Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP PENERAPAN E-LEARNING
DILIHAT DARI FAKTOR KEMAMPUAN DAN SIKAP
INSTITUSI (STUDI DI SMPN 1 SALATIGA)
Diajukan kepada
Fakultas Teknologi Informasi
Moristo Piga
702011055
Program Studi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer
Fakultas Teknologi Informasi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2019
1
KESIAPAN SEKOLAH TERHADAP
PENERAPAN E-LEARNING DILIHAT DARI FAKTOR
KEMAMPUAN DAN SIKAP INSTITUSI (STUDI DI SMPN 1 SALATIGA) 1.) Moristo Piga, 2.) Hanita Yulia, M.Pd
Program Studi Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer
Fakultas Teknologi Informasi
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711, Indonesia
Email : 1.) [email protected], 2.) [email protected]
Abstrak
Kesiapan institusi perlu diketahui sebelum melakukan penerapan e-learning, dimana
kesiapan institusi sekolah dapat dilihat dari faktor kemampuan dan sikap karena dua faktor
ini memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan penerapan e-learning. Penelitian
ini merupakan penelitian deksriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan
kesiapan sekolah dilihat dari faktor kemampuan dan sikap institusi terhadap e-learning di
SMPN 1 Salatiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SMPN 1 Salatiga belum siap
menerapkan e-learning jika dilihat dari faktor kemampuan. Selain perangkat komputer dan
spesifikasinya, kemampuan institusi berkaitan dengan jaringan internet, LMS, kebijakan
pengembangan SDM dan penggunaan perangkat pribadi siswa serta keuangan belum sesuai
dengan kriteria yang seharusnya untuk menerapkan e-learning sehingga masih
membutuhkan peningkatan dan keseriusan. Akan tetapi, jika dilihat dari faktor sikap, SMPN
1 Salatiga telah siap untuk menerapkan e-learning.
Kata Kunci : Kesiapan institusi, E-learning, Kemampuan dan sikap
Abstract
The readiness of the institution needs to be identified before implementing e-learning. The e-
learning readiness itself can be viewed from the institution’s ability and attitude because
these two factors have become significant in determining the success of e-learning. This is a
descriptive qualitative research aimed at describing the readiness of schools to implement e-
learning viewed from institution’s ability and attitude towards e-learning in SMPN 1
Salatiga. The result shows that SMPN 1 Salatiga is not yet ready to implement e-learning
viewed from its ability. Excluding ICT tools, institution’s ability in terms of Internet access,
LMS, the policy related to human resources development and the use of students’ gadget,
and financial ability have not yet fullfilled the requirement of e-learning and still need to be
enhanced. On the other hand, SMPN 1 Salatiga is ready to implement e-learning viewed
from its attitude towards e-learning
Keywords : Institution, E-learning, Attitude and Ability.
1. Mahasiswa Fakultas Teknologi Informatika Jurusan Pendidikan Teknik Informatika dan
Komputer Universitas Kristen Satya Wacana. 2. Staff Pengajar Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana.
2
1. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SIDIKNAS disampaikan
bahwa teknologi informasi harus dimanfaatkan dalam proses pembelajaran yang
salah satunya melalui cara pembelajaran e-learning[1]. E-learning dapat diartikan
sebagai pembelajaran dengan menggunakan komputer yang terkoneksi dengan
jaringan internet dan memberikan kesempatan belajar kepada siswa hampir setiap
waktu, di mana pun. Salah satu definisi e-learning yaitu suatu jenis belajar mengajar
yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan
media internet, intranet atau media jaringan komputer lain[2].
Pemanfaatan e-learning dalam proses pembelajaran memberikan keuntungan
seperti merubah peran siswa yang biasanya pasif menjadi aktif dan siswa dapat
mencari tambahan informasi materi pembelajaran di internet[3]. Selain itu, e-
learning tercipta untuk mengatasi keterbatasan antara pendidik dan peserta didik,
terutama dalam hal ruang dan waktu[4]. Dari manfaat yang ada, e-learning menjadi
salah satu model pembelajaran yang menunjang Kurikulum 2013. Kurikulum 2013
menggunakan metode tematik integratif yang mengintegrasikan beberapa mata
pelajaran dan dikemas dalam satu kesatuan tema khusus dengan mengutamakan
kepentingan agar siswa menguasai teknologi. Hal ini berdampak pada perubahan
beberapa mata pelajaran, dimana jam pertemuan juga berkurang seperti pada mata
pelajaran TIK yang sekarang menjadi Bimbingan Konseling TIK (BKTIK).
Diharapkan penerapan e-learning dapat membantu siswa mendapatkan pembelajaran
yang dibutuhkan walau dengan terbatasnya ruang dan waktu.
Dalam penerapan e-learning diperlukan adanya kesiapan sehingga e-learning
dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Jika tidak, e-learning akan
menemui kegagalan[5]. Kesiapan e-learning dikenal sebagai E-learning Readiness
(ELR) didefinisikan sebagai kesiapan mental atau fisik suatu organisasi untuk suatu
pengalaman pembelajaran[6]. ELR menjadi penting karena dalam implementasi e-
learning sering ditemui beraneka ragam rintangan seperti resistensi, literasi
komputer, SDM yang terbatas, infrastruktur hingga budaya organisasi[7].
Kesiapan e-learning di sekolah dapat dilihat dari kesiapan guru, siswa, dan
institusi, dan keberhasilan e-learning salah satunya dapat dilihat dari kesiapan
institusi. Menurut Putri Ika Citra & Triyona Bruri Mochamad, institusi sekolah
mempunyai peran penting sebagai penyelenggara utama, pelaksana, dan penanggung
jawab terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan e-learning [8]. Oleh karena itu,
standarisasi terhadap institusi pelaksana program e-learning harus dilakukan, hal ini
juga sebagai bagian dari penilaian kesiapan dan keseriusan insitusi dalam
melaksanakan e-learning.
Kesiapan institusi dapat dilihat dari faktor sikap dan kemampuan institusi
karena dua faktor ini adalah yang paling signifikan dalam menentukan keberhasilan
e-learning [9]. Faktor sikap dapat mempengaruhi kebijakan institusi sehingga
semakin positif sikap institusi dalam penerapan e-learning juga berdampak positif
pada keberhasilan e-learning. Dengan demikian, perlu diketahui sikap institusi
dengan melihat hasil dari penerapan e-learning yang dilihat dari beberapa hal: e-
learning dapat memberikan manfaat terhadap institusi dan masyarakat, secara
ekonomis e-learning dapat menguntungkan, memberikan kemudahan dalam proses
pembelajaran, menghemat biaya[10][11]. Di sisi lain, faktor kemampuan berkaitan
dengan ketersediaan fasilitas yang menunjang penerapan E-learning termasuk
pembiayaan dan alokasi dana dengan melihat beberapa hal: infrastruktur IT,
pelatihan guru dan keuangan[12].
3
SMPN 1 Salatiga merupakan salah satu sekolah yang sudah menerapkan
Kurikulum 2013 dan sudah pernah menerapkan e-learning walaupun belum
maksimal. Belum semua guru pada mata pelajaran yang ada menerapkan e-learning.
Kesiapan penerapan pembelajaran e-learning di SMPN 1 Salatiga juga sebenarnya
masih belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan kesiapan sekolah dilihat dari sikap dan kemampuan institusi dalam
menerapkan e-learning.
2. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang dilakukan oleh Ariyawan Agung Nugroho dengan judul
“Pemanfaatan E-learning sebagai Salah Satu Bentuk Penerapan TIK dalam Proses
Pembelajaran” menyimpulkan bahwa penerapan e-learning memberikan dampak
positif dalam proses pembelajaran seperti kesempatan belajar yang lebih fleksibel
tanpa terikat ruang dan waktu, mempermudah masyarakat mengakses pendidikan,
memperkaya materi pembelajaran, menghidupkan proses pembelajaran, membuat
proses pembelajaran lebih terbuka, meningkatkan efektivitas pembelajaran, serta
mendukung siswa untuk belajar mandiri tentunya harus direspon dengan baik dengan
segera dan secara optimal menerapkan e-learning dalam proses pembelajaran baik di
jenjang pendidikan dasar, menengah maupun tinggi[13]. Dari penelitian tersebut
terbukti bahwa penerapan e-learning memberikan manfaat dalam meningkatkan
kinerja institusi sekolah dalam proses pembelajaran yang hanya jika e-learning
dalam penerapannya dilakukan secara benar. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan
oleh Grendi Hendrastomo dengan judul “Dilema dan Tantangan Pembelajaran e-
learning” menemukan bahwa penerapan e-learning dapat meningkatkan efektivitas
pembelajaran namun ketergantungan e-learning terhadap infrastruktur TI menjadi
dilema dan tantangan tersendiri. Dengan kata lain, penerapan e-learning berjalan
belum maksimal dikarenakan sumber daya manusia dan infrastruktur yang belum
dipersiapkan dengan baik [14]. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa
diperlukan kesiapan dalam penerapan e-learning sehingga perlu diketahui kesiapan
institusinya.
E-learning adalah model pembelajaran yang menggunakan bantuan
perangkat komputer atau jasa elektronik. E-learning juga didefinisikan sebagai
pengiriman materi pembelajaran melalui suatu media elektronik seperti internet,
intranet/extranet, satellite broadcast, audio/video tape, interactive TV, CD-ROM,
dan computer based training (CBT) [15]. Diperlukan kesiapan dalam menerapkan e-
learning.
Manfaat dari e-learning antara lain: (1). Peningkatan produktifitas guru dan
siswa secara keseluruhan. (2). Menciptakan nilai bisnis yang baik dan berkualitas
sesuai dengan manfaat teknologi informasi.(3). Efisiensi dalam hal ruang dan waktu.
(4). Kegiatan dapat dilakukan dimana saja selama ada koneksi internet[11]. E-
learning memungkinkan pembelajaran bisa dilakukan dengan dua cara: synchronous
training dan asynchronous training. Synchronous training adalah proses
pembelajaran yang terjadi pada waktu yang sama ketika pengajar sedang mengajar
dan murid sedang belajar dimana kegiatan pembelajaran dilakukan melalui internet
maupun intranet. Asynchronous training yaitu kegiatan pembelajaran yang dilakukan
dalam waktu yang berbeda dengan rentang waktu yang sudah ditentukan. Selain itu,
William Horton, dalam bukunya yang berjudul “technology and tools for E-
learning”, membedakan E-learning menjadi lima kategori, yaitu: learner-led E-
4
learning, facilitated E-learning, instructor-led E-learning, embedded E-learning, dan
telementoring and e-coaching.
Hal-hal yang dibutuhkan dalam penerapan e-learning adalah kesadaran
semua pihak baik institusi, guru, maupun siswa tentang pentingnya e- learning,
kemauan dan kemampuan serta SDM, sarana dan prasarananya, informasi yang
selalu up to date, akses cepat dan (diharapkan gratis), serta sosialisasi [16]. Selain
itu, komponen utama yang membentuk e-learning adalah infrastruktur E-learning
dan sistem e-learning yang disebut dengan Learning Management System (LMS).
Infrastruktur e-learning dapat berupa personal computer (PC), jaringan komputer,
internet dan perlengkapan multimedia, termasuk di dalamnya peralatan
teleconference apabila kita memberikan layanan synchronous learning[17].
Kesiapan e-learning suatu institusi adalah kesanggupan atau kesediaan
institusi, guru, dan pelajar untuk mempersiapkan diri hingga mampu
menyelenggarakan dan menjalankan, pembelajaran berbasis e-learning dengan cara
membekali diri dengan ilmu yang dibutuhkan untuk merancang, menyelenggarakan,
mengelola, menggunakan, serta melengkapi sarana dan prasarana dan
mengkondisikan lingkungan belajar, dengan tujuan mendapat manfaat dari
penyelenggaraan pembelajaran berbasis e-learning[5]. Dari beberapa penelitian yang
sudah dilakukan diketahui keberhasilan dalam menerapkan e-learning perlu adanya
kesiapan dan juga keseriusan. Sikap dan kemampuan merupakan dua faktor
signifikan dalam menentukan kesiapan penerapan e-learning[9]. Sikap adalah
penilaian instutusi terhadap e-learning berdasarkan pengetahuan atas apa yang
dirasakan dari sistem teknologi yang diketahui dari sikap positif atau negatif dengan
didasarkan pada niat perilakunya[18]. Dengan demikian sikap institusi perlu
diketahui dari beberapa indikator, yaitu inovasi dan prestasi, ekonomis dan
kemudahan. Sedangkan kemampuan adalah kesanggupan institusi dalam
mengembangkan sistem e-learning, mengelola serta menyediakan dan memenuhi
kebutuhan perangkat elektronik. Selain itu, kualitas sumber daya manusia dan
infrastruktur TI yang dipersiapkan merupakan faktor yang penting. Penerapan e-
learning juga membutuhkan pembiayaan atau alokasi dana yang harus dikeluarkan.
Institusi sekolah yang mendukung penerapan e-learning memiliki
kemampuan atas tiga hal yaitu: (1) memiliki kebijakan yang memihak, (2)
mengetahui kebutuhan dasar sebagai syarat penerapan e-learning, (3) Guru harus
profesional dalam menggunakan teknologi sehingga menjadi efektif dalam
mengintegratsikan kedalam kurikulum[19]. Faktor kemampuan dan faktor sikap
dideskripsikan atas beberapa indikator dalam pengukuran kesiapan penerapan e-
learning.
Tabel 1.Kriteria minimum standar kesiapan Infrastruktur dalam penerapan e-learning
Infrastruktur TIK Kriteria yang harus dipenuhi
Kriteria Spesifikasi komputer
Prosesor Pentium IV/2,26 GHz, RAM 256 MB,
Harddisk 80 GB
Kriteria jaringan internet Akses berkecepatan baik dan berpusat pada server
Kriteria LMS
Memiliki fitur yang mudah digunakan, user friendly,
stabil, aman, cepat dan responsif
Sumber: Raharja dkk, Lee-Post [20][21]
5
Kemampuan infrastruktur pada kriteria spesifikasi dan jaringan internet harus
dipenuhi. Begitu juga kriteria LMS harus dimiliki. Bila infrastruktur yang dimiliki
institusi sekolah lebih dari kriteria minimum juga akan lebih baik sehingga lebih
mendukung pada kesiapan penerapan e-learning.
Tabel 2. Kriteria SDM dalam penerapan e-learning
Kesiapan SDM Kriteria yang harus dipenuhi
Tenaga teknisi Tenaga teknisi yang mumpuni
Kebijakan Tersedia program pelatihan penerapan e-learning
Kemampuan Memiliki kemampuan dasar mengelola e-learning
Konten e-learing Tersedia bahan ajar yang dapat diakses dimana saja
dan kapan saja
Sumber: Aydin & Tasci [22]
Pada tabel 2 tentang kriteria kesiapan SDM dalam penerapan e-learning
harus dimiliki. Bila kesiapan SDM yang ada dipenuhi oleh institusi sekolah maka
dapat dikatkan institusi sekolah siap pada kemampuan SDM dalam penerapan e-
learning.
Tabel 3. Kriteria anggaran dana untuk kesiapan penerapan e-learning
Kesiapan Anggaran dana Kriteria yang harus dipenuhi
Anggaran Infrastruktur TIK
Tersedia anggaran dana komputer, akses internet dan
sistem e-learning
Pelatihan Tersedia anggaran dana pelatihan guru
Dana bantuan
Tersedia anggaran dana dari luar (pemrintah dan
masyarakat)
Sumber: Suryosubroto [23] yang telah dimodifikasi
Anggaran dana untuk penerapan e-learning pada tabel 3 harus tersedia untuk
dukungan dalam penerapan e-learning. Bila pada tabel terpenuhi atau melebihi
kriteria maka institusi sekolah lebih siap dalam dukungan anggaran dana untuk
kesiapan penerapan e-learning.
Tabel 4. Kesiapan sikap institusi dalam penerapan e-learning
Indikator sikap Deskripsi sikap
Inovasi dan prestasi • Memotivasi dan meningkatkan minat belajar siswa
• Efektif dan efisien
• Meningkatkan kinerja institusi sekolah
Ekonomis
• E-learning memudahkan dengan biaya yang terjangkau
• Menghemat pengeluaran sekolah
Kemudahan
• Memudahkan guru dan siswa dalam pembelajaran
• Membantu pembelajaran menjadi efektif dan efisien
• Memudahkan guru dan siswa mengikuti perkembangan
teknologi
Sumber: Davis et al dalam Dalimunthe dan Wibisono [18]
Kriteria pada faktor kemampuan pada Tabel 4 harus dimiliki oleh institusi
sekolah untuk penerapan e-learning. Bila pada aspek tersebut terpenuhi maka
institusi sekolah SMPN 1 Salatiga dikatakan siap dalam penerapan e-learning.
Begitu juga faktor sikap yang dideskripsikan dalam tabel 4 jika sikap institusi positif
mendukung e-learning juga menunjukkan bahwa SMPN 1 Salatiga mendukung
positif pada penerapan e-learning.
6
3. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan
untuk mendeskripsikan kesiapan institusi sekolah dalam penerapan e-learning di
SMPN 1 Salatiga dilihat dari faktor kemampuan dan sikapnya. Penelitian ini
melibatkan tiga orang guru sebagai partisipan di antaranya: kepala sekolah, wakasek
bagian kurikulum dan tenaga teknisi pengelola e-learning sebagai wakil dari sebuah
institusi. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan
wawancara. Observasi digunakan untuk memperoleh data kesiapan infrastruktur di
SMPN 1 Salatiga. Sedangkan wawancara dilakukan kepada tiga orang partisipan
dengan 23 butir pertanyaan untuk mengetahui kemampuan institusi dan 20
pertanyaan untuk mengetahui sikap institusi. Faktor kemampuan disusun berdasarkan
tiga aspek: Infrastruktur TIK, SDM, keuangan. Sedangkan faktor sikap disusun
berdasarkan tiga aspek: inovasi dan prestasi, ekonomis, kemudahan.
Analisis data dalam penelitian menggunakan teknik analisis deksriptif yang
terdiri dari reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. Reduksi data dilakukan
sejak peneliti turun lapangan dimana data hasil penelitian kemudian dilakukan
kategorisasi dan abstraksi. Analisis faktor sikap menggunakan kategorisasi pada tiap
jawaban hasil wawancara yang akan digolongkan dalam kategori tertentu dari empat
kemungkinan kategori yang digunakan seperti yang ditunjukkan dalam tabel 5.
Tabel 5. Analisis kesiapan sikap dalam penerapan e-learning
Sikap Keterangan
Sangat positif (SP) : Pernyataan informan pada kategori 4 (sangat setuju)
Positif (P) : Pernyataan informan pada kategori 3 (setuju)
Negatif (N) : Pernyataan informan pada kategori 2 (kurang setuju)
Sangat negatif (SN) : Pernyataan informan pada kategori 1 (tidak setuju)
Untuk memudahkan, penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi dan deskripsi
tertulis disertai kutipan pernyataan informan. Penarikan kesimpulan dilakukan
berdasarkan hasil tabulasi dan deskripsi skala penilaian. Skala penilaian pada faktor
sikap mengacu pada jawaban masing-masing informan yang telah dikategorisasikan
dimana hasilnya dinyatakan positif jika perolehan nilai rata-rata tiap informan adalah
2,5 ≤ 4 dan tidak positif atau negatif jika > 1 dan < 2,5 yang kemudian ditarik suatu
kesimpulan sehingga data yang dikumpulkan dapat menjadi bermakna.
Dalam menguji keabsahan data penelitian menggunakan triangulasi teknik
pengambilan data yaitu melakukan observasi selain wawancara. Selain itu,
triangulasi sumber juga dilakukan, yaitu selain mewawancari kepala sekolah, juga
mewawancarai wakil kepala sekolah dan tenaga teknisi yang ada di SMPN 9
Salatiga. Informasi yang telah diperoleh dari wawancara kemudian dilakukan
perbandingan informasi berdasarkan data masing-masing informan. Begitu juga data
hasil observasi yang telah diperoleh digunakan sebagai perbandingan dengan data
hasil wawancara guna mendapatkan derajat kepercayaan suatu informasi. Selain itu,
perpanjangan waktu penelitian juga dilakukan dalam rangka mendapatkan keabsahan
data.
4. Hasil dan Pembahasan Penelitian
Hasil penelitian yang terdiri dari data observasi data wancara dari faktor sikap
dan kemampuan institusi dalam penerapan e-learning dideskripsikan berdasarkan
hasil temuan di lapangan. Data pada faktor kemampuan dijadikan satu dengan data
7
observasi di mana data observasi juga digunakan sebagai pembanding dan
pendukung data primer pada faktor kemampuan.
Kemampuan dalam penerapan e-learning
Kesiapan institusi SMPN 1 Salatiga yang dilihat dari kemampuan institusi,
terutama berkaitan dengan infrastruktur berdasarkan hasil wawancara kepada kepala
sekolah, wakil kepala sekolah dan teknisi disajikan dalam tabel 6.
Tabel 6. Kesiapan infrastruktur di SMPN 1 Salatiga
Aspek Kriteria Minimum Keadaan di lapangan
Spesifikasi komputer Prosesor Pentium IV/2,26 GHz,
RAM 256 MB, Harddisk 80 GB
Prosesor Intel Core i3, RAM 2
GB, Hard disk 500 GB
Jaringan internet Akses berkecepatan baik dan
berpusat pada server
Berkecepatan 40Mbps dan tidak
berpusat pada server
LMS Memiliki fitur yang mudah
digunakan, user frienly, stabil,
aman, cepat dan responsif
Tidak tersedia
Dari hasil wawancara kepada kepala sekolah SMPN 1 Salatiga tentang
kemampuan infrastruktur lab komputer dalam kesiapan penerapan e-learning, Kepala
Sekolah menyatakan “SMPN 1 Salatiga memiliki lab yang siap. Kita punya empat
lab dengan jumlah komputer kurang lebih 140.” Sedangkan wakil Kepala Sekolah
menyatakan “Sekolah punya empat lab komputer, untuk jumlah komputer satu kelas
cukup. Jumlahnya Sekitar 30-32 komputer.” Sedangkan tenaga Teknisi menyatakan
bahwa “Jumlah komputer cukup, ini kita punya 4 lab, masing-masing lab 33
komputer.” Di lain pihak, berkaitan dengan spesifikasi komputer, tenaga teknisi
SMPN 1 Salatiga menyatakan, “Komputer sekolah sebagian besar spesifikasinya
sudah pakai prosesor Intel Core i3, RAM berkapasitas 2 GB dan hard disk 500GB.
Tapi di lab II ada yang komponennya lebih rendah karena masih pakai komponen
yang lebih lama.” Selain itu, hasil observasi tentang kemampuan infrastruktur di
SMPN 1 Salatiga dalam kesiapan penerapan e-learning ditunjukkan dalam tabel 7.
Tabel 7 Hasil observasi infrastruktur TIK di SMPN 1 Salatiga
Infrastruktur
TIK Komputer Akses kabel Wifi LCD Proyektor
Lab I 33 komputer 10 Mbps Tersedia Tersedia
Lab II 33 komputer 10 Mbps Tersedia Tersedia
Lab III 33 komputer 5 Mbps Tersedia Tersedia
Lab IV 33 Kmputer 5 Mbps Tersedia Tersedia
Ruang Kelas Tidak tersedia Tidak tersedia Tidak tersedia Tersedia
Perpustakaan 5 komputer Terhubung lab II Tersedia Tidak tersedia
Ruang server 2 komputer 10 Mbps Tersedia Tidak tersedia
Terdapat empat lab dimana masing-masing lab memiliki tiga puluh tiga
komputer. Beberapa komputer juga disediakan di perpustakaan dan ruang server.
Adapun wifi juga tersedia di lab dan perpustakaan namun tidak di ruang kelas.
Selanjutnya, SMPN 1 Salatiga memiliki komputer dengan spesifikasi yang beragam
yang ditunjukkan dalam tabel 8.
Tabel 8 Hasil observasi spesifikasi komputer SMPN 1 Salatiga
Spesifikasi Komputer Lab I Lab II Lab III Lab IV
Prosesor Intel Core i3 Pentium dual core Intel Core i3 Intel Core i3
RAM 2 GB 1GB – 2 GB 2 GB 2 GB
Hardisk 500 GB 200 GB 500GB 500GB
8
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga
memiliki fasilitas komputer dengan jumlah komputer yang memadai dan juga
spesifikasi komputer yang dimiliki telah siap dalam mendukung penerapan e-
learning. Hal ini sesuai pendapat Raharja dkk dimana untuk jumlah komputer tidak
disebutkan secara detail namun untuk spesifikasi komputer dianggap penting dan
menjadi faktor kunci keberhasilan penerapan e-learning [20].
Selanjutnya, mengenai kemampuan akses internet, kepala sekolah
menyatakan, “Internet sekolah sudah mendukung. Kita punya 200Mbps. Jadi
100Mbps digunakan untuk empat lab, 100 nya lagi di ruang server.” Wakil Kepala
sekolah menyatakan, “Mungkin siap kalau perkelas. Tapi kalau sekaligus e-learning
tidak cukup.” Sedangkan tenaga teknisi menyampaikan sebagai berikut:
“Kalau dipake barengan kecepatan termasuk masih kurang tapi kalau dibagi
pemakaiannya secara bergantian masih mampu. Untuk internet saat ini tersedia kecepatan
40 Mbps tapi ada tiga titik: Satu titik di perpustakaan, satu titik di lab komputer
kemudian satu lagi untuk guru dan karyawan di ruang server.”
Selanjutnya mengenai ketersediaan akses internet di lingkungan sekolah
dalam mendukung penerapan e-learning, Kepala Sekolah menyampaikan, “Hospot
sekolah untuk Guru dan karyawan disediakan akses internet gratis. Untuk siswa
disediakan di ruang komputer dan perpustakaan.” Sedangkan menurut Wakil Kepala
Sekolah “Guru dan karyawan gratis sedangkan siswa hanya di tempat tertentu saja
seperti lab komputer dan Perpustakaan.” Sedangkan menurut tenaga Teknisi ”Sinyal
wifi sudah menjangkau 70% di lingkungan sekolah, internet sementara sampai saat
ini cukup untuk guru dan karyawan, kemudian hanya ditambah lab jadi penggunaan
hospot untuk siswa di luar lab belum disediakan karena banwidth yang masih kurang
mampu.”
Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa ada perbedaan informasi
mengenai kecepatan akses internet di SMPN 1 Salatiga. Menurut kepala sekolah,
internet di sekolah SMPN 1 Salatiga berkecepatan 200Mbps, sementara tenaga
Teknisi mengatakan internet di SMPN 1 Salatiga berkecepatan 40Mbps. Sedangkan
dari hasil observasi, akses internet memang ada namun kecepatan kurang memadai
apalagi jika digunakan untuk mengakses e-learning.
Selain itu, wawancara tentang kesiapan server e-learning di SMPN 1 Salatiga
dimana kepala Sekolah dan wakil Kepala Sekolah menyatakan bahwa untuk server e-
learning tidak disediakan. Sejalan dengan hal itu, tenaga Teknisi juga menyampaikan
“Untuk server e-learning belum ada, belum ada ruangan khusus juga, dari server Try
Out juga masih server dengan kualitas yang rendah. Jadi kalau dipakai untuk e-
learning dan dinyalakan selama 24 jam itu belum mampu.”
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga memiliki kesiapan
jaringan internet yang kurang memadai. Padahal dalam Raharja dkk menyatakan
bahwa dukungan akses internet menjadi faktor penting yang harus dimiliki dan juga
diperhatikan. Penerapan e-learning memerlukan dukungan akses internet yang cepat
dan memadai serta didukung jaringan yang terpusat pada server [20]. Demikian juga
dari hasil penelitian ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga memiliki dukungan internet
yang terbatas seperti jaringan wifi yang masih dibatasi karena banwidth yang kurang
mampu. Selain itu, pada dukungan server e-learning, SMPN 1 Salatiga masih belum
ada kesiapan sama sekali. SMPN 1 Salatiga memiliki kesiapan infrastruktur yang
9
terbatas sehingga mempengarhi penerapan e-learning menjadi kurang maksimal. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Grendi Hendrastomo
bahwa penerapan e-learning menjadi tidak maksimal jika tidak didukung penuh pada
kesiapan infrastruktur [13].
Dari hasil wawancara kepada ketiga informan, yaitu kepala sekolah wakil
kepala sekolah dan tenaga teknisi SMPN 1 Salatiga tentang dukungan LMS dalam
penerapan e-learning menyatakan bahwa SMPN 1 Salatiga tidak menyediakan LMS
secara khusus. Selain itu, SMPN 1 Salatiga belum ada program untuk mendukung
penerapan e-learning. Lab komputer SMPN 1 Salatiga difasilitasi dengan terbatas
dan hanya digunakan untuk keperluan TIK saja. Disampaikan oleh teknisi bahwa
akses internet bisa tergangu jika lab disediakan secara terbuka. Dengan demikian,
pengajar yang ingin menggunakan lab untuk keperluan penerapan e-learning juga
harus ada izin terlebih dahulu.
Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga belum siap
pada kesiapan LMS untuk mendukung penerapan e-learning sebagai pembelajaran
terbuka. Padahal menurut Lee-Post, salah satu faktor kunci yang dapat
menyukseskan penerapan e-learning adalah dukungan LMS yang baik [21]. Oleh
karena itu, seharusnya institusi sekolah perlu menyediakan LMS yang mendukung.
Selain infrastruktur, kemampuan institusi juga bisa dilihat dari kemampuan Sumber
Daya Manusianya.
Sumber Daya Manusia
Kekuatan sumber daya manusia dalam suatu institusi atau organisasi pendidikan
dipandang sebagai aset penting yang mempengaruhi dan menentukan kualitas
pendidikan. Oleh karena itu, kemampuan sumber daya institusi menjadi hal yang
mutlak dimiliki. Adapun kemampuan sumber daya manusia dalam penerapan e-
learning di SMPN 1 Salatiga disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Kemampuan sumber daya manusia dalam penerapan e-learning
Aspek
Kriteria yang harus
dimiliki Keadaan di Lapangan
Tenaga teknisi Tenaga teknisi yang
mumpuni
Tersedia 3 orang guru TIK yang
mumpuni
Kebijakan Tersedia program
pelatihan e-learning
Tidak ada pelatihan untuk guru. Namun
tesedia BKTIK untuk siswa
Kemampuan
dasar
Berkemampuan dalam
mengelola e-learning,
memanfaatkan jasa LMS
Tenaga TIK siap. Namun guru pengampu
kurang siap
Konten e-learning Tersedia bahan ajar
yang dapat diakses
dimana saja dan kapan
saja
Tidak Tersedia
Dalam wawancara tentang dukungan tenaga teknisi di SMPN 1 Salatiga
untuk kesiapan penerapan e-learning baik Kepala Sekolah maupun Wakil Kepala
Sekolah mengatakan bahwa SMPN 1 Salatiga memiliki tenaga teknisi yang
berjumlah tiga orang. Hal senada juga dinyatakan oleh tenaga Teknisi bahwa di
SMPN 1 Salatiga terdapat tiga tenaga teknisi termasuk guru TIK. Selain itu,
wawancara dengan tenaga teknisi tentang tenaga khusus yang mengelola penerapan
e-learning di SMPN 1 Salatiga dimana Teknisi menyampaikan “Yang disediakan
belum ada, kalau untuk membangun sistem e-learning bisa cuman belum ada
program sekolah yang mengarah ke situ.” Kepala Sekolah menyatakan bahwa tenaga
teknisi khusus saya kira tidak ada, cuman guru TIK itu. Pernyataan yang serupa juga
10
diperoleh dari wakil kepala sekolah bahwa SMPN 1 Salatiga tidak menyediakan
tenaga khusus untuk mendukung penerapan e-learning.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kesiapan pada tenaga teknisi yang
dimiliki SMPN 1 Salatiga dengan kemampuan yang mumpuni sehingga siap untuk
diandalkan insitusi sekolah SMPN 1 Salatiga dalam penerapan e-learning. Akan
tetapi, jika dilihat lebih lanjut, ternyata tenaga teknisi yang dimaksudkan adalah guru
TIK, dimana guru tersebut sudah mempunyai tugas dan tanggung jawabnya sebagai
guru yang cukup besar. Tenaga teknisi yang khusus menangani e-learning ternyata
belum tersedia. Padahal idealnya harus ada tenaga khusus yang dapat mengelola e-
learning tersebut. Hal ini bertentangan dengan yang disampaikan oleh Aydin &
Tasci yang menyatakan bahwa faktor tenaga teknisi menjadi penting untuk dimiliki,
yaitu perlu dukungan tenaga teknisi yang berkemampuan dalam mengelola sitem e-
learning dan juga sebagai instruktur dalam memfasilitasi penerapan e-learning [22].
Selanjutnya, dalam wawancara tentang program pelatihan e-learning di
SMPN 1 Salatiga, Teknisi menyampaikan “Program pelatihan guru dari sekolah
sendiri belum ada, tapi dari dinas pendidikan sudah melakukan beberapa kali
pelatihan tapi tidak semua guru dan hanya guru yang dipilih. Itupun pelatihan
berkaitan dengan UNBK.” Sedangkan Kepala Sekolah dan wakil Kepala Sekolah
menyatakan bahwa tidak ada program pelatihan rutin dari sekolah, tetapi Dinas
Pendidikan kadang-kadang melakukan pelatihan di SMPN 1 Salatiga namun bukan
berkaitan dengan e-learning.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari ketiga informan, pelatihan dari
Dinas Pendidikan arahnya adalah untuk kesiapan pelatihan UNBK bagi sekolah yang
telah melaksanakan UNBK dimana beberapa guru yang mengajar di kelas IX
diwajibkan mengikuti pelatihan yang diselengarakan oleh Dinas Pendidikan tersebut.
Selain itu, SMPN 1 Salatiga dalam sistem pembelajarannya menggunakan K-13,
sehingga BKTIK juga telah dilaksanakan. Namun pelatihan e-learning untuk guru
masih belum dilaksanakan.
Selain itu dari hasil wawancara, ketiga informan menyatakan bahwa SMPN 1
Salatiga memiliki kebijakan yang masih melarang siswa dalam menggunakan gadget
selama jam sekolah. Siswa tidak diizinkan menggunakan handphone saat penerapan
e-learning di lab komputer. Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa
SMPN 1 Salatiga memiliki kebijakan yang kurang mendukung penerapan e-learning.
Hal ini terlihat pada kebijakan sekolah SMPN 1 Salatiga yang tidak mengadakan
pelatihan e-learning bagi tenaga guru, begitu juga tenaga instruktur yang tidak
disediakan. Selain itu, adanya kebijakan yang melarang siswa untuk membawa
gadget ke sekolah juga kurang mendukung penerapan e-learning. Padahal menurut
Aydin & Tasci, kebijakan sekolah menjadi faktor penentu untuk keberhasilan
penerapan e-learning [22]. Selanjutnya mengenai kemampuan sekolah SMPN 1 Salatiga dalam
mengelola penerapan e-learning, tenaga Teknisi menyampaikan “Tenaga operator
sudah siap, tapi untuk guru pengampu yang harus mengelola e-learning
menggunakan LMS ini masih membutuhkan pelatihan lebih lanjut karena
kemampuan tiap guru berbeda juga.”
Sedangkan wawancara dengan wakil kepala sekolah adalah sebagai berikut:
“Sekolah memiliki tenaga teknisi TIK yang siap. Namun kemampuan guru pengampu
sepertinya sebagian guru belum siap. Kalau bahasa inggris bisanya menyuru anak untuk
11
latihan UNBK memakai android mereka masing-masing tapi tidak serentak dilakukan di
kelas tapi dilakukan di rumah masing-masing.”
Akan tetapi, menurut Kepala Sekolah sekolah dikatakan mampu karena memiliki
tiga tenaga guru TIK. Selain itu berdasarkan hasil wawancara, SMPN 1 Salatiga
telah melakukan penerapan e-learning, namun penerapannya sangat terbatas, dimana
guru TIK dalam penerapanya sudah memanfaatkan LMS, sedangkan beberapa guru
yang mengajar di kelas IX sudah menggunakan email dan aplikasi android dalam
mendukung pembelajaran.
Wawancara tentang kemampuan guru dalam menggunakan sistem e-learning
untuk mengelola pembelajaran seperti peralihan pembelajaran konvensional ke e-
learning dalam mendukung pembelajaran di SMPN 1 Salatiga dimana wawancara
dengan tenaga Teknisi adalah sebagai berikut:
“Dari kondisi sekarang belum bisa dipastikan, tapi untuk seratus persen ke e-learning saya
pikir belum siap, belum siap dari regulasi kemudian ketersediaan sarana juga masih
kurang. Ditambah lagi kemampuan dari guru belum semua menguasai IT. Sampai saat ini
baru guru TIK yang mencoba menggunakan LMS edmodo untuk peralihan
pembelajaran. Tapi itu belum maksimal. Mungkin 50% dari kemampuan e-learning itu
yang diterapkan, baru sedikit, ya dari 50% elearning-nya itu.”
Sedangkan Kepala Sekolah dan wakil kepala sekolah dengan pernyataan yang sama
mengatakan “Mungkin tidak seratus persen tapi beberapa guru seperti guru TIK
sudah, guru PPKN yang memberikan tugas menggunakan e-learning juga mungkin
sudah melakukan peralihan.”
Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa kemampuan SDM guru mata
pelajaran di SMPN 1 Salatiga masih kurang siap dalam mengelola e-learning dengan
LMS dalam penerapan e-learning. Padahal menurut Aydin & Tasci faktor penentu
keberhasilan penerapan e-learning juga dipengaruhi oleh faktor SDM guru dalam
menggunakan atau memanfaatkan jasa LMS. Jika guru memiliki kemampuan itu
maka dipastikan bahwa penerapan e-learning dapat mencapai keberhasilan dalam
penerapannya [22]. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pemanfaatan jasa LMS
masih terbatas pada guru dengan provesi tertentu. Artinya bahwa sebagian besar
tenaga guru di SMPN 1 Salatiga belum siap dalam penerapan e-learning untuk dapat
mengelola e-learning dengan baik. Selain itu, hasil penelitian juga ditemukan bahwa
penerapan e-learning dilakukan hanya oleh tenaga guru yang mengajar di kelas IX.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penerapan e-learning di SMPN 1 Salatiga
masih kurang dan belum maksimal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Grendi Hendrastomo bahwa penerapan e-learning menjadi tidak maksimal
dipengaruhi oleh faktor SDM guru yang kurang siap [21].
Selain itu, penerapan e-learning di SMPN 1 Salatiga seperti konten e-
learning yang mendukung untuk memudahkan guru dan siswa dalam pembelajaran,
tenaga Teknisi menyampaikan bahwa “Sekolah belum mendukung untuk
menyediakan konten e-learning. Sampai saat ini Sekolah hanya memfasilitasi. Di
Perpustakaan disediakan 5 komputer untuk siswa, diisi dengan ebook kemudian bisa
mengakses e-learning yang dibutuhkan cuman belum diprogramkan secara khusus.”
Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa dukungan konten e-
learning berdasarkan kesiapan sekolah SMPN 1 Salatiga masih belum siap
berdasarkan kemampuannya. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Aydin & Tasci
yang menyatakan bahwa kesuksesan penerapan e-learning salah satunya dapat dilihat
12
pada faktor kemampuan SDM institusi dalam menyediakan konten e-learning.
Dalam hal ini penerapan e-learning seharusnya memberikan manfaat berupa
kemudahan yang diberikan dalam pembelajaran terbuka [22]. Namun demikian dari
hasil penelitian ditemukan bahwa SMPN 1 Salatiga tidak mendukung dalam
menyediakan konten e-learning. Selanjutnya, keuangan juga perlu dilihat dalam
menentukan kemampuan institusi dalam penerapan e-learning.
Anggaran Keuangan dalam penerapan e-learning
Kesiapan anggaran dana dalam mendukung penerapan e-learning
berdasarkan hasil temuan di SMPN 1 Salatiga disajikan dalam tabel 9.
Tabel 9. Kemampuan anggaran dana dalam penerapan e-learning
Anggaran dana Kriteria yang harus dipenuhi Keadaan di lapangan
Anggaran
Infrastruktur
Tersedia anggaran dana
komputer, akses internet dan
sistem e-learning
Akses internet Rp 3.500.000.00
per bulan
Perawatan perangkat Rp
500.000.00 per tahun
Pelatihan Tersedia anggaran dana pelatihan
guru
Tidak ada
Dana bantuan Tersedia anggaran dana dari luar
(pemrintah dan masyarakat)
Tidak ada
Wawancara dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan tenaga teknisi
tentang alokasi anggaran dana untuk kesiapan penerapan e-learning, dimana pada
anggaran dana infrastruktur menurut Teknisi adalah sebagai berikut:
“Untuk internet alokasinya Rp 3.500.000.00 per bulannya, sedangkan untuk perawatan
perangkat TIK ada cuman memang sangat terbatas, cuman untuk perawatan kerusakan
kecil paling besar Rp500 ribu. Jadi dari semua peralatan komputer itu yang dialokasikan
untuk perawatan tiap tahun mungkin hanya 20%nya dengan masing-masing peralatan itu
tidak lebih dari 500 ribu.”
Sedangkan Kepala Sekolah juga menyatakan bahwa sekolah SMPN 1 Salatiga
mengaloaksikan anggaran untuk akses internet dan perawatan perangkat keras yang
sekian. Dimana kepala sekolah tidak mau menyebutkan secara detail untuk jumlah
anggaran dana yang dialokasikan.
Selain itu Kepala Sekolah dan tenaga Teknisi menyatakan bahwa SMPN 1
Salatiga tidak mengalokasikan angggaran secara khusus untuk e-learning atau
menerima dana bantuan dari luar. Kepala Sekolah menyampaikan “Dana untuk e-
learning tidak ada. Kalau untuk sumbangan perangkat komputer dari pemerintah ada
dengan prioritas persiapan UNBK sekolah diberi bantuan komputer.” Sementara
tenaga Teknisi menyampaikan bahwa “Dana khusus untuk e-learning dari sekolah
belum ada. Tidak ada dana khusus dari pemerintah yang dialokasikan untuk e-
learning. Kita mengalokasikan sendiri kalau memang dibutuhkan tapi belum
dialokasikan karena programnya belum mengarah ke situ.”
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa alokasi anggaran untuk mendukung
penerapan e-learning di SMPN 1 Salatiga termasuk sedikit. Hal tersebut
menunjukkan bahwa anggaran dalam penerapan e-learning kurang siap sehingga
perlu untuk ditingkatkan lagi. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Suryosubroto
bahwa pada penerapan e-learning, faktor anggaran sangat penting sehingga perlu
dukungan dana dalam bentuk subtansi dan finansial. Dikatakan bahwa selama
tersedia anggaran dana dari kedua faktor ini maka penerapan e-learning akan
13
berjalan dengan lancar [23]. Namun demikian, dari hasil penelitian di SMPN 1
Salatiga ditemukan bahwa kemampuan institusi kurang siap dalam mengalokasikan
anggaran dana dalam mendukung penerapan e-learning.
Faktor Sikap dalam penerapan e-learning
Dari hasil wawancara dengan ketiga informan yaitu kepala sekolah, wakil
kepala sekolah dan tenaga teknisi tentang kesiapan sikap institusi sekolah SMPN 1
Salatiga dalam penerapan e-learning ditunjukkan dalam tabel 10.
Tabel 10. Analisis indikator Inovasi dan prestasi
Inovasi dan Prestasi Penilaian Sikap
Kepsek Wakasek Teknisi
Meningkatkan minat Belajar Siswa 4 3 3
Memotifasi siswa dalam belajar 4 3 4
Menjadi media pembelajaran siswa yang efektif 4 3 3
Menjadi metode belajar dan mengajar yang efektif 2 2 2
Membantu siswa mengikuti perkembangan teknologi 4 4 3
Menjadi media pembelajaran alternatif yang mendukung 4 3 3
Menjadi media belajar yang dapat dijangkau dimana saja dan
kapan saja
4 2 4
Membantu guru mengikuti perkembangan teknologi
informasi
4 3 4
Meningkatkan kinerja institusi menjadi lebih efisien 4 3 3
Menjadi media pembelajaran mandiri yang efektif 4 3 2
Total 38 29 31 Rata-rata 3,8 2,9 3,1
Kategori P P P
Berdasarkan hasil wawancara tentang kesiapan sikap pada inovasi dan
prestasi dimana dalam tabel 10 menunjukkan bahwa sikap masing-masing informan
di sekolah SMPN 1 Salatiga menanggapi positif. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa kepala sekolah menanggapi dengan sikap yang mendukung pada inovasi dan
prestasi dengan hasil 3,8 atau dalam kriteria positif. Sedangkan wakil kepala sekolah
juga menanggapi dengan sikap yang positif dengan hasil 3,1 atau dalam kriteria
positif. Selain itu, tenaga teknisi menanggapi dengan sikap dalam kriteria positif
dengan perolehan hasilnya adalah 2,9. Dengan demikian SMPN 1 Salatiga telah siap
atau memiliki sikap yang mendukung pada indikator inovasi dan prestasi dalam
penerapan e-learnng. Hal ini dikarenakan semakin positif sikap terhadap e-learning,
semakin siap juga dalam menerapkan e-learning.
Tabel 11. Analisis indikator e-learning Ekonomis
Ekonomis Penilaian Sikap
Kepsek Wakasek Teknisi
Memudahkan institusi sekolah dengan biaya yang
terjangkau 1 3 3
Menghemat pengeluaran institusi sekolah 1 3 3
Total 2 6 6
Rata-rata 1 3 3
Kategori SN P P
Hasil wawancara tentang sikap institusi dalam penerapan e-learning menjadi
ekonomis dimana hasil dalam tabel 11 menunjukkan bahwa SMPN 1 Salatiga
memiliki dukungan yang cukup positif. Namun demikian, kepala sekolah
14
menanggapi penerapan e-learning dapat mendukung pembelajaran lebih ekonomis
dengan sikap yang tidak mendukung atau dalam kategori negatif. Sedangkan wakil
kepala sekolah dan tenaga teknisi dengan sikap yang mendukung bahwa penerapan e-
learning pembelajaran menjadi lebih ekonomis seperti yang ditunjukkan dalam tabel
11 dimana wakil kepala sekolah dan tenaga teknisi menyikapi dengan sikap yang
mendukung.
Tabel 12. Analisis indikator Kemudahan
Kemudahan Penilaian Sikap
Kepsek Wakasek Teknisi
Membantu siswa dapat belajar mandiri 4 3 3
Membantu siswa belajar lebih efektif 4 3 3
Membantu pembelajaran lebih efisien 4 2 3
Membantu meningkatkan kinerja guru 4 3 2
Memudahkan dalam mengelola pembelajaran 4 3 3
Memudahkan guru dalam merancang media pembelajaran 4 3 3
Membantu guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran 4 3 3
Menyediakan kemudahan dalam mengakses materi 4 3 4
Total 32 23 24
Rata-rata 4 2,8 3
Kategori SP P P
Berdasarkan hasil wawancara tentang sikap SMPN 1 Salatiga yaitu e-
learning dalam penerapannya memberikan kemudahan, dalam tabel 12 menunjukkan
bahwa SMPN 1 Salatiga memiliki sikap yang positif. Kepala sekolah menanggapi
dengan sikap yang sangat mendukung berdasarkan hasilnya yaitu pada angka 4 atau
dalam kriteria sangat positif. Selain itu wakil kepala sekolah menggapi dengan sikap
yang mendukung dengan hasil 2,8 atau dalam kriteria positif. Begitu juga tenaga
teknisi menanggapi dengan dukungan sikap yang positif dengan hasil 3 atau dalam
kriteria positif. Berdasarkan data tersebut menunjukkan SMPN 1 Salatiga memiliki
sikap yang siap pada indikator penerapan e-learning memberikan kemudahan.
Hasil penelitian tentang kesiapan sikap berdasarkan ketiga indikator yang
digunakan dapat disimpulan bahwa SMPN 1 Salatiga telah siap. Hal ini, SMPN 1
Salatiga memiliki sikap yang sangat positif mendukung penerapan e-learning
ditunjukkan pada indikator inovasi dan prestasi dan kemudahan. Sedangkan pada
indikator ekonomis, SMPN 1 Salatiga memiliki dukungan sikap yang cukup. Dengan
demikian SMPN 1 Salatiga telah memiliki landasan sikap yang mendukung sehingga
dapat segera mungkin untuk mewujudkan penerapan e-learning. Hal ini sejalan
dengan yang disampaikan Davis et al dalam Dalimunthe dan Wibisono bahwa salah
satu faktor penting yang mempengaruhi manusia untuk dapat menerapkan e-learning
adalah diketahui dari cara seseorang menyikapi sistem teknologi tersebut berdasarkan
penilaiannya dalam bentuk tanggapan sikap positif atau negatif [18]. Berdasarkan hal
tersebut institusi sekolah SMPN 1 Salatiga telah mendukung penerapan e-learning
dari segi faktor sikap.
15
6. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa SMPN 1 Salatiga belum siap
dilihat dari faktor kemampuan dan telah siap jika dilihat dari faktor sikap. Dilihat dari
faktor kemampuan, SMPN 1 Salatiga memiliki kemampuan yang belum siap pada
indikator infrastruktur, SDM dan keuangan. Selain itu, SMPN 1 Salatiga hanya siap
pada aspek tertentu pada faktor kemampuan yaitu pada indikator infrastruktur saja,
yaitu pada dukungan perangkat komputer. Akan tetapi, jika dilihat dari faktor sikap
terhadap e-learning, SMPN 1 Salatiga memiliki sikap yang mendukung pada
indikator inovasi dan prestasi, kemudahan dan ekonomis dengan hasil yang positif.
Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran untuk
sekolah dan untuk penelitian selanjunya. Pertama, sekolah perlu menyikapi dengan
dukungan kebijakan yang lebih serius terhadap e-learning dalam mendukung
pembelajaran. Kedua, perlu diadakan pelatihan untuk para guru agar dapat
mengoperasikan sarana yang berbasis teknologi. Ketiga, perlu ditingkatkan lagi
jaringan internet sekolah agar dapat tersedia akses secara terbuka untuk guru dan
siswa. Keempat, untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan evaluasi
pada penerapan e-learning di SMPN 1 Salatiga.
7. Daftar Pustaka
[1]. Depdiknas, 2003, Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Jakarta
[2]. Rossen, Elisabeth, Darin Hartley, 2001, American Society for Training and
Development, Virginia: Alexandria Publisher.
[3]. Kurniawan A., 2014, Pengukuran Tingkat Kesiapan Penerapan E-Learning Sekolah
Menengah Atas Muhammadiyah di Kota Yogyakarta, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas
Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
[4]. Kusmana, Ade, 2011, E-learning dalam Pembelajaran, Jurnal Lentera Pendidikan,
14: 35-51. Diakses dari: http://ejurnal.uin- alauddin.ac.id. pada tanggal 20 Juni
2019.
[5]. Fathoni, Muhammad Rosyid, 2015, Evaluasi Penerapan E-Learning di Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Prambanan Sleman, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.
[6]. Borotis, S. and Poulymenakou, A., 2004, E-learning readiness components: Key
issues to consider before adopting e-learning interventions, San Diego: Association
for the Advancement of Computing in Education (AACE). Diakses dari:
https://www.learntechlib.org/p/11555/ pada tanggal 23 juni 2018.
[7]. Mungania, P., 2003, The seven e-learning barriers facing employees: Research final
report of the masie center of e-learning consortium, Louisville : University of
Louisville, USA. Diakses dari: https://s3.amazonaws.com pada tanggal 13 Maret
2018.
[8]. Citra, Putri Ika & Triyona Bruri Mochamad, 2017, Kesiapan Pelaksanaan
Pembelajaran Berbasis E-Learning Pada SMK School Partnership Program
Seamolec Di D.I. Yogyakarta, Journal of Vocational and Work Education, 1: 48-58.
Diakses dari: http://journal.student.uny.ac.id. pada tanggal 20 Maret 2018.
[9]. Rohayani, A. H., 2015, A literature review: Readiness factors to measuring e-
Learning readiness in higher education, Procedia Computer Science, 59: 230-
234.
[10]. Effendi, Empty & Hartono Zhunag, 2005, E-learning Aplikasi dan Konsep,
Yogyakarta: Andi Publisher.
16
[11]. Setiawan, W. and Hana, M.N., 2014, Analisis Penerapan Sistem E-Learning Fpmipa
Upi Menggunakan Technology Acceptance Model (TAM). Jurnal Pengajaran
MIPA, 19: 128-140.
[12]. Azimi, H. M., 2013, Readiness for implementation of e-learning in colleges of
education. Journal of Novel Applied Sciences, 2: 769-775.
[13]. Nugroho Agung Ariyawan. 2008. Pemanfaatan E-Learnng Sebagai Salah Satu
Bentuk Penerapan Tik Dalam Proses Pembelajaran, Majalah Ilmiah Pembelajaran,
4: 1-12. Diakses dari: https://journal.uny.ac.id. pada tanggal 20 Maret 2018.
[14]. Hendrastomo Grendi, 2008, Dilema dan Tantangan Pembelajaran E-Learning,
Majalah Ilmiah Pembelajaran, 4: 32-35. Diakses dari: https://s3.amazonaws.com.
pada tanggal 02 April 2018.
[15]. Gilbert, & Jones, M. G., 2001, E-learning is e-normous, Electric Perspectives, 26:
66-82.
[16]. Muzid, Syaiful, dan Misbahul Munir, 2005, Persepsi Mahasiswa dalam Penerapan
E-Learning sebagai Aplikasi Peningkatan Kualitas Pendidikan (Studi Kasus Pada
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia), Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan.
Diakses dari: www.neliti.com. pada tanggal 10 April 2018.
[17]. Waryanto, Nur H. dan Nur Insani, 2013, Tingkat Kesiapan (Readiness)
Implementasi E-Learning di Sekolah Menengah Atas Kota Yogyakarta. Jurnal
Pendidikan Matematika dan Sains, 1: 117-124.
[18]. Dalimunthe, Nurmaini dan Himawan Wibisono, 2014, Analisis Penerimaan Sistem
E-Learning SMK Labor Pekanbaru dengan Menggunakan Techology Acceptance
Model (TAM). Jurnal Sains, Teknologi dan Industri, 11: 111-117.
[19]. Rusman, Deni Kurniawan, dan Cepi Riyana, 2012, Pembelajaran Berbasis
Teknologi Informasi dan Komunikasi: Mengembangkan Profesionalitas
Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
[20]. Raharja, Setya dkk, 2011, Model Pembelajaran Berbasis Learning Management
System Dengan Pengembangan Software Moodle di SMA Negeri Kota Yogyakarta,
Jurnal Kependidikan, 41: 55-70.
[21]. Lee-Post, A., 2009, E-Learning Success Model: an Information Systems
Perspective, Electronic Journal of e-Learning 7: 61-70. Diakses dari:
https://eric.ed.gov/?id=EJ867103 pada tanggal 23 Maret 2018.
[22]. Aydın, C. H., and Tasci, D., 2005, Measuring readiness for e-learning: Reflections
from an emerging country, Journal of Educational Technology & Society, 8:244-
257.
[23]. Suryosubroto, 2002, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka
Cipta.