17
A. TUJUAN 1. Memahami stoikhiometri reaksi antara logam tembaga dengan larutan besi (III). 2. Mampu meramalkan ion tembaga yang dihasilkan dari reaksi tersebut. B. DASAR TEORI Reaksi kimia pada hakekatnya merupakan proses yang melibatkan perubahan struktur, komposisi, dan energi setiap spesies yang berperan serta di dalamnya dalam skala molekular, bahkan kadang-kadang atomik. Suatu persamaan kimia meringkas sejumlah besar informasi mengenai zat-zat yang terlibat dalam reaksi. Persamaan itu tidaklah sekedar pernyataan kualitatif yang menguraikan zat-zat yang terlibat, tetapi juga pernyataan kuantitatif, yang menjelaskan berapa banyak pereaksi dan hasil reaksi terlibat. Proses membuat perhitungan yang didasarkan pada rumus- rumus dan persamaan-persamaan berimbang dirujuk sebagai stoikiometri (dari kata Yunani : stoicheion, unsur dan metria, ilmu pengukuran). Hukum-hukum yang mendasari stoikiometri : 1. Hukum kekekalan massa Hukum kekekalan massa atau dikenal juga sebagai hukum Lomonosov-Lavoisier adalah suatu hukum yang menyatakan massa dari suatu sistem tertutup akan konstan meskipun terjadi berbagai macam proses di dalam sistem tersebut. Pernyataan yang umum digunakan untuk menyatakan hukum kekekalan massa adalah massa dapat berubah bentuk tetapi

Documentk4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Documentk4

A. TUJUAN

1. Memahami stoikhiometri reaksi antara logam tembaga dengan larutan besi (III).

2. Mampu meramalkan ion tembaga yang dihasilkan dari reaksi tersebut.

B. DASAR TEORI

Reaksi kimia pada hakekatnya merupakan proses yang melibatkan perubahan

struktur, komposisi, dan energi setiap spesies yang berperan serta di dalamnya dalam

skala molekular, bahkan kadang-kadang atomik.

Suatu persamaan kimia meringkas sejumlah besar informasi mengenai zat-zat

yang terlibat dalam reaksi. Persamaan itu tidaklah sekedar pernyataan kualitatif yang

menguraikan zat-zat yang terlibat, tetapi juga pernyataan kuantitatif, yang menjelaskan

berapa banyak pereaksi dan hasil reaksi terlibat.

Proses membuat perhitungan yang didasarkan pada rumus-rumus dan persamaan-

persamaan berimbang dirujuk sebagai stoikiometri (dari kata Yunani : stoicheion, unsur

dan –metria, ilmu pengukuran).

Hukum-hukum yang mendasari stoikiometri :

1. Hukum kekekalan massa

Hukum kekekalan massa atau dikenal juga sebagai hukum Lomonosov-

Lavoisier adalah suatu hukum yang menyatakan massa dari suatu sistem tertutup akan

konstan meskipun terjadi berbagai macam proses di dalam sistem tersebut. Pernyataan

yang umum digunakan untuk menyatakan hukum kekekalan massa adalah massa

dapat berubah bentuk tetapi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. Untuk suatu

proses kimiawi di dalam suatu sistem tertutup, massa dari reaktan harus sama dengan

massa produk.

Hukum kekekalan massa digunakan secara luas dalam bidang-bidang seperti

kimia, teknik kimia, mekanika, dan dinamika fluida. Berdasarkan ilmu relativitas

spesial, kekekalan massa adalah pernyataan dari kekekalan energi. Massa partikel

yang tetap dalam suatu sistem ekuivalen dengan energi momentum pusatnya. Pada

beberapa peristiwa radiasi, dikatakan bahwa terlihat adanya perubahan massa menjadi

energi. Hal ini terjadi ketika suatu benda berubah menjadi energi kinetik/energi

potensial dan sebaliknya. Karena massa dan energi berhubungan, dalam suatu sistem

yang mendapat/mengeluarkan energi, massa dalam jumlah yang sangat sedikit akan

tercipta/hilang dari sistem. Namun demikian, dalam hampir seluruh peristiwa yang

Page 2: Documentk4

melibatkan perubahan energi, hukum kekekalan massa dapat digunakan karena massa

yang berubah sangatlah sedikit.

Contoh hukum kekekalan massa

Hukum kekekalan massa dapat terlihat pada reaksi pembentukan hidrogen dan

oksigen dari air. Bila hidrogen dan oksigen dibentuk dari 36 g air, maka bila reaksi

berlangsung hingga seluruh air habis, akan diperoleh massa campuran hidrogen dan

oksigen sebesar 36 g. Bila reaksi masih menyisakan air, maka massa campuran

hidrogen, oksigen dan air yang tidak bereaksi tetap sebesar 36 g.

Air -> Hidrogen + Oksigen (+ Air)

(36 g) (36 g)

Sejarah Hukum Kekekalan Massa

Hukum kekekalan massa diformulasikan oleh Antoine Lavoisier pada tahun

1789. Oleh karena hasilnya ini, ia sering disebut sebagai bapak kimia modern.

Sebelumnya, Mikhail Lomonosov (1748) juga telah mengajukan ide yang serupa dan

telah membuktikannya dalam eksperimen. Sebelumnya, kekekalan massa sulit

dimengerti karena adanya gaya buoyan atmosfer bumi. Setelah gaya ini dapat

dimengerti, hukum kekekalan massa menjadi kunci penting dalam merubah alkemi

menjadi kimia modern. Ketika ilmuwan memahami bahwa senyawa tidak pernah

hilang ketika diukur, mereka mulai melakukan studi kuantitatif transformasi senyawa.

Studi ini membawa kepada ide bahwa semua proses dan transformasi kimia

berlangsung dalam jumlah massa tiap elemen tetap.

Kekekalan massa vs. penyimpangan

Ketika energi seperti panas atau cahaya diijinkan masuk ke dalam atau keluar

dari sistem, asumsi hukum kekekalan massa tetap dapat digunakan. Hal ini disebabkan

massa yang berubah karena adanya perubahan energi sangatlah sedikit. Sebagai

contoh adalah perubahan yang terjadi pada peristiwa meledaknya TNT. Satu gram

TNT akan melepaskan 4,16 kJ energi ketika diledakkan. Namun demikian, energi

yang terdapat dalam satu gram TNT adalah sebesar 90 TJ (kira-kira 20 miliar kali

lebih banyak). Dari contoh ini dapat terlihat bahwa massa yang akan hilang karena

keluarnya energi dari sistem akan jauh lebih kecil (dan bahkan tidak terukur) dari

jumlah energi yang tersimpan dalam massa materi.

Penyimpangan

Penyimpangan hukum kekekalan massa dapat terjadi pada sistem terbuka

dengan proses yang melibatkan perubahan energi yang sangat signifikan seperti reaksi

Page 3: Documentk4

nuklir. Salah satu contoh reaksi nuklir yang dapat diamati adalah reaksi pelepasan

energi dalam jumlah besar pada bintang. Hubungan antara massa dan energi yang

berubah dijelaskan oleh Albert Einstein dengan persamaan E = m.c2. E merupakan

jumlah energi yang terlibat, m merupakan jumlah massa yang terlibat dan c

merupakan konstanta kecepatan cahaya. Namun, perlu diperhatikan bahwa pada

sistem tertutup, karena energi tidak keluar dari sistem, massa dari sistem tidak akan

berubah.

2. Hukum perbandingan berganda

Dalam kimia, hukum perbandingan berganda adalah salah satu hukum dasar

stoikiometri. Hukum ini juga kadang-kadang disebut hukum Dalton (diambil dari

nama kimiawan Inggris John Dalton), tapi biasanya hukum Dalton merujuk kepada

hukum tekanan parsial. Hukum ini menyatakan bahwa apabila dua unsur bereaksi

membentuk dua atau lebih senyawa, maka perbandingan berat salah satu unsur yang

bereaksi dengan berat tertentu dari unsur yang lain pada kedua senyawa selalu

merupakan perbandingan bilangan bulat sederhana. Misalnya karbon bereaksi dengan

oksigen membentuk karbondioksida (CO2) dan karbon-monoksida (CO). Jika jumlah

karbon yang bereaksi pada masing-masing adalah 1 gram, maka diamati bahwa pada

karbonmonoksida yang terbentuk akan terdapat 1,33 gram oksigen dan 2,67 gram

oksigen pada karbondioksida. Perbandingan massa oksigen mendekati 2:1, yang

perbandingan bilangan bulat sederhana, mematuhi hukum perbandingan berganda.

Pengamatan serupa juga terjadi pada reaksi-reaksi lain, seperti hidrogen dan oksigen

membentuk air (H2O) dan hidrogen peroksida (H2O2). Jika hidrogen yang bereaksi

masing-masing 1 gram, H2O yang terbentuk akan mengandung 4 gram oksigen, dan 8

gram pada H2O2.

John Dalton pertama kali mengemukakan pengamatan ini pada 1803. Beberapa

tahun sebelumnya, kimiawan Perancis telah mengemukakan hukum perbandingan

tetap. Dalton merumuskan hukum ini berdasarkan pengamatan-pengamatan terhadap

nilai-nilai perbandingan Proust. Kedua hukum ini merupakan penemuan penting untuk

menjelaskan bagaimana senyawa terbentuk dari atom-atom. Selanjutnya pada tahun

yang sama, Dalton mengajukan teori atom yang merupakan dasar dari konsep rumus

kimia dalam senyawa.

3. Hukum perbandingan tetap

Dalam kimia, hukum perbandingan tetap atau hukum Proust (diambil dari nama

kimiawan Perancis Joseph Proust) adalah hukum yang menyatakan bahwa suatu

Page 4: Documentk4

senyawa kimia terdiri dari unsur-unsur dengan perbandingan massa yang selalu tepat

sama. Dengan kata lain, setiap sampel suatu senyawa memiliki komposisi unsur-unsur

yang tetap. Misalnya, air terdiri dari 8/9 massa oksigen dan 1/9 massa hidrogen.

Bersama dengan hukum perbandingan berganda (hukum Dalton), hukum

perbandingan tetap adalah hukum dasar stoikiometri.

Sejarah

Perbandingan tetap pertama kali dikemukakan oleh Joseph Proust, setelah

serangkaian eksperimen di tahun 1797 dan 1804. Hal ini telah sering diamati sejak

lama sebelum itu, namun Proust-lah yang mengumpulkan bukti-bukti dari hukum ini

dan mengemukakannya. Pada saat Proust mengemukakan hukum ini, konsep yang

jelas mengenai senyawa kimia belum ada (misalnya bahwa air adalah H2O dsb.).

Hukum ini memberikan kontribusi pada konsep mengenai bagaimana unsur-unsur

membentuk senyawa. Pada 1803 John Dalton mengemukakan sebuah teori atom, yang

berdasarkan pada hukum perbandingan tetap dan hukum perbandingan berganda, yang

menjelaskan mengenai atom dan bagaimana unsur membentuk senyawa.

Penyimpangan dari hukum Proust

Perlu diketahui bahwa sekalipun hukum ini amat berguna dalam dasar-dasar

kimia modern, hukum perbandingan tetap tidak selalu berlaku untuk semua senyawa.

Senyawa yang tidak mematuhi hukum ini disebut senyawa non-stoikiometris.

Perbandingan massa unsur-unsur pada senyawa non-stoikiometris berbeda-beda pada

berbagai sampel. Misalnya oksida besi wüstite, memiliki perbandingan antara 0.83

hingga 0.95 atom besi untuk setiap atom oksigen. Proust tidak mengetahui hal ini

karena peralatan yang ia gunakan tidak cukup akurat untuk membedakan angka ini.

