36
Kebijakan Pendidikan Orde Lama Oleh Rum Rosyid Dalam tahun 1944, Jepang semakin terdesak di dalam Perang Asia Timur Raya. Moril masyarakat mulai mundur, persediaan senjata dan amunisi terus berkurang. Keadaan ini menyebabkan jatuhnya kabinet Tojo pada tanggal 17 Juli 1944 kemudian digantikan oleh PM. Koiso pada tanggal 18 Juli 1944. Jepang terus terdesak mendorong PM Koiso mengeluarkan janji kemerdekaan di kemudian hari bagi Indonesia 7 September 19441. Gerakan Sekutu yang kian merangsek ke Indonesia hingga akhirnya tanggal 1 Maret 1945, Kumaikici Harada mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dikenal dengan sebutan Dokuritsu Junki Cosaka yang diresmikan 28 Mei 1945i. BPUPKI beranggotakan 60 orang, ditambah beberapa pimpinan. Sebagai ketua adalah Dr. Rajiman Widyodiningrat. Badan ini memiliki tugas menyiapkan berbagai persyaratan pendirian negara Indonesia. Secara garis besar sidang-sidang BPUPKI terbagi menjadi dua kali sidang (29 Mei - I Juni 1945 dan 10 - 17 Juli 1945). Secara khusus sidang pertama BPUPKI membahas tentang dasar negara. Sejak tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 telah tampil 46 pembicara, namun yang banyak kita kenal adalah tiga tokoh, yakni Mr. Moh Yamin, Mr. Supomo, dan Ir. Soekarno. Moh. Yamin membahas sekitar dasar negara terdiri lima dasar negara kebangsaan Indonesia, yakni; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pada tanggal 30 Mei 1945 Moh. Hatta juga tampil berpidato, mengajukan Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, dan Keadilan rakyat. Tanggal 1 Juni 1945 giliran Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya dengan mengajukan lima asas yang disebut dengan Pancasila. Menurut Ir. Sockamo, nama Pancasila itu atas petunjuk seorang teman ahli bahasa. Pidato Ir. Soekarno tanggal I Juni 1945 sering disebut dengan pidato lahirnya Pancasila. Sila-sila yang diusulkan Ir. Soekarno adalah

Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Kebijakan Pendidikan Orde LamaOleh Rum Rosyid

Dalam tahun 1944, Jepang semakin terdesak di dalam Perang Asia Timur Raya. Moril masyarakat mulai mundur, persediaan senjata dan amunisi terus berkurang. Keadaan ini menyebabkan jatuhnya kabinet Tojo pada tanggal 17 Juli 1944 kemudian digantikan oleh PM. Koiso pada tanggal 18 Juli 1944.    Jepang terus terdesak mendorong PM Koiso mengeluarkan janji kemerdekaan di kemudian hari bagi Indonesia 7 September 19441. Gerakan Sekutu yang kian merangsek ke Indonesia hingga akhirnya tanggal 1 Maret 1945, Kumaikici Harada mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dikenal dengan sebutan Dokuritsu Junki Cosaka yang diresmikan 28 Mei 1945i. BPUPKI beranggotakan 60 orang, ditambah beberapa pimpinan. Sebagai ketua adalah Dr. Rajiman Widyodiningrat. Badan ini memiliki tugas menyiapkan berbagai persyaratan pendirian negara Indonesia.    Secara garis besar sidang-sidang BPUPKI terbagi menjadi dua kali sidang (29 Mei - I Juni 1945 dan 10 - 17 Juli 1945). Secara khusus sidang pertama BPUPKI membahas tentang dasar negara. Sejak tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 telah tampil 46 pembicara, namun yang banyak kita kenal adalah tiga tokoh, yakni Mr. Moh Yamin, Mr. Supomo, dan Ir. Soekarno.    Moh. Yamin membahas sekitar dasar negara terdiri lima dasar negara kebangsaan Indonesia, yakni; Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pada tanggal 30 Mei 1945 Moh. Hatta juga tampil berpidato, mengajukan Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, dan Keadilan rakyat.   Tanggal 1 Juni 1945 giliran Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya dengan mengajukan lima asas yang disebut dengan Pancasila. Menurut Ir. Sockamo, nama Pancasila itu atas petunjuk seorang teman ahli bahasa. Pidato Ir. Soekarno tanggal I Juni 1945 sering disebut dengan pidato lahirnya Pancasila. Sila-sila yang diusulkan Ir. Soekarno adalah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa.   Tanggal 1 Juni 1945 Sidang BPUPKI I berakhir, namun belum ada kesimpulan dan keputusan yang diambil. Panitia kecil (Panitia Sembilan) dibentuk diketuai Soekarno yang anggota-anggotanya adalah Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. A.A. Maramis, Abdulkadir Muzakir, Wakhidd Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan melahirkan rumusan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka. Rumusan ini terkenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Rumusan tersebut sebagai berikut. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab. Persatuan Indonesia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan. Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.    Pada tanggal 10 Juli 1945 mulai sidang BPUPKI II guna membahas UUD bagi negara Indonesia. Tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang UUD secara bulat menerima Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD. Untuk menyempurnakan UUD dengan segala pasal-

Page 2: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

pasalnya, diserahkan kepada Panitia Kecil. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Panitia Penghalus Bahasa yang anggotanya Husein Jayadiningrat, Agus Salim, dan Supomo.    Tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI melanjutkan sidang untuk menerima laporan dari Panitia Perancang UUD. Tiga hal penting yang dilaporkan oleh Ir. Soekarno selaku ketua Panitia Perancang UUD yang berisi : Pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan UUD (diambil dari Piagam Jakarta), dan batang tubuh UUD. Pada tanggal 16 Juli 1945 sidang menyetujui tiga hal yang dilaporkan oleh Ir. Soekarno tersebut.    Keadaan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya kian terjepit. Pada 6 Agustus 1945, kota penting di Jepang, Hirosima dibom atom oleh Amerika Serikat. Jepang tidak dapat berkutik. Setelah Jepang kalah, terjadi kekosongan kekuasaan (Vacuum of Power) ditanah Nusantara. Kejatuhan Jepang yang menyerah pada kekuatan sekutu menjadi momentum yang sangat berarti bagi sejarah kemerdekaan Indonesia. Kondisi itu ternyata tidak luput dari pembacaan para aktivis pergerakan nasional, dan kemudian dengan cepat dimanfaatkan oleh para pejuang kemerdekaan.

Oleh karena itu, pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiaipan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tugasnya melanjutkan pekerjaan BPUPKI dan untuk mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia.  Ketua PPKI adalah Ir. Soekarno, sedangkan wakilnya Drs. Moh. Hatta. Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 yang dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan Mohammat Hatta sebagai wakil ketua mengadakan rapat.

Pertemuan ini rencananya dimulai pada jam 09.30, akan tetapi belum juga dimulai hingga sampai jam 11.30.19. Jeda waktu selama dua jam tersebut ternyata masa yang teramat penting bagi sejarah Indonesia khususnya dalam kaitan konstitusi Indonesia. Waktu yang singkat itu digunakan oleh Muhammad Hatta untuk mengadakan loby dengan beberapa anggota PPKI mengenai konsep perubahan pada Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar. Pimpinan Angkatan Perang Jepang yang berkedudukan di Saigon, yakni Jonderal Terauchi pada tanggal 9 Agustus 1945 memanggil Soekarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Widyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon, guna merencanakan  penyerahan kemerdekaan kepada Indonesia.    Tanggal 14 Agustus 1945, Soekarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Widyodiningrat pulang kembali ke Jakarta. Sementara Jepang sudah dalam keadaan lumpuh sebab tanggal 9 Agustus 1945 kota Nagasaki juga dibom atom oleh Amerika Serikat. Dengan demikian Jepang benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Akhimya pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu. Kepulangan pimpinan PPKI ke Indonesia bersamaan dengan perubahan besar revolusi kemerdekaan.    Sekenario kemerdekaan yang dibuat PPKI dan Jepang tidak menjadi kenyataan. Para pemuda  berhasil mendorong terjadinya jalan lain proklamasi kemerdekaan. Akhirnya, pada tanggal 17 agustus 1945, Soekarno-Hatta yang sebetulnya masih ragu-ragu, berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.

Page 3: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Sebagai negara merdeka, Indonesia memerlukan kelengkapan-kelengkapan negara.  Sebelumnya sore hari 17 Agustus 1945, didatangi seorang opsir Jepang yang menyampaikan pesan dari golongan Protestan dan Katolik terutama dari Indonesia Timur agar menghilangkan tujuh kata pada Pembukaan Undang Undang Dasar. Mereka mengancam akan keluar dari Republik Indonesia apabila usul itu tidak diterima. Usul inilah yang kemudian menjadi pertimbangan Muhammad Hatta mengajukan usul perubahan sebagai berikut: Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata ‘Pembukaan”. Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak-kalimat : “Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “diubah menjadi ”berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata” dan beragama Islam” dicoret. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.     Usul perubahan yang diajukan Muhammad Hatta ini, nampaknya disetujui oleh rapat PPKI, meskipun melalui beberapa usul namun tidak mendapat pembahasan yang begitu berarti. Untuk kepentingan itu, maka pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI melakukan sidang dan berhasil menyetujui dan mengesahkan UUD (Undang-UndangDasar). Hanya beberapa jam kemudian, yakni jam 13,45, Panitia Persiapan menerima dengan bulat teks perubahan Preambule dan batang-tubuh Undang-Undang Dasar ini. Preambule dan batang-tubuh Undang-Undang dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai ‘Undang-Undang Dasar 1945”.       Persetujuan yang terburu-buru mengenai beberapa perubahan yang teramat penting dan kontroversial itu, akhirnya berbuntut pada sebuah pertanyaan besar yang sulit dijawab. Kejadian yang mengejutkan ini, tentu saja sangat mengecewakan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Kekhawatiran akan terjadinya perpecahan jika keputusan tidak diubah, dianggap dapat dihindari dengan mengorbankan modus vivendi atau gentleman’s agreement antara pihak Islam dengan pihak kebangsaan. Bahaya pertama dianggap lebih berat daripada bahaya dikecewakannya golongan Islam.

Ideologi Pendidikan : Sosialisme PendidikanSistem pemerintahan berganti, berganti pula ideologi/cita-cita negaranya. Pada masa pemerintahan Soekarno, skenario yang pertama kali dilakukan oleh Soekarno dan kabinetnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semenjak proklamasi 17 agustus 1945, sekolah-sekolah yang telah dibangun pada masa pendudukan Jepang dilanjutkan dengan serba kekurangan. Namun demikian, dasar-dasar pendidikan nasional telah disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.

Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang

Page 4: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari tujuan negara atau pemerintah. Pada masa kepemimpinan bung Karno, pemerintahannya menginginkan pembentukan masyarakat sosialis Indonesia. Untuk itu, tujuan pendidikan disesuaikan dengan tujuan negara. Walau bagaimanapun, hal ini dianggap penting karena dengan adanya penyesuaian tujuan pendidikan dengan tujuan pemerintah atau negara, maka menjadi jelaslah arah pelaksanaan pendidikan pada suatu negara.

Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Jika dibandingkan dengan sekarang, yaitu tidak ada kejelasan tujuan pendidikan yang dilaksanakan dan cenderung diwarnai arus menyambut globalisasi serta mengesampingkan akar kebudayaan bangsa, maka diperlukan pembahasan mengenai salah satu pendidikan yang pernah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, yang sesuai dengan tujuan negara, yaitu pendidikan sosialisme Indonesia oleh pemerintahan Ir. Soekarno (1961-1966). Menteri pendidikan pertama Ki Hajar Dewantara beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan mengeluarkan Instruksi Umum, yang isinya : menyerukan kepada para guru supaya membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotisme. Selain itu, anak yang berumur 8 tahun diwajibkan memperoleh pendidikan Sekolah Dasar.Pelaksanaan wajib belajar menghadapi berbagai masalah, Jumlah sekolah dan guru belum memadai apalagi wajib belajar itu akan dilaksanakan. Jumlah guru yang dididik masih sangat terbatas, selain lulusan sekolah-sekolah guru Zaman kolonial.

Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama.

Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.

Agresi Militer Belanda I dan II yang berujung pada Konferensi Meja Bundar (KMB), disertai dengan pemberontakan kemerdekaan RI di beberapa daerah mengakibatkan negara harus mengambil tindakan untuk menasionalisasi aset-aset asing.  Pendidikan

Page 5: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

sosialisme Indonesia yang dijalankan oleh pemerintah, di tingkatan kebijakan, sampai penerapannya dilingkungan pendidikan formal, SMP, SMA, dan perguruan tinggi, merupakan salah satu cara mensejalankan tujuan pendidikan dengan tujuan negara. Pemerintah membuat suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan lahirlah mata pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics, yang diajarkan di tingkat SMP dan SMA. Sosialisme Indonesia merupakan salah satu materi dalam mata pelajaran tersebut.

Pendidikan sosialisme Indonesia didapat melewati akal dan pengalaman empiris (dalam pendidikan Islam ditambah dengan intuisi), materinya meliputi aspek ekonomi, sosial, politik (terdapat juga dalam pendidikan Islam), metode pengajarannya dengan indoktrinasi (dalam pendidikan islam, untuk materi ketauhidan), evaluasinya lebih pada aspek psikomotor (yaitu pembentukan kepribadian), dan tujuannya sesuai dengan kepentingan pemerintah (pendidikan Islam dilaksanakan untuk kepentingan agama).Indonesia di era Soekarno (Orde Lama), merupakan negara yang sarat dengan cita-cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. StatutaUniversitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.

Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke Negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untukmengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata” merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut. Semangat antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang diejawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda).

Menjaga Keutuhan Republik IndonesiaMasa Indonesia merdeka adalah saat paling penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Nilai kepentingan itu bukan saja tergantung pada hadirnya kemerdekaan, tetapi lebih jauh juga akan membawa perubahan nilai-nilai yang revolusioner dalam tata hukum di Indonesia. Bagi Hukum Islam, itu juga merupakan perjuangan dapat atau tidaknya konsepsi Islam yang mendasarkan kepada keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat itu ditegakkan dan menjadi dasar tata hukum di Indonesia.Ketika UUD RI yang akan disahkan, disepakati bahwa dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila, dimana sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Semula sila ini disepakati

Page 6: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Perubahan itu sebagai bukti toleransi tokoh Islam demi untuk kesatuan dan persatuan bangsa serta keutuhan dan kelestarian Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta bukan saja sebuah pengorbanan umat Islam yang bertujuan memelihara keutuhan negara Indonesia, tetapi berbuah pada hilangnya ligetimasi berlakunya hukum Islam dalam tatanan hukum nasional. Dengan tidak dicantumkannya kata kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya pada UUD 1945, apakah pemberlakuan hukum Islam atau syari’at Islam telah benar-benar kehilangan hukum dasar. Sehingga untuk memberlakukan hukum Islam dalam sistem hukum Nasional harus diatur dan sesuai dengan tata hukum Indonesia. Ataukah masih ada celah yang dapat dipahami untuk menampik asumsi itu, atau barangkali hukum Islam harus benar-benar terpisah dengan persoalan bernegara.       Adalah penomena yang sangat wajar apabila ada tuntutan yang deras dari pihak Islam untuk memasukkan hukum Islam dalam tatanan hukum Nasional. Kewajaran itu cukup beralasan, karena kemerdekaan Indonesia banyak diandili oleh Islam. Andil besar itu terbukti dengan keterlibatan umat Islam dalam perang perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, maupun pada saat penyusunan awal konsep negara Indonesia. Sejauhmanakah upaya-upaya itu ditanggapi atau bahkan mendapat tantangan dari pihak lain. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang keberadaan sistem hukum Islam ditengah-tengah pergolakan sistem hukum nasional. Pembicaraan dimulai dari sejarah awal pembentukan dasar hukum hingga lahirnya UUD 1945 yang mengungkap besarnya peranan Islam dalam proses itu. Kemudian dilanjutkan dengan upaya amandemen, dan beberapa pertimbangan sehingga amandemen tidak mengubah isi pasal 29 UUD 1945. Bagian lain adalah pembahasan tentang legalitas hukum Islam dalam negara Indonesia.

Buah pemikiran Soekarno yang sangat dikenal adalah faham Marhaenisme. Soekarno mengartikan Marhaenisme sebagai suatu ideologi kerakyatan yang mencita-citakan terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas Marhaenisme adalahsosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat, yaitu nasionalisme dengan kedua kakinya berdiri di atas masyarakat. Sosio-nasionalisme menolak setiap tindakan borjuisme yang menjadi sebab kepincangan masyarakat. Dengan kata lain, sosionasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi – suatu nasionalisme yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi timbul karena sosionasionalisme. Sosiodemokrasi adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosionasionalisme adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan atau perasaan cinta kepada bangsa yang dijiwai oleh perasaan cinta kepada sesama. Sementara sosiodemokrasi adalah demokrasi yang menuju kepada kesejahteraan sosial, kesejahteraan masyarakat, atau kesejahteraan seluruh bangsa. (Hananto.2005: 38-41; Pataniari, 2002, 116).

Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York

Page 7: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme,” kata Bung Karno, “telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad.” Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. “Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno di depan para pendengarnya. Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).

Soekarno mulai berjuang sejak 1918 dan memulai karier politik yang sesungguhnya pada tahun 1927 dengan mendirikan PNI, dan setahun kemudian berhasil mendirikan PPPKI tahun 1928. Sikapnya yang populis, menyebabkan dia selalu memikirkan rakyat dalam objek perjuangan polilitiknya. Soekarno mempunyai pemikiran yang anti elitisme, anti imperialisme dan anti kolonialisme. Dia enggan dengan soal-soal ekonomi dan lebih suka berpikir sosial demokrat. Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Soekarno yang lulus ELS tahun 1921, sejak masa mudanya dekat dengan tokoh HOS Cokroaminoto.

Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal yang berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap antikolonialisme tersebut tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka.” Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi.

Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi, Soekarno percaya, kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalisasi keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l’homme par l’homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain.

Tahun 1930, Soekarno ditangkap karena ucapan-ucapannya yang keras terhadap pemerintah kolonial. (Onghokham dalam Abdullah, 1978: 20). Sebagai suatu sistem yang eksploitatif, kapitalisme itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno muda tak ingin menyamakan begitu saja imperialisme dengan pemerintah kolonial. Imperialisme, menurut dia, “bukanlah pegawai pemerintah; ia bukanlah suatu pemerintahan; ia bukan kekuasaan; ia bukanlah pribadi atau organisasi apa pun.” Sebaliknya, ia adalah sebuah hasrat berkuasa, yang antara lain

Page 8: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah atau mengatur ekonomi dan negara orang lain. Lebih dari sekadar suatu institusi, imperialisme merupakan “kumpulan dari kekuatan-kekuatan yang kelihatan maupun tak kelihatan.”

Soekarno mengibaratkan imperialisme sebagai “Nyai Blorong” alias ular naga. Kepala naga itu, menurut dia, berada di Asia dan sibuk menyerap kekayaan alam negara-negara terjajah. Sementara itu tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati hasil serapan tersebut. Bersama dengan kolonialisme dan kapitalisme, imperialisme merupakan tantangan besar bagi setiap orang Indonesia yang menghendaki kemerdekaan.Dalam usaha untuk mencapai Indonesia merdeka, Soekarno selalu mengingatkan kepada para pemimpin organisasi pergerakan, hendaknya bangsa Indonesia sudah bersatu lebih dulu dalam suatu organisasi rakyat umum yang tidak dapat dipatahkan, sebelum peperangan Lautan Teduh pecah. Menurut Soekarno, peperangan itu ialah perjuangan untuk merebut dan menguasai Indonesia. Jika bangsa Indonesia tidak mempunyai persatuan maka bangsa Indonesia hanya akan menjadi bola permainan negeri-negeri yang berperang saja.

Awal Mula Peran IMFPeran IMF di Indonesia dimulai ketika presiden Soekarno memainkan peran non blok ditengah pertarungan kuasa antara Amerika dan Soviet yang semakin meningkat, peran tersebut dapat dimainkan dengan cantik oleh Soekarno dengan dukungan dari negara-negara dunia ketiga, namun kedua blok yang bertarung kuasa tersebut mendesak Soekarno untuk memilih satu diantara dua. Amerika menggunakan IMF sebagai alatnya, pada tahun 1962 delegasi IMF mengadakan kunjungan ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, setahun kemudian tepatnya pada bulan maret 1963 Amerika Serikat menyediakan utang sebesar US$ 17 juta dan dalam dua bulan kemudian pemerintah Indonesia mengumumkan rangkaian kebijakan ekonomi baru (devaluasi rupiah, anggaran negara yang ketat dan pemotongan subsidi) yang selaras dengan resep kebijakan IMF.

Keadaan berubah 180 derajat pada bulan September 1963, ketika pemerintah Inggris menyatakan Malaysia sebagai bagian federasi Inggris tanpa konsultasi terlebih dahulu. Soekarno melihat pernyataan tersebut adalah upaya untuk menggangu stabiltas kawasan Asia Tenggara terutama karena Malaysia secara geografis sangat dekat dengan Indonesia, selain itu Soekarno juga melihat hal ini dipicu karena Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan Inggris . Insiden ini berimbas terhadap hubungan Indonesia dengan IMF, sesepakatan sebelumnya dengan IMF dibatalkan oleh Soekarno.Kekalahan Indonesia memperjuangkan permasalahan ini di tingkat internasional karena PBB mengakui eksistensi negara Malaysia menyebabkan Soekarno memutuskan untuk keluar dari kenggotaan PBB. Kondisi perekonomian Indonesia setelah itu berada dalam kondisi yang memprihatinkan, utang yang diterima dari Soviet dan negara barat digunakan untuk untuk kebutuhan konsumtif , pembangunan proyek mercusuar dan membeli senjata.

Dalam hal ini meskipun Soekarno berhasil mempertahankan harga diri bangsanya namun ia gagal untuk menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk,

Page 9: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

ekonomi Indonesia yang tergantung pada pihak luar, mengalami pukulan keras ketika harga bahan baku di tingkat internasional menurun drastis (harga karet turun drastis), sementara pengeluaran untuk kebutuhan publik yang luar biasa besar mendorong inflasi mencapai 600%. Ketika perang dingin mencapai titik klimaksnya, Soekarno memancing kemarahan Washington dengan menasionalisasi semua perusahaan asing (kecuali perusahaan minyak). Kemudian Sukarno mengumandangkan “go to hell with your aid” sebagai kata talak untuk perceraian dengan IMF serta Bank Dunia pada Agustus 1965 dan memutuskan membangun Indonesia secara mandiri.

Tak lama kemudian terjadi kudeta berdarah yang menandakan dimulainya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Kebijakan-kebijakan rezim orde baru memang dekat dengan kepentingan Amerika, namun meskipun demikian pemerintah Amerika tidak ingin memberikan utang secara langsung lewat mekanisme bilateral, mereka “menitipkan” kepentingan ekonomi politik mereka lewat IMF, dengan kucuran dana bantuan sebagai bargaining terhadap kepentingan tersebut. Pada akhir tahun 1966, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, dan pemerintah orde baru dengan cepat melaksanakan kebijakan seperti yang diusulkan IMF dan Indonesia secara resmi kembali menjadi anggota IMF.

Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, menimbulkan reaksi negara-negara barat. Mereka segera memberikan hibah sebesar US$174 million dengan tujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi, disusul dengan restrukturisasi utang karena US$ 534 juta harus dikeluarkan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Tanpa rescheduling utang ini maka tidak dimungkinkan negara-negara barat memberi utang utang baru, sehingga dapat dikatakan bahwa upaya rescheduling merupakan cara agar negara-negara barat bisa mengucurkan utang baru ke Indonesia. Pada Desember 1966, di ikuti dengan pertemuan Paris Club yang menyepakati moratorium utang sampai tahun 1971untuk pembayaran cicilan pokok utang jangka panjang yang disepakati sebelum tahun 1966. tanpa dukungan IMF dan Amerika inisiatif moratorium ini tidak akan terjadi.

Resep generik yang diberikan IMF pada semua pasiennya yaitu program penyesuaian struktural atau Structural Ajusment Program (SAP) dan kebijakan deregulasi. Kebijakan penyesuaian struktural mengharuskan negara untuk meliberalisasi impor dan pelaksanaan aliran sumber-sumber keuangan secara bebas, devaluasi, pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal di dalam negeri yang terdiri dari pembatasan kredit, pengenaan tingkat bunga yang relatif tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan tarif pajak, peningkatan barang pokok masyarakat dan menekan tuntutan kenaikan upah buruh sedangkan yang terakhir pemasukan investasi asing yang lebih lancar.

Sedangkan kebijakan deregulasi mencakup empat komponen, pertama intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimalisir untuk menghindari distorsi pasar. Kedua privatisasi seluas-luasnya dalam bidang ekonomi hingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai oleh negara. Ketiga liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dan semua proteksi harus dihilangkan sedangkan yang terakhir memperbesar dan melancarkan arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan lebih longgar atau

Page 10: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

dengan kata lain penguasaan asing terhadap terhdap unit ekonomi baik swasta maupun negara harus diperkenankan.

Pendidikan ElitismeSelain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan.Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka.Soekarno muda melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur bahasa Jawa yang dengan pola “kromo” dan “ngoko”-nya mendukung adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya atas stratifikasi demikian itu, dalam rapat tahunan Jong Java di Surabaya pada bulan Februari 1921, Soekarno berpidato dalam bahasa Jawa ngoko, dengan akibat bahwa ia menimbulkan keributan dan ditegur oleh ketua panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih besar dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Bertolak dari pertemuan pribadinya dengan petani Marhaen, Soekarno merasa terpanggil untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia, serta kepada peranan mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme yang kapitalistik itu. Kaum Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar dalam gagasan Karl Marx, diharapkan akan menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat baru yang lebih adil.Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaneisme “menolak tiap tindak borjuisme” yang, bagi Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx,” dalam arti bahwa mereka ini merupakan “kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia.”

Dasar garis politik Persatuan Nasional telah dilukiskan Bung Karno pada tahun 1926 dalam artikel "Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Kemudian  garis politik persatuan nasional tersebut menjiwai dasar negara Pancasila 1 Juni 1945. Dan ketika Bung Karno memegang kendali pemerintahan setelah Dekret Presiden Juli 1959 garis politik persatuan nasional diwujudkan sebagai politik "Nasakom" – Nasionalis, Agama, Komunis. (sesuai kondisi obyektif waktu itu dalam menghadapi nekolim). Seperti kita ketahui sejak Nopember 1945 sampai Juli 1959 Bung Karno tidak mempunyai kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif), tetapi hanya sebagai Kepala Negara saja.

Page 11: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Dalam sejarah telah terbukti bahwa dengan persatuan nasional kita berhasil mencapai kemerdekaan, menyelamatkan Republik Indonesia dari bahaya pembrontakan-pemberontakan dan disintegrasi, Irian Barat berhasil direbut kembali dari cengkeraman penjajah.

Apa pun latar belakang sikap-sikap itu, pola hubungan elite rakyat yang diambil oleh Soekarno dan para aktivis pergerakan waktu itu rupa-rupanya memiliki dampak yang luas. Ketika pada tahun 1933-1934 Soekarno serta para pemimpin lain ditangkap dan diasingkan oleh Belanda, gerakan kemerdekaan mengalami kemacetan total. Tanpa adanya elite metropolitan itu seolah-olah rakyat tidak bisa lagi bergerak dalam perjuangan demi kemerdekaan. Pergerakan itu baru muncul kembali ketika para pemimpin yang diasingkan itu dibebaskan oleh Belanda saat mereka terancam oleh kedatangan balatentara Jepang.Bahkan pada masa revolusi sendiri bisa dipertanyakan apakah sebenarnya rakyat yang ikut gigih bertempur dan berkorban mempertahankan kemerdekaan itu mendapat kesempatan yang maksimal dalam menentukan arah revolusi. Dalam tulisannya mengenai pola hubungan antara elite dan rakyat pada zaman revolusi, Barbara Harvey menyatakan bahwa hubungan itu tidak hanya amat lemah, tetapi juga berakibat cukup fatal bagi revolusi kemerdekaan itu sendiri. Lemahnya hubungan antara para pemimpin nasional di tingkat pusat dengan rakyat di desa-desa, menurut dia, “merupakan faktor utama bagi gagalnya elite kepemimpinan untuk menggalang dan mengarahkan kekuatan rakyat demi terwujudnya tujuan-tujuan revolusi.”Dengan kata lain, sebenarnya rakyat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses bernegara. Jika ini benar, mungkin tak terlalu mengherankan jika PKI-meskipun pada tahun 1948 ditekan besar-besaran setelah peristiwa Madiun-dalam waktu singkat berkembang pesat pengikutnya. Ini antara lain karena di dalam PKI banyak rakyat merasakan bahwa justru dalam partai yang menekankan antikemapanan (baca: anti-elite metropolitan) itu kepentingan dan cita-cita mereka mendapat tempatnya. Dalam Pemilu 1955 PKI bahkan berhasil memperoleh suara terbanyak keempat.Sayang sekali bahwa keterpisahan antara elite dan masyarakat itu pada zaman pasca-Soekarno tidak mengecil, melainkan justru membesar. Meskipun sejak naiknya Orde Baru pada akhir 1960-an akses para elite kepada rakyat kebanyakan telah terbuka semakin luas-antara lain dengan naiknya tingkat pendidikan, semakin tersedianya sarana-sarana komunikasi dan menguatnya ekonomi-akses itu tak sepenuhnya termanfaatkan. Di bawah orde yang katanya “baru” itu tetap saja rakyat menjadi komponen massal yang dalam proses bernegara, berada di bawah kontrol elite metropolitan sebagai penentu hampir semua kebijakan yang ada.Tak jarang bahwa upaya-upaya untuk mendorong partisipasi rakyat lebih luas justru harus berhadapan dengan tindakan militer yang keras. Meminjam istilahnya Benedict Anderson, bisa dikatakan bahwa society-nya boleh baru, tetapi state (baca: elite)-nya tetap yang lama. Tak kalah sayangnya tentu saja adalah bahwa tumbangnya sistem pemerintahan militeristik masa Orde Baru tidak disusul dengan tumbuh suburnya demokrasi, melainkan dengan kaotiknya kehidupan politik, yang konon justru dimulai dari kalangan elitenya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sekarang ini di lapisan bawah rakyat merasa semakin kecewa terhadap perilaku, komentar-komentar, serta percekcokan yang lahir di antara kelompok elite politik yang ada.

Page 12: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata” yang dipakai Kuba sekarang merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut. Semangat antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang diejawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda). Ketika pada tahun 2001 bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya Soekarno dan lima puluh enam tahun Proklamasi Kemerdekaan, kita masih dilanda berbagai ketidakpastian, yang salah satu akarnya adalah keterpisahan antara elite dengan rakyatnya.

Politik Pendidikan : implikasi kebijakan luar negeriOrde Lama merupakan satu fase yang mirip dengan fase pascarevolusi demokratik di Prancis pada 1789. Saat itu di mana-mana muncul semangat egalitarianisme yang mengejawantah dalam masyarakat. Panggilan-panggilan terhadap orang, baik yang sudah berumur maupun belum, disamaratakan dengan sebutan “bung”. “Bung” merupakan pengganti sebutan orang yang tidak mengenal strata kelas, status, dan umur. Semangat ini merupakan refleksi masyarakat terhadap kolonialisme yang membuat masyarakat berkasta-kasta berdasarkan warna kulit, agama, dan asal daerah. Inilah orde di mana semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama, dan sebagainya.

Begitu juga dalam dunia pendidikan. Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa. Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas beroroganisasi sesuai dengan pilihan atau keinginannya. Kebebasan berpendapat, memang sempat muncul juga pembredelan pers oleh Soekarno, namun relatif lebih baik dibandingkan masa Orde Baru yang pada suatu waktu (setelah peristiwa demonstrasi mahasiswa 1978) pernah membredel 15 media massa sekaligus. Inilah salah satu era keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Karakteristik kebijakan luar negeri Indonesia pada awal terbentuknya sangat ditentukan oleh kondisi bangsa yang masih prematur. Pemikiran- pemikiran politik Soekarno yang cenderung nasionalis radikal ( Munawar Ahmad, 2007: 21) dan anti-kolonialis. Semangat

Page 13: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

anti-kolonialnya yang sangat militan di satu pihak memang menguntungkan posisinya sebagai presiden. Baginya, isu-isu anti kekuatan asing juga membantunya dalam mengidentifikasi kawan dan lawan. Dengan sendirinya, Soekarno, sebagai pemain sentral, menjadikan isu-isu tersebut untuk mengelola konflik dalam negeri ( Bambang Cipto: 2007: 90).

Kompetisi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang berbeda ideologi telah merambah kawasan Asia Tenggara sehingga sebagai pemain utama di Kawasan tersebut Indonesia dengan pemain sentral, Soekarno, mencoba mengambil manfaat dalam upaya membangun negaranya yang masih seumur jagung. Analisa kritis tentu dapat membantu kita untuk tidak terlalu mendiskreditkan Orde Lama dengan kebijakannya yang terlalu condong ke Timur. Dalam perumusan politik luar negeri suatu negara, tentu intrik dan ”penipuan’ merupakan hal wajar. Dan kejatuhan Soekarno yang lebih diakibatkan begitu kuatnya aliran romantisme dan kurangnya kapabilitas dia dalam mengurus rumah tangga negara setidaknya tetap merupan bukti bahwa naik dan turunnya dia dari tampuk pemerintahan adalah bagian dari proses dialektika ideologi besar dunia.

Yang menarik selama pemerintahan Orde Lama adalah pergeserannya arah kebijakan politik eksternalnya yang tiba-tiba. Setelah memerdekakan Indonesia, Soekarno lebih condong ke Barat tapi berubah drastis saat mengetahui kenyataan Barat (dalam hal ini Amerika Serikat) tidak mendukung upaya diplomasi RI dalam mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi. Akibatnya, Soekarno mengubah haluan politik eksternalnya ke Blok Timur yang dikenal sebagai lawan sentral Barat. Ini dibuktikan adanya kedekatan Indonesia dengan Uni Soviet dan China serta dibukanya Poros Jakarta-Peking.

Aliran romantisme rupanya sangat mempengaruhi kepribadian Soekarno. Ini terlihat dengan kebijakan luar negerinya yang lebih bersifat konfrontatif. Baginya wilayah RI adalah sebagaimana pernah dimiliki Negara Kesatuan RI yang pertama yakni saat berada di bawah kekuasaan Majapahit. Akibatnya, Soekarno menganggap Semenanjung Malaya (yang meliputi Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam) sebagai bagian dari RI. Kepercayaannya semakin tinggi saat dapat mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia. Politik konfrontatifnya amat kentara saat mendapati realita pembentukan negara Federasi Malaya oleh Inggris. Ia memandang hal tersebut sebagai upaya Barat, terutama Inggris, untuk membentuk alat dalam melestarikan kehadiran dan pengaruhnya di Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia ( Mohammad Hatta, 1965: 140). Perumusan kebijakan saat Orde Lama berkuasa juga sangat ditentukan oleh eskalasi politik internal Indonesia yang sedang bergejolak dalam menghadapi disintegrasi bangsa. Banyak pergolakan politik baik nasional maupun daerah yang terjadi saat itu. Pemberontakan PKI di Madiun 1948, pemberontakan bersenjata PERMESTA di Sulawesi Selatan, PRRI di Sumatra, Darul Islam Di Jawa Barat (Bambang Cipto, 2007: 89) benar-benar menguras energi politik, ekonomi dan birokrasi pemerintahan Soekarno.

Page 14: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Pada kasus PRRI maupun Irian Barat secara tidak langsung dianggap pula sebagai campur tangan asing dalam ranah politik domestik Indonesia. Ini terbukti dengan keterlibatan Belanda dan Amerika Serikat melalui CIA-nya ( Dwight King dalam Indonesia”s Foreign Policy). Hal ini diperparah dengan kegagalan Indonesia dalam banyak upaya diplomasi terutama dalam mengembalikan Irian Barat sehingga Soekarno seakan mendapat legitimasi untuk pemikirannya yang anti-kolonial.

Untuk menggalang kekuatan baru Soekarno mendirikan NEFOS ( New Emerging Forces) yang notabene beraliran komunis-sosialis dan beranggotakan negara-negara yang baru berkembang. Perhatiannya yang juga begitu besar dalam usaha membangun Indonesia sebagai sebuah entitas politik yang kuat dan mandiri ( state building) memang telah membuat Soekarno kurang memperhatikan aspek pembangunan ekonomi domestik yang semakin memburuk. Krisis politik-ekonomi ini justru terkesan diabaikan oleh Soekarno dengan pembentukan NASAKOM (Feith dan Castles, 1988) yang semakin memperkuat jurang pemisah antara kelompok anti-komunis (muslim dan militer) dan PKI ( sekutu dekat Soekarno). Secara politik, Soekarno banyak ditinggalkan oleh kolega seperjuangannya saat mereka mengetahui Soekarno begitu dekat dengan komunis yang cenderung atheis. Mereka beranggapan bahwa komunis tidak cocok dengan Indonesia. Kelompok yang paling keras perlawanannya adalah kaum muslim yang dipimpin Mohammad Natsir melalui Masyuminya. Bahkan melalui analisa Feith dan Castles, kita dapat mengetahui adanya ”friksi-friksi” politis dalam tubuh Orde Lama yang pada akhirnya nantinya menjadi salah satu dari sekian penyebab runtuhnya era Soekarno. Secara umum, era pemerintahan Soekarno yang begitu konfrontatif di satu sisi dan terkesan ”netral” lebih dikarenakan adanya pertarungan dua ideologi besar dunia saat itu.

Pidatonya pada tanggal 5 Juli 1959 menegaskan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 dan Pancasila, dan badan konstituante dinyatakan bubar. Ide kembali ke pangkuan Pancasila sebagai dasar negara ternyata mengalami penyelewengan. Hal ini erat berhubungan dengan masalah kekuasaan. Isu-isu politik yang muncul pasca dekrit presiden, mengharuskan Soekarno membuat satu kebijakan khusus. Tiga kekuatan politik besar yang ada saat itu bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno  bila tidak ditangani secara benar. Dan kebijakan Soekarno itu tertuang dalam gagasannya tentang NASAKOM (Nasionalis, Agamis,dan Komunis). Gagasan ini adalah upaya untuk meredam gejolak politik tersebut. Dengan menampung ketiganya dalam satu payung, Soekarno mencoba mengendalikan tiga unsur politik ini. Namun, dengan adanya upaya ini maka implikasinya, ada muncul semacam penghianatan Soekarno terhadap Pancasila.

Soekarno juga yakin, bahwa untuk menentang kolonialisme dan imperialismeserta.mewujudkan persatuan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan adalah denganmenyatukan tiga.aliran paham besar yang ada di masyarakat Indonesia, yaitunasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Ketiga gelombang besar ini bisa bersatu untukmelawan kolonialisme (Soekarno, 1964). Nasionalisme menekankan pentingnya batas-batas dan kepentingan nasional, agama (Islam) pada dasarnya bersifal universal, menolakbatas-batas nasionalisme dan materialisme ala Marx. Namun demikian ketiganya

Page 15: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

memiliki tujuan yang sama. Melihat situasi demikian, Soekarno merasa tertantang danyakin bahwa persatuan diantara ketiganya akan menghasilkan kemerdekaan Indonesia.Inti dari persatuan adalah saling memberi dan menerima. Persatuan tidak akan terjalinjika masing-masing pihak tidak memahami kedua unsur tersebut. Selain itu, BK jugamenyarankan untuk menempuh jalan non-kooperasi, yakni menolak bekerja sama denganpemerintah kolonial (Wardaya, 2006:38-42).

Sebelum pemerintahan Presiden Soeharto, sebenarnya masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.Sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI baru) sejak tahun 1931 (PNI lalu pecah menjadi Partai Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia), konsep pentingnya pendidikan telah diajukan Hatta dalam Pasal 4 Konstitusi PNI, yaitu untuk mencerdaskan rakyat dalam hal pendidikan politik, pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial (pidato Bung Hatta dalam reuni Pendidikan Nasional Indonesia yang diterbitkan di Bogor tahun 1968).

Pancasila sebagai ideologi negara dianggap telah mewakili cita-cita semua agama dan golongan, termasuk umat Islam. Bahkan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa semua agama itu sama, karena semua agama bertujuan untuk mencapai kebaikan hidup manusia. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya berulangkali berhasil “menjinakkan” dan mementahkan perjuangan politik Islam yang kemudian berimbas ke pendidikan Islam. Penjinakan itu berupa memarginalisasi partai politik Islam dan aspirasi umat Islam dengan alasan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Contoh kongkretnya adalah menghapus  tujuh kata dalam “Piagam Jakarta” dalam UUD 45 “ .Kegagalan konstituante dalam merumuskan dasar negara, membuat Presiden Soekarno bertindak.

Kebijakan Pendidikan : memenuhi kemandirian ekonomiKebijakan pendidikan saat itu dilakukan secara sentralistik, sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.Pendidikan pada masa ini diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi Indonesia. Dimana-mana mulai dibuka lembaga-lembaga pendidikan baru (tentunya selain sekolah peninggalan Belanda) dari sekolah dasar sampai sekolah tinggi sebagai sarana peningkatan kualitas pengetahuan rakyat. Semangat diskriminatif di dalam sekolah formal mulai dikikis. Anak-anak dari kalangan buruh dan tani mulai bisa menikmati dan mengenyam bangku pendidikan.

Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi

Page 16: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

dsb biarlah SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga amat minim.

Terjadi kemajuan sumber daya manusia, yang mana dapat kita lihat dari banyaknya tenaga terdidik Indonesia yang digunakan sebagai tenaga pendidik di negara lain. Selain itu juga semakin banyaknya para siswa dari negara lain yang datang bersekolah di Indonesia. Secara yuridis, pemikuran tentang pendidikan nasional dapat dilacak dalam undang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah (lembaran Negara tahun 1950 nomor 550), yang pelaksanaannya ditegaskan dalam UU no.12 th.1954, tentang pernyataan berlakunya UU no.4 th.1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia (lembaran Negara tahun 1954 nomor 38. Tambahan lembaran Negara nomor 550). Tujuan dan dasar pendidikan pada orde Lama dapat dilihat pada pasal 3 dan 4.Pasal 3:“Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”Pasal 4:“Pendidikan dan pengajaran erdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.Dalam prakteknya, pendidikan dan pengajaran berfungsi sebagai emdia untuk mempertahnakan kekuasaan rezim Soekarno. Menurut H.A.R Tilaar sebagaimana dikutip oleh Paul Suparno, pada zaman pra Orde Baru tampak jelas bahwa pendidikan diarahkan kepada kepentingan politik Negara, yaitu membangun nasionalisme, persatuan, dan penggalangan kekuatan bangsa. Dalam konteks ini system pendidikan lebih diarahkan untuk menolak segala pengaruh asing. Tidak ada kebebasan berfikir, semua diarahkan ke nasionalisme sempit itu.Rezim Orde Lama tumbang seiring adanya gejolak di Jakarta pada akhir bulan September dan awal Oktober 1965. Demonstrasi besar-besaran terjadi dengan tiga tuntutan: (a) hapuskan cabinet dari unsure PKI, (b) bubarkan PKI (c) turunkan harga-harga. Tapi lagi-lagi sangat disayangkan, konsep pendidikan ini akhirnya berakhir ketika pada tahun 1965 terjadi pembumihangusan gerakan kiri di Indonesia yang dilakukan oleh kekuatan militer dibawah pimpinan Soeharto dibantu oleh AS dan sekutunya.

Soekarno yang sangat kenyang sekali dengan trend pendidikan kolonial, kebijakannya lebih mengedepankan model pendidikan yang merata untuk memberantas buta huruf di seantero Nusantara. Hal itu dilakukan tentunya sebagai antitesa terhadap politik kebijakan pendidikan Belanda yang kental dengan anasir dikotomisnya terhadap masyarakat pribumi. Tanggal 2 Mei merupakan hari bersejarah bagi Pendidikan Nasional. Sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Namun pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum penjajah, sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan mereka.

Page 17: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesiapun menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia. Sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban duniayang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (BP 7 Pusat, 1990:1).Soekarno, Hatta, Sjahrir menginginkan supaya setelah merdeka, anak-anak Indonesia, sekolahannya seperti sekolah-sekolah yang mereka hayati. Soekarno, Hatta, Sjahrir dididik bukan lewat sekolah desa, tapi sekolahnya untuk orang belanda, agus salim juga. Anggaran sekolah untuk orang Belanda itu 10 kali dari anggaran sekolah desa. Gaji Guru HIS itu dulu 90 goulden, guru desa itu 9 goulden. Yang saya amati sekarang, sekolah kita umunya (di daerah2 itu) masih sekolah desa tadi. Yang masih dibiayai 1/10 dari seharusnya. (Prof. Soedirjanto, 2009). Zaman soekarno hatta masih menjadi pemimpin kita, semua uniersitas negeri itu, disediakan rumah dosen, asrama mahasiswa putri dan putra, calon guru diberikan ikatan dinas dan diasramakan.

Pada tahun 1965, Pendidikan Nasional telah memiliki pondasi atau identitasnya, yaitu Pancasila, ketika terkait dengan fungsinya sebagai transformasi sosial.  Namun jauh sebelum penegasannya, pendidikan sebagai transformasi sosial sendiri sebenarnya dimulai pada tahun 1959, ketika Soekarno memberikan penegasan mengenai ideologi bangsa yang berdasarkan budaya dan pengalaman sejarah bangsa Indonesia, dan kemudian menempatkan pendidikan untuk mewujudkan ideologi bangsa.

Upaya yang dilakukan Soekarno itu dilatarbelakangi oleh berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga tugas pertama dari pendidikan nasional adalah berusaha menyingkirkan PKI dengan meyakinkan publik mengenai ideologi bangsa. Pertautan antara pendidikan dengan perwujudan ideologi bangsa inilah yang kemudian muncul ide mengenai identitas pendidikan nasional.    

Bung Hatta juga memberikan penegasan yang sama di dalam memaknai identitas pendidikan nasional. Menurut Hatta, pendidikan nasional bersifat kebangsaan. Kebangsaan berarti pendidikan harus turut serta di dalam mewujudkan kemajuan bangsa yang berdasarkan cita-cita bangsa (ideologi). Hal itu berarti pendidikan dengan cita-cita bangsa tidak dapat dipisahkan. Kebangsaan menyangkut pengalaman sejarah dan juga budaya bangsa Indonesia (baca: multikultural), sehingga ideologi bangsa Indonesia yang menjadi pondasi dari pendidikan nasional sifatnya aspirasi, dan bukan deskriptif.

Page 18: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada falsafah sebagai pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam kurikulum pendidikan bangsa tersebut.

Sering terjadi jika suatu negara mengalami perubahan pemerintahan, politik pemerintahan itu mempengaruhi pula bidang pendidikan yang sering mengakibatkan terjadinya perubahan kurikulum tang berlaku. Sebagai contoh sebelum Indonesia merdeka setidaknya telah terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama ketika di jajah belanda kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya. Kedua ketika dijajah Jepang kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya yang bersemangatkan kemiliteran dan kebangunan Asia Timur Raya. Kemudia setelah Indonesia merdeka pra orde baru terjadi pula dua kali perubahan kurikulum, yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya retjcana pelajaran tahun 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada tahun 1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan dan diberinana rentjana Pelajaran terurai 1952.Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rentjana pendidikan tahun 1964, perubahan tersebut terjadi karena merasa perlunya peningkatan dan pengejaran segala ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam dan matematika.

KepustakaanAlif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa

Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &

Noble, Inc.Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.

Yogjakarta. Hal. 28Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta.

Page 19: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai.

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.    Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,

Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,

Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.

Yogyakarta : 1997 Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture.

HaperCollins Publiser. London. Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980 Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,

Bandung, Penerbit Alumni. Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya

Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July

11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,

London, George Allen and Unwind Ltd.    Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage

Publications. London. P. 85-87Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.comTitus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO

Page 20: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003)

Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit Paradigma, Yogyakarta

Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New York, Harvard College, University Press.

Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam

Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall  

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.

Chicago Rand McNellyCarter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of

Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara,

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO

Seminar on Decentralization. Unpublished.

Page 21: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.PembangunanKi Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian

Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.PressKi Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis LuhurKi Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,

Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7 Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak

Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.

Page 22: Kebijakan Pendidikan Orde Lama

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964

http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_contenthttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlhttp://stishidayatullah.ac.id/index2.phphttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlAliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.comKoran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down

load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal

16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November

2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan IndonesiaBeberapa Tantangan Menuju Masyarakat InformasiOleh : Rum RosyidDosen FKIP Universitas TanjungpuraDirektur Global Equivalency for Education