Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KADAR Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic Antigen
(CEA) PADA PENDERITA KANKER PARU YANG TELAH MENDAPATKAN
KEMOTERAPI
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh : Dian Angelina
NIM : 145070101111025
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
TUGAS AKHIR
KADAR NEURON SPECIFIC ENOLASE (NSE) DAN CARCINOEMBRYONIC
ANTIGEN (CEA) PADA PENDERITA KANKER PARU YANG TELAH
MENDAPATKAN KEMOTERAPI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh :
Dian Angelina 145070101111025
Menyetujui untuk diuji:
Pembimbing-I, Pembimbing-II,
dr. Tri Wahju Astuti, M.Kes, Sp. P(K) dr. Desy Wulandari,M.Biomed,Sp.A
NIP. 196310221996012001 NIP. 2016078410212001
iii
HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS AKHIR
KADAR NEURON SPECIFIC ENOLASE (NSE) DAN CARCINOEMBRYONIC
ANTIGEN (CEA) PADA PENDERITA KANKER PARU YANG TELAH
MENDAPATKAN KEMOTERAPI
Oleh:
Dian Angelina
NIM : 145070101111025
Telah diuji pada
Hari : Selasa
Tanggal : 5 Juni 2018
dan dinyatakan lulus oleh:
Penguji-I
dr. Dicky Faizal Irnandi, Sp. And
NIP. 2012088704131001
Pembimbing-I./ Penguji-II, Pembimbing-II/ Penguji-III,
dr. Tri Wahju Astuti, M.Kes, Sp. P(K) dr. Desy Wulandari,M.Biomed,Sp.A
NIP. 196310221996012001 NIP. 2016078410212001
Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Kedokteran,
dr. Tri Wahju Astuti, M.Kes, Sp. P (K)
NIP. 196310221996012001
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dian Angelina
NIM : 145070101111025
Program Studi : S1 Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya. Apabila di kemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut
Malang, 30 Mei 2018
Yang membuat pernyataan,
Dian Angelina
NIM 145070101111025
v
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Tuhan YME yang telah memberi petunjuk dan
jalannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “Kadar
Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryoic Antigen (CEA) pada
Penderita Kanker Paru yang Mendapatkan Kemoterapi”. Tugas Akhir ini
merupakan karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang.
Dengan selesainya Tugas Akhir ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang terlibat membantu
menyelesaikan Tugas Akhir ini, terutama kepada :
1. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang.
2. dr. Triwahju Astuti, M.Kes., Sp.P(K) selaku Ketua Jurusan Program
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dan selaku dosen
pembimbing I yang senantiasa memberikan masukan dan nasehat.
3. dr. Desy Wulandari, M.Biomed, Sp, A selaku dosen pembimbing II yang
senantiasa memberikan masukan dan nasehat.
4. dr. Dicky Faizal Irnandi, Sp. And selaku penguji I yang senantiasa
memberikan masukan dan nasehat.
5. Segenap tim pengelola Tugas Akhir FKUB yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
6. Orang tua saya (dr. Djoko Indra Julius, M.si dan Tri Suprihatin) yang selalu
mendoakan, mendukung dan memberi semangat tanpa henti. Apho, Mbah
sumo, Mbah Uti, William Clarck Julius, Mami Floren, Bicky Satyra Indrawan
vi
dan seluruh keluarga yang juga selalu mendukung saya dan selalu menjadi
motivasi.
7. Achmad Rizki PAW, Karima, Nur Hudayana, Ditra dan teman-teman
seperjuangan skripsi Lab Paru dan teman mondar mandir hingga
selesainya skripsi ini.
8. Arbi Rizal Fathoni, Tri Kurnia Lestari, Faisal Ramadan, Dyah Ayu
Puwitasari, Ursula Angelica Wauran, Yohana Hillary Theresia, teman-
teman seangkatan 2014, PBL 2.06, HMPD Bidang 5 dan teman-teman
yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang membantu memberi
semangat dan bantuan yang begitu besar hingga terselesaikannya Tugas
Akhir ini.
9. Kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas akhir ini
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan rahmat dan berkat kepada orang-
orang yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Penulis menyadari
bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna, baik dalam isi maupun cara
penyusunannya. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk kritik dan saran
yang dapat membangun dari semua pihak demi perbaikan di masa yang akan
datang. Semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan tambahan pengetahuan
dan wawasan yang bermanfaat bagi pembaca.
Malang, 24 Juli 2018
Penulis
vii
ABSTRAK
Angelina, Dian. 2018. Kadar Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic antigen (CEA) pada Penderita Kanker Paru yang Telah Mendapatkan Kemoterapi. Tugas Akhir, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) dr. Tri Wahju Astuti, M.Kes, Sp.P(K) (2) dr. Desy Wulandari , M.Biomed, Sp.A.
Kanker paru merupakan penyebab utama mortalitas yang diakibatkan oleh kanker, baik pada pria maupun wanita di dunia. Prevalensi kanker paru menempati urutan kedua setelah kanker prostat pada pria dan kanker payudara pada wanita. Kanker paru berhubungan dengan kerusakan DNA sel sehingga meningkatkan pertumbuhan sel ganas. Pada penderita kanker, dihasilkan zat untuk merespon kondisi tersebut seperti Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic antigen (CEA). Penelitian ini menggunakan studi kohort, yang dilakukan pada
penderita kanker paru yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, berobat di poli paru, dan rawat inap RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Penelitian dilakukan pada 16 pasien yang belum pernah mendapatkan kemoterapi sebelumnya, kemudian diikuti dari awal hingga kemoterapi lengkap siklus ke 3 dan ke 6. Dimana setelah selesai tiap siklusnya kembali di cek kadar CEA dan NSE. Analisis data menggunakan metode Wilcoxon dengan hasil p = 0.004 untuk kadar NSE sebelum di kemoterapi dengan kadar NSE setelah dikemoterapi 6 siklus, p = 0.15 untuk kadar CEA sebelum dikemoterapi dengan kadar CEA setelah dikemoterapi 6 siklus, menunjukan perubahan kadar NSE dan CEA yang signifikan pada hasil akhir kemoterapinya. Kesimpulan penelitian ini adalah kemoterapi memiliki potensi untuk menurunkan kadar Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic antigen (CEA) pada pasien kanker paru.
Kata kunci: kanker paru, kemoterapi, Neuron Specific Enolase (NSE),
Carcinoembryonic antigen (CEA)
viii
ABSTRACT
Angelina, Dian. 2018. Level of Neuron Specific Enolase (NSE) and Carcinoembryonic antigen (CEA) in Patient with Lung Cancer that Gain Chemotherapy. Final Assignment, Medical Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University. Supervisors: (1) dr. Tri Wahju Astuti, M.Kes, Sp.P(K) (2) dr. Desy Wulandari , M.Biomed, Sp.A.
Lung cancer is the leading cause of cancer-induced mortality, both in men and women in the world. The prevalence of lung cancer stays second after prostate cancer in men and breast cancer in women. Lung cancer is linked to cellular DNA damage that increases cell growth. In patients with cancer, it is sterilized to respond to such conditions as Neuron Specific Enolase (NSE) and Carcinoembryonic antigen (CEA). This study used a cohort study, conducted on lung cancer patients who have met the inclusion and exclusion criteria, treated in pulmonary poly, and hospitalization at RSUD dr. Saiful Anwar Malang. The study was conducted in 16 patients who had never received chemotherapy before, then followed from the beginning to complete chemotherapy cycles to 3 and 6. Where after completion of each cycle, recheck the levels of CEA and NSE. Data analysis using Wilcoxon method with result p = 0.004 for NSE levels before chemotherapy with NSE levels after 6-cycle chemotherapy, p = 0.15 for CEA levels before chemotherapy with CEA levels after 6-cycle chemotherapy, showed significant change of NSE and CEA levels on yield end of chemotherapy. The conclusion of this study is that chemotherapy has the potential to decrease levels of Neuron Specific Enolase (NSE) and Carcinoembryonic antigen (CEA) in lung cancer patients.
Keywords: Lung Cancer, Chemoteraphy, Neuron Specific Enolase (NSE), Carcinoembryonic antigen (CEA)
ix
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ................................................................................................ i
Halaman Persetujuan ...................................................................................... ii
Halaman Pengesahan .................................................................................... iii
Pernyataan Keaslian Tulisan ........................................................................... iv
Kata Pengantar ............................................................................................... v
Abstrak ............................................................................................................ vii
Abstract ........................................................................................................... viii
Daftar Isi .......................................................................................................... ix
Daftar Gambar ................................................................................................ xi
Daftar Tabel ..................................................................................................... xii
Daftar Singkatan ............................................................................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum .............................................................. 3
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 4
1.4.1 Manfaat Akademis ....................................................... 4
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Paru .................................................................................. 5
2.1.1 Etiologi dan Faktor Resiko ................................................... 5
2.1.2 Patogenesis.......................................................................... 5
2.1.3 Klasifikasi Kanker Paru ........................................................ 6
2.1.4 Presentasi Klinis ................................................................... 7
2.1.5 Diagnosis ............................................................................. 8
2.1.6 Staging ................................................................................. 9
2.1.7 Terapi ................................................................................... 10
2.1.7.1 Kemoterapi ............................................................. 10
2.1.7.2 Pemilihan obat ........................................................ 12
2.1.7.3 Lama Pengobatan .................................................. 13
2.1.8 Respon RECIST .................................................................. 14
x
2.1.9 Prognosis ............................................................................ 15
2.2 Petanda Tumor............................................................................... 15
2.2.1 Fungsi Petanda Tumor ....................................................... 18
2.2.2 Macam-macam ................................................................... 19
2.3 NSE ................................................................................................ 20
2.3.1 Peran NSE pada kanker paru ............................................. 21
2.4 CEA ................................................................................................ 22
2.4.1 Peran CEA pada kanker paru ............................................. 26
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep .......................................................................... 28
3.2 Hipotesis Penelitian ....................................................................... 31
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Design Penelitian .......................................................................... 32
4.2 Subjek dan Sample Penelitian ...................................................... 32
4.2.1 Subjek Penelitian ................................................................ 32
4.2.2 Sampel Penelitian ............................................................... 32
4.3 Cara Pengambilan Data ................................................................. 33
4.4 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 34
4.5 Variabel Penelitian ......................................................................... 34
4.6 Definisi Operasional ...................................................................... 34
4.7 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 35
4.8 Prosedur Penelitian ........................................................................ 36
4.9 Pengolahan Data ........................................................................... 36
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Data Karakteristik .......................................................................... 37
5.2 Analisa Data ................................................................................... 38
BAB 6 PEMBAHASAN .................................................................................... 45
6.1 Kadar NSE setelah Kemoterapi ..................................................... 46
6.2 Kadar CEA setelah Kemoterapi ..................................................... 46
6.3 kadar NSE dan CEA berdasarkan hasil RECIST .......................... 48
BAB 7 PENUTUP
7.1 Kesimpulan .................................................................................... 50
7.2 Saran ............................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Penggolongan kanker paru berdasarkan stahing TNM ............. 9
Gambar 2.2 Proses Karsinogenesis, menunjukan keuntungan
dari mengidentigikasi biomarker ................................................. 16
Gambar 3.1 Kerangka konsep ........................................................................ 28
Gambar 4.1 Bagan Alur Penelitian .................................................................. 36
Gambar 5.1 Kadar NSE berdasarkan RECIST pada penderita kanker
paru sebelum mendapatkan kemoterapi, setetelah
mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6 ......................... 40
Gambar 5.1 Kadar CEA berdasarkan RECIST pada penderita kanker
paru sebelum mendapatkan kemoterapi, setetelah
mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6 ......................... 41
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Karakteristik data dasar 16 penderita kanker paru ......................... 37
Tabel 5.2 Kadar NSE sebelum kemoterapi, setelah kemoterapi
siklus ke 3 dan ke 6 ........................................................................ 38
Tabel 5.3 Kadar CEA sebelum kemoterapi, setelah kemoterapi
siklus ke 3 dan siklus ke 6 .............................................................. 39
Tabel 5.4 Kadar NSE berdasarkan RECIST pada penderita kanker paru
sebelum kemoterapi, setelah mendapatkan kemoterapi siklus
ke 3 dan ke 6 ................................................................................... 39
Tabel 5.4 Kadar CEA berdasarkan RECIST pada penderita kanker paru
sebelum kemoterapi, setelah mendapatkan kemoterapi siklus
ke 3 dan ke 6 ................................................................................... 41
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AJCC : American Joint Committee on Cancer
ATH : Angka Tahan Hidup
AUC : Area Under the Curve
CA 125 : Cancer Antigen 125
CEA : Carcinoembryonic antigen
Co I / II : Cobalt (I) / (II)
CR : Complete Response
CSF : Cerebrospinal Fluid
CTGF : Connective Tissue Growth Factor
CYFRA 21-1 : Cytokeratin-19 Fragments
EGFR : Epidermal Growth Factor Receptor
FGF : Fibroblast Growth Factor
FN : Fibronectin
GLOBOCAN : Global Burden of Cancer Study
HCG : Human Chorionic Gonadotropin
IARC : International Agency for Research
IL-6 : Interleukin 6
IUAC : International Union Against Cancer
LOX : Lipoxygenase
LPA : Lipoprotein (A)
MMPs : Matrix Metalloproteinase
MTTH : Masa Tengah Tahan Hidup
NSCLC : Non Small Cell Lung Cancer
NSE : Neuron Specific Enolase
PD : Progressive Disease
xiv
PDGF : Platelet Derived Growth Factor
PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PR : Partial Response
proGRP : Progastrin Releasing Peptide
PSA : Prostate Specific Antigen
RECIST : Response Evaluation Criteria in Solid Tumor
ROS : Reactive Oxygen Species
RR : Response Rate
RSSA : RSUD dr. Saiful Anwar Malang
SCCA : Squamous Cell Carcinoma Antigen
SCLC : Small Cell Lung Cancer
SD : Stable Disease
TBLB : Transbronchial Lung Biopsy
TBNA : Transbronchial Needle Aspiration
TGF : Transforming Growth Factor
TIMPS : Tissue Inhibitors of Metalloproteinases
TTB : Transthoraxic Biopsy
TTP : Time to Progressive
USG : Ultrasonograpphy
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
WHO : World Health Organization
ABSTRAK
Angelina, Dian. 2018. Kadar Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic antigen (CEA) pada Penderita Kanker Paru yang Telah Mendapatkan Kemoterapi. Tugas Akhir, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) dr. Tri Wahju Astuti, M.Kes, Sp.P(K) (2) dr. Desy Wulandari , M.Biomed, Sp.A.
Kanker paru merupakan penyebab utama mortalitas yang diakibatkan oleh kanker, baik pada pria maupun wanita di dunia. Prevalensi kanker paru menempati urutan kedua setelah kanker prostat pada pria dan kanker payudara pada wanita. Kanker paru berhubungan dengan kerusakan DNA sel sehingga meningkatkan pertumbuhan sel ganas. Pada penderita kanker, dihasilkan zat untuk merespon kondisi tersebut seperti Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic antigen (CEA). Penelitian ini menggunakan studi kohort, yang dilakukan pada penderita kanker paru yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, berobat di poli paru, dan rawat inap RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Penelitian dilakukan pada 16 pasien yang belum pernah mendapatkan kemoterapi sebelumnya, kemudian diikuti dari awal hingga kemoterapi lengkap siklus ke 3 dan ke 6. Dimana setelah selesai tiap siklusnya kembali di cek kadar CEA dan NSE. Analisis data menggunakan metode Wilcoxon dengan hasil p = 0.004 untuk kadar NSE sebelum di kemoterapi dengan kadar NSE setelah dikemoterapi 6 siklus, p = 0.15 untuk kadar CEA sebelum dikemoterapi dengan kadar CEA setelah dikemoterapi 6 siklus, menunjukan perubahan kadar NSE dan CEA yang signifikan pada hasil akhir kemoterapinya. Kesimpulan penelitian ini adalah kemoterapi memiliki potensi untuk menurunkan kadar Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic antigen (CEA) pada pasien kanker paru.
Kata kunci: kanker paru, kemoterapi, Neuron Specific Enolase (NSE),
Carcinoembryonic antigen (CEA)
ABSTRACT
Angelina, Dian. 2018. Level of Neuron Specific Enolase (NSE) and Carcinoembryonic antigen (CEA) in Patient with Lung Cancer that Gain Chemotherapy. Final Assignment, Medical Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University. Supervisors: (1) dr. Tri Wahju Astuti, M.Kes, Sp.P(K) (2) dr. Desy Wulandari , M.Biomed, Sp.A.
Lung cancer is the leading cause of cancer-induced mortality, both in men and women in the world. The prevalence of lung cancer stays second after prostate cancer in men and breast cancer in women. Lung cancer is linked to cellular DNA damage that increases cell growth. In patients with cancer, it is sterilized to respond to such conditions as Neuron Specific Enolase (NSE) and Carcinoembryonic antigen (CEA). This study used a cohort study, conducted on lung cancer patients who have met the inclusion and exclusion criteria, treated in pulmonary poly, and hospitalization at RSUD dr. Saiful Anwar Malang. The study was conducted in 16 patients who had never received chemotherapy before, then followed from the beginning to complete chemotherapy cycles to 3 and 6. Where after completion of each cycle, recheck the levels of CEA and NSE. Data analysis using Wilcoxon method with result p = 0.004 for NSE levels before chemotherapy with NSE levels after 6-cycle chemotherapy, p = 0.15 for CEA levels before chemotherapy with CEA levels after 6-cycle chemotherapy, showed significant change of NSE and CEA levels on yield end of chemotherapy. The conclusion of this study is that chemotherapy has the potential to decrease levels of Neuron Specific Enolase (NSE) and Carcinoembryonic antigen (CEA) in lung cancer patients.
Keywords: Lung Cancer, Chemoteraphy, Neuron Specific Enolase (NSE), Carcinoembryonic antigen (CEA)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker paru adalah tumor ganas penyebab kematian terbanyak di
dunia. Pada tahun 2015, 1.69 juta kematian dari 8.8 juta total kematian di dunia
disebabkan oleh kanker paru (WHO, 2015). Dengan jumlah kasus baru muncul
lebih dari 1.8 juta kasus kanker paru di dunia. Di antara pria, kanker paru
memiliki insidensi terbanyak yaitu 34.2 dari 100.000 per tahun. sedangkan
pada wanita menempati peringkat empat yaitu 13.6 dari 100.000 per tahun. Di
Indonesia kasus kanker paru sedang mengalami peningkatan yang cukup
drastis. Berdasarkan data GLOBOCAN (2012) didapatkan peringkat pertama
insiden kanker paru diidap oleh pria kemudian diikuti oleh kanker kolorektal,
prostat, dan liver dan peringkat kelima pada wanita, setelah kanker payudara,
serviks-uteri, kolorektal, dan ovarium. Kanker paru merupakan penyebab
utama kematian pada pria dan ketiga pada wanita setelah kanker payudara
dan serviks-uteri (IARC, 2012).
Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen. Perubahan
atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen
dan/atau kurang/hilangnya fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel
tumbuh dan berkembang tak terkendali. Dari berbagai penelitian telah dapat
dikenal beberapa onkogen yang berperan dalam proses karsinogenesis
kanker paru, antara lain gen myc, gen k-ras sedangkan kelompok gen tumor
suppresor antara lain, gen p53, gen rb. Kanker paru memerlukan penanganan
2
dan tindakan yang cepat dan terarah (PDPI, 2003). Kemoterapi sebagai salah
satu pengobatan yang diberikan pada penderita kanker pada stadium dini
maupun lanjut. Pemberian kemoterapi dapat diberikan dengan tujuan
pengobatan jika tampilan umum penderita baik (Karnofsky >60%; WHO 0-2)
maupun menjadi terapi paliatif pada penderita stadium lanjut. Umumnya
kemoterapi dapat diberikan sampai 3-6 siklus, atau sampai penderita
menunjukkan respon yang memadai. Kemoterapi membunuh atau
menghambat pertumbuhan pada sel-sel kanker. Kemoterapi tidak sebatas
membunuh sel kanker, tetapi juga memberi pengaruh pada sel-sel normal
lainnya seperti lapisan epitel, sumsum tulang tempat produsi sel darah, folikel
rambut dan sel-sel yang berkembang lainnya sehingga memunculkan respon
yang beragam (Ritter et al., 2008).
Saat ini diketahui kemoterapi juga memberikan pengaruh terhadap
perubahan kimiawi dalam tubuh manusia. Pengujian biokimia laboratorik
sangat membantu penatalaksanaan penderita kanker, termasuk diantaranya
dalam penatalaksanaan penderita kanker paru. Beberapa kanker dihubungkan
dengan abnormalitas produksi enzim, protein, dan hormon yang dapat diukur
di dalam plasma atau serum (Molina, 2006). Dalam memantau efek dari
kemoterapi pada kanker paru, dikembangkan pemeriksaan petanda tumor
yang ideal yang dapat memberikan petunjuk tentang perkembangan dan
evaluasi pengobatan yaitu Neuron Specific Enolase (NSE) dan
Carcinoembryonic antigen (CEA) (Ferrigno, 1994).
Pada penelitian sebelumnya, dilakukan pengukuran kadar NSE dan
terjadi peningkatan sebesar 70% pada penderita kelompok Small Cell Lung
Cancer (SCLC). Pengukutan NSE berguna dalam pemantauan lanjut penderita
3
kanker paru kelompok SCLC (Johnson, 1984). Menurut penelitian
sebelumnya, ditemukan kadar CEA serum mengalami peningkatan sekitar
63,4% pada penderita NSCLC. CEA dapat digunakan sebagai evaluasi terapi
stadium lanjut dan mendeteksi kekambuhan (Nair, 2015).
Di Indonesia, belum ada data penelitian tentang pemeriksaan serial
atau berkala dari NSE dan CEA dalam evaluasi pengobatan kanker paru. Oleh
karena itu penelitian ini bertujuan untuk memantau kadar NSE dan CEA serial
pada penderita kanker paru selama kemoterapi.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedann kadar Neuron Specific Enolase (NSE) dan
Carcinoembryonic antigen (CEA) pada penderita Kanker Paru di RSSA yang
telah mendapatkan kemoterapi ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan kadar Neuron Specific Enolase (NSE) dan
Carcinoembryonic antigen (CEA) pada penderita kanker paru yang telah
mendapatkan kemoterapi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis apakah terdapat perbedaan kadar Neuron Specific
Enolase (NSE) pada penderita kanker paru sebelum dan sesudah
mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6.
2. Menganalisis apakah terdapat perbedaan kadar Carcinoembryonic
antigen (CEA) pada penderita kanker paru sebelum dan sesudah
mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6.
4
3. Menganalisis apakah terdapat perbedaan kadar Neuron Specific
Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic antigen (CEA) berdasarkan
Response Evaluate in Solid Tumor (RECIST) pada penderita kanker
paru sebelum dan sesudah mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan
ke 6.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Memberikan pengetahuan mengenai penyakit kanker paru,
kemoterapi dan tumor marker serta menjadi acuan untuk pengembangan
ilmu kedokteran bagian pulmonologi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Menggunakan perhitungan kadar Neuron Specific Enolase (NSE)
dan Carcinoembryonic antigen (CEA) untuk mengevaluasi kemoterapi dan
follow up penderita kanker paru di RSSA.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Paru
2.1.1 Etiologi dan Faktor Resiko Kanker Paru
Sebagian besar (85-90%) dari kasus kanker paru berhubungan dengan
merokok, sehingga telah dilakukan banyak penelitian intensif yang
mengidentifikasi ratusan karsinogen yang terkandung pada asap rokok. Meskipun
risiko untuk kanker paru menurun secara signifikan setelah berhenti merokok,
penurunan risiko penyakit secara keseluruhan memakan waktu bertahun-tahun
dan risiko individual tidak pernah kembali seperti seorang yang tidak pernah
merokok. Dengan dasar penemuan di atas adalah wajar bahwa pencegahan
utama kanker paru berupa upaya memberantas kebiasaan merokok dan
menghentikan seorang perokok aktif adalah sekaligus menyelamatkan lebih dari
seorang perokok pasif (PDPI, 2003; Balkissoon, 2006).
Faktor lingkungan lain seperti gas radon, asbestos, metal, polusi udara dan
lain-lain juga dapat berkontribusi pada perkembangan kanker paru. Dari catatan
khusus, banyak dari eksposur, ketika digabungkan dengan merokok,
menyebabkan peningkatan eksponensial dalam risiko terkena kanker paru.
Misalnya, perokok dengan paparan asbes memiliki 50-100 kali peningkatan risiko
terjadi kanker paru (Balkissoon. 2006).
2.1.2 Patogenesis Kanker Paru
Seperti penyakit kanker lainnya, kanker paru dimulai oleh aktivasi onkogen
dan inaktivasi gen supresor tumor. Onkogen merupakan suatu gen yang diyakini
6
sebagai penyebab seseorang cenderung terkena kanker. Proto-onkogen berubah
menjadi onkogen apabila terpapar karsinogen spesifik. Mutasi yang terjadi pada
proto-onkogen K-ras menyebabkan adenokarsinoma paru sampai 10-30%.
Epidermal Growth Factor Reseptor (EGFR) mengatur prolifersi sel, apoptosis,
angiogenesis, serta invasi tumor. Mutasi serta berkembangnya EGFR sering
dijumpai pada kanker paru non-small cell sehingga menjadikan dasar terapi
menggunakan penghambat EGFR. Kerusakan kromosom menyebabkan
kehilangan sifat keberagaman heterezigot, menyebabkan inaktivasi gen supresor
tumor. Kerusakan kromosom 3p, 5q, 13q dan 17p paling sering menyebabkan non-
small cel lung cancer. Gen p53 tumor supresor berada di kromosom 17p yang
didapatkan 60-75% dari kasus. Gen gen lainnya yang sering bermutasi dan
berkembang ialah c-Met, NKX2-1, LKB1, PIK3CA dan BRAF (Jhon, 2005).
Sejumlah gen polimorfik berkaitan dengan kanker paru, termasuk gen
polimorfik yang mengkode interleukin-1, sitokrom P450, caspase-8 sebagai
pencetus apoptosis serta XRCC1 sebagai molekul DNA repair. Individu yang
terdapat gen polimorfik seperti ini lebih sering terkena kanker paru apabila terpapar
zat karsinogenik (Jhon, 2005).
2.1.3 Klasifikasi Kanker Paru
Kanker paru terdiri dari sejumlah keganasan tertentu, kebanyakan
klasifikasi, termasuk yang diajukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia WHO,
kanker paru dibagi menjadi empat jenis utama: skuamosa atau epidermoid,
adenokarsinoma, karsinoma sel besar (large-cell carcinoma), dan karsinoma sel
kecil (small-cell carcinoma). Dengan pengecualian jenis karsinoma sel kecil,
klasifikasi ini yang kurang prediktif untuk menentukan perilaku tumor. Oleh karena
7
itu, para ahli membagi kanker paru menjadi small cell lung cancer (SCLC) dan non
small cell lung cancer (NSCLC) (Bordow et al, 2005).
2.1.4 Presentasi Klinis
Penderita dengan karsinoma bronkogenik dapat hadir dalam berbagai
bentuk, termasuk (1) asimtomatik; (2) gejala lokal (3) gejala metastatik, dan (4)
gejala sindrom paraneoplastik. Jenis histologis kanker paru-paru, tempat asal
(saluran napas sentral atau perifer), aktivitas biologis yang melekat pada
neoplasma, dan kondisi komorbiditas semua menentukan bagaimana presentasi
klinis penderita (Bordow, 2005).
