Upload
tomi-atmadirja
View
64
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
RETINOPATI DIABETIK
Sampai saat ini, pengobatan untuk retinopati diabetik kebanyakan hamper
secara ekslusif pada pengelolaan disregulasi metabolic diabetes melitus sampai
keparahan dari lesi vaskuler untuk operasi laser. Kontrol metabolic yang intensif
tetap menjadi sarana yang efektif untuk mengontrol komplikasi yang laen pada
kebanyakan pasien retinpati diabetic. Penetilian terbaru telah mengidentifikasi peran
sentral dari VEGF pada lesi vaskuler yang diamati pada retinopati diabetic dan agent
baru bahwa tindakan blok VEGF memberikan pengobatan yang efektif untuk
penyakit pada pasien dan control metabolic saja tidak cukup. Fakta bahwa
pengobatan komplikasi vaskuler pada retina mempertahankan ketajaman penglihatan
pada pasien dengan retinopati diabetic yang berkaitan dengan saraf retina dan
pembuluh darah retina dan unit fungsional neurovaskuler di retina.
Pada artikel ini kami menyajikan prinsip yang mendasari control metabolic
dan terapi anti VEGF dalam pengobatan retinopati diabetic. Kami juga
mengeksplorasi interaksi molekul sel-sel saraf glial dan pembuluh darah di retina
sebagai dasar unit neurovaskuler dan menguji pengaruh diabetes pada fungsi unit
neurovaskuler dalam rangka untuk menyajikan pendekatan terapi baru yang
diperlukan untuk mengatasi peningkatan prevalensi penyakit diabetes di seluruh
dunia.
RETINOPATI DIABETIK PADA MASA LALU DAN MASA SEKARANG
Gambaran retinopati diabetic, yang dideteksi oleh oftalmoskopi yang
dijelaskan pada abad ke 19. Mereka mulai dengan mikroaneurisma dan kemajuan
dalam perubahan eksudatif (kebocron lipoprotein (eksudat keras) dan darah
(perdarahan hemoregik) yang menyebabkan edema macula, perubahan iskemik
(infark lapisan serabut saraf (cotton-wool spots), kolateralisasi (abnormalitas
mikrovaskuler intra retina) dan dilatasi venula (venous beading) dan perubahan
proliferatif (pembuluh darah yang abnormal pada optic disk dan retina, priliferasi
fibroblast dan perdarahan viktreus) orang dengan retinopati non proliferative dari
ringan sampai sedang memiliki sensibilitas yang kontras dan lapang penglihatan
yang menyebabkan kesulitan dalam mengemudi, membaca, dan mengelola diabetes
dalam sehari-hari. Ketajaman penglihatan, ditentukan dengan menggunakan grsfik
snellen, menurun ketika macula sentral dipengaruhi oleh edem, iskemik, membrane
epiretinal atau ablasio retina.
50 tahun yang lalu, retinopati diabetic yang proliferative dirawat dengan
ablasio hipopisis, tetapi frekuensi tinggi pada komplikasi yang berhubungan dengan
hipopituitaisme, termasuk kematian, mendorong perkembangan potokoagulasi
panretinal. Pada tahun 1968, Airlie House Symposium membuat system klasifikasi
standar untuk retinopati diabetic dan meletakkan dasar untuk studi retinopati diabetic
(Clinical Trials.gov number,NCT00000160) dan studi awal pada pengobatan
retinopati diabetic stadium awal (NCT00000151) pada tahun 1970 dan 1980an. Uji
klinis ini menunjukkan efek potokoagulasi retina, yang secara signifikan mengurangi
penglihatan yang parah karena retinopati diabetic proliferative dan edem macula dan
membuat pedoman dan penyaringan program untuk mendetreksi dan mengobati
retinopati diabetic.
Insiden dan resiko perkembangan retinopati diabetic keduanya menurun
selama 30 tahun lebih dari 90% sampai < 50%. Para penduduk berdasarkan
Wisconsin sudut retinopati diabetic menunjukkan bahwa dari tahun1980-2007
kejadian diperkirakan retinopati diabetic proliferative menurun sekitar 77% dan
gangguan penglihatan menurun 57% pada pasien dengan diabetes tipe I. pasien yang
baru-baru terdiagnosa diabetes tipe 1/ tipe 2 memiliki resiko jauh lebih rendah dari
retinopati diabetic dan penurunan tajam penglihatan, dibandingkan pasien dengan
periode sebelumnya.
Prevalensi penurunan ditandai dengan kejadian retinopati dan gangguan
penglihatan selama beberapa decade terakhir mencerminkan penanganan,
glikemia ,tekanan darah dan kadar livid. Perbaikan ini dihasilkan dari pengenalan
perangkat baru untuk pemantauan kadar glukosa darah secara sendiri dan pengaturan
insulin, obat-obatan baru ( misalnya statin dan agen hipoglikemi), intervensi bedah
( termasuk vitrectomi), peningkatan kesadaran untuk mengontrol glikemia dan
tekanan darah secara intensive, dan pelaksanaan pendidikan dan program screening.
Manfaat control intensive disajikan, namun peningkatan sebanyak 33% pada
frekuensi hipoglikemia dan 100% meningkatkan prefalensi kelebihan berat badan
atau obesitas diantara orang dewasa dengan diabetes mellitus. Presentasi pasien
dengan diabetes tipe 2 yang memenuhi tingakat target hemoglobin terglikasi, tekanan
darah, atau total kolesterol serum seperti yang direkomendasikan American Diabetes
Asosiation , meningkat sebesar 30%-50% dari tahun 2000-2006. Namun, hanya 7%
pasien memenuhi semua sasaran, dan kulit hitam non-hispanic blacks dan Mexsican
Americans kurang dari kulit putih.
EPIDEMIOLOGI DIABETES MELITUS
Sejumlah orang dengan diabetes seluruh dunia diprediksi meningkat sampai
sekitar 429 juta pada tahun 2030. Hal ini disebabkan oleh frekuensi obesitas yang
meningkat, meningkatnya life span, dan peningkatan dari deteksi penyakit. Di India,
diperkirakan 32 juta orang menderita diabetes pada tahun 2000, sekitar 79 juta akan
terpengaruh pada tahun 2030. Jika prevalensi komplikasi tetap tidak berubah sekitar
0,7 juta orang India akan menderita retinopati diabetic proliferative dan 1,8 juta
memiliki gejala klinis edem macula yang signifikan. Peningkatan pelayanan
kesehatan mengurangi kejadian gangguan penglihatan pada suku kulit putih di
Negara maju (misalnya, Denmard, Swedia dan Amerika Serikat), tetapi masih belum
jelas pengaruh dari perubahan gaya hidup yang berhubungan dengan urbanisasi di
India dan Negara berkembang lainnya yang memberikan hasil glikemia yang tidak
terkontrol, tekanan darah, kadar lipid dan frekuensi yang lebih tinggi dari retinopati
diabetic yang berat pada pasien diabetic tipe II. Data ini memperkirakan besarnya
populasi pada pasien diabetes mellitus yang beresiko terjadinya penglihatan dengan
pendekatan pengobatan yang tidak adekuat. Informasi yang sedikit ada pada resiko
retinopati dan komplikasi lainnya yang berhubungan dengan diabetes mellitus pada
daerah yang berkembang, sehingga dilanjutkan survalensi epidemiologi diperlukan
untuk mentukan trend, mengalokasikan sumber daya dan mengembangkan interfensi
pencegahan hemat biaya.
Studi epidemiologi menunjukkan efek dari hiperglikemi, hipertensi,
dislipidemia dan indeks masa tubuh yang tinggi, aktivitas fisik yang rendah dan
resistensi insulin pada kejadian retinopati diabetic dengan gejala klinis edem macula
yang signifikan. The Diabetes Control and complication Trial (DCCT,
NCT00360815) menunjukkan pengurangan control metabolic yang intensif pada
insiden dan progresifitas dari retinopati diabetic. Walaupun kadar glikasi hemoglobin
dengan faktor resiko yang kuat untuk memprediksi perkembangan dan progresifitas
dari retinopati diabetic, glikasi hemoglobin berpengaruh hanya 11% dari resiko
retinopati pada DCCT. Kesamaannya, value dari glikasi hemoglobin, tekanan darah
dan kolesterol serum total bersama-sama mempengaruhi hanya 99% dari retinopati
diabetic pada Wisconsin Epidemioligic Study of Diabetic Retinopaty. Namun,
prevalensi pengobatan diabetes mellitus termasuk faktor yang mampu dirubah. Data
dari beberapa studi untuk beberapa faktor termasuk sleep apnoe, penyakit
perlemakan non alkoholik, prolaktin serum, adiponektin dan kadar homosistein dan
genetic faktor termasuk mutasi pada eritropoitin gene promoter. Namun kontribusi
yang relative pada faktor ini pada resiko retinopati diabetic pada populasi belum
sepenuhnya diketahui.
Meskipun kemajuan dalam perawatan diabetes, komplikasi persisten dari
berbagai penyebab. Retinopati diabetes proliferative dan kompilkasinya
berekembang setelah 30 tahun mencapai 20% pada pasien dengan diabetes mellitus
yang telah diobati dengan control metabolic intensif dan control metabolic yang ideal
sulit dicapai karena adanya peningkatan resiko hipoglikemia dan pengaturan insulin
non fisiolgi. Hanya 17% dari pasien DCCT yang diikuti pada Epidemiologic of
Diabetes Intervension and Complication Study (NCT00360893) memiliki kadar
glikasi hemoglobin < 7% pada kunjungan berikutnya. Pada negara berkembang
sumber dibutuhkan untuk mengembangkan control diabetes mellitus yang baik
umumnya tidak tersedia. Oleh karena itu, pengelolahan lebih ditekankan pencegahan
komplikasi, yang akan membutuhkan pemahaman yang baik tentang mekanisme efek
dari diabetes mellitus yang mempengaruhi retina dan ditingkat cara mendeteksi
retinopati diabetik.
UJI KLINIS DARI PENGOBATAN RETINOPATI DIABETIK
Secara umum uji acak menunjukkan manfaat sistemik dan terapi ocular
untuk pencegahan dan pengobatan retinopati diabetic (tabel 1) dan telah
menunjukkan bahwa control metabolic, system renin angiotensi, proliferatif
peroksisom ayng diaktifan α (PPAR-α) dan VEGF berkontribusi pada patofisiologi
pad manusia. Khususnya penghambat renin angiotensin mengurangi insiden resiko
perkembangan retinopati diabetic pada pasien dengan diabetes mellitus 1 dan terapi
standar yang sekarang.
PPAR α agonis, penofibrak, mengurangi resiko perkembangan sampai 40%
diantara pasien dengan retinopati diabetic nonpriliferatif, menunjukkan pada
Fenofibrate Intervension and Event Lowering in Dibetes (FIELD,
ISRCTN64783481) dan The Action to Control Cardiovasculer risk in Diabetes
(ACCORD, NCT00000620) studi. Apakah mekanisme yang mendasari efek
pencegahan dari fenofibrat berhubungan dengan tindakan penuruna lipid yang masih
belum jelas. Studi ACCORD tidak menunjukkan efek pengontrolan tekanan darah
yang intensif pada progresifitas retinopati diabetic tetapi menunjukkan manfaat
control glikemik yang intensif pada pencegahan progresifitas dari retinopati diabetic.
Pengobatan yang spesifik bermanfaat pada pasien dengan pengobatan tajam
penglihatan dengan edem makulan. Penggunaan VEGF neutralizing antibody
bevacizumab dan ranidizumab meningkatkan ketajaman penglihatan dengan rata-rata
1-2 baris pada grafik snellen, dengan peningkatan 3 atau lebih baris 25-30% pasien
dan kehilangan tajam penglihatan menurun pada tingkat ketiga. Peningkatan ini dapat
dilihat periode 2 tahun setelah injeksi 10 intraokuler, secara signifikan lebih baik
daripada hasil dari pengobatan laser secara tunggal. VEGF aptamer, pegavtanib,
peningkatan tajam penglihatan oleh sekitar 1 garis. Dilanjutkan dengan pemberian
intrafitreal fluocinolen yang menghasilkan kemungkinan yang sama untuk
mendapatkan 3 atau lebih dari tajam penglihatan dengan peningkatan 60% resiko
glaucoma dan 30% pembedahan katarak. Teknologi inplan yang sama memberikan
dosis fluosinolon yang rendah tidak meningkatkan resiko katarak atau glaucoma.
Glukokortikoid seperti fluosinolon mengurangi inflamasi retina dan mungkin
mengembalikan integritas pertahanan darah retina dengan meningkatkan tight-
junction protein. Pengobatan inisial ini untuk retinopati diabetikmencerminkan
keuntungan pemahaman kami bagaimana memperbaiki ketajaman penglihatan dan
mengatur pengelolaan pada penyakit ini.
UNIT NEUROVASKULER
Wawasan baru pada fisiologi retina menunjukkan bahwa disfungsi retina
yang berhubungan dengan diabetes mellitus yang mungkin berhubungan dengan
perubahan unit neurovaskuler retina. Unit neurovaskuler retina mengacu pada
hubungan fisik dan biokimia antara neuron, glia dan pembuluh darah yang spesifik
dan saling ketergantungan dari jaringan sususan saraf pusat. Hubungan ini dari glia
dengan neuron memungkinkan homeostasis dan pengaturan neurotransmitter.
Selanjutnya sel glia, perisit, dan intereksi saraf mempromosikan pembentukan darah
ke otak dan retina, yang mengendalikan fluks cairan dan dialirkan melalui darah ke
dalam parenkim neural. Kondisi neurodegenerative seperti strok, penyakit alzeimer,
sklerosis amiotropik lateral, penyakit Parkinson dan unit neurovaskuler, dengan
perubahan dalam fungsi neural dan metabolism neural tranmiter dan kehilangan
pelingung sawar darah otak. Jika unit neurovaskuler ini sama pada diabetes mellitus,
kemudian terapi terbaru dengan pendekatan pengobatan disfungsi vaskuler dan
degeneraasi neural mungkin dibutuhkan.
Daftar tabel 2 pada unit neurovaskuler dalam retinopati diabetic. Arsitektur
retina dengan karakteristik unit neurovaskuler. Retina bagian dalam mempunyai
kapileri pada seganglion dan lapisan dalam nuclear. Unit neurovaskuler termasuk
atrosit muller sel dan amakrin dan neuron ganglion berada didekat segmen
mikrovaskuler yang memberikan oksigen dan nutrisi. Unit neurovaskuler
menunjukkan autoregulasi dari aliran darah vaskuler retina oleh kadar metabolic
local (kadar laktat dan tekanan parsial dari oksigen dan karbondioksida) dan sel glial.
Retina bagian luar terdiri dari neuron potoreseptor dan muller sel yang secara
metabolis mendukung generasi inpuls elektrokimia pada respon stimulasi dengan
cahaya, dengan nutrisi oksigen yang berdifusi dari pembuluh darah koroid melalui
lapisan sel epitel berpigmen.
KEBOCORAN VASKULER DAN ANGIGENESIS