Upload
agus-syaefuddin-zuhri
View
322
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Jurnal Psikologi Vol. i No 1 Desember 2010
Citation preview
JURNAL PSIKOLOGI UNIVERSITAS MURIA KUDUS
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK
Dengan Yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus | Perilaku
Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari
Kepercayaan Diri | Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja
(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus) | Metode Dongeng Dalam
Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah | Perilaku
Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan Emosi | Orientasi Nilai Pelaku Musik
Hardcore
Volume I, No 1, Desember 2010 ISSN: 2085-8655
Jurnal Psikologi UMK diterbitkan dua kali dalam setahun setiap bulan Juni dan Desember. Redaksi menerima tulisan hasil penelitian atau artikel pemikiran yang kritis mengenai masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan bidang psikologi. Redaksi berhak melakukan edit dengan tidak mengubah isi pemikiran tulisan.
JURNAL PSIKOLOGI UMK Volume I, No 1, Desember 2010 ISSN: 2085-8655
52 halaman
Penerbit: Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus | Penanggungjawab: Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus | Pemimpin Umum: Drs. M. Suharsono, M.Si | Pimpinan Redaksi: Mochamad Widjanarko, S.Psi, M.Si | Sekertaris Redaksi: Dhini Rama Dania, S.Psi, M.Si | Staf Redaksi: Fajar Kawuryan, S.Psi, M.Si; Latifah Nur Ahyani, S.Psi, MA; Trubus Raharjo, S.Psi, M.Si | Mitra Bestari: Dr. Y. Bagus Wismanto (Unika Soegijapranata); Dr. M. Sih Setija Utami (Unika Soegijapranata); Dr. Edy Suhardono (IISA) | Sekertariat: Muji Syukur, S.Psi | Alamat Redaksi: Kampus Universitas Muria Kudus, Gondangmanis, Bae, Kudus 593352 Jawa Tengah, Telp : 0291 - 438229 , Fax: 0291 – 437198, email: [email protected], website: www.psikologi-umk.com
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus Nur Halimah & Fajar Kawuryan
Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan DiriWahyu Pranoto & Iranita Hervi Mahardayani
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)Dhini Rama Dhania
Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia PrasekolahLatifah Nur Ahyani
Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati Dan Kematangan EmosiGusti Yuli Asih & Margaretha Maria Shinta Pratiwi
Orientasi Nilai Pelaku Musik HardcoreAnto Sanjaya & Mochamad Widjanarko
1
DAFTAR ISI Halaman
9
15
24
33
43
Abstract
This present study is aimed to investigate the school readiness differences between student who took pre-scholl education and not took pre-school education. Participants of this study consist of 120 students in the first class of elementary shool from different school in Kudus. This study use accidental sampling. NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) that made by Monks, Rost, and Coffie are used to know the school readiness. t analyses were performed and get the difference coeficient t1.2 =53,405, p=0,000 (p<0,01). This result showed that there are very significant differences school readiness between student who took pre-shcool education and not took pre-school education. The student who took pre-school education have better school readiness if compare with student who not took pre-school education. This is showed by mean difference from two kind of the participant. The student who took pre-school education get the mean score 25,98 but the student who not took pre-school education only get mean score 11,25.
Keywords: school readiness, pre-school education, elementary school
1
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak
Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus
KESIAPAN MEMASUKI SEKOLAH DASAR
PADA ANAK YANG MENGIKUTI PENDIDIKAN TK DENGAN YANG
TIDAK MENGIKUTI PENDIDIKAN TK DI KABUPATEN KUDUS
Nur Halimah
Fajar Kawuryan
Manusia dalam perkembangannya ada
beberapa tahapan yang harus dilalui, mulai dari
masa kanak-kanak, remaja sampai dewasa.
Salah satu tahapan yang harus dilalui manusia
dan berpengaruh terhadap manusia baik
secara fisik maupun secara psikologis adalah
masa kanak-kanak, karena pada masa kanak-
kanak ini adalah pondasi dari kehidupannya
kelak agar menjadi manusia yang berkualitas.
Hurlock (1980) menyatakan bahwa rentang
masa kanak-kanak dibagi lagi menjadi dua
periode yang berbeda; awal dan akhir. Periode
awal berlangsung dari umur dua sampai enam
tahun, sedang periode akhir masa kanak
berkisar antara enam sampai tiba saatnya anak
matang secara seksual, dengan demikian awal
masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup
masa bayi; usia dimana ketergantungan
secara praktis sudah dilewati, diganti dengan
tumbuhnya kemandirian dan berakhir di sekitar
usia sekolah dasar.
Anak usia empat sampai dengan enam
tahun merupakan bagian dari anak usia dini
yang berada pada rentangan usia lahir sampai
dengan enam tahun. Pada usia ini biasanya
disebut sebagai anak usia prasekolah. Para
pendidik menyebut tahun-tahun awal masa
kanak-kanak sebagai usia prasekolah, untuk
membedakannya dari saat di mana anak
dianggap cukup tua, baik secara fisik dan
mental, untuk menghadapi tugas-tugas pada
saat mereka mulai mengikuti pendidikan
formal. Hasil penelitian Djohaeni (2006)
Alumni Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Pemerhati Tumbuh Kembang Anak.Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.
1
2
1
2
2
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak
Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus
menunjukkan bahwa pendidikan TK mampu
memberikan kontribusi pada anak dalam
m e n g e m b a n g k a n s e l u r u h a s p e k
perkembangan yang dimilikinya.
Alasan minat orangtua memasukkan
anaknya ke TK sangat beragam, diantaranya
agar mampu belajar disiplin, mampu
bersosialisi, mandiri, juga agar anak
mempunyai kesiapan sekolah saat SD. Setelah
seorang anak menyelesaikan pendidikan
prasekolah di taman kanak-kanak, seorang
anak akan bersiap untuk mengikuti pendidikan
formal di sekolah dasar. Seorang anak yang
belum pernah mengikuti atau menyelesaikan
pendidikan prasekolah di taman kanak-kanak
biasanya belum siap untuk mengikuti
pendidikan formal di sekolah dasar, sehingga
kesiapan bersekolah menjadi sangat penting.
Sayangnya hal ini tidak dipahami semua
orangtua (Djohaeni, 2008).
Seperti terungkap dalam wawancara
dengan ST (Jurang, 25-05-10) orangtua yang
mempunyai anak SD yang tidak mengikuti
pend id i kan TK menga takan bahwa
memasukkan anak ke pendidikan TK itu dirasa
tidak begitu penting karena hanya diajarkan
bernyanyi dan bermain, tetapi harus membayar
mahal. Selain itu pendidikan TK juga bukan
merupakan prasyarat wajib untuk masuk SD.
Baginya agar anak dapat membaca, menulis,
dan berhitung akan diajarkan di SD.
Hasil penelitian Sulistiyaningsih (2005)
menyatakan bahwa kesiapan bersekolah
menjadi penting artinya karena anak yang telah
memiliki kesiapan untuk bersekolah akan
memperoleh keuntungan dan kemajuan dalam
perkembangan selanjutnya. Sementara itu
anak yang tidak memiliki kesiapan, justru akan
frustrasi bila ditempatkan di lingkungan
akademis. Berbagai bentuk perilaku sebagai
cerminan frustrasi ini diantaranya adalah
menarik diri, berlaku acuh tak acuh,
menunjukkan gejala-gejala fisik, atau kesulitan
menyelesaikan tugasnya di sekolah.
Hal senada dari wawancara dengan
seorang guru SD, Bp. Setiyo Utomo (SD 2
Besito, 17-05-10, 11.00) yang menyatakan
bahwa semua muridnya kelas 1 berasal dari
TK. Efeknya, pada saat mengikuti proses
belajar mengajar sudah memiliki kesiapan, di
antaranya sudah mengenal huruf, sudah
mampu menulis, menghitung jumlah gambar,
berani mencoba memecahkan masalah,
menceritakan dan mengurutkan cerita dari
gambar-gambar. Ditambahkan juga bahwa
rata-rata anak-anak ini sudah mampu duduk
tenang dan menyelesaikan tugas-tugas
akademik di sekolah SD.
Terkait dengan kesiapan sekolah, Hurlock
(dalam Sulistiyaningsih, 2005) menyatakan
bahwa kesiapan bersekolah terdiri dari
kesiapan secara fisik dan psikologis, yang
meliputi kesiapan emosi, sosial dan intelektual.
Seorang anak dikatakan telah memiliki
kesiapan fisik bila perkembangan motoriknya
sudah matang, terutama koordinasi antara
mata dengan tangan (v is io-motor ik)
berkembang baik.
Kesiapan emosional sudah dicapai apabila
anak secara emosional dapat cukup mandiri
lepas dari bantuan dan bimbingan orang
dewasa, tidak mengalami kesulitan untuk
berpisah dalam waktu tertentu dengan
orangtuanya, dapat menerima dan mengerti
setiap tuntutan di sekolah, serta dapat
mengontrol emosinya seperti rasa marah,
takut, dan iri. Selain itu anak harus sudah dapat
bekerjasama, saling menolong, menunggu
giliran untuk suatu tugas dan sebagainya. Anak
yang telah siap secara sosial akan mudah
menyesuaikan diri dengan harapan-harapan
dan aturan-aturan di sekolah. Menurut
Haditono (1986) kesiapan sosial anak dapat
dilihat dari kemampuan menyesuaikan diri
3
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak
Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus
terhadap orang yang baru dikenal, seperti guru
dan teman-teman barunya.
Kesiapan intelektual telah dimiliki anak
apabila anak sudah mampu mengenal
berbagai macam simbol untuk huruf, angka,
gambar, serta kata-kata yang digunakan untuk
menyebut suatu benda, berpikir secara kritis,
menggunakan penalaran walaupun masih
sederhana dalam memecahkan masalah
mampu berkonsentrasi dan memiliki daya ingat
yang baik sehingga anak dapat mengikuti
pelajaran dengan lancar (Sulistiyaningsing,
2005).
K u s t i m a h ( 1 0 - 0 6 - 2 0 1 0 ;
http://www.pustaka.unpad.ac.id) menyatakan
beberapa faktor dalam kesiapan sekolah anak
meliputi :
a. Kesehatan Fisik
Kesehatan yang baik dengan asupan gizi
yang seimbang sangat dibutuhkan untuk dapat
menunjang kesiapan masuk sekolah. Anak
yang sehat akan lebih mudah mencerna
penge tahuan yang d ia ja rkan se r ta
bersosialisasi dengan lebih baik, tampil gesit
dan bersemangat, baik dalam menerima
informasi maupun dalam membina hubungan
sosial dengan guru serta teman -temannya.
b. Usia
Beberapa ahli mengatakan bahwa faktor
usia sangatlah penting untuk menentukan
kesiapan anak masuk sekolah dasar. Menurut
Janke, Comenius, Buhler dan Hetzer dalam
buku Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test
(dalam Kustimah, 2008) menganggap usia 6
tahun sebagai usia yang cukup matang untuk
sekolah. Pada usia ini umumnya anak telah
memiliki perbendaharaan kata yang cukup
banyak, memiliki kemampuan membayangkan
sepert i anak-anak seusianya, dapat
mengemukakan secara verbal ide-ide dan
pikiran-pikirannya serta organ-organ indra dan
motorik telah terkoordinasi dengan baik.
c. Tingkat Kecerdasan
Kecerdasan/ intel igensi merupakan
kemampuan seorang anak dalam memahami
instruksi verbal teoritis dan menyelesaikan
tugas-tugas konkrit praktis dibandingkan
dengan anak-anak seusianya. Anak-anak
dengan tingkat kecerdasan yang berfungsi
pada tahap rata-rata akan menyelesaikan
tugas - tugas tersebut secepat anak-anak
seusianya. Adapun anak-anak yang memiliki
tingkat kecerdasan tinggi akan menyelesaikan
tugas-tugas tersebut secara lebih cepat dan
sebaliknya anak-anak yang memiliki tingkat
kecerdasan rendah akan melaksanakannya
dengan lebih lambat. Dengan demikian untuk
memasuki dunia sekolah yang memiliki
program pembelajaran untuk usia tertentu,
maka setidaknya seorang anak memiliki tingkat
kecerdasan yang berfungsi pada tahap rata-
rata.
d. Stimulasi Tepat
Faktor lingkungan terdekat dengan anak
sangat berperan dalam menunjang kesiapan
anak untuk memasuki sekolah dasar, sehingga
potensi perkembangan anak yang dimiliki anak
dapat berkembang secara optimal. Orangtua
dan guru memegang peranan yang sangat
penting dalam mengembangkan aspek-aspek
yang sangat menunjang kesiapan anak untuk
sekolah meliputi semua perkembangan baik
perkembangan motorik kasar dan halus,
perkembangan bahasa, perkembangan sosial,
perkembangan kognisi dan perkembangan
emosi anak.
e. Motivasi
Anak yang merasa bahagia biasanya
memiliki motivasi baik untuk melakukan
sesuatu, serta umumnya melakukan kegiatan
didasari oleh tujuan tertentu.
4
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak
Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus
Guna mengetahui kondisi faktor-faktor
kesiapan sekolah anak, digunakan Nijmeegse
Schoolbekwaamheids Test (NST). NST terdiri
dari 10 sub tes yang berisi gambar-gambar
a tau melengkap i gambar seka l igus
j a w a b a n n y a , y a n g m a s i n g - m a s i n g
mengungkap kemampuan yang berbeda, yaitu:
1. Subtes 1: Pengamatan bentuk dan
kemampuan membedakan (vorm
waarneming en onderscheidings
vermogen);
2. Subtes 2: Motorik halus (fijne motoriek);
3. Subtes 3: Pengertian tentang besar, jumlah,
dan perbandingan (begrip voor grootte
hoeveelheid en verhoudingen);
4. Subtes 4: Pengamatan tajam (scherp
waarnemen);
5. Subtes 5: Kemampuan berpikir kritis
(kritische waarneming);
6. Konsentrasi (taakspanning);
7. Subtes 7: Ingatan (geheugen);
8. Subtes 8: Pengertian objek dan penilaian
s i t u a s i ( o b j e c t b e g r i p e n
situatieboordeling);
9. Subtes 9: Menirukan cerita (weergeven
van een verhaaltje);
1 0 . S u b t e s 1 0 : M e n g g a m b a r o r a n g
(menstekening).
Menurut Monks, Rost, dan Coffie (dalam
Sulistiyaningsih, 2005) NST dikembangkan di
Nijmegen - Nederland merupakan pengolahan
tes Gopinger dari Jerman yang digunakan
untuk mengungkap kemampuan sekolah anak.
Hal senada diungkapkan bahwa NST
merupakan suatu alat tes yang digunakan
untuk mengungkap kesiapan untuk masuk
sekolah dasar, meliputi kesiapan fisik dan
kesiapan psikis. Kesiapan psikis ini terdiri dari
kemasakan emosi, sosial, dan intelektual. NST
bersifat non verbal dan disajikan secara
individual.
Dapat disimpulkan bahwa kesiapan anak
sekolah terdiri dari beberapa aspek, baik fisik
maupun psikologis dan salah satu alat tes
untuk mengukur kesiapan sekolah adalah
Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (NST)
yang mengukur aspek-aspek kognitif, motorik
halus dan motorik kasar, penilaian sosial, serta
emosional.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
secara empirik perbedaan kesiapan sekolah
anak SD yang mengikuti pendidikan TK dengan
yang tidak mengikuti pendidikan TK.
Hipotesis
Ada perbedaan kesiapan sekolah anak
sekolah dasar yang mengikuti pendidikan
taman kanak-kanak dengan yang tidak
mengikuti pendidikan taman kanak-kanak,
dengan asumsi bahwa anak-anak yang
mengikuti pendidikan TK lebih siap memasuki
SD dari pada anak yang tidak mengikuti
pendidikan TK.
Metode Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah anak
SD kelas satu yang mengikuti pendidikan
taman kanak-kanak dan anak SD kelas satu
yang tidak mengikuti pendidikan taman kanak-
kanak masing-masing sejumlah 60 siswa dari
lima SD, yaitu SD 2 Besito, SD 4 Besito, SD 5
Jurang, SD 5 Gondosari, SD 10 Gondosari,
Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.
Pada penelitian ini, teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah accidental
sampling. Alat tes yang digunakan untuk
5
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak
Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus
mengungkap kesiapan sekolah adalah NST
(Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) yang
disusun oleh Monks, Rost, dan Coffie. Tes ini
terdiri dari 10 sub tes yang berisi gambar-
gambar atau melengkapi gambar sekaligus
j a w a b a n n y a , y a n g m a s i n g - m a s i n g
mengungkap kemampuan yang berbeda.
Item-item yang digunakan dalam penelitian
ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Item yang jawaban benar yaitu item yang
sesuai dengan kunci jawaban yang sudah
tersedia.
2. Item yang jawaban salah yaitu item yang
tidak sesuai dengan kunci jawaban yang
sudah tersedia.
Bentuk jawaban terdiri dua alternatif
jawaban yaitu Benar (B) dan salah (S). Pada
jawaban benar (B) diberi nilai 1 dan jawaban
salah (S) diberi nilai 0 lalu jumlah jawaban
subyek pada setiap subtes dan diakumulasi
untuk disesuaikan dengan norma.
Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test
(N.S.T.) yang telah digunakan oleh Woelan (24-
08-2010; http://www.adln.lib.unair.ac.id)
memiliki validitas antara 0,220 sampai 0,510
dan reliabilitas sebesar 0,829. Untuk menguji
perbedaan kesiapan sekolah anak yang
mengikutikan pendidikan TK dengan yang tidak
mengikuti pendidikan TK digunakan analisis uji
t.
Hasil Penelitian
1. Uji Normalitas
Berdasarkan uji normalitas dengan teknik
Kolmogorof-Smirnov terhadap data kesiapan
sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan
TK diperoleh nilai K-SZ sebesar 1,941 dengan
p sebesar 0,138 (p > 0,05) dan anak yang tidak
mengikuti pendidikan TK diperoleh nilai K-SZ
sebesar 1,157 dengan p sebesar 0,138 (p >
0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa
sebaran data kesiapan sekolah anak SD yang
mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak
mengikuti pendidikan TK memiliki distribusi
normal.
2. Uji Homogenitas
Hasil uji homogenitas varian kesiapan
sekolah anak SD yang mengikuti pendidikan
TK dengan yang tidak mengikuti pendidikan TK
menunjukkan koefisiensi F sebesar 1,507
dengan p sebesar 0,142 (p>0,05) yang berarti
data kesiapan sekolah anak SD yang mengikuti
pendidikan TK dengan yang tidak mengikuti
pendidikan TK adalah homogen.
Paired Samples Statistics
25.98 57 1.302 .173
11.25 57 1.607 .213
TK
NON_TK
Pair1
Mean N Std. Deviation
Std. ErrorMean
Tabel 1
Perbedaan Rerata Kesiapan Sekolah Anak
SD yang Mengikuti Pendidikan TK dengan
yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK
Paired Samples Test
14.74 2.083 .276TK - NON_TKPair 1
Mean Std. DeviationStd. Error
Mean
Paired Differences
14.18 15.29 53.405 56 .000
Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Differencet df Sig. (2-tailed)
Paired Differences
Tabel 2
Uji Perbedaan Kesiapan Sekolah Anak SD
yang Mengikuti Pendidikan TK dengan
yang Tidak Mengikuti Pendidikan TK
6
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak
Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus
Hasil analisis data menunjukkan koefisien
beda t1.2 sebesar 53,405 dengan p sebesar
0,000 (p<0,01), menunjukkan ada perbedaan
sangat signifikan kesiapan sekolah anak SD
yang mengikuti pendidikan TK dengan yang
tidak mengikuti pendidikan TK. Hal ini juga
ditunjukkan dengan perbedaan rerata
keduanya yaitu untuk anak yang mengikuti
pendidikan TK sebesar 25,98 dan untuk anak
yang tidak mengikuti pendidikan TK sebesar
11,25. Berdasarkan hasil analisis data di atas
maka hipotesis yang diajukan yaitu ada
perbedaan kesiapan sekolah anak yang
mengikuti pendidikan TK dengan anak yang
tidak mengikuti pendidikan TK; diterima.
Diskusi
Kesiapan bersekolah anak yang satu belum
tentu sama dengan anak yang lainnya, bahkan
meskipun usianya sama. Hal ini disebabkan
karena ada banyak faktor yang mempengaruhi
terbentuknya kesiapan bersekolah anak.
Selain dipengaruhi oleh kemasakan,
lingkungan tempat anak berkembang juga ikut
membentuk kesiapan anak bersekolah.
Dapat dipahami bahwa pendidikan anak
pada usia prasekolah merupakan dasar yang
penting untuk keberhasilan pada jenjang studi
yang selanjutnya. Setelah menyelesaikan
pendidikan prasekolah di TK, seorang anak
akan bersiap untuk mengikuti pendidikan
formal di SD (Sulistiyaningsih, 2005). Anak
yang mengikuti pendidikan TK dimungkinkan
lebih matang dari pada anak yang tidak
mengikuti pendidikan TK seperti terungkap
dalam penelitian Kustimah (2008). Kesiapan
bersekolah menjadi penting artinya karena
anak yang telah memperoleh keuntungan dan
kemajuan dalam perkembangannya yang
selanjutnya. Sementara itu anak yang belum
memiliki kesiapan, justru akan mengalami
hambatan-hambatan bila ditempatkan di
lingkungan akademis (Sulistiyaningsih, 2005).
