56
JURNAL PSIKOLOGI UNIVERSITAS MURIA KUDUS Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus | Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri | Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) | Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah | Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan Emosi | Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore Volume I, No 1, Desember 2010 ISSN: 2085-8655

Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Citation preview

Page 1: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

JURNAL PSIKOLOGI UNIVERSITAS MURIA KUDUS

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK

Dengan Yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus | Perilaku

Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari

Kepercayaan Diri | Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja

(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) | Metode Dongeng Dalam

Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah | Perilaku

Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan Emosi | Orientasi Nilai Pelaku Musik

Hardcore

Volume I, No 1, Desember 2010 ISSN: 2085-8655

Page 2: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Jurnal Psikologi UMK diterbitkan dua kali dalam setahun setiap bulan Juni dan Desember. Redaksi menerima tulisan hasil penelitian atau artikel pemikiran yang kritis mengenai masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan bidang psikologi. Redaksi berhak melakukan edit dengan tidak mengubah isi pemikiran tulisan.

JURNAL PSIKOLOGI UMK Volume I, No 1, Desember 2010 ISSN: 2085-8655

52 halaman

Penerbit: Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus | Penanggungjawab: Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus | Pemimpin Umum: Drs. M. Suharsono, M.Si | Pimpinan Redaksi: Mochamad Widjanarko, S.Psi, M.Si | Sekertaris Redaksi: Dhini Rama Dania, S.Psi, M.Si | Staf Redaksi: Fajar Kawuryan, S.Psi, M.Si; Latifah Nur Ahyani, S.Psi, MA; Trubus Raharjo, S.Psi, M.Si | Mitra Bestari: Dr. Y. Bagus Wismanto (Unika Soegijapranata); Dr. M. Sih Setija Utami (Unika Soegijapranata); Dr. Edy Suhardono (IISA) | Sekertariat: Muji Syukur, S.Psi | Alamat Redaksi: Kampus Universitas Muria Kudus, Gondangmanis, Bae, Kudus 593352 Jawa Tengah, Telp : 0291 - 438229 , Fax: 0291 – 437198, email: [email protected], website: www.psikologi-umk.com

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus Nur Halimah & Fajar Kawuryan

Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan DiriWahyu Pranoto & Iranita Hervi Mahardayani

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)Dhini Rama Dhania

Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia PrasekolahLatifah Nur Ahyani

Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan EmosiGusti Yuli Asih & Margaretha Maria Shinta Pratiwi

Orientasi Nilai Pelaku Musik HardcoreAnto Sanjaya & Mochamad Widjanarko

1

DAFTAR ISI Halaman

9

15

24

33

43

Page 3: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Abstract

This present study is aimed to investigate the school readiness differences between student who took pre-scholl education and not took pre-school education. Participants of this study consist of 120 students in the first class of elementary shool from different school in Kudus. This study use accidental sampling. NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) that made by Monks, Rost, and Coffie are used to know the school readiness. t analyses were performed and get the difference coeficient t1.2 =53,405, p=0,000 (p<0,01). This result showed that there are very significant differences school readiness between student who took pre-shcool education and not took pre-school education. The student who took pre-school education have better school readiness if compare with student who not took pre-school education. This is showed by mean difference from two kind of the participant. The student who took pre-school education get the mean score 25,98 but the student who not took pre-school education only get mean score 11,25.

Keywords: school readiness, pre-school education, elementary school

1

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

KESIAPAN MEMASUKI SEKOLAH DASAR

PADA ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TK DENGAN YANG

TIDAK MENGIKUTI PENDIDIKAN TK DI KABUPATEN KUDUS

Nur Halimah

Fajar Kawuryan

Manusia dalam perkembangannya ada

beberapa tahapan yang harus dilalui, mulai dari

masa kanak-kanak, remaja sampai dewasa.

Salah satu tahapan yang harus dilalui manusia

dan berpengaruh terhadap manusia baik

secara fisik maupun secara psikologis adalah

masa kanak-kanak, karena pada masa kanak-

kanak ini adalah pondasi dari kehidupannya

kelak agar menjadi manusia yang berkualitas.

Hurlock (1980) menyatakan bahwa rentang

masa kanak-kanak dibagi lagi menjadi dua

periode yang berbeda; awal dan akhir. Periode

awal berlangsung dari umur dua sampai enam

tahun, sedang periode akhir masa kanak

berkisar antara enam sampai tiba saatnya anak

matang secara seksual, dengan demikian awal

masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup

masa bayi; usia dimana ketergantungan

secara praktis sudah dilewati, diganti dengan

tumbuhnya kemandirian dan berakhir di sekitar

usia sekolah dasar.

Anak usia empat sampai dengan enam

tahun merupakan bagian dari anak usia dini

yang berada pada rentangan usia lahir sampai

dengan enam tahun. Pada usia ini biasanya

disebut sebagai anak usia prasekolah. Para

pendidik menyebut tahun-tahun awal masa

kanak-kanak sebagai usia prasekolah, untuk

membedakannya dari saat di mana anak

dianggap cukup tua, baik secara fisik dan

mental, untuk menghadapi tugas-tugas pada

saat mereka mulai mengikuti pendidikan

formal. Hasil penelitian Djohaeni (2006)

Alumni Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Pemerhati Tumbuh Kembang Anak.Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.

1

2

1

2

Page 4: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

2

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

menunjukkan bahwa pendidikan TK mampu

memberikan kontribusi pada anak dalam

m e n g e m b a n g k a n s e l u r u h a s p e k

perkembangan yang dimilikinya.

Alasan minat orangtua memasukkan

anaknya ke TK sangat beragam, diantaranya

agar mampu belajar disiplin, mampu

bersosialisi, mandiri, juga agar anak

mempunyai kesiapan sekolah saat SD. Setelah

seorang anak menyelesaikan pendidikan

prasekolah di taman kanak-kanak, seorang

anak akan bersiap untuk mengikuti pendidikan

formal di sekolah dasar. Seorang anak yang

belum pernah mengikuti atau menyelesaikan

pendidikan prasekolah di taman kanak-kanak

biasanya belum siap untuk mengikuti

pendidikan formal di sekolah dasar, sehingga

kesiapan bersekolah menjadi sangat penting.

Sayangnya hal ini tidak dipahami semua

orangtua (Djohaeni, 2008).

Seperti terungkap dalam wawancara

dengan ST (Jurang, 25-05-10) orangtua yang

mempunyai anak SD yang tidak mengikuti

pend id i kan TK menga takan bahwa

memasukkan anak ke pendidikan TK itu dirasa

tidak begitu penting karena hanya diajarkan

bernyanyi dan bermain, tetapi harus membayar

mahal. Selain itu pendidikan TK juga bukan

merupakan prasyarat wajib untuk masuk SD.

Baginya agar anak dapat membaca, menulis,

dan berhitung akan diajarkan di SD.

Hasil penelitian Sulistiyaningsih (2005)

menyatakan bahwa kesiapan bersekolah

menjadi penting artinya karena anak yang telah

memiliki kesiapan untuk bersekolah akan

memperoleh keuntungan dan kemajuan dalam

perkembangan selanjutnya. Sementara itu

anak yang tidak memiliki kesiapan, justru akan

frustrasi bila ditempatkan di lingkungan

akademis. Berbagai bentuk perilaku sebagai

cerminan frustrasi ini diantaranya adalah

menarik diri, berlaku acuh tak acuh,

menunjukkan gejala-gejala fisik, atau kesulitan

menyelesaikan tugasnya di sekolah.

Hal senada dari wawancara dengan

seorang guru SD, Bp. Setiyo Utomo (SD 2

Besito, 17-05-10, 11.00) yang menyatakan

bahwa semua muridnya kelas 1 berasal dari

TK. Efeknya, pada saat mengikuti proses

belajar mengajar sudah memiliki kesiapan, di

antaranya sudah mengenal huruf, sudah

mampu menulis, menghitung jumlah gambar,

berani mencoba memecahkan masalah,

menceritakan dan mengurutkan cerita dari

gambar-gambar. Ditambahkan juga bahwa

rata-rata anak-anak ini sudah mampu duduk

tenang dan menyelesaikan tugas-tugas

akademik di sekolah SD.

Terkait dengan kesiapan sekolah, Hurlock

(dalam Sulistiyaningsih, 2005) menyatakan

bahwa kesiapan bersekolah terdiri dari

kesiapan secara fisik dan psikologis, yang

meliputi kesiapan emosi, sosial dan intelektual.

Seorang anak dikatakan telah memiliki

kesiapan fisik bila perkembangan motoriknya

sudah matang, terutama koordinasi antara

mata dengan tangan (v is io-motor ik)

berkembang baik.

Kesiapan emosional sudah dicapai apabila

anak secara emosional dapat cukup mandiri

lepas dari bantuan dan bimbingan orang

dewasa, tidak mengalami kesulitan untuk

berpisah dalam waktu tertentu dengan

orangtuanya, dapat menerima dan mengerti

setiap tuntutan di sekolah, serta dapat

mengontrol emosinya seperti rasa marah,

takut, dan iri. Selain itu anak harus sudah dapat

bekerjasama, saling menolong, menunggu

giliran untuk suatu tugas dan sebagainya. Anak

yang telah siap secara sosial akan mudah

menyesuaikan diri dengan harapan-harapan

dan aturan-aturan di sekolah. Menurut

Haditono (1986) kesiapan sosial anak dapat

dilihat dari kemampuan menyesuaikan diri

Page 5: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

3

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

terhadap orang yang baru dikenal, seperti guru

dan teman-teman barunya.

Kesiapan intelektual telah dimiliki anak

apabila anak sudah mampu mengenal

berbagai macam simbol untuk huruf, angka,

gambar, serta kata-kata yang digunakan untuk

menyebut suatu benda, berpikir secara kritis,

menggunakan penalaran walaupun masih

sederhana dalam memecahkan masalah

mampu berkonsentrasi dan memiliki daya ingat

yang baik sehingga anak dapat mengikuti

pelajaran dengan lancar (Sulistiyaningsing,

2005).

K u s t i m a h ( 1 0 - 0 6 - 2 0 1 0 ;

http://www.pustaka.unpad.ac.id) menyatakan

beberapa faktor dalam kesiapan sekolah anak

meliputi :

a. Kesehatan Fisik

Kesehatan yang baik dengan asupan gizi

yang seimbang sangat dibutuhkan untuk dapat

menunjang kesiapan masuk sekolah. Anak

yang sehat akan lebih mudah mencerna

penge tahuan yang d ia ja rkan se r ta

bersosialisasi dengan lebih baik, tampil gesit

dan bersemangat, baik dalam menerima

informasi maupun dalam membina hubungan

sosial dengan guru serta teman -temannya.

b. Usia

Beberapa ahli mengatakan bahwa faktor

usia sangatlah penting untuk menentukan

kesiapan anak masuk sekolah dasar. Menurut

Janke, Comenius, Buhler dan Hetzer dalam

buku Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test

(dalam Kustimah, 2008) menganggap usia 6

tahun sebagai usia yang cukup matang untuk

sekolah. Pada usia ini umumnya anak telah

memiliki perbendaharaan kata yang cukup

banyak, memiliki kemampuan membayangkan

sepert i anak-anak seusianya, dapat

mengemukakan secara verbal ide-ide dan

pikiran-pikirannya serta organ-organ indra dan

motorik telah terkoordinasi dengan baik.

c. Tingkat Kecerdasan

Kecerdasan/ intel igensi merupakan

kemampuan seorang anak dalam memahami

instruksi verbal teoritis dan menyelesaikan

tugas-tugas konkrit praktis dibandingkan

dengan anak-anak seusianya. Anak-anak

dengan tingkat kecerdasan yang berfungsi

pada tahap rata-rata akan menyelesaikan

tugas - tugas tersebut secepat anak-anak

seusianya. Adapun anak-anak yang memiliki

tingkat kecerdasan tinggi akan menyelesaikan

tugas-tugas tersebut secara lebih cepat dan

sebaliknya anak-anak yang memiliki tingkat

kecerdasan rendah akan melaksanakannya

dengan lebih lambat. Dengan demikian untuk

memasuki dunia sekolah yang memiliki

program pembelajaran untuk usia tertentu,

maka setidaknya seorang anak memiliki tingkat

kecerdasan yang berfungsi pada tahap rata-

rata.

d. Stimulasi Tepat

Faktor lingkungan terdekat dengan anak

sangat berperan dalam menunjang kesiapan

anak untuk memasuki sekolah dasar, sehingga

potensi perkembangan anak yang dimiliki anak

dapat berkembang secara optimal. Orangtua

dan guru memegang peranan yang sangat

penting dalam mengembangkan aspek-aspek

yang sangat menunjang kesiapan anak untuk

sekolah meliputi semua perkembangan baik

perkembangan motorik kasar dan halus,

perkembangan bahasa, perkembangan sosial,

perkembangan kognisi dan perkembangan

emosi anak.

e. Motivasi

Anak yang merasa bahagia biasanya

memiliki motivasi baik untuk melakukan

sesuatu, serta umumnya melakukan kegiatan

didasari oleh tujuan tertentu.

Page 6: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

4

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

Guna mengetahui kondisi faktor-faktor

kesiapan sekolah anak, digunakan Nijmeegse

Schoolbekwaamheids Test (NST). NST terdiri

dari 10 sub tes yang berisi gambar-gambar

a tau melengkap i gambar seka l igus

j a w a b a n n y a , y a n g m a s i n g - m a s i n g

mengungkap kemampuan yang berbeda, yaitu:

1. Subtes 1: Pengamatan bentuk dan

kemampuan membedakan (vorm

waarneming en onderscheidings

vermogen);

2. Subtes 2: Motorik halus (fijne motoriek);

3. Subtes 3: Pengertian tentang besar, jumlah,

dan perbandingan (begrip voor grootte

hoeveelheid en verhoudingen);

4. Subtes 4: Pengamatan tajam (scherp

waarnemen);

5. Subtes 5: Kemampuan berpikir kritis

(kritische waarneming);

6. Konsentrasi (taakspanning);

7. Subtes 7: Ingatan (geheugen);

8. Subtes 8: Pengertian objek dan penilaian

s i t u a s i ( o b j e c t b e g r i p e n

situatieboordeling);

9. Subtes 9: Menirukan cerita (weergeven

van een verhaaltje);

1 0 . S u b t e s 1 0 : M e n g g a m b a r o r a n g

(menstekening).

Menurut Monks, Rost, dan Coffie (dalam

Sulistiyaningsih, 2005) NST dikembangkan di

Nijmegen - Nederland merupakan pengolahan

tes Gopinger dari Jerman yang digunakan

untuk mengungkap kemampuan sekolah anak.

Hal senada diungkapkan bahwa NST

merupakan suatu alat tes yang digunakan

untuk mengungkap kesiapan untuk masuk

sekolah dasar, meliputi kesiapan fisik dan

kesiapan psikis. Kesiapan psikis ini terdiri dari

kemasakan emosi, sosial, dan intelektual. NST

bersifat non verbal dan disajikan secara

individual.

Dapat disimpulkan bahwa kesiapan anak

sekolah terdiri dari beberapa aspek, baik fisik

maupun psikologis dan salah satu alat tes

untuk mengukur kesiapan sekolah adalah

Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (NST)

yang mengukur aspek-aspek kognitif, motorik

halus dan motorik kasar, penilaian sosial, serta

emosional.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji

secara empirik perbedaan kesiapan sekolah

anak SD yang mengikuti pendidikan TK dengan

yang tidak mengikuti pendidikan TK.

Hipotesis

Ada perbedaan kesiapan sekolah anak

sekolah dasar yang mengikuti pendidikan

taman kanak-kanak dengan yang tidak

mengikuti pendidikan taman kanak-kanak,

dengan asumsi bahwa anak-anak yang

mengikuti pendidikan TK lebih siap memasuki

SD dari pada anak yang tidak mengikuti

pendidikan TK.

Metode Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah anak

SD kelas satu yang mengikuti pendidikan

taman kanak-kanak dan anak SD kelas satu

yang tidak mengikuti pendidikan taman kanak-

kanak masing-masing sejumlah 60 siswa dari

lima SD, yaitu SD 2 Besito, SD 4 Besito, SD 5

Jurang, SD 5 Gondosari, SD 10 Gondosari,

Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.

Pada penelitian ini, teknik pengambilan

sampel yang digunakan adalah accidental

sampling. Alat tes yang digunakan untuk

Page 7: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

5

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

mengungkap kesiapan sekolah adalah NST

(Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) yang

disusun oleh Monks, Rost, dan Coffie. Tes ini

terdiri dari 10 sub tes yang berisi gambar-

gambar atau melengkapi gambar sekaligus

j a w a b a n n y a , y a n g m a s i n g - m a s i n g

mengungkap kemampuan yang berbeda.

Item-item yang digunakan dalam penelitian

ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu:

1. Item yang jawaban benar yaitu item yang

sesuai dengan kunci jawaban yang sudah

tersedia.

2. Item yang jawaban salah yaitu item yang

tidak sesuai dengan kunci jawaban yang

sudah tersedia.

Bentuk jawaban terdiri dua alternatif

jawaban yaitu Benar (B) dan salah (S). Pada

jawaban benar (B) diberi nilai 1 dan jawaban

salah (S) diberi nilai 0 lalu jumlah jawaban

subyek pada setiap subtes dan diakumulasi

untuk disesuaikan dengan norma.

Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test

(N.S.T.) yang telah digunakan oleh Woelan (24-

08-2010; http://www.adln.lib.unair.ac.id)

memiliki validitas antara 0,220 sampai 0,510

dan reliabilitas sebesar 0,829. Untuk menguji

perbedaan kesiapan sekolah anak yang

mengikutikan pendidikan TK dengan yang tidak

mengikuti pendidikan TK digunakan analisis uji

t.

Hasil Penelitian

1. Uji Normalitas

Berdasarkan uji normalitas dengan teknik

Kolmogorof-Smirnov terhadap data kesiapan

sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan

TK diperoleh nilai K-SZ sebesar 1,941 dengan

p sebesar 0,138 (p > 0,05) dan anak yang tidak

mengikuti pendidikan TK diperoleh nilai K-SZ

sebesar 1,157 dengan p sebesar 0,138 (p >

0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa

sebaran data kesiapan sekolah anak SD yang

mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak

mengikuti pendidikan TK memiliki distribusi

normal.

2. Uji Homogenitas

Hasil uji homogenitas varian kesiapan

sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan

TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK

menunjukkan koefisiensi F sebesar 1,507

dengan p sebesar 0,142 (p>0,05) yang berarti

data kesiapan sekolah anak SD yang mengikuti

pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti

pendidikan TK adalah homogen.

Paired Samples Statistics

25.98 57 1.302 .173

11.25 57 1.607 .213

TK

NON_TK

Pair1

Mean N Std. Deviation

Std. ErrorMean

Tabel 1

Perbedaan Rerata Kesiapan Sekolah Anak

SD yang Mengikuti Pendidikan TK dengan

yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK

Paired Samples Test

14.74 2.083 .276TK - NON_TKPair 1

Mean Std. DeviationStd. Error

Mean

Paired Differences

14.18 15.29 53.405 56 .000

Lower Upper

95% ConfidenceInterval of the

Differencet df Sig. (2-tailed)

Paired Differences

Tabel 2

Uji Perbedaan Kesiapan Sekolah Anak SD

yang Mengikuti Pendidikan TK dengan

yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK

Page 8: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

6

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

Hasil analisis data menunjukkan koefisien

beda t1.2 sebesar 53,405 dengan p sebesar

0,000 (p<0,01), menunjukkan ada perbedaan

sangat signifikan kesiapan sekolah anak SD

yang mengikuti pendidikan TK dengan yang

tidak mengikuti pendidikan TK. Hal ini juga

ditunjukkan dengan perbedaan rerata

keduanya yaitu untuk anak yang mengikuti

pendidikan TK sebesar 25,98 dan untuk anak

yang tidak mengikuti pendidikan TK sebesar

11,25. Berdasarkan hasil analisis data di atas

maka hipotesis yang diajukan yaitu ada

perbedaan kesiapan sekolah anak yang

mengikuti pendidikan TK dengan anak yang

tidak mengikuti pendidikan TK; diterima.

Diskusi

Kesiapan bersekolah anak yang satu belum

tentu sama dengan anak yang lainnya, bahkan

meskipun usianya sama. Hal ini disebabkan

karena ada banyak faktor yang mempengaruhi

terbentuknya kesiapan bersekolah anak.

Selain dipengaruhi oleh kemasakan,

lingkungan tempat anak berkembang juga ikut

membentuk kesiapan anak bersekolah.

Dapat dipahami bahwa pendidikan anak

pada usia prasekolah merupakan dasar yang

penting untuk keberhasilan pada jenjang studi

yang selanjutnya. Setelah menyelesaikan

pendidikan prasekolah di TK, seorang anak

akan bersiap untuk mengikuti pendidikan

formal di SD (Sulistiyaningsih, 2005). Anak

yang mengikuti pendidikan TK dimungkinkan

lebih matang dari pada anak yang tidak

mengikuti pendidikan TK seperti terungkap

dalam penelitian Kustimah (2008). Kesiapan

bersekolah menjadi penting artinya karena

anak yang telah memperoleh keuntungan dan

kemajuan dalam perkembangannya yang

selanjutnya. Sementara itu anak yang belum

memiliki kesiapan, justru akan mengalami

hambatan-hambatan bila ditempatkan di

lingkungan akademis (Sulistiyaningsih, 2005).