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di
otak, pembesaran hepar atau patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang tidak
khas seperti berat badan berkurang, nafsu makan hilang, demam hilang timbul dan
sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy",
trombosis vena perifer dan neuropatia (PDPI. 2003).
Hanya 25 sampai 40% dari penderita datang dengan penyakit tahap awal
yang berpotensi dioperasi. Dari jumlah tersebut, sekitar 20% hadir dengan
kelainan insidental ditemukan pada radiograf dada. Sisanya dengan penyakit
tahap awal hadir dengan tanda-tanda dan gejala pertumbuhan tumor lokal,
termasuk batuk, dyspnea, mengi, atau hemoptisis. Selain itu, penderita mungkin
hadir dengan sputum purulen, demam, dan menggigil akibat pneumonia post
obstructive (Bordow, 2005).
Penderita dengan penyakit metastatik biasanya memiliki gejala umum
malaise dan anoreksia dengan atau tanpa penurunan berat badan. Gejala-gejala
8
lain tergantung pada tempat dari metastasis. Tempat yang paling umum adalah
kelenjar getah bening supraklavikula, leher rahim, otak, tulang, hati, dan kelenjar
adrenal. Beberapa penderita hadir dengan tanda-tanda atau gejala sindrom
paraneoplastik. Mereka dapat dibagi menjadi lima kategori: (1) metabolisme
endokrin-, (2) neuromuskuler; (3) hematologi-vaskular; (4) dermatologi, dan (5)
jaringan skeletal dan ikat (Bordow, 2005).
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis kanker paru membutuhkan penggunaan teknik diagnostik yang
logis. Pendekatan ini harus mengkonfirmasi bahwa lesi intrathoracic merupakan
kanker, menentukan jenis sel, dan akurat menentukan luasnya penyakit dengan
cara yang kurang invasif.
Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang
mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta
penentuan stadium penyakit berdasarkan system TNM. Pemeriksaan radiologi
paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, bone scan, bone
survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan,
ukuran tumor dan metastasis.
Pemeriksaan khusus meliputi bronkoskopi, biopsi aspirasi jarum,
Transbronchial Needle Aspiration (TBNA), Transbronchial Lung Biopsy (TBLB),
Transthoraxic Biopsy (TTB), Sitologi sputum.
Pemeriksaan invasif lain diindikasikan pada kasus kasus yang rumit
meliputi antara lain Torakoskopi dan tindakan bedah mediastinoskopi, torakoskopi,
torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka dibutuhkan agar diagnosis dapat
ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara
9
pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak dapat
ditegakkan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat
ditentukan jenis histologis, derajat (staging) dan tampilan (tingkat tampil,
"performance status"), sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan
kondisi penderita.
Pemeriksaan lain meliputi petanda tumor, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE
dan lainnya tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan
evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin
berkembang, cara paling sederhana dapat menilai ekspresi beberapa gen atau
produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti protein p53, bcl2, dan lainnya.
Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukan prognosis
penyakit (PDPI, 2005).
2.1.6 Staging
Pembagian stadium klinis kanker paru berdasarkan sistem TNM menurut
International Union Against Cancer (IUAC)/The American Joint Comittee on
Cancer (AJCC) 2009 adalah sebagai berikut (gambar 2.1)
Gambar 2.1 Penggolongan Kanker Paru berdasarkan Staging TNM (edisi 7)
10
2.1.7 Terapi
Pengobatan kanker paru dengan terapi modalitas kombinasi. Meliputi
pembedahan, kemoterapi, radioterapi. Kenyataannya pada saat pemilihan terapi,
sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis, derajat dan tampilan
penderita saja tetapi juga kondisi non-medis seperti fasilitas yang dimiliki rumah
sakit dan ekonomi penderita juga merupakan faktor yang amat menentukan (PDPI,
2003).
2.1.7.1 Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru Small Cell Lung
Cancerr (SCLC) dan beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif
untuk kanker paru Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) stage lanjut. Tujuan
pemberian kemoterapi paliatif adalah mengurangi atau menghilangkan gejala yang
diakibatkan oleh perkembangan sel kanker tersebut sehingga diharapkan akan
dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Tetapi akhir-akhir ini berbagai
penelitian telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk NSCLC sebagai upaya
memperbaiki prognosis, baik sebagai modalitas tunggal maupun bersama modaliti
lain, yaitu radioterapi dan/atau pembedahan.
Indikasi pemberian kemoterapi pada kanker paru ialah:
1. Penderita kanker paru jenis Small Cell Lung Cancer (SCLC) tanpa atau
dengan gejala.
2. Penderita kanker paru jenis Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) yang
inoperabel (stage IIIB & IV), jika memenuhi syarat dapat dikombinasi
dengan radioterapi, secara konkuren, sekuensial atau alternating
kemoradioterapi.
11
3. Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru jenis
Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) stage I, II dan III yang telah
dibedah.
4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA dan
beberapa kasus stage IIIB yang akan menjalani pembedahan. Dalam
hal ini kemoterapi merupakan bagian terapi multimodaliti.
Penderita yang akan mendapat kemoterapi terlebih dahulu harus menjalani
pemeriksaan dan penilaian, sehingga terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Diagnosis histologis telah dipastikan Pemilihan obat yang digunakan
tergantung pada jenis histologis. Oleh karena itu diagnosis histologis
perlu ditegakkan. Untuk kepentingan itu dianjurkan menggunakan
klasifikasi histologis menurut WHO tahun 1997. Apabila ahli patologi
sulit menentukan jenis yang pasti, maka bagi kepentingan kemoterapi
minimal harus dibedakan antara:
• Jenis karsinoma SCLC
• Jenis karsinoma NSCLC, yaitu karsinoma sel skuamosa,
adenokarsinoma dan karsinoma sel besar
2. Tampilan/performance status menurut skala Karnofsky minimal 60 – 70
atau skala WHO 2
3. Pemeriksaan darah perifer untuk pemberian siklus pertama :
• Leukosit > 4.000/mm3
• Trombosit > 100.000/mm
• Hemoglobin > 10 g%. Bila perlu, transfusi darah diberikan
sebelum pemberian obat. Sedangkan untuk pemberian
siklus berikutnya, jika nilai-nilai di atas itu lebih rendah
12
maka beberapa jenis obat masih dapat diberikan dengan
penyesuaian dosis.
4. Sebaiknya faal hati dalam batas normal
5. Faal ginjal dalam batas normal, terutama bila akan digunakan obat yang
nefrotoksik. Untuk pemberian kemoterapi yang mengandung sisplatin,
creatinine clearance harus lebih besar daripada 70 ml/menit. Apabila nilai
ini lebih kecil, sedangkan kreatinin normal dan penderita tua sebaiknya
digunakan karboplatin (Jusuf, 2005).
2.7.1.2 PEMILIHAN OBAT
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih obat adalah mengetahui
efikasi dan toksisiti obat yang akan digunakan. Masing-masing obat mempunyai
keunggulan yang berbeda. Faktor-faktor untuk menilai efikasi obat antara lain:
Respons objektif dan subjektif (RR = response rate)
Masa bebas penyakit (TTP = time to progressive)
Masa tengah tahan hidup (MTTH = median survival rate)
Angka tahan hidup 1 tahun (ATH = 1-years survival).
Selain tergantung jenis histologis sel kanker, obat yang dipilih sebaiknya
obat yang mempunyai efek samping paling rendah. Pengobatan dengan dosis
suboptimal tidak memberikan hasil yang memuaskan sedangkan dosis yang
berlebihan memberi efek toksik yang lebih berat. Karena itu harus ditentukan dosis
optimal. Pada umumnya dosis obat ditentukan berdasarkan luas permukaan
badan, yang dapat diperhitungkan dari tinggi dan berat badan penderita. Bila
digunakan obat karboplatin, dosis perlu disesuaikan dengan kadar kreatinin atau
creatinine clearance, untuk menentukan area under the curve (AUC) tertentu.
13
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan lebih dari 1
jenis obat dalam paduan obat dengan mekanisme kerja yang berbeda.
Penggunaan obat baru (new agent atau second line drugs) dalam satu paduan
obat memberikan efikasi yang lebih baik, dan bahkan beberapa obat itu mulai diuji
coba untuk menjadi obat lini pertama. Beberapa obat sitostatik mempunyai efek
radiosensitisizer sehingga respons lokal radioterapi dapat ditingkatkan bila
diberikan secara konkuren, misalnya karboplatin, paklitaksel dan dosetaksel.
Tetapi Teknik pemberian sering memberikan efek samping yang mengganggu
penderita terutama esofagitis. Jenis obat lain untuk teknik pemberian
kemoradioterapi konkuren ini masih dalam uji klinis. Perlu diketahui berat ringan
toksisiti yang sering timbul akibat sebuah obat agar dapat difikirkan tindakan
antisipasi bila hal itu terjadi. Cara pemberian yang berkaitan dengan fasiliti rumah
sakit dan harga obat juga harus menjadi pertimbangan (PDPI, 2003).
2.7.1.3 LAMA PENGOBATAN
Sekali kemoterapi dimulai, maka perlu diberikan kesempatan yang
cukup kepada obat obat itu untuk bekerja. Karena itu pengobatan perlu diberikan
setidaktidaknya dua kali, sebelum ditentukan lebih lanjut berapa lama keseluruhan
pengobatan akan berlangsung. Evaluasi dilakukan setelah 2 – 3 siklus kemoterapi.
Pada umumnya kemoterapi dapat diberikan berturut-turut selama 3 – 6 siklus
dengan masa tenggang antara satu siklus ke siklus berikutnya 21 – 28 hari (3 – 4
minggu) tergantung pada jenis obat yang digunakan. Perlu diperhatikan, apabila
dosis maksimal untuk setiap obat telah tercapai pengobatan harus dihentikan.
Demikian pula bila penyakit menjadi progresif atau performance status menjadi
amat berkurang dan tidak kembali ke keadaan sebelum kemoterapi (Jusuf, 2005).
14
2.1.8 Evaluasi Respons kemoterapi berdasarkan RECIST
Evaluasi hasil kemoterapi harus dilakukan untuk memutuskan apakah
kemoterapi dapat atau tidak dapat diteruskan. Jika dapat diteruskan apakah
paduan obat yang digunakan sama atau perlu diganti dengan paduan obat yang
lain. Pada umumnya kemoterapi dapat diberikan sampai 3 – 6 siklus/sekuen, bila
penderita menunjukkan respons yang memadai. Hasil pengobatan 3 – 6 siklus
tidak berbeda secara signifikan tetapi pemberian 6 siklus dapat memperpanjang
masa progresivitas penyakit. Evaluasi respons terapi dilakukan dengan melihat
perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA setelah pemberian (siklus)
kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan menggunakan CT-scan toraks setelah
3 kali pemberian. Evaluasi dilakukan terhadap respons subyektif yaitu penurunan
keluhan klinik, respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan, bertambahnya
berat badan, respons obyektif dan efek samping obat.
Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan yang
memenuhi prinsip response evaluation criteria in solid tumor (RECIST) yaitu :
1. Respons komplit (CR = Complete Response) bila pada evaluasi
tumor hilang 100% dan keadaan in menetap lebih dari 4
minggu.
2. Respons sebagian (PR = Partial Response) bila pengurangan
ukuran tumor >50% tetapi <100%.
3. Menetap (SD = Stable Disease) bila ukuran tumor tidak berubah
atau mengecil > 25% tetapi <50%.
15
4. Tumor progresif (PD = Progresive Disease) bila terjadi
penambahan ukuran tumor <25% atau muncul tumor/lesi baru
di paru atau ditempat lain (Einsenhauer et al, 2009).
2.1.9 Prognosis
5-year survival rate kumulatif untuk kanker paru adalah 14% sebagian
besar didasarkan pada penderita yang hadir dengan stadium penyakit akhir (III
atau lebih). Kelangsungan hidup terbaik berkorelasi dengan stadium bedah-
patologis dan bervariasi dari 74% 5-year survival rate untuk tahap IA NSCLC dan
kira-kira 5% untuk NSCLC stadium IIIB. Kebanyakan penelitian besar telah gagal
untuk menemukan perbedaan signifikan dalam prognosis untuk berbagai jenis
NSCLC (Mason et al. 2005).
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada berbagai laporan beberapa
penanda molekuler yang dihubungkan dengan hasilnya/ prognosisnya. Beberapa
penanda yang paling dikenal antara lain termasuk K-Ras, reseptor faktor
pertumbuhan epitel, p53, p16, dan Bcl-2. Namun, dalam banyak kasus, hasilnya
bertentangan antara prognostik dengan hasil dari penanda molekul individu. Pada
saat ini, penanda molekuler individu banyak dipertimbangkan untuk diteliti tetapi
tidak menjadi bagian dari pengujian standar untuk implikasi nilai prognostik untuk
kanker paru (Mason et al. 2005).
2.2 Petanda Tumor
Setiap jenis sel memiliki tanda molekul yang unik, ini dikenal sebagai
petanda tumor, yang mana menggambarkan karakteristik seperti tingkat atau
jumlah maupun aktifitas dari gen (kemampuan gen atau protein untuk menjalankan
fungsi mereka), protein atau molekul lainnya (Ferrigno, 1994).
16
Petanda tumor dapat memfasilitasi tentang penjelasan penyakit secara
molekuler, memberikan prognosis informasi tentang perjalanan penyakit dan
memprediksi respon terhadap terapi. Lebih dari 11 juta orang didiagnosis dengan
kanker setiap tahun. Diperkirakan akan ada 16 juta kasus baru setiap tahun oleh
2020. Kanker adalah sekelompok penyakit yang melibatkan perubahan dalam
status dan ekspresi beberapa gen yang memberikan manfaat kelangsungan hidup
dan potensi proliferatif yang berkurang ke somatik atau sel germinal. Perubahan
terutama dalam tiga kelas utama yaitu gen. (Proto) onkogen, tumor supressor gen
dan DNA, perbaikan secara kolektif berkontribusi pada perkembangan kanker dan
fenotipe genotipe yang menghambat mekanisme kematian alami dan
melekat/tertanam dalam sel (seperti proses apoptosis), ditambah dengan
disregulasi peristiwa proliferasi sel (Gambar 2.2). Ada semakin banyak bukti yang
menunjukkan bahwa kanker ini juga didorong oleh perubahan epigenetik seperti
metilasi DNA dan pola histon bermodifikasi, yang menyebabkan perubahan dalam
status kondensasi kromatin yang mengatur ekspresi gen spesifik tertentu.