Selain itu, hukum Proust juga tidak berlaku untuk senyawa-senyawa yang

mengandung komposisi isotop yang berbeda. Komposisi isotop dapat berbeda sesuai

sumber dari unsur yang membentuk senyawa tersebut. Perbedaan ini dapat digunakan

untuk penanggalan secara kimia, karena proses-proses astronomis, atmosferis,

maupun proses dalam samudera, kerak bumi dan Bumi bagian dalam kadang-kadang

memiliki kecenderungan terhadap isotop berat ataupun ringan. Perbedaan yang

diakibatkan amat sedikit, namun biasanya dapat diukur dengan peralatan modern.

Selain itu, hukum Proust juga tidak berlaku pada polimer, baik polimer alami maupun

polimer buatan.

Page 5: Documentk4

C. ALAT DAN BAHAN

1. Alat :

Gelas beker 600 mL

Gelas beker 250 mL

Gelas beker 150 mL

Erlenmeyer 125 mL

Gelas ukur 50 mL

Pipet gondok 5 mL

Pipet gondok 15 mL

Pipet gondok 25 mL

Botol timbang

Labu takar

Corong gelas

Pengaduk gelas

Propipet

Pipet tetes

Pinset

2. Bahan :

Serbuk tembaga (Cu)

Kristal H2C2O4

Larutan Fe(NH4)(SO4)2 0,2 M

Larutan H2SO4 2,5 M

Larutan standar KMnO4

Akuades

D. CARA KERJA

1. Standardisasi larutan 0,02 M KMnO4

Ditimbang 0,63 gram asam oksalat (H2C2O4.2H2O)

Dilarutkan dalam labu takar 100 mL dan diencerkan dengan akuades sampai tanda

Diambil 5 mL

Erlenmeyer 20 mL H2SO4 2,5 M

Dititrasi dengan larutan standar KMnO4 yang akan distandardisasi

Dilakukan titrasi sebanyak 2 kali

Page 6: Documentk4

2. Stoikhiometri reaksi logam Cu dengan garam Fe (III)

Setelah reaksi berhenti, botol timbang diambil dengan penjepit dan larutan dididihkan 10 menit lagi untuk meyakinkan bahwa tembaga telah bereaksi sempurna

Gelas beker ditutup dengan gelas arloji kemudian didihkan sampai semua tembaga larut sempurna. Bila perlu sekali-sekali diaduk agar

tidak ada tembaga yang menempel pada dinding gelas

Ditimbang tepat 0,2 g serbuk logam Cu dengan botol timbang

Larutan didinginkan pada air dingin dan secara kuantitatif dipin-dahkan ke dalam labu takar 100 mL lalu diencerkan sampai tanda

30 mL larutan besi (III) 0,2 M

Gelas beker 250 mL

Dilakukan titrasi sebanyak dua kali

Dititrasi dengan larutan standar 0,02 M KMnO4

Diambil 25 mL larutan dengan pipet gondok kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL

15 mL larutan H2SO4 2,5 mL

Botol timbang dan isinya dimasukkan ke dalam gelas beker. Diusahakan semua serbuk masuk dalam larutan

Page 7: Documentk4

E. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Standardisasi larutan 0,02 M KMnO4

Reaksi yang terjadi (dalam suasana asam) :

C2O42- 2CO2 + 2e- x 5

MnO4- + 8H+ + 5e- Mn2+ + 4H2O x 2

5C2O42- + 2MnO4

- + 16H+ 10CO2 + 2Mn2+ + 8H2O

mol H2C2O4.2H2O =

= = 5 x 10-3 mol = 5 mmol

Konsentrasi H2C2O4.2H2O = mol H2C2O4.2H2O

= 5 mmol = 0,05 M

Menurut persamaan di atas, 5 mol C2O42- sebanding dengan 2 mol MnO4

-

M1V1 = M2V2 5 M .V = 2 M .V

Titrasi 1

5 x M x 5 mL = 2 x 0,05 M x 5

mL

M = 0,02 M

Titrasi 2

5 x M x 5,1 mL = 2 x 0,05 M x 5

mL

M = 0,019607 M

M rata- rata = = 0,0198 M 0,02 M

Pada percobaan standardisasi KMnO4, titrasi dilakukan secara terbalik. Larutan

KMnO4 yang akan dicari konsentrasinya diletakkan pada buret, sedangkan larutan

standar asam oksalat ditempatkan pada erlenmeyer. Hal ini dilakukan agar lebih mudah

dalam mengamati perubahan warna yang terjadi karena reaksi/ perubahan warna yang

terjadi berjalan tidak terlalu cepat/ lambat.

Dalam percobaan ini juga ditambahkan asam sulfat ke dalam asam oksalat.

Kegunaannya adalah sebagai pemberi suasana asam dan untuk mempercepat laju reaksi.

Asam sulfat yang berfungsi sebagai pemberi suasana asam tidak dapat digantikan oleh

asam-asam yang lain seperti HCl, HI, HBr, atau HNO3 karena asam tersebut (HCl, HI,

HBr) akan dioksidasi sendiri oleh KMnO4. Sedangkan HNO3 tidak dapat digunakan

karena HNO3 sendiri merupakan oksidator.

2. Stoikiometri reaksi logam Cu dengan garam Fe (III)

Page 8: Documentk4

Reaksi :

Reaksi I : jika Cu+ yang terjadi

Fe3+ + e- Fe2+

Cu Cu+ + e-

Fe3+ + Cu Fe2+ + Cu+

Reaksi II : jika Cu2+ yang terjadi

2 Fe3+ + 2 e- 2 Fe2+

Cu Cu2+ + 2 e-

2 Fe3+ + Cu 2 Fe2+ + Cu2+

Reaksi pada proses titrasi Fe2+ dengan KMnO4

Fe2+ Fe3+ + e- x 5

MnO4- + 8H+ + 5e Mn2+ + 4H2O x 1

5Fe2+ + MnO4- + 8H+ 5Fe3+ + Mn2+ + 8H2O

Dari reaksi terlihat bahwa : 1 mol Fe2+ = 1 grek Fe2+

1 mol MnO4- = 5 grek MnO4

-

Sesuai dengan konsep mol, titik ekivalen dicapai bila :

Grek penitran = grek yang dititrasi grek MnO4- = grek Fe2+

Maka dapat disimpulkan : 1 mol MnO4- sebanding dengan 5 mol Fe2+

N = 5 M

N1V1 = N2V2 N .V = N .V

Titrasi 1

N x 25 mL = 0,1 N x 15 mL

N = 0,06 N

Titrasi 2

N x 25 mL = 0,1 N x 15,1 mL

N = 0,0604 N

N rata-rata = = 0,0602 N 0,06 N

Dalam 100 mL larutan grek Fe2+ = N rata-rata

= 0,06 N = 6 x 10-3 grek

Karena 1 mol Fe2+ sama dengan 1 grek Fe2+ maka mol Fe2+ = 6 x 10-3 mol = 6 mmol

Seperti dalam percobaan standardisasi KMnO4, dalam percobaan ini titrasi juga

dilakukan secara terbalik untuk mempermudah dalam pengamatan perubahan warna.

Selain itu juga digunakan asam sulfat yang berfungsi sebagai pemberi suasana asam dan

mempercepat laju reaksi. Penetapan ion Fe2+ dengan larutan standar KMnO4 harus

Page 9: Documentk4

dilakukan dalam suasana asam karena pada suasana basa/ netral, sebagian KMnO4

diubah menjadi MnO2 yang menyebabkan larutan berwarna coklat dan menyulitkan

dalam penentuan titik akhir titrasi.

Pada percobaan ini, campuran logam Cu dan garam Fe (III) dipanaskan.

Fungsinya adalah untuk mempercepat laju reaksi karena reaksi antara logam Cu dan

garam Fe (III) merupakan reaksi yang berjalan secara lambat. Sedangkan tujuan gelas

beker ditutup (dengan gelas arloji) adalah agar tidak ada zat-zat yang keluar/masuk yang

mungkin dapat mengganggu reaksi. Contohnya, dalam udara terbuka, Cu dapat

bersenyawa dengan oksigen membentuk CuO.

3. Menghitung harga r

Cu yang bereaksi sebesar 0,05 gram.

mol Cu = = = 7,867 x 10-4 mol 0,79 mmol

r = = = = 7,59

Dari hasil perhitungan, didapat harga r sebesar 7,59. Hal ini tidak sesuai dengan

teori yang menyatakan harga r sebesar 1 sampai dengan 2. Harga r yang tidak sesuai

dengan teori ini mungkin dikarenakan reaksi yang terjadi belum sempurna sehingga

masih ada sebagian logam Cu yang belum bereaksi. Jika semua logam Cu telah

bereaksi, maka mol Cu akan lebih besar. Akibatnya, faktor pembagi (penyebut) dalam

nilai r akan lebih besar sehingga nilai r akan lebih kecil (semakin mendekati nilai 1-2).

Kemungkinan yang lain adalah kesalahan dalam pengamatan atau alat dan bahan yang

sudah tidak sesuai standar.

4. Perbandingan [Cu + ] dan [Cu 2+ ]

Menurut teori, untuk mengetahui reaksi mana yang lebih banyak terjadi,

digunakan data potensial elektroda standar.

Reaksi I : jika Cu+ yang terjadi

Fe3+ + e- Fe2+ Eo = - 0,520 V

Cu Cu+ + e- Eo = + 0,771 V

Fe3+ + Cu Fe2+ + Cu+ Eo = + 0,251 V

Reaksi II : jika Cu2+ yang terjadi

2 Fe3+ + 2 e- 2 Fe2+ Eo = - 0,337 V

Cu Cu2+ + 2 e- Eo = + 0,771 V

2 Fe3+ + Cu 2 Fe2+ + Cu2+ Eo = + 0,434 V

Page 10: Documentk4

Dari harga potensial elektroda standar (Eo), keduanya bernilai positif. Karenanya, kedua

reaksi di atas dapat dimungkinkan terjadi/berlansung. Akan tetapi, potensial elektroda

reaksi II lebih besar dari pada reaksi I, sehingga dapat disimpulkan reaksi II lebih

banyak terjadi.

= = = 0,848

Dari hasil perhitungan di atas diketahui nilai perbandingan konsentrasi Cu+ : Cu2+

sebesar 0,8 : 1 yang berarti konsentrasi Cu2+ yang terbentuk lebih banyak dari pada Cu+

yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan Cu2+ lebih banyak

terbentuk dibandingkan Cu+.

Page 11: Documentk4

F. KESIMPULAN

1. Konsentrasi larutan KMnO4 standar adalah 0,02 M.

2. Kuantitas Fe2+ rata-rata sebesar 6 mmol.

3. Kuantitas Cu yang bereaksi sebesar 0,79 mmol.

4. Nilai r sebesar 7,59.

5. Nilai sebesar 0,848

6. Cu2+ yang terbentuk lebih banyak dari pada Cu+ yang terbentuk.

G. DAFTAR PUSTAKA

Brady, J.E., 1999, General Chemistry, Principle and Structure, Jilid 2, Bina Rupa

Aksara : Jakarta

Cotton and Wilkmson, 1989, Kimia Anorganik Dasar, Cetakan I, UI Press : Jakarta

Ebbing, Darrel, 1987, General Chemistry, Second Edition, Houghton Mifflin

Company : Massachusetts

Keenan, C.W., Kleinfelter, D.C., Wood, J.H., 1996, Ilmu Kimia untuk Universitas, Edisi

keenam, Jilid 1, Erlangga : Jakarta

Mudjiran, 2002, Diktat Kuliah Kimia Analitik, FMIPA UGM : Yogyakarta

id.wikipedia.com

Yogyakarta, 6 November 2007

Asisten Praktikan

Tita Dewi R. Fiby Achmad V.