Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber Pendapatan Asli Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam penyelenggaran pemerintah daerahan daerah, faktor keuangan daerah sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sehingga di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerahan Daerah membagi urusan pemerintah daerah menjadi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan dasar sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintah daerah yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Adapun yang menjadi urusan wajib daerah yakni [footnoteRef:1]: [1: Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah daerah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Yogyakarta : Polgov Fisipol UGM, 2012), hal. 131.]

1. Pendidikan.2. Kesehatan.3. Lingkungan hidup.4. Pekerjaan umum.5. Penataan ruang.6. Perencanaan pembangunan.7. Perumahan.8. Kepemudaan dan olah raga.9. Penanaman modal.10. Koperasi dan usaha kecil dan menengah.11. Kependudukan dan catatan sipil.12. Ketenagakerjaan.13. Ketahanan pangan.14. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.15. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera.16. Perhubungan.17. Komunikasi dan informatika.18. Pertahanan.19. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri.20. Otonomi daerah, pemerintah daerahan umum, administasi umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian.21. Pemberdayaan masyarakat dan desa.22. Sosial.23. Kebudayaan.24. Statistik.25. Kearsipan.26. Perpustakan.

Sedangkan yang menjadi urusan pilihan daerah adalah :1. Kelautan dan perikanan.2. Pertanian.3. Kehutanan.4. Energi dan sumber daya mineral.5. Pariwisata.6. Industri.7. Perdagangan.8. Ketransmigrasian.

Keberadaan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam memainkan atau menjalankan urusan-urusannya baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan-urusannya tersebut apabila didukung oleh kemampuan pembiayaan yang dijabarkan dalam anggaran.[footnoteRef:2] Pemerintah daerah tidak hanya mengandalkan pemberian dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), namun pemerintah daerah juga harus mampu menggali potensi-potensi yang ada di daerahnya. Menurut Pasal 157 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, diatur mengenai sumber-sumber pendapatan daerah yakni : [2: Rahardjo Adisasmita, Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), hal. 15.]

1. Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari :a. Hasil pajak daerah.b. Hasil retribusi daerah.c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.2. Dana perimbangan.3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah daerah Pusat dan Pemerintah daerah, diatur juga sumber pendapatan daerah yang mana sumber-sumbernya sejalan dengan undang-undang Pemda. Tidak dapat dipungkiri bahwa PAD merupakan salah satu sumber keuangan penting daerah, atau dengan kata lain menempati posisi paling strategis bila dibandingkan dengan sumber keuangan daerah lainnya. Alasan PAD dikatakan mempunyai posisi yang strategis sebab sumber keuangan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah inilah yang dapat membuat daerah mempunyai kebebasan untuk memaksimalkan menggali potensi daerahnya masing-masing.9Peran PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan harus ditingkatkan seoptimal mungkin dalam rangka mewujudkan semangat kemandirian lokal. Mandiri diartikan sebagai semangat dan tekad yang kuat untuk membangun daerahnya sendiri dengan tidak semata-mata menggantungkan pada fasilitas atau faktor yang berasal dari luar.Pengaruh dari faktor keuangan dapat mencerminkan kualitas keberadaan dari suatu pemerintah daerahan dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya10. Apabila keberadaan keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah daerah dalam menjalankan keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintah daerah dalam melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan bertambah stabil.11 Sebaliknya, suatu pemerintah daerahan dipandang akan menghadapi berbagai problema pelik dalam mempelancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi keuangan yang baik pula.Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi pemerintah daerah, maka segala daya upaya akan dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menciptakan dan memanfaatkan segenap sumber keuangan yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran kegiatan pemerintah daerahan dan pembangunan.Berbagai cara dilakukan pemerintah daerah dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerahnya agar dapat melaksanakan otonomi. Pemerintah daerah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tujuan dari undang-undang ini yakni memberikan kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah sehingga dapat mendorong Pemerintah daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Selain itu juga, di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerahan Daerah sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang RI No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah daerahan Derah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah daerah Pusat dan Pemerintah daerah memberikan kesempatan atau peluang kepada Pemerintah daerah guna meningkatkan penerimaan daerahnya, karena sudah terdapat payung pelaksananya.Namun, sekarang yang menjadi suatu persoalan adalah mengenai kemampuan daerah otonom untuk mengali kemampuan potensi di daerahnya tanpa bergantung sepenuhnya terhadap keuangan yang bersumber dari Pemerintah daerah Pusat. Kemampuan setiap daerah untuk dapat mencukupi semua pengeluarannya dapat dilihat dari besarnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pengeluaran daerah. Semakin tinggi presentase PAD dibanding pengeluaran daerah ini berarti kemampuan daerah untuk mencukupi kebutuhannya semakin besar atau dapat dikatakan daerah yang bersangkutan semakin mandiri. Sebaliknya jika PAD yang digunakan untuk pembiayaan pengeluaran daerah presentasenya kecil dibandingkan total pengeluaran daerah, maka dapat dikatakan bahwa daerah yang bersangkutan kemampuan untuk membiayai pengeluarannya dari PAD nya masih kecil atau dengan kata lain daerah yang bersangkutan tergantung pada Pemerintah daerah Pusat dalam membiayai pengeluaran daerahnya.Meskipun tingkat ketergantungan keuangan daerah otonom terhadap pemerintah daerah pusat masih sangat tinggi, namun diharapkan kepada setiap daerah otonom untuk mengidentifikasi seluruh potensi sumber-sumber PAD yang dimiliki untuk ditingkatkan secara intensif dan ekstensif disamping peningkatan pengelolaan sumberdaya alam di daerah sebagai hasil pelaksanaan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Meningkatnya penerimaan daerah tersebut akan meningkatkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).Kemandirian suatu daerah tersebut dapat terlaksana apabila pemerintah daerah menggunakan kewenangannya. Kewenangan yang begitu luas tentu akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannya. Kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintah daerahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama.Pemerintah daerah yang terdiri dari gubernur/bupati/walikota beserta perangkat daerah merupakan pihak-pihak yang menjalankan kewenangan daerahnya. Di dalam menjalankan kewenangannya seorang kepala daerah memiliki tugas dan wewenang serta kewajiban, adapun yang menjadi tugas dan wewenang kepala daerah yakni:[footnoteRef:3] [3: Pasal 25 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerahan Daerah]

1. Memimpin penyelenggaran pemerintah daerahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.2. Mengajukan rancangan Perda.3. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.5. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.6. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.7. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang menjadi kewajiban kepala daerah adalah sebagai berikut:1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.3. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.4. Melaksanakan kehidupan demokrasi.5. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.6. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah daerahan daerah.7. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.8. Melaksanakan prinsip tata pemerintah daerahan yang bersih dan baik.9. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.10. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah.11. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintah daerahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :1. Bagaimanakah pengaturan sumber-sumber keuangan daerah secara umum dalam kerangka otonomi daerah ?2. Bagaimanakah kebijakan dan implementasi kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah daerah dalam menggali potensi PAD ?3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah daerah dalam menggali potensi PAD ?

C. Tujuan PenelitianAdapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yakni :1. Untuk mengetahui pengaturan sumber-sumber keuangan daerah secara umum dalam kerangka otonomi daerah.2. Untuk mengetahui kebijakan dan implementasi kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah daerah dalam menggali potensi PAD.3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah daerah dalam menggali PAD.

BAB IIPENGATURAN SUMBER-SUMBER KEUANGAN DAERAH DALAMKERANGKA OTONOMI DAERAH

A. Defenisi Hukum Keuangan daerahSebelum membahas defenisi hukum keuangan daerah maka terlebih dahulu diketahui tentang pengertian keuangan daerah. Defenisi keuangan daerah dapat ditinjau dari beberapa sisi yaitu :[footnoteRef:4] [4: Hendra Karianga, Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, (Bandung : Alumni, 2011), hal. 37]

1. Dari sisi objek, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka APBD. Pengertian ini sejalan dengan penjelasan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Pemerintah daerahan Daerah yang berbunyi sebagai berikut : Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.2. Dari sisi subjek, keuangan daerah adalah mereka yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah dalam hal ini pemerintah daerah dan perangkatnya, perusahaan daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan daerah, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).3. Dari sisi proses, keuangan daerah adalah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek mulai dari perumusan kebijakan sampai dengan pertanggungjawaban.4. Dari sisi tujuan, keuangan daerah adalah keseluruhan kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerahan daerah.

Dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan keuangan daerah di atas pada dasarnya berada pada satu kegiatan yang disebut dengan pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Dalam menjalankan pengelolaan tersebut dikenal adanya kekuasaan pengelola. Pemegang kekuasaan mengelola keuangan di daerah adalah gubernur/bupati atau walikota selaku kepala pemerintah daerahan daerah. Pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut dilaksanakan oleh dua komponen yaitu Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola APBN dan Kepala SKPD selaku Pejabat Anggaran/Barang Negara.Penjabaran pengertian dari keuangan daerah tidak jauh berbeda dengan defenisi hukum keuangan daerah. Hukum keuangan daerah merupakan hukum yang mengatur masalah-masalah keuangan daerah atau dengan kata lain hukum keuangan daerah adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan penyelenggaraan keuangan daerah yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan pemerintah daerahan yang lain. Dari rumusan pengertian diatas, berarti pengaturan di bidang keuangan daerah akan menyangkut yang antara lain adalah[footnoteRef:5]: [5: Muhamad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keuangan Daerah, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal.12.]

1. Dasar- dasar keuangan daerah menyangkut kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, asas-asas pengelolaan keuangan daerah seperti norma efisiensi, keefektifan, akuntabilitas, profesionalisme pelaksana keuangan daerah, maksud dan tujuan dari penyelenggaraan keuangan daerah, serta yang berkaitan dengan perbendaharaan.2. Kedudukan hukum pejabat keuangan daerah seperti kaidah-kaidah mengenai bendahara umum daerah, pengguna anggaran dan kuasa pengguna anggaran ataupun pihak yang terafiliasi dalam kegaiatan keuangan daerah juga mengenai bentuk badan pelayanan umum, perusahaan daerah, pengelolaan barang daerah dan barang daerah yang dipisahkan serta mengenai kepemilikannya.3. Kaidah-kaidah keuangan daerah yang secara khusus memperhatikan kepentingan umum, seperti kaidah-kaidah yang mencegah persaingan yang tidak wajar dalam penyediaan dan pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah daerah, keadilan anggaran untuk masyarakat untuk memerhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur pemerataan pembangunan dalam penganggaran, dan lainnya.4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi yang mendukung kebijakan keuangan daerah, seperti DPRD, BPK, serta hubungan keuangan antara pemerintah daerah pusat, pemerintah daerah, perusahaan daerah dan juga pihak lainnya.5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan penyelenggaraan keuangan daerah yang berupa dasar-dasar untuk perwujudan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya melalui penetapan sanksi, insentif, dan sebagainya, misalnya pertanggungjawaban pelaksanaan keuangan daerah, pengenaan sanksi pidana, sanksi administrasi dan ganti rugi.

Dengan demikian hukum keuangan daerah yang merupakan satu sistem akan mengandung pengertian-pengertian dasar berupa orientasi pada tujuan, berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yakni hukum pemerintah daerahan, hukum tata negara, hukum keuangan negara, atau hukum secara keseluruhan.

B. Pengaturan Sumber-Sumber Keuangan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah 1. Undang-Undang Tentang Pemerintah daerahan DaerahDengan adanya Undang-Undang Dasar, maka Negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum sehingga tidak berdasar atas kekuasaan semata. Pemerintah daerah yang berdasarkan sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme sehingga kebijaksanaan Pemerintah daerah Pusat untuk menyerahkan sebagian urusan-urusannya untuk menjadi kewenangan daerah, garis-garis besarnya diserahkan melalui peraturan-peraturan perundang-undangan.73 Sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945 di bidang ketatanegaraan, pemerintah daerah Republik Indonesia melaksanakan pembagian daerah-daerah dengan bentuk susunan pemerintah daerahannya ditetapkan dengan Undang-Undang Pemerintah daerahan Daerah.Oleh karena itu, sejak proklamasi kemerdekaan dapat dilihat bahwa pemerintah daerah beberapa kali membentuk undang-undang tentang pemerintah daerahan daerah. Perubahan-perubahan terlihat karena masing-masing undang-undang menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Terdapat beberapa Undang-Undang Pemerintah daerahan Daerah setelah kemerdekaan yakni[footnoteRef:6]: [6: Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara-Suatu Kajian Kritis Tentang Kelembagaan Negara, (Jakarta : Permata Aksara, 2012) hal. 157.]

