Upload
hoangcong
View
251
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
KISAH NEN TE IDAR
Penulis : Marco Dhyllan PattianakottaPenyunting : Evi Olivia KumbangsilaIlustrator : Aridal Penata letak : Aridal
Diterbitkan pada tahun 2017 olehKantor Bahasa MalukuBadan Pengembangan dan Pembinaan BahasaJalan Mutiara, Nomor 3AMardika, Ambon
Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangIsi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diper-banyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah.
Katalog dalam Terbitan
Dhyllan Pattianakotta, Marco
Kisah Nen Te Idar/Marco D. Pattianakotta; Penyunting/Evi Oivia Kumbangsila; Ambon: Kantor Bahasa Maluku, Badan Pengemban-gan dan Pembinaan Bahasa.
v 42 hlm; 21 cm
ISBN 978-602-50294-1-7
1. KESUSASTRAAN RAKYAT.
2. CERITA RAKYAT MALUKU
KISAH NEN TE IDAR
Cerita Rakyat dari Maluku
Ditulis oleh Marco Dhyllan Pattianakotta
KANTOR BAHASA MALUKUBADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
Dhyllan Pattianakotta, Marco
Kisah Nen Te Idar/Marco D. Pattianakotta; Penyunting/Evi Oivia Kumbangsila; Ambon: Kan-tor Bahasa Maluku, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
vi 34 hlm; 21 cm
ISBN 978-602-50294-1-7 1. KESUSASTRAAN RAKYAT. 2. CERITA RAKYAT MALUKU
i ii
KATA PENGANTARBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB),
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengoptimalkan Gerakan Literasi Nasional melalui penerbitan dan penyebarlua-san cerita rakyat. Cerita rakyat ini memiliki nilai moral, toleran-si, sejarah, kepahlawanan, sosial, budaya, dan nilai-nilai positif lainnya yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat Indone-sia.
Cerita rakyat ini berjudul “Nen Te Idar.” Cerita rakyat ini populer pada masyarakat Maluku terutama yang bermukim di Kepulauan Kei. Isi cerita mengenai etika (sopan-santun), dan adat-istiadat. Nilai-nilai itu merupakan satu-kesatuan nilai yang penting dan utama bagi penumbuhan dan pengembangan budi pekerti, terutama bagi pembaca berusia muda.
Pada kesempatan ini, Kantor Bahasa Maluku mengu-capkan terima kasih kepada penulis dan berbagai pihak yang telah berupaya menyusun ulang dan menerbitkan cerita rakyat ini. Semoga cerita rakyat ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca.
Ambon, 8 Juni 2017
Dr. Asrif, M. Hum.Kepala Kantor Bahasa Maluku
SEKAPUR SIRIHCerita rakyat Nen Te Idar adalah sebuah cerita yang
hidup dalam masyarakat Kepulauan Kei di Provinsi Maluku.
Danau Ablel yang menjadi sumber air dan objek wisata adalah
sebuah situs yang terhubung dengan legenda Nen Te Idar.
Kisah ini sarat dengan pesan-pesan moral. Anak-anak Indo-
nesia dapat mengembangkan karakter dan perilaku santun
terhadap sesama maupun lingkungan dengan membaca cerita
ini. Semoga cerita rakyat dari Nusantara bagian timur ini akan
memperkaya khasanah cerita anak-anak Indonesia di tengah
gempuran tokoh-tokoh fiksi dari dunia luar.
iii iv
DAFTAR ISIKata Pengantar ………………………………………. iiiSekapur Sirih …………………………………………. ivDaftar isi ……………………………………………… v1. Sosok Nen Te Idar ……………………………… 12. Kebersamaan yang Tak Tertandingi ………… 43. Kesabaran Berujung Hukuman ……………… 124. Penghinaan Berujung Duka …………………. 23Biodata Penulis ……………………………………. 32Biodata Penyunting ………………………………… 33Biodata Ilustrator ………………………………….. 34
Alkisah, orang-orang di Kepulauan Kei hidup berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka berpindah-pindah jika
ada serangan binatang buas, penyakit berjangkit, atau kematian
sanak keluarga. Mereka percaya, itu merupakan pertanda bahwa
tempat itu tidak cocok lagi untuk didiami.
Demikian juga Orang Ngilngof. Mula-mula mereka mendiami Desa
Ohoitom Rangmas. Kemudian meninggalkan desa itu menuju desa
baru bernama Ohoirenan. Setelah beberapa lama di sana, mereka
memutuskan untuk pindah lagi ke Desa Idar.
Desa Idar merupakan sebuah desa yang sangat luas. Bahkan, bila
seluruh desa di Kepulauan Kei digabung menjadi satu, belum dapat
menandingi luasnya Desa Idar. Desa Idar terletak di atas bukit yang
sangat tinggi. Penduduknya pun mencapai ribuan jiwa.
v vi
1. SOSOK NEN TE IDAR
Di Desa Idar, hiduplah seorang wanita tua bernama Nen Te Idar. Ia
termasuk salah satu wanita tertua di desa itu. Gurat-gurat ketu-
aan tergambar pada kulitnya yang mengeriput. Helai rambutnya
yang mulai memutih bagai gumpalan kapas.
Walau tinggal seorang diri di rumah sederhana, Nen Te Idar mam-
pu mengurus dirinya sendiri. Ia tergolong wanita mandiri dan tanguh.
Selain rajin bekerja di kebun, ia pun terampil menangkap ikan dengan
tombak bermata tiga yakni kalawai. Bila air surut dan terhampar
Meti Kei, Nen Te Idar pergi mengumpulkan siput di sela-sela batu ka-
rang dan rumput laut.
Di Desa Idar, semua orang memiliki pertalian darah.
Orang-orang yang lanjut usia diperlakukan sep-
erti saudara kandung. Yang lainnya diperlakukan
seperti anak dan cucu. Sebab itu, nenek ini me-
nyayangi semua orang. Sebaliknya, mereka juga
1 2
menyayangi dan menghormati Nen Te Idar.
Anak-anak Desa Idar gemar bermain di pekarangan rumah Nen
Te Idar. Selain pekarangannya bersih, sang nenek juga senang mem-
bagikan aneka makanan yang dimasaknya sendiri. Anak-anak suka
makan ilu-langar. Sejenis kue tradisional masyarakat di desa Idar.
Mereka menyebutnya kue putar. Kue putar dibuat dari enbal. Seje-
nis makanan pokok masyarakat Kei yang terbuat darisingkong yang
mengandung racun.
Sebagai balasan, anak-anak kerap membawa
buah-buah pinang dan daun-daun sirih ke-
pada Nen Te Idar. Nen Te Idar memang gemar
makan sirih-pinang. Wajahnya selalu terlihat
memancarkan rasa bahagia bila anak-anak
datang padanya.
“Kalian juga harus belajar makan sirih-
pinang ya supaya gigi kalian kuat dan badan
sehat! Jadi, tidak mudah kena penyakit,”
pesannya kepada anak-anak sambil me-
nepuk pundak mereka satu persatu.
Kecintaannya terhadap anak-anak
menjadi salah satu alasan dia tetap ceria
dan bahagia. Walaupun hanya sebatang
kara di desa itu.
2. Kebersamaan yang Tak Tertandingi
Selain membawa sirih dan pinang, mereka juga sering berkum-
pul di rumah Nen Ten Idar. Mereka suka sekali mendengar berbagai
dongeng yang diceritakan wanita uzur yang baik hati itu. Keriput
dan mahkota putih kehormatan bagi ketuaannya, tak menghalangi
kelincahannya untuk menghipnotis anak-anak dengan cerita-cerita
dongengnya. Hingga membuat mereka tak beranjak sedikit pun dari
tempat mereka duduk saat Nen Te Idar bercerita. Bahkan mereka
tak pernah bosan mendengar Nen Te Idar bercerita walau ceritanya
sudah sering berulang.
Sore itu, mereka berkumpul di rumah Nen Te Idar, mendengar ceri-
ta dongeng seperti biasanya.
Dongeng yang paling mereka gemari adalah dongeng tentang
teripang dan burung Bangau. Saat itu, mereka berulang kali membu-
juk Nen Te Idar untuk mencerita dongeng itu.
“Tetapi kalian sudah sangat sering mendengarnya” sela Nen Te
Idar.
“Tetapi dongeng itu bagus Nek.Tak mengapa jika diulang,” jawab
seorang bocah dengan wajah memelas.
Nen Te Idar pun tak mampu memungkirinya. Dia pun mulai menu-
turkannya.
“Di Pulau Ohoieuw dekat Pantai Ngurbloat, ada seekor teripang
tinggal bersama anak-anaknya. Mereka hidup aman dan damai di
dasar laut dangkal, bening, berpasir putih.” Anak-anak pun terdiam.
“Pada saat musim Meti Kei, induk teripang dan anak-anaknya
3 4
bersembunyi di bawah pasir. Mereka tidak mengetahui adanya an-
caman bahaya.” Lanjut Nen Te Idar.
“Kenapa Nek? Ancaman apa Nek?” sela seorang bocah bertubuh
kurus.
“Biarkan nenek meneruskannya.” Tandas seorang bocah lain yang
terlihat lebih tua.
Nen Te Idar pun melanjutkan ceritanya.
“Setiap hari, sang Bangau besar datang mengintip. Setelah me-
mastikan tempat berteduh teripang, akhirnya sang Bangau pun mu-
lai mematuk anak-anak Teripang, satu demi satu. Dari ratusan anak
Teripang tersisa beberapa saja yang masih bertahan hidup. Itupun
dalam keadaan terus-menerus terancam karena Bangau tidak per-
nah pergi jauh dari situ.” Suara Nen Te Idar pun perlahan-lahan mulai
melemah. Mata anak-anak tak bergerak sedikit pun. Mereka ter-
paku diam. Mulut mereka menganga tanpa mereka sadari.
“Padahal, induk teripang setiap hari memberi per-
ingatan keras kepada burung bangau supaya tidak
menghabisi seluruh keturunannya.”
Lanjut Nen
5 6
Te Idar.
“Kalau kau terus memangsa anak-anakku, lama kelamaan anak-
anakku akan habis. Aku sudah tua dan sebentar lagi akan mati. Anak-
anakku harus melanjutkan keturunan teripang di pantai ini. Tubuhku
lembut dan tidak punya tulang namun aku bisa marah, begitu kata
induk Teripang”. Cerita Nen Te Idar sambil mencoba menirukan suara
induk Teripang.
“Meskipun sudah diberi peringatan, Bangau tetap saja keras ke-
pala,” tegas Nen Te Idar
“lalu kata si Bangau, aku bosan makan siput dan kepiting. Cang-
kangnya terlalu keras. Sebab itulah, aku suka menyantap anak-
anakmu yang lembut dan tak bertulang. Dagingnya lezat pula,” ujar
Nen Te Idar.
Setiap kali cerita Nen Te Idar sampai di bagian ini, anak-anak yang
mendengarnya mulai tegang. Mereka saling merapatkan badan di
sekitar tempat duduk nenek. Tanda mereka mulai ketakuatan. Seak-
an mereka adalah anak-anak Teripang dalam cerita itu. Nen Te Idar
pun sering tersenyum geli saat melihat reaksi bocah-bocah yang
sering dipanggilnya cucu.
“Maka ketika anak teripang terakhir hendak dipatuk juga oleh
bangau, ibunda teripang tidak tinggal diam. Dibungkukkan badannya,
lalu mengeluarkan helai-helai benang putih dari bagian ekornya. He-
lai-helai benang itumenyembur keluar dengan cepat. Benang itudili-
litkan pada kedua tungkai kaki burung bangau. Sang bangau beru-
saha melepaskan diri, tetapi gagal. Benang-benang yang dilepaskan
teripang adalah benang-benang perekat yang sanggup menjerat
seperti belenggu,” tutur Nen Te Idar dengan gerakan-gerakan meniru
sang Bangau.
Wajah anak-anak pun semakin tegang. Mereka mulai memegang
tangan teman yang ada di samping tanpa mereka sadari.
Nen Te Idar tak menghiraukan gerakan anak-anak itu. Dia terus
melanjutkan ceritanya. Dia pun mulai berdiri dari tempat duduknya.
Dia pun mulai menggerakkan tangannya sambil bercerita.
“Setelah kaki bangau terlilit, air yang tadinya surut mulai berger-
ak naik. Makin lama makin tinggi. Mulai dari batas lutut, naik sam-
pai sebatas dada. Kini air sudah sampai di leher burung bangau dan
mendekati paruhnya yang panjang. Burung bangau meronta”. Nen Te
Idar pun mulai mengerakkan tubuhnya seperti Bangau yang sedang
meronta. Seakan meniru situasi dalam cerita itu.
“Seluruh tubuhnya kini tenggelam di dalam laut. Hanya paruhnya
saja yang membuka dan menutup di permukaan air. Dengan sisa-si-
sa tenaga, burung bangau berusaha melepaskan lilitan benang lem-
but yang melekat di tungkai kakinya. Makin sibuk bergerak, benang-
benang itu kian banyak merekatkan kakinya,” lanjut Nen Te Idar.
“Perjuangan burung bangau sia-sia belaka. Tubuhnya lemas kare-
na kehabisan tenaga. Juga karena terlalu banyak menelan air laut,
perutnya kembung. Bangau pun akhirnya pasrah,” jelas Nen Te Idar
dengan suara agak lantang.
“Ketika malam tiba,” terus Ten Te Idar. “Ada suara amat sedih.
Burung bangau itu berteriak sekuat tenaga. Teripang sudah tidak
mendengar suara bangau lagi,” kata Nen Te Idar.
“Apakah burung bangau bisa sedih, Nek?” Tanya bocah cantik me-
7 8
nyela cerita Nen Te Idar.
Nen Te Idar memperlihatkan wajah serius. “Dengar ini.” Nen Te Idar
pun mulai bernyanyi.
“Teripang e
Teripang e
Ampuni daku
Sekarang e
Kilak o
Kilak o
Kuuuurrrrrrrr
Teripang e
Teripang e
Lepaskan daku
Ke darat e
Kilak o
Kilak o
Kuuuurrrrrrrr”
Suara Nen Te Idar tidak lagi merdu. Namun, suaranya yang gem-
etar karena umurnya yang telah lanjut semakin membuat anak-anak
itu kian tegang. Tadinya mereka marah karena bangau tidak punya
rasa belas kasihan kepada anak-anak teripang. Tetapi sekarang,
mereka mulai iba kepada sang Bangau. Mereka balik menaruh belas
kasihan kepada sang Bangau.
Ada yang mulai mengedip-ngedipkan mata karena tak mampu
menahan sedih. Ada yang mulai meneteskan air mata walau tanpa
suara. Ada yang mulai menunjukkan wajah sedih sambil menahan air
mata. Mereka benar-benar meresapi jalan cerita yang Nen Te Idar
tuturkan.
“Tidak ada lagi kesempatan. Maka tamatlah riwayat burung Ban-
gau.” Sang nenek menutup ceritanya.
Saat itulah, mereka tak mampu menahan air mata. Air mata
mereka bagaikan air laut. Bening tetapi asin. Mereka memeluk Nen
Te Idar, seolah kisah tadi adalah kisah nyata.
Nen Te Idar pun menghibur anak-anak supaya tidak larut dalam
perasaan sedih. Dia menjelaskan ke- pada mereka
bahwa kisah itu hanyalah sebuah
dongeng yang berisi nasihat.
“Anak-anak, kalian ha-
rus pegang kuat adat is-
tiadat supaya tidak jatuh
ke dalam perbuatan buruk
seperti bangau yang akh-
irnya dibalas oleh teripang,”
tegasnya.
“Ingatlah cucu-cucuku.
9 10
Apa yang telah terjadi antara Bangau dan Teripang, jangan sampai
melanda Desa Idar. Jadi, semua harus pegang adat-istiadat. Ingat
selalu pada petuah para leluhur,” pesannya.
Usai mendengarnya mendongeng, anak-anak memintanya ber-
nyanyi. Nen Te Idar pun tidak keberatan untuk yang satu ini. Ia pun
menyanyikan lagu riang kesukaan anak-anak. Walau sudah tua, su-
aranya yang gemetar layaknya orang yang sudah lanjut usia, masih
merdu didengar.
“Burung maleo
Kaki kuning-kuning
Lari ke sana
Lari ke sini
Cari makan e
Burung maleo
Kaki kuning-kuning
Lari ke sana
Lari ke sini
Ayo lompat e”
Anak-anak sangat senang mendengar nyanyian burung Maleo.
Anak-anak selalu penuh sukacita karena semua saling menyayangi.
3. Nen Te Idar Akhirnya Marah
Nen Te Idar dikenal rajin membersihkan rumah dan desa. Tidak
heran, rumahnya selalu bersih. Ia mengumpulkan sampah dan mem-
buangnya di dalam kolam yang berdinding batu. Jika rumahnya su-
dah bersih, ia berjalan keliling desa membersihkan sampah yang
berserakan. Suasana jadi ramai setiap kali Nen Te Idar turun ke ja-
lan membersihkan sampah, karena orang banyak ikut turun tangan
tanpa ada komando. Tradisi gotong-royong ini dalam bahasa Kei
disebut maren.
Waktu terus bergulir. Matahari terbit dan tenggelam dengan se-
genap kenangan manis. Musim datang silih-berganti. Suasana Desa
Idar yang aman sentosa mulai terusik. Berawal dari ulah beberapa
orang yang malas. Mereka malas bekerja dan malas berpikir. Mereka
melupakan bahwa mereka memiliki adat istiadat yang kuat dan pat-
ut dijaga. Akibatnya, mereka jadi bersamangat mengajak warga lain
agar tidak ikut gotong-royong membersihkan desa.
Warga Desa Idar mula-mula tidak menggubris ajakan para pema-
las itu. Akan tetapi belakangan, warga desa mulai termakan ajakan
para pemalas itu. Warga desa mulai percaya setiap kalimat-kalimat
hasutan milik para pemalas. Mereka dihasut untuk tidak mengin-
dahkan kerja keras sang nenek tua, Nen Te Idar. Mereka dihasut un-
tuk membenci Nen Te Idar karena takut Desa Idar yang luas itu akan
diperintah oleh seorang nenek renta yang miskin dan sebatang kara.
Mereka diajak berpikir tentang status Nen Te Idar yang mampu
menggerakkan massa untuk melakukan banyak hal.
11 12
Hal-hal itulah yang akhirnya membuat mereka mulai meragukan
hubungan persaudaraan yang ada dalam diri masyarakat Idar sejak
nenek moyang.
Mereka mulai berani mengolok-olok Nen Te Idar dan melakukan hal
buruk. Sejumlah warga sengaja membuang tulang-tulang hewan di
tengah jalan yang baru saja dibersihkan Nen Te Idar. Ada yang
dengan sengaja membuang insang-insang ikan di depan
rumah Nen Te Idar. Mereka melakukannya
bergerombolan.
Suatu saat, ketika
Nen Te Idar tidak
a d a
13 14
di rumahnya. Mereka mulai melakukan tindakan buruk.
“Kalau nenek kembali melintas di sini, tentu nenek akan terke-
jut melihat insang-insang ikan di mana-mana,” ujar seorang lelaki
berbadan tegap, berkulit hitam dengan wajah agak sangar, sambil
menebar insang ikan di jalan menuju rumah Nen Te Idar.
Perkiraan mereka pun terbukti. Ketika Nen Te Idar kembali ke
rumah, ia begitu terkejut. Hidungnya mencium bau amis yang sangat
tajam. Matanya mencari sumber bau busuk itu. Tidak lama kemu-
dian, tatapan tajamnya langsung tertuju ke arah tumpukan-tumpu-
kan insang ikan.
“Perbuatan siapa ini?” serunya dengan nada marahsambil melihat
keadaan sekeliling.
Sekejab saja, sekelompok pemuda keluar dari balik rumah dan
pohon yang rindang disekitar rumah Nen Te Idar. Kemudian, dengan
berani dan senyum mengejek, mereka mendekati Nen Te Idar sambil
tertawa terbahak-bahak.
Meskipun terkejut dan heran, Nen Te Idar tidak mempedulikan
gelak-tawa mereka. Ia mengumpulkan kembali insang-insang ikan itu
dengan tangannya, lalu menguburnya di dalam tumpukan pasir yang
berada tak jauh dari rumahnya.
Nen Te Idar berjalan kembali ke dalam gubuk tua miliknya. Ia men-
gambil semangkuk air lalu meminumnya. Sembari meredakan keg-
elisahannya. Ia masih belum percaya kejadian yang baru saja berlalu.
Gelak-tawa pemuda-pemuda itu bahkan masih terdengar walau
dari kejauhan.
Dalam hati kecilnya, ia ingin sekali melaporkan ke-
15 16
jadian ini kepada Kepala Soa. Seseorang yang bertanggung jawab
untuk kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam Desa Idar.
Lewat Kepala Soa, kejadian tersebut dapat diselesaikan secara
adat. Namun, niat itu diurungkannya. Nen Te Idar membayangkan,
bila dirinya pergi mengadu sambil menangis di hadapan Kepala Soa,
tentulah anak-anak muda itu akan menerima hukuman yang berat.
Lagi pula, anak-anak muda itu adalah sanak saudaranya pula.
“Sakit rasanya dada ini, tetapi harus bagaimana lagi? Mereka
adalah anakDesa Idar dan masih ada pertalian darah. Sabar sajalah.
Ya, hati harus tetap dingin,” kata Nen Te Idar kepada dirinya sendiri
sambil mengelus-elus dadanya.
Suatu ketika, saat Nen Te Idar sedang bersih-bersih di jalan de-
pan rumahnya,seorang pria muda datang danmenarik sapu lidi dari
tangannya.
“Kembalikan sapu itu Nak!” teriak Nen Te Idar. Namun, pria itu ti-
dak menghiraukan teriakannya. Dia terus berjalan kecil sambil mem-
beri kode kepada nenek tua itu untuk mengejarnya.
“Kembalikan Nak!” panggil Nen Te Idar dengan suaranya yang le-
mah.
“Sini, ambil ini wanita tua!” ambil aja sendiri!” ejek si pria.
Mendengar keramaian itu, banyak warga berdatangan dan mer-
eka hanya berpangku tangan. Mereka berdiri termangu menonton
kejadian itu.
Nen Te Idar akhirnya mengejar. Ia berlari-lari kecil karena otot-
otot tubuhnya yang tidak lagi kuat. Bahkan napasnya mulai teren-
gah-engah. Ia berusaha merebut kembali sapu lidinya, namun tidak
berhasil. Pria itu berlari lebih kencang, bahkan mengecohnya dengan
mengitari sang nenek. Hingga nenek renta ini dibuatnya pusing tu-
juh keliling.
“Saya ini orang tua. Nenek kalian sendiri. Tidak baik, berlaku sep-
erti ini kepada orang yang sudah lanjut usia, Nak,” ucapnya dengan
nada sedikit mengomel.
Mendengar ucapan Nen Te Idar, orang-orang yang sedang menik-
mati tontonan memalukan itu, terus tertawa. Mereka makin men-
golok-oloknya dengan kata-kata ejekan.
“Hahaha… untunglah kami tidak akan pernah tua. Kami akan
tetap muda perkasa,” olok seorang lelaki muda berbadan gempal.
“Kamu bukan nenek kami.” ujar seorang pria di sampingnya.
“Kerjamu kan hanya mengurus sampah ? Jadi urus saja sampah
supaya desa ini bersih. hahahaha,” kata pria lainnya sambil tertawa
terbahak-bahak.
Nen Te Idar tak mampu mendengar olok-olok yang sudah melam-
paui batas itu. Ia melangkahkan kakinya dengan kepala dan tubuh
yang membungkuk, iapulang ke rumah sambil berusaha menahan
tangis. Akan tetapi bendungan air mata yang sempat tertahan
sepanjang jalan, akhirnya jebol juga.Diambilnya ujung salendang yang
melilit di lehernya untuk menyeka air mata di pipinya yang keriput.
Di depan pintu pagar rumah, Nen Te Idar berpaling. Ia melihat
orang-orang sinis melihatnya sambil tertawa keras-keras. Diken-
alinya, para pemuda itu. Mereka adalah keponakan-keponakannya
sendiri.
“Orang-orang di desa ini sangat taat pada hukum adat. Tidak
17 18
pernah dalam sejarah, ada kejadian sekasar ini kepada perempuan,”
pikirnya.
Di pagi hari saat Nen Te Idar terbagun. Ia terkejut melihat tulang-
tulang ikan dan kulit-kulit siput menumpuk di sudut rumahnya. Ru-
panya para pengganggunya datang pada malam hari, lalu membuang
sampah di halaman rumahnya.
Dengan perasaan marah bercampur sedih, Nen Te Idar membersi-
hkan tulang-belulang ikan dan kulit-kulit siput yang baunya tajam
menyengat hidung.
“Mengapa sesama orang desa, saudara-saudara
sendiri, tega melakukan hal ini. Ini sangat kasar. Ar-
wah jahat siapa yang menghuni tubuh mereka?”
gumamnya.
Hari-hari berikut, ketika Nen Te Idar bangun
pagi, ia selalu menemukan jenis sampah yang sama. Bahkan makin
hari, jumlah pun semakin lebih banyak. Jika menemukan sampah lalu
melihat ke jalan raya, ia melihat orang-orang tertawa. Mereka juga
meneriakkan kata-kata yang ejekan, karena tidak pantas didengar
orang.
Dengan sangat berat hati, Nen Te Idar melangkah meninggalkan
rumahnya. Anjing peliharaannya mengikutinya dari belakang. Di per-
jalanan, ia bertemu para pemuda yang selama ini membuang sampah
di pekarangan rumahnya.
“Hendak ke mana, nenek tua. Biarlah kami yang mengantar,” kata
pemuda yang berdiri paling depan dengan suara mengejek.
Nen Te Idar terus berjalan tanpa memperdulikan pemuda-pemu-
da itu. Mereka mengikutinya dari belakang dan terus saja mengolok-
olok. Ketika nenek membelok ke rumah Kepala Soa, barulah para
19 20
pemuda itu berlari tunggang-langgang menjauhi Nen Te Idar.
“Ini tidak pernah terjadi di Desa Idar. Bahkan sejak leluhur kita
masih di Ohoitom Rangmas pun, tidak ada perbuatan sekasar ini ke-
pada seorang perempuan,” urainya di hadapan Kepala Soa.
Kepala Soa mendengar seluruh pengaduan Nen Te Idar. Ia terlihat
sangat serius dan menahan amarah. Ia lantas berdiri lalu berjalan ke
depan rumah.
“Marinyo!”, panggil Kepala Soa.
Seorang pria separuh baya muncul dari rumah di samping rumah
Kepala Soa. Pria yang dipanggil Marinyo itu langsung berdiri di hada-
pan Kepala Soa.
“Panggil semua orang yang membuang sampah di rumah Nen Te
Idar,” perintah Kepala Soa.
Marinyo pun berlalu. Tak lama berselang, terdengar bunyi tiupan
teromper siput. Bunyinya panjang pendek seperti memberi isyarat.
Ketika tiupan berhenti, giliran suara Marinyo mengudara.
“Semua warga Soa, di Desa Idar, yang merasa membuang sampah
dan berlaku kasar kepada Nen Te Idar, diperintahkan datang seka-
rang di rumah Kepala Soa. Barang siapa yang melakukannya, tidak
mengakui, dan tidak datang, hukuman akan diperberat. Demikian
pemberitahuan. Terima kasih,” teriak Marinyo.
Maklumat itu diteriakkan di ujung jalan dan beberapa lorong jalan.
Tidak berapa lama, muncullah secara tidak bersamaan 15 pemuda
berperawakan tegap. Satu persatu dari mereka memasuki rumah
Kepala Soa dan duduk di lantai.
Sidang berlangsung singkat. Kepala Soa hanya menanyakan ke-
benaran laporan Nen Te Idar. Tak satupun yang menyangkal. Para
pemuda itu membenarkan telah melakukan perbuatan kasar kepada
Nen Te Idar.
Kepala Soa langsung memutuskan hukuman. Para pemuda itu di-
wajibkan untuk membayar denda berupa emas dan kain tenun Kei.
Mereka juga wajib membersihkan rumah Nen Te Idar sampai bersih
seperti sediakala.
Hari itu juga para pemuda itu menjalankan semua jenis hukuman.
Putusan ini bukan membuat Nen Te Idar bahagia dan sedih. Sepan-
jang malam ia tidak bisa memejamkan matanya. Ia menangis sepan-
jang malam. Ia menyesal karena telah melaporkan kejadian mema-
lukan itu kepadaKepala Soa. Akibatnya, para pemuda yang adalah
sanak keluarganya sendiri menerima hukuman. Esok harinya, Nen
Te Idar dapat melakukan kegiatannya dengan tenang seperti sedia
kala. Walau sebenarnya hatinya terluka, ia mencoba menenang-
kan diri. Semua anak adat memang harus taat pada hukum adat.
Pikirnya begitu.
Aktivitas Nen Te Idar kembali normal. Tak ada gangguan lagi dari
pemuda-pemuda jahil itu.
21 22
4. Penghinaan Berujung Duka
Suatu pagi,di awal musim angin barat, Nen Te Idar tiba-tiba dikejut-
kan dengan sampah tulang-tulang ikan dan siput dalam jumlah banyak
yang sudah memenuhi halaman rumahnya. Bau busuk kembali menusuk.
Kepalanya terasa pusing karena bau busuk yang menyengat. Dia bahkan
tak dapat meninggalkan rumah. Nen Te Idar akhirnya tertidur lemas.
Ketika terbangun karena lapar, Nen Te Idar menemukan tumpukan
sampah kian tinggi. Kali ini ia putuskan untuk tidak mengomel dan tidak
melapor ke Kepala Soa. Diajuga tidak ingin mencari tahu siapa pengirim
sampah baru ke rumahnya.
Nen Te Idar hanya membiarkan sampah-sampah itu menumpuk. Ma-
kin hari makin tinggi. Bau busuk menebar di dalam maupun di luar rumah,
sampai ia tidak tahan lagi.
“Manusia kotor. Saya beri peringatan terakhir. Kalau kalian masih
terus begini, lihat saja nanti, apa yang akan terjadi,” geram Nen Te Idar
ketika melihat dinding rumahnya dari bahan bambu mulai berat mena-
han beban tumpukan sampah yang menggunung.
“Ha ha ha. Kau tak bisa berbuat banyak, nenek,” tantang seorang
pria. Suaranya tiba-tiba terdengar dari balik dinding rumah Nen Te Idar.
Dia mendengar ketus Nen Te Idar.
Mendengar suara balasan dari luar rumahnya, Nen Te Idar hanya ter-
diam dan kembali meneteskan air mata.
Keesokan harinya, ketika Nen Te Idar mendengar bunyi kulit-kulit
siput dilempar ke tumpukan sampah di dekat dinding rumahnya, ia lang-
sung mengambil sebilah parang. Ia pun berjalan ke lembah di dekat pan-
tai. Di lembah itu, terdapat banyak rumpun bambu. Ia menebang sejum-
lah batang bambu sesuai keperluannya.
Nen Te Idar lantas memotong ruas-ruas bambu menjadi pendek.
Kedua ujung potongan bambu diruncingnya sampai tajam. Jadilah sen-
gat-sengat kaki, yaitu semacam ranjau darat yang dipakai untuk men-
jebak musuh yang hendak menyerang dari luar desa.
Ketika sengat-sengat kaki dari bahan bambu sudah cukup banyak,
Nen Te Idar kembali ke desa. Ia berjalan menancapkan sengat-sengat
kaki keliling desa. Setiap kali menancap satu batang sengat-sengat
kaki, Nen Te Idar menutupnya dengan daun kering. Tidak ada warga Desa
Idar yang bisa melihat ranjau yang dapat menembus kaki mereka.
“Dengarlah, wahai orang-orang yang tidak hormat kepada orang tua.
Orang-orang yang tidak hormat kepada perempuan. Orang-orang yang
tidak hormat kepada tanah dan Bumi Idar ini. Kalian sudah terkepung
sengat-sengat kaki. Tidak ada satu orang pun yang bisa keluar dari sini,”
teriak Nen Te Idar dengan suara lantang.
Seorang pria yang selama ini selalu paling bersemangat mengolok-
olok Nen Te Idar, berjalan tepat di hadapan Nen Te Idar. Ia membungkuk-
kan badan, duduk bersila di atas tanahdengan pose seperti orang yang
sedang bertapa. Dia mengolok Nen Te Idar.
“Ampun kami wanita tua.Ampun kami wanita tua. Ha ha ha,” tawanya.
“Budak sepertimu, apa yang bisa kau lakukan kepada kami. Kami ini
orang berpengaruh di desa ini. Bagaimana mungkin budak sepertimu
bisa melawan kami kaum terhormat,” ucapnya lagi disambut sorak-sorai
warga yang semakin banyak berkumpul di tempat itu.
Nen Te Idar maju selangkah. Ia menatap orang banyak yang sedang
23 24
tertawa-tawa. Badannya membungkuk sampai mendekati tanah. Ked-
ua telapak tangannya membuka.Diletakkankedua tanggannya di atas
tanah. Sambil menatap tanah, ia terdiam beberapa saat. Setelah itu, ia
bangkit berdiri dengan susah-payah. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi, sambil matanya lurus ke langit.
“Andaikan saya ini budak, tukang sihir,dan orang rendahan, seperti
ucapan kalian, maka seribu sumpah dari mulutku tidak berlaku di atas
Bumi Idar.Akan tetapi andaikan saya adalah satu dari antara kalian,
dan kita berasal dari darah yang sama, maka sumpah dari mulutku akan
berlaku atas izin Penguasa Tertinggi,” seru Nen Te Idar dengan suara
bergetar.
Seketika itu pula, terdengar guruh menggelegar panjang di angkasa
maupun di dalam tanah. Bumi bagai mengamuk. Batu-batu besar ter-
cungkil dari dalam tanah, retaklalu hancur. Kepingan-kepingannya ter-
lempar ke angkasa. Debu tebal menyelimuti seisi desa. Tidak ada yang
bisa saling melihat karena debu telah menghalangi pandangan.
Orang-orang Desa Idar baru tersadar bahwa sesuatu yang dahsyat
sedang terjadi atas diri mereka. Anak-anak menangis keras-keras tapi
tidak ada tempat berlindung. Orang tua mencari anak-anaknya tapi
mata mereka tak sanggup menembus debu yang kian menebal.
“Nen Te Idar, kami salah. Kami minta maaf. Ampun beribu-ribu am-
pun.” Teriakan penyesalan terdengar di mana-mana.
“Kami ini anak-cucumu sendiri. Ampuni kami, sayangi kami.” Begitulah
terdengar seruan dari sisi yang lain.
Banyaknya teriakan minta ampun dan minta tolong membuat sua-
sana menjadi gaduh dan tidak jelas lagi. Teriakan, sahutan, dan tangis
25 26
sedih saling tumpang-tindih.
Terlambat. Bukit yang paling tinggi di Kepulauan Kei itu perlahan-
lahan turun ke dalam tanah, bersama seluruh isi Desa Idar yang ada di
atasnya. Sekejap saja desa tenggelam ke dalam tanah bersama 999
penduduk.
Setelah Desa Idar tenggelam ke dalam tanah, lubang besar itu me-
mancarkan mata air raksasa. Air menggenangi kolam raksasa itu den-
gan sangat cepat. Jadilah sebuah danau baru. Bukit tenggelam, danau
timbul. Itulah danau Ablel atau orang setempat menyebutnya Wear
Ablel.
Bersamaan dengan itu, tampaklah ribuan ekor buaya berenang ber-
baris-baris di dalam danau yang baru terbentuk.Mereka mencari posisi
yang nyaman namun semua tempat terasa tidak nyaman. Sebab itu
mereka berenang tanpa arah, membelok ke kiri ke kanan. Begitu seter-
usnya.
Ribuan bebek juga berenang kocar-kacir. Ada yang bertengger di
punggung buaya dan mencoba bertahan di sana. Suara gelegar bukit
tenggelam telah berhentidiganti kesunyian. Tidak lama kemudian, suara
beribu-ribu ekor bebek dan lenguh beribu-ribu ekor buaya memecah kes-
enyapan. Suara-suara itu sungguh pilu terdengar sampai ke telinga Nen
Te Idar.
Berdiri di tepian danau, Nen Te Idar menyaksikan semua kelakuan
buaya dan bebek yang terus saja berenang berkeliling danau dengan
gelisah. Tangisan mereka meledak di mana-mana. Sesekali ada yang
melompat ke permukaan air, seakan meminta perhatian sekaligus ban-
tuan Nen Te Idar. Mereka seakan ingin memohon agar dikembalikan ke
keadaan sediakala. Mereka bagai menari tarian sembarang yang me-
lukiskan satu tarian jiwa yang berduka.
“Sudah terlambat,” kata Nen Te Idar sambil membalikkan badan
meninggalkan sanak-saudara yang telah menjelma menjadi bebek dan
buaya.
Nen Te Idar menarik nafas panjang. Ia terkejut melihat satu-satunya
yang tertinggal di dekat kakinya hanya anjing kesayangannya.
“Maafkan aku. Aku terlalu sibuk sampai melupakanmu,” katanya
sambil mengelus-elus kepala anjing kesayangannya. Dia kemudian ber-
jalan menjauhi danau.
Anjing kesayangan Nen Te Idar ituterus menyalak sambil mengibas-
kan-ngibaskan ekornya. Ia bagai menyambut majikannya yang telah
memenangkan pertaruhan besar.
Dengan berat hati tapi sekaligus juga lega, Nen Te Idar berjalan di de-
pan menjauhi danau Ablel. Anjing mengikutinya dari belakang. Tidak sek-
alipun Nen Te Idar berpaling walau sebenarnya, suara-suara buaya dan
bebek sahut-menyahut menyerukan namanya. Ia dan anjingnya terus
melangkah pelan-pelan sampai suara-suara itu hilang dari pendengaran.
Di sepanjang jalan, Nen Te Idar bertemu dengan banyak orang yang
juga merupakan warga Desa Idar. Mereka yang tersisa. Mereka yang se-
lamat karena tidak berada di Desa Idar saat kutukan itu terjadi. Ada
yang baru pulang melaut dan ada pula yang baru pulang dari berburu
babi. Mereka terheran-heran melihat Nen Te Idar dan anjingnya yang
seakan-akan hendak bepergian jauh.
“Hari sudah hampir malam. Hendak ke mana Nen Te Idar?” Salah satu
sanak saudaranya bertanya.
27 28
Nen Te Idar memandang wajah-wajah cemas di hadapannya, satu
demi satu. Ia jatuh iba kepada mereka“. Inilah orang-orang yang sela-
mat,” ujarnya dalam hati.
Hampir saja Nen Te Idar berterus-terang tentang apa yang baru
saja terjadi.Tetapi lolongan anjing membuatnya mengurungkan niat
itu.Dirinya tahu, sang anjing memberi isyarat agar membiarkan orang
desa melihat sendiri dengan mata
kepala.
“Kami hendak pergi dan tak
akan pernah kembali lagi ke Bumi
Idar. Kalian juga, sebaiknya pergi
dari sini. Sekarang tidak sep-
erti dulu lagi,” kata Nen Te Idar
lalu berbalik melanjutkan per-
jalanan.
Orang banyak itu ter-
peranjat luar biasa ke-
tika menemukan Desa
Idar telah berubah
menjadi danau. Mer-
eka juga merasa ngeri
mendengar tangisan ribuan buaya dan bebek. Sadarlah mereka bahwa
binatang-binatang itu adalah saudara-saudara mereka sendiri.
Meskipun tidak menyaksikan langsung peristiwa itu, warga Idar yang
tersisa lantas berkesimpulan bahwa semua ini adalah bala dan kutuk
yang turun atas mereka. Semua itu adalah akibat perilaku buruk mer-
eka terhadap seorang perempuan tua, yakni nenek mereka sendiri, Nen
Te Idar
“Perempuan adalah sosok mulia. Setiap lelaki harus melindungi
perempuan. Kalau terpaksa seorang lelaki harus mati.Ya, harus mati
demi membela perempuan. Itu hukum. Tapi kita telah menginjak hukum.
Sebab itu hukum sudah balik memakan kita,” kata lelaki paling tua di an-
tara orang-orang yang tersisa.
Tiba-tiba ketakutan dan kengerin luar biasa melanda orang-orang
Idar yang tersisa. Tanpa dikomando, mereka berlari ke tempat pertama
kali bertemu Nen Te Idar. Malam sudah tiba dan mereka tak menemukan
siapapun. Justru di gelap malam, mereka berpencar kocar-kacir.
29 30
BIODATA PENULIS
Nama : Marco Dhyllan Pattianakotta
Tempat, tanggal lahir : Ambon, 24 Mei 1999
Nomor Ponsel : 082199227051
Akun Facebook : MARCO DHYLLAN PATTIANAKOTTA
Riwayat pekerjaan/profesi (10 tahun terakhir):
1. Mahasiswa.
2. Musisi/seniman.
Riwayat pendidikan dan tahun belajar:1. SDN 1 KOTA SORONG, PAPUA BARAT (2008)
2. SMP YPPK SANTO DON BOSCO (2011)
3. SMAN 1 KOTA SORONG, PAPUA BARAT (2014)
4. IAKN (MUSIK GEREJAWI) 2015
Karya:1. Kumpulan Puisi Remaja 2015
Informasi lain: Aktif bersama Bengkel Sastra Maluku dan komunitas-komunits
seni kreatif Ambon Bergerak untuk penguatan perdamaian-perda-
maian di Maluku. Bersama beberapa teman mendirikan komunitas
sastra dan taman baca Kintal Sapanggal hingga sekarang.
“Ayo, kita kembali ke desa leluhur kita di Ohoitom Rangmas,” teriak
seseorang.
Sekelompok orang bergerak, bahkan saling bertabrakan badan kare-
na tidak saling melihat. Mereka hanya bergerak ke arah suara tadi.
“Mari kita ke Ohoitom Rangmas,” teriak suara tadi lagi. Kelompok
lainnya kemudian bergerak menuju Kilmanut. Sedangkan satu kelompok
berikut nampaknya tidak dapat ke Ohoitom Rangmas maupun Kilma-
nut. Mereka berlari ke pantai menemukan perahu-perahu kayu yang
tinggal merana begitu saja.
Kelompok ini mendayung berhari-hari di bawah hujan dan panas ma-
tahari. Mereka akhirnya tiba di pantai Pulau Gorom di Seram dan mene-
tap di sana sampai sekarang.
SEKIAN
Ditulis ulang berdasarkan naskah terjemahan P. Bohm 2016 dan wawan-
cara dengan warga Ngilngof Josep Maturan di Ambon, Maret 2017
31 32
BIODATA ILUSTRATOR
Nama lengkap : Aridal
Tempat, tanggal lahir : Bone, 24 Maret 1989
Nomor Ponsel : 0853 4281 4821
Pos-el : [email protected]
Riwayat pendidikan dan tahun belajar :SD : SD Negeri 01 Tambea, 1995 – 2001
SLTP : SMPS Antam Pomalaa, 2001 – 2004
SMA : SMA Negeri 01 Pomalaa, 2004 – 2007
Perguruan Tinggi : Universitas Haluoleo
(FKIP / Pendidikan Fisika), 2007-2012
Riwayat pekerjaan/profesi :2012 – 2014 : Guru IPA di SMP Muhammadiyah Pomalaa
2012 – 2014 : Guru Fisika di SMKS Biner Pomalaa
2014 – 2017 : Design grafis, Illustrator, Kartunis,
dan Layouter koran harian rakyat sultra
Prestasi:1. Juara 2 Lomba Poster Ilmiah Tingkat Fakultas.
2. Juara 1 Lomba Karikatur Tingkat Fakultas
3. Juara 2 Lomba Karikatur Hugua Tingkat Sulawesi Tenggara.
4. Juara 2 Lomba Karikatur Korem 143/Halu Oleo
Sulawesi Tenggara
5. Juara 1 Lomba Maskot KPU Sulawesi Tenggara Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur 2018
BIODATA PENYUNTING
Nama lengkap : Evi Olivia Kumbangsila, S.Pd.
Tempat, tanggal lahir : Ambon, 14 Desember 1983
Telepon Kantor/Ponsel: 081248570572
Pos-el : [email protected]
Alamat kantor : Jalan Mutiara No.3A, Mardika, Ambon
Riwayat pekerjaan/profesi (10 tahun terakhir):1. Pengkaji Bahasa dan Sastra di Kantor Bahasa Maluku
Riwayat pendidikan dan tahun belajar:1. SD Advent Ambon Tahun 1997
2. SMP Negeri 2 Salahutu Tahun 1999
3. SMA Advent Tikala Baru Manado Tahun 2001
4. S1 Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pattimura Tahun
2009
Karya:1. Cerita Rakyat “Air Tukang”
Penelitian:1. Nyanyian dalam Permainan Tradisional Anak di Negeri Soya
2. Pamali Tanjung Hatuhuran: Eksistensi Kekinian Masyarakat Ha-
tusua
33 34