Adapun menurut Cronbach (dalam
Soemanto, 2003) kesiapan (readiness)
sebagai segenap sifat atau kekuatan yang
membuat seseorang dapat bereaksi dengan
cara tertentu. Dalam hal kesiapan ini
melibatkan beberapa faktor antara lain (1)
perlengkapan dan pertumbuhan fisiologis,
yang menyangkut pertumbuhan terhadap
kelengkapan pribadi seperti tubuh pada
umumnya seperti alat indra dan kapasitas
intelektual, (2) motivasi, yang menyangkut
kebutuhan, minat serta tujuan-tujuan individu
u n t u k m e m p e r t a h a n k a n s e r t a
mengembangkan diri.
Hal lain yang mempengaruhi kesiapan
sekolah anak adalah keluarga dan lingkungan.
Hurlock (1980) menyatakan lingkungan yang
terdekat dengan anak adalah keluarga. Dari
berbagai karakteristik keluarga, faktor tingkat
pendidikan orangtua merupakan sesuatu yang
besar pengaruhnya terhadap perkembangan
anak. Tingkat pendidikan orangtua ini sangat
penting hubungannya dengan cara mereka
mengasuh anak, sementara itu cara
pengasuhan anak berhubungan dengan
perkembangan anak. Dalam hal ini tingkat
pendidikan dan l ingkungan orangtua
mempengaruhi cara pengasuhan anak. Dalam
lingkungan yang terpencil dan tidak ada akses
pend id i kan banyak o rang tua t i dak
memasukkan anaknya ke lingkup pendidikan
sekolah yang memadai, hal ini akan berbeda
dengan orangtua yang tinggal di lingkungan
yang mempunyai banyak akses pendidikan,
kebanyakan dari mereka merasa bahwa
pendidikan usia dini adalah hal yang penting
untuk perkembangan kognitif anak-anak
khususnya anak-anak usia prasekolah.
Pada hasil penelitian juga dapat dilihat
adanya perbedaan rerata yaitu rerata anak
yang mengikuti pendidikan TK lebih besar yaitu
Volume I, No 1, Desember 2010
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak
Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus
7
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
sebesar 25,98 dan rerata anak yang tidak
mengikuti pendidikan TK sebesar 11,25. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh kondisi pendidikan
prasekolah yang ditempuh sebelum mengikuti
pendidikan sekolah serta lingkungan tempat
tinggal anak-anak. Anak-anak yang sebelum
SD mengikuti pendidikan TK dimungkinkan
secara kognitif, fisik, dan emosi sudah siap
dalam memasuki pendidikan sekolah dasar.
Anak-anak yang tidak mengenyam
pendidikan TK ketika memasuki pendidikan
sekolah dasar secara kognitif, fisik dan emosi
rata-rata belum siap. Anak yang belum memiliki
kesiapan, justru akan frustrasi bila ditempatkan
di lingkungan akademis. Berbagai bentuk
perilaku sebagai cerminan frustrasi ini
diantaranya adalah untuk menarik diri, berlaku
acuh tak acuh, menunjukkan gejala- gejala
sakit fisik, atau kesulitan menyelesaikan
tugasnya di sekolah (Rowen dkk dalam
Sulistiyaningsih, 2005).
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan ada perbedaan sangat signifikan
kesiapan sekolah antara anak SD yang
mengikuti pendidikan TK dengan yang tidak
mengikuti pendidikan TK, dimana anak SD
yang sebelumnya mengikuti pendidikan TK
memiliki kesiapan sekolah lebih tinggi
dibandingkan yang tidak mengikuti pendidikan
TK.
Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan :
1. Bagi orangtua agar memasukkan anaknya
di pendidikan prasekolah sebelum
memasuki sekolah dasar agar memiliki
kesiapan fisik dan kesiapan psikis; berupa
kemasakan emosi, sosial, dan intelektual
dalam mengikuti pendidikan di sekolah
dasar.
2. Bagi peneliti selanjutnya, agar melibatkan
faktor pendukung kesiapan belajar yang
lain, misalnya dukungan orangtua, tingkat
kecerdasan, dan motivasi.
Daftar Pustaka
Dalyono, M. (1997). Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT. Rieka Cipta
Djoehaeni, H. (2006). Pengembangan Potensi
Anak Usia Dini Melalui Penerapan Kelas
Y a n g B e r p u s a t P a d a A n a k :
http://www.jurnal.psikologi.ac.id. 22-06-
2010, 10.30
___________. (2008). Pengembangan
Potensi Anak Usia Dini melalui Penerapan
Kelas yang Berpusat pada Anak :
http://www.jurnal.psikologi.ac.id. 22-06-
2010, 10.00
Haditono, S.R.(1986). Pengasuhan Anak
Menuju Kesiapan Masuk SD. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM
Hurlock. (1980). Perkembangan Anak. Jakarta:
Erlangga
Kustimah, (2008). Gambaran Kesiapan Anak
Masuk Sekolah Dasar Dtinjau dari Hasil
Test NS (Nijmeegse Schoolbekwaamheids
Test). Bandung: Universitas Padjadjaran.
http://www.pustaka.unpad.ac.id. 10-06-
2010, 13:30.
Monks dkk. (2004). Psikologi Perkembangan
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Munarsih, C. (2010). Pembelajaran Terpadu
pada Pendidikan Usia Dini bagi Anak
Volume I, No 1, Desember 2010
Kesiapan Memasuki Sekolah Dasar Pada Anak Yang Mengikuti Pendidikan TK Dengan Yang Tidak
Mengikuti Pendidikan TK Di Kabupaten Kudus
8
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Miskin di Jakarta: http://www.adln.lib.unj-
upi.ac.id. 5-05-2010, 13.20.
Soemanto, W. (2003). Psikologi Pendidikan.
Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Sulistiyaningsih, W. (2005). Kesiapan
Bersekolah Anak Ditinjau Dari Jenis
Pendidikan Pra Sekolah Anak dan Tingkat
Pendidikan Orangtua. Jurnal Psikologia.
Volume 01 – Juni 2005. Universitas
Sumatera Utara.
Woelan, H. (2010). Uji Validitas dan Reliabilitas
Tes NST. http://www.adln.lib.unair.ac.id.
24-08-2010, 22:00.
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk
Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri
9
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Abstract
This study aims to empirically examine the relationship between consumer behavior of teenagers using branded fashion products with confidence. In this study the subjects of research is student in the Muria Kudus University, with a purposive sampling based sampling that samples with characteristics of teenagers using branded fashion products. Measuring instrument used to obtain the data is scale consumer behavior teenagers use fashion branded products and the confidence scale.
The results obtained from both the correlation coefficient rxy of 0.433 with p of 0.000 (p <0.050), this means there is a significant positive relationship on teenagers consumer behavior using branded fashion products with confidence. So the hypothesis accepted. Teenangers consumer behavior using branded fashion product and confidence gained on medium category. Effective contribution to the behavior variable of consumer confidence at 43.3%.
Keywords: consumer behavior and confidence
PERILAKU KONSUMEN REMAJA MENGGUNAKAN PRODUK
FASHION BERMEREK DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI
Wahyu Pranoto
Iranita Hervi Mahardayani
Alumni Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus.
1
2
12
Masa remaja adalah masa peralihan dari
masa anak menuju masa dewasa yang
mengalami perkembangan semua aspek atau
fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini,
2004). Periode transisi pada usia remaja
membuat remaja akan selalu berusaha untuk
dapat diterima dengan baik oleh kelompok
sosialnya. Mereka mengusahakan berbagai
cara yang ditujukan pada konformitas
kelompoknya. Penampilan fisik merupakan
prioritas utama yang menjadi perhatian para
remaja, bahkan banyak yang hanya mau
membeli produk fashion dengan merek tertentu
saja yang harganya mahal, hanya untuk
meningkatkan harga diri dan menambah
kepercayaan dirinya. Sejumlah penelitian telah
menemukan bahwa penampilan f is ik
merupakan suatu kontributor yang sangat
berpengaruh pada rasa percaya diri remaja,
(Santrock dalam Kusumaningtyas, 2009).
Penampilan remaja dalam kesehariannya,
fashion merupakan salah satu hal yang tidak
bo leh d i l upakan da lam menun jang
penampilannya. Remaja menyadari bahwa
fashion sangat penting kerena mereka memiliki
keinginan untuk selalu tampil menarik ditengah
– tengah kelompok sosialnya. Salah satu
bentuk perilaku remaja dalam menambah
penampilan dirinya dimata kelompoknya
adalah dengan mengikuti mode yang diminati
oleh kelompok sebayanya (Mappiare,1982).
Remaja cenderung membeli produk
fashion bukan karena alasan kebutuhan, tetapi
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk
Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri
10
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
hanya untuk berpenampilan agar lebih dihargai
dan dapat diterima oleh kelompoknya atau
teman sebayanya. Peri laku ini lebih
dipengaruhi oleh faktor emosi dari pada rasio,
karena pertimbangan – pertimbangan dalam
membuat keputusan untuk membeli suatu
produk lebih menitikberatkan pada status
sosial, mode dan kemudahan, dari pada
pertimbangan ekonomis. Pilihan emosional
biasanya didasarkan atas rasa salah, rasa
takut, kurang percaya diri, dan keinginan
bersaing serta menjaga penampilan diri,
(Sarwono dalam Kusumaningtyas, 2009)
Teman sebaya lebih memberikan pengaruh
dalam memilih hal cara berpakaian, hobi,
perkumpulan (club), dan kegiatan sosial lainya
(Yusuf, 2004). Karena itu remaja berusaha
berpenampi lan sama dengan teman
sebayanya, remaja merasa dirinya lebih
diterima dan dihargai. Bagi seorang remaja, arti
penerimaan atau penolakan teman sebaya
dalam kelompok sangatlah penting. Hal itu
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
pikiran, sikap, perasaan, perbuatan –
perbuatan dan penyesuaian diri remaja. Hal
yang demikian ini akan menimbulkan rasa
senang, gembira, puas bahkan rasa bahagia
yang pada gilirannya memberi rasa percaya diri
yang besar (Mappiare, 1982)
Salah satu penyebab dari rasa kurang
percaya diri tersebut yaitu bahwa remaja
merasa dirinya memiliki kekurangan dan tidak
sama dengan kelompok teman sebayanya
dalam konteks secara fisik. Hal ini yang
menyebabkan remaja memilih untuk menutupi
kekuranganya tersebut dan berusaha untuk
untuk berpenampi lan sama dengan
kelompoknya. Remaja yang tidak percaya diri
ini cenderung akan menggunakan produk
fashion bermerek sebagai kompensasi
terhadap kekuranganya, Sinaga (dalam
Kusumaningtyas, 2009)
Mode yang terus berkembang seiring
perubahan jaman, menyebabkan remaja terus
menerus mengikuti perkembangan arus mode.
Semakin tinggi kecenderungan mengikuti
mode maka kepercayaan diri pada remaja
akan semakin kuat atau meningkat.
Kecenderungan mengikuti mode memiliki
prediksi kuat terhadap terbentuknya
kepercayaan diri pada remaja, Buntaran
(dalam Kusumaningtyas, 2009). Dengan
begitu remaja yang kurang memiliki rasa
percaya diri yang kuat secara otomatis akan
menggunakan mode – mode yang sedang
marak dikalangannya, guna menambah rasa
kepercayaan diri pada remaja tersebut.
Berdasarkan fenomena diatas, diduga
bahwa remaja yang memiliki masalah dalam
kepercayaan dirinya, kurang atau tidak
percaya diri akan melakukan usaha untuk
menutupi rasa kurang percaya dirinya tersebut
dengan cara menggunakan produk fashion
bermerek. Untuk itu dalam kesempatan ini
penulis ingin mengetahui adakah hubungan
antara perilaku konsumen remaja yang
menggunakan produk fashion bermerek
dengan kepercayaan diri.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguji secara empirik hubungan antara
perilaku konsumen remaja menggunakan
produk fashion bermerek dengan kepercayaan
diri.
Hipotesis
Ada hubungan positif antara kepercayaan
diri dengan perilaku konsumen remaja yang
menggunakan produk fashion bermerek,
dimana semakin tinggi kepercayaan dirinya
maka perilaku konsumen menggunakan
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk
Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri
11
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
produk fashion bermerek semakin tinggi pula,
begitu pula sebaliknya semakin rendah pula
kepercayaan dirinya semakin rendah perilaku
konsumen remaja menggunakan produk
fashion bermerek.
Metode Penelitian
Untuk menguji hipotesis penelitian,
sebelumnya dilakukan identifikasi dari
variabel– variabel yang akan dipakai dalam
penelitian ini, yaitu :
1. Variabel Bebas: Kepercayaan Diri.
2. Variabel Tergantung: Perilaku Konsumen
Remaja menggunakan produk fashion
bermerek.
Penelitian ini menggunakan purposive
sampling, yaitu mahasiswa fakultas psikologi,
fakultas ekonomi, fakultas teknik, fakultas
keguruan dan ilmu pendidikan, fakultas hukum,
dan fakultas pertanian, tetapi dalam penelitian
ini hanya diambil sampel dari masing-masing
populasi tersebut yaitu remaja yang berusia 18-
21 tahun dan menggunakan produk fashion
bermerek.
Dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
metode skala. Adapun skala yang dibuat dalam
penulis ini adalah skala perilaku konsumen
remaja menggunakan produk fashion
bermerek dan skala kepercayaan diri. Metode
analisis data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah menggunakan metode teknik korelasi
poduct moment
Hasil Penelitian
Validitas dan Reliabilitas
Skala Perilaku Konsumen Remaja
Menggunakan Produk Fashion Bermerek
Item skala perilaku konsumen remaja
menggunakan produk fashion bermerek
menunjukkan, dari 40 item tidak terdapat item
yang gugur, item yang valid dengan koefisien
validitas berkisar antara 0,2202 sampai
0,7460.
Hasil reliabilitas skala perilaku konsumen
remaja menggunakan produk fashion
bermerek menunjukkan reliabilitas alpha (rtt)
sebesar 0,9467
Skala Kepercayaan Diri
Sedangkan item Skala Kepercayaan Diri
menunjukkan, dari 40 item pada tahap 1
perhitungan terdapat 6 item yang gugur
dengan koefisiensi validitas –0,0056 sampai
dengan 0,1766, pada tahap 2 perhitungan
terdapat 1 item yang gugur dengan koefisien
validitas 0,1638, jadi hasil akhir perhitungan
terdapat 33 item yang valid dengan koefisiensi
validitas berkisar antara 0,2254 sampai
0,7198.
Hasil reliabilitas skala kepercayaan diri
menunjukkan bahwa kepercayaan diri
mempunyai reliabilitas alpha (rtt) pada tahap 1
sebesar 0,8433, tahap 2 sebesar 0,8661 dan
pada tahap terakhir dengan hasil sebesar
0,8682,
Analisis Data
No. Variabel K-SZ P Keterangan
1. Perilaku Konsumen
0,713
> 0,05
Distribusi Normal
2. Kepercayaan Diri
0,520
> 0,05
Distribusi Normal
Tabel 1
Uji Normalitas Sebaran
F Sig.
PKR* PD Between (combined) 1,805 ,020
Groups linierity
23,939 ,000
Devitiation from Linierity 1,190 ,270
Within Groups
Total
Tabel 2
Uji Linieritas Hubungan
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk
Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri
12
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
X PD Y P.KNSMNX kepercayaan diri Pearson Correlation 1 ,433**
Sig.(1- tailed) ,000N
99 99Y P.
Konsmn
Pearson Correlation
,433** 1Sig.(1- tailed)
,000
N 99 99
Tabel 3
Uji Hipotesis
** Correlation is significant at the 0,01 level
Diskusi
Berdasarkan analisis data hipotesis yang
diajukan yaitu ada hubungan positif antara
perilaku konsumen remaja menggunakan
produk fashion bermerek dengan kepercayaan
diri, dengan rxy sebesar 0,433 dengan P <
0,05, dengan demikian hipotesis yang diajukan
diterima yaitu semakin tinggi perilaku
konsumen remaja menggunakan produk
fashion bermerek maka semakin tinggi
kepercayaan diri. Sebaliknya, semakin rendah
perilaku konsumen remaja menggunakan
produk fashion bermerek maka semakin
rendah pula kepercayaan dirinya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan Tambunan (2001) bahwa
remaja yang memiliki kekurangan pada
fisiknya membuat remaja tersebut akan
merasa kurang percaya diri pada kelompok
sosialnya, dan remaja tersebut akan mudah
terbujuk oleh penawaran produk – produk
fashion bermerek terbaru yang menurutnya
bisa membuat dirinya lebih bisa percaya diri.
Bagi produsen, remaja yang tidak percaya diri
ini merupakan pasar potensial bagi produk –
produk fashion yang mereka ciptakan. Remaja
yang seperti ini akan cenderung menggunakan
produk fashion bermerek untuk meningkatkan
kualitas yang ada pada dirinya khususnya
dalam hal penampilan.
Salah satu penyebab dari rasa kurang
percaya diri tersebut bahwa remaja merasa
dirinya memiliki kekurangan dan tidak sama
dengan kelompok teman sebayanya dalam
konteks secara fisik. Hal ini yang
menyebabkan remaja memilih untuk
menutupi kekuranganya tersebut dan
berusaha untuk untuk berpenampilan
sama dengan kelompoknya. Remaja yang
tidak percaya diri ini cenderung akan
menggunakan produk fashion bermerek
s e b a g a i k o m p e n s a s i t e r h a d a p
k e k u r a n g a n y a , S i n a g a ( d a l a m
Kusumaningtyas, 2009).
Sifat remaja selalu ingin diakui
eksistensinya oleh lingkungan dengan
berusaha menjadi bagian dari lingkungan
itu. Kebutuhan untuk diterima dan
diakuinya remaja tersebut oleh orang lain
atau teman sebaya itu menyebabkan
remaja berusaha untuk mengikuti berbagai
atribut yang sedang in (Tambunan, 2001).
Karena itu remaja akan menggunakan
produk fashion bermerek yang dasarnya
produk tersebut sesuai dengan mode atau
tren yang sedang in.
Besarnya pengaruh perilaku konsumen
remaja menggunakan produk fashion
bermerek terhadap kepercayaan diri
tampak pada besarnya sumbangan efektif
sebesar 43,3%, berarti masih terdapat
56,7% faktor lain yang mempengaruhi
kepercayaan diri. Besarnya sumbangan
efektif peri laku konsumen remaja
menggunakan produk fashion bermerek
yang relatif besar ini penting untuk
diperhatikan khususnya bagi remaja. Bagi
remaja yang memiliki perilaku konsumen
dalam penggunaan produk – produk
fashion bermerek yang sangat tinggi hanya
guna un tuk sekedar menambah
kepercayaan dirinya hendaknya untuk
tetap bisa dikontrol. Fatimah (dalam
Rosita, 2010) menyebutkan kepercayaan
diri muncul bukan dari penampilan luar kita
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk
Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri
13
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
saja melainkan dari rasa optimisme dalam diri,
selalu berpikir positif, berpikir realistik dan apa
adanya serta evaluasi diri yang objektif.
Hasil analisis variabel perilaku konsumen
remaja menggunakan produk fashion
bermerek diperoleh mean empirik sebesar
113,77 dan SD empirik sebesar 15,675.
Berdasarkan norma kategorisasi tingkat
perilaku konsumen remaja menggunakan
produk fashion bermerek, diperoleh bahwa
perilaku konsumen remaja menggunakan
produk fashion bermerek tersebut tergolong
sedang. Hal ini diketahui dari hasil respon
subyek pada item dalam skala yang
menunjukkan prosentase perilaku konsumen
remaja menggunakan produk fashion
bermerek terbesar pada tingkat sedang.
Remaja dengan perilaku konsumennya
menggunakan produk fashion bermerek
sangat rendah ada 11 orang (11,11%), Remaja
dengan perilaku konsumennya menggunakan
produk fashion bermerek rendah ada 15 orang
(15 ,15%), Remaja dengan per i laku
konsumennya menggunakan produk fashion
bermerek yang tergolong sedang ada 46 orang
(46 ,46%), Remaja dengan per i laku
konsumennya menggunakan produk fashion
bermerek tinggi ada 19 orang (19,19%) dan
Remaja dengan perilaku konsumennya
menggunakan produk fashion bermerek yang
tergolong sangat tinggi ada 8 orang (8,08%).
Sedangkan hasil analisis variabel
kepercayaan diri diperoleh mean empirik
sebesar 97,44 dengan SD empirik sebesar
9,417. Berdasarkan norma kategorisasi tingkat
kepe rcayaan d i r i d i pe ro l eh bahwa
kepercayaan diri remaja tergolong sedang. Hal
ini diketahui dari hasil respon subyek pada item
dalam skala yang menunjukkan prosentase
kepercayaan diri terbesar pada tingkat sedang.
Remaja dengan kepercayaan diri yang sangat
rendah ada 6 orang (6%), remaja dengan
kepercayaan diri yang rendah ada 23 orang
(23,23%), remaja dengan kepercayaan diri
sedang ada 41 orang (41,41%), remaja dengan
kepercayaan diri tinggi ada 24 orang (24,24%),
dan remaja dengan kepercayaan diri yang
sangat tinggi ada 5 orang (5%).
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang
signifikan antara perilaku konsumen remaja
menggunakan produk fashion bermerek
dengan kepercayaan diri.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan
dan kesimpulan di atas maka peneliti
mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Remaja
Bagi remaja yang kurang percaya diri dalam
berpenampilan dan merasa mendapati
kekurangan yang ada pada dirinya apabila
mungkin diharapkan menggunakan produk
fashion bermerek untuk tetap bisa tampil lebih
percaya diri atau dengan cara optimis dengan
kemampuan, berpikir positif, berpikir realistik
dan apa adanya serta evaluasi diri yang
objektif, pengendalian diri yang baik dan
kemampuan bersosialisasi yang baik.
2. Peneliti selanjutnya
Bagi penel i t i la in disarankan untuk
menggunakan faktor lain yang mempengaruhi
peri laku konsumen sebagai variabel
dependent atau variabel tergantung karena
karena masih terlalu luas arti tentang perilaku
konsumen.
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Konsumen Remaja Menggunakan Produk
Fashion Bermerek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri
14
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Daftar Pustaka
Assianbrain. (2008). Mengenal Perilaku
Konsumen. www.AssianBrain.com
Beureukat. (2003). Faktor Lingkungan Sebagai
Penentu Perilaku Konsumen. Fakultas
Ekonomi, Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara.
Edris, M. (2008). Perilaku Konsumen. Fakultas
Ekonomi, Universitas Muria Kudus.
Engel, J. F. (2002). Perilaku Konsumen Jilid 2.
Jakarta : Binarupa Aksara.
Ferrinadewi, E. (2008). Merek Dan Psikologi
Konsumen. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hakim, T, (2005). Mengatasi Rasa Tidak
Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.
H u r l o c k , E . B . ( 1 9 8 0 ) . P s i k o l o g i
Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:
Erlangga.
Kusumaningtyas, R. (2009). Hubungan
Konsep Diri dengan Minat Membeli Produk
Fashion Bermerek Terkenal Pada Remaja.
Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang:
Fakultas Psikologi UNNES.
Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja.
Surabaya : Usaha Nasional
Rosita, H. (2010). Hubungan Antara Perilaku
Asertif Dengan Kepercayaan Diri Pada
M a h a s i s w a . J u r n a l : U n v e r s i t a s
Gunadarma.
Rumini, S dan Sundari, S. (2004). Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta :
Rineka Cipta.
Tambunan, R. (2001). Kepercayaan Diri Anda.
www.e-psikologi.com
Yusuf, S. (2004). Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Bandung : Rosdakarya.
Zumars, D. (2010). Konsumen Indonesia Suka
Barang Bermerek (Branded Item).
http://dzumar.wordpress.com
Volume I, No 1, Desember 2010Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja
(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
15
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Abstract
With the growth of world trade in products where competition is accompanied by increasingly stringent targets are so high from the company to its marketing, as well as the marketing of drug company called Medical Representative is charged with a high enough target. Therefore this study aims to determine Workload Influence on Job Stress, Job Stress and Effect on Medical Representative Job Satisfaction in Kudus. From the results of hypothesis test showed that the adjusted R2 of -, 025 indicates that the effect of workload on job stress at 2.5%. With a very small effect, may imply that no form of workload influence on work stress. while for the Effect of Work Stress on Job Satisfaction gained 0,033 Adjusted R2 results show an effect of work stress on job satisfaction by 3.3%, With very little effect, may imply that no form of the effect of job stress on job satisfaction.
Keywords: Job Stress, Workload, Job Satisfaction
PENGARUH STRES KERJA, BEBAN KERJA
TERHADAP KEPUASAN KERJA
(STUDI PADA MEDICAL REPRESENTATIF DI KOTA KUDUS)
Dhini Rama Dhania
Universitas Muria Kudus
Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Indonesia H Sampurno, 2005 (dalam
Republika) mengatakan, dalam tiga tahun
mendatang ada masalah domestik yang
menyangkut nasib distribusi obat nasional,
terutama yang berskala kecil. Akibatnya, lebih
dari ribuan pedagang besar farmasi harus
memperebutkan pasar lokal yang tersisa,
sekitar 20 % saja. Sedangkan 80 % sudah
d ikuasa i d is t r ibu to r as ing . Dengan
perkembangan dalam dunia perdagangan di
mana persaingan produk semakin ketat
disertai dengan target-target yang begitu tinggi
dari perusahaan kepada para marketing.
Dengan demikian para marketing ini sangat
diperlukan agar setiap produk yang dihasilkan
dapat dikenal dan tertanam dalam pikiran dan
hati masyarakat baik melalui penjelasan door
to door, dan face to face.
Dalam perusahaan farmasi para karyawan
marketing ini biasa disebut dengan medical
representative. Terkait dengan produk yang
ditawarkan, sasaran pasarnya juga sangat
spesifik, yakni kalangan dokter. Tugas seorang
medical representative tidak jauh berbeda
dengan sales, tugasnya antara lain
mempresentasikan di depan dokter mengenai
keunggulan dan kelebihan obat yang mereka
tawarkan, menjelaskan kegunaan dari jenis
obat baru, ia harus dapat menjelaskan secara
rinci segala informasi yang berkaitan dengan
produk yang diwakilinya.
D e n g a n d e m i k i a n p a r a m e d i c a l
representative dituntut oleh pihak perusahaan
untuk selalu dapat menutup target yang telah
ditetapkan perusahaan. Adanya target yang
telah dibebankan pada para medical
representative tersebut, maka munculah
sebuah permasalahan dalam pemasaran
produk obat khususnya di kota Kudus. Hal ini
dikarenakan minimnya unit pelayanan
kesehatan yang ada di kota Kudus, dan
banyaknya cabang perusahaan farmasi yang
Volume I, No 1, Desember 2010
16
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
berdiri di kota Kudus, ini membuat para medical
representative mengalami kesulitan dalam
menutup target yang ditetapkan perusahaan
karena kurangnya tempat untuk memasarkan
produknya, dengan begitu para medical
representatif saling berlomba-lomba satu sama
lain untuk segera dapat menutup target.
Adanya ketergantungan perusahaan akan
sumber daya manusia (karyawan) dapat dilihat
dalam bentuk keaktifan karyawan dalam
menetapkan rencana, sistem, proses dan
tujuan yang ingin dicapai dalam suatu
perusahaan (Hasibuan, 1994). Oleh karena itu
sangat perlu adanya perhatian khusus dalam
kesejahteraan karyawan dalam suatu
organisasi. Kesejahteraan karyawan menjadi
sangat penting pada masa sekarang ini, karena
apabila kesejahteraan rendah akan muncul
akibat-akibat seperti banyak demonstrasi dan
aksi mogok kerja..
Kepuasan kerja yang dirasa oleh medical
representatif tidak terlepas dari suatu keadaan
yang mengikuti seorang individu, salah
satunya yaitu stress. Sullivan & Bhagat (1992)
menyebutkan bahwa banyak penelitian
mengenai pengaruh stres kerja terhadap
kepuasan kerja dalam suatu organisasi. Hasil
penelitian Alberto (1995), Praptini (2000)
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja salah satunya
adalah stres kerja.
Lebih lanjut penyebab stress dapat dibagi
menjadi dua, yaitu internal dan eksternal, di
mana salah satu penyebab stress yang berasal
dari eksternal yaitu beban kerja yang dirasakan
individu sebagaimana diungkapkan oleh
Cooper (dalam Rice, 1999). Beban kerja itu
sendiri misalnya target yang telah ditetapkan
perusahaan merupakan suatu beban kerja
yang harus ditanggung oleh para medical
representative. Beban kerja yang dirasa cukup
berat dapat berpengaruh pada kondisi fisik dan
psikis seseorang.
Menurut Menpan (1997), pengertian beban
kerja adalah sekumpulan atau sejumlah
kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu
unit organisasi atau pemegang jabatan dalam
jangka waktu tertentu. Hart and Staveland
(dalam Wikipedia, 2008) mendefinisikan beban
kerja sebagai berikut :
“the perceived relationship between the
amount of mental processing capability or
resources and the amount required by the
task”.
Dari beberapa pengertian mengenai Beban
kerja dapat ditarik kesimpulan beban kerja
a d a l a h ” s e j u m l a h k e g i a t a n y a n g
m e m b u t u h k a n p r o s e s m e n t a l a t a u
kemampuan yang harus diselesaikan dalam
jangka waktu tertentu, baik dalam bentuk fisik
maupun psikis.
Stres merupakan suatu kondisi internal
yang terjadi dengan ditandai gangguan fisik,
lingkungan, dan situasi sosial yang berpotensi
pada kondisi yang tidak baik. Pendapat
tersebut diungkapkan oleh Morgan & King,
(1986: 321) yang lebih jelasnya sebagai
berikut:
“…as an internal state which can be caused
by physical demands on the body (disease
conditions, exercise, extremes of temperature,
and the like) or by environmental and social
situations which are evaluated as potentially
harmful, uncontrollable, or exceeding our
resources for coping”
Ada beberapa definisi yang dikemukakan
oleh para ahli tentang kepuasan kerja
diantaranya Wagner III & Hollenbeck (1995),
mengutip ungkapan yang diberikan oleh Locke,
yang menjelaskan kepuasan kerja adalah
suatu perasaan menyenangkan yang datang
dar i perseps i seseorang mengena i
pekerjaannya atau yang lebih penting yaitu nilai
Volume I, No 1, Desember 2010
17
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
kerja, untuk lebih jelasnya sebagai berikut :
”a pleasurable feeling that results from the
perception that one's job fulfills or allows for the
fulfillment of one's important job values”.
Kerangka Berpikir
Dalam suatu kesempatan Smith (1981)
mengemukakan bahwa konsep stres kerja
dapat ditinjau dari beberapa sudut yaitu:
pertama, stres kerja merupakan hasil dari
keadaan tempat kerja. Kedua, stres kerja
merupakan hasil dari dua faktor organisasi
yaitu keterlibatan dalam tugas dan dukungan
organisasi. Ketiga, stres karena ”work load”
atau beban kerja. Keempat, akibat dari waktu
kerja yang berlebihan. Dan kelima, faktor
tanggung jawab kerja. Kahn dan Quin (dalam
Ivanceviech et al, 1982) menambahkan bahwa
stres kerja merupakan faktor-faktor lingkungan
kerja yang negatif, salah satunya yaitu beban
kerja yang berlebihan dalam pekerjaan. Hal
senada juga diungkapkan oleh Keenan dan
Newton (1984) yang menyebutkan bahwa
stress kerja merupakan perwujudan dari
kekaburan peran dan beban kerja yang
berlebihan.
Hasil penelitian Kuan (1994), Bat (1995),
Aun (1998) dan Yahya (1998) membuktikan
bahwa beban kerja yang berlebih berpengaruh
pada stres kerja. Selanjutnya, penelitian
Widjaja (2006) menemukan bahwa beban
pekerjaan yang terialu sulit untuk dikerjakan
dan teknologi yang tidak menunjang untuk
melaksanakan pekerjaan dengan baik sering
menjadi sumber stres bagi karyawan.
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan
jenis stres menjadi dua, yaitu: Eustress, yaitu
hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
sehat, positif, dan konstruktif (bersifat
membangun), dan yang ke dua Distress, yaitu
hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat
merusak). Lebih lanjut Eustress dapat
memunculkan suatu kondisi kepuasan dalam
pekerjaannya. Sebagaimana diungkapkan
oleh Nilvia (2002) bahwa Kepuasan kerja
karyawan merupakan salah satu aspek penting
yang perlu diperhatikan dalam usaha
peningkatan kemampuan sumber daya
manusia suatu organisasi, karena dengan
kepuasan kerja yang dirasakan maka seorang
karyawan mampu bekerja secara optimal.
Sullivan & Bhagat (1992) menyebutkan
bahwa banyak penelitian mengenai pengaruh
stres kerja terhadap kepuasan kerja dalam
suatu organisasi. Hasil penelitian Lee (dalam
Google.com, 2008) menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja salah satunya adalah stres kerja.
Selanjutnya penelitian Alberto (1995),
mengungkapkan bahwa stress ker ja
berpengaruh terhadap kepuasan kerja staf
audit. Penelitian yang senada juga ditemukan
oleh Praptini (2000) yang menunjukkan bahwa
stress berpengaruh terhadap kepuasan kerja
yang dirasakan oleh tenaga edukatif tetap
Universitas Airlangga.
Namun hasil penelitian Lut (2008)
menunjukkan bahwa pengaruh stres kerja
terhadap kepuasan kerja karyawan pada PT
SHARP Electronics Indonesia adalah stres
kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kepuasan kerja karyawan. Karena
dengan stres, seseorang semakin terpacu
untuk mengerahkan segala kemampuan dan
sumberdaya-sumberdaya yang dimilikinya
agar dapat memenuhi persyaratan dan
kebutuhan kerja.
Berdasarkan kerangka berpikir diatas
maka dapat dibuat suatu model sebagai
kerangka pemikiran teoritis untuk menjawab
masalah penelitian sebagai berikut:
Volume I, No 1, Desember 2010
18
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
Beban Kerja Stres KerjaKepuasan
KerjaH1 H2
Dari hasil penelitian terdahulu dari model
penelitian di atas, dapat dibuat hipotesis
penelitian sebagai berikut :
a) Beban kerja berpengaruh secara signifkan
terhadap stres kerja.
b) Stres kerja berpengaruh secara signifikan
terhadap kepuasan kerja.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan yang bersifat kuantitatif dengan
pengumpulan data melalui skala. Dalam
penelitian ini yang menjadi variabel bebas
adalah beban kerja, variabel intervening
adalah stres kerja, dan variabel terikatnya
adalah kepuasan kerja medical representatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan tiga skala pengukuran yaitu :
a). Skala beban kerja.
Dalam pengukuran beban kerja dengan
menggunakan metode NASA TLX, (NASA-
Task Load Index) faktornya antara lain:
Kebutuhan Fisik (KF), Kebutuhan Mental (KM),
Kebutuhan Waktu (KW), Performansi (PF),
Usaha (U), dan Tingkat Stress (TS).
b). Skala Stres Kerja
Untuk mengukur stres kerja adalah
indikator yang digunakan oleh Patricia (2006).
dimana indikatornya antara lain : Fisiologis,
K o g n i t i f , S u b y e k t i f , P e r i l a k u , d a n
Keorganisasian.
c). Skala Kepuasan Kerja
Indikator kepuasan kerja disusun berdasarkan
teori dua faktor Herzberg, yaitu :
?Motivator Factor. Antara lain : Achievement
(keberhasilan menyelesaikan tugas,
Recognition (penghargaan), Work it self
(pekerjaan itu sendiri), Responbility
(tanggung jawab), Possibility of growth
(kemungkinan untuk mengembangkan diri),
Advancement (kesempatan untuk maju),
?Hygiene factor, antaralain :working
condition (kondisi kerja), interpersonal
relation (hubungan antar pribadi), company
policy and administration (kebijaksanaan
perusahaan), supervision technical (tekhnik
pengawasan), Job security (perasaan
aman dalam bekerja.
Populasi penelitian ini adalah Medical
Representatif di kota Kudus. Cara pengambilan
sample pada penelitian ini dilakukan secara
Purposive Sampling. Pengambilan sample
dilakukan langsung oleh peneliti di rumah sakit,
apotik, dan tempat prakter dokter.
Dalam penelitian yang telah dikumpulkan
kemudian dianalisis menggunakan tekhnik
analisis statistik multiple linier regression
menggunakan program analisis statistik SPSS
versi 11,5 for windows. tekhnik analisis regresi
linier untuk mengukur kekuatan hubungan
antar 2 variabel atau lebih, juga menunjukkan
arah hubungan antara variabel dependen
dengan variabel independen. Analisis regresi
linier dilakukan untuk mengetahui pengaruh
satu variabel independen terhadap satu
variabel dependen.
Sebelum melakukan uji hipotesis, data
perlu diuji agar memenuhi kriteria Best Linear
Unbiased Estimator (BLUE) sehingga dapat
menghasilkan parameter penduga yang sahih
(Supramono & Haryanto, 2005) yaitu dengan
menguji multikoleniaritas, heterokedastisitas,
dan normalitas.
Volume I, No 1, Desember 2010
19
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
Hasil Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan
menyebar 60 kuesioner. Kuesioner yang telah
diisi dan dikembalikan sebanyak 50 kuesioner,
sedangkan yang digunakan dalam melakukan
analisis data hanya 42 kuesioner karena 8
kuesioner lainnya rusak (tidak diisi secara
lengkap). Berikut karakteristik responden yang
ditemui dilapangan :
Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase
Pria
24
57 %
Wanita 18 43 %
Jumlah 42 100 %
Tabel 1
Responden berdasarkan Jenis Kelamin
Usia Frekuensi Prosentase
< 30 tahun
16
38 %
30 - 45 tahun
26 62 %
Jumlah 42 100 %
Tabel 2
Responden berdasarkan Usia
Usia Frekuensi
Prosentase
1 – 5 tahun 12
29 %
5 – 10 tahun 24
57 %
> 10 tahun 6
14 %
Jumlah 42 100 %
Tabel 3
Responden berdasarkan Lama Bekerja
sebagai Medical Representatif
Sesuai dengan prosedur penelitian,
langkah selanjutnya adalah menguji validitas &
reabilitas masing-masing skala. berikut hasil uji
validitas dan reabilitas masing-masing skala.
Skala
Koef.Reliabilitas
Validitas Item gugur
Skala Beban Kerja
0, 7516 0,3521 – 0,6231 3Skala Stres Kerja
0, 9034 0,3342 – 0,7561 19
Skala Kepuasan Kerja 0, 9659 0,2954 – 0,9013 2
Tabel 4
Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Masing-
Masing Skala
Untuk melihat bahwa suatu data
terdistribusi secara normal atau tidak. Model
regresi yang baik adalah datanya
terdistribusi secara normal atau mendekati
normal (Bida, 2006). Dalam penelitian ini,
digunakan diagram normal P plot untuk
mengetahui distribusi data. Dari dua (2)
grafik normal Pplot cenderung menyebar
disekitar garis diagonal dan mengikuti arah
garis diagonal atau garis histogram. Hal ini
berarti data yang digunakan dalam penelitian
ini mengalami gejala normalitas.
Uji multikolinearitas dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya korelasi yang
sempurna. Indicator tidak terjadinya
multikolinearitas adalah variance inflation
factor /VIP disekitar angka 1, angka
tolerance mendekati 1, dan koeefisien
korelasi antar variable independent harus
l e m a h ( d i b a w a h 0 , 5 ) . H a s i l u j i
multikolinearitas menunjukkan bahwa nlai
VIF dari kedua variabel sekitar angka 1, nilai
tolerance mendekati 1, dan koefisien korelasi
dibawah 0.5, maka dapat disimpulkan bahwa
tdak terdapat masalah multikolnearitas pada
model regresi ini.
Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, gejala heteroskedastisitas
terjadi sebagia akibat dari variasi residual
yang tidak sama untuk semua pengamatan,
untuk mendeteksinya digunakan grafik
Scatterplot. Dari hasil grafik dilihat titik-titik
menyebar secara acak diatas dibawah
angka nol pada sumbu Y. Hal ini
Volume I, No 1, Desember 2010
20
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
menunjukkan bahwa tidak ada masalah
heteroskidastisitas yang mengindikasikan
varians konstan yang menghasilkan model
estimator yang tidak bias. Maka dapat
dikatakan model regresi memenuhi syarat
untuk memprediksi stres.
Dari hasil pengujian hipotesis dengan
menggunakan tekhnik analisis regresi
diperoleh hasil uji hipotesis menunjukkan nilai
Adjusted R2 sebesar -,025 ini menunjukkan
bahwa pengaruh beban kerja terhadap stres
kerja sebesar 2,5 %. Dengan pengaruh yang
sangat kecil tersebut, dapat diartikan bahwa
tidak ada bentuk pengaruh beban kerja
terhadap stres kerja, yang berarti semakin
tinggi beban kerja, stres kerja yang dirasakan
dapat tinggi ataupun rendah. Begitupun juga
sebaliknya semakin kecil beban kerja yang
ditanggung, stres kerja yang dirasakan dapat
tinggi ataupun rendah.. Selain itu diketahui
hasil nilai F hitung sebesar 0.000 dengan
tingkat signifikansi 0.993, dan nilai t hitung -
0.009 dengan sigifkansi 0.993. Hal ini
menunjukan bahwa beban kerja tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap stress
kerja. Hasil penelitian berarti menolak hipotesis
1 penelitian, yaitu beban kerja berpengaruh
secara signifikan terhadap strees kerja.
Dari hasil pengujian hipotesis dengan
menggunakan tekhnik analisis regresi
diperoleh: Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai
Adjusted R2 sebesar 0,033 ini menunjukkan
stres kerja berpengaruh terhadap kepuasan
kerja sebesar 3,3 %, Dengan pengaruh yang
juga sangat kecil, dapat diartikan bahwa tidak
ada bentuk pengaruh stres kerja terhadap
kepuasan kerja, yang berarti semakin tinggi
stres kerja, kepuasan kerja yang dirasakan
dapat tinggi ataupun rendah. Begitupun juga
sebaliknya semakin kecil stres kerja, kepuasan
kerja yang dirasakan dapat tinggi ataupun
rendah.
Hasil tersebut lebih diperjelas dengan nilai
F hitung sebesar 2,391 dengan signifikansi
0,130. Dan dari perhitungan uji t diperoleh nilai
sebesar 1.546 dengan signifikansi sebesar
0.130. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
stres kerja terhadap kepuasan kerja tidak
signifikan. Hasil penelitian ini berarti menolak
Hipotesis 2 yaitu : stres kerja berpengaruh
secara signifikan terhadap kepuasan kerja.
Diskusi
Hasil penelitian ini bertentangan dengan
hasil-hasil penelitian sebelumnya yang
m e n y a t a k a n b a h w a b e b a n k e r j a
mempengaruhi stres yang dirasakan seorang
karyawan. Hasil penelitian tersebut antara lain :
Kuan (1994), Bat (1995), Aun (1998) dan
Yahya (1998) membuktikan bahwa beban kerja
yang berlebih berpengaruh pada stres kerja.
Selanjutnya, penelitian Widjaja (2006)
menemukan bahwa beban pekerjaan yang
terialu sulit untuk dikerjakan dan teknologi yang
tidak menunjang untuk melaksanakan
pekerjaan dengan baik sering menjadi sumber
stres bagi karyawan.
Namun pada kenyataanya beban tidak
selalu menjadi sumber penyebab stress yang
dirasakan medical represntatif, terdapat faktor-
faktor lain yang dapat mempengaruhi stres
kerja medical representatif . dimana faktor
yang mempengaruhi stres kerja itu sendiri
sangat banyak sekali dan juga tergantung dari
persepsi individu dalam menghadapi suatu
masalah. Terkadang ada individu yang saat
menghadapi beban kerja yang berat menjadi
m e r a s a t e r t a n t a n g u n t u k d a p a t
menyelesaikannya sehingga akan lebih rajin
dan giat dalam mencapai target yang telah
dibebankan. Sehingga individu yang demikian
tidak merasakan stres dalam pekerjaannya
tetapi merasa lebih bersemangat untuk bekerja
memenuhi target.
Volume I, No 1, Desember 2010
21
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan
Selye (dlm Brief et al,1981) bahwa stres kerja
adalah konsep yang terus bertambah. Ini
terjadi akibat adanya permintaan yang
bertambah, maka semakin bertambah pula
munculnya potensi kerja yang disebakan oleh
banyak hal.
Stres kerja itu bisa diakibatkan karena
pengaruh gaji atau salary yang diterima
karyawan, seperti yang dikemukakan oleh
Cooper & Payne (dlm Robins, 2001). apalagi
pada saat sekarang ini perekonomian menjadi
sangat sulit sehingga seseorang banyak yang
mengalami stres karena kesulitan untuk
mencukupi kebutuhan hidup. Hasil uji hipotesis
menunjukkan nilai Adjusted R2 sebesar -,025
ini menunjukkan bahwa pengaruh beban kerja
terhadap stres kerja sebesar 2,5 %. Dengan
pengaruh yang sangat kecil tersebut, dapat
diartikan bahwa tidak ada bentuk pengaruh
beban kerja terhadap stres kerja, yang berarti
semakin tinggi beban kerja, stres kerja yang
dirasakan dapat tinggi ataupun rendah.
Begitupun juga sebaliknya semakin kecil
beban kerja yang ditanggung, stres kerja yang
dirasakan dapat tinggi ataupun rendah
Begitu juga dengan hasil penelitian stres
kerja tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kepuasan. Jadi stres kerja tidak
secara otomatis mempengaruhi kepuasan
kerja Medical representatif di kota Kudus.
Artinya stres kerja bukan sebagai prediktor
terhadap munculnya variabel kepuasan kerja.
Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai Adjusted
R2 sebesar 0,033 ini menunjukkan stres kerja
berpengaruh terhadap kepuasan kerja sebesar
3,3 %, Dengan pengaruh yang juga sangat
kecil, dapat diartikan bahwa tidak ada bentuk
pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja,
yang berarti semakin tinggi stres kerja,
kepuasan kerja yang dirasakan dapat tinggi
ataupun rendah. Begitupun juga sebaliknya
semakin kecil stres kerja, kepuasan kerja yang
dirasakan dapat tinggi ataupun rendah.
Hasil dari penelitian ini mendukung
penelitian yang dilakukan oleh Lut (2008) yang
menunjukkan bahwa pengaruh stres kerja
terhadap kepuasan kerja karyawan pada PT
SHARP Electronics Indonesia tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan
kerja karyawan. Karena dengan stres,
s e s e o r a n g s e m a k i n t e r p a c u u n t u k
mengerahkan segala kemampuan dan
sumberdaya-sumberdaya yang dimilikinya
agar dapat memenuhi persyaratan dan
kebutuhan kerja.
Sejalan dengan penelitian diatas, McGee,
Goodson & Cashman (1984) mendapati bahwa
beberapa faktor yang menyebabkan pegawai
mengalami stres kerja tetapi masih merasa
puas terhadap pekerjaannya. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh tugas yang
mereka kerjakan penuh dengan tantangan dan
menyenagkan hati mereka. Selain itu terjadi
komomunikasi yang efektif di antara para
anggota dalam organisasi tersebut.
Selain dari penelitian Lut, beberapa
pendapat juga menyatakan bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan
kerja karyawan yaitu insentif dan gaji yang
diterima (Parwanto & Wahyudin, 2008).
Pendapat yang lain juga diungkapkan oleh
Soewondo (1992) dimana faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja itu antara lain
hubungan personal, tempat kerja, dan karir
yang tidak jelas.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan dari penelitian yang telah
dilakukan didapatkan hasil bahwa stres kerja
tidak secara signifikan mempengaruhi
Volume I, No 1, Desember 2010
22
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
kepuasan kerja yang dirasakan medical
representatif di kota Kudus. Terdapat banyak
hal yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja
seseorang. Berdasarkan hasil wawancara
awal didapat bahwa salah satu alasan merasa
nyaman dengan pekerjaan yang dijalani saat
iini adalah meskipun berat tetapi mereka
sangat mengharapkan mendapatkan insentif
guna menambah untuk kebutuhan keluarga.
Hal ini juga didukung oleh Cooper & Payne
(dlm Robins, 2001) yang mempengaruhi
kepuasan kerja seseorang salah satunya
adalah salary yang diterima. Untuk itu
diharapkan para medical representatif tidak
hanya fokus terhadap gaji dan insentif sebagai
pendorong untuk dapat merasakan kepuasan
kerja. Banyak hal yang dapat menjadi
pendorong untuk dapat merasakan kepuasan
kerja, misalnya saja karena stres kerja yang
tinggi membuat medical representatif menjadi
terpacu untuk melakukan tugasnya sebaik
mungkin sehingga mampu merasakan puas
dengan pekerjaannya.
Saran
Diharapkan para Medical representatif
mampu mengatasi stres yang berkaitan
dengan perasaan yang hanya dapat dirasakan
oleh individu, yaitu perasaan gelisah dan
ketakutan, agresif, lesu, merasa lelah, merasa
sangat kecewa, kehilangan kesabaran. Karena
bila stres dibiarkan berkepanjangan akan
berpengaruh pada kondisi fisiologis, dan
kognitif yang pada akhirnya akan merugikan
diri individu.
R e k o m e n d a s i p e n e r a p a n b a g i
perusahaan, lebih menjamin kesejahteraan
dari medical representatif, lebih jeli dan peka
mengenai hal-hal yang dapat menjadi
kepuasan bagi karyawannya. Rekomendasi
penerapan bagi penelitian lanjutan, beberapa
keterbatasan dari peneli t ian ini dan
rekomendasi bagi penelitian selanjutnya
adalah penelitian ini difokuskan hanya pada
satu kota. Pada kenyataannya medical
reprentatif bukan hanya ada di kota Kudus
saja. Oleh karena itu hasil penelitian ini masih
sulit digeneralisasikan kedalam medical
representatif di kota lain, dan penelitian
selanjutnya bisa dilakukan dikota-kota yang
lain.
Penelitian mengenai kepuasan kerja tidak
bersifat statis, ketidakpuasan yang saat ini
terjadi dimasa yang akan datang bisa saja
mengalami perubahan oleh karena itu masih
sangat terbuka untuk dilakukannya pelatihan
yang sama sehingga dapat diketahui tingkat
improvement kepuasan. Berdasarkan hasil
penelitian terdapat variabel-variabel lain yang
mempengaruhi variabel dependen yang belum
terdeteksi, misalnya: variabel lain yang
mempengaruhi stres dan kepuasan medical
representatif yaitu iklim organisasi dan insentif.
Penelitian selanjutnya dapat menggunakan ke
dua var iabel in i untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap stres dan kepuasan.
Daftar Pustaka
Albe r to . , (1995) . A compar i son o f
organizational structure, job stress, and
satisfaction in audit and Management. All
Businnes
Arifin Haji Zainal. (1977). Pengkhususan dan
Kepuasan kerja. Dewan Masyarakat, Julai:
40-41
Cooper, C. L., Dewe, P. J., & O'Driscoll, M. P.
(1991). Organizational Stress: A Review
and Critique of Theory, Research, and
Applications. California: Sage Publications,
Inc.
Ivancevich, J. M. dan Mattson, M.T., dan
Volume I, No 1, Desember 2010
23
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja Terhadap Kepuasan Kerja(Studi Pada Medical Representatif Di Kota Kudus)
Preston,. (1982). Occupational Stress,
Type A a behavior, and Psychological Well
Being. Accademy of Management Journal.
25(2).373-391.
Keenan, A., & Newton, T.J. (1984).Fractration
in Organizations: Relationship to role stress
Chinate, and Psychological Strain. Journal
of Occupational Pychologi. 57, 57-65.
Lee., (2008) The Effect of Job Characteristics
and Personal Factors on Work Stress, Job
Satisfaction and Turnover Intention.
www.google.com
Matteson, M.T & Ivancevich, J.M. (1988).
Controlling work stress. San Fransisc.
Praptini., (2000). Pengaruh stress kerja
terhadap kepuasan kerja tenaga edukatif
tetap Fakultas Ilmu Social Universitas
Airlangga. Surabaya. Airlangga University
Library.
Republika., (2003). Medical Representative
Smith, M.J.(1981). Occupational Stress: an
Overview of Psychologi factors. Dalam
Selvendy.G & Smith M.J. (ed), Pacing and
Occupational Stress. London: Taylor &
Francis. Ltd.
Sullivan, Rabi, Bhagat., (1992). Organizational
stress, Job satisfaction, and Job
Performance. www.google.com.
Supramono & Haryanto., (2005). Desain
Proposal Penelitian Studi Pemasaran.
Yogyakarta. Andi Offset
Wagner, III, J.A. & Hollenbeck, J.R.
1995.Management of Organizational
Behavior. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Wijono, S., (2001). Pengaruh interaksi motivasi
kerja dan kepribadian terhadap prestasi
kerja supervisor disebuah pabrik tekstil di
Salatiga. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Dian
Ekonomi. Vol.VII No.2. September hal 248-
278.
Wijono, S. (2007). Kepuasan dan Stres Kerja.
Salatiga: Widya Sari Press
W i k i p e d i a . ( 2 0 0 ) .
http://en.wikipedia.org/wiki/Workload
24
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
Abstract
The research aims to know the storytelling method in increasing the development of moral intelligence of preschool children. Subject of the research is the five year students of kindergarten. The research is designed using model of The Untreated Control Group Design with Pretest and Posttest. This design uses two groups examined which consist of an experiment group and a control group. The measurement is conducted twice using moral intelligence measurement instrument, namely before it is given treatment (pre-test) and after it has been given treatment (post-test). The result of analysis using covariance analysis (anacova) shows that there is difference of moral intelligence achievement level of the preschool children between those who received moral value guidance using storytelling method and those who do not receive it. The result of analysis also shows that there is difference of moral intelligence achievement level before they receive moral value guidance through storytelling method and after the have received it. The importance of storytelling method toward the moral intelligence of preschool children is 34 %.
Keywords: moral intelligence, storytelling method.
METODE DONGENG DALAM MENINGKATKAN PERKEMBANGAN
KECERDASAN MORAL ANAK USIA PRASEKOLAH
Latifah Nur Ahyani
Universitas Muria Kudus
Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan yang diwarnai oleh pelanggaran
terhadap hak orang lain, kekerasan,
pemaksaan, ketidakpedulian, kerancuan
antara benar dan salah, baik dan tidak baik,
perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Banyak masalah yang diselesaikan dengan
kekerasan, adu kekuatan f is ik dan
mengabaikan cara penyelesaian dengan
mengandalkan pertimbangan moral.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan dan
hal tersebut dapat terjadi karena dalam semua
aspek telah terjadi pengabaian terhadap
bagian yang sangat mendasar yaitu nilai-nilai
moral. Kepekaan seseorang mengenai
kesejahteraan dan hak orang lain merupakan
pokok persoalan ranah moral. Kepekaan
tersebut tercermin dalam kepedulian
seseorang akan konsekuensi tindakannya bagi
orang lain, dan dalam orientasinya terhadap
pemilikan bersama. Faktor yang sangat
dirasakan kurang menunjang terbentuknya
nilai moral anak adalah pengaruh lingkungan.
Pola asuh yang adekuat, supervisi orang
dewasa di sekitar anak dan model perilaku
moral diharapkan dapat meminimalisir
pengaruh lingkungan tersebut.
Anak usia prasekolah dipandang sebagai
individu yang baru mulai mengenal dunia. Anak
belum memahami tata krama, sopan santun,
aturan, norma, etika, dan berbagai hal lain yang
terkait dengan kehidupan dunia. Usia
prasekolah merupakan masa bagi seorang
anak untuk belajar berkomunikasi dengan
orang lain serta memahaminya. Oleh karena itu
seorang anak perlu dibimbing dan diberi
stimulasi agar mampu memahami berbagai hal
25
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
tentang kehidupan dunia dan segala isinya.
Pemberian stimulasi pada anak selama
proses pengembangan kepribadian menjadi
sangat penting. Stimulasi identik dengan
pemberian rangsangan yang berasal dari
lingkungan di sekitar anak guna lebih
mengoptimalkan aspek perkembangan anak.
Salah satu stimulasi yang diperlukan dan
penting untuk anak adalah penanaman nilai-
nilai moral. Penanaman nilai-nilai moral sangat
d i b u t u h k a n u n t u k m e n g o p t i m a l k a n
perkembangan kecerdasan moral mereka.
Borba (2001) merumuskan bahwa
kecerdasan moral yai tu kemampuan
memahami kebenaran dari kesalahan, artinya
memiliki keyakinan etika yang kuat dan
bertindak berdasarkan keyakinan tersebut,
sehingga orang bersikap benar dan terhormat.
Kecerdasan yang sangat penting ini mencakup
karakter-karakter utama, seperti kemampuan
memahami penderitaan orang lain dan tidak
bertindak jahat, mampu mengendalikan
dorongan dan menunda pemuasan,
mendengarkan dari berbagai pihak sebelum
memberikan penilaian, menerima dan
menghargai perbedaan, dapat memahami
pilihan yang tidak etis, dapat berempati,
memperjuangkan keadilan, dan menunjukkan
kasih sayang dan rasa hormat pada orang lain.
Borba (2001) menyatakan kecerdasan
moral terbangun dari tujuh kebajikan utama
yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, baik
budi, toleransi dan adil yang membantu anak
menghadapi tantangan dan tekanan etika yang
tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya
kelak. Kebajikan-kebajikan utama tersebut
yang akan melindunginya agar tetap berada di
jalan yang benar dan membantunya agar selalu
bermoral dalam bertindak.
Perkembangan moral merupakan suatu
proses yang terus menerus berkelanjutan
sepanjang hidup. Meningkatnya kapasitas
moral anak dan didukung dengan kondisi yang
baik, anak berpotensi menguasai moralitas
yang lebih tinggi. Setiap kali anak berhasil
menguasai satu kebajikan, kecerdasan
moralnya bertambah dan ia pun menaiki
tangga kecerdasan moral yang lebih tinggi.
Temuan penting yang dilaporkan adalah
anak-anak dengan kecerdasan moral tinggi
menunjukkan korelasi dengan academic
performance dan peningkatan prestasi yang
signifikan (Blocks, 2002). Kochanska, Murray,
dan Harlan (McCartney & Phillips, 2006)
menyimpulkan dari berbagai penelitian bahwa
kecerdasan moral berpengaruh terhadap
kemampuan regulasi diri pada anak usia dini
maupun prasekolah.
Konsep kecerdasan moral memberikan
pemahaman bahwa kecerdasan moral dapat
diajarkan. Anak dapat meniru model, anak
dapat menangkap inspirasi mengenai perilaku
m o r a l , d a p a t d i b e r i k a n p e n g u a t a n
(reinforcement) sehingga setahap demi
setahap anak dapat meningkatkan kecerdasan
moralnya. Semakin dini diajarkan kepada anak
semakin besar kapasitas anak untuk mencapai
karakter yang solid yaitu growing to think,
believe, and act morally (Coles, 1999).
Fittro (Mukti & Hwa, 2004) menyatakan
bahwa anak-anak mengembangkan moralitas
perlahan dan bertahap. Setiap tahap
membawa anak lebih dekat dengan
pembangunan moral dewasa. Fittro juga
mencatat bahwa salah satu cara yang efektif
untuk membantu anak-anak kita mengubah
moral mereka menjadi positif adalah mengajar
perilaku moral dengan contoh. Namun, anak-
anak dikelilingi oleh contoh buruk. Selain
menetapkan contoh yang baik bagi anak-anak,
salah satu hal sederhana yang dapat kita
lakukan adalah membaca sebuah dongeng
yang dapat menghubungkan mereka dengan
sebuah prinsip atau nilai.
26
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
Menurut Lenox (2000) pendidik masa awal
kanak-kanak ditantang untuk memperkenalkan
anak-anak kepada dunia untuk masa depan
mereka, suatu dunia yang akan terus
meningkat menjadi multicultural dan bersuku
banyak. Metode dongeng adalah suatu alat
kuat untuk meningkatkan suatu pemahaman
diri dan orang lain.
Collin (Isbell dkk., 2004) menegaskan
mendongeng mempunyai banyak kegunaan di
dalam pendid ikan utama anak. Dia
menyimpulkan bahwa dongeng menyediakan
suatu kerangka konseptual untuk berpikir, yang
menyebabkan anak dapat membentuk
pengalaman menjadi keseluruhan yang dapat
mereka pahami. Dongeng menyebabkan
mereka dapat memetakan secara mental
pengalaman dan melihat gambaran di dalam
kepala mereka, mendongengkan dongeng
tradisional menyediakan anak-anak suatu
model bahasa dan pikiran bahwa mereka dapat
meniru.
Sanchez dkk. (2009) mengungkapkan
kekuatan utama strategi dongeng adalah
menghubungkan rangsangan melalui
penggambaran karakter. Dongeng memiliki
potensi untuk memperkuat imajinasi,
memanusiakan individu, meningkatkan empati
dan pemahaman, memperkuat nilai dan etika,
dan merangsang p roses pemik i ran
kritis/kreatif.
Menurut Horn (Staden & Watson, 2007)
dongeng mempunyai kemampuan untuk
menciptakan lingkungan belajar yang benar
untuk siswa anak usia dini. Selain itu, metode
dongeng dapat dijadikan sebagai media
membentuk kepribadian dan moralitas anak
usia dini. Menurut Borba (2001) dongeng
tentang suatu kebajikan serta pengaruhnya
dalam memberikan perubahan yang positif di
dunia akan membantu anak memahami
kekuatan kebajikan tersebut dan membuat
mereka berpikir bahwa mereka pun dapat
melakukan sesuatu bagi dunia.
Metode dongeng dapat dijadikan sebagai
media pembentuk kepribadian dan moralitas
anak usia dini, melalui metode dongeng akan
memberikan pengalaman belajar bagi anak
usia dini. Metode dongeng memiliki sejumlah
aspek yang diperlukan dalam perkembangan
kejiwaan anak, memberi wadah bagi anak
untuk belajar berbagai emosi dan perasaan
dan belajar nilai-nilai moral. Anak akan belajar
pada pengalaman-pengalaman sang tokoh
dalam dongeng, setelah itu memilah mana
yang dapat dijadikan panutan olehnya
sehingga membentuknya menjadi moralitas
yang dipegang sampai dewasa.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu
mengetahui metode dongeng dalam
meningkatkan perkembangan kecerdasan
moral anak usia prasekolah.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Ada perbedaan tingkat pencapaian
kecerdasan moral anak usia prasekolah antara
yang mendapatkan penyampaian nilai-nilai
moral melalui metode dongeng dengan yang
tidak mendapatkan penyampaian nilai-nilai
moral melalui metode dongeng. Anak yang
mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral
melalui metode dongeng memiliki tingkat
kecerdasan moral yang lebih t inggi
dibandingkan anak yang tidak mendapatkan
penyampaian nilai-nilai moral melalui metode
dongeng.
2. Ada perbedaan tingkat pencapaian
kecerdasan moral anak usia prasekolah
27
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
sebelum mendapatkan penyampaian nilai-nilai
moral melalui metode dongeng dan setelah
mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral
melalui metode dongeng. Tingkat kecerdasan
moral sebelum mendapatkan penyampaian
nilai moral melalui metode dongeng lebih
rendah dibandingkan tingkat kecerdasan moral
setelah mendapatkan penyampaian nilai moral
melalui metode dongeng.
Metode Penelitian
Subyek penelitian adalah siswa TK X dan
TK Y di Surakarta dengan karakter sekolah
bukan sekolah favorit, memiliki fasilitas yang
terbatas, sekolah memiliki rumpun yang sama.
Sekolah yang dipilih sebagai tempat penelitian
adalah TK Q. Sampel penelitian ditetapkan
dengan tidak random atau non random yaitu
melalui penunjukan. Siswa yang menjadi
sampel penelitian adalah siswa TK B berusia 5
tahun. Jumlah siswa laki-laki dan perempuan
pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol sama.
Rancangan penelitian ini menggunakan
model The Untreated Control Group Design
with Pretest and Posttest (Cook & Campbell,
1979). Desain ini menggunakan dua kelompok
yang diamati yang terdiri dari satu kelompok
eksperimen dan satu kelompok kontrol.
Pengukuran dilakukan dua kali yaitu sebelum
diberikan perlakuan (pre-test) dan sesudah
diberikan perlakuan (post-test).
Penelitian ini menggunakan instrumen
pengukuran kecerdasan moral untuk
mengumpulkan data tentang kecerdasan moral
anak usia prasekolah. Instrumen dibuat dalam
bentuk gambar berwarna dengan ukuran
kertas (21cm x 16cm) yang terdiri dari tujuh
gambar yang mewakili tujuh kebajikan dan
dijilid menjadi sebuah buku instumen.
Instrumen berupa situasi dalam kehidupan (life
setting) sehari-hari anak usia 4-6 tahun dan ada
keterlibatan dengan teman sebaya. Situasi dan
“others' yang terlibat sesuai dengan relevansi
masing-masing kebajikan. Objek dalam
gambar merupakan bagian dan situasi (tidak
terlalu banyak back ground) sehingga tidak
memecah perhatian anak dalam memahami
situasi. Figure focus dapat berganti (parallel)
antara anak laki-laki dan perempuan.
Instrumen ini dibuat berdasarkan tujuh
kebajikan sebagai unsur dari kecerdasan moral
menurut Borba (2001) yaitu empati, nurani,
kontrol diri, respek, baik budi, toleran, adil.
Pengujian validitas menggunakan model
construct validity dan content validity. Skala
terdiri dari tujuh gambar dan diposisikan
sebagai instrumen aitem. Subyek uji coba
terdiri dari 24 orang anak yang berasal dari
empat orang siswa PAUD di Semarang, dua
orang siswa TK di Solo, enam orang siswa TK
di Bantul, delapan orang siswa PAUD di
Sleman, empat orang siswa TK di Kodya
Yogyakarta. Hasil angka corrected item-total
correlation berada pada kisaran 0,304 – 0,623.
Berdasarkan angka korelasi tersebut
disimpulkan bahwa tujuh butir skala (gambar)
cukup valid untuk mengukur kecerdasan moral
anak. Butir yang valid diuji reliabilitasnya
dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach.
Angka reliabilitasnya tidak terlalu tinggi yaitu
berkisar antara 0,617-0,760.
Prosedur penyajian alat ukur diberikan
langsung pada anak secara individual dan anak
diminta memberikan respon dengan cara
menceritakan situasi apa yang dapat ditangkap
anak dari gambar yang disajikan satu per satu.
Jawaban masing-masing subyek dicatat pada
lembar jawab. Jawaban masing-masing
subyek diberi skor antara 1 – 3. Skor 3 apabila
memenuhi semua kriteria, skor 2 apabila
memenuhi lebih dari satu kriteria, skor 1 apabila
hanya memenuhi satu kriteria atau sama sekali
28
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
tidak memenuhi kriteria. Seluruh jawaban anak
n a n t i n y a a k a n d i g u n a k a n s e b a g a i
pembahasan.
Perlakuan yang diberikan dalam penelitian
ini adalah metode dongeng. Sebuah modul
metode dongeng dirancang bagi anak-anak
usia prasekolah dengan tujuan untuk
meningkatkan kecerdasan moral. Modul
metode dongeng disusun dengan mengajak
anak mendengarkan dongeng yang terdiri dari
pengenalan nilai-nilai moral yang harus dimiliki
anak-anak. Nilai moral terkandung dalam
setiap dongeng, penelitian ini dilakukan dalam
10 kali pertemuan sehingga dibutuhkan 10
dongeng berbeda yang mengandung nilai
moral berbeda. Waktu yang dibutuhkan dalam
satu kali pertemuan adalah 25 menit. Kegiatan
di kelas disusun dengan urutan kegiatan awal,
pelajaran inti, evaluasi, kegiatan penutup
Untuk menguji hipotesis yang diajukan,
data-data yang terkumpul akan dianalisis
secara statistik melalui analisis kovarians
(anakova) dan anava amatan ulangan dengan
mengendalikan usia siswa atau usia sebagai
kovariabel, hanya siswa yang berusia 5 tahun
yang diambil sebagai sampel penelitian.
Hasil Penelitian
Hasil analisis diskripstif menunjukkan
kenaikan skor empirik pada pre-test dan post-
test kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Pada kelompok eksperimen dengan
melihat rerata pada pre-test 11,18 dengan
standar deviasi 3,522 terjadi kenaikan rerata
pada post-test menjadi 17,47 dengan standar
deviasi 2,695. Pada kelompok kontrol juga
terjadi kenaikan dengan melihat rerata pada
kelompok pre-test 11,82 dengan standar
deviasi 3,067 menjadi 14,41 dengan standar
deviasi 2,575 pada post-test.
Penelitian ini menggunakan tiga kategori.
Ketiga kategori tersebut adalah rendah,
sedang dan tinggi. Kategori kecerdasan moral
ditentukan berdasarkan skor total subyek pada
pengukuran dengan menggunakan instrumen
kecerdasan moral. Hasil data penelitian untuk
pengukuran ini diperoleh data mean hipotetik
sebesar 14 dan standar deviasi sebesar 2,33.
Berdasarkan pengelompokkan dengan
norma kategorisasi kecerdasan moral dapat
diketahui jumlah anak pada masing-masing
kategori. Pada kelompok eksperimen, jumlah
anak dengan kategori rendah tidak ada atau
kosong, kategori sedang ada empat anak dan
dengan kategori tinggi ada 13 anak. Pada
kelompok kontrol, jumlah anak dengan kategori
rendah ada dua anak, kategori sedang ada 10
anak dan dengan kategori tinggi ada lima anak.
Uji normalitas dalam penelitian ini
menggunakan formulas i one-sample
Kolmogorov-Smirnov test. Hasil uji normalitas
menunjukkan bahwa sebaran data kedua
kelompok subyek adalah normal dengan p
sebesar 0,972 p > 0,05 untuk data pre-test dan
p sebesar 0,535 p > 0,05 untuk data post-test
pada kelompok eksperimen, p sebesar 0,541 p
> 0,05 untuk data pre-test dan p sebesar 0,681
p > 0,05 untuk data post-test pada kelompok
kontrol, sehingga pengujian asumsi kemudian
dilanjutkan pada uji homogenitas.
Uji homogenitas menunjukkan F sebesar
0,217 dengan p = 0,645 (p > 0,05).
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat
dinyatakan bahwa varian variabel terikat
adalah homogen.
U j i h i p o t e s i s d i l a k u k a n d e n g a n
menggunakan analisis covariance (anacova)
dan anava amatan ulangan.
Hipotesis Pertama
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh F
untuk metode adalah 15,974 dengan p = 0,00
(p < 0,05) yang berarti signifikan dengan
29
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
demikian hipotesis diter ima. Hal ini
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan pada tingkat pencapaian kecerdasan
moral anak usia prasekolah antara yang
mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral
melalui metode dongeng dengan yang tidak
mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral
melalui metode dongeng.
Perbedaan tingkat pencapaian kecerdasan
moral anak usia prasekolah dengan melihat
rerata, rerata pada kelompok yang
mendapatkan metode dongeng 17,47 dengan
standar deviasi 2,695 sedangkan rerata pada
kelompok yang tidak mendapatkan metode
dongeng 14,41 dengan standar deviasi 2,575.
Hal ini menunjukkan anak yang mendapatkan
penyampaian nilai-nilai moral melalui metode
dongeng memiliki tingkat kecerdasan moral
yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak
mendapatkan penyampaian nilai moral melalui
metode dongeng.
Berdasarkan nilai partial eta squared ( ç2 )
diketahui besarnya sumbangan metode
dongeng terhadap perkembangan kecerdasan
moral anak usia prasekolah adalah 34 %.
Hipotesis Kedua
Berdasarkan hasil analisis data diketahui F
sebesar 61,389 dengan p = 0,00 (p < 0,05) yang
berarti signifitan dengan demikian hipotesis
diterima. Hal ini menunjukkan ada perbedaan
yang signifikan pada tingkat pencapaian
kecerdasan moral anak usia prasekolah antara
sebelum mendapatkan penyampaian nilai-nilai
moral melalui metode dongeng dengan setelah
mendapatkan penyampaian nilai-nilai moral
melalui metode dongeng.
Perbedaan tingkat pencapaian kecerdasan
moral anak usia prasekolah dengan melihat
rerata, rerata pada pre-test 11,18 dengan
standar deviasi 3,522 sedangkan rerata pada
post-test 17,47 dengan standar deviasi 2,695.
Hal ini menunjukkan tingkat kecerdasan moral
sebelum mendapatkan penyampaian nilai
moral melalui metode dongeng lebih rendah
dibandingkan tingkat kecerdasan moral setelah
mendapatkan penyampaian nilai moral melalui
metode dongeng.
Diskusi
Mendongeng adalah salah satu bentuk seni
rakyat tertua yang mengajak anak-anak pada
perjalanan yang menarik dan pada saat yang
sama mengajarkan mereka sejarah, budaya
dan nilai-nilai moral. Dongeng dapat digunakan
secara efektif sebagai awal untuk diskusi
mengenai isu-isu hak pribadi dan nilai-nilai
sosial.
Penelitian ini untuk mengetahui metode
dongeng dalam meningkatkan perkembangan
kecerdasan moral anak usia prasekolah. Anak
usia prasekolah yang menjadi sampel dalam
penelitian ini adalah anak usia 5 tahun, siswa
TK B di TK Q yang merupakan sekolah dengan
fasilitas terbatas dan bukan sekolah favorit.
Menurut Dodge dkk. (2002) usia 5 tahun adalah
usia dimana munculnya minat anak-anak akan
penalaran dan penggambaran mengapa
sesuatu seperti itu, mereka bisa berfikir dengan
cara yang kompleks, menghubungkan
informasi baru yang mereka kumpulkan
dengan sesuatu yang mereka ketahui
sebelumnya.
Hasil analisis dengan menggunakan
program SPSS 16.00 for windows dengan
teknik analisis covariance (anacova)
menunjukkan hipotesis yang mengatakan
bahwa ada perbedaan tingkat pencapaian
kecerdasan moral anak usia prasekolah antara
yang mendapatkan penyampaian nilai-nilai
moral melalui metode dongeng dengan yang
tidak mendapatkan penyampaian nilai-nilai
30
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
moral melalui metode dongeng dinyatakan
diterima. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji
hipotesis yang menyatakan bahwa ada
perbedaan post-test yang signifikan pada level
0,05 antara kelompok yang mendapatkan
metode dongeng dengan kelompok yang tidak
mendapatkan metode dongeng dengan p =
0,00 (p < 0,05).
Collin (Isbell dkk., 2004) menegaskan
mendongeng mempunyai banyak kegunaan di
dalam pendid ikan utama anak. Dia
menyimpulkan bahwa dongeng menyediakan
suatu kerangka konseptual untuk berpikir, yang
menyebabkan anak dapat membentuk
pengalaman menjadi keseluruhan yang dapat
mereka pahami. Dongeng menyebabkan
mereka dapat memetakan secara mental
pengalaman dan melihat gambaran di dalam
kepala mereka, mendongengkan dongeng
tradisional menyediakan anak-anak suatu
model bahasa dan pikiran bahwa mereka dapat
meniru.
Para guru menemukan bahwa anak-anak
dapat dengan mudah mengingat apapun juga
fakta yang ilmiah atau histories yang mereka
pelajari melalui dongeng. Anak-anak
menyadari gambaran yang mereka buat di
dalam pikiran mereka ketika mereka
mendengar dongeng yang diceritakan, dan
mereka menjaga gambaran yang dibuat
bahkan waktu mereka membaca dengan diam
untuk diri mereka (Baldwin & Dudding, 2007).
Menurut Forester dkk. (Peel & Shortland,
2004 ) metode mendongeng secara meningkat
d i k e n a l i s e b a g a i c a r a k u a t u n t u k
m e n g k o m u n i k a s i k a n g a g a s a n d a n
menyebabkan transformasi belajar. Hasil
analisis juga menunjukkan bahwa hipotesis
yang menyatakan ada perbedaan tingkat
pencapaian kecerdasan moral anak usia
p r a s e k o l a h s e b e l u m m e n d a p a t k a n
penyampaian nilai-nilai moral melalui metode
dongeng dan sete lah mendapatkan
penyampaian nilai-nilai moral melalui metode
dongeng dinyatakan diterima. Hal ini dapat
dilihat dari hasil uji hipotesis yang menyatakan
bahwa ada perbedaan nilai pre-test dan pos-
test yang signifikan pada level 0,05 pada
kelompok yang mendapatkan metode dongeng
dengan p = 0,00 (p < 0,05).
Menurut El l is ( Isbel l dkk., 2004)
mendongeng secara meningkat diakui
mempunyai implikasi praktis dan teoritis
penting. Hasil analisis menunjukkan besarnya
sumbangan metode dongeng terhadap
perkembangan kecerdasan moral anak usia
prasekolah adalah 34 %. Hal ini sejalan dengan
yang diungkapkan Borba (2001) dongeng
tentang suatu kebajikan serta pengaruhnya
dalam memberikan perubahan yang positif di
dunia akan membantu anak memahami
kekuatan kebajikan tersebut dan membuat
mereka berpikir bahwa mereka pun dapat
melakukan sesuatu bagi dunia.
Penelitian yang telah dilakukan ini juga
tidak lepas dari berbagai kelemahan.
Kelemahan yang perlu ditekankan dalam
penelitian ini adalah dalam proses pemberian
perlakuan dalam penelitian ini yang terlalu
cepat yaitu 10 kali pertemuan, sehingga nilai-
nilai yang terkandung dalam dongeng belum
benar-benar dipahami dan diterapkan oleh
anak.
Kelemahan lain dalam penelitian ini adalah
proses pemberian perlakuan tidak dapat
sepenuhnya dikontrol dengan ketat, karena
perlakuan dilakukan di dalam kelas di mana
juga ada kelas-kelas lain yang juga sedang
belajar. Akibatnya anak-anak yang mengikuti
proses perlakuan terkadang mudah beralih
perhatian. Selain itu kelemahan yang lain
adalah subyek penelitian yang masih berusia
sangat muda membuat pengontrolan terhadap
anak juga lebih sulit karena anak tidak dapat
31
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
dipaksa untuk terus menerus memperhatikan
bila mereka merasa bosan.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Metode dongeng sebagai stimulasi
berperan dalam meningkatkan perkembangan
kecerdasan moral anak usia 5 tahun yang
menjadi siswa di TK B di sekolah dengan
fasilitas terbatas dan bukan sekolah favorit.
Anak yang mendapatkan penyampaian nilai-
nilai moral melalui metode dongeng memiliki
tingkat kecerdasan moral yang lebih tinggi
dibandingkan anak yang tidak mendapatkan
penyampaian nilai moral melalui metode
dongeng. Selain itu, tingkat kecerdasan moral
setelah mendapatkan penyampaian nilai moral
melalui metode dongeng lebih tinggi
dibandingkan tingkat kecerdasan moral
sebelum mendapatkan penyampaian nilai
moral melalui metode dongeng.
Saran
1. Bagi guru
Mengingat bahwa metode dongeng
sebagai stimulasi memiliki kontribusi dalam
meningkatkan perkembangan kecerdasan
moral anak usia prasekolah, maka guru
diharapkan menggunakan metode dongeng
secara berkelanjutan untuk menyampaikan
ni lai-ni lai moral agar perkembangan
kecerdasan moral anak terus meningkat.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian selanjutnya diharapkan di dalam
proses pemberian suatu perlakuan dilakukan
dalam kurun waktu yang lebih lama, secara
berkelanjutan dan di seluruh tingkatan usia.
Selain itu, penelitian selanjutnya dapat
diarahkan untuk mengetahui efektifitas metode
dongeng sebagai metode pembelajaran untuk
mata pelajaran. Penelitian selanjutnya juga
diharapkan untuk mempertimbangkan faktor
lain yang dapat mempengaruhi perkembangan
kecerdasan moral anak usia prasekolah
misalnya tingkat kecerdasan, kondisi emosi,
faktor sosial lain seperti keluarga, televisi,
teman sebaya.
Daftar Pustaka
Baldwin, J. & Dudding, K. (2007). Storytelling in
school. www.storytellingschools.org.
Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2009.
Blocks,J.H. (2002). The role of ego – control
and ego resilience in the organization of
behavior. The minesota symposium on
child psychology, 13 (79), 118-122.
Borba, M. (2001). Building moral intelligence.
San Fransisco : Josey-Bass.
Coles, R. (1999). The moral intelligence of
children. Madison : Random House.
Cook, T.D & Campbell, D.T. (1979). Quasi-
experimentation design and analysis issues
for field settings. USA : Houghton Mifflin
Company.
Dodge, D.T., Colker, L.J., & Heroman, C.
(2002). The creative curriculum for
preschooll. Fourt edition. Wasington DC.
Teaching strategies inc
Isbell, R., Sobol, J., Lindauer, L & Lowrance.
(2004). The effects of storytelling and story
reading on the oral language complexity
and story comprehension of young children.
Early childhood education journal, 32 (3).
Springer Science Business Media, Inc.
Lenox, M.F. (2000). Storytelling for young
children in a multicultural world. Early
childhood education journal, 28 (2). Human
Sciences Press, Inc.
32
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Metode Dongeng Dalam Meningkatkan Perkembangan
Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah
McCartney, K. & Philips, D. (2006). Blackwell
handbook of early childhood development.
UK : Blackwell Publishing Ltd.
Mukti, N.A & Hwa, S.P. (2004). Malaysian
perspective : designing interactive
multimedia learning environment for moral
values education. Educational technology
& society, 7 (4). International Forum of
Educational Technology & Society.
Peel, D. & Shortland, S. (2004). Student
t eacher co l l abo ra t i ve re f l ec t i on :
perspective on learning together.
Innovation in education and teaching
international. Taylor & Francis Ltd.
Sanchez, T., Zam, G., Lambert, J. (2009).
Story-telling as an effective strategy in
teaching character education in middle
grade social studies. Journal for the liberal
arts and sciences, 13 (2).
Staden, CJS. & Watson, R. (2007). When old is
new : exploring the potential of using
indigenous stories to construct learning in
early childhood settings. A paper presented
at the AARE conference, Fremantle 26-29th
November.
33
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
Abstract
This recearched was aimed to realize the relation between empathy and emotional maturity toward prosocial behavior. There were two hypotheses proposed, which, there was a relationship existed between empathy and emotional maturity. Second hypothesis, there was a difference prosocial behavior among man and woman.
Indicator used for measuring prosocial behavior, empathy, and emotional maturity was the use of scale. Subjects used in this research are 49 subjects. Data analysis used regression and t-test analysis. The result of the test showed that there was a significant positive relationship between empathy, emotional maturity, toward prosocial behavior showed by Rxy=0,932 with p=0,000, and no difference in prosocial behavior among men and women.
Keyword: prosocial behavior, empathy, emotional maturity
PERILAKU PROSOSIAL DITINJAU DARI EMPATI DAN
KEMATANGAN EMOSI
Gusti Yuli Asih
Margaretha Maria Shinta Pratiwi
Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Semarang.Staf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Semarang
1
2
1
2
Perilaku prososial merupakan salah satu
bentuk perilaku yang muncul dalam kontak
sosial, sehingga perilaku prososial adalah
tindakan yang dilakukan atau direncanakan
u n t u k m e n o l o n g o r a n g l a i n t a n p a
mempedulikan motif-motif si penolong.
Tindakan menolong sepenuhnya dimotivasi
oleh kepentingan sendiri tanpa mengharapkan
sesuatu untuk dirinya. Tindakan prososial lebih
menuntut pada pengorbanan tinggi dari si
pelaku dan bersifat sukarela atau lebih
ditunjukkan untuk menguntungkan orang lain
daripada untuk mendapatkan imbalan materi
maupun sosial.
Akhir-akhir ini banyak kejadian atau
kecurangan yang terjadi di dunia pendidikan.
Banyaknya perilaku yang tidak seharusnya
dilakukan oleh seorang pendidik, seperti
memberi bocoran soal, memberikan jawaban
pada saat ujian akhir nasional berjalan, serta
memberikan peluang kepada anak didiknya
saling bertukar jawaban ketika ujian, serta
masih banyak lagi perilaku prososial yang
seharusnya tidak dilakukan, akan tetapi hal ini
banyak ditemui, demi membantu anak
didiknya. Contoh kasus yang terjadi yaitu
kecurangan Ujian Negara di Malang. Kasus
kecurangan yang dilakukan oleh para guru
agar membantu s iswa dengan cara
memberikan kunci jawaban (NN, 2006)
Kenyataan yang kita temui, adanya empati
yang diberikan guru kepada muridnya bukan
karena keinginan untuk memberikan
pertolongan kepada anak didik, tetapi lebih
karena takut bila kredibilitas sekolah terancam,
bila banyak anak didik yang tidak lulus.
R o b e r t d a n S t r a y e r ( 1 9 8 6 : 2 )
mengungkapkan bahwa empati nampaknya
berhubungan dengan perilaku prososial
34
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
individu. Empati berkaitan dengan kemampuan
individu dalam mengekspresikan emosinya,
oleh karena itu empati seseorang dapat diukur
melalui wawasan emosionalnya, ekspresi
emosional, dan kemampuan seseorang dalam
mengambil peran dari individu lainnya. Pada
dasarnya, empati merupakan batasan dari
individu apakah ia akan melakukan atau
mengaktualisasikan gagasan prososial yang
mereka miliki ke dalam perilaku mereka atau
tidak.
Hurlock (1999: 118) mengungkapkan
bahwa empati adalah kemampuan seseorang
untuk mengerti tentang perasaan dan emosi
orang la in ser ta kemampuan untuk
membayangkan diri sendiri di tempat orang
lain. Empati pada diri individu, akan dapat
menggerakkan hati dan perilakunya untuk
membantu anak didiknya supaya dapat lulus
ujian atau lulus UAN. Perilaku prososial yang
dilakukan guru terhadap anak didiknya lebih
banyak dilakukan oleh guru laki-laki daripada
guru perempuan.
Faktor personal yang mendasari perilaku
prososial dikategorikan menjadi dua, yaitu
faktor personal dan faktor situasional.
Karakteristik kepribadian yang mempengaruhi
perilaku prososial yaitu adanya kematangan
emosi. Individu yang matang secara emosi,
akan mampu berperilaku prososial dengan baik
Perilaku prososial
Chaplin (1995: 53) memberikan pengertian
perilaku sebagai segala sesuatu yang dialami
oleh individu meliputi reaksi yang diamati.
Watson (1984: 272) menyatakan bahwa
perilaku prososial adalah suatu tindakan yang
memiliki konsekuensi positif bagi orang lain,
tindakan menolong sepenuhnya yang
dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa
mengharapkan sesuatu untuk dirinya. Kartono
(2003: 380) menyatakan bahwa perilaku
prososial adalah suatu perilaku sosial yang
menguntungkan di dalamnya terdapat unsure-
unsur kebersamaan, kerjasama, kooperatif,
dan altruisme. Perilaku prososial dapat
memberikan pengaruh bagaimana individu
melakukan interaksi sosial. Sears (1991: 61)
memberikan pemahaman mendasar bahwa
masing-masing individu bukanlah semata-
mata makhluk tunggal yang mampu hidup
sendiri, melainkan sebagai makhluk social
yang sangat bergantung pada individu lain,
individu tidak dapat menikmati hidup yang
wajar dan bahagia tanpa lingkungan sosial.
Seseorang dikatakan berperilaku prososial jika
individu tersebut menolong individu lain tanpa
memperdulikan motif-motif si penolong, timbul
karena adanya penderitaan yang dialami oleh
orang lain yang meliputi saling membantu,
s a l i n g m e n g h i b u r , p e r s a h a b a t a n ,
penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati,
dan saling membagi.
Myers (dalam Sarwono, 2002: 328)
menyatakan bahwa perilaku prososial atau
altruisme adalah hasrat untuk menolong orang
la in tanpa memik i rkan kepent ingan
kepentingan sendiri. Perilaku prososial dapat
d i m e n g e r t i s e b a g a i p e r i l a k u y a n g
menguntungkan orang lain. Secara konkrit,
pengertian perilaku prososial meliputi tindakan
berbagi (sharing), kerjasama (cooperation),
menolong (helping), kejujuran (honesty),
d e r m a w a n ( g e n e r o u s i t y ) s e r t a
mempertimbangkan hak dan kesejahteraan
orang lain (Mussen dalam Dayakisni, 1988:
15).
Berdasarkan teor i d i atas dapat
disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah
suatu tindakan yang mendorong seseorang
untuk berinteraksi, bekerjasama, dan
menolong orang lain tanpa mengharapkan
sesuatu untuk dirinya.
Mussen, dkk (1989: 360) menyatakan
bahwa aspek-aspek perilaku prososial
35
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
meliputi:
a. Berbagi
Kesediaan untuk berbagi perasaan dengan
orang lain dalam suasana suka dan duka.
b. Kerjasama
Kesediaan untuk bekerjasama dengan
orang lain demi tercapainya suatu tujuan.
c. Menolong
Kesediaan untuk menolong orang lain yang
sedang berada dalam kesulitan.
d. Bertindak jujur
Kesediaan untuk melakukan sesuatu
seperti apa adanya, tidak berbuat curang.
e. Berderma
Kesediaan untuk memberikan sukarela
sebagian barang miliknya kepada orang yang
membutuhkan.
Bringham (1991: 277) menyatakan aspek-
aspek dari perilaku prososial adalah:
a. Persahabatan
Kesediaan untuk menjalin hubungan yang
lebih dekat dengan orang lain.
b. Kerjasama
Kesediaan untuk bekerjasama dengan
orang lain demi tercapai suatu tujuan.
c. Menolong
Kesediaan untuk menolong orang lain yang
sedang berada dalam kesulitan.
d. Bertindak jujur
Kesediaan untuk melakukan sesuatu
seperti apa adanya, tidak berbuat curang.
e. Berderma
Kesediaan untuk memberikan sukarela
sebagian barang miliknya kepada orang yang
membutuhkan.
Aspek-aspek perilaku prososial yang
dipakai dalam penelitian ini yaitu berbagi,
menolong, kerja sama, bertindak jujur,
berderma.
Empati
Empati diartikan sebagai perasaan simpati
dan perhatian terhadap orang lain, khususnya
untuk berbagi pengalaman atau secara tidak
langsung merasakan penderitaan orang lain
(Sears, dkk, 1991: 69). Hal senada
diungkapkan oleh Hurlock (1999: 118) yang
mengungkapkan bahwa empati adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti
tentang perasaan dan emosi orang lain serta
kemampuan untuk membayangkan diri sendiri
di tempat orang lain. Kemampuan untuk empati
ini mulai dapat dimiliki seseorang ketika
menduduki masa akhir kanak-kanak awal (6
tahun) dengan demikian dapat dikatakan
bahwa semua individu memiliki dasar
kemampuan untuk dapat berempati, hanya
saja berbeda tingkat kedalaman dan cara
mengaktualisasikannya. Empati seharusnya
sudah dimiliki oleh remaja, karena kemampuan
berempati sudah mulai muncul pada masa
kanak-kanak awal (Hurlock, 1999: 118)
Leiden, dkk (1997: 317) menyatakan
empati sebagai kemampuan menempatkan diri
pada posisi orang lain sehingga orang lain
seakan-akan menjadi bagian dalam diri. Lebih
lanjut dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005:
111) yang menyatakan bahwa empati
merupakan kemampuan untuk merasakan
keadaan emosional orang lain, merasa
simpatik dan mencoba menyelesaikan
masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Arwani (2002: 56) menyatakan empati
terhadap pasien merupakan perasaan dan
“pemahaman” dan “penerimaan” perawat
terhadap pasien yang dialami pasien dan
kemampuan merasakan “dunia pribadi pasien”.
36
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
Empati merupakan sesuatu yang jujur,
sensitive dan tidak dibuat-buat didasarkan
atas apa yang dialami orang lain.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa empati merupakan
kemampuan yang dimiliki individu untuk
mengerti dan menghargai perasaan orang lain
dengan cara memahami perasaan dan emosi
orang lain serta memandang situasi dari sudut
pandang orang lain.
Baron dan Byrne (2005: 111) menyatakan
bahwa dalam empati juga terdapat aspek-
aspek, yaitu:
a. Kognitif
Individu yang memiliki kemampuan empati
dapat memahami apa yang orang lain rasakan
dan mengapa hal tersebut dapat terjadi pada
orang tersebut.
b. Afektif
Individu yang berempati merasakan apa
yang orang lain rasakan.
Batson dan Coke (Watson, 1984: 290)
menyatakan bahwa di dalam empati juga
terdapat aspek-aspek:
a. kehangatan
Kehangatan merupakan suatu perasaan
yang dimiliki seseorang untuk bersikap hangat
terhadap orang lain.
b. kelembutan
Kelembutan merupakan suatu perasaan
yang dimiliki seseorang untuk bersikap
maupun bertutur kata lemah lembut terhadap
orang lain.
c. peduli
Peduli merupakan suatu sikap yang dimiliki
seseorang untuk memberikan perhatian
terhadap sesame maupun lingkungan
sekitarnya.
d) kasihan
Kasihan merupakan suatu perasaan yang
dimiliki seseorang untuk bersikap iba atau
belas asih terhadap orang lain.
Aspek-aspek empati yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada pendapat
Watson yang mel iput i : kehangatan,
kelembutan, peduli, dan kasihan.
Kematangan Emosi
Emosi terbentuk melalui perkembangan
yang dipengaruhi oleh pengalaman dan dalam
perkembangan, emosi menuju tingkat yang
konstan, yaitu adanya integrasi dan organisasi
dari semua aspek emosi (Osho, 2008: 102).
Emosi tersebut bersifat positif seperti cinta,
seks, berharap, teguh, simpati, optimis, loyal,
dan bersifat negative seperti takut, benci,
marah, tamak, iri, dendam, dan percaya
tahayul. Anderson (dalam Mappiare, 1983: 18)
mengatakan bahwa seseorang yang memiliki
kematangan emosional belum tentu dapat
dikatakan sebagai orang dewasa. Seseorang
yang memiliki kematangan emosional berarti
orang tersebut sudah dewasa, tetapi orang
dewasa belum tentu memiliki kematangan
emosional. Kartono (1995: 165) mengartikan
kematangan emosi sebagai suatu keadaan
atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari
perkembangan emosional, oleh karena itu
pribadi yang bersangkutan tidak lagi
menampilkan pada emosional seperti pada
masa kanak-kanak. Seseorang yang telah
mencapai kematangan emosi dapat
mengendalikan emosinya. Emosi yang
terkendali menyebabkan orang mampu berpikir
secara lebih baik, melihat persoalan secara
objektif (Walgito, 2004: 42) Lebih lanjut
Davidoff (1991: 49) menerangkan bahwa
kematangan emosi merupakan kemampuan
individu untuk dapat menggunakan emosinya
37
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
dengan baik serta dapat menyalurkan
emosinya pada hal-hal yang bermanfaat dan
bukan menghilangkan emosi yang ada dalam
dirinya.
Hurlock (1999: 213) mendefinikan
kematangan emosi sebagai tidak meledaknya
emosi di hadapan oranng lain melainkan
menunggu saat dan tempat yang lebih tepat
untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-
cara yang lebih dapat diterima. Sartre (2002: 7)
mengatakan bahwa kematangan emosi adalah
keadaan seseorang yang tidak cepat
terganggu rangsang yang bersifat emosional,
baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain
itu dengan kematangan emosi maka individu
dapat bertindak dengan tepat dan wajar sesuai
dengan situasi dan kondisi. Meichati (1983: 8)
mengatakan bahwa kematangan emosional
adalah keadaan seseorang yang tidak cepat
terganggu rangsang yang bersifat emosional,
baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain
itu dengan matangnya emosi maka individu
dapat bertindak tepat dan wajar sesuai dengan
situasi dan kondisi.
Kematangan emosi adalah kemampuan
dan kesanggupan individu untuk memberikan
tanggapan emosi dengan baik dalam
menghadapi tantangan hidup yang ringan dan
berat serta mampu menyelesaikan, mampu
mengendalikan luapan emosi dan mampu
mengantisipasi secara kritis situasi yang
dihadapi.
Menurut Walgito (2004: 43) orang yang
matang emosinya mempunyai ciri-ciri antara
lain:
a. Dapat menerima keadaan dirinya
maupun orang lain sesuai dengan objektifnya.
b. Pada umumnya tidak bersifat impulsive,
dapat mengatur pikirannya dalam memberikan
tanggapan te rhadap s t imu lus yang
mengenainya.
c. Dapat mengontrol emosinya dengan baik
dan dapat mengontrol ekspresi emosinya
walaupun dalam keadaan marah dan
kemarahan itu tidak ditampakkan keluar.
d. Dapat berpikir objektif sehingga akan
bersifat sabar, penuh pengertian dan cukup
mempunyai toleransi yang baik.
e. Mempunyai tanggung jawab yang baik,
dapat berdiri sendiri, tidak mengalami frustrasi
dan mampu menghadapi masalah dengan
penuh penngertian.
Ciri-ciri kematangan emosi menurut
Anderson (dalam Mappiare, 1983: 153), yaitu:
a. Kasih sayang: individu mempunyai rasa
kasih saying seperti yang didapatkan dari
orang tua atau keluarganya sehingga dapat
diwujudkan secara wajar terhadap orang lain
sesuai dengan norma sosial yang ada.
b. Emosi terkendali: individu dapat menyetir
perasaan-perasaan terutama terhadap orang
lain, dapat mengendalikan emosi dan
mengekspresikan emosinya dengan baik.
c. Emosi terbuka, lapang: individu
menerima kritik dan saran dari orang lain
sehubungan dengan kelemahan yang
d iperbuat demi pengembangan di r i ,
mempunyai pemahaman mendalam tentang
keadaan dirinya.
Jersild (dalam Sobur, 2003: 404-406)
menjelaskan ciri-ciri individu yang memiliki
kematangan emosi, antara lain:
a. Penerimaan diri yang baik
Individu yang memiliki kematangan emosi
akan dapat menerima kondisi fisik maupun
psikisnya, baik secara pribadi maupun secara
sosial.
b. Kemampuan dalam mengontrol emosi
Dorongan yang muncul dalam diri individu
untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
38
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
dengan nilai-nilai yang berlaku akan dapat
dikendalikan dan diorganisasikan ke arah yang
baik.
c. Objektif
Individu akan memandang kejadian
berdasarkan dunia orang laindan tidak hanya
dari sudut pandang pribadi.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang
memiliki kematangan emosional adalah tidak
impulsive, mempunyai tanggung jawab yang
baik, dapat mengendalikan emosi, menerima
keadaan dirinya, dan berpikir objektif
Jenis kelamin
Perbedaan stereotype pria dan wanita
menyebabkan perbedaan dalam perilaku
prososial antara pria dan wanita. Eisenberg
dan Lennon (dalam Berndt, 1992) menyatakan
bahwa anak perempuan lebih mudah merasa
tidak enak jika melihat orang lain mengalami
kesusahan.
Kerangka Berpikir
Manusia sebagai makhluk sosia l
hendaknya senantiasa memberikan bantuan
kepada orang lain. Hal ini dikarenakan manusia
membutuhkan kehadiran dari individu lain
dalam kesehariannya. Sears (1991: 61)
menegaskan bahwa manusia adalah makhluk
sosial yang hidupnya bergantung pada individu
lain. Manusia harus kompeten atau memiliki
ketrampilan sosial yang memadai agar dapat
bertahan hidup dan merasakan kebahagiaan
dalam kehidupan tersebut. Berbagai rencana
yang mengakibatkan banyaknya anak didik
yang mengalami stres dapat mendorong
individu untuk memberi bantuan, baik dalam
bentuk materi maupun bantuan non materi.
Usaha yang dilakukan individu untuk dapat
memberikan bantuan kepada anak didiknya
dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan
empati adalah hasrat untuk menolong orang
lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri.
Empati lebih menitikkan pada kesejahteran
orang lain. Empati yang tinggi pada diri
pendidik akan menjadikannya memiliki
keinginan untuk menolong anak didik atau
muridnya. Djauzi (2003: 59) menjelaskan
kemampuan empati yang ditunjukkan oleh
individu akan dapat membuatnya memahami
orang lain secara emosional dan intelektual.
Empati membuat seseorang peduli dan rela
untuk memberikan perhatian terhadap anak
didik. Perasaan kasihan terhadap orang lain
dapat meningkatkan kesediaan pendidik untuk
bekerjasama dan mau berbagi memberikan
sumbangan yang berarti kepada orang lain.
Stephan dan Stephan (1989: 272) meyatakan
bahwa orang yang mempunyai rasa empati
akan berusaha untuk menolong orang lain yang
membutuhkan pertolongan dan merasa
kasihan terhadap penderitaan orang tersebut.
Empati banyak disebut sebagai motif dasar
bagi seseorang untuk bertindak prososial
(Iannotti, 1978). Banyak penelitian tidak
ditunjukkan hubungan langsung antara empati
dengan prososial dalam arti perilakunya.
Penelitian lebih menekankan hubungan empati
dengan motif prososial (Bar-Tal, dkk., 1981).
Hoffman (1977) dalam peneli t iannya
menyebutkan bahwa pada tingkat empati
tinggi, empati sebagai vicarious affective
arousal berperan besar. Anak wanita tampak
lebih prososial karena mereka lebih memiliki
tekanan empatetik, lebih mudah dipengaruhi
perasaannya, dengan demikian cenderung
mengurangi ketegangannya dengan jalan
memberikan reaksi prososial. Empati yang
rendah, maka recognition of affect in others
yang mengandung aspek kognitif lebih
39
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
berpengaruh dalam ikutserta memberikan dan
melahirkan intensi prososial.
Emosi yang terkendali menyebabkan
seseorang mampu berpikir secara baik, melihat
persoalan secara objektif (Walgito, 2004: 42).
Kematangan emosi sebagai keadaan
seseorang yang tidak cepat terganggu
rangsang yang bersifat emosional, baik dari
dalam maupun dari luar dirinya, selain itu
dengan matangnya emosi maka individu dapat
bertindak tepat dan wajar sesuai dengan situasi
dan kondisi dengan tetap mengedepankan
tugas dan tanggung jawabnya, sehingga
dengan kematangan emosi yang dimilikinya,
individu mampu memberikan atau berperilaku
prososial sesuai dengan yang diharapkan.
Penelitian Power dan Parke (dalam Eiserberg
dan Mussen, 1989) melakukan penelitian
dengan hasil menurut budaya perilaku
membantu dan menolong lebih pantas
dilakukan oleh wanita sehingga wanita lebih
cenderung memberikan pertolongan daripada
pria.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
secara empiris hubungan antara empati,
kematangan emosi, jenis kelamin, dan perilaku
prososial.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan:
Hipotesis mayor: Ada hubungan antara
empati, kematangan emosi, dan jenis kelamin
terhadap perilaku prososial.
Hipotesis minor:
a. Ada hubungan positif antara empati
terhadap perilaku prososial.
b. Ada hubungan antara kematangan emosi
terhadap perilaku prososial.
c. Ada perbedaan perilaku prososial antara
laki-laki dan perempuan
Metode Penelitian
Subyek penelitian merupakan faktor utama
yang harus ditentukan sebelum kegiatan
penelitian dilakukan. Tujuan dari penentuan
subyek penelitian adalah untuk menghindari
kesalahan pengambilan sampel yang dapat
mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam
pengambilan simpulan dan generalisasi hasil
simpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah
guru-guru SMA di lingkungan Universitas
Semarang. Teknik pengambilan sampel
menggunakan non random sampling
(pengambilan sampel dengan penunjukan).
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dengan menggunakan skala. Ada tiga buah
skala yang akan dipakai yaitu skala perilaku
prososial, skala empati, dan skala kematangan
emosi. Pengumpulan data jenis kelamin,
dengan melihat data identitas yang terdapat di
dalam skala.
Hipotesis yang diajukan, diuji secara
statistik dengan menggunakan teknik Analisis
Regresi untuk menguji hubungan keempat
variabel, serta Uji T untuk menguji perbedaan
perilaku prososial. Semua perhitungan statistik
dalam penelitian ini menggunakan program
SPSS.
Hasil Penelitian
Pengujian validitas aitem menggunakan
teknik Product Moment yang kemudian
dikoreksi dengan menggunakan teknik korelasi
Part Whole. Uji validitas dimaksudkan untuk
mengetahui aitem-aitem mana saja yang valid
dan nantinya akan digunakan dalam
penyusunan alat ukur penelitian
Penyusunan Skala Perilaku Prososial yang
semula berjumlah 31 aitem terdapat 4 aitem
40
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
yang gugur sehingga tersisa 27 aitem yang
valid. Koefisien aitem berkisar antara 0,290 -
0,779 dengan taraf signifikansi 5%.
Penyusunan Skala Empati yang semula
berjumlah 33 aitem terdapat 4 aitem yang
gugur sehingga tersisa 29 aitem yang valid.
Koefisien aitem berkisar antara 0,280 - 0,825
dengan taraf signifikansi 5% . Penyusunan
Skala Kematangan Emosi yang semula
berjumlah 30 aitem terdapat 4 aitem yang
gugur sehingga tersisa 26 aitem yang valid.
Koefisien aitem berkisar antara 0,255-0,591
dengan taraf signifikansi 5%.
Berdasarkan hasil uji analisis data yang
diperoleh diketahui bahwa Rxy = 0,932 dan
p= 0,000 sehingga hipotesis dalam penelitian
ini diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada
hubungan yang positif yang sangat signifikan
antara empati, kematangan emosi, jenis
kelamin terhadap perilaku prososial. Empati
terhadap perilaku prososial rxy = 0,884 dan p
= 0,000. Kematangan emosi terhadap perilaku
prososial rxy = 0,794 dan p = 0,000. Sementara
itu hipotesis yang menyatakan bahwa ada
perbedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan terhadap perilaku prososial tidak
terbukti, karena tidak ada perbedaan antara
keduanya.
