13
 Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah perjanjian multi lateral untuk mengikat para pihak (negara peserta konvensi) dalam menyelesaikan masalah-masalah global khususnya keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran umat manusia atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh laju kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk memadukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia selanjutnya. Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi Stockholm). Pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah merumuskan lima dokumen, yakni Deklarasi Rio; Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim; Konvensi Keanekaragaman Hayati; Prinsip-Prinsip Pengelolan Hutan; dan Agenda 21. Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber ± sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dala m yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan d luar batas yuridiksi nasional. Kesadaran mengenai nilai penting sumber daya genetik bagi kemanusiaan sudah dikenal sejak  jaman pra sejarah. Sejak manusia memasuki tahapan bercocok tanam dan beternak, kegiatan pemuliaan jenis tanaman dan ternak sudah dimulai. Pemilihan jenis dan persilangan jenis yang semula dilakukan secara empiris, sebenarnya merupakan titik awal dari pengenalan sifat-sifat unggul ³preferable´ dan sifat-sifat ³un-needed´ yang sebenarnya merupakan ekspresi fisiologis dari variabilitas genetis diantara tanaman dan ternak budidaya. Baru kemudian pada abad 18 sampai awal abad 19, pada era Mendel, mulai dikenal pengetahuan hibridisasi yang merupakan titik awal upaya manusia untuk menseleksi ekspresi genetis dari variabilitas gen didalam suatu tumbuhan secara sistematis. Mulai saat itulah nilai sumber daya genetik secara empiris dikenal. Dengan berkembangnya bioteknologi di bidang pertanian dan farmasi, maka nilai sumber daya genetik ini semakin meningkat. Pada awalnya nilai sumber daya genetik ini terikat dengan kesatuan (entity) kepemilikan fisik varietas suatu komoditas tanaman dan/atau ternak. Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai ilmu hayati (biologi) dan semua cabang-cabangnya (termasuk ilmu genetika) maka mulai dikenal nilai-nilai intrinsik suatu mahluk hidup yang dikenal dengan variabilitas gen. Perkembangan ilmu pengetahuan biologi tersebut telah meningkatkan potensi pemanfaatan sumber daya genetik, dan dengan demikian juga meningkatkan nilai sumber daya tersebut. Sejalan dengan perkembangan industri pertanian dan farmasi yang memanfaatkan bioteknologi serta sumber daya genetik ini, maka eksplorasi sumber-sumber daya genetik baru juga meningkat. Bioteknologi  

KAPAS

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 1/13

Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah perjanjian multi lateral untuk mengikat para pihak

(negara peserta konvensi) dalam menyelesaikan masalah-masalah global khususnya

keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran

umat manusia atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh

laju kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk

memadukan segala upaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia

selanjutnya.

Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil

pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan

kembali dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi

deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada

kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi

Stockholm). Pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah merumuskan lima

dokumen, yakni Deklarasi Rio; Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim; Konvensi

Keanekaragaman Hayati; Prinsip-Prinsip Pengelolan Hutan; dan Agenda 21.

Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak

berdaulat untuk memanfaatkan sumber ± sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan

pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa

kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan

terhadap lingkungan negara lain atau kawasan d luar batas yuridiksi nasional.

Kesadaran mengenai nilai penting sumber daya genetik bagi kemanusiaan sudah dikenal sejak

 jaman pra sejarah. Sejak manusia memasuki tahapan bercocok tanam dan beternak, kegiatan

pemuliaan jenis tanaman dan ternak sudah dimulai. Pemilihan jenis dan persilangan jenis yang

semula dilakukan secara empiris, sebenarnya merupakan titik awal dari pengenalan sifat-sifat

unggul ³preferable´ dan sifat-sifat ³un-needed´ yang sebenarnya merupakan ekspresi fisiologisdari variabilitas genetis diantara tanaman dan ternak budidaya. Baru kemudian pada abad 18

sampai awal abad 19, pada era Mendel, mulai dikenal pengetahuan hibridisasi yang merupakan

titik awal upaya manusia untuk menseleksi ekspresi genetis dari variabilitas gen didalam suatu

tumbuhan secara sistematis. Mulai saat itulah nilai sumber daya genetik secara empiris dikenal.

Dengan berkembangnya bioteknologi di bidang pertanian dan farmasi, maka nilai sumber daya

genetik ini semakin meningkat. Pada awalnya nilai sumber daya genetik ini terikat dengan

kesatuan (entity) kepemilikan fisik varietas suatu komoditas tanaman dan/atau ternak. Dengan

berkembangnya pengetahuan mengenai ilmu hayati (biologi) dan semua cabang-cabangnya

(termasuk ilmu genetika) maka mulai dikenal nilai-nilai intrinsik suatu mahluk hidup yang dikenal

dengan variabilitas gen. Perkembangan ilmu pengetahuan biologi tersebut telah meningkatkanpotensi pemanfaatan sumber daya genetik, dan dengan demikian juga meningkatkan nilai

sumber daya tersebut. Sejalan dengan perkembangan industri pertanian dan farmasi yang

memanfaatkan bioteknologi serta sumber daya genetik ini, maka eksplorasi sumber-sumber 

daya genetik baru juga meningkat.

Bioteknologi 

Page 2: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 2/13

Istilah bioteknologi pertama kali dikemukakan oleh Karl Ereky, seorang insinyur Hongaria pada

tahun 1917 untuk mendeskripsikan produksi babi dalam skala besar dengan menggunakan bit

gula sebagai sumber pakan. Pada perkembangannya sampai pada tahun 1970, bioteknologi

selalu berasosiasi dengan rekayasa biokimia (biochemical engineering). Definisi bioteknologi

apabila dapat dilihat dari akar katanya berasal dari ³bio´ dan ³teknologi´, maka kalau digabung

pengertiannya adalah penggunaan organisme atau sistem hidup untuk memecahkan suatumasalah atau untuk menghasilkan produk yang berguna. Pada tahun 1981, Federasi

Bioteknologi Eropa mendefinisikan bioteknologi sebagai berikut, bioteknologi adalah suatu

aplikasi terpadu biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa kimia dengan tujuan untuk mendapatkan

aplikasi teknologi dengan kapasitas biakan mikroba, sel, atau jaringan di bidang industri,

kesehatan, dan pertanian. Definisi bioteknologi yang lebih luas dinyatakan oleh Bull, et al,

(1982), yaitu penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan rekayasa pengolahan bahan oleh agen

biologi seperti mikroorganisme, sel tumbuhan, sel hewan, manusia, dan enzim untuk

menghasilkan barang dan jasa. (Goenadi & Isroi, 2003). Bioteknologi merupakan aktivitas

terpadu dari berbagai disiplin ilmu yang relevan (biokimia, mikrobiologi, rekayasa, dan lain-lain)

dalam pemanfaatan agen hayati untuk menghasilkan barang dan/atau jasa untuk kesejahteraan

umat manusia (Amar et al, 2007).

Pada masa lalu gen ditransfer melalui persilangan biasa atau cara konvensional pada tanaman

sekerabat. Misalkan padi atau jagung varietas yang satu dengan varietas padi atau jagung

varietas yang lain. Perkembangan teknologi pertanian modern melalui bioteknologi dapat

memindahkan gen dari spesies apa saja ke spesies lain melalui berbagai cara, antara lain

dengan pemanfaatan vektor pemindah gen. Teknik semacam ini telah banyak dikembangkan

untuk tanaman budidaya. Produk rekayasa genetika jagung, kedelai dan kapas telah dihasilkan

dan dijual oleh perusahaan agrokimia multinasional seperti Novartis, Monsanto, Zeneca dan

lain-lain. Melalui bioteknologi diharapkan muncul tanaman tahan terhadap hama dan penyakit,

dapat tumbuh di lahan yang mempunyai kendala cekaman fisik (tanah garaman, tanah masam,

cekaman kekeringan dan lain-lain) sesuai dengan harapan peneliti/pemulia tanaman.Bioteknologi manusia mampu melewati batasan biologi, baik itu kelompok hewan, tumbuhan

maupun mikroorganisme dalam memasukkan sifat yang diinginkan.

Bioteknologi dan industri bioteknologi dalam dasawarsa terakhir berkembang sangat pesat.

Tercatat sampai dengan tahun 1997 tidak kurang dari 124 ³organisme baru´ terutama tanaman-

tanaman transgenik (tanaman yang telah mengalami rekayasa genetik) telah dimintakan izin

dan dipatenkan untuk dibudidayakan dan dipasarkan secara global. Ratusan ribu produk hayati

termasuk di dalamnya makhluk tanaman, hewan dan mikroba telah dipaten oleh negara-negara

maju, termasuk Amerika-Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan Jepang.

Pengembangan bioteknologi melalui rekayasa genetika berlandaskan pada keanekaragamanhayati atau dapat dikatakan bahwa keanekaragaman hayati merupakan aset pengembangan

bioteknologi. Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar 

di dunia, diikuti oleh Brazil, Zaire, dan negara-negara berkembang lainnya. Dapat dipastikan

bahwa negara-negara yang maju teknologinya adalah negara-negara miskin keanekaragaman

hayati, sedang negara yang kaya keanekaragaman hayatinya terbatas kemampuan

teknologinya. Diperkirakan di dunia ini terdapat 5 ± 30 juta spesies (jenis makhluk hidup), dan

hanya sekitar 1,4 juta yang telah terindentifikasi secara ilmiah.

Page 3: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 3/13

Penerapan dan Komersialisasi Bioteknologi 

Penerapan bioteknologi dalam skala industri secara umum dibagi dalam berbagai bidang, yaitu

perawatan kesehatan (medis), produksi tanaman dan pertanian, industri non pangan

menggunakan tanaman dan produk lainnya (misalnya plastik biodegradable, minyak sayur,

biofuel), lingkungan serta kelautan dan perikanan (Amar et al, 2007).

Sebagai contoh, satu aplikasi bioteknologi adalah penggunaan organisme yang diarahkan untuk

pembuatan produk organik (contoh meliputi produk bir dan susu). Contoh lain adalah

menggunakan bakteri alami oleh industri pertambangan (bioleaching). Bioteknologi juga

digunakan untuk mendaur ulang, mengolah limbah, membersihkan lokasi yang terkontaminasi

oleh kegiatan industri (bioremediasi), dan juga untuk memproduksi senjata biologi.

Produk rekayasa genetika ternyata semakin meluas. Di Amerika Serikat areal pertanaman yang

menggunakan varietas rekayasa genetika telah meningkat dari enam juta are pada tahun 1996

menjadi 30 juta are pada tahun 1997. Pada tahun-tahun mendatang sekitar 40 persen tanaman

kedelai di Amerika adalah kedelai yang dimodifikasi secara genetik. Bahkan beberapa

perusahaan besar telah mempunyai berbagai varietas rekayas genetika yang telah memperolehhak paten. Perusahaan multinasional bioteknologi Monsanto telah mengembangkan benih

Terminator, Novartis Swiss dengan Traitor dan Zeneca dengan Verminator yang intinya sama,

benih tersebut akan membunuh turunannya, kecuali diberi pemicu bahan kimia yang diproduksi

oleh perusahaan itu sendiri. Benih ini telah disusupi dengan gen ³suicide seed/benih bunuh diri

³sehingga petani tidak akan dapat lagi menyisihkan hasil panennya untuk dijadikan benih,

karena turunan pertamanya tidak dapat tumbuh. Setiap kali menanam, petani harus membeli

benih dari perusahaan/agen, sehingga ketergantungan petani terhadap benih tersebut makin

besar.

Komersialisasi merupakan suatu upaya pengembangan dan usaha pemasaran suatu produk

dari hasil proses dan penerapan proses ini dalam kegiatan produksi. Pemasaran produkbioteknologi di luar negeri telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu, baik dengan

pelabelan khusus maupun belum dilabel. Tanaman hasil produk bioteknologi yang paling

banyak ditanam adalah jagung, kedele dan kapas. Amerika Serikat adalah negara paling

banyak menanam produk bioteknologi.

Data dari USDA menyebutkan bahwa sejak 1976 ± 2000 jumlah paten produk bioteknologi telah

mencapai 11.073 buah. Sepuluh perusahaan besar yang menerima paten terbanyak dalam

bidang bioteknologi di AS adalah Monsanto Co., Inc (674 paten), Du Pont, E.I. De Nemours and

Co. (565 paten), Pioner Hi-Bred International, Inc. (449 paten), USDA (315 paten), Sygenta

(284 paten), Novartis AG (230 paten), University of California (221 paten), BASF AG (217

paten), Dow Chemical Co. (214 paten), dan Hoechast Japan Ltd. (207 paten. Sebagian dariproduk-produk bioteknologi tersebut juga sudah beredar di Indonesia (Goenadi & Isroi, 2003).

Perkembangan industri di sektor bioteknologi tidak selalu berjalan dengan mulus, masalah-

masalah utama yang dihadapi terutama adalah menyangkut paten, access and benefit sharing

(ABS) dan keamanan hayati (biosafety).

Masalah Paten dan ABS 

Page 4: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 4/13

Paten merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap Intelectual Property Rights (IPR), Hak

atas kekayaan Intelektual (HAKI), seperti hak cipta atau merek dagang sebagai bentuk insentif 

dan imbalan terhadap suatu penemuan. Landasan dari paten ini adalah untuk mendorong

penemuan-penemuan komersial, sementara pengetahuan yang melatar-belakangi penemuan

tersebut disebarkan kepada masyarakat. Pengetahuan tersebut bebas bagi setiap orang untuk

menggunakannya dan memanfaatkannya secara komersial, tetapi hasil penemuan tetaprahasia, dan ada insentif ekonomi terhadap hasil temuannya.

Paten dan HaKI lainnya menyangkut bioteknologi sudah lama menjadi perdebatan. Pokok

permasalahannya adalah bahwa paten terhadap organisme, gen dan/atau sumber daya genetik

adalah tidak dapat diterima, dengan alasan: (1) para petani pada umumnya menyimpan benih

untuk masa tanam yang akan datang; (2) perusahaan multinasional sering melakukan klaim hak

atas kakayaan intelektual terhadap gen atau tehadap rangkaian DNA tanpa melakukan invensi

yang sesungguhnya (biopiracy).

Sumberdaya genetik (SDG atau GR), sebagai sesuatu yang ada di alam, tidak seharusnya

diberi perlindungan paten. Demikian pula, pengetahuan tradisional (PT atau TK) juga tidak

dapat dipatenkan. Namun keduanya perlu dilindungi dari penjarahan, dan masyarakat adat

terutama perlu mendapatkan perlindungan atas PT yang mereka kembangkan.

Mereka yang sepaham dengan liberalisme paten berpendapat bahwa invensi apapun, termasuk

yang tersambung dengan SDG dan PT selalu dapat dimintakan paten, asalkan memenuhi

semua persyaratan standar berupa: novelty (kebaruan), non-obvious (bersifat inventif), and

useful (kebergunaan). Persyaratan tersebut bersifat universal, seperti misalnya tercantum

dalam perjanjian internasional TRIPs (Hak Kekayaan Intelektual terkait Perdagangan), di bawah

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Doktrin utamanya adalah kepatuhan terhadap

kesepakatan. Prinsip dasarnya adalah Pact Sunt Servanda (janji harus ditepati).

Pendapat yang kedua ada di posisi berseberangan. Pendapat ini mendasarkan diri padapersyaratan novelty, namun dengan penafsiran yang terlampau luas. Pengikut pendapat ini

menyatakan bahwa invensi yang tersambung dengan SDG dan PT tidak dapat dipatenkan,

karena tidak memenuhi syarat kebaruan (novelty). Acuan utamanya adalah kasus aplikasi atau

pemberian paten atas tanaman nimba, kunyit dan beras basmati. Pada kasus-kasus ini paten

yang sudah diterbitkan kemudian dibatalkan karena syarat kebaruan tidak terpenuhi.

Pendapat yang ketiga lebih moderat. Menurut pengikut pendapat ini, invensi yang tersambung

dengan SDG dan PT tetap dapat dipatenkan, asalkan ketika mengajukan permohonan paten

atas invensi tersebut dinyatakan secara transparan bahwa invensi tersebut terkait dengan SDG

dan PT. Pendapat ini mengacu kepada keterbukaan (disclosure) sistem perlindungan paten.

Pengikut pendapat ini menyadari bahwa hampir tidak mungkin ada invensi yang benar-benar baru (novel). Pada umumnya invensi yang patentable (bisa diberikan paten) merupakan hasil

pengembangan dari invensi-invensi sebelumnya, atau sekurang-kurangnya hasil

perkembangan dari teknologi yang sudah ada sebelumnya. Termasuk di dalamnya adalah

teknologi yang bersumber dari pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya

genetika tertentu. Banyak riset di bidang farmasi yang melibatkan pengetahuan tradisional

sebagai basis awalnya.

Page 5: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 5/13

Saat ini di forum internasional tengah berkembang wacana keterbukaan sumber invensi

(disclosure requirements). Wacana ini berkembang sejalan dengan terungkapnya kasus-kasus

paten obat-obatan yang terkait dengan SDG dan PT. Wacana itu berkembang di dalam forum

resmi seperti pada Convention on Biological Diversity (CBD) dan WTO.

Tuntutan disclosure requirements muncul ketika industri farmasi dari negara maju memperoleh

manfaat dari penggunaan SDG dan PT dari negara berkembang tanpa adanya pembagian

manfaat yang adil (equitable benefit sharing). Sementara itu di dalam sistem perlindungan

paten memang belum ada ketentuan tentang keharusan untuk adanya keterbukaan informasi

tentang sumber invensi. Itu sebabnya negara-negara maju yang diuntungkan dengan sistem

paten yang berlaku sekarang ini cenderung mempertahankan kondisi yang ada. Sebaliknya,

negara berkembang yang merasa diperlakukan tidak adil menginginkan agar aturan hukum

paten yang ada mencerminkan rasa keadilan tersebut dengan memasukkan prinsip

keterbukaan informasi tentang sumber invensi. Adanya keterbukaan informasi sumber ini akan

berdampak bahwa negara-negara berkembang mempunyai landasan yang kuat untuk menuntut

adanya pembagian yang adil atas pemanfaatan SDG dan PT oleh negara maju.

Sesungguhnya, wacana tentang keterbukaan informasi sumber ini lebih disebabkan karena ada

perbedaan kepentingan dalam konteks paten atas obat-obatan dan tanaman pangan. Lebih

tepatnya menyangkut kepentingan atas access and benefit sharing. Negara maju

berkepentingan atas akses yang terbuka terhadap GR dan TK. Sebaliknya, negara berkembang

berkepentingan untuk adanya benefit sharing atas pemanfaatan SDG dan PT. Boleh dikatakan

pergumulan tentang disclosure requirements berkisar pada persoalan access and benefit

sharing ini.

Negara-negara maju mencoba bertahan pada aspek hukum berupa kesepakatan internasional

yang telah disepakati dalam forum TRIPs. Mereka menuntut agar negara-negara berkembang

comply (patuh) terhadap TRIPs dengan memberikan perlindungan paten dengan standard

internasional. Sedangkan Negara-negara berkembang menginginkan sistem yang lebih adil

yang lebih dekat pada persoalan etika moral. Namun pada kenyataannya etika moral seringkali

tidak efektif untuk melahirkan kesadaran manusia agar berlaku adil. Itu sebabnya negara-

negara berkembang menuntut agar norma etika moral itu diperkuat dalam bentuk norma

hukum. Tuntutan itulah yang mengemuka dalam perdebatan masuknya disclosure requirements

dalam proses permohonan paten.

Masalah HAKI/Paten merupakan masalah nasional dan internasional yang terus berkembang

dan menimbulkan pro-kontra, dan dapat mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara,

terutama yang berkaitan dengan globalisasi perdagangan dan masalah pemanfaatan kekayaan

keanekaragaman hayati dan kehidupan dunia iptek. Ini permasalahan yang sangat kompleks

terutama karena adanya dorongan keuntungan ekonomi dan penguasaan pasar.

Di tingkat nasional, masalah akses terhadap sumberdaya telah dilontarkan terutama oleh

kalangan LSM dalam kaitannya dengan kesepakatan Internasional yaitu Konvensi

Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity, CBD), General Agreement on

Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property

Rights (TRIPs), dan World Trade Organization (WTO).

Page 6: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 6/13

Perkembangan terakhir dalam masalah IPR adalah bahwa bahan informasi genetik (DNA) yang

merupakan bahan hakiki untuk menunjang kemampuan hidup mulai dipatenkan. Sampai

dengan tahun 1995, kurang lebih ada 1.200 fragmen DNA telah dipatenkan. Proses pengajuan

paten bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan. Namun proses tersebut sangat ditentukan

oleh penyusunan legal text dalam mengungkap ³kebaruan´ proses atau produk yang dimintakan

paten-tanpa memberikan peluang bahwa ³kebaruan´ dapat disadap/dicuri oleh fihak lain. Disamping itu, kesepakatan dalam CBD dicantumkan pula Access to Genetic Resources di mana

saja oleh siapa saja. Hal ini sangat memungkinkan peluang untuk menang dalam berlomba

memanfaatkan keanekaragaman hayati yang merupakan aset pengembangan bioteknologi

melalui rekayasa genetik oleh negara-negara yang maju teknologinya ketimbang negara-negara

berkembang yang umumnya lebih kaya keanekaragaman hayati.

Tercapainya kesepakatan dan diadopsinya Protokol Akses dan Pembagian Keuntungan atas

pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional (Protocol on Access and

Benefit Sharing of Genetic Resources and Associated Traditional Knowledge), sebagai

instrumen penting yang akan memberikan kepastian hukum atas pemanfaatan sumber daya

genetik secara global dan menghentikan pencurian sumber daya genetik (biopiracy). Selain itu juga target yang tercapai dan terukur serta fokus pada upaya penurunan laju kemerosotan

keanekaragaman hayati pada tataran nasional dan global.

Kerangka Global Implementasi ABS 

Sebelum CBD lahir, penguasaan perusahaan besar atas kekayaan sumber daya hayati

menghasilkan keuntungan berlimpah. Ini karena umumnya kekayaan sumber daya hayati

tersebar di negara berkembang yang belum terjamah industrialisasi.

Negara maju beranggapan, kekayaan sumber daya hayati adalah warisan peradaban manusia

(the common heritage of mankind). Semacam konsep res communis di hukum Romawi yang

merujuk ke wilayah bukan milik siapa-siapa (belong to no one) yang bisa dimanfaatkan umum.Maka, perusahaan besar yang dapat mengembangkan sumber hayati menjadi produk teknologi

tinggi seperti obat dan kosmetik bisa menjual produknya kembali ke negara asal sumber hayati

dengan harga berlipat ganda.

CBD adalah instrumen hukum internasional pertama yang merujuk pada konsep kedaulatan

negara pada kekayaan sumber daya hayati, sembari mengatur konsep prior inform consent dan

berbagi keuntungan secara adil dan setara sebagai langkah kelanjutannya. Organisasi Pangan

dan Pertanian (FAO) kemudian memiliki traktat mengenai kekayaan sumber daya hayati dari

tanaman. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2007 berusaha merumuskan konsep

akses dan berbagi keuntungan secara adil dan setara dalam kerangka Pandemic Influenza

Preparedness.

Pada dasarnya harus ada arah dan kebijakan yang harus diambil oleh masing-masing negara

dalam implementasi ABS di tingkat lokal terhadap keanekaragaman hayati, penggunaan

sumber daya dan berbagi manfaat dari penggunaan tersebut, tiga proses utama yang

mempengaruhi implementasi di tingkat negara adalah Perjanjian Internasional mengenai

Convention on Biological Diversity (CBD), the International Treaty on Plant Genetic Resources

for Food and Agriculture (ITPGRFA) and the Inter-Governmental Committee on Intellectual

Page 7: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 7/13

Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC) of the World

Intellectual Property Office (WIPO) yang berhubungan dengan kepemilikan dan hak milik isu-isu

yang berkaitan dengan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional intelektual.

Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversiy, CBD)

merupakan konvensi internasional yang dicetuskan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.

Konvensi ini mempunyai 3 tujuan utama:

1. Konservasi keanekaragaman hayati,

2. Kelestarian penggunaan dari komponen-komponen sumber daya hayati tersebut,

3. Adanya kerja sama yang adil dan saling menguntungkan dari sumber daya genetik yang

ada.

Dengan kata lain, tujuan dari konvensi ini adalah untuk membangun strategi-strategi nasional

untuk konservasi dan penjagaan keberlangsungan dari keanekaragaman hayati. Ada beberapa

hal dalam CBD yang menjadi pokok dalam perjanjian bilateral yang dapat di tuangkan dalam

MoU kedua negara. Seperti yang telah tercantum pada CBD yaitu berkenaan dengan pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 15 tentang Akses ke Sumber Daya Genetik

Negara yang akan mengambil sumber daya genetik dari negara lain harus mengakui negara

asal dari sumber daya genetik tersebut. Selain itu, perjanjian yang dibuat harus saling

menguntungkan dan disepakati semua pihak yang terlibat (bilateral maupun multilateral). Kerja

sama saling menguntungkan tersebut mencakup: 1. Penyediaan fasilitas sarana dan prasarana

untuk kemudahan akses ke sumber daya genetik yang telah disepakati, 2. Akses tersebut

dibatasi hanya pada sumber daya genetik yang telah disepakati saja, 3. Semua pihak berusaha

untuk membangun dan melaksanakan penelitian mengenai sumber daya genetik tersebut.Pasal 16 tentang Akses dan Transfer Teknologi

Masing-masing pihak yang terkait harus menyadari bahwa teknologi itu mencakup bioteknologi

dan akses serta transfer teknologi diantara pihak yang terlibat merupakan elemen yang penting

untuk pencapaian tujuan sesuai dengan CBD tanpa merusak lingkungan dan kelestarian dari

sumber daya genetik tersebut. Akses dan transfer teknologi yang diberikan kepada negara asal

sumber daya genetik tersebut harus fair dan menghormati hak-hak kekayaan intelektual. Pihak-

pihak yang terlibat sebaiknya menempuh jalur hukum, administratif, maupun kebijakan yang

sesuai sehingga negara penyedia sumber daya mendapatkan akses dan transfer teknologi

dengan kesepakatan bersama, termasuk terknologi-teknologi yang dipatenkan atau hak

kekayaan intelektual lainnya.

Pasal 17 tentang Pertukaran informasi

Pihak-pihak yang memanfaatkan sumber daya harus memfasilitasi pertukaran informasi dari

berbagai sumber yang tersedia yang relevan dengan konservasi dan kelangsungan

penggunaan dari keanekaragaman hayati yang merupakan kebutuhan dari negara berkembang

yang merupakan penyedia sumber daya genetik. Informasi-informasi yang diberikan juga

Page 8: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 8/13

sebaiknya mencakup hasil-hasil teknis dari penelitian, keilmuan, dan sosio-ekonomi;

pengadaan pelatihan-pelatihan dan program survey; serta tukar informasi seputar ilmu

pengetahuan yang terkait.

Pasal 18 tentang Kerja sama Teknik dan Keilmuan

Pihak-pihak yang terlibat kontrak harus mempromosikan kerja sama teknik dan keilmuaninternasional terkait dengan konservasi dan keberlangsungan penggunaan dari

keanekaragaman hayati, jika perlu, melalui institusi-institusi internasional dan nasional yang

sesuai. Kerja sama tersebut khususnya ditekankan pada pembangunan dan penguatan

kapabilitas nasional melalui pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan institusi.

Pihak yang memanfaatkan sumber daya (negara maju) harus mendorong pemanfaatan

teknologi, baik teknologi tradisional maupun modern untuk mencapai tujuan konvensi. Untuk

tujuan ini, pihak negara maju tersebut diharapkan bekerja sama dalam pengadaan pelatihan-

pelatihan SDM dan pertukaran ahli.

Pasal 19 tentang Penanganan Bioteknologi dan Pembagian Keuntungan

Pihak-pihak yang terlibat kontrak harus menempuh jalur hukum, administratif, maupun

kebijakan lain yang sesuasi untuk mendukung partisipasi yang efektif dalam aktivitas penelitian

di bidang bioteknologi oleh pihak-pihak tersebut, terutama negara yang berkembang yang

menyediakan sumber daya genetik. Semua pihak harus mempertimbangkan kebutuhan akan

protokol untuk menetapkan prosedur yang sesuai terkait dengan transfer yang aman,

penanganan dan penggunaan organisme hidup yang telah dimodifikasi (living modified

organism) yang dihasilkan dari rekayasa bioteknologi yang mungkin memiliki efek samping

pada konservasi dan keberlangsungan penggunaan keanekaragaman hayati.

Pasal 20 tentang Sumber Dana

Setiap pihak yang terlibat, sesuai dengan kapabilitasnya, harus memberikan dukungan finansialdan insentif, terkait dengan kegiatan yang telah disepakati bersama untuk pencapaian tujuan

konvensi. Pihak dari negara maju harus menyediakan sumber dana baru dan tambahan

sehingga memungkinkan negara berkembang untuk memenuhi biaya-biaya tambahan yang

telah disepakati bersama. Pihak negara maju harus memenuhi semua kebutuhan dana dan

transfer teknologi yang diperlukan oleh negara berkembang.

Protokol Nagoya 

Pertemuan Negara-negara Pihak (COP) Konvensi Sumber Daya Hayati Ke-10 di Nagoya

menghasilkan tiga kesepakatan utama. Kesepakatan dari pertemuan yang berakhir pada 30

Oktober 2010 itu meliputi Protokol Nagoya, Revisi Rencana Strategis Pencapaian Tujuan

Konvensi Sumber Daya Hayati (CBD) 2011-2020 dan Rencana Pelaksanaan Strategi Mobilisasi

Dana.

Selama ini gagasan CBD sulit diimplementasikan karena petunjuk pelaksanaannya berupa

protokol belum ada. Maka, kelahiran Protokol Nagoya, yang lengkapnya adalah The Nagoya

Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising

from Their Utilization, sangat penting secara substantif. Protokol Nagoya berisi aturan

pemberian akses dan kemauan berbagi keuntungan secara adil dan setara atas pemanfaatan

Page 9: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 9/13

kekayaan sumber daya hayati. Ini merupakan kesepakatan kedua setelah Protokol Cartagena

mengenai keamanan hayati (biosafety), yang mulai berlaku 2003.

Protokol Nagoya merumuskan aturan pelaksanaan CBD terkait pemberian akses dan

pembagian keuntungannya. Penyedia kekayaan sumber daya hayati bekerja sama dengan

pengguna dalam mekanisme pembagian keuntungan yang adil dan setara. Agar Protokol

Nagoya dapat berlaku sah sesuai hukum internasional, dibutuhkan ratifikasi dari 50 negara

anggota COP CBD. Naskah asli Protokol Nagoya akan mulai terbuka untuk ditandatangani 2

Februari 2011 sampai 1 Februari 2012 di Markas Besar PBB, New York.

Protokol Nagoya merumuskan mekanisme pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati yang

berasal dari tanaman, hewan, dan mikrobiologi untuk produk industri, kosmetik, makanan, obat-

obatan, dan keperluan lain. Intinya, terbuka akses pada sumber daya hayati untuk

pemanfaatan, tetapi juga dalam semangat yang sama mengatur bagaimana manfaat atau

keuntungan juga dapat dinikmati oleh negara asal sumber daya hayati itu.

Kesepakatan diharapkan dapat membuat transparan pergerakan lalu lintas sumber-sumber 

daya hayati sehingga pembajakan hayati (biopiracy) dapat ditekan seminimal mungkin. Selamaini biopiracy kerap terjadi saat perusahaan multinasional diam-diam memanfaatkan

pengetahuan tradisional ataupun kekayaan sumber daya hayati negara berkembang, dan

keuntungannya juga sama sekali tidak dibagi.

Pembahasan mengenai upaya mendeteksi biopiracy memakan waktu lama. Negara

berkembang ingin aturan monitoring yang bersifat mandatory dan mencakup informasi rinci dan

lengkap dari riset sampai pengembangan produk. Negara maju menginginkan aturan lebih

longgar dan bersifat sukarela.

Kasus-Kasus Pembelajaran 

Kasus Hoodia gordonii di Afrika Selatan 

Suku-suku San Kalahari merupakan masyarakat tertua di Afrika Selatan. Mereka telah memiliki

pengetahuan tradisional tentang penggunaan Hoodia gordonii, pohon yang ditemukan di gurun

Kalahari, yang secara historis dikonsumsi oleh suku San Kalahari untuk menahan rasa lapar 

apabila melakukan perjalanan jauh. Masyarakat San awalnya tidak menyadari bahwa Dewan

Penelitian Ilmiah dan Industri Afrika Selatan (South African Council for Scientific and Industrial

Research / CSIR), sebuah lembaga pemerintah Afrika Selatan, telah diberikan hak paten pada

P57, obat penekan nafsu makan yang berasal dari ekstrak Hoodia lezat melalui penelitian

dilakukan oleh CSIR, dan memiliki rencana untuk mengkomersialisasikan produk tersebut tanpa

sepengetahuan suku San Kalahari. CSIR kemudian menegosiasikan lisensi hak eksklusif 

komersial tersebut kepada perusahaan farmasi Phytopharm, untuk pengembangan produk

Hoodia, yang kemudian memberikan izin kepada perusahaan farmasi Pfizer dan ke perusahaan

makanan multinasional Unilever.

Dengan keterlibatan LSM The Working Group on Indigenous Minorities in Southern Africa

(WIMSA), masyarakat San melakukan negosias dengan CSIR untuk menyusun perjanjian

pembagian keuntungan dari royalti yang berasal dari penjualan produk yang mengandung

paten P57.

Page 10: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 10/13

Masalah utama dalam perundingan tersebut adalah kurangnya kerangka hukum di Afrika

Selatan untuk perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional.

Dalam kasus Hoodia sulit untuk menegaskan klaim orang-orang San mengenai paten P57 dan

komersialisasi produk Hoodia di masa depan karena kurangnya kerangka peraturan yang jelas

yang menetapkan hak-hak suku San Kalahari.

 Akhirnya perjanjian dalam bentuk Nota Kesepahaman dicapai antara CSIR dan Dewan San

Kalahari Afrika Selatan. Perjanjian ini dianggap sebagai langkah maju yang signifikan untuk

menegosiasikan kesepakatan pembagian keuntungan dengan Dewan San Kalahari Afrika

Selatan sebagai pengakuan atas hak-hak kolektif suku San, termasuk mendapatkan manfaat

moneter atas eksploitasi komersial terhadap paten P57. Perundingan tentang syarat-syarat

perjanjian antara CSIR dan Dewan San Kalahari Afrika Selatan berlanjut hingga perjanjian

pembagian keuntungan yang ditandatangani pada tanggal 24 Maret 2003. Perjanjian ditentukan

persentase jumlah pembayaran, termasuk pembayaran royalti sejumlah 8%.

Kasus Golden Rice 

Golden Rice adalah varietas padi yang telah diperkaya dengan betacarotene, untuk mengatasidefisiensi Vitamin A. Penelitian dasar dilakukan di Swiss public research institutes ETH Zurich &

University of Freiburg. Perusahaan Zeneca (yang kemudian berubah nama menjadi Syngenta

seletah merger dengan Novartis Agribusiness) mendapatkan hak penelitian dasar tersbut,

kemudian dipadukan dengan penelitian perusahaan tersebut, didapatkan Golden Rice yang

lebih baik. Pada saat pengurusan paten, diketahui sampai didapatnya Golden Rice ternyata

melibatkan 70 proses dan material yang berbeda yang berasal dari 32 perusahaan dan

universitas baik swasta maupun pemerintahan. Sygenta kemudian menyerahkan

pengembangan Golden Rice kepadaInternational Rice Research Institute (IRRI) untuk

kepentingan kemanusiaan.

Kerjasama Pemerintah Nigeria dengan Shaman Pharmaceutical Inc .

Pada tahun 1990 Shaman Pharmaceuticals Inc. menjalin kerjasama lembaga penelitian ilmiah

Nigeria. Manfaat langsung dan jangka menengah yang didapat oleh pemerintah Nigeria dari

ekspedisi tersebut berupa program pelatihan tentang kesehatan masyarakat, botani, konservasi

dan etnobotani, dukungan untuk cadangan tanaman obat negara, dukungan pendidikan;

pasokan koleksi botani untuk herbarium, peralatan laboratorium untuk penelitian ilmiah dan

dukungan bagi para ilmuwan Nigeria untuk penerapan teknik analisis modern. Kemudian

didirikan pula lembaga bernama Healing Forest Conservancy sebagai alat pembagian

keuntungan. Uang sejumlah US $ 2.000 diberikan oleh Shaman Pharmaceuticals Inc. pada

tahun 1994 untuk komunitas dan organisasi penyembuh tradisional, untuk hutan konservasi

tumbuhan obat berbasis masyarakat.

Pada awal tahun 1999 Shaman Pharmaceutical mengambil alih salah satu penemuan melalui

proses regulasi Food and Drug Administration, waktu masa depan dan biaya untuk uji klinis

tambahan terbukti mahal. Shaman Pharmaceutical memanfaatkan penelitian dan

pengembangan perusahaan dengan meluncurkan suplemen makanan botani yang pertama.

Produk ini merupakan ekstrak dari getah sangre de Drago, pohon Croton lechleri, yang

Page 11: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 11/13

bermanfaat untuk mencegah kehilangan cairan dan merangsang pembentukan tinja yang

normal pada sindrom usus bowel.

Kasus Suku Kani di India 

Suku Kani merupakan salah satu suku asli di India yang memakan buah Trichophus zeylanicus,

yang membuat mereka tetap gesit dan enerjik dalam perjalanan. Tropical Botanic Garden andResearch Institute (TBGRI) kemudian melakukan penelitian terhadap kandungan tanaman

tersebut dan menemukan bahwa dalam buahnya terdapat zat anti kelelahan, daunnya

mengandung berbagai glycolipids dan beberapa non-steroid lainnya senyawa dengan anti-stres

dan anti-hepatoxic. Tim TBGRI kemudian mengembangkan formulasi polyherbal dan diberi

nama ³Jeevni´. Setelah evaluasi klinis yang memuaskan obat herbal tersebut dirilis untuk

produksi komersial.

Kemudian banyak perusahaan farmasi yang mendekati TBGRI untuk mendapatkan lisensi

produksi ³Jeevni´. Setelah berbagai negosiasi dengan berbagai pihak, lisensi produksi masal

³Jeevni´ dialihkan ke Aryavaidya Pharmacy Coimbatore Ltd selama 7 tahun. Dalam proses

konsultasinya, TBGRI sepakat dengan komunitas suku Kani untuk membagi licence fee danroyaltinya sebesar 50%.

Organisasi Industri  

Keterlibatan organisasi-organisasi industri juga perlu mendapat perhatian dalam

keikutsertaannya dalam implementasi CBD salah satunya adalah The Biotechnology Industry

Organization (BIO), yang merupakan salah satu organisasi industri Bioteknologi, didirikan tahun

1993 melalui penggabungan 2 buah organisasi yaitu Association of Biotechnology Companies

dan the Industrial Biotechnology Association. Anggotanya terdiri dari sektor-sektor yang

bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan inovasi produk-produk bioteknologi

kesehatan, agrikultur, industri dan lingkungan.

The Biotechnology Industry Organization sejak tahun 2005 telah menyusun sebuah petunjuk

teknis terkait bioprospeksi yang memberikan arahan bagi para anggotanya dalam kegiatan-

kegiatan bioprospeksi. BIO juga telah mempunyai model Material Transfer Agreements, yang

diacu oleh seluruh anggotanya.

Isu Strategis Implementasi ABS bagi Industri Bioteknologi 

Implementasi CBD di bidang industri bioteknologi saat ini belum sepenuhnya dapat terlaksana,

diperlukan instrumetasi yang dapat mendukungnya terutama ditingkal lokal (negara),

diantaranya adalah aturan akses sumber daya disetiap negara. Beberapa negara seperti

Jepang telah pula mempunyai Guidelines on Access to Genetic Resources for Users in Japan.

Dokumen ini dipublikasikan pertama kali pada tanggal 1 April 2005 dalam bahasa Jepang,

kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kemudian disebarluaskan pada bulan

Pebruari 2006. Dokumen dalam versi English berisi 28 halaman lengkap memuat segala aturan

yang diperlukan untuk akses sumber daya genetik untuk pengguna di Jepang. Sebagai

pengantar, di dalam dokumen dijelaskan kronologi dibuatnya aturan ini sebagai inplementasi

CBD yaitu didasari adanya Bonn Giudelines diadopsi pada COP6 pada bulan Pebruari 2002.

Pada bulan September 2002 Bonn Guidelines tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Page 12: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 12/13

Jepang. Pada tahun 2003-2004 Bonn Guidelines didesiminasikan di Jepang melalui seminar 

dan internasional simposium. Secara paralel Bonn Guidelines diproposikan oleh Ministry of 

Economy, Trade and Industry (METI) yang kemudian membahas secara rtinci dengan Japan

Bioindustry Association (JBA). Pada tahun 2005 Guidelines Access to Genetic Resources for 

Users in Japan telah selesai dibuat pada bulan Maret dan dipublikasi pada tanggal 1 April 2005

dalam versi Bahasa Jepang. Pada bulan Pebruari 2006 versi bahasa Inggris disebarluaskan.

Salah satu hal penting yang berkaitan erat dengan akses sumber daya genetik adalah

manakala biodiversitas negara asal akan dimanfaatkan oleh pihak lain. Perjanjian antara kedua

belah pihak harus jelas sehubungan dengan pemanfaatan bahan genetik yang akan dikirimkan.

Dokumen penting yang diperlukan tersebut disebut dengan Material Transfer Agreement (MTA).

MTA sering didefinisikan sebagai suatu terminologi umum untuk suatu dokumen pengiriman

yang sangat singkat dan sederhana, merupakan catatan pengiriman suatu bahan yang sudah

baku, atau suatu catatan resmi berisikan persyaratan minimum yang harus dibuat atau dapat

merupakan dokumen yang rinci tentang persetujuan pengiriman dan penggunaan bahan yang

telah disetujui bersama.

Di dalam MTA biasanya tercantum jenis dan jumlah bahan genetik yang ditransfer, waktu

terjadinya pengiriman, ijin penggunaan bahan genetik yang dikirimkan (misalnya untuk

keperluan riset, komersial, dan lain-lain) dan pernyataan apabila bahan tersebut dimanfaatkan

oleh pihak lain. Bonn Guidelines merupakan bahan acuan yang telah dibakukan. Hal-hal lain

yang berhubungan dengan pengelolaan dan kepentingan bersama atas bahan yang dikirimkan

dapat dituliskan pula dalam perjanjian tersebut. Seharusnya tidak terjadi hal-hal yang dpat

dinegosiasikan di luar MTA. Artinya bahwa segala sesuatu yang harus dipatuhi oleh negara

asal sumber genetik dan negara penerima semuanya harus tertulis pada MTA.

Bioteknologi merupakan suatu proses yang relatif panjang, seringkali memerlukan waktu

bertahun-tahun dan biaya riset pengembangan yang sangat mahal sampai menghasilkan

produk yang dapat dikomersialisasi, dalam perjalanan proses tersebut juga selain sumberdaya

asli juga melibatkan banyak orang, organisasi dan bahan-bahan lain selain sumberdaya aslinya,

sehingga perumusan ABS-nya menjadi rumit.

Penutup 

Saat ini implementasi ABS di sektor industri lebih banyak terjadi karena reaksi pihak yang

merasa dirugikan atau kebijakan pengembang (perusahaan) yang sifatnya lebih ³voluntary´.

Tersedianya aturan lokal (negara) mengenai hak akses terhadap sumber daya terutama

sumberdaya genetik merupakan syarat utama legalisasi implementasi ABS di sektor industri

bioteknologi, meskipun demikian dari berbagai kasus yang terjadi, pendekatan terhadap hak

 ABS dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui mekanisme penyusunan MTA, danyang lebih penting lagi adalah pendokumentasian sumberdaya tersebut ditingkat lokal.

Page 13: KAPAS

5/14/2018 KAPAS - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kapas-55a92cb8927de 13/13

KAPAS

Hasil penelitian ilmuwan Amerika keturunan India yakni Ganesan Sunilkumar dan KeertiS.Rathore yang diumumkan secara terbuka beberapa hari yang lalu menuturkan,bahwa melalui perombakan teknologi interferensi RNA (Ribonucleic Acid interference),

sudah dapat dengan sukses mengurangi gossypol, suatu zat beracun dalam bibit kapas(gossypol, suatu pigmen kuning, adalah zat beracun dalam bibit kapas). Agar biji kapasdapat dimakan dengan aman, dan menjadi makanan pokok masa depan di kawasanmiskin, memberikan sejumlah besar sumber protein bagi manusia dan ternak. Menurutlaporan INDOlink, kedua ilmuwan menuturkan bahwa penelitian ini ³dapatmengeksploitasi sumber gizi makanan yang baru bagi ratusan juta penduduk´, dan hasilpenelitian mereka juga dipublikasikan di majalah Proceedings of the national Academyof science Amerika yang terbit pada 28/11/ lalu. ³Yang paling menggembirakan adalah,kami akhirnya menemukan metode untuk menghambat kandungan gossypol dalam bibitkapas. Gossypol (fenol biji kapas) adalah suatu senyawa beracun yang keras, tapi kamidapat mengurangi kadarnya hingga pada titik teraman, agar biji kapas dapat

dikonsumsi´demikian tandas doktor Rathore. Peneliti terkait menuturkan, bahwa bijiyang telah diolah melalui teknologi ini, bukan saja telah memenuhi standar dari FDA(U.S.Food and Drug Administration) dan WHO, bahkan mereka juga dengan optimismemprediksikan, bahwa di masa mendatang biji kapas dapat menyuplai sumber proteinyang dibutuhkan sepanjang tahun pada 500 juta penduduk. 

Meskipun orang-orang sudah mengetahui akan kandungan protein yang tinggi dalambiji kapas, namun karena gossypol dapat meracuni jantung, hati dan zat yangmematikan pada organ lain, karena itu selain binatang yang memiliki banyak lambungseperti sapi ini, binatang lain dan manusia tidak dapat mengonsumsi biji kapas. Jika

seekor ayam hanya makan biji kapas, maka tidak sampai satu minggu ayam ini akansegera mati. Kini, melalui teknologi interferensi RNA, para ilmuwan berhasilmenghambat dan memutuskan gen gossypol yang tumbuh dalam bibit kapas, dansecara efektif mengekang kandungan racun gossypol. Rathore menandaskan, selain

 Amerika Serikat, Australia, daerah penghasil kapas sedunia terutama berpusat dinegara-negara berkembang yang agak terbelakang, dan negara-negara ini jugamerupakan daerah yang kekuranga makanan atau kurang gizi. Danny Liewellyn dariCSIRO juga menuturkan, begitu biji kapas dinyatakan dapat dikonsumsi, makadipastikan dapat mendatangkan manfaat tambahan yang cukup besar bagi negaraseperti China dan India serta negara-negara penghasil utama kapas lainnya