(Koepke, 1992).
Gambar 2.2 Proses karsinogenesis, menunjukkan keuntungan dari mengidentifikasi
biomarker.
17
Sel-sel kanker menampilkan spektrum yang luas dari perubahan genetik
yang mencakup penyusunan ulang gen, mutasi titik, dan amplifikasi gen,
menyebabkan gangguan pada jalur molekuler yang mengatur pertumbuhan sel,
kelangsungan hidup, dan metastasis. Saat perubahan tersebut terwujud dalam
mayoritas penderita dengan jenis tumor tertentu, ini dapat digunakan sebagai
petanda tumor untuk deteksi dan target terapi yang sedang berkembang, selain
memprediksi respon terhadap berbagai terapi yang diberikan (Pastor, 1997).
Petanda tumor adalah zat yang biasanya peptida, disekresikan oleh sel-sel
tumor. Zat-zat tersebut biasanya tidak ada dalam serum (atau dijumpai dalam
konsentrasi yang sangat rendah), karena mereka tidak disekresikan (atau
disekresikan dalam jumlah yang sangat kecil) oleh sel-sel normal (Ferrigno, 1994).
Petanda tumor diklasifikasikan dalam dua kelompok: cancer specific
markers dan tissue specific markers. Contoh cancer specific markers adalah CEA
atau antigen Carcinoembryonic. Petanda tumor adalah suatu substansi molekul
biokimia yang dihasilkan oleh sel tumor itu sendiri atau sel tubuh sebagai respons
terhadap sel tumor berupa protein, hormon dan antigen. Substansi biokimia
tersebut akan meningkat kadarnya dan masuk ke dalam darah sejalan dengan
makin berkembangnya sel-sel tumor dan kerusakan jaringan yang terjadi akibat
invasi tumor. Petanda tumor tidak hanya bisa dideteksi dalam darah tetapi juga
dalam urin atau jaringan tertentu bergantung jenis sel tumornya. Pengukuran
kadar petanda tumor saja tidak dapat digunakan langsung untuk memastikan
diagnosis, harus digunakan parameter lain yang menunjang karena banyak
petanda tumor ditemukan meningkat kadarnya pada jenis tumor jinak dan tidak
ada petanda tumor yang benar-benar spesifik untuk satu jenis kanker tertentu
(Pastor, 1997).
18
Secara umum petanda tumor adalah menggambarkan perubahan yang
dapat dideteksi dan mengindikasikan terdapatnya tumor, khususnya tumor ganas
atau kanker (Koepke, 1992).
Pemeriksaan petanda tumor yang paling sederhana adalah pemeriksaan
atau pengukuran konsentrasi serum marker. Kadarnya dalam darah atau cairan
tubuh lain berkorelasi dengan pertumbuhan tumor dapat diukur secara kuantitatif.
Fragment yang dapat menjadi marker untuk kanker paru adalah Carcinoembryonic
antigen (CEA), Neuron Specific Enolase (NSE), Cytokeratin-19 fragments (CYFRA
21-1) dan Squamous Cell Carcinoma Antigen (SCCA) (Pastor, 1997).
Petanda tumor dapat digunakan dengan tujuan untuk alat skrining populasi
yang sehat dan populasi dengan resiko tinggi, dapat menentukan diagnosis kanker
ataupun jenis kanker yang spesifik, dapat juga menentukan prognosis penderita
dan evaluasi terapi (Koepke, 1992).
2.2.1 Fungsi Petanda Tumor
Beberapa kegunaan dari petanda tumor :
1. Screening dan deteksi dini kanker
2. Menentukan prognosis beberapa kanker
Beberapa petanda tumor membantu untuk mengetahui agresivitas dari
kanker atau melihat respon dari beberapa obat.
3. Menentukan efektivitas pengobatan kanker
Satu dari beberapa fungsi paling penting dari petanda tumor adalah untuk
memonitoring penderita dari pengobatan kanker. Jika terjadi penurunan
dari petanda tumor mendekati normal setelah diberikan pengobatan,
menunjukan bahwa pengobatan yang dilaksanakan berjalan dengan baik
dan memberikan efek yang baik. Di sisi lain, jika terjadi peningkatan dari
19
petanda tumor, mungkin pengobatan tidak bekerja dan butuh perubahan
pengobatan yang lebih sesuai.
4. Mendeteksi rekurensi sel kanker
Petanda tumor juga digunakan untuk medekteksi rekurensi dari kanker
setelah pengobatan. Beberapa petanda tumor bisa berguna setelah
pengobatan telah selesai dan tidak ada efek kanker yang tertinggal. Seperti
PSA (untuk kanker prostat), HCG (untuk gestational trophoblastic tumours
dan germ cell tumours of ovaries & testicles) dan CA 125 (untuk kanker
epitel ovari) (Foa P, 1999).
2.2.2 Macam-Macam Petanda Tumor
Ada beberapa rumor marker yang digunakan dalam kasus kanker paru.
Diantaranya adalah:
1. Carcinoembryonic antigen (CEA)
CEA merupakan petanda tumor yang sering digunakan untuk
monitor penderita dengan kanker kolorektal selama pengobatan,
namun tidak bisa digunakan untuk screening dan diagnostik
Peningkatan kadar CEA saat diagnosis, biasanya menunjukan
penyakit yang berat
CEA juga dapat meningkat pada kanker paru, payudara, tiroid,
pankreas, hati, ovarium, dan kandung kemih
CEA juga dapat meningkat pada keadaan penyakit tidak kanker dan
pada perokok kronis.
2. Neuron Specific Enolase (NSE)
20
NSE adalah marker untuk tumor neuroendocrine seperti SCLC,
neuroblastoma dan carcinoid tumours.
NSE biasanya digunakan untuk follow up penderita dengan SCLC
atau neuroblastoma, walaupuan CgA merupakan maker yang
lebih baik untuk carcinoid tumours.
NSE tidak digunakan tuntuk screening.
Peningkatan dari NSE bisa ditemukan pada keadaan kanker yang
bukan neuroendocrine.
Pada beberapa penelitian yang ada petanda tumor yang dapat sensitif
meningkat pada kanker paru yaitu CEA untuk NSCLC dan NSE untuk SCLC.
Karena kanker paru biasanya terlihat pada foto toraks atau imaging lainnya,
petanda tumor masih belum diperhitungkan dalam perannya untuk follow up
(Cerny, 1987 ;Nisman, 1999 ;Ando, 2003).
2.3 Neuron Specific Enolase (NSE)
Enolase adalah enzim glikolitik yang mengkatalisis konversi 2-fosfogliserat
menjadi fosfoenolpiruvat. Enolase ada dalam bentuk beberapa isoenzim spesifik
jaringan, yang terdiri dari homo atau heterodimer dari 3 monomer-isoform yang
berbeda (alfa, beta, dan gamma). Neuron spesifik enolase (NSE) adalah gamma-
homodimer 78 kD dan merupakan enolase-isoenzim dominan yang ditemukan
dalam jaringan neuronal dan neuroendokrin. Kadarnya di jaringan lain, kecuali
eritrosit, dapat diabaikan. Waktu paruh biologis NSE dalam cairan tubuh adalah
sekitar 24 jam (Hatzakis, 2002).
Karena spesifisitas organ ini, konsentrasi NSE dalam serum atau, lebih
umum, cairan serebrospinal (CSF), sering meningkat pada penyakit yang
21
mengakibatkan penghancuran neuronal yang relatif cepat (jam / hari ke minggu,
bukan bulan ke tahun). Pengukuran NSE dalam serum CSF dapat membantu
diagnosis banding berbagai gangguan neuron-destruktif dan neurodegeneratif
(Foa P, 1999).
NSE juga sering dilebih-lebihkan oleh tumor-tumor neural crest-
derived. Hingga 70% penderita dengan SCLC mengalami peningkatan
konsentrasi serum NSE saat diagnosis, dan sekitar 90% penderita dengan SCLC
tingkat lanjut akan memiliki tingkat serum di atas rentang referensi yang
sehat. Tumor neuroendokrin lainnya dengan ekspresi NSE yang sering termasuk
carcinoids (hingga 66% kasus), tumor sel islet (biasanya <40% kasus), dan
neuroblastoma (frekuensi yang tepat dari ekspresi NSE tidak diketahui). Tingkat
NSE di neoplasma yang mensekresi NSE berkorelasi dengan massa tumor dan
aktivitas metabolik tumor. Jatuh atau naik tingkat sering berkorelasi dengan
penyusutan tumor atau kekambuhan, masing-masing (Wieskopf, 1995).
2.3.1 Peran Nauron Specific Enolase (NSE) PADA KANKER PARU
Pengukuran Neuron Specific Enolase (NSE) memiliki utilitas terbesar dalam tindak
lanjut penderita dengan tumor jenis apapun yang telah ditunjukkan untuk
mensekresi NSE. Dengan pengobatan yang berhasil, konsentrasi serum harus
turun dengan waktu paruh sekitar 24 jam. Peningkatan NSE persisten dengan
tidak adanya kemungkinan penyebab lain menunjukkan tumor persisten. Kenaikan
level menunjukkan penyebaran tumor, atau pada penderita yang sebelumnya
menjadi NSE negatif, kambuh (Akoun, 1985).
Dalam konteks penderita dengan massa paru-paru, keganasan disebarluaskan
asal tidak diketahui atau gejala sugestif penyakit paraneoplastik tanpa tumor yang
22
dapat diidentifikasi, peningkatan NSE menunjukkan karsinoma paru SCLC yang
mendasari (Johnson, D.H, 1984).
Pada penderita dengan suspek karsinoid, tumor sel islet, atau neuroblastoma,
yang tidak memiliki peningkatan yang jelas dalam penanda tumor primer yang
digunakan untuk mendiagnosis kondisi ini, peningkatan kadar NSE serum
mendukung kecurigaan klinis (Souhami, 1985).
2.4 Carcinoembryonic Antigen (CEA)
Proteome kanker mungkin berisi informasi tentang setiap proses biologis
yang berlangsung dalam sel kanker, mikro jaringan kanker, dan interaksi kanker,
sel dan lingkungan. Sel-sel kanker melepaskan banyak protein dan makromolekul
lainnya ke dalam cairan ekstra seluler melalui sekresi-yang juga bisa berfungsi
sebagai petanda tumor. Beberapa dari produk ini dapat berakhir dalam aliran
darah dan karenanya berfungsi sebagai petanda tumor serum yang potensial,
salah satunya adalah carcinoembryonic antigen (Ragab H, 2007).
Carcinoembryonic antigen merupakan kelompok glikoprotein yang
heterogen. Rantai polipeptida tunggal dari protein muncul untuk menjelaskan
hanya sekitar sepertiga dari molekul, sisanya yakni dua pertiganya adalah
karbohidrat. Rasio protein dan karbohidrat dapat bervariasi dari 1:1 sampai 1:5
pada CEA yang berasal dari tumor yang berbeda. CEA diproduksi oleh sel-sel
sekretori dari saluran pencernaan normal dewasa. Konsentrasi yang tinggi dari
CEA dalam darah dan cairan tubuh lainnya adalah karena kombinasi dari faktor
peningkatan jumlah sel penghasil CEA, peningkatan tingkat sintetis dalam sel-sel
ganas, dan penurunan kemampuan untuk menggunakan jalur normal ekskresi dari
tubuh. Pembersihan CEA dicapai terutama dalam hati. Dan konsentrasi tertinggi
23
ditemukan pada penderita dengan metastasis hati dari karsinoma usus besar
(Cho, 2007).
Carcinoembryonic antigen (CEA) pertama kali ditemukan pada tahun 1965
oleh Phil Gold dan Samuel O. Freedman dari ekstrak kanker adenokarsinoma
kolon manusia. Hubungan penanda biologis dengan kanker telah diakui selama
beberapa dekade. Perhatian dari petanda tersebut muncul pada pertengahan
1960-an, dengan penemuan dari alpha-fetoprotein dan carcinoembryonic antigen
yang mana merupakan protein onkofetal, CEA merupakan suatu komponen
glikoprotein kompleks dengan berat molekul 200.000 yang berhubungan dengan
plasma membran permukaan sel dari glikokaliks epitel entodermal, dimana dalam
hal ini dapat dilepaskan ke dalam darah (Ragab H, 2007).
Carcinoembryonic antigen (CEA) merupakan antigen karsinofetal yang
berbentuk glikoprotein diproduksi selama embrional dan perkembangan fetus.
Selain dihasilkan oleh sel tumor dan sel embrio, senyawa antigen onkofetal seperti
CEA ini juga dihasilkan oleh sel normal yang tidak mengalami diferensiasi dalam
jumlah sangat kecil. Sehingga kadar CEA akan meningkat secara bermakna pada
penderita kanker (Pelleitier, 2001).
CEA termasuk golongan antigen onkofetal yang normalnya ada selama
kehidupan fetus, sampai usia janin 2-6 bulan. Dalam pertumbuhan selanjutnya
kadar CEA pada orang dewasa terdapat dalam konsentrasi yang rendah di bawah
2 ng/ml dan tidak pernah meningkat lagi secara berarti. Para ahli sependapat
bahwa kadar CEA normal adalah kurang dari 5 ng/ml (Bhatt. 2010).
Penetapan kadar CEA pada kanker paru sering tumpang tindih dengan
penyakit bukan kanker serta kanker jenis lain, menyebabkan penetapan kadar
CEA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang baik dalam menyaring
24
keganasan pada populasi tanpa gejala karena banyak memberikan hasil positif
dan negatif palsu, oleh karena itu penetapan CEA tidak dapat dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring kanker paru. Meskipun demikian CEA dapat memberi
manfaat dalam menegakkan diagnosis bila dikombinasi dengan pemeriksaan
diagnostik lainnya. Jika hasil CEA positif, gambaran ini seharusnya meningkatkan
perhatian klinisi bahwa kanker tersebut ada dan diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk memastikan diagnosisnya. Sebaliknya bila negatif, klinis menjadi
kurang mempercayainya bahwa kanker tersebut ada. Penetapan kadar CEA pada
saat menunjang diagnosis, dapat dipakai sebagai petunjuk menentukan prognosis
kanker, makin tinggi kadar CEA makin jelek prognosisnya. Kadar CEA juga
mempunyai korelasi dengan stadium kanker, makin lanjut stadiumnya makin tinggi
kadar CEA pada saat diagnosis (Vincent, 1975).
CEA adalah salah satu karsino-fetal antigen yang diproduksi pada masa
embrio dan fetus, setelah bayi lahir maka produksinya ditekan dan kadarnya
sangat rendah pada masa dewasa. Peningkatan konsentrasi CEA <10 ng/ml
ditemukan pada 5-10% perokok dan berbagai kelainan tumor jinak termasuk hati
dan ginjal (< 20 ng/ml). Carcinoembryonic antigen merupakan petanda tumor yang
digunakan pada adenokarsinoma terutama tumor gastrointestinal. Sensitifitas
CEA sebesar 40-70% untuk karsinoma paru kelompok non small cell lung cancer
(NSCLC) dan 30-65% karsinoma paru kelompok small cell lung cancer (SCLC).
Nilai sensitifitas CEA dengan konsentrasi tertinggi ditemukan pada
adenokarsinoma dan nilai terendah didapatkan pada tumor sel skuamosa.
Carcinoembryonic antigen sebagai informasi nilai prognosis NSCLC terutama
adenokarsinoma paru. Pemeriksaan CEA sebagai diagnosis awal kekambuhan
dan evaluasi terapi telah diketahui (Vincent, 1975).
25
Konsentrasi CEA sering tinggi dijumpai pada adenokarsinoma dan kanker
paru sel besar tetapi peningkatan konsentrasi CEA juga ditemukan pada berbagai
tumor jinak maupun ganas dan sedikit peningkatan CEA didapatkan pada perokok.
Carcinoembryonik antigen berperan dalam mendiagnosis banding NSCLC jika
dikombinasikan dengan CYFRA 21-1. Carcinoembryonic antigen dapat digunakan
sebagai prognosis NSCLC terutama untuk adenokarsinoma paru. Kegunaan CEA
juga sebagai evaluasi terapi stadium lanjut dan mendeteksi kekambuhan dari
adenokarsinoma (Ragab H, 2007).
Pengukuran berkala kadar CEA bermanfaat dalam memantau respons
pengobatan dan sebagai prediksi terjadinya kekambuhan. Peningkatan kadar CEA
terus menerus secara tajam pada suatu terapi menunjukkan respons terapi yang
tidak baik atau resisten atau mengalami kekambuhan. Sebaliknya penurunan
kadar serum menunjukkan respons yang baik. CEA merupakan petanda ganas
yang lebih sensitif untuk NSCLC jenis adenokarsinoma dan sensitifitasnya lebih
meningkat bila dikombinasi dengan Cyfra 21-1 (Cho, 2007).
Dari beberapa penelitian yang telah ada, pemeriksaan CEA lebih
bermanfaat dalam mengevaluasi terapi dibandingkan digunakan sebagai
diagnostik. Carcinoembryonic antigen juga merupakan salah satu penanda tumor
terbaik yang dapat mendeteksi kanker yang recurrent terutama pada kanker paru
jenis adenokarsinoma (Pelleitier, 2001).
Dalam memonitor efek kemoterapi dengan penanda tumor, penurunan
yang substansial sering dikorelasikan dengan respon pada terapi yang mana
peningkatan maupun penurunan dari kadar penanda tumor tersebut dihubungkan
dengan progresifitas dari penyakit (Ragab H, 2007).
26
2.4.1 Peran Carcinoembryonic antigen (CEA) PADA KANKER PARU
Adanya hubungan antara tingkat CEA dan respon pengobatan telah
dibuktikan baik pada SCLC maupun NSCLC. Umumnya, tingkat CEA bervariasi
sesuai dengan perubahan jelas dalam status penyakit. CEA telah dipelajari
sebagai prediksi dari angka tahan hidup SCLC dan NSCLC. Kebanyakan
penelitian menggunakan univariat metode, menunjukkan hubungan yang
signifikan antara CEA dan prognosis.
Tidak ada laporan menunjukkan kegunaan penanda tunggal atau
kombinasi dari penanda tumor untuk diagnosis dini kanker paru-paru pada
populasi asimptomatik atau spesifik kelompok berisiko tinggi seperti perokok.
Pemeriksaan CEA lebih bermanfaat dalam mengevaluasi terapi dibandingkan
digunakan sebagai diagnostik. Carcinoembryonic antigen juga merupakan salah
satu penanda tumor terbaik yang dapat mendeteksi kanker yang recurrent
terutama pada kanker paru jenis adenokarsinoma.
Konsentrasi CEA sangat tinggi dalam adenocarcinoma dan large cell,
tetapi konsentrasi tinggi juga ditemukan dalam patologi jinak berbagai keganasan
lainnya menghalangi penggunaannya dalam skrining dan membatasi penggunaan
diagnostik. Namun, CEA dapat membantu dalam diagnosis diferensial NSCLC
sebaiknya dikombinasi dengan CYFRA 21-1.
CEA dapat memberikan informasi prognostik pada NSCLC, terutama pada
adenocarcinoma paru-paru. Selanjutnya mungkin memiliki peran dalam
pemantauan terapi pada stadium lanjut dan mendeteksi penyakit berulang non
small cell adenocarcinoma.
Dalam memonitor efek kemoterapi dengan penanda tumor, penurunan
yang substansial sering dikorelasikan dengan respon pada terapi yang mana
27
peningkatan maupun penurunan dari kadar penanda tumor tersebut dihubungkan
dengan progressifitas dari penyakit sendiri maupun kombinasi untuk mendiagnosis
dini kanker paru pada populasi yang asimtomatik atau pada kelompok risiko tinggi
(perokok). Petanda tumor berperan untuk mendiagnosis banding dan menentukan
jenis histologi terutama tumor paru yang tidak diketahui asalnya. Peningkatan
konsentrasi CEA menunjukkan adanya keganasan. Peningkatan CEA terdapat
pada adenokarsinoma. Carcinoembryonic antigen (CEA) > 10μg/L dan CA 125 >
100 U/Ml kemungkinan adenokarsinoma atau karsinoma sel besar. Kombinasi
CYFRA 21-1 dan CEA dapat digunakan untuk mendiagnosis NSCLC.
Petanda tumor untuk prognosis yang paling baik adalah CYFRA 21-1.
Namun bagaimanapun peningkatan nilai CEA dapat menunjukkan terdapatnya
keganasan. Petanda tumor CEA merupakan indikator sensitif untuk menilai
kekambuhan. Petanda tumor yang lain seperti NSE dan proGRP juga dapat
menilai kekambuhan pada NSCLC. Angka sensitifitas dari masing-masing petanda
tumor tersebut adalah: ProGRP 67%, CEA 38% dan NSE 20%. CEA juga
dilaporkan mempunyai peran mendeteksi kekambuhan untuk adenokarsinoma.
Petanda tumor dapat digunakan untuk evaluasi pasca bedah, efektivitas
pengobatan dan deteksi kekambuhan kanker paru. Peningkatan petanda tumor
akibat terjadi kerusakan jaringan normal dan tumor tetapi beberapa waktu
kemudian terjadi penurunan tergantung dari waktu paruhnya dan sisa tumor
setelah operasi. Penurunan CEA terjadi lebih lambat dari petanda tumor lain
(waktu paruhnya 1-4 hari). Bila dapat disingkirkan terjadi gangguan ginjal dan hati
yang dapat memperpanjang waktu paruh petanda tumor maka bersihan petanda
tumor menjadi lebih lambat atau peningkatan nilai petanda tumor mengindikasikan
terdapatnya sisa sel tumor dan memprediksikan kekambuhan dini (Ragab, 2007).
28
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan antara Kadar NSE-CEA pada Penderita Kanker
Paru dengan Kemoterapi
: variabel yang diteliti
: perjalanan penyakit
Bahan karsinogenik
Sel normal
Aktivasi fibroblast dan fibrosit
Proliferasi sel
tumor berlebihan
Pengaktifan onkogen
pendorong pertumbuhan
Kerusakan
DNA/RNA
Penonaktifan gen
supresor kanker
Remodeling Endothelial
Extracelluler Matrix lokal
Mekanisme
protektif
Neoplasma ganas
Kemoterapi
Kadar NSE
meningkat Kadar CEA
meningkat
Evaluasi kemoterapi :
Kadar NSE
Kadar CEA
RECIST
29
Penjelasan :
Pada Sel normal yang terkena paparan dari bahan karsinogenik yang
berlebihan akan memicu terjadinya peningkatan TGF, ROS, IL 6 dan LPA yang
menyebabkan terjadi inflamasi pada sel normal. Inflamasi menimbulkan
peningkatan aktivasi dari fibroblast dan fibrosit. Aktivasi fibroblast dan fibrosit
menyebabkan peningkatan dari CTGF, PDGF, VEGF, FGF, FN, TIMPS,
LOX/LOX2, Co (I) + (II) dan penurunan dari MMPs yang akhirnya menyebabkan
pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan, terjadinya kerusakan DNA atau
RNA serta penonaktifan gen supressor kanker yang pada akhirnya menyebabkan
proliferasi dari sel tumor yang berlebihan. Proliferasi sel tumor yang berlebihan ini
meningkatkan invasi dan migrasi sel tumor itu sendiri. CEA yang merupakan suatu
antigen dalam tubuh, meningkat untuk merangsang tubuh mengeluarkan antibodi
untuk melawan sel-sel tumor tersebut. Untuk menyesuaikan dengan proliferasi sel
tumor yang berlebihan, tubuh mengeluarkan CEA dalam jumlah yang lebih
banyak, sehingga terjadi peningkatan kadar CEA.
Aktivasi fibroblast dan fibrosit juga menimbulkan mekanisme protektif
untuk meredakan proses inflamasi yaitu dengan remodeling endothelial extra
cellular matrix. Selama fase remodeling ini, kadar NSE ini terus meningkat. Hasil
dari remodeling endothelial extra cellular matrix menyebabkan peningkatan dari
deposisi kolagen, X-linking, linearisasi, dan kekakuan yang menyebabkan
terjadinya kerusakan organ (paru-paru). Kerusakan organ juga terjadi akibat dari
proliferasi sel tumor yang berlebihan. Dalam The six hallmark of cancer (6 karakter
sel kanker) salah satunya adalah kegagalan sel kanker dalam menerima sinyal
apoptosis hingga akhirnya sel kanker tersebut bisa tetap menjaga telomernya yang
panjang, hingga memungkinkan untuk tetap membelah diri. Proliferasi sel yang
30
berlebihan ini merupakan neoplasma ganas, yang menjadi target utama dalam
kemoterapi. Kemoterapi diberikan untuk menghentikan proleferasi sel kanker
sehingga terjadi apopotosis dari sel kanker. Menurut guidline PDPI 2003,
kemoterapi dilakukan 3-6x siklus dan untuk mendapatkan evaluasi hasil
pengobatan yang baik harus dilakukan evaluasi secara serial.
Neuron Specific Enolase (NSE) dipakai untuk menilai hasil pengobatan
dan perjalanan penyakit keganasan small cell bronchial carcinoma,
neuroblastoma, dan seminoma. Kadar NSE tidak mempunyai hubungan dengan
adanya metastasis, tapi memiliki korelasi yang baik terhadap stadium perjalanan
penyakit. Peningkatan ringan kadar NSE dapat dijumpai pada penyakit paru jinak
dan penyakit pada otak.
Carcinoembryonic antigen (CEA) adalah protein yang dihasilkan oleh sel
embrio dan juga dihasilkan oleh sel normal yang tidak mengalami differensiasi
dalam jumlah sangat kecil. Peningkatan kadar CEA dilaporkan pula pada banyak
keganasan serta diketahui pula bahwa kadar CEA dapat meningkat pada perokok.
CEA sendiri kurang spesifik untuk paru, walalupun demikian pemeriksaan kadar
CEA lebih bermanfaat dalam mengevaluasi terapi dibandingkan digunakan
sebagai diagnostik. Dalam memonitor efek kemoterapi dengan petanda tumor,
penurunan yang substansial sering dikorelasikan dengan respon pada terapi di
mana peningkatan maupun penurunan dari kadar petanda tumor tersebut
dihubungkan dengan progresivitas .
Peningkatan NSE dan CEA dikaitkan dengan tumor yang semakin invasif
dan peningkatan perjalanan penyakit. Salah satu modalitas pengobatan pada
kanker paru stadium lanjut adalah dengan pemberian kemoterapi. Kemoterapi ini
31
dengan berbagai mekanisme kerjanya diharapkan dapat menghambat proliferasi
sel kanker atau bahkan membunuh sel kanker dengan menginduksi kerusakan
DNA sehingga terjadi apoptosis
Evaluasi kemoterapi dapat dinilai secara objektif berdasarkan sistem
RECIST, dimana RECIST meliputi complete response, partial response, stable
disease, dan progressive disease. Diharapkan terdapat perbedaan kadar NSE dan
CEA sebelum dan setelah kemoterapi. Sel tumor yang telah mati akan mengurangi
kadar NSE dan CEA. Sebaliknya pada respons kemoterapi yang progresif dimana
pemberian kemoterapi tidak berhasil mengurangi agresivitas sel kanker bahkan
terjadi invasi dan metastasis tumor yang semakin jauh, dan stadium semakin
tinggi, kadar NSE dan CEA diperkirakan juga meningkat.
