Upload
liatiya
View
143
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1413
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERMAKNA
MELALUI LESSON STUDY:
SOLUSI TEPAT IMPLEMENTASI
KURIKULUM 2013 UNTUK MENINGKATKAN
KUALITAS PEMBELAJARAN
Dr. Eddy Sutadji, M.Pd
Teknik Mesin FT UM
Abstrak: Implementasi Kurikulum 2013 yang sarat dengan paradigma pembelajaran
bermakna ("konstruktivistik") yakni pembelajaran berbasis saintifik melalui discovery,
problem based learning, project based learning, dan inkuiri membutuhkan guru-guru yang
inovatif, kreatif, dan selalu melakukan pengembangan diri sebagai guru profesional.
Pengembangan perangkat pembelajaran bermakna di sekolah merupakan syarat mutlak
yang harus dilakukan guru dalam menyiapkan pembelajaran yang bermutu. Perangkat
pembelajaran dimaksud adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang didalamnya
berisi pengembangan (1) strategi pembelajaran, (2) bahan pembelajaran, (3) media
pembelajaran, (4) lembar kerja siswa, dan (5) instrumen penilaian pembelajaran, yang
selama ini merupakan keterbatasan kemampuan guru-guru SD dalam membuat RPP
bermakna. Untuk mendorong tumbuhnya kemampuan profesional guru dalam
mengembangkan RPP yang bermutu, guru perlu dilatih untuk mengembangkan strategi
pembelajaran, media pembelajaran, bahan pembelajaran, lembar kerja siswa, dan instrumen
penilaian dalam pembelajaran, selanjutnya perangkat pembelajaran tersebut diintegrasikan
dengan pembelajaran di dalam kelas melalui lesson study. Karena alasan di atas,
pengembangan perangkat RPP yang baik dan benar serta untuk peningkatan proses
pembelajaran dan mutu pendidikan di sekolah sebagai solusi tepat dalam implementasi
Kurikulum 2013.
Kata kunci: perangkat pembelajaran bermakna, lesson study, kurikulum 2013
Kurikulum 2013
Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman
yang selalu berubah. Peran guru sangat fundamental dan strategis dalam mewujudkan generasi
emas bangsa.
Amanah RPJMN Kemendikbud 2010-2014 mengarahkan untuk memantapkan
pelaksanaan sistem pendidikan nasional, melalui penyediaan sistem pembelajaran,
penyempurnaan kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pembelajaran (Renstra,
Kemendikbud, 2010). Salah satu sasaran adalah penyempurnaan kurikulum sekolah dasar-
menengah sebelum tahun 2011 yang diterapkan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% pada
2014.
Pemerintah akan memberlakukan kurikulum baru mulai tahun ajaran 2013/2014, untuk
kemudian disebut Kurikulum 2013. Beberapa alasan perlunya pengembangan Kurikulum 2013
adalah: (1) perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu)
dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output) memerlukan
penambahan jam pelajaran; (2) kecenderungan banyak negara menambah jam pelajaran; dan (3)
perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia dengan
negara lain relatif lebih singkat (Kemendikbud, 2013).
Arah pengembangan kurikulum 2013 antara lain (1) karakteristik penguatan, (2)
menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar, (3)
menggunakan ilmu pengetahuan sebagai penggerak pembelajaran untuk semua mata pelajaran,
(4) menuntun siswa untuk mencari tahu, bukan diberi tahu (discovery learning), (5) menekankan
kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi, pembawa pengetahuan dan berfikir logis,
sistematis, dan kreatif, (6) mengukur tingkat berfikir siswa mulai dari rendah sampai tinggi, (7)
menekankan pada pertanyaan yang membutuhkan pemikiran mendalam (bukan sekedar
1414
hafalan), (8) mengukur proses kerja siswa, bukan hanya hasil kerja siswa, dan (9) menggunakan
portofolio pembelajaran siswa.
Dari paparan di atas jelas bahwa Kurikulum 2013 sarat akan pengimplementasian
paradigma pembelajaran positivistik di mana (1) siswa adalah subyek dalam belajar, (2) siswa
diminta untuk selalu bernalar dalam belajar dengan tuntutan berpikir tingkat tinggi (higher
order thinking) pada level 4, 5, dan 6, yakni mulai dari analysis, evaluation, dan creating, dan
(3) pembelajaran yang dikembangkan guru adalah pembelajaran yang bermakna.
Untuk memenuhi tiga tuntutan di atas, ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh guru,
mulai bagaimana guru merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan
mengevaluasi pembelajaran, menggunakan berbagai pendekatan yang muaranya bagaimana
siswa belajar, bukan bagaimana guru mengajar. Selanjutnya, berkait dengan pembelajaran
bermakna, lesson study (LS) adalah salah satu pilihan yang dapat digunakan guru dalam
pembelajaran.
Apa dan bagaimana itu LS dilaksanakan sehingga menyebabkan pembelajaran
bermakna? Ada berbagai definisi tentang lesson study, di antaranya: (1) praktik pengembangan
profesional berkelanjutan di mana guru-guru berkolaborasi untuk merencanakan, mengamati
dan merevisi pembelajaran (Northwest Regional Education Laboratory, 2004); (2) LS
merupakan suatu proses yang digunakan oleh guru-guru di Jepang untuk mengkaji ulang
secara sistematis keefektifan dari cara mengajar mereka untuk pencapaian tujuan
pembelajaran seperti yang diinginkan (Garfield, 2002); (3) LS adalah proses di mana guru-
guru bergabung dalam merencanakan, mengamati, menganalisa dan memperbaiki
pembelajaran aktual dalam kelas (disebut dengan research lessons); dan (4) LS adalah
kegiatan yang berorientasi pada praktik untuk meningkatkan keterampilan mengajar oleh guru-
guru itu sendiri (SISTEMS, 2006). Di antara keempat definisi itu terdapat persamaan yang
merupakan ciri khas lesson study (LS) yaitu guru-guru yang berkolaborasi/bergabung dalam
merencanakan (plan), mengamati (observe), dan memperbaiki/merevisi (revisi/refine).
Bill Cerbin & Bryan Kopp mengemukakan bahwa LS memiliki empat tujuan utama,
yaitu untuk: (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan
guru mengajar, (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru
lainnya, di luar peserta LS, (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri
kolaboratif, dan (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, di mana seorang guru dapat
menimba pengetahuan dari guru lainnya.
Konsep Belajar dalam Pembelajaran Bermakna
Konsep belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam kapasitas pribadi
seseorang sebagai akibat pengolahan atas pengalaman yang diperolehnya dan praktik yang
dilakukannya. Belajar aktif adalah kegiatan mengolah pengalaman dan atau praktik dengan cara
mendengar, membaca, menulis, mendiskusikan, merefleksi rangsangan, dan memecahkan
masalah, sedangkan belajar bermakna adalah proses belajar, pengalaman belajar dan hasil
belajar memiliki makna fungsional bagi kehidupan peserta didik.
Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa belajar adalah proses interaksi peserta didik
dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU sisdiknas). Ditambahkan
bahwa belajar adalah usaha sengaja, terarah dan bertujuan oleh seseorang atau sekelompok
orang (termasuk guru dan penulis buku pelajaran) agar orang lain (termasuk peserta didik),
dapat memperoleh pengalaman yang bermakna.
Prinsip pembelajaran yang mendidik adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik
(Sisdiknas, 2003).
Dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dalam kegiatan inti paling tidak
terdapat tiga kegiatan, yakni kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Kegiatan
eksplorasi, melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema
materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar
dari aneka sumber; menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan
sumber belajar lain; memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta
didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; melibatkan peserta didik secara
1415
aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan
di laboratorium, studio, atau lapangan.
Dalam elaborasi membiasakan peserta didik (1) membaca dan menulis yang beragam
melalui tugas tertentu yang bermakna; (2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas,
diskusi, untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; (3) memberi
kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa
takut; memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif; memfasilitasi
peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; (4) memfasilitasi
peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara
individual maupun kelompok; (5) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja
individual maupun kelompok; (6) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen,
festival, serta produk yang dihasilkan; dan (7) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan
yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
Dalam konfirmasi memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan,
tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, memberikan konfirmasi
terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, memfasilitasi
peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,
memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai
kompetensi dasar, berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan
peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan
pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; dan
memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
Di sisi lain, strategi pembelajaran memandang science sebagai: (1) science process meliputi observing, classifying, measuring, using spatial relationship, communicating,
predicting, inferring, defining operationally, formulating hypotheses, interpreting data,
controlling variables, dan experimenting, (2) science as content/product, (3) science as attitude,
dan (4) science as technology.
Bagaimana menciptakan pembelajaran, salah satunya adalah menggunakan pendekatan
laboratoris melalui (1) pengalaman langsung, (2) belajar melalui bekerja lebih dari sekedar
membaca, (3) pengalaman dan penguatan langsung, (4) menggunakan sain dalam kehidupan
sehari-hari, dan (5) didukung oleh semua sarana pendukung kegiatan seperti buku petunjuk,
bahan-bahan praktik yang dapat digunakan oleh siswa.
Strategi pembelajaran dalam pendekatan laboratories meliputi (1) Elementary Science
Studies (ESS), (2) Science Curriculum Improvement Study (SCIS), dan (3) Science A Process
Approach II (SAPA II) (Semiawan, 1992).
Dalam Elementary Science Studies (ESS), langkah-langkah yang dilakukan adalah (1)
diskusi (pembuka) tentang suatu topik atau kejadian yang dapat memancing rasa ingin tahu dan
menimbulkan pertanyaan, (2) mengadakan spekulasi (speculation), siswa mulai memikirkan
permasalahan dan alternatif pemecahannya. Siswa merumuskan hipotesis dan mengujinya
dalam diskusi terbuka atau dalam pikiran siswa, (3) melakukan eksperimen; siswa terlibat dalam
melakukan eksperimen untuk menjawab pertanyaan, dan (4) penerapan; siswa didorong untuk
menggunakan pengetahuan yang diperolehnya untuk menghadapi situasi yang baru. Di sisi lain,
Science Curriculum Improvement Study (SCIS) langkah-langkahnya meliputi: (1) eksplorasi:
guru menyediakan bahan belajar yang dapat memancing rasa ingin tahu dan menuntut mereka
untuk menemukan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan bahan belajar tersebut, (2)
penyelidikan (invention): guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan hasil
eksplorasinya dan menemukan/membentuk konsep-konsep yang dipelajarinya, dan (3)
penemuan (discovery): siswa menemukan penerapan baru dalam berbagai situasi terhadap
konsep-konsep yang telah dipelajarinya, sedangkan Science A Process Approach II (SAPA II)
langkah-langkah yang dilalui (1) tahap pendahuluan: guru mengenalkan konsep-konsep melalui
diskusi atau demonstrasi, (2) tahap kegiatan: siswa melakukan aktivitas yang sudah dijabarkan
dalam pedoman yang disediakan oleh guru (LK), (3) tahap penilaian/evaluasi: sejumlah
kegiatan yang dilakukan mencerminkan penguasaan siswa terhadap perilaku yang diharapkan
terhadap mereka. Guru dapat menyediakan item tes dan melancarkannya ke siswa untuk
selanjutnya digunakan untuk menilai kemajuan belajar siswa.
1416
Sudarwan (2003) menjelaskan bahwa pendekatan scientific bercirikan penonjolan
dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu
kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-
nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Sementara itu Kemendikbud (2013) dalam Standar
Proses dikemukakan bahwa pendekatan scientific menekankan pada pencapaian sikap,
pengetahuan dan keterampilan disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Batasan Baru dalam Ranah Domain Bloom
Sikap Pengetahuan Keterampilan
Menerima Mengingat Mengamati
Menjalankan Memahami Menanya
Menghargai Menerapkan Mencoba
Menghayati Menganalisis Menalar
Mengamalkan Mengevaluasi Menyaji
Menciptakan Mencipta
Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
1. Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan,
legenda, atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang
dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan
substansi atau materi pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi
pembelajaran.
5. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi
atau materi pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. 7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem
penyajiannya.
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Bermakna, LKS
Dalam pembelajaran bermakna, unsur penting untuk mengkondisikan siswa agar belajar
aktif dan memiliki daya nalar adalah bagaimana guru menyiapkan perangkat pembelajaran.
Perangkat dimaksud adalah adanya lembar kerja siswa (LKS).
Cain dan Jack (1994) mengemukakan sebagai berikut.
As an elementary science teacher, you must think of science not as a noun---a body of knoeledge or facts to be memorized---but as a verbacting, doing, investigating; that is, science as a means to an end. At this level how the children
acquire scientific information is more important than their committing scientific
content to memory.
Berdasarkan pendapat tersebut, bahwa siswa SD memerlukan pengalaman langsung
(hands-on experiences) dalam mengumpulkan, menyusun, menganalisis dan mengevaluasi
materi pembelajaran. Dengan pengalaman langsung seperti itu, siswa akan dapat membangun
pengetahuan, sikap dan keterampilannya secara relatif permanen.
Untuk mengaktualisasikan hal tersebut, siswa diarahkan untuk belajar melalui proses
penemuan, dengan menerapkan keterampilan proses. Terdapat beberapa keterampilan proses
seperti melakukan pengamatan, pengelompokan, pengukuran, mencari hubungan ruang dan
waktu, mengkomunikasikan, meramalkan, memberikan penjelasan hasil pengamatan, membuat
1417
definisi operasional, membuat hipotesis, melakukan interpretasi data, mengontrol variabel dan
melakukan eksperimen.
Di samping itu, dalam belajar siswa diarahkan untuk mengembangkan aspek kognitif,
afektif dan psikomotor mulai dari tingkat terendah sampai ke tingkat yang tertinggi. Misalnya
pada aspek kognitif, siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir pada tahap
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan sampai berpikir evaluatif. Demikian
pula pada aspek afektif mulai dari tingkat penerimaan sampai ke karakterisasi, dan pada aspek
psikomotor mulai dari tahap persepsi sampai originasi.
Untuk mencapai hal tersebut, dalam belajar siswa memerlukan pedoman (guide line)
berupa lembar kerja (worksheet). Lembar kerja siswa diarahkan pada proses penemuan bukan
berisi kumpulan soal-soal yang perlu dijawab. Lembar kerja siswa berisi urutan langkah-
langkah/kegiatan belajar yang tersusun secara sistematis dan logis, sehingga menyebabkan
siswa menemukan konsep-konsep penting yang menjadi tujuan belajarnya.
Langkah-langkah dalam membuat lembar kerja siswa adalah sebagai berikut.
1. Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). RPP yang disusun hendaknya mengarah pada proses penemuan yang memungkinkan siswa mengembangkan keterampilan
proses dan melibatkan tingkat berpikir tinggi.
2. Mengembangkan LKS yang merupakan bagian integral dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Langkah-langkahnya adalah:
a. Menentukan identitas mata pelajaran atau mata pelajaran terkait (pada pembelajaran tematik)
b. Menentukan topik/pokok dan subpokok bahasan (tema dan subtema dalam pembelajaran tematik)
c. Menuliskan peruntukan kelas/semester d. Menentukan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan e. Mengidentifikasi keterampilan proses/kompetensi yang hendak dicapai f. Menuliskan petunjuk singkat tentang cara mengerjakan LKS g. Mengidentifikasi alat/bahan yang diperlukan h. Menyusun langkah-langkah kegiatan secara urut dan logis i. Mengembangkan pengamatan yang akan dilakukan oleh siswa bersamaan dengan
langkah-langkah kegiatan sebelumnya dalam bentuk pertanyaan yang menuntun.
j. Mengembangkan instrumen asesmen untuk mengukur kinerja dan hasil kerja siswa. Untuk memperjelas langkah-langkah tersebut, berikut disajikan contoh LKS yang sesuai
untuk mengembangkan keterampilan proses siswa SD.
Contoh
LEMBAR KERJA SISWA
Mata Pelajaran : IPA
Topik : Udara
Sub Topik : Pengaruh Udara pada Pembakaran
Kelas/semester : IV/I
Waktu : 3 jam pelajaran
Keterampilan yang Dikembangkan: Observasi, menanya, eksperimen, menalar, dan
komunikasi, dan mencipta.
Petunjuk:
Buatlah kelompok masing-masing terdiri dari 3 siswa. Masing-masing kelompok
menyiapkan peralatan/bahan yang diperlukan. Selanjutnya masing-masing kelompok melakukan
kegiatan sesuai dengan langkah-langkah pada LKS. Hati-hatilah saat melakukan kegiatan,
karena bahan/alat yang dipakai dapat membahayakan diri dan lingkungan kelasmu. Ikutilah
dengan seksama petunjuk gurumu.
Modul merupakan suatu unit program pembelajaran yang disusun dalam bentuk tertentu
untuk keperluan belajar, dalam pengertian ini dapat diketahui bahwa modul yang dimaksud
sebagai modul pembelajaran (instructional module). Dari pengertian tersebut dapat dipahami
bahwa modul merupakan suatu paket belajar yang berkenaan dengan satu unit bahan pelajaran.
1418
Tabel 2. Penilaian LKS
No Nama
Aspek Penilaian
Kerjasama
Keruntutan
pelaksanaan
kegiatan
Kehati-hatian Kelengkapan
laporan
1.
2.
3.
4.
5.
Rubrik Penilaian.
1. Kerjasama Skor 1 jika siswa tidak terlibat dalam kegiatan kelompok
Skor 2 jika siswa hanya menjadi pengamat dalam kegiatan kelompok
Skor 3 jika siswa saling membantu dalam kegiatan kelompok
Skor 4 jika siswa saling bantu dalam semua kegiatan kelompok dan mampu memimpin
teman/anggota kelompoknya.
2. Keruntutan pelaksanaan kegiatan Skor 1 jika siswa melaksanakan kegiatan secara acak
Skor 2 jika beberapa kegiatan dilakukan secara berurutan
Skor 3 jika sebagian besar rangkaian kegiatan dilaksanakan secara berurutan.
Skor 4 jika semua langkah-langkah kegiatan dilakukan secara berurutan.
3. Kehati-hatian Skor 1 jika dalam melaksanakan kegiatan siswa bermain-main dengan bahan/alat yang
dipakainya dan membahayakan temannya
Skor 2 jika bahan-bahan yang dipakai ada yang tercecer di lantai
Skor 3 jika siswa melakukan percobaan dengan tertib sesuai perintah guru.
Skor 4 jika siswa sangat cermat dan penuh konsentrasi dalam melakukan kegiatan;
4. Kelengkapan laporan Skor 1 jika siswa hanya mampu menjawab kurang dari separo pertanyaan dalam LKS.
Skor 2 jika siswa hanya mampu menjawab separo dari pertanyaan dalam LKS
Skor 3 jika siswa mampu menjawab tiga perempat pertanyaan dalam LKS
Skor 4 jika semua pertanyaan dijawab dengan benar dan menggambarkan cara berpikir
tingkat tinggi.
Menurut BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, modul didefinisikan sebagai
suatu unit program pembelajaran terkecil yang secara rinci menggariskan hal sebagai berikut.
a. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai
b. Topik yang akan dijadikan dasar proses pembelajaran
c. Pokok-pokok materi yang dipelajari
d. Kedudukan dan fungsi modul dalam kesatuan program yang lebih luas
e. Peranan guru dalam proses pembelajaran
f. Alat-alat dan sumber yang akan digunakan
g. Kegiatan belajar yang harus dilakukan
h. Lembar kerja yang harus dikerjakan
i. Program evaluasi yang harus dilaksanakan
Secara prinsip latihan hendaknya; relevan dengan materi yang disajikan, sesuai dengan
kemampuan siswa, bentuknya bervariasi, bermakna/bermanfaat, menantang siswa untuk
berpikir kritis dan penyajiannya sesuai dengan karakteristik setiap mata pelajaran. Sementara
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penyajian latihan adalah: (1) tentukan konsep,
dalil, teori yang memerlukan latihan, (2) cari berbagai bentuk latihan yang sesuai, (3) pilih
bentuk latihan yang paling sesuai, (4) tentukan teknik latihan yang digunakan, (5) tentukan
sasaran, (6) rumuskan latihan, dan (7) dan membuat rambu-rambu pengerjaan latihan.
Komponen-komponen pada handout tidaklah serumit seperti pada modul, karena telah
dijelaskan sebelumnya bahwa handout tidak disajikan dalam unit-unit terkecil bagian
1419
pembelajaran. Handout berisi materi ajar dalam suatu mata pembelajaran secara utuh tanpa
disajikan dalam kegiatan belajar.
Biasanya penyajiannya berdasarkan pada pokok-pokok bahasan yang terdapat dalam
suatu mata pelajaran pada semester tertentu. Jika dilihat sepintas handout hampir sama dengan
buku teks biasa, tetapi yang membedakan adalah dalam handout terdapat panduan belajar bagi
siswa dan tujuan/kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran.
Komponen-komponen LKS:
1. Kata pengantar
2. Daftar isi
3. Pendahuluan (berisi analis/daftar dari tujuan pembelajaran dan indikator
ketercapaian berdasarkan hasil analisis dari RPS)
4. Bab 1 berisi: ringkasan materi/penekanan materi dari pokok bahasan
tersebut.
5. Lembar kerja: berisi berbagai soal yang dikembangkan dalam berbagai
bentuk dan teknik.
6. Bab 2 dst
7. Daftar Pustaka
Materi yang disajikan dalam LKS bukanlah pemaparan secara menyeluruh seperti
layaknya dalam modul maupun handout, tetapi hanya berupa ringkasan saja, tetapi pada bagian
materi tertentu yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi maka pemaparan materi lebih
difokuskan. Perlu diperhatikan, bahwa latihan dan soal-soal yang dikembangkan harus
menggunakan berbagai bentuk dan teknik yang beraneka ragam sehingga tidak membosankan.
Harus dicantumkan pula langkah-langkah pengerjaannya jika soal tersebut berbentuk esai dan
penugasan.
Kesimpulan
Dari paparan makalah di atas dapat disimpulkan:
1. Terwujudnya perangkat pembelajaran konstruktivistik dengan lesson study yang memiliki daya tarik, efektifitas, dan efisiensi yang tinggi.
2. Pelaksanaan pembelajaran bermakna melalui lesson study adalah salah satu yang dapat dilakukan untuk melihat secara nyata bagaimana siswa belajar, bukan bagaimana guru
mengajar.
3. Lembar kerja siswa (LKS) adalah salah satu unsur penting dalam menciptakan agar siswa belajar dengan bernalar karena di dalam LKS berisi tugas agar siswa berpikir analitis,
kritis, dan menemukan hasil pengamatannnya sebagai bentuk perwujudan pembelajaran
berbasis saintifik.
4. Kemampuan guru dalam menghasilkan produk pembelajaran berupa perangkat pembelajaran seperti LKS perlu adanya pembiasaan dalam rangka menyongsong
implementasi penerapan kurikulum 2013.
Saran
1. Guru lebih meluangkan waktu untuk pengembangan diri untuk meningkatkan profesionalitasnya melalui pengembangan perangkat pembelajaran bermakna, khususnya
bagaimana membuat LKS yang dapat mengkondisikan bagaimana bernalar untuk
menemukan.
2. Guru perlu banyak berlatih bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran bermakna yang dapat dipadukan dengan lesson study dalam proses pembelajaran.
3. Guru lebih proaktif merespon perkembangan pembelajaran terkini dengan memaknai secara lebih baik implementasi Kurikulum 2013.
4. Para stakeholder di bidang pendidikan, seperti kepala sekolah dan pengawas harus berupaya mendorong dan memotivasi para guru untuk pengembangan diri, khususnya
penerapan pembelajaran bermakna.
Daftar Rujukan
AECT. 1986. Definisi Teknologi Pendidikan. Jakarta: CV. Rajawali.
Andik, N. 2008. Keefektifan Lesson Study dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru
Matematika di SMA Laboratorium UM. Skripsi. Malang: Universitas Negeri Malang.
1420
Bill Cerbin & Bryan Kopp. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study Project.
online: http://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm (diakses 20 Agustus 2012).
Cain, S.E. dan Jack, M.E. 1994. Sciencing. Ohio: Merril Publishing Company.
Danim, S. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson study on Developing Effective Statistics
Curriculum, (Online), www.stat.auckland.ac.nz/-iase/ publications/11/- Garfield.doc,
(diakses 15 Juli 2010).
Gay, L.R. 1981. Educational Research: Competencies for Analysis & Application. (2rd
ed).
Ohio: Charles E. Merril Publishing Co.
Istamar, S. dan Ibrohim. 2008. Lesson Study (Studi Pembelajaran): Model Pembinaan Pendidik
dipetik dari Pengalaman Implementasi Lesson Study dalam Program SISTTEMS JICA
di Kabupaten Pasuruan. Malang: FMIPA UM.
Kemendikbud. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
Jakarta: Kemendikbud.
Kemendikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:
Kemendikbud.
Lewis, C.C. 2002. Lesson Study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change.
Philadelphia: Research For Better School. Inc.
Lewis, C. Perry, R. dan Murata, A., 2006. How Should Research Contribute to Instructional
Improvement?: The Case of Lesson study. Educational Researcher, 35(3):3-14.
Miarso, Y.H. 1986. Teknologi Komunikasi Pendidikan: Pengertian dan Penerapannya di
Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
Michael, O, McClendon, & Robert, M.B. 2006. Educational Media and Technology Yearbook.
Vol 31. Published in cooperation with the Association for Educational Communications
and Technology.
Saito, E., 2005. Changing Lessons, Changing Learning: Case Study of Piloting Activities under
IMSTEP. Prosiding Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya & Exchange
Experience of IMSTEP. Malang, 5-6 September.
Scheerens, J. dan Bosker, R. 1997. The Foundation of Educational Effectiveness. London:
Pergamon.
Semiawan, C. 1992. Pendekatan Keterampilan Proses. Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam
Belajar?. Jakarta: Grasindo.
Singarimbun, M., & Efendi, S. 1987. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
SISTTEMS. 2006. Studi Khusus Lesson Study, (online), (http://www.SISTTEMS.org/id/lesson-
study.html diakses 3 Februari 2010).
Slameto, 2004. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, R.. 1987. Cooperative Learning: Student Teams. NEA Professional Library: National
Education Association.
Sutadji, E. dan Nyoto, A. 2010. Pengembangan Model Evaluasi Mutu Sekolah: Penerapannya
pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP).
Laporan Penelitian. Malang: LP2M.
Suyanto, K. 2008. Model Membelajaran. Malang: PSG Rayon 15 Universitas Negeri Malang.
Syah, M. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Woods, P., Jeffrey, B. Troman, G. dan Boyle, M. 1997. Restructuring Schools, Reconstructing
Teachers. Buchinhham: Open University Press.
1421
KOMPETENSI GURU SMK DALAM MELAKSANAKAN
PENILAIAN PEMBELAJARAN
Dr. Sihkabuden, M.Pd
Dr. Agus Wedi, M.Pd
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut model dan teknik penilaian
yang dilakukan secara internal dan eksternal oleh seorang guru sehingga dapat diketahui
perkembangan dan ketercapaian berbagai kompetensi peserta didik. Oleh karena itu,
dibutuhkan petunjuk teknis penilaian yang diperuntukkan bagi pelaksanaan penilaian
proses dan hasil belajar siswa. Permasalahan kompetensi guru dalam melaksanakan
penilaian hasil belajar siswa masih sangat terbatas, terutama bagaimana cara menilai
proses pembelajaran dan produk hasil belajar yang sesuai dengan standar penilaian
pendidikan. Dalam melakukan penilaian hasil belajar yang sesuai dengan standar
penilaian pendidikan, seorang guru harus memiliki kompetensi yang memadai.
Kompetensi guru diperlukan mengingat tugas utama guru selain melakukan
pembelajaran di kelas, guru memiliki tugas yang berhubungan dengan kegiatan
pembelajaran yaitu guru harus melakukan penilaian hasil belajar.
Kata kunci: kompetensi guru, KBK, penilaian hasil belajar
Standar Nasional Pendidikan yang tertuang dalam PP 19 Tahun 2005 menjelaskan
bahwa kurikulum yang diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah kurikulum
berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum berbasis standar
adalah kurikulum yang menggunakan acuan standar kompetensi. Penerapan kurikulum berbasis
kompetensi merupakan tantangan dan akan memotivasi semua lembaga pendidikan untuk
mencapainya.
Tujuan penulisan makalah ini adalah: (1) memberikan penjelasan mengenai orientasi
baru dalam penilaian hasil belajar yang berbasis kompetensi, (2) memberikan wawasan secara
umum tentang konsep penilaian internal dan eksternal, (3) memberikan rambu-rambu proses
penilaian hasil belajar, (4) memberikan penjelasan tentang prinsip-prinsip pengolahan dan
pelaporan hasil penilaian, dan (5) memberikan penjelasan tentang pengembangan butir soal
yang didalamnya mencakup pengembangan kisi-kisi dan pengembangan soal, baik soal teori
maupun praktik.
Sejalan dengan karakteristik KBK yang berorientasi pada penguasaan kompetensi maka
sistem penilaian yang diterapkan berupa sistem penilaian berbasis kompetensi. Dengan
demikian standar penilaian pendidikan untuk KBK adalah standar sistem penilaian yang
berorientasi pada tingkat penguasaan kompetensi yang ditargetkan di dalam kurikulum.
Penerapan pendidikan berbasis kompetensi juga disebut berbasis kompetensi dasar,
mencakup masalah pengembangan silabus dan sistem penilaiannya. Standar kompetensi dapat
diuraikan menjadi sejumlah kompetensi dasar. Silabus merupakan acuan untuk merencanakan
dan melaksanakan program pembelajaran siswa, sedangkan sistem penilaian berbasis
kompetensi dasar mencakup jenis tagihan dan bentuk instrumen.
Penilaian hasil belajar pada Sekolah Menengah Kejuruan, selain dilakukan oleh
pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah juga oleh masyarakat (Du/Di). Penilaian oleh
pendidik dan satuan pendidikan merupakan penilaian internal (internal assessment) dalam
rangka penjaminan mutu, sedangkan penilaian oleh pemerintah dan masyarakat (Du/Di)
merupakan penilaian eksternal (external assessment) sebagai pengendali mutu (Direktorat
PSMK, 2008).
Kurikulum berbasis kompetensi menuntut model dan teknik penilaian yang dilakukan
secara internal dan eksternal sehingga dapat diketahui perkembangan dan ketercapaian berbagai
kompetensi peserta didik. Oleh karena itu, dibutuhkan petunjuk teknis penilaian yang
diperuntukkan bagi pelaksanaan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK).
1422
Pengembangan sistem penilaian hasil kegiatan belajar mengajar berbasis kompetensi
mengikuti urutan tertentu, yang secara berturutan adalah: standar kompetensi, kompetensi dasar,
materi pokok, indikator, dan sistem penilaian. Sistem penilaian memiliki dua komponen yaitu:
jenis tagihan dan bentuk instrumen.
Standar penilaian pendidikan dapat dicapai manakala ada aturan yang baku tentang
sistem penilaian pendidikan yang diterapkan dalam setiap jenjang pendidikan, baik menyangkut
dasar, prinsip, tujuan, dan strategi penilaiannya. Menurut Mardapi (2008:10) peningkatan
kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas
sistem penilaian. Keduanya saling terkait sebab sistem pembelajaran yang baik akan
menghasilkan kualitas belajar yang baik. Kualitas pembelajaran tersebut akan dapat dilihat dari
hasil penilaiannya. Selanjutnya, sistem penilaian yang baik akan mendorong guru untuk
menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi siswa untuk belajar secara lebih baik.
Pedoman penilaian berbasis kompetensi disiapkan untuk memberi dasar bagi guru dan
siswa agar mampu melakukan pengukuran, penilaian, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
pembelajaran di sekolah terhadap peserta didik (siswa) atas penguasaan kompetensi yang
dikuasainya setelah melalui proses pembelajaran untuk membangun sistem penilaian yang baku
bagi guru SMK yang bersifat teori maupun praktikum dengan kelompok Matadiklat Adaptif,
Normatif, dan Produktif sehingga dapat memberi informasi yang akurat mengenai tingkat
kompetensi yang dicapai siswa.
Sistem tersebut meliputi kegiatan perancangan penilaian, penyajian hasil penilaian, dan
tindak lanjutnya. Perancangan penilaian mencakup penyusunan kisi-kisi yang memuat indikator
dan strategi penilaian. Strategi penilaian mencakup pemilihan metode dan teknik penilaian,
pemilihan bentuk instrumen dan penyusunan contoh instrumen penilaian. Penyajian hasil
penilaian mencakup penilaian pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dan ditampilkan
dalam bentuk profil hasil belajar.
Permasalahannya adalah kompetensi guru dalam melaksanakan penilaian hasil belajar
siswa masih sangat terbatas, terutama bagaimana cara menilai proses pembelajaran dan produk
hasil belajar yang sesuai dengan standar penilaian pendidikan. Oleh karena itu, lingkup petunjuk
teknis penilaian ini meliputi konsep dasar penilaian, teknik penilaian, langkah-langkah
pelaksanaan penilaian, pengelolaan hasil penilaian, serta pemanfaatan dan pelaporan hasil
penilaian, dilengkapi dengan bagaimana cara mengembangkan butir soal perlu dipahami oleh
guru.
Penilaian Hasil Belajar
Penilaian atau asesmen adalah prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi
tentang prestasi atau kinerja seseorang. Hasil penilaian digunakan untuk melakukan evaluasi.
Informasi tersebut diperoleh dari hasil pengolahan data pengukuran dan nonpengukuran.
Informasi disajikan dalam bentuk profil siswa untuk menetapkan apakah siswa dinyatakan
sudah atau belum menguasai kompetensi yang ditargetkan (Allen & Yen, 1979).
Pengukuran dan non pengukuran adalah proses untuk memperoleh deskripsi tentang
karakteristik seseorang dengan aturan tertentu. Hasil pengukuran berupa data numerik atau
kuantitatif, sedangkan hasil nonpengukuran berupa data kualitatif. Contoh pengukuran adalah
memberikan ulangan atau tugas, sedangkan contoh non pengukuran adalah pengamatan
terhadap aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran.
Evaluasi merupakan tindakan untuk menetapkan tingkat keberhasilan suatu program
pendidikan, termasuk menetapkan keberhasilan siswa dalam program pendidikan yang diikuti
(Stark & Thomas, 1993). Fokus evaluasi adalah keberhasilan program atau kelompok siswa.
Sebagai contoh, guru harus mengevaluasi apakah program pembelajaran yang dirancang sudah
menunjukkan hasil yang diharapkan. Demikian pula, suatu program studi harus mengevaluasi
apakah seluruh siswa yang menempuh suatu program berhasil atau gagal.
Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah meningkatkan kinerja individu atau
lembaga. Usaha meningkatkan kinerja harus berdasarkan pada kondisi saat ini yang diperoleh
melalui kegiatan penilaian. Data untuk keperluan penilaian diperoleh dengan menggunakan alat
ukur. Alat ukur yang banyak digunakan dalam melakukan penilaian bermacam-macam, salah
satu di antaranya tes. Agar diperoleh informasi yang akurat, tes yang digunakan harus memiliki
bukti-bukti tentang kesahihan dan keandalan. Jadi, usaha meningkatkan kualitas pendidikan
1423
memerlukan kegiatan evaluasi yang didahului oleh tindakan penilaian. Untuk melakukan
penilaian dilakukan pengukuran dengan alat ukur yang sahih dan andal.
Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa tes dan/atau
nontes. Tes adalah alat ukur, berupa satu set pertanyaan, untuk mengukur sampel tingkah laku,
dan jawaban yang diberikan dapat dikategorikan menjadi benar dan salah. Nontes juga
merupakan alat ukur untuk mengukur sampel tingkah laku, tetapi jawaban yang diberikan tidak
dapat dikategorikan benar dan salah, misalnya kategori positif dan negatif, setuju dan tidak
setuju, atau suka dan tidak suka.
Menurut Cuningham (1998:3) setidaknya terdapat tujuh standar bagi guru agar dapat
melakukan penilaian dengan benar untuk mengambil keputusan pembelajaran, yakni guru harus
terampil dalam: (1) memilih metode penilaian, (2) mengembangkan metode penilaian, (3)
mengadministrasikan, mencetak, dan menafsirkan hasil penilaian, (4) menggunakan hasil
penilaian ketika membuat keputusan pada masing-masing siswa, perencanaan pengajaran,
pengembangan kurikulum, dan perbaikan sekolah, (5) mengembangkan prosedur penilaian
siswa yang tepat, (6) mengkomunikasikan hasil penilaian kepada siswa, orang tua, pendidik
lainnya, serta masyarakat, dan (7) mengenali metode penilaian yang melanggar etika, ilegal, dan
tidak layak yang akan digunakan sebagai informasi penilaian.
Pokok-pokok Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
memaparkan bahwa penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi
untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Prosedur penilaian yang baik
setidaknya memiliki empat syarat, yakni: (1) mengetahui prosedur yang benar dalam melakukan
penilaian siswa, (2) ketersediaan jumlah waktu yang cukup, (3) direncanakan, dan (4) adanya
analisis reflektif dari proses penilaian. Di sisi lain, assessment purposes adalah untuk (1)
keeping track, melacak kemajuan peserta didik, (2) checking up, mengecek ketercapaian
kemampuan, (3) finding out, mendeteksi kesalahan, dan (4) summing up, menyimpulkan. Dalam
PP 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa prinsip-prinsip penilaian pembelajaran bidang studi antara
lain adalah sahih, obyektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan berkesinambungan,
sistematis, beracuan kriteria, serta akuntabel.
Pembelajaran di SMK yang berbasis kompetensi, pengertian penilaian adalah proses
sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka atau deskripsi verbal), analisis, dan
interpretasi untuk mengambil keputusan. Sedangkan penilaian pendidikan adalah proses
pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta
didik.
Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar
pengambilan keputusan. Dalam hal ini, keputusan berhubungan dengan sudah atau belum
berhasilnya peserta didik dalam mencapai suatu kompetensi. Jadi, penilaian merupakan salah
satu pilar dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berbasis
kompetensi.
Penilaian merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah
perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang
menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi
tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian dilaksanakan melalui berbagai bentuk antara lain:
penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test),
penilaian proyek, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan
penilaian diri.
Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang
menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan
mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik tidak dianjurkan untuk dibandingkan
dengan peserta didik lainnya, tetapi dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut
sebelumnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi dibantu
untuk mencapai apa yang diharapkan.
Prinsip, Kegunaan, dan Fungsi Penilaian dalam Pembelajaran
Dalam melaksanakan penilaian dalam pembelajaran, seorang guru harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut: (1) memandang penilaian dan
kegiatan pembelajaran secara terpadu, (2) mengembangkan strategi yang mendorong dan
memperkuat penilaian sebagai cermin diri, (3) melakukan berbagai strategi penilaian di dalam
1424
program pembelajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta
didik, (4) mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik, (5) mengembangkan
dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta
didik, dan (5) menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi. Penilaian dapat dilakukan
dengan cara tertulis, lisan, produk portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan tingkah laku.
Hal ini perlu dipahami guru dalam melakukan penilaian secara berkesinambungan
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil, dalam bentuk: ulangan harian, ulangan
tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Ulangan harian dapat
dilakukan bila sudah menyelesaikan satu atau beberapa indikator atau satu kompetensi dasar
(KD), ulangan tengah semester dilakukan bila telah menyelesaikan beberapa KD atau satu
stndar kompetensi (SK), ulangan akhir semester dilakukan setelah menyelesaikan semua KD
atau SK semester bersangkutan, sedangkan ulangan kenaikan kelas dilakukan pada akhir
semester genap dengan menilai semua SK semester ganjil dan genap, dengan penekanan pada
semester genap.
Dalam pelaksanaannya, penilaian kompetensi pada uji kompetensi melibatkan pihak
sekolah dan Institusi Pasangan/Asosiasi Profesi, dan pihak lain terutama DU/DI. Idealnya,
lembaga yang menyelenggarakan uji kompetensi ini independen; yakni lembaga yang tidak
dapat diintervensi oleh unsur atau lembaga lain.
Agar penilaian objektif, pendidik harus berupaya secara optimal untuk (1)
memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja peserta didik dari sejumlah penilaian, dan (2) membuat
keputusan yang adil tentang penguasaan kompetensi peserta didik dengan mempertimbangkan
hasil kerja (karya).
Kegunaan penilaian dalam pembelajaran setidaknya mengandung beberapa poin, yakni:
(1) memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kekuatan dan kelemahan
dirinya dalam proses pencapaian kompetensi, (2) memantau kemajuan dan mendiagnosis
kesulitan belajar yang dialami peserta didik sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remedial,
(3) untuk umpan balik bagi pendidik/guru dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan,
dan sumber belajar yang digunakan, (4) memberikan informasi kepada orang tua dan komite
sekolah tentang efektivitas pendidikan, dan (5) memberi umpan balik bagi pengambil kebijakan
(Dinas Pendidikan Daerah) dalam meningkatkan kualitas penilaian yang digunakan.
Di sisi lain, penilaian pembelajaran memiliki fungsi untuk (1) menggambarkan
sejauhmana peserta didik telah menguasai suatu kompetensi, (2) mengevaluasi hasil belajar
peserta didik dalam rangka membantu memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah
berikutnya, baik untuk perencanaan program belajar, pengembangan kepribadian, maupun untuk
penjurusan (sebagai bimbingan), (3) menemukan kesulitan belajar, kemungkinan prestasi yang
bisa dikembangkan peserta didik, dan sebagai alat diagnosis yang membantu pendidik/guru
menentukan apakah seseorang perlu mengikuti remedial atau pengayaan, (4) menemukan
kelemahan dan kekurangan proses pembelajaran yang sedang berlangsung guna perbaikan
proses pembelajaran berikutnya, dan (5) pengendali bagi pendidik/guru dan sekolah tentang
kemajuan perkembangan peserta didik.
Pengintegrasian Penilaian dalam Pembelajaran
Seorang guru dikatakan kompeten dalam melakukan penilaian siswa diasumsikan oleh
dua hal, (1) penilaian siswa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peran guru, dan (2)
pembelajaran dan penilaian yang baik berjalan bersama-sama (Cunningham, 1998:5). Karena
itu, sebelum melakukan penilaian, seorang guru diharapkan memiliki kemampuan memahami
tujuan penilaian. Tujuan penilaian adalah untuk (1) menilai kemampuan individual melalui
tagihan dan tugas tertentu, (2) menentukan kebutuhan pembelajaran, (3) membantu dan
mendorong peserta didik, (4) membantu dan mendorong guru untuk mengajar yang lebih baik,
(5) menentukan strategi pembelajaran, (6) akuntabilitas lembaga, dan (7) meningkatkan kualitas
pendidikan.
Tenaga pendidik (guru) yang akan mengadakan penilaian tentang siswa harus tahu
bahwa penilaian mengandung berbagai asumsi, dan jika asumsi-asumsi tidak dapat dipenuhi
maka validitas hasil tes dan interpretasinya dianggap kurang. Newland (1971)
mengidentifikasikan dan mendiskusikan lima macam asumsi yang melandasi penilaian antara
lain: (1) orang-orang yang melakukan tes harus ahli, (2) kesalahan akan selalu terjadi, (3)
1425
akulturisasi sebanding, (4) sampel tingkah laku harus memadai, dan (5) tingkahlaku sekarang
diobservasi, dikemudian hari merupakan kesimpulan.
5. Orang-orang yang Melakukan Tes Harus Ahli Bila siswa dites, maka kita berasumsi bahwa orang yang melakukan tes telah
memperoleh latihan yang cukup untuk mengadakan tes. Diasumsikan pula bahwa pengetes
mengetahui dan memang ia akrab dengan siswa-siswa; siswa-siswa biasanya penampilannya
baik bila iklimnya penuh kepercayaan dan kepastian. Diasumsikan bahwa pengetes tahu
bagaimana harus menjalankan tes secara baik. Pengetesan mengandung pengungkapan stimulus-
stimulus atau rangsangan-rangsangan yang standar. Bila pengetes tidak dapat menyajikan materi
atau pertanyaan-pertanyaan yang betul, maka skor yang diperoleh tidak lagi syah. Para pengetes
dianggap tahu bagaimana memberi skor. Pemberian skor yang betul merupakan keharusan
untuk mendapatkan gambaran yang berarti dari hasil yang dicapai siswa. Diasumsikan bahwa
interpretasi yang diberikan pengetes akurat (betul dan teliti).
Pengelolaan tes, pemberian skor dan mengeluarkan hasil interpretasi membutuhkan
pelbagai tingkat latihan dan keahlian tergantung jenis tes dan seberapa jauh dapat memberikan
interpretasi tentang penampilan yang dites. Walaupun hampir semua guru dapat mengadakan tes
inteligensi dan prestasi siswa-siswanya, namun harus memperoleh latihan untuk memberikan
skor dan mengadakan interpretasi inteligensi perorangan dan tes kepribadian. Dikebanyakan
negara hak untuk mengetes diserahkan kepada ahli psikolog.
Nampaknya asumsi pertama ini sangatlah penting dan pengetesan harus dilakukan oleh
seorang ahli. Sering terjadi dan hal ini kita sesalkan bahwa banyak orang yang mengadakan tes
intelegensi atau tes kepribadian tanpa latar belakang yang memadai. Tes-tes yang diberikan
nampaknya memang mudah, tetapi pemberian skor dan interpretasi sangatlah kompleks. Tes
menentukan nasib siswa, karena itu pengetes harus ahli.
k. Kesalahan Akan Selalu Terjadi Tidak ada pengukuran psikologi atau pendidikan yang bebas kesalahan. Bila kita
mengetes tentu akan terjadi beberapa kesalahan. Pada bagian lain dijelaskan tentang kesalahan-
kesalahan, tetapi pada bagian ini akan diulas sedikit. Nunnally (1978) membagi adanya dua
macam kesalahan atau error, yaitu kesalahan sistematik (systematic error) dan kesalahan acak
(random error). Sebagai contoh sebuah kesalahan sistematik diperlihatkan bahwa seorang ahli
kimia yang menggunakan termometer yang akurat, selalu membaca 2 derajat lebih tinggi dari
temperatur yang seharusnya dari cairan. Semua pernyataan derajat temperatur selalu 2 derajat
lebih tinggi, apapun yang diukurnya, sehingga kelebihan 2 derajat ini merupakan kesalahan
yang sistematik.
Dalam proses pengukuran kesalahan acak terbagi dalam dua jenis. Pertama, pengukur
tidak konsisten. Nunnally menggambarkan seorang ahli kimia yang berpenglihatan dekat (near
sighted) yang membaca termometer yang akurat secara tidak akurat. Pembacaan termometer
selalu salah, tetapi kesalahan akan bersifat acak. Pada saat tertentu ahli kimia tersebut membaca
termeometer 5 derajat lebih dan pada saat lain membacanya 4 derajat lebih rendah. Kesalahan
tersebut mengganggu pengukuran. Kedua, alat-alat pengukur dapat menghasilkan data yang
tidak konsisten. Misalnya, alat pengukur terbuat dari karet akan menyebabkan pengukuran
berbeda-beda.
Rehabilitasi menandai seberapa jauh alat pengukur bebas dari kesalahan acak. Sebuah
tes yang sangat kecil kesalahan acaknya, atau disamakan dengan tes yang akurat, dikatakan
dapat dipercaya (reliable), sedangkan tes dengan kebanyakan kesalahan acak atau tes yang tidak
akurat, dikatakan tidak dapat dipercaya. Bermacam-macam tes berbeda realibilitasnya.
Perangkat-perangkat tes yang tidak dapat dipercaya, yaitu banyak kesalahan acaknya,
mengecohkan keputusan tentang siswa.
Akulturisasi Sebanding Tiap siswa mempunyai latar belakang dan pengalaman yang berbeda, seperti
lingkungan pendidikan, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Bila kita mengetes siswa
dengan menggunakan perangkat yang sudah standar dan kemudian menentukan indeks
kedudukan siswa tersebut, maka kita berasumsi bahwa siswa tersebut cocok dengan perangkat
standar yang digunakan atau dengan kata lain akulturisasi sebanding, tetapi tidak identik.
Jika seorang siswa mempunyai latar belakang dan pengalaman yang berbeda dengan
siswa lainnya dan kemudian tes standar dengan norma yang telah ditentukan, maka penggunaan
tes tersebut dapat menghasilkan indeks yang salah dan menelurkan keputusan pendidikan yang
1426
keliru pula. Perlu ditandaskan di sini bahwa akulturisasi merupakan latar belakang dan
pengalaman seseorang dan tidak tergantung warna kulit, suku dan bangsa. Akulturisasi seorang
siswa dikatakan berbeda dengan siswa-siswa lain yang dipergunakan sebagai norma bila latar
belakang pengalamannya berbeda.
Susahnya kebanyakan ahli psikologi, konselor, dan spesialis remedial menganut paham
yang salah tentang latar belakang pengalaman ini. Tes Cepat (the Quick Test) misalnya
distandarkan pada anak-anak Amerika berkulit putih dari Missoula, Montana dan sehari-hari
dipergunakan untuk mengukur inteligensi anak-anak Negro yang hidup di ghetto (daerah
kumuh) yang latar belakang pendidikan, sosial dan budayanya dapat berbeda dengan norma
standar yang dipergunakan.
Bagian pengungkap penampilan dari WISC-R (the Wechsler intelligence Scale-
Revised) terdiri atas berbagai tes (kebanyakan manipulatif, seperti pembentukan sebuah obyek
dengan potongan-potongan puzzle) yang tidak membutuhkan tanggapan verbal dari anak. Fakta bahwa dalam tes ini anak tak perlu berbicara, maka tes ini sering dipergunakan untuk
anak tuna rungu wicara. Levin (1974) mengatakan bagaimana mungkin, tes tersebut dibuat
untuk anak normal dan tak boleh dipergunakan untuk anak bisu. Berbagai subtes dari skala
Wechsler misalnya: Picture Completion dan Picture Arrangement memerlukan kompetensi verbal.
Sampel Tingkah Laku Harus Memadai Asumsi keempat yang mendasari penilaian psiko pendidikan haruslah mempunyai
sample yang memadai dalam jumlah dan mewakili area. Tes apapun merupakan sample dari
tingkah laku. Bila kita ingin mendapat informasi kecakapan seorang siswa tentang matematika,
maka siswa mendapat soal-soal tentang matematika yang harus dipecahkan. Demikian pula bila
kita ingin mengetahui kepandaian siswa dalam mengeja, maka siswa diminta mengeja berbagai
macam kata. Bila kita memberikan tes matematika atau pengejaan kata, maka asumsi kita telah
tersedia cukup sample dari butir-butir soal-soal, hingga dapat ditentukan kecakapan siswa pada
area yang bersangkutan. Ada beberapa guru yang hanya memberikan dua soal berhitung atau
aritmatika dan berasumsi bahwa kepandaian siswa telah dapat diketahui dalam aritmatika.
Mengetes memerlukan sample tingkah laku yang mencukupi untuk membantu menentukan
keputusan.
Pengambilan sample tingkah laku haruslah cukup jumlahnya, sebab kita asumsikan
bahwa tes mengukur seperti yang dikehendaki penyusun tes tersebut. Kita berasumsi bahwa tes
inteligensi mengukur inteligensi dan tes pengejaan mengukur kepandaian mengeja. Tes
penjumlahan matematika secara keseluruhan, sebab matematika mencakup lebih banyak
daripada penjumlahan saja. Banyak tes membaca yang kurang mencukupi, sebab membaca
memerlukan komponen-komponen lain, seperti rekognisi, komprehensi, dan analisis fonetik.
Dengan demikian semua tes jangan hanya dibatasi oleh karena namanya saja, seperti tes
membaca ya hanya membacanya saja.
Tingkahlaku Sekarang Diobservasi: Dikemudian Hari Merupakan Kesimpulan Apabila guru mengadakan tes hanya mengobservasi penampilan siswa yang dites pada
satu sampel tingkah laku, pada waktu tertentu, pada kondisi tertentu dan situasi tertentu. Guru
mengobservasi apa yang mampu dikerjakan siswa tersebut di kemudian hari. Guru hanya
mengambil contoh tingkah laku yang terbatas dan mengadakan generalisasi penampilan
individual untuk semua tingkah laku. Sebagai contoh dapatlah diambil hal sebagai berikut:
Heathcote mengerjakan 10 soal penjumlahan dan betul semua, tetapi angka-angka yang digarap
hanya terdiri atas 1 digit, yaitu 1, 2, 4 dan seterusnya, dan kita mengambil kesimpulan bahwa
Heatcote dapat pula menggarap soal penjumlahan yang berdigit 2 (24, 27 dst.). Jadi prediksi
atau keputusan untuk tingkah laku seseorang untuk hari yang akan datang dapat digambarkan
semudah itu. Prediksi ini merupakan kesimpulan-kesimpulan yang dapat diandalkan dengan
derajat tertentu. Kesimpulan tentang penampilan hari depan dapat dipercaya bila asumsi-asumsi
lain pada asesmen secara keseluruhan juga memuaskan atau sinkron. Bila kita menjalankan tes
terhadap sample yang cocok dan mewakili tingkah laku yang akan diungkapkan, serta latar
belakang sample yang dipergunakan untuk menyusun tes tersebut, dan di samping itu cara
memberi skor dan pengadaan interpretasi bebas kesalahan, maka dapatlah observasi tersebut
dikatakan andal.
1427
KESIMPULAN
Dalam melakukan penilaian hasil belajar yang sesuai dengan standar penilaian
pendidikan, seorang guru harus memiliki kompetensi yang memadai. Kompetensi guru
diperlukan mengingat tugas utama guru selain melakukan pembelajaran di kelas, guru memiliki
tugas yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran adalah guru harus melakukan penilaian
hasil belajar. Penilaian pembelajaran meliputi penilaian proses dan penilaian hasil pembelajaran.
Kegunaan penilaian dalam pembelajaran setidaknya mengandung beberapa poin, yakni: (1)
memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya
dalam proses pencapaian kompetensi, (2) memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan
belajar yang dialami peserta didik sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remedial, (3) untuk
umpan balik bagi pendidik/guru dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber
belajar yang digunakan, (4) memberikan informasi kepada orang tua dan komite sekolah tentang
efektivitas pendidikan, dan (5) memberi umpan balik bagi pengambil kebijakan. Di sisi lain,
penilaian pembelajaran memiliki fungsi untuk (1) menggambarkan sejauhmana peserta didik
telah menguasai suatu kompetensi, (2) mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka
membantu memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk
perencanaan program belajar, pengembangan kepribadian, maupun untuk penjurusan (sebagai
bimbingan), (3) menemukan kesulitan belajar, kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan
peserta didik, dan sebagai alat diagnosis yang membantu pendidik/guru menentukan apakah
seseorang perlu mengikuti remedial atau pengayaan, (4) menemukan kelemahan dan
kekurangan proses pembelajaran yang sedang berlangsung guna perbaikan proses pembelajaran
berikutnya, dan (5) pengendali bagi pendidik/guru dan sekolah tentang kemajuan perkembangan
peserta didik.
Dalam melakukan penilaian hasil belajar yang sesuai dengan standar penilaian
pendidikan, seorang guru harus memiliki kompetensi yang memadai. Karena hubungan antara
pembelajaran dan penilaian yang sangat erat maka kompetensi guru dalam penilaian
pembelajaran merupakan kebutuhan mutlak harus dimiliki seorang guru.
DAFTAR RUJUKAN
Allen, M.J. & Yen, W.M. 1979. Introduction to Measurement Theory. Belmont, California:
Wadswort, Inc.
Cunningham, G.K. 1998. Assessment in the Classroom: Constructing and Interpreting Test.
Falmer Press.
Mardapi, D. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Jogjakarta:
Mitra Cendekia.
Erickson, R.C., & Wentling, T.L. 1988. Measuring Student Growth: Techniques and
Procedures for Occupational Education. Urbana, Illinois: Griffon Press.
Fernandes, H.J.X.1984. Testing and Measurement. Jakarta: National Education Planning,
Evaluation and Curricuoum Development.
Marzano, R.J. 2006. Classroom Assessment and Grading that Work. Alexandria: ASCD.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pokok-pokok Permendiknas No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian.
Stark, S.J., & Thomas, A. 1994. Assessment and Program Evaluation. Ashe Reader Series:
Simon & Schutster Custom Publishing.
Eggen, P., Kauchak, D. 2004. Educational Psychology, Windows on Classroom. International
Edition. New Jersey: Pearson Education International.
Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Littlefield, J., Travers, J. 1996. Educational Psychology,
Effective Teaching, Effective Learning. London: Brown & Benchmark.
Fetsco, T., McClure, J. 2005. Educational Psychology, An Integrated Approach to Classroom
Decisions. New York: Pearson Education Inc.
Heineke, W. F., Willis, J. 2001. Methods of Evaluating Educational Technology. Greenwich,
Connecticut: Information Age Publishing Inc.
Ormrod, J. E. 2006. Essentials of Educational Psychology. New Jersey: Pearson Education Inc.
Lee Krause, K. Bochner, S., Duchesne, S, McMaugh. 2007. Educational Psychology for
Teaching and Learning. South Melbourne: Cengage Learning Australia.
Lefranqois, G. R. 1991. Psychology for Teaching. Belmont, California: Wadworth Publishing
Company Inc.
1428
Gage, N. L., Berliner, D. C. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Houghton Mifflin
Company Inc.
Slavin, R. E. 1997. Educational Psychology, Theory and Practice. Third Edition. London: Allyn
and Bacon.
Thornburg, H. D. 1984. Introduction to Educational Psychology. New York: West Publishing
Company Inc.
Woolfolk, A. 2010. Educational Psychology. New Jersey: Pearson Education, Global Edition.
PENERAPAN LESSON STUDY DALAM MENINGKATKAN
KUALITAS PEMBELAJARAN
Ririn Tamora Sembiring
Abstract: Lesson study merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses dan hasil
belajar yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan oleh sekelompok guru.
Lesson study dapat dilakukan melalui dua tipe yaitu berbasis sekolah dan berbasis MGMP.
Lesson study dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan secara siklik yang terdiri dari: (1)
perencanaan (plan) ; (2) pelaksanaan (do) ; refleksi (see).
Kata kunci: lesson study, kolaboratif, plan, do, see
Salah satu masalah atau topik pendidikan yang belakangan ini menarik untuk
diperbincangkan adalah lesson study yang muncul sebagai salah satu alternatif guna mengatasi
masalah praktik pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif. Seperti dimaklumi,
bahwa sudah sejak lama praktik pembelajaran di Indonesia pada umumnya dilakukan secara
konvensional, yaitu melalui teknik komunikasi oral. Praktik pembelajaran konvensional
semacam ini lebih cenderung menekankan pada bagaimana guru mengajar (teacher-centered)
daripada bagaimana siswa belajar (student-centered), dan secara keseluruhan hasilnya dapat kita
maklumi yang ternyata tidak banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu proses dan
hasil pembelajaran siswa. Pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi siswa karena guru
dalam kegiatan pembelajaran di kelas tidak mengaitkan teori dengan skema yang telah dimiliki
oleh siswa, dan siswa kurang diberi kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi
sendiri ide-ide yang dimilikinya, sehingga anak cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasi materi
pelajaran yang diperolehnya.
LESSON STUDY
Istilah lesson study masih relatif asing di kalangan sebagian besar guru di Indonesia.
Banyak kalangan yang menganggap lesson study sebagai suatu pendekatan, metode, atau model
pembelajaran layaknya pembelajaran kooperatif, inkuiri, CTL atau sejenisnya. Lesson study
bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi merupakan salah satu upaya
pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok orang
secara kolaboratif dan berkesinambungan dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi,
dan melaporkan hasil pembelajaran.
Konsep dan praktik lesson study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan
dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepangnya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo. Adalah
Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa dalam mengembangkan kenkyuu jugyo di
Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan lesson study tampaknya mulai diikuti oleh
beberapa negara lain, termasuk di Amerika yang dikembangkan oleh Catherine Lewis. Istilah
lesson study yang telah lama berkembang di Jepang, yakni sekitar abad-19 ini baru masuk dan
berkembang di Indonesia sekitar akhir tahun 2004 oleh para tenaga ahli JICA (Japan
International Cooperation Agency) melalui proses IMSTEP (Indonesian Mathematics and
1429
Science Teaching Education Project). Kemudian dilanjutkan pengembangannya melalui proses
SISTTEMS (Strenghtening In Service Teacher Training of Mathematics and Science Education
at Junior Secondary Level) pada tahun 2006 2008, dan juga PELITA (Program for Enhancing Quality of Junior Secondary Education) pada tahun 2009 2012.
PENERAPAN LESSON STUDY Lesson study merupakan proses pengkajian pembelajaran. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Dr. Ibrohim, Dosen Fakultas MIPA dari Universitas Negeri Malang,
merumuskan definisi operasional Lesson Study sebagai model pembinaan profesi pendidik
melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip
kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar dalam rangka
meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas pembelajaran.
Pengkajian pembelajaran tersebut dilakukan oleh sekelompok guru yang sadar terhadap
pentingnya upaya peningkatan kompetensi mereka dalam proses belajar mengajar. Para guru ini
sadar bahwa proses pembelajaran yang selama ini telah dilaksanakan harus dikaji secara
kolaboratif dan berlangsung dari waktu ke waktu agar dapat meningkatkan efektivitasnya bagi
upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Proses ini dilakukan secara kolaboratif dan
berkelanjutan. Harapan ideal yang ingin dicapai dalam kegiatan lesson study ini adalah
membangun masyarakat belajar, sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hayat (long life
education).
Lesson study dapat dilakukan melalui dua tipe yaitu berbasis sekolah dan berbasis
MGMP. Dalam tahap awal pengenalan lesson study, Saito (2005)mengenalkan ada 3 tahap
utama lesson study, yakni: (1) perencanaan (plan), (2) pelaksanaan (do) dan refleksi (see).
Penyederhanaan menjadi 3 tahap saja dilakukan dengan pertimbangan untuk memudahkan
praktiknya dan menghilangkan kesan bahwa lesson study sebagai kegiatan yang rumit dan sulit
dilakukan. Ketiga tahapan tersebut dilakukan secara berulang dan terus menerus (siklus).
Lesson study dimulai saat guru atau dosen mau membuka kelas (pembelajaran) untuk
diamati oleh sejawat atau komponen stakeholder pendidikan lainnya, kemudian direfleksi.
Rencana pembelajaran disusun sebagai persiapan pelaksanaan pembelajaran yang akan
diobservasi yang disebut open class atau open lesson. Dalam tahap perencanaan (plan)
pembelajaran sebaiknya dilakukan secara kolaboratif dalam kelompok kerja (KKG). Hal ini
sangat penting agar masing-masing guru khususnya yang merasa kurang mampu, dapat saling
belajar dengan yang lain. Rencana pembelajaran ini secara spesifik disebut skenario
pembelajaran yang akan digunakan guru model berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi
kelas atau siswa yang akan diajarkan. Pada tahap pelaksanaan akan diamati apakah rencana
pembelajaran yang telah disusun dapat menghasilkan pembelajaran yang efektifdengan hasil
belajar siswa yang maksimal. Para observer akan mengamati setiap langkah aktivitas belajar
siswa dan mencata setiap fakta dengan menyertakan bukti autentik sehingga dapat menemukan
hal-hal yang mendukung dan menghambat proses pembelajaran.
Perlu disadari bahwa tidak ada pembelajaran yang sempurna. Kekurangan yang terjadi
dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan hal yang harus disadari. Oleh karena itu akan
banyak ditemukan hal menarik yang dicatat oleh pengamat.Kegiatan refleksi dalam lesson study
dilakukan dalam bentuk diskusi yang dipimpin oleh seorang moderator dan dilakukan secara
interaktif. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh oleh guru model dan pengamatakan
digunakan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas masing-masing.
SARAN Perencanaan pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan keadaan kelasnya masing-
masing. Setiap pengamat dapat memetik pengalaman penting dari pembelajaran yang telah
dilakukan dan guru model dapat menyusun kegiatan tindak lanjut dengan merevisi rencana
pembelajaran berdasarkan masukan dari refleksi.
DAFTAR RUJUKAN Ibrohim. 2013. Panduan Pelaksanaan Lesson Study. Malang: Universitas Negeri Malang.
http://psy-educacao.blogspot.com/2009/05/tujuan-lesson-study.html?m=1
Lesson Study Research Group online: tc.edu/ lesson study/ whatislessonstudy.html
Wikipedia.2007.Lesson Study.en.wikipedia.org/wiki/Lesson_study
1430
STRATEGI PENGELOLAAN KELAS PADA DISEMINASI 1 ILMU
PENGETAHUAN ALAM ( IPA) TEACHER QUALITY
IMPROVEMENT PROGRAM (TEQIP) 2013
Yanto
Pengawas SMP Kabupaten Sanggau
Abstrak: Pengalaman dua calon trainer IPA di Kabupaten Sanggau Propinsi Kalimantan
Barat pada kegiatan Diseminasi 1. Yang dilaksanakan di Kapuas Dharma Pontianak pada
tanggal 26 sampai dengan 31 Agustus 2013. Menunjukan bahwa Strategi Pengelolaan
Kelas pada mata Pelajaran IPA sangat bergantung pada persiapan diri para trainer dan
semangat guru- guru peserta diseminasi.
KataKunci: diseminasi,pengelolaan kelas,metode,kelompok,kolaborasi.
TEQIP (Teacher Quality Improvement Program) merupakan program Kerjasama
Universitas Negeri Malang dengan PT Pertamina (Persero). TEQIP merupakan Program
Peningkatan Kualitas Guru melalui Pembelajaran Bermakna Terintegrasi dengan Lesson Study.
Peningkatan kualitas guru program TEQIP melalui serangkaian kegiatan Pelatihan Guru
menggunakan sistem TOT (Training of Trainer), Diseminasi 1 dan 2, dan Ongoing 1-3
(Suswinto, dkk. 2013).
Karakteristik peningkatan kualitas guru melalu TEQIP sebagai berikut. (1) Berbasis
Pembelajaran Bermakna: mengubah pola pikir dari guru mengajar menjadi guru pembangkit
belajar. ((2) Banyak praktik (75%): pemodelan, PLAN, Microteaching, Real Teaching (DO),
Refleksi dan Tindak lanjut (See). (3) Training of Trainer (TOT): seorang trainer untuk
memberdayakan 9 guru. (4) On going: pelatihan diintegrasikan dengan praktek pembelajaran di
sekolah. (5) Konkrit: sesuai kebutuhan guru di lapangan. (5) Induktif: berangkat dari kasus-
kasus untuk meningkatkan profesional guru. (6) Berbasis Lesson Study: plan, do, see.
TEQIP pada kegiatan tahun ke 4 (2013) melatih para trainer dari Sabang sampai
Merauke sebanyak 3 kali yaitu TOT 1, TOT 2, dan TOT 3. Pelatihan dilaksanakan di Batu,
selama 10 hari. Apun target dari TOT adalah sebagai berikut. (1) Terbentuknya Sistem
pengembangan Profesionalisme guru di KKG secara kontinu dan terprogram sebagai hasil dari
lesson study. (2) Karya Nyata Peserta dalam Pengembangan Media Pembelajaran Alternatif.
(3) Pemanfaatan Media Pembelajaran Alternatif di Kelas. (4) Muaranya adalah Pembelajaran
Bermakna dan kemampuan menulis karya ilmiah (PTK dan Jurnal).
Terkait dengan tercapainya target tersebut banyak pihak yang terlibat diantaranya (1)
ekspert, (2) trainer, (3) dan peserta diseminasi, dan (4) pengawas pendamping. Keberhasilan
diseminasi juga tidak lepas dari peran beberpa pihak yang terlibat.
Pelaksanaan Diseminasi
1.Peserta Diseminasi
Peserta diseminasi Ilmu Penge- tahuan Alam sebanyak 18 orang yang terdiri dari 10
laki- laki dan 8 perempuan terlihat sangat bersemangat mengikuti pelak- sanaan diseminasi 1
karena metode learning by doing mendominasi ceramah. Selama lima hari penuh peserta
mendengarkan penjelasan, berdiskusi, mengemukakan pendapat dan berbagi pengalaman,
mengakses internet untuk mencari bahan ajar. Peserta diseminasi juga dikenalkan dengan lesson
study yang terdiri rangkaian kegiatan plan, do, dan see (Ibrohim, 2013). Kegiatan plan yaitu
bekerja dalam kelompok merancang pembuatan RPP dan membuat alat peraga. Selain itu
melaksanakan peserta diseminasi melakukan peer teaching. Peserta diseminasi juga dikenalkan
dengan open class (do). Pada latihan open class salah satu jadi guru model, 3 orang jadi
observer, dan peserta yang lain jadi murid. Setelah do trainer melatih peserta diseminasi
melakukan refleksi (see). Refleksi ini bertujuan untuk belajar mengidentifikasi berbagai
permasalahan selama pembelajaran dan mencari solusinya. Pada hari ke 4 peserta diseminasi
dilatih oleh trainer membuat alat peraga secara berkelompok. Hasl kerja kelompok berupa
1431
diagram, model, animasi sistem pencernaan, pernafasan, peredaran darah, arus listrik, garis-
garis gaya magnet ditampilkan. Peserta diseminasi sangat antusias, keceriaan mereka juga diexpresikan dengan berfoto bersama setiap kelompok bersama hasil karya alat peraga mereka
yang dipamerkan.
2.Trainer
Trainer IPA Kabupaten Sanggau ada 2 orang yaitu Ibu Masdalifah dan Ibu Ida Fitriyati.
Salah satu kekhawatiran disampaiakan ke dua trainer pada pengawas adalah Dapatkah pelaksanaan diseminasi ini berhasil?.Langkah pertama yang mereka lakukan adalah berkoordinasi dengan pengawas pendamping. Pengawas mengingatkan pesan- pesan expert:
percaya diri, pertanyaan peserta jangan langsung dijawab melainkan dilempar kepada peserta
lain, kalau dari peserta ada jawaban yang benar trainer mengukuhkan jawaban tersebut, kalau
jawaban belum ditemukan, jawaban ditunda dulu, sementara itu menemui expert untuk
menemukan jawabannya. Menyarankan mereka supaya mempelajari materi yang diberikan pada
TOT 1 dan 2, karena pada prinsipnya materi sama, trainer sebagai pengimbas.
Pengawas pendam ping memberikan penguatan dan motivasi pada para trainer.
3.Pengawas Pendamping
Pengawas pendamping sangat diringankan pada pelaksanaan diseminasi 1 ini. Tugas
pengawas pendamping sebagai koordinator peserta disemninasi sehingga proses diseminasi
berjalan lancar. Dengan demikian, pengawas pendamping juga membantu trainer. Salah satu
yang dilakukan pengawas pendamping adalah memotivasi peserta diseminasi dengan
menyampaikan bahwa kesempatan ini merupakan kesempatan emas dan jangan disia- siakan.
4.Expert
Peran expert pada waktu diseminasi adalah mendampingi trainer bila sewaktu waktu
trainer mengalami kesulitan. Dalam sambutan penutupan diseminasi 1 Bp.Drs.Dwiyana, M.Pd.
mewakili Pejabat dari Universitas Negeri Malang menyampai ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang turut serta mensukseskan diseminasi ini dengan luar biasa.
Pembahasan
Menjadi tantangan tersendiri bagi calon trainer yang baru akan dibentuk menjadi
trainer,yang lulus tes seleksi dari LP3 serta Universitas Negeri Malang sudah memenuhi kriteria
yaitu menguasai materi akademik dan informasi tehnologi selanjutnya dilatih menjadi trainer.
Namun, beberapa tantangan dihadapai oleh para trainer yaitu (1) dituntut mampu beradaptasi
dengan guru- guru peserta diseminasi 1 yang terdiri dari guru senior maupun guru yunior. (2)
guru peserta diseminasi pada umumnya tidak menguasai informasi teknologi, (3) dituntut
mampu menerapkan pola mengajar dengan pembelajaran bermakna yang diintegrasikan dengan
lesson study, (4) guru senior tidak mudah menerima pembaharuan baik berupa teori-teori
pembelajaran baru atau hasil-hasil penelitian pembelajaran, (5) kurang percaya diri melatih guru
yang lebih senior.
Beberapa tantangan tersebut harus dihadapi oleh para trainer dengan beberapa cara. (1)
Para trainer membiasakan guru senior berpikir dan berbuat untuk berubah sesuai dengan
perubahan pengetahuan dan teknologi. Perubahan pola pembelajaran dari teacher centered ke
student centered adalah implementasi dari perubahan pola pikir. perkembangan ilmu.
(2) Menyamakan persepsi guru senior dan yunior. Trainer berusaha meyakinkan dosen
dan yunior akar bisa bekerjasama. Keberadaan guru senior dan yunior dalam kegiatan
diseminasi tidak harus dipertentangkan. Para trainer mendorong peserta diseminasi baik guru
senior maupoun yunior untuk selalu berkreasi, inovatif, menyesuaikan diri dengan perubahan,
pemahaman baru berdasarkan keunikan guru masing-masing akan membawa guru bersangkutan
menuju perubahan. Guru merupakan individu unik yang memiliki potensi untuk
mengembangkan diri dan pola pikirnya. Dengan demikian, dalam diseminasi ini peran guru baik
senior maupun yunior dan trainer harus saling mengisi, asah, asih, dan asuh
(3) Trainer memberi contoh cara mengajar dengan pembelajaran yang berorientasi pada
pemberdayaan berpikir siswa. Pola pembelajaran yang demikian nampaknya merupakan
keharusan yang tidak dapat di-tunda lagi. Karena hakekat pembelajaran adalah mengem
bangkan berpikir siswa, sehingga mampu memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya
1432
yang cukup dinamis. Untuk itu perlu ada upaya meningkatkan kualitas pendidikan Ilimu
Pengetahuan alam melalui pemberdayaan berpikir siswa.
(4) Kiat trainer berikutnya adalah untuk meningkatkan percaya diri yaitu
mengumpulkan kembali bahan- bahan pendalaman materi yang didapat pada saat TOT 1( 20 s/d
25 Mei 2013),untuk dapat tampil meyakinkan dihadapan peserta diseminasi. Tampilan yang
meyakinkan inilah yang akan diimbaskan kepada peserta diseminasi. Apabila peserta dapat
diyakinkan dalam mengelola tugasnya sebagai guru maka akan ada harapan baru. Harapan-
harapan baru yang mem bentang dihadapan para diseminator akibat imbas dari trainer akan
membuat peserta diseminasi berperilaku baru, seperti kata salah satu trainer (Ibu Ida
Fitriyati):Keberhasilan yang didapat pada diseminasi adalah peserta diseminasi sudah lebih kreatif dalam membuat perangkat pembelajaran dan alat peraga Sikap- sikap kreatif inilah yang sangat diharapkan timbul secara sadar pada guru peserta diseminasi pada kususnya, dan guru
pada umumnya. Tanpa perubahan sikap pada diri seorang pendidik dari sikap lama yang tidak
inovatif lagi ke sikap- sikap produktif berarti perilaku seorang pendidik ini akan statis malahan
cenderung mele- mah/ memudar, dan yang sangat disayangkan kalau pemudaran ini dapat
menjauhkan guru dari tugas pokoknya.Kekawatiran ini sangat disadari oleh pakar- pakar kita di
TEQIP (Universitas Negeri Malang).
KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Keberhasilan diseminasi 1 karena keberhasilan trainer dalam mengelola kelas. 2. Trainer harus mempunyai kiat-kiat untuk mengatasi berbagai tantangan, salah satunya
adalah percaya diri.
3. Melihat aktivitas dan kerja sama antara trainer, guru senior dan guru yunior terjalin sangat harmonis dan serasi, maka hilanglah perasaan tidak menentu yang dikawatirkan
kedua trainer.
DAFTAR RUJUKAN
Suswinto, W., Isnandar, Subanji, Santosa, A. 2013. Pedoman Umum Teachers Quality
Improvement Program Tahun 2013. Peningkatan Kualitas Guru SD/MI dan SMP/MTS
Dari Sabang Sampai Merauke Melalui Pembelajaran Bermakna Terintegrasi Dengan Lesson Study. Jakarta: Kerjasama Universitas Negeri Malang (Um) Dengan Pt
Pertamina (Persero).
Ibrohim. 2013. Panduan pelaksanaan Lesson Study. Malang: Penerbit Universitas Negeri
Malang.
1433
PEMBELAJARAN BERMAKNA PADA MATA PELAJARAN
PRODUKTIF BUDIDAYA TANAMAN PANGAN: PENGALAMAN
PEMBELAJARAN DI SMKN 2 TANAH GROGOT
KALIMANTAN TIMUR
Eny Setyowati
SMKN 2 Tanah Grogot Kalimantan Timur
Abstrak: Tujuan penyelenggaraan jenjang SMK adalah menyiapkan siswa dengan bekal
keterampilan. Salah satu pembelajaran yang dapat mengakomodasi tujuan tersebut adalah
pembelajaran bermaknsa. Pada mata pelajaran produktif budidaya tanaman diperlukan
pembelajaran teori dan praktik dengan proporsi 30% dan 70%. Dalam melakukan praktik
budidaya tanaman. jika siswa berhasil mencapai ketuntasan maka siswa tersebut akan
bangga dan bersemangat untuk melakukan kegiatan praktik berikutnya. Kebanggaan
tersebut akan terbawa dalam kehidupannya kelak dan akan bisa mandiri. Dalam
pembelajaran untuk mencapai keberhasilan, guru perlu melakukan strategi pembelajaran
berbasis pengalaman. Guru perlu menyiapkan semua keperluan pembelajaran dan
melakukan pantauan yang disesuiakan dengan irama pertanian.
Kata Kunci: pembelajaran bermakna, budidaya tanaman pangan
Jenjang pendidikan yang menyiapkan siswa yang memiliki kemampuan dalam aspek
keterampilan adalah jenjang pendidikan kejuruan. Pendidikan kejuruan bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan siswa
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya.
Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan keahlian dan keterampilan,
menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos
kerja yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta
memiliki kemampuan mengembangkan diri (Depdiknas, 2006).
Salah satu tujuan penyelenggara pendididika kejuruan adalah Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK). SMK bertujuan untuk menyiapkan siswa agar menjadi produktif, terampil
bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri
sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang
dipilihnya. Upaya pencapaian tujuan tersebut dilakukan guru dan sekolah dengan peningkatan
kualiatas pembelajaran.
Guru di SMK hendaknya mampu menyiapkan siswa agar mampu memilih karier, ulet
dan gigih dalam berkompetensi, beradaptasi di lingkungan kerja dan mengembangkan sikap
profesional di bidang keahlian yang dimilikinya. Guru SMK hendaknya memiliki kemampuan
keterampilan yang cukup agar membekali siswanya. Untuk itu, seorang guru SMK dituntut
untuk membekali keterampilan pada siswanya strategi yang diterapkan guru harus mengarah
pada pembekalan keterampilan dan pembelajaran bermakna.
PEMBELAJARAN BERMAKNA
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara siswa dan
lingkungannya sehingga terjadi perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik, dalam interaksi
tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari
individu maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan. Dalam pembelajaran, tugas guru
yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan
tingkah laku.
Pembelajaran di SMK diarahkan pada pengembangan keahlian dan keterampilan
(Depdiknas, 2006). Pembelajaran yang demikian dapat dikembangkan dengan pembelajaran
bermakna. Menurut Ausubel, Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seorang.
Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah
sipelajari dan dingat siswa (dalam Samani 2007). Jonassen (1999 dalam Zubaidah, dkk. 2013)
1434
menyatakan bahwa pembelajaran bermakna memiliki lima elemen yang saling terkait. Guru
hendaknya mengaplikasikannya untuk menggalakkan siswa dalam pembelajaran aktif,
konstruktif, intentional atau reflektif, autentik dan kooperatif. Secara ringkas, kelima elemen
tersebut dapat dinyatakan seperti berikut ini.
1. Aktif: siswa belajar melalui lingkungan secara tidak langsung, mengadaptasi apa yang ada di sekeliling untuk mendapatkan pengetahuan baru sebelum mempelajarinya secara formal.
2. Konstruktif: membuat refleksi melalui kegiatan yang dilakukan untuk memperolehpembelajaran
3. Intentional/Reflektif: siswa mempunyai (atau diberi) alasan, sebab, atau tujuan untuk dicapai. Lebih kuat tujuan, lebih tinggi rangsangan untuk pelajar mencapainya.
4. Autentik: pelajar dihadapkan pada situasi sebenarnya dalam kegiatan pemikiran kritis (higher order thinking skills).
5. Kooperatif: pembelajaran melalui rekan sebaya, memanipulasi kemahiran dankelebihan individu yang ada untuk menghasilkan penyelesaian dalam tugas kelompok.
Pembelajaran bermakna merupakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan
kontekstual. Pembelajaran bermakna mengandung kebermaknaan personal bagi seluruh siswa,
mengkaitkan materi dengan pengalaman siswa masa lalu, untuk mengantisipasi masa depan.
Depdiknas (2002 dalam Zubaidah, dkk., 2013) menyatakan bahwa pembelajaran yang bermakna
menuntut keterkaitan pembelajaran di kelas dengan permasalahan kehidupan sehari-hari. Dalam
hal ini pembelajaran kontekstual akan memberikan makna yang lebih produktif bagi siswa.
Suparno (1997) menyatakan bahwa pembelajaran bermakna adalah suatu proses
pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah
dipunyai seorang-orang yang sedang dalam proses pembelajaan. Pembelajaran bermakan terjadi
bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.
Artinya, bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan
struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-
konsep yang sudah dimilki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut ben