mendukung berdirinya industri perikanan 0.234 2
B.3 Mengembangkan teknologi untuk budidaya laut dan budidaya pantai 0.176 3
B.4 Membentuk jaringan data dan informasi dengan lembaga-lembaga
terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan. 0.088 4
B.5 Pengembangan sarana balai Penelitian dan Pelatihan 0.057 5
C C.1. Meningkatkan jumlah sarana dan prasarana pendidkan dan jumlah
guru di wilayah pesisir 0.342 1
C.2. Penyuluhan tentang kesehatan 0.282 3
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
41
C.3. Mengembangkan program pelatihan keterampilan masyarakat
berdasarkan tingkat pendidikan dan kondisi sosial ekonomi mereka 0.316 2
C.4. Meningkatkan keahlian dan pemberdayaan organisasi-organisasi dan
lembaga-lembaga sosial masyarakat serta program-program
pengembangan masyarakat
0.06 4
D D.1 Pendayagunaan Koperasi dan Usaha Kecil 0.527 1
D.2 Memfasilitasi hubungan antara lembaga keuangan dengan nelayan
dan pembudidaya serta pengolah ikan dalam menyusun rencana dan
pengembangan usaha
0.291 2
D.3 Mengembangkan usaha kecil menengah yang bergerak pada bidang
usaha perikanan 0.121 3
D.4. Mengembangkan usaha produktif dan mata pencaharian alternatif
yang berwawasan lingkungan 0.061 4
E E.1 Melakukan pengontrolan terhadap harga jual ikan hasil tangkapan 0.642 1
E.2 Pengembangan pemasaran hasil 0.285 2
E.3 Membina usaha produksi perikanan berorientasi pasar 0.072 3
Bentuk kegiatan yang menjadi prioritas dari
program penyediaan sarana dan prasarana
adalah kegiatan optimalisasi TPI dan
penambahan jumlah sentra-sentra
penampungan ikan. Bentuk kegiatan yang
diharapkan ini sesuai dengan kondisi riil di
beberapa lokasi pengembangan perikanan,
bahwa produksi perikanan yang dihasilkan
baik oleh nelayan tangkap, maupun para
pembudidaya seringkali mengalami
penurunan kualitas karena kurang tersedianya
es sebagai bahan untuk menjaga kesegaran
ikan. Oleh karena itu kegiatan optimalisasi
TPI dan PPI serta penambahan sentra
penampungan ikan yang di dalamnya sudah
termasuk penyediaan sarana es, sangat
diharapkan untuk segera dilaksanakan agar
hasil produksi ikan tetap terjaga kualitasnya.
Program peningkatan penerapan
teknologi diharapkan dilaksanakan terutama
dalam bentuk kegiatan pengembangan sistem
pengolahan perikanan yang lebih baik. Hal
ini masih terkait dengan upaya untuk
memperpanjang waktu kesegaran ikan agar
harga jualnya tidak terlalu rendah. Kegiatan
ini juga diarahkan untuk menerapkan
teknologi pengolahan ikan yang dapat
dailaksanakan oleh masyarakat, seperti
teknologi pengawetan dengan kadar garam
rendah, pengasapan yang lebih higienis, dan
pengaolahan lainnya hasil budidaya seperti
teknologi pengolahan rumput dan udang serta
beberapa jenis ikan karang.
Bentuk kegiatan peningkatan sarana
pendidikan formal dan jumlah guru di
wilayah pesisir ternyata merupakan bentuk
kegiatan yang menjadi prioritas pertama yang
diharapkan diimplementasikan melalui
program peningkatan kualitas sumberdaya
manusia. Hal ini mulai dirasakan perlu oleh
masyarakat, karena perkembangan dan
dinamika di kawasan pesisir pada akhirnya
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
42
membutuhkan sumberdaya manusia yang
mampu untuk mengelola ekosistem di
wilayah ini dengan pendekatan akademik dan
ilmu pengetahuan yang memadai. Sebagian
masyarakat pesisir rupanya sudah mulai
menyadari bahwa di masa yang akan datang,
tingkat pendidikan akan merupakan suatu
kebutuhan dan ukuran yang utama status
sosial mereka.
Pendayagunaan koperasi dan usaha
kecil yang dijalankan oleh masyarakat pesisir
merupakan bentuk kegiatan yang menjadi
prioritas untuk dilaksanakan dalam program
peningkatan dukungan modal usaha. Hal ini
berarti sebagian masyarakat sudah mulai
menyadari bahwa bantuan yang mereka
butuhkan ternyata tidak selalu dalam bentuk
uang atau barang, namun mereka juga sangat
membutuhkan pembainaan manajerial
lembaga keuangan seperti koperasi. Selain
itu, pembinaan usaha juga sangat diharapkan
dapat segera dilaksanakan. Oleh karena itu
bentuk kegiatan yang cocok untuk
dikembangkan adalah sistem cooperative
management, atau sering dikenal sebagai co-
management (Nikijuluw, 2002).
Konsep Penyusunan Perencanaan
Pembangunan Perikanan
Secara lebih makro, konsep
penyusunan perencanaan pembagunan
perikanan dan kelautan yang dapat
dikembangkan di amsa yang akan datang
sesuai dengan hasil dari penelitian ini dapat
digambarkan dalam gambar skema berikut
ini:
Gambar 2. Skema Konsep Penyusunan Rencana Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Isu dan Permasalaha
n
Pendefinisian
Permasalahan
Aspirasi Masyarakat
Potensi Sumberdaya Perikanan
Peluang dan Kendala
Tujuan dan Sasaran
Formulasi Rencana
Pelaksanaan (Implemantasi Rencana
)
Pembangunan Perikanan dan Kelautan Yang
Berkelanjutan
Mekanisme Umpan Balik
Monitoring dan Evaluasi
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
43
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Alternatif program yang menjadi
prioritas berdasarkan persepsi dan aspirasi
masyarakat adalah Program Penyediaan
Sarana dan Prasarana (21.8%), Program
Peningkatan Penerapan Teknologi (20.6%),
Peningkatan SDM (19.6%), Peningkatan
Dukungan Modal Usaha (19.4%) dan
Peningkatan Akses Pasar (18.6%).
Pada masing-masing program
tersebut direkomendasikan berbagai bentuk
kegiatan yang menjadi prioritas pertama
diantaranya adalah kegiatan optimalisasi TPI
dan penambahan jumlah sentra-sentra
penampungan ikan, pengembangan sistem
pengolahan perikanan yang lebih baik,
peningkatan sarana pendidikan formal dan
jumlah guru di wilayah pesisir, serta
kegiatan pendayagunaan koperasi dan usaha
kecil yang dijalankan oleh masyarakat
pesisir.
Saran
Peningkatan peran serta aktif
masyarakat secara langsung perlu
ditingkatkan dalam proses penyusunan
perenacanaan program pembangunan
perikanan dan kelautan di Provinsi
Gorontalo, karena keberhasilan dan
keberlanjutan program tersebut salah
satunya ditentukan oleh dukungan dari
masyarakat. Mengidentifikasi persepsi dan
aspirasi masyarakat melalui AHP (Analytic
Hierarchy Process) ini hanya merupakan
salah satu metode saja, yang paling penting
adalah bagaimana upaya pemerintah daerah
sebagai pengambil keputusan dan kebijakan
dapat mengembangkan mekanisme
partisipasi publik yang efektif dan berhasil
guna dalam mensukseskan program
pembangunan perikanan dan kelautan di
Provinsi Gorontalo.
PUSTAKA TERPILIH
Atlas Pesisir dan Laut Provinsi Gorontalo.
2002. Data dan Informasi untuk
MCMA Provinsi Gorontalo : PT
Spektra Adhya Prasarana dengan
Bapppeda. Provinsi Gorontalo
Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia
Yang Maju, Makmur dan Mandiri
Melalui Pembangunan Maritim.
Makalah disampaikan pada Temu
Nasional Visi dan Misi Maritim
Indonesia dari Sudut Pandang
Politik, Jakarta, 18 Pebruari 2004.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Gorontalo. 2005. Capaian Program
Kerja Tahunan Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Gorontalo (tidak
dipublikasikan)
Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
Pusat Pemberdayaan dan
Pembangunan Regional (P3R)
bekerjasama dengan PT. Pustaka
Cidesindo. Jakarta.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
44
Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan
Bagi Para Pemimpin (Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan
Keputusan dalam Situasi yang
Kompleks). P.T. Pustaka Binaman
Pressindo. Jakarta (terjemahan)
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
45
INTEGRASI PERENCANAAN KONVENSIONAL
DENGAN PERENCANAAN PESISIR: BADE KAMANA ?3
Oleh:
Adjie Pamungkas ST. M.Dev.Plg4
Lahirnya UU Pengelolaan Wilayah Pesisir No.27 tahun 2007 yang baru melalui proses panjang
dan penuh pesimistis dari sebagian kelompok perencana. Sistem perencanaan yang dibangun
ternyata memiliki korelasi yang lemah dengan sistem konvensional (perencanaan ruang) baik
menurut UU no 24 tahun 1992 maupun UU no. 26 tahun 2007. Pengalaman praksis peneliti pada
perencanaan detail tata ruang pesisir prigi, Propinsi Jawa Timur menunjukkan adanya
“kebingungan” dari aparat pemerintah dalam menentukan output rencana. Kepmen PU
Kimpraswil 327 dan Kepmen DKP no 10 tahun 2002 sebagai petunjuk teknis kedua perencanaan
pun memiliki korelasi yang lemah. Kedua sistem memiliki penjenjangan rencana yang berbeda
dengan istilah yang berbeda pula. Walaupun demikian, upaya integrasi perencanaan detail tata
ruang kota untuk wilayah daratan dan rencana zonasi pada ruang laut menjadi keharusan dan
mendapat sambutan yang cukup baik dari users. Pengaturan kedua matra ruang tersebut berada
pada kajian yang terintegrasi sehingga menghasilkan strategi yang menggabungkan keduanya.
RDTRK menurut Kepmen PU dan Zoning Plan menurut Kepmen DKP dapat diintergasikan
dengan melihat proses alam yang terinterdependensi antara darat dan laut.
Kata kunci: sistem perencanaan, pesisir dan integrasi
3 Bade Kamana ? adalah frase Bahasa Sunda sedangkan Lakar Kija? adalah frase Bahasa
Bali. Keduanya berarti mau kemana ? 4 Staf pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITS. Ucapan terimakasih juga
atas kerjasama yang baik dari Tim Prigi ARC-07: Eko Hirmawan ST dan Akhyar Farizal ST.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
46
PENDAHULUAN
Sistem perencanaan yang konvensional
(yang terlebih dahulu ada) adalah sistem
perencanaan spasial versi UU no 24 tahun
1992 maupun versi terbaru UU no. 26 tahun
2007[18]
. Kedua undang-undang tersebut
memiliki pengertian yang sama tentang
ruang yang tidak hanya meliputi pada ruang
darat saja akan tetapi ruang laut bahkan
ruang udara. Walaupun demikian, pada
sebagian praktek perencanaan, sistem
perencanaan ruang yang dibuat lebih
mengarah kepada rencana ruang daratan
dengan pengaturan tipologi jenis
pemanfaatan ruang sampai pada pengaturan
bangunan di daratan. Kondisi ini tentunya
sangatlah merugikan proses pembangunan
secara umum karena fokus pengembangan
akan menjadi lebih berorientasi pada
daratan.
Orientasi pembangunan di daratan ternyata
telah disadari oleh sebagian besar
stakeholders pembangunan di negara
kepulauan ini. Jargon ”nenek moyang ku
seorang pelaut”, ”negara dengan pantai
terpanjang di dunia”, ”negara bahari” dan
sebagainya telah mendorong adanya
perubahan atau diversifikasi arah
pembangunan. Kristalisasi perubahan
tersebut berada pada disyahkannya UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir No. 27 tahun
2007[19]
. UU ini kemudian diback up
sebelumnya oleh aturan teknis yaitu:
Kepmen Kelautan dan Perikanan no. 10
tahun 2002 tentang Perencanaan pesisir dan
pulau-pulau kecil[22]
.
Kepmen DKP no 10 tahun 2002 ini
memberikan sistem perencanaan berjenjang
yaitu: strategic plan, management plan,
zoning plan dan action plan. Keempat
perencanaan tersebut memiliki pengertian
dan spesifikasi yang berbeda-beda[22]
. Dilain
pihak, Kepmen Kimpraswil 327 tahun 2002.
membagi sistem perencanaan wilayah
perkotaan pada 3 level utama yaitu: RTRW
(rencana tata ruang wilayah), RDTRK
(Rencana Detail tata ruang kota), RTRK
(rencana teknik ruang kota) dan RTBL
(Rencana tata bangunan dan lingkungan) [21]
.
Kepmen DKP memiliki titik berat dalam
pengaturan ruang laut dengan “sedikit”
membahas ruang daratan sedangkan
Kepmen Kimpraswil tidak memiliki fokus
pada pengaturan ruang laut.
Dengan dua sistem yang berbeda dan titik
berat yang berbeda mengakibatkan sistem
perencanaan kita tidak terintegrasi dengan
sempurna. Padahal, daerah pesisir adalah
daerah perpaduan antara ruang darat dan laut
yang memiliki ekosistem yang saling
mempengaruhi antara daratan dan
lautan[5][10][11]
. Integrasi adalah kemutlakan
dalam menentukan keberhasilan
perencanaan dan implementasinya. Oleh
karenanya, paper ini akan membahas secara
lengkap proses integrasi kedua sistem
perencanaan tersebut. Proses ini merupakan
refleksi dari pengalaman penyusunan
perencanaan detail tata ruang pesisir prigi di
Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
WILAYAH PESISIR PRIGI
Pesisir Prigi terletak di Kabupaten
Trenggalek dan merupakan bagian dari
sederetan pantai di pesisir selatan Pulau
Jawa. Pesisir prigi ini memiliki pelabuhan
perikanan (level Pelabuhan Perikanan
Nusantara/PPN) yang besar selain
Pelabuhan Muncar, Kabupaten Banyuwangi
dan Pelabuhan Sendang Biru, Kabupaten
Malang. Berdasarkan kajian keterkaitan
secara fisik, administratif, ekologi, ekonomi
dan sosial, delineasi wilayah perencanaan
dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
47
Secara fisik wilayah ini terbatasi oleh
guna lahan hutan dan persawahan di
daerah daratan. Sedangkan batas lautan
lebih didominasi oleh batas kewenangan
kabupaten selebar 4 mil dari garis pantai.
Batas ekonomi menunjukkan daerah
pengaruh ekonomi yang lebih luas akan
tetapi jika dihubungkan dengan aspek
sosial, maka daerah sosioekonomi yang
masih bergantung pada lingkungan laut
di pantai prigi hanya pada beberapa
wilayah utama yaitu: Desa Karanggonso,
Desa Prigi dan Desa Karanggandu.
GAP PERENCANAAN
KONVENSIONAL DAN
PERENCANAAN PESISIR
Panduan pada proses perencanaan pesisir
prigi (TOR) ini salah satunya adalah
kedalaman peta yang dibuat adalah 1:5.000.
Dengan asumsi skala tersebut, pada sistem
perencanaan konvensional berarti rencana
detail tata ruang kota. Rencana detail tata
ruang kota memiliki fokus utama bukan
hanya pembagian tipe penggunaan lahan
saja akan tetapi pengaturan ketentuan
bangunan yang meliputi pada ketentuan
KDB (koefisien dasar bangunan, KLB
(koefisien lantai bangunan) dan GSB (garis
sempadan bangunan). Tipe penggunaan
ruang ini pun dirinci lebih detail
dibandingkan pada RTRW. Pada level
RDTRK, Permukiman harus dirinci
berdasarkan kepadatannya (seperti
permukiman kepadatan rendah), fasilitas
harus dirinci pada jenis fasilitasnya (seperti
mesjid, SD, SMP, dll) dan seterusnya[6][21]
.
Walaupun demikian, RDTRK tidak
memiliki fokus pada pengaturan ruang laut.
Tidak ada penjelasan mengenai zona (tipe
pemanfaatan ruang laut) apa saja yang perlu
ada di ruang laut dan sampai sedetail pada
zona tersebut harus ditetapkan. RDTRK juga
tidak membahas pengaturan bangunan yang
ada di ruang laut kecuali pada bangunan
yang ada di bibir pantai saja. Dengan kata
lain, RDTRK mengabaikan UU tata ruang
khusus pada point ruang berada pada 3
matra utama.
Dilain pihak, pada sistem perencanaan
pesisir versi Kepmen DKP no. 10 tahun
2002, level perencanaan untuk rencana
detail ini lebih berada pada jenjang zoning
plan. Hal ini dikarenakan pada level
rencana strategis, wilayah perencanaan
lebih bersifat luas (pada lingkup propinsi
atau kabupaten) dan substansi pun lebih
umum (lebih kepada penentuan strategi).
Sedangkan pada level management plan,
fokus yang lebih diperhatikan adalah
pengelolaan lingkungan pesisir pada isu-isu
tertentu sehingga waktu perencanaannya
tergantung pada ada atau tidaknya isu
tersebut. Secara umum, substansi
management plan ini kurang lebih sama
dengan zoning plan yang memiliki bagian
utama pemintakatan (zoning) dan pedoman
pengelolaan. Management plan dalam
melakukan pedoman pengelolaan memiliki
substansi yang lebih rinci dibandingkan
zoning plan karena isu yang dibahas jauh
lebih spesifik. Untuk action plan,
perencanaan dilakukan lebih mengarah
kepada tindakan apa yang perlu dilakukan
dalam kurun waktu 2-3 tahun. Dalam kata
lain, perencanaan ini lebih kepada
penyusunan program sesuai dengan hasil
perencanaan yang berada di atasnya. Oleh
karennya, Zoning plan ini lebih cocok untuk
dikawinkan dengan RDTRK mengingat
muatan spasial dan pengendalian lebih
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
48
kental dibandingkan level lainnya. 2 muatan
utama ini memiliki benang merah yang sama
dengan ideologi perencanaan konvensional.
Fokus zoning plan ini juga mengatur zona
dan aktivitas yang ada di dalam zona.
Walaupun demikian, kepmen ini tidak
mengatur tipologi zona (atau pun tipe guna
ruang – dalam bahasa sistem perencanaan
konvensional). Tidak adanya tipologi zona
tersebut menyebabkan level kedetailan
perencanaan bersifat mengambang dan
berbeda dengan yang ada di sistem
perencanaan konvensional.
FOKUS PERMASALAHAN
PERENCANAAN
Berdasarkan kajian fakta dan analisa pada
tahap kedua perencanaan, ada beberapa isu
perencanaan yang harus menjadi fokus
pengendalian di pesisir prigi. Isu yang
ditampilkan adalah hanya sebagian saja dan
paling relevan sebagai kasus pada kedua
sistem perencanaan tersebut. Isu tersebut
dikelompokkan pada domain utama dalam
kedua sistem perencanaan (tabel berikut).
Isu pada masing-masing aspek Perencanaan
Pesisir
Perencanaan
Konvensional
1. Aspek fisik dasar:
• Penataan & Reboisasi Kawasan Sempadan Sungai
• Reboisasi Kawasan Perbukitan
• Penanaman Tanaman Leguminosa Secara Strip Eroping
• Penataan Kawasan Permukiman di Sempadan Pantai
2. Aspek Oseanografi dan ekologi
Keberlanjutan upaya rehabilitasi mangrove.
Pengembangan Sistem Kelembagaan Dalam Upaya Rehabilitasi
Mangrove
Penyediaan Bibit Mangrove & Media Pengembangan Terumbu
Karang
Pembangunan Pos Pengawas Lingkungan
3. Aspek pemanfaatan ruang
Pengembangan dan Peningkatan Jaringan Jalan dan Aksesibilitas
Pengembangan Prasaraan dan Sarana Penunjang Industri
Zonasi Kawasan ruang laut
Penataan sistem permukiman pedesaan
Penguatan identitas kawasan
4. Aspek Pengembangan Sektor Perikanan
Pengembangan jenis kapal di atas 30 GT
Pengembangan alat tangkap ikan berupa pancing tonda dan
bagan
Pengembangan dermaga kapal besar di PPN Prigi
Pengembangan docking kapal
Penambahan SPBM untuk nelayan
Pengembangan industri pengolahan ikan
Pengadaan bibit ikan
Pengembangan alat budidaya perikanan laut
Pelestarian kawasan fish sanctuari
Pembinaan kelompok nelayan
Pengembangan dan peningkatan sarana transportasi
5. Aspek pengembangan wisata
• Perbaikan penataan fungsi lahan dan bangunan
• Pengembangan dan peningkatan kualitas jalan kolektor primer
yang menghubungkan ketiga lokasi wisata dengan pusat
kecamatan Watulimo
• Pengembangan moda transportasi menuju ketiga lokasi wisata
dan pembanguanan sub terminal pendukung di kawasan desa
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
49
Tasikmadu
• Pengembangan supply listrik di kawasan Pantai Damas
• Pengembangan sarana bermain anak, show room hasil produksi
pengolahan sumberdaya pesisir
• Pengembangan sarana informasi dan promosi wisata
• Pengembangan atraksi wisata
• Penetapan buffer zone antara kawasan wisata dan kawasan
perikanan
6. Aspek fasilitas pesisir
• Penambahan Fasilitas Pendidikan Berupa 3 TK dan 2 SD
• Penambahan Fasilitas Ibadah Berupa Mushola
• Penambahan Fasilitas Kesehatan Berupa Klinik
Pengobatan/Praktek Dokter
• Pengembangan Fasilitas Perdagangan
• Dermaga Pelabuhan
• TPI
• SPBM Solar
• Cold Storage
• Pabrik Tepung Ikan
• Mercusuar
• Menara Pengawas
7. Aspek Penataan Bangunan
• Regulasi teknis bangunan permukiman
• Penataan sistem permukiman
• Sosialisasi rencana pengelolaan kawasan sempadan pantai
• Penanaman tanaman bakau di pantai yang landai dan berlumpur
atau tanaman keras pada pantai yang terjal/bertebing curam
• Pemeliharaan garis pantai melalui penanaman tanaman pantai
seperti kelapa dan nipah
• Pembangunan tanggul-tanggul pantai/cerucuk pantai/pemecah
gelombang
Jumlah isu yang menjadi titik berat sistem perencanaan 30 31
Sumber: Hasil Analisa data[24][25][26][27]
, pengamatan (2007) dan wawancara (2007)
Jika melihat pada tabel di atas, isu
perencanaan di wilayah pesisir prigi
memiliki proporsi yang relatif sama untuk
kedua sistem perencanaan. Pengelolaan
pesisir dengan menggunakan salah satu
sistem perencanaan akan menimbulkan
kelemahan pada proses perencanaan
pembangunan itu sendiri. Hal menarik
lainnya adalah cakupan sistem perencanaan
pada isu-isu itu dapat dilihat sebagai berikut:
a. Sistem perencanaan pesisir lebih
mengutamakan pada wilayah ruang
laut saja. Pembahasan pada matra
darat hanya berada di wilayah bibir
pantai saja. Hal ini tidak sesuai
dengan konsep delineasi ruang
pesisir sebagai pijakan awal
perencanaan.
b. Sistem perencanaan konvensional
lebih berada pada pengaturan ruang
darat (lahan) dan membahas ruang
laut sebagai dampak saja.
Pengaturan ruang darat ini menjadi
lebih penting karena dampak dari
kegiatan ruang darat dapat
dikendalikan dan atau dipenuhi
dengan baik sehingga ruang laut
dapat dioptimalkan
pengembangannya. Hal ini
sangatlah kontradiktif dibandingkan
dengan pengertian ruang yang harus
dicakup dalam UU Penataan Ruang.
Mengacu pada kondisi isu dan kecakupan
kedua sistem perencanaan di atas, integrasi
kedua sistem tersebut menjadi sangatlah
perlu. Sistem perencanaan pesisir menjadi
penting dalam pembahasan zonasi ruang laut
dan pengembangan aktivitas pemanfaatan
ruang laut yang berlokasi di darat.
Sedangkan sistem perencanaan
konvensional berfungsi dalam pengaturan
ruang darat dalam mendukung nilai
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
50
ekonomi, sosial dan budaya pesisir secara
terintegrasi.
INTEGRASI KEDUA SISTEM
PERENCANAAN
Integrasi kedua sistem perencanaan ini dapat
diasumsikan sebagai upaya
mengkolaborasikan RDTRK dan Zoning
Plan. RDTRK relatif lebih mudah dilakukan
mengingat ketentuan dan aturan rincinya
sudah tertuang di Kepmen PU no. 327.
sedangkan zoning plan masih diperlukan
upaya mencari tipologi pemanfataan ruang
apa yang ada di ruang laut. Dengan
mengakomodasi berbagai macam best
practises[17]
dan arahan berbagai peraturan
terkait dengan aktivitas pemanfaatan ruang
laut, tipologi pemanfaatan ruang laut dibagi
dalam 7 kategori, yaitu:
1. Zona Preservasi, lebih diartikan
sebagai zona tertutup untuk umum,
tidak ada aktivitas pengambilan
sumberdaya yang diijinkan, setiap
aktivitas yang ada di zona ini harus
mendapatkan ijin.
2. Zonas Taman laut, lebih
dimaksudkan untuk zona yang
membatasi secara ketat terhadap
aktivitas pengambilan sumberdaya,
zona ini tidak tertutup tapi lebih
kepada pengaturan secara ketat dan
aktivitas yang diperbolehkan relatif
lebih kepada aktivitas pengamatan
seperti berperahu, berenang,
snorkelling dan berlayar.
3. Zona Riset ilmiah, zona yang
diperuntukkan bagi kegiatan riset
dan pengembangan suatu habitat
tertentu. Pada zona ini, kegiatan
yang tidak berhubungan dengan
riset diperlukan ijin khusus kecuali
berenang, snorkelling, dan diving
(kegiatan yang bersifat pengamatan
saja).
4. Zona Penyangga (Buffer zone),
zona yang difungsikan untuk
kegiatan perlindungan dan
konservasi pada zona di atasnya
(zona 1-3), akan tetapi masih ada
kegiatan publik yang diijinkan yaitu
kegiatan yang bersifat appresiasi
terhadap nilai yang ada di zona 1-3.
5. Zona konservasi, zona ini
melakukan perlindungan dan
konsevasi terhadap suatu
sumberdaya tertentu dan juga
mengizinkan kegiatan pengambilan
sumberdaya dengan tetap
memperhatikan keberlanjutan
(sustainability) dari sumberdaya
tersebut.
6. Zona Perlindungan habitat, zona ini
berupaya melindungi dan mengelola
sumberdaya yang sensitif dan tetap
menjamin sumberdaya tersebut
bebas dari kegiatan umum yang
berpotensi merusak.
7. Zona pemanfaatan umum, zona
yang memberikan ijin untuk semua
kegiatan.
Selain itu, karena zoning plan fokus dalam
pengaturan aktivitas, maka setelah
didefinisikan tipologi zona, kebutuhan
lainnya adalah menentukan jenis aktivitas
apa saja yang kemungkinan ada di pesisir
prigi. Filosofi ini sesuai dengan panduan
regulasi zoning di kawasan perkotaan dari
Departemen PU. Panduan tersebut adalah
mengatur aktivitas apa saja yang boleh
dalam zona berhirarki 5. Berdasarkan hasil
analisa, kegiatan yang ada di pesisir prigi
adalah:
1. Budidaya ikan laut.
2. Penangkapan ikan dengan jaring tarik.
3. Fotografi, menyelam dan berperahu.
4. Memasang Perangkap Ikan
5. Mengambil ikan hias, terumbu karang
dan cacing laut.
6. Mengambil tripang kerang dan lobster.
7. Penangkapan ikan terbatas
8. Penangkapan ikan dengan tombak
(hanya bagi penyelam)
9. Jalur penangkapan ikan.
10. Penangkapan ikan dengan jaring
11. Penelitian ekosistem laut
12. Jalur Pelayaran
13. Pariwisata
14. Pemanfaatan Sumberdaya Laut secara
tradisional
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
51
15. Penangkapan ikan dengan tonda 16. Memancing
Hasil integrasi kedua sistem ini
menghasilkan rencana utama yaitu rencana
penggunaan lahan pada daerah darat yang
dikolaborasikan dengan rencana zonasi di
ruang laut. Kolaborasi ini sangat penting
karena pada saat penentuan keduanya, sifat
interdependensi kedua ekosistem ini menjadi
penentu rencana. Hasil ini dapat dilihat pada
peta di bawah ini:
Gambar 1 Arahan pemanfaatan ruang dan Ketentuan Bangunan di UL 2 dan UL 3
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
52
Gambar 2 Arahan Zoning Plan dan Pengaturan Aktivitasnya di UL 2 dan UL 3
KESIMPULAN
Dari berbagai simulasi integrasi di atas,
indikasi keberhasilan terlihat dari kepuasan
dari pihak DKP karena adanya kesesuaian
antara harapan dan kebutuhan. Beberapa
indikator ini dapat disimpulkan menjadi
usulan point-point penting apa yang harus
ada dalam perencanaan wilayah pesisir yang
mengintegrasikan kedua sistem
perencanaan, yaitu:
1. Adanya pengaturan ruang laut yang
lebih spesifik melalui zona-zona
tertentu.
2. Adanya delineasi zona yang sesuai
dengan kondisi eksisting dan hasil
analisa. Delineasi ini dapat
berdasarkan posisi koordinat
maupun kondisi fisik pesisir (seperti
daerah tanjung atau pun pulau yang
dijadikan patokan batas tertentu)
3. Adanya pengaturan aktivitas
(diijinkan, bersyarat dan tidak
diijinkan) pada masing-masing
zona.
4. Adanya pengaturan zona (tipe
pemanfaatan ruang) yang ada di
daratan. Tipe pemanfaatan ruang ini
cocok pada level RDTRK karena
ada beberapa fasilitas pendukung
aktivitas nelayan yang harus
ditentukan lokasinya seperti: SPBM
Solar, Cold Storage, Mercusuar dan
Menara Pengawas. Kedalaman
pembahasan fasilitas pada masing-
masing jenisnya ini diakomodasi
dalam ketentuan RDTRK.
5. Adanya integrasi antara pengaturan
ruang darat dan laut dalam satu
persepsi ekosistem. Hal ini terlihat
dari adanya pengendalian
permukiman di dusun Karanggandu
sebagai upaya minimasi dampak
erosi terhadap bibir pantai.
6. Adanya upaya perbaikan sistem
pendukung untuk berbagai aktivitas
utama. Pada kasus ini, aktivitas
utama yang ingin dibangun adalah
pemanfaatan hasil laut, perkebunan
dan kegiatan wisata. Rencana ini
harus dapat menjelaskan posisi dari
masing-masing pusat terkait dengan
pengembangan aktivitas ekonomi
tersebut. Pusat-pusat ini
diklasifikasikan menjadi Pusat
Sumber Daya – Pusat Koleksi –
Pusat Produksi – Pusat Distribusi
dan Pusat Konsumsi. Fokus
program meliputi pada dua tipe
yaitu: program pengembangan
jaringan (interkoneksi) antar pusat
dan program pengembangan kinerja
di masing-masing pusat.
7. Adanya upaya membentuk karakter
kawasan sehingga image (wajah)
kawasan dapat dinikmati oleh warga
dan pengunjung. Pembentukan
karakter kawasan ini dapat
dilakukan dengan mengadopsi
konsep urban architecture seperti
landmark, pathways, nodes, urban
gates dan urban walls.
BAHAN BACAAN
[1] Bernard, E.N.; (Eds.). (1991)
Tsunami Hazard: A Practical
Guide for Tsunami Hazard
Reduction, The Netherlands,
Kluwer Academic Publisher.
[2] Bird E.C.F., and Ongkosongo
O.S.R., (1980). Environment
Changes on the Coasts of
Indonesia, The United Nations
University,
http://www.unu.edu/unupress/un
upbooks/80197e/80197E00.htm
(Accessed on March 21, 2006 )
[3] Cowell P.J., and Thom B.G.,
(1994) Morphodynamics of
Coastal Evolution. In R.W.G.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
53
Carter and C.D. Woodroffe (eds),
Coastal Evolution, Cambridge
University Press.
[4] Etkin D., and Stefanovic I. L.,
(2005). Mitigating Natural
Disaster: The Role of Eco-Ethics,
Journal of Mitigation and
Adaptation Strategies for Global
Change, Vol 10: 467-490.
[5] Dahuri et al. (2001) Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Pradnya
Paramita. Jakarta
[6] De Chiara J., and Koppelman
L.E., (1978) Site Planning
Standard, Mc Graw–Hill.
[7] Farreras S.F., and Sanchez A.J.,
(1991) The Tsunami Threat on
the Mexican West Coast: A
Historical Analysis and
Recommendation for Hazard
Mitigation, Journal of Natural
hazards, volume 4, pp. 301-316.
[8] Godschalk D., Norton R.,
Rischardson C., and Salvesen D.,
(2000) Avoiding Coastal Hazard
Areas: Best State Mitigation
Practices, Journal of
Environment Geosciences,
Volume 7, Number 1, 13-22.
[9] Guilcher A., (1988), Coral Reef
Geomorphology, John Wiley and
Sons.
[10] Kay R., and Alder J.,
(2005) Coastal Planning and
Management, Taylor and Francis.
[11] Masselink G. and Hughes
M. G., (2003) Introduction to
Coastal Processes and
Geomorphology, Oxford
University Press Inc.
[12] Pamungkas A., (2007)
Feasibility Assessment of
Coastal Disaster Mitigation
Techniques: Application in the
Indonesian Context, Minor
Thesis at University of
Queensland – Australia.
[13] Saad S., (07 September
2005) DKP Targetkan Kurangi
Penduduk Miskin Pesisir, Koran
Republika.
http://www.republika.co.id/koran
_detail.asp?id=212259&kat_id=1
22 (Accessed on March 25,
2006)
[14] Suparmoko M., (1997)
Ekonomi Sumberdaya Alam dan
Lingkungan: Suatu Pendekatan
Teoritis, BPFE-Yogyakarta.
[15] Weichselgartner J.,
(2001). Disaster Mitigation: The
Concept of Vulnerability
Revisited, Journal of Disaster
Prevention and Management,
Vol. 10, Number 2, pp. 85-94.
[16] Woodroffe C. D., (2002)
Coast: Form, Process and
Evolution, Cambridge University
Press.
[17] _________, Introductory
Guide to the Great Barrier Reef
Marine Park – Cairns/Cooktown,
Environmental Protection
Agency, Queensland Parks and
Wildlife Services, Queensland
Government – Australia.
[18] _________, Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
[19] _________, Undang-
Undang No. 27 tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir.
[20] _________, Undang-
Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
[21] _________, Keputusan
Menteri Kimpraswil no
327/KTPS/M/2002 Tentang
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
54
Pedoman penyusunan rencana di
kawasan perkotaan.
[22] _________, Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 10 Tahun 2002 Tentang
Penentapan enam pedoman
bidang penataan ruang Lampiran
V.
[23] __________, Peraturan
Menteri Kelautan Dan Perikanan
No. 16 tahun 2006 Tentang
Pelabuhan Perikanan.
[24] _________, (n.d) Draft
Rencana Tata Ruang Laut
Kabupaten Trenggalek.
[25] __________, 2006.
Rencana Tata Ruang Propinsi
Jawa Timur. Buku Rencana.
Pemerintah Propinsi Jawa Timur.
[26] Berbagai produk
perencanaan detail di Kawasan
PPN Prigi, Kawasan Pantai
Bengkorok dan Kawasan Pantai
Damas.
[27] Berbagai data di Desa
Prigi dan Desa Karanggandu
seperti monografi atau pun
pencatatan publik lainnya.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
55
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
56
KAJIAN KUALITAS AIR DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN
BOJONEGARA, TELUK BANTEN SERANG
(Study of Water quality and Plankton abundance at Bojonegara Waters, Banten Bay
Serang)
Oleh
Moch Farchan, Agung Darma Sty., , Sinung Rahardjo, Dadan Zulkifli
ABSTRACT
Industrial cesspool and domestic waste which empty to Banten Bay have great
effects of the changing of the waters environmental quality, especially closed to
banishment centers. The industry activities located at western part of Banten Bay consist
of Batu Alam Makmur Mining industry, Suralaya Electrical Steam Power, Polychem
Company producing raw material of plastic, Golden Key Group Company, Guna
Nusantara Company working on offshore drilling, Palwa Dockyard, and Bermia
Company which works for sugar refining. Plankton is a prominent food chain in a
waters ecosystem. Therefore, its existence has great influence to others organisms. The
important role of microorganism of phytoplankton is the ability to make photosynthesis
and shape an organic compound from inorganic compound. Plankton is able to live and
breed well if the condition of waters is suitable with its physiology and biology
conditions. For the reason, the changing of waters condition will affect the plankton
community structure. Then, the plankton community structure can be used as an indicator
of environmental waters quality. The result of study showed that Physical and Chemical
parameter for temperature is 29.22°C, salinity (31.31 ppt), pH (8.02), DO (6.32 mg/l),
brightness (3.92 m), current wave (6.19 cm/second). The abundance of phytoplankton is
6.967inc/l. It indicated that the fertility level of Western part of Banten bay is
high. Index value of diversity is in the range of 1.57 showing that community stability is
moderate which means the community condition being able to be changed by
environment impact is small relatively. Index value of similarity is in the range of 0.21
showing the diversity between species in a community is low, it means that the wealth of
individual possessed by each species extremely difference. Index value of dominance is
in the range of 0.26 close on 0 (zero) showing that there is not dominance of a species to
another species in a structure of community.
Key words: plankton abundance, diversity index, similarity index, dominance index
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perairan Teluk Banten Bagian
Barat tidak pernah lepas dari masalah
pencemaran. Faktor terpenting dalam
permasalahan ini adalah besarnya
populasi manusia (laju pertambahan
penduduk). Laju pertambahan penduduk
yang tinggi maka kebutuhan pangan,
bahan bakar, pemukiman dan yang lain
juga meningkat, sehingga menyebabkan
peningkatan limbah domestik maupun
limbah industri. Pada akhirnya limbah
tersebut akan bermuara ke laut sebagai
tempat pembuangan terakhir. Limbah
industri dan limbah domestik yang
bermuara ke laut mengakibatkan
terjadinya perubahan yang cukup besar
pada kualitas lingkungan perairan,
terutama yang dekat dengan sumber-
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
57
sumber pembuangan (Hosoya dan
Muchari, 1986) . Kegiatan industri yang
terdapat di sekitar perairan Bagian Barat
Teluk Banten, diantaranya yaitu
Penambangan Batu Alam Makmur
(BAM), PLTU Suralaya, PT. Polychem
yang memproduksi bahan baku plastik,
PT. Golden Key Group, PT. Guna
Nusantara yang bergerak dibidang
pengeboran lepas pantai, Galangan kapal
Palwa dan PT. Bermis yang bergerak
dibidang rafinasi gula (Mayunar et al,
1995).
Plankton merupakan mata rantai
makanan utama dalam sebuah ekosistem
perairan, sehingga keberadaannya dalam
suatu perairan sangat berpengaruh
terhadap keberadaan organisme-
organisme lainnya (Basmi, 2000). Peran
penting fitoplankton renik adalah
kemampuannya untuk melakukan
fotosintesis, yakni suatu proses yang
dapat menyadap energi surya dan
membentuk senyawa organik dari
senyawa inorganik. Senyawa organik ini
merupakan sumber energi yang
diperlukan oleh semua jasad hidup untuk
berbagai kegiatannya termasuk untuk
reproduksi (Nonjti, 2006) . Plankton
hanya dapat hidup dan berkembang biak
dengan baik pada kondisi perairan yang
cocok dengan keadaan fisiologis dan
biologisnya. Oleh sebab itu, perubahan
kondisi perairan dapat mempengaruhi
struktur komunitas plankton, dengan
demikian struktur komunitas plankton
juga dapat dipakai sebagai indikator
kualitas lingkungan suatu perairan
(Basmi, 2000). Perairan Teluk Banten
dengan skala efektifitas yang
mempengaruhinya mulai dari industri,
kegiatan domestik, pelabuhan dan lain-
lain sangat erat kaitannya mempengaruhi
kualitas perairannya.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan
dapat dicapai dalam penelitian ini
adalah :
a. Mengetahui kualitas perairan
Teluk Banten Barat
(Bojonegara), Serang
berdasarkan nilai beberapa
parameter fisika dan kimia.
b. Mengetahui distribusi dan
kelimpahan plankton di
Perairan Teluk Banten Barat
(Bojonegara), Serang.
1.3 Batasan Masalah
Pokok bahasan dibatasi mengenai
pengamatan kelimpahan fitoplankton,
termaksud di dalamnya perhitungan
indeks keragaman, keseragaman dan
dominansi jenis fitoplankton di perairan
Teluk Banten Barat (Bojonegara),
Serang serta parameter fisika dan kimia
perairan tersebut.
2. MATERI DAN METODA
2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada
tanggal 1 Maret 2007 sampai dengan 28
Mei 2007 dengan mengambil lokasi di
perairan Teluk Banten Barat yang
merupakan wilayah Kecamatan
Bojonegara, Kabupaten Serang, Propinsi
Banten. Analisis sampel air dilakukan
secara insitu dan identifikasi plankton
dilakukan di Laboratorium biologi
BAPPL-STP, Serang
2.2 Alat dan Bahan
2.2.1Alat
Peralatan yang digunakan antara
lain seperti tabel dibawah ini
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam
pengamatan kualitas air N
o
Alat Spesifi
kasi
Kegunaan Ju
mla
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
58
h
1 Kertas
lakmus
Lakmu
s paper
Untuk
mengukur nilai
pH
2 Secchi
disk
P. Tali
= 10 m
D = 30
cm
Untuk
mengukur
tingkat
kecerahan suatu
perairan
1
bua
h
3 Therm
ometer
Therm
ometer
Hg
Untuk
mengukur nilai
suhu dalam
suatu perairan
1
bua
h
4 GPS Garmi
n
Untuk
menentukan
posisi
1
bua
h
5 Refrakt
ometer
Atago Untuk
mengukur nilai
salinitas suatu
perairan
1
bua
h
6 Plankt
onet
Mesh
size 23
µm
Menyaring
plankton
1
bua
h
7 Mikros
kop
Pembe
saran
10 x
10
Mengamati
palnkton
1
bua
h
8 Buku
identifi
kasi
plankto
n
Davis
(1955)
G, W.
Presco
tt
(1951)
Membandingka
n/mencocokkan
plankton
2.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan antara lain
seperti tabel dibawah ini
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam
pengamatan kualitas air
N
o
Bahan Spesifikas
i
Kegunaan
1 Formali
n
Kepekatan
4 %
Untuk
mengawetka
n air sampel
2 Larutan
Winkler
500 g
NaOH
35 g NaI
10 g NaN3
500 ml
Aquades
Mengikat
Oksigen
terlarut yang
terdapat
dalam botol
sampel
3 KI 5% Untuk
mengawetka
n sampel
plankton
3. METODA ANALISIS
3.1 Kelimpahan plankton
Metode menghitung
Kelimpahan plankton menggunakan
persamaan „Lackey Drop
mikrotransect Counting
3.2 Indeks keragaman penentuan untuk keragaman (H‟)
plankton dilakukan dengan
menggunakan pesamaan Shannon-
Wiever. perhitungan ini dimaksudkan
untuk mengetahui bagaimana keragaman
atau komposisi dari suatu plankton
spesies. Persamaan indeks keragaman
adalah sebagai berikut (Basmi, 1991) :
Keterangan :
H‟ : Indeks keragaman
Shannon-Wiever
Pi : ni/N
ni : Jumlah total individu
pada spesies ke i
N : Jumlah total individu
dalam komunitas
Dengan ketentuan :
H‟< 1 : berarti
komunitas dalam kondisi
tidak stabil
H‟ = 1-3 : berarti
komunitas dalam kondisi
moderat
H‟ > 3 : berarti kominitas
dalam kondisi stabil
3.3 Indeks keseragaman Indeks keseragaman spesies (E)
ditentukan untuk melihat berapa
besarnya jumlah individu/sel yamng
dimiliki oleh masing-masing spesies.
H‟ = - ∑ Pi ln Pi
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
59
Formulasi indeks keseragaman (Odum,
1971) adalah sebagai berikut :
Keterangan :
E : Indeks
keseragaman
H‟ : Indeks
keragaman Shannon-Wiever
H max : ln S
S : Jumlah spesies
Dengan ketentuan :
E – 0 : ada dominasi
spesies tertentu
E – 1 : jumlah individu
masing-masing tidak jauh
beda
3.4.4 Indeks dominasi Indeks dominasi diperoleh
dengan menggunakan formulasi
dominasi (Simpson 1945 dalam Odum
1971) sebagai berikut :
Keterangan :
C : indeks Dominasi
Pi : ni/N
ni : Jumlah individu jenis ke
i
N : Jumlah total individu
Dengan ketentuan :
C – 0 atau C < 0,5 : Tidak
ada jenis yang mendominasi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Suhu
Nilai suhu di Perairan Bagian
Barat Teluk Banten selama penelitian
antara 28 – 29,8 0C.
Gambar 1. Grafik sebaran suhu di
stasiun A
Dari nilai suhu masing-masing
kedalaman terlihat bahwa suhu air pada
stasiun A secara keseluruhan adalah
menurun sejalan dengan tingkat
kedalaman perairan dan tidak ditemui
adanya daerah termoklin (stratifikasi)
Hal ini dikarenakan intensitas radiasi
sinar matahari yang menembus perairan
menurun sejalan dengan tingkat
kedalaman perairan. Sehingga
mengakibatkan suhu di permukaan lebih
tinggi daripada suhu pada kedalaman
tertentu.
4.2 Salinitas
Salinitas perairan di Bagian Barat
Teluk Banten selama penelitian antara
28,5 – 34 ppt. Odum (1971) dalam Dini
(2003) mengatakan bahwa perairan laut
mempunyai salinitas yang stabil dan
relatif tinggi dengan antara 34-35 ‰.
Nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh
penguapan yang terjadi pada suatu
perairan sehingga nilai salinitas pada
waktu siang hari lebih tinggi bila
dibandingkan dengan nilai salinitas pagi
hari. Sebaran salinitas di laut
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pola sirkulasi air, penguapan, curah
hujan dan aliran sungai (Nontji, 1987).
4.3 Oksigen Terlarut
Kandungan oksigen terlarut (DO)
pada perairan Bagian Barat Teluk
20
22
24
26
28
30
32
1 2 3 4 5 6
Pengamatan Ke-
Su
hu
(0C
)
Permukaan
Kedalaman 4 m
Kedalaman 8 m
H‟
E = --------------
H max
C = ∑ (Pi)2 = ∑ (ni
2/N)
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
60
Banten antara 4,2 – 8,7 mg/l.. Kisaran
nilai oksigen terlarut yang didapatkan di
perairan Teluk Banten Bagian Barat
masih dapat dikatakan baik bagi
perairan, hal ini sesuai dengan
pernyataan Hadie dan Supriatna, 2000
bahwa oksigen cukup baik bila
terkandung dalam air sebanyak 5,2-8,2
mg/lt.
4.4 Derajat Keasaman (pH)
Nilai kisaran pH yang didapat dari
perairan Bagian Barat Teluk Banten
selama penelitian antara 7,6 – 8,4. Nilai
pH dikalangan perikanan biasa
digunakan untuk gambaran tentang daya
produksi potensial air akan mineral,
yang menjadi pokok pangkal segala
macam hasil perairan (Soesono,1987)
dalam (Setiawibawa, 1992). Di
lingkungan laut pH relatif stabil dan
umumnya berada dalam kisaran 7,5 – 8,4
(Nybakken, 1988). Nilai ini sama dengan
kisaran nilai pH pada saat diadakan
pengamatan di perairan bagian barat
Teluk Banten.
Effendi (2003), berpendapat
bahwa pada nilai pH 6,0-6,5 pada suatu
perairan memiliki pengaruh umum
terhadap komunitas biologi perairan
yang berupa sedikit menurunnya
keanekaragaman plankton dan benthos,
serta kelimpahan total, biomassa dan
produktivitas tidak mengalami
perubahan. Dari pernyataan tersebut
maka dapat diketahui penyebab
keanekaragaman plankton pada di
perairan bagian barat Teluk Banten
adalah nilai pH yang mencapai 8,4.
4.5 Kecerahan
Nilai kecerahan yang diukur
dengan keping secchi di perairan Bagian
Barat Teluk Banten selama penelitian
diperoleh nilai antara 2,5 – 5 m. Berikut
di bawah ini disajikan Grafik seberan
kecerahan .
Gambar 2. Grafik sebaran Kecerahan
selama pengamatan Maret sampai Mei
2007
Nilai kecerahan yang diukur
keping secchi di stasiun A pada bulan
Maret sampai Mei 2007 dengan 6 kali
pengulangan diperoleh nilai antara 3 –
3,5 m dengan nilai rata-rata sebesar 3,08
m, stasiun B pada diperoleh nilai antara
4 – 5 m dengan nilai rata-rata sebesar 4,5
m, stasiun C diperoleh nilai antara 4 – 5
dengan rata-rata sebesar 4,92 m, stasiun
D diperoleh nilai antara 4,5 - 5 dengan
nilai rata-rata 4,75 m, stasiun E
diperoleh nilai antara 2,5 – 3,5 m dengan
nilai rata-rata sebesar 3,08 m, stasiun F
diperoleh nilai antara 3 – 3,5 m dengan
nilai rata-rata sebesar 3,17 m.
Pada gambar di atas nilai
kecerahan untuk stasiun A,E dan F
cenderung lebih kecil, hal ini
dikarenakan stasiun tersebut letaknya
dekat dengan pantai, sehingga pengaruh
dari daratan sangat besar.
Menurut Henderson (1987)
dalam Dini (2003) kecerahan keping
secchi lebih kecil dari 3m maka perairan
yang bersangkutan adalah tipe perairan
eutropik (subur), antara 3 – 6 m adalah
tipe mesotropik (kesuburan sedang) dan
lebih besar dari 6m digolongkan
kedalam perairan oligotropik (miskin).
Perairan Bagian Barat Teluk Banten
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6
Pengamatan Ke-
Kecera
han
(m
)
Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
Stasiun D
Stasiun E
Stasiun F
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
61
merupakan perairan miskin dilihat dari
kecerahannya yang melebihi 6 m
4.6 Kecepatan Arus
Berdasarkan hasil pengukuran
kecepatan arus di perairan Bagian Barat
Teluk Banten diperoleh nilai kecepatan
arus berkisar antara 4,5 - 8 cm/dtk,
sedangkan kecepatan arus rata-rata 6,19
cm/dtk. Berikut di bawah ini disajikan
Gambar kecepatan arus perairan Bagian
Barat Teluk Banten secara keseluruhan 6
stasiun pengamatan.
Gambar 3. Grafik sebaran Kecerahan selama pengamatan Maret sampai Mei 2007
Nilai kecepatan arus yang diukur
window shade droque A diperoleh nilai
antara 5 – 7 cm/dtk dengan rata-rata
sebesar 6,17 cm/dtk, stasiun B diperoleh
nilai antara 4,5 – 6 cm/dtk dengan nilai
rata-rata sebesar 5,42 cm/dtk, stasiun C
diperoleh nilai antara 5 – 7 cm/dtk
dengan nilai rata-rata sebesar 6,08
cm/dtk, stasiun diperoleh nilai antara 6 –
8 cm/dtk dengan nilai rata-rata sebesar
6,5 cm/dtk, stasiun D diperoleh nilai
antara 6 – 8 cm/dtk dengan nilai rata-rata
sebesar 6,5 cm/dtk, stasiun E diperoleh
nilai antara 6 – 8 cm/dtk dengan nilai
rata-rata sebesar 7 cm/dtk, stasiun F
diperoleh nilai antara 5 – 7 cm/dtk
dengan nilai rata-rata sebesar 6 cm/dtk.
Berdasarkan hasil pengamatan
arah arus umumnya bergerak ke barat
laut, yaitu dari arah selatan (pesisir
Teluk Banten) menuju ke arah utara
melewati bagian selatan pulau panjang
dengan kecepatan 4,5 – 8 cm/detik
dengan rata – rata 6,19 cm/detik.
Pada saat dilakukan pengamatan
kecepatan arus relatif rendah atau lemah,
hal ini dipengaruhi oleh musim pada saat
itu yakni musim peralihan. Sesuai
dengan yang dikatakan oleh Wyrtki
(1961) dalam Dini (2003) bahwa
kecepatan arus tertinggi yang terjadi di
Teluk Banten adalah pada bulan Agustus
dan Desember. Dimana pada bulan itu
terjadi musim timur dan musim barat.
Sedangkan arus lemah dan berubah-ubah
terjadi pada saat peralihan musim yaitu
pada bulan Maret, April, Mei,
September, Oktober dan November.
4.7 FITOPLANKTON
4.7.1 Kelimpahan
Pada pengamatan I yang
dilakukan pada tanggal 21 Maret 2007
dijumpai 5 klas fitoplankton (36 jenis).
Cyanophyta (6 jenis) memiliki
kelimpahan terbesar dengan kelimpahan
berkisar antara 1500 – 5800 ind/l. Pada
klas ini Microcystis Sp kelimpahannya
berkisar antara 300 – 2100 ind/l. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar
4.
0
2
4
6
8
10
1 2 3 4 5 6
Pangamatan Ke-
Kecep
ata
n A
rus
(cm
/dtk
) Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
Satsiun D
Stasiun E
Stasiun F
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
62
Gambar 4. Kelimpahan Fitoplankton pada pengamatan I
Pada pengamatan II dijumpai 5
kelas fitoplankton (33 jenis).
Chaetoceros Sp memiliki kelimpahan
terbesar dengan nilai berkisar 300 –
3300 ind/l Klas Bacillariaceae dijumpai
pada setiap stasiun dengan kelimpahan
berkisar antara 3300 – 6000 ind/l.
Cyanophyta dengan kelimpahan berkisar
antara 300 – 2400 ind/l dijumpai pada
setiap stasiun. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 39.
Gambar 5. Kelimpahan fitoplankton pada pengamatan II
Pada pengamatan III dijumpai 5
kelas fitoplankton (30 jenis).
Chaetoceros Sp memiliki kelimpahan
terbesar dengan nilai berkisar 300 –
3600 ind/l. Klas Bacillariaceae dijumpai
pada setiap stasiun dengan kelimpahan
berkisar antara 3600 – 7500 ind/l.
Cyanophyta dengan kelimpahan berkisar
antara 900 – 3000 ind/l dijumpai pada
setiap stasiun. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 40.
30%
30%
13%
10%
17%
Cyanophyta
Bacillariaceae
Clorophyta
Mastigophora
Dinoflagellata
18%
43%
12%
3%
24%
Cyanophyta
Bacillariaceae
Clorophyta
Mastigophora
Dinoflagellata
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
63
Gambar 6. Kelimpahan fitoplankton pada pengamatan III
Menurut Wetzel (1975) dalam
Dini (2003) perairan dengan kelimpahan
lebih dari 4500 ind/l merupakan perairan
dengan tingkat kesuburan yang tinggi,
dari pernyataan tersebut dapat dikatakan
bahwa perairan Bagian Barat Teluk
Banten memiliki tingkat kesuburan yang
tinggi.
4.7.2 Indeks Keragaman
Nilai indeks keragaman di
stasiun A pada pengamatan I berkisar
antara 0,726 – 1,489, pada pengamatan
II berkisar antara 1,887 – 2,256, pada
pengamatan III berkisar antara 1,272 –
1,829. Nilai indeks keragaman di
stasiun B pada pengamatan
I berkisar antara 1,167 – 1,847, pada
pengamatan II berkisar antara 1,473 –
1,796, pada pengamatan III berkisar
antara 1,040 – 1,749. Nilai indeks
keragaman di stasiun C pada
pengamatan I berkisar antara 1,437 –
2,157, pada pengamatan II berkisar
antara 1,243 – 1,779, pada pengamatan
III berkisar antara 1,321 – 2,092. Nilai
indeks keragaman di stasiun D pada
pengamatan I berkisar antara 1,746 –
2,486, pada pengamatan II berkisar
antara 1,772 – 1,947, pada pengamatan
III berkisar antara 0,797 – 1,386. Nilai
indeks keragaman di stasiun E pada
pengamatan I berkisar antara 1,119 –
1,681, pada pengamatan II berkisar
antara 1,582 – 1,998 pada pengamatan
III berkisar antara 1,090 – 1,765. Nilai
indeks keragaman di stasiun F pada
pengamatan I berkisar antara 1,128 –
1,550, pada pengamatan II berkisar
antara 0,950 – 1,769, pada pengamatan
III berkisar antara 1,241 – 1,609. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Indeks Keragaman pada pengamatan Bulan Maret sampai Mei 2007
Stasiun Pengamatan Indek Keragaman
17%
17%
19%
25%
22%
Cyanophyta
Bacillariaceae
Clorophyta
Mastigophora
Dinoflagellata
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
64
Ke- Permukaan kedalaman 3 m kedalaman 6 m
A
I 1,489 1,149 0,726
II 1,887 2,063 2,256
III 1,272 1,829 1,272
B
I 1,847 1,681 1,167
II 1,796 1,473 1,562
III 1,476 1,749 1,040
C
I 1,437 2,157 1,703
II 1,779 1,243 1,749
III 1,714 2,092 1,321
D
I 1,746 2,486 2,025
II 1,947 1,920 1,772
III 1,271 1,386 0,797
E
I 1,119 1,466 1,681
II 1,888 1,582 1,998
III 1,765 1,090 1,581
F
I 1,128 1,332 1,550
II 1,332 0,950 1,769
III 1,609 1,494 1,241
Dari Tabel di atas nilai H‟ 1 – 3
ini berarti komunitas tersebut berada
dalam kondisi moderat, hal ini
menunjukkan bahwa komunitas yang
mudah berubah hanya dengan perubahan
lingkungan yang relatif kecil.
4.7.3 Indeks Keseragaman Nilai indeks keseragaman di
stasiun A pada pengamatan I berkisar
antara 0,090 – 0,177, pada pengamatan
II berkisar antara 0,236 – 0,275, pada
pengamatan III berkisar antara 0,163 –
0,221. Nilai indeks keseragaman di
stasiun B pada pengamatan I berkisar
antara 0,136 – 0,208, pada pengamatan
II berkisar antara 0,201 –0,208, pada
pengamatan III berkisar antara 0,147 –
0,229. Nilai indeks keseragaman di
stasiun C pada pengamatan I berkisar
antara 0,174 – 0,256, pada pengamatan
II berkisar antara 0,166 – 0,229, pada
pengamatan III berkisar antara 0,170 –
0,255. Nilai indeks keseragaman di
stasiun D pada pengamatan I berkisar
antara 0,213 – 0,298, pada pengamatan
II berkisar antara 0,209 – 0,255, pada
pengamatan III berkisar antara 0,104 –
0,196. Nilai indeks keseragaman di
stasiun E pada pengamatan I berkisar
antara 0,130 – 0,174, pada pengamatan
II berkisar antara 0,193 – 0,239, pada
pengamatan III berkisar antara 0,135 –
0,235. Nilai indeks keseragaman di
stasiun F pada pengamatan I berkisar
antara 0,133 – 0,203, pada pengamatan
II berkisar antara 0,130 – 0,218, pada
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
65
pengamatan III berkisar antara 0,155 –
0,220. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Indeks Keseragaman pada pengamatan Bulan Maret sampai Mei 2007
Stasiun Pengamatan
Ke-
Indek Keseragaman
permukaan kedalaman 3 m kedalaman 6 m
A
I 0,177 0,145 0,090
II 0,236 0,275 0,282
III 0,166 0,221 0,163
B
I 0,228 0,201 0,136
II 0,205 0,201 0,208
III 0,193 0,229 0,147
C
I 0,174 0,256 0,200
II 0,215 0,166 0,229
III 0,202 0,255 0,170
D
I 0,213 0,298 0,253
II 0,255 0,243 0,209
III 0146 0,196 0,104
E
I 0,130 0,134 0,174
II 0,239 0,193 0,236
III 0,235 0,135 0,201
F
I 0,133 0,182 0.203
II 0,182 0,130 0.218
III 0,220 0,192 0.155
Nilai indeks keseragaman pada
perairan Teluk Banten selama praktek
didapatkan nilai mendekati nol berarti
keseragaman antar spesies dalam
komunitas adalah rendah, yang
mencerminkan kekayaan individu yang
dimiliki masing – masing spesies sangat
jauh berbeda.
4.7.4 Indeks Dominansi Nilai indeks dominansi di stasiun
A pada pengamatan I berkisar antara
0,234 – 0,383, pada pengamatan II
berkisar antara 0,151 – 0,612, pada
pengamatan III berkisar antara 0,072 –
0,273. Nilai indeks dominansi di stasiun
B pada pengamatan I berkisar antara
0,726 – 1,489, pada pengamatan II
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
66
berkisar antara 0,091 – 0,298, pada
pengamatan III berkisar antara 0,184 –
0,375. Nilai indeks dominansi di stasiun
C pada pengamatan I berkisar antara
0,138 – 0,271, pada pengamatan II
berkisar antara 0,184 – 0,334, pada
pengamatan III berkisar antara 0,139 –
0,368. Nilai indeks dominansi di stasiun
D pada pengamatan I berkisar antara
0,117 – 0,208, pada pengamatan II
berkisar antara 0,143 – 0,222, pada
pengamatan III berkisar antara 0,251 –
0,551. Nilai indeks dominansi di stasiun
E pada pengamatan I berkisar antara
0,236 – 0,432, pada pengamatan II
berkisar antara 0,161 – 0,251, pada
pengamatan III berkisar antara 0,209 –
0,584. Nilai indeks dominansi di stasiun
F pada pengamatan I berkisar antara
0,225 – 0,493, pada pengamatan II
berkisar antara 0,207 – 0,441, pada
pengamatan III antara 0,251 – 0,211.
Tabel 5. Indeks dominansi pada pengamatan Bulan Maret sampai Mei 2007
Stasiun Pengamatan
Ke-
Indek Dominansi
permukaan kedalaman 3 m kedalaman 6 m
A
I 0,289 0,383 0,234
II 0,160 0,612 0,151
III 0,205 0,273 0,072
B
I 0,174 0,236 0,421
II 0,298 0,091 0,222
III 0,266 0,184 0,375
C
I 0,271 0,138 0,141
II 0,196 0,334 0,184
III 0,368 0,139 0,281
D
I 0,208 0,117 0,141
II 0,143 0,222 0,221
III 0,411 0,251 0,551
E
I 0,432 0.306 0,236
II 0,161 0,251 0,164
III 0,584 0,341 0,209
F
I 0,493 0,281 0,225
II 0,281 0,441 0,207
III 0,211 0,251 0,251
Dari Tabel di atas ternyata indeks
dominansi pada perairan Bagian Barat
Teluk Banten selama praktek didapatkan
nilai mendekati nol, berarti di dalam
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
67
struktur komunitas biota tidak terdapat
yang secara ekstrim mendominasi
spesies lain, hal ini menunjukkan bahwa
kondisi struktur komunitas dalam
keadaan stabil, kondisi lingkungan
cukup prima dan tidak terjadi tekanan
ekologi (stres) terhadap biota di habitat
bersangkutan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kelimpahan fitoplankton dengan
nilai rata-rata 56.967 ind/l
menunjukkan bahwa perairan
tersebut mempunyai tingkat
kesuburan yang tinggi.
2. Nilai indeks keragaman dengan
rata-rata sebesar 1,57 yang
berarti stabilitas komonitas
adalah moderat.
3. Nilai indeks keseragaman dengan
rata-rata 0,21 yang berarti
keseragaman antar spesies di
dalam suatu komunitas adalah
rendah.
4. Nilai Indeks dominasi dengan
rata-rata sebesar 0,26 atau
mendekati nol, berarti didalam
struktur komunitas tidak
dijumpai spesies yang
mendominasi spesies lain.
5.2 Saran
1. Perlu dillakukan monitoring
terhadap kualitas perairan secara
rutin yang mewakili seluruh
kondisi perairan dengan rentang
waktu pengamatan lebih lama,
dan jumlah stasiun lebih banyak,
sehingga setiap perubahan selalu
terpantau.
2. Perlu menjaga kualitas air
perairan Teluk Banten Bagian
Barat dari pencemaran baik dari
limbah industri maupun domestik
agar untuk kehidupan biota di
dalamnya. Untuk itu diperlukan
juga peran serta stakeholder yang
peduli dan memanfaatkan Teluk
Banten.
DAFTAR PUSTAKA
Badjoeri, M. 2000. Komunitas Plankton
Pada Perairan Tambak
Udang Di Wilayah
Serang, Banten.
Puslitbang Limnologi-
LIPI, Cibinong.
Basmi, 1988. Perkembangan Komunitas
Fitoplankton Sebagai
Indikasi Perubahan
Tingkat Kesuburan
Kualitas Perairan.
Tesis . Fakultas Pasca
Sarjana IPB. Bogor
______,1991. Fitoplankton Sebagai
Indikator Biologis
Lingkungan Perairan.
Fakultas Perikanan.
IPB, Bogor.
, 2000. Planktonologi,
Plankton Sebagai
Bioindikator Kualitas
Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut
Pertanian Bogor.
Dini, M. 2003. Kualitas Perairan dan
Hubungannya dengan
Struktur Komunitas
Plankton Di Perairan
Bojonegara, Teluk
Banten. Fakultas
Perikanan dan Ilmu
Kelautan. IPB Bogor.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
68
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air.
Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Mayunar, A. Ismail, dan B.E. Purwanto.
1995. Kondisi perairan
Teluk Banten ditinjau
dari beberapa
parameter fisika, kimia
serta kaitannya dengan
kegiatan budidaya .
Prosiding Seminar
Sehari hasil penelitian
Sub Balai Penelitian
Perikanan Budidaya
pantai Bojonegara,
Serang, Jawa Barat.
Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di
Muka Bumi Ini Tanpa
Keberadaan Plankton.
Pusat Oceanologi. LIPI
Jakarta.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi laut Suatu
Pendekatan Ekologis
(terjemahan H.
Muhammad eidman
dkk). PT.Gramedia.
Jakarta
Odum, E.P. 1971. Fundamental
Ecology. WB Saunders
Co. Philadelphia and
London.
Setiawibawa, A. 1993 Kualitas Air dan
Kelimpahan Plankton
di Perairan Pantai
Zona Industri Krakatau
Steel, Cilegon Jawa
Barat pada Musim
Barat. Fakultas
Perikanan dan Ilmu
Kelautan. IPB Bogor.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
69
Sumber: Peta rupabumi digital Indonesia (BAKOSURTANAL, 1999)
No Simbol Keterangan
Letak Geografis
LS BT
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Stasiun A
Stasiun B
Stasiun C
Stasiun D
Stasiun E
Stasiun F
05°98‟19.1
‟‟
05°98‟11.6
‟‟
05°97‟50.4
‟‟
05°95‟80.6
‟‟
05°95‟27.0
‟‟
05°95‟54.5
‟‟
106°10‟28.1
‟‟
106°13‟ 53.2
‟‟
106°13‟ 29.3
‟‟
106°13‟ 24.3
‟‟
106°11‟ 62.3
‟‟
106°10‟ 93.7
‟‟
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
70
BENCANA LAPINDO : PROGRAM PERUSAKAN LINGKUNGAN DAN
PEMISKINAN NELAYAN JAWA TIMUR
Djoko Rahardjo
Dosen Fakultas Biologi Universitas Kristen Duta Wacana dan Sekjen Konsorsium Program Mitra bahari
Regional Center Daerah Istimewa Yogyakarta
I. PENDAHULUAN
Semburan lumpur panas atau
mud volcano di Kabupaten Sidoarjo
muncul pertama kalinya pada 29 Mei
sekitar pukul 05.00 WIB. Tepatnya di
areal persawahan Desa Siring,
Kecamatan Porong. Jarak titik semburan
sekitar 150 meter arah barat daya sumur
Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas
Inc. Sumur Banjar Panji 1 merupakan
eksplorasi vertikal. Tak pernah
dibayangkan sebelumnya, semburan
lumpur panas yang bersuhu 60 C
menyembur tanpa pandang bulu,
menggenangi sawah, perkebunan,
tambak, permukiman, sekolah, rumah
ibadah, pabrik dan industri manufaktur
lainnya. Petani, buruh, pedagang kecil,
dan masyarakat berpenghasilan rendah,
yang tinggal dan bekerja di sekitar
wilayah tersebut, terpaksa harus
berpindah bila tidak ingin bernafas
dalam Lumpur. Berdasarkan data
pemerintah Kabupaten Sidoarjo, total
jumlah rumah yang terendam sudah 744
rumah. Saluran drainase dan jaringan air
minum yang rusak masing-masing
sekitar 4,5 kilometer dan 1,7 kilometer.
Lahan tanaman padi yang terendam
lumpur 126 hektar dan lahan tebu 17
hektar. Saluran irigasi yang rusak atau
tersedimentasi lumpur sekitar 13
kilometer (Kompas, 17 Juli 2006).
II. KARAKTERISTIK LUMPUR
DAN DAMPAK PEMBUANGAN KE
LAUT
Karakter fisik lumpur Lapindo
secara megaskopis mirip dengan
sedimen permukaan di Selat Madura
menurut klasifikasi Folk (1980)
termasuk satuan lumpur pasiran (sM)
dan lempung (C) dengan berat jenis
kering sekitar 1,3 gr/cc. Berdasarkan
pengukuran kecepatan pengendapan
(settling velocity), lumpur ini lebih cepat
mengendap pada medium air laut
dibandingkan pada medium air tawar.
Kecepatan pengendapan pada air laut
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
71
sekitar 90 cm/jam, sedangkan pada air
tawar jauh lebih lambat yaitu hanya
mencapai 20 cm/jam. Produksi lumpur
sama sekali tidak dapat diatasi, dari hari
kehari ketinggian lumpur semakin
meningkat dan bertambah luas area
pemukiman yang digenangi, untuk itu
satu-satunya solusi adalah membuang
lumpur ke laut melalui sungai Porong.
Solusi ini adalah pilihan terburuk yang
harus diambil, artinya bahwa pemerintah
semoga sadar bahwa pembuangan
lumpur ke laut akan menuai dampak
yang lebih dahsyat lagi bila seandainya
lumpur dan dampaknya dapat diisolasi di
daratan. Solusi ini juga membuktikan
bila pemerintah frustasi dan tidak
mampu menangani semburan tanpa
harus menimbulkan dampak yang lebih
besar. Kegagalan penanganan lumpur
pada tempatnya dan pembuangannya ke
sungai dan laut juga bukti bahwa
lingkungan khususnya perairan adalah
tempat pembuangan segala bentuk hal
yang tidak disukai manusia.
Aliran lumpur Lapindo ke sungai
Porong dengan segera akan
menyebabkan sedimentasi,
pendangkalan sungai, peningkatan
salinitas, meningkatnya kekeruhan
(turbidity) perairan sehingga sinar
matahari tidak dapat masuk kedalam
perairan, proses fotosintesis seketika
berhenti dan dampak ikutan adalah
kematian masal ikan dan lain-lain.
Tentu konsekuensi ini telah
diperhitungkan sebelumnya bahwa
pembuangan lumpur ke sungai Porong
memang akan membunuh semua
kehidupan yang ada disungai, termasuk
tidak dapat dimanfaatkannya aliran
sungai Porong untuk irigasi maupun
usaha perikanan. Praktis bahwa lahan
pertanian dan perikanan sengaja
dikorbankan sebagai tampungan lumpur
Lapindo. Ini baru rusak dan matinya
kehidupan di sungai Porong, mungkin
belum seberapa, aliran lumpur akan
masuk ke laut melalui Selat Madura.
Tentu dampaknya juga sudah
dipertimbangkan bahwa dampak yang
terjadi di sungai Porong akan terjadi di
perairan pantai dan laut dengan skala
dampak yang lebih luas dan tentu
kerugian yang luar besar, baik karena
kerusakan lingkungan, hilangnya potensi
jasa lingkungan, kerugian nelayan dan
masyarakat pesisir umumnya karena
gagal panen, matinya usaha, serta
berhentinya proses produksi untuk
jangka waktu yang tidak dapat
diperkirakan.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
72
III. PARADOKS PEMBANGUNAN
Sekali lagi bahwa biarlah
lingkungan menjadi rusak, masyarakat
terusir, tidak berdaya dan menjadi lebih
miskin atas nama pembangunan dan
investasi. Penanggulangan lumpur
Lapindo dengan membuang ke laut
melalui sungai Porong merupakan
cermin dari sikap pemerintah dan
pengusaha yang hanya mencari jalan
pintas, cari enaknya sekaligus murah
meriah. Penanganan secara baik dengan
resiko minimal memang membutuhkan
waktu dan biaya yang tidak sedikit,
namun tentu hal itu bukanlah alasan
untuk tidak dijadikan alternatif bila kita
semua peduli lingkungan. Karena
pemerintah tidak peduli lingkungan
(apalagi Lapindo) maka solusi
membuang ke laut seolah alternatif yang
terbaik dan bijak, karena telah
memenuhi aspirasi masyarakat (warga
Mindi, Besuki dan Babadan), namun
bijakkah bila solusi tersebut justru
memperluas dampak kerusakan
lingkungan, kerugian dan matinya usaha
perikanan di daerah hilir?
Di Kabupaten Sidoarja minimal
ada sebanyak 3.250 petani tambak
dengan areal garapan mencapai 15.530
hektar. Rata-rata produksi udang
mencapai 21 ton per tahun. Tambak
tersebut menyebar di delapan kecamatan,
yaitu Kecamatan Waru, Sedati, Buduran,
Sidoarjo Kota, Candi, Tanggulangin dan
Jabon. Belum lagi ada sekitar 425 orang
yang mengandalkan hidupnya dengan
mencari kerang dan kupang di Kec.
Candi. Produksi kerang setahun
mencapai 9 ton, sedangkan kupang
kurang lebih 260 kilogram per tahun.
Pasti ada ribuan nelayan di Selat Madura
dan mungkin jutaan masyarakat pesisir
yang menggantungkan hidupnya pada
keutuhan, kemurahan lingkungan pesisir
tidak dapat lagi panen lemuru, tongkol
dan berbagai komoditas perikanan yang
selama ini telah menghidupinya. Bisa
dibayangkan betapa besar kerugian,
resiko mati dan berhentinya usaha
perikanan masyarakat pesisir. Inilah
paradoks pembangunan yang selalu kita
gembar-gemborkan, benarkah
pembangunan ditujukan untuk
mensejahterakan masyarakat atau malah
memiskinkan masyarakat pesisir yang
emang sudah jatuh miskin secara
struktural? Menurut Greenomics, sebuah
LSM lingkungan hidup, kerugian akibat
semburan lumpur itu diperkirakan
menembus Rp 33,27 triliun. Angka itu
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
73
mencakup kerugian yang harus
ditanggung untuk restorasi 180 hektar
lebih lahan yang tergenang lumpur,
penanganan sosial, ekologi sampai
dampak terhambatnya potensi
pertumbuhan ekonomi dan bisnis warga
dan dunia usaha yang menjadi korban
luapan lumpur panas. Perhitungan yang
dibuat Greenomics sendiri hanya
mencakup kerugian jangka pendek.
Artinya, nilai kerugian ini masih
mungkin lebih besar lagi jika terjadi
perluasan dampak turunan luapan
lumpur dalam jangka menengah dan
panjang.
IV. PENUTUP
Hanya dengan komitmen dan
kepedulian lingkungan yang tinggi,
luapan lumpur Lapindo dapat dikelola
dengan baik, tanpa itu semua maka
solusi tercepat, termudah dan
termurahlah yang dipilih. Meski solusi
tersebut justru memperluas area yang
terkena dampak, memperbesar luasan
kerusakan lingkungan (daratan, sungai,
pantai dan laut) serta menyebabkan
kerugian yang tentu amat besar bukanlah
pertimbangan untuk tidak dipilih.
Lingkungan dan masyarakat miskin
selalu menjadi korban oleh
pembangunan, kelalaian dan
ketidakmampuan pengusaha dan
pemerintah dalam mengelola
sumberdaya alam yang kita miliki
termasuk dalam mengelola kasus-kasus
”kecelakaan” dan pencemaran
lingkungan. Kasus Lapindo menjadi
potret buram kehidupan masyarakat
pesisir yang semakin terpojokkan dan
secara perlahan dan sistematis akan
menjadi lebih miskin. Tentu sebuah hal
yang ”kontraproduktif” dengan upaya
kita selama ini untuk mengangkat
kehidupan masyarakat pesisir untuk
menjadi lebih sejahtera.
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
74
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
75
Daftar Isi
Contents
Dede Hartono, Redy Badrudin dan Laili Susanti
Adaptive Research and Extention Untuk Alternatif Usaha Masyarakat Pesisir
﴾Studi Kasus Kegiatan MCRMP Propinsi Bengkulu﴿ ....................................................... 1
Tjipto Leksono, Padil dan Aman
Aplikasi Asap Cair ﴾Liquid Smoke﴿ Dari Cangkang Sawit Sebagai Pengawet Ikan
Patin ﴾Pangasius hypopthalmus﴿ ......................................................................................... 19
M. Hendri Gumay dan Yulifa Handayani
Monitoring Perubahan Luasan Pulau Ekor Tikus Kabupaten Banyuasin Sumatera
Selatan Menggunakan Penginderaan Jauh ....................................................................... 31
Indra Gumay Yudha dan Dewi Sabrina
Pengaruh Sistem Pemeliharaan Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan
Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Kuda Laut ﴾Hippocampus kuda﴿ .......................... 47
Guntur, Hendra Nurcahyo dan Fuad
Tingkat Pertumbuhan Terumbu Karang ﴾Coral Reef﴿ PadaTerumbu Buatan
﴾Artificial Reef﴿ Dengan Pengkayaan Kandungan Ziolit Yang Potensial ..................... 54
Yulifa Handayani dan Muhammad Hendri
Using Landsat ETM 7 Satellite Image to Analysis of Land Change and Sedimentation
At Banyuasin River, Banyuasin District, South Sumatera .............................................. 66
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
76
TUJUAN
Sosialisasi dan diseminasi hasil kajian dan
kegiatan PMB
Meningkatkan kepedulian masyarakat luas
terhadap manfaat dari program Mitra Bahari
beserta implementasinya
Menumbuhkembangkan dialog diantara
praktisi dan pakar pengelolaan sumberdaya
kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil serta
pemangku kepentingan lainnya
Menyebarluaskan informasi, pengalaman dan
pengetahuan kepada seluruh pemerhati
masalah-masalah pengelolaan sumberdaya
kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil
Menggalang partisipasi setiap stakeholder
untuk mengkontribusikan potensi yang
dimilikinya.
OBJECTIVES
Socialization and dissemination result of study
and Sea Partnership Program activities
Improve the awareness of coastal communities,
such that they are more understand the benefit
and will help the implementation of the Sea
Partnership Program
Enhance the dialogue among all practitioner
and experts of coastal resourcemanagement
Sharing of knowledge and experience about
observed problem with marine and fisheries
resources management
Improve the stakeholders participation to give
potential contribution
RUANG LINGKUP
Teknis, hukum, politik, ekonomi, lingkungan,
sosial budaya dan kebijakan yang berkaitan dengan
pengelolaan kelautan, pesisir, dan pulau-pulau
kecil.
SCOPES
Technical, legal, political, social and policy that
related to the management of marine, coasts and
small islands
SASARAN PEMBACA
Pejabat pemerintah pusat dan daerah, akademisi,
peneliti dan praktisi, LSM, swasta, kelompok
masyarakat dan berbagai kalangan pemerhati
masalah-masalah kelautan, pesisir, dan pulau-pulau
kecil
TARGET AUDIENCE
Government official at all levels, academics,
researchers and practitioner, non government
organization, and the private sector involved in
discipline of marine, coasts and small islands
FORMAT
Makalah/paper penulisan dan kajian kebijakan
﴾tidak kurang dari 10 halaman dan tidak lebih
dari 15 halaman﴿
Laporan singkat ﴾menggunakan data yang lebih
terbatas dan tidak lebih dari 5 halaman﴿
Artikel kajian ﴾tidak lebih dari 20 halaman﴿
Komentar ﴾opini tentang naskah yang telah
diterbitkan dan berbagai macam isu lain yang
sesuai dengan ruang lingkup jurnal, tidak lebih
dari 3 halaman﴿
WRITING FORMAT
Research and policy papers ﴾will be no less
than 10 pages and not more than 15 pages﴿.
Short reports ﴾not more than 5 pages and will
be mostly presentation of data﴿.
Topic review articles ﴾not more than 20 pages﴿
Comments ﴾opinions relating to previously
published material and all issues relevant to
the journal's objectives, not more than 3 pages﴿
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
77
Jurnal Mitra Bahari VOL. 4 No. 2, Mei 2010 – Agustus 2010
78
ISSN. 0216 – 4841
VOL. 4 No. 1, Jan 2010 – April 2010
DEWAN PENASEHAT
Direktur Jenderal KP3K
Sesditjen KP3K
Direktur Pesisir dan Lautan
Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil
Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil
Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut
PEMIMPIN REDAKSI
Kepala Bagian Program
DEWAN REDAKSI
Prof. Dr. Daniel Monintja, M.Sc.
Prof. Dr. Ari Purbayanto, M.Sc.
Dr. Fedi A. Sondita, M.Sc.
Dr. Abimanyu T. Alamsyah, MS.
Moch. Nurhuda, M.Sc.
SEKRETARIAT REDAKSI
R. Tomi Supratomo, M.Si
Rini Widayanti, SP.
Bustamin
M. Danyalin
ALAMAT REDAKSI
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Lantai 7
Jakarta 10110
Telp./Fax: 021-3522560
website: www.kp3k.dkp.go.id/mitrabahari