Diskusi
Koestner dan Franz (1990) empati
merupakan kemampuan untuk menempatkan
diri dalam perasaan atau pikiran orang lain
tanpa harus secara nyata terlibat dalam
perasaan atau tanggapan orang tersebut.
Myers (dalam Sarwono, 2002) menyatakan
empati adalah hasrat untuk menolong orang
lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri.
Empati lebih menitikkan pada kesejahteran
orang lain. Empati yang tinggi pada diri
pendidik akan menjadikannya memiliki
keinginan untuk menolong anak didik atau
muridnya. Baron dan Byrne (2005: 111)
menyatakan bahwa empati merupakan
kemampuan untuk merasakan keadaan
emosional orang lain, merasa simpatik dan
mencoba menyelesaikan masalah, dan
mengambil perspektif orang lain. Seorang
pendidik merasa memiliki tanggung jawab
terhadap proses keberhasilan seorang anak
didik. Seorang pendidik akan merasa sedih
apabila ada anak didiknya yang tidak berhasil
atau tidak lulus, sehingga akan berusaha
semaksimal mungkin untuk menolong anak
didiknya. Seorang pendidik akan menolong
dengan iklas dan tidak mengharapkan hadiah
maupun ber'pamrih' apabila anak didiknya
berhasil.
Kematangan emosional sebagai keadaan
seseorang yang tidak cepat terganggu
rangsang yang bersifat emosional, baik dari
dalam maupun dari luar dirinya, selain itu
dengan matangnya emosi maka individu dapat
bertindak tepat dan wajar sesuai dengan situasi
dan kondisi (Meichati, 1983:8). Kematangan
emos i merupakan kemampuan dan
kesanggupan individu untuk memberikan
tanggapan emosi dengan baik dalam
menghadapi tantangan hidup yang ringan dan
berat serta mampu menyelesaikan, mampu
mengendalikan luapan emosi dan mampu
mengantisipasi secara kritis situasi yang
dihadapi. Seorang pendidik yang memiliki
kematangan emosi, akan menujukkan perilaku
yang objektif dan mampu berpikir secara logis.
Perbuatan yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan yang matang serta mampu
memilih perilaku yang tepat pula.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan skor prososial
antara laki-laki dan perempuan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa perbedaan
stereotype tidak menyebabkan perbedaan
dalam perilaku prososial. Perilaku prososial
41
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda
karena dalam hal-hal tertentu perempuan lebih
mudah memberikan pertolongan, namun pada
situasi yang lain perempuan lebih mudah
bereaksi untuk memberikan pertolongan
(Purnamasari, dkk, 2004: 41).
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan hipotesis yang telah diajukan
ternyata hipotesis yang menyatakan
1. Ada hubungan yang sangat signifikan
antara empati, kematangan emosi, dan jenis
kelamin terhadap perilaku prososial.
2. Ada hubungan positif antara empati
terhadap perilaku prososial.
3. Ada hubungan antara kematangan
emosi terhadap perilaku prososial.
4. Tidak ada perbedaan perilaku prososial
antara laki-laki dan perempuan
Saran
Berka i tan dengan s impu lan dan
pembahasan yang telah disebutkan di atas,
maka ada beberapa saran yang dapat
disampaikan yaitu:
1. Bagi guru
Faktor yang mempengaruhi perilaku
prososial yang tertinggi adalah empati,
disarankan para pendidik atau guru lebih arif
dalam memberikan perilaku prososialnya.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian ini masih banyak terdapat
keterbatasan dan kekurangan, bagi peneliti
selanjutnya yang berminat melakukan
penelitian lebih lanjut dapat disarankan agar
peneliti memperhitungkan aspek-aspek lain
yang mempengaruhi perilaku prososial pada
guru, seperti kepribadian dan faktor situasional.
Daftar Pustaka
Arwan i . (2002) . Komun ikas i da lam
keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Baron, R. A. dan Byrne. D.(2005). Psikologi
sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Ratna Djuwita.
Edisi kesepuluh. Jakarta: Erlangga.
Bar Tal, & Shavut, N. (1981). Motives for
helping behaviour: Kibbutz and City
Children in Kindergarten & School.
Development Psychology. 17, (6) 766-772.
Berndt, T. J. (1992). Child development. New
York: Brace Jovenovich College Publisher.
Bringham, J. C. (1991). Social psychology.
Edisi 2. New York: Harper Colling Publisher
Inc.
Davidoff, L. L. (1991). Psikologi suatu
pengantar. Alih Bahasa: Mari Juniati.
Jakarta: Erlangga
Dayakisni, T. (1988). Perbedaan intensi
prososial siswa siswi ditinjau dari pola asuh
orangtua. Jurnal Psikologi.1, (V) 14-17.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada.
Djauzi, S. (2004). Komunikasi dan empati
dalam hubungan dokter pasien. Jakarta:
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Hurlock, E. B. (1999). Perkembangan anak.
Jilid 2. Alih Bahasa: Med. Meitasari
Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi
keenam. Jakarta: Erlangga.
Hoffman. (1977). Sex differences in empathy
and related behavior. Psychological
Bulletin. 84, (4) 712-722
42
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati dan
Kematangan Emosi
Iannotti, R.J. (1978). Effect of role-taking
experiences on role-taking, empathy,
altruism and aggression. Developmental
Psychology. 14, 119-124.
Kartono, K. (1992). Psikologi wanita. Jilid 1.
Bandung: Mandar Maju.
Kartono, K. (2003). Kamus psikologi. Bandung:
Pionir Jaya
Mappiare, A. (1983). Psikologi remaja.
Surabaya; Usaha Nasional.
Meichati, S. (1983). Kesehatan mental.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada.
Mussen, P. H. Conger, J. J and Kagan, J.
(1989). Child development and personality
(Fifth Edition). Harper and Row Publishers.
NN. (2006). Kronologis kecurangan ujian
nasional di Malang. Diunduh 22 Maret
2010 . www.pp ig ron ingen .n l / pp ig /
Kronologi%20Malang.doc.
Osho. (2008). Emotional learning. Alih Bahasa:
Ahmadi Kahfi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purnamasari, A., Ekowarni, E., Fadhila, A.,
(2004). Perbedaan intensi prososial siswa
SMUN dan MAN di Yogyakarta. Humanitas
Indonesian Psychological Journal. Vol. 1.
No. 1 Januari: 32-42
Robert and Strayer, J. (1996). Adolescent
p r o s o c i a l b e h a v i o u r .
www.personal.psi.edu./fakulty/j/g/jgp4/497
/prosocial2.htm.
Sartre, J. P. (2002). Pengantar teori emosi. Alih
Bahasa: Luthfi Ashari. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial,
individu dan teori-teori psikologi sosial.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sears, D.O; Fredman, J.L., dan Peplau, L. A.
(1991). Psikologi sosial. Jilid 2. Alih Bahasa:
Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga.
Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung:
Pustaka Setia
Stephan, C. W. and Stephan, W. G. (1985). Two
social psychological. Chicago: The Dorley
Press.
Walgito, B. (2004). Pengantar psikologi umum.
Yogyakarta: Andi.
Watson. (1984). Psychology science and
application. Illionis: Scoot Foresmar and
Company.
43
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
Abstract
Human being is unique. No one is either physically or psychologically identical with others. Being different from others requires courage and is the choice in life. Selection of value orientation will make an individual being has a way and control of life as a form of value orientation which is believed and embraced. Hardcore music performer is one of many differences in value orientation adopted by men. A hardcore music performer certainly has a reason in choosing it as a a way of life.
The objective of the research is to know and to understand the value orientation of the hardcore music performers in the Kudus Regency. The informants of the reasearch are the hardcore music performers located in Kudus Regency who are involved in Komunitas Kudus Hardcore Community (KDHC). Value orientation in the research is viewed by using motivational types of value which is proposed by Schwartz. Orientation value proposed by Schwartz consists of 10 types of values consisting of power, prestige, pleasure, stimulation, self direction, unity, virtue, tradition, compatibility and security.
Based on the coding of interviews and observations conducted on the three informants shows that the hardcore music performers in Kudus Regency have value orientations that lead to the value of creativity and the other value that stands out is the value orientation led to the value of independence.
Keywords: Value Orientation, Hardcore Music Performer
ORIENTASI NILAI PELAKU MUSIK HARDCORE
Anto Sanjaya Mochamad Widjanarko
Alumni Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus, Gitaris Band AtasbawahStaf Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus
1
2
1
2
Setiap manusia sebagai individu pasti
mempunyai keinginan, harapan dan berbagai
capain hidup. Minat manusia juga beragam,
antara individu yang satu dengan lainya saling
berbeda namun terdapat pula invidu yang
mempunyai ketertarikan akan hal sama.
Demikian pula orientasi nilai setiap individu,
satu sama lain pasti berbeda
Kesamaan minat, memicu banyak pribadi
yang berbeda dalam berbagai latar belakang;
hal baik fisik, pendidikan, kondisi ekonomi,
suku, agama, ras serta berbagai latar belakang
kehidupan lainya bertemu, menjalin ikatan,
membentuk perkumpulan dan melakukan
berbagai bentuk hubungan sosial lainya.
Sebaliknya dengan adanya perbedaan minat
diantara individu yang satu dengan yang lain
dapat saling menutup diri, menjaga jarak dan
membatasi kontak sosial.
Di Kudus sendiri terdapat beberapa bentuk
hubungan sosial yang mana hal itu terjadi
karena adanya kesamaan minat. Salah
satunya adalah kesamaan minat akan musik
hardcore. Dengan adanya kesamaan akan
minat terhadap musik hardcore individu-
individu yang terdiri dari berbagai latar
belakang pendidikan serta berbagai tingkatan
umur membentuk suatu kelompok sosial. Di
sini yang dimaksud kelompok, mereka saling
melakukan interaksi satu dengan yang lain dan
sa l ing mempengaruhi , seper t i yang
diungkapkan oleh Shaw (dalam, Bimo Walgito,
2003). Mereka hidup di dalam satu batasan
geografis, atau nilai-nilai secara kepentingan
bersama dan hidup dalam suatu daerah
tertentu dan saling berinteraksi (Al Barry,
44
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
2005). Selanjutnya ini disebut sebagai
komunitas.
Komunitas yang lekat dengan musik
hardcore di Kudus adalah Kudus Hardcore
Community (KDHC), terdiri dari orang-orang
yang menyukai musik hardcore baik itu pemain
musik, penggiat, maupun penikmat dan
mempunyai tujuan untuk memajukan musik
hardcore di Kudus supaya diterima oleh
masyarakat Kudus. Dari hasil wawancara
penulis lakukan tanggal 3 Mei 2009 di studio
musik Blitz, Komunitas ini didirikan tanggal 18
Mei 2008 oleh beberapa band dan segelintir
penggiat hardcore di Kudus ini.
Tanggal 18 Mei 2008 dipilih sebagai tanggal
berdirinya KDHC karena pada tanggal tersebut
untuk kali pertama diadakan acara bertemakan
indie (independent) dimana mayoritas diisi oleh
band-band hardcore Kudus dan selebihnya
band yang masih dalam kategori indie. Terlebih
lagi acara tersebut diorganisir secara kolektif
atau swadaya dari band pengisi serta anggota
komunitas, demikian menurut DS salah satu
penggagas dan penggiat KDHC. Sebelum
berdirinya KDHC ia bersama dengan beberapa
teman mendirikan Kudus Movement yang
dapat ia katakan sebagai embrio dari berdirinya
KDHC. Kudus Movement sendiri sebelumnya
berisikan aktivitas selayaknya anak band,
bermain musik dan nongkrong.
Selain sebagai penggiat komunitas, DS
juga mengisi posisi bass pada band emo-
hardcore Kudus bernama Brooklyn. Band ini
sendiri telah mengeluarkan mini album berisi
lima lagu di bawah label indie Kudus Murvals
records. Mini album bertajuk I”Ll Stand In My
Way dikemas dalam format audio cd dengan
full colour artwork serta profesional packing ini
diedarkan secara independent melalui jaringan
komunitas. Meski begitu band ini mampu
melampaui batasan wilayah komunitas, respon
publik sangat antusias. Satu dari puluhan band
yang bisa dikatakan sedang naik daun adalah
Brooklyn. Band ini tengah menjadi bahan
pembicaraan banyak orang dan pentasnya
mampu menyedot perhatian banyak orang
(Radar Kudus, Minggu 26 Oktober 2008).
Fenomena underground sendiri tidak bisa
dilepaskan dengan istilah independent yang
berarti mandiri, bebas, merdeka. Istilah
independent ini kemudian populer dengan
idiom indie di kalangan musisi maupun media.
Pemakaian label indie dikaitkan dengan
metode sistem produksi yang dilakukan oleh
seorang pemusik atau band yag mulai dari
penciptaan lagu, merekam kemudian
memasarkan secara swadaya. Jadi, dari
p r o s e s k r e a t i f m e m b u a t s a m p a i
mendistribusikan produk bahkan tur konser
mereka secara mandiri dan di luar jalur
mainstream, akhirnya disebut sebagai istilah
DIY (Do It Yourself) yang dalam terjemahan
bahasa Indonesia berarti lakukan dengan
sendiri. Karena dalam mendistribusikan atau
memasarkan produk ini lewat gerilya atau jalan
bawah tanah. Itu dilatarbelakangi faktor
ideologi, minimnya biaya ataupun memang
karya mereka tidak bisa diterima masyarakat
umum. Maka muncul istilah underground.
Orientasi nilai yang dimiliki oleh pelaku
musik hardcore di Kudus kemudian akan dilihat
dengan kesepuluh tipe nilai berdasarkan
klasifikasi Schwartz, yaitu : rangsangan, arah
d i r i , kecocokan, t rad is i , keamanan,
kebersamaan, kebajikan, prestasi, kekusaan
dan kesenangan.
K e s e p u l u h n i l a i t e r s e b u t d a p a t
dikelompokan ke dalam dua dimensi. Dimensi
yang pertama yaitu openness to change yang
berlawanan dengan conservation. Kemudian
dimensi yang kedua yaitu self transedence
yang berlawan dengan self enhancement.
Be rdasa rkan ha l d i a tas penu l i s
berpendapat bahwa pelaku musik hardcore
45
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
mempunyai orientasi nilai tersendiri yang dapat
membuat mereka tetap dapat bertahan,
menjadikan hardcore sebuah pilihan dan eksis
dalam kehidupan masyarakat serta menikmati
apa yang dilakukan dan dikerjakannya maka
penulis tertarik untuk mengeksplorasi orientasi
nilai di kalangan pelaku hardcore di Kabupaten
Kudus.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan fenomenologis.
Subyek dalam penelitian ini adalah pelaku
musik hardcore yang terlibat dalam Komunitas
Kudus Hardcore Community (KDHC).
Pengambilan data melalui observasi dan
wawancara. Analisis data menggunakan
koding, dengan menggunakan tahapan
sebagai berikut; melakukan transkripsi hasil
wawancara dan observasi, identifikasi kata
kunci, menemukan tema dan kategori serta
menyusun bagan teoritis. Kredibilitas hasil
penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode triangulasi, kecermatan transkrip, dan
pemeriksaan teman sejawat.
Hasil Penelitian
Intensitas Orientasi Nilai Informan 1
Tipe nilai kekuasaan, informan memiliki
intensitas yang kuat dilihat dari pernyataan
informan bahwa ia dapat mengetahui makna
hidup dan semangat dalam menjalani
kehidupan. Ia merasa sikap orang-orang di
s e k i t a r t e r u t a m a k e l u a r g a s a n g a t
mendukungnya. Informan merasa nyaman
dengan mendapatkan banyak teman. Hal ini
didukung oleh faktor kesenangan, informan
begitu menikmati kehidupannya karena
mempunyai banyak teman dalam suasana
kebersamaan dan banyak menghabiskan
waktu bersama teman- teman untuk
bersenang-senang. Hal ini menunjukan bahwa
informan di pandang teman-teman dan
lingkunganya, informan juga memiliki kontrol
untuk menjalani kehidupannya
Nilai prestasi memiliki intentitas yang kuat
dilihat dari pernyataan informan bahwa sejak
mengenal hardcore ia mempunyai kemampuan
desain grafis serta dapat bekerja sebagai
ope ra to r wa rne t . I n fo rman merasa
kebutuhannya saat ini dapat tercukupi dengan
bekerja sebagi operator warnet. Hal ini
dikuatkan oleh tipe nilai arah diri bahwa sejak
bergelut dengan hardcore dirinya telah banyak
membuat gigs hardcore, acara sosial dan t-shirt
dari band lokal Kudus.
Nilai kesenangan mempunyai intensitas
yang kuat karena informan mengatakan dirinya
sangat menikmati kehidupan. Masalah dalam
kehidupan dianggap informan sebagai sesuatu
yang wajar. Hal ini didukung oleh tipe nilai
rangsangan, informan menyatakan bahwa
sebuah konsekuensi harus dihadapi. Dari situ
menunjukan informan memiliki tingkat
kesenangan yang tinggi, bagi informan
kesenangan hidupnya harus terpenuhi apapun
resikonya nanti akan dihhadapinya.
Tipe nilai rangsangan pada informan kuat.
Informan berani menghadapi sebuah resiko
jika itu sudah menjadi sebuah kausalitas.
Pernyataan berani berbuat berani bertanggung
jawab menguatkan tipe nilai rangsangan.
Informan bergairah dalam menjalani
kehidupan.
Nilai arah diri memiliki intensitas yang kuat
terutama dilihat dari pernyataan informan
sangat merasa ingin tahu sesuatu hal yang
baru teru tama j ika i tu menyangkut
pekerjaanya, menurut informan seusianya
harus mandiri. Banyak yang telah ia perbuat
sejak menjadi seorang youthcrew, sampai
dengan membikin album.
46
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
Intensitas nilai kebersamaan pada
informan kuat dilihat dari pernyataan informan
y a n g a k a n m e m b a n t u o r a n g y a n g
membutuhkan bantuan jika memang dirinya
bisa membantu dan itu ia lakukan walaupun
orang tersebut tidak dikenalnya. Aspek ini
diperkuat oleh tipe nilai kebajikan. Ini terlihat
dari pengakuan informan yang pernah
membantu nenek yang tidak dikenalnya
menyeberang jalan. Kuatnya tipe nilai
kebajikan juga dikuatkan oleh pernyataan
informan bahwa memafkan adalah hal yang
sudah sewajarnya dilakukan. Ini menguatkan
informan memang memiliki sisi kebajikan yang
kuat.
Nilai tradisi pada informan pada tingkat
sedang. Terlihat dari pengakuanya bahwa ia
belum dapat menjalankan kewajiban agama
dan Tuhannya. Informan mengaku belum bisa
menjadi orang yang religius meskipun ia
percaya dengan Tuhan. Informan mengerti
bahwa norma harus ditaati. Intensitas yang
sedang pada aspek ini didukung aspek
kecocokan, informan sering melanggar
perintah orang tua dan ingin bebas, tidak diatur.
Diantara semua aspek. Paling lemah
adalah nilai kecocokan dan keamanan. Ini
terlihat dari pengakuanya yang sering
melanggar perintah orang tua. Dirinya tidak
mau diatur oleh siapapun dan bebas
berkehendak semaunya. Hal ini menunjukan
bahwa pembatasan tingkah laku dan dorongan
yang tidak sesuai dengan norma sosial pada
informan lemah.
Intensitas aspek keamanan pada informan
memiliki tingkat yang lemah karena informan
tidak suka membersihkan rumah dan mengaku
bahwa kamar tidurnya berantakan. Informan
juga menghindari obat jika sakit. Pernyataan
informan yang mengatakan melakukan
keinginan masyarakat dengan terpaksa,
karena dirinya tidak suka akan hal tersebut
menguatkan bawah motivasi untuk menjaga
harmoni bermasyarakat berada pada tingkat
lemah.
Intensitas Orientasi Nilai Informan II
Intensitas tipe nilai kekuasaan pada
informan kedua kuat. Dirinya yakin hardcore
adalah sebuah jalan hidup dan ia merasa
sebagai pribadi yang positif dan mempunyai
kualitas hidup yang baik. Hal ini juga
dikuatkan dengan pernyataan bahwa
informan merasa yakin dengan ilmu dan
wacana yang ia dapat dari hardcore dapat
meningkatkan kualitas hidupnya secara
personal dan sosial. Aspek ini juga didukung
dengan kuatnya tipe nilai prestasi informan
yang menyatakan mendapatkan materi dari
jurnalisme yang ia peroleh dari hardcore. Hal
ini menunjukan informan mempunyai
penguasan hidup sehari-hari.
Informan memiliki intensitas tipe nilai
p r e s t a s i y a n g k u a t t e r l i h a t d a r i
pernyataannya bahwa ia mendapatkan dan
menguasai jurnalisme dari hardcore yang
pada akhirnya hal itu bisa mendatangkan
materi bagi informan. Hal ini didukung oleh
tipe nilai arah diri pada informan dengan
pernyataan dirinya bangga dengan gaya
hidup positifnya yang bisa mempengaruhi
generasi di bawahnya.
Tipe nilai kesenangan pada informan kuat
terlihar dari pernyataan informan yang
mengaku sangat bersyukur dengan dengan
apa yang ada pada dirinya sekarang dan
menjalani kehidupan apa adanya. Banyak
aktivitas bersenang-senang pada informan
seperti main games, membaca buku, melihat
gigs, mendengarkan musik dan lain-lain.