3.2 Hipotesis Penelitian
Terjadi penurunan kadar Neuron Specific Enolase (NSE) dan
Carcinoembryonic antigen (CEA) pada pasien kanker paru yang telah
mendapatkan kemoterapi.
32
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang akan dilaksanakan adalah deskriptif analitik yang
dilakukan secara kohort. Penelitian dilakukan untuk mengukur kadar Neuron
Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic Antigen (CEA) pada serum
penderita kanker paru sebelum mendapatkan kemoterapi yang diikuti sampai
dengan penderita kanker paru mendapat kemoterapi siklus ke-3 dan ke-6.
4.2 Subjek dan Sampel Penelitian
4.2.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah data status penderita kanker paru yang
memenuhi kriteria inklusi yang datang berobat di poli paru dan rawat
inap RSUD dr. Saiful Anwar, Malang.
4.2.2 Sampel penelitian
Besar sampel dihitung dengan rumus:
𝑛 =𝑍1−𝛼/2
2 𝜎2
𝑑2
(Lwanga & Lemeshaw, 1999)
Keterangan :
Z1-α/2 : deviat baku α = 5% 1,96
σ : Simpang baku variabel yang diteliti 0,18836401
d : presisi kesalahan 0,1
33
Maka diperoleh sampel:
𝑛 =(1,96)2 ∗ (0,18836401)2
(0,1)2
𝑛 =(3,8416) ∗ (0,035481)
(0,01)
𝑛 = 13.63038096 ≈ 14 sampel
4.3 Cara pengambilan datal:
Sampel diperoleh secara konsekutif pada penderita kanker paru yang
memenuhi kriteria inklusi di poli paru dan rawat inap RSUD dr. Saiful Anwar,
Malang.
Kriteria inklusi :
- Penderita kanker paru, baik laki-laki maupun perempuan, berusia ≥40
tahun.
- Penderita kanker paru yang sudah memiliki hasil histopatologi yang datang
ke poli paru dan rawat inap RSUD dr. Saiful Anwar, Malang.
- Penderita kanker paru yang termasuk dalam Non Small Cell Lung Cancer
(NSCLC) stadium III dan IV ataupun Small Cell Lung Cancer (SCLC) yang
belum mendapat kemoterapi kemudian diikuti sampai dengan penderita
mendapat kemoterapi siklus ke-3 dan ke-6.
- Bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani informed consent.
Kriteria Eksklusi :
- Penderita suspek kanker paru yang belum tegak histopatologinya
- Penderita kanker paru dengan tanda dan gejala infeks
- Penderita kanker paru dengan diabetes mellitus
- Penderita kanker paru yang disertai penyakit kardiovaskuler
34
4.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di poli paru RSUD dr. Saiful Anwar, Malang serta
laboratorium biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Dengan waktu pembuatan :
Pembuatan proposal : Mei – Juli 2016
Waktu penelitian : Agustus 2016– Maret 2017
Pengolahan dan analisis data : Oktober 2017
Penyusunan laporan tugas akhir : November 2017 – Mei 2018
4.5 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua macam variabel, yaitu variabel bebas
dan variabel tergantung. Variabel bebas (independent variable) adalah waktu
antara penderita kanker paru yang belum mendapat kemoterapi hingga
penderita mendapat kemoterapi siklus ke-3 dan ke-6. Variabel tergantung
(dependent variable) adalah Neuron Specific Enolase (NSE) dan
Carcinoembryonic antigen (CEA) pada penderita kanker yang telah mendapat
kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6.
4.6 Definisi Operasional Penelitian
1. Penderita kanker paru adalah orang yang telah didiagnosis kanker paru
berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi didapatkan Non Small Cell
Lung Cancer (NSCLC) atau Small Cell Lung Cancer (SCLC).
2. Penderita kanker paru NSCLC stadium III adalah penderita kanker paru
NSCLC yang meliputi stadium IIIA dan IIIB berdasarkan sistem TNM
menurut The American Joint Comittee on Cancer (AJCC) edisi ketujuh
35
(2010), dimana stadium IIIA: T(1-2)N2(M0), T3N(1-2)M0, T4N(0-1)M0 dan
stadium IIIB: T(1-3)N3M0, T4N(2-3)M0.
3. Penderita kanker paru NSCLC stadium IV adalah penderita kanker paru
NSCLC stadium IV yang berdasarkan sistem TNM AJCC edisi ketujuh
(2010) meliputi TsebarangNsebarangM1.
4. Penderita kanker paru SCLC adalah penderita kanker paru dengan hasil
patologi anatomi adalah small cell.
5. Penderita kanker paru yang belum mendapat kemoterapi adalah penderita
kanker paru yang pada saat diambil sampel darahnya belum mendapatkan
kemoterapi dan akan mendapatkan kemoterapi pertama.
6. Penderita kanker paru yang sudah mendapat kemoterapi adalah penderita
kanker paru yang pada saat diambil sampel darahnya sudah mendapatkan
kemoterapi siklus ke-3 dan ke-6.
7. Evaluasi hasil pengobatan adalah penilaian respon penderita terhadap
kemoterapi
8. Neuron Specific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic antigen (CEA) yang
didapatkan dari data status penderita.
4.7 Metode Pengumpulan Data
1. Formulir informed consent
2. Formulir data penderita penelitian
3. Catatan rekam medis penderita
4. Catatan status tumor dan status kemoterapi penderita
36
4.8 Prosedur Pengambilan Data
Gambar 4.1. Bagan Alur Penelitian
4.9 Pengolahan Data
Data yang diperoleh dicatat pada lembar penelitian kemudian diolah dan
dilakukan analisis serta intepretasi dengan SPSS versi 24. Dilakukan uji
Normalitas untuk menilai sebaran data pada sebuah kelompok data atau
variabel, apakah sebaran data tersebut berdistribusi normal ataukah tidak.
Kemudian dilakukan uji Paired Sample T-Test untuk mengetahui ada atau
tidaknya perbedaan rerata dari dua kelompok sampel berpasangan atau
berhubungan jika data terdistribusi normal atau uj Wilcoxon jika data tidak
terdistribusi normal.
Analisis Data
Penderita kanker paru yang datang ke poli paru atau rawat inap RSUD dr. Saiful Anwar, Malang
Memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi
Anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, EKG, Foto Toraks, CT Scan Toraks
Histopatologi
NSCLC
SCLC
Staging
III
IV
Kemoterapi
Mengukur kadar NSE-CEA setelah kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6
Mengukur kadar NSE-CEA
37
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1. Data Karakteristik Penderita
Berikut karakteristik dari ke 16 penderita kanker paru yang diteliti.
Tabel 5.1 Karakteristik data dasar 16 penderita kanker paru
Karakteristik Frekuensi Presentase (%)
Jenis Kelamin
Laki – laki 14 87.5
Perempuan 2 12.5
Usia
40-49 3 18.75
50-59 5 31.25
60-69 4 25
≥70 4 25
Turunan
Ada 2 12.5
Tidak ada 14 87.5
Riwayat merokok
Perokok aktif 11 68.75
Perokok pasif 2 12.5
Tidak merokok 3 18.75
Histopatologi
NSCLC
- Adenocarcinoma 7 43.75
- Squamous cell carcinoma 5 31.25
- Large cell carcinoma 1 6.25
- Carcinoma lainnya 1 6.25
SCLC 2 12.5
Stadium
NSCLC
IIIA 2 12.5
IIIB 1 6.25
IV 13 81.25
SCLC
IV (extensive) 2 12.5
38
Penelitian ini dilakukan pada 16 penderita yang telah di diagnosis kanker paru
stadium IIIA, IIB, dan IV dan sudah mendapatkan kemoterapi di rumah Sakit Saiful
Anwar. Pada tabel 5.1 didapatkan penderita kanker paru paling banyak di derita laki-
laki dan tanpa adanya faktor keturunan kanker paru dengan presentasi sebesar
87.5%. Sebagian besar penderita kanker paru mendapatkan paparan bahan
karsinogenik (merokok) sehingga memilikii potensi lebih tinggi untuk terserang kanker
paru dibandingkan dengan yang tidak merokok.
5.2 Analisis Data
Tabel 5.2 Rerata kadar NSE sebelum kemoterapi, setelah kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6
Kadar NSE
NSE (1) (ng/mL)
(Mean ± SD)
NSE (2) (ng/mL)
(Mean ± SD)
NSE (3) (ng/mL)
(Mean ± SD)
Kanker Paru (n=16) 46.99 ± 27.82 22.99 ± 13.99 20.45 ± 12.38
NSCLC (n=14) 40.71 ± 29.32 21.99 ± 12.56 18.66 ± 8.42
SCLC (n=2) 48.95 ± 20.62 30.04 ± 27.75 32.98 ± 31.94
*Keterangan : NSE(1) = kadar NSE sebelum mendapatkan kemoterapi, NSE(2) = kadar NSE setelah
mendapatkan kemoterapi hingga siklus ke 3, NSE(3) = kadar NSE setelah mendapatkan kemoterapi
hingga sikklus ke 6.
Kadar NSE(1), NSE(2), dan NSE(3) berdasarkan jenis kanker paru juga
dirangkum dalam tabel 5.2. Rerata kadar NSE(1) pada penderita NSCLC 40.71 ±
29.32 ng/mL sedangkan pada penderita SCLC 48.95 ± 20.62 ng/mL. Rerata kadar
NSE(2) pada penderita NSCLC 21.99 ± 12.56 ng/mL sedangkan pada penderita
SCLC 30.04 ± 27.75 ng/mL. Pada rerata kadar NSE(3) pada penderita NSCLC 18.66
± 8.42 ng/mL sedangkan pada penderita SCLC 32.98 ± 31.94 ng/mL. Dari hasil rerata
tiap kelompoknya menunjukan kadar NSE pada penderita SCLC jauh lebih tinggi
dibandungkan kadar NSE pada penderita NSCLC.
39
Tabel 5.3 Rerata kadar CEA sebelum kemoterapi, setelah kemoterapi siklus ke 3 dan siklus ke 6
Kadar CEA
CEA (1) (ng/mL)
(Mean ± SD)
CEA (2) (ng/mL)
(Mean ± SD)
CEA (3) (ng/mL)
(Mean ± SD)
Kanker Paru (n=16) 27.79 ± 23.41 18.85 ± 17.72 16..25 ± 13.50
NSCLC (n =14) 27.24 ± 24.48 17.43 ± 18.23 15.13 ± 14.10
SCLC (n= =2) 31.64 ± 19.99 28.85 ± 12.94 24.05 ± 3.32
*Keterangan : CEA(1) = kadar CEA sebelum mendapatkan kemoterapi, CEA(2) = kadar CEA setelah
mendapatkan kemoterapi hingga siklus ke 3, CEA(3) = kadar CEA setelah mendapatkan kemoterapi
hingga sikklus ke 6.
Kadar CEA (1), CEA(2), dan CEA(3) berdasarkan jenis kanker paru juga
dirangkum dalam tabel 5.3. Rerata kadar CEA(1) pada penderita NSCLC 27.24 ±
24.48 ng/mL sedangkan pada penderita SCLC 31.64 ± 19.99 ng/mL. Rerata kadar
CEA(2) pada penderita NSCLC 17.43 ± 18.23 ng/mL sedangkan pada penderita
SCLC 28.85 ± 12.94 ng/mL. Pada rerata kadar CEA(3) pada penderita NSCLC 15.13
± 14.10 ng/mL sedangkan pada penderita SCLC 24.05 ± 3.32 ng/mL. Dari hasil rerata
tiap kelompoknya menunjukan kadar CEA pada penderita SCLC jauh lebih tinggi
dibandungkan kadar CEA pada penderita NSCLC.
Tabel 5.4 Rerata kadar NSE berdasarkan RECIST pada penderita kanker paru sebelum mendapatkan
kemoterapi, setetelah mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6.
RECIST setelah
kemoterapi
NSE (1) (ng/mL)
Mean ± SD
NSE (2) (ng/mL)
Mean ± SD
NSE (3) (ng/mL)
Mean ± SD
(n=16)
Complete Response ( n=0) - - -
Partial Response (n=7) 32.56 ± 16.32 17.67 ± 14.32 19.80 ± 16.23
Stable Disease (n=2) 83.60 ± 13.99 22.30 ± 14.86 20.71 ± 14.91
Progressive Disease (n=7) 50.97 ± 30.46 28.51 ± 13.37 21.02 ± 9.06 *Keterangan : NSE(1) = kadar NSE sebelum mendapatkan kemoterapi, NSE(2) = kadar NSE setelah
mendapatkan kemoterapi hingga siklus ke 3, NSE(3) = kadar NSE setelah mendapatkan kemoterapi hingga
sikklus ke 6.
40
Gambar 5.1 Rerata kadar NSE berdasarkan RECIST pada penderita kanker paru sebelum
mendapatkan kemoterapi, setetelah mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6.
Nilai NSE berdasarkan RECIST pada penderita sebelum kemoterapi dan
setelah kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6 dijelaskan pada tabel 5.4 dan gambar 5.1.
Setelah kemoterapi tidak ditemukan penderita dengan Complete Reponse. Pada
ketiga RECIST lainnya, terdapat penurunan kadar NSE pada RECIST Stable Disease
dan Progressive Disease dari sebelum kemoterapi hingga kemoterapi ke 3 dan ke 6.
Pada rerata NSE dengan RECIST Partial Reponses terjadi penurunan jika
dibandingkan satu per satu. Sebelum mendapatkan kemoterapi dengan setelah
kemoterapi siklus ke 3 juga sebelum kemoterapi dengan setelah kemoterapi siklus ke
6. Tidak seperti kadar NSE pada 2 respon RECIST yang terjadi penurunan rerata dari
tiap kemoterapinya, pada Partial Responses terjadi peningkatan kadar NSE setelah
kemoterapi siklus ke 3 dengan kadar NSE setelah kemoterapi siklus ke 6.
Rerata kadar NSE pada penderita yang mendapatkan kemoterapi siklus ke 3
hingga siklus ke 6, didapatkan 7 penderita dengan RECIST Partial Response dengan
kadar NSE(1) 32.56 ± 16.32 ng/mL, NSE(2) 17.67 ± 14.32 ng/mL dan NSE(3) 19.80
± 16.23 ng/mL. Didapatkan juga 2 penderita dengan Stable Disease dengan kadar
0
20
40
60
80
100
NSE(1) NSE(3) NSE(3)
Rerata Kadar NSE berdasarkan RECIST
Complete Response Partial Response
Stable Disease Progressive Disease
41
NSE (1) 83.60 ± 13.99 ng/mL, NSE (2) 22.30 ± 14.86 ng/mL dan NSE (3) 20.71 ±
14.91 ng/mL., juga dengan 7 penderita lainnya mendapatkan RECIST Progressive
Disease dengan kadar NSE (1) 50.97 ± 30.46 ng/mL, NSE (2) 28.51 ± 13.37 ng/mL
dan NSE (3) 21.02 ± 9.06 ng/mL.
Tabel 5.5 kadar CEA berdasarkan RECIST pada penderita kanker paru sebelum mendapatkan
kemoterapi, setetelah mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6.
RECIST setelah
kemoterapi
CEA (1) (ng/mL)
Mean ± SD
CEA (2) (ng/mL)
Mean ± SD
CEA (3) (ng/mL)
Mean ± SD
(n=16)
Complete Response ( n=0) - - -
Partial Response (n=7) 27.45 ± 19.08 26.00.± 24.35 20.84 ± 10.06
Stable Disease (n=2) 13.68 ± 5.85 11.55 ± 11.82 4.62 ± 3.01
Progressive Disease (n=7) 32.15 ± 30.19 13.80 ± 7.90 14.97 ± 16.77 *Keterangan : CEA1) = kadar CEA sebelum mendapatkan kemoterapi, CEA(2) = kadar CEA setelah
mendapatkan kemoterapi hingga siklus ke 3,CEA(3) = kadar CEA setelah mendapatkan kemoterapi hingga
sikklus ke 6.
Gambar 5.2 kadar CEA berdasarkan RECIST pada penderita kanker paru sebelum
mendapatkan kemoterapi, setetelah mendapatkan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6.
Nilai CEA berdasarkan RECIST pada penderita sebelum kemoterapi dan
setelah kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6 dijelaskan pada tabel 5.5 dan gambar 5.2.
Setelah kemoterapi tidak ditemukan penderita dengan Complete Reponse. Pada
ketiga RECIST lainnya, terdapat penurunan kadar CEA pada RECIST Partial
0
5
10
15
20
25
30
35
CEA(1) CEA(2) CEA(3)
Rerata Kadar CEA berdasarkan RECIST
complete response partial response
stable disease progressive disease
42
Response dan Stable Disease dari sebelum kemoterapi hingga kemoterapi ke 3 dan
ke 6. Rerata CEA dengan RECIST Progressive Disease terjadi penurunan jika
dibandingkan satu per satu antar kelompoknya. Penurunan rerata kadar CEA
didapatkan pada penderita yang mendapatkan kemoterapi hingga siklus ke 6.
Meskipun terdapat peningkatan rerata kadar CEA dari siklus ke 3 hingga siklus ke 6
yang masih di bawah rerata kadar CEA sebelum mendapatkan kemoterapi.
Rerata kadar CEA pada penderita yang mendapatkan kemoterapi hingga
siklus ke 3 dann ke 6, didapatkan 7 penderita dengan RECIST Partial Response
dengan kadar CEA (1) 27.45 ± 19.08 ng/mL, CEA (2) 26.00.± 24.35 ng/mL dan CEA
(3) 20.84 ± 10.06 ng/mL. Didapatkan 2 penderita dengan Stable Disease dengan
kadar CEA (1) 13.68 ± 5.85 ng/mL, CEA (2) 11.55 ± 11.82 ng/mL dan CEA (3) 4.62
± 3.01 ng/mL dan 7 penderita lainnya mendapatkan RECIST Progressive Disease
dengan kadar CEA (1) 32.15 ± 30.19 ng/mL, CEA (2) 13.80 ± 7.90 ng/mL dan CEA
(3) 14.97 ± 16.77 ng/mL.
5.2. Analisis Data
Hasil data dari penelitian ini telah dianalisis menggunakan program analisis
statistik IBM SPSS (Statistical products and service solutions) version 24.0 for
windows. Terdapat beberapa uji statistik yang digunakan yaitu uji normalitas
dilanjutkan dengan uji Friedman-test. Uji Friedman bertujuan untuk mengetahui ada
atau tidaknya perbedaan lebih dari dua kelompok sampel yang berpasangan. Uji
normalitas menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov dan Saphiro-Wilk untuk
membandingkan distribusi data yang diuji dengan distribusi normal baku yang
diasumsikan normal. Dilanjutkan dengan dilakukan uji Friedman-Test untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar petanda tumor dalam beberapa variasi
43
waktu pengamatan antara penderita kanker paru sebelum kemoterapi dan sesudah
kemoterapi.
a) Uji Normalitas
Hasil dari analisis uji Kolmogorov Smirnov dan Saphiro Wilk, jika nilai
signifikansi p > 0,05 berarti data yang diuji berdistribusi normal, sedangkan jika nilai
signifikansi p < 0,05 maka data yang diuji tidak berdistribusi normal. Dari hasil analisis
Carcinoembryonic Antigen (CEA) didapatkan taraf signifikansi sebesar p < 0,05 yang
berarti data hasil penelitian ini tidak terdistribusi dengan normal dapat dilihat pada
lampiran 2.
Sedangkan dari hasil analisis Neuron Specific Enolase (NSE) , dapat dilihat
didapatkan taraf signifikansi sebesar p < 0,05 yang berarti data hasil penelitian ini
tidak terdistribusi dengan normal yang dapat dilihat pada lampiran 2. Dikarenakan
data tidak terdistribusi normal tidak dapat dilanjutkan dengan uji Paired Sample T-test
sehingga digunakan uji non parametric yaitu uji Wilcoxon.
b) Uji Wilcoxon
Pada penelitian ini dilakukan uji Wilcoxon yang merupakan alternatif dari uji
Paired Sample Paired Sample T-Test untuk mengetahui adanya perbedaan rerata
dari dua atau lebih kelompok berpasangan atau berhubungan. Hasil dari analisis uji
Wilcoxon, jika nilai signifikansi p > 0,05 berarti Ha ditolak, sedangkan jika nilai
signifikansi p < 0,05 maka Ha diterima. Dari hasil uji Wilcoxon didapatkan p = 0.088
untuk rerata kadar CEA sebelum dikemoterapi dengan setelah kemoterapi hingga
siklus ke 3, p = 0.15 untuk rerata kadar CEA sebelum dikemoterapi dengan setelah
dikemoterapi hingga siklus ke 6, dan p = 0.505 untuk rerata kadar CEA setelah
kemoterapi siklus ke 3 hingga setelah kemoterapi siklus ke 6. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan terdapat pernedaan kadar CEA yang signifikan pada penderita
44
kanker paru dari sebelum dilakukan kemoterapi hingga kemoterapi siklus ke 6.
Sedangkan pada uji terhadap kadar Neuron Specific Enolase didapatkan p = 0.008
untuk rerata kadar NSE sebelum dikemoterapi dengan setelah kemoterapi hingga
siklus ke 3, p = 0.04 untuk rerata kadar NSE sebelum dikemoterapi dengan setelah
dikemoterapi hingga siklus ke 6, dan p = 0.301 untuk rerata kadar NSE setelah
kemoterapi siklus ke 3 hingga setelah kemoterapi siklus ke 6. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan terdapat perbedaan kadar NSE yang signifikan pada penderita
kanker paru dari sebelum dilakukan kemoterapi hingga kemoterapi siklus 3 dan dari
sebelum kemoterapi hiongga kemoterapi siklus ke 6.
Pada hasil uji Wilcoxon kadar CEA terhadap RECIST setelah dilakukan 6 kali
siklus kemoterapi didapatkan p = 0.109 untuk rerata kadar CEA Partial Response
dengan Stable Disease, p = 0.285 untuk rerata kadar CEA Partial Response dengan
Progressive Disease, dan p = 0.109 untuk Stable Disease dengan Progressive
Disease. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan tidak terdapat perbedaan kadar
CEA terhadap RECIST yang signifikan setelah dilakukan kemoterapi hingga 6 siklus.
Sedangkan pada hasil uji Wilcoxon kadar NSE terdahap RECIST setelah dilakukan
6 kali siklus kemoterapi didapatkan p = 0.109 untuk kadar NSE Partial Response
dengan Stable Disease, p = 0.109 untuk kadar NSE Partial Response dengan
Progressive Disease, dan p = 1.000 untuk kadar Stable Disease dengan Progressive
Disease. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan tidak terdapat perbedaan kadar
NSE terhadap RECIST yang signifikan setelah dilakukan kemoterapi hingga 6 siklus.
45
BAB 6
PEMBAHASAN
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk terapi kanker paru Small Cell
lung Cancer dan beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif
untuk Non Small Cell Lung Cancer. Tujuan pemberian kemoterapi paliatif adalah
mengurangi atau menghilangkan gejala yang diakibatkan oleh perkembangan sel
kanker tersebut sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup
penderita. Berbagai penelitian terakhir telah memperlihatkan manfaat kemoterapi
untuk Non small cell lung cancer sebagai upaya memperbaiki prognosis, baik
sebagai modalitas tunggal maupun modalitas lain yaitu radio terapi dan/atau
pembedahan (Jusuf , 2005).
Pemeriksaan petanda tumor kombinasi NSE dan CEA dapat meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas dalam prognosis pengobatan kanker paru. Pada
beberapa penelitian yang telah ada, pemeriksaan NSE dan CEA lebih bermanfaat
dalam mengevaluasi terapi dibandingkan digunakan sebagai diagnostik. Pada
penelitian sebelumnya, ditemukan penurunan kadar NSE dan CEA sebagai respon
dari kemoterapi (Maghadam, 1993). Demikian pula penelitian dari Ardizonni A dkk
menunjukan penurunan kadar NSE dan CEA dari baseline setelah penderita
mendapatkan 3 siklus kemoterapi. Pada penelitian sebelumnya juga terdapat
peningkatan kadar CEA pada penderita yang mengalami metastasis. Hasil
penelitian menunjukan penurunan serial dari kadar NSE dan CEA hal ini
menunjukan respon kemoterapi atau radioterapi yang baik, dan meningkatkan dari
serial kadar NSE dan CEA menunjukan progesivitas dari penyebaran tumor serta
penderita yang tidak respon dengan kemoterapi menunjukan kadar NSE dan CEA
46
yang meningkat. Dari hal ini menunjukan NSE dan CEA memiliki peranan penting
dalam monitoring terapi kanker paru. (Booth, 2006).
6.1 Kadar Neuron Specific Enolase (NSE) setelah Kemoterapi
Neuron Specific Enolase (NSE) merupakan petanda tumor yang dianggap
paling sensitif terhadap Small Cell Lung Cancer (SCLC). Tingkat serum NSE
meningkat pada 40-45% penderita kanker paru SCLC. Tingkat NSE serum
sebelum mendapatkan terapi dan setelah mendapatkan terapi dapat memprediksi
kelangsungan hidup penderita, bahwa tingkat NSE yang lebih tinggi menunjukan
prognosis yang lebih buruk. (Carney, 1982) Kadar NSE bisa digunakan sebagai
biomarker dari pengobatan. Peningkatan kadar NSE berkorelasi butuh dengan
prognosis penderita. Kadar yang meningkat memiliki prognosis yang buruk begitu
pula sebaliknya (Shibayama, 2001). Pengukuran kadar NSE pada penderita
kanker paru mengalami peningkatan kadar NSE. Kadar NSE pada sel tumor yang
memproduksi NSE berkaitan dengan masa tumor dan aktivitas metabolik tumor.
Peningkatan kadar NSE tidak mempunyai hubungan dengan adanya metastasis ,
tetapi memiliki korelasi yang baik terhadap stadium perjalanan penyakit
(Giovanella,1997). Hasil dari penelitian ini menunjukkan penurunan rata-rata dari
kadar NSE sebelum dilakukan kemoterapi dengan setelah dilakukan kemoterapi
siklus ke 3 dan siklus ke 6, dan pada tiap siklusnya terus terjadi penurunan. Hasil
rerata kadar NSE pada kanker paru dengan SCLC lebih tinggi dibandingkan
dengan NSCLC. Pada dasarnya dimana NSE lebih sensitif untuk kanker paru
dengan SCLC.
6.2 Kadar Carcinoembryonic Antigen (CEA) setelah Kemoterapi
Carcinoembryonic antigen (CEA) merupakan salah satu petanda ganas
yang sensitif terdahap Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC). Sensitifitas CEA
47
sebesar 40-70% untuk karsinoma paru Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) dan
30-65% untuk karsinoma paru Small Cell lung Cancer (SCLC). Nilai sensitifitas
CEA dengan konsentrasi tertinggi dtemukan pada adenokarsinoma dan nilai
terendah didaparkan pada sel rumor skuamosa. (Bhatt, 2010). Hasil dari penelitian
ini menunjukan penurunan rata-rata dari kadar CEA dari sebelum dilakukan
kemoterapi hingga dilakukan kemoterapi siklus ke 3 dan siklus ke 6, dan pada tiap
siklusnya terus terjadi penurunan. Hasil rerata kadar CEA pada kanker paru
dengan SCLC lebih tinggi dibandingkan dengan NSCLC. Seperti dijelaskan
sebelumnya CEA merupkan petanda tumor yang lebih sensitif terhadap kanker
paru jenis NSCLC. Hingga saat ini belum ada penelitian lebih lanjut mengenai
kadar CEA yang lebih tinggi pada kanker paru SCLC. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Ragab dkk, dalam penelitiannya menunjukan bahwa kadar CEA
meningkat pada penderita kanker bronkogenik. Peningkatan kadar CEA yang
signifikan juga diterlihat pada penderita yang memiliki efusi pleura. Kadar CEA
juga meningkat secara signifikan pada kanker paru stadium IV dibandingkan
stadium III. Peningkatan kadar CEA juga ditemukan pada berbagai tumor jinak
maupun ganas dan sedikit peningkatan CEA dijumpai pada perokok. (Ragab,
2007). Pada penderita yang diteliti , seperti yang dapat dilihat pada lampiran 1,
penderita kanker paru dengan jenis kanker SCLC memiliki komplikasi efusi pleura,
dan datang dengan kondisi masuk stadium 4 selain itu merupakan perokok baik
aktif maupun pasif, sehingga bisa ditarik kesimpulan faktor faktor inilah yang
menyebabkan kadar CEA pada SCLC jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
CEA pada NSCLC.
Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Vincent dkk, menemukan
penurunan konsentrasi CEA pada penderita setelah mendapatkan kemoterapi dan
48
radioterapi (Vincent RG, 1975). Dan seperti disebutkan diawal bahwa penurunan
dari kadar CEA menunjukan keefektifan kemoterapi atau radioterapi. Pada hasil
penelitian terjadi penurunan yang signifikan terjadi pada penderita kanker paru dari
sebelum dilakukan kemoterapi hingga setelah kemoterapi lengkap 6 siklus.
6.3 Kadar Neuron Spesific Enolase (NSE) dan Carcinoembryonic Antigen
(CEA) berdasarkan hasil Response Evaluate Criteria in Solid Tumor
(RECIST)
RECIST memungkinkan dokter untuk menentukan bagaimana respon dari
terapi, apakah penyakit membaik, stabil atau sebaliknya. Evaluasi tumor harus
dilakukan untuk mengetahui manfaat dari terapi bekerja atau tidak. (Eisenhauer et
al., 2009). Evaluasi RECIST dilakukan dengan melihat perubahan ukuran tumor
pada foto toraks PA minimal setelah pemberian kemoterapi ke-3 dan kalau
memungkinkan menggunakan CT-scan toraks setelah 3 kali kemoterapi. Pada
penelitian sebelumnya, peningkatan dari lesi tumor menunjukan progresivitas dari
penyakit tersebut. (Wolchock et al, 2009).
Pada penelitian sebelumnnya kadar NSE dan CEA merupakan factor
evaluasi dan prognostik penting, yang sangat terkait dengan respon RECIST. Dari
data yang pernah ada, perubahan kadar NSE dan CEA sangat berkorelasi dengan
temuan pada gambar yang digunakan untuk penentuan RECIST. Ketidaksesuaian
antara kadar NSE dan CEA dengan RECIST dapat menimbulkan pertanyaan dari
efektivitas kemoterapi, namun dampak dari ketidaksesuaian tersebut belum
sepenuhnya jelas (Huang, 2015). Pada penelitian ini terdapat 2 penderita dengan
hasil RECIST complete response , 7 penderita dengan hasil partial response dan
progressive disease. Dari hasil penelitian yang ada selalu terjadi penurunan rata
rata kadar NSE maupun CEA dari sebelum dilakukan kemoterapi hingga setelah
49
dilakukan kemoterapi hingga siklus ke 6. Dimana rerata kadar NSE baseline
tertinggi dipegang oleh Stable Disease (SD), kedua dipegang oleh Progressive
Disease (PD), dan ketiga oleh Partial Response (PR). Ketiganya menurun hingga
berada di rerata kadar yang hampir mendekati , dimana hasil rerata kadar NSE
setelah mendapatkan kemoterapi hingga siklus ke 6 rerata kadar NSE tertinggi
dipegang oleh PD, kedua oleh SD dan terakhir oleh PR. Walaupun terjadi
penurunan kadar NSE tiap RECIST-nya namun masih belum menunjukan hasil
yang signifikan. sesuai dengan pemahaman yang ada semakin buruk hasil
RECIST nya dimana kadar NSE seharusnya lebih tinggi.
Untuk rerata kadar CEA baseline tertinggi dipegang oleh Progressive
Disease (PD), kedua dipegang oleh Partial Reponse (PR), dan ketiga oleh Stable
Disease (SD). Ketiganya mengalami penurunan dari sebelum mendapatkan
kemoterapi hingga mendapatkan kemoterapi hingga siklus ke 6, dimana hasil
rerata kadar CEA setelah mendapatkan kemoterapi hingga siklus ke 6 rerata kadar
CEA tertinggi dipegang oleh PR, kedua oleh PD dan terakhir oleh SD. Walaupun
terjadi penurunan kadar CEA tiap RECIST-nya namun masih belum menunjukan
hasil yang signifikan. Sesuai dengan pemahaman yang ada semakin buruk hasil
RECIST nya dimana kadar CEA seharusnya lebih tinggi. Disini kadar CEA pada
RECIST SD jauh lebih rendah dibandingkan dengan PR setelah mendapatkan
kemoterapi. Pada penelitian sebelumnya, kadar CEA yang lebih tinggi dikaitkan
dengan pengembangkan penyakit, sehingga terjadi ketidak seimbangan antara
kadar CEA dengan respons RECIST (Huang, 2015).
Dari hasil diatas, kadar NSE dan CEA baik yang sesuai terlebih yang
menyimpang sangat membantu dalam memprediksi hasil evaluasi tanggapan
50
kedua dan merupakan penanda prognostik yang memungkinkan penderita
mendapatkan manfaat dari kemoterapi yang lebih terinci.
51
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini didaparkan kesumpulan bahwa :
1. Terjadi penurunan kadar Neuron Specific Enolase (NSE) yang signifikan pada
penderita kanker paru dari sebelum dilakukan kemoterapi hingga dilakukan
kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6.
2. Terjadi penurunan kadar Carcinoembryonic antigen (CEA) pada penderita
kanker paru yang dari sebelum dilakukan kemoterapi hingga diberikan
kemoterapi hingga siklus ke 3 dan ke 6 dengan penurunan kadar
Carcinoembryonic antigen (CEA) yang signifikan dari sebelum kemoterapi
hingga diberikan kemoterapi hingga siklus ke 6.
3. Terjadi penurunan kadar Neuron Specific Enolase (NSE) dan
Carcinoembryonic antigen (CEA) berdasarkan Response Evaluate Criteria in
Solid Tumor (RECIST) pada penderita kanker paru dari sebelum dilakukan
kemoterapi hingga dilakukan kemoterapi siklus ke 3 dan ke 6, namun
penurunan kadar NSE dan CEA berdasarkan RECIST belum menunjukan
hasil yang signifikan.
52
7.2 Saran
Saran-saran yang dapat diberikan adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan reagen
kemoterapi yang sama agar memberikan hasil perubahan kadar
Carcinoembryonic antigen (CEA) dan Neuron Specific Enolase (NSE) yang
lebih akurat.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hasil Response Evaluate In
Solid Tumor (RECIST) dengan perubahan kadar Carcinoembryonic Antigen
(CEA) dan Neuron Specific Enolase (NSE).
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai kadar Carcinoembryonic antigen (CEA)
dan Neuron Specific Enolase (NSE) pada penderita kanker paru setelah
selesai pengobatan kemoterapi.
4. Perlu dilakukan penyempurnaan keterbatasan yang dialami penulis untuk
mengoptimalkan hasil penelitian berikutnya.
53
Daftar Pustaka
Akoun G.M., Scarna H.M., Milleron B.J., Beniichou M.P, Herman D.P. 1985. Serum
Neuron Specific Enolase: A Marker for disease extent and reponse to
theraphy dor Small Cell Lung Cancer. Chest. 87: 39.
Ando S., Kimura H., Iwai N., Yamamoto N., Lida T. 2003. Positive reactions for
both Cyfra21-1 and CA125 indicate worst prognosis in non-small cell lung
cancer. Anticancer Res. 23: 2869–2874.
Balkissoon Ron., Delos D., Carrier, Edward D., Chan, Harold R., Collard, Gregory
P., Cosgrove, et al. 2006. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary
Medicine.
Bhatt AN., Mathur R., Farooque A., Verma A., Dwarakanath BS. 2010. Cancer
Biomarkers-Current Per spectives. Indian J Med Res. 132: 129–149.
Booth CM., Shepherd F. 2006. Adjucant Chemotherapy for Resected Non-Small
Cell Lung Cancer. J Thoracic Oncol. 1: 180–187.
Bordow., Richard A., Ries, Andrew L., Morris, Timothy A. 2005. Manual of Clinical
Problems in Pulmonary Medicine, 6th Ed.
Cerny T., Blair V., Anderson H., Bramwell S., Thatcher N. 1987. Pretreatment
prognostic factors and scoring system in 407 small-cell lung cancer
patients. Int J Cancer. 39: 146–149.
Cho W.C. 2007. Potentially useful biomarkers for the diagnosis, treatment and
prognosis of lung cancer.Biomed Pharmacother. 61: 515–519.
Eisenhauer EA et al. 2009. New response evaluation criteria in solid tumours:
revised RECIST guideline (version 1.1). Eur J Cancer. 45(2): 228–247.
54
Ferrigno D., Buccheri G., Biggi A. 1994. Serum Tumour Markers in Lung Cancer:
History, Biology and Clinical Applications. Eur J Respir. 7: 186–197.
Foa P., Fornier M., Miceli R et al. 1999. Tumour markers CEA, NSE, SCC, TPA
and CYFRA21.1 in resectable non-small cell lung cancer. Anticancer Res.
19: 3613–3618.
Giovanella L., Piantanida R., Ceriani L., Bandera M., Novario R., Bianchi L.,
Roncari G. 1997. Immunoassay of neuron-specific enolase (NSE) and
serum fragments of cytokeratin 19 (CYFRA21.1) as tumor markers in small
cell lung cancer: clinical evaluation and biological hypothesis. Int J Biol
Markers. 12: 22–26.
Globocan-IARC. 2012. Estimated cancer incidence, mortality and prevalence
worldwide in 2012. International Agency for Research on Cancer, World
Health Organization.
Hatzakis KD., Froudarakis ME., Bourous D., Tzannakis N., Karkavitsas N.,
Siafakas NM. 2002. Prognostic value of serum tumor markers in patients
with lung cancer. Respiration. 69: 25-29.
Huang SC., Lin JK., Lin TC., Chen WS., Yang SH., Wang HS, et al. 2015.
Concordance of Carcinoembryonic Antigen Ratio and Response
Evaluation Criteria in Solid Tumors as Prognostic Surrogate Indicators of
Metastatic Treated with Chemotherapy. Ann Surg Oncol. 22: 2262–2268.
International Agency for Research on Cancer WHO. Fact Sheets by Population,
Estimated Age-Standardise Incidence and Mortality Rates; 2015.
Jhon D., Minna. 2005. Neoplasms of The Lung.in Ed Principles of Internal
Medicine.16th. McGraw-Hill Med Pub Div. p: 506-516.
55
Johnson D.H., Marangos P.J et all. 1984. Potential utility of Serum Neruon Soecific
Enolase Levels in Small Cell Carcinoma of The Lung. Cancer Res. 44:
5409.
Jusuf A., Haryanto, Syahrudin E., Endardjo S., Mudjiantoro, Sutandio N. 2005.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); Kanker Paru.
Koepke JA. 1992. Molecular Marker Test Standardization. Cancer Supplement.
69: 1578–1581
Mason J R., Murray J., Broaddus C., Jay N. 2005. Murray & Nadel's Textbook of
Respiratory Medicine, 4th ed.
Molina R., Filella X., Auge JM. 2006. Tumour Markers in Lung Cancer. European
Oncological Disease. p: 1–5.
Nair R., Resident S., Nayal B., Rao BHA. 2015. Carcinoembryonic antigen, C-
reactive protein, and albumin as prognostic indicators in colorectal
carcinomas. Int J Sci Res. 5(2): 1–10.
Nisman B., Amir G., Lafair J et al. 1999. Prognostic value of CYFRA 21-1, TPS
and CEA in different histologic types of non-small cell lung cancer.
Anticancer Res 19: 3549–3552.
Pastor A., Menendez R., Cremades Ma J., Pastor V., Liopis S., Aznar J. 1997.
Diagnostic Value of SCC, CEA and CYFRA 21-1 in Lung Cancer: a
bayesian analysis. Eur Respir J. 10: 603–609
Pelleitier MP., Edwards MD., Michel RP., Halwani F., Morin JE. 2001. Prognostic
Markers in Resectable Non-Small Cell Lung Cancer: a Multivariate
Analysis. Journal canadien de chirurgie. 44: 180–188
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman dan tatalaksana Kanker
Paru. p: 1–6.
56
Ragab H., Maksoud NAE., Essam T. 2007. The Impact of Use Serum
Carcinoembryonic Antigen and Beta 2-microglobulin in Monitoring
Bronchogenic Carcinoma Therapy. JGEB. 5: 43–50
Shibayama T., Ueoka H., Nishii K., Kiura K., Tabata M., Miyatake K., Kitajima T.,
Harada M. 2001. Complementary roles of progastrin-releasing peptide
(proGRP) and neuron specific enolase (NSE) in diagnosis and prognosis
of small-cell lung cancer. Lung Cancer. 32: 61–69.
Souhami R.L., Bradbury I., Geddes D.M., Spiro S.G., Harper P.G., Tobias J.S.
1985. Prognostic Significance of Laboratory Parameters Measured at
Diagnosis in Small Cell Carcinoma of the Lung. Cancer Res. 45: 2878.
Vincent RG., Chu TM., Fergen TB., Ostrander M. 1975. Carcinoembryonic Antigen
in 228 Patients with Carcinoma of the Lung. Cancer. 36: 2069–2076
Wolchok JD et al. 2009. Guidelines for the evaluation of immune therapy activity
in solid tumors: immune-related response criteria. Clin Cancer Res. 15(23):
7412–7420.