43
BAB I PENDAHULUAN Vaksin telah lama dikenal sebagai suatu substansi yang digunakan untuk memperoleh respon imun terhadap mikroorganisme patogen. Vaksin pertama kali ditemukan pada tahun 1796 oleh Edward Jenner yaitu vaksin virus cacar. Sejak saat itu teknologi pembuatan vaksin telah berkembang dengan pesat dan berbagai jenis vaksin untuk mencegah penyakit infeksi telah banyak digunakan. Vaksin konvensional baik vaksin generasi pertama yaitu vaksin yang mengandung mikroorganisme hidup yang telah dilemahkan, vaksin generasi kedua yaitu vaksin yang mengandung mikroorganisme yang dimatikan, dan vaksin generasi yang ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit yang mengandung fragmen antigenik dari suatu mikroorganisme yang dapat merangsang respon imun, dalam penggunaannya masih memiliki beberapa kelemahan. ( 1 ) Sebelum ditemukannya vaksin, kematian akibat cacar variola besar sangat tinggi. Catatan sejarah menunjukkan metode kekebalan dengan cara merangsang “kekebakan” sudah dikenal. Sebuah proses yang disebut inokulasi, juga dikenal sebagai insuflasi atau " variolation " dipraktekkan di India sejak 1000 SM. Peneliti lain mengatakan inokulasi cacar dilakukan juga di China. Wan 1

KIPI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KIPI

Citation preview

Page 1: KIPI

BAB I

PENDAHULUAN

Vaksin telah lama dikenal sebagai suatu substansi yang digunakan untuk

memperoleh respon imun terhadap mikroorganisme patogen. Vaksin pertama kali

ditemukan pada tahun 1796 oleh Edward Jenner yaitu vaksin virus cacar. Sejak

saat itu teknologi pembuatan vaksin telah berkembang dengan pesat dan berbagai

jenis vaksin untuk mencegah penyakit infeksi telah banyak digunakan. Vaksin

konvensional baik vaksin generasi pertama yaitu vaksin yang mengandung

mikroorganisme hidup yang telah dilemahkan, vaksin generasi kedua yaitu vaksin

yang mengandung mikroorganisme yang dimatikan, dan vaksin generasi yang

ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit yang

mengandung fragmen antigenik dari suatu mikroorganisme yang dapat

merangsang respon imun, dalam penggunaannya masih memiliki beberapa

kelemahan. (1)

Sebelum ditemukannya vaksin, kematian akibat cacar variola besar sangat

tinggi. Catatan sejarah menunjukkan metode kekebalan dengan cara merangsang

“kekebakan” sudah dikenal. Sebuah proses yang disebut inokulasi, juga dikenal

sebagai insuflasi atau "variolation" dipraktekkan di India sejak 1000 SM. Peneliti

lain mengatakan inokulasi cacar dilakukan juga di China. Wan Quan (1499-1582)

dalam bukunya Douzhen Xinfa diterbitkan pada tahun 1549, Inokulasi cacar

dilakukan di China sampai era pemerintahan Kaisar Longqing (1567-1572) pada

era Dinasti Ming. (2)

Variolation juga dipraktekkan pada abad ke-17 oleh para dokter di Turki,

Persia, dan Afrika. Pada 1714 dan 1716, dua laporan dari Kekaisaran Ottoman

Turki menyebutkan metode inokulasi terhadap cacar dilakukan untuk Royal

Society di Inggris, oleh Emmanuel Timoni, seorang dokter berafiliasi dengan

Kedutaan Besar Inggris di Konstantinopel, dan Giacomo Pylarini. (2)

Mithridates Eupatoris VI seorang raja dari Pontis Yunani, (Tahun 132 – 63

SM) dianggap banyak peneliti merupakan ahli imunologi pertama. Cara yang

digunakan Mithridates yaitu: meminum racun sedikit demi sedikit sehingga orang

1

Page 2: KIPI

menjadi kebal terhadap racun. Dikenal dengan paham mithridatisme. Metode

tersebut bahkan sampai sekarang masih ada yang melakukakannya walaupun

beresiko tinggi. Pada abad ke 12, bangsa China mengenali bagaimana mengatasi

penyakit cacar. Cairan atau kerak dari orang yang terkena cacar tapi tidak berat

apabila dioleskan pada kulit orang sehat dapat melindungi terhadap cacar. Begitu

pula orang timur tengah menggoreskannya pada orang dengan membubuhkan

bubuk pada penderita cacar yang tidak parah akan melindungi keadaan yang lebih

parah. Metode ini dikenal dengan: tindakan variolasi. (2)

Pada usia 13, Jenner magang di tempat Dr Ludlow di Sodbury. Dia mengamati

bahwa orang-orang yang bekerja di peternakan yang kebetulan terkena cacar

ternyata diketahui tidak terkena cacar. Dia menganggap ada hubungan kausal.

Setelah Jenner kembali dari sekolah kedokteran di London. Ketika sebuah

epidemi cacar melanda daerahnya kota Berkeley, Inggris, dia menyarankan para

pekerja sapi lokal diinokulasi. Para petani mengatakan kepadanya bahwa cacar

sapi mencegah cacar. Ini menegaskan kecurigaan masa kecilnya, dan ia

mempelajari lebih lanjut tentang cacar sapi setempat. (2)

Edward Jenner (Tahun 1749 – 1823), menggunakan bibit penyakit cacar dari

sapi untuk ditularkan pada manusia. Setidaknya enam orang di Inggris dan Jerman

(Sevel, Jensen, Jesty 1774, Rendall, Plett 1791), diuji dengan sukses kemungkinan

menggunakan vaksin cacar sapi sebagai imunisasi untuk cacar pada manusia.

Jenner melaporkan pengamatannya kepada Royal Society. Saat itu mulailah

penggunaan vaksinasi untuk menggantikan istilah variolasi. Vacca: sapi. Vaksin

pertama diproduksi oleh Edward Jenner untuk memberikan perlindungan terhadap

penyakit cacar. Jenner menyadari bahwa pemerah susu yang telah tertular cacar

sapi, sebuah infeksi yang relatif tidak berbahaya, menjadi tahan terhadap penyakit

cacar, kasus penyakit manusia yang sering menjadi epidemi dengan angka

kematian yang sangat tinggi. (2)

Jenner berteori bahwa yang cacar sapi, penyakit hewan, tidak berbeda dengan

penyakit cacar. Dia menyimpulkan bahwa reaksi manusia terhadap suntikan virus

cacar sapi entah bagaimana mekanismenya akan mengajarkan tubuh manusia

bagaimana untuk menghadapi kedua virus ini sehingga tidak menyebabkan

2

Page 3: KIPI

penyakit berat atau kematian. Saat ini, penyakit cacar diyakini sudah benar-benar

dapat diatasi. Karena penemuannya ini, maka Dr. Edward Jenner juga dikenal di

dunia kedokteran modern sebagai “Bapak Ilmu Imunologi” (2)

Pengembangan vaksin untuk melindungi manusia dari penyakit virus adalah

salah satu keunggulan dari pengobatan modern. Louis Pasteur dan kawan-kawan

(1822–1895), meneliti kemungkinan pencegahan penyakit dengan cara vaksinasi

melalui penggunaan bibit penyakit yang telah dilemahkan terlebih dahulu. Pada

waktu itu digunakan untuk mengatasi penyakit kholera yang disebabkan

Pasteurella aviseptica. Pfeifer (1880) murid Koch meneliti Vibrio cholerae untuk

mengatasi wabah penyakit kholera. Elie Metchnikof (1845–1916)

mengungkapkan bagaimana mekanisme efektor bekerja dalam tubuh terhadap

benda asing. Memperkuat pendapat Koch dan Neisser. Adanya mekanisme efektor

dari sel leukosit untuk mengusir bakteri dinamakan proses fagositosis. Sel tubuh

yang memiliki kemampuan fagositosis dinamakan fagosit. Fodor (1886), ilmuwan

pertama yang mengamati pengaruh langsung dari serum imun terhadap mikroba

tanpa campur tangannya komponen seluler. Penemuan ini diperkuat oleh Behring

dan Kitasato (1890). yang menunjukkan bahwa serum dapat menetralkan aktifitas

tetanus dan difteri. Jules Bordet (1870–1961) mengemukakan bahwa untuk lisis

diperlukan 2 komponen yang terdapat dalam serum imun. Sebuah diantaranya

bersifat termostabil yang dikemudian hari ternyata adalah antibodi sedangkan

komponen lainnya bersifat termolabil yang dinamakan komplemen. (2)

Pada saat itulah mulai diperkenalkan istilah antigen untuk memberikan nama

bagi semua substansi yang dapat menimbulkan reaksi dalam tubuh terhadapnya.

Dan juga istilah antibodi untuk substansi dalam serum yang mempunyai aktifitas

menanggulangi terhadap antigen yang masuk ke tubuh. Penemuan oleh Fodor

mengawali penelitian untuk mendukung teori mekanisme melalui imunitas

humoral. Wright dan Douglas (1903), mengatakan proses fagositosis akan

dipermudah apabila ditambahkan serum imun. Bahan yang diduga dikandung

dalam serum itu dinamakan opsonin. Jadi mekanisme efektor seluler dan humoral

bersifat saling memperkuat. Pada saat bersamaan ditemukan fenomena lain dalam

3

Page 4: KIPI

imunologi yaitu adanya penyimpangan dalam tubuh seseorang karena bereaksi

terlalu peka. Pirquet membedakan fenomena tersebut dalam bentuk “serum

sickness”, alergi dan anafilaksis. Sampai Tahun 1940an banyak dilakukan

penelitian tentang aplikasi dan pengembangan tentang fenomena imunologi

khususnya dalam penyediaan serum imun (anti tetanus, anti rabies dan lain-lain),

reagen untuk diagnostik dan program vaksinasi. Felton, menemukan fenomena

lain yaitu bahwa dalam tubuh mungkin dapat timbul tidak adanya respon imun

terhadap suatu subtansi atau antigen tertentu. Fenomena ini disebut toleransi

imunologik. Felton berhasil memurnikan untuk pertama kalinya antibodi dari

antiserum kuda terhadap pneumococcus.(2)

4

Page 5: KIPI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. VAKSINASI

1.1. Definisi Vaksinasi

Vaksinasi merupakan proses pemberian vaksin ke dalam tubuh seseorang

untuk memberikan atau menigkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap

penyakit infeksi, yaitu sebagai salah satu cara pencegahan penyakit infeksi

serius yang paling efektif. Selama dalam proses tumbuh kembang, anak

memerlukan asupan gizi yang adekuat, penanaman nilai agama, budaya,

pembiasaan disiplin yang konsisten, serta upaya pencegahan penyakit. (3)(4)

Vaksin berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi).

Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan

aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi

pengaruh infeksi oleh organisme alami. (3)(4)

Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan

sehingga tidak menimbulkan penyakit, juga merangsang sistem imun untuk

memproduksi antibodi yang sifatnya selain spesifik juga dapat bertahan untuk

jangka waktu lama karena adanya sel memori. Vaksin dapat juga berupa

organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel

serupa virus, dan sebagainya.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan

manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu,

terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem

kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif (kanker). Pemberian vaksin

diberikan untuk merangsang sistem imunologi tubuh untuk membentuk

antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan penyakit.

Ada beberapa jenis vaksin, namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu

menstimulasi reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit. (3)(4)

1.2. Tujuan Vaksinasi (Imunisasi)

5

Page 6: KIPI

Tujuan vaksinasi adalah proses memasukkan vaksin ke tubuh manusia

dengan tujuan untuk mendapatkan efek kekebalan terhadap penyakit tertentu.

Agar tubuh membuat zat anti untuk merangsang pembentukan zat anti yang

dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin campak,

hepatitis B) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio). Tujuan vaksinasi yaitu

untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan

menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok populasi atau bahkan

menghilangkan suatu penyakit tertentu dari dunia. Program imunisasi aktif/

vaksinasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini, penyakit-

penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak

(measles), polio dan tuberkulosis. Program imunisasi bertujuan untuk

memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian

bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. (2)

Secara umum dapat juga disimpulkan bahwa tujuan vaksin adalah suatu

usaha untuk merangsang daya tahan tubuh dengan memasukkan bibit penyakit

yang dilemahkan dan dicampur dengan bahan lain(2)

1.3. Manfaat Vaksinasi

Vaksinasi sangat bermanfaat bagi anak yaitu dapat mencegah penderitaan

yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian. Bagi

keluarga dapat menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak

sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa

anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman. Serta bagi salah

satu negara, vaksinasi dapat memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan

bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara. (5)

1.4. Jenis- jenis Vaksin

1. Vaksin Hidup (Live attenuated vaccine)

Vaksin hidup yang dibuat dari bakteri atau virus yang sudah

dilemahkan daya virulensinya dengan cara kultur dan perlakuan yang

berulang-ulang, namun masih mampu menimbulkan reaksi imunologi

6

Page 7: KIPI

yang mirip dengan infeksi alamiah. Sifat vaksin live attenuated vaccine,

yaitu : vaksin dapat tumbuh dan berkembang biak sampai menimbulkan

respon imun sehingga diberikan dalam bentuk dosis kecil antigen, respon

imun yang diberikan mirip dengan infeksi alamiah, tidak perlu dosis

berganda,, dapat menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi

alamiah. (6)

Contoh : vaksin polio (Sabin), vaksin MMR, vaksin TBC, vaksin

demam tifoid, vaksin campak, gondongan, dan cacar air (varisela). (4)(6)

Gambar Vaksin Hidup (Live attenuated vaccine)(4)

2. Inactivated vaccine (Killed vaccine)

Vaksin dibuat dari bakteri atau virus yang dimatikan dengan zat

kimia (formaldehid) atau dengan pemanasan, dapat berupa seluruh bagian

dari bakteri atau virus, atau bagian dari bakteri atau virus atau toksoidnya

saja. Sifat inactivated vaccine, yaitu : vaksin tidak dapat hidup sehingga

seluruh dosis antigen dapat dimasukkan dalam bentuk antigen, respon

imun yang timbul sebagian besar adalah humoral dan hanya sedikit atau

tidak menimbulkan imunitas seluler, titer antibodi dapat menurun setelah

beberapa waktu sehingga diperlukan dosis ulangan, dosis pertama tidak

menghasilkan imunitas protektif tetapi hanya memacu dan menyiapkan

sistem imun, respon imun protektif baru baru muncul setelah dosis kedua

7

Page 8: KIPI

dan ketiga, vaksin tidak dapat bermutasi menjadi bentuk patogenik, tidak

dapat menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi alamiah.

Contoh : vaksin Difteri dan Tetanus. (4)(6)

Gambar Inactivated vaccine (Killed vaccine)(4)

3. Vaksin Toksoid

Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan

penyakit dengan memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah.

Bahan bersifat imunogenik yang dibuat dari toksin kuman.

Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid

plain toxoid yang mampu merangsang terbentuknya antibodi antitoksin.

Imunisasi bakteri toksoid efektif selama satu tahun. (4)(6)

Contoh : vaksin rabies, vaksin influenza, vaksin polio (Salk),

vaksin pneumonia pneumokokal, vaksin kolera, vaksin pertusis, dan

vaksin demam tifoid. (6)

Gambar Vaksin Toksoid(4)

4. Vaksin Acellular dan Subunit

8

Page 9: KIPI

Vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dalam virus atau bakteri

dengan melakukan kloning dari gen virus atau bakteri melalui rekombinasi

DNA, vaksin vektor virus dan vaksin antiidiotipe. (6)

Contoh: vaksin hepatitis B, Vaksin hemofilus influenza tipe b (Hib)

dan vaksin Influenza. (4)(6)

Gambar Vaksin Subunit(4)

5. Vaksin Idiotipe

Vaksin yang dibuat berdasarkan sifat bahwa Fab (fragment antigen

binding) dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung

asam amino yang disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang

dapat bertindak sebagai antigen. Vaksin ini dapat menghambat

pertumbuhan virus melalui netralisasi dan pemblokiran terhadap reseptor

pre sel B. (2)(6)

Gambar Vaksin Idiotope(4)

9

Page 10: KIPI

6. Vaksin Rekombinan

Vaksin rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam

jumlah besar. Gen virus yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot

atau eukariot. Sistem ekspresi eukariot meliputi sel bakteri E.coli, yeast,

dan baculovirus. Dengan teknologi DNA rekombinan dihasilkan vaksin

protein juga dihasilkan vaksin DNA. Susunan vaksin ini (misal hepatitis

B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesis dari antigen

vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi

sel penerima vaksin. (4)(6)

Gambar Vaksin Rekombinan(4)

7. Vaksin DNA (Plasmid DNA Vaccines)

Dalam vaksin DNA gen tertentu dari mikroba diklon ke dalam

suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen

yang diinsersikan ke dalam sel mamalia. Setelah disuntikkan DNA

plasmid akan menetap dalam nukleus sebagai episom, tidak berintegrasi

kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya mensintesis antigen yang

dikodenya. Selain itu vektor plasmid mengandung sekuens nukleotida

yang bersifat imunostimulan yang akan menginduksi imunitas seluler. (2)(6)

Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung

kode antigen yang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan

penelitian. Hasil akhir  penelitian pada binatang percobaan menunjukkan

10

Page 11: KIPI

bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan

selular yang cukup kuat,sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini

sedang dilakukan.(6)

Gambar Vaksin DNA(4)

1.5. Teknik Pemberian Vaksin

1. Oral. (7)

2. Intramuscular(IM)

Gambar Pemberian vaksin secara intramaskular(8)

a. Muscle. Vastus lateralis (regio paha anterolateral) dengan jarum

mengarah ke arah lutut, untuk bayi berusia di bawah 12 bulan

sampai di bawah 3 tahun. (7)

11

Page 12: KIPI

b. Muscle deltoid dengan jarum mengarah ke bahu membentuk sudut

60o-90o, untuk anak usia >3 tahun. (7)

3. Subkutan

Gb. Pemberian Vaksin secara Subkuran(7)

Teknik pemberia subkutan dapat dikerjakan pada 3 tempat:

a. Paha regio anterolateral (usia 1-12 bulan)

b. Paha anterolateral atau daerah lateral lengan atas (usia 1-3 tahun)

c. Sisi lateral lengan atas (usia >3 tahun)

Suntikan dikerjakan dengan mengarahkan jarum 45o terhadap kulit,

mencubit tebal kulit, dan menyuntikan vaksin subkutan, salah satunya

dapat diberikan untuk penyakit campak. (7)

4. Intrakutan

Gambar Pemberian Vaksin secara Intrakutan(2)

Lokasi yang dipilih adalah kulit diatas insersi deltoid dekstra. Jarum yang

dipilih adalah ukuran 25-27 dengan panjang 10mm. Renggangkan kulit

yang disuntikan, arah sudut 15o terhadap kulit, suntik perlahan dan

12

Page 13: KIPI

perhatikan apakah terbentuk benjolan pada kulit untuk memastikan bahwa

vaksin masuk ke intradermal. (7)

Gambar Cara penyuntikan vaksin(7)

1.6. Kualitas Vaksin

Kualitas vaksin dapat dinilai melalui beberapa parameter:

1. Vaksin Vial monitor (VVM) menunjukan apakah vaksin sudah pernah

terpapar suhu di atas 8oC(7)

13

Page 14: KIPI

Gambar Cara perubahan warna vaksin vial monitol(7)

2. Warna dan kejernihan vaksin merupakan indikator stabilitas vaksin.

a. Vaksin polio harus berwarna kuning orange. Di luar spektrum

warna tersebut, pH telah berubah dan vaksin tidak boleh diberikan

kepada pasien. (7)

b. Toksoid rekombinan dan polisakarida berwarna putih jernih dan

sedikit berkabut. Bila menggumpal dan tidak hilang setelah

pengocokan (shake test), vaksin sudah tidak boleh digunakan. (7)

3. Freeze Watch dan Freeze Tag

Freeze watch and freeze tag adalah alat untuk mengetahui apakah

vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0oC. Bila dalam freeze watch

terdapat warna biru yang melebar disekitarnya atau dalam freeze tag

ada tanda silang (X), berarti vaksin pernah terpapar suhu dibawah 0oC

yang dapat merusak vaksin mati (inaktif). Vaksin-vaksin ini tidak

dapat diberikan ke pasien. (8)

1.7. Teknik Penyimpanan Vaksin

Terkait dengan penyimpanan vaksin, aturan umum untuk sebagian besar

vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperature 2-8° C dan tidak

membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, Hepatitis B dan Hepatitis A) akan tidak

aktif bila beku. Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan

kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi

produk harus disertakan. Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian

khusus karena vaksin merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan

temperatur lingkungan. Pada setiap tahapan rantai dingin maka transportasi vaksin

dilakukan pada temperature 0°C sampai 8°C. Vaksin polio boleh mencair dan

membeku tanpa membahayakan potensi vaksin. Vaksin DPT, hepatitis-B dan Hib

akan rusak bila membeku pada temperatur 0° (vaksin hepatitis-B akan membeku

sekitar -0,5°C). (7)

2. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)

14

Page 15: KIPI

Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI

(KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang

terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama

pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari. (10)

2.1. Definisi KIPI

Kejadian ikutan paska imunisasi adalah sebagai reaksi simpangan

yang dikenal sebagai kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI) adalah

kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek

vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek

farmakologis, atau kesalahan program, , faktor kebetulan, reaksi suntikan,

atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Pada keadaan tertentu

lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik paska

vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak

vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi paska vaksinasi campak, dan

polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non

imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi paska vaksinasi polio). (10)

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan

reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi

berupa efek farmakologi, efek samping (side-effect), interaksi obat,

intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara

klinis sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Efek farmakologi, efek

samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin

sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan sesorang terhadap

unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi

terhadap protein telur (vaksin campak, gendong, influenza, dan demam

(kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain

yang terkandung dalam vaksin. (10)

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat

terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta

penyimpangan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan

imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan.

15

Page 16: KIPI

Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, menganggap semua

kalainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi

alergi terhadap vaksin. Akan tetapi telah laporan KIPI oleh Vaccine Safety

Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian

besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang

memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan

teknik pelaksanaan (programmatic erros). (10)

2.2. Epidemiologi KIPI(11)

Kejadian ikutan paska imunisasi akan timbul setelah pemberian

vaksin dalam jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin

dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji

klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase

selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan

vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan

juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin. Pada jumlah

penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk

menilai KIPI diperlukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang

dikenal sebagai Post Marketing Surveilance (PMS). Tujuan PMS adalah

untuk memonitor dan mengetahui keamanan vaksin setalah pemakaian

yang cukup luas di masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data

PMS dapat memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI

(terutama KIPI barat) dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan.

Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap

masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap

efek samping vaksin dengan segala akibatnya. Menurut National

Childhood Vaccine Injury dari Committe of the Institute of Medicine

(IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena:

1. Mekanisme biologis gejala KIPI kurang dipahami

2. Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan kurang akurat

3. Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh

4.Surveilans KIPI belum dilakukan untuk jangka panjang

16

Page 17: KIPI

5. Kurang publikasi KIPI dalam kasus yang besar.

Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI

yang sebenarnya. Kejadian ikutan paska imunisasi dapat ringan sampai

berat, terutama pada imunisasi masal atau setelah penggunaan lebih dari

10.000 dosis. (11)

2.3. Klasifikasi penyebab KIPI

Dalam membuat kajian KIPI, Komnas PP-KIPI mengelompokkan KIPI

dalam 2 klasifikasi yaitu klasifikasi lapangan dan klasifikasi kausalitas. (12)

1. Klasifikasi lapangan(12)

Sesuai dengan manfaat situasi di lapangan maka sebagai acuan

untuk Komnas dan Komda PP-KIPI dengan menggunakan kriteria

WHO untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu:

1. Kesalahan prosedur/teknik pelaksanaan (programmatic errors)

KIPI yang berhubungan dengan masalah prosedur dan

teknik pelaksanaan imunisasi, meliputi kesalahan prosedur

penyimpanan, pengelolaan dan tata laksana pemberian vaksin.

2. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum

suntik baik langsung maupun tidak langsung. Reaksi suntikan

langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada

tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung

misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.

3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah

dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi

simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun

demikian dapat saja terjadi SAE (Serious Adverse Event)

berupa gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik

dengan risiko kematian. Meskipun kemungkinan kejadian

sangat kecil (1/satu juta).

17

Page 18: KIPI

4. Faktor kebetulan (koinsiden)

KIPI yang terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi.

Salah satu indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan

ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada

kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi

tidak mendapat imunisasi.

5. Penyebab tidak diketahui

Bila karena kurang lengkapnya informasi KIPI yang

dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu

penyebab, maka untuk sementara dimasukkan ke dalam

kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut.

Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat

ditentukan kelompok penyebab KIPI.

2. Klasifikasi Kualitas(12)

Klasifikasi kualitas mengelompokkan KIPI menjadi 6 (enam)

kelompok yaitu:

1. Very likely / Certain

Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin

(masuk akal) terhadap pemberian vaksin dan tidak dapat

dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat

kimia lain.

2. Probable

Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal

dengan pemberian vaksin dan sepertinya tidak berhubungan

dengan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain.

3. Possible

Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal

dengan pemberian vaksin namun dapat berhubungan dengan

penyakit penyerta atau obat atau zat kimia lain.

18

Page 19: KIPI

4. Unlikely

Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin

(masuk akal) terhadap pemberian vaksin menyebabkan

hubungan kasual tidak mungkin namun mungkin dapat

dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat

kimia lain.

5. Unrelated

Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang tidak

mungkin (masuk akal) terhadap pemberian vaksin dan dapat

dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat

kimia lain.

6. Unclassifiable

Kejadian klinis dengan informasi yang tidak cukup untuk

memungkinkan dilakukan penilaian dan identifikasi penyebab.

2.4. Gejala Klinis dan Tatalaksana KIPI(10)

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun

lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi

susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin

cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya. Baku keamanan suatu

vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh

karena pada umumnya produksi farmasi diperuntukkan orang sakit

sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu

toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada

obat-obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satupun jenis

vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak

telah mendapat imunisasi perlu di observasi beberapa saat,

sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa

lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya

setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi

selama 15 menit.

19

Page 20: KIPI

20

Page 21: KIPI

3. Pemberian Vaksinasi / Imunisasi dan KIPI

Gambar Jadwal pemberian vaksin IDAI(9)

Jenis-Jenis VAKSINASI/ IMUNISASI yang ada:

Hepatitis B(7)

Pencegahan dengan hepatitis B dilakukan dengan menggunakan

immunoglobulin hepatitis. Vaksin hepatitis B tersedia dalam bentuk

vaksin rekombinan. Vaksin hepatitis B di anjurkan bagi semua bayi baru

lahir, individu yang beresiko tertular hepatitis B karena pekerjaan, pasien

21

Page 22: KIPI

hemodialisis, pasien yang memerlukan transfusi berulang serta individu

yang serumah dengan penderita hepatitis B atau mengalami kontak secara

langsung.

Cara pemberian : Intramaskular

Jadwal anjuran : 3 kali, di berikan segera setelah lahir

(sebelum 12 jam), usia 1 dan 6 bulan

Dosis : 0,5ml

Poliomielitis(7)

Tersedia 2 jenis vaksin polio yaitu oral (oral polio vaccine/OPV jenis

Sabin yang mengandung 3 strain) dan injeksi (inactivated polio

vaccine/IPV jenis salk).

Cara pemberian : oral OPV atau intramuskular (IPV)

Jadwal anjuran : usia 0 (dianjurkan OPV), 2, 4, 6, 18-20

bulan dan 5 tahun.

Dosis : 2 tetes

BCG( Bacillus Calmatte Guerin) (7)

Vaksin BCG berasal dari strain M bovis. BCG dapat mencegah

TB(Tuberkulosis) berat yang mematikan pada balita dan anak.

Cara pemberian : intrakutan

Jadwal anjuran : usia < 3 bulan ; apabila >3 bulan harus

Mantoux negatif

Dosis : 0,05 ml untuk bayi, 0,1 untuk anak

DTP ( Difteri, Tetanus, Pertusis) (7)

Vaksinasi difteri dan tetanus diberikan dalam bentuk toksoid. Vaksin

pertusis yang diberikan pada vaksin DTwP(Diptheria, Tetanus, whole cell

pertussis) merupakan suspensi B. Pertusis mati, sementara

DTaP(Diptheria, Tetanus, acelullar pertussis) mengandung fraksi sel dari

B. Pertusis.

Cara pemberian : intramuskular

Jadwal anjuran : 2, 4, 6, 18, bulan, 5 tahun, kemudian

booster setiap 10 tahun.

22

Page 23: KIPI

Campak(7)

Dapat diberikan tunggal atau kombinasi (campak, gondong dan rubella).

Cara pemberian : subkutan

Jadwal anjuran : usia 9 bulan dan diberikan lagi pada usia 6

tahun

Dosis : 0,5 ml

HiB (Haemophylus Influenza tipe B) (7)

Vaksin ini diberikan untuk mencegah penyakit menigitis dan pneumonia

yang disebabkan oleh Haemophylus Influenza tipe B. Dapat diberikan

bersamaan dengan vaksin DPT

Cara pemberian : intramuskular

Jadwal anjuran : usia 2, 4, 6 bulan.

Pneumokokus(7)

Terdapat 2 jenis vaksin di antaranya PPV (pnemucoccal polysaccharide

vaccine) dan PCV (pneumoccocal conjugated vaccine) untuk mencegah

terjadinya pneumonia, sepsis, otitis media akut, dan meningitis.

Cara pemberian : intramuskular

Jadwal anjuran : usia 2, 4, dan 6 bulan.

Rotavirus(7)

Rotavirus merupakan virus penyebab gastroentritis dengan manifestasi

klinis berupa diare, demam ringan, dan muntah. Tersedia 3 jenis vaksin

yakni:

Vaksin monovalen diberikan secara oral.

Vaksin tetravalen

Vaksin pentavalen diberikan dalam 3 dosis per oral dengan jadwal

usia bayi 6-14 minggu, dengan interval dosis kedua dan ketiga 4-

10 minggu dan harus selesai sebelum 32 minggu.

Influenza(7)

Anak yang direkomendasi vaksin ini ialah anak yang sehat berusia 6

bulan-2 tahun, anak dengan penyakit jantung kronis, diabetes penyakit

23

Page 24: KIPI

ginjal kronis, penyakit saluran napas kronis, pengguna obat

immunosuppresan dan anak yang tinggal bersama di asrama, panti asuhan,

sekolah dan pesantren.

Cara pemberian : intramuskular atau subkutan

Jadwal anjuran : setia tahun pada usia >6 bulan. Imunisasi

pertama pada usia <9 bulan diberi 2 dosis dengan interval minimal

4 minggu.

Dosis : <3 tahun 0,25 ml; >3 tahun 0,5ml

Varisela(7)

Vaksin yang digunakan adalah vaksin varicella zooster untuk mencegah

penyakit cacar air.

Cara pemberian : subkutan

Jadwal anjuran : diberikan pada usia 1 tahun, sebelum

masuk sekolah.

Dosis : 0,5 ml

MMR (Measles, Mums, Rubella) (7)

Mums merupakan penyakit yang diakibatkan oleh virus dari famili

paramyxovirus. Virus ini terutama menyerang kelenjar getah bening dan

jaringan saraf. Rubella merupakan infeksi akut ringan yang disebabkan

oleh virus rubella. Penyebaran rubella melalui udara. Tujuan utama

imunisasi rubella adalah mencegah sindrom rubella congenital.

Cara pemberian : intramuskular atau subkutan

Jadwal anjuran : usia 12-18 bulan

Dosis : 0,5 ml

Tifoid(7)

Vaksin oral yang dibuat dari gallur Sallmonella typhi non pathogen yang

telah dilemahkan. Vaksin ini dapat menstimulasi produksi IgA sekretorik

didalam mukosa usus. Vaksin parenteral yang telah dibuat dari

polisakarida dan kuman Sallmonella typhi.

Cara pemberian : oral atau parenteral

Jadwal anjuran : usia 2-3 tahu

24

Page 25: KIPI

Hepatitis A(7)

Vaksin yang terbuat dari virus yang dimatikan. Vaksinasi hepatitis A

terutama diberikan pada anak yang tinggal di daerah endemis atau dengan

wabah periodik.

Cara pemberian : intramuscular

Jadwal anjuran : diberikan usia >2 tahun+booster antara 6

bulan – 18 bulan setelah dosis pertama.

Human Papilloma Virus (HPV) (7)

Vaksin ini diberikan pada anak berusia diatas 10 tahun.

Cara pemberian : intramuskular

Jadwal anjuran : >10 tahun

25

Page 26: KIPI

Tabel Gejala klinis KIPI menurut vaksin(10)

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Imunisasi adalah proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan

vaksinasi (imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi ( imunisasi pasif).

Imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respon

imun seluler yang melawan agen penginfeksi, sedangkan imunisasi pasif

menyediakan proteksi sementara melalui pemberian antibodi yang diproduksi

secara eksogen maupun transmisi plasenta dari ibu ke janin.

Vaksinasi yang merupakan imunisasi aktif ialah suatu tindakan yaang

dengan sengaja memberikan paparan antigen sari suatu patogen yang akan

menstimulasi sistem imun dan menimbulkan kekebalan sehingga nantinya anak

yang telah mendapatkan vaksinasi tidak akan sakit jika terpajan oleh antigen

serupa. Antigen yang diberikan dalam vaksinasi dibuat sedemikian rupa sehingga

tidak menimbulkan sakit, namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi,

maupun sel memori.

Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan immunoglobulin yang

berasal dari plasma donor. Pemberian imunisasi pasif hanya memberikan

kekebalan sementara karena immunoglobulin yang diberikan akan dimetabolisme

oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan imunoglobulin yang lain

(IgM, IgA, IgE, IgD) memiliki waktu paruh yang lebih pendek. Oleh karena itu,

imunisasi yang rutin diberikan pada anak adalah imunisasi aktif yaitu vaksinasi.

Vaksin mengandung antigen yang sama atau bagian dari antigen yang

menyebabkan penyakit, tetapi antigen dalam vaksin adalah dalam keadaan sudah

dibunuh atau sangat lemah. Ketika mereka yang disuntikkan ke dalam jaringan

lemak atau otot, antigen vaksin tidak cukup kuat untuk menghasilkan gejala dan

tanda-tanda penyakit, tetapi cukup kuat bagi sistem imun untuk menghasilkan

antiboditerhadap mereka. Sel-sel memori yang menetap akan mencegah infeksi

26

Page 27: KIPI

ulang ketika mereka kembali lagi berhadapan dengan antigen penyebab penyakit

yang sama diwaktu-waktu yang akan datang. Dengan demikian, melalui vaksinasi,

anak-anak mengembangkan kekebalan tubuh terhadap penyakit yang mestinya

bisa dicegah. Namun perlu juga diingat bahwa karena vaksin berupa antigen,

walaupun sudah dilemahkan, jika daya tahan anak atau host sedang lemah,

mungkin bisa juga menyebabkan penyakit. Karena itu pastikan anak/host dalam

keadaan sehat ketika akan divaksinasi. Jika sedang demam atau sakit, sebaiknya

ditunda dulu untuk imunisasi/vaksinasi.

Manfaat utama dari imunisasi/ vaksinasi adalah menurunkan angka

kejadian penyakit, kecacatan, maupun kematian akibat penyakit-penyakit

infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (vaccine-preventable disease).

Imunisasi tidak hanya memberikan perlindungan pada individu melainkan

juga pada komunitas, terutama untuk penyakit yang ditularkan melalui manusia

(person-to-person). Jika suatu komunitas memiliki angka cakupan imunisasi

yang tinggi, komunitas tersebut memiliki imunitas yang tinggi pula, sehingga

kemungkinan terjadinya penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi. Imunisasi juga bermanfaat mencegah epidemi pada generasi yang akan

datang. Selain itu, imunisasi dapat menghemat biaya kesehatan. Dengan

menurunnya angka kejadian penyakit, biaya kesehatan yang digunakan untuk

mengobati penyakit-penyakit tersebut pun akan berkurang.

KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1

bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat

mencapai masa 42 hari (misalnya pada arthritis kronik pasca vaksinasi rubella).

Menurut WHO Western Pacific (1999), ada 5 klasifikasi lapangan penyebab KIPI,

yaitu Reaksi vaksin, kesalahan Program/ Programatic error, reaksi suntikan,

kebetulan/ Co insidensi dan tidak diketahui.

KIPI merupakan risiko program imunisasi, sehingga untuk

mengantisipasinya diperlukan pengetahuan imunisasi yang mendalam bagi

petugas dan penerangan yang jelas kepada orang tua anak yang diimunisasi. Hal

yang perlu diperhatikan juga yaitu setiap vaksin yang dipasarkan dan

27

Page 28: KIPI

dipergunakan telah mengalami beberapa tahap uji klinik dan uji mutu yang sangat

ketat dan bertanggung jawab, sehingga dengan sangat pasti boleh dikatakan, tidak

ada vaksin yang berbahaya yang akan diberikan kepada anggota masyarakat dan

bayi kita. Meskipun demikian tetap saja ada kemungkinan efek samping yang

terjadi dengan pemberian vaksinasi atau imunisasi, meskipun hal ini sudah sangat

jarang terjadi untuk vaksin yang telah dibuat dengan cara pembuatan yang modern

dan sesuai dengan kriteria dan kaidah pembuatan vaksin sangat tinggi. Biasanya

yang terjadi adalah reaksi lokal yang akan berlangsung dalam waktu < 48 jam,

dan reaksi itu akan sembuh atau menghilang dengan sendirinya.

Bila terjadi KIPI vaksin, laporkan kepada dokter bersangkutan,untuk

mendapatkan perawatan dan pertolongan yang diperlukan bagi bayi atau anggota

keluarga kita. Rentang waktu yang diperkirakan adalah KIPI Vaksin, adalah

kejadian KIPI yang terjadi beberapa waktu segera setelah pemberian vaksinasi

atau imunisasi hingga beberapa minggu kemudian setelah kejadian pemberian

vaksinasi atau imunisasi.

Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan imunisasi yang baik akan

mengurangi KIPI. Selain itu juga diperlukan sosialisasi dan pemberian informasi

yang benar dan jelas dari tenaga kesehatan kepada masyarakat tentang manfaat

imunisasi, prosedur, serta reaksi yang mungkin timbul. Penanganan KIPI yang

baik dan komprehensif juga diperlukan dalam rangka menunjang keberhasilan

program imunisasi.

28

Page 29: KIPI

DAFTAR PUSTAKA

1. Radji M. Vaksin DNA: Vaksin Generasi Keempat. Majalah Ilmu

Kefarmasian. 2009.

2. Mankester. Prinsip-Prinsip Dasar Vaksinasi. Vaksinasi. Jakarta,

Indonesia2008. p. 157-77.

3. Wismarini DM. Imunisasi. In: imunisasi S, editor. SKK imunisasi.

Jakarta2008. p. 1-11.

4. NIH. Understanding Vaccine. U.S.: Different type of vaccine; US Department of

Health and Human; 2008.. p21-31

5. Buana K. Buku Pedoman untuk Kader Imunisasi. Jakarta Selatan: Yayasan

Kusuma Buana; 1991. p5 .

6. Proverawati, Atikah. Perkembangan Imunisasi, Jadwal Imunisasi,

Imunisasi Wajib, Imunisasi Anjuran. Imunisasi dan Vaksinasi. Nuha

Medika. Yogyakarta. 2010.

7. Sekartini R. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius;

2014. p129-33

8. Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB,

Ismoedijanto, Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di indonesia. Jakarta:

Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

9. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

(IDAI) 2014. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2014.

10. Dr. dr. Siti Fadilah Supari S, JP(K). Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia. Imunisasi dan KIPI. 2005:p25-37.

11. Sari Rezeki dkk. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri, Vol. 2,

No. 1. Jakarta. Juni 2000.

12. Badan POM RI. Klasifikasi KIPI. Buletin berita MESO, Vol 30, No. 2.

November 2012.

29