Upload
hadung
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KAJIAN TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA
PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM
PERKARA TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN
DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA
(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Bayu Satria Setiadi
NIM. E0008307
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Bayu Satria Setiadi
NIM : E0008307
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
KAJIAN TERHADAP PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA
PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN DENGAN TERPIDANA EGGI
SUDJANA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010) adalah betul-betul
karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini
diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 2 Juli 2012
yang membuat pernyataan
Bayu Satria Setiadi
E.0008307
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Bayu Satria Setiadi, E 0008307. 2012. KAJIAN TERHADAP PENGAJUAN
PENINJAUAN KEMBALI SERTA PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH
AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN
DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153
PK/PID/2010). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang kesesuaian alasan-alasan
pengajuan Peninjauan Kembali serta pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam
memutus Peninjauan Kembali perkara Penghinaan Presiden dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan pengajuan Peninjauan Kembali
serta pertimbangan Hakim dalam memutus pengajuan Peninjauan Kembali ini telah
sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHAP atau belum.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah jenis
penelitian normatif, penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach), yaitu
dengan mempelajari penerapan norma-norma hukum yang dilakukan dalam praktek
hukum, teknik pengumpulan bahan hukum adalah teknik studi pustaka, sifat
penelitian preskriptif. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan adalah sumber
bahan hukum yang masih relevan dengan permasalahan yaitu berwujud bahan hukum
primer (undang-undang yang relevan), bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang
ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya
ilmiah, koran, makalah, dan majalah, serta artikel internet).
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa alasan-alasan
yang diajukan oleh pemohon Peninjauan kembali telah sesuai dengan ketentuan Pasal
263 ayat (2) KUHAP meskipun ada yang kurang sesuai yakni mengenai novum.
Kemudian mengenai pertimbangan Hakim, penulis menyimpulkan bahwa Hakim
telah melakukah kekhilafan dalam memutus Peninjauan Kembali ini karena Hakim
tidak menerapkan asas legalitas maupun retroaktif yang nyatanya menguntungkan
bagi Terpidana. Hakim telah salah menafsirkan Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Oleh karena itu harus segera diterbitkan satu ketentuan yang mengatur mengenai
keberadaan Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHAP ini sehingga tidak lagi menimbulkan
multi tafsir yang berakibat seseorang tidak mendapatkan keadilan sebagaimana
mestinya.
Kata Kunci: peninjauan kembali, penghinaan presiden, eggi sudjana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Bayu Satria Setiadi, E 0008307. 2012. A STUDY OF FILING REVIEW AND
CONSIDERATION OF JUSTICE OF THE SUPREME COURT CASE IN
CRIME WITH PRESIDENT insult convicted EGGI SUDJANA (CASE STUDY
DECISION NO. 153 PK/PID/2010). Faculty of Law Sebelas Maret University.
This research aimed to assess the reasons’ suitability of the submission of
judicial review as well as considerations of judicial review judges in deciding cases
Insult the President with the provisions of Law No. 8 of 1981 on Criminal
Proceedings (Criminal Code). The purpose of this study was to determine that the
reason for filing of judicial review and consideration of the Judge in deciding judicial
review of this filing was suitable with Article 263 paragraph (2) Criminal Code or
not.
The research method used in the writing of this law was a kind of normative
research, the authors used a case approach (case approach), ie by studying the
application of legal norms in practice of law, the collection of legal materials
engineering is the technique of book study, prescriptive nature of the study. The
sources of legal materials used were still the source of legal material relevant to the
problems of the shape of primary legal materials (relevant legislation), secondary
legal materials (text books are written by legal experts, law journals, the opinion of
the scholars, scientific works, newspapers, papers, and magazines, and internet
articles).
Based on this research, it can be concluded that the reasons put forward by
the applicant review of compliance was suitable with the provisions of Article 263
paragraph (2) Criminal Code despite the poor fit of the Novum. Then in case of the
consideration of the Judge, the authors concluded that the judge had been done a
mistaks in deciding judicial review because the judge did not apply the principle of
legality and retroactivity which in fact it gave a favor to defendants. The judge had
misinterpreted Article 1 paragraph (1) and (2) Criminal Procedure Code. Therefore,
a stipulation regarding to the existence of Article 1 paragraph (1) and (2) Criminal
Procedure Code should be immediately published so that the multiple interpretations
that made someone lose their justice can be reduced.
Keywords: review, insult the president, eggi sudjana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu
sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka” (QS 13:11)
“ALL IS WELL” (three idiots)
“Sesali masa lalu karena ada kekecewaan dan kesalahan, kemudian jadikan
penyesalan itu sebagai senjata untuk masa depan agar tidak terjadi kekecewaan dan
kesalahan lagi” (penulis)
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan sebuah karya dari hasil kerjaku untuk orang-orang yang tak
terhingga menghiasi jejak-jejak nafasku.
Tak pernah kuhenti mengucap syukur Alhamdulillah karena aku memiliki kalian
yang indah. Skripsi ini kupersembahkan untuk :
1. Bapak WR Setiadi, S.H. dan Ibu Jemitri tercinta yang selalu
memberikan doa, cinta, dan kasih sayang serta segalanya untukku,
semoga aku bisa membuat kalian bangga dan membahagiakan kalian;
2. Mbah Kung dan Alm. Mbok e yang selalu memberi kasih sayang serta
motivasi dan semangat kepada penulis;
3. Farida Nursari yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini;
4. Para pembimbing skripsiku yang telah membimbing;
5. Sahabat serta Almamaterku;
6. Pihak yang telah membantu penulisan penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KAJIAN TERHADAP
PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA PERTIMBANGAN HAKIM
MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGHINAAN
PRESIDEN DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA (STUDI KASUS
PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010)” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam setiap proses penyelesaian penulisan hukum
(skripsi) ini tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih dengan
segala kerendahan hati, dan semoga kebaikan pihak-pihak yang telah membantu akan
dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Terima kasih saya haturkan kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret yang telah mengorbankan segenap tenaga dan
pikiran demi kemajuan Fakultas Hukum UNS;
2. Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang
telah membimbing dan memotivasi penulis agar selalu bersemangat
memperbaiki prestasi akademik;
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Pembimbing Penulisan Hukum
(skripsi) I yang telah membimbing, dan memotivasi penulis dalam proses
penyelesaian penulisan hukum ini;
4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. Selaku Pembimbing Penulisan
Hukum (skripsi) II yang telah bersedia meluangkan waktu dan
pikirannya dengan sabar untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi
tersusunnya penulisan hukum ini;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
5. Bapak dan Ibu Dosen serta staf karyawan Fakultas Hukum UNS atas
segala bantuan, ilmu, wawasan, dan pelajaran yang telah diberikan
kepada penulis
6. Kedua orang tua penulis, Bapak WR Setiadi, S.H. dan Ibu Jemitri,
tercinta yang selalu memberikan doa, cinta, dan kasih sayang serta
segalanya untuk penulis;
7. Mbah Kung dan Alm. Mbok e yang selalu memberi kasih sayang serta
motivasi dan semangat kepada penulis;
8. Farida Nursari yang selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi
penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini;
9. Sahabat seperjuanganku Bhirawa dan Tito;
10. Teman-teman FH UNS 2008;
11. Teman-teman kos gedeath (Mas Faisal, Mas Edo, Mas Burhan, Jalu,
Henry, Seto, ShiJack) yang sudah memberi motivasi dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini;
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu masukan, saran tetap penulis harapkan. Semoga Penulisan
Hukum (Skripsi) ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan
penulisan hukum ini khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 2 Juli 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... .iii
PERNYATAAN .................................................................................................... .iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
ABSTRACT ........................................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5
E. Metode Penelitian............................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ......................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori................................................................................. 12
1. Tinjauan Umum Upaya Hukum Peninjauan Kembali ............... 12
2. Tinjauan Tentang Dasar Hukum Pengajuan Peninjauan
Kembali ...................................................................................... 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
3. Tinjauan Tentang Yang Dapat Mengajukan Peninjauan
Kembali ...................................................................................... 24
4. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim ................................. 24
B. Kerangka Pemimkiran ...................................................................... 29
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................................. 32
1. Kasus Posisi ............................................................................... 32
2. Identitas Terpidana .................................................................... 34
3. Dakwaan .................................................................................... 34
4. Tuntutan ..................................................................................... 36
5. Putusan Pengadilan Negeri ........................................................ 36
6. Putusan Pengadilan Tinggi ........................................................ 37
7. Putusan Kasasi Mahkamah Agung ............................................ 38
B. Pembahasan ...................................................................................... 39
1. Analisis Kesesuaian Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh
Terpidana Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si. Terhadap
Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana ................................................................. 39
2. Analisis Kesesuaian Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali
Terhadap Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana .................................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 70
B. Saran ................................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran ................................................................. 29
Tabel 1. Komparasi Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali dengan Ketentuan dalam
KUHAP .................................................................................................................. 53
Tabel 2. Komparasi Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali dengan Ketentuan
dalam KUHAP ....................................................................................................... 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara republik yang
dipimpin oleh seorang presiden. Tindakan penghinaan kepada presiden
merupakan suatu tindakan yang secara tidak langsung juga menghina negara
karena kedudukan presiden sebagai kepala negara. Pasal 134 KUHP menyatakan
bahwa Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sejak terjadinya gerakan reformasi tahun 1998, kebebasan berpendapat
setiap masyarakat warga negara Indonesia menjadi suatu hal yang dijunjung
tinggi. Sejak saat itu sering terjadi unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan
oleh masyarakat untuk mengkritik pemerintah ataupun hal-hal lain yang
menyangkut isu yang sensitif di masyarakat. Sering dalam unjuk rasa tersebut
terjadi berbagai macam tindakan yang cenderung mengarah ke tindakan anarkis.
Tidak jarang pula presiden dan wakil presiden menjadi ajang pelampiasan
kekesalan masyarakat yang marah dengan keadaan negara ini. Berlindung di
bawah payung bernama demokrasi, para pengunjuk rasa seolah tidak
memperhatikan lagi kedudukan presiden dan wakil presiden sebagai kepala
negara.
Argumentasi klasik untuk melindungi kebebasan berpendapat sebagai
suatu hak dasar (fundamental right) menurut John Stuart Mill adalah hal tersebut
sangat penting untuk menemukan esensi dari adanya suatu kebenaran. Bahkan,
Alan Howard dalam bukunya “Free Speech” (1998) berpendapat bahwa
pengertian memberikan pendapat secara luas, termasuk yang bernada menyerang,
tetap harus diberikan perlindungan yang sama apapun itu bentuknya (Pan
Mohamad Faiz. Pencabutan Pasal Penghinaan Presiden.
http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/12/pencabutan-pasal-penghinaan-
presiden.html).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Kasus yang penulis angkat untuk diteliti adalah sebuah kasus yang
menurut penulis sangat menarik untuk dikaji. Seorang pengacara bernama Eggi
Sudjana menyebut nama Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono ikut menerima mobil mewah dari salah seorang pengusaha media.
Karena pernyataannya ini, Eggi Sudjana ditetapkan menjadi tersangka hingga
akhirnya divonis bersalah di pengadilan. Eggi Sudjana dinyatakan terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana penghinaan dengan
sengaja terhadap presiden. Oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eggi
Sudjana dipidana penjara selama 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan
(Andi Saputra. PK Ditolak, Eggi Sudjana Jadi Terpidana Kasus Penghinaan
Presiden. http://news.detik.com/read/2011/08/27/002736/1712270/10/pk-ditolak-
eggi-sudjana-jadi-terpidana-kasus-penghinaan-presiden).
Pada saat proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berjalan,
Eggi Sudjana melakukan uji materi pasal yang didakwakan kepada dirinya ke
Mahkamah Konstitusi. Pada saat sebelum vonis dijatuhkan oleh hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, putusan Mahkamah Konstitusi telah
menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis KUHP yang didakwakan kepada
Eggi Sudjana dinyatakan sudah tidak mempunyai hukum yang mengikat lagi atau
tidak berlaku lagi. Namun demikian Eggi Sudjana tetap dinyatakan bersalah oleh
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah di vonis bersalah oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eggi melakukan upaya hukum banding dan
juga kasasi, namun hakim tetap memutus yang bersangkutan bersalah dan
pengajuan kasasinya pun ditolak oleh Hakim Mahkamah Agung.
Pada akhirnya Eggy mengajukan permohonan peninjauan kembali,
namun Hakim Mahkamah Agung masih tetap menolak peninjauan kembali yang
diajukannya dan menetapkan putusan hakim pada tingkat peradilan sebelumnya
tetap berlaku. Keganjilan muncul ketika Pasal 134 dan Pasal 136 bis KUHP yang
digunakan untuk menjerat Eggi Sudjana telah dinyatakan tidak berkekuatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
hukum yang mengikat atau telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Namun
Eggi Sudjana tetap di vonis bersalah. Hal ini menjadi tanda tanya besar di
masyarakat, bagaimana mungkin seseorang tetap divonis bersalah ketika pasal
yang menjeratnya telah tidak berlaku lagi. Dalam hukum pidana dikenal ada asas
retroaktif yaitu sebuah asas yang menyatakan bahwa apabila ada peraturan
terbaru yang sifatnya meringankan seorang terdakwa maka peraturan itulah yang
harus di terapkan. Pasal 1 ayat (2) KUHP menyatakan Bilamana ada perubahan
dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap
terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Salah satu alasan
pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh terpidana Eggi Sudjana adalah
pertimbangan hakim kasasi yang menyatakan putusan pengadilan tingkat
banding yang mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 013-
022/PUU-IV/2006 adalah tindakan yang benar, sedangkan menurut pihak
terpidana hal itu adalah keliru. Akan tetapi Majelis hakim Peninjauan Kembali
menolak alasan tersebut disebabkan bukan merupakan alasan mengajukan
Peninjauan Kembali.
Kasus tersebut menjadi suatu permasalahan terhadap hukum di Indonesia.
Asas hukum pidana yang berlaku pun tidak memberikan penjelasan dengan pasti
bagaimana seharusnya diterjemahkan sehingga masing-masing pihak dapat
menerjemahkan sesuai dengan pengertian masing-masing. Moeljatno dalam
bukunya Asas-Asas Hukum Pidana menulis seharusnya dilihat terlebih dahulu
apa yang menyebabkan suatu undang-undang diubah. Jika perubahan atas
undang-undang disebabkan atas patut atau tidak patut dipidananya sesuatu
perbuatan yang telah dilakukan, maka itu adalah perbuatan yang dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (2) KUHP. Dan jika perubahan itu timbul karena sifat sementaranya
suatu aturan, atau waktu berlakunya suatu aturan itu telah habis, maka itu bukan
termasuk dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Berdasarkan uraian masalah tersebut maka penulis tertarik untuk
membahas masalah tersebut dengan judul : “KAJIAN TERHADAP
PENGAJUAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA PERTIMBANGAN HAKIM
MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
PENGHINAAN PRESIDEN DENGAN TERPIDANA EGGI SUDJANA
(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 153 PK/PID/2010)”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk mencari jawaban dari
masalah yang diteliti menjadi lebih terarah, jelas dan sistematis. Maka
perumusan masalah yang diambil yang berhubungan dengan judul tersebut
adalah :
1. Apakah pengajuan peninjauan kembali oleh pemohon pada perkara nomor
153 PK/PID/2010 telah sesuai dengan ketentuan KUHAP?
2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan memutus peninjauan kembali perkara nomor 153
PK/PID/2010 telah sesuai dengan ketentuan KUHAP?
C. Tujuan Penelitian
Setiap hal yang dilakukan pada dasarnya selalu memiliki tujuan yang
hendak dicapai. Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana,
dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan jawaban
dari permasalahan yang diteliti. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Tujuan objektif
a. Untuk mengetahui bahwa upaya hukum peninjauan kembali yang
dilakukan oleh pemohon tersebut telah sesuai dengan ketentuan
KUHAP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan memutus peninjauan kembali tersebut telah sesuai
dengan KUHAP.
2. Tujuan subjektif
a. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis,
khususnya dalam bidang hukum acara pidana mengenai ketentuan
penerapan terhadap peraturan yang telah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
b. Untuk memperoleh bahan hukum sebagai bahan utama penyusunan
penulisan hukum guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu bentuk proses untuk mendapatkan aturan-
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk
mendapatkan jawaban dari isu-isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud
Marzuki, 2010 : 35). Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan
hukum ini akan mempunyai manfaat bagi penulis dan orang lain. Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian hukum ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya
dan hukum acara pidana pada khususnya terutama yang berhubungan
dengan pengajuan Peninjauan Kembali.
b. Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penulisan
maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua
pihak yang berkepentingan dan memberikan jawaban terhadap
permasalahan yang diteliti serta memberikan jawaban mengenai
prosedur atau proses pengajuan Peninjauan Kembali.
c. Guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah
sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan
ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.
(Peter Mahmud Marzuki 2010 : 35)
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari jenisnya penelitian hukum yang penulis lakukan
termasuk jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau bahan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder.
2. Sifat Penelitian
Sifat dalam penelitian hukum ini adalah preskriptif dan terapan. Ilmu
hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang bersifat preskiptif dan terapan.
Sebagai ilmu yang mempunyai sifat tersebut, ilmu hukum mempelajari
diantaranya tujuan hukum, nilai-nilai atas keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Serta sebagai ilmu terapan
ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-
rambu atau batasan-batasan dalam melaksanakan aturan hukum (Peter
Mahmud Marzuki 2010 : 22). Sifat preskiptif dalam penelitian ini adalah
penulis akan mempelajari mengenai putusan Mahkamah Agung nomor 153
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
PK/PID/2010 tentang putusan atas Peninjauan Kembali yang diajukan oleh
Eggi Sudjana mengenai perkara penghinaan kepada presiden. Kemudian
penulis akan mengkaji mengenai dasar pemohon Peninjauan Kembali dalam
mengajukan permohonannya serta dasar pertimbangan Majelis Hakim
Mahkamah Agung dalam memutus permohonan Peninjauan Kembali
tersebut.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum dimulai dengan melakukan pengumpulan terhadap
bahan-bahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu putusan hukum.
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan penelitian,
diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis atau sejarah
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan kasus (case
approach). (Peter Mahmud Marzuki 2010 : 93).
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kasus (case
approach), yaitu dengan mempelajari penerapan norma-norma hukum yang
dilakukan dalam praktek hukum. Model penelitian dengan pendekatan kasus
dipilih karena dalam penulisan hukum ini penulis mencari ratio decidendi,
yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan Hakim dalam memutus suatu
perkara. (Peter Mahmud Marzuki 2010 : 119). Pendekatan kasus dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan
isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Sumber Penelitian Hukum
Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya yang berjudul Penelitian
Hukum membedakan sumber-sumber penelitian hukum menjadi sumber
bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder. Bahan hukum
primer adalah bahan hukum yang bersifat mempunyai otoritas. Bahan-bahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan untuk bahan-bahan sekunder dapat berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, seperti
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer dan
sekunder seperti berikut:
a. Bahan-Bahan Hukum Primer:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Jo. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
5) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006;
7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 153 PK/PID/2010.
b. Bahan-Bahan Hukum Sekunder:
1) Buku-buku yang mendukung atau berkaitan dengan permasalahan
yang akan diteliti;
2) Jurnal hukum yang mendukung atau berkaitan dengan
permasalahan;
3) Penelitian hukum terdahulu yang mendukung atau berkaitan dengan
permasalahan;
4) Kamus hukum;
5) Artikel di media cetak maupun elektronik yang mendukung atau
berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan
hukum ini adalah studi kepustakaan. Setelah isu atau permasalahan hukum
ditetapkan, penulis kemudian mencari bahan-bahan hukum yang berkaitan
dengan permasalahan hukum yang akan dikaji. Menurut Peter Mahmud
Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum menulis apabila penelitian
menggunakan pendekatan perundang-undangan, yang harus dilakukan oleh
peneliti adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau
berkaitan dengan permasalahan hukum terebut. Oleh karena itulah untuk
memecahkan suatu permasalahan hukum, peneliti harus menelusuri banyak
berbagai produk undang-undang. Bahkan ada kalanya undang-undang yang
tidak langsung berkaitan dengan permasalahan hukum yang hendak
dipecahkan harus menjadi bahan hukum bagi penelitian tersebut.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis adalah metode
deduksi. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief
Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan
dari hal yang berifat umum menjadi kasus yang bersifat individual.
Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang
berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dahadapi (Johny
Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter Mahmud Marzuki yang
mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi
sebagaimana silogisme yang diajarkan Aristoteles, penggunaan metode
deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat
umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua
premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan. Akan tetapi di dalam
argumementasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme
tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2010 : 47). Jadi dapat ditarik
kesimpulan bahwa logika deduktif atau pengolahan hukum dengan cara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian
menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.
Dalam penelitian ini, bahan hukum yang diperoleh dengan cara
menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat
membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
Tahapan terakhir adalah menarik kesimpulan dari bahan hukum yang
diperoleh.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk
mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum yang terdiri dari empat bab
yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan, dan penutup. Adapun
sistematika yang diperinci adalah sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian hukum, metode penelitian yang digunakan, dan
sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian hukum ini.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini. Penulis akan memaparkan mengenai landasan teori
atau memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan
hukum yang akan penulis gunakan. Landasan teori tersebut meliputi
tinjauan umum tentang peninjauan kembali, tinjauan umum tentang dasar
hukum pengajuan peninjauan kembali, tinjauan umum tentang yang dapat
mengajukan peninjauan kembali, dan tinjauan umum tentang putusan
Hakim. Selain itu untuk mempermudah alur berpikir terdapat pula
kerangka pemikiran yang disertakan pula dalam bab ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis membahas dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu apakah pengajuan peninjauan
kembali oleh pemohon pada perkara nomor 153 PK/PID/2010 telah sesuai
dengan ketentuan KUHAP serta apakah yang menjadi dasar pertimbangan
hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus peninjauan
kembali perkara nomor 153 PK/PID/2010 telah sesuai dengan ketentuan
KUHAP.
BAB IV: PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan
yang dapat diperoleh dari hasil pembahasan dan penelitian yang
dilakukan, serta saran-saran yang dapat penulis berikan sebagai bahan
evaluasi atau perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi sumber-sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan
hukum baik langsung maupun tidak langsung.
LAMPIRAN
Berisi instrumen-instrumen penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Peninjauan Kembali
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
tidak memberikan pengertian secara nyata tentang upaya hukum peninjauan
kembali, oleh karena itu kita harus mencari pengertian peninjauan kembali
ini dengan memahami secara menyeluruh pasal demi pasal yang mengatur
tentang upaya hukum peninjauan kembali ini. Darwan Prinst dalam bukunya
Hukum Acara Pidana Dalam Praktik menulis peninjauan kembali dapat
diajukan atau dimohonkan atas putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap di semua tingkat pengadilan. Pasal 263 ayat (2)
KUHAP menjelaskan tentang alasan mengajukan peninjauan kembali :
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu
dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah putusan
secara sah diberitahukan kepada terdakwa, sejak saat itu melekat sifat
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Maka sejak saat itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
dapat diajukan peninjauan kembali terhadap putusan tersebut. Atau dengan
kata lain peninjauan kembali dapat diajukan terhadap putusan Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi serta Kasasi Mahkamah Agung yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Hak mengajukan peninjauan kembali
merupakan hak timbal balik yang diberikan kepada terpidana untuk
menyelaraskan keseimbangan hak mengajukan permintaan kasasi demi
kepentingan hukum yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum
melalui Jaksa Agung. (M Yahya Harahap, 2010 : 615). Prosedur pengajuan
Peninjauan Kembali :
a. Permintaan pemeriksaan Peninjauan Kembali diajukan kepada Panitera
pengadilan dimana perkaranya diputus dalam tingkat pertama peradilan.
b. Pemeriksaan dilakukan oleh Hakim yang berbeda dengan Hakim yang
sebelumnya memeriksa perkara yang sama pada tingkat peradilan
sebelumnya dan ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri.
c. Dihadiri Pemohon Peninjauan Kembali dan Jaksa dapat menyampaikan
pendapatnya.
d. Setelah itu atas pemeriksaan Peninjauan Kembali dibuat berita acara
pemeriksaan yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, Pemohon
Peninjauan Kembali dan Panitera. Berdasarkan berita acara itu dibuat
berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera.
e. Ketua Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan Peninjauan
Kembali dilampiri berkas perkara semula ke Mahkamah Agung, salinan
surat pengirimannya dikirimkan pada Jaksa dan pemohon Peninjauan
Kembali. (Luhut M.P. Pangaribuan, 2008 : 106).
2. Tinjauan Tentang Dasar Hukum Pengajuan Peninjauan Kembali
Sebelum berlakunya KUHAP, maka belum ada undang-undang yang
mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
berisi mengenai kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik pada perkara
perdata maupun pidana. Mengenai Perkara Pidana dalam Perma Mahakamah
Agung Nomor 1 Tahun 1980 tersebut tercantum dalam Pasal 9, yang
menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu
putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
mengandung pemidanaan dengan alasan:
a. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-
keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu sama lain bertentangan;
b. Apabila terdapat suatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan
yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu siding masih
berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung
pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas
dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana,
pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara
ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana
lain yang lebih ringan. (Andi Hamzah 2011 : 304-305).
Kemudian undang-undang yang mengatur tentang upaya hukum
Peninjauan Kembali yang berlaku sampai sekarang adalah:
a. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Pasal 1 angka (12)
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Pasal 263
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang
masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2)
terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah
dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 264
1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama
dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (2) berlaku
juga bagi permintaan peninjauan kembali.
3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka
waktu.
4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang
kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima
permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia
mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera
membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan
kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung,
disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265
1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim
yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan
kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan
kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (2).
2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon
dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang
ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan
berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang
ditandatangani oleh hakim dan panitera.
4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan
kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung
yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon
dan jaksa.
5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali
adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar
tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta
berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding
yang bersangkutan.
Pasal 266
1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana tersebut Pasal 263 ayat (2), Mahkamah
Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak
dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.
2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan
peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a) apabila Mahakamah Agung tidak membenarkan alasan
pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan
kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar
pertimbangannya;
b) apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu dan menjauhkan putusan yang dapat
berupa:
(1) putusan bebas;
(2) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
(3) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
(4) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak
boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 267
1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali
beserta berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan
tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan
permintaan peninjauan kembali.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah
Agung mengenai peninjauan kembali.
Pasal 268
1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan
tersebut.
2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh
Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia,
mengenai diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut
diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja.
Pasal 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan
Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap
putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
b. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Pasal 34
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan
peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan
alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV bagian keempat undang-undang
ini.
Pasal 66
1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya (1) satu kali.
2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum
diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan
kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Pasal 67
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara yang telah
memperoleh kekuaatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut:
1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus
atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu;
2) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan;
3) Apabila telah dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih
dari pada yang dituntut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
4) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus
dipertimbangkan sebas-sebabnya;
5) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atas sama
tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain;
6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 68
1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para
pihak yang berpekara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal
dunia, permohonan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Pasal 69
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali
yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67
adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk:
1) Yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan
hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang
berperkara;
2) Yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang
hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah
dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
3) Yang disebut pada huruf c, d dan f sejak putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak
yang berperkara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
4) Yang tersebut pada huruf e sejak putusan terakhir dan bertentangan
itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan
kepada pihak yang berperkara.
Pasal 70
1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh permohonan kepada
Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara
yang diperlukan.
2) Mahkamah agung memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir.
Pasal 71
1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara
tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alas an yang dijadikan
dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan
Negeri.
2) Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan
permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri
yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat catatan tentang
permohonan tersebut.
Pasal 72
1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara dalam
tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka
Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari memberikan atau mengirimkan salinan
permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan
maksud:
a) Dalam hal permohona peninjauan kembali didasarkan atas alas
an sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau b agar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan
jawabannya;
b) Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan salah
satu alasan yang tersebut pada Pasal 67 huruf c sampai dengan
hurtuf f agar dapat diketahui.
2) Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya
sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah 30 (tiga puluh)
hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan
kembali.
3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu
oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban
tersebut, yang salinanya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak
pemohon untuk diketahui.
4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta
biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak dapat diadakan surat
menyurat antara pemohon dan/ atau pihak lain dengan Mahkamah
Agung.
Pasal 73
1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri
yang memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama atau Pengadilan
Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau
meminta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan
yang dimaksud.
2) Mahkamah Agung dapat meminta pemeriksaan dari Jaksa Agung
atau dari pejabat lainyang diserahi tugas penyidikan apabila
diperlukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3) Pengadilan yang dimaksud ayat (1), setelah melaksanakan perintah
Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita acara
pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana
dimaksudkan ayat (1), kepada Mahkamah agung.
Pasal 74
1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya
memeriksa dan memutus sendiri perkaranya.
2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali,
dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu
tidak beralasan.
3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan
ayat (2) disertai pertimbangan-pertimbangan.
Pasal 75
Mahkamah agung mengirim salinan putusan atas permohonan
peninjauan kembali kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara
dalam Tingkat Pertama dan selanjutnya Panitera Pengadilan Negeri
yang bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada pemohon
serta memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan dengan
memberikan salinannya, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari.
Pasal 76
Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan
perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan
secara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
c. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan
peninjauan kembali.
3. Tinjauan Tentang Yang Dapat Mengajukan Peninjauan Kembali
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan
pengadilan yang telah meperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung. Oleh karena itu meskipun ada pihak lain yang merasa dirugikan atas
suatu putusan pengadilan, maka tidak dibenarkan dalam hukum pihak lain
tersebut mengajukan peninjauan kembali. Tujuan dibentuknya lembaga
Peninjauan Kembali adalah untuk melindungi serta mempertahankan hak-
hak terpidana atas adanya putusan Hakim yang salah yang tidak dapat
dimintakan revisi atau perubahan melalui upaya hukum biasa. Berdasarkan
tujuan pembentukannya, maka wajar jika Peninjauan Kembali tidak dapat
dilakukan oleh Jaksa. (Adami Chazawi, 2006 : 264)
4. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
a. Tugas, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim
Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim
adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui
perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang
diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat
Indonesia. Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim
mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum.
Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab
profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu:
1) Tanggung jawab moral
Adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang
bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat
kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para
hakim bersangkutan.
2) Tanggung jawab hukum.
Adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk
dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-
rambu hukum.
3) Tanggung jawab teknis profesi.
Adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan
tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang
berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat
umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
b. Pengertian Putusan Hakim
Menurut buku yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, pengertian putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu
yang telah dipertimbangkan atau dinilai dengan seksama yang dapat
berupa tulisan maupun lisan (Leden Marpaung, 1992 : 406). Kemudian
KUHAP juga memberikan pengertian terhadap pengertian putusan
pengadilan, yakni pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dalam undang-undang. Selain kedua pengertian tersebut ada pula yang
mengartikan putusan adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di
sidang pengadilan.
Banyaknya penafsiran mengenai arti putusan ini tidak lain
disebabkan oleh karena undang-undang yang dianut Indonesia adalah
undang-undang milik Belanda yang selain peraturan undang-undang,
istilah hukum pun diikuti oleh Indonesia, kemudian istilah-istilah
tersebut diterjemahkan oleh ahli bahasa dan bukan oleh ahli hukum. Hal
inilah yang kemudian menimbulakn banyak arti terhadap istilah-istilah
hukum. Banyak pihak yang menyebut putusan pengadilan dengan
keputusan pengadilan, padahal kedua kata tersebut adalah sangat
berbeda (Lilik Mulyadi, 2000 : 145).
c. Dasar Putusan Hakim.
Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan
pembuktian. Pembuktian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
perkara pidana karena dalam perkara pidana, tugas utama hakim adalah
mencari kebenaran materiil. Pembuktian di sidang pengadilan untuk
dapat menjatuhkan pidana, sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit
dua alat bukti yang sah dan didukung adanya keyakinan hakim. Pasal
184 KUHAP menyebutkan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Yang diamaksud dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yaitu berarti merupakan dua diantara alat-alat bukti yang sah menurut
ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:
1) Keterangan saksi
2) Keterangan ahli
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
3) Surat
4) Petunjuk
5) Keterangan terdakwa
Putusan hakim dilakukan setelah masing-masing hakim yakni
hakim ketua serta hakim anggota menyampaikan pendapat atau
pertimbangan-pertimbangan dan keyakinannya masing-masing atas
perkara tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Hal ini
diatur dalam Pasal 182 KUHAP.
d. Pertimbangan Hakim.
Setiap putusan hakim yang dikeluarkan oleh hakim harus disertai
pertimbangan hakim sebagai pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara mengenai dasar
pertimbangan mengapa hakim memberikan putusan yang demikian
berdasarkan undang-undang yang ia gunakan untuk memeriksa tindak
pidana tersebut. Hakim sebelum mengambil putusan terlebih dulu
menyusun suatu pertimbangan yang disusun secara ringkas, mengenai
fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Hal ini
diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu:
1) Pertimbangan yang bersifat yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim
yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam
persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang
harus dimuat di dalam putusan.
2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis.
Pertimbangan yang tidak berdasarkan undang-undang atau
pertimbangan yang berdasarkan peraturan di luar Undang-Undang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
e. Putusan Hakim
Pada nyatanya, putusan hakim dapat berupa:
1) Putusan Pemidanaan, yaitu putusan yang pada amarnya berupa
penjatuhan pidana atau putusan yang berisi hukuman atau dapat
juga dikatakan sebagai putusan yang berisi pernyataan salah
terhadap terdakwa. Hal ini sesuai asas tiada pidana tanpa kesalahan
yang terdapat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 183
KUHAP. Karena adanya kesalahan maka terdakwa dipidana oleh
pengadilan dibebani untuk membayar biaya perkara.
2) Putusan Bebas, yakni hakim akan memberikan putusan bebas
apabila kesalahan yang disangkakan kepada terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan. Diatur dalam Pasal 191 ayat (1)
KUHAP.
3) Putusan Lepas, yakni putusan yang dijatuhkan apabila perbuatan
terdakwa yang terbukti itu bukan merupakan suatu tindak pidana,
atau hilang sifat melawan hukumnya perbuatan karena dibenarkan
oleh undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 191 Ayat (2)
KUHAP. Kemudian yang disebut dengan hilang sifat melawan
hukum suatu perbuatan karena sebab yang dibenarkan undang-
undang karena terdapat dua alasan, yaitu:
a) Alasan Pemaaf, yaitu suatu alasan yang menghapus kesalahan
orang yang melakukan perbuatan pidana. Alasan pemaaf diatur
dalam Pasal 44 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 49 KUHP.
b) Alasan Pembenar, yaitu suatu alasan yang menghapus sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan pidana sehingga perbuatan
tersebut menjadi dibenarkan. Alasan pembenar diatur dalam
Pasal 49 Ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP, Pasal 51 Ayat (1)
KUHP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
B. Kerangka Pemikiran
Studi Kasus Penghinaan
Presiden oleh Eggi
Sudjana
Didakwa Melanggar Pasal 134 dan Pasal 136 bis
KUHP
Mahkamah Konstitusi
mencabut Pasal 134 dan 136
bis KUHP
Pengadilan Negeri memutus bersalah
melanggar Pasal 134 dan 136bis
KUHP
Pengadilan Tinggi Menguatkan
putusan Pengadilan Negeri,
Mahkamah Agung menolak Kasasi Banding dan Kasasi
Permohonan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Menolak
Permohonan Peninjauan Kembali
Terpidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan bahwa
kasus ini bermula ketika Eggi Sudjana memberikan pernyataan bahwa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima sebuah mobil mewah dari
seorang pengusaha. Pernyataan ini disampaikan di hadapan wartawan di
gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian Eggi Sudjana
diajukan ke pengadilan karena melanggar Pasal 134 dan 136 bis KUHP.
Namun, ketika proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berlangsung, Eggi Sudjana mengajukan uji materi Pasal 134 dan 136 bis serta
Pasal 137 KUHP ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat keluar, putusan Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu
keluar dengan putusan menyatakan Pasal 134 dan 136 bis serta Pasal 137
KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atas keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta pusat pada akhirnya tetap memutus Eggi Sudjana
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penghinaan
terhadap presiden dan dijatuhi hukuman 3 bulan penjara dengan masa
percobaan 6 bulan. Eggi kemudian banding akan tetapi Pengadilan Tinggi
justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Eggi Sudjana
kemudian melakukan kasasi namun lagi-lagi usaha Eggi gagal karena
Mahkamah Agung menolak kasasi Eggi Sudjana. Setelah itu Eggi Sudjana
melakukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Salah
satu alasan yang dikemukakan Eggi Sudjana dalam memori peninjauan
kembali nya adalah hakim judex facti dan judex juris telah melakukan
kekhilafan dengan tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi yang
mencabut Pasal 134 dan 136 bis KUHP. Namun Mahkamah Agung justru
menolak permohonan peninjauan kembali Eggi Sudjana dengan salah satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
alasan bahwa judex facti maupun judex juris tidak melakukan kekhilafan
maupun suatu kekeliruan yang nyata, dimana menurut Mahkamah Hukum
alasan-alasan yang diajukan oleh Eggi Sudjana tidak sesuai dengan alasan
pengajuan peninjauan kembali yang ada dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b
dan c KUHAP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada bab ini penulis menyajikan berbagai bahan hukum yang diperoleh
selama melakukan penelitian, bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi
kepustakaan dan analisa kasus yang telah menjadi berkas perkara. Berkas perkara
di sini yang dipelajari adalah berkas perkara yang telah diputus pada pengadilan
tingkat Peninjauan Kembali yaitu di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Kasus atau berkas perkara tersebut diperoleh dengan cara pengambilan data dari
dokumen putusan perkara yang tercatat di Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Adapun kasus tersebut di atas dapat didefinisikan sebagai berikut, yaitu
putusan peninjauan Kembali perkara Mahkamah Agung Nomor : 153
PK/PID/2010 dalam perkara Peninjauan Kembali dengan terpidana Dr. EGGI
SUDJANA, S.H., M.Si. Untuk mengetahui lebih rinci dan mendalam tentang
berkas perkara tersebut, maka berikut ini peneliti akan menguraikan hasil
penelitian yang telah diperoleh
1. Kasus Posisi
Kasus ini berawal pada hari selasa tanggal 3 Januari 2006 sekitar
pukul 12.00 Wib di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Eggi Sudjana seorang pengacara menyebut nama Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ikut menerima mobil mewah dari
salah seorang pengusaha media. Karena pernyataannya ini, Eggi Sudjana
ditetapkan menjadi tersangka hingga akhirnya divonis bersalah di pengadilan.
Eggi Sudjana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah,
melakukan tindak pidana penghinaan dengan sengaja terhadap presiden. Oleh
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eggi Sudjana dipidana penjara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
selama 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan (Andi Saputra. PK
Ditolak, Eggi Sudjana Jadi Terpidana Kasus Penghinaan Presiden).
Pada saat proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berjalan, Eggi Sudjana melakukan uji materi pasal yang didakwakan kepada
dirinya ke Mahkamah Konstitusi. Pada saat sebelum vonis dijatuhkan oleh
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, putusan Mahkamah Konstitusi telah
menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis KUHP yang didakwakan kepada
Eggi Sudjana dinyatakan sudah tidak mempunyai hukum yang mengikat lagi
atau tidak berlaku lagi. Namun demikian Eggi Sudjana tetap dinyatakan
bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah divonis
bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eggi melakukan upaya hukum
banding dan juga kasasi, namun hakim tetap memutus yang bersangkutan
bersalah dan pengajuan kasasinya pun ditolak oleh Hakim Mahkamah
Agung.
Pada akhirnya Eggy mengajukan permohonan peninjauan kembali,
namun Hakim Mahkamah Agung masih tetap menolak peninjauan kembali
yang diajukannya dan menetapkan putusan hakim pada tingkat peradilan
sebelumnya tetap berlaku. Keganjilan muncul ketika Pasal 134 dan Pasal 136
bis KUHP yang digunakan untuk menjerat Eggi Sudjana telah dinyatakan
tidak berkekuatan hukum yang mengikat atau telah dicabut oleh Mahkamah
Konstitusi. Namun Eggi Sudjana tetap divonis bersalah. Hal ini menjadi
tanda tanya besar di masyarakat, bagaimana mungkin seseorang tetap divonis
bersalah ketika pasal yang menjeratnya telah tidak berlaku lagi. Dalam
hukum pidana dikenal ada asas retroaktif yaitu sebuah asas yang menyatakan
bahwa apabila ada peraturan terbaru yang sifatnya meringankan seorang
terdakwa maka peraturan itulah yang harus di terapkan. Pasal 1 ayat (2)
KUHP menyatakan Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
yang paling menguntungkannya. Salah satu alasan pengajuan peninjauan
kembali yang diajukan oleh terpidana Eggi Sudjana adalah pertimbangan
hakim kasasi yang menyatakan putusan pengadilan tingkat banding yang
mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 013-022/PUU-
IV/2006 adalah tindakan yang benar, sedangkan menurut pihak terpidana hal
itu adalah keliru. Akan tetapi Majelis hakim Peninjauan Kembali menolak
alasan tersebut disebabkan bukan merupakan alasan mengajukan Peninjauan
Kembali.
2. Identitas Terdakwa
Nama : Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si.;
Tempat lahir : Jakarta;
Umur/tanggal lahir : 47 Tahun/3 Desember 1959;
Jenis kelamin : Laki- laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat tinggal : Vila Pajajaran Permai
Jalan Sultan Agung No. 1 RT. 05/06
Kelurahan Babakan, Kota Bogor, Jawa Barat;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Advokat.
3. Dakwaan
Bahwa Ia, Terdakwa Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si, pada hari
Selasa tanggal 3 bulan Januari tahun 2006 sekitar jam 12.00 Wib atau setidak-
tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2006, bertempat di Lobby
Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jalan Veteran III Nomor 2
Jakarta Pusat, atau setidak- tidaknya ditempat-tempat lain dalam wilayah
hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Dengan sengaja melakukan
penghinaan terhadap Presiden, dilakukan di luar kehadiran yang dihina, baik
dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak dimuka umum dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, atau dihadapan
orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa
tersinggung, yaitu dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:
a. Bahwa pada awalnya Terdakwa berada di Kantor Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) adalah dalam rangka kepentingan kliennya atas nama
ECW NELOE;
b. Bahwa selanjutnya ketika berada di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dihadapan orang lain atau dihadapan pers baik dari
kalangan media cetak dan elektronik diantaranya Reporter RCTI, TPI,
Metro TV, Detik Com, Radio Elsinta, wartawan Rakyat Merdeka,
Kompas, Republika, yaitu diantaranya saksi Alexander Zulkarnain
(Reporter RCTI), saksi Ubaidillah (Kameramen TPI), Terdakwa telah
mengemukakan atau mengucapkan perkataan- perkataan yang menyerang
nama baik, martabat atau keagungan Presiden Republik Indonesia, yakni
diantaranya:
1) “……yang ingin saya klarifikasi dengan Ketua KPK atau jajaran
KPK, bahwa ada pengusaha yang memberikan mobil mungkin
jenisnya Jaguar kurang lebih begitu, kepada Kementerian Sekab dan
Juru Bicara Presiden juga Presiden yang kemudian dipakai oleh
anaknya” ;
2) “…….oleh karena itu keberanian untuk mengungkap ada pada KPK
yang katanya pemberantasan korupsi tidak pandang bulu, ini terjadi
disekitar istana dan orang istana yang melakukan” ;
3) “……..pengusahanya itu namanya Hary Tanu, ya pers tahu lah” ;
c. Bahwa kata- kata yang dikemukakan atau diucapkan oleh Terdakwa, yang
dimaksudkan Terdakwa, “Presiden” adalah Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden Republik Indonesia saat itu, dan Terdakwa mengetahui bahwa
kata- kata yang dikemukakannya atau diucapkannya akan didengarkan
dan diketahui oleh Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Yudhoyono) serta orang lain, sebab diucapkan dihadapan pers, baik dari
kalangan media cetak maupun elektronik yang akan menyiarkannya
sehingga akan didengarkan dan diketahui pula oleh seluruh Rakyat
Indonesia ;
d. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
134 jo. Pasal 136 bis Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ;
4. Tuntutan
a. Menyatakan Terdakwa Dr. EGGI SUDJANA, S.H., M.Si bersalah
melakukan tindak pidana “Penghinaan Presiden” sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 134 jo. Pasal 136 bis KUHP, sesuai Surat
Dakwaan;
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa berupa pidana penjara selama 4
(empat) bulan, dengan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan;
c. Memerintahkan barang bukti berupa :
1) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers Terdakwa yang
dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor KPK Jalan Veteran
III No. 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI;
2) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers Terdakwa yang
dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor KPK yang dibuat
oleh Alexander Zulkarnaen, reporter RCTI;
agar tetap terlampir dalam berkas perkara;
d. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,-
(seribu rupiah).
5. Putusan Pengadilan Negeri
Pada tanggal 22 Februari 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengeluarkan putusan dengan nomor putusan
1411/PID.B/2006/PN.JKT.PST yang amar putusannya sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
a. Menyatakan bahwa Terdakwa Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si tersebut,
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah: Melakukan Tindak
Pidana “Penghinaan Terhadap Presiden”
b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan, dengan perintah bahwa pidana itu tidak
akan dijalankan kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam
putusan hakim, oleh karena Terpidana sebelum lewat tanggal 6 (enam)
bulan masa percobaan melakukan perbuatan yang dapat dipidana;
c. Memerintahkan barang bukti berupa :
1) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers terdakwa yang
dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor KPK Jalan Veteran
III No. 2 Jakarta Pusat yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI;
2) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers Terdakwa yang
dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor KPK yang dibuat
oleh Alexander Zulkarnaen, reporter RCTI;
Tetap terlampir dalam berkas perkara;
d. Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.
1.000,- (seribu rupiah).
6. Putusan Pengadilan Tinggi
Pada tanggal 7 Juni 2007 Pengadilan Tinggi Jakarta mengeluarkan
putusan dengan nomor putusan 159/PID/2007/PT.DKI yang amar putusannya
sebagai berikut:
a. Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut;
b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 22 Februari
2007 No. 1411/PID.B/PN.JKT.PST dengan perbaikan mengenai
kwalifikasi kesalahan Terdakwa sehingga amar selengkapnya sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
1) Menyatakan bahwa Terdakwa Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si tersebut,
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah: Melakukan
Tindak Pidana “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden”;
2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, dengan perintah bahwa pidana
itu tidak akan dijalankan, kecuali kalau dikemudian hari ada perintah
lain dalam putusan hakim, oleh karena Terpidana sebelum lewat 6
(enam) bulan masa percobaan melakukan perbuatan yang dapat
dipidana;
c. Memerintahkan barang bukti berupa:
1) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers EGGI SUDJANA yang
dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Jalan Veteran III No. 2 Jakarta Pusat
yang dibuat oleh Ubaidilah, kameramen TPI;
2) Sebuah kaset VHS berisikan keterangan pers EGGI SUDJANA yang
dilakukan pada tanggal 3 Januari 2006 di Kantor Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Jalan Veteran III No. 2 Jakarta Pusat
yang dibuat oleh Alexander Zulkarnaen, reporter RCTI;
Tetap terlampir dalam berkas acara;
d. Membebankan biaya perkara sebesar kepada Terdakwa dalam kedua
tingkat peradilan dan dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.
1000,- (seribu rupiah).
7. Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Pada tanggal 24 September 2008 Mahkamah Agung Republik
Indonesia mengeluarkan putusan dengan nomor putusan 70 K/Pid/2008 yang
amar putusannya sebagai berikut:
a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa: Dr. EGGI
SUDJANA, S.H., M.Si tersebut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
b. Mebebankan Pemohon Kasasi/ terdakwa untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B. Pembahasan
1. Analisis Kesesuaian Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh Terpidana Dr.
EGGI SUDJANA, S.H., M.Si. Terhadap Ketentuan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Guna mengetahui kesesuaian Pengajuan Peninjauan Kembali oleh
Terpidana terhadap ketentuan KUHAP, berikut penulis paparkan mengenai
alasan Pengajuan Peninjauan Kembali yang selanjutnya akan dianalisis
dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang mengatur mengenai
alasan-alasan Pengajuan Peninjauan Kembali. Pertanyaan yang ingin
diselesaikan penulis adalah apakah semua alasan-alasan tersebut termasuk
sebagai alasan Pengajuan Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam
Pasal 263 ayat (2) tersebut.
a. Alasan Upaya Peninjauan Kembali
Alasan- alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali
pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1) Bahwa dalam putusan a quo, Majelis Hakim Kasasi dalam
pertimbangannya menyatakan “bahwa Judex Facti (Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta) tidak salah menerapkan hukum/ melanggar
hukum”, senyatanya pertimbangan tersebut adalah salah atau
merupakan pertimbangan hukum yang nyata-nyata khilaf atau keliru
karena hal-hal sebagai berikut:
2) Bahwa Judex Facti cenderung telah melanggar hukum karena tidak
menerapkan peraturan hukum dengan telah mengesampingkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13-22/PUU-IV/2006 tanggal 4
Desember 2006, yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
MENGADILI:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
a) Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk
seluruhnya;
b) Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c) Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab
Undang- Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
d) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
sebagaimana mestinya;
3) Bahwa dengan demikian, terbukti secara sah menurut hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi yang amarnya menguntungkan pemohon, yaitu
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir menguji undang-undang
i.c Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan
menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHAP tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24c ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang RI
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, telah
dikesampingkan atau dilanggar oleh Judex Facti;
4) Bahwa Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., dalam bukunya
“Berjalan di Ranah Hukum”, Jakarta: Sekretariat Jenderal &
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, menyatakan:
“Bahwa yang dimaksud dengan pengujian Undang-Undang yang
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud
pada Pasal 24 (c) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tersebut di atas adalah menguji secara konstitusionalitas suatu
undang-undang, yakni menguji sejauh mana undang-undang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
bersangkutan bersesuaian atau bertentangan (tegengesteld) dengan
Undang-Undang Dasar. Constitutie is de hoogste wet? Manakala
Mahkamah Konstitusi memandang suatu undang-undang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar maka undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat”;
Oleh karena Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Uji Materi
terhadap Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP amarnya
telah menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik
Indonesia, sehingga Pasal l34, Pasal 136 bis, dan Pasa 137 KUHP
tersebut dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat dan telah
diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana
mestinya, akan tetapi telah dikesampingkan dan tidak
dipertimbangkan oleh Judex Facti dalam mengadili dan menjatuhkan
pidana pada pemohon peninjauan;
Dengan demikian terbukti putusan a quo telah salah atau khilaf
dalam mempertimbangkan dan menerapkan hukum berkenaan
dengan eksistensi dan daya laku Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal
137 KUHP telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 13-
22/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006;
5) Bahwa terbukti pertimbangan hukum dalam putusan a quo telah
dipertimbangkan secara keliru dan khilaf dan cenderung bertentangan
dengan konstitusional ataupun undang-undang, berdasarkan hal-hal
sebagai berikut :
Bahwa secara nyata putusan a quo bertentangan dengan ketentuan
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
menyatakan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.”
6) Bahwa Dr. Ny. Komariah Emong Sapardjaja, S.H dalam bukunya
“Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya
dalam Yurisprudensi), Bandung: Alumni, 2002, hal. 5-6, mengutip
M.S. Groenhuijsen, menyatakan sebagai berikut:
“………ada empat makna yang terkandung dalam pasal ini. Dua dari
yang pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang (de wet
gevende macht), dan dua yang lainnya merupakan pedoman bagi
hakim. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh
memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua,
bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan
delik sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa
Terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak
tertulis atau hukum kebiasaan, dan keempat terhadap peraturan
hukum pidana dilarang diterapkan analogi.”
7) Bahwa selanjutnya Dr. Ny. Komariah Emong Sapardjaja, S.H dalam
bukunya yang sama, pada hal 6-7, mengutip Lieven Dupont,
menyatakan sebagai berikut:
“Asas ini mengandung asas perlindungan, yang secara historis
merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa di
zaman Ancien Regime serta jawaban atas kebutuhan fungsional
terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan didalam suatu
Negara hukum liberal pada waktu itu. Sekarang pun keterikatan
negara-negara hukum modern terhadap asas ini mencerminkan
keadaan bahwa tidak ada suatu kekuasaan negara yang tanpa batas
terhadap rakyatnya dan kekuasaan negara pun tunduk pada aturan-
aturan hukum yang telah ditetapkan.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
8) Bahwa dengan demikian, prinsip “nullum delictum” yang
menggariskan secara mutlak, bahwa seseorang baru dapat dinyatakan
telah melakukan “perbuatan pidana”, yaitu apabila perbuatan yang
telah diperbuat tersebut, terlebih dahulu dalam suatu undang-undang
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dilakukan sebagai
suatu perbuatan yang dilarang dilakukan orang dan diancam dengan
pidana barang siapa yang melakukannya, dari ketentuan tersebut
terlihat adanya kehendak bahwa hanya pembentuk undang- undang
sajalah yang dapat menentukan perbuatan apa dan yang
bagaimanakah yang dilarang dan diancam pidana. Dengan kata lain
Hakim tidak diberi kebebasan untuk menentukan bahwa sesuatu
perbuatan adalah dilarang dan diancam pidana dengan pidana barang
siapa yang melakukannya;
9) Bahwa juga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP, Pemohon
Peninjauan Kembali, menurut hukum seharusnya dinyatakan
dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechts ver
volging) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) Undang-
Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, karena
tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 134 jo. Pasal 136 bis
KUHP telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
pada tanggal 4 Desember 2006 oleh Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya No. 13-22/PUU-IV/2006;
Oleh karena itu terbukti putusan a quo dalam pertimbangan
hukumnya telah menggunakan dasar hukum yang tidak mengikat
lagi, karena telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 13-
22/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006, sehingga putusan a quo
sepatutnya dibatalkan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
10) Bahwa selain itu juga putusan a quo mengabaikan dan mengkhianati
ketentuan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana,
yang menyatakan sebagai berikut: “Jika ada perubahan dalam
perundang- undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap
Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”
11) Bahwa Dr. Andi Hamzah, S.H, dalam bukunya Asas-Asas Hukum
Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hal 54, menyatakan sebagai
berikut: “Ketentuan ini logis, karena Pasal 1 ayat (1) pun yang
memuat asas undang-undang tidak berlaku surut itu bermaksud untuk
melindungi kepentingan orang-orang dari perbuatan sewenang
wenang penguasa. Dengan sendirinya ketentuan seperti tersebut
dimuka bermaksud senada dengan itu. Jangan sampai peraturan yang
kemudian keluar yang lebih berat dapat dikenakan kepada Terdakwa.
Tetapi kalau menguntungkan justru diberlakukan.”
12) Bahwa untuk ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, Dr. Andi Hamzah, S.H, dalam buku
yang sama hal. 55 dan hal. 58, mengutip Memorie van Teolichting
(Memori Penjelasan) WvS N, menyatakan sebagai berikut:
Hal. 55:
“………., perubahan perundang-undangan berarti semua ketentuan
hukum materiel yang secara hukum pidana mempengaruhi penilaian
perbuatan.”
Hal. 58:
Memorie van Teolichting (Memori Penjelasan) juga mengatakan
bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) tidak berlaku terhadap peraturan-
peraturan yang bersifat sementara, walaupun dibentuknya
berdasarkan kekuatan dan untuk melaksanakan suatu undang-
undang.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
13) Bahwa untuk perubahan ketentuan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, Prof. Moeljatno, S.H, dalam
buku Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, cetakan 7,
hal. 33-34, menyatakan sebagai berikut: “Disini ternyata bahwa tidak
tiap-tiap perubahan perundang-undangan dapat dipandang sebagai
perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Harus dilihat lebih dulu apakah yang mendorong pembuat Undang-
Undang untuk mengadakan perubahan. Jika yang mendorong adalah
perubahan pandangan tentang patut atau tidak patut dipidananya
sesuatu perbuatan yang telah dilakukan, maka itu adalah perubahan
yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP.”
14) Bahwa berkenaan dengan yang dimaksud dengan ketentuan yang
paling menguntungkan S.R Sianturi dalam bukunya Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta Alumni,
1996, hal. 79, menyatakan: “………dari perumusan ayat (2) Pasal 1
KUHP, ternyata bahwa Undang-Undang yang harus digunakan pada
saat hakim menjatuhkan putusannya tidak tergantung pada saat
terjadinya sesuatu tindakan, melainkan kepada kepentingan
Terdakwa.”
15) Bahwa dengan demikian, menurut dan secara hukum, bilamana ada
kejadian seseorang telah berbuat yang melanggar undang-undang,
sedangkan sebelum peristiwa itu diputuskan oleh hakim, kemudian
undang-undang itu diubah sedemikian rupa, sehingga perbuatan
semacam itu tidak dilarang lagi, maka orang itu tidak dapat di
hukum, bukanlah hal tersebut menganut azas bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi sebagai undang-undang yang baru lebih
menguntungkan kepada Terdakwa, sehingga undang-undang itulah
yang dipakai;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
16) Bahwa selain itu juga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP
dimaksud, konsekwensi juridis dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis dan
Pasal 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya didalam
Lembaran Negara sebagaimana mestinya, wajib diterapkan dan atau
diberlakukan terhadap Pemohon, karena putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut sebagai ketentuan yang paling menguntungkan
pemohon;
17) Bahwa juga seharusnya menurut hukum, putusan a quo menjatuhkan
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, oleh karena terdapat
keadaan bahwa bilamana tindak pidana yang didakwakan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan, namun pada saat majelis hendak
menjatuhkan pidana, tindak pidana tersebut telah dicabut oleh
undang-undang atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 13-
22/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006;
Bahwa berdasarkan uraian-uraian sebagai tersebut diatas, menurut
hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang meniadakan Pasal 134, Pasal
136 bis, 137 KUHP adalah patut dijadikan dasar pemidanaan suatu
perbuatan yang telah dilakukan, dengan demikian terbukti putusan kasasi
yang dimohonkan peninjauan kembali telah mengabaikan dan
mengkhianati Pasal 1 ayat (2) KUHAP, sehingga sepatutnya putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali dibatalkan;
Bahwa terbukti pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan
alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan lainnya, yaitu untuk selengkapnya dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Pemohon Peninjauan Kembali buktikan dengan uraian alasan-alasan
hukum sebagai berikut:
1) Bahwa sebelum sidang berlangsung untuk memutuskan putusan
Judex Facti, terbukti telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi No.
13-22/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember 2006, yang menyatakan
bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal 137 KUHP bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia,
sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah
diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana
mestinya, sehingga pertimbangan hukum putusan a quo tidak
mengikat lagi;
2) Bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang RI No. 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
3) Bahwa juga Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum, sebagaimana dimaksud Pasal 47 jo. Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang RI No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
jo. Pasal 24 C Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
4) Bahwa Pasal 263 ayat (2) huruf b Undang- Undang RI No. 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, menyatakan: “apabila dalam
pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan
lainnya.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
5) Bahwa Drs. H. Adami Chazawi, S.H., dalam bukunya Lembaga
Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana (Penegakan Hukum dalam
Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat), Jakarta: Sinar Grafika,
2010, hal. 80-83, yang menyatakan sebagai berikut: “Dua atau lebih
putusan pengadilan harus memenuhi syarat berikut ini:
a) Antara pelbagai putusan itu harus terdapat hubungan yang erat.
b) Dua atau lebih putusan tersebut harus sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap. “Dua atau lebih putusan tersebut tidak
harus semuanya putusan perkara pidana, tetapi boleh juga yang
satu putusan perkara pidana, sementara yang lain putusan
perkara perdata atau putusan tata usaha, ……….dst.” “Syarat
mengajukan permintaan PK dalam Pasal 263 ayat (2) huruf b
KUHAP berlatar belakang pada kepastian hukum
(rechtzekerheid). Kepastian hukum menjadi tujuan utama
penegakan hukum. Keadilan akan terangkum dengan
ditegakkannya kepastian hukum. Demi kepastian hukum, tidak
dibenarkan adanya dua atau lebih putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang isinya saling
bertentangan.”
Bahwa dari uraian diatas, maka terbukti putusan a quo telah
bertentangan dengan asas hukum pidana sebagaimana ditentukan pada
Pasal 1 ayat (2) KUHP dan bertentangan dengan juga Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 13-22/PUU-IV/2006 tanggal 4 Desember
2006, sehingga demi kepastian hukum, tidak dibenarkan adanya dua
atau lebih putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap yang isinya saling bertentangan, oleh karena itu sepatutnya
putusan kasasi yang dimohonkan Peninjauan Kembali dibatalkan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Tambahan memori Peninjauan Kembali:
1) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP dimaksud, maka
secara juridis konsekwensi dengan adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dalam putusan perkara Uji Materi atas
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan 137 KUHP yang dinyatakan bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia,
sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tersebut
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah
diperintahkan permuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana
mestinya, sesuai Putusan Uji Materi Nomor 13-22/PUU-IV/2006
tertanggal 4 Desember 2006, maka terhadap Pemohon Peninjauan
Kembali Wajib diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan;
2) Bahwa sejak awal putusan Judex Facti pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Pengadilan Tinggi dan Putusan Kasasi sangat jelas dan terang
telah mengandung kekhilafan dan kekeliruan Hakim yang nyata,
bahkan telah tidak cukup memberikan pertimbangan hukumnya
(onvoldo ende gemotiveerd) serta cenderung telah melanggar hukum
dan bertendensi telah menyalahgunakan kewenangannya (abused of
power) karena telah tidak menerapkan peraturan hukum tidak
diterapkan sebagaimana mestinya dengan mengesampingkan Putusan
Mahkamah Konstitusi yang merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji undang-undang, sesuai ketentuan Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Perkara Uji Materi atas Pasal 134, Pasal 136 bis, dan 137
KUHP, dimana pasal-pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia,
sehingga telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dan telah diperintahkan permuatannya didalam Lembaran Negara
sebagaimana, sesuai Putusan Uji Materi Nomor 013-022/PUU-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
IV/2006 tertanggal 4 Desember 2006, dengan demikian putusan Judex
Facti yang dikeluarkan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada tanggal 22 Februari 2007 dengan tetap menerapkan
ketentuan Pasal 134, 136 bis pada Pemohon Peninjauan Kembali
adalah putusan yang salah dan khilaf bahkan cenderung adalah
tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum (abused of power),
karena pada saat putusan tersebut dikeluarkan dasar hukum yang
dijadikan dasar pemidanaan pada Pemohon Peninjauan Kembali yaitu
Pasal 134 dan 136 bis telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, tidak mempunyai
kekuatan mengikat dan telah diperintahkan pemuatannya dalam
Lembaran Negara, dengan demikian entah dasar hukum apa yang telah
diterapkan oleh Majelis Hakim Judex Facti Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada saat itu, yang celakanya telah dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 7 Juni 2007 serta Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia pada tanggal 24 September 2008??
Sungguh ironis dan menyedihkan cara- cara penegakan hukum di
Negara Republik yang kita cintai ini……????!!
3) Bahwa dalam hukum tidak dibenarkan adanya putusan Hakim yang
semata- mata berdasarkan penafsiran- penafsiran, dugaan-dugaan atau
kesimpulan-kesimpulan yang melahirkan keyakinan Hakim yang tidak
berdasarkan dalil-dalil hukum yang benar, dan tidak diterapkannya
suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan
sebagaimana mestinya, atau tata cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut ketentuan undang-undang dan pengadilan tidak
diperkenankan melampaui kewenangannya, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 263 ayat 2 (a) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Tentang Terdapatnya Kejadian Baru Atau Novum.
1) Bahwa disamping alasan-alasan tersebut, Pemohon Peninjauan
Kembali telah pula menemukan keadaan baru atau novum yang
mempunyai sifat dan kualitas Pembuktian sehingga bila dikemukakan
pada saat sidang perkara ini tengah berlangsung dapat menjadi faktor
alasan bahwa putusan hakim dalam perkara adalah jelas-jelas telah
mengandung suatu kekeliruan atau kekhilafan yang nyata bahkan
Majelis Hakim Kasasi cenderung telah melanggar hukum karena tidak
diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak
diterapkan sebagaimana mestinya dengan telah mengesampingkan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 24
tahhun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Uji
Materi atas Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang dinyatakan
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Negara Republik
Indonesia, sehingga Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah
diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana
mestinya, sesuai Putusan Uji Materi Nomor 013-022/PUU-IV/2006
tertanggal 4 Desember 2006, sehingga permohonan Peninjauan
Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali ini dapat diterima dan
dimenangkan atau dikabulkan dalam perkara a quo, yaitu berupa:
- Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Permohonan Uji
Materi Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP yang dianggap
bertentangan dengan Pasal 27, 28 Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 perkara Nomor 013-022/PUU-MK/2006
(Bukti P-1)
Bukti mana membuktian baik langsung maupun tidak langsung, bahwa
Pemohon Peninjauan Kembali dalam hal ini Terdakwa/ Pemohon
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Peninjauan Kembali dulu Pemohon Kasasi secara hukum tidak dapat
dihukum melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh
Penuntut Umum dikarenakan pasal-pasal yang dijadikan dasar
dakwaan pidana pada Terdakwa setelah dilakukan uji materi sesuai
Putusan Uji Materi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tertanggal 4
Desember 2006, yang dalam Putusan perkara Uji Materi tersebut
memutuskan bahwa Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik
Indonesia, sehingga Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah
diperintahkan pemuatannya didalam Lembaran Negara sebagaimana
mestinya dan oleh karenanya sudah merupakan ketentuan hukum dan
undang-undang (due Process of law) wajib membebaskan Terdakwa
dari segala dakwaan (vide bukti P-1);
2) Bahwa dari alasan tersebut di atas, maka sejak Pemohon Peninjauan
Kembali mengajukan permohonan dalam perkara ini, telah terbukti
bahwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai
pada putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Kasasi yang
memeriksa, mengadili dan memutus perkara telah melakukan
kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dalam menerapkan hukum dan
dalam memutus perkara a quo, bahkan Majelis Hakim Kasasi
cenderung telah melanggar hukum karena tidak diterapkan suatu
peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana
mestinya dengan telah mengesampingkan Putusan Mahkamah
Konstitusi yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, sesuai
ketentuan Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, karena ketiadaan Bukti-bukti dimaksud dalam permohonan
ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
b. Analisis
Tabel 1. Komparasi Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali dengan Ketentuan dalam
KUHAP
No Alasan Pengajuan Peninjauan
Kembali
Ketentuan Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
1. - Bahwa dalam putusan a quo,
Majelis Hakim Kasasi dalam
pertimbangannya menyatakan
“bahwa Judex Facti (Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta) tidak salah
menerapkan hukum/melanggar
hukum”, senyatanya
pertimbangan tersebut adalah
salah atau merupakan
pertimbangan hukum yang nyata-
nyata khilaf atau keliru karena
hal- hal sebagai berikut:
- Bahwa Judex Facti cenderung
telah melanggar hukum karena
tidak menerapkan peraturan
hukum dengan telah
mengesampingkan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 13-
22/PUU-IV/2006 tanggal 4
Desember 2006, yang amarnya
berbunyi sebagai berikut:
MENGADILI:
a) Menyatakan permohonan
para Pemohon di kabulkan
untuk seluruhnya;
b) Menyatakan Pasal 134,
Pasal 136 bis, dan Pasal
137 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Pasal 263 ayat (2) huruf c menyatakan
bahwa Apabila putusan itu dengan
jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau sebuah kekeliruan yang
nyata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
c) Menyatakan Pasal 134,
Pasal 136 bis, dan Pasal
137 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tidak
mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
d) Memerintahkan pemuatan
putusan ini dalam Berita
Negara sebagaimana
mestinya;
- Bahwa dengan demikian, terbukti
secara sah menurut hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi
yang amarnya menguntungkan
pemohon, yaitu mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir
menguji undang- undang i.c Pasal
134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137
KUHP terhadap Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dengan menyatakan
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137 KUHAP tidak
mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24c ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10
ayat (1) Undang- Undang RI
Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, telah
dikesampingkan atau dilanggar
oleh Judex Facti;
- Dan seterusnya…………..
2. - Bahwa sebelum sidang
berlangsung untuk memutuskan
putusan Judex Facti, terbukti telah
ada Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 13-22/PUU-
IV/2006 tanggal 4 Desember
2006, yang menyatakan bahwa
Pasal 134, Pasal 136 bis, Pasal
Pasal 263 ayat (2) huruf b menyatakan
bahwa Apabila dalam pelbagai
putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal
atau keadaan sebagai dasar dan alasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
137 KUHP bertentangan dengan
Undang- Undang Dasar 1945
Negara Republik Indonesia,
sehingga Pasal 134, Pasal 136 bis,
dan Pasal 137 KUHP tersebut
dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dan
telah diperintahkan pemuatannya
didalam Lembaran Negara
sebagaimana mestinya, sehingga
pertimbangan hukum putusan a
quo tidak mengikat lagi;
- Bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga
Negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-
Undang RI No. 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi jo.
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
Undang- Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945;
- Bahwa juga Putusan Mahkamah
Konstitusi memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk
umum, sebagaimana dimaksud
Pasal 47 jo. Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-Undang RI No.
24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi jo. Pasal 24 C Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun
1945;
- Dan seterusnya……………
putusan yang dinyatakan telah terbukti
itu, ternyata telah bertentangan satu
dengan yang lain;
3. - Bahwa disamping alasan-alasan
tersebut, Pemohon Peninjauan
Kembali telah pula menemukan
keadaan baru atau novum yang
mempunyai sifat dan kualitas
Pasal 263 ayat (2) huruf a menyatakan
bahwa Apabila terdapat keadaan baru
yang menimbulkan dugaan kuat,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Pembuktian sehingga bila
dikemukakan pada saat sidang
perkara ini tengah berlangsung
dapat menjadi faktor alasan
bahwa putusan hakim dalam
perkara adalah jelas- jelas telah
mengandung suatu kekeliruan
atau kekhilafan yang nyata
bahkan Majelis Hakim Kasasi
cenderung telah melanggar hukum
karena tidak diterapkan suatu
peraturan hukum atau peraturan
hukum tidak diterapkan
sebagaimana mestinya dengan
telah mengesampingkan Putusan
Mahkamah Konstitusi yang
merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi, sesuai
ketentuan Undang- Undang
Nomor 24 tahhun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Perkara Uji Materi atas
Pasal 134, 136 bis, dan 137
KUHP yang dinyatakan
bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 Negara
Republik Indonesia, sehingga
Pasal 134, 136 bis, dan 137
KUHP tersebut dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan telah diperintahkan
pemuatannya didalam Lembaran
Negara sebagaimana mestinya,
sesuai Putusan Uji Materi Nomor
013-022/PUU-IV/2006 tertanggal
4 Desember 2006, sehingga
permohonan Peninjauan Kembali
dari Pemohon Peninjauan
Kembali ini dapat diterima dan
dimenangkan atau dikabulkan
dalam perkara a quo, yaitu
berupa:
bahwa jika keadaan itu sudah
diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari
segala tuntutan hukum atau tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
- Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Perkara Permohonan Uji
Materi Pasal 134, 136 bis dan 137
KUHP yang dianggap
bertentangan dengan Pasal 27, 28
Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 perkara
Nomor 013-022/PUU-MK/2006
(Bukti P-1);-
- Bukti mana membuktian baik
langsung maupun tidak langsung,
bahwa Pemohon Peninjauan
Kembali dalam hal ini Pemohon
Peninjauan Kembali dulu
Pemohon Kasasi secara hukum
tidak dapat dihukum melakukan
tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan oleh Penuntut Umum
dikarenakan pasal-pasal yang
dijadikan dasar dakwaan pidana
pada Terdakwa setelah dilakukan
uji materi sesuai Putusan Uji
Materi Nomor 013-022/PUU-
IV/2006 tertanggal 4 Desember
2006, yang dalam Putusan perkara
Uji Materi tersebut memutuskan
bahwa Pasal 134, 136 bis, 137
KUHP dinyatakan bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar
1945 Negara Republik Indonesia,
sehingga Pasal 134, 136 bis, dan
137 KUHP tersebut dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan telah diperintahkan
pemuatannya didalam Lembaran
Negara sebagaimana mestinya dan
oleh karenanya sudah merupakan
ketentuan hukum dan undang-
undang (due Process of law)
wajib membebaskan Terdakwa
dari segala dakwaan.
- Dan seterusnya…………….
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Sesuai dengan tabel komparasi diatas, penulis akan
menjelasakan mengenai alasasan-alasan Pemohon Peninjauan
Kembali dalam mengajukan permohonan Peninjauan Kembali.
1) Kekhilafan Hakim
Alasan pertama yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali adalah mengenai adanya kekhilfan atau kesalahan Hakim
judex facti dalam menerapkan hukum yang ada. Untuk menegakkan
hukum dan keadilan, seorang Hakim mempunyai kewajiban-
kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban Hakim sebagai
salah satu organ lembaga peradilan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Diantaranya
adalah:
Pasal 5
(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 6
(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan,
kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-
undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Menurut penulis alasan pertama ini merupakan alasan yang
sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), melihat Majelis Hakim
pada tingkat peradilan sebelumnya yang tidak secara tepat dan jelas
mempertimbangkan adanya putusan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut Pasal 134, pasal 136 bis
serta Pasal 137 KUHP dan menyatakan sudah tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Seharusnya secara mudah Majelis
Hakim pada tingkat Pengadilan Negeri hingga Kasasi dapat dengan
mudah memberikan putusan lepas dari tuntutan hukum terhadap
terpidana karena memang Pasal yang menjerat terpidana telah tidak
berlaku lagi.
2) Dasar dan Alasan Putusan Bertentangan
Dalam hal dasar dan alasan putusan yang saling
bertentangan satu dengan yang lain, Pemohon Peninjauan Kembali
memberikan alasan yakni putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim
dari Pengadilan Negeri hingga Kasasi adalah bertentangan dengan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006
tertanggal 4 Desember 2006. Alasan yang kedua ini menurut
pandangan penulis juga telah sesuai dengan ketentuan KUHAP.
Dalam Putusan perkara Uji Materi tersebut memutuskan bahwa
Pasal 134, 136 bis, 137 KUHP dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, sehingga
Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP tersebut dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi Pengadilan
Negeri hingga Kasasi tetap menyatakan bahwa terpidana atau
Pemohon Peninjauan Kembali bersalah atas ketentuan dalam Pasal
yang telah tidak berlaku tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
3) Adanya Keadaan Baru (Novum)
Pemohon Peninjauan Kembali juga mengajukan alasan
berupa novum atau keadaan baru yang patut diduga apabila keadaan
baru tersebut diketahui sebelum keluarnya putusan maka hasilnya
akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Novum dalam perkara pidana bisa diperoleh dari alat bukti surat
maupun saksi. Isi novum tersebut berupa keadaan baru yang
sebelumnya ketika perkara diperiksa di tingkat peradilan pertama,
keadaan baru itu belum diungkap dalam persidangan. Novum adalah
suatu fakta, dan fakta haruslah melekat pada suatu alat bukti. Alat
bukti tersebut bukan berupa surat saja, namun dalam perkara pidana
juga termasuk alat bukti saksi. Suatu fakta barulah dapat disebut
novum apabila memenuhi syarat-syarat:
a) Pertama, yang dimaksud novum (surat bukti yang bersifat
menentukan) adalah bukti surat yang isinya memuat suatu fakta
yang sudah terdapat/ yang sudah ada pada saat sidang
pemeriksaan perkara tersebut di tingkat pertama sebelum perkara
itu diputus oleh pengadilan pemeriksa tingkat pertama tersebut.
b) Kedua, namun fakta yang sudah ada dalam suatu surat itu belum
diajukan dan diperiksa atau terungkap di dalam persidangan
ketika perkara diperiksa dan sebelum diputus, melainkan baru
diketahui/ditemukan setelah perkara diputus;
c) Ketiga, apabila diajukan dan diperiksa dan dipertimbangkan oleh
pengadilan, maka putusan pengadilan akan berlainan dengan
putusan pengadilan yang terakhir.
Namun novum yang dikemukakan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
022/PUU-IV/2006 tertanggal 4 Desember 2006, akan tetapi putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut telah dikeluarkan sejak sebelum
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat keluar. Seharusnya pada
tingkat peradilan sebelumnya yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
hingga Kasasi sudah selayaknya Majelis Hakim mengetahui adanya
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Jadi menurut penulis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tersebut
bukanlah suatu novum.
2. Analisis Kesesuaian Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali
Terhadap Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana
Guna mengetahui kesesuaian Pertimbangan Hakim oleh Majelis
Hakim terhadap ketentuan KUHAP, berikut penulis paparkan mengenai
pertimbangan Hakim Pengajuan Peninjauan Kembali yang selanjutnya akan
dianalisis dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang mengatur
mengenai alasan-alasan Pengajuan Peninjauan Kembali. Pertanyaan yang
ingin diselesaikan penulis adalah apakah semua pertimbangan-pertimbangan
tersebut sesuai dengan alasan Pengajuan Peninjauan Kembali sebagaimana
diatur dalam Pasal 263 ayat (2) tersebut.
a. Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali.
Bahwa alasan-alasan dari Pemohon Peninjauan
Kembali/Terpidana tersebut tidak dapat dibenarkan dengan pertimbangan
sebagai berikut :
1) Bahwa dalam putusan Judex Juris maupun Judex Facti tidak terdapat
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata ;
2) Bahwa alasan Peninjauan Kembali pada pokoknya tentang adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 4
Desember 2006 yang menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
137 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, telah
dipertimbangkan oleh Judex Facti maupun Judex Juris secara tepat
dan benar ;
3) Bahwa perbuatan yang dilakukan/didakwakan kepada Terdakwa
terjadi pada tanggal 3 Januari 2006 sedangkan Putusan Mahkamah
Konstitusi dijatuhkan pada tanggal 6 Desember 2006 sehingga
terhadap perkara a quo tidak berlaku surut dan tidak dapat
dipertimbangkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut;
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena
tidak termasuk dalam salah satu alasan peninjauan kembali sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP ;
Menimbang, bahwa dengan demikian berdasarkan pasal 266 ayat
(2) a KUHAP permohonan peninjauan kembali harus ditolak dan putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan peninjauan kembali
ditolak, maka biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali
dibebankan kepada Pemohon Peninjauan Kembali ;
Pada tanggal 3 Agustus 2011 Mahkamah Agung Republik
Indonesia mengeluarkan putusan dengan nomor putusan 153
PK/PID/2010 yang amar putusannya sebagai berikut:
1) Menolak permohonan peninjauan kembali dari terpidana : Dr. EGGI
SUDJANA, S.H., M.Si. tersebut;
2) Menetapkam bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali
tersebut tetap berlaku;
3) Membebankan Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana untuk
membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp.
2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
b. Analisis.
Tabel 2. Komparasi Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali dengan Ketentuan
dalam KUHAP
No Pertimbangan Hakim Ketentuan Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
1. Bahwa dalam putusan Judex Juris
maupun Judex Facti tidak terdapat
kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan nyata.
Pasal 263 ayat (2) huruf c
menyatakan bahwa Apabila putusan
itu dengan jelas memperlihatkan
suatu kekhilafan hakim atau sebuah
kekeliruan yang nyata.
2. Bahwa alasan Peninjauan Kembali
pada pokoknya tentang adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi No.
013-022/PUU-IV/2006 tanggal 4
Desember 2006 yang menyatakan
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal
137 KUHP tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, telah
dipertimbangkan oleh Judex Facti
maupun Judex Juris secara tepat dan
benar
Pasal 263 ayat (2) huruf a
menyatakan bahwa Apabila terdapat
keadaan baru yang menimbulkan
dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang
masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum
atau tuntutan penuntut umum tidak
dapat diterima atau terhadap perkara
itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
3. Bahwa perbuatan yang
dilakukan/didakwakan kepada
Terdakwa terjadi pada tanggal 3
Januari 2006 sedangkan Putusan
Mahkamah Konstitusi dijatuhkan pada
tanggal 6 Desember 2006 sehingga
terhadap perkara a quo tidak berlaku
surut dan tidak dapat dipertimbangkan
berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut
Pasal 1 KUHP (asas legalitas)
menyatakan bahwa:
- Ayat 1 Suatu perbuatan tidak
dapat dipidana, kecuali
berdasarkan ketentuan
perundang-undangan pidana
yang telah ada.
- Ayat 2 Bilamana ada
perubahan dalam perundang-
undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap
terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling
menguntungkannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Sesuai dengan tabel komparasi diatas penulis akan menjelasakan
mengenai Pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam
memutus permohonan Peninjauan Kembali yang dimohonkan oleh
Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali.
1) Mengenai Kekhilafan Hakim Judex Juris dan Judex facti
Majelis Hakim Peninjauan Kembali menilai bahwa judex
juris dan judex facti tidak melakukan kekhilafan dalam memeriksa
dan memutus perkara tersebut. Terhadap pertimbangan ini penulis
memberikan pendapat bahwa Majelis Hakim Peninjauan kembali
telah secara salah menafsirkan hukum yang seharusnya diterapkan.
Hakim yang memutus perkara ini dari tingkat Pengadilan Negeri
hingga Kasasi telah melakukan kekhilafan yang nyata yakni tidak
menerapkan asas legalitas maupun asas retroaktif. Pada saat putusan
pengadilan tingkat pertama yakni Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dijatuhkan, Pasal yang digunakan untuk menjerat Terdakwa
(Pemohon Peninjauan Kembali) pada saat itu telah dicabut oleh
Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu kaidah
undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
bermakna undang-undang dimaksud not legally binding. Mahkamah
tidak membatalkan kaidah undang-undang tetapi tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat, lazim dipahami pula dalam
makna buiten effect stellen. Manakala suatu ayat, pasal, dan/ atau
bagian undang-undang (atau undang-undang secara keseluruhan)
dinyatakan Mahkamah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat, maka undang-undang tersebut kehilangan kekuatan hukum
mengikat selaku kaidah (atau rechtsnorm) (HM. Laica Marzuki, 2006
: 5).
Namun justru Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mempertimbangkan bahwa perbuatan terdakwa dilakukan ketika
Pasal tersebut masih berlaku dan menyatakan putusan Mahkamah
Konstitusi tidak bisa berlaku surut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
2) Mengenai Novum
Mengenai penyertaan novum atau keadaan baru oleh
Pemohon Peninjauan Kembali disini Majelis Hakim tidak
memberikan pertimbanganya dan menurut penulis sudah tepat karena
novum yang dijukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali bukanlah
novum atau keadaan baru, melainkan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut sudah diketahui sejak sebelum putusan Hakim sebelumnya
atau sudah dipertimbangkan oleh putusan Hakim sebelumnya,
meskipun menurut penulis kurang tepat pertimbangan Majelis Hakim
pada peradilan tingkat sebelumnya yakni Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat hingga Majelis Hakim Kasasi mengenai adanya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tersebut.
3) Mengenai Asas Legalitas dan Asas Retroaktif
Hakim yang menjatuhkan putusan Pengajuan Peninjauan
Kembali ini telah melakukan tafsir yang salah terhadap Pasal 1 ayat
(2) KUHP yang isinya adalah Bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap
Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut Pasal 134,
Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP merupakan suatu perubahan
peraturan yang menguntungkan bagi Terdakwa pada saat itu, jadi bila
Hakim benar-benar memahami ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP ini
maka tidak akan ada pemidanaan bagi Terdakwa, karena ada dua
ketentuan yang keduanya sama menguntungkan bagi Terdakwa,
apalagi jika ketentuannya sudah tidak ada, maka sudah tidak ada
dasar bagi Majelis Hakim tersebut untuk memutuskan perkara
tersebut, merujuk pada asas legalitas yang termuat dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP yang menyatakan bahwa Suatu perbuatan tidak dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
undangan pidana yang telah ada.
Pada saat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
memutus perkara ini, Pasal tersebut telah dicabut dan bisa dikatakan
tidak ada lagi peraturan tersebut. Perlu diketahui bahwa tindak pidana
penghinaan presiden itu bukan merupakan suatu perbuatan yang
karena sifat dasarnya adalah kejahatan tapi merupakan perbuatan
yang menjadi suatu tindak pidana karena undang-undang
mengaturnya sebagai tindak pidana sehingga perbuatan tersebut
bukan suatu perbuatan yg memiliki sifat jahat.
Syarat suatu perbuatan dapat dipidana adalah sebagai berikut:
a) Adanya perbuatan
b) Perbuatan tersebut sesuai dengan isi aturan hukum
c) Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum (bertentangan
dengan ketentuan peraturan pidana yang ada di Indonesia)
d) Perbuatan tersebut harus diancam dengan sanksi pidana
e) Dalam perbuatan tersebut harus ada kesalahan yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Seseorang dapat dipidana apabila kelima syarat tersebut
dipenuhi. Salah satu syarat tidak terpenuhi maka suatu perbuatan
tidak dapat dipidana. Pada perkara ini seharusnya Hakim
mempertimbangkan syarat-syarat tersebut yakni “Perbuatan tersebut
sesuai dengan isi aturan hukum” dan “Perbuatan tersebut bersifat
melawan hukum”. Mengacu pada hal tersebut Hakim seharusnya
memutus lepas dari segala tuntutan hukum terhadap Terdakwa.
Kemudian Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan bahwa
perbuatan terdakwa dilakukan pada saat Pasal yang mengaturnya
masih berlaku dan berpendapat bahwa suatu peraturan hukum itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
tidak boleh berlaku surut. Hal ini lah yang kemudian sampai saat ini
menjadi perdebatan banyak ahli hukum mengenai keberadaan asas
retroaktif dan asas non-retroaktif. Asas Non-retroaktif atau lebih
dikenal dengan asas legalitas mengatur bahwa suatu perbuatan dapat
dipidana ketika telah diatur sebelumnya dan peraturan yang baru
tidak dapat berlaku surut. Munculnya asas ini adalah karena
ditakutkan apabila suatu peraturan perundang-undangan dapat
berlaku surut maka nantinya akan menjadi alat penguasa untuk
melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang atau
kelompok yang tidak disukainya. Dasar pemikiran dari larangan
tersebut adalah:
a) Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan
penguasa.
b) Pidana itu juga sebagai paksaan psikis. Dengan adanya ancaman
pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa
berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak
berbuat.
Meskipun prinsip dasar dari hukum berpegang pada asas
legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-
undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya
dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam
beberapa hal tertentu saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan
Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan
yang paling menguntungkannya. Pemberlakuan asas retroaktif
sebaiknya tetap dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan yakni:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
a) Secara yuridis, asas retroaktif dimungkinkan melalui rumusan
Pasal 28 J Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang
menyebutkan:
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
b) Ketentuan internasional memberikan peluang untuk
memberlakukan asas retroaktif, bahkan telah menerapkan asas
ini melalui pengadilan ad hoc di Nuremberg, Tokyo dan
sebagainya sebagaimana telah diauraikan sebelumnya.
c) Asas retroaktif merupakan senjata untuk menghadapi kejahatan-
kejahatan baru yang tidak dapat disejajarkan dengan tindak
pidana yang terdapat dalam KUHP ataupun diluar KUHP.
Dengan demikian tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan
hukum.
d) Pemberlakuan asas retroaktif merupakan cerminan dari asas
keadilan baik terhadap pelaku maupun korban.
e) Asas retroaktif sangat diperlukan dalam mengadili kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime). Adapun kualifikasi extra ordinary
crime dapat dilihat pada jumlah korban, cara dilakukannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
kejahatan, dampak psikologis yang ditimbulkan serta kualifikasi
kejahatan yang ditetapkan oleh PBB.
f) Sesuai dengan asas-asas hukum pidana internasional, penolakan
terhadap asas retroaktif ini semata-mata hanya dilihat melalui
pendekatan hukum tata negara saja tanpa memperhatikan aspek
pidana (nasional dan internasional).
Selain itu Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa setiap ada
perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku
ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. Alasan
Mahkamah Konstitusi mencabut berlakunya Pasal 134, 136bis dan
137 KUHP adalah karena bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang pada khusunya
mengenai keadilan bagi setiap warga negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Peninjauan Kembali Nomor
153 PK/PID/2010 penulis memberi kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali telah
sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Namun novum yang
diajukan oleh Pemohon adalah tidak tepat karena putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut sudah diketahui sebelum putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat keluar atau sudah diketahui jauh sebelum Pengajuan
Peninjauan Kembali.
2. Pertimbangan Hakim Peninjauan Kembali
Majelis Hakim telah secara jelas melakukan kesalahan
penerjemahan asas legalitas dan asas retroaktif yang tercantum dalam
Pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP. Majelis Hakim seharusnya dengan mudah
memberikan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap Pemohon
Peninjauan Kembali karena peraturan atau Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tersebut adalah bersifat menguntungkan
Pemohon. Namun tampaknya Majelis Hakim belum bersifat netral atau
bisa dikatakan masih “berpihak”. Sangat terkesan Majelis Hakim
berupaya memaksakan pemidanaan terhadap Pemohon karena kasusnya
adalah menghina Presiden.
B. Saran
1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) haruslah memberikan suatu penafsiran tunggal terhadap
berlakunya asas legalitas dan asas retroaktif agar tidak terjadi lagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
berbagai macam penafsiran yang berbeda oleh para pihak yang berperkara
di pengadilan.
2. Hakim haruslah bersifat netral dan tidak memaksakan pemidanaan yang
berkesan sebagai ajang pembalasan dari pemerintah atas perbuatan
Terpidana/Pemohon Peninjauan Kembali. Hakim haruslah dapat bersifat
obyektif dan dapat memberikan keadilan terhadap semua lapisan
masyarakat.
3. Asas legalitas dan asas retroaktif adalah asas yang sangat mendasar dan
seharusnya tidak boleh bersifat multi tafsir dan apabila multi tafsir
terhadap kedua asas ini terus berlangsung maka dapat berakibat buruk
terhadap sistem peradilan dan pemidanaan di Indonesia.