Upload
jangkrix
View
456
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KESANTUNAN BERBAHASA PENGGUNA FACE BOOK
A. Pendahuluan
Jaringan face book saat ini menjadi sebuah media komunikasi yang akrab di kalangan
masyarakat. Berdasarkan perkiraan kasar, pengguna face book di seluruh dunia sudah
mencapai ratusan juta. Di Indonesia pengguna face book sampai bulan April 2010
pengguna Facebook di Indonesia mencapai 21.027.660 tumbuh tertinggi kedua di Asia
setelah Malaysia (wikipedia.org) Jumlah ini akan terus berkembang karena setiap hari
pengguna face book akan terus bertambah.
Selain berdampak positif, beberapa kasus penah terjadi sebagai dampak negative
penggunaan face book. Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat, dari 100 laporan
pengaduan dampak Facebook, 60 kasus berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak
baik oleh anak. (Kompas.com, 17 Februari 2010) Empat siswa SMAN 4 Tanjung Pinang,
Kepulauan Riau, dikeluarkan dari sekolah. Mereka dituduh menghina salah seorang guru
wanita di sekolah itu melalui jejaring sosial Facebook. (Kompas.com, 15 Februari 2010)
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Politisi PKS itu menyayangkan
penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi di situs jejaring sosial. (news.okezone.com)
Penelitian tentang dampak face book pernah dilakukan. Muhammad Effendi meneliti
Fenomena penggunaan facebook di Indonesia (fend-skripsifendighozali.blogspot.com)
Gustitia Putri P dari UNS Surakarta meneliti dampak budaya dalam skripsi berjudul
“Analisis Positif Negatif Facebook di Indonesia”
Sebagai media komunikasi, face book mengandalkan ketrampilan berbahasa (menulis dan
membaca ) sebagai alat menyampaikan pikiran dan perasaan. Walaupun ada beberapa
menu yang memungkinkan menampilkan fitur gambar dan film, tetapi fitur-fitur tersebut
selalu diiringi menu komentar yang memungkinkan pengguna face book menyatakan ide,
pendapat, perasaan dan sebagainya. Dalam penyampaiannya, pengguna face book terikat
oleh aturan formal seperti tidak diperbolehkan mengungkapkan hal-hal yang berbau
pornografi dan aturan informal seperti kesantunan.
Kesantunan dalam berbahasa sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh dalam proses
komunikasi. Beberapa kasus yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa
kesantunan bebahasa dalam face book merupakan salah satu aspek yang harus
diperhatikan.
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dianalisis kesantunan berbahasa pada jaringan
face book, khususnya dalam pengungkapan kalimat direktif yang berupa saran dan
permintaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimanakah pemakaian bahasa
Indonesia dalam jaringan face book ditinjau dari segi kesantunan berbahasa.
B. Definisi
1. Face Book
Facebook adalah sebuah sarana sosial yang membantu masyarakat untuk berkomunikasi
secara lebih effisien dengan teman-teman, keluarga dan teman sekerja. Perusahaan ini
mengembangkan teknologi yang memudahkan dalam sharing informasi melewati social
graph, digital mapping kehidupan real hubungan sosial manusia. Siapun boleh mendaftar
di Facebook dan berinteraksi dengan orang-orang yang mereka kenal dalam lingkungan
saling percaya.” (Wikipedia.or.id)
Penemu situs pertemanan ini adalah Mark Zuckerberg seorang mahasiswa “droup out”
Universitas Harvard Amerika Serikat. Dia dilahirkan pada 14 Mei 1984. Kejeniusan dan
kreativitas lewat Facebook menempatkan dirinya sebagai jajaran 400 orang terkaya di
Amerika Serikat versi Majalah Forbes edisi September 2008, tepatnya peringkat 321
dengan total kekayaan 1,5 Miliyar Dollar US. (Forbes.com; September 2008)
Banyak menu yang terdapat pada jaringan face book. Menu utama berupa “beranda”
yang memungkinkan pengguna mengungkapkan semua perasaan dan pikirannya dan
kemudian ditanggapi oleh pengguna lain yang sudah terikat pertemanan. Menu “profil”
berisi “dinding, info, foto, video, tautan dan sebagainya”. Menu-menu ini menyediakan
kolom komentar yang dapat diisi oleh pengguna untuk menyatakan tanggapan dan
pendapatnya.
2. Kesantunan Berbahasa
a. Pengertian
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan
sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu,
kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". (Muslich, 2006)
Selanjutnya Muslich menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara
berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita
tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita
pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam
masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila
tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan
mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak
acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau
kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang Inggris berbeda dengan
tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris.
Begitu juga, tata cara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tata cara berbahasa orang
Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa
kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola
berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma
budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang
mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.
Hal di atas sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat ( Aslinda, 2007:93) yang
menyatakan bahwa bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur
kebudayaan manusia lainnya. Saat ini, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia
telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur, namun fungsinya sangat
penting bagi kehidupan manusia.
Secara implisit Nababan ( 1989:38) memasukan kesantunan berbahasa sebagai
kompetensi sosiolinguistik. Kompetensi sosiolinguistik mengalamatkan atau
mengarahkan luas/ tingkat pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan dan dipahami
secara tepat dan memuaskan dalam berbagai kontekstual seperti status partisipan,
maksud/ tujuan interaksi, dan norma-norma atau konvensi-konvensi interaksi teradap
faktor-faktor tersebut.
Apabila dikaitkan dengan moral, kesantunan berbahasa termasuk tolok ukur moral
seseorang. Sebagaimana dinyatakan oleh Magnis Suseno (Budiningsih, 2004: 24) bahwa
moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Tindakah
lahiriah ini salah satunya adalah ucapan atau kegiatan berbahasa seseorang. Jadi dapat
dikatakan bahwa kesantunan berbahasa mencerminkan moralitas seseorang.
b. Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan
kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech
dalam Muslich, 2006 ) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
1) Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini
ditandai dengan memaksimalkan prinsip-prinsip kesantunan yang terdiri dari : (1)
maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang
menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim
kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang
hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada
orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang
mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang
mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini,
orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga
komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
2) Penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata
yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi
pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata
"kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam
berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
3) Sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan
penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan
negatif.
4) Penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan
menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa
yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa
yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan,
penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk
pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa
Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari
pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Grice (Leech,1983:11) mengemukakan bahwa prinsip kerja sama dalam penggunaan
bahasa yang tertib itu direalisasikan dengan memperhatikan empat maksim, yaitu maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Maksim kuantitas
menghendaki agar dalam melakukan tindak tutur, setiap partisipan memberikan informasi
yang cukup, yakni sebanyak yang diperlukan oleh mitra tuturnya. Maksim kualitas
mengikat setiap partisipan untuk menyampaikan hal yang benar kepada mitra tuturnya.
Maksim relevansi mengikat setiap partisipan memberikan kontribusi (informasi) yang
relevan dengan hal atau topik yang sedang dibicarakan. Maksim cara mengikat setiap
partisipan untuk mengungkapkan informasi secara benar, langsung, tidak kabur, tidak
taksa, dan tidak berlebihan.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi ( content analysis ). Fraenkel dan Willan
(2001 : 483) menyatakan analisis isi adalah teknik yang dapat digunakan peneliti untuk
mengkaji perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis terhadap komunikasi
mereka seperti : buku teks, esay, Koran, novel, artikel majalah, lagu, gambar iklan dan
semua jenis komunikasi yang dapat dianalisis.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi. Kata “dokumen”,
digunakan untuk mengacu pada setiap tulisan atau bukan selain “rekaman”, yaitu tidak
dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, naskah
editorial surat kabar, catatan kasus, skrip televisi, foto-foto (Syamsudin dan Vismaia,
2007:108) Sesuai dengan pengertian ini, tuturan-tuturan pengguna face book yang
tercantum pada menu dinding dapat dianggap sebagai dokumen. Untuk mengetahui usia
dan tingkat pendidikan, peneliti memeriksa informasi pengguna face book yang
tercantum pada menu info.
Jumlah pengguna face book yang diteliti 277 orang dengan perincian sebagai berikut : (1)
Remaja berpendidikan SMP berjumlah 52orang ,(2) Remaja berpendidikan SMA
berjumlah 78 orang (3) Dewasa berpendidikan Mahasiswa berjumlah35orang (4)Dewasa
berpendidikan sarjana berjumlah 47 orang dan (5) Diluar ketegori dan tidak diketahui
berjumlah 65orang.
Dari populasi tersebut ditarik sampling secara purposif dengan mengambil tuturan yang
berisi kalimat berilokusi direktif saran dan permohonan. Searle (Leech,1983:164)
menyatakan ilkokusi direktif bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang
dilakukan oleh petutur misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan
memberi nasihat.
Selanjutnya tuturan-tuturan tersebut dianalisis menggunakan model alir. Model yang
dinyatakan oleh Miles dan Huberman mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1. Antisipasi, yaitu untuk menyiapkan butir-butir yang akan dianalisis.
2. Reduksi data, yaitu kegiatan untuk memilah, mengelompokan dan mengurangi data
sehingga data mencapai titik jenuh.
3. Penyajian data, yaitu penyajian data hasil reduksi untuk kemudian dianalisis
berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan.
4. Penarikan kesimpulan, merupakan langkah terakhir dari analisis data.
D. Hasil Penelitian
Dari hasil reduksi data diperoleh 32 situasi tutur yang berisi kalimat direktif saran dan
permintaan dan dikategorikan berdasarkan usia dan pendidikan penutur dan petutur. Tiga
puluh dua situasi tutur berisi 72 tuturan. Tuturan tersebut dianalisis berdasarkan prinsip-
prinsip kesantunan yaitu (1) prinsip kesantunan Leech (2) Ketiadaan kata tabu
(3)Eufimisme (4) Honorifik dan (5) prinsip kerjasama Grice.
Diperoleh 49 tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan dan 24 tuturan yang tidak
memenuhi prinsip kesantunan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1
berisi :
1. No data tuturan ( 1 – 32 )
2. Tuturan (setiap tuturan diberi nomor kode seperti 1a,1b,1c dan selanjutnya)
3. kategori penutur dan petutur yang meliputi usia (R untuk remaja, D untuk
dewasa) ,tingkat pendidikan (P untuk SMP. A untuk SMA, M untuk mahasiswa dan S
untuk sarjana )dan jenis kelamin (L untuk laki-laki dan P untuk perempuan)
4. Prinsip Kesantunan Leech berisi maksim-maksim kesantunan yang dipenuhi atau
dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak
memenuhi maksim.
5. Kata Tabu (A berarti ada, TA berarti tidak ada )
6. Eufimisme (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)
7. Honorifik (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)
8. Prinsip kerjasama Grice berisi maksim-maksim kerja sama yang dipenuhi atau
dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak
memenuhi maksim.
9. Simpulan (Santun dan tidak santun )
Dalam table 2, kajian dilakukan untuk melihat tuturan berdasarkan kelmpok penutur dan
petutur. Diperoleh ketidak santunan sebanyak 2 dari 4 tuturan( 50 %) untuk remaja SMP
dengan remaja SMP. Ketidak santunan sebanyak 10 dari 20 tuturan ( 50% ) untuk
kelompok remaja SMA dengan remaja SMA. Tidak ditemukan ketidaksantunan pada
kelompok remaja SMA dengan dewasa mahasiswa. Ketidak santunan sebanyak 5 dari 10
(50%) pada kelompok dewasa mahasiswa dan dewasa mahasiswa. Terdapat ketidak
santunan 3 dari 13 tuturan ( 23 % ) antara remaja SMA dengan dewasa sarjana. Ketidak
santunan 4 dari 24 (16 %) pada tuturan antara dewasa sarjana dengan dewasa sarjana.
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan terbesar pada prinsip kerja sama Grice ( 17
pelanggaran ) diikuti pelanggaran prinsip kesantunan Leech (12 pelanggaran).
Penggunaan kata-kata tabu terjadi pada 10 tuturan dan penghilangan eufimisme terjadi 10
kali. Semua tuturan memenuhi prinsip penggunaan honorific.
E. Diskusi
Dari hasil analisis di atas, beberapa temuan perlu didiskusikan lebih lanjut.
1. Pelanggaran terhadap prinsip kasantunan terjadi pada semua situasi tutur, walaupun
persentasenya menurun seiring dengan tingkat usia dan tingkat pendidikan. Dalam situasi
tutur antara usia remaja berpendidikan SMP, usia remaja berpendidikan SMP dan dewasa
berstatus mahasiswa, persentase kesantunan sekitar 50 %. Menurun pada situasi tutur
dewasa berstatus sarjana. Hasil ini sejalan dengan, fenomena yang diungkap oleh Sauri
( 2006: 112). Dalam bertutur kata para remaja menunjukkan ketidaksantunan bahasa yang
digunakan dalam pembicaraan antarremaja. Dalam pandangan sosiolinguistik, gejala ini
juga sejalan dengan beberapa penelitian seperti yang dikemukakan oleh Wardough
(2001:167). Ia menyimpulkan bahasa yang digunakan remaja mencerminkan usia dan
menjadi bahasa yang aneh bagi usia yang lebih tua.
2. Pelanggaran prinsip kesantunan bervariasi pada berbagai situasi tutur. Pelangaran
prinsip kesantunan Leech dan Grice mendominasi ketidaksantunan antara orang dewasa.
Pelanggaran yang berupa kata-kata tabu dan tidak adanya eufimisme mendominasi
ketidak santunan berbahasa anak remaja. Gejala penggunaan kata tabu dalam bahasa
remaja dapat ditinjau dari sudut pandang psikolinguistik. Kata Tabu mempunyai tujuan
utama untuk menyalurkan situasi emosional dalam diri manusia. (Jay, 2004: 335). Secara
psikologis, remaja dalam kondisi emosi yang masih labil sehingga cenderung lebih
mudah mengungkapkan kata-kata tabu.
3. Selain temuan-temuan di atas, hal menarik lainnya yang berkenaan dengan pemakaian
bahasa pada face book adalah munculnya bahasa khusus yang berbeda dengan pemakaian
bahasa pada umumnya. Fenomena ini lebih tampak pada pemakaian bahasa oleh anak
remaja dengan pendidikan SMP dan SMA. Pemakaian bahasa seperti ini sudah lama
muncul dan menjadi bahan kajian. Beberapa media pernah mengungkapkan hasil
kaijannya seperti Majalah Gema Widyakarya edisi 04 tahun 2010 mengungkapkan
penggunaan bahasa Alay atau bahasa khusus yang sering digunakan dalam SMS dan face
book. Kata-kata seperti : dunt (dong) , mupzh (maaf), beud (banget), sxan (sekalian), ftx
(fotonya),bdw ,(by the way) dan sebagainya.
F. Kesimpulan
Dengan penelitian analisis isi diperoleh gambaran bahasa yang dipakai oleh para
pengguna face book. Gambaran ini diperoleh dengan mengambil data tuturan pengguna
face book yang berjumlah 277 orang yang terdiri dari berbagai usia, jenis kelamin dan
tingkat pendidikan. Sampel ditarik secara purposif dengan mengambil tuturan yang
berilokusi direktif berupa saran dan permintaan. Diperoleh 72 tuturan dari 32 situasi
tutur.
Penelitian ini menghasilkan beberapa fenomena yang layak untuk didiskusikan lebih
lanjut. Ketidaksantunan berbahasa terjadi pada semua tingkatan usia, jenis kelamin dan
tingkat pendidikan. Prinsip-prinsip yang dilanggar bervariasi, namun tampak bahwa
pengguna face book tingkat usia remaja cenderung lebih tidak santun dan lebih banyak
menggunakan kata-kata tabu. Selain itu, muncul penggunaan bahasa yang tidak
selazimnya dalam face book atau dikenal dengan bahasa Alay.
Ketiga fenomena di atas perlu dipecahkan, khususnya bagi pihak-pihak yang berkaitan
dengan dunia pendidikan, termasuk kita semua. Apakah gejala ini akan hilang seiring
dengan perkembangan usia dan meningkatnya pendidikan kaum remaja ? Tentu saja
tidak. Pendidikan yang mengajarkan tata cara berbahasa masih diperlukan untuk
memperbaiki semua itu.(Bambang)
Diposkan oleh Kami semua di 16:57 0 komentar
Sastra Terlupa Karakter Terlena
Hari-hari terakhir suguhan yang sering hadir di pagi bukan hanya secangkir kopi
dan selembar roti tetapi juga berita-berita miring tentang negeri ini. Anggota DPR yang
bersikeras ‘jalan-jalan’ ke luar negeri dengan berbagai dalih yang diputarbalikan. Ada
pula kasus ‘jalan-jalannya’ pegawai negeri paling tersohor, Gayus, ke Bali. Berita-berita
ini disajikan dengan penuh pesona oleh pembawa berita yang tidak kalah mempesona
sehingga sering kita lupa bahwa di balik berita itu ada sesuatu yang hilang dari jiwa kita
sebagai bangsa.
Berita-berita sejenis yang bertubi-tubi dan saling bersusulan membuat kita terkadang
jenuh dan bosan. Satu persoalan belum tuntas, disusul persoalan lain sehingga ada kesan
berita terbaru sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian publik. Akibatnya,
sebagian besar publik merasa tidak ada yang aneh pada berita-berita tersebut. Bahkan
kemudian muncul pemikiran bahwa berita-berita negatif itu suatu hal yang biasa dan
dapat diterima sebagai sebuah kewajaran. Padahal bila direnungkan, semua perilaku
tersebut adalah cerminan dari sebuah ‘bencana’ yang harus kita waspadai.
Bila akhir-akhir ini kita semua prihatin dengan rangkaian bencana yang melanda negeri
ini, ternyata ada sebuah ‘bencana’ yang kita semua kadang tidak menyadarinya. Hal ini
karena kita sering terbius pada hal-hal yang sifatnya kasat mata. Padahal bila dirunut ke
akar-akarnya adanya bencana seperti tanah longsor, banjir, kebakaran, dan tsunami
terdapat hubungan dengan ‘bencana’ yang telah lama kita alami tetapi tidak disadari.
Bencana itu adalah hilangnya karakter bangsa.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa bangsa ini telah kehilangan karakternya,
tetapi marilah kita tengok keadaan di sekitar kita. Memang masih banyak hal-hal yang
dapat kita banggakan. Tetapi juga terlalu naif untuk mengatakan tidak ada masalah pada
karakter bangsa ini. Untuk itu, artikel sederhana akan mencoba mengaitkan hilangnya
karakter bangsa dengan dilupakannya pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.
Pembelajaran Sastra Dulu dan Kini
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY), Taufiq Ismail menyinyalir ada perubahan mendasar yang perjadi
pada pembelajaran sastra masa dulu dan kini. Beliau mengatakan titik balik perubahan itu
terjadi pada 1 Januari 1950 ketika bangsa Indonesia memiliki kewenangan penuh
merumuskan kurikulum pendidikan. Perubahan mendasar itu berupa dihapuskannya
bacaan-bacaan wajib bagi siswa.
Pada masa penjajahan Belanda, sekolah Hindia Belanda kala itu (AMS, MULO)
mewajibkan siswanya membaca karya sastra. Tercatat ada kurang lebih dua puluh lima
bacaan wajib yang harus diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Apakah sistem pendidikan
seperti ini yang menghasilkan tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Sukarno, Mohammad
Hatta, Syahrir dan sebagainya ? Memang masih perlu dibuktikan. Tetapi bila menengok
negara-negara yang sudah berhasil seperti Amerika Serikat dan Rusia, kita pantas
mengakui bahwa ada peran bacaan sastra dalam pembentukan karakter seseorang.
Amerika sampai kini masih mewajibkan siswa-siswanya membaca karya sastra seperti
karya-karya Ernest Hemingway. Demikian juga Rusia masih mempertahankan karya
sastra seperti War and Peace karya Leo Tolstoy. Negeri tetangga Malaysia juga tidak
ketinggalan. Siswa-siswa di Malaysia masih diwajibkan minimal enam karya sastra.
Tidak ketinggalan pula Singapura dan Thailand.
Bagaimana dengan Indonesia ? Beberapa sekolah mungkin masih melaksanakan bacaan-
bacaan wajib. Tetapi secara umum, siswa-siswa Indonesia hanya sekali, dua kali atau
bahkan ada yang sama sekali belum pernah membaca karya sastra. Taufiq Ismail lebih
menyukai istilah “bangsa yang rabun membaca dan pincang mengarang” untuk
menggambarkan situasi pembelajaran sastra di Indonesia.
Secara lebih rinci, Taufiq Ismail menyebutkan setidaknya terdapat 35 permasalahan
dalam pembelajaran sastra di Indonesia. Permasalahan itu di antaranya adalah
merosotnya minat masyarakat secara umum untuk membaca karya sastra. Memang ada
beberapa fakta yang dapat membantah pernyataan ini. Terbukti novel-novel seperti
Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta laris di pasaran. Tetapi dapatkah kedua novel ini
mewakili karya sastra secara keseluruhan ? Masih harus dibuktikan ketika novel-novel
yang kental nilai sastranya dilepas ke masyarakat.
Permasalahan lain adalah peran media lain seperti media elektronik dalam mengenalkan
sebuah karya sastra kepada masyarakat. Sekarang ini tak dapat dipungkiri, media
elektronik telah menyita perhatian masyarakat sehingga media-media lain harus berusaha
keras agar tidak tersingkir. Seharusnya keunggulan ini dimanfaatkan untuk mengenalkan
karya-karya sastra melalui tayangan-tayangannya. Tetapi, hanya sedikit sinetron-sinetron
yang diangkat dari karya sastra. Beberapa tahun lalu ditayangkan sinetron “Siti Nurbaya”
yang sempat sukses. Tetapi setelah itu, sinetron di televisi lebih banyak dihiasi cerita-
cerita yang lebih mementingkan nilai jual dari pada kualitas.
Masalah-masalah lain masih banyak tetapi pokok permasalahan dari semua persoalan itu
terletak pada merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran
sastra di sekolah. Seperti sudah dikemukakan di atas, hilangnya kewajiban membaca
karya sastra berbanding lurus dengan menurunnya kualitas karakter bangsa.
Kenyataan ini baru disadari akhir-akhir ini dengan digalakkannya kembali pendidikan
karakter. Presiden SBY melalui pidatonya dalam rangka memperingati hari Pendidikan
Nasional menyatakan keprihatinannya pada berbagai fenomena yang muncul di
masyarakat seperti kekerasan, korupsi, kejahatan seksual dan sebagainya. Jalan keluar
dari permasalahan ini adalah pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kurikulum
yang ada.
Saat inilah barangkali waktu yang tepat untuk merubah paradigma agar pembelajaran
sastra di sekolah dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan karakter siswa.
Merubah Paradigma
Taufiq Ismail mengusulkan setidaknya enam perubahan paradigma agar pengajaran sastra
dapat memenuhi fungsinya.
Yang pertama adalah merubah pendekatan dalam pengajaran agar siswa dibimbing
memasuki sastra secara asyik dan gembira. Sastra bukan hal yang dipaksakan sebagai
materi pelajaran yang harus dipahami. Sastra harus dikemas menjadi materi yang
menyenangkan sehingga membuat siswa antusias dan merasa sebagai sesuatu yang
diperlukan.
Perubahan paradigma yang kedua adalah menyajikan karya sastra bukan melalui
ringkasan seperti yang selama ini dilakukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah
karya sastra dapat dihayati jika karya tersebut dibaca secara utuh. Membaca sepotong-
potong atau membaca ringkasan dan ulasan hanya membekali siswa dengan pengetahuan
tentang karya tersebut. Hal ini belum sesuai dengan hakikat pembelajaran sastra yang
menekankan kemampuan mengapresiasi. Memang mungkin saja ringkasan dan ulasan
bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran, tetapi itu bukan merupakan tujuan akhir
pembelajaran sastra.
Perubahan berikutnya berkaitan dengan pembelajaran mengarang. Selama ini kegiatan
mengarang masih merupakan hal yang ditakuti siswa. Sebagian besar siswa merasa
terbebani ketika guru memberikan tugas berupa karangan baik yang bersifat fiksi maupun
nonfiksi, baik berupa prosa maupun puisi. Memang ada beberapa siswa yang langsung
antusias, tetapi dapat dihitung dengan sebelah jari. Untuk itu, pendekatan dan metode
pembelajaran mengarang harus dirubah agar menyenangkan baik bagi siswa maupun
guru. Caranya dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : membawa siswa ke alam,
menulis bersama, dan sebagainya.
Perubahan keempat berkaitan dengan penilaian dalam apresiasi. Banyak yang
menyayangkan ketika soal-soal apresiasi sastra dibuat dalam bentuk pilihan ganda.
Contoh yang sangat nyata adalah soal-soal Ujian Nasional. Dengan ditentukannya
jawaban, siswa akan berpikir benar salah. Padahal karya sastra selalu dapat ditafsirkan
berbeda. Perbedaan penafsiran harus dihargai dalam kegiatan apresiasi sastra. Dengan
menghargai perbedaan siswa akan mendapatkan beberapa nilai seperti menghargai orang
lain, demokrasi, berpikir logisdan sebagainya. Oleh karena itu, sebaiknya soal-soal UN
dipertimbangkan kembali agar dapat mengukur kemampuan apresiasi.
Bila selama ini pembelajaran sastra lebih mengutamakan pengetahuan tentang sastra
seperti teori dan sejarah sastra, sekarang paradigma itu harus dirubah. Pengetahuan
tentang sastra dilakukan secara sambil lalu sebagai informasi sekunder. Sastra bukan
pengetahuan yang harus dihafalkan. Sastra harus dinikmati sebagai sebuah karya seni
seperti lagu-lagu dan lukisan.
Perubahan terakhir berkaitan dengan fungsi karya sastra itu sendiri. Pembelajaran sastra
harus mampu menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa. Inilah yang disebut
dengan pembangunan karakter. Bila pelajaran eksakta mengutamakan pengembagan
intelektual yang berpusat pada otak, pembelajaran sastra mengutamakan pengembangan
nilai-nilai dalam jiwa siswa. Banyak sekali nilai yang dapat ditanamkan pada diri siswa
melalui karya sastra. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pelajaran lain. Untuk itulah,
sudah seharusnya pembelajaran sastra menggunakan karya sastra sebagai materi
utamanya bukan ulasan, ringkasan, resensi atau yang lainnya.
Sekaranglah Saatnya
Momen digalakkannya kembali pendidikan karakter menjadi pemicu yang tepat untuk
diadakannya kembali kewajiban membaca karya sastra di sekolah-sekolah. Tanpa itu,
pendidikan karakter seperti halnya benih yang dibiarkan kerontang. Karya sastra dapat
menjadi setetes embun yang membasahi pucuk daun yang mulai bersemi. Atau juga,
tetes-tetes gerimis yang menyuburkan akar-akar karakter yang dapat menjaga kebesaran
bangsa agar selalu tegar berdiri walau angin badai meniup kencang. Semoga !(Bambang)
Diposkan oleh Kami semua di 16:53 0 komentar
Kamis, 11 Maret 2010
TRANSFORMASI TRADISI
Mengapa muncul cerita Dewi Sri ? Dewi Padi yang mulai dilupakan generasi kini
ternyata menyimpan hikmah yang apabila kita renungi merupakan bentuk kecerdasan
nenek moyang. Agar ingat kembali, berikut akan diceritakan kembali dongeng yang
sempat sangat terkenal itu.
Suatu hari Sanghayang Guru menitahkan semua dewa di kahyangan untuk membawa
sebongkah batu sebagai material pembangunan kahyangan. Seorang Dewa tak mampu
melaksanakan titah Sanghayang Guru karena keterbatasan fisik. Dialah Dewa Anta yang
ditakdirkan berbentuk seekor ular.
Dengan muka sedih Dewa Anta menghadap Batara Narada. Diceritakanlah
ketidakmampuannya melaksanakan titah Sanghyang Guru. Begitu menyedihkan keluh
kesah Dewa Anta, sampai dari matanya menetes tiga butir air mata. Berkat kesaktiannya,
air mata itu menjelma menjadi tiga buah telur. Atas saran Batara Narada, Dewa Anta
membawa tiga butir telur itu hendak dipersembahkan kepada Sanghayang Guru.
Dalam perjalanan menuju kahyangan, seekor elang yang tidak tahu permasalahan Dewa
Anta menanyakan tujuan Dewa Anta ke kayangan.
" Hendak kemana kau Anta " Dewa Anta tak bisa menjawab karena dalam mulutnya
tersimpan tiga butir telur. Begitulah pertanyaan diulang hingga tiga kali. Marahlah elang
karena Dewa Anta tak mau menjawab. Disambarlah, telur di mulut Dewa Anta, hingga
tertinggal hanya satu butir.
Batara Guru menerima persembahan Dewa Anta dengan senang hati. Meskipun, Dewa
Anta hanya memberinya sebuah telur, tetapi itu wujud dari kepatuhannya. Disuruhnya,
dewa Anta mengerami telur tersebut. Selang beberapa waktu, menetaslah telur itu.
Keluarlah seorang bayi mungil perempuan. Oleh Sang Hyang Guru, bayi itu deiberi nama
Dewi Sri.
Tumbuhlah Dewi Sri menjadi gadis yang cantik jelita. Batara Narada melihat sebuah
kejanggalan pada tingkah laku Sang Hayng Guru ketika melihat kecantikan Dewi Sri.
Kemudian, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Sri buah dari surga. Dewi Sri
makan buah tersebut. Dan setelah itu, Dewi Sri tak mau makan kecuali buah itu. Lama
kelamaan, tubuh Dewi Sri melemah karena tidak mau makan yang lain. Akhirnya,
meninggallah Dewi Sri.
Dikuburnya mayat Dewi Sri. Tak berapalama, di atas kuburan Dewi Sri tumbuhlah
beraneka tumbuhan. Dari bagian kepalanya tumbuh pohon kelapa. Dari bagian tangannya
tumbuh batang padi. dari bagian pinggulnya tumbuh pohon aren (nira). Dari kakinya
tumbuh pohon bambu.
Berlanjut.....
Diposkan oleh Kami semua di 20:04 0 komentar
Selasa, 09 Maret 2010
MENJADI GURU YANG BERMISI
Tulisan ini merupakan pendapat yang muncul dari endapan pemikiran selama satu
setengah semester berinteraksi dengan guru-guru besar di SPS UPI. Tentu saja bukan
tidak mungkin, pemikiran ini keliru atau salah persepsi, tetapi sebagai sebuah pendapat
tidak ada salahnya untuk didiskusikan bersama.
Selama kurun waktu 8 bulan ada sebuah pemikiran yang mungkin berbeda dari
mahasiswa yang satu dengan yang lain. Pemikiran itu adalah ternyata para guru besar
yang terhormat itu berusaha menanamkan sebuah prinsip yang selama ini mereka yakini
menjadi kunci sebuah keberhasilan.
Salah seorang guru besar selalu tampil dalam kesederhanaan baik dalam pola pikir
maupun dalam penampilan fisik. Tidak jarang pula, beliau menunjukkan pengakuan
bahwa penjelasan yang baru disampaikan ternyata tidak sesuai dengan buku-buku yang
pernah dibacanya. Lalu dibukanya sebuah buku catatan yang sangat rapi.
Disampaikannya kembali teori tersebut dengan teliti. Diajaknya mahasiswa mengkritisi
teori tersebut. Apabila ternyata, teori tersebut kurang tepat, akan disampaikan alasan-
alasan yang masuk akal sehingga pantas kalau teori tersebut perlu direvisi. Beliau
mempunyai misi : kesedehanaan, ketelitian dan keberanian bersikap kritis.
Dosen yang lain sering mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Pernah
diungkapkan oleh Beliau, bahwa teori perkembangan Jean Piaget perlu direvisi apabila
dikaitkan dengan perkembangan psikologis orang Indonesia. Alasannya cukup rasional
apabila dikaitkan dengan fenomena yang ada seperti mahasiswa dan politisi yang suka
tawuran. Teori yang sudah bertahan berratus tahun itu masihkah relevan hingga kini ?
Begitu beliau mengajak mahasiswa berpikir inovatif. Di saat lain, Beliau memunculkan
istilah yang sama sekali baru bagi kami, yaitu tata bahasa paedagogis. Tujuannya agar
dalam pembelajaran bahasa Indonesia, tata bahasa tidak dilupakan sama sekali. Disinyalir
para guru bahasa Indonesia, telah menghilangkan pembelajaran tata bahasa dengan dalih
tidak dituntut oleh kurikulum. Beliau mempunyai misi : inovatif.
Guru besar yang lain senantiasa berpenampilan rapi. Apabila berjalan, nyata sekali
sebuah keyakinan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia merupakan kebanggaan yang
harus selalu dijaga. Begitulah nilai-nilai yang selalu disampaikan kepada para mahasiswa.
Hampir di setiap akhir perkuliahan, para mahasiswa diyakinkan pada sebuah kebanggaan
bahwa bangsa Indonesia tidak kalah dari bangsa lain. Saudara boleh menjadi orang
sukses di mana pun jua, tetapi tetaplah saudara menjadi orang Indonesia. Kecintaan dan
kebanggaan terhadap bangsa Indonesia selalu menjadi prinsip Beliau. Semua itu
diwujudkan dalam karya-karyanya. Beliau mempunyai misi : kebanggaan dan kecintaan
terhadap bangsa Indonesia (nasionalisme).
Kunci utama keberhasilan pendidikan bagi seorang guru adalah kewibawaan. Banyak hal
dapat dilakukan guru untuk memperoleh kewibawaan. Beliau menyebutnya alat
kewibawaan. Ada guru yang menggunakan media pembelajaran. Tidak sedikit pula yang
menggunakan alat berupa kekerasan. Tetapi kewibawaan yang sebenarnya akan muncul
dari sebuah keikhlasan. Dengan ikhlas sorang guru akan melakukan segala sesuatu
dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan yang konsisten itulah yang akan menghasilkan
wibawa. Misi beliau adalah : kewibawaan dan keikhlasan.
Sebuah generalisasi dari beberapa ilustrasi di atas adalah setiap guru memiliki misi. Misi
itu lahir dari pengalaman-pengalaman hidup yang kemudian mengkristal menjadi prinsip
hidup. Pengalaman hidup setiap manusia selalu berbeda, maka dari itu prinsip hidup yang
diyakini pun berbeda. Selanjutnya, misi itupun dikemas menjadi roh dari materi pelajaran
yang disampaikan. Dapat dibayangkan apabila di sebuah sekolah terdapat sepuluh sampai
lima belas guru, maka misi atau prinsip hidup yang dapat menjadi pilihan siswa untuk
diadopsi menjadi prinsip hidupnya. Dengan begitu, siswa akan menjadi kaya dengan
teladan-teladan yang dapat menjadi bekal masa depannya.
Salah seorang guru mempunyai prinsip kedisiplinan. Sementara yang lain meyakini kasih
sayang sebagai prinsip hidupnya. Secara sepintas seperti berlawanan, tetapi sejatinya
kedua prinsip tersebut dapat dipadukan. Bolehlah diibaratkan apabila kita ingin membuat
sebuah resep makanan. Buah cabai yang pedas, garam yang asin dan gula yang manis,
apabila diramu akan menghasilkan sebuahsambal yang nikmat. Demikian juga, prinsip
kehidupan guru akan mewarnai pengalaman hidup siswa. Kuncinya kita meyakini sebuah
prinsip dan berusaha menanamkan prinsip tersebut melalui misi dalam pembelajaran kita.
(Bambang S)
Diposkan oleh Kami semua di 23:17 0 komentar
GETARAN EMOSIONAL : MENUJU PEMBELAJARAN YANG
BERMAKNA
Sebuah jargon guru yang sudah sangat akrab di telinga adalah tugas kita bukan
mengajar tetapi mendidik. Tugas kita bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi
lebih ke arah membangun kepribadian (character building). Jika dalam mengajar, factor
utama yang harus kita kuasai adalah materi pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan
strategi penyampaian materi pelajaran seperti metode, media dan sebagainya. Dalam
mendidik, factor-faktor yang harus kita kuasai lebih luas lagi.
Agar pemahaman kita tentang mendidik lebih jelas lagi, kita coba kaji ilustrasi hirarki
pengetahuan sebagai berikut.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, seseorang harus melewati 6 tingkatan. Pada
level paling bawah terdapat sebuah data. Data hanya akan menjadi data apabila kita tidak
membutuhkannya. Terhadap data yang dikehendaki, kita dapat mengolahnya menjadi
sebuah informasi (information) yang bermanfaat (level 2). Selanjutnya, beberapa
informasi itu dapat dirangkaikan menjadi sebuah pengetahuan (knowledge) yang
memudahkan kita memutuskan sebuah masalah (level 3). Tingkat berikutnya adalah
pembangunan kecerdasan (intelligent) yang dibuktikan dengan pengambilan keputusan
yang benar (level 4). Hirarki paling tinggi berupa kearifan (wisdom) seseorang yaitu
ketika orang tersebut mampu menyelaraskan tindakannya dengan nilai-nilai yang berlaku.
Berdasarkan hirarki di atas dapat dilihat bahwa tujuan kegiatan mendidik tidak hanya
berhenti pada level 3 (knowledge) atau level 4 (intelligent) karena pada level tersebut
masih berada dalam ranah pengetahuan (kognitif). Jika proses pendidikan berhenti pada
level itu, berarti kita masih berstatus sebagai “pengajar” yang hanya mentransfer
pengetahuan. Kita harus mencapai level tertinggi yang menghasilkan kearifan (wisdom)
yang berada pada ranah sikap (afektif).
Sebuah kata bijak dari Herbert Spencer berbunyi “The great aim of education is not
knowledge but action “. Jika kita terpaku hanya pada tujuan menghasilkan siswa yang
cerdas dalam pengetahuan, kita hanya membekali siswa sebuah ‘badan’ tanpa ‘roh’,
sehingga bukan tidak mungkin siswa akan bersikap dan berperilaku yang tidak sesuai
dengan pengetahuan yang dikuasainya. Kita semua tahu korupsi itu sebuah tindak
kejahatan, tetapi mengapa Negara kita selalu bercokol di papan atas liga korupsi dunia ?
Barangkali salah satu jawabannya ada pada proses pendidikan kita. Terlalu sering kita
berpuas diri apabila siswa kita mencapai sebuah KD yang kita ajarkan. Tanpa menyadari
bahwa sebenarnya KD tersebut dapat disalahgunakan oleh siswa. Untuk itu, kita
memberikan makna mulia yang terkandung dalam sebuah materi pelajaran. Caranya
adalah dengan melakukan sentuhan-sentuhan emosional atau getaran emosional
(emotional thrill) agar nilai-nilai mulia dalam materi tersebut tertanam dalam hati siswa.
Contoh sederhana jika kita ingin membelajarkan siswa tentang korupsi. Sisi emosional
yang dapat digetarkan adalah kesadaran tentang bahaya korupsi bagi dirinya dan orang
lain. Siswa dapat dibawa untuk melihat kemiskinan yang diderita rakyat banyak untuk
menunjukkan bahayanya korupsi. Dengan menyentuh sisi emosional dalam diri siswa
akan terbangung sebuah pola pikir bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat
biadab. Bandingkan misalnya siswa hanya dijejali pengetahuan tentang pengertian
korupsi dan bahayanya. Dalam diri siswa hanya tertanam sebuah pengetahuan tanpa
sebuah kesadaran.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk menggetarkan emosi siswa. Tentunya rekan-
rekan semua mempunyai pengalaman. Ini salah satu poin yang disampaikan Prof. Dr.