Adapun menurut Cronbach (dalam

Soemanto, 2003) kesiapan (readiness)

sebagai segenap sifat atau kekuatan yang

membuat seseorang dapat bereaksi dengan

cara tertentu. Dalam hal kesiapan ini

melibatkan beberapa faktor antara lain (1)

perlengkapan dan pertumbuhan fisiologis,

yang menyangkut pertumbuhan terhadap

kelengkapan pribadi seperti tubuh pada

umumnya seperti alat indra dan kapasitas

intelektual, (2) motivasi, yang menyangkut

kebutuhan, minat serta tujuan-tujuan individu

u n t u k m e m p e r t a h a n k a n s e r t a

mengembangkan diri.

Hal lain yang mempengaruhi kesiapan

sekolah anak adalah keluarga dan lingkungan.

Hurlock (1980) menyatakan lingkungan yang

terdekat dengan anak adalah keluarga. Dari

berbagai karakteristik keluarga, faktor tingkat

pendidikan orangtua merupakan sesuatu yang

besar pengaruhnya terhadap perkembangan

anak. Tingkat pendidikan orangtua ini sangat

penting hubungannya dengan cara mereka

mengasuh anak, sementara itu cara

pengasuhan anak berhubungan dengan

perkembangan anak. Dalam hal ini tingkat

pendidikan dan l ingkungan orangtua

mempengaruhi cara pengasuhan anak. Dalam

lingkungan yang terpencil dan tidak ada akses

pend id i kan banyak o rang tua t i dak

memasukkan anaknya ke lingkup pendidikan

sekolah yang memadai, hal ini akan berbeda

dengan orangtua yang tinggal di lingkungan

yang mempunyai banyak akses pendidikan,

kebanyakan dari mereka merasa bahwa

pendidikan usia dini adalah hal yang penting

untuk perkembangan kognitif anak-anak

khususnya anak-anak usia prasekolah.

Pada hasil penelitian juga dapat dilihat

adanya perbedaan rerata yaitu rerata anak

yang mengikuti pendidikan TK lebih besar yaitu

Page 9: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

7

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

sebesar 25,98 dan rerata anak yang tidak

mengikuti pendidikan TK sebesar 11,25. Hal ini

dapat dipengaruhi oleh kondisi pendidikan

prasekolah yang ditempuh sebelum mengikuti

pendidikan sekolah serta lingkungan tempat

tinggal anak-anak. Anak-anak yang sebelum

SD mengikuti pendidikan TK dimungkinkan

secara kognitif, fisik, dan emosi sudah siap

dalam memasuki pendidikan sekolah dasar.

Anak-anak yang tidak mengenyam

pendidikan TK ketika memasuki pendidikan

sekolah dasar secara kognitif, fisik dan emosi

rata-rata belum siap. Anak yang belum memiliki

kesiapan, justru akan frustrasi bila ditempatkan

di lingkungan akademis. Berbagai bentuk

perilaku sebagai cerminan frustrasi ini

diantaranya adalah untuk menarik diri, berlaku

acuh tak acuh, menunjukkan gejala- gejala

sakit fisik, atau kesulitan menyelesaikan

tugasnya di sekolah (Rowen dkk dalam

Sulistiyaningsih, 2005).

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat

disimpulkan ada perbedaan sangat signifikan

kesiapan sekolah antara anak SD yang

mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak

mengikuti pendidikan TK, dimana anak SD

yang sebelumnya mengikuti pendidikan TK

memiliki kesiapan sekolah lebih tinggi

dibandingkan yang tidak mengikuti pendidikan

TK.

Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan :

1. Bagi orangtua agar memasukkan anaknya

di pendidikan prasekolah sebelum

memasuki sekolah dasar agar memiliki

kesiapan fisik dan kesiapan psikis; berupa

kemasakan emosi, sosial, dan intelektual

dalam mengikuti pendidikan di sekolah

dasar.

2. Bagi peneliti selanjutnya, agar melibatkan

faktor pendukung kesiapan belajar yang

lain, misalnya dukungan orangtua, tingkat

kecerdasan, dan motivasi.

Daftar Pustaka

Dalyono, M. (1997). Psikologi Pendidikan.

Jakarta: PT. Rieka Cipta

Djoehaeni, H. (2006). Pengembangan Potensi

Anak Usia Dini Melalui Penerapan Kelas

Y a n g B e r p u s a t P a d a A n a k :

http://www.jurnal.psikologi.ac.id. 22-06-

2010, 10.30

___________. (2008). Pengembangan

Potensi Anak Usia Dini melalui Penerapan

Kelas yang Berpusat pada Anak :

http://www.jurnal.psikologi.ac.id. 22-06-

2010, 10.00

Haditono, S.R.(1986). Pengasuhan Anak

Menuju Kesiapan Masuk SD. Yogyakarta:

Fakultas Psikologi UGM

Hurlock. (1980). Perkembangan Anak. Jakarta:

Erlangga

Kustimah, (2008). Gambaran Kesiapan Anak

Masuk Sekolah Dasar Dtinjau dari Hasil

Test NS (Nijmeegse Schoolbekwaamheids

Test). Bandung: Universitas Padjadjaran.

http://www.pustaka.unpad.ac.id. 10-06-

2010, 13:30.

Monks dkk. (2004). Psikologi Perkembangan

Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Munarsih, C. (2010). Pembelajaran Terpadu

pada Pendidikan Usia Dini bagi Anak

Page 10: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak

Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus

8

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Miskin di Jakarta: http://www.adln.lib.unj-

upi.ac.id. 5-05-2010, 13.20.

Soemanto, W. (2003). Psikologi Pendidikan.

Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Sulistiyaningsih, W. (2005). Kesiapan

Bersekolah Anak Ditinjau Dari Jenis

Pendidikan Pra Sekolah Anak dan Tingkat

Pendidikan Orangtua. Jurnal Psikologia.

Volume 01 – Juni 2005. Universitas

Sumatera Utara.

Woelan, H. (2010). Uji Validitas dan Reliabilitas

Tes NST. http://www.adln.lib.unair.ac.id.

24-08-2010, 22:00.

Page 11: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk

Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

9

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Abstract

This study aims to empirically examine the relationship between consumer behavior of teenagers using branded fashion products with confidence. In this study the subjects of research is student in the Muria Kudus University, with a purposive sampling based sampling that samples with characteristics of teenagers using branded fashion products. Measuring instrument used to obtain the data is scale consumer behavior teenagers use fashion branded products and the confidence scale.

The results obtained from both the correlation coefficient rxy of 0.433 with p of 0.000 (p <0.050), this means there is a significant positive relationship on teenagers consumer behavior using branded fashion products with confidence. So the hypothesis accepted. Teenangers consumer behavior using branded fashion product and confidence gained on medium category. Effective contribution to the behavior variable of consumer confidence at 43.3%.

Keywords: consumer behavior and confidence

PERILAKU KONSUMEN REMAJA MENGGUNAKAN PRODUK

FASHION BERMEREK DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI

Wahyu Pranoto

Iranita Hervi Mahardayani

Alumni Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.

1

2

12

Masa remaja adalah masa peralihan dari

masa anak menuju masa dewasa yang

mengalami perkembangan semua aspek atau

fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini,

2004). Periode transisi pada usia remaja

membuat remaja akan selalu berusaha untuk

dapat diterima dengan baik oleh kelompok

sosialnya. Mereka mengusahakan berbagai

cara yang ditujukan pada konformitas

kelompoknya. Penampilan fisik merupakan

prioritas utama yang menjadi perhatian para

remaja, bahkan banyak yang hanya mau

membeli produk fashion dengan merek tertentu

saja yang harganya mahal, hanya untuk

meningkatkan harga diri dan menambah

kepercayaan dirinya. Sejumlah penelitian telah

menemukan bahwa penampilan f is ik

merupakan suatu kontributor yang sangat

berpengaruh pada rasa percaya diri remaja,

(Santrock dalam Kusumaningtyas, 2009).

Penampilan remaja dalam kesehariannya,

fashion merupakan salah satu hal yang tidak

bo leh d i l upakan da lam menun jang

penampilannya. Remaja menyadari bahwa

fashion sangat penting kerena mereka memiliki

keinginan untuk selalu tampil menarik ditengah

– tengah kelompok sosialnya. Salah satu

bentuk perilaku remaja dalam menambah

penampilan dirinya dimata kelompoknya

adalah dengan mengikuti mode yang diminati

oleh kelompok sebayanya (Mappiare,1982).

Remaja cenderung membeli produk

fashion bukan karena alasan kebutuhan, tetapi

Page 12: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk

Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

10

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

hanya untuk berpenampilan agar lebih dihargai

dan dapat diterima oleh kelompoknya atau

teman sebayanya. Peri laku ini lebih

dipengaruhi oleh faktor emosi dari pada rasio,

karena pertimbangan – pertimbangan dalam

membuat keputusan untuk membeli suatu

produk lebih menitikberatkan pada status

sosial, mode dan kemudahan, dari pada

pertimbangan ekonomis. Pilihan emosional

biasanya didasarkan atas rasa salah, rasa

takut, kurang percaya diri, dan keinginan

bersaing serta menjaga penampilan diri,

(Sarwono dalam Kusumaningtyas, 2009)

Teman sebaya lebih memberikan pengaruh

dalam memilih hal cara berpakaian, hobi,

perkumpulan (club), dan kegiatan sosial lainya

(Yusuf, 2004). Karena itu remaja berusaha

berpenampi lan sama dengan teman

sebayanya, remaja merasa dirinya lebih

diterima dan dihargai. Bagi seorang remaja, arti

penerimaan atau penolakan teman sebaya

dalam kelompok sangatlah penting. Hal itu

mempunyai pengaruh yang kuat terhadap

pikiran, sikap, perasaan, perbuatan –

perbuatan dan penyesuaian diri remaja. Hal

yang demikian ini akan menimbulkan rasa

senang, gembira, puas bahkan rasa bahagia

yang pada gilirannya memberi rasa percaya diri

yang besar (Mappiare, 1982)

Salah satu penyebab dari rasa kurang

percaya diri tersebut yaitu bahwa remaja

merasa dirinya memiliki kekurangan dan tidak

sama dengan kelompok teman sebayanya

dalam konteks secara fisik. Hal ini yang

menyebabkan remaja memilih untuk menutupi

kekuranganya tersebut dan berusaha untuk

untuk berpenampi lan sama dengan

kelompoknya. Remaja yang tidak percaya diri

ini cenderung akan menggunakan produk

fashion bermerek sebagai kompensasi

terhadap kekuranganya, Sinaga (dalam

Kusumaningtyas, 2009)

Mode yang terus berkembang seiring

perubahan jaman, menyebabkan remaja terus

menerus mengikuti perkembangan arus mode.

Semakin tinggi kecenderungan mengikuti

mode maka kepercayaan diri pada remaja

akan semakin kuat atau meningkat.

Kecenderungan mengikuti mode memiliki

prediksi kuat terhadap terbentuknya

kepercayaan diri pada remaja, Buntaran

(dalam Kusumaningtyas, 2009). Dengan

begitu remaja yang kurang memiliki rasa

percaya diri yang kuat secara otomatis akan

menggunakan mode – mode yang sedang

marak dikalangannya, guna menambah rasa

kepercayaan diri pada remaja tersebut.

Berdasarkan fenomena diatas, diduga

bahwa remaja yang memiliki masalah dalam

kepercayaan dirinya, kurang atau tidak

percaya diri akan melakukan usaha untuk

menutupi rasa kurang percaya dirinya tersebut

dengan cara menggunakan produk fashion

bermerek. Untuk itu dalam kesempatan ini

penulis ingin mengetahui adakah hubungan

antara perilaku konsumen remaja yang

menggunakan produk fashion bermerek

dengan kepercayaan diri.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menguji secara empirik hubungan antara

perilaku konsumen remaja menggunakan

produk fashion bermerek dengan kepercayaan

diri.

Hipotesis

Ada hubungan positif antara kepercayaan

diri dengan perilaku konsumen remaja yang

menggunakan produk fashion bermerek,

dimana semakin tinggi kepercayaan dirinya

maka perilaku konsumen menggunakan

Page 13: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk

Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

11

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

produk fashion bermerek semakin tinggi pula,

begitu pula sebaliknya semakin rendah pula

kepercayaan dirinya semakin rendah perilaku

konsumen remaja menggunakan produk

fashion bermerek.

Metode Penelitian

Untuk menguji hipotesis penelitian,

sebelumnya dilakukan identifikasi dari

variabel– variabel yang akan dipakai dalam

penelitian ini, yaitu :

1. Variabel Bebas: Kepercayaan Diri.

2. Variabel Tergantung: Perilaku Konsumen

Remaja menggunakan produk fashion

bermerek.

Penelitian ini menggunakan purposive

sampling, yaitu mahasiswa fakultas psikologi,

fakultas ekonomi, fakultas teknik, fakultas

keguruan dan ilmu pendidikan, fakultas hukum,

dan fakultas pertanian, tetapi dalam penelitian

ini hanya diambil sampel dari masing-masing

populasi tersebut yaitu remaja yang berusia 18-

21 tahun dan menggunakan produk fashion

bermerek.

Dalam penelitian ini dikumpulkan dengan

metode skala. Adapun skala yang dibuat dalam

penulis ini adalah skala perilaku konsumen

remaja menggunakan produk fashion

bermerek dan skala kepercayaan diri. Metode

analisis data yang dipakai dalam penelitian ini

adalah menggunakan metode teknik korelasi

poduct moment

Hasil Penelitian

Validitas dan Reliabilitas

Skala Perilaku Konsumen Remaja

Menggunakan Produk Fashion Bermerek

Item skala perilaku konsumen remaja

menggunakan produk fashion bermerek

menunjukkan, dari 40 item tidak terdapat item

yang gugur, item yang valid dengan koefisien

validitas berkisar antara 0,2202 sampai

0,7460.

Hasil reliabilitas skala perilaku konsumen

remaja menggunakan produk fashion

bermerek menunjukkan reliabilitas alpha (rtt)

sebesar 0,9467

Skala Kepercayaan Diri

Sedangkan item Skala Kepercayaan Diri

menunjukkan, dari 40 item pada tahap 1

perhitungan terdapat 6 item yang gugur

dengan koefisiensi validitas –0,0056 sampai

dengan 0,1766, pada tahap 2 perhitungan

terdapat 1 item yang gugur dengan koefisien

validitas 0,1638, jadi hasil akhir perhitungan

terdapat 33 item yang valid dengan koefisiensi

validitas berkisar antara 0,2254 sampai

0,7198.

Hasil reliabilitas skala kepercayaan diri

menunjukkan bahwa kepercayaan diri

mempunyai reliabilitas alpha (rtt) pada tahap 1

sebesar 0,8433, tahap 2 sebesar 0,8661 dan

pada tahap terakhir dengan hasil sebesar

0,8682,

Analisis Data

No. Variabel K-SZ P Keterangan

1. Perilaku Konsumen

0,713

> 0,05

Distribusi Normal

2. Kepercayaan Diri

0,520

> 0,05

Distribusi Normal

Tabel 1

Uji Normalitas Sebaran

F Sig.

PKR* PD Between (combined) 1,805 ,020

Groups linierity

23,939 ,000

Devitiation from Linierity 1,190 ,270

Within Groups

Total

Tabel 2

Uji Linieritas Hubungan

Page 14: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk

Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

12

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

X PD Y P.KNSMNX kepercayaan diri Pearson Correlation 1 ,433**

Sig.(1- tailed) ,000N

99 99Y P.

Konsmn

Pearson Correlation

,433** 1Sig.(1- tailed)

,000

N 99 99

Tabel 3

Uji Hipotesis

** Correlation is significant at the 0,01 level

Diskusi

Berdasarkan analisis data hipotesis yang

diajukan yaitu ada hubungan positif antara

perilaku konsumen remaja menggunakan

produk fashion bermerek dengan kepercayaan

diri, dengan rxy sebesar 0,433 dengan P <

0,05, dengan demikian hipotesis yang diajukan

diterima yaitu semakin tinggi perilaku

konsumen remaja menggunakan produk

fashion bermerek maka semakin tinggi

kepercayaan diri. Sebaliknya, semakin rendah

perilaku konsumen remaja menggunakan

produk fashion bermerek maka semakin

rendah pula kepercayaan dirinya.

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori

yang dikemukakan Tambunan (2001) bahwa

remaja yang memiliki kekurangan pada

fisiknya membuat remaja tersebut akan

merasa kurang percaya diri pada kelompok

sosialnya, dan remaja tersebut akan mudah

terbujuk oleh penawaran produk – produk

fashion bermerek terbaru yang menurutnya

bisa membuat dirinya lebih bisa percaya diri.

Bagi produsen, remaja yang tidak percaya diri

ini merupakan pasar potensial bagi produk –

produk fashion yang mereka ciptakan. Remaja

yang seperti ini akan cenderung menggunakan

produk fashion bermerek untuk meningkatkan

kualitas yang ada pada dirinya khususnya

dalam hal penampilan.

Salah satu penyebab dari rasa kurang

percaya diri tersebut bahwa remaja merasa

dirinya memiliki kekurangan dan tidak sama

dengan kelompok teman sebayanya dalam

konteks secara fisik. Hal ini yang

menyebabkan remaja memilih untuk

menutupi kekuranganya tersebut dan

berusaha untuk untuk berpenampilan

sama dengan kelompoknya. Remaja yang

tidak percaya diri ini cenderung akan

menggunakan produk fashion bermerek

s e b a g a i k o m p e n s a s i t e r h a d a p

k e k u r a n g a n y a , S i n a g a ( d a l a m

Kusumaningtyas, 2009).

Sifat remaja selalu ingin diakui

eksistensinya oleh lingkungan dengan

berusaha menjadi bagian dari lingkungan

itu. Kebutuhan untuk diterima dan

diakuinya remaja tersebut oleh orang lain

atau teman sebaya itu menyebabkan

remaja berusaha untuk mengikuti berbagai

atribut yang sedang in (Tambunan, 2001).

Karena itu remaja akan menggunakan

produk fashion bermerek yang dasarnya

produk tersebut sesuai dengan mode atau

tren yang sedang in.

Besarnya pengaruh perilaku konsumen

remaja menggunakan produk fashion

bermerek terhadap kepercayaan diri

tampak pada besarnya sumbangan efektif

sebesar 43,3%, berarti masih terdapat

56,7% faktor lain yang mempengaruhi

kepercayaan diri. Besarnya sumbangan

efektif peri laku konsumen remaja

menggunakan produk fashion bermerek

yang relatif besar ini penting untuk

diperhatikan khususnya bagi remaja. Bagi

remaja yang memiliki perilaku konsumen

dalam penggunaan produk – produk

fashion bermerek yang sangat tinggi hanya

guna un tuk sekedar menambah

kepercayaan dirinya hendaknya untuk

tetap bisa dikontrol. Fatimah (dalam

Rosita, 2010) menyebutkan kepercayaan

diri muncul bukan dari penampilan luar kita

Page 15: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk

Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

13

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

saja melainkan dari rasa optimisme dalam diri,

selalu berpikir positif, berpikir realistik dan apa

adanya serta evaluasi diri yang objektif.

Hasil analisis variabel perilaku konsumen

remaja menggunakan produk fashion

bermerek diperoleh mean empirik sebesar

113,77 dan SD empirik sebesar 15,675.

Berdasarkan norma kategorisasi tingkat

perilaku konsumen remaja menggunakan

produk fashion bermerek, diperoleh bahwa

perilaku konsumen remaja menggunakan

produk fashion bermerek tersebut tergolong

sedang. Hal ini diketahui dari hasil respon

subyek pada item dalam skala yang

menunjukkan prosentase perilaku konsumen

remaja menggunakan produk fashion

bermerek terbesar pada tingkat sedang.

Remaja dengan perilaku konsumennya

menggunakan produk fashion bermerek

sangat rendah ada 11 orang (11,11%), Remaja

dengan perilaku konsumennya menggunakan

produk fashion bermerek rendah ada 15 orang

(15 ,15%), Remaja dengan per i laku

konsumennya menggunakan produk fashion

bermerek yang tergolong sedang ada 46 orang

(46 ,46%), Remaja dengan per i laku

konsumennya menggunakan produk fashion

bermerek tinggi ada 19 orang (19,19%) dan

Remaja dengan perilaku konsumennya

menggunakan produk fashion bermerek yang

tergolong sangat tinggi ada 8 orang (8,08%).

Sedangkan hasil analisis variabel

kepercayaan diri diperoleh mean empirik

sebesar 97,44 dengan SD empirik sebesar

9,417. Berdasarkan norma kategorisasi tingkat

kepe rcayaan d i r i d i pe ro l eh bahwa

kepercayaan diri remaja tergolong sedang. Hal

ini diketahui dari hasil respon subyek pada item

dalam skala yang menunjukkan prosentase

kepercayaan diri terbesar pada tingkat sedang.

Remaja dengan kepercayaan diri yang sangat

rendah ada 6 orang (6%), remaja dengan

kepercayaan diri yang rendah ada 23 orang

(23,23%), remaja dengan kepercayaan diri

sedang ada 41 orang (41,41%), remaja dengan

kepercayaan diri tinggi ada 24 orang (24,24%),

dan remaja dengan kepercayaan diri yang

sangat tinggi ada 5 orang (5%).

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan

pembahasan yang telah dilakukan maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang

signifikan antara perilaku konsumen remaja

menggunakan produk fashion bermerek

dengan kepercayaan diri.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan

dan kesimpulan di atas maka peneliti

mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Remaja

Bagi remaja yang kurang percaya diri dalam

berpenampilan dan merasa mendapati

kekurangan yang ada pada dirinya apabila

mungkin diharapkan menggunakan produk

fashion bermerek untuk tetap bisa tampil lebih

percaya diri atau dengan cara optimis dengan

kemampuan, berpikir positif, berpikir realistik

dan apa adanya serta evaluasi diri yang

objektif, pengendalian diri yang baik dan

kemampuan bersosialisasi yang baik.

2. Peneliti selanjutnya

Bagi penel i t i la in disarankan untuk

menggunakan faktor lain yang mempengaruhi

peri laku konsumen sebagai variabel

dependent atau variabel tergantung karena

karena masih terlalu luas arti tentang perilaku

konsumen.

Page 16: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk

Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri

14

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Daftar Pustaka

Assianbrain. (2008). Mengenal Perilaku

Konsumen. www.AssianBrain.com

Beureukat. (2003). Faktor Lingkungan Sebagai

Penentu Perilaku Konsumen. Fakultas

Ekonomi, Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara.

Edris, M. (2008). Perilaku Konsumen. Fakultas

Ekonomi, Universitas Muria Kudus.

Engel, J. F. (2002). Perilaku Konsumen Jilid 2.

Jakarta : Binarupa Aksara.

Ferrinadewi, E. (2008). Merek Dan Psikologi

Konsumen. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hakim, T, (2005). Mengatasi Rasa Tidak

Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.

H u r l o c k , E . B . ( 1 9 8 0 ) . P s i k o l o g i

Perkembangan: Suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:

Erlangga.

Kusumaningtyas, R. (2009). Hubungan

Konsep Diri dengan Minat Membeli Produk

Fashion Bermerek Terkenal Pada Remaja.

Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang:

Fakultas Psikologi UNNES.

Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja.

Surabaya : Usaha Nasional

Rosita, H. (2010). Hubungan Antara Perilaku

Asertif Dengan Kepercayaan Diri Pada

M a h a s i s w a . J u r n a l : U n v e r s i t a s

Gunadarma.

Rumini, S dan Sundari, S. (2004). Psikologi

Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta :

Rineka Cipta.

Tambunan, R. (2001). Kepercayaan Diri Anda.

www.e-psikologi.com

Yusuf, S. (2004). Psikologi Perkembangan

Anak dan Remaja. Bandung : Rosdakarya.

Zumars, D. (2010). Konsumen Indonesia Suka

Barang Bermerek (Branded Item).

http://dzumar.wordpress.com

Page 17: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja

(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

15

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Abstract

With the growth of world trade in products where competition is accompanied by increasingly stringent targets are so high from the company to its marketing, as well as the marketing of drug company called Medical Representative is charged with a high enough target. Therefore this study aims to determine Workload Influence on Job Stress, Job Stress and Effect on Medical Representative Job Satisfaction in Kudus. From the results of hypothesis test showed that the adjusted R2 of -, 025 indicates that the effect of workload on job stress at 2.5%. With a very small effect, may imply that no form of workload influence on work stress. while for the Effect of Work Stress on Job Satisfaction gained 0,033 Adjusted R2 results show an effect of work stress on job satisfaction by 3.3%, With very little effect, may imply that no form of the effect of job stress on job satisfaction.

Keywords: Job Stress, Workload, Job Satisfaction

PENGARUH STRES KERJA, BEBAN KERJA

TERHADAP KEPUASAN KERJA

(STUDI PADA MEDICAL REPRESENTATIF DI KOTA KUDUS)

Dhini Rama Dhania

Universitas Muria Kudus

Kepala Badan Pengawasan Obat dan

Makanan Indonesia H Sampurno, 2005 (dalam

Republika) mengatakan, dalam tiga tahun

mendatang ada masalah domestik yang

menyangkut nasib distribusi obat nasional,

terutama yang berskala kecil. Akibatnya, lebih

dari ribuan pedagang besar farmasi harus

memperebutkan pasar lokal yang tersisa,

sekitar 20 % saja. Sedangkan 80 % sudah

d ikuasa i d is t r ibu to r as ing . Dengan

perkembangan dalam dunia perdagangan di

mana persaingan produk semakin ketat

disertai dengan target-target yang begitu tinggi

dari perusahaan kepada para marketing.

Dengan demikian para marketing ini sangat

diperlukan agar setiap produk yang dihasilkan

dapat dikenal dan tertanam dalam pikiran dan

hati masyarakat baik melalui penjelasan door

to door, dan face to face.

Dalam perusahaan farmasi para karyawan

marketing ini biasa disebut dengan medical

representative. Terkait dengan produk yang

ditawarkan, sasaran pasarnya juga sangat

spesifik, yakni kalangan dokter. Tugas seorang

medical representative tidak jauh berbeda

dengan sales, tugasnya antara lain

mempresentasikan di depan dokter mengenai

keunggulan dan kelebihan obat yang mereka

tawarkan, menjelaskan kegunaan dari jenis

obat baru, ia harus dapat menjelaskan secara

rinci segala informasi yang berkaitan dengan

produk yang diwakilinya.

D e n g a n d e m i k i a n p a r a m e d i c a l

representative dituntut oleh pihak perusahaan

untuk selalu dapat menutup target yang telah

ditetapkan perusahaan. Adanya target yang

telah dibebankan pada para medical

representative tersebut, maka munculah

sebuah permasalahan dalam pemasaran

produk obat khususnya di kota Kudus. Hal ini

dikarenakan minimnya unit pelayanan

kesehatan yang ada di kota Kudus, dan

banyaknya cabang perusahaan farmasi yang

Page 18: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

16

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

berdiri di kota Kudus, ini membuat para medical

representative mengalami kesulitan dalam

menutup target yang ditetapkan perusahaan

karena kurangnya tempat untuk memasarkan

produknya, dengan begitu para medical

representatif saling berlomba-lomba satu sama

lain untuk segera dapat menutup target.

Adanya ketergantungan perusahaan akan

sumber daya manusia (karyawan) dapat dilihat

dalam bentuk keaktifan karyawan dalam

menetapkan rencana, sistem, proses dan

tujuan yang ingin dicapai dalam suatu

perusahaan (Hasibuan, 1994). Oleh karena itu

sangat perlu adanya perhatian khusus dalam

kesejahteraan karyawan dalam suatu

organisasi. Kesejahteraan karyawan menjadi

sangat penting pada masa sekarang ini, karena

apabila kesejahteraan rendah akan muncul

akibat-akibat seperti banyak demonstrasi dan

aksi mogok kerja..

Kepuasan kerja yang dirasa oleh medical

representatif tidak terlepas dari suatu keadaan

yang mengikuti seorang individu, salah

satunya yaitu stress. Sullivan & Bhagat (1992)

menyebutkan bahwa banyak penelitian

mengenai pengaruh stres kerja terhadap

kepuasan kerja dalam suatu organisasi. Hasil

penelitian Alberto (1995), Praptini (2000)

menunjukkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja salah satunya

adalah stres kerja.

Lebih lanjut penyebab stress dapat dibagi

menjadi dua, yaitu internal dan eksternal, di

mana salah satu penyebab stress yang berasal

dari eksternal yaitu beban kerja yang dirasakan

individu sebagaimana diungkapkan oleh

Cooper (dalam Rice, 1999). Beban kerja itu

sendiri misalnya target yang telah ditetapkan

perusahaan merupakan suatu beban kerja

yang harus ditanggung oleh para medical

representative. Beban kerja yang dirasa cukup

berat dapat berpengaruh pada kondisi fisik dan

psikis seseorang.

Menurut Menpan (1997), pengertian beban

kerja adalah sekumpulan atau sejumlah

kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu

unit organisasi atau pemegang jabatan dalam

jangka waktu tertentu. Hart and Staveland

(dalam Wikipedia, 2008) mendefinisikan beban

kerja sebagai berikut :

“the perceived relationship between the

amount of mental processing capability or

resources and the amount required by the

task”.

Dari beberapa pengertian mengenai Beban

kerja dapat ditarik kesimpulan beban kerja

a d a l a h ” s e j u m l a h k e g i a t a n y a n g

m e m b u t u h k a n p r o s e s m e n t a l a t a u

kemampuan yang harus diselesaikan dalam

jangka waktu tertentu, baik dalam bentuk fisik

maupun psikis.

Stres merupakan suatu kondisi internal

yang terjadi dengan ditandai gangguan fisik,

lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi

pada kondisi yang tidak baik. Pendapat

tersebut diungkapkan oleh Morgan & King,

(1986: 321) yang lebih jelasnya sebagai

berikut:

“…as an internal state which can be caused

by physical demands on the body (disease

conditions, exercise, extremes of temperature,

and the like) or by environmental and social

situations which are evaluated as potentially

harmful, uncontrollable, or exceeding our

resources for coping”

Ada beberapa definisi yang dikemukakan

oleh para ahli tentang kepuasan kerja

diantaranya Wagner III & Hollenbeck (1995),

mengutip ungkapan yang diberikan oleh Locke,

yang menjelaskan kepuasan kerja adalah

suatu perasaan menyenangkan yang datang

dar i perseps i seseorang mengena i

pekerjaannya atau yang lebih penting yaitu nilai

Page 19: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

17

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

kerja, untuk lebih jelasnya sebagai berikut :

”a pleasurable feeling that results from the

perception that one's job fulfills or allows for the

fulfillment of one's important job values”.

Kerangka Berpikir

Dalam suatu kesempatan Smith (1981)

mengemukakan bahwa konsep stres kerja

dapat ditinjau dari beberapa sudut yaitu:

pertama, stres kerja merupakan hasil dari

keadaan tempat kerja. Kedua, stres kerja

merupakan hasil dari dua faktor organisasi

yaitu keterlibatan dalam tugas dan dukungan

organisasi. Ketiga, stres karena ”work load”

atau beban kerja. Keempat, akibat dari waktu

kerja yang berlebihan. Dan kelima, faktor

tanggung jawab kerja. Kahn dan Quin (dalam

Ivanceviech et al, 1982) menambahkan bahwa

stres kerja merupakan faktor-faktor lingkungan

kerja yang negatif, salah satunya yaitu beban

kerja yang berlebihan dalam pekerjaan. Hal

senada juga diungkapkan oleh Keenan dan

Newton (1984) yang menyebutkan bahwa

stress kerja merupakan perwujudan dari

kekaburan peran dan beban kerja yang

berlebihan.

Hasil penelitian Kuan (1994), Bat (1995),

Aun (1998) dan Yahya (1998) membuktikan

bahwa beban kerja yang berlebih berpengaruh

pada stres kerja. Selanjutnya, penelitian

Widjaja (2006) menemukan bahwa beban

pekerjaan yang terialu sulit untuk dikerjakan

dan teknologi yang tidak menunjang untuk

melaksanakan pekerjaan dengan baik sering

menjadi sumber stres bagi karyawan.

Quick dan Quick (1984) mengkategorikan

jenis stres menjadi dua, yaitu: Eustress, yaitu

hasil dari respon terhadap stres yang bersifat

sehat, positif, dan konstruktif (bersifat

membangun), dan yang ke dua Distress, yaitu

hasil dari respon terhadap stres yang bersifat

tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat

merusak). Lebih lanjut Eustress dapat

memunculkan suatu kondisi kepuasan dalam

pekerjaannya. Sebagaimana diungkapkan

oleh Nilvia (2002) bahwa Kepuasan kerja

karyawan merupakan salah satu aspek penting

yang perlu diperhatikan dalam usaha

peningkatan kemampuan sumber daya

manusia suatu organisasi, karena dengan

kepuasan kerja yang dirasakan maka seorang

karyawan mampu bekerja secara optimal.

Sullivan & Bhagat (1992) menyebutkan

bahwa banyak penelitian mengenai pengaruh

stres kerja terhadap kepuasan kerja dalam

suatu organisasi. Hasil penelitian Lee (dalam

Google.com, 2008) menunjukkan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja salah satunya adalah stres kerja.

Selanjutnya penelitian Alberto (1995),

mengungkapkan bahwa stress ker ja

berpengaruh terhadap kepuasan kerja staf

audit. Penelitian yang senada juga ditemukan

oleh Praptini (2000) yang menunjukkan bahwa

stress berpengaruh terhadap kepuasan kerja

yang dirasakan oleh tenaga edukatif tetap

Universitas Airlangga.

Namun hasil penelitian Lut (2008)

menunjukkan bahwa pengaruh stres kerja

terhadap kepuasan kerja karyawan pada PT

SHARP Electronics Indonesia adalah stres

kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap kepuasan kerja karyawan. Karena

dengan stres, seseorang semakin terpacu

untuk mengerahkan segala kemampuan dan

sumberdaya-sumberdaya yang dimilikinya

agar dapat memenuhi persyaratan dan

kebutuhan kerja.

Berdasarkan kerangka berpikir diatas

maka dapat dibuat suatu model sebagai

kerangka pemikiran teoritis untuk menjawab

masalah penelitian sebagai berikut:

Page 20: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

18

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

Beban Kerja Stres KerjaKepuasan

KerjaH1 H2

Dari hasil penelitian terdahulu dari model

penelitian di atas, dapat dibuat hipotesis

penelitian sebagai berikut :

a) Beban kerja berpengaruh secara signifkan

terhadap stres kerja.

b) Stres kerja berpengaruh secara signifikan

terhadap kepuasan kerja.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

lapangan yang bersifat kuantitatif dengan

pengumpulan data melalui skala. Dalam

penelitian ini yang menjadi variabel bebas

adalah beban kerja, variabel intervening

adalah stres kerja, dan variabel terikatnya

adalah kepuasan kerja medical representatif.

Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan tiga skala pengukuran yaitu :

a). Skala beban kerja.

Dalam pengukuran beban kerja dengan

menggunakan metode NASA TLX, (NASA-

Task Load Index) faktornya antara lain:

Kebutuhan Fisik (KF), Kebutuhan Mental (KM),

Kebutuhan Waktu (KW), Performansi (PF),

Usaha (U), dan Tingkat Stress (TS).

b). Skala Stres Kerja

Untuk mengukur stres kerja adalah

indikator yang digunakan oleh Patricia (2006).

dimana indikatornya antara lain : Fisiologis,

K o g n i t i f , S u b y e k t i f , P e r i l a k u , d a n

Keorganisasian.

c). Skala Kepuasan Kerja

Indikator kepuasan kerja disusun berdasarkan

teori dua faktor Herzberg, yaitu :

?Motivator Factor. Antara lain : Achievement

(keberhasilan menyelesaikan tugas,

Recognition (penghargaan), Work it self

(pekerjaan itu sendiri), Responbility

(tanggung jawab), Possibility of growth

(kemungkinan untuk mengembangkan diri),

Advancement (kesempatan untuk maju),

?Hygiene factor, antaralain :working

condition (kondisi kerja), interpersonal

relation (hubungan antar pribadi), company

policy and administration (kebijaksanaan

perusahaan), supervision technical (tekhnik

pengawasan), Job security (perasaan

aman dalam bekerja.

Populasi penelitian ini adalah Medical

Representatif di kota Kudus. Cara pengambilan

sample pada penelitian ini dilakukan secara

Purposive Sampling. Pengambilan sample

dilakukan langsung oleh peneliti di rumah sakit,

apotik, dan tempat prakter dokter.

Dalam penelitian yang telah dikumpulkan

kemudian dianalisis menggunakan tekhnik

analisis statistik multiple linier regression

menggunakan program analisis statistik SPSS

versi 11,5 for windows. tekhnik analisis regresi

linier untuk mengukur kekuatan hubungan

antar 2 variabel atau lebih, juga menunjukkan

arah hubungan antara variabel dependen

dengan variabel independen. Analisis regresi

linier dilakukan untuk mengetahui pengaruh

satu variabel independen terhadap satu

variabel dependen.

Sebelum melakukan uji hipotesis, data

perlu diuji agar memenuhi kriteria Best Linear

Unbiased Estimator (BLUE) sehingga dapat

menghasilkan parameter penduga yang sahih

(Supramono & Haryanto, 2005) yaitu dengan

menguji multikoleniaritas, heterokedastisitas,

dan normalitas.

Page 21: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

19

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

Hasil Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan

menyebar 60 kuesioner. Kuesioner yang telah

diisi dan dikembalikan sebanyak 50 kuesioner,

sedangkan yang digunakan dalam melakukan

analisis data hanya 42 kuesioner karena 8

kuesioner lainnya rusak (tidak diisi secara

lengkap). Berikut karakteristik responden yang

ditemui dilapangan :

Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase

Pria

24

57 %

Wanita 18 43 %

Jumlah 42 100 %

Tabel 1

Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Usia Frekuensi Prosentase

< 30 tahun

16

38 %

30 - 45 tahun

26 62 %

Jumlah 42 100 %

Tabel 2

Responden berdasarkan Usia

Usia Frekuensi

Prosentase

1 – 5 tahun 12

29 %

5 – 10 tahun 24

57 %

> 10 tahun 6

14 %

Jumlah 42 100 %

Tabel 3

Responden berdasarkan Lama Bekerja

sebagai Medical Representatif

Sesuai dengan prosedur penelitian,

langkah selanjutnya adalah menguji validitas &

reabilitas masing-masing skala. berikut hasil uji

validitas dan reabilitas masing-masing skala.

Skala

Koef.Reliabilitas

Validitas Item gugur

Skala Beban Kerja

0, 7516 0,3521 – 0,6231 3Skala Stres Kerja

0, 9034 0,3342 – 0,7561 19

Skala Kepuasan Kerja 0, 9659 0,2954 – 0,9013 2

Tabel 4

Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Masing-

Masing Skala

Untuk melihat bahwa suatu data

terdistribusi secara normal atau tidak. Model

regresi yang baik adalah datanya

terdistribusi secara normal atau mendekati

normal (Bida, 2006). Dalam penelitian ini,

digunakan diagram normal P plot untuk

mengetahui distribusi data. Dari dua (2)

grafik normal Pplot cenderung menyebar

disekitar garis diagonal dan mengikuti arah

garis diagonal atau garis histogram. Hal ini

berarti data yang digunakan dalam penelitian

ini mengalami gejala normalitas.

Uji multikolinearitas dilakukan untuk

mengetahui ada tidaknya korelasi yang

sempurna. Indicator tidak terjadinya

multikolinearitas adalah variance inflation

factor /VIP disekitar angka 1, angka

tolerance mendekati 1, dan koeefisien

korelasi antar variable independent harus

l e m a h ( d i b a w a h 0 , 5 ) . H a s i l u j i

multikolinearitas menunjukkan bahwa nlai

VIF dari kedua variabel sekitar angka 1, nilai

tolerance mendekati 1, dan koefisien korelasi

dibawah 0.5, maka dapat disimpulkan bahwa

tdak terdapat masalah multikolnearitas pada

model regresi ini.

Seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, gejala heteroskedastisitas

terjadi sebagia akibat dari variasi residual

yang tidak sama untuk semua pengamatan,

untuk mendeteksinya digunakan grafik

Scatterplot. Dari hasil grafik dilihat titik-titik

menyebar secara acak diatas dibawah

angka nol pada sumbu Y. Hal ini

Page 22: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

20

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

menunjukkan bahwa tidak ada masalah

heteroskidastisitas yang mengindikasikan

varians konstan yang menghasilkan model

estimator yang tidak bias. Maka dapat

dikatakan model regresi memenuhi syarat

untuk memprediksi stres.

Dari hasil pengujian hipotesis dengan

menggunakan tekhnik analisis regresi

diperoleh hasil uji hipotesis menunjukkan nilai

Adjusted R2 sebesar -,025 ini menunjukkan

bahwa pengaruh beban kerja terhadap stres

kerja sebesar 2,5 %. Dengan pengaruh yang

sangat kecil tersebut, dapat diartikan bahwa

tidak ada bentuk pengaruh beban kerja

terhadap stres kerja, yang berarti semakin

tinggi beban kerja, stres kerja yang dirasakan

dapat tinggi ataupun rendah. Begitupun juga

sebaliknya semakin kecil beban kerja yang

ditanggung, stres kerja yang dirasakan dapat

tinggi ataupun rendah.. Selain itu diketahui

hasil nilai F hitung sebesar 0.000 dengan

tingkat signifikansi 0.993, dan nilai t hitung -

0.009 dengan sigifkansi 0.993. Hal ini

menunjukan bahwa beban kerja tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap stress

kerja. Hasil penelitian berarti menolak hipotesis

1 penelitian, yaitu beban kerja berpengaruh

secara signifikan terhadap strees kerja.

Dari hasil pengujian hipotesis dengan

menggunakan tekhnik analisis regresi

diperoleh: Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai

Adjusted R2 sebesar 0,033 ini menunjukkan

stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan

kerja sebesar 3,3 %, Dengan pengaruh yang

juga sangat kecil, dapat diartikan bahwa tidak

ada bentuk pengaruh stres kerja terhadap

kepuasan kerja, yang berarti semakin tinggi

stres kerja, kepuasan kerja yang dirasakan

dapat tinggi ataupun rendah. Begitupun juga

sebaliknya semakin kecil stres kerja, kepuasan

kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun

rendah.

Hasil tersebut lebih diperjelas dengan nilai

F hitung sebesar 2,391 dengan signifikansi

0,130. Dan dari perhitungan uji t diperoleh nilai

sebesar 1.546 dengan signifikansi sebesar

0.130. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh

stres kerja terhadap kepuasan kerja tidak

signifikan. Hasil penelitian ini berarti menolak

Hipotesis 2 yaitu : stres kerja berpengaruh

secara signifikan terhadap kepuasan kerja.

Diskusi

Hasil penelitian ini bertentangan dengan

hasil-hasil penelitian sebelumnya yang

m e n y a t a k a n b a h w a b e b a n k e r j a

mempengaruhi stres yang dirasakan seorang

karyawan. Hasil penelitian tersebut antara lain :

Kuan (1994), Bat (1995), Aun (1998) dan

Yahya (1998) membuktikan bahwa beban kerja

yang berlebih berpengaruh pada stres kerja.

Selanjutnya, penelitian Widjaja (2006)

menemukan bahwa beban pekerjaan yang

terialu sulit untuk dikerjakan dan teknologi yang

tidak menunjang untuk melaksanakan

pekerjaan dengan baik sering menjadi sumber

stres bagi karyawan.

Namun pada kenyataanya beban tidak

selalu menjadi sumber penyebab stress yang

dirasakan medical represntatif, terdapat faktor-

faktor lain yang dapat mempengaruhi stres

kerja medical representatif . dimana faktor

yang mempengaruhi stres kerja itu sendiri

sangat banyak sekali dan juga tergantung dari

persepsi individu dalam menghadapi suatu

masalah. Terkadang ada individu yang saat

menghadapi beban kerja yang berat menjadi

m e r a s a t e r t a n t a n g u n t u k d a p a t

menyelesaikannya sehingga akan lebih rajin

dan giat dalam mencapai target yang telah

dibebankan. Sehingga individu yang demikian

tidak merasakan stres dalam pekerjaannya

tetapi merasa lebih bersemangat untuk bekerja

memenuhi target.

Page 23: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

21

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan

Selye (dlm Brief et al,1981) bahwa stres kerja

adalah konsep yang terus bertambah. Ini

terjadi akibat adanya permintaan yang

bertambah, maka semakin bertambah pula

munculnya potensi kerja yang disebakan oleh

banyak hal.

Stres kerja itu bisa diakibatkan karena

pengaruh gaji atau salary yang diterima

karyawan, seperti yang dikemukakan oleh

Cooper & Payne (dlm Robins, 2001). apalagi

pada saat sekarang ini perekonomian menjadi

sangat sulit sehingga seseorang banyak yang

mengalami stres karena kesulitan untuk

mencukupi kebutuhan hidup. Hasil uji hipotesis

menunjukkan nilai Adjusted R2 sebesar -,025

ini menunjukkan bahwa pengaruh beban kerja

terhadap stres kerja sebesar 2,5 %. Dengan

pengaruh yang sangat kecil tersebut, dapat

diartikan bahwa tidak ada bentuk pengaruh

beban kerja terhadap stres kerja, yang berarti

semakin tinggi beban kerja, stres kerja yang

dirasakan dapat tinggi ataupun rendah.

Begitupun juga sebaliknya semakin kecil

beban kerja yang ditanggung, stres kerja yang

dirasakan dapat tinggi ataupun rendah

Begitu juga dengan hasil penelitian stres

kerja tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap kepuasan. Jadi stres kerja tidak

secara otomatis mempengaruhi kepuasan

kerja Medical representatif di kota Kudus.

Artinya stres kerja bukan sebagai prediktor

terhadap munculnya variabel kepuasan kerja.

Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai Adjusted

R2 sebesar 0,033 ini menunjukkan stres kerja

berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebesar

3,3 %, Dengan pengaruh yang juga sangat

kecil, dapat diartikan bahwa tidak ada bentuk

pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja,

yang berarti semakin tinggi stres kerja,

kepuasan kerja yang dirasakan dapat tinggi

ataupun rendah. Begitupun juga sebaliknya

semakin kecil stres kerja, kepuasan kerja yang

dirasakan dapat tinggi ataupun rendah.

Hasil dari penelitian ini mendukung

penelitian yang dilakukan oleh Lut (2008) yang

menunjukkan bahwa pengaruh stres kerja

terhadap kepuasan kerja karyawan pada PT

SHARP Electronics Indonesia tidak memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan

kerja karyawan. Karena dengan stres,

s e s e o r a n g s e m a k i n t e r p a c u u n t u k

mengerahkan segala kemampuan dan

sumberdaya-sumberdaya yang dimilikinya

agar dapat memenuhi persyaratan dan

kebutuhan kerja.

Sejalan dengan penelitian diatas, McGee,

Goodson & Cashman (1984) mendapati bahwa

beberapa faktor yang menyebabkan pegawai

mengalami stres kerja tetapi masih merasa

puas terhadap pekerjaannya. Hal ini

diantaranya disebabkan oleh tugas yang

mereka kerjakan penuh dengan tantangan dan

menyenagkan hati mereka. Selain itu terjadi

komomunikasi yang efektif di antara para

anggota dalam organisasi tersebut.

Selain dari penelitian Lut, beberapa

pendapat juga menyatakan bahwa terdapat

banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja karyawan yaitu insentif dan gaji yang

diterima (Parwanto & Wahyudin, 2008).

Pendapat yang lain juga diungkapkan oleh

Soewondo (1992) dimana faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja itu antara lain

hubungan personal, tempat kerja, dan karir

yang tidak jelas.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan dari penelitian yang telah

dilakukan didapatkan hasil bahwa stres kerja

tidak secara signifikan mempengaruhi

Page 24: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

22

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

kepuasan kerja yang dirasakan medical

representatif di kota Kudus. Terdapat banyak

hal yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja

seseorang. Berdasarkan hasil wawancara

awal didapat bahwa salah satu alasan merasa

nyaman dengan pekerjaan yang dijalani saat

iini adalah meskipun berat tetapi mereka

sangat mengharapkan mendapatkan insentif

guna menambah untuk kebutuhan keluarga.

Hal ini juga didukung oleh Cooper & Payne

(dlm Robins, 2001) yang mempengaruhi

kepuasan kerja seseorang salah satunya

adalah salary yang diterima. Untuk itu

diharapkan para medical representatif tidak

hanya fokus terhadap gaji dan insentif sebagai

pendorong untuk dapat merasakan kepuasan

kerja. Banyak hal yang dapat menjadi

pendorong untuk dapat merasakan kepuasan

kerja, misalnya saja karena stres kerja yang

tinggi membuat medical representatif menjadi

terpacu untuk melakukan tugasnya sebaik

mungkin sehingga mampu merasakan puas

dengan pekerjaannya.

Saran

Diharapkan para Medical representatif

mampu mengatasi stres yang berkaitan

dengan perasaan yang hanya dapat dirasakan

oleh individu, yaitu perasaan gelisah dan

ketakutan, agresif, lesu, merasa lelah, merasa

sangat kecewa, kehilangan kesabaran. Karena

bila stres dibiarkan berkepanjangan akan

berpengaruh pada kondisi fisiologis, dan

kognitif yang pada akhirnya akan merugikan

diri individu.

R e k o m e n d a s i p e n e r a p a n b a g i

perusahaan, lebih menjamin kesejahteraan

dari medical representatif, lebih jeli dan peka

mengenai hal-hal yang dapat menjadi

kepuasan bagi karyawannya. Rekomendasi

penerapan bagi penelitian lanjutan, beberapa

keterbatasan dari peneli t ian ini dan

rekomendasi bagi penelitian selanjutnya

adalah penelitian ini difokuskan hanya pada

satu kota. Pada kenyataannya medical

reprentatif bukan hanya ada di kota Kudus

saja. Oleh karena itu hasil penelitian ini masih

sulit digeneralisasikan kedalam medical

representatif di kota lain, dan penelitian

selanjutnya bisa dilakukan dikota-kota yang

lain.

Penelitian mengenai kepuasan kerja tidak

bersifat statis, ketidakpuasan yang saat ini

terjadi dimasa yang akan datang bisa saja

mengalami perubahan oleh karena itu masih

sangat terbuka untuk dilakukannya pelatihan

yang sama sehingga dapat diketahui tingkat

improvement kepuasan. Berdasarkan hasil

penelitian terdapat variabel-variabel lain yang

mempengaruhi variabel dependen yang belum

terdeteksi, misalnya: variabel lain yang

mempengaruhi stres dan kepuasan medical

representatif yaitu iklim organisasi dan insentif.

Penelitian selanjutnya dapat menggunakan ke

dua var iabel in i untuk mengetahui

pengaruhnya terhadap stres dan kepuasan.

Daftar Pustaka

Albe r to . , (1995) . A compar i son o f

organizational structure, job stress, and

satisfaction in audit and Management. All

Businnes

Arifin Haji Zainal. (1977). Pengkhususan dan

Kepuasan kerja. Dewan Masyarakat, Julai:

40-41

Cooper, C. L., Dewe, P. J., & O'Driscoll, M. P.

(1991). Organizational Stress: A Review

and Critique of Theory, Research, and

Applications. California: Sage Publications,

Inc.

Ivancevich, J. M. dan Mattson, M.T., dan

Page 25: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

Volume I, No 1, Desember 2010

23

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)

Preston,. (1982). Occupational Stress,

Type A a behavior, and Psychological Well

Being. Accademy of Management Journal.

25(2).373-391.

Keenan, A., & Newton, T.J. (1984).Fractration

in Organizations: Relationship to role stress

Chinate, and Psychological Strain. Journal

of Occupational Pychologi. 57, 57-65.

Lee., (2008) The Effect of Job Characteristics

and Personal Factors on Work Stress, Job

Satisfaction and Turnover Intention.

www.google.com

Matteson, M.T & Ivancevich, J.M. (1988).

Controlling work stress. San Fransisc.

Praptini., (2000). Pengaruh stress kerja

terhadap kepuasan kerja tenaga edukatif

tetap Fakultas Ilmu Social Universitas

Airlangga. Surabaya. Airlangga University

Library.

Republika., (2003). Medical Representative

Smith, M.J.(1981). Occupational Stress: an

Overview of Psychologi factors. Dalam

Selvendy.G & Smith M.J. (ed), Pacing and

Occupational Stress. London: Taylor &

Francis. Ltd.

Sullivan, Rabi, Bhagat., (1992). Organizational

stress, Job satisfaction, and Job

Performance. www.google.com.

Supramono & Haryanto., (2005). Desain

Proposal Penelitian Studi Pemasaran.

Yogyakarta. Andi Offset

Wagner, III, J.A. & Hollenbeck, J.R.

1995.Management of Organizational

Behavior. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Wijono, S., (2001). Pengaruh interaksi motivasi

kerja dan kepribadian terhadap prestasi

kerja supervisor disebuah pabrik tekstil di

Salatiga. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Dian

Ekonomi. Vol.VII No.2. September hal 248-

278.

Wijono, S. (2007). Kepuasan dan Stres Kerja.

Salatiga: Widya Sari Press

W i k i p e d i a . ( 2 0 0 ) .

http://en.wikipedia.org/wiki/Workload

Page 26: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

24

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

Abstract

The research aims to know the storytelling method in increasing the development of moral intelligence of preschool children. Subject of the research is the five year students of kindergarten. The research is designed using model of The Untreated Control Group Design with Pretest and Posttest. This design uses two groups examined which consist of an experiment group and a control group. The measurement is conducted twice using moral intelligence measurement instrument, namely before it is given treatment (pre-test) and after it has been given treatment (post-test). The result of analysis using covariance analysis (anacova) shows that there is difference of moral intelligence achievement level of the preschool children between those who received moral value guidance using storytelling method and those who do not receive it. The result of analysis also shows that there is difference of moral intelligence achievement level before they receive moral value guidance through storytelling method and after the have received it. The importance of storytelling method toward the moral intelligence of preschool children is 34 %.

Keywords: moral intelligence, storytelling method.

METODE DONGENG DALAM MENINGKATKAN PERKEMBANGAN

KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRASEKOLAH

Latifah Nur Ahyani

Universitas Muria Kudus

Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam

kehidupan yang diwarnai oleh pelanggaran

terhadap hak orang lain, kekerasan,

pemaksaan, ketidakpedulian, kerancuan

antara benar dan salah, baik dan tidak baik,

perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Banyak masalah yang diselesaikan dengan

kekerasan, adu kekuatan f is ik dan

mengabaikan cara penyelesaian dengan

mengandalkan pertimbangan moral.

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dan

hal tersebut dapat terjadi karena dalam semua

aspek telah terjadi pengabaian terhadap

bagian yang sangat mendasar yaitu nilai-nilai

moral. Kepekaan seseorang mengenai

kesejahteraan dan hak orang lain merupakan

pokok persoalan ranah moral. Kepekaan

tersebut tercermin dalam kepedulian

seseorang akan konsekuensi tindakannya bagi

orang lain, dan dalam orientasinya terhadap

pemilikan bersama. Faktor yang sangat

dirasakan kurang menunjang terbentuknya

nilai moral anak adalah pengaruh lingkungan.

Pola asuh yang adekuat, supervisi orang

dewasa di sekitar anak dan model perilaku

moral diharapkan dapat meminimalisir

pengaruh lingkungan tersebut.

Anak usia prasekolah dipandang sebagai

individu yang baru mulai mengenal dunia. Anak

belum memahami tata krama, sopan santun,

aturan, norma, etika, dan berbagai hal lain yang

terkait dengan kehidupan dunia. Usia

prasekolah merupakan masa bagi seorang

anak untuk belajar berkomunikasi dengan

orang lain serta memahaminya. Oleh karena itu

seorang anak perlu dibimbing dan diberi

stimulasi agar mampu memahami berbagai hal

Page 27: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

25

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

tentang kehidupan dunia dan segala isinya.

Pemberian stimulasi pada anak selama

proses pengembangan kepribadian menjadi

sangat penting. Stimulasi identik dengan

pemberian rangsangan yang berasal dari

lingkungan di sekitar anak guna lebih

mengoptimalkan aspek perkembangan anak.

Salah satu stimulasi yang diperlukan dan

penting untuk anak adalah penanaman nilai-

nilai moral. Penanaman nilai-nilai moral sangat

d i b u t u h k a n u n t u k m e n g o p t i m a l k a n

perkembangan kecerdasan moral mereka.

Borba (2001) merumuskan bahwa

kecerdasan moral yai tu kemampuan

memahami kebenaran dari kesalahan, artinya

memiliki keyakinan etika yang kuat dan

bertindak berdasarkan keyakinan tersebut,

sehingga orang bersikap benar dan terhormat.

Kecerdasan yang sangat penting ini mencakup

karakter-karakter utama, seperti kemampuan

memahami penderitaan orang lain dan tidak

bertindak jahat, mampu mengendalikan

dorongan dan menunda pemuasan,

mendengarkan dari berbagai pihak sebelum

memberikan penilaian, menerima dan

menghargai perbedaan, dapat memahami

pilihan yang tidak etis, dapat berempati,

memperjuangkan keadilan, dan menunjukkan

kasih sayang dan rasa hormat pada orang lain.

Borba (2001) menyatakan kecerdasan

moral terbangun dari tujuh kebajikan utama

yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, baik

budi, toleransi dan adil yang membantu anak

menghadapi tantangan dan tekanan etika yang

tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya

kelak. Kebajikan-kebajikan utama tersebut

yang akan melindunginya agar tetap berada di

jalan yang benar dan membantunya agar selalu

bermoral dalam bertindak.

Perkembangan moral merupakan suatu

proses yang terus menerus berkelanjutan

sepanjang hidup. Meningkatnya kapasitas

moral anak dan didukung dengan kondisi yang

baik, anak berpotensi menguasai moralitas

yang lebih tinggi. Setiap kali anak berhasil

menguasai satu kebajikan, kecerdasan

moralnya bertambah dan ia pun menaiki

tangga kecerdasan moral yang lebih tinggi.

Temuan penting yang dilaporkan adalah

anak-anak dengan kecerdasan moral tinggi

menunjukkan korelasi dengan academic

performance dan peningkatan prestasi yang

signifikan (Blocks, 2002). Kochanska, Murray,

dan Harlan (McCartney & Phillips, 2006)

menyimpulkan dari berbagai penelitian bahwa

kecerdasan moral berpengaruh terhadap

kemampuan regulasi diri pada anak usia dini

maupun prasekolah.

Konsep kecerdasan moral memberikan

pemahaman bahwa kecerdasan moral dapat

diajarkan. Anak dapat meniru model, anak

dapat menangkap inspirasi mengenai perilaku

m o r a l , d a p a t d i b e r i k a n p e n g u a t a n

(reinforcement) sehingga setahap demi

setahap anak dapat meningkatkan kecerdasan

moralnya. Semakin dini diajarkan kepada anak

semakin besar kapasitas anak untuk mencapai

karakter yang solid yaitu growing to think,

believe, and act morally (Coles, 1999).

Fittro (Mukti & Hwa, 2004) menyatakan

bahwa anak-anak mengembangkan moralitas

perlahan dan bertahap. Setiap tahap

membawa anak lebih dekat dengan

pembangunan moral dewasa. Fittro juga

mencatat bahwa salah satu cara yang efektif

untuk membantu anak-anak kita mengubah

moral mereka menjadi positif adalah mengajar

perilaku moral dengan contoh. Namun, anak-

anak dikelilingi oleh contoh buruk. Selain

menetapkan contoh yang baik bagi anak-anak,

salah satu hal sederhana yang dapat kita

lakukan adalah membaca sebuah dongeng

yang dapat menghubungkan mereka dengan

sebuah prinsip atau nilai.

Page 28: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

26

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

Menurut Lenox (2000) pendidik masa awal

kanak-kanak ditantang untuk memperkenalkan

anak-anak kepada dunia untuk masa depan

mereka, suatu dunia yang akan terus

meningkat menjadi multicultural dan bersuku

banyak. Metode dongeng adalah suatu alat

kuat untuk meningkatkan suatu pemahaman

diri dan orang lain.

Collin (Isbell dkk., 2004) menegaskan

mendongeng mempunyai banyak kegunaan di

dalam pendid ikan utama anak. Dia

menyimpulkan bahwa dongeng menyediakan

suatu kerangka konseptual untuk berpikir, yang

menyebabkan anak dapat membentuk

pengalaman menjadi keseluruhan yang dapat

mereka pahami. Dongeng menyebabkan

mereka dapat memetakan secara mental

pengalaman dan melihat gambaran di dalam

kepala mereka, mendongengkan dongeng

tradisional menyediakan anak-anak suatu

model bahasa dan pikiran bahwa mereka dapat

meniru.

Sanchez dkk. (2009) mengungkapkan

kekuatan utama strategi dongeng adalah

menghubungkan rangsangan melalui

penggambaran karakter. Dongeng memiliki

potensi untuk memperkuat imajinasi,

memanusiakan individu, meningkatkan empati

dan pemahaman, memperkuat nilai dan etika,

dan merangsang p roses pemik i ran

kritis/kreatif.

Menurut Horn (Staden & Watson, 2007)

dongeng mempunyai kemampuan untuk

menciptakan lingkungan belajar yang benar

untuk siswa anak usia dini. Selain itu, metode

dongeng dapat dijadikan sebagai media

membentuk kepribadian dan moralitas anak

usia dini. Menurut Borba (2001) dongeng

tentang suatu kebajikan serta pengaruhnya

dalam memberikan perubahan yang positif di

dunia akan membantu anak memahami

kekuatan kebajikan tersebut dan membuat

mereka berpikir bahwa mereka pun dapat

melakukan sesuatu bagi dunia.

Metode dongeng dapat dijadikan sebagai

media pembentuk kepribadian dan moralitas

anak usia dini, melalui metode dongeng akan

memberikan pengalaman belajar bagi anak

usia dini. Metode dongeng memiliki sejumlah

aspek yang diperlukan dalam perkembangan

kejiwaan anak, memberi wadah bagi anak

untuk belajar berbagai emosi dan perasaan

dan belajar nilai-nilai moral. Anak akan belajar

pada pengalaman-pengalaman sang tokoh

dalam dongeng, setelah itu memilah mana

yang dapat dijadikan panutan olehnya

sehingga membentuknya menjadi moralitas

yang dipegang sampai dewasa.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu

mengetahui metode dongeng dalam

meningkatkan perkembangan kecerdasan

moral anak usia prasekolah.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Ada perbedaan tingkat pencapaian

kecerdasan moral anak usia prasekolah antara

yang mendapatkan penyampaian nilai-nilai

moral melalui metode dongeng dengan yang

tidak mendapatkan penyampaian nilai-nilai

moral melalui metode dongeng. Anak yang

mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral

melalui metode dongeng memiliki tingkat

kecerdasan moral yang lebih t inggi

dibandingkan anak yang tidak mendapatkan

penyampaian nilai-nilai moral melalui metode

dongeng.

2. Ada perbedaan tingkat pencapaian

kecerdasan moral anak usia prasekolah

Page 29: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

27

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

sebelum mendapatkan penyampaian nilai-nilai

moral melalui metode dongeng dan setelah

mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral

melalui metode dongeng. Tingkat kecerdasan

moral sebelum mendapatkan penyampaian

nilai moral melalui metode dongeng lebih

rendah dibandingkan tingkat kecerdasan moral

setelah mendapatkan penyampaian nilai moral

melalui metode dongeng.

Metode Penelitian

Subyek penelitian adalah siswa TK X dan

TK Y di Surakarta dengan karakter sekolah

bukan sekolah favorit, memiliki fasilitas yang

terbatas, sekolah memiliki rumpun yang sama.

Sekolah yang dipilih sebagai tempat penelitian

adalah TK Q. Sampel penelitian ditetapkan

dengan tidak random atau non random yaitu

melalui penunjukan. Siswa yang menjadi

sampel penelitian adalah siswa TK B berusia 5

tahun. Jumlah siswa laki-laki dan perempuan

pada kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol sama.

Rancangan penelitian ini menggunakan

model The Untreated Control Group Design

with Pretest and Posttest (Cook & Campbell,

1979). Desain ini menggunakan dua kelompok

yang diamati yang terdiri dari satu kelompok

eksperimen dan satu kelompok kontrol.

Pengukuran dilakukan dua kali yaitu sebelum

diberikan perlakuan (pre-test) dan sesudah

diberikan perlakuan (post-test).

Penelitian ini menggunakan instrumen

pengukuran kecerdasan moral untuk

mengumpulkan data tentang kecerdasan moral

anak usia prasekolah. Instrumen dibuat dalam

bentuk gambar berwarna dengan ukuran

kertas (21cm x 16cm) yang terdiri dari tujuh

gambar yang mewakili tujuh kebajikan dan

dijilid menjadi sebuah buku instumen.

Instrumen berupa situasi dalam kehidupan (life

setting) sehari-hari anak usia 4-6 tahun dan ada

keterlibatan dengan teman sebaya. Situasi dan

“others' yang terlibat sesuai dengan relevansi

masing-masing kebajikan. Objek dalam

gambar merupakan bagian dan situasi (tidak

terlalu banyak back ground) sehingga tidak

memecah perhatian anak dalam memahami

situasi. Figure focus dapat berganti (parallel)

antara anak laki-laki dan perempuan.

Instrumen ini dibuat berdasarkan tujuh

kebajikan sebagai unsur dari kecerdasan moral

menurut Borba (2001) yaitu empati, nurani,

kontrol diri, respek, baik budi, toleran, adil.

Pengujian validitas menggunakan model

construct validity dan content validity. Skala

terdiri dari tujuh gambar dan diposisikan

sebagai instrumen aitem. Subyek uji coba

terdiri dari 24 orang anak yang berasal dari

empat orang siswa PAUD di Semarang, dua

orang siswa TK di Solo, enam orang siswa TK

di Bantul, delapan orang siswa PAUD di

Sleman, empat orang siswa TK di Kodya

Yogyakarta. Hasil angka corrected item-total

correlation berada pada kisaran 0,304 – 0,623.

Berdasarkan angka korelasi tersebut

disimpulkan bahwa tujuh butir skala (gambar)

cukup valid untuk mengukur kecerdasan moral

anak. Butir yang valid diuji reliabilitasnya

dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach.

Angka reliabilitasnya tidak terlalu tinggi yaitu

berkisar antara 0,617-0,760.

Prosedur penyajian alat ukur diberikan

langsung pada anak secara individual dan anak

diminta memberikan respon dengan cara

menceritakan situasi apa yang dapat ditangkap

anak dari gambar yang disajikan satu per satu.

Jawaban masing-masing subyek dicatat pada

lembar jawab. Jawaban masing-masing

subyek diberi skor antara 1 – 3. Skor 3 apabila

memenuhi semua kriteria, skor 2 apabila

memenuhi lebih dari satu kriteria, skor 1 apabila

hanya memenuhi satu kriteria atau sama sekali

Page 30: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

28

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

tidak memenuhi kriteria. Seluruh jawaban anak

n a n t i n y a a k a n d i g u n a k a n s e b a g a i

pembahasan.

Perlakuan yang diberikan dalam penelitian

ini adalah metode dongeng. Sebuah modul

metode dongeng dirancang bagi anak-anak

usia prasekolah dengan tujuan untuk

meningkatkan kecerdasan moral. Modul

metode dongeng disusun dengan mengajak

anak mendengarkan dongeng yang terdiri dari

pengenalan nilai-nilai moral yang harus dimiliki

anak-anak. Nilai moral terkandung dalam

setiap dongeng, penelitian ini dilakukan dalam

10 kali pertemuan sehingga dibutuhkan 10

dongeng berbeda yang mengandung nilai

moral berbeda. Waktu yang dibutuhkan dalam

satu kali pertemuan adalah 25 menit. Kegiatan

di kelas disusun dengan urutan kegiatan awal,

pelajaran inti, evaluasi, kegiatan penutup

Untuk menguji hipotesis yang diajukan,

data-data yang terkumpul akan dianalisis

secara statistik melalui analisis kovarians

(anakova) dan anava amatan ulangan dengan

mengendalikan usia siswa atau usia sebagai

kovariabel, hanya siswa yang berusia 5 tahun

yang diambil sebagai sampel penelitian.

Hasil Penelitian

Hasil analisis diskripstif menunjukkan

kenaikan skor empirik pada pre-test dan post-

test kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol. Pada kelompok eksperimen dengan

melihat rerata pada pre-test 11,18 dengan

standar deviasi 3,522 terjadi kenaikan rerata

pada post-test menjadi 17,47 dengan standar

deviasi 2,695. Pada kelompok kontrol juga

terjadi kenaikan dengan melihat rerata pada

kelompok pre-test 11,82 dengan standar

deviasi 3,067 menjadi 14,41 dengan standar

deviasi 2,575 pada post-test.

Penelitian ini menggunakan tiga kategori.

Ketiga kategori tersebut adalah rendah,

sedang dan tinggi. Kategori kecerdasan moral

ditentukan berdasarkan skor total subyek pada

pengukuran dengan menggunakan instrumen

kecerdasan moral. Hasil data penelitian untuk

pengukuran ini diperoleh data mean hipotetik

sebesar 14 dan standar deviasi sebesar 2,33.

Berdasarkan pengelompokkan dengan

norma kategorisasi kecerdasan moral dapat

diketahui jumlah anak pada masing-masing

kategori. Pada kelompok eksperimen, jumlah

anak dengan kategori rendah tidak ada atau

kosong, kategori sedang ada empat anak dan

dengan kategori tinggi ada 13 anak. Pada

kelompok kontrol, jumlah anak dengan kategori

rendah ada dua anak, kategori sedang ada 10

anak dan dengan kategori tinggi ada lima anak.

Uji normalitas dalam penelitian ini

menggunakan formulas i one-sample

Kolmogorov-Smirnov test. Hasil uji normalitas

menunjukkan bahwa sebaran data kedua

kelompok subyek adalah normal dengan p

sebesar 0,972 p > 0,05 untuk data pre-test dan

p sebesar 0,535 p > 0,05 untuk data post-test

pada kelompok eksperimen, p sebesar 0,541 p

> 0,05 untuk data pre-test dan p sebesar 0,681

p > 0,05 untuk data post-test pada kelompok

kontrol, sehingga pengujian asumsi kemudian

dilanjutkan pada uji homogenitas.

Uji homogenitas menunjukkan F sebesar

0,217 dengan p = 0,645 (p > 0,05).

Berdasarkan hasil tersebut maka dapat

dinyatakan bahwa varian variabel terikat

adalah homogen.

U j i h i p o t e s i s d i l a k u k a n d e n g a n

menggunakan analisis covariance (anacova)

dan anava amatan ulangan.

Hipotesis Pertama

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh F

untuk metode adalah 15,974 dengan p = 0,00

(p < 0,05) yang berarti signifikan dengan

Page 31: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

29

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

demikian hipotesis diter ima. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang

signifikan pada tingkat pencapaian kecerdasan

moral anak usia prasekolah antara yang

mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral

melalui metode dongeng dengan yang tidak

mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral

melalui metode dongeng.

Perbedaan tingkat pencapaian kecerdasan

moral anak usia prasekolah dengan melihat

rerata, rerata pada kelompok yang

mendapatkan metode dongeng 17,47 dengan

standar deviasi 2,695 sedangkan rerata pada

kelompok yang tidak mendapatkan metode

dongeng 14,41 dengan standar deviasi 2,575.

Hal ini menunjukkan anak yang mendapatkan

penyampaian nilai-nilai moral melalui metode

dongeng memiliki tingkat kecerdasan moral

yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak

mendapatkan penyampaian nilai moral melalui

metode dongeng.

Berdasarkan nilai partial eta squared ( ç2 )

diketahui besarnya sumbangan metode

dongeng terhadap perkembangan kecerdasan

moral anak usia prasekolah adalah 34 %.

Hipotesis Kedua

Berdasarkan hasil analisis data diketahui F

sebesar 61,389 dengan p = 0,00 (p < 0,05) yang

berarti signifitan dengan demikian hipotesis

diterima. Hal ini menunjukkan ada perbedaan

yang signifikan pada tingkat pencapaian

kecerdasan moral anak usia prasekolah antara

sebelum mendapatkan penyampaian nilai-nilai

moral melalui metode dongeng dengan setelah

mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral

melalui metode dongeng.

Perbedaan tingkat pencapaian kecerdasan

moral anak usia prasekolah dengan melihat

rerata, rerata pada pre-test 11,18 dengan

standar deviasi 3,522 sedangkan rerata pada

post-test 17,47 dengan standar deviasi 2,695.

Hal ini menunjukkan tingkat kecerdasan moral

sebelum mendapatkan penyampaian nilai

moral melalui metode dongeng lebih rendah

dibandingkan tingkat kecerdasan moral setelah

mendapatkan penyampaian nilai moral melalui

metode dongeng.

Diskusi

Mendongeng adalah salah satu bentuk seni

rakyat tertua yang mengajak anak-anak pada

perjalanan yang menarik dan pada saat yang

sama mengajarkan mereka sejarah, budaya

dan nilai-nilai moral. Dongeng dapat digunakan

secara efektif sebagai awal untuk diskusi

mengenai isu-isu hak pribadi dan nilai-nilai

sosial.

Penelitian ini untuk mengetahui metode

dongeng dalam meningkatkan perkembangan

kecerdasan moral anak usia prasekolah. Anak

usia prasekolah yang menjadi sampel dalam

penelitian ini adalah anak usia 5 tahun, siswa

TK B di TK Q yang merupakan sekolah dengan

fasilitas terbatas dan bukan sekolah favorit.

Menurut Dodge dkk. (2002) usia 5 tahun adalah

usia dimana munculnya minat anak-anak akan

penalaran dan penggambaran mengapa

sesuatu seperti itu, mereka bisa berfikir dengan

cara yang kompleks, menghubungkan

informasi baru yang mereka kumpulkan

dengan sesuatu yang mereka ketahui

sebelumnya.

Hasil analisis dengan menggunakan

program SPSS 16.00 for windows dengan

teknik analisis covariance (anacova)

menunjukkan hipotesis yang mengatakan

bahwa ada perbedaan tingkat pencapaian

kecerdasan moral anak usia prasekolah antara

yang mendapatkan penyampaian nilai-nilai

moral melalui metode dongeng dengan yang

tidak mendapatkan penyampaian nilai-nilai

Page 32: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

30

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

moral melalui metode dongeng dinyatakan

diterima. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji

hipotesis yang menyatakan bahwa ada

perbedaan post-test yang signifikan pada level

0,05 antara kelompok yang mendapatkan

metode dongeng dengan kelompok yang tidak

mendapatkan metode dongeng dengan p =

0,00 (p < 0,05).

Collin (Isbell dkk., 2004) menegaskan

mendongeng mempunyai banyak kegunaan di

dalam pendid ikan utama anak. Dia

menyimpulkan bahwa dongeng menyediakan

suatu kerangka konseptual untuk berpikir, yang

menyebabkan anak dapat membentuk

pengalaman menjadi keseluruhan yang dapat

mereka pahami. Dongeng menyebabkan

mereka dapat memetakan secara mental

pengalaman dan melihat gambaran di dalam

kepala mereka, mendongengkan dongeng

tradisional menyediakan anak-anak suatu

model bahasa dan pikiran bahwa mereka dapat

meniru.

Para guru menemukan bahwa anak-anak

dapat dengan mudah mengingat apapun juga

fakta yang ilmiah atau histories yang mereka

pelajari melalui dongeng. Anak-anak

menyadari gambaran yang mereka buat di

dalam pikiran mereka ketika mereka

mendengar dongeng yang diceritakan, dan

mereka menjaga gambaran yang dibuat

bahkan waktu mereka membaca dengan diam

untuk diri mereka (Baldwin & Dudding, 2007).

Menurut Forester dkk. (Peel & Shortland,

2004 ) metode mendongeng secara meningkat

d i k e n a l i s e b a g a i c a r a k u a t u n t u k

m e n g k o m u n i k a s i k a n g a g a s a n d a n

menyebabkan transformasi belajar. Hasil

analisis juga menunjukkan bahwa hipotesis

yang menyatakan ada perbedaan tingkat

pencapaian kecerdasan moral anak usia

p r a s e k o l a h s e b e l u m m e n d a p a t k a n

penyampaian nilai-nilai moral melalui metode

dongeng dan sete lah mendapatkan

penyampaian nilai-nilai moral melalui metode

dongeng dinyatakan diterima. Hal ini dapat

dilihat dari hasil uji hipotesis yang menyatakan

bahwa ada perbedaan nilai pre-test dan pos-

test yang signifikan pada level 0,05 pada

kelompok yang mendapatkan metode dongeng

dengan p = 0,00 (p < 0,05).

Menurut El l is ( Isbel l dkk., 2004)

mendongeng secara meningkat diakui

mempunyai implikasi praktis dan teoritis

penting. Hasil analisis menunjukkan besarnya

sumbangan metode dongeng terhadap

perkembangan kecerdasan moral anak usia

prasekolah adalah 34 %. Hal ini sejalan dengan

yang diungkapkan Borba (2001) dongeng

tentang suatu kebajikan serta pengaruhnya

dalam memberikan perubahan yang positif di

dunia akan membantu anak memahami

kekuatan kebajikan tersebut dan membuat

mereka berpikir bahwa mereka pun dapat

melakukan sesuatu bagi dunia.

Penelitian yang telah dilakukan ini juga

tidak lepas dari berbagai kelemahan.

Kelemahan yang perlu ditekankan dalam

penelitian ini adalah dalam proses pemberian

perlakuan dalam penelitian ini yang terlalu

cepat yaitu 10 kali pertemuan, sehingga nilai-

nilai yang terkandung dalam dongeng belum

benar-benar dipahami dan diterapkan oleh

anak.

Kelemahan lain dalam penelitian ini adalah

proses pemberian perlakuan tidak dapat

sepenuhnya dikontrol dengan ketat, karena

perlakuan dilakukan di dalam kelas di mana

juga ada kelas-kelas lain yang juga sedang

belajar. Akibatnya anak-anak yang mengikuti

proses perlakuan terkadang mudah beralih

perhatian. Selain itu kelemahan yang lain

adalah subyek penelitian yang masih berusia

sangat muda membuat pengontrolan terhadap

anak juga lebih sulit karena anak tidak dapat

Page 33: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

31

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

dipaksa untuk terus menerus memperhatikan

bila mereka merasa bosan.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Metode dongeng sebagai stimulasi

berperan dalam meningkatkan perkembangan

kecerdasan moral anak usia 5 tahun yang

menjadi siswa di TK B di sekolah dengan

fasilitas terbatas dan bukan sekolah favorit.

Anak yang mendapatkan penyampaian nilai-

nilai moral melalui metode dongeng memiliki

tingkat kecerdasan moral yang lebih tinggi

dibandingkan anak yang tidak mendapatkan

penyampaian nilai moral melalui metode

dongeng. Selain itu, tingkat kecerdasan moral

setelah mendapatkan penyampaian nilai moral

melalui metode dongeng lebih tinggi

dibandingkan tingkat kecerdasan moral

sebelum mendapatkan penyampaian nilai

moral melalui metode dongeng.

Saran

1. Bagi guru

Mengingat bahwa metode dongeng

sebagai stimulasi memiliki kontribusi dalam

meningkatkan perkembangan kecerdasan

moral anak usia prasekolah, maka guru

diharapkan menggunakan metode dongeng

secara berkelanjutan untuk menyampaikan

ni lai-ni lai moral agar perkembangan

kecerdasan moral anak terus meningkat.

2. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian selanjutnya diharapkan di dalam

proses pemberian suatu perlakuan dilakukan

dalam kurun waktu yang lebih lama, secara

berkelanjutan dan di seluruh tingkatan usia.

Selain itu, penelitian selanjutnya dapat

diarahkan untuk mengetahui efektifitas metode

dongeng sebagai metode pembelajaran untuk

mata pelajaran. Penelitian selanjutnya juga

diharapkan untuk mempertimbangkan faktor

lain yang dapat mempengaruhi perkembangan

kecerdasan moral anak usia prasekolah

misalnya tingkat kecerdasan, kondisi emosi,

faktor sosial lain seperti keluarga, televisi,

teman sebaya.

Daftar Pustaka

Baldwin, J. & Dudding, K. (2007). Storytelling in

school. www.storytellingschools.org.

Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2009.

Blocks,J.H. (2002). The role of ego – control

and ego resilience in the organization of

behavior. The minesota symposium on

child psychology, 13 (79), 118-122.

Borba, M. (2001). Building moral intelligence.

San Fransisco : Josey-Bass.

Coles, R. (1999). The moral intelligence of

children. Madison : Random House.

Cook, T.D & Campbell, D.T. (1979). Quasi-

experimentation design and analysis issues

for field settings. USA : Houghton Mifflin

Company.

Dodge, D.T., Colker, L.J., & Heroman, C.

(2002). The creative curriculum for

preschooll. Fourt edition. Wasington DC.

Teaching strategies inc

Isbell, R., Sobol, J., Lindauer, L & Lowrance.

(2004). The effects of storytelling and story

reading on the oral language complexity

and story comprehension of young children.

Early childhood education journal, 32 (3).

Springer Science Business Media, Inc.

Lenox, M.F. (2000). Storytelling for young

children in a multicultural world. Early

childhood education journal, 28 (2). Human

Sciences Press, Inc.

Page 34: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

32

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan

Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah

McCartney, K. & Philips, D. (2006). Blackwell

handbook of early childhood development.

UK : Blackwell Publishing Ltd.

Mukti, N.A & Hwa, S.P. (2004). Malaysian

perspective : designing interactive

multimedia learning environment for moral

values education. Educational technology

& society, 7 (4). International Forum of

Educational Technology & Society.

Peel, D. & Shortland, S. (2004). Student

t eacher co l l abo ra t i ve re f l ec t i on :

perspective on learning together.

Innovation in education and teaching

international. Taylor & Francis Ltd.

Sanchez, T., Zam, G., Lambert, J. (2009).

Story-telling as an effective strategy in

teaching character education in middle

grade social studies. Journal for the liberal

arts and sciences, 13 (2).

Staden, CJS. & Watson, R. (2007). When old is

new : exploring the potential of using

indigenous stories to construct learning in

early childhood settings. A paper presented

at the AARE conference, Fremantle 26-29th

November.

Page 35: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

33

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

Abstract

This recearched was aimed to realize the relation between empathy and emotional maturity toward prosocial behavior. There were two hypotheses proposed, which, there was a relationship existed between empathy and emotional maturity. Second hypothesis, there was a difference prosocial behavior among man and woman.

Indicator used for measuring prosocial behavior, empathy, and emotional maturity was the use of scale. Subjects used in this research are 49 subjects. Data analysis used regression and t-test analysis. The result of the test showed that there was a significant positive relationship between empathy, emotional maturity, toward prosocial behavior showed by Rxy=0,932 with p=0,000, and no difference in prosocial behavior among men and women.

Keyword: prosocial behavior, empathy, emotional maturity

PERILAKU PROSOSIAL DITINJAU DARI EMPATI DAN

KEMATANGAN EMOSI

Gusti Yuli Asih

Margaretha Maria Shinta Pratiwi

Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Semarang.Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Semarang

1

2

1

2

Perilaku prososial merupakan salah satu

bentuk perilaku yang muncul dalam kontak

sosial, sehingga perilaku prososial adalah

tindakan yang dilakukan atau direncanakan

u n t u k m e n o l o n g o r a n g l a i n t a n p a

mempedulikan motif-motif si penolong.

Tindakan menolong sepenuhnya dimotivasi

oleh kepentingan sendiri tanpa mengharapkan

sesuatu untuk dirinya. Tindakan prososial lebih

menuntut pada pengorbanan tinggi dari si

pelaku dan bersifat sukarela atau lebih

ditunjukkan untuk menguntungkan orang lain

daripada untuk mendapatkan imbalan materi

maupun sosial.

Akhir-akhir ini banyak kejadian atau

kecurangan yang terjadi di dunia pendidikan.

Banyaknya perilaku yang tidak seharusnya

dilakukan oleh seorang pendidik, seperti

memberi bocoran soal, memberikan jawaban

pada saat ujian akhir nasional berjalan, serta

memberikan peluang kepada anak didiknya

saling bertukar jawaban ketika ujian, serta

masih banyak lagi perilaku prososial yang

seharusnya tidak dilakukan, akan tetapi hal ini

banyak ditemui, demi membantu anak

didiknya. Contoh kasus yang terjadi yaitu

kecurangan Ujian Negara di Malang. Kasus

kecurangan yang dilakukan oleh para guru

agar membantu s iswa dengan cara

memberikan kunci jawaban (NN, 2006)

Kenyataan yang kita temui, adanya empati

yang diberikan guru kepada muridnya bukan

karena keinginan untuk memberikan

pertolongan kepada anak didik, tetapi lebih

karena takut bila kredibilitas sekolah terancam,

bila banyak anak didik yang tidak lulus.

R o b e r t d a n S t r a y e r ( 1 9 8 6 : 2 )

mengungkapkan bahwa empati nampaknya

berhubungan dengan perilaku prososial

Page 36: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

34

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

individu. Empati berkaitan dengan kemampuan

individu dalam mengekspresikan emosinya,

oleh karena itu empati seseorang dapat diukur

melalui wawasan emosionalnya, ekspresi

emosional, dan kemampuan seseorang dalam

mengambil peran dari individu lainnya. Pada

dasarnya, empati merupakan batasan dari

individu apakah ia akan melakukan atau

mengaktualisasikan gagasan prososial yang

mereka miliki ke dalam perilaku mereka atau

tidak.

Hurlock (1999: 118) mengungkapkan

bahwa empati adalah kemampuan seseorang

untuk mengerti tentang perasaan dan emosi

orang la in ser ta kemampuan untuk

membayangkan diri sendiri di tempat orang

lain. Empati pada diri individu, akan dapat

menggerakkan hati dan perilakunya untuk

membantu anak didiknya supaya dapat lulus

ujian atau lulus UAN. Perilaku prososial yang

dilakukan guru terhadap anak didiknya lebih

banyak dilakukan oleh guru laki-laki daripada

guru perempuan.

Faktor personal yang mendasari perilaku

prososial dikategorikan menjadi dua, yaitu

faktor personal dan faktor situasional.

Karakteristik kepribadian yang mempengaruhi

perilaku prososial yaitu adanya kematangan

emosi. Individu yang matang secara emosi,

akan mampu berperilaku prososial dengan baik

Perilaku prososial

Chaplin (1995: 53) memberikan pengertian

perilaku sebagai segala sesuatu yang dialami

oleh individu meliputi reaksi yang diamati.

Watson (1984: 272) menyatakan bahwa

perilaku prososial adalah suatu tindakan yang

memiliki konsekuensi positif bagi orang lain,

tindakan menolong sepenuhnya yang

dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa

mengharapkan sesuatu untuk dirinya. Kartono

(2003: 380) menyatakan bahwa perilaku

prososial adalah suatu perilaku sosial yang

menguntungkan di dalamnya terdapat unsure-

unsur kebersamaan, kerjasama, kooperatif,

dan altruisme. Perilaku prososial dapat

memberikan pengaruh bagaimana individu

melakukan interaksi sosial. Sears (1991: 61)

memberikan pemahaman mendasar bahwa

masing-masing individu bukanlah semata-

mata makhluk tunggal yang mampu hidup

sendiri, melainkan sebagai makhluk social

yang sangat bergantung pada individu lain,

individu tidak dapat menikmati hidup yang

wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial.

Seseorang dikatakan berperilaku prososial jika

individu tersebut menolong individu lain tanpa

memperdulikan motif-motif si penolong, timbul

karena adanya penderitaan yang dialami oleh

orang lain yang meliputi saling membantu,

s a l i n g m e n g h i b u r , p e r s a h a b a t a n ,

penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati,

dan saling membagi.

Myers (dalam Sarwono, 2002: 328)

menyatakan bahwa perilaku prososial atau

altruisme adalah hasrat untuk menolong orang

la in tanpa memik i rkan kepent ingan

kepentingan sendiri. Perilaku prososial dapat

d i m e n g e r t i s e b a g a i p e r i l a k u y a n g

menguntungkan orang lain. Secara konkrit,

pengertian perilaku prososial meliputi tindakan

berbagi (sharing), kerjasama (cooperation),

menolong (helping), kejujuran (honesty),

d e r m a w a n ( g e n e r o u s i t y ) s e r t a

mempertimbangkan hak dan kesejahteraan

orang lain (Mussen dalam Dayakisni, 1988:

15).

Berdasarkan teor i d i atas dapat

disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah

suatu tindakan yang mendorong seseorang

untuk berinteraksi, bekerjasama, dan

menolong orang lain tanpa mengharapkan

sesuatu untuk dirinya.

Mussen, dkk (1989: 360) menyatakan

bahwa aspek-aspek perilaku prososial

Page 37: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

35

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

meliputi:

a. Berbagi

Kesediaan untuk berbagi perasaan dengan

orang lain dalam suasana suka dan duka.

b. Kerjasama

Kesediaan untuk bekerjasama dengan

orang lain demi tercapainya suatu tujuan.

c. Menolong

Kesediaan untuk menolong orang lain yang

sedang berada dalam kesulitan.

d. Bertindak jujur

Kesediaan untuk melakukan sesuatu

seperti apa adanya, tidak berbuat curang.

e. Berderma

Kesediaan untuk memberikan sukarela

sebagian barang miliknya kepada orang yang

membutuhkan.

Bringham (1991: 277) menyatakan aspek-

aspek dari perilaku prososial adalah:

a. Persahabatan

Kesediaan untuk menjalin hubungan yang

lebih dekat dengan orang lain.

b. Kerjasama

Kesediaan untuk bekerjasama dengan

orang lain demi tercapai suatu tujuan.

c. Menolong

Kesediaan untuk menolong orang lain yang

sedang berada dalam kesulitan.

d. Bertindak jujur

Kesediaan untuk melakukan sesuatu

seperti apa adanya, tidak berbuat curang.

e. Berderma

Kesediaan untuk memberikan sukarela

sebagian barang miliknya kepada orang yang

membutuhkan.

Aspek-aspek perilaku prososial yang

dipakai dalam penelitian ini yaitu berbagi,

menolong, kerja sama, bertindak jujur,

berderma.

Empati

Empati diartikan sebagai perasaan simpati

dan perhatian terhadap orang lain, khususnya

untuk berbagi pengalaman atau secara tidak

langsung merasakan penderitaan orang lain

(Sears, dkk, 1991: 69). Hal senada

diungkapkan oleh Hurlock (1999: 118) yang

mengungkapkan bahwa empati adalah

kemampuan seseorang untuk mengerti

tentang perasaan dan emosi orang lain serta

kemampuan untuk membayangkan diri sendiri

di tempat orang lain. Kemampuan untuk empati

ini mulai dapat dimiliki seseorang ketika

menduduki masa akhir kanak-kanak awal (6

tahun) dengan demikian dapat dikatakan

bahwa semua individu memiliki dasar

kemampuan untuk dapat berempati, hanya

saja berbeda tingkat kedalaman dan cara

mengaktualisasikannya. Empati seharusnya

sudah dimiliki oleh remaja, karena kemampuan

berempati sudah mulai muncul pada masa

kanak-kanak awal (Hurlock, 1999: 118)

Leiden, dkk (1997: 317) menyatakan

empati sebagai kemampuan menempatkan diri

pada posisi orang lain sehingga orang lain

seakan-akan menjadi bagian dalam diri. Lebih

lanjut dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005:

111) yang menyatakan bahwa empati

merupakan kemampuan untuk merasakan

keadaan emosional orang lain, merasa

simpatik dan mencoba menyelesaikan

masalah, dan mengambil perspektif orang lain.

Arwani (2002: 56) menyatakan empati

terhadap pasien merupakan perasaan dan

“pemahaman” dan “penerimaan” perawat

terhadap pasien yang dialami pasien dan

kemampuan merasakan “dunia pribadi pasien”.

Page 38: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

36

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

Empati merupakan sesuatu yang jujur,

sensitive dan tidak dibuat-buat didasarkan

atas apa yang dialami orang lain.

Berdasarkan uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa empati merupakan

kemampuan yang dimiliki individu untuk

mengerti dan menghargai perasaan orang lain

dengan cara memahami perasaan dan emosi

orang lain serta memandang situasi dari sudut

pandang orang lain.

Baron dan Byrne (2005: 111) menyatakan

bahwa dalam empati juga terdapat aspek-

aspek, yaitu:

a. Kognitif

Individu yang memiliki kemampuan empati

dapat memahami apa yang orang lain rasakan

dan mengapa hal tersebut dapat terjadi pada

orang tersebut.

b. Afektif

Individu yang berempati merasakan apa

yang orang lain rasakan.

Batson dan Coke (Watson, 1984: 290)

menyatakan bahwa di dalam empati juga

terdapat aspek-aspek:

a. kehangatan

Kehangatan merupakan suatu perasaan

yang dimiliki seseorang untuk bersikap hangat

terhadap orang lain.

b. kelembutan

Kelembutan merupakan suatu perasaan

yang dimiliki seseorang untuk bersikap

maupun bertutur kata lemah lembut terhadap

orang lain.

c. peduli

Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki

seseorang untuk memberikan perhatian

terhadap sesame maupun lingkungan

sekitarnya.

d) kasihan

Kasihan merupakan suatu perasaan yang

dimiliki seseorang untuk bersikap iba atau

belas asih terhadap orang lain.

Aspek-aspek empati yang digunakan

dalam penelitian ini mengacu pada pendapat

Watson yang mel iput i : kehangatan,

kelembutan, peduli, dan kasihan.

Kematangan Emosi

Emosi terbentuk melalui perkembangan

yang dipengaruhi oleh pengalaman dan dalam

perkembangan, emosi menuju tingkat yang

konstan, yaitu adanya integrasi dan organisasi

dari semua aspek emosi (Osho, 2008: 102).

Emosi tersebut bersifat positif seperti cinta,

seks, berharap, teguh, simpati, optimis, loyal,

dan bersifat negative seperti takut, benci,

marah, tamak, iri, dendam, dan percaya

tahayul. Anderson (dalam Mappiare, 1983: 18)

mengatakan bahwa seseorang yang memiliki

kematangan emosional belum tentu dapat

dikatakan sebagai orang dewasa. Seseorang

yang memiliki kematangan emosional berarti

orang tersebut sudah dewasa, tetapi orang

dewasa belum tentu memiliki kematangan

emosional. Kartono (1995: 165) mengartikan

kematangan emosi sebagai suatu keadaan

atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari

perkembangan emosional, oleh karena itu

pribadi yang bersangkutan tidak lagi

menampilkan pada emosional seperti pada

masa kanak-kanak. Seseorang yang telah

mencapai kematangan emosi dapat

mengendalikan emosinya. Emosi yang

terkendali menyebabkan orang mampu berpikir

secara lebih baik, melihat persoalan secara

objektif (Walgito, 2004: 42) Lebih lanjut

Davidoff (1991: 49) menerangkan bahwa

kematangan emosi merupakan kemampuan

individu untuk dapat menggunakan emosinya

Page 39: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

37

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

dengan baik serta dapat menyalurkan

emosinya pada hal-hal yang bermanfaat dan

bukan menghilangkan emosi yang ada dalam

dirinya.

Hurlock (1999: 213) mendefinikan

kematangan emosi sebagai tidak meledaknya

emosi di hadapan oranng lain melainkan

menunggu saat dan tempat yang lebih tepat

untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-

cara yang lebih dapat diterima. Sartre (2002: 7)

mengatakan bahwa kematangan emosi adalah

keadaan seseorang yang tidak cepat

terganggu rangsang yang bersifat emosional,

baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain

itu dengan kematangan emosi maka individu

dapat bertindak dengan tepat dan wajar sesuai

dengan situasi dan kondisi. Meichati (1983: 8)

mengatakan bahwa kematangan emosional

adalah keadaan seseorang yang tidak cepat

terganggu rangsang yang bersifat emosional,

baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain

itu dengan matangnya emosi maka individu

dapat bertindak tepat dan wajar sesuai dengan

situasi dan kondisi.

Kematangan emosi adalah kemampuan

dan kesanggupan individu untuk memberikan

tanggapan emosi dengan baik dalam

menghadapi tantangan hidup yang ringan dan

berat serta mampu menyelesaikan, mampu

mengendalikan luapan emosi dan mampu

mengantisipasi secara kritis situasi yang

dihadapi.

Menurut Walgito (2004: 43) orang yang

matang emosinya mempunyai ciri-ciri antara

lain:

a. Dapat menerima keadaan dirinya

maupun orang lain sesuai dengan objektifnya.

b. Pada umumnya tidak bersifat impulsive,

dapat mengatur pikirannya dalam memberikan

tanggapan te rhadap s t imu lus yang

mengenainya.

c. Dapat mengontrol emosinya dengan baik

dan dapat mengontrol ekspresi emosinya

walaupun dalam keadaan marah dan

kemarahan itu tidak ditampakkan keluar.

d. Dapat berpikir objektif sehingga akan

bersifat sabar, penuh pengertian dan cukup

mempunyai toleransi yang baik.

e. Mempunyai tanggung jawab yang baik,

dapat berdiri sendiri, tidak mengalami frustrasi

dan mampu menghadapi masalah dengan

penuh penngertian.

Ciri-ciri kematangan emosi menurut

Anderson (dalam Mappiare, 1983: 153), yaitu:

a. Kasih sayang: individu mempunyai rasa

kasih saying seperti yang didapatkan dari

orang tua atau keluarganya sehingga dapat

diwujudkan secara wajar terhadap orang lain

sesuai dengan norma sosial yang ada.

b. Emosi terkendali: individu dapat menyetir

perasaan-perasaan terutama terhadap orang

lain, dapat mengendalikan emosi dan

mengekspresikan emosinya dengan baik.

c. Emosi terbuka, lapang: individu

menerima kritik dan saran dari orang lain

sehubungan dengan kelemahan yang

d iperbuat demi pengembangan di r i ,

mempunyai pemahaman mendalam tentang

keadaan dirinya.

Jersild (dalam Sobur, 2003: 404-406)

menjelaskan ciri-ciri individu yang memiliki

kematangan emosi, antara lain:

a. Penerimaan diri yang baik

Individu yang memiliki kematangan emosi

akan dapat menerima kondisi fisik maupun

psikisnya, baik secara pribadi maupun secara

sosial.

b. Kemampuan dalam mengontrol emosi

Dorongan yang muncul dalam diri individu

untuk melakukan sesuatu yang bertentangan

Page 40: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

38

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

dengan nilai-nilai yang berlaku akan dapat

dikendalikan dan diorganisasikan ke arah yang

baik.

c. Objektif

Individu akan memandang kejadian

berdasarkan dunia orang laindan tidak hanya

dari sudut pandang pribadi.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat

disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang

memiliki kematangan emosional adalah tidak

impulsive, mempunyai tanggung jawab yang

baik, dapat mengendalikan emosi, menerima

keadaan dirinya, dan berpikir objektif

Jenis kelamin

Perbedaan stereotype pria dan wanita

menyebabkan perbedaan dalam perilaku

prososial antara pria dan wanita. Eisenberg

dan Lennon (dalam Berndt, 1992) menyatakan

bahwa anak perempuan lebih mudah merasa

tidak enak jika melihat orang lain mengalami

kesusahan.

Kerangka Berpikir

Manusia sebagai makhluk sosia l

hendaknya senantiasa memberikan bantuan

kepada orang lain. Hal ini dikarenakan manusia

membutuhkan kehadiran dari individu lain

dalam kesehariannya. Sears (1991: 61)

menegaskan bahwa manusia adalah makhluk

sosial yang hidupnya bergantung pada individu

lain. Manusia harus kompeten atau memiliki

ketrampilan sosial yang memadai agar dapat

bertahan hidup dan merasakan kebahagiaan

dalam kehidupan tersebut. Berbagai rencana

yang mengakibatkan banyaknya anak didik

yang mengalami stres dapat mendorong

individu untuk memberi bantuan, baik dalam

bentuk materi maupun bantuan non materi.

Usaha yang dilakukan individu untuk dapat

memberikan bantuan kepada anak didiknya

dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan

empati adalah hasrat untuk menolong orang

lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri.

Empati lebih menitikkan pada kesejahteran

orang lain. Empati yang tinggi pada diri

pendidik akan menjadikannya memiliki

keinginan untuk menolong anak didik atau

muridnya. Djauzi (2003: 59) menjelaskan

kemampuan empati yang ditunjukkan oleh

individu akan dapat membuatnya memahami

orang lain secara emosional dan intelektual.

Empati membuat seseorang peduli dan rela

untuk memberikan perhatian terhadap anak

didik. Perasaan kasihan terhadap orang lain

dapat meningkatkan kesediaan pendidik untuk

bekerjasama dan mau berbagi memberikan

sumbangan yang berarti kepada orang lain.

Stephan dan Stephan (1989: 272) meyatakan

bahwa orang yang mempunyai rasa empati

akan berusaha untuk menolong orang lain yang

membutuhkan pertolongan dan merasa

kasihan terhadap penderitaan orang tersebut.

Empati banyak disebut sebagai motif dasar

bagi seseorang untuk bertindak prososial

(Iannotti, 1978). Banyak penelitian tidak

ditunjukkan hubungan langsung antara empati

dengan prososial dalam arti perilakunya.

Penelitian lebih menekankan hubungan empati

dengan motif prososial (Bar-Tal, dkk., 1981).

Hoffman (1977) dalam peneli t iannya

menyebutkan bahwa pada tingkat empati

tinggi, empati sebagai vicarious affective

arousal berperan besar. Anak wanita tampak

lebih prososial karena mereka lebih memiliki

tekanan empatetik, lebih mudah dipengaruhi

perasaannya, dengan demikian cenderung

mengurangi ketegangannya dengan jalan

memberikan reaksi prososial. Empati yang

rendah, maka recognition of affect in others

yang mengandung aspek kognitif lebih

Page 41: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

39

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

berpengaruh dalam ikutserta memberikan dan

melahirkan intensi prososial.

Emosi yang terkendali menyebabkan

seseorang mampu berpikir secara baik, melihat

persoalan secara objektif (Walgito, 2004: 42).

Kematangan emosi sebagai keadaan

seseorang yang tidak cepat terganggu

rangsang yang bersifat emosional, baik dari

dalam maupun dari luar dirinya, selain itu

dengan matangnya emosi maka individu dapat

bertindak tepat dan wajar sesuai dengan situasi

dan kondisi dengan tetap mengedepankan

tugas dan tanggung jawabnya, sehingga

dengan kematangan emosi yang dimilikinya,

individu mampu memberikan atau berperilaku

prososial sesuai dengan yang diharapkan.

Penelitian Power dan Parke (dalam Eiserberg

dan Mussen, 1989) melakukan penelitian

dengan hasil menurut budaya perilaku

membantu dan menolong lebih pantas

dilakukan oleh wanita sehingga wanita lebih

cenderung memberikan pertolongan daripada

pria.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

secara empiris hubungan antara empati,

kematangan emosi, jenis kelamin, dan perilaku

prososial.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan:

Hipotesis mayor: Ada hubungan antara

empati, kematangan emosi, dan jenis kelamin

terhadap perilaku prososial.

Hipotesis minor:

a. Ada hubungan positif antara empati

terhadap perilaku prososial.

b. Ada hubungan antara kematangan emosi

terhadap perilaku prososial.

c. Ada perbedaan perilaku prososial antara

laki-laki dan perempuan

Metode Penelitian

Subyek penelitian merupakan faktor utama

yang harus ditentukan sebelum kegiatan

penelitian dilakukan. Tujuan dari penentuan

subyek penelitian adalah untuk menghindari

kesalahan pengambilan sampel yang dapat

mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam

pengambilan simpulan dan generalisasi hasil

simpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah

guru-guru SMA di lingkungan Universitas

Semarang. Teknik pengambilan sampel

menggunakan non random sampling

(pengambilan sampel dengan penunjukan).

Pengumpulan data dalam penelitian ini

dengan menggunakan skala. Ada tiga buah

skala yang akan dipakai yaitu skala perilaku

prososial, skala empati, dan skala kematangan

emosi. Pengumpulan data jenis kelamin,

dengan melihat data identitas yang terdapat di

dalam skala.

Hipotesis yang diajukan, diuji secara

statistik dengan menggunakan teknik Analisis

Regresi untuk menguji hubungan keempat

variabel, serta Uji T untuk menguji perbedaan

perilaku prososial. Semua perhitungan statistik

dalam penelitian ini menggunakan program

SPSS.

Hasil Penelitian

Pengujian validitas aitem menggunakan

teknik Product Moment yang kemudian

dikoreksi dengan menggunakan teknik korelasi

Part Whole. Uji validitas dimaksudkan untuk

mengetahui aitem-aitem mana saja yang valid

dan nantinya akan digunakan dalam

penyusunan alat ukur penelitian

Penyusunan Skala Perilaku Prososial yang

semula berjumlah 31 aitem terdapat 4 aitem

Page 42: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

40

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

yang gugur sehingga tersisa 27 aitem yang

valid. Koefisien aitem berkisar antara 0,290 -

0,779 dengan taraf signifikansi 5%.

Penyusunan Skala Empati yang semula

berjumlah 33 aitem terdapat 4 aitem yang

gugur sehingga tersisa 29 aitem yang valid.

Koefisien aitem berkisar antara 0,280 - 0,825

dengan taraf signifikansi 5% . Penyusunan

Skala Kematangan Emosi yang semula

berjumlah 30 aitem terdapat 4 aitem yang

gugur sehingga tersisa 26 aitem yang valid.

Koefisien aitem berkisar antara 0,255-0,591

dengan taraf signifikansi 5%.

Berdasarkan hasil uji analisis data yang

diperoleh diketahui bahwa Rxy = 0,932 dan

p= 0,000 sehingga hipotesis dalam penelitian

ini diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada

hubungan yang positif yang sangat signifikan

antara empati, kematangan emosi, jenis

kelamin terhadap perilaku prososial. Empati

terhadap perilaku prososial rxy = 0,884 dan p

= 0,000. Kematangan emosi terhadap perilaku

prososial rxy = 0,794 dan p = 0,000. Sementara

itu hipotesis yang menyatakan bahwa ada

perbedaan perilaku antara laki-laki dan

perempuan terhadap perilaku prososial tidak

terbukti, karena tidak ada perbedaan antara

keduanya.

Diskusi

Koestner dan Franz (1990) empati

merupakan kemampuan untuk menempatkan

diri dalam perasaan atau pikiran orang lain

tanpa harus secara nyata terlibat dalam

perasaan atau tanggapan orang tersebut.

Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan

empati adalah hasrat untuk menolong orang

lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri.

Empati lebih menitikkan pada kesejahteran

orang lain. Empati yang tinggi pada diri

pendidik akan menjadikannya memiliki

keinginan untuk menolong anak didik atau

muridnya. Baron dan Byrne (2005: 111)

menyatakan bahwa empati merupakan

kemampuan untuk merasakan keadaan

emosional orang lain, merasa simpatik dan

mencoba menyelesaikan masalah, dan

mengambil perspektif orang lain. Seorang

pendidik merasa memiliki tanggung jawab

terhadap proses keberhasilan seorang anak

didik. Seorang pendidik akan merasa sedih

apabila ada anak didiknya yang tidak berhasil

atau tidak lulus, sehingga akan berusaha

semaksimal mungkin untuk menolong anak

didiknya. Seorang pendidik akan menolong

dengan iklas dan tidak mengharapkan hadiah

maupun ber'pamrih' apabila anak didiknya

berhasil.

Kematangan emosional sebagai keadaan

seseorang yang tidak cepat terganggu

rangsang yang bersifat emosional, baik dari

dalam maupun dari luar dirinya, selain itu

dengan matangnya emosi maka individu dapat

bertindak tepat dan wajar sesuai dengan situasi

dan kondisi (Meichati, 1983:8). Kematangan

emos i merupakan kemampuan dan

kesanggupan individu untuk memberikan

tanggapan emosi dengan baik dalam

menghadapi tantangan hidup yang ringan dan

berat serta mampu menyelesaikan, mampu

mengendalikan luapan emosi dan mampu

mengantisipasi secara kritis situasi yang

dihadapi. Seorang pendidik yang memiliki

kematangan emosi, akan menujukkan perilaku

yang objektif dan mampu berpikir secara logis.

Perbuatan yang dilakukan berdasarkan

pertimbangan yang matang serta mampu

memilih perilaku yang tepat pula.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan skor prososial

antara laki-laki dan perempuan, sehingga

dapat disimpulkan bahwa perbedaan

stereotype tidak menyebabkan perbedaan

dalam perilaku prososial. Perilaku prososial

Page 43: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

41

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda

karena dalam hal-hal tertentu perempuan lebih

mudah memberikan pertolongan, namun pada

situasi yang lain perempuan lebih mudah

bereaksi untuk memberikan pertolongan

(Purnamasari, dkk, 2004: 41).

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan hipotesis yang telah diajukan

ternyata hipotesis yang menyatakan

1. Ada hubungan yang sangat signifikan

antara empati, kematangan emosi, dan jenis

kelamin terhadap perilaku prososial.

2. Ada hubungan positif antara empati

terhadap perilaku prososial.

3. Ada hubungan antara kematangan

emosi terhadap perilaku prososial.

4. Tidak ada perbedaan perilaku prososial

antara laki-laki dan perempuan

Saran

Berka i tan dengan s impu lan dan

pembahasan yang telah disebutkan di atas,

maka ada beberapa saran yang dapat

disampaikan yaitu:

1. Bagi guru

Faktor yang mempengaruhi perilaku

prososial yang tertinggi adalah empati,

disarankan para pendidik atau guru lebih arif

dalam memberikan perilaku prososialnya.

2. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian ini masih banyak terdapat

keterbatasan dan kekurangan, bagi peneliti

selanjutnya yang berminat melakukan

penelitian lebih lanjut dapat disarankan agar

peneliti memperhitungkan aspek-aspek lain

yang mempengaruhi perilaku prososial pada

guru, seperti kepribadian dan faktor situasional.

Daftar Pustaka

Arwan i . (2002) . Komun ikas i da lam

keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Baron, R. A. dan Byrne. D.(2005). Psikologi

sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Ratna Djuwita.

Edisi kesepuluh. Jakarta: Erlangga.

Bar Tal, & Shavut, N. (1981). Motives for

helping behaviour: Kibbutz and City

Children in Kindergarten & School.

Development Psychology. 17, (6) 766-772.

Berndt, T. J. (1992). Child development. New

York: Brace Jovenovich College Publisher.

Bringham, J. C. (1991). Social psychology.

Edisi 2. New York: Harper Colling Publisher

Inc.

Davidoff, L. L. (1991). Psikologi suatu

pengantar. Alih Bahasa: Mari Juniati.

Jakarta: Erlangga

Dayakisni, T. (1988). Perbedaan intensi

prososial siswa siswi ditinjau dari pola asuh

orangtua. Jurnal Psikologi.1, (V) 14-17.

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas

Gadjah Mada.

Djauzi, S. (2004). Komunikasi dan empati

dalam hubungan dokter pasien. Jakarta:

Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

Hurlock, E. B. (1999). Perkembangan anak.

Jilid 2. Alih Bahasa: Med. Meitasari

Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi

keenam. Jakarta: Erlangga.

Hoffman. (1977). Sex differences in empathy

and related behavior. Psychological

Bulletin. 84, (4) 712-722

Page 44: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

42

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan

Kematangan Emosi

Iannotti, R.J. (1978). Effect of role-taking

experiences on role-taking, empathy,

altruism and aggression. Developmental

Psychology. 14, 119-124.

Kartono, K. (1992). Psikologi wanita. Jilid 1.

Bandung: Mandar Maju.

Kartono, K. (2003). Kamus psikologi. Bandung:

Pionir Jaya

Mappiare, A. (1983). Psikologi remaja.

Surabaya; Usaha Nasional.

Meichati, S. (1983). Kesehatan mental.

Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas

Gadjah Mada.

Mussen, P. H. Conger, J. J and Kagan, J.

(1989). Child development and personality

(Fifth Edition). Harper and Row Publishers.

NN. (2006). Kronologis kecurangan ujian

nasional di Malang. Diunduh 22 Maret

2010 . www.pp ig ron ingen .n l / pp ig /

Kronologi%20Malang.doc.

Osho. (2008). Emotional learning. Alih Bahasa:

Ahmadi Kahfi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purnamasari, A., Ekowarni, E., Fadhila, A.,

(2004). Perbedaan intensi prososial siswa

SMUN dan MAN di Yogyakarta. Humanitas

Indonesian Psychological Journal. Vol. 1.

No. 1 Januari: 32-42

Robert and Strayer, J. (1996). Adolescent

p r o s o c i a l b e h a v i o u r .

www.personal.psi.edu./fakulty/j/g/jgp4/497

/prosocial2.htm.

Sartre, J. P. (2002). Pengantar teori emosi. Alih

Bahasa: Luthfi Ashari. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial,

individu dan teori-teori psikologi sosial.

Jakarta: Balai Pustaka.

Sears, D.O; Fredman, J.L., dan Peplau, L. A.

(1991). Psikologi sosial. Jilid 2. Alih Bahasa:

Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga.

Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung:

Pustaka Setia

Stephan, C. W. and Stephan, W. G. (1985). Two

social psychological. Chicago: The Dorley

Press.

Walgito, B. (2004). Pengantar psikologi umum.

Yogyakarta: Andi.

Watson. (1984). Psychology science and

application. Illionis: Scoot Foresmar and

Company.

Page 45: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

43

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

Abstract

Human being is unique. No one is either physically or psychologically identical with others. Being different from others requires courage and is the choice in life. Selection of value orientation will make an individual being has a way and control of life as a form of value orientation which is believed and embraced. Hardcore music performer is one of many differences in value orientation adopted by men. A hardcore music performer certainly has a reason in choosing it as a a way of life.

The objective of the research is to know and to understand the value orientation of the hardcore music performers in the Kudus Regency. The informants of the reasearch are the hardcore music performers located in Kudus Regency who are involved in Komunitas Kudus Hardcore Community (KDHC). Value orientation in the research is viewed by using motivational types of value which is proposed by Schwartz. Orientation value proposed by Schwartz consists of 10 types of values consisting of power, prestige, pleasure, stimulation, self direction, unity, virtue, tradition, compatibility and security.

Based on the coding of interviews and observations conducted on the three informants shows that the hardcore music performers in Kudus Regency have value orientations that lead to the value of creativity and the other value that stands out is the value orientation led to the value of independence.

Keywords: Value Orientation, Hardcore Music Performer

ORIENTASI NILAI PELAKU MUSIK HARDCORE

Anto Sanjaya Mochamad Widjanarko

Alumni Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Gitaris Band AtasbawahStaf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus

1

2

1

2

Setiap manusia sebagai individu pasti

mempunyai keinginan, harapan dan berbagai

capain hidup. Minat manusia juga beragam,

antara individu yang satu dengan lainya saling

berbeda namun terdapat pula invidu yang

mempunyai ketertarikan akan hal sama.

Demikian pula orientasi nilai setiap individu,

satu sama lain pasti berbeda

Kesamaan minat, memicu banyak pribadi

yang berbeda dalam berbagai latar belakang;

hal baik fisik, pendidikan, kondisi ekonomi,

suku, agama, ras serta berbagai latar belakang

kehidupan lainya bertemu, menjalin ikatan,

membentuk perkumpulan dan melakukan

berbagai bentuk hubungan sosial lainya.

Sebaliknya dengan adanya perbedaan minat

diantara individu yang satu dengan yang lain

dapat saling menutup diri, menjaga jarak dan

membatasi kontak sosial.

Di Kudus sendiri terdapat beberapa bentuk

hubungan sosial yang mana hal itu terjadi

karena adanya kesamaan minat. Salah

satunya adalah kesamaan minat akan musik

hardcore. Dengan adanya kesamaan akan

minat terhadap musik hardcore individu-

individu yang terdiri dari berbagai latar

belakang pendidikan serta berbagai tingkatan

umur membentuk suatu kelompok sosial. Di

sini yang dimaksud kelompok, mereka saling

melakukan interaksi satu dengan yang lain dan

sa l ing mempengaruhi , seper t i yang

diungkapkan oleh Shaw (dalam, Bimo Walgito,

2003). Mereka hidup di dalam satu batasan

geografis, atau nilai-nilai secara kepentingan

bersama dan hidup dalam suatu daerah

tertentu dan saling berinteraksi (Al Barry,

Page 46: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

44

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

2005). Selanjutnya ini disebut sebagai

komunitas.

Komunitas yang lekat dengan musik

hardcore di Kudus adalah Kudus Hardcore

Community (KDHC), terdiri dari orang-orang

yang menyukai musik hardcore baik itu pemain

musik, penggiat, maupun penikmat dan

mempunyai tujuan untuk memajukan musik

hardcore di Kudus supaya diterima oleh

masyarakat Kudus. Dari hasil wawancara

penulis lakukan tanggal 3 Mei 2009 di studio

musik Blitz, Komunitas ini didirikan tanggal 18

Mei 2008 oleh beberapa band dan segelintir

penggiat hardcore di Kudus ini.

Tanggal 18 Mei 2008 dipilih sebagai tanggal

berdirinya KDHC karena pada tanggal tersebut

untuk kali pertama diadakan acara bertemakan

indie (independent) dimana mayoritas diisi oleh

band-band hardcore Kudus dan selebihnya

band yang masih dalam kategori indie. Terlebih

lagi acara tersebut diorganisir secara kolektif

atau swadaya dari band pengisi serta anggota

komunitas, demikian menurut DS salah satu

penggagas dan penggiat KDHC. Sebelum

berdirinya KDHC ia bersama dengan beberapa

teman mendirikan Kudus Movement yang

dapat ia katakan sebagai embrio dari berdirinya

KDHC. Kudus Movement sendiri sebelumnya

berisikan aktivitas selayaknya anak band,

bermain musik dan nongkrong.

Selain sebagai penggiat komunitas, DS

juga mengisi posisi bass pada band emo-

hardcore Kudus bernama Brooklyn. Band ini

sendiri telah mengeluarkan mini album berisi

lima lagu di bawah label indie Kudus Murvals

records. Mini album bertajuk I”Ll Stand In My

Way dikemas dalam format audio cd dengan

full colour artwork serta profesional packing ini

diedarkan secara independent melalui jaringan

komunitas. Meski begitu band ini mampu

melampaui batasan wilayah komunitas, respon

publik sangat antusias. Satu dari puluhan band

yang bisa dikatakan sedang naik daun adalah

Brooklyn. Band ini tengah menjadi bahan

pembicaraan banyak orang dan pentasnya

mampu menyedot perhatian banyak orang

(Radar Kudus, Minggu 26 Oktober 2008).

Fenomena underground sendiri tidak bisa

dilepaskan dengan istilah independent yang

berarti mandiri, bebas, merdeka. Istilah

independent ini kemudian populer dengan

idiom indie di kalangan musisi maupun media.

Pemakaian label indie dikaitkan dengan

metode sistem produksi yang dilakukan oleh

seorang pemusik atau band yag mulai dari

penciptaan lagu, merekam kemudian

memasarkan secara swadaya. Jadi, dari

p r o s e s k r e a t i f m e m b u a t s a m p a i

mendistribusikan produk bahkan tur konser

mereka secara mandiri dan di luar jalur

mainstream, akhirnya disebut sebagai istilah

DIY (Do It Yourself) yang dalam terjemahan

bahasa Indonesia berarti lakukan dengan

sendiri. Karena dalam mendistribusikan atau

memasarkan produk ini lewat gerilya atau jalan

bawah tanah. Itu dilatarbelakangi faktor

ideologi, minimnya biaya ataupun memang

karya mereka tidak bisa diterima masyarakat

umum. Maka muncul istilah underground.

Orientasi nilai yang dimiliki oleh pelaku

musik hardcore di Kudus kemudian akan dilihat

dengan kesepuluh tipe nilai berdasarkan

klasifikasi Schwartz, yaitu : rangsangan, arah

d i r i , kecocokan, t rad is i , keamanan,

kebersamaan, kebajikan, prestasi, kekusaan

dan kesenangan.

K e s e p u l u h n i l a i t e r s e b u t d a p a t

dikelompokan ke dalam dua dimensi. Dimensi

yang pertama yaitu openness to change yang

berlawanan dengan conservation. Kemudian

dimensi yang kedua yaitu self transedence

yang berlawan dengan self enhancement.

Be rdasa rkan ha l d i a tas penu l i s

berpendapat bahwa pelaku musik hardcore

Page 47: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

45

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

mempunyai orientasi nilai tersendiri yang dapat

membuat mereka tetap dapat bertahan,

menjadikan hardcore sebuah pilihan dan eksis

dalam kehidupan masyarakat serta menikmati

apa yang dilakukan dan dikerjakannya maka

penulis tertarik untuk mengeksplorasi orientasi

nilai di kalangan pelaku hardcore di Kabupaten

Kudus.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan pendekatan fenomenologis.

Subyek dalam penelitian ini adalah pelaku

musik hardcore yang terlibat dalam Komunitas

Kudus Hardcore Community (KDHC).

Pengambilan data melalui observasi dan

wawancara. Analisis data menggunakan

koding, dengan menggunakan tahapan

sebagai berikut; melakukan transkripsi hasil

wawancara dan observasi, identifikasi kata

kunci, menemukan tema dan kategori serta

menyusun bagan teoritis. Kredibilitas hasil

penelitian dilakukan dengan menggunakan

metode triangulasi, kecermatan transkrip, dan

pemeriksaan teman sejawat.

Hasil Penelitian

Intensitas Orientasi Nilai Informan 1

Tipe nilai kekuasaan, informan memiliki

intensitas yang kuat dilihat dari pernyataan

informan bahwa ia dapat mengetahui makna

hidup dan semangat dalam menjalani

kehidupan. Ia merasa sikap orang-orang di

s e k i t a r t e r u t a m a k e l u a r g a s a n g a t

mendukungnya. Informan merasa nyaman

dengan mendapatkan banyak teman. Hal ini

didukung oleh faktor kesenangan, informan

begitu menikmati kehidupannya karena

mempunyai banyak teman dalam suasana

kebersamaan dan banyak menghabiskan

waktu bersama teman- teman untuk

bersenang-senang. Hal ini menunjukan bahwa

informan di pandang teman-teman dan

lingkunganya, informan juga memiliki kontrol

untuk menjalani kehidupannya

Nilai prestasi memiliki intentitas yang kuat

dilihat dari pernyataan informan bahwa sejak

mengenal hardcore ia mempunyai kemampuan

desain grafis serta dapat bekerja sebagai

ope ra to r wa rne t . I n fo rman merasa

kebutuhannya saat ini dapat tercukupi dengan

bekerja sebagi operator warnet. Hal ini

dikuatkan oleh tipe nilai arah diri bahwa sejak

bergelut dengan hardcore dirinya telah banyak

membuat gigs hardcore, acara sosial dan t-shirt

dari band lokal Kudus.

Nilai kesenangan mempunyai intensitas

yang kuat karena informan mengatakan dirinya

sangat menikmati kehidupan. Masalah dalam

kehidupan dianggap informan sebagai sesuatu

yang wajar. Hal ini didukung oleh tipe nilai

rangsangan, informan menyatakan bahwa

sebuah konsekuensi harus dihadapi. Dari situ

menunjukan informan memiliki tingkat

kesenangan yang tinggi, bagi informan

kesenangan hidupnya harus terpenuhi apapun

resikonya nanti akan dihhadapinya.

Tipe nilai rangsangan pada informan kuat.

Informan berani menghadapi sebuah resiko

jika itu sudah menjadi sebuah kausalitas.

Pernyataan berani berbuat berani bertanggung

jawab menguatkan tipe nilai rangsangan.

Informan bergairah dalam menjalani

kehidupan.

Nilai arah diri memiliki intensitas yang kuat

terutama dilihat dari pernyataan informan

sangat merasa ingin tahu sesuatu hal yang

baru teru tama j ika i tu menyangkut

pekerjaanya, menurut informan seusianya

harus mandiri. Banyak yang telah ia perbuat

sejak menjadi seorang youthcrew, sampai

dengan membikin album.

Page 48: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

46

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

Intensitas nilai kebersamaan pada

informan kuat dilihat dari pernyataan informan

y a n g a k a n m e m b a n t u o r a n g y a n g

membutuhkan bantuan jika memang dirinya

bisa membantu dan itu ia lakukan walaupun

orang tersebut tidak dikenalnya. Aspek ini

diperkuat oleh tipe nilai kebajikan. Ini terlihat

dari pengakuan informan yang pernah

membantu nenek yang tidak dikenalnya

menyeberang jalan. Kuatnya tipe nilai

kebajikan juga dikuatkan oleh pernyataan

informan bahwa memafkan adalah hal yang

sudah sewajarnya dilakukan. Ini menguatkan

informan memang memiliki sisi kebajikan yang

kuat.

Nilai tradisi pada informan pada tingkat

sedang. Terlihat dari pengakuanya bahwa ia

belum dapat menjalankan kewajiban agama

dan Tuhannya. Informan mengaku belum bisa

menjadi orang yang religius meskipun ia

percaya dengan Tuhan. Informan mengerti

bahwa norma harus ditaati. Intensitas yang

sedang pada aspek ini didukung aspek

kecocokan, informan sering melanggar

perintah orang tua dan ingin bebas, tidak diatur.

Diantara semua aspek. Paling lemah

adalah nilai kecocokan dan keamanan. Ini

terlihat dari pengakuanya yang sering

melanggar perintah orang tua. Dirinya tidak

mau diatur oleh siapapun dan bebas

berkehendak semaunya. Hal ini menunjukan

bahwa pembatasan tingkah laku dan dorongan

yang tidak sesuai dengan norma sosial pada

informan lemah.

Intensitas aspek keamanan pada informan

memiliki tingkat yang lemah karena informan

tidak suka membersihkan rumah dan mengaku

bahwa kamar tidurnya berantakan. Informan

juga menghindari obat jika sakit. Pernyataan

informan yang mengatakan melakukan

keinginan masyarakat dengan terpaksa,

karena dirinya tidak suka akan hal tersebut

menguatkan bawah motivasi untuk menjaga

harmoni bermasyarakat berada pada tingkat

lemah.

Intensitas Orientasi Nilai Informan II

Intensitas tipe nilai kekuasaan pada

informan kedua kuat. Dirinya yakin hardcore

adalah sebuah jalan hidup dan ia merasa

sebagai pribadi yang positif dan mempunyai

kualitas hidup yang baik. Hal ini juga

dikuatkan dengan pernyataan bahwa

informan merasa yakin dengan ilmu dan

wacana yang ia dapat dari hardcore dapat

meningkatkan kualitas hidupnya secara

personal dan sosial. Aspek ini juga didukung

dengan kuatnya tipe nilai prestasi informan

yang menyatakan mendapatkan materi dari

jurnalisme yang ia peroleh dari hardcore. Hal

ini menunjukan informan mempunyai

penguasan hidup sehari-hari.

Informan memiliki intensitas tipe nilai

p r e s t a s i y a n g k u a t t e r l i h a t d a r i

pernyataannya bahwa ia mendapatkan dan

menguasai jurnalisme dari hardcore yang

pada akhirnya hal itu bisa mendatangkan

materi bagi informan. Hal ini didukung oleh

tipe nilai arah diri pada informan dengan

pernyataan dirinya bangga dengan gaya

hidup positifnya yang bisa mempengaruhi

generasi di bawahnya.

Tipe nilai kesenangan pada informan kuat

terlihar dari pernyataan informan yang

mengaku sangat bersyukur dengan dengan

apa yang ada pada dirinya sekarang dan

menjalani kehidupan apa adanya. Banyak

aktivitas bersenang-senang pada informan

seperti main games, membaca buku, melihat

gigs, mendengarkan musik dan lain-lain.