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah daerahan di Daerah berlaku mulai tanggal 23 Juli 1974, undang-undang ini dinamakan pokok-pokok pemerintah daerahan di daerah sebab dalam undang-undang ini diatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintah daerahan yang menjadi tugas pemerintah daerahan berdasarkan atas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan di daerah. Dasar hukum otonomi ini ialah Pasal 18 UUD 1945 dengan rujukan Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966 yang di dalamnya ditetapkan bahwa pemerintah daerahan otonomi adalah seluas-luasnya kepada daerah. Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah berdasarkan pengalaman dapat menimbulkan kecenderungan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan RI, dengan demikian pemberian otonomi kepada daerah didasarkan kepada otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Dikatakan nyata dalam arti pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitunga-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin derah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan dikatakan bertanggung jawab dalam artian bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara dan serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah daerah pusat dan daerah, serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Pada masa berlakunya undang-undang ini, demokrasi tidak berkembang bahkan pemerintah daerah sering mencurigai aktifitas masyarakat. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, Pemerintah daerahan daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerahan Daerah, berdasarkan undang-undang ini daerah diberi kesempatan luas untuk mengatur daerahnya dengan ditopang pendanaan yang lebih memadai. Melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 terdapat prinspi-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah.e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonomi, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah daerah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah ekonomi.f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerahan daerah.g. Pelaksanaan asas dekonsentralisasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah daerah tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah daerah.h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah daerah kepala daerah tetapi juga dari pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjwabkan kepada yang menugaskannya.3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerahan Daerah,kebutuhan untuk menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dalam rangka perbaikan dan pembenahan pengaturan di bidang pemerintah daerahan derah merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan, baik itu kebutuhan rekonstruksi hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah, kebutuhan esensi pengawasan, demokrasi dan otonomi daerah, kebutuhan efesiensi anggaran, politik, struktur hubungan antar tingkat pemerintah daerahan, pusat, propinsi dan kabupaten dan kota maupun kebutuhan penyesuaian terhadap prinsip dan sistem pemerintah daerahan presidensil yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen maka atas kebutuhan-kebutuhan tersebut pada tanggal 15 Oktober 2004 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, berdasarkan undang-undang ini ditegaskan bahwa pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah daerahan memiliki hubungan dengan pemerintah daerah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan urantar susunan pemerintah daerahan. Penegasan ini merupakan koreksi terhadap pengaturan sebelumnya di dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Akibat pengaturan yang demikian kepala daerah kabupaten/kota menanggap gubernur bukanlah atasan mereka sehingga jika akan berhubungan dengan pemerintah daerah pusat, pemerintah daerah kabupaten/kota tidak perlu berkoordinasi dengan gubernur tetapi langsung ke pusat. Akhirnya kewenangan gubernur menjadi tidak ada, hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan kedudukan gubernur pada masa Undang-Undang No.5 Tahun 1974.

Perbedaan antara Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerahan Daerah adalah : 1. Tidak dikenal Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II namun yang dikenal adalah Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota.2. Penekanan titik berat otonomi ada pada daerah kabupaten dan daerah kota dari kombinasi dekonsentrasi dan desentralisasi menjadi desentralisasi.3. Dilihat dari struktur kelembagaan atas pembagian tugas dan tanggungjwab yang tadinya menyatu antara kepala daerah dan DPRD dalam struktur pemerintah daerahan kini kedua lembaga itu terpisah.4. Sistem penyelenggaraan pemerintah daerahan, pengelolaan pembangunan, pelayanan masyarakat yang tadinya cenderung seragam kini lebih heterogen sesuai daerah masing-masing dan adat istiadat daerah.5. Kecenderungan konsentrasi kekuasaan dan yang bersifat sentral menjadi sentrifugal yaitu adanya pemencaraan kekuasaan atau kewenangan.6. Pertanggungjawaban pemerintah daerah atau kepala daerah kepada DPRD yang tadinya formalitas kini bersifat menentukan.7. Kemampuan keuangan daerah termasuk kewenangan memantapkan pendapatan daerah kini menjadi lebih besar bagi daerah yang bersangkutan sehingga dengan pendapatan asli daerah yang besar daerah provinsi, kabupaten/kota yang satu akan lebih makmur dari provinsi, kabupaten/kota yang lain.8. Untuk menciptakan koordinasi antara Gubernur dengan Bupati/Walikota maka dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dipertegas agar Bupati/Walikota memperhatikan dan mendengarkan instruksi Gubernur demi kebaikan bersama.9. Peraturan daerah yang dibentuk harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah daerah pusat (Kementrian Dalam Negeri)

Berkaitan dengan keuangan daerah maka pemerintah daerah memiliki beberapa kewenangan dalam mengurus keuangan daerahnya sendiri sebab pemerintah daerah dalam hal ini gubernur/bupati/walikota selaku kepala daerah telah ditunjuk untuk mengelola keuangan daerahnya dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah yakni gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah daerah. Dengan, demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintah daerahan daerah yakni Undang-Undang tentang Pemerintah daerahan Daerah.Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerahan Daerah, perihal keuangan daerah diatur dalam BAB VIII tentang Keuangan Daerah, yangmana terdiri atas 11 paragraf dan 40 puluh pasal. Adapun kesebelas paragraf tersebut yakni : a. Paragraf Kesatu tentang umum.b. Paragraf Kedua tentang Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan.c. Paragraf Ketiga tentang Surplus dan Defisit APBD.d. Paragraf Keempat tentang Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi.e. Paragraf Kelima tentang BUMD.f. Paragraf Keenam tentang Pengelolaan Barang Daerah.g. Paragraf Ketujuh tentang APBD.h. Paragraf Kedelapan tentang Perubahan APBD.i. Paragraf Kesembilan tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. j. Paragraf Kesepuluh tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD, dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. k. Paragraf Kesebelas tentang Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah.

Pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa mekanisme yang telah ditetapkan bertujuan agar pengaturan tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal terutama dalam menggali potensi PAD.2. Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi DaerahBerdasarkan Pasal 21 huruf (e) dan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerahan Daerah, Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, hal ini mengharuskan dibentuknya undang-undang yang mengatur secara khusus tentang pajak daerah dan retribusi daerah yang digunakan sebagai dasar hukum dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.Berbagai pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah dimulai sejak diundangkannya Undang-Undang No. 11 Drt. Tahun 1975 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang No. 12 Drt. Tahun 1957 tentang Retribusi Daerah, namun kedua undang-undang darurat ini diganti, hal ini dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini atau dengan artian lain pemerintah daerah menginginkan suatu landasan atau pedoman yang kuat dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah sehingga dapat mencakup pengertian pemungutan pajak dalam arti luas dimulai pendataan, pengenaan, pembayaran, pemungutan, penagihan dan sanksi pelaksanaan pajak daerah dan retribusi daerah.Dalam pelaksanaan terdahulu UU Darurat (Drt) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah banyak mempunyai kelemahan dalam berbagai hal sehingga banyak tumpang tindih baik dalam sistem maupun teknis pengenaan dan pemungutannya. UU Drt tentang Pajak Daerah menyebabkan daerah berpeluang untuk memungut banyak jenis pajak, yang antaranya adalah pengutipan biaya administrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya tidak memadai, disamping itu juga terdapat beberapa jenis pajak yang tidak memadai untuk dipungut daerah karena tumpang tindih dengan pajak lain dalam arti terdapat pajak lain untuk jenis objek yang sama, menghambat efisiensi alokasi sumber ekonomi, bersifat tidak adil, atau tidak benar-benar bersifat pajak, tetapi bersifat retribusi.[footnoteRef:7] Mengenai pungutan retribusi yang diatur dalam UU Drt juga menunjukkan beberapa kelemahan antara lain yakni: [7: Paragraf ketigadari Penjelasan Umum Atas Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.]

1. Hasilnya kurang memadai jika dibandingkan dengan biaya penyediaan jasa oleh daerah.2. Biaya pemungutan relatif tinggi.3. Kurang kuatnya prinsip dasar retribusi terutama dalam hal pengenaan, penetapan, struktur dan besarnya tarif.4. Adanya beberapa jenis retribusi yang ada hakekatnya bersifat pajak karena pemungutan tidak dikaitkan secara langsung dengan pelayanan pemerintah daerah kepada pembayaran retribusi.5. Adanya jenis retribusi perizinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan.6. Adanya jenis retribusi yang mempunyai dasar pengenaan atau objek yang sama.

Oleh karena itu, jenis-jenis retribusi perlu diklafisikasikan dengan kriteria tertentu guna memudahkan penerapan prinsip dasar retribusi sehingga mencerminkan hubungan yang jelas antara tarif retribusi dengan pelayanan yang diberikan pemerintah daerah. Dengan berbagai kelemahan dari UU Drt ini, maka diganti dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo. Undang-Undang N0. 34 Tahun 2000, memberikan daerah kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak yaitu 4 (empat) jenis Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten. Selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Undang-undang ini juga mengatur tentang tarif pajak maksimum untuk kesebelas pajak jenis pajak tersebut. Selanjutnya mengenai retribusi, undang-undang hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis retribusi yang dapat dipungut daerah. Provinsi dan kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis retribusi selain yang ditentukan dalam peraturan pemerintah daerah. Di dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menetapkan secara rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 11 jenis pajak tersebut dan menetapkan 27 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah serta menetapkan tarif pajak yang seragam terhadap seluruh jenis pajak provinsi.Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada pada saat ini dianggap belum mampu mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya, hal ini yang menyebabkan digantinya Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efesien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak dan retribusi.Dalam meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah daerah seharusnya diberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerahan Daerah dan Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diberikan keluasan kepada daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah.Terdapat empat dasar kebijakan mendasar yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 yakni:1. Closed- list system untuk jenis pajak dan retribusi yang bisa dipungut oleh daerah, hal ini bertujuan guna memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha tentang jenis pungutan yang harus mereka bayar.2. Penguatan local taxing power, hal ini bertujuan agar terjadi perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, penambahan jenis pajak dan retribusi daerah (misalnya pajak rokok dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah), meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, serta pemberian diskresi penetapan tarif pajak.3. Perbaikan sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui mekanisme bagi hasil pajak provinsi yang lebih ideal.4. Peningkatan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan represif menjadi preventif dan korektif.

Di dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB) terdapat beberapa perubahan mendasar dari Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelumnya adalah: 1. Mengubah kewenangan pemungutan dari sistem open list menjadi closed list, maksudnya pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang dimaksud. Walaupun demikian, khusus untuk retribusi daerah masih dimungkinkan untuk ditambah jenisnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah daerah. Kebijakan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk menciptakan jenis pungutan baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 telah menyebabkan timbulnya banyak pungutan daerah yang bermasalah. Dengan tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis pajak daerah dan retribusi daerah baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.2. Meningkatkan kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah dengan memperluas basis pungutan dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik, tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perluasan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat, dan menambah jenis pajak baru.3. Memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota, insentif pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, dan earmarking penerimaan pajak daerah. Kebijakan earmarking dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan dimana sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut. Misalnya sebagaian penerimaan pajak penerangan jalan dialokasikan untuk mendanai penerangan jalan, paling sedikit 10 % (sepuluh persen) dari penerimaan pajak kendaraan bermotor dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.4. Dalam rangka mengefektifkan pengawasan pajak daerah dan retribusi daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. Setiap peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah daerah. Selain itu, terhadap daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi derah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum (DAU) dan/atau dana bagi hasil (DBH).

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang 16 jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, yaitu 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Sedangkan jenis retribusi yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah meliputi 14 jenis retribusi jasa umum, 11 jenis retribusi jasa usaha dan 5 (lima) jenis retribusi perizinan tertentu.C. Pengertian dan Jenis Retribusi daerahPada dasarnya retribusi daerah lebih beragam dan bervariasi antara daerah kabupaten yang satu dengan yang lainnya, semakin berkembang suatu daerah semakin banyak fasilitas atau jasa pelayanan yang disediakan pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan kegiatan perekonomian masyarakat, sehingga semakin banyak jenis retribusi yang dapat dipungut daerah tersebut. Terdapat beberapa defenisi retribusi daerah yang dikemukakan oleh para sarjana yaitu:1. Menurut S. Prawirohardjono menyatakan bahwa retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah baik secara langsung maupun tidak langsung.2. Menurut R. Sudargo menyatakan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah.3. Menurut Widjaja menyatakan bahwa retribusi daerah menyatakan harga dan pelayanan langsung dari pemerintah daerah ditingkatkan kualitas pelayanannya harus baik dan menarik.