Yoyo Mulyana dalam perkuliahan. Ide dan saran teman semua, akan sangat bermanfaat.
(Bambang)
Diposkan oleh Kami semua di 23:13 0 komentar
TATA BAHASA PAEDAGOGIS
Sejak adanya kritik terhadap kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia, paradigma kurikulum berubah dari pembelajaran tentang bahasa ke arah
pembelajaran ketrampilan berbahasa. Konsekuensinya, materi pelajaran sekarang ini
dipenuhi oleh materi yang ditujukan untuk mengasah ketrampilan berbahasa yang terdiri
membaca, menulis, menyimak dan berbicara.
Jikalau, beberapa decade lalu, kita dapat dengan mudah menemui materi tata bahasa, kini
tidak lagi. Sebagai guru bahasa Indonesia, kita sering bingung untuk menempatkan
materi tata bahasa. Bahkan karena tidak ada tuntutan secara eksplisit dari kurikulum,
materi tata bahasa akhirnya sering kita lupakan.
Berbagai keluhan kemudian muncul. Banyak siswa yang kemudian hanya mengutamakan
kemampuan ketrampilan berbahasa, tanpa didasari penguasaan tata bahasa yang benar.
Kenyataan ini dapat dengan mudah ditemui di lapangan. Karangan siswa yang tidak
patuh tata kalimat. Pidato siswa yang berisi kosa kata tidak baku.
Masih pentingkah materi tata bahasa diberikan kepada siswa ? Kiranya kita semua
sepakat, bahwa pengetahuan tentang tata bahasa akan meningkatkan ketrampilan
berbahasa seseorang. Dengan mengetahui tata susunan kalimat, karangan atau
pembicaraan seseorang akan terstruktur dan mudah dipahami pembaca dan
pendengarnya. Demikian juga, ketika kita menyimak dan membaca. Pemahaman kita
akan meningkat jika kita mengerti pokok-pokoknya.
Permasalahannya adalah bagaimana kita mengajarkan tata bahasa jika dalam kurikulum
tidak tercantum secara eksplisit. Dari sinilah kemudian muncul istilah tata bahasa
paedagogis. Istilah ini saya dengar ketika mengikuti kuliah Dr. Andoyo Sastromiharjo.
Beliau membagikan sebuah pengalaman ketika mengisi sebuah seminar tenta
pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam seminar itu terungkap, bahwa mayoritas guru
bahasa Indonesia mengabaikan tata bahasa dalam pembelajaran. Perhatian utama guru
adalah mencapai kompetensi dasar yang pokok utamanya terpusat pada ketrampilan
berbahasa. Padahal apabila dicermati secara lengkap, sebuah KD mempunyai prasyarat
tata bahasa, Sebagai contoh :
Mencerita¬kan peng¬alam¬an yang paling me¬nge¬sankan dengan mengguna¬kan
pilihan kata dan kalimat efektif ( KD berbicara kelas 8)
Ketrampilan berbahasa yang dituntut oleh KD tersebut adalah menceritakan kembali.
Sering guru hanya berkosentrasi pada ketrampilan berbahasa yang dituntut sehingga lupa
bahwa tuntutan KD tersebut bukan hanya ketrampilan, tetapi juga penguasaan tata bahasa
dalam hal ini diksi (pilihan kata) dan sintaksis (tata kalimat). Di sinilah kemudian muncul
sebuah pemikiran, bagaimana mengajarkan tata bahasa tanpa menghilangkan esensi
pembelajaran ketrampilan berbahasa. Jawabannya ada pada tata bahasa paedagogis.
Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa tata bahasa paedagogis merupakan serpihan-
serpihan materi tata bahasa yang diselipkan dalam pembelajaran ketrampilan berbahasa.
Serpihan-serpihan tata bahasa tersebut dipilih dan dikemas secara efektif dan efisien
sehingga hakikat pembelajaran berbahasa tetap pada relnya.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana kita mengembangkan tata bahasa
paedagogis sehingga langsung dapat dimanfaatkan dalam mengasah ketrampilan
berbahasa. Dalam forum ini, saya mengundang teman-teman untuk memberikan sumbang
sarannya.(Bambang)
Diposkan oleh Kami semua di 23:09 0 komentar
Jumat, 05 Maret 2010
PEMBELAJARAN SASTRA DAN ANJING PEMBURU
Dalam sebuah seminar tentang pembelajaran sastra yang diadakan oleh Prodi
Bahasa Indonesia SPS UPI Bandung, Prof. Dr. Yus Rusyiana memberikan sebuah analogi
bagi pembelajaran sastra yang cukup ampuh dari masa ke masa. Beliau memberikan
contoh bagaimana seekor anjing pemburu di latih agar naluri berburunya tajam.
Setiap hari, anjing pemburu dicelupkan ke dalam sebuah baskom yang berisi
darah. Apabila setiap hari, seekor anjing senantiasa berinteraksi dengan bau anyir darah,
naluri berburunya akan semakin tajam sehingga setiap mencium aroma hewan buruan,
secara otomatis akan berlari mengejar hewan buruan.
Demikian juga dengan pembelajaran sastra. Cara yang paling efektif adalah
'mencelupkan' siswa ke dalam 'karya sastra'. Dengan mengenalkan siswa kepada karya
sastra, naluri kesenangannya terhadap sastra akan terasah sedikit demi sedikit.
Memberikan teori bukannya tidak berguna. Teori sastra akan memberikan bekal untuk
memahami karya sastra. Tetapi yang terjadi, siswa hanya puas dengan menghafal dan
memahami istilah-istilah sastra. Padahal, hakikat pembelajaran sastra bukan terletak pada
teori sastra tetapi lebih pada karya sastra.
Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat mencelupkan siswa kedalam darah sastra ?
Marilah kita berdiskusi untuk hal ini !(Bambang)