Upload
phungminh
View
239
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KEANEKARAGAMAN JENIS POHON PAKAN
BERUANG MADU DI AREAL KONSERVASI
PT. RAPP ESTATE MERANTI, RIAU
TUBAGUS M. MAULANA YUSUF
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman Jenis
Pohon Pakan Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, Riau
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Tubagus M. Maulana Yusuf
E351100021
RINGKASAN
TUBAGUS M. MAULANA YUSUF. Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan
Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, Riau. Dibimbing
oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan BURHANUDDIN MASYUD.
Beruang madu termasuk salah satu spesies langka yang ada di Sumatera dan
Kalimantan. Areal konservasi PT. RAPP Estate Meranti merupakan habitat
beruang madu di Riau, Sumatera. Informasi keanekaragaman jenis pohon pakan
beruang madu di areal konservasi PT. RAPP Estate Meranti sampai saat ini belum
tersedia. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan pengelolaan habitat beruang
madu untuk mencegah kurangnya ketersediaan pakan beruang madu.
Penelitian dilakukan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti yang
terletak di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Juni hingga Juli 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu, pola sebaran pohon pakan
beruang madu dan faktor lingkungan yang menentukan keberadaan jenis pohon
pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi pustaka, analisis vegetasi
dan observasi lapang. Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis, jumlah
individu, diameter, tinggi pohon, pH tanah, intensitas cahaya matahari dan
ketebalan gambut. Pengumpulan data dilakukan pada setiap petak contoh. Metode
pengambilan unit contoh yang digunakan adalah stratified random sampling
dengan intensitas sampling 0.1%.
Jumlah jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan di Areal
Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sebanyak 34 jenis. Jenis bengku (Madhuca
motleyana) merupakan jenis pohon pakan beruang madu yang paling dominan di
areal konservasi. Berdasarkan karakteristik abiotik areal konservasi,
keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu paling tinggi ditemukan di
areal dengan pH tanah 4.5, ketebalan gambut 5m dan intensitas cahaya matahari
<10000 lx. Pola sebaran pohon pakan beruang madu adalah berkelompok. Faktor
lingkungan yang menentukan keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu
di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti adalah pH tanah dan ketebalan
gambut.
Kata kunci: areal konservasi, faktor lingkungan, jenis pohon pakan, pola sebaran
SUMMARY
TUBAGUS M. MAULANA YUSUF. Diversity of Tree Species As Sun Bear
Food in Conservation Area of PT. RAPP Meranti Estate, Riau. Supervised by
AGUS PRIYONO KARTONO and BURHANUDDIN MASYUD.
Sun bear is one of the rarest species in Sumatera and Kalimantan.
Conservation Area of PT. RAPP Meranti Estate is one of the habitat for sun bear
in Riau, Sumatera. Information about diversity of tree species as sun bear food
sources in this area has not been available until now. These information can be
used as a reference for habitat management to prevent the lack of availability of
sun bear food.
This research was conducted in Conservation Area of PT. RAPP Meranti
Estate, Pelalawan, Riau from June to July 2012. The objectives of this research
was to identify the diversity and distribution pattern of tree species as sun bear
food, and also to identify the environment factor that determine the diversity of
tree species as sun bear food sources.
The methods of this research was literature review, vegetation analysis, and
field observation. Parameters such as the name of species, individual number, the
diameter, tree height, soil pH, light intensity and peat thickness were recorded
during the survey. The methods of sampling was stratified random sampling with
sampling intensity of 0.1%.
There was thirty two species of trees for sun bear food sources in
conservation area. Madhuca motleyana was species of tree as sun bear food
dominant in this area. The area with soil pH 4.5, peat thickness 5 m, and the light
intensity <10000 lx was area that has the highest diversity of trees species as sun
bear food sources. The distribution pattern of the trees as sun bear food sources
was clumped. The environment factors that determine the diversity of tree species
as sun bear food sources in the conservation area was soil pH and peat thickness
Keywords: conservation area, distribution pattern, environment factor, tree
species as sun bear food
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
KEANEKARAGAMAN JENIS POHON PAKAN
BERUANG MADU DI AREAL KONSERVASI
PT. RAPP ESTATE MERANTI, RIAU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
TUBAGUS M. MAULANA YUSUF
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.ScF
Judul Tesis : Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal
Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, Riau
Nama : Tubagus M. Maulana Yusuf
NIM : E351100021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
Ketua
Dr Ir Burhanuddin Masyud, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika
Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis yang berjudul “Keanekaragaman
Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti,
Riau” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing, yaitu
Bapak Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si selaku ketua komisi dan Bapak Dr. Ir.
Burhanuddin Masy’ud, MS selaku anggota komisi yang telah memberi bimbingan
dan arahan dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada PT. Riau Andalan Pulp and Paper yang telah memfasilitasi
penulis dalam melakukan penelitian ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Tropenbos International Indonesia Programme yang telah
memberikan dukungan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan, baik mengenai materi maupun bahasannya karena keterbatasan yang
dimiliki. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk
penyempurnaan penulisan di masa yang akan datang sehingga penyusunan tulisan
berikutnya dapat menjadi lebih baik.
Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014
Tubagus M. Maulana Yusuf
(i)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Bio-ekologi Beruang Madu 4
Status Hukum 7
Pola Sebaran Tumbuhan 7
Faktor Lingkungan Mempengaruhi Pertumbuhan Tumbuhan 8
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi 12
Peralatan dan Bahan 13
Data yang Dikumpulkan 13
Metode Pengambilan Unit Contoh 13
Metode Pengumpulan Data 13
Metode Pengolahan dan Analisis Data 16
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Luas dan Letak 18
Hidrologi 18
Variasi Lokal Tipe Vegetasi Hutan Gambut 19
Variasi Lokal Ketebalan Gambut 19
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu 19
Pola Sebaran Pohon Pakan Beruang Madu 28
Faktor Lingkungan yang Menentukan Keberadaan Pohon Pakan Beruang
Madu 29
Rekomendasi Pengelolaan 30
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 31
Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 37
(ii)
DAFTAR TABEL
1 Fungsi unsur hara dan gejala yang ditimbulkan akibat defisiensi unsur
hara 8
2 Bentuk unsur hara yang diserap oleh tumbuhan 10
3 Kriteria kekuatan hubungan antara variabel yang diuji 17
4 Jenis pohon yang potensial sebagai sumber pakan beruang madu di
areal konservasi 20
5 Indeks nilai penting pohon pakan beruang madu di areal konservasi 21
(iii)
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian 3
2 Beruang madu di Taman Margasatwa Ragunan 5
3 Pola sebaran tumbuhan: (a) acak, (b) berkelompok dan (c) seragam 8
4 Peta areal unit pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti 12
5 Skema penempatan metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak 14
6 Peta kontur ketebalan gambut PT. RAPP Estate Meranti 15
7 Buah Ficus stricta 22
8 Buah Artocarpus rigidus 23
9 Buah Tetramerista glabra 23
10 Mangifera griffithi: (a) buah dan (b) biji 24
11 Buah Artocarpus elasticus 25
12 Buah Campnosperma coriaceum: (a) buah tua dan (b) buah muda 26
13 Beruang madu sedang memakan buah durian (Durio sp.) di Hutan
Lindung Ulu Segama, Malaysia 27
14 Beruang madu sedang memakan rayap (Dicuspiditermes sp.) ketika
periode tidak musim berbuah di Hutan Lindung Ulu Segama, Malaysia 27
(iv)
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis pohon pakan beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain 38
2 Daftar jenis tumbuhan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti 40
3 Hasil perhitungan rasio ragam dan nilai tengah jenis tumbuhan pakan
beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti 42
4 Hasil uji korelasi setiap jenis pohon pakan beruang madu dengan
komponen habitat 43
5 Hasil perhitungan analisis faktor 46
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) merupakan jenis
beruang berukuran tubuh paling kecil dari delapan jenis beruang yang ada di
dunia. Beruang yang hanya mendiami hutan hujan tropis dataran rendah di Asia
Tenggara ini dapat ditemukan di Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, Vietnam,
Malaysia, Indonesia dan Brunei Darussalam (Servheen 1998). Maryanto et al.
(2008) menyatakan bahwa distribusi beruang madu di Indonesia tersebar di Pulau
Sumatera dan Kalimantan.
Beruang madu menempati tipe habitat hutan rawa, hutan dataran rendah dan
hutan pegunungan sampai dengan ketinggian 2000 mdpl (Fredriksson et al. 2008,
Sastrapradja et al. 1982). Selain itu, Alikodra (2002) menyatakan bahwa tipe
hutan yang juga termasuk habitat beruang madu adalah hutan gambut.
Semenanjung Kampar merupakan salah satu ekosistem rawa gambut yang
masih tersisa di Pulau Sumatera. Areal konservasi IUPHHK-HTI (Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri) PT. RAPP (Riau
Andalan Pulp and Paper) Estate Meranti yang termasuk dalam ekosistem gambut
di Semenanjung Kampar merupakan salah satu wilayah penyebaran beruang madu
(TIIP 2010b). PT. RAPP Estate Meranti memiliki areal pengelolaan dengan luas
45261.19 hektar dimana di dalamnya terdapat areal konservasi.
Sesuai dengan kesepakatan FSC (Forest Steward Council), pengelolaan
hutan tanaman diwajibkan untuk memelihara dan/atau meningkatkan areal yang
memiliki nilai konservasi tinggi melalui penerapan pendekatan kehati-hatian.
Salah satu caranya adalah dengan kegiatan pemantauan berkala untuk
pemeliharaan atau penilaian terhadap status nilai konservasi tinggi di setiap areal
yang terdapat dalam unit pengelolaannya.
PT. RAPP sebagai salah satu perusahaan di bawah payung APRIL (Asia
Pacific Resources International Holdings Ltd.) telah mendapatkan berbagai
sertifikat voluntary. Sertifikat yang telah diperoleh antara lain chain of custody,
controlled wood dan sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari. Perusahaan ini
memiliki komitmen tinggi untuk mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Bentuk pengelolaan hutan secara lestari yang akan diterapkan oleh PT. RAPP di
setiap unit pengelolaannya harus tetap memperhatikan aspek keanekaragaman
hayati. Akan tetapi, informasi ilmiah yang berkaitan dengan keanekaragaman
hayati di Estate Meranti sampai saat ini masih sangat sedikit. Selain itu, studi
ilmiah terkait dengan keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu yang
terdapat di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sampai saat ini juga belum
pernah dilakukan.
Informasi keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu diperlukan
oleh PT. RAPP sebagai salah satu pertimbangan dalam merumuskan strategi
pengelolaan habitat dalam upaya konservasi beruang madu di areal yang memiliki
nilai konservasi tinggi. Informasi tersebut dapat dijadikan acuan pengelolaan
2
habitat beruang madu, sehingga kurangnya ketersediaan pakan beruang madu di
areal konservasi dapat dihindari.
Menurut Harris (1984), spesies dengan sumber pakan yang tersebar dan
langka bisa lebih terancam keberadaannya jika ketersediaan pakannya terganggu.
Kurangnya ketersediaan pakan beruang madu di habitat alaminya dapat
menyebabkan kondisi fisik beruang madu yang buruk dan dapat mengalami
kematian akibat kelaparan (Wong et al. 2004). Selain itu, hal tersebut juga dapat
menyebabkan beruang madu mendatangi perkebunan masyarakat untuk mencari
pakan, sehingga dapat memicu terjadinya konflik beruang madu dengan manusia
(Fredriksson 2005).
Informasi mengenai keanekaragaman jenis, pola sebaran dan faktor
lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di Areal
Konservasi Estate Meranti dapat menjadi pertimbangan dalam merencanakan
pengelolaan areal tersebut. Jenis pohon pakan beruang madu dapat dijadikan
pertimbangan pihak pengelola sebagai jenis tumbuhan yang akan digunakan
dalam pengayaan habitat. Selain itu, pola sebaran dan faktor lingkungan yang
menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu dapat menjadi pertimbangan
pihak pengelola untuk merencanakan bentuk pembinaan habitat.
Perumusan Masalah
TIIP (2010b) menyatakan bahwa Areal Konservasi PT. RAPP Estate
Meranti termasuk salah satu wilayah penyebaran beruang madu di Semenanjung
Kampar. Keberadaan beruang madu di areal tersebut menyebabkan diperlukannya
suatu upaya konservasi yang tepat agar kelestarian beruang madu dapat terjaga
dan terhindar dari ancaman kepunahan. Ancaman tersebut bisa terjadi apabila
tidak adanya pengelolaan habitat beruang madu yang optimal.
Belum adanya informasi ilmiah mengenai keanekaragaman jenis pakan
beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti menyebabkan
kurang spesifiknya pengelolaan habitat beruang madu yang dilakukan di areal
tersebut. Salah satu aspek yang perlu diketahui untuk menunjang pengelolaan
habitat beruang madu adalah keanekaragaman jenis pohon penghasil buah yang
potensial sebagai pakan beruang madu. Alikodra (2002) menyatakan bahwa salah
satu fungsi habitat adalah penyedia pakan, sehingga perlu diperhatikan untuk
menentukan strategi pengelolaan habitat yang tepat. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan beberapa permasalahan utama dalam pengelolaan penyedia pakan
beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti, yaitu: (1) Jenis pohon apa saja
yang potensial sebagai pakan beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti?
(2) Bagaimana pola sebaran pohon pakan di areal tersebut? (3) Faktor lingkungan
apa saja yang menentukan keberadaan pohon pakan di areal tersebut?
3
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Areal konservasi
Habitat beruang madu
Analisis faktor
penentu keberadaan
pohon pakan
Ketersediaan pakan
Faktor lingkungan:
- pH tanah
- intensitas cahaya
- ketebalan gambut
Kelestarian populasi dan
habitat beruang madu
Pengayaan &
pembinaan
habitat
Pohon pakan
Keanekaragaman jenis
Pola sebaran
4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasi:
1. Keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT.
RAPP Estate Meranti.
2. Pola sebaran pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate
Meranti.
3. Faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di
Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
potensi dan pola sebaran pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT.
RAPP Estate Meranti, serta faktor lingkungan yang menentukan keberadaan
pohon pakan beruang madu di areal tersebut. Beberapa informasi ini nantinya
diharapkan dapat dijadikan dasar pertimbangan pihak manajemen dalam
menyusun strategi pengelolaan habitat beruang madu yang dapat menunjang
kelestarian populasinya di areal tersebut.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Beruang Madu
Klasifikasi dan Morfologi
Beruang madu termasuk dalam Ordo Karnivora, Suku Ursidae, dan Genus
Helarctos. Beruang madu memiliki nama ilmiah Helarctos malayanus. Spesies ini
memiliki nama Inggris sun bear (Lekagul & McNeely 1977, Yasuma & Alikodra
1990, Payne et al. 2000, Maryanto et al. 2008). Selain itu, beruang madu memiliki
nama lokal seperti bruang, baruwang, gampul, kibul, bahuang, wayuang, lego,
yugam, bawang, berwan, biwang, buang, hugaang, makub, ngue, dan wahgoeng
(Maryanto et al. 2007, Maryanto et al. 2008).
Beruang madu memiliki rambut pendek berwarna hitam, kecuali di bagian
moncong berwarna abu-abu dan di bagian dada berwarna jingga yang membentuk
huruf V (Gambar 2). Kaki beruang madu memiliki lima jari yang kuat. Bobot
badan beruang madu sekitar 6.5 x 104 g. Panjang badannya mulai 1.125 m sampai
1.260 m, sedangkan panjang ekornya antara 3 x 10-2
sampai 9 x 10-2
m (Maryanto
et al. 2008). Payne et al. (2000) menyatakan bahwa bobot badan beruang madu
5
mulai dari 4.8 x 104
g sampai 6.3 x 104 g. Menurut Lekagul & McNeely (1977),
spesies ini memiliki telinga yang berukuran kecil dan bulat.
Gambar 2 Beruang madu di Taman Margasatwa Ragunan (dokumen pribadi)
Penyebaran
Penyebaran beruang madu di dunia meliputi Myanmar, Thailand,
Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan (Yasuma & Alikodra 1990,
Payne et al. 2000). Menurut Yasuma & Alikodra (1990), keberadaan beruang
madu di Kalimantan tercatat sampai di ketinggian 1500 mdpl di perbatasan Sabah-
Sarawak dan 2300 mdpl di Gunung Kinabalu. Lekagul & McNeely (1977)
menyatakan bahwa beruang madu dapat ditemukan di bagian selatan Cina. Selain
itu, Servheen (1998) menyatakan bahwa beruang madu dapat ditemukan di Brunei
Darussalam.
Pakan
Menurut Lekagul & McNeely (1977), pakan beruang madu adalah serangga,
terutama lebah, rayap, dan cacing tanah. Beruang madu juga memakan hewan
pengerat, burung kecil dan reptil (Medway 1978). Beberapa hasil penelitian
menyatakan bahwa beruang madu memakan sarang lebah, sarang rayap dan buah
(Yasuma & Alikodra 1990, Maryanto et al. 2008). Fredriksson (2005)
menyatakan bahwa beruang madu termasuk omnivora oportunistik, yaitu satwa
yang juga memakan buah selain inverterbtara. Hasil penelitian Fredriksson et al.
(2006a) menyatakan bahwa sumber pakan beruang madu di Hutan Lindung
Sungai Wain diantaranya berasal dari 72 jenis pohon pakan selama periode
6
berbuah (Lampiran 1). Buah merupakan pakan yang penting bagi beruang madu
karena diperlukan untuk membangun cadangan energi atau memulihkan cadangan
energi yang hilang. Menurut Astuti (2006), di kebun binatang seekor beruang
madu jantan dewasa dapat memakan buah sebanyak 5142±49.70 g hari-1
,
sedangkan seekor beruang madu betina dewasa dapat memakan buah sebanyak
4678±14.50 g hari-1
.
Perilaku
Medway (1978) menyatakan bahwa beruang madu lebih aktif selama
periode crepuscular. Spesies ini merupakan pemanjat pohon yang sangat baik
(Lekagul & McNeely 1977). Beberapa peneliti menyatakan bahwa spesies ini
dapat melakukan aktivitas di atas tanah dan di pohon yang tinggi (Yasuma &
Alikodra 1990, Payne et al. 2000, dan Maryanto et al. 2008). Maryanto et al.
(2008) menyatakan bahwa beruang madu mampu hidup hingga berumur 20,5
tahun. Selain itu, Kitchener & Asa (2010) menyatakan bahwa catatan terpanjang
masa hidup (life span) beruang madu di penangkaran adalah 35 tahun.
Salah satu perilaku beruang madu adalah menggali dan membongkar tanah
yang bermanfaat untuk mempercepat proses penguraian dan daur ulang yang
sangat penting untuk hutan hujan tropis. Selain itu, beruang madu juga memiliki
peran penting dalam regenerasi hutan sebagai penyebar biji buah-buahan, yaitu
apabila beruang madu memakan buah dengan biji yang ditelan utuh, maka setelah
kotorannya dikeluarkan, biji yang ada di dalam kotoran tersebut akan segera
tumbuh secara alami di dalam hutan (Fredriksson 2012).
Lekagul & McNeely (1977) menyatakan bahwa beruang madu sama seperti
beruang lainnya, yaitu sering berdiri dengan kaki belakangnya untuk mendapatkan
tampilan yang lebih besar ketika bertemu dengan pesaingnya atau sesuatu yang
mengancam baginya. Beruang madu dapat dikatakan sebagai salah satu satwa
paling berbahaya bagi manusia bila bertemu di hutan. Selain menggigit dengan
taring yang tajam dan rahang yang kuat, beruang madu juga menggunakan cakar
yang tajam dan kuat untuk merobek kulit kepala dan membuat luka yang parah
pada wajah dan tubuh korban.
Biologi Reproduksi
Schwarzenberger et al. 2004 menyatakan bahwa masa bunting beruang
madu selama tiga bulan. Frekuensi melahirkan induk betina beruang madu satu
kali setiap tahun dengan interval masa etrus mulai dari 140 hari hingga 216 hari.
Menurut Sastrapradja et al. (1982), jumlah anak per kelahiran (litter size) beruang
madu yaitu satu sampai dua ekor.
Habitat
Menurut Payne et al. (2000), beruang madu dapat ditemukan di kawasan
hutan yang luas dan kadang memasuki kebun di daerah-daerah terpencil.
7
Fredriksson et al. (2008) menyatakan bahwa beruang madu hidup di hutan primer,
hutan sekunder dan sering juga di lahan pertanian. Tipe hutan yang termasuk
habitat beruang madu diantaranya adalah hutan tropis dataran rendah, hutan
dipterocarpaceae dan hutan pegunungan rendah (Servheen 1998). Selain itu, tipe
hutan yang juga termasuk habitat beruang madu adalah hutan gambut (Alikodra
2002).
Status Hukum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa beruang madu
termasuk satwa yang dilindungi di Indonesia. Spesies ini juga termasuk dalam
kategori Appendix I CITES, yaitu kategori spesies yang dilarang dalam segala
bentuk perdagangan internasional dan merupakan spesies yang terancam punah.
Selain itu, spesies ini juga terdaftar dalam kategori rentan (vulnerable) The IUCN
Red List of Threatened Species versi 3.1 tahun 2008.
Pola Sebaran Tumbuhan
Suatu jenis tumbuhan yang hidup dalam suatu ekosistem akan membentuk
pola sebaran tertentu. Setiap individu jenis tersebut memiliki toleransi yang
berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan. Setiap individu tersebut juga
memiliki kondisi lingkungan tertentu dimana ia dapat tumbuh optimal (Poole
1974).
Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa dalam komunitas dikenal
tiga macam pola sebaran, yaitu acak (random), berkelompok (clumped) dan
seragam (uniform) (Gambar 3). Pola sebaran suatu jenis tumbuhan yang acak
dalam suatu komunitas diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang homogen
dan/atau pola tingkah laku jenis tumbuhan yang tidak selektif. Pola sebaran suatu
jenis tumbuhan yang tidak acak (kelompok dan seragam) menggambarkan bahwa
ada beberapa faktor pembatas dari lingkungan tempat tumbuhnya yang
mempengaruhi kehadiran populasi suatu jenis tumbuhan. Pola sebaran tumbuhan
yang mengelompok dapat disebabkan oleh lingkungan yang heterogen, tingkah
laku dan model reproduksi suatu jenis tumbuhan. Pola sebaran tumbuhan yang
seragam dapat terbentuk akibat dari interaksi antara individu-individu, seperti
persaingan untuk mendapatkan nutrisi dan ruang.
8
Gambar 3 Pola sebaran tumbuhan: (a) acak, (b) berkelompok dan (c) seragam
(Ludwig & Reynolds 1988)
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tumbuhan
Unsur Hara
Unsur hara merupakan unsur yang diperlukan oleh tumbuhan untuk
kelangsungan hidupnya (Dwijoseputro 1980; Rosmarkam & Yuwono 2002).
Rinsema (1993) menambahkan bahwa unsur hara memiliki peran penting dalam
merangsang perkembangan seluruh bagian tumbuhan.
Berdasarkan jumlah yang diperlukan tumbuhan, unsur hara dibagi menjadi
dua golongan, yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro
adalah unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah relatif banyak.
Sementara unsur hara mikro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan
dalam jumlah relatif sedikit (Rosmarkam & Yuwono 2002; Winangun 2005;
Parnata 2010).
Dwijoseputro (1980) menyatakan bahwa tumbuhan yang kekurangan salah
satu unsur hara biasanya memperlihatkan tanda-tanda yang dapat dilihat dengan
mudah. Tumbuhan yang mengalami defisiensi unsur hara akan tumbuh dan
berkembang dengan tidak sempurna. Fungsi unsur hara dan gejala yang
ditimbulkan akibat defisiensi unsur hara disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Fungsi unsur hara dan gejala yang ditimbulkan akibat defisiensi unsur
hara
Jenis unsur hara Fungsi Gejala akibat defisiensi
Unsur hara makro
Karbon (C) Bahan dasar untuk fotosintesis Metabolisme terhambat dan
tumbuhan akan mati
Hidrogen (H) Bahan dasar untuk fotosintesis Metabolisme terhambat dan
tumbuhan akan mati
Oksigen (O) Bahan dasar untuk fotosintesis Metabolisme terhambat dan
tumbuhan akan mati
(a) (c) (b)
9
Tabel 1 Lanjutan
Jenis unsur hara Fungsi Gejala akibat defisiensi
Unsur hara makro
Nitrogen (N) Komponen protein, lemak dan
pembentukan klorofil
Daun tua menguning, kering
dan mudah rontok, sedangkan
daun yang muda berwarna
hijau pucat
Kalium (K) Mengaktifkan enzim, mem-
pengaruhi osmosis, membantu
proses pembentukan karbo-
hidrat, memperkuat jaringan dan
membentuk antibodi tumbuhan
Daun akan tampak keriting
atau menggulung serta
menguning, terdapat bercak
berukuran kecil, biasanya pada
ujung, tepi dan jaringan antara
tulang daun
Kalsium (Ca) Mengatur fungsi sel, menguat-
kan dinding sel, penawar racun
dalam tumbuhan, mengaktifkan
pembentukan bulu-bulu akar
dan menguatkan batang
Daun muda pada titik tumbuh
melengkung, tunas ujung mati,
pertumbuhan akar dan pucuk
ranting terhambat, serta batang
tumbuhan tidak kokoh
Magnesium (Mg) Membantu proses pembentukan
klorofil dan mengaktifkan en-
zim
Daun tua memerah, ujung dan
tepi daunnya menggulung
Fosfor (P) Membentuk akar, bahan dasar
protein, mempercepat pema-
tangan buah dan memperkuat
batang tumbuhan
Daun tua berwarna merah
keunguan, pertumbuhan akar
tidak normal, proses pema-
tangan buah lambat
Sulfur (S) Membantu proses pembentukan
bintil akar, tunas dan klorofil
Daun berwarna hijau pucat,
batang dan ranting tampak
kurus dan berbatang pendek
Unsur hara mikro
Klor (Cl) Mengatur pertumbuhan akar dan
batang, serta meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi
tumbuhan
Produktivitas rendah, tumbu-
han menjadi layu dan proses
pematangan buah lambat
Besi (Fe) Mengatur sintesis protein dan
pembawa elektron
Daun muda mengalami
klorosis, yaitu daun berwarna
kuning dan mudah rontok
Mangan (Mn) Mengaktifkan enzim dan
termasuk komponen struktural
dalam membran kloroplas
Daun muda mengalami
klorosis dengan bercak
tersebar merata, tumbuhan
tampak kerdil, dan pem-
bentukan biji tidak sempurna
Boron (B) Mengatur perkecambahan, pem-
bungaan dan pembelahan sel
Tunas pucuk dan cabang-
cabang lateral mati, daun
keriting dan mudah rontok
Seng (Zn) Mengatur pembentukan auksin
dan mencegah kerusakan
molekul klorofil
Daun berwarna merah tua dan
pertumbuhan akar tidak nor-
mal
Tembaga (Cu) Membantu pembentukan kloro-
fil dan termasuk komponen
dalam pembentukan enzim
Daun muda menjadi layu
tetapi tidak sampai mengalami
klorosis
10
Tabel 1 Lanjutan
Jenis unsur hara Fungsi Penyakit akibat defisiensi
Unsur hara mikro
Molibdenum (Mo) Membantu kerja enzim
dalam mereduksi nitrat
Daun hijau pucat dan meng-
gulung
Sumber: Dwijoseputro (1980), Lakitan (2008) dan Parnata (2010).
Endah & Abidin (2002) menyatakan bahwa tumbuhan menyerap unsur hara
dari tanah dalam bentuk ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Karena ion-
ion tersebut bermuatan listrik, akan terjadi tarik-menarik antara ion dengan koloid
tanah. Hanya ion yang tidak terikat dengan koloid tanah yang akan mudah diserap
oleh akar tumbuhan.
Tabel 2 Bentuk unsur hara yang diserap oleh tumbuhan
Jenis unsur hara Bentuk yang diserap oleh tumbuhan
Kation Anion
Unsur hara makro
Nitrogen NH4+ NO3
-
Kalium K+ -
Kalsium Ca2+
-
Magnesium Mg2+
-
Fosfor - H2PO4-, HPO4
2-
Sulfur - SO42-
Unsur hara mikro
Klor - Cl-
Besi Fe2+
, Fe3+
-
Mangan Mn2+
-
Boron - BO32-
Seng Zn2+
-
Tembaga Cu2+
, Cu3+
-
Molibdenum - MoO42-
Sumber: Endah dan Abidin (2002).
Tingkat Keasaman Tanah
Tingkat keasaman tanah (pH tanah) menggambarkan jumlah relatif ion H+
terhadap ion OH- di dalam larutan tanah. Tingkat keasaman tanah mempunyai
skala 0-14. Larutan tanah bereaksi asam jika nilai pH berada pada kisaran 0-6,
yang berarti larutan tanah mengandung ion H+ lebih besar dibandingkan ion OH
-.
Sebaliknya, jika ion H+ lebih kecil dibandingkan ion OH
-, maka larutan tanah
tersebut bereaksi basa atau memiliki nilai pH antara 8-14.
Ketersediaan unsur hara di dalam tanah dipengaruhi oleh keasaman tanah.
Pada kondisi tanah asam, ketersediaan unsur hara makro cenderung berkurang.
Ketersediaan unsur hara makro berada dalam jumlah ideal pada kisaran pH 6-7.5
11
(Endah & Abidin 2002). Selain itu, pH tanah mempunyai pengaruh yang kuat
pada ketersediaan unsur hara mikro. Ketersediaan unsur hara mikro (kecuali Mo
dan Cl) menurun apabila pH tanah meningkat. Range pH terbaik untuk
ketersediaan hara mikro Cu, Zn, Fe dan Mn berturut-turut adalah 5.0-7.0; 5.0-7.0;
4.0-6.5 dan 5.0-6.0 (Winarso 2005).
Fitter & Hay (1991) menyatakan bahwa pH tanah sangat berpengaruh
terhadap aktivitas enzim yang ada pada tumbuhan. Tingkat keasaman tanah yang
optimal untuk kerja enzim tersebut umumnya sekitar 6-8 (Rosmarkam & Yuwono
2002; Abdurahman 2006; Meryandini et al. 2009).
Hadrjowigeno (1995) menyatakan bahwa ada tiga alasan utama tingkat
keasaman tanah sangat penting untuk diketahui, yaitu:
1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tumbuhan.
Umumnya, unsur hara mudah diserap oleh akar tumbuhan pada pH tanah
netral, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara mudah terlarut di
dalam air.
2. Dapat menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi
tumbuhan. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur Al yang bersifat racun
dan mengikat unsur P, sedangkan pada tanah basa banyak ditemukan unsur
Natrium (Na) yang dapat bersifat racun bagi tumbuhan.
3. Berpengaruh terhadap perkembangan mikroorganisme di dalam tanah. Pada
pH 5.5-7.0, bakteri pengurai bahan organik dapat berkembang dengan baik.
Ketebalan Gambut
Ketebalan gambut dapat mempengaruhi struktur tegakan hutan rawa gambut,
seperti kerapatan pohon, volume, dan luas bidang dasar. Variasi jenis pohon di
hutan rawa gambut erat kaitannya dengan ketebalan gambut (Mirmanto et al.
2003). Menurut Istomo (2002), kandungan hara tanah gambut semakin menurun
dengan meningkatnya ketebalan gambut. Selain itu, ketebalan gambut dapat
mengindikasikan kadar abu. Kadar abu tersebut dapat dijadikan gambaran
kesuburan tanah gambut. Semakin tinggi ketebalan gambut mengakibatkan kadar
abu semakin rendah. Gambut dangkal lebih subur dibandingkan dengan gambut
tebal (kubah gambut) (Noor 2001).
Intensitas Cahaya Matahari
Cahaya mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.
Proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan yang dikendalikan oleh cahaya
antara lain perkecambahan, memanjangnya batang, membukanya hypocotyl,
meluasnya daun, sintesis klorofil, gerakan batang, gerakan daun, dan pembukaan
bunga (Fitter & Hay 1991). Selain itu, Mangoendidjojo (2003) menyatakan bahwa
cahaya merupakan faktor utama bagi pertumbuhan tumbuhan karena merupakan
sumber energi bagi proses fotosintesis yang akan menghasilkan karbohidrat.
Setiap jenis tumbuhan mempunyai toleransi yang berlainan terhadap cahaya
matahari. Sebagian besar Angiospermae efisien dalam melakukan fotosintesis
pada intensitas cahaya rendah daripada intensitas cahaya tinggi, sedangkan
12
Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski
1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan
menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan intensitas cahaya yang rendah
akan mengganggu jalannya fotosintesis. Oleh karena itu, agar tumbuhan dapat
melakukan fotosintesis dengan baik, tumbuhan membutuhkan intensitas cahaya
yang optimal.
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Juni hingga bulan Juli 2012.
Penelitian berlokasi di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti,
Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian dilakukan di areal konservasi
yang terdapat di setiap blok unit pengelolaan. Peta lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 4.
Gambar 4 Peta areal unit pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti
Blok A
Blok B
Blok C
Blok D
13
Peralatan dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: peta
Areal Unit Pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti, Global Positioning System
(GPS) receiver, soil pH tester digital, lux meter digital, teropong binokuler, buku
Panduan Lapangan Mamalia (Payne et al. 2000), haga altimeter, pita ukur,
meteran, tali tambang, perlengkapan herbarium, camera digital, tally sheet,
personal computer (PC) dengan beberapa perangkat lunak (software) ArcView
3.3, ArcGis 9.3, SPSS 16 dan Microsoft Office 2007, serta pustaka mengenai
beruang madu.
Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data komponen biotik
habitat beruang madu yang mencakup data vegetasi (tingkat semai dan pancang:
nama jenis dan jumlah individu, tingkat tiang dan pohon: nama jenis, jumlah
individu, dan diameter). Selain itu, data yang dikumpulkan lainnya mengenai data
komponen abiotik habitat beruang madu yang mencakup: pH tanah, intensitas
cahaya matahari dan ketebalan gambut.
Metode Pengambilan Unit Contoh
Metode pengambilan unit contoh yang digunakan pada penelitian ini adalah
stratified random sampling dengan intensitas sampling 0.1% dari masing-masing
luas blok areal konservasi. Pengambilan unit contoh dilakukan pada keempat Blok
Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti, yaitu Blok A (4104.42 ha), Blok B
(2028.34 ha), Blok C (2062.58 ha) dan Blok D (927.71 ha). Pada setiap blok
tersebut dibuat transek-transek dengan panjang 260 m dan lebar 20 m. Jumlah
seluruh transek yang diamati adalah 18 transek, yaitu 8 transek pada Blok A, 4
transek pada Blok B, 4 transek pada Blok C dan 2 transek pada Blok D.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk memperoleh data mengenai keanekaragaman
jenis pohon pakan beruang madu, pola sebaran pohon pakan beruang madu dan
faktor lingkungan yang menentukan keberadaan pohon pakan beruang madu di
Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sebagai berikut:
14
a. Studi pustaka
Sebelum dilakukannya inventarisasi di lapangan, terlebih dahulu dilakukan
studi pustaka yang terkait dengan pakan beruang madu. Hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh daftar jenis pohon pakan yang dapat dijadikan acuan selama
inventarisasi di lapangan. Selain itu, dilakukan juga pengumpulan beberapa peta
yang dijadikan pedoman untuk pembuatan peta kerja, seperti peta Areal Unit
Pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti, peta penutupan lahan, peta sungai di
Provinsi Riau, dan peta kontur ketebalan gambut Semenanjung Kampar.
b. Wawancara
Metode ini dilakukan guna memperoleh informasi tentang jenis pohon
pakan beruang madu yang diketahui oleh responden di kawasan. Responden
dalam wawancara ini adalah masyarakat sekitar kawasan dan tenaga kerja lapang
Bagian Sustainability Departemen Forest Protection Unit Pengelolaan PT. RAPP
Estate Meranti. Metode ini dilakukan dengan teknik wawancara terbuka, sehingga
tidak dibuat daftar pertanyaan terstruktur seperti pada teknik wawancara tertutup.
c. Analisis vegetasi
Kegiatan inventarisasi tumbuhan dilakukan untuk mengetahui komposisi
dan struktur dari setiap jenis tumbuhan yang terdapat di kawasan. Kegiatan
inventarisasi tumbuhan ini dilakukan dengan metode analisis vegetasi yang
bertujuan untuk memperoleh data yang mencakup jenis, jumlah jenis, dan jumlah
individu setiap jenis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak dengan ukuran panjang 260 m
dan lebar 20 m (Gambar 5). Apabila dalam pencatatan nama jenis tumbuhan
belum diketahui sewaktu pengumpulan data di lapangan, maka dilakukan
pembuatan herbarium. Tahapan pembuatan herbarium di lapangan mengacu
kepada Rugayah (2004), sebagai berikut:
1) Pengumpulan sampel herbarium berupa ranting, daun muda, daun tua, bunga
dan buah.
2) Pencatatan data tumbuhan dengan menggunakan buku catatan.
3) Pembuatan label gantung yang diikat pada sampel herbarium. Satu label
untuk satu sampel. Pada label ditulis kolektor, nomor koleksi, dan nama lokal
tumbuhan.
4) Pengawetan sampel herbarium dengan cara dicelup dalam alkohol, kemudian
dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran. Lipatan kertas koran tersebut
ditumpuk, ditekan lalu dikeringkan dengan cara dijemur untuk mendapatkan
panas dari cahaya matahari.
5) Sampel herbarium diidentifikasi nama spesies, genus dan familinya di
Herbarium Bogorienses LIPI, Bogor.
Gambar 5 Skema penempatan metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak
Keterangan:
A = Petak contoh semai (2x2) m2
C = Petak contoh tiang (10x10) m2
B = Petak contoh pancang (5x5) m2
D = Petak contoh pohon (20x20) m2
arah rintisan
260 m A
B C
D A
D
C B
A B
C
D A
D
C B
15
d. Pengukuran pH tanah
Pengukuran pH tanah dilakukan dengan menggunakan soil pH tester digital.
Pengukuran dilakukan pada setiap petak contoh inventarisasi tumbuhan.
e. Pengukuran intensitas cahaya matahari
Intensitas cahaya matahari diukur dengan menggunakan lux meter digital.
Satuan lux meter digital adalah lux. Lux meter digital yang digunakan dapat
menerima cahaya mulai dari 0 lx sampai 200000 lx. Pengukuran dilakukan pada
setiap petak contoh. Pengukuran ini dilakukan sebanyak satu kali dalam satu hari
antara pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Pengukuran dilakukan pada
siang hari dikarenakan matahari mencapai posisi yang dapat menghasilkan
intensitas cahaya terbesar yang dapat sampai ke muka bumi. Ketika intensitas
cahaya matahari mencapai puncaknya sumber energi yang dibutuhkan tumbuhan
untuk reaksi anabolik fotosintesis juga semakin banyak tersedia. Selain itu, pada
saat intensitas cahaya matahari tertinggi, ukuran stomata yang terbuka mencapai
ukuran maksimal (Lakitan 2008). Wahyudi et al. (2006) menyatakan bahwa
keberlangsungan fotosintesis berkorelasi positif dengan ukuran stomata. Stomata
berperan dalam masuknya karbondioksida yang diperlukan tumbuhan untuk
fotosintesis.
f. Pengukuran ketebalan gambut
Pengukuran ketebalan gambut dilakukan dengan cara identifikasi ketebalan
gambut pada koordinat lokasi pengambilan contoh yang dimasukkan ke dalam
peta kontur ketebalan gambut Areal Unit Pengelolaan PT. RAPP Estate Meranti
dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3 (Gambar 6). Masing-masing kontur
pada peta tersebut menunjukkan ketebalan gambut di lokasi pengambilan contoh.
Gambar 6 Peta kontur ketebalan gambut PT. RAPP Estate Meranti
16
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu
Data hasil inventarisasi tumbuhan digunakan untuk mengetahui potensi
aktual tumbuhan pakan beruang madu yang terdapat di kawasan. Data potensi
aktual tersebut dapat menggambarkan mengenai komposisi, kelimpahan,
kemerataan dan dominansi tumbuhan pakan beruang madu di Areal Konservasi
PT. RAPP Estate Meranti.
Data hasil inventarisasi tumbuhan juga digunakan untuk menghitung
kerapatan, frekuensi dan indeks nilai penting (INP). INP digunakan untuk
mengetahui tingkat dominansi jenis tumbuhan yang menempati suatu daerah
(Kartono 2000). Kusmana & Istomo (1995) menjelaskan bahwa kerapatan
menunjukkan kelimpahan suatu jenis dalam suatu komunitas, frekuensi
menunjukkan derajat penyebaran suatu jenis di dalam suatu komunitas, sedangkan
dominansi menunjukkan penguasaan suatu jenis dalam suatu komunitas. Untuk
tingkat semai dan pancang, INP merupakan penjumlahan nilai kerapatan relatif
(KR) dan frekuensi relatif (FR), sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon
dijumlahkan lagi dengan nilai dominansi relatif (DR). Beberapa persamaan yang
digunakan untuk menghitung KR, FR, DR dan INP (Soerianegara & Indrawan
2005) sebagai berikut:
Kerapatan suatu jenis =
Kerapatan relatif (KR) =
x 100%
Frekuensi suatu jenis =
Frekuensi relatif (FR) =
x 100%
Dominansi suatu jenis =
Dominansi relatif (DR) =
x 100%
Luas bidang dasar suatu jenis = ¼ π d2
INP (tiang dan pohon) = KR+FR+DR
INP (semai dan pancang) = KR+FR
Analisis Pola Sebaran Pohon Pakan Beruang Madu
Data frekuensi perjumpaan pohon pakan beruang madu di setiap petak
contoh yang dilakukan pada kegiatan inventarisasi tumbuhan dianalisis pola
sebarannya. Analisis pola sebaran dilakukan dengan menggunakan metode rasio
ragam (Ludwig & Reynolds 1988), sebagai berikut:
a. Peubah yang diukur dalam metode ini adalah nilai rata-rata dan nilai
keragaman (variannya). Rumus yang digunakan untuk menduga rata-rata:
X =
i
ii
f
fx .=
N
n , dan S
2 = 1
.).(2
N
nxfx ii
17
Keterangan:
X : nilai rata-rata
S2 : nilai ragam
xi : jumlah individu tiap sub petak
fi : frekuensi banyaknya ditemukan jumlah individu
n : Σ xi.fi
N : Σ fi
b. Kemudian digunakan kriteria pengambilan keputusan:
Jika S2 = X , maka sebarannya acak.
Jika S2 < X , maka sebarannya seragam.
Jika S2 > X , maka sebarannya berkelompok.
Setelah diketahui pola sebaran pohon pakan beruang madu, dilakukan uji
korelasi untuk mengetahui apakah setiap jenis pohon pakan beruang madu
memilki korelasi terhadap komponen habitat di areal konservasi. Sarwono (2006)
menyatakan bahwa analisis korelasi digunakan untuk mengukur kuat lemahnya
hubungan antara variabel bebas dan satu variabel tergantung yang berskala
interval atau parametrik. Kriteria kuat atau lemahnya hubungan antara variabel
dapat dilihat dari nilai korelasi variabel tersebut (Tabel 3).
Tabel 3 Kriteria kekuatan hubungan antara variabel yang diuji
Kriteria Nilai korelasi
Tidak ada korelasi 0
Korelasi sangat lemah >0-0.25
Korelasi cukup kuat >0.25-0.50
Korelasi kuat >0.50-0.75
Korelasi sangat kuat >0.75-0.99
Korelasi sempurna 1
Sumber: Sarwono (2006).
Analisis Faktor Lingkungan yang Menentukan Keberadaan Pohon Pakan
Beruang Madu
Untuk mengetahui komponen habitat yang menentukan keberadaan seluruh
jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti
digunakan analisis multivariat dengan pendekatan analisis faktor. Metode yang
digunakan dalam analisis faktor adalah analisis komponen utama/principal
component analysis (AKU/PCA). Analisis tersebut diolah dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS 16.
Menurut Timm (2002), AKU merupakan teknik statistik yang
mentransformasikan secara linier satu set variabel ke dalam variabel baru dengan
ukuran yang lebih kecil dan tidak saling berkorelasi. AKU digunakan untuk
menemukan dan menafsirkan ketergantungan yang ada diantara variabel. Selain
itu, AKU juga berfungsi untuk menguji hubungan yang mungkin ada diantara
variabel. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa AKU pada dasarnya
18
merupakan teknik statistik multivariat yang berkaitan dengan struktur internal dari
matriks.
Menurut Rahayu (2005), langkah pertama dalam menggunakan metode
AKU adalah memasukkan keseluruhan peubah bebas (komponen biotik dan
komponen abiotik) yang diamati dalam analisis faktor. Kemudian dilakukan
pemilihan peubah yang layak diproses lebih lanjut atau tidak. Kelayakan tersebut
dapat dilihat dari besarnya nilai K-M-O MSA (Kaiser-Meyer-Olkin Measure of
Sampling Adequacy). K-M-O MSA tersebut menggambarkan ukuran ketepatan
dari analisis faktor. Nilai K-M-O MSA ≥ 0.5 maka sampel tersebut dianggap
mempunyai ketepatan. Selanjutnya setiap peubah bebas dianalisis untuk
mengetahui mana yang dapat diproses lebih lanjut dan mana yang harus
dikeluarkan. Rahayu (2005) menyatakan bahwa pedoman untuk mengeluarkan
peubah dari analisis adalah dengan melihat nilai anti-image matrices < 0.5. Nilai
ini dapat terlihat pada tabel anti image correlation dimana akan terlihat sejumlah
angka yang membentuk diagonal yang bertanda ’a’. Setelah sejumlah peubah
terpilih, maka dilakukan ekstraksi peubah tersebut hingga menjadi satu atau
beberapa faktor.
4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Luas dan Letak
Kawasan IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti merupakan perluasan
areal IUPHHK-HTI PT. RAPP yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 327/MenhutII/2009 dengan luas 45261 hektar. IUPHHK-
HTI PT. RAPP Estate Meranti dibagi menjadi lima areal peruntukan, yaitu areal
tanaman pokok, areal tanaman unggulan, areal tanaman kehidupan, areal
konservasi, serta areal sarana dan prasarana. Areal konservasi Estate Meranti
mencakup sempadan sungai, kubah gambut dan kawasan penyangga (buffer zone).
Secara administratif, Kawasan IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti termasuk
dalam Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Hidrologi
Estate Meranti memiliki satu Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS
Kampar. Selain itu, Estate Meranti memiliki beberapa sub DAS, yaitu sub DAS
Kutup, sub DAS Turip, sub DAS Serkap dan sub DAS Sangar. Seluruh sungai-
sungai yang mengalir di Estate Meranti bermuara di Sungai Kampar. Air sungai
yang mengalir di Estate Meranti berasal dari kubah gambut dan danau (tasik) yang
terdapat di dalam kawasan hutan Semenanjung Kampar.
19
Variasi Lokal Tipe Vegetasi Hutan Gambut
TIIP (2010a) menyatakan bahwa kawasan Estate Meranti memiliki empat
tipe variasi vegetasi, yaitu hutan tiang dengan tajuk tinggi (Tall Pole Forest),
hutan transisi rawa gambut campuran (Transition of Tall Pole Forest and Mixed
Peat Swamp Forest), hutan riparian (Riverine Forest) dan semak belukar. Tall
Pole Forest dicirikan dengan tajuk pohon yang tinggi dan relatif rata. Kanopi
hutannya hanya terdiri atas 2-3 lapis saja. Ukuran pohon-pohon penyusunnya
relatif kecil, yakni berdiameter berkisar antara 20-30 cm. Hutan transisi tiang
tinggi rawa gambut campuran dicirikan dengan jenis campuran yang didominasi
dengan tajuk tinggi dan tidak rata dengan diameter pohon umumnya > 30 cm.
Kanopi hutannya terdiri dari beberapa lapisan dengan lapisan utama terbentuk dari
tegakan pohon dengan ketinggian berkisar 30-40 m. Hutan riparian umumnya
berkembang di wilayah pinggir sungai yang kondisinya sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sungai. Kanopi hutannya terdiri atas beberapa lapisan dengan
beberapa pohon mencuat. Pada pinggir sungai yang selalu tergenang air, vegetasi
ripariannya berkembang menjadi komunitas belukar dari marga Pandanus dan
rerumputan dari kelompok Cyperaceae atau Hanguana dari suku Flagelariaceae.
Variasi Lokal Ketebalan Gambut
Umumnya, gambut akan membentuk suatu kubah (dome). Semakin
mendekati kubah ketebalan gambut semakin meningkat, sedangkan semakin dekat
dengan sungai ketebalan gambut akan semakin menipis. Ketebalan gambut di
Estate Meranti berkisar antara 5 m hingga 10 m. Hardjowigeno (1996)
menyatakan bahwa gambut di bagian tepi kubah pada umumnya memiliki
kesuburan yang relatif baik (gambut topogen), sedangkan gambut yang terdapat di
tengah-tengah kubah memiliki kesuburan yang rendah (gambut ombrogen).
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu
Hasil inventarisasi tumbuhan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti
menunjukkan bahwa terdapat 70 jenis tumbuhan yang berasal dari 30 suku
(Lampiran 2). Berdasarkan hasil studi pustaka yang dibandingkan dengan jenis
tumbuhan yang telah diidentifikasi dapat diketahui bahwa di areal konservasi
terdapat 34 jenis pohon yang potensial sebagai sumber pakan beruang madu
(Tabel 4).
20
Tabel 4 Jenis pohon yang potensial sebagai sumber pakan beruang madu di
areal konservasi
No. Nama lokal Nama latin Suku
1 Ara Ficus stricta Miq Moraceae
2 Arang-arang Diospyros maingayi (Hiern.) Bakh. Ebenaceae
3 Balang-balang Syzygium rostratum DC. Myrtaceae
4 Bengku Madhuca motleyana (de Vriese) J. F. Macbr. Sapotaceae
5 Cemetik Garcinia sp. Clusiaceae
6 Darah-darah Knema cinerea Warb. Myristicaceae
7 Durian hutan Durio carinatus Mast. Bombacaceae
8 Idan Xerospermum noronhianum Blume Sapindaceae
9 Jambu-jambu Syzygium claviflorum Roxb. Myrtaceae
10 Kandis Garcinia parvifolia Clusiaceae
11 Kedondong hutan Dacryodes rostrata (Blume) H. J. Lam Burseraceae
12 Kelat kelam Syzygium sp.1 Myrtaceae
13 Kelat merah Acmena acuminatissima (Blume) Merr. & L. M. Perry Myrtaceae
14 Kelat putih Syzygium inophyllum DC. Myrtaceae
15 Kelumpang Magnolia elegans (Blume) Keng Magnoliaceae
16 Keranji Dialium maingayi Baker Caesalpiniaceae
17 Manggis hutan Garcinia bancana Miq. Clusiaceae
18 Medang keladi Litsea lanceolata (Blume) Koesterm. Lauraceae
19 Medang lundu Litsea oppositifolia Gibbs. Lauraceae
20 Mempening Quercus sp. Fagaceae
21 Mesio Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae
22 Nangka hutan Artocarpus rigidus Blume Moraceae
23 Nasi-nasi Syzygium zeylanicum (L.) DC. Myrtaceae
24 Parak Aglaia rubiginosa (Hiern) Pannell Meliaceae
25 Punak Tetramerista glabra Miq. Theaceae
26 Salakeo Mangifera griffithii Hook. f. Anacardiaceae
27 Samak Syzygium sp.2 Myrtaceae
28 Semaram Palaquium sumatranum Burck Sapotaceae
29 Seminai Palaquium ridleyi K. & G. Sapotaceae
30 Simpoh Dillenia reticulata King Dilleniaceae
31 Suntai Palaquium burckii H. J. Lam Sapotaceae
32 Terap Artocarpus elasticus Reinw Moraceae
33 Terentang Campnosperma coriaceum (Jack.) Hall. F. Ex Steen Anacardiaceae
34 Terpis Polyalthia hypoleuca Hook. f. & Thomson Annonaceae
Keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan di areal
konservasi lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Fredriksson et al.
(2006a) di Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) yang menemukan 72 jenis
pohon pakan. Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis tanah di kedua lokasi
tersebut. Tanah di areal konservasi tergolong tanah gambut, sedangkan tanah di
HLSW tergolong tanah mineral. Tingkat keasaman di tanah gambut lebih rendah
21
dibandingkan dengan tingkat keasaman di tanah mineral. Tanah di areal
konservasi memiliki kisaran pH tanah 3.0-4.5, sedangkan tanah di HLSW
memiliki kisaran pH tanah 5.3-6.6 (Triono et al. 2010). Menurut Irwan (2010),
salah satu penyebab jumlah jenis tumbuhan yang ada di hutan rawa gambut tidak
banyak adalah tanahnya tergolong tanah yang asam (pH tanah ± 3.2). Hanya
tumbuhan yang adaptif terhadap kondisi lebih asam yang dapat tetap hidup
(Andriesse 2003). Adimihardja et al. (2006) menyatakan bahwa tanah gambut
pada umumnya sangat asam ( pH 3.0-4.5) dan kandungan bahan organik < 5%.
Fraksi organik tanah gambut mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa, protein,
tannin dan resin dalam jumlah yang sedikit. Pada kondisi tersebut, pertumbuhan
dan perkembangan akar tumbuhan akan terhambat, sehingga jenis tumbuhan yang
dapat tumbuh dan berkembang sangat terbatas. Selain itu, miskinnya unsur hara
yang tersedia di tanah gambut mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan.
Hasil perhitungan indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa jenis
bengku (Madhuca motleyana), kelat putih (Syzygium inophyllum), kelat merah
(Acmena acuminatissima), arang-arang (Diospyros maingayi) dan punak
(Tetramerista glabra) termasuk dalam urutan lima jenis pohon pakan beruang
madu dengan INP tertinggi (Tabel 5). Jenis Madhuca motleyana merupakan jenis
pohon pakan beruang madu yang memiliki INP paling tinggi, sehingga jenis
tersebut dapat juga dikatakan sebagai jenis pohon pakan beruang madu yang
paling dominan di areal konservasi. Smith (1977) menyatakan bahwa jenis
dominan merupakan jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang
ditempatinya secara efisien daripada jenis yang lain dalam tempat yang sama.
Jenis tersebut dapat memanfaatkan komponen habitat yang tersedia di areal
konservasi, seperti keasaman tanah (pH tanah) 3.0-4.5, ketebalan gambut 5-8 m
dan intensitas cahaya matahari mulai 200 lx hingga 49200 lx.
Tabel 5 Indeks nilai penting pohon pakan beruang madu di areal konservasi
No. Nama Lokal Nama Latin KR (%) FR (%) DR (%) INP (%)
1. Bengku Madhuca motleyana 10.97 8.46 9.22 28.65
2. Kelat putih Syzigium inophyllum 9.14 8.89 7.35 25.38
3. Kelat merah Acmena acuminatissima 5.32 5.03 4.03 14.38
4. Arang-arang Diospyros maingayi 2.99 3.43 2.79 9.20
5. Punak Tetramerista glabra 2.08 2.68 3.66 8.41
Waktu pengambilan data yang bertepatan dengan waktu yang masih
termasuk dalam musim kemarau menyebabkan tidak semua jenis pohon pakan
beruang madu sedang musim berbuah. Hanya jenis ara (Ficus stricta), nangka
hutan (Artocarpus rigidus), punak (Tetramerista glabra), salakeo (Mangifera
griffithii), terap (Artocarpus elasticus) dan terentang (Campnosperma coriaceum)
saja yang dijumpai sedang berbuah. Sunarjono (2008) menyatakan bahwa musim
berbuah pohon tropis di Indonesia umumnya terjadi ketika musim hujan.
22
Ara (Ficus stricta)
Pohon ara memiliki tinggi yang bervariasi, mulai dari 16 m hingga 26 m.
Daun berbentuk oblong dan simetris. Panjang daunnya berkisar 8-14 cm dan lebar
berkisar 3.5-6.0.cm. Buah jenis ini berbentuk bulat agak lonjong dan ketika
matang berwarna jingga.
Menurut Berg & Corner (2005), Ficus stricta mampu tumbuh mulai dari
dataran rendah hingga pada ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Jenis ini
dapat ditemukan di Cina Selatan, Myanmar, Filipina, Semenanjung Malaya,
Sumatera dan Jawa.
Gambar 7 Buah Ficus stricta
Hasil beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa banyak anggota
marga Ficus yang termasuk dalam daftar buah pakan beruang madu, salah satu
jenisnya adalah Ficus stricta. Hal ini dikarenakan jenis tersebut merupakan jenis
yang berbuah sepanjang tahun (Leighton & Leighton 1983, Lambert & Marshall
1991). Selain itu, buah Ficus stricta dipilih beruang madu sebagai pakan karena
buahnya memiliki kandungan kalsium yang termasuk salah satu kandungan nutrisi
makanan yang diperlukan tubuhnya (Wee et al. 2008).
Nangka hutan (Artocarpus rigidus)
Jenis pohon yang dikenal dengan nama lokal nangka hutan dapat ditemukan
di areal konservasi Estate Meranti dengan tinggi yang bervariasi, mulai dari 12 m
hingga 24 m. Daun nangka hutan berbentuk bulat telur terbalik dengan ujungnya
tumpul, serta memiliki panjang berkisar 15-26 cm dan lebar berkisar 3.5-6.5.cm.
Buah jenis ini berbentuk bulat, berwarna kuning kehijauan ketika matang
berwarna jingga dan memiliki rasa yang manis. Daging buah tertutup oleh duri
yang pendek. Ukuran diameter buahnya berkisar 7-15 cm.
Chong et al. (2009) menyatakan bahwa Artocarpus rigidus mampu tumbuh
di hutan dataran rendah dan hutan pegunungan. Jenis ini dapat ditemukan di India,
Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatera, Kalimantan dan
Jawa.
23
Menurut Broto (2003), jenis ini merupakan jenis yang dapat berbuah
sepanjang tahun, sehingga dapat berpotensi sebagai pakan beruang madu. Selain
itu, beruang madu memilih jenis ini sebagai pakannya diduga karena bermanfaat
dalam menjaga kebugaran (fitness) tubuhnya. Hasil penelitian Namdaung et al.
(2006) yang diacu dalam Hakim (2011) menyatakan bahwa jenis Artocarpus
rigidus memiliki kandungan senyawa santonolid yang bersifat sitotoksik, yaitu
dapat bersifat toksik untuk menghambat dan menghentikan pertumbuhan sel
kanker.
Gambar 8 Buah Artocarpus rigidus
Punak (Tetramerista glabra)
Pohon jenis ini dapat ditemukan dengan tinggi yang bervariasi, mulai dari
13 m sampai 25 m. Diameter batang pohonnya mampu mencapai 150 cm dbh.
Tangkai daunnya memiliki susunan alternate, yaitu berselang-seling. Lebar
daunnya berkisar 3.5-6.5 cm dan panjangnya berkisar 7-16 cm. Buah berbentuk
bulat dan berwarna hijau. Buah matang berwarna kuning jingga. Buah dilapisi
exocarp yang tipis seperti kulit. Ukuran diameter buah berkisar 2-4 cm.
Gambar 9 Buah Tetramerista glabra
24
Jenis Tetramerista glabra umumnya dijumpai di hutan gambut dan kadang-
kadang dapat dijumpai di hutan campuran dipterocarpaceae pada ketinggian 500
m di atas permukaan laut. Jenis ini dapat ditemukan di Semenanjung Malaya,
Sumatera dan Kalimantan (Gavin & Peart 1997).
Hasil penelitian Bernard (2009) menyatakan bahwa pohon Tetramerista
glabra dapat ditemukan sedang berbuah sepanjang tahun. Pertimbangan jenis ini
berpotensi sebagai sumber pakan beruang madu karena buah yang tersedia
sepanjang tahun dapat menjadi pilihan pakan beruang madu untuk mencukupi
kebutuhan energi beruang madu dalam melakukan aktivitas hariannya. Jenis ini
memiliki kandungan air (89.88%) dan karbohidrat (6.64%) yang lebih besar
dibandingkan kandungan lainnya (protein, lemak, kadar abu dan serat kasar).
Menurut Reksohadiprodjo (1988), karbohidrat mempunyai peranan yang sangat
penting di dalam tubuh satwa.
Salakeo (Mangifera griffithii)
Jenis ini memiliki perawakan pohon yang tingginya mampu mencapai 22 m.
Buahnya lebih kecil dibandingkan jenis Mangifera indica dan Mangifera foetida.
Buahnya berbentuk bulat panjang (oblong). Daging buahnya berserat, ketika
matang daging buah berwarna kuning kemerahan dan kulit buahnya berwarna
hijau kekuningan. Batang pohonnya tidak tahan terhadap serangan rayap,
sehingga mudah tumbang (Linatoc 1999).
Gambar 10 Mangifera griffithii: (a) buah dan (b) biji
Menurut Litz (2009), Mangifera griffithii banyak ditemukan di daerah rawa.
Jenis tersebut berasal dari Kepulauan Andaman, India dan saat ini tersebar di
Semenanjung Malaya, Thailand, Sumatera dan di sebelah Barat Kalimantan.
Umumnya, jenis ini termasuk evergreen species (jenis yang selalu hijau)
atau sedikit yang gugur ketika musim kemarau, sehingga ketersediaan buah jenis
tersebut ketika musim kemarau sangat berpotensi sebagai sumber pakan beruang
madu (Litz 2009). Jenis ini memiliki kandungan air (86.11%) dan karbohidrat
(11.8%) yang paling besar daripada kandungan lainnya. Karbohidrat daging
buahnya terdiri dari gula sederhana, tepung dan selulosa. Gula sederhana seperti
a b
25
sukrosa, glukosa, dan fruktosa diduga bermanfaat bagi pemulihan tenaga pada
tubuh beruang madu.
Terap (Artocarpus elasticus)
Pohon terap yang ditemukan di areal konservasi memiliki tinggi yang
beraneka ragam, mulai dari 15 m sampai 20 m. Daun tunggal, berseling,
berbentuk lonjong dan tebal. Ujung dan pangkal daunnya runcing. Panjang daun
berkisar 20-40 cm dan lebarnya berkisar 15-25 cm. Tulang daun menyirip. Bentuk
buahnya bulat, kulit daging buah berduri halus dengan ukuran diameter buah
berkisar 10-15 cm. Ketika matang buah berwarna kuning kecoklatan dan
beraroma yang khas.
Latifah (2005) menyatakan bahwa Artocarpus elasticus dapat dijumpai pada
hutan dataran rendah sampai dengan ketinggian 1000 m di atas permukaan laut.
Spesies yang memiliki nama lokal terap ini tersebar di Semenanjung Malaya,
Indonesia dan Filipina.
Gambar 11 Buah Artocarpus elasticus
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa buah terap ini mengandung
senyawa flavonoid, yaitu sekelompok senyawa polifenol dengan berat molekul
yang rendah. Flavonoid berperan dalam menghambat pembentukan radikal bebas
(Chong et al. 2009, Hakim 2011). Kandungan metabolit sekunder tersebut dapat
mempengaruhi fungsi fisiologis satwa yang memakannya, sehingga ketersediaan
buah jenis ini di areal konservasi selain bisa sebagai sumber pakan beruang madu
juga berpotensi sebagai asupan alami yang bisa menjaga kesehatan tubuh beruang
madu.
Terentang (Campnosperma coriaceum)
Spesies ini dapat dijumpai dengan tinggi pohon mulai 11 m sampai 24 m.
Daunnya berwarna hijau mengkilap gelap, kasar dan obovate atau lonjong
sungsang (20-50 cm). Tangkai daun memiliki sepasang lobus. Daun muda
berwarna coklat kemerahan. Buah tunggal berbentuk bulat telur dengan diameter
26
berkisar 0.5-0.8 cm. Buah berwarna hijau dengan bintik-bintik putih. Ketika
matang buah berwarna ungu kehitaman.
Umumnya, Campnosperma coriaceum tumbuh di daerah rawa, termasuk
rawa gambut. Terentang menyebar di hutan rawa gambut halus, lempung berpasir
(kedalaman 3-5 m), ketinggian 10 m di atas permukaan laut dan tipe iklim A.
Tumbuhan yang dikenal dengan nama lokal terentang ini tersebar di Semananjung
Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Kalimantan. Pohon ini tumbuh
baik di hutan sekunder yang telah terbuka. Kondisi tegakan menyebar
berkelompok (Kochummen 1989, Danu & Bogidarmanti 2012).
Selama pengumpulan data dilakukan, sangat jarang ditemukan buah
terentang yang hampir matang. Penampakan buah terentang yang hampir matang
disajikan pada Gambar 12a. Akan tetapi, buah terentang yang ditemukan di areal
konservasi Estate Meranti lebih banyak yang berbuah muda atau masih berwarna
hijau (Gambar 12b). Hasil penelitian Danu & Bogidarmanti (2012) menyatakan
bahwa waktu yang diperlukan buah terentang sampai matang secara fisiologis
dalam satu malai saja bisa tidak serentak. Sebagian besar Campnosperma
coriaceum berbuah muda pada bulan Oktober, kemudian berkembang menjadi
buah tua yang sudah matang pada bulan November-Desember. Hal ini
mengindikasikan bahwa buah terentang berpotensi sebagai sumber pakan beruang
madu ketika bulan-bulan tertentu saja.
Gambar 12 Buah Campnosperma coriaceum: (a) buah tua dan (b) buah muda
Periode tidak musim berbuah sebagian besar jenis pohon pakan beruang
madu menyebabkan informasi terkait dengan cara beruang madu untuk
mendapatkan dan memakan buah yang ada di Areal Konservasi PT. RAPP Estate
Meranti sulit untuk diketahui. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian Wong
(2002) dapat diketahui bahwa beruang madu memanjat pohon Ficus sp.
mengambil buah untuk dimakan. Buah yang diambil beruang madu terletak di
ranting pohon Ficus sp. yang masih terjangkau olehnya. Buah Ficus sp. tersebut
dimakan oleh beruang madu dalam bentuk buah yang lengkap dengan kulit dan
bijinya. Selain itu, Wong (2013) menyatakan bahwa beruang madu juga mencari
buah di lantai hutan. Beruang madu mengambil buah Durio sp. yang jatuh,
a b
27
kemudian beruang madu tersebut membelah kulitnya lalu memakan daging
buahnya.
Gambar 13 Beruang madu sedang memakan buah durian (Durio sp.) di Hutan
Lindung Ulu Segama, Malaysia (Sumber: Wong 2013)
Periode tidak musim berbuah sebagian besar jenis pohon pakan beruang
madu menyebabkan tidak dijumpai aktivitas makan beruang madu, baik secara
langsung maupun tanda-tanda bekas aktivitas makannya. Hal tersebut juga yang
mengindikasikan beruang madu lebih memilih serangga dibandingkan buah
sebagai sumber pakannya. Fredriksson et al. (2006a) menyatakan bahwa hampir
100% pakan beruang madu terdiri atas buah selama periode musim berbuah,
sedangkan pada periode tidak musim berbuah pakan beruang madu didominasi
oleh serangga.
Gambar 14 Beruang madu sedang memakan rayap (Dicuspiditermes sp.)
ketika periode tidak musim berbuah di Hutan Lindung Ulu
Segama, Malaysia (Sumber: Wong 2002)
28
Pola Sebaran Pohon Pakan Beruang Madu
Hasil analisis pola sebaran pohon pakan beruang madu dengan metode rasio
ragam menunjukkan bahwa seluruh jenis pohon pakan beruang madu menyebar
secara berkelompok (Lampiran 3). Hal ini mendukung pernyataan Krebs (1989)
bahwa populasi tumbuhan di alam memiliki kecenderungan tersebar secara
berkelompok. Pola sebaran berkelompok disebabkan jenis pohon pakan beruang
madu memilih tempat yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan hidupnya.
Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa pola sebaran berkelompok
mengindikasikan adanya perilaku selektif terhadap faktor-faktor lingkungan
tempat tumbuh yang heterogen.
Masing-masing jenis pohon pakan beruang madu di areal konservasi
memiliki pemilihan kondisi lingkungan tempat tumbuh yang berbeda. Faktor
lingkungan yang disukai oleh masing-masing jenis pohon pakan beruang madu
dapat diketahui dari nilai korelasi antara jenis pohon pakan beruang madu dengan
komponen habitat (Lampiran 4).
Berdasarkan hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa jenis Litsea lanceolata
berkorelasi positif dengan pH tanah pada selang kepercayaan 95%, sedangkan
jenis Syzygium claviflorum, Artocarpus elasticus dan Mangifera griffithii
berkorelasi positif dengan pH tanah pada selang kepercayaan 99%.
Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki daya kemampuan
beradaptasi yang rendah terhadap kondisi tanah yang asam, sehingga jenis-jenis
tersebut cenderung memilih tempat tumbuh yang memiliki pH tanah yang
mendekati netral.
Jenis Madhuca motleyana berkorelasi negatif dengan pH tanah pada selang
kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut memiliki
kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap kondisi tanah yang asam. Hal
tersebut diperkuat dengan diketahuinya bahwa jenis tersebut merupakan jenis
pohon pakan beruang madu yang paling dominan di Areal Konservasi PT. RAPP
Estate Meranti.