Pajak biasanya harus dibayar oleh anggota masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum tanpa pertimbangan apakah secara pribadi mereka mendapat manfaat atau tidak dari pelayanan yang mereka biayai. Sebaliknya retribusi dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan dan biasanya dimaksudkan untuk menutupi seluruh atau sebagian biaya pelayanannya, sewa atas rumah milik daerah, pungutan pajak irigasi, dan karcis masuk kolam renang adalah contoh-contoh retribusi yang dimaksudkan. Retribusi merupakan sumber penerimaan yang sudah umum bagi semua bentuk pemerintah daerah, retribusi tersebut dapat juga merupakan sumber utama dari pendapatan badan-badan pembangunan daerah.Berbeda dengan pajak, retribusi adalah iuran rakyat kepada negara yang dapat dipaksakan dengan mendapat jasa timbal balik atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukan oleh pemerintah daerah, misalnya retribusi terhadap pedagang kaki lima yang merupakan iuran para pedagang terhadap negara maka kontraprsetasinya adalah kesempatan pedagang untuk berdagang di tempat umum.Dalam menentukan tarif retribusi terdapat beberapa prinsip dan sasaran yang perlu diperhatikan yaitu:1. Untuk retribusi jasa umum, ditetapkan berdasarkan kegiatan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan kemampuan masyarakat dan aspek keadilan serta efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga diharapkan prinsip dan sasaran dalam penetapan tariff retribusi jasa umum dapat berbeda menurut jenis pelayanan dalam jasa yang bersangkutan misalnya tarif retribusi persampahan untuk golongan masyarakat yang mampu dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga dapat menutup biayan pengumpulan, transportasi, dan pembuangan sampah sedangkan untuk golongan masyarakat kurang mampu tarif ditetapkan lebih rendah.2. Untuk retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk memperolah keuntungan yang layak. Keuntungan yang layak adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efesien dan berorientasi pada harga pasar.3. Untuk retribusi perizinan tertentu yang didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut, untuk pemberian izin mendirikan bangunan misalnya dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan, dan biaya pengawasan.

Setelah menguraikan defenisi retribusi daerah secara umum maka diuraikan juga pengertian retribusi daerah menurut beberapa undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia.1. Menurut Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, dimana pengertian retribusi daerah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yakni : Dalam Undang-Undang Darurat ini yang dimaksud dengan retribusi daerah ialah pungutan Daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha, atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh Daerah2. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 1 angka 26 yakni : Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. (pengertian retribusi daerah dalam undang-undang ini sama juga dengan pengertian pajak daerah dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997).3. Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 1 angka 64 yakni : Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.Setelah memberikan pengertian mengenai retribusi daerah menurut beberapa undang-undang, maka didalam beberapa undang-undang yang pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia yang juga mengatur berbagai jenis retribusi daerah yakni:1. Menurut Undang-Undang Darurat 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 8 yakni :a. Retribusi yang dapat dipungut Daerah adalah antara lain:b. uang leges.c. uang tol bea jalan, bea pangkalan dan bea penambangan.d. bea pembantaian dan pemeriksaan.e. uang sempadan dan izin bangunan.f. retribusi atas pemakaian tanah.g. bea-penguburan.2. Menurut Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 18 ayat (2) yakni :Retribusi dibagi atas tiga golongan :a. Retribusi Jasa Umum.b. Retribusi Jasa Usaha.c. Retribusi Perizinan Tertentu. (jenis retribusi daerah ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)3. Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diatur dalam Pasal 108 yakni :a. Objek Retribusi adalah :1) Jasa Umum.2) Jasa Usaha.3) Perizinan Tertentu.b. Retribusi yang dikenakan atas jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum.c. Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha.d. Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu.

Pajak daerah dan retribusi daerah pada intinya merupakan salah satu sumber dari PAD, walaupun terkadang pajak daerah dan retribusi daerah ini tidak menjadi sumber yang utama bagi pemasukan PAD. Pajak daerah dan retribusi daerah mempunyai ruang lingkup yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama, adapun yang membedakan antara pajak daerah dan retribusi daerah adalah:Lapangan pajak daerah adalah lapangan yang belum digali oleh tingkat atasan (pemerintah daerah pusat atau pemerintah daerah provinsi), sehingga lapangan pajak yang sama tidak boleh diusahkan/dipungut oleh dua atau lebih instansi pemerintah daerahan. Kesamaan dalam lapangan pajak daerah tidak diperbolehkan, sedangkan dalam lapangan retribusi daerah diperbolehkan.1. Pajak daerah dipungut tanpa mempersoalkan ada atau tidak adanya pemberian jasa oleh masing-masing daerah. Pemungutan pajak daerah didasarkan atas paksaan dengan melalui peraturan perundang-undangan, sedangkan pemungutan retribusi daerah didasarkan atas pemberian jasa kepada pemakai jasa, apabila ingin memperoleh atau memakai jasa yang disediakan oleh pihak pemerintah daerah barulah pemakai jasa membayarnya.2. Pajak daerah dibayar oleh orang-orang tertentu yakni para wajib pajak, namun pada retribusi daerah harus dibayar oleh siapa saja yang telah menggunakan jasa yang telah disediakan oleh pemerintah daerah baik anak-anak, orang dewasa dan lain-lain.Pada umumnya pajak daerah dikenakan setahun sekali dan pembayarannya dapat dilakukan secara sekaligus namun seringkali dapat dicicil sedangkan pada pemungutan retribusi daerah, pemungutan dapat dilakukan berulang-ulang terhadap seseorang sepanjang seseorang tersebut berulang kali menikmati jasa yang disediakan sebab retribusi biasanya biayanya kecil maka pembayarannya tidak diangsur.Lapangan retribusi daerah sangat beranekaragam dan sangat dipengaruhi kualitas dari fasilitas atau sarana pelayanan yang disediakan oleh masing-masing pemerintah daerah, sehingga pendapatan daerah dari sektor retribusi daerah ini mempunyai prospek yang bagus. Oleh karena itu, guna meningkatkan sumber penerimaan dari lapangan retribusi daerah ini ialah dengan cara membangun sarana dan prasarana yang mempunyai manfaat yang cukup besar pula bagi masyarakat daerah yang kelak akan menikmatinya.

BAB IIIKEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN NIAS BARAT DALAM MENGGALI POTENSI PAD

A. Pengertian KebijakanAda beberapa defenisi kebijakan yakni sebagai berikut :[footnoteRef:8] [8: Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka, 2010), hal. 37]

a. Menurut Thomas R. Dyne mendefenisikan bahwa kebijakan sebagai pilihan pemerintah daerah untuk menentukan langkah untuk berbuat atau tidak berbuat.b. Menurut Carl J. Friedrich mendefenisikan bahwa kebijakan merupakanserangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah daerah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.c. Menurut Amara Raksataya merumuskan kebijakan merupakan suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu, terdapat tiga unsur dalam kebijakan yakni identifikasi tujuan yang akan dicapai, strategi untuk mencapainya, penyediaan berbagai input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaannya.d. Menurut James Anderson merumuskan bahwa kebijakan negara adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga pejabat pemerintah daerah dengan ciri-ciri khas yakni kebijakan mempunyai tujuan, kebijakan itu berisi pula tindakan, kebijakan itu ada tindakan yang nyata bukan sekedar harapan, kebijakan itu mungkin positif dan mungkin negatif, dan kebijakan itu selalu dituangkan pada sesuatu peraturan yang otoritatif.e. Menurut David Easton merumuskan bahwa kebijakan pemerintah daerah adalahkewenangan untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi masyarakat secaramenyeluruh, dengan artian bahwa yang berwenang mengatur secara menyeluruh kepentingan masyarakat ialah pemerintah daerah bukan lembaga yang lain.

Dalam konteks pembahasan ini yang ditekankan adalah mengenai kebijakan pemerintah daerah, terkait dengan kebijakan pemerintah daerah, terdapat beberapa bentuk nyata dari kebijakan pemerintah daerah yakni sebagai berikut :105a. Kebijakan yang bersifat makro atau umum, atau mendasar yaitu berupa peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan.b. Kebijakan publik yang bersifat meso atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan dalam arti ini dapat berbentuk peraturan menteri, surat edaran menteri, peraturan gubernur, peraturan bupati, dan peraturan walikota.c. Kebijakan publik yang bersifat mikro, yakni kebijakan yang mengatur implementasi atau pelaksanaan dari kebijakan di atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah menteri yaitu gubernur, bupati, dan walikota.

Dari penjabaran mengenai defenisi kebijakan di atas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan, kebijakan ini dapat berbentuk GBHN, repelita nasional, repelita daerah, undang-undang, peraturan pemerintah daerah, keputusan presiden, peraturan menteri, perda,dan lain-lain. Dalam merumuskan suatu kebijakan terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui yakni[footnoteRef:9]: [9: William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ( Yogyakarta : Gadjah Madah University Press, 2003), hal. 24.]

1. Tahap penyusunan agenda. Pada tahap ini para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah-masalah ini berkompetensi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak di sentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.2. Tahap formulasi kebijakan. Pada tahap ini masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan, masalah-masalah tadi didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik, pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatif/policy options) yang ada, sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.3. Tahap adopsi kebijakan, dari berbagai alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh perumus kebijakan maka pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan pengadilan.4. Tahap implementasi kebijakan. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.5. Tahap evaluasi kebijakan. Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauhmana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah, kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, dalam hal ini memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, oleh karena itu ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan public telah meraih dampak yang diinginkan.

Berdasarkan tahapan pembuatan kebijakan di atas, maka pembuatan kebijakan pemerintah daerahpun demikian dimana perumusan kebijakan yang berbentuk produk hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama bupati/walikota. Menurut Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, produk hukum daerah dibagi atas:1. Peraturan daerah.2. Peraturan kepala daerah.3. Peraturan bersama kepala daerah.Berkaitan dengan tata cara penyusunan peraturan daerah merupakan prosedur atau rangkaian kegiatan penyusunan peraturan yang ada di daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya.Tekad melaksanakan Otonomi Daerah diawali dengan amanat dalam UUD 45 Pasal 18 dan penjelasannya yang antara lain mengamanatkan:1. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi pula dalam daerah-daerah yang lebih kecil;2. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka sesuai dengan aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-undang.3. Daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah.Dengan landasan amanat UUD 45 tersebut ditetapkan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948 yang selanjutnya diperbaharui sesuai dengan UUDS RI tahun 1950 melalui UU No. 1 Tahun 1957, PENPRES No. 6 Tahun 1959, PENPRES No. 5 Tahun 1960, dan setelah kembali pada UUD 45 diubah lagi dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah daerahan di Daerah.Implementasi Otonomi Daerah sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1974 sangat lambat dan tersendat-sendat sampai dengan diterbitkannya PP No. 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Dati II. Untuk lebih mendorong realisasi Otonomi Daerah tersebut, diterbitkan pula PP No. 8 Tahun 1995 tentang Penyerahan Sebahagian Urusan Pemerintah daerahan kepada 26 Dati II Percontohan.Rangkaian upaya penyelenggaraan Otonomi Daerah tersebut masih belum mampu mewujudkan Otonomi Daerah di seluruh wilayah Indonesia seperti yang diharapkan.Hambatan dan masalah yang dihadapi dalam upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain :1. Materi pokok Undang-undang No. 5 Tahun 1974 cenderung lebih dititikberatkan pada efisiensi manajemen pemerintah daerah. Sedangkan aspek yang mendorong demokratisasi masih belum mampu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini antara lain terlihat dari kedudukan DPRD sebagai unsur dari Pemerintah daerah.2. Penyerahan urusan lebih cenderung hanya mengenai hal yang bersifat administratif tanpa diiringi upaya yang memadai dalam pemberian insentif yang memungkinkan Pemerintah daerah dan masyarakat Daerah Otonomi bergairah untuk melakukan upaya-3. upaya peningkatan ekonomi didaerahnya, sehingga Pendapatan Asli Daerah sulit meningkat.4. Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah belum dilaksanakan secara proposional sesuai dengan prinsip demokrasi, keadilan, dan pemerataan.5. Belum lengkap dan rincinya peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan Otonomi Daerah menimbulkan perbedaan interprestasi dan persepsi yang mengakibatkan tumpang tindih kewenangan antara instansi Pusat dan Daerah.

Pada pasca Orde Baru, Otonomi Daerah dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan yang strategis baik nasional maupun internasional. Perkembangan lingkungan strategis ini bergerak cepat dan dinamis antara lain tampak :1. Pada tingkat nasional, krisis moneter dan ekonomi memicu gerakan reformasi nasional yang menghendaki pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan yang menuju kehidupan yang demokratis dan sejahtera.2. Pada tingkat internasional, gerakan liberalisasi perdagangan dan investasi terus berkembang dengan komitmen Indonesia terhadap AFTA, APEC, WTO dan kesepakatan IMF. Indonesia menghadapi persaingan yang kian tajam dalam pasar internasional.Perkembangan lingkungan strategis tersebut membuka peluang bagi pelaksanaan Otonomi Daerah. Momentum reformasi adalah saat yang tepat bagi realisasi Otonomi Daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan yang tepat mengenai bentuk pemerintah daerahan di Daerah serta mengupayakan pengembangan potensi sumber daya Daerah agar dapat terangkat dalam era globalisasi. Namun ada pula kendala yang dihadapi, antara lain: krisis politik menghadapi Indonesia pada berbagai pilihan bentuk pemerintah daerahan yang jika tidak hati-hati bisa menjurus kearah disintegrasi. Krisis ekonomi juga akan memperlemah kemampuan dalam pembiayaan. Kendala yang lain adalah tersedianya waktu yang sempit mengingat realisasi AFTA pada tahun 2003.Searah dengan pengaruh lingkungan strategis beserta peluang dan kendalanya, MPR melalui ketetapan No. XV/MPR/1998 mengamanatkan perlu diwujudkan penyelenggaraan Otonomi Daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara Pemerintah daerah Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya ketetapan MPR tersebut di atas diikuti dengan terbitnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah daerah Pusat dan Daerah.Sebagai konsekwensinya dari pelaksanaan Undang-undang ini, organisasi pemerintah daerah pusat maupun daerah harus disusun lagi sesuai dengan penyerahan kewenangan yang lebih besar kepada Daerah, Peraturan Pemerintah daerah sedang dipersiapkan untuk itu. demikian juga mengenai PNS juga diatur kembali. Dalam hubungan ini, maka Undang-undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian perlu diubah dan disesuaikan dengan penyeleng-garaan otonomi daerah. Pembahasan perubahan Undang-undang Kepegawaian ini telah disetujui DPR pada bulan September 1999. Hampir semua Departemen akan menjadi lebih ramping sehingga dapat lebih efisien.Agar pemerintah daerah otonomi mampu melaksanakan tugas-tugasnya yang dibebankan kepadanya, dibutuhkan dukungan keuangan yang lebih besar. Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, Daerah Otonomi akan mempunyai 4 sumber pendapatan yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman, dan Penerimaan lainnya yang sah.Otonomi Daerah memiliki makna yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena akan mampu mendorong demokratisasi, dalam arti memberi ruang gerak kepada masyarakat di daerah untuk mengembangkan partisipasi, prakarsa dan kreativitasnya dalam menata dan membangun daerah, dengan mengacu pada persatuan dan kesatuan bangsa. Otonomi Daerah dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas manajemen mengenai pemerintah daerahan, dalam pemberian kewenangan dan kemandirian pengambilan keputusan serta pengelolaan urusan pemerintah daerahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Bertolak dari pengalaman masa lalu dan memperhatikan berbagai ketentuan yang ada serta prospek masa depan, maka telah ditetapkan bahwa otonomi daerah yang luas pada daerah kabupaten/kota dengan hanya berasaskan desentralisasi. Sedangkan di Propinsi dilaksanakan otonomi daerah yang terbatas dengan berasaskan desentralisasi dan dekonsentrasi. Disamping itu kebijaksanaan ini akan membuka peluang luas bagi terwujudnya pemerintah daerahan yang demokratis, sehingga masyarakat bisa lebih berperan dan berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan sesuai potensi daerahnya, begitu pula pemerintah daerah akan lebih dekat dan mudah memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.Pada prinsipnya semua tugas umum pemerintah daerah dan pembangunan dapat diserahkan kepada Daerah Otonom, kecuali bidang-bidang pertahanan keamanan, peradilan, luar negeri, moneter, dan agama serta bidang lainnya yang secara nasional lebih tepat diurus oleh pemerintah daerah pusat. Oleh karena itu secara mendasar ada pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah daerah pusat, pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.Kewenangan pemerintah daerah pusat diarahkan pada kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintah daerah yang bersifat lintas kabupaten/kota serta kewenangan bidang tertentu lainnya dan kewenangan propinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintah daerahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah daerah. Sedangkan Daerah Otonom berwenang untuk melaksanakan tugas desentralisasi yang diarahkan pada fungsi penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah, peningkatan efisiensi pelayanan kepada masyarakat, pengembangan sumber pembiayaan daerah dan pemberdayaan masyarakat.Dengan kewenangan-kewenangan tersebut di atas, maka pelaksanaan Daerah Otonomi harus memperhatikan kesiapan dan kelengkapan unsur-unsur penting mengenai kelembagaan, kesediaan, sumber daya aparatur yang handal, perlengkapan, potensi ekonomi daerah yang dapat menjadi sumber pendapatan sendiri, pemberian insentif fiskal dan non fiskal serta hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Perhatian sungguh-sungguh terhadap kemampuan ekonomi pada semua Daerah Otonom ini sangat penting. Urusan keuangan dikelola sesuai APBD dengan memanfaatkan semua sumber dana dari pendapatan asli daerah, bantuan umum, dan bantuan khusus dari pemerintah daerah pusat serta dana perolehan sesuai kontribusi ekonomi daerah, dengan tetap memperhatikan aspek pemerintah daerah.Penyelenggaraan Otonomi Daerah diharapkan akan mampu memberdayakan seluruh wilayah Indonesia baik dalam aspek politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dengan kemandirian fungsi legislasi dan pengawasan yang dilakukan oleh DPRD akan mendorong terwujudnya pemerintah daerah serta kehidupan masyarakat yang demokrasi. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan meningkat, sehingga dapat diharapkan seluruh daerah di Indonesia mampu tumbuh dan berkembang dalam wujud semua daerah maju, dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa.

B. Langkah-Langkah yang DilakukanTuntutan, dinamika, dan aspirasi masyarakat dalam menyelesaikan krisis yang dihadapi oleh bangsa dan negara dewasa ini mengacu kita untuk menyiapkan segenap tatanan Pemerintah daerah dan bangsa dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan.Suasana reformasi juga mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk melakukan serangkaian penyempurnaan terhadap Pemerintah daerahan Daerah yakni dengan memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. XV/MPR/1998.Sesuai dengan TAP MPR tersebut, Pemerintah daerah bersama-sama DPR telah menetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah daerah Pusat dan Daerah.1. Hal-hal pokok yang tertuang dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang semula dilakukan dengan pola bertahap, sekarang dilakukan dengan penyerahan secara total, bulat, utuh dan menyeluruh terhadap semua kewenangan pemerintah daerahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter/fiskal dan agama, serta bidang-bidang tertentu yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah daerah.a. Penyelenggaraan pemerintah daerahan di propinsi berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi, sehingga propinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom sekaligus sebagai Wilayah Administrasi. Begitu pula Gubernur berstatus sebagai Kepala Daerah disamping juga sebagai Wakil Pemerintah daerah Pusat. Sedangkan bagi Daerah Kabupaten/ Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi, sehingga hanya berkedudukan sebagai Daerah Otonom saja.b. Wilayah Propinsi ditetapkan pula meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil, sedangkan wilayah Kabupaten/Kota sepanjang 1/3 wilayah laut Propinsi.c. Pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah lainnya. DPRD bukan sebagai unsur Pemerintah daerah yang mempunyai fungsi pengawasan,anggaran dan legislasi Daerah, Kepala Daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD, Gubernur selaku Wakil Pemerintah daerah Pusat yang bertanggung jawab kepada Presiden.d. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah daerah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.e. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan dan kesejahteraan, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai kebutuhan dan kemampuan Daerah, berdasarkan norma, standar, prosedur yang ditetapkan Pemerintah daerah.f. Keuangan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, pinjaman Daerah dan lain-lain pendapatan yang sah.g. Daerah kabupaten/kota diberi Otonomi yang luas, sedang Propinsi terbatas. Kewenangan pemerintah daerahan pada Propinsi adalah otonomi yang sifatnya lintas Kabupaten dan Kota serta kewenangan yang belum mampu ditangani oleh Kabupaten dan Kota.h. Kelembagaan Daerah disamping lembaga DPRD, adalah Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah, seperti perencanaan, penelitian dan pengembangan, Diklat, pengawasan dan Badan Usaha Milik Daerah.

2. Hal-hal pokok yang tertuang dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1999a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di Daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah daerah Pusat dan Daerah.b. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah daerah Pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.c. Pelaksanaan desentralisasi berasal dari Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah :1) Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi Daerah, hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain2) Dana Perimbangan berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan alokasi khusus.d. Penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi: 10 persen untuk penerimaan Pusat (dibagikan ke seluruh kabupaten/kota) dan 90 persen untuk daerah.e. Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi: 20 persen untuk Pemerintah daerah Pusat (dibagikan keseluruh kabupaten/kota) dan 80 persen untuk daerah.f. Penerimaan negara di sektor Kehutanan dan Pertambangan dibagi: 20 persen untuk pemerintah daerah pusat dan 80 persen untuk daerah.g. Penerimaan negara dari hasil minyak bumi dibagi: 85 persen untuk pemerintah daerah pusat dan 15 persen untuk daerah.h. Penerimaan negara dari gas alam dibagi: 70 persen untuk pemerintah daerah pusat dan 30 persen untuk daerah (setelah dikurangi komponen pajak).i. Dana alokasi umum sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri dengan komposisi: 10 persen untuk daerah propinsi dan 90 persen untuk daerah kabupaten/kota.j. Dana alokasi khusus untuk membantu kebutuhan khusus yang disediakan dalam APBN termasuk yang berasal dari dana reboisasi. Dana reboisasi dibagi 40 persen kepada daerah penghasil sebagai dana alokasi khusus dan 60 persen untuk pemerintah daerah pusat.k. Pembiayaan dekonsentrasi disalurkan kepada Gubernur melalui Departemen/LPND.l. Pembiayaan tugas pembantuan disalurkan kepada daerah dan desa Departemen/LPND yang menugaskan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanBerdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut :1. Pengaturan sumber-sumber keuangan daerah khususnya pendapatan asli daerah telah dibentuk dengan jelas jika dibandingkan sebelum era orde baru dimana diberikan kewenangan luas kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah dengan cara memperluas basis pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Pemerintah daerah Kabupaten Nias Barat telah membentuk 4 (empat) Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, 5 (lima) Peraturan Bupati tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang bertujuan untuk mengatur sumber-sumber pendapatan asli daerah sehingga dapat menggali potensi pendapatan asli daerah 2. Kebijakan Pemerintah daerah dalam menggali potensi pendapatan asli daerah telah dibentuk dengan cara mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Bupati tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan insentifikasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , serta Surat Edaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diikuti dengan tindak lanjut kebijakan yang berdampak terhadap kenaikan pendapatan asli daerah dari tahun ke tahun.3. Hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah daerah dalam menggali potensi pendapatan asli daerah yaitu terdiri dari hambatan intern dan hambatan ekstern yang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan tugas daerah secara hukum administrasi negara.

B. Saran1. Diharapkan Pemerintah daerah melengkapi Peraturan Bupati tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah agar dapat teroptimalkannya penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah dan juga diharapkan diterapkan sanksi administrasi bagi pegawai negeri sipil yang tidak dapat bekerja sesuai target yang telah ditetapkan hal ini bertujan agar pegawai negeri sipil tidak hanya menerima hadiah namun juga menerima sanksi apabila tidak dapat bekerja dengan baik sehingga terdapat keseimbangan antara hadiah dan sanksi sehingga dapat mempercepat pembangunan.2. Diharapkan kepada Pemerintah daerah barat agar secara rutin melakukan peningkatan kemampuan para pegawai negeri sipil dalam bentuk pelatihan dan pemberian beasiswa khusus dibidang perpajakan atau keuangan agar dapat melaksanakan tugas-tugas dibidang pajak daerah dan retribusi daerah.3. Diharapkan kepada Pemerintah daerah tidak hanya memberikan insentif kepada pegawai negeri sipil atas kinerjanya yang berkaitan dengan peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah namun juga memberikan penghargaan berupa kenaikan golongan kepada pegawai negeri sipil yang memiliki kinerja yang baik berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah selain itu juga Pemerintah daerah diharapkan memberi hadiah kepada masyarakat yang membayar pajak daerah dan retribusi daerah tepat waktu sehingga memotivasi masyarakat lainnya untuk membayar pajak daerah dan retribusi daerah tepat waktu selain itu juga Pemerintah daerah diharapkan memberikan alokasi anggaran lebih besar untuk memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah.