6
1. Analisislah kasus dr. ayu dari sudut pandang Rule of Law ! 2. Carilah 2 pendapat mahasiswa unsri di luak FK mengenai bagaimana perlindungan HAM di Indonesia, buatlah kesimpulan dari 2 pendapat tersebut ! 3. Apa yang harus saudara lakukan agar geopolitik dan geostrategi Indonesia dapat terus dipertahankan ? 4. Berilah penilaiain jujur terhadap proses belajar mengajar pendidikan kewarganegaraan semester VII MPK FK Unsri 2010 dan berilah saran agar menjadi lebih baik. Jawab 1. Analisis kasus Undang-Undang Standar Pelayanan Medik menjadi payung hukum bagi semua institusi kesehatan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan medis terhadap pasien. Undang-undang ini juga harus berlaku universal di semua institusi kesehatan. Salah satunya adalah kewajiban adanya Informed Consent yang fungsinya justru untuk melindungi hak asasi dokter agar tidak terjerat oleh hukum jika pasien mengalami kerugian atau bahkan kematian akibat tindakan medis yang dilakukan yang telah sesuai dengan standar operasional dan kompetensi. Soal tindakan medis yang dilakukan saya sepakat tidak ada satupun standar

kasus dr ayu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kasus dokter ayu malpraktek

Citation preview

1. Analisislah kasus dr. ayu dari sudut pandang Rule of Law !2. Carilah 2 pendapat mahasiswa unsri di luak FK mengenai bagaimana perlindungan HAM di Indonesia, buatlah kesimpulan dari 2 pendapat tersebut !3. Apa yang harus saudara lakukan agar geopolitik dan geostrategi Indonesia dapat terus dipertahankan ?4. Berilah penilaiain jujur terhadap proses belajar mengajar pendidikan kewarganegaraan semester VII MPK FK Unsri 2010 dan berilah saran agar menjadi lebih baik.Jawab1. Analisis kasusUndang-Undang Standar Pelayanan Medik menjadi payung hukum bagi semua institusi kesehatan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan medis terhadap pasien. Undang-undang ini juga harus berlaku universal di semua institusi kesehatan. Salah satunya adalah kewajiban adanya Informed Consent yang fungsinya justru untuk melindungi hak asasi dokter agar tidak terjerat oleh hukum jika pasien mengalami kerugian atau bahkan kematian akibat tindakan medis yang dilakukan yang telah sesuai dengan standar operasional dan kompetensi. Soal tindakan medis yang dilakukan saya sepakat tidak ada satupun standar operasional, kompetensi dan profesi yang dilanggar. Hal tersebut memang disampaikan dalam pertimbangan dan fakta persidangan di pengadilan negeri, tetapi ada hal yang berbeda dalam putusan di pengadilan negeri dan Mahkamah Agung. Pada putusan pengadilan negeri, fokus pembuktian yang digunakan hakim adalah ada tidaknya kesalahan/ kelalaian yang dilakukan dalam tindakan medis dan semua saksi ahli menyatakan bahwa tidak ada kesalahan prosedural. Hakim pun lalu memutus bebas murni. Tetapi MA berbeda. Perbedaannya adalah penekanan pada masalah informed concent yang ternyata tanda tangannya palsu dan telah dibuktikan melalui analisis forensik. Pemalsuan tanda tangan ini jelas 2 pidana, saya sendiri heran mengapa opini yang berkembang justru soal emboli. Dalam peristiwa hukum yang dialami dr. Ayu ada 2 perbuatan hukum yang dilakukan :1) Informed consent 2) Tindakan medis/Sectio Caesarea Perlu diingat bahwa tindakan medis seorang dokter itu adalah kontrak upaya. Disebut kontrak upaya karena tindakan medis yang dilakukan dokter adalah berupaya untuk menolong pasien memperoleh kesembuhan berdasarkan ilmu dan kompetensi yang dimiliki bukan menjamin/memastikan pasien sembuh. Dalam ilmu hukum yang dimaksud kontrak adalah suatu kesepakatan (akad) dua belah pihak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Akad tersebut dapat dilakukan secara lisan ataupun tulisan. Ada batasan jelas kapan akad itu dilakukan lisan dan kapan dilakukan dengan tulisan. Informed consent harus tertulis jika tindakan medis yang dilakukan itu mengandung unsur resiko tinggi, artinya informed consent tersebut mutlak membutuhkan tanda tangan pasien dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan. Dengan begitu, jika terjadi faktor resiko di luar kemampuan keahlian dokter, maka dokter bebas dari pertanggungjawaban. Informed consent juga dapat berperan sebagai bukti bagaimana komunikasi antara dokter dengan pasien dengan keluarga pasien berjalan. Kasus pemalsuan tanda tangan dalam informed consent pasien dr. Ayu dkk itu membuktikan betapa buruknya komunikasi antara dokter dan pasien. Padahal pasien dan keluarganya sangat berhak mengetahui bagaimana kondisi penyakit pasien, tindakan medis yang akan dilakukan untuk menolong pasien dan apa resikonya. Itu yang dibuktikan dalam kasasi MA, yang menyatakan adanya koordinasi yang buruk antara ke 3 dokter yang melakukan tindakan medis terhadap pasien Fransiska Makatey.Kembali ke kasus dr.Ayu dkk, salah satu pertimbangan hukum putusan kasasi MA adalah terbuktinya pemalsuan tanda tangan pada informed consent yang menjadi dasar hukum dilakukannya tindakan bedah sesar tersebut. Bukti forensik telah membuktikan hal itu dan ini jelas-jelas melanggar aturan hukum baik KUH Pidana, Undang-Undang Praktek kedokteran maupun PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008 maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien/keluarganya, kehadiran seorang perawat /paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan (Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290/Menkes/PER/III/2008). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2). Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:1. Dalam keadaan gawat darurat (emergensi), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.Dari penjelasan diatas, yaitu tentang aspek medis emboli air ketuban, dan aspek legal hukum, kita dapat menarik benang merah bahwa sebetulnya ini adalah kasus yang memang presentase keberhasilannya sangat rendah, sulit diprediksi, dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Selain itu, tindakan sectio cesarea yang dilakukan adalah tindakan gawat darurrat yang sebetulnya tidak membutuhkan informed consent. Tindakan sectio cesarea pada kasus dr. Ayu menjadi tindakan emergensi karena terdapat gawat janin dan partus terhambat/lama (partus kasep) yang dapat membahayakan nyawa ibu dan bayinya jika tidak segera dilakukan.