Kuatnya tipe nilai kesenangan menunjukan

informan menikmati hidup pada dirinya.

Page 49: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

47

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

Intensitas tipe nilai rangsangan pada

informan kuat, hal ini terlihat dari pernyataan

informan yang mengaku berani menghadapi

semua resiko dari setiap perbuatanya. Dalam

melakukan setiap perbuatanya informan

mengaku berlandaskan pada keyakinan

informan terhadap Tuhannya. Tipe nilai

kesenangan juga didukung oleh tipe nilai

kecocokan pada informan yang menyatakan

bawah apa yang d i lakukanya b isa

dipertanggungjawabkan.

Informan memiliki intensitas tipe nilai arah

diri kuat. Pengakuan informan bahwa dirinya

memilih hardcore bukan asal, penyampaian

pesan lewat musik itu lah yang menjadikan

hardcore sebagai pilihannya. Keingintahuan

informan juga kuat terlihat dari pernyataanya

yang mengaku juga suka belajar hal-hal baru

y a n g m e n a r i k b a g i n y a d a n a k a n

mendalaminya. Informan mengaku gaya

hidupnya adalah gaya hidup yang positif.

Melalui musik informan menyampaikan gaya

hidupnya kepada generasi dibawahnya. Bagi

dirinya kemandirian adalah hal yang mutlak.

Intensitas tipe nilai kebersamaan pada

informan kuat, terlihat dari pernyataan informan

y a n g a k a n m e m b a n t u o r a n g y a n g

membutuhkan bantuan semampunya. Aspek

ini juga didukung oleh pernyataan informan

pada tipe nilai kebajikan yang mengaku sering

memberi uang kepada orang yang tidak dikenal

untuk ongkos perjalanan Membantu baginya

adalah sebuah kewajiban dari nilai yang

bersumber dari kultur yang ia percaya.

Tipe nilai kebajikan pada informan memiliki

intensitas yang kuat. Informan adalah orang

yang pemaaf terlihat dari pengakuannya yang

mengatakan dengan pasti dirinya adalah orang

yang pemaaf. Sikap suka menolong ia tunjukan

dengan pengakuan informan yang sering

memberi uang kepada orang yang tidak ia

kenal untuk ongkos perjalanan pulang, entah

itu disengaja atau tidak hal itu sering ia alami.

Ini menunjukan informan memiliki kebajikan

yang kuat.

Intensitas tipe nilai tradisi pada informan

kuat. Hal ini terlihat dari pernyataan informan

yang sangat meyakini Tuhan dan agama.

Informan juga merasa sebagai orang yang

religius. Keseharian informan merasa tidak

bertentangan dengan nilai agama yang ia

percaya. Dalam memandang tradisi ia percaya

budaya dibangun atas cipta, rasa dan karsa

manusia. Pernyataan informan tersebut

memperlihatkan aspek tradisi pada informan

kuat

Tipe nilai kecocokan pada informan

memiliki intensitas yang kuat dilihat dari

pernyataan informan yang mengaku semua

perbuatannya bisa dipertanggungjawabkan

dan harus dihormati oleh siapapun termasuk

orang tuanya. Penghargaan terhadap orang

tua, kepatuhan juga dilakukanya terlihat dari

pernyataan informan yang akan melakukan

apapun untuk membantu dalam masalah

keluarga dan hal itu bagi informan adalah hal

yang sudah sewajarnya.

Diantara semua aspek, Intensitas tipe nilai

keamanan pada informan paling berbeda.

Informan memiliki intensitas tipe nilai

keamanan yang sedang. Menurut pengakuan

informan dirinya termasuk orang malas untuk

bersih-bersih. Dirinya juga hidup hanya untuk

dirinya dan keluarga bukan untuk masyarakat.

Ini memperliharkan bahwa keharmonisan dan

stabilitas dalam bermasyarakat cenderung

rendah. Meski begitu informan mempunyai

banyak teman, hal ini memperlihatkan bahwa

informan hubungan yang baik dengan banyak

orang-orang di sekitarnya.

Intensitas Oerientasi Nilai Informan III

Intensitas tipe nilai kekuasaan pada

Page 50: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

48

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

informan kuat. Dirinya mengaku di dukung oleh

orang tua dalam keluarga. Teman-teman

informan bahan mendukungnya. Informan

mengaku mendapatkan banyak pengalaman

dari hardcore terutama berdagang t-shirt yang

saat ini menjadi sumber untuk mengisi uang

sakunya. Orang-orang di sekitar informan

mengetahui status informan sebagai seorang

youthcrew.

Tipe nilai prestasi pada informan kuat

terlihat dari pengakuan informan yang

mempunyai keahlian berdagang t-shirt yang

didapatnya dengan bergelut musik hardcore.

Kuatnya tipe nilai prestasi juga diperkuat oeh

pengakuanya yang tidak bisa seperti sekarang

jika tidak mengenal hardcore. Selain itu

informan juga mempunyai prestasi yang

gemilang dalam bidang olahraga sepakbola

sebagai kiper tim U-21 Persiku. Aspek ini

didukung oleh pernyataan informan pada tipe

nilai kesenangan yang menyatakan membuat

suatu gigs hardcore bagi informan satu hal

yang menyenangkan.

Intensitas tipe nilai kesenangan pada

informan kuat. Hal ini terlihat dari pengakuan

informan bahwa dirinya sangat menikmati

hidup dan apa yang ada pada dirinya. Banyak

cara bersenang-senang yang dilakukan

informan diantaranya melihat gigs, bermain

bola dan jalan bersama pacar. Hal ini

menguatkan aspek kesenangan, dilihat dari

cara informan bersenang-senang dan

menikmati kehidupannya.

Tipe nilai rangsangan mempunyai

intensitas yang kuat. Informan mengaku bahwa

dirinya tidak takut dalam menghadapi resiko.

Dari hasil wawancara didapat bahwa tidak ada

kata takut dalam menghadapi sebuah resiko.

Intensitas tipe nilai arah diri pada informan

ketiga kuat terlihat dari pernyataan informan

yang mengaku bahwa hardcore baginya lebih

menarik untuk dipahami. Informan mengartikan

kemandirian secara luas yaitu melakukan apa

yang ada di pikiran untuk bergerak dan

membuat keadaan sekitar menjadi lebih baik.

Rasa ingin tahu informan juga tinggi terlihat dari

pengakuanya.

Tipe nilai kebersamaan pada informan

memiliki intensitas yang kuat, hal ini dapat

dilihat dari pernyataan informan yang akan

membantu orang yang membutuhkan bantuan.

Motivasi tindakan prososial pada informan

sangat tinggi terlihat dari tindakanya yang tidak

hanya membantu orang yang dikenalnya tapi

juga akan membantu orang yang tidak

dikenalnya jika memang orang tersebut

membutuhkan bantuan. Hal tersebut juga

didukung oleh pernyataanya pada tipe nilai

kebajikan yang menyatakan dirinya pernah

memberikan tempat duduknya kepada seorang

ibu yang tidak dikenalnya di dalam perjalan dari

Kudus ke Malang. Ini menunjukan kuatnya

motivasi prososial informan

Intensitas tipe nilai kebajikan pada

informan kuat yang ditunjukan dengan

pengakuanya sebagai berikut. Informan

mengaku pernah dalam perjalanan pulang dari

kudus ke malang melihat seorang ibu yang

berdiri. Kemudian informan memberikan

tempat duduknya untuk ibu tersebut dan dirinya

rela untuk berdiri. Tak hanya sampai disitu,

informan juga membayarkan ongkos

perjalanan ibu tersebut. Dalam hal memafkan

sebisa mungkin informan akan memafkan

orang yang menghinanya.

Informan memiliki intensitas tipe nilai tradisi

yang sedang. Informan percaya dengan Tuhan

dan agama akan tetapi informan merasa

dirinya belum sebagai seorang yang religius.

Dalam memandang tradisi , informan

beranggapan budaya yang dimiliki oleh

bangsanya sangat beragam dan kaya dan tidak

dimiliki oleh bangsa lain.

Page 51: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

49

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

Intensitas tipe nilai kecocokanpada

informan sedang, hal ini ditunjukan dengan

seringnya informan berseberangan pendapat

dengan orang tua. Hal ini disebabkan informan

merasa tidak cocok dengan ayah. Dalam

wawancara informan menjawab dirinya sering

melanggar perintah orang tua. Namun

informan tidak begitu saja mengesampingkan

kedua orang tuanya. Informan mengaku sering

membantu orang tua dalam hal kecil seperti

mengantar ayahnya ke toko, membeli gas dan

mengantar ibunya berbelanja. Intensitas tipe

nilai keamanan kuat pada informan, hal ini

terlihat dari pengakuanya informan yang

membersihkan rumah setiap hari minggu dan

hari libur di pagi harinya. Dalam menjaga

kesehatan informan akan minum obat jika sakit.

Hal ni diperkuat dengan pernyataan informan

yang akan melakukan apa yang memang

diinginkan masyarakat jika hal tersebut

berdampak positif.

Diskusi

Masih minimnya pengetahuan masyarakat

tentang musik hardcore dan para pelakunya

khusunya di Kabupaten Kudus mengharuskan

penulis menyampaikan hasil penelitian

mendekati fakta di lapangan tentang para

pelaku musik hardcore. Hal ini disebabkan

kekhawatiran terjadinya pandangan yang salah

terhadap para para pelaku. Cara berpikr

sempit seperti anggapan yang selama ini

terjadi pada pelaku semisal musik hardcore

adalah musik yang bising dan tidak mempunyai

maksud dan tujuan, musik yang identik dengan

narkotika karena dilihat dari cara pelaku

m e l a k u k a n p o g o b e r d a m p a k p a d a

pengkerdilan potensi-potensi yang dimiliki oleh

informan. Orientasi nilai pada pelaku musik

hardcore dimaksudkan agar masyarakat

mendapat gambaran yang jelas mengenai

pemetaan sikap dan perilaku yang merupakan

manifestasi dari nilai-nilai yang diyakini pelaku.

Dilihat dari pencapaian status sosial dan

prestise serta kontrol terhadap orang lain atau

sumber daya tertentu, pada dasarnya semua

informan mendapatkan pengakuan dan

bahkan dukungan dari lingkungan mereka. Dari

segi kesuksesan, kecakapan dan ambisi

ketiga informan merasa banyak mendapat hal

yang bagi mereka itu sangat bermanfaat.

Faktor-faktor untuk mencapai keberhasilan

pribadi sesuai dengan standar sosial dan

menunjukannya kepada masyarakat dirasakan

oleh ketiga informan setelah mereka menjadi

seorang youthcrew. Dalam segi kesenangan,

informan I, II dan III menikmati kehidupan yang

mereka jalani dan banyak melakukan kegiatan

bersenang-senang merupakan unsur

pemuasan.

Dari segi rangsangan dalam hal keberanian

dalam hidup, menghadapi kehidupan yang ada

dan semua informan tidak mempunyai rasa

takut. Ketiganya juga berani menghadapi

kehidupan masing-masing. Aspek arah diri

ketiga informan seperti menentukan tujuan

sendiri, bebas, dan mandiri yang memotivasi

tindakan yang independent terlihat kuat.

Kesemuanya memiliki tujuan yang jelas dan

alasan yang kuat dari pilihan yang telah mereka

tentukan. Dari segi kebersamaan yang

memotivasi tindakan sosial dan segi kebajikan

yang berisi nilai seperti pemaaf dan suka

menolong .

Dari segi tradisi yang akan memotivasi

pada penghargaan, komi tment dan

penerimaan terhadap tradisi, kebiasaan, adat

istiadat dan agama tampak kuat pada informan

II. Hal ini informan II mendasari segala

perbuatannya berdasar keyakinan dan agama

yang dianutnya. Sedangkan pada informan I

dan III hanya pada tingkatan percaya saja

belum pada penerapan dalam kehidupan

keseharian seperti informan II

Page 52: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

50

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

Dari segi kecocokan terlihat pada semua

informan meskipun ketiganya memiliki

kekuatan yang berbeda. Informan kedua

cenderung memiliki kontrol diri yang kuat dan

mampu menahan dorongan-dorongan yang

berseberangan dengan nilai-nilai sosial. Pada

informan ketiga, hal ini berkurang atau

mempunyai kontrol yang sedang karena

informan seorang anak yang berseberangan

dengan orang tua dan tidak cocok dengan

ayahnya. Pada informan pertama kemampuan

kontrol terhadap dorongan negatif lemah, hal

ini disebabkan suybyek mengedepankan

kebebasan

Dari segi keamanan yang memotivasi

tindakan untuk menjaga keharmonisan

hubungan dalam hidup bermasyarakat lemah

pada informan I dan II dan kuat pada informan

ketiga. Kuatnya aspek ini pada informan ketiga

terlihat dari rutinnya informan membersihkan

rumah setiap minggu dan kemauan informan

menjaga hubungan dengan masyarakat.

Berbeda dengan informan I dan II yang tidak

memperdulikan apa keinginan dalam

masyarakat. Informan II hanya hidup untuk

dirinya dan keluarga, di tetangga sedang terjadi

apa itu bukan urusan informan.

Dari intensitas yang telah teridentifikasi

selanjutnya dikelompokan ke dalam dimensi

nilai bipolar sebagai berikut. Dimensi openess

to change pada kesemua informan muncul

dengan kecenderungan kuat. Sedangkan

dimensi conservation yang berlawanan dengan

dimensi sebelumnya hanya pada informan I

yang memiliki kecenderungan lemah. Untuk

dimensi yang kedua yaitu dimensi self

enhancement dan self transendence muncul

kuat pada semua informan. Begitu juga dengan

nilai kesenangan yang masuk ke dalam

dimensi openess to change dan self

enhancemen t j uga memper l i ha t kan

kecenderungan kuat pada semua informan.

Kesesuaian dengan dimensi teori yang

sejalan dan berkonflik hanya terjadi pada

informan I pada dimensi openess to change

yang muncul kuat dan berkebalikan pada

dimensi conservation yang berseberangan.

Untuk informan kedua dan ketiga tidak terjadi

konflik pada semua dimensi.

Terjadinya perbedaan pada informan

pertama dengan informan kedua dan III pasti

mempunyai faktor penyebab. Setelah penulis

mencoba mencermati hasil observasi dan

wawancara dengan masing informan. Penulis

menemukan bahwa faktor tersebut disebabkan

oleh latar belakang keluarga informan I.

Intensitas yang lemah pada informan pada

dimensi conservation yang berisi batasan-

batasan terhadap tingkah laku, ketaatan

terhadap aturan tradisi dan perlindungan

terhadap stabilitas. Kelemahan tersebut

karena informan sejak kecil jauh dari orang tua.

Bibi informan tidak mendidik informan secara

keras atau sangat memanjakan informan

karena takut informan akan ikut orang tuanya

ke Bandung. Hal itu menyebabkan sikap

informan yang bebas dan tidak mau diatur.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Penulis menyimpulkan bahwa orientasi

nilai pada pelaku musik hardcore adalah

sebagai berikut :

1. Pelaku musik hardcore di Kabupaten

Kudus mempunyai orientasi nilai yang

mengarah pada nilai-nilai kreativitas

2. Nilai lain yang menonjol pada pelaku

musik hardcore di Kabupaten Kudus adalah

orientasi nilai yang mengarah pada nilai-nilai

kemandirian

Page 53: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

51

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

Nilai-nilai tersebut dipengaruhi oleh

beberapa hal :

1. Dukungan lingkungan

2. Manfaat yang dirasakan oleh informan

Semakin tinggi dukungan lingkungan dan

semakin besar manfaat yang dirasakan

informan maka semakin tinggi tingkat

keyakinan informan terhadap hardcore sebagai

sebuah jalan hidup.

Sedangkan untuk output nilai dari pelaku

musik hardcore dipengaruhi oleh hal – hal

sebagai berikut:

1. Teman sebagai pembentuk kepribadian

2. Kedekatan dan tingkat kasih sayang dan

perhatian orang tua dalam kehidupan keluarga

Saran-saran

1. Untuk pelaku musik hardcore

Menjadi seseorang yang berbeda memang

membutuhkan keberanian, apalagi juga

semacam menjadi seorang youthcrew yang

masih awam di masyarakat dan terbilang

minoritas sebagai sebuah genre musik di

Indonesia. Oleh karena itu disarankan :

a. Lebih terbuka terhadap masyarakat

sebagai upaya sosialisasi hardcore

b. Menjalin hubungan sosial yang baik dengan

lingkungan agar tidak terkesan eksklusif.

2. Peneliti

Orientasi nilai pada seseorang mempunyai

perbedaan yang dapat berubah sewaktu-

waktu karena pengaruh kondisi psikologis

seseorang, pembentukan kepribadian yang

terkait dengan perkembangan dan lingkungan.

Orientasi nilai pada pelaku musik hardcore

sangat menarik untuk diteliti ulang oleh peneliti

yang lain.

Daftar Pustaka

Alsa, A. (2007). Pendekatan Kuantitatif &

Kualitatif serta Kombinasinya dalam

Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka

Belajar.

Blaxter, L., Hughes, C dan Thight, M. (2006).

How To Research Seluk Beluk Melakukan

Riset. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Indeks.

C , G l e s s o n . ( 1 9 9 7 ) . M e n c i p t a k a n

Keseimbangan. Jakarta: PT. Grasindo.

Kamarulzaman, AKA., Y. Al Barry, M. Dahlan.

( 2005 ) . Kamus I lm iah Se rapan .

Yogyakarta: Absolut.

Kartini, K., Gulo, D. (2003). Kamus Ilmiah

Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.

Moleong, L. J. (2002). Metodologi Penelitian

Kual i ta t i f . Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Patton, M. G. (2006). Metode Evaluasi

Kualitatif. (terjemahan oleh Priyadi, B. P)

Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Parker, S. R., J. Child, R. K dan Smith, M. A.

(1990). Sosiologi Industri. Jakarta: PT.

Rhineka Cipta.

Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan

Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: lembaga

Pengembangan Sarana Pengukuran dan

Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

Prayitno, H., Amti, E. (1999). Dasar-Dasar

Bimbingan & Konseling. Edisi Revisi.

Jakarta: PT Rhineka Cipta.

Subyantoro, A., F. X, Suwarto.(2000). Metode &

Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: C.V

Andi Offset.

Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial. Suatu

Pengantar. Yogyakarta: Andi.

--------------. (2006). Arti Nilai. Melayu Online,

Page 54: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

52

Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus

Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore

h t t p : / / w w w . m e l a y u o n l i n e . c o m /

index.php/nilai.html , (diakses 4 Mei 2009).

--------------. (2007). Nilai. Belajar Psikologi:

B u k a n H a n y a U n t u k A n d a ,

http://rumahbelajarpsikologi.com/index.ph

p/nilai.html, (diakses 4 Mei 2009).

--------------. April (2009). Hardcore Punk,

http://wikipedia.org/wiki/hardcore_punk.ht

m, (diakses 4 Mei dan 2 Agustus).

---------------. Radar Kudus, 8 Februari 2009 .

Sistemnya DIY (Do It Yourself), hlm. 4.

---------------. Radar Kudus, 26 Oktober 2008 .

Brooklyn The Shining Star, hlm. 3.

Page 55: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010

KETENTUAN PENULISAN JURNAL PSKOLOGI UMK(Catatan: ketentuan ini merupakan format final artikel Jurnal Psikologi UMK)

Judul (12 point centered alignment, uppercase)

Nama lengkap penulis dan tanpa gelar (11 point centered)Nama dan instansi penulis (11 point centered)

Abstrak

Abstrak di tulis dalam bahasa Inggris atau Indonesia, dengan maksimal 250 kata, dalam satu paragrap. Abstrak berisi tujuan penulisan, metode penelitian dan keterangan singkat hasil penelitian. (11 point without indentation)

Kata kunci: 3 – 10 kata. (11 point, italic)

Bagian utama tulisan hasil penelitan terdiri

dari:

(1) Pendahuluan (berisi latar belakang

masalah, tinjauan pustaka, tujuan

penelitian dan hipotesis),

(2) Metode penelitian (berisi rancangan

penelitan, pengambilan sample, dan

analisis data),

(3) Hasil penelitian (hasil uji hipotesis),

(4) Diskusi (memuat evaluasi hasil penelitian,

masalah yang terkait hasil penelitian, dan

rekomendasi,

(5) Daftar pustaka.

Artikel hasil pemikiran disajikan dengan

meliputi:

(1) Pendahuluan (latar belakang, tujuan, dan

perumusan masalah),

(2) Pembahasan (terdiri dari beberapa

bagian),

(3) Kesimpulan dan rekomendasi,

(4) Daftar pustaka.

Ketentuan daftar pustaka dengan urutan:

nama belakang penulis, tahun penerbitan, kota

penerbitan, penerbit, volume, dan halaman.

Tabel atau gambar di beri judul dan

keterangan yang jelas. Setiap gambar, tabel

atau grafik yang disertakan juga sumber

penyuntingnya.

Artikel di kirim ke redaksi melalui email

[email protected] dan 1 salinan asli,

dengan ketentuan, kertas A4, Arial 11 point,

spasi 2, justified alignment, top margin 2 cm,

bottom 2 cm, left 1 cm dan right 1 cm. Artikel

ditulis maksimal 15 halaman, minimal 10

halaman.

Redaksi berhak mengedit ulang artikel

tanpa mengubah isi. Artikel yang di muat

adalah artikel yang sesuai dengan ketentuan

yang telah disebutkan.

Page 56: Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010