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa jenis Diospyros maingayi, Durio
carinatus dan Syzygium rostratum berkorelasi negatif dengan ketebalan gambut
pada selang kepercayaan 95%, sedangkan Artocarpus rigidus, Dialium maingayi
dan Campnosperma coriaceum berkorelasi negatif dengan ketebalan gambut pada
selang kepercayaan 99%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut
memiliki kecenderungan memilih tempat tumbuh yang ketebalan gambutnya
dangkal, dikarenakan jenis-jenis tersebut memiliki daya kemampuan beradaptasi
yang rendah pada gambut tebal. Jenis-jenis tersebut diduga mempunyai akar yang
pendek, sehingga akar sangat sulit untuk menyerap unsur hara yang terdapat di
dasar gambut tebal (Istomo 2002).
Jenis Litsea oppositifolia berkorelasi positif dengan ketebalan gambut pada
selang kepercayaan 95%, sedangkan jenis Knema cinerea, Ilex cymosa dan
Palaquium burckii berkorelasi positif dengan ketebalan gambut pada selang
kepercayaan 99%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki daya
kemampuan beradaptasi yang tinggi pada gambut tebal. Jenis-jenis tersebut
diduga mempunyai akar yang mampu menyerap unsur hara yang terdapat di dasar
gambut tebal.
29
Berdasarkan hasil uji korelasi dapat diketahui bahwa jenis Dacryodes
rostrata berkorelasi positif dengan intensitas cahaya matahari pada selang
kepercayaan 95%, sedangkan jenis Ficus stricta berkorelasi positif dengan
intensitas cahaya matahari pada selang kepercayaan 99%. Akan tetapi, beberapa
peneliti menyatakan bahwa kedua jenis tersebut lebih menyukai tumbuh dan
berkembang pada intensitas cahaya matahari rendah (Shanahan 2000; Rasnovi
2006). Hal ini berarti bahwa kedua jenis tersebut memiliki daya kemampuan
beradaptasi yang lebih besar dibandingkan jenis pohon pakan beruang madu
lainnya terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi.
Pola sebaran pohon pakan beruang madu di areal konservasi Estate Meranti
yang berkelompok mengindikasikan pola sebaran beruang madu di areal tersebut
juga berkelompok. Augeri (2005) menyatakan bahwa ketersediaan vegetasi pakan
mempengaruhi penggunaan habitat oleh beruang madu, terutama pola pencarian
pakan. Umumnya, pola sebaran pohon sebagai sumber pakan satwaliar
mencerminkan pola jelajahnya (Meijaard et al. 2006).
Faktor Lingkungan yang Menentukan Keberadaan
Pohon Pakan Beruang Madu
Berdasarkan hasil analisis faktor dengan metode analisis komponen utama
(AKU) yang telah dilakukan terhadap komponen habitat pohon pakan beruang
madu (pH tanah, ketebalan gambut dan intensitas cahaya matahari) terbentuk satu
komponen utama (KU1). Komponen utama (KU1) tersebut mewakili komponen
pH tanah dan ketebalan gambut. Kedua komponen habitat tersebut memiliki
pengaruh yang besar terhadap keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu
yang ditemukan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti. Semakin besar pH
tanah, maka jumlah jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan semakin
banyak. Selain itu, semakin dangkal ketebalan gambut, maka jumlah jenis pohon
pakan beruang madu yang ditemukan semakin banyak.
Hasil perhitungan analisis faktor disajikan pada Lampiran 5. Nilai koefisien
determinasi (R2) yang diperoleh yaitu 0.500. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar
50% dari komponen utama yang terbentuk berdasarkan analisis faktor dapat
mewakili keseluruhan variabel yang diamati, sedangkan 50% lainnya dipengaruhi
oleh variabel lain yang tidak diamati.
Hampir seluruh komponen habitat yang berpengaruh terhadap
keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu berkaitan dengan sifat tanah
gambut. Hal ini menunjukkan bahwa sifat tanah gambut menjadi faktor pembatas
keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu. Hal tersebut juga
mengindikasikan bahwa areal konservasi termasuk areal yang miskin hara,
sehingga membutuhkan penambahan unsur hara yang dapat menunjang
pertumbuhan dan perkembangan seluruh jenis pohon pakan beruang madu.
Selain itu, sifat tanah gambut juga berpengaruh terhadap proses penyerapan
unsur hara oleh pohon pakan beruang madu. Tanah gambut yang sangat asam
dapat mengganggu proses penyerapan unsur hara. Hal tersebut dikarenakan tanah
gambut merupakan tanah yang memiliki ion H+
yang tinggi, sehingga unsur hara
30
yang berupa ion negatif (anion) akan terikat dengan koloid tanah gambut (Endah
& Abidin 2002). Tingginya konsentrasi ion H+ mengakibatkan keanekaragaman
jenis pohon pakan beruang madu rendah. Hanya jenis tumbuhan yang adaptif
terhadap konsentrasi ion H+ yang tinggi saja yang dapat ditemukan pada kondisi
tanah tersebut. Dwijoseputro (1980) menyatakan bahwa indeks pH 3
menunjukkan bahwa konsentrasi ion H+
yang dimiliki tanah tersebut sebesar 10-3
.
Menurut Fitter & Hay (1991), tingginya konsentarasi ion H+ yang terdapat di
tanah sangat asam (pH 3) dapat bersifat toksik bagi spesies tumbuhan yang
mempunyai daya adaptif yang rendah.
Rekomendasi Pengelolaan
Pengalokasian areal konservasi PT. RAPP Estate Meranti sebagai salah satu
habitat beruang madu di Semenanjung Kampar perlu diapresiasi, namun perlu
juga diikuti dengan penerapan pengelolaan yang baik. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat membantu pihak PT. RAPP, khususnya Estate Meranti dalam
menentukan bentuk pengelolaan habitat beruang madu yang dapat dilakukan di
areal konservasi.
Rekomendasi pengelolaan habitat beruang madu yang dapat diberikan
kepada pihak pengelola sebagai pertimbangan dalam perencanaan bentuk
pengelolaan habitat beruang madu di areal konservasi PT. RAPP Estate Meranti
berdasarkan hasil penelitian ini antara lain:
1. Pemantauan ketersediaan pohon pakan beruang madu secara berkala
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini terkait dengan struktur
dan komposisi jenis pohon pakan beruang madu yang tersedia di areal
konservasi. Pelaksanaan kegiatan ini dapat dijadwalkan setiap 6 bulan. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi habitat beruang madu dalam
waktu musim yang berbeda. Ketika musim kemarau mudah terjadi kebakaran
hutan, sehingga dikhawatirkan keberadaan pohon pakan beruang madu menjadi
berkurang. Dengan demikian, habitat beruang madu yang mengalami gangguan
akibat kebakaran hutan dapat segera dipulihkan dan ketersediaan pakannya
tetap terjamin.
2. Peningkatan pengamanan habitat beruang madu
Kegiatan ini dilakukan untuk mencegah perambahan hutan serta kegiatan ilegal
lainnya yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas habitat beruang madu.
Meskipun kegiatan pengamanan areal konservasi telah dilakukan oleh pihak
pengelola, akan tetapi kegiatan ini perlu ditingkatkan. Pengamanan perlu
ditingkatkan pada lokasi-lokasi yang tidak selalu terpantau oleh staf
perusahaan. Hal ini dikarenakan pengamanan terlihat lebih terfokus pada lokasi
di sekitar jalan utama (access road). Selama penelitian dilakukan ditemukan
beberapa areal bekas perambahan, salah satunya di sekitar Sungai Kutup.
3. Pengayaan habitat beruang madu
Kegiatan ini dapat dilakukan di setiap lokasi yang terindikasi mengalami
perambahan. Selama penelitian dilakukan, dijumpai lokasi bekas perambahan
yang tidak produktif. Hal ini dikarenakan belum adanya upaya pengayaan
31
habitat di lokasi tersebut. Pengayaan habitat beruang madu dapat dilakukan
dengan penanaman jenis-jenis pohon pakan beruang madu yang juga termasuk
jenis tumbuhan asli. Selain itu, jenis yang akan digunakan untuk pengayaan
habitat hendaknya merupakan jenis penghasil buah yang disukai oleh beruang
madu. Beberapa hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa buah Durio spp.,
Artocarpus spp., Dacryodes spp. dan Syzygium spp. termasuk jenis yang
disukai oleh beruang madu.
4. Pembinaan habitat beruang madu
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas habitat agar pohon pakan
beruang madu tetap produktif. Bentuk pembinaan habitat yang dapat dilakukan
seperti peningkatan pH tanah melalui pengapuran, peningkatan ketersediaan
unsur hara yang diperlukan oleh pohon pakan melalui pemupukan, dan
pemangkasan ranting pohon pakan beruang madu untuk merangsang pohon
pakan agar berbunga. Kegiatan ini lebih diprioritaskan pada lokasi bekas
perambahan yang tidak produktif.
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Jumlah jenis pohon pakan beruang madu yang ditemukan di Areal
Konservasi PT. RAPP Estate Meranti sebanyak 34 jenis. Jenis pohon pakan
beruang madu yang paling dominan di areal konservasi adalah Madhuca
motleyana. Keanekaragaman jenis pohon pakan beruang madu paling tinggi
ditemukan di areal dengan pH tanah 4.5, ketebalan gambut 5m dan intensitas
cahaya matahari <10000 lx.
Pola sebaran seluruh jenis pohon pakan beruang madu di Areal Konservasi
PT. RAPP Estate Meranti adalah berkelompok. Faktor lingkungan yang dominan
dalam menentukan keberadaan jenis pohon pakan beruang madu adalah pH tanah
dan ketebalan gambut.
Saran
Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa di Areal Konservasi PT.
RAPP Estate Meranti terdapat beberapa jenis pohon yang berpotensi sebagai
sumber pakan beruang madu. Untuk melestarikan keberadaan jenis-jenis pohon
tersebut diperlukan adanya pengelolaan habitat. Bentuk pengelolaan yang dapat
dijadikan pertimbangan divisi sustainability PT. RAPP sebagai pemegang
tanggung jawab pengelola areal konservasi dalam merencanakan bentuk
pengelolaan habitat antara lain pemantauan ketersediaan pohon pakan beruang
32
madu secara berkala, peningkatan pengamanan habitat, pengayaan habitat dan
pembinaan habitat di lokasi bekas perambahan. Kegiatan pembinaan habitat
dimaksudkan agar habitat memiliki faktor lingkungan yang dapat mendukung
keberadaan dan produktivitas pohon pakan beruang madu, terutama peningkatan
pH tanah untuk menurunkan tingkat keasaman tanah gambut. Selain itu, kegiatan
pengayaan habitat juga perlu memperhatikan faktor ketebalan gambut
dikarenakan hanya jenis Knema cinerea, Ilex cymosa dan Palaquium burckii saja
yang banyak ditemukan pada gambut yang tebal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman D. 2006. Biologi Kelompok Pertanian dan Kesehatan. Bandung
(ID): Grafindo Media Pratama.
Adimihardja A, Subagyono K, Al-Jabri M. 2006. Konservasi dan Rehabilitasi
Lahan Rawa. Di dalam: Suriadikarta DA, Kurnia U, Mamat HS, Hartatik W,
Setyorini D, editor. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Bogor (ID):
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian hlm
229-274.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid 1. Bogor (ID): Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB.
Andriesse JP. 2003. Ekologi dan Pengelolaan Tanah Gambut Tropika. Wibowo C,
Istomo, penerjemah. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan IPB. Terjemahan dari:
Nature and Management of Tropical Peat Soils.
Astuti D. 2006. Konsumsi dan Kecernaan Pakan pada Beruang Madu (Helarctos
malayanus) di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Augeri DM. 2005. On the Biogeographic Ecology of the Malayan Sun Bear
[dissertation]. Cambridge (GB): University of Cambridge.
Berg CC, Corner EJH. 2005. Moraceae (Ficus). Flora Malesiana 17: 1-730.
Bernard HCM. 2009. Orangutan Behavioural Ecology in the Sabangau Peat-
Swamp Forest, Borneo [dissertation]. Cambridge (GB): University of
Cambridge.
Broto W. 2003. Teknologi Penanganan Pascapanen Buah untuk Pasar. Jakarta
(ID): Agromedia Pustaka.
Chong KY, Tan HTW, Corlett RT. 2009. A Checklist of the Total Vascular Plant
Flora of Singapore: Native, Naturalised and Cultivated Species. Singapore
(SG): Raffles Museum of Biodiversity Research, National University of
Singapore 273 pp.
Danu, Bogidarmanti R. 2012. Pohon Terentang Sebagai Bahan Baku Alternatif
Pulp. Tekno Hutan Tanaman 5: 29-35.
Dwijoseputro D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta (ID): Gramedia.
Endah J, Abidin Z. 2002. Membuat Tanaman Buah Kombinasi. Jakarta (ID):
AgroMedia Pustaka.
33
Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Andani S,
Purbayanti ED, penerjemah; Srigandono B, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press. Terjemahan dari: Environmental Physiology of Plants.
Fredriksson GM. 2005. Human Sun Bear Conflicts in East Kalimantan,
Indonesian Borneo. Ursus 16: 130-137.
Fredriksson GM, Wich SA, Trisno. 2006a. Frugivory in Sun Bears (Helarctos
malayanus) is Linked to El Nino Related Fluctuations in Fruiting Phenology,
East Kalimantan, Indonesia. Biological Journal of the Linnean Society 89:
489-508.
Fredriksson GM, Danielsen LS, Swenson JE. 2006b. Impacts of El Nino Related
Drought and Forest Fires on Sun Bear Fruit Resources in Lowland
Dipterocarp Forest of East Borneo. Biodiversity and Conservation 15: 1271-
1301.
Fredriksson GM. 2012. Effects of El Nino and Large-Scale Forest Fires on The
Ecology and Conservation of Malayan Sun Bears (Helarctos malayanus) in
East Kalimantan, Indonesian Borneo [dissertation]. Amsterdam (NL):
University of Amsterdam.
Gavin DG, Peart DR. 1997. Spatial Structure and Regeneration of Tetramerista
glabra in Peat Swamp Rain Forest in Indonesian Borneo. Plant Ecology 131:
223-231.
Hakim A. 2011. Keanekaragaman Metabolit Sekunder Genus Artocarpus
(Moraceae). Bioteknologi 8: 86-98.
Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.
Hadrjowigeno S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian Suatu
Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah. Bogor
(ID): Insititut Pertanian Bogor. 22 Juni 1996.
Harris LD. 1984. The Fragmented Forest: Island Biogeography Theory and The
Preservation of Biotic Diversity. Chicago (US): University of Chicago Press.
Irwan ZD. 2010. Prinsip-Prinsip Ekologi, Ekosistem, Lingkungan dan
Pelestariannya. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara.
Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya pada Tanah
dan Tumbuhan Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus di Wilayah Bagian
Kesatuan Pemangkuan Hutan Bagan, Kabupaten Rokan Hilir, Riau)
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kartono AP. 2000. Teknik Inventarisasi Satwaliar dan Habitatnya. Bogor (ID):
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Kitchener AC, Asa CS. 2010. Bears and Canids. International Zoo Yearbook 44:
7-15.
Kochummen KM. 1989. Anacardiaceae. Di dalam: Ng FSP dan Phil D, editor.
Tree Flora of Malaya a Manual for Foresters. Volume Four. Selangor [MY]:
Longman Malaysia.
Kramer PJ, Kozlowski TT. 1979. Physiology of Woody Plants. Florida (US):
Academic Press, Inc.
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper & Row
Publisher.
Kusmana C, Istomo. 1995. Ekologi Umum. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi
Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
34
Lakitan B. 2008. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta (ID): Rajagrafindo
Persada.
Lambert FR, Marshall AG. 1991. Keystone Characteristics of Bird-Dispersed
Ficus in a Malaysian Lowland Rain Forest. Journal of Ecology 79: 793-809.
Latifah S. 2005. Inventory and Quality Assessment of tropical Rainforests in the
Lore Lindu National Park, Sulawesi, Indonesia. Gottingen [DE]: Cuvillier
Verlag.
Lekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Thailand (TH):
Association for the Conservation of Wildlife.
Leighton M, Leighton DR. 1983. Vertebrate Responses to Fruiting Seasonality
Within a Bornean Rain Forest. Di dalam : Sutton SL, Whitmore C, Chadwick
AC, editor. Tropical Rain Forest: Ecology and Management. Oxford (GB):
Blackwell hlm 181–196.
Linatoc AC. 1999. Ecology and Taxonomy of Mangifera sp. (Anacardiaceae) in
the 50 Ha Plot of Pasoh Forest Reserve, Negeri Sembilan, Peninsular
Malaysia [thesis]. Selangor (MY): University Putra Malaysia.
Litz RE. 2009. The Mango: Botany, Production and Uses. 2nd Edition.
Oxfordshire (GB): CABI.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and
Computing. New York (US): Wiley.
Mangoendidjojo W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Maryanto I, Achmadi AS, Sinaga MH. 2007. Nama Daerah Mamalia di Indonesia.
Jakarta (ID): LIPI Press.
Maryanto I, Achmadi AS, Kartono AP. 2008. Mamalia Dilindungi Perundang-
undangan Indonesia. Jakarta (ID): LIPI Press.
Medway L. 1978. The Wild Mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and
Singapore. Second Edition. Kuala Lumpur (MY): Oxford University Press.
Meijaard E, Sheil D, Nasi R, Augeri D, Rosenbaum B, Iskandar D, Setyawati T,
Lammertink M, Rachmatika I, Wong A, Soehartono T, Stanley S, Gunawan T,
O’Brien T. 2006. Hutan Pasca Pemanenan, Melindungi Satwaliar dalam
Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan. Bogor (ID): CIFOR.
Meryandini A, Widosari W, Maranatha B, Sunarti TC, Rachmania N, Satria H.
2009. Isolasi Bakteri Selulolitik dan Karakterisasi Enzimnya. Makara 13: 33-
38.
Mirmanto E, Muhidin A, Yosman. 2003. Penelitian Pendahuluan Tentang Pola
Percabangan dan Perakaran Hutan Rawa Gambut di Sebangau, Kalimantan
Tengah. Bogor (ID): Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Parnata AS. 2010. Meningkatkan Hasil Panen dengan Pupuk Organik. Jakarta
(ID): AgroMedia Pustaka.
Payne J, Francis CM, Phillipps K, Kartikasari SN. 2000. Panduan Lapangan
Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam. Jakarta
(ID): Prima Centra.
Poole RW. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. New York (US):
McGraw-Hill.
35
Rahayu S. 2005. SPSS Versi 12.00 dalam Riset Pemasaran. Bandung (ID):
Alfabeta.
Rasnovi S. 2006. Ekologi Regenerasi Tumbuhan Berkayu pada Sistem Agroforest
Karet [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Reksohadiprodjo S. 1988. Pakan Ternak Gembala. Yogyakarta (ID): BPFE.
Rinsema WT. 1993. Pupuk dan Pemupukan. Jakarta (ID): Bhatara Karya Aksara.
Rosmarkam A, Yuwono NW. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Rugayah R. 2004. Pengumpulan Data Taksonomi. Di dalam Rugayah R, Widjawa
EA, dan Praptiwi. Pedoman Penumpulan Data Keanekaragaman Flora.
Jakarta (ID): Pusat Penelitian Biologi LIPI.
Sarwono J. 2006. SPSS 14 Panduan Cepat dan Mudah. Yogyakarta (ID): Penerbit
Andi.
Sastrapradja S, Adisoemarto S, Boeadi, Munaf HB, Pranowo. 1982. Beberapa
Jenis Mamalia. Bogor (ID): Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Schwarzenberger F, Fredriksson G, Schaller K, Kolter L. 2004. Fecal steroid
analysis for monitoring reproduction in the sun bear (Helarctos malayanus).
Theriogenology 62: 1677-1692.
Servheen C. 1998. Sun Bear Conservation Action Plan. Di dalam: Servheen C,
Herrero S dan Peyton B, editor. Status Survey and Conservation Action Plan
Bears. Newbury (GB): The Nature Conservation Bureau hlm 219-224.
Shanahan MJ. 2000. Ficus Seed Dispersal Guilds: Ecology, Evolution and
Conservation Implications [dissertation]. Leeds (GB): University of Leeds.
Smith RL. 1977. Element of Ecology and Field Biology. New York (US): Harper
and Row.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID):
Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sudomo A. 2007. Pengaruh Jumlah Mata Tunas Terhadap Kemampuan Hidup
dan Pertumbuhan Setek Empat Jenis hibrid Murbei. Jurnal Pemulaiaan
Tanaman Hutan 1: 1-8.
Sunarjono H. 2008. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Cetakan 6. Bogor (ID):
Swadaya.
Timm NH. 2002. Applied Multivariate Analysis. New York (US): Springer-Verlag.
[TIIP] Tropenbos International Indonesia Programme. 2010a. Buku I Data dan
Informasi Dasar Penilaian Menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi
Semenanjung Kampar. Bogor (ID). Tidak dipublikasikan.
[TIIP] Tropenbos Internasional Indonesia Programme. 2010b. Buku III: Penilaian
Menyeluruh Nilai Konservasi Tinggi PT. RAPP Ring Semenanjung Kampar.
Tidak Dipublikasikan.
Triono T, Mansur M, Waluyo EB, Sidiyasa K, Yafid B, Kalima T, Marfuah,
Ismail, Arifin Z, Anggana. 2010. Evaluasi Kelimpahan Jenis, Populasi,
Habitat dan Status Regenerasi Beberapa Jenis Gonystylus Terpilih (Non
Gonystylus bancanus). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan.
Wahyudi T, Panggabean TR, Pujiyanto. 2006. Panduan Lengkap Kakao,
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Depok (ID): Swadaya.
36
Wee YC, Tsang KC, Chan M, Chan YM, Ng A. 2008. Oriental Pied Hornbill:
Two Recent Failed Nesting Attempts on Mainland Singapore. BirdingASIA 9:
72-77.
Winangun YW. 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era
Globalisasi. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Winarso S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah.
Yogyakarta (ID): Gava Media.
Wong ST. 2002. The Ecology of Malayan Sun Bears (Helarctos malayanus) in
the Lowland Tropical Rainforest of Sabah, Malaysian Borneo [thesis].
Montana (US): University of Montana.
Wong ST, Servheen CW, Ambu L. 2002. Food Habits of Malayan Sun Bears in
Lowland Tropical Forest of Borneo. Ursus 13: 127-136.
Wong ST, Servheen CW, Ambu L. 2004. Home range, movement and activity
patterns, and bedding sites of Malayan sun bears Helarctos malayanus in the
Rainforest of Borneo. Biological conservation 119 (2): 169-181.
Wong ST. 2013. Special Moments with Wan-Wan and Mamatai in the BSBCC
Forest Enclosure Part I. http://sunbears.wildlifedirect.org/category/mamatai-
2/ [diakses 29 Agustus 2013].
Yasuma S, Alikodra HS. 1990. Mammals of Bukit Soeharto Protection Forest.
Samarinda (ID): PUSREHUT Universitas Mulawarman.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1 Jenis pohon pakan beruang madu di Hutan Lindung Sungai Wain
No. Nama latin Suku Bagian yang dimakan
1. Aglaia sp. Meliaceae Buah
2. Alangium ridley Alangiaceae Buah
3. Artocarpus anisophyllus Moraceae Buah
4. Artocarpus dadah Moraceae Buah
5. Artocarpus integer Moraceae Buah
6. Artocarpus nitidus Moraceae Buah
7. Baccaurea bracteata Euphorbiaceae Buah
8. Baccaurea macrocarpa Euphorbiaceae Buah
9. Baccaurea sp. Euphorbiaceae Buah
10. Barringtonia sp. Lecythidaceae Bunga
11. Crypteronia sp. Crypteroniaceae Buah
12. Cryptocarya sp. Lauraceae Buah
13. Dacryodes rostrata Burseraceae Buah
14. Dacryodes rugosa Burseraceae Buah
15. Dehaasia sp. Lauraceae Buah
16. Dialium indum Caesalpiniaceae Buah
17. Diospyros sp.1 Ebenaceae Buah
18. Diospyros sp.2 Ebenaceae Buah
19. Diospyros sp.3 Ebenaceae Buah
20. Durio dulcis Bombacaceae Buah
21. Durio graveolens Bombacaceae Buah
22. Durio lanceolata Bombacaceae Buah
23. Durio oxleyanus Bombacaceae Buah
24. Dysoxylum sp. Meliaceae Buah
25. Eugenia polyanthe Myrtaceae Buah
26. Ficus benjamina Moraceae Buah
27. Ficus lowii Moraceae Buah
28. Ficus sp.1 Moraceae Buah
29. Ficus sp.2 Moraceae Buah
30. Ficus sp.3 Moraceae Buah
31. Ficus sp.4 Moraceae Buah
32. Ficus sp.5 Moraceae Buah
33. Ficus sp.6 Moraceae Buah
34. Garcinia mangostana Guttiferae Buah
35. Garcinia parvifolia Guttiferae Buah
36. Garcinia sp. Guttiferae Buah
37. Horsfieldia sp. Myristicaceae Buah
38. Ilex sp. Aquifoliaceae Buah
39. Knema laterica Myristicaceae Buah
40. Knema sp. Myristicaceae Buah
41. Lansium domesticum Meliaceae Buah
42. Lithocarpus gracilis Fagaceae Buah
43. Lithocarpus sp. Fagaceae Buah
44. Litsea angulata Lauraceae Buah
45. Litsea sp.1 Lauraceae Buah
39
Lampiran 1 Lanjutan
No. Nama latin Suku Bagian yang dimakan
46. Litsea sp.2 Lauraceae Buah
47. Madhuca kingiana Sapotaceae Buah
48. Magnolia sp.1 Magnoliaceae Buah
49. Magnolia sp.2 Magnoliaceae Buah
50. Mangifera caesia Anacardiaceae Buah
51. Magifera foetida Anacardiaceae Buah
51. Mangifera torquenda Anacardiaceae Buah
53. Mangifera sp. Anacardiaceae Buah
54. Microcos sp. Tiliaceae Buah
55. Monocarpia kalimantanensis Annonaceae Buah
56. Nephelium sp. Sapindaceae Buah
57. Palaquium sp. Sapotaceae Buah
58. Polyalthia sp.1 Annonaceae Buah
59. Polyalthia sp.2 Annonaceae Buah
60. Pternandra sp. Melastomataceae Buah
61. Quercus argentata Fagaceae Buah
62. Quercus sp. Fagaceae Buah
63. Santiria oblongifolia Burseraceae Buah
64. Santiria tomentosa Burseraceae Buah
65. Syzigium tawahense Myrtaceae Buah
66. Syzigium sp.1 Myrtaceae Buah
67. Syzigium sp.2 Myrtaceae Buah
68. Syzigium sp.3 Myrtaceae Buah
69. Tetramerista glabra Tetrameristaceae Buah
70. Walsura sp. Meliaceae Buah
71. Xerospermum norhonianum Sapindaceae Buah
72. Xerospermum sp. Sapindaceae Buah
Sumber: Fredriksson et al. (2006a).
40
Lampiran 2 Daftar jenis tumbuhan di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti
No. Nama lokal Nama latin Suku
1. Ara Ficus stricta (Miq.)Miq. Moraceae
2. Arang-arang Diospyros maingayi (Hiern.) Bakh. Ebenaceae
3. Asam-asam Antidesma coriaceum Tul. Euphorbiaceae
4. Balang-balang Syzygium rostratum DC. Myrtaceae
5. Basung-basung Alstonia pneumatophora Backer ex den Berger Apocynaceae
6. Bengku Madhuca motleyana (de Vriese) J.F.Macbr Sapotaceae
7. Bintangur Calophyllum pulcherrimum Wall. Clusiaceae
8. Cemetik Garcinia sp. Clusiaceae
9. Darah-darah Knema cinerea Warb. Myristicaceae
10. Duku-duku Sandoricum koetjape (Burm. f.) Merr. Meliaceae
11. Durian hutan Durio carinatus Mast. Bombacaceae
12. Garam-garam Stemonurus scorpioides Becc. Icacinaceae
13. Geronggang Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume Hypericaceae
14. Idan Xerospermum noronhianum Blume Sapindaceae
15. Jambu-jambu Syzygium claviflorum Roxb. Myrtaceae
16. Jangkang Xylopia altissima Boerl. Annonaceae
17. Kandis Garcinia parvifolia Clusiaceae
18. Katur Dryobalanops sp1. Dipterocarpaceae
19. Kedondong hutan Dacryodes rostrata (Blume) H.J.Lam Burseraceae
20. Kelakap Melanarrhoea sp. Anacardiaceae
21. Kelat kelam Syzygium sp.1 Myrtaceae
22. Kelat merah Acmena acuminatissima (Blume) Merr. &
L.M.Perry Myrtaceae
23. Kelat putih Syzygium inophyllum DC. Myrtaceae
24. Kelumpang Magnolia elegans (Blume) Keng Magnoliaceae
25. Kempas Koompassia malaccensis Benth Caesalpiniaceae
26. Keranji Dialium maingayi Baker Caesalpiniaceae
27. Kopi-kopi Timonius flavescens (Jacq.) Baker Rubiaceae
28. Lalan Canarium sp. Burseraceae
29. Mahang Macaranga semiglobasa J.J. Sm. Euphorbiaceae
30. Malas Parastemon urophyllus (A.DC. ex Wall.) A.DC. Chrysobalanaceae
31. Manggis hutan Garcinia bancana Miq. Clusiaceae
32. Marpoyan Rhodamnia cinerea Jack. Myrtaceae
33. Medang keladi Litsea lanceolata (Blume) Koesterm. Lauraceae
34. Medang lundu Litsea oppositifolia Gibbs. Lauraceae
35. Mempening Quercus sp. Fagaceae
36. Meranti bakau Shorea rugosa Heim Dipterocarpaceae
37. Meranti bunga Shorea teysmanniana Dyer ex Brandis Dipterocarpaceae
38. Mersawa Anisoptera curtisii Dyer ex King Dipterocarpaceae
39. Mesio Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae
40. Nangka hutan Artocarpus rigidus Blume Moraceae
41. Nasi-nasi Artocarpus rigidus Blume Moraceae
42. Pakam Syzygium zeylanicum (L.) DC. Myrtaceae
43. Parak Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser Rhizophoraceae
44. Pasak linggo Aglaia rubiginosa (Hiern) Pannell Meliaceae
41
Lampiran 2 Lanjutan
No. Nama lokal Nama latin Suku
45. Pasir-pasir Cotylelobium melanoxylon (Hook.f.) Pierre Dipterocarpaceae
46. Pelawan Tristaniopsis merguensis (Griff.) Wilson &
Waterhouse Myrtaceae
47. Petai hutan Archidendron clypearia (Jack)I.C.Nielsen Fabaceae
48. Piandang Quassia borneensis Noot. Simarubaceae
49. Pisang-pisang Goniothalamus tapis Miq. Annonaceae
50. Pulai Alstonia angustiloba Miq. Apocynaceae
51. Punak Tetramerista glabra Miq. Theaceae
52. Rambai hutan Baccaurea bracteata Muell.Arg. Euphorbiaceae
53. Ramin Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz Thymelaeaceae
54. Rengas Gluta renghas L. Anacardiaceae
55. Resak Vatica rassak (Korth.) Blume Dipterocarpaceae
56. Salakeo Mangifera griffithii Hook.f. Anacardiaceae
57. Samak Syzygium sp.2 Myrtaceae
58. Selumar Jackiopsis ornata (Wall.) Ridsdale Rubiaceae
59. Semaram Palaquium sumatranum Burck Sapotaceae
60. Seminai Palaquium ridleyi K. & G. Sapotaceae
61. Senduk-senduk Endospermum diadenum (Miq.) Airy Shaw Euphorbiaceae
62. Simpoh Dillenia reticulata King Dilleniaceae
63. Sonde Payena leerii (Teijsm. & Binn.) Kurz Sapotaceae
64. Suntai Palaquium burckii H.J.Lam Sapotaceae
65. Tempurung bintang Blumeodendron tokbrai (Blume) Kurz Euphorbiaceae
66. Tenggek burung Euodia lunuankenda (Gaertn.) Merr. Rutaceae
67. Terap Artocarpus elasticus Reinw Moraceae
68. Terentang Camnosperma coriaceum (Jack.) Hall. F.
Ex Steen Anacardiaceae
69. Terpis Polyalthia hypoleuca Hook.f. & Thomson Annonaceae
70. Trenggayun Parartocarpus sp1. Moraceae
42
Lampiran 3 Hasil perhitungan rasio ragam dan nilai tengah jenis tumbuhan pakan
beruang madu di Areal Konservasi PT. RAPP Estate Meranti
No. Nama lokal Ragam (S2) Nilai tengah (X) Pola sebaran*
1. Ara 0.074 0.058 Mengelompok
2. Arang-arang 4.172 1.188 Mengelompok
3. Balang-balang 0.087 0.072 Mengelompok
4. Bengku 6.200 1.678 Mengelompok
5. Cemetik 0.064 0.058 Mengelompok
6. Darah-darah 1.166 0.611 Mengelompok
7. Durian hutan 0.108 0.087 Mengelompok
8. Idan 3.810 0.375 Mengelompok
9. Jambu-jambu 0.765 0.192 Mengelompok
10. Kandis 0.440 0.154 Mengelompok
11. Kedondong hutan 1.124 0.418 Mengelompok
12. Kelat kelam 0.071 0.034 Mengelompok
13. Kelat merah 9.275 1.779 Mengelompok
14. Kelat putih 10.298 2.462 Mengelompok
15. Kelumpang 0.024 0.014 Mengelompok
16. Keranji 0.116 0.053 Mengelompok
17. Manggis hutan 0.589 0.303 Mengelompok
18. Medang keladi 1.884 0.505 Mengelompok
19. Medang lundu 0.667 0.332 Mengelompok
20. Mempening 0.019 0.010 Mengelompok
21. Mesio 3.492 1.375 Mengelompok
22. Nangka hutan 0.929 0.192 Mengelompok
23. Nasi-nasi 1.237 0.404 Mengelompok
24. Parak 0.221 0.144 Mengelompok
25. Punak 0.654 0.236 Mengelompok
26. Salakeo 1.213 0.620 Mengelompok
27. Samak 0.155 0.063 Mengelompok
28. Semaram 0.042 0.034 Mengelompok
29. Seminai 0.245 0.212 Mengelompok
30. Simpoh 0.155 0.063 Mengelompok
31. Suntai 1.200 0.226 Mengelompok
32. Terap 0.076 0.038 Mengelompok
33. Terentang 1.142 0.602 Mengelompok
34. Terpis 0.311 0.178 Mengelompok
*Kriteria pola sebaran: S2= X , maka sebarannya acak; S
2< X , maka sebarannya seragam;
S2 > X , maka sebarannya berkelompok.
43
Lampiran 4 Hasil uji korelasi setiap jenis pohon pakan beruang madu dengan
komponen habitat
Jenis Correlations
pH tanah Ketebalan gambut Intensitas cahaya
Ara Pearson
Correlation 0.078 -0.058 0.242**
Sig. (1- tailed) 0.117 0.189 0.000
N 234 234 234
Arang-arang Pearson
Correlation 0.080 -0.131* -0.049
Sig. (1-tailed) 0.111 0.022 0.230
N 234 234 234
Balang-balang Pearson
Correlation -0.028 -0.117* -0.032
Sig. (1-tailed) 0.336 0.037 0.315
N 234 234 234
Bengku Pearson
Correlation -0.127* -0.034 -0.089
Sig. (1-tailed) 0.026 0.301 0.088
N 234 234 234
Cemetik Pearson
Correlation 0.019 0.033 -0.024
Sig. (1-tailed) 0.385 0.309 0.358
N 234 234 234
Darah-darah Pearson
Correlation -0.001 0.171** -0.032
Sig. (1-tailed) 0.493 0.004 0.313
N 234 234 234
Durian hutan Pearson
Correlation 0.046 -0.113* -0.054
Sig. (1-tailed) 0.240 0.042 0.207
N 234 234 234
Idan Pearson
Correlation 0.043 0.088 0.060
Sig. (1-tailed) 0.258 0.089 0.180
N 234 234 234
Jambu-jambu Pearson
Correlation 0.167** 0.100 -0.020
Sig. (1-tailed) 0.005 0.064 0.378
N 234 234 234
Kandis Pearson
Correlation 0.100 0.073 -0.003
Sig. (1-tailed) 0.064 0.135 0.483
N 234 234 234
Kedondong
hutan
Pearson
Correlation 0.093 -0.052 0.121*
Sig. (1-tailed) 0.079 0.215 0.033
N 234 234 234
Kelat kelam Pearson
Correlation -0.140* -0.030 -0.052
Sig. (1-tailed) 0.016 0.325 0.216
N 234 234 234
44
Lampiran 4 Lanjutan
Jenis Correlations
pH tanah Ketebalan gambut Intensitas cahaya
Kelat putih Pearson
Correlation 0.015 0.062 -0.031
Sig. (1-tailed) 0.411 0.172 0.320
N 234 234 234
Kelumpang
Pearson
Correlation 0.042 0.043 0.052
Sig. (1-tailed) 0.260 0.256 0.215
N 234 234 234
Keranji
Pearson
Correlation 0.101 -0.248** -0.062
Sig. (1-tailed) 0.061 0.000 0.174
N 234 234 234
Manggis hutan
Pearson
Correlation 0.067 0.022 0.015
Sig. (1-tailed) 0.152 0.370 0.411
N 234 234 234
Medang keladi
Pearson
Correlation 0.139* -0.045 0.037
Sig. (1-tailed) 0.017 0.246 0.286
N 234 234 234
Medang lundu
Pearson
Correlation 0.007 0.120* -0.020
Sig. (1-tailed) 0.460 0.033 0.381
N 234 234 234
Mempening
Pearson
Correlation 0.086 0.065 -0.008
Sig. (1-tailed) 0.094 0.162 0.450
N 234 234 234
Mesio
Pearson
Correlation 0.028 0.168** -0.018
Sig. (1-tailed) 0.335 0.005 0.392
N 234 234 234
Nangka hutan
Pearson
Correlation -0.035 -0.184** -0.031
Sig. (1-tailed) 0.300 0.002 0.319
N 234 234 234
Nasi-nasi
Pearson
Correlation 0.053 -0.036 0.026
Sig. (1-tailed) 0.210 0.292 0.346
N 234 234 234
Parak
Pearson
Correlation -0.055 -0.001 -0.005
Sig. (1-tailed) 0.200 0.493 0.471
N 234 234 234
Punak
Pearson
Correlation 0.027 0.085 -0.095
Sig. (1-tailed) 0.340 0.098 0.074
N 234 234 234
Salakeo
Pearson
Correlation 0.162** 0.217** -0.064
Sig. (1-tailed) 0.007 0.000 0.166
N 234 234 234
45
Lampiran 4 Lanjutan
Jenis Correlations
pH tanah Ketebalan gambut Intensitas cahaya
Samak
Pearson
Correlation 0.086 0.065 -0.021
Sig. (1-tailed) 0.094 0.162 0.373
N 234 234 234
Semaram
Pearson
Correlation 0.027 0.104 0.103
Sig. (1-tailed) 0.338 0.057 0.059
N 234 234 234
Seminai
Pearson
Correlation 0.003 -0.081 -0.063
Sig. (1-tailed) 0.481 0.110 0.167
N 234 234 234
Simpoh
Pearson
Correlation 0.042 -0.104 -0.037
Sig. (1-tailed) 0.260 0.057 0.287
N 234 234 234
Suntai
Pearson
Correlation 0.024 0.280** -0.072
Sig. (1-tailed) 0.359 0.000 0.135
N 234 234 234
Terap
Pearson
Correlation 0.164** 0.071 -0.014
Sig. (1-tailed) 0.006 0.140 0.416
N 234 234 234
Terentang
Pearson
Correlation -0.115 -0.200** 0.111
Sig. (1-tailed) 0.039 0.001 0.045
N 234 234 234
Terpis
Pearson
Correlation -0.100 -0.083 0.051
Sig. (1-tailed) 0.064 0.104 0.219
N 234 234 234
*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
46
Lampiran 5 Hasil perhitungan analisis faktor
KMO and Bartlett's Testa
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .500
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 4.825
df 1
Sig. .028
a. Based on correlations
Anti-image Matrices
pH_tanah
ketebalan_gamb
ut
Anti-image Covariance pH_tanah .979 -.141
ketebalan_gambut -.141 .979
Anti-image Correlation pH_tanah .500a -.144
ketebalan_gambut -.144 .500a
a. Measures of Sampling Adequacy(MSA)
Communalities
Raw Rescaled
Initial Extraction Initial Extraction
pH_tanah .003 6.047E-5 1.000 .021
ketebalan_gambut .301 .301 1.000 1.000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
47
Lampiran 5 Lanjutan
Total Variance Explained
Component
Initial Eigenvaluesa Extraction Sums of Squared Loadings
Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %
Raw 1 .301 99.073 99.073 .301 99.073 99.073
2 .003 .927 100.000
Rescaled 1 .301 99.073 99.073 1.021 51.051 51.051
2 .003 .927 100.000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
a. When analyzing a covariance matrix, the initial eigenvalues are the same across the raw and rescaled
solution.
Component Matrixa
Raw Rescaled
Component Component
1 1
ketebalan_gambut .549 1.000
pH_tanah .008 .145
Extraction Method: Principal Component Analysis.
a. 1 components extracted.
Component Score Coefficient Matrixa
Component
1
pH_tanah .001
ketebalan_gambut 1.000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.
a. Coefficients are standardized.
48
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Jakarta pada tanggal 4 April 1987. Penulis
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Tubagus M. Arief, SE
dan Tuti Khairani, SE. Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan program
mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB
pada tahun ajaran 2005 dan menamatkannya pada tahun 2010. Penulis
melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Konservasi Biodiversitas
Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010. Sebuah
artikel dengan judul Keanekaragaman Jenis Pohon Pakan Beruang Madu di Areal
Konservasi PT. RAPP Estate Meranti akan diterbitkan pada jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam pada tahun 2014.