Upload
jan-roi-purba
View
8
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
elit
Citation preview
Jan Roi Purba
100906058
Konflik Elit Politik Sby Anas
Elit adalah orang-orang terbaik atau pilihan dl suatu kelompok; 2 kelompok kecil orang-
orang terpandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawan, cendekiawan, dsb); 1
Roberto Pareto, mengemukakan pandangannya mengenai elit politik yaitu “governing elite
(elit yang memerintah). Lebih lanjut Pareto mengemukakan bahwa yang termasuk katagori
elit yang memerintah antara lain adalah pimpinan suatu lembaga, organisasi, atau pimpinan
institusi Negara” (S.P. Varma ,Modern Political Theory,1967).
Sirkulasi elite dalam konteks pergantian kepemimpinan politik adalah salah satu syarat bagi
terwujudnya iklim demokrasi yang sehat. Fenomena kekerabatan politik dinilai berpotensi
menghambat jalannya sirkulasi politik yang terbuka dan partisipatif.
Fenomena banyaknya hubungan kekerabatan dalam kepemimpinan politik di negeri ini
semakin menguatkan gejala dinasti politik. Hal ini khususnya terekam dalam pemilu kepala
daerah (pilkada) langsung. Petahana kepala daerah cenderung berupaya mempertahankan
kekuasaan dengan melimpahkan dukungan kepada kerabatnya dalam pilkada. Data hasil
kontestasi politik di tingkat lokal mencatat, tidak sedikit kerabat petahana sukses
memenanginya.
Gejala ini dinilai publik cukup mengkhawatirkan, meski dari sisi perundang-undangan masih
bisa dimungkinkan. Publik menilai pola penguasaan politik semacam itu bakal
menjerumuskan kondisi politik menjadi tidak sehat dan berdampak negatif.
Selain itu dalam gelombang gelombang otonomi daerah yang identik dengan adanya
pembagiaan kekuasaan ternyata tidak menular ke partai politik, oligarki partai bersama
elitnya masih banyak menguasai partai partai yang ada di indonesia.
1 http://www.artikata.com/arti-58695-elite.html diakses tanggal 27 Mei 2013 pukul 23.35
Contoh Kasus
konflik elit SBY dan Anas Urbaningrum
Anas Urbaningrum adalah fenomena. Karier politiknya sangat cemerlang. Masuk Partai
Demokrat 2005, pada 2010 dia terpilih sebagai Ketua Umum secara demokratis dalam
Kongres kedua Demokrat di Bandung, Mei 2010. Kongres Bandung juga melahirkan politik
faksionalis di Partai Demokrat. Terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai ketua umum
menyisakan rivalitas yang tak terdamaikan. Ia memang terpilih secara demokratis karena
SBY berkenan tampil sebagai demokrat sