10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Tinjauan Pustaka A.1. Epilepsi A.1.a. Definisi Epilesi adalah munculnya paling tidak dua kali kejang tanpa provokasi de antara kedua kejang paling tidak selama 24 jam (Brasher, 2007; N!E, 20"2#$ %eca epilepsi merupakan gangguan paroksimal di mana cetusanneuron korteks sere&ri mengaki&atkan serangan penurunan kesadaran, peru&ahan 'ungsi motorik atau perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik$ arus di&edakan antara terjadi sendiri dan tendensi kejang &erulang yang &erupa epilepsi ()ins&erg, 200 A.1.b Epidemioloi Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis kronis yang paling umum di %erikat dengan prevalensi sekitar 0,+ $ -isiko kumulati' seumur hidup mengalam adalah . $ *ngka kematian pasien epilepsi yang &erhu&ungan langsung dengan keja status epiletikus se&anyak "0 , sementara + kematian merupakan aki&at etiologi (Brasher, 2007#$ ndonesia masih &elum memiliki data epidemiologis yang pasti tetapi diperkir /00 "$.00$000 penderita, sedangkan penanggulangan penyakit ini &elum merupakan dalam %istem 1esehatan Nasional$ Epilepsi dijumpai pada semua ras di d insidensi dan prevalensi yang hampir sama alaupun &e&erapa peneliti menemukan a yang le&ih tinggi di negara &erkem&ang ( arsono, 200/# 3aporan spesi'ik jenis kelamin mengisyaratkan angka sedikit le&ih &esar pada di&andingkan perempuan$ nsidensi &erdasarkan usia memperlihatkan pola konsisten angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pesat pada usia remaja pendataran secara &ertahap selama usia pertengahan untuk kem&ali memuncak pada tahun$ 3e&ih dari 7+ pasien epilepsi mengalami kejang pertama se&elum usia 20 apa&ila kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang terse sekunder (5rince dan 6ilson, 200+#$

Khusus Bab 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

neurologi

Citation preview

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan PustakaA.1. EpilepsiA.1.a. Definisi Epilesi adalah munculnya paling tidak dua kali kejang tanpa provokasi dengan jarak antara kedua kejang paling tidak selama 24 jam (Brasher, 2007; NICE, 2012). Secara klinis, epilepsi merupakan gangguan paroksimal di mana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Harus dibedakan antara kejang yang terjadi sendiri dan tendensi kejang berulang yang berupa epilepsi (Ginsberg, 2007).

A.1.b Epidemiologi Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis kronis yang paling umum di Amerika Serikat dengan prevalensi sekitar 0,5 %. Risiko kumulatif seumur hidup mengalami kejang adalah 8%. Angka kematian pasien epilepsi yang berhubungan langsung dengan kejang atau status epiletikus sebanyak 10%, sementara 5% kematian merupakan akibat etiologi sekunder (Brasher, 2007). Indonesia masih belum memiliki data epidemiologis yang pasti tetapi diperkirakan ada 900-1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional. Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang (Harsono, 2009) Laporan spesifik jenis kelamin mengisyaratkan angka sedikit lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan pola konsisten berupa angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pesat pada usia remaja, dan pendataran secara bertahap selama usia pertengahan untuk kembali memuncak pada usia 60 tahun. Lebih dari 75% pasien epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun, apabila kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder (Prince dan Wilson, 2005). Studi epiedemiolois melaporkan epilepsi memiliki angka mortalitasnya yaitu 2-4%. Pada pasien yang baru terdiagnosa epilepsi, kematian sebagian besar disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya (misalnya, penyakit pembuluh darah, tumor). Pada epilepsi kronis, penyebab utama kematian adalah kematian selama kejang (Sudden Unexpected Death in Epilepsy, SUDEP) (NICE, 2012). A.1.c. Etiologi Menurut Harsono pada tahun 2009, Etiologi epilepsi dapat dibagi atas 2 kelompok:1. Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi sekitar 50% dari penderita epilepsi anak, awitan biasanya pada usia lebih dari 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan di temukannya alat-alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil.1. Epilepsi sistomatik yang penyebabnya sangat bervariasi, bergantung pasa usia awitan. (Harsono, 2009) Sedangkan meurut WHO tahun 2005, membagi etiologi dari epilepsi menjadi 4 kelompok, yaitu idiopatik, gejala (simtomatik), kriptogenik, dan progresif. Epilepsi termasuk dalam etiologi idiopatik apabila epilepsi tersebut diturunkan secara genetik. Epilepsi simtomatik merupakan epilepsi yang berhubungan dengan kelainan struktural otak yang mendasari, contohnya karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, gangguan pembuluh darah otak, gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif. Epilepsi kriptogenik menyerupai epilepsi simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi kriptogenik tanpa disertai lesi yang mendasari atau di otak tidak diketahui. Epilepsi progresif merupakan istilah yang digunakan ketika epilepsi dikaitkan dengan kondisi neurologi yang terus berkembang (Sander, 2005). Etiologi atau faktor resiko dari epilepsi tergantung pada usia pasien dan jenis kejang. Penyebab paling umumyang diperoleh pada bayi yaitu hipoksia perinatal dan trauma ketika lahir, gangguan metabolisme, kelainan otak bawaan, dan infeksi. Pada anak dan remaja, epilepsi idiopatik menduduki sebagian besar kasus, meskipun trauma dan infeksi juga memiliki peran (Sander, 2005). Kejang demam, yang biasanya merupakan serangan kejang singkat yang terjadi selama fase awal penyakit demam, sering terjadi pada anak di bawah usia lima tahun dan harus dibedakan dengan kejang yang dipicu oleh infeksi sistem saraf pusat yang juga menyebabkan demam, seperti meningitis dan encephalitis. Kejang demam yang berkepanjangan, berulang atau dilatarbelakangi cacat neurologis, memiliki prognosis baik, dan kecil kemungkinan anak akan mengalami epilepsi kronis. Penyebab timbulnya epilepsi pada dewasa sangat bervariasi. Epilepsi idiopatik dan epilepsi yang disebabkan trauma ketika lahir juga dapat terjadi pada usia dewasa. Penyebab penting lainnya epilepsi pada usia dewasa adalah cedera kepala, penyalahgunaan alkohol, tumor otak, dan penyakit serebrovaskular. Pada negara berkembang, gangguan parasit seperti malaria dapat menjadi agen penyebab penting terjadinya epilepsi (Sander, 2005).

A.1.d. Klasifikasi Diagnosis, penanganan, dan prognosis gangguan kejang bergantung pada ketepatan identifikasi tipe kejang dan epilepsi. Terdapat dua skema klasifikasi, International Classification of Epileptic Seizures (ICES) dan International Classification of Epilepsies and Epileptic Syndromes (ICEES) (Brasher, 2007).Berdasarkan tinjauan ICES1. Kejang parsial mulai di daerah korteks fokal atau korteks yang terbatas.a.1. Kejang parsial sederhana merupakan kejang dengan kesadaran tidak terganggu (utuh). Kejang parsial sederhana kemudian dibagi lagi menjadi berbagai kategori berdasarkan tanda dan gejala yang dihasilkan oleh kejang.a.2. Kejang parsial kompleks merupakan kejang dengan kesadaran terganggu. Kejang ini dapat muncul dari setiap daerah kortikal, juga sering dianggap setara dengan kejang lobus temporalis1. Kejang umum (generalisata) mulai dengan aktivitas epileptiform di seluruh korteks.b.1. Kejang absence adalah sering salah didiagnosis sebagai melamun dan dapat berlangsung beberapa detik. b.2. Kejang mioklonik muncul sebagai regangan tubuh serupa syok tunggal dan cenderung singkat.b.3. Kejang tonik menghasilkan tonus mendadak, terus menerus, dan sering dimanifestasikan sebagai postur fleksor atau ekstensor. b.4. Kejang klonik merupakan kejang dengan gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal di lengan, tungkai, atau torso.b.5. Kejang atonik, juga dikenal sebagai drop attack, terjadi akibat hilangnya tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh.

Berdasarkan tinjauan ICEES International Classification of Epilepsies and Epileptic Syndromes (ICEES) mengembangkan skema klasifikasi ini dengan memasukkan informasi yang lebih banyak mengenai penyebab dan manifestasi klinis kejang. Subkategori epilepsi dan sindrom epilepsi meliputi:1. Idiopatik, paling sering terjadi, tidak ada penyebab jelas yang mendasari atau perubahan patologis selain perkiraan predisposisi genetik.1. Simtomatik, terjadi sebagai akibat gangguan serebral yang sudah diketahui.1. Kriptogenik, diperkirakan simtomatik, meskipun tidak ada bukti jelas mengenai penyebab yang mendasari.

A.1.d. Patofisiologi Definisi dari epilepsi menunjukkan, bahwa dasar serangan epilepsi ialah kelainan pada lepas muatan listrik sejumlah besar neuron otak. Gangguan lepas muatan listrik tersebut disebabkan berbagai keadaan yang mempengaruhi metabolisme neuron-neuron otak. Gambaran klinik suatu serangan epilepsi bergantung pada fungsi daerah otak yang mencetuskan lepas muatan listrik abnormal serta jalur-jalur yang dilampaui oleh lepas muatan tersebut, sehingga serangan epilepsi dapat menjelma sebagai serangan beraneka ragam dan kompleks. (Harsono, 2005) Satu atau lebih dari mekanisme berikut terlibat dalam penyebaran pengeluaran epilepsi.1. Gangguan dalam keseimbangan eksitasi/inhibisi di dalam hipotalamus diperkirakan menjadi faktor mayor dalam etiologi epilepsi.1. Perubahan saluran ion yang diatur voltase pada membran neuron mengakibatkan depolarisasi berlebihan atau aksi berlebih yang berpotensi menyulut. Potensial defek pada saluran ion meliputi saluran kalsium, kalium, atau natrium yang sensitif terhadap voltase, dan pengganti natrium/hidrogen.1. Perubahan dalam gap junction mengakibatkan perubahan komunikasi interneuron dan perubahan sinkroni neural. Gap junction ini dipengaruhi oleh pH serum (alkalosis cenderung merangsang komunikasi epileptogenik, sementara asidosis menghambat) tetapi belum ada terapi farmakologis terbaru yang menargetkan gap junction. Beberapa epilepsi familial telah ditemukan memiliki dasar genetik, dengan mutasi pada saluran ion yang memodulasi penyulutan neuron; tetapi pada kebanyakan epilepsi, keterkaitan genetik masih dicari. (Brashers, 2007) A.1.e. Gambaran Klinis1. Kejang parsial dapat berkaitan dengan: (Corwin, 2009)a. Gerakan wajah atau menyeringai.b. Sentakan yang dimulai di salah satu bagian tubuh, yang dapat menyebar.c. Pengalaman sensorik berupa penglihatan, bau, dan suara.d. Kesemutan.e. Perubahan tingkat kesadaran.1. Kejang umum yang berkaitan dengan:b.1. Ketidaksadaran, biasanya disertai dengan jatuh.b.2. Refleks pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol.b.3. Periode apnea yang singkat.b.4. Salivasi dan mulut berbusa.b.5. Menggigit lidah.b.6. Inkontinensiab.7. Stadium postical berupa stupor atau koma, diikuti oleh kebingungan, sakit kepala, dan keletihan.b.8. Prodroma dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Prodoma adalah perasaan atau gejala tertentu yang dapat mendahului kejang selama beberapa jam atau beberapa hari.b.9. Aura dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau timbul sesaat menjelang kejang.

A.1.f. DiagnosisUntuk diagnosis sindrom epileptik diperlukan data tipe epilepsi, data Elektroensefalografi (EEG) dan data lainnya. Sering penderita datang tidak dalam keadaan epilepsi, sehingga gambaran epilepsi sebagian besar berdasarkan pada anamnesis. Pada kebanyakan pasien, anamnesia dan pemeriksaan fisik akan memberikan sebagian besar informasi yang diperlukan, disertai tambahan yang diberikan oleh sidik CT otak, EEG, evaluasi laboratorium metabolik dan dalam keadaan tertentu, pungsi lumbal. (Harsono, 2009; Sabiston, 1994)Rekaman yang ideal pada EEG adalah rekaman waktu serangan (iktal), tapi rekaman sering dibuat di luar serangan (interiktal). Walaupun demikian, EEG ini masih dapat menangkap aktivitass yang abnormal. Kelainan EEG yang mempunyai korelasi yang tinggi dengan epilepsi adalah aktivitas epileptiform, yaitu berupa gelombang runcing, gelombang paku, rungcing lambat, paku lambat. Rekaman pertama kali dapat normal pada 30-40% penderita epilepsi, sehingga perlu diulang. Pemeriksaan tambahan lain seperti foto polos digunakan untuk mendeteksi adanya fraktur, CT scan kepala untuk mendeteksi adanya infark, hematom, tumor, an hidrosefalus, sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelainan sistemik seperti hipoglikemi, hiponatremi, uremi, dan lain-lain. (Harsono,2009)

A.1.g. Status EpileptikusStatus epileptikus didefinisikan sebagai suatu kondisi/keadaan spesifik oleh karena adanya serangan epilepsi yang sering, berulang, berkelanjutan dan berkepanjangan. Status epileptikus merupakan suatu yang berat, suatu kondisi yang mengancam nyawa dimana seseorang dengan kejang berkepanjangan atau tidak sadar kembali secara penuh antara kejang-kejang. Jumlah waktu dalam kejang yang berkepanjangan harus terlewati sebelum seseorang didiagnosa dengan status epileptikus merupakan subjek perdebatan. Banyak dokter sekarang mendiagnosa jika seseorang telah kejang berkepanjangan selama 5 menit. Bagaimanapun juga, banyak dokter mengunakan definisi konservatif dari kondisi ini dan mungkin tidak mendiagnosa status epileptikus kecuali seseorang telah mengalami kejang berkepanjangan 10 menit atau bahkan 30 menit (Parker, 2003)Orang dengan status epileptikus di selalu memiliki kejang konvulsif yang berat. Justru mereka memiliki kejang konkonvulsif berkepanjangan atau berulang. Tipe dari status epileptikus ini mungkin muncul sebagai sebuah episode kekacauan atau agitasi pada seseorang yang tidak biasa memiliki semacam gangguan mental (Parker, 2003)

A.1.h Hubungan riwayat keluarga dengan epilepsi Kebanyakan epilepsi primer diperkirakan memiliki dasar genetik, seperti dalam banyak penyakit idiopatik lainnya, seperti diabetes dan aterosklerosis, dan cara pewarisan yang kompleks, yaitu poligenik. Pada kelompok khusus gangguan epilepsi dimana cacat genetik monogenik telah ditemukan tekait dengan saluran ion atau neurotransmiter. Epilepsi idiopatik terjadi kemungkinan karena terdapat gangguan fungsi pada saluran ini. Studi fungsional menyatakan bahwa konsekuensi dari hampir semua mutasi ini adalah dapat meningkatkan rangsangan saraf secara keseluruhan. Contohnya, epilepsi pada lobus frontal yang mana dapat dilihat sebagai kejang parsial (dimana mutasi terjadi dalam subunit reseptor nicotinic acetylcholine), epilepsi umum dengan kejang demam (mutasi pada subunit dari saluran sodium neuronal), dan epilepsi mioklinik pada remaja dan epilepsi petit mal pada anak-anak (mutasi terdapat pada subunit dari reseptor GABAA) (Ropper, 2005). Seperti bayak gangguan neurologis genetik lainnya, mutasi tunggal dapat menghasilkan kejang yang berbeda jenis, dan satu jenis mungkin merupakan hasil dari salah satu mutasi yang berbeda. Hal ini khususnya terjadi pada kelompok epilepsi umum yang disertai kejang demam. Ini menunjukkan berbagai kombinasi dari kejang demam biasa, kejang demam yang bertahan pada masa anak-anak, epilepsi petit mal, mioklonik, atonik, dan kejang pada lobus temporal (Ropper, 2005). Beberapa mutasi yang disebutkan diatas, dua di saluran sodium dan satu di subunit GAABA, akan menghasilkan konstelasi, dimana manifestasi dari salah satu mutasi ini akan bervariasi antar anggota keluarga. Kelompok lain dari epilepsi dengan pewarisan Mendel dianggap berasal dari cacat genetik yang tidak melibatkan saluran ion (Ropper, 2005)

A.1.i Hubungan antara cedera kepala dengan epilepsi Insiden kejang pasca cedera kepala dilaporkan bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan cedera. Resiko relatif kejang adalah 1,5% pada cedera kepala ringan, 2,9% pada cedera kepala sedang, 17,2% pada cedera kepala berat. Mekanisme patofisiologis dari kejang pasca cedera kepala belum begitu dipahami secara baik, dan ada beberapa kemungkinan variasi tergantung onset setelah cedera kepala. Kejang pasca cedera kepala harus dianggap sebagai primer dan sekunder. Kejang pasca cedera primer disebabkan oleh cedera otak itu sendiri. Sedangkan, kejang pasca cedera sekunder disebebkan oleh faktor epileptogenik lain yang tidak langsung berhubungan dengan cedera, seperti demam, kelainan metabolik dan elektrolit, atau reaksi dari suatu obat. Kejang primer dan sekunder yang terkait dalam cedera itu sendiri meungkin berkontribusi terhadap penurunan ambang kejang, sehingga meningkatkan epileptogenisitas dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejang sekunder Varelas, 2005) Cedera kepala khususnya trauma yg dijadi di otak ditandai dengan perubahan metabolik dan neurokimia yang sangat tajam yang dimulai pada saat terjadi cedera dan akan berlanjut sepanjang fase aku dan subakut, dan berpotensi epileptogenik. Contohnya, hiperglikosis, perubahan pH, elevasis ekstraselular dari glutamat (dan asam amino lain), perubahan fluks ion termasuk sodium dan kalium yang bersifat sementara, perubahan aliran darah otak, dan hilangnya penghambat dari beberapa kelompok neuron (Varelas, 2005) Elevasi dari rasangsangan asam amino ekstraselular dapat menyebabkan depolarisasi luas yang dapat mencapai ambang kejang. Hilangnya penghambar neuron dapat mendorong untuk terjadinya kejang. Perubahan pH ekstraselular dapat mengalihkan potensial membran, alkalosis cenderung menyebabkan depolarisasi. Kejang yang timbul pada cedera kronis cenderung disebabkan oleh perubahan akut pada fisiologi selular. Kejang ini dapat berhubungan dengan perlukaan pada sel glial, pemecahan pada produk hemoglobin, kematian dari penghambat interneuron, atau gangguan pada konesi saraf dalam pembentukan neosinaps normal (Varelas, 2005) Kunci dari faktor biologis terjadinya kejang pasca cedera kepala melibatkan penyimpangan depolarisasi saraf. Cedera pada otak menghasilkan peningkatan natrium, kalium, dan kalsium. Terganggunya keseimbangan ion dan depolarisasi saraf ini mengakibatkan pengurangan kapasitas penghambat jaringan saraf. Mekanisme patofisiologis lain di tempat kerja dapat meliputi dan peningkatan awal pada metabolisme glukosa untuk memfasilitasi transportasi ion dan homeostasis, pengurangan aliran darah karena kompresi dan penyempitan mikrovaskular, serta edema otak prograsif dan peningkatan tekanan intrakranial (Vespa, 2003). Aliran metabolik dan peningkatan tekanan intrakranial setelah cedera otak biasanya berlangsung selama beberapa hari, periode ketidakstabilan neurokimia yang besar dimana resiko sekunder dan terjadinya kejang sangat tinggi. Lever berkelanjutan yang tinggi dari glutamat ekstraselular dapat meningkat tajam pada cedera akut dan kembali ketingkat normal dalam waktu seminggu atau lebih. Namun, ketika terjadi kejang atau ketika perfusi serebral yang rendah, tingkat glutamat dapat melonjak ke tingkat beracun sehingga dapat menyebabkan kematian sel sekunder (Vespa, 2003)

1. Kerangka Teori

EpilepsiGambaran KlinisPatofisiologiKlasifikasiEtiologiEpidemiologiDiagnosisPrognosisFaktor ResikoCedera KepalaRiwayat keluarga

Keterangan:

: Merupakan topik yang diangkat di dalam penelitian.

1. Kerangka Konsep

Riwayat keluargaJenis KelaminRiwayat kelainan ketika lahirTingkat pengetahuan EpidemiologiInfeksi sistem saraf pusatRiwayat cedera kepalaAthanassios, 2012Suharsono, 2006John Annegers, 1998EpilepsiTrauma Otak

Keterangan:Huruf warna hitam: Variabel yang tidak ditelitiHuruf warna merah: Variabel yang diteliti: Variabel bebas: Variabel terikat

1. HipotesisTerdapat hubungan antara riwayat cedera kepala dengan kejadian epilepsi pada pasien rawat jalan di poliklinik saraf RSUD Dokter Soedarso Pontianak