Kuatnya tipe nilai kesenangan menunjukan
informan menikmati hidup pada dirinya.
47
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
Intensitas tipe nilai rangsangan pada
informan kuat, hal ini terlihat dari pernyataan
informan yang mengaku berani menghadapi
semua resiko dari setiap perbuatanya. Dalam
melakukan setiap perbuatanya informan
mengaku berlandaskan pada keyakinan
informan terhadap Tuhannya. Tipe nilai
kesenangan juga didukung oleh tipe nilai
kecocokan pada informan yang menyatakan
bawah apa yang d i lakukanya b isa
dipertanggungjawabkan.
Informan memiliki intensitas tipe nilai arah
diri kuat. Pengakuan informan bahwa dirinya
memilih hardcore bukan asal, penyampaian
pesan lewat musik itu lah yang menjadikan
hardcore sebagai pilihannya. Keingintahuan
informan juga kuat terlihat dari pernyataanya
yang mengaku juga suka belajar hal-hal baru
y a n g m e n a r i k b a g i n y a d a n a k a n
mendalaminya. Informan mengaku gaya
hidupnya adalah gaya hidup yang positif.
Melalui musik informan menyampaikan gaya
hidupnya kepada generasi dibawahnya. Bagi
dirinya kemandirian adalah hal yang mutlak.
Intensitas tipe nilai kebersamaan pada
informan kuat, terlihat dari pernyataan informan
y a n g a k a n m e m b a n t u o r a n g y a n g
membutuhkan bantuan semampunya. Aspek
ini juga didukung oleh pernyataan informan
pada tipe nilai kebajikan yang mengaku sering
memberi uang kepada orang yang tidak dikenal
untuk ongkos perjalanan Membantu baginya
adalah sebuah kewajiban dari nilai yang
bersumber dari kultur yang ia percaya.
Tipe nilai kebajikan pada informan memiliki
intensitas yang kuat. Informan adalah orang
yang pemaaf terlihat dari pengakuannya yang
mengatakan dengan pasti dirinya adalah orang
yang pemaaf. Sikap suka menolong ia tunjukan
dengan pengakuan informan yang sering
memberi uang kepada orang yang tidak ia
kenal untuk ongkos perjalanan pulang, entah
itu disengaja atau tidak hal itu sering ia alami.
Ini menunjukan informan memiliki kebajikan
yang kuat.
Intensitas tipe nilai tradisi pada informan
kuat. Hal ini terlihat dari pernyataan informan
yang sangat meyakini Tuhan dan agama.
Informan juga merasa sebagai orang yang
religius. Keseharian informan merasa tidak
bertentangan dengan nilai agama yang ia
percaya. Dalam memandang tradisi ia percaya
budaya dibangun atas cipta, rasa dan karsa
manusia. Pernyataan informan tersebut
memperlihatkan aspek tradisi pada informan
kuat
Tipe nilai kecocokan pada informan
memiliki intensitas yang kuat dilihat dari
pernyataan informan yang mengaku semua
perbuatannya bisa dipertanggungjawabkan
dan harus dihormati oleh siapapun termasuk
orang tuanya. Penghargaan terhadap orang
tua, kepatuhan juga dilakukanya terlihat dari
pernyataan informan yang akan melakukan
apapun untuk membantu dalam masalah
keluarga dan hal itu bagi informan adalah hal
yang sudah sewajarnya.
Diantara semua aspek, Intensitas tipe nilai
keamanan pada informan paling berbeda.
Informan memiliki intensitas tipe nilai
keamanan yang sedang. Menurut pengakuan
informan dirinya termasuk orang malas untuk
bersih-bersih. Dirinya juga hidup hanya untuk
dirinya dan keluarga bukan untuk masyarakat.
Ini memperliharkan bahwa keharmonisan dan
stabilitas dalam bermasyarakat cenderung
rendah. Meski begitu informan mempunyai
banyak teman, hal ini memperlihatkan bahwa
informan hubungan yang baik dengan banyak
orang-orang di sekitarnya.
Intensitas Oerientasi Nilai Informan III
Intensitas tipe nilai kekuasaan pada
48
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
informan kuat. Dirinya mengaku di dukung oleh
orang tua dalam keluarga. Teman-teman
informan bahan mendukungnya. Informan
mengaku mendapatkan banyak pengalaman
dari hardcore terutama berdagang t-shirt yang
saat ini menjadi sumber untuk mengisi uang
sakunya. Orang-orang di sekitar informan
mengetahui status informan sebagai seorang
youthcrew.
Tipe nilai prestasi pada informan kuat
terlihat dari pengakuan informan yang
mempunyai keahlian berdagang t-shirt yang
didapatnya dengan bergelut musik hardcore.
Kuatnya tipe nilai prestasi juga diperkuat oeh
pengakuanya yang tidak bisa seperti sekarang
jika tidak mengenal hardcore. Selain itu
informan juga mempunyai prestasi yang
gemilang dalam bidang olahraga sepakbola
sebagai kiper tim U-21 Persiku. Aspek ini
didukung oleh pernyataan informan pada tipe
nilai kesenangan yang menyatakan membuat
suatu gigs hardcore bagi informan satu hal
yang menyenangkan.
Intensitas tipe nilai kesenangan pada
informan kuat. Hal ini terlihat dari pengakuan
informan bahwa dirinya sangat menikmati
hidup dan apa yang ada pada dirinya. Banyak
cara bersenang-senang yang dilakukan
informan diantaranya melihat gigs, bermain
bola dan jalan bersama pacar. Hal ini
menguatkan aspek kesenangan, dilihat dari
cara informan bersenang-senang dan
menikmati kehidupannya.
Tipe nilai rangsangan mempunyai
intensitas yang kuat. Informan mengaku bahwa
dirinya tidak takut dalam menghadapi resiko.
Dari hasil wawancara didapat bahwa tidak ada
kata takut dalam menghadapi sebuah resiko.
Intensitas tipe nilai arah diri pada informan
ketiga kuat terlihat dari pernyataan informan
yang mengaku bahwa hardcore baginya lebih
menarik untuk dipahami. Informan mengartikan
kemandirian secara luas yaitu melakukan apa
yang ada di pikiran untuk bergerak dan
membuat keadaan sekitar menjadi lebih baik.
Rasa ingin tahu informan juga tinggi terlihat dari
pengakuanya.
Tipe nilai kebersamaan pada informan
memiliki intensitas yang kuat, hal ini dapat
dilihat dari pernyataan informan yang akan
membantu orang yang membutuhkan bantuan.
Motivasi tindakan prososial pada informan
sangat tinggi terlihat dari tindakanya yang tidak
hanya membantu orang yang dikenalnya tapi
juga akan membantu orang yang tidak
dikenalnya jika memang orang tersebut
membutuhkan bantuan. Hal tersebut juga
didukung oleh pernyataanya pada tipe nilai
kebajikan yang menyatakan dirinya pernah
memberikan tempat duduknya kepada seorang
ibu yang tidak dikenalnya di dalam perjalan dari
Kudus ke Malang. Ini menunjukan kuatnya
motivasi prososial informan
Intensitas tipe nilai kebajikan pada
informan kuat yang ditunjukan dengan
pengakuanya sebagai berikut. Informan
mengaku pernah dalam perjalanan pulang dari
kudus ke malang melihat seorang ibu yang
berdiri. Kemudian informan memberikan
tempat duduknya untuk ibu tersebut dan dirinya
rela untuk berdiri. Tak hanya sampai disitu,
informan juga membayarkan ongkos
perjalanan ibu tersebut. Dalam hal memafkan
sebisa mungkin informan akan memafkan
orang yang menghinanya.
Informan memiliki intensitas tipe nilai tradisi
yang sedang. Informan percaya dengan Tuhan
dan agama akan tetapi informan merasa
dirinya belum sebagai seorang yang religius.
Dalam memandang tradisi , informan
beranggapan budaya yang dimiliki oleh
bangsanya sangat beragam dan kaya dan tidak
dimiliki oleh bangsa lain.
49
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
Intensitas tipe nilai kecocokanpada
informan sedang, hal ini ditunjukan dengan
seringnya informan berseberangan pendapat
dengan orang tua. Hal ini disebabkan informan
merasa tidak cocok dengan ayah. Dalam
wawancara informan menjawab dirinya sering
melanggar perintah orang tua. Namun
informan tidak begitu saja mengesampingkan
kedua orang tuanya. Informan mengaku sering
membantu orang tua dalam hal kecil seperti
mengantar ayahnya ke toko, membeli gas dan
mengantar ibunya berbelanja. Intensitas tipe
nilai keamanan kuat pada informan, hal ini
terlihat dari pengakuanya informan yang
membersihkan rumah setiap hari minggu dan
hari libur di pagi harinya. Dalam menjaga
kesehatan informan akan minum obat jika sakit.
Hal ni diperkuat dengan pernyataan informan
yang akan melakukan apa yang memang
diinginkan masyarakat jika hal tersebut
berdampak positif.
Diskusi
Masih minimnya pengetahuan masyarakat
tentang musik hardcore dan para pelakunya
khusunya di Kabupaten Kudus mengharuskan
penulis menyampaikan hasil penelitian
mendekati fakta di lapangan tentang para
pelaku musik hardcore. Hal ini disebabkan
kekhawatiran terjadinya pandangan yang salah
terhadap para para pelaku. Cara berpikr
sempit seperti anggapan yang selama ini
terjadi pada pelaku semisal musik hardcore
adalah musik yang bising dan tidak mempunyai
maksud dan tujuan, musik yang identik dengan
narkotika karena dilihat dari cara pelaku
m e l a k u k a n p o g o b e r d a m p a k p a d a
pengkerdilan potensi-potensi yang dimiliki oleh
informan. Orientasi nilai pada pelaku musik
hardcore dimaksudkan agar masyarakat
mendapat gambaran yang jelas mengenai
pemetaan sikap dan perilaku yang merupakan
manifestasi dari nilai-nilai yang diyakini pelaku.
Dilihat dari pencapaian status sosial dan
prestise serta kontrol terhadap orang lain atau
sumber daya tertentu, pada dasarnya semua
informan mendapatkan pengakuan dan
bahkan dukungan dari lingkungan mereka. Dari
segi kesuksesan, kecakapan dan ambisi
ketiga informan merasa banyak mendapat hal
yang bagi mereka itu sangat bermanfaat.
Faktor-faktor untuk mencapai keberhasilan
pribadi sesuai dengan standar sosial dan
menunjukannya kepada masyarakat dirasakan
oleh ketiga informan setelah mereka menjadi
seorang youthcrew. Dalam segi kesenangan,
informan I, II dan III menikmati kehidupan yang
mereka jalani dan banyak melakukan kegiatan
bersenang-senang merupakan unsur
pemuasan.
Dari segi rangsangan dalam hal keberanian
dalam hidup, menghadapi kehidupan yang ada
dan semua informan tidak mempunyai rasa
takut. Ketiganya juga berani menghadapi
kehidupan masing-masing. Aspek arah diri
ketiga informan seperti menentukan tujuan
sendiri, bebas, dan mandiri yang memotivasi
tindakan yang independent terlihat kuat.
Kesemuanya memiliki tujuan yang jelas dan
alasan yang kuat dari pilihan yang telah mereka
tentukan. Dari segi kebersamaan yang
memotivasi tindakan sosial dan segi kebajikan
yang berisi nilai seperti pemaaf dan suka
menolong .
Dari segi tradisi yang akan memotivasi
pada penghargaan, komi tment dan
penerimaan terhadap tradisi, kebiasaan, adat
istiadat dan agama tampak kuat pada informan
II. Hal ini informan II mendasari segala
perbuatannya berdasar keyakinan dan agama
yang dianutnya. Sedangkan pada informan I
dan III hanya pada tingkatan percaya saja
belum pada penerapan dalam kehidupan
keseharian seperti informan II
50
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
Dari segi kecocokan terlihat pada semua
informan meskipun ketiganya memiliki
kekuatan yang berbeda. Informan kedua
cenderung memiliki kontrol diri yang kuat dan
mampu menahan dorongan-dorongan yang
berseberangan dengan nilai-nilai sosial. Pada
informan ketiga, hal ini berkurang atau
mempunyai kontrol yang sedang karena
informan seorang anak yang berseberangan
dengan orang tua dan tidak cocok dengan
ayahnya. Pada informan pertama kemampuan
kontrol terhadap dorongan negatif lemah, hal
ini disebabkan suybyek mengedepankan
kebebasan
Dari segi keamanan yang memotivasi
tindakan untuk menjaga keharmonisan
hubungan dalam hidup bermasyarakat lemah
pada informan I dan II dan kuat pada informan
ketiga. Kuatnya aspek ini pada informan ketiga
terlihat dari rutinnya informan membersihkan
rumah setiap minggu dan kemauan informan
menjaga hubungan dengan masyarakat.
Berbeda dengan informan I dan II yang tidak
memperdulikan apa keinginan dalam
masyarakat. Informan II hanya hidup untuk
dirinya dan keluarga, di tetangga sedang terjadi
apa itu bukan urusan informan.
Dari intensitas yang telah teridentifikasi
selanjutnya dikelompokan ke dalam dimensi
nilai bipolar sebagai berikut. Dimensi openess
to change pada kesemua informan muncul
dengan kecenderungan kuat. Sedangkan
dimensi conservation yang berlawanan dengan
dimensi sebelumnya hanya pada informan I
yang memiliki kecenderungan lemah. Untuk
dimensi yang kedua yaitu dimensi self
enhancement dan self transendence muncul
kuat pada semua informan. Begitu juga dengan
nilai kesenangan yang masuk ke dalam
dimensi openess to change dan self
enhancemen t j uga memper l i ha t kan
kecenderungan kuat pada semua informan.
Kesesuaian dengan dimensi teori yang
sejalan dan berkonflik hanya terjadi pada
informan I pada dimensi openess to change
yang muncul kuat dan berkebalikan pada
dimensi conservation yang berseberangan.
Untuk informan kedua dan ketiga tidak terjadi
konflik pada semua dimensi.
Terjadinya perbedaan pada informan
pertama dengan informan kedua dan III pasti
mempunyai faktor penyebab. Setelah penulis
mencoba mencermati hasil observasi dan
wawancara dengan masing informan. Penulis
menemukan bahwa faktor tersebut disebabkan
oleh latar belakang keluarga informan I.
Intensitas yang lemah pada informan pada
dimensi conservation yang berisi batasan-
batasan terhadap tingkah laku, ketaatan
terhadap aturan tradisi dan perlindungan
terhadap stabilitas. Kelemahan tersebut
karena informan sejak kecil jauh dari orang tua.
Bibi informan tidak mendidik informan secara
keras atau sangat memanjakan informan
karena takut informan akan ikut orang tuanya
ke Bandung. Hal itu menyebabkan sikap
informan yang bebas dan tidak mau diatur.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Penulis menyimpulkan bahwa orientasi
nilai pada pelaku musik hardcore adalah
sebagai berikut :
1. Pelaku musik hardcore di Kabupaten
Kudus mempunyai orientasi nilai yang
mengarah pada nilai-nilai kreativitas
2. Nilai lain yang menonjol pada pelaku
musik hardcore di Kabupaten Kudus adalah
orientasi nilai yang mengarah pada nilai-nilai
kemandirian
51
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
Nilai-nilai tersebut dipengaruhi oleh
beberapa hal :
1. Dukungan lingkungan
2. Manfaat yang dirasakan oleh informan
Semakin tinggi dukungan lingkungan dan
semakin besar manfaat yang dirasakan
informan maka semakin tinggi tingkat
keyakinan informan terhadap hardcore sebagai
sebuah jalan hidup.
Sedangkan untuk output nilai dari pelaku
musik hardcore dipengaruhi oleh hal – hal
sebagai berikut:
1. Teman sebagai pembentuk kepribadian
2. Kedekatan dan tingkat kasih sayang dan
perhatian orang tua dalam kehidupan keluarga
Saran-saran
1. Untuk pelaku musik hardcore
Menjadi seseorang yang berbeda memang
membutuhkan keberanian, apalagi juga
semacam menjadi seorang youthcrew yang
masih awam di masyarakat dan terbilang
minoritas sebagai sebuah genre musik di
Indonesia. Oleh karena itu disarankan :
a. Lebih terbuka terhadap masyarakat
sebagai upaya sosialisasi hardcore
b. Menjalin hubungan sosial yang baik dengan
lingkungan agar tidak terkesan eksklusif.
2. Peneliti
Orientasi nilai pada seseorang mempunyai
perbedaan yang dapat berubah sewaktu-
waktu karena pengaruh kondisi psikologis
seseorang, pembentukan kepribadian yang
terkait dengan perkembangan dan lingkungan.
Orientasi nilai pada pelaku musik hardcore
sangat menarik untuk diteliti ulang oleh peneliti
yang lain.
Daftar Pustaka
Alsa, A. (2007). Pendekatan Kuantitatif &
Kualitatif serta Kombinasinya dalam
Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Blaxter, L., Hughes, C dan Thight, M. (2006).
How To Research Seluk Beluk Melakukan
Riset. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Indeks.
C , G l e s s o n . ( 1 9 9 7 ) . M e n c i p t a k a n
Keseimbangan. Jakarta: PT. Grasindo.
Kamarulzaman, AKA., Y. Al Barry, M. Dahlan.
( 2005 ) . Kamus I lm iah Se rapan .
Yogyakarta: Absolut.
Kartini, K., Gulo, D. (2003). Kamus Ilmiah
Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.
Moleong, L. J. (2002). Metodologi Penelitian
Kual i ta t i f . Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Patton, M. G. (2006). Metode Evaluasi
Kualitatif. (terjemahan oleh Priyadi, B. P)
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Parker, S. R., J. Child, R. K dan Smith, M. A.
(1990). Sosiologi Industri. Jakarta: PT.
Rhineka Cipta.
Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan
Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Edisi Revisi. Jakarta: lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.
Prayitno, H., Amti, E. (1999). Dasar-Dasar
Bimbingan & Konseling. Edisi Revisi.
Jakarta: PT Rhineka Cipta.
Subyantoro, A., F. X, Suwarto.(2000). Metode &
Teknik Penelitian Sosial. Yogyakarta: C.V
Andi Offset.
Walgito, B. (2003). Psikologi Sosial. Suatu
Pengantar. Yogyakarta: Andi.
--------------. (2006). Arti Nilai. Melayu Online,
52
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus
Volume I, No 1, Desember 2010 Orientasi Nilai Pelaku Musik Hardcore
h t t p : / / w w w . m e l a y u o n l i n e . c o m /
index.php/nilai.html , (diakses 4 Mei 2009).
--------------. (2007). Nilai. Belajar Psikologi:
B u k a n H a n y a U n t u k A n d a ,
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.ph
p/nilai.html, (diakses 4 Mei 2009).
--------------. April (2009). Hardcore Punk,
http://wikipedia.org/wiki/hardcore_punk.ht
m, (diakses 4 Mei dan 2 Agustus).
---------------. Radar Kudus, 8 Februari 2009 .
Sistemnya DIY (Do It Yourself), hlm. 4.
---------------. Radar Kudus, 26 Oktober 2008 .
Brooklyn The Shining Star, hlm. 3.
KETENTUAN PENULISAN JURNAL PSKOLOGI UMK(Catatan: ketentuan ini merupakan format final artikel Jurnal Psikologi UMK)
Judul (12 point centered alignment, uppercase)
Nama lengkap penulis dan tanpa gelar (11 point centered)Nama dan instansi penulis (11 point centered)
Abstrak
Abstrak di tulis dalam bahasa Inggris atau Indonesia, dengan maksimal 250 kata, dalam satu paragrap. Abstrak berisi tujuan penulisan, metode penelitian dan keterangan singkat hasil penelitian. (11 point without indentation)
Kata kunci: 3 – 10 kata. (11 point, italic)
Bagian utama tulisan hasil penelitan terdiri
dari:
(1) Pendahuluan (berisi latar belakang
masalah, tinjauan pustaka, tujuan
penelitian dan hipotesis),
(2) Metode penelitian (berisi rancangan
penelitan, pengambilan sample, dan
analisis data),
(3) Hasil penelitian (hasil uji hipotesis),
(4) Diskusi (memuat evaluasi hasil penelitian,
masalah yang terkait hasil penelitian, dan
rekomendasi,
(5) Daftar pustaka.
Artikel hasil pemikiran disajikan dengan
meliputi:
(1) Pendahuluan (latar belakang, tujuan, dan
perumusan masalah),
(2) Pembahasan (terdiri dari beberapa
bagian),
(3) Kesimpulan dan rekomendasi,
(4) Daftar pustaka.
Ketentuan daftar pustaka dengan urutan:
nama belakang penulis, tahun penerbitan, kota
penerbitan, penerbit, volume, dan halaman.
Tabel atau gambar di beri judul dan
keterangan yang jelas. Setiap gambar, tabel
atau grafik yang disertakan juga sumber
penyuntingnya.
Artikel di kirim ke redaksi melalui email
[email protected] dan 1 salinan asli,
dengan ketentuan, kertas A4, Arial 11 point,
spasi 2, justified alignment, top margin 2 cm,
bottom 2 cm, left 1 cm dan right 1 cm. Artikel
ditulis maksimal 15 halaman, minimal 10
halaman.
Redaksi berhak mengedit ulang artikel
tanpa mengubah isi. Artikel yang di muat
adalah artikel yang sesuai dengan ketentuan
yang telah disebutkan.