KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

as

Citation preview

KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIS Disadari atau tidak, setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia selalu ada kaitannya dengan matematika. Bahkan, perkembangan teknologi modern yang terjadi saat ini tidak luput dari peran matematika. Oleh karena itu, matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai manusia, terutama oleh siswa dalam rangka mempersiapkan siswa menghadapi permasalahan di dunia nyata. Menurut NCTM atau National Council of Teachers Mathematics (Maryanti, 2012:5) terdapat lima kompetensi dalam pembelajaran matematika, yaitu: pemecahan masalah matematis (mathematical problem solving), komunikasi matematis (mathematical communication), penalaran matematis (mathematical reasoning), koneksi matematis (mathematical connection), dan representasi matematis (mathematical representation). Kelima kompetensi tersebut sangat diperlukan untuk kehidupan siswa sehingga menjadi warga negara yang kreatif dan bermanfaat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kemampuan yang mencakup kelima kompetensi tesebut adalah kemampuan literasi matematis.Menurut Kusumah (Maryanti, 2012:16) literasi matematis adalah kemampuan menyusun serangkaian pertanyaan (problem posing), merumuskan, memecahkan dan menafsirkan permasalahan yang didasarkan pada konteks yang ada. Hal tersebut sependapat dengan yang dikemukakan oleh Isnaini (Maryanti, 2012:16) yang mendefinisikan literasi sebagai kemampuan peserta didik untuk dapat mengerti fakta, konsep, prinsip, operasi, dan pemecahan masalah matematika. Menurut draft assassement PISA 2012, PISA mendefinisikan kemampuan literasi matematis sebagai berikut. Mathematical literacy is an individuals capacity to formulate, employ, and interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts, and tools to describe, explain, and predict phenomena. It assists individuals to recognise the role that mathematics plays in the world and to make the well-founded judgments and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens.Jadi berdasarkan definisi di atas, literasi matematika merupakan kemampuan individu untuk merumuskan, menggunakan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, fakta, sebagai alat untuk mendeskripsikan, menerangkan dan memprediksi suatu fenomena atau kejadian. Hal ini berarti, literasi matematis dapat membantu individu untuk mengenal peran matematika di dunia nyata dan sebagai dasar pertimbangan dan penentuan keputusan yang dibutuhkan oleh masyarakat.Lembaga internasional yang melakukan studi mengenai kemampuan literasi matematis siswa adalah Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang proyeknya diberi nama Programme for International Student Assessment (PISA). PISA bertujuan untuk memonitor hasil dari sistem pendidikan yang berkaitan dengan pencapaian belajar siswa yang berusia 15 tahun. PISA diadakan secara berkala setiap tiga tahun sekali. Kemampuan literasi matematis dianggap sebagai salah satu komponen penting yang dibutuhkan siswa untuk dapat berhasil memecahkan soal-soal PISA. Kemampuan ini juga berfokus kepada kemampuan siswa dalam menganalisa, memberikan alasan, dan menyampaikan ide secara efektif, merumuskan, memecahkan, dan menginterpretasi masalah-masalah matematika dalam berbagai bentuk dan situasi.Kemampuan literasi matematis siswa Indonesia masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan PISA pada tahun 2003, 2006, dan 2009. Hasil penelitian PISA tahun 2003 dalam bidang matematika menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 38 dari 40 negara, dengan rataan skor 360. Pada tahun 2006 rataan skor siswa Indonesia naik menjadi 391, yaitu peringkat 50 dari 57 negara. Pada tahun 2009 Indonesia hanya menempati peringkat 61 dari 65 negara, dengan rataan skor 371, sementara rataan skor internasional adalah 496 (Balitbang dalam Maryanti, 2012:4). Menurut Hayat (Maryanti, 2012:19), kompetensi yang diukur dalam literasi matematis dalam studi PISA terbagi atas tiga bagian, yaitu kompetensi reproduksi, kompetensi koneksi, dan kompetensi refleksi. Soal yang paling mudah disusun untuk mengetahui pencapaian kompetensi reproduksi. Soal-soal ini termasuk soal skala bawah yang disusun berdasarkan konteks yang cukup dikenal oleh siswa dengan operasi matematika yang sederhana. Soal sedang disusun untuk mengetahui kemampuan siswa dalam kompetensi koneksi. Soal-soal ini termasuk soal skala menengah yang memerlukan interpretasi siswa karena situasi yang diberikan tidak dikenal atau bahkan belum pernah dialami oleh siswa. Soal yang sulit disusun untuk mengetahui pencapaian kompetensi koneksi. Soal-soal ini termasuk soal skala tinggi yang menuntut penafsiran tingkat tinggi dengan konteks yang sama sekali tidak terduga oleh siswa.Penilaian literasi matematis yang dilakukan oleh studi PISA ini terdiri dari 6 tingkatan atau level. Soal literasi matematis level 1 dan 2 termasuk kelompok soal dengan skala bawah yang mengukur kompetensi reproduksi. Soal literasi matematis level 3 dan 4 termasuk kelompok soal dengan skala menengah yang mengukur kompetensi koneksi. Sedangkan, soal literasi matematis level 5 dan 6 termasuk kelompok soal dengan skala tinggi yang mengukur kompetensi refleksi. Berdasarkan data OECD (Maryanti, 2012:6) dalam setiap konten matematika yang diujikan dalam studi PISA, rata-rata siswa Indonesia menduduki peringkat level 2 ke bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia hanya sampai pada kompetensi reproduksi yaitu kemampuan siswa untuk mengoperasikan matematika pada konteks yang sederhana. Hal ini berarti kemampuan literasi matematis level 3-6 untuk siswa Indonesia masih rendah. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa minat siswa-siswa Indonesia untuk mempelajari matematika masih rendah. Matematika masih dianggap sebagai kumpulan angka-angka dan rumus-rumus. Siswa hanya menghapalkan rumus-rumus matematika tanpa tahu makna dan cara mengaplikasikan konsep-konsep tersebut dalam permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Akibatnya, matematika dianggap sebagai mata pelajaran hapalan yang mudah terlupakan. Untuk dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa khususnya kemampuan literasi matematis, seorang guru haruslah memilih dan memilah metode pembelajaran yang sesuai. Karena menurut Polya (Sumardyono, 2007:6), pekerjaan utama seorang guru matematika adalah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika.

DAFTAR PUSTAKAMaryanti, E. (2012). Peningkatan Literasi Matematis Siswa melalui Pendekan Metacognitive Guidance. Tesis pada Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.

OECD (2009). Learning Mathematics for Life A View Perspective From PISA. Paris: OECD Publications

OECD (2010). PISA 2012 Mathematics Framework. Paris: OECD Publications.

Sumardyono. (2007). Pengertian Dasar Problem Solving. [Online]. Tersedia:erlisitonga.files.wordpress.com/2011/12/pengertiandasarproblemsolving_smd.pdf. [4 April 2013].

Literasi MatematikaLiterasi matematika (mathematical literacy) adalah kemampuan individu untuk merumuskan, mempekerjakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Literasi merupakan serapan dari kata dalam bahasa Inggris literacy, yang artinya kemampuan untuk membaca dan menulis. Pada masa lalu dan juga masa sekarang, kemampuan membaca atau menulis merupakan kompetensi utama yang sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Tanpa kemampuan membaca dan menulis, komunikasi antar manusia sulit berkembang ke taraf yang lebih tinggi (Wardhani : 2011). Literasi matematika mencakup penalaran matematis dan menggunakan konsep-konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena. Kemampuan ini membantu individu untuk mengakui bahwa matematika berperan di setiap aspek kehidupan dan untuk membuat keputusan yang beralasan dan juga dibutuhkan secara konstruktif, terlibat dan reflektif. Literasi matematis adalah kecakapan individu untuk mengidentifikasi, mengerti peranan matematika di dunia ini, membuat penilaian yang akurat, menggunakan dan melibatkan matematika dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan individu sebagai warga negara yang reflektif, kontruktif dan berbakti (OECD, 2003 dalam Marpaung Yansen. 2011).Literasi matematika dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan fenomena / kejadian. Menurut Jan De Lange (Marpaung Yansen. 2011) literasi matematis adalah suatu kecakapan yang dimiliki oleh seorang individu untuk mengidentifikasi dan memahami peran-peran yang dimainkan oleh matematika di dunia nyata, untuk membuat pendapat-pendapat yang cukup beralasan, dan untuk menggunakan cara-cara yang ada di dalam matematika untuk memenuhi kebutuhan dirinya dalam kehidupan saat ini dan yang akan dating, seperti sesuatu kemampuan yang sifatnya membangun, menghubungkan, dan merefleksikan warga masyarakat. Selanjutnya Jan De Lange menjabarkan kompetensi-kompetensi yang akan membentuk literasi matematis seperti dideskripsikan dalam definisi di atas adalah sebagai berikut :1. Kompetensi berpikir dan beralasan secara matematis.a. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang karakteristik-karakteristik dari matematika, seperti apakah hal tersebut ada? Jika demikian, berapa banyak? Bagaimana kita membuktikannya.b. Mengetahui macam-macam jawaban dari pertanyaan-pertanyaan matematika.c. Membedakan antara jenis-jenis pernyataan yang berbeda, yaitu definisi, teorema, konjektur, hipotesis, contoh-contoh, dan pernyataan bersyarat.d. Memahami dan memegang keluasan dan keterbatasan konsep-konsep matematika.2. Kompetensi beragumentasi secara logis.a. Mengetahui apa yang dibuktikan secara matematis dan bagaimana pembuktian tersebut berada dari pembuktian-pembuktian secara matematis yang lainnya.b. Mengikuti dan menilai rangkaian argument-argumen secara matematis dari tipe-tipe yang berbeda.c. Memiliki suatu perasaan yang heuristik, yaitu apa yang dapat terjadi, apa yang tidak dapat terjadi, dan mengapa.d. Membuat argument-argumen secara matematis.3. Kompetensi berkomunikasi secara matematis.a. Mengekspresikan ide-ide dalam komponen-komponen matematika dengan berbagai cara, dalam bentuk lisan sama baiknya dengan dalam bentuk tertulis.b. Memahami pernyataan-pernyataan lisan dan tertulis yang dibuat oleh orang lain.c. Mengetahui tentang dan dapat menggunakan berbagai bantuan dan alat-alat (termasuk di dalamnya alat-alat teknologi informasi) yang dapat membantu terjadinya kegiatan matematik.d. Mengetahui tentang keterbatasan berbagai bantuan dan alat.4. Kompetensi dalam memodelkana. Menstrukturkan situasi yang akan dimodelkan.b. Matematisasi, yaitu menerjemahkan dari realitas ke matematika.c. Dematematisasi, yaitu mengintepretasikan model-model matematika dari realitas.d. Memodelkan (bekerja dalam domain matematika.e. Memvalidasi model.f. Merefleksikan, menganalisis, dan memberikan kritik terhadap model-model, dan hasil-hasil model.g. Mengkomunikasikan model dan hasil-hasilnyah. Memonitor dan mengontrol proses pemodelan.5. Kompetensi mengajukan dan menyelesaikan masalah.a. Mengajukan, memformulasikan, dan membuat masalah-masalah matematika yang berbeda-beda jenis secara tepat, misal: masalah matematika murni, aplikasi, terbuka, dan tertutup.b. Menyelesaikan berbagai macam masalah matematika dengan cara yang berbeda-beda.6. Kompetensi merepresentasi idea. Memahami, menginterpretasikan, dan membedakan bentuk-bentuk representasi yang berbeda dari objek-objek dan situasi-situasi matematika, dan memahami hubungan timbal balik antar berbagai bentuk representasi.b. Memilih dan mengubah bentuk-bentuk representasi yang berbeda menurut situasi dan tujuan.7. Kompetensi menggunakan simbol dan bahasa formal.a. Memahami dan menginterpretasikan bahasa simbolik dan forma dan memahami hubungannya dengan bahasa yang biasa dipakai.b. Menterjemahkan dari bahasa yang sehari-hari dipergunakan ke bahasa simbolik atau formal.c. Memahami pernyataan-pernyataan dan ekspresi-ekspresi yang memuat simbol-simbol dan rumus-rumus.d. Menggunakan variabel, menyelesaikan persamaan, dan melakukan perhitungan.

Literasi matematika membantu seseorang untuk memahami peran atau kegunaan matematika di dalam kehidupan sehari-hari. Fletcher-Campbell et al. (2009) mengatakan bahwa literasi itu adalah sebuah konsep yang kompleks sehingga untuk mendapatkan kemampuan ini diperlukan proses yang juga rumit. Gagasan umum dari literasi tersebut diserap dalam bidang-bidang yang lain, dan salah satu bidang yang menyerapnya adalah bidang matematika, sehingga muncul istilah literasi matematis.Menurut Kusumah (2012) literasi matematis adalah kemampuan menyusun serangkaian pertanyaan (problem posing), merumuskan, memecahkan, dan menafsirkan permasalahan yang didasarkan pada konteks yang ada. Hal tersebut tidak berbeda dengan pendapat Isnaini (2010) yang mengartikan literasi sebagai kemampuan peserta didik untuk dapat mengerti fakta, konsep, prinsip, operasi dan pemecahan matematika. Definisi literasi matematika menurut draft assessment framework PISA 2012: Mathematical literacy is an individuals capacity to formulate, employ, and interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts, and tools to describe, explain, and predict phenomena. It assists individuals to recognise the role that mathematics plays in the world and to make the well-founded judgments and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens.Berdasarkan definisi tersebut, Literasi matematika diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian. Literasi matematika membantu seseorang untuk memahami peran atau kegunaan matematika di dalam kehidupan sehari-hari sekaligus menggunakannya untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat sebagai warga negara yang membangun, peduli dan berpikir.

DAFTAR PUSTAKA

Bishop, A.J. (1999). Mathematics Teaching and Values Educations: anintersection in needofresearch. Zentralblatt fuer Didaktik der Mathematik, 31(1), 1-4.

Badan Standar Nasional Pendidikan (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.

Brooks, D., (2005). Increasing Test Score and Character Education The Natural Connection. http://www.youngpeoplespress.com/Testpaper.pdf

Departemen Pendidikan Nasional [Depdiknas]. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

de Lange, J. (1987). Mathematics, Insight and Meaning. Utrecht: OW & OC.

Fauzan (2001). Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Menyongsong Otonomi Pendidikan. Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME). Jurusan Matematika FMIPA UNESA, tanggal 24 Feb 2001.

Fletcher-Campbell, Felicity, Janet Soler & Gavin Reid. (2009). Approaching Difficulties in Literacy Development: Assessment, Pedagogy and Programmes. London: SAGE Publications Ltd.

Gagne, R.M. (1983). Some Issue in Psychology of Mathematics Instruction. Journal for Research in Mathematics Education. 14(1).

Goldin, A.G. (2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. Dalam English, L.D (Ed) Handbook of International Research in Mathematics Education (pp. 197-21). Mahwah NJ: Laurence Erlbaum.

Gravemeijer (1994).Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CDBeta Press.

Hudiono, B. (2005). Peran Pembelajaran Diskursus Multi Representasi terhadap Pengembangan Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa. Disertasi SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Isnaini, N. T. (2010). Membina Lomba Melek Matematika di Sekolah. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan dalam rangka Ulang Tahun Emas UNSRI di Palembang, 16 Oktober 2010.Kusumah, Y. S. (2012). Literasi Matematis. Disajikan pada Seminar Nasional Matematika, Universitas Bandar Lampung Knijnik, G. 1994. Ethno-Mathematical Approach in Mathematical Education: a Matter of Political Power. For the Learning Mathematics. Vol 14 No.1

National Council of Teachers of Mathematics [NCTM]. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

R.K. Sembiring, (2008). Apa dan Mengapa PMRI ?. Majalah PMRI Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Vol VI No.4.

Suharta, I Gusti Putu. (2006). Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana?. www.depdiknas.go.id/jurnal/38/Matematika% 20 Realistik.htm.

Sumarmo, U. (2005). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Tahun 2002 Sekolah Menengah. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika di FMIPA Universitas Negeri Gorontalo.

Tim MKPBM (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA UPI. Bandung

Wardhani, Sri dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP : Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta : Kementrian Pendidikan Nasional Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik (Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika). Yogyakarta : Graha Ilmu.

Widiastuti. (2010). Pengaruh Pembelajaran Model Eliciting Activities (MEAs) terhadap Kemampuan Representasi Matematis dan Self Efficacy Siswa. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Yuwono, I. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif. Surabaya: UM Press. Malang.

INDIKATOR KEMAMPUAN AFEKTIFA. Disposisi MatematikDalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing yang semakin ketat, dalam mempelajari kompetensi matematik di atas, siswa dan mahasiswa perlu memiliki kemampuan berfikir matematik tingkat tinggi, sikap kritis, kreatif dan cermat, obyektif dan terbuka, menghargai keindahan matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika. Apabila kebiasaan berfikir matermatik dan sikap seperti di atas berlangsung secara berkelanjutan, maka secara akumulatif akan tumbuh disposisi matematik (mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri siswa atau mahasiswa untuk berpikir dan berbuat secara matematik.dengan cara yang positif Polking (1998), mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan:1.Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan,2.Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah;3.Tekun mengerjakan tugas matematik;4.Minat, rasa ingin tahu (curiosity), dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik;5. Cenderung memonitor, merepleksikan performance dan penalaran mereka sendiri;2. Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam matematika dan pengalaman sehari-hari;3. Apresiasi (appreciation) peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa. Hampir serupa dengan pendapat Polking (1998), Standard 10 (NCTM, 2000) mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain. Disposisi matematik disebut juga productive disposition (sikap produktif), yakni tumbuhnya sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna dan berfaedah (Kilpatrick, Swafford, & Findell, 2001).Memperhatikan kekuatan kognitif dan afektif yang termuat dalam berfikir dan disposisi matematik di atas, adalah rasional bahwa dalam belajar matematika siswa dan mahasiswa perlu mengutamakan pengembangan kemampuan berfikir dan disposisi matematik. Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing yang semakin ketat terhadap lulusan semua jenjang pendidikan. B. Kemampuan Self EsteemKomunikasi intrapribadi atau Komunikasi intrapersonal adalah penggunaan bahas atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri antara self dengan God. Komunikasi intrapersonal merupakan keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari pesan-pesan. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan.Komunikasi intrapersonal dapat menjadi pemicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pengetahuan mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan kesadaran (awareness) terjadi saat berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh komunikator. Untuk memahami apa yang terjadi ketika orang saling berkomunikasi, maka seseorang perlu untuk mengenal diri mereka sendiri dan orang lain. Karena pemahaman ini diperoleh melalui proses persepsi. Maka pada dasarnya letak persepsi adalah pada orang yang mempersepsikan, bukan pada suatu ungkapan ataupun obyek.Aktivitas dari komunikasi intrapribadi yang kita lakukan sehari-hari dalam upaya memahami diri pribadi diantaranya adalah; berdo'a, bersyukur, instrospeksi diri dengan meninjau perbuatan kita dan reaksi hati nurani kita, mendayagunakan kehendak bebas, dan berimajinasi secara kreatif .Pemahaman diri pribadi ini berkembang sejalan dengan perubahan perubahan yang terjadi dalam hidup kita. Kita tidak terlahir dengan pemahaman akan siapa diri kita, tetapi prilaku kita selama ini memainkan peranan penting bagaimana kita membangun pemahaman diri pribadi ini.Kesadaran pribadi (self awareness) memiliki beberapa elemen yang mengacu pada identitas spesifik dari individu (Fisher 1987:134). Elemen dari kesadaran diri adalah konsep diri, proses menghargai diri sendiri (self esteem), dan identitas diri kita yang berbeda beda (multiple selves).C. Kemampuan Self EfficacyKonsep self-efficacy terletak di pusat teori sosial kognitif psikolog Albert Bandura. Teori Bandura menekankan peran belajar observasional, pengalaman sosial, dan determinisme timbal balik dalam pengembangan kepribadian.Menurut Bandura, sikap seseorang, kemampuan, dan keterampilan kognitif terdiri dari apa yang dikenal sebagai sistem diri. Sistem ini memainkan peran utama dalam bagaimana kita memandang situasi dan bagaimana kita berperilaku dalam menanggapi situasi yang berbeda. Self-efficacy memainkan merupakan bagian penting dari sistem diri.D. Self Redulated LearningMatematika merupakan mata pelajaran yang menarik untuk dibahas dan selalu menjadi sorotan dan perhatian itu dikarenakan rendahnya prestasi belajar matematika yang diperoleh mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi. Khususnya pada tingkat SMU, nilai yang diperoleh dari hasil ujian nasional matematika tahun 2006/2007 lebih rendah daripada nilai ujian lain, yaitu sebesar 7,29 sedangkan mata pelajaran lain sebesar 7,56 dan 7,84 (Badan Penelitian Dan Pengembangan Penelitian, 2007). Rendahnya prestasi belajar matematika khususnya pada siswa SMU, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Metode pengajaran yang monoton ataupun cara penyampaian guru pada saat memberikan materi di kelas mempengaruhi prestasi belajar maupun cara belajar siswa. Selain itu pola pengajaran matematika di dalam kelas lebih ditekankan kepada hafalan atau kecepatan berhitung seorang siswa. Penekanan pada hafalan yang diterapkan kepada siswa dan juga keharusan kecepatan siswa dalam berhitung sangat mempengaruhi pemikiran siswa dalam memandang matematika.Sedangkan kualitas pendidikan maupun cara pengajaran yang baik mengacu kepada suatu proses pemikiran dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah di masa yang akan datang. Menurut Hudojo (1998, dalam Aisyah, 2007) pemecahan masalah adalah suatu proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.Menurut Kantowski (1975, dalam Webb, 1979) pemecahan masalah adalah suatu interaksi antara pengetahuan dan proses pengaplikasian yang menggunakan faktor kognitif dan afektif dalam memecahkan masalah. Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai penggunaan berbagai konsep, prinsip, dan keterampilan matematika yang telah atau yang sedang dipelajari untuk menyelesaikan soal rutin dan soal nonrution (Aisyah, 2007).Soal rutin adalah soal latihan biasa yang dapat diselesaikan dengan prosedur yang dipelajari di kelas. Soal jenis ini banyak terdapat dalam buku ajar dan dimaksudkan hanya untuk melatih siswa menggunakan prosedur yang sedang dipelajari di kelas. Sedangkan soal nonrutin adalah soal yang untuk menyelesaikannya diperlukan pemikiran lebih lanjut karena prosedurnya tidak sejelas atau tidak sama dengan prosedur yang dipelajari di kelas. Soal nonrutin ini menyajikan situasi baru yang belum pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya (Aisyah, 2007).Kemampuan memecahkan masalah didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk menghilangkan gangguan atau hambatan dalam mencapai tujuan (Hidayat, 1998). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan masalah merupakan suatu proses, yakni kegiatan yang berkelanjutan dan bukan merupakan kegiatan yang tejadi hanya sesaat, kemampuan tersebut perlu upaya belajar dan latihan-latihan.Kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika pun berkaitan dengan cara pembelajaran siswa, cara pembelajaran siswa itu dikenal dengan istilah Self Regulated Learning. Konsep Self Regulated Learning merupakan salah satu konsep penting dalam teori belajar sosial. Menurut Pintrich (1995) Self Regulated Learning adalah cara belajar siswa aktif secara individu untuk mencapai tujuan akademik dengan cara pengontrolan perilaku, memotivasi diri sendiri dan menggunakan kognitifnya dalam belajar.Secara ringkas, Zimmerman (1989) mengemukakan bahwa dengan Self Regulated Learning siswa dapat diamati sejauh mana partisipasi aktif mereka dalam mengarahkan proses-proses metakognitif, motivasi dan perilakunya di saat mereka belajar. Proses metakognitif adalah proses dimana siswa mampu mengarahkan dirinya saat belajar, mampu merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan diri sendiri dan melakukan evaluasi diri pada berbagai tingkatan selama proses perolehan informasi. Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam pembelajran matematika berkaitan dengan cara belajar mereka.

MENUMBUHKEMBANGKAN DAYA DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMA MELALUI MODEL PEMBELAJARANINVESTIGASIPosted 3 Januari 2010 by madfirdaus in Model Pembelajaran. Tinggalkan sebuah Komentar

Ditulis oleh Mumun Syaban

Mumun Syaban Drs., M.Si, adalah dosen tetap kopertis wilayah IV dpk pada FKIP Universitas Langlangbuana Bandung. S1 dari Jurusan Pendidikan Matematika IKIP Bandung, S2 dari Jurusan Matematika Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, saat ini sedang mengikuti program S3 pada Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.Abstract. This research is carried out to obtain the empirical evidence concerning capability of discovering to raise the mathematical power and disposition of senior high school students (SMA). The population in this research is Senior High School Students, with sampel is SMA students from high level, medium level and lower level in environment in Education Departement in Bandung. This research just using research of control group design especially post-test. To knowing ability of disposition and power mathematical student used by the instrument test. Analysis data in this research using one way and two way ANOVA.The research result obtained as follows:(1) The mathematical power and disposition of student study which is use the study model of investigation that better than the student which is use study conventionally. (2) The mathematical power and disposition of student which is using model study of investigation grouply better than that student study use the model study of investigation individually. (3) The mathematical power and disposition of student has the cognitive style field independent (FI) better than student has the cognitive style field dependent (FD). (4) There are interaction between study models with level to school in mathematical power. (5) There are interaction between study model with cognitive style. (6) There are interaction between study models with level to school in mathematical disposition. (7) There are no interaction between study models with cognitive style in mathematical disposition.Key Words: Mathematical power, mathematical disposition, Cognitive Styles, problem solving, communication, reasoning, connections, and group investigation.1. A. Latar Belakang MasalahDalam menghadapi era globalisasi itu diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang handal yang memiliki pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif dan kemauan untuk bekerja sama secara efektif. SDM yang memiliki kemampuan-kemampuan seperti itulah yang mampu memanfaatkan informasi, sehingga informasi yang melimpah ruah dan cepat yang datang dari berbagai sumber dan tempat di dunia, dapat diolah dan dipilih, karena informasi yang diterima secara melimpah ruah tersebut tidak semuanya diperlukan dan dibutuhkan.Sumber daya manusia yang memiliki pemikiran seperti yang telah disebutkan, lebih mungkin dihasilkan dari lembaga pendidikan sekolah. Salah satu mata pelajaran di sekolah yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah mata pelajaran matematika. Hal ini tercermin pada fungsi mata pelajaran matematika dalam kurikulum mata pelajaran matematika tahun 2006 yaitu, matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi pengukuran, geometri, aljabar, peluang, statistika, kalkulus dan trigonometri. Selain itu matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan melalui model matematika, diagram, grafik atau tabel.Secara lebih spesifik, tujuan pembelajaran matematika tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) terdapat dalam standar kompetensi mata pelajaran matematika SMA dan MA (Departemen Pendidikan Nasional, 2006) yaitu sebagai berikut.1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.Dengan memperhatikan tujuan pembelajaran matematika tersebut, maka pembelajaran matematika difokuskan pada kecakapan sebagai berikut.1. Kemampuan menggunakan konsep dan keterampilan matematis untuk memecahkan masalah (problem solving).2. Menyampaikan ide/gagasan (communication).3. Memberikan alasan induktif maupun deduktif untuk membuat, mempertahankan, dan mengevaluasi argumen (reasoning).4. Menggunakan pendekatan, keterampilan, alat, dan konsep untuk mendeskripsikan dan menganalisis data (representation).5. Membuat pengaitan antar ide matematik, membuat model, dan mengevaluasi struktur matematika (conection).Lima elemen ini dikenal dengan standar proses daya matematika atau NCTM menyebutnya dengan istilah mathematical power process standards.Selain kemampuan yang berkaitan dengan lima kecakapan di atas, juga perlu dikembangkan sikap yang harus dimiliki oleh siswa, diantaranya adalah sikap kritis, cermat, obyektif dan terbuka, menghargai keindahan matematika, serta rasa ingin tahu dan senang belajar matematika. Sikap dan kebiasaan berpikir seperti di atas pada hakekatnya akan membentuk dan menumbuhkan disposisi matematis (mathematical disposition).Dengan mengkaji tujuan pembelajaran matematika, tentunya logis jika matematika menjadi mata ajar wajib ditingkat dasar dan menengah di seluruh satuan pendidikan yang ada. Dengan proses pembelajaran matematika dan pencapaian yang baik didalamnya, maka tentunya kualitas sumber daya insani bangsa Indonesia akan terangkat.Kenyataan di lapangan bahwa tujuan-tujuan tersebut sampai saat ini tampaknya masih belum tercapai sepenuhnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, sebagai contoh, hasil pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menegah Atas (SMA) dan juga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang ditunjukkan dengan hasil Ujian Nasional (UN) dari tahun ketahun hasilnya belum menggembirakan jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain, kecuali ditingkat sekolah dasar (Puspendik, 2005).Selain itu, pada tingkat internasional, hasil tes Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1999 yang dikoordinir oleh The International for Evaluation of Education Achievement (IEA) siswa Indonesia berada diperingkat 34 dari 38 negara peserta untuk penguasaan matematika. Pada TIMSS 2003 pada peringkat 34 dari 45. Skor rata-rata yang diperoleh siswa-siswa Indonesia adalah 411. Skor ini masih jauh di bawah skor rata-rata internasional yaitu 467. Selain itu, bila dibandingkan dengan dua negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia, posisi peringkat siswa kita jauh tertinggal. Singapura berada pada peringkat pertama dan Malayasia berada pada peringkat ke sepuluh (Nandika, 2005). Sementara dalam Program for International Assessment (PISA) tahun 2003 yang lalu, skor rata-rata siswa usia 15 tahun mengenai literasi matematika (mathematical literacy) adalah 385 dan berada pada peringkat ke 38 dari 40 negara yang berpartisipasi (Organisation for Economic Co-Operation and Development, 2004).Rendahnya hasil belajar matematika dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor kemampuan guru dalam menerapkan metode atau strategi pembelajaran yang kurang tepat, misalnya proses pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru sementara siswa lebih cenderung pasif. Akibatnya siswa tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir matematisnya. Selain itu, guru-guru sering dihantui oleh kehawatiran tidak dapat menyampaikan topik-topik yang harus diajarkan sesuai dengan waktu yang tersedia. Akibatnya, guru lebih suka mengajar dengan cara tradisional dengan hanya menggunakan metode ceramah dan memberikan latihan mengerjakan soal-soal matematika yang bersifat mekanisitik dengan metode drill (Marpaung, 2003).Pembelajaran dilakukan melalui proses penyampaian informasi atau transfer of knowledge bukan melalui pemerosesan informasi. Akibatnya hasil yang diperoleh dari proses pembelajaran seperti itu adalah berupa akumulasi dari pengetahuan yang satu sama lain terisolasi. Bahkan untuk pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Atas (SMA), kemampuan matematika siswa kurang dikembangkan. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang dilakukan oleh guru lebih berorientasi pada penyiapan siswa untuk menghadapi Ujian Nasional (UN) dan tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selain itu orang tua juga lebih menekankan anak-anaknya untuk mengikuti bimbingan belajar yang lebih menekankan drill daripada problem solving.Hal senada disampaikan oleh Djohar (2003), pembelajaran yang secara umum berlangsung selama ini, masih berperan sebagai panggung pentas penyampaian informasi (delivery system). Guru berdiri di depan siswa untuk menyampaikan pengetahuan, sementara siswa menerimanya tanpa harus mengetahui prosesnya. Siswa dipaksa menerima ilmu, bukan memahami budaya ilmu, sehingga kehilangan orientasi hidupnya karena mereka tidak dituntun membaca fenomena sekelilingnya. Dari hasil survey IMSTEP-JICA (1999), diperoleh bahwa dalam pembelajaran matematika masih berkonsentrarasi pada hal-hal yang prosedural dan mekanistik, pembelajaran berpusat pada guru, konsep matematika sering disampaikan secara informatif, dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam.Model pembelajaran seperti di atas tampaknya sulit untuk dapat menumbuhkembangkan daya dan disposisi matematis siswa. Daya dan disposisi matematis siswa tidak akan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan pembelajaran yang disetting agar siswa hanya duduk dengan manis untuk mendengar dan menerima informasi dari guru. Untuk itu, perlu upaya inovatif mengembangkan model-model pembelajaran yang dapat mengakomodir tuntutan kurikulum matematika tahun 2006.Model pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan hal tersebut di atas adalah model pembelajaran yang didesain menurut pandangan konstruktivisme, karena menurut pandangan tersebut pembelajaran bertujuan membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses asimilasi dan akomodasi. Perubahan konsep yang kuat terjadi bila seseorang melakukan akomodasi terhadap konsep yang telah ia miliki ketika ia berhadapan dengan fenomena baru (Suparno, 1997). Sedangkan menurut Bruner (dalam Resnick dan Ford, 1981) cara belajar yang paling baik bagi siswa untuk memahami konsep, dalil, atau prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan sendiri penyusunan representasi dari konsep, prinsip, atau dalil tersebut. Proses membangun pemahaman inilah yang lebih penting dari pada hasil belajar, sebab pemahaman terhadap materi yang dipelajari akan lebih bermakna apabila dilakukan sendiri.Salah satu model pembelajaran yang dapat menumbuhkembang-kan daya dan disposisi matematis siswa adalah model pembelajaran investigasi. Menurut Evans (1987), model pembelajaran investigasi adalah kegiatan yang dilakukan siswa yang sifatnya menyebar (divergent activity). Maksudnya, para siswa lebih diberikan kesempatan untuk memikirkan, mengembangkan, menyelidiki hal-hal menarik yang mengusik rasa keingintahuan mereka. Siswa dihadapkan pada situasi yang penuh pertanyaan yang dapat menimbulkan konfrontasi intelektual dan mendorong terciptanya investigasi. Menurut Kissane (dalam Shadiq, 2000: 36) pembelajaran dengan investigasi diibaratkan seperti, A person given a fish is fed for a day. A person taught to fish is fed for life. Jelaslah bahwa dengan kegiatan investigasi ini, para siswa dilatih untuk tidak hanya menerima sesuatu yang sudah jadi layaknya diberi seekor ikan yang dapat dan tinggal dimakan selama sehari saja, namun mereka dilatih seperti layaknya belajar menangkap ikan tersebut sehingga ia bisa makan ikan selama hidupnya.Namun, untuk menerapkan model pembelajaran investigsi di dalam kelas perlu mempertimbangkan perbedaan siswa yang bersifat internal. Salah satu perbedaan yang bersifat internal yang terkait dengan model pembelajaran investigasi ini adalah gaya belajar siswa. Sedangkan gaya belajar siswa tersebut ditentukan oleh kemampuan intelektual dan perseptual. Perbedaan dalam perseptual dan intelektual ini dapat diungkapkan melalui tipe-tipe kognitif individu yang dikenal dengan gaya kognitif (Slameto, 2003). Sementara itu Witkin, Moore, Goodenough dan Cox (1977) menyatakan bahwa, dalam kegiatan belajar setiap individu dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu yang bersifat global dan bersifat analitik. Individu yang bersifat global adalah individu yang menerima sesuatu lebih secara global dan mengalami kesulitan untuk memisahkan diri dari keadaan sekitarnya atau lebih dipengaruhi oleh lingkungan. Individu yang bersifat seperti ini disebut bergaya kognitif Field Dependent (FD). Sedangkan individu yang bersifat analitik adalah individu yang cenderung menyatakan sesuatu gambaran lepas dari latar belakang gambaran tersebut, serta mampu membedakan obyek-obyek dari konteks sekitarnya. Mereka memandang keadaan sekitarnya lebih secara analitis. Individu yang bersifat seperti ini disebut bergaya kognitif Field Independent (FI).Di dalam menumbuhkembangkan daya dan disposisi matematis siswa dengan penerapan model pembelajaran investigasi, selain gaya kognitif siswa, perlu juga diperhatikan faktor level sekolah, yaitu sekolah yang mempunyai level baik, sekolah yang mempunyai level sedang dan sekolah yang mempunyai level rendah. Begitu pula dengan fasilitas belajar yang ada di sekolah seperti: gedung, alat pelajaran, laboratorium, atau media-media pembelajaran lain yang digunakan sebagai alat bantu dalam pembelajaran. Hal ini mengingat bahwa keberhasilan siswa dalam belajar juga ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti yang telah disebutkan.Dari uraian pada latarbelakang perlu dilakukan penelitian yang berjudul Menumbuhkembangkan Daya dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Model Pembelajaran Investigasi.1. B. Rumusan MasalahSecara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah Model Pembelajaran Investigasi dapat menumbuhkembangkan daya dan disposisi matematis siswa Sekolah Menengah Atas?Dari rumusan masalah di atas dapat dirinci menjadi sub-sub rumusan masalah sebagai berikut.1. Apakah daya matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya secara konvensional?2. Apakah daya matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara kelompok lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara individual?3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah dalam daya matematis?4. Apakah daya matematis siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent (FI) lebih baik daripada siswa yang mempunyai gaya kognitif field dependent (FD)?5. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan gaya kognitif?6. Apakah disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya secara konvensional?7. Apakah disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara kelompok lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara individual?8. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah dalam disposisi matematis.9. Apakah disposisi matematis siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent (FI) lebih baik daripada siswa mempunyai gaya kognitif field dependent (FD)?10. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan gaya kognitif dalam disposisi matematis?1. C. Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah sebagai berikut sebagai berikut.1. Untuk mengetahui apakah daya matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi lebih baik daripada siswa yang yang pembelajarannya secara konvensional.2. Untuk mengetahui apakah daya matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara kelompok lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara individual.3. Untuk mengetahui apakah daya terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah dalam daya matematis.4. Untuk mengetahui apakah daya matematis siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent (FI) lebih baik daripada siswa mempunyai gaya kognitif field dependent (FD).5. Untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan gaya kognitif.6. Untuk mengetahui apakah disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya secara konvensional.7. Untuk mengetahui apakah disposisi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara kelompok lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara individual.8. Untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah dalam disposisi matematis.9. Untuk mengetahui apakah disposisi matematis siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent (FI) lebih baik daripada siswa mempunyai gaya kognitif field dependent (FD).10. Untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan gaya kognitif dalam disposisi matematis.D. Kegiatan PembelajaranSesuai dengan desain penelitian yang telah dijelaskan pada bagian depan, di setiap sekolah yang dijadikan sampel penelitian terdapat tiga kelas yang diteliti, yaitu dua kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Pada dua kelas eksperimen kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan masing-masing adalah pembelajaran investigasi kelompok dan pembelajaran investigasi individual, sedangkan pada kelas kontrol kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan adalah pembelajaran konvensional (biasa).Kegiatan pembelajaran pada kelas eksperimen dilakukan dengan pendekatan investigasi. Pada awal kegiatan pembelajaran, baik di kelas investigasi kelompok maupun di kelas investigasi individual diberikan masalah. Masalah yang diajukan kepada siswa dibuat supaya menarik minat siswa untuk menyelesaikannya. Di samping itu diciptakan suasana atau situasi yang dapat membangkitkan semangat siswa untuk belajar (sekitar lima menit). Kegiatan pembelajaran selanjutnya mengklarifikasi masalah. Kegiatan ini untuk mengarahkan siswa pada masalah pokok yang terkandung pada masalah yang akan dipecahkan siswa, guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan investigatif dari siswa. Misalnya apa yang akan kita cari dari masalah itu? Bagaimana kita dapat mencoba untuk memecahkan masalah? Apa pemecahan masalah yang tepat yang mungkin berguna?. Kemudian mendesain investigasi, guru membimbing siswa, baik secara individual maupun kelompok untuk memilih pemecahan masalah yang tepat dan yang paling memuaskan. Selanjutnya melaksanakan investigasi, siswa membuat dan menguji hipotesis, mendiskusikan, kemudian guru memberi pertanyaan-pertanyaan untuk membimbing siswa.Pada kegiatan akhir merangkum pembelajaran. Siswa membutuhkan waktu untuk mempresentasikan temuan mereka dan menjelaskan beberapa teori yang dimiliki siswa mengenai temuannya. Pertanyaan-pertanyaan dalam kelas mungkin dapat mengikat penemuan ini bersama-sama dan memunculkan proses-proses yang dipakai selama investigasi. Dari kegiatan seperti ini, diharapkan dapat menumbuhkembangkan daya dan disposisi matematis siswa.Kegiatan pembelajaran pada kelas kontrol adalah kegiatan pembelajaran biasa yang dilakukan oleh kebanyakan guru matematika, yaitu guru mengawali pembelajaran dengan menjelaskan konsep matematika dengan ceramah dan tanya jawab, memberikan contoh penggunaan konsep untuk menyelesaikan soal, dan diakhiri dengan latihan menyelesaikan soal-soal sebagai upaya penguatan pemahaman konsep yang telah dipelajari.1. E. Metode dan Prosedur PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian eksperimen tentang penerapan model pembelajaran investigasi dalam pembelajaran matematika pada siswa SMA. Berdasarkan tujuan penelitian seperti yang telah diutarakan terdahulu, variabel bebas (independent variable) adalah model pembelajaran investigasi. Model pembelajaran investigasi ini dilakukan melalui pembelajaran investigasi secara kelompok dan investigasi secara individual. Sedangkan variabel terikat (dependent variable) adalah daya dan disposisi matematis siswa. Untuk melihat pengaruh pembelajaran investigasi terhadap daya dan disposisi matematis siswa, penelaahan penelitian dilakukan berdasarkan faktor level sekolah dan faktor gaya kognitif siswa. Level sekolah dibagi ke dalam tiga katagori, yaitu sekolah level baik, sekolah level sedang dan sekolah level rendah. Kemudian gaya kognitif dibagi kedalam gaya kognitif field independent (FI) dan gaya kognitif field dependent (FD).Selanjutnya untuk menentukan gaya kognitif siswa dilakukan melalui instrumen Group Embedded Figures Test (GEFT) yang dikembangkan oleh Oltman, Raskin dan Witkin (dalam Lusiana, Joni, Ardhana, dan Degeng, 1995). Tes gaya kognitif diberikan sebelum pembelajaran dimulai. Dari hasil tes tersebut diperoleh dua katagori, yaitu gaya kognitif field dependent (FD) dan gaya kognitif field independent (FI).Faktor level sekolah dan gaya kognitif siswa dalam penelitian ini adalah sebagai variabel kontrol, karena variabel tersebut tidak dimanipulasi oleh peneliti tetapi sesuai kondisi yang ada. Dengan demikian disain penelitian yang sesuai adalah desain kelompok kontrol hanya-postes (post-test-only control group design) sebagai berikut ini. A X1 O A X2 O A OPada desain ini, setiap kelompok masing-masing diberikan tes, yaitu Tes Pengetahuan Awal Matematika (PAM) untuk melihat kemampuan matematika siswa secara umum sebelum mereka diberi pembelajaran. Selanjutnya kelompok pertama diberi pembelajaran investigasi secara kelompok (X1) dan kelompok kedua diberi pembelajaran investigasi secara individual (X2). Kelompok ketiga adalah kelas kontrol yang merupakan kelas dengan pembelajaran konvensional. Setelah diberi pembelajaran, selanjutnya setiap kelompok diberikan postes yaitu tes tentang daya dan disposisi matematis (O).Prosedur analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan terlebih dulu mengelompokkan siswa ke dalam kelompok gaya kognitif yaitu gaya kognitif field dependent (FD), dan gaya kognitif field independent (FI) untuk masing eksperimen dari tiap-tiap level sekolah. Kemudian setiap siswa mempunyai tiga nilai, yaitu skor PAM dinyatakan sebagai skor tes awal, skor daya matematis dan disposisi matematis sebagai tes akhir. Data yang telah dikelompokkan, kemudian diolah dengan bantuan komputer program Microsoft Excel XP (2000) dan SPSS versi 12.0 for Windows (2002). Pengolahan data dilakukan sesuai dengan permasalahannya.Dalam pengolahan data, pertama pengujian semua persyaratan uji statistika yang dilakukan, yaitu uji normalitas kelompok sampel baik untuk bagian-bagiannya, maupun untuk gabungannya, kemudian dilanjutkan dengan pengujian homogenitas varians antara kelompok. Untuk melihat homogenitas tidaknya kelompok-kelompok digunakan uji Bartlett untuk k buah sampel bebas. Dengan digunakannya cara tersebut permasalahan kemungkinan terjadi banyak anggota dari setiap kelompok kemungkinan tidak sama, dapat dipecahkan.Selanjutnya digunakan ANOVA satu jalur dan ANOVA dua jalur untuk melihat perbedaan daya dan disposisi matematika dari bagian-bagian kelompok sampel maupun dari kelompok gabungannya. Kemudian untuk melihat di manakah adanya perbedaan itu digunakan uji Scheffe. Uji Scheffe ini digunakan untuk peubah-peubah terikat (saling berpengaruh) dan tidak terikat (Minium dalam Ruseffendi, 1998). Kemudian uji Scheffe ini digunakan juga untuk kelompok yang banyaknya anggota berbeda (Gay dalam Ruseffendi, 1998) dan adanya masalah normalitas bisa teratasi. Karena uji Scheffe ini kurang sensitif terhadap normalitas (Glass & Hopkins dalam Ruseffendi, 1998).1. F. Hasil PenelitianHasil penelitian diperoleh sebagai berikut.1. Terdapat perbedaan yang signifikan daya matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran investigasi dan pembelajaran konvensional. Daya matematis siswa secara keseluruhan yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya secara konvensional, walaupun pada level sekolah rendah tidak berbeda secara signifikan.2. Terdapat perbedaan yang signifikan daya matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran investigasi kelompok dan yang menggunakan investigasi secara individual. Daya matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara kelompok lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi secara individual, walaupun pada level sekolah sedang dan level sekolah rendah tidak berbeda secara signifikan.3. Pada level sekolah baik dan level sekolah sedang terdapat perbedaan yang signifikan daya matematis siswa yang mendapat pembelajaran investigasi kelompok, investigasi individual dan konvensional. Daya matematis siswa yang mendapat pembelajaran investigasi kelompok lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran investigasi individual dan lebih baik lagi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Sedang pada sekolah level rendah pembelajaran konvensional lebih baik dari pada investigasi kelompok maupun investigasi individual. Dengan kata lain terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah dalam daya matematis.4. Terdapat perbedaan yang signifikan daya matematis antara siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent (FI) dan gaya kognitif field dependent (FD). Daya matematis siswa yang mempunyai gaya kognitif FI lebih baik daripada siswa yang mempunyai gaya kognitif FD bila ditinjau dari pembelajaran investigasi kelompok dan pembelajaran investigasi individual. Sedangkan pada pembelajaran konvensional daya matematis siswa yang mempunyai gaya kognitif FD lebih baik daripada siswa yang mempunyai gaya kognitif FI.5. Pada gaya kognitif field independent (FI) terdapat perbedaan yang signifikan daya matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan investigasi kelompok, investigasi individual dan konvensional. Daya matematis siswa yang menggunakan pembelajaran investigasi kelompok lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran investigasi individual maupun konvensional. Pada gaya kognitif field dependent (FD), terdapat perbedaan yang signifikan daya matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan investigasi kelompok, investigasi individual dan konvensional. Daya matematis siswa yang menggunakan pembelajaran investigasi kelompok lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran investigasi individual maupun konvensional, walaupun tidak terdapat peberbedaan daya matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan investigasi individual dan konvensional. Dengan kata lain terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan gaya kognitif.6. Terdapat perbedaan yang signifikan disposisi matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran investigasi dan pembelajaran konvensional. Disposisi matematis siswa secara keseluruhan yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajarannya secara konvensional.7. Terdapat perbedaan yang signifikan disposisi matematis antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran investigasi kelompok dan investigasi individual. Disposisi matematis siswa secara keseluruhan yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran investigasi kelompok lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran investigasi individual.8. Pada pembelajaran investigasi individual dan konvensional disposisi matematis siswa level sekolah baik lebih baik daripada level sekolah sedang dan rendah, tetapi pada pembelajaran investigasi kelompok disposisi matematis siswa pada level sekolah rendah lebih baik daripada level sekolah sedang. Dengan kata lain terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan level sekolah dalam disposisi matematis.9. Terdapat perbedaan yang signifikan disposisi matematis antara siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent (FI) dan gaya kognitif field dependent (FD). Disposisi matematis siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent (FI) lebih baik daripada siswa yang mempunyai gaya kognitif field dependent (FD) bila ditinjau dari pembelajaran investigasi kelompok, pembelajaran investigasi individual, pembelajaran konvensional dan secara keseluruhan.10. Interaksi antara model pembelajaran dengan faktor gaya kognitif: Tidak terdapat perbedaan selisih antara disposisi matematis pada pembelajaran investigasi kelompok, investigasi individual, konvensional pada gaya kognitif field independent (FI) dan selisih antara disposisi matematis pada pembelajaran investigasi kelompok, investigasi individual, konvensional pada gaya kognitif field dependent (FD). Dengan kata lain tidak ada interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif.G. ImplikasiImplikasi dari kesimpulan hasil penelitian ini adalah:1. Penerapan pendekatan investigasi dapat diimplementasikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai suatu alternatif dalam proses pembelajaran matematika, karena pemilihan model atau pendekatan yang tepat merupakan langkah awal dalam pelaksanaan pembelajaran matematika yang efektif.2. Dengan penerapan pendekatan investigasi diharapkan dapat mengubah paradigma guru dari guru sebagai pusat pembelajaran kearah siswa sebagai pusat pembelajaran, guru sebagai pemain murid sebagai penonton ke arah murid sebagai pemain guru sebagai fasilitator dan motivator. Beralihnya pendidikan matematika dari bentuk formal ke penerapan, proses (activities), dan pemecahan masalah nyata. Peralihan dari teori pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge) ke bentuk interaktif, investigasi, eksplorasi, kegiatan terbuka, keterampilan proses, pemodelan dan pemecahan masalah.3. Penerapan model investigasi dapat meningkatkan kreativitas guru dalam menyiapkan bahan ajar melalui berbagai variasi investigasi yang dirancang sendiri oleh guru, maupun secara bersama-sama dalam kelompok guru mata pelajaran. Dengan demikian diharapkan dapat mengembangkan kemampuan profesional guru dalam mengembangkan pikiran kreatif dan inovatif dalam mengelola pembelajaran matematika, karena berdasarkan hasil penelitian, bahwa hasil pembelajaran sangat tergantung kepada bagaimana kreativitas dan upaya guru dalam mengatur dan mengelola pembelajaran, sehingga pembelajaran tersebut dapat mengembangkan potensi peserta didik.4. Penerapan model investigasi merupakan upaya mendukung usaha pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Pendidikan Nasional, melalui kurikurilum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan peluang keleluasaan kepada sekolah dalam hal ini adalah guru untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan setiap satuan pendidikan.5. Berdasarkan hasil penelitian, dalam menumbuhkembangkan daya matematis untuk level sekolah rendah dengan pembelajaran investigasi kurang efektif, tetapi disposisi matematisnya lebih baik daripada sekolah level sedang, bahkan hampir sama dengan level sekolah tinggi. Hal ini berarti pembelajaran investigasi kelompok mempengaruhi disposisi matematis siswa. Oleh karena itu untuk mengembangkan daya matematisnya diperlukan upaya guru atau intervensi guru untuk membimbing, sehingga dengan perlahan-lahan tapi pasti dapat meningkatkan daya matematis siswa dari level sekolah rendah tersebut.6. Proses pembelajaran dengan menggunakan investigasi kelompok akan meningkatkan komunikasi yang baik antar siswa dengan siswa, siswa dengan guru, sehingga mampu menumbuhkan sikap saling menghargai, saling menguntungkan, memperkuat ikatan sosial, tumbuh sikap untuk lebih mengenal kemampuan diri sendiri, bertanggung jawab dan merasa berguna untuk orang lain.H. KeterbatasanDalam melakukan penelitian ini, peneliti memiliki beberapa keterbatasan atara lain:1. Pada awal pelaksanaan pembelajaran guru maupun siswa belum terbiasa melaksanakan pembelajaran investigasi secara efektif, mereka membutuhkan penyesuaian atau latihan dalam pertemuan pertama, sehingga suasana menjadi ribut, tetapi pada pertemuan berikutnya dapat lebih efektif.2. Dalam kegiatan investigasi kelompok, para siswa membutuhkan waktu belajar relatif lebih lama. Masalah ini dapat diatasi dengan meningkatkan efisien penggunaan waktu, penentuan target sasaran dan waktu untuk setiap kegiatan, pengawasan dan perintah untuk segera mengakhiri suatu kegiatan dan berpindah ke kegiatan yang berikutnya.3. Pada sekolah level sedang guru yang mengajar matematika pada kelas yang dijadikan sampel penelitian adalah dua orang, pada sekolah level tinggi, dan level rendah satu orang, sehingga di sekolah level sedang penelitian menjadi lebih lama.4. Dalam pelaksanaan penelitian, adakalanya guru tidak masuk atau belum siap, sehingga peneliti juga menyiapkan guru yang sudah dilatih sebagai pengganti dalam mengajar.5. I. RekomendasiDari hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran sebagai berikut.1. Meskipun tidak ada suatu pendekatan atau model pembelajaran yang paling baik dan paling cocok diterapkan yang sesuai dengan kondisi heterogen kemampuan siswa, namun berdasarkan hasil penelitian bahwa penerapan pembelajaran investigasi kelompok hasilnya lebih baik daripada pembelajaran investigasi individual maupun konvensional. Oleh karena itu direkomendasikan bahwa pembelajaran investigasi kelompok dapat diterapkan dalam proses pembelajaran matematika di SMA, atau paling tidak sebagai model alternatif dalam pembelajaran matematika.2. Untuk guru matematika, direkomendasikan untuk mau berusaha untuk mengubah paradigma selama ini, dengan berinovasi, dan berkreasi dengan mencoba menerapkan model pembelajaran investigasi kelompok dalam proses pembelajaran matematika, atau dengan cara mengembangkan atau mengkombinasikan beberapa model pembelajaran, sehingga model pembelajaran mempunyai warna tersendiri dalam upaya menumbuhkembangkan daya dan disposisi matematis.3. Untuk kelompok guru matematika atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) matematika, direkomendasikan agar dalam pertemuan tersebut untuk mendiskusikan atau mensosialisasikan model-model atau pendekatan-pendekatan pembelajaran yang bervariasi, sehingga pembelajaran tidak monoton. Sehingga guru-guru matematika akan mengetahui berbagai bentuk dan keuntungan berbagai model pembelajaran, termasuk model pembelajaran investigasi kelompok.4. Mengingat bahwa daya dan disposisi matematis perlu ditumbuhkembangkan mulai dari Sekolah Dasar (SD) dan pembelajaran dengan metode ivestigasi telah diterapkan pada siswa SMA, maka untuk melengkapi hasil penelitian ini direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya mencoba melakukan penelitian yang serupa dengan penelitian ini pada jenjang SD atau SMP. Hal tersebut karena pembelajaran di sekolah pada umumnya cenderung text book oriented dan kurang terkait dalam kehidupan sehari-hari, pembelajaran cenderung abstrak dengan menggunakan metode ceramah sehingga konsep-konsep akademik kurang bisa atau sulit dipahami. Sementara itu kebanyakan guru dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berpikir siswa, atau pembelajaran kurang bermakna, metode mengajar kurang bervariasi, sehingga akan sulit dalam menumbuhkembangkan daya dan disposisi matematis siswa.Daftar PustakaDepartemen Pendidikan Nasional (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA, MA, SMALB, SMK dan MAK. Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.Djohar, M.S. (2003). Pendidikan Strategis, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan menuji Masyarakat Madani. Bandung: Tarsito.Evans, J. R. (1987). Investigations. The State of The Art of Mathematics in School. January, pp 27 30.IMSTEP-JICA (1999). Monitoring Report on Current Practice on Mathematics and Science Teaching and Learning. Bandung: IMSTEP-JICAMarpaung, Y. (2003). Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma, tanggal 2728 Maret 2003.Nandika, D. (2005). Rendahnya Kemampuan Matematika Siswa. [Online].Tersedia:http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=182149 [23 Februari 2005].Organisation for Economic Co-Operation and Development (2004). Learning for Tomorrows World. Tersedia: http://www.pisa.oecd. org/dataoecd/1/60/34002216.pdf.Puspendik (2005). Informasi Ujian Nasional dan Ebtanas. [Online]. Tersedia: http://www.puspendik. Com.Resnick, L.B dan Ford, W.W. (1981). The Psychology of Mathematics for Instruction. New Jersey: Lawrence Erlbaum Assosiates.Shadiq, F. (2000). Investigasi dalam Kegiatan Mengajar Matematika. Jurnal Gentengkali, Edisi 5 Tahun III, p. 35 37.Slameto (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.Suparno, P.(1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.Witkin, H.A, Moore, C.A, Goodenough, D.R., dan Cox. P.W. (1977). Field Dependent and Field Independent Cognitive Styles and Their Educational Implication. Review of Educational Research. 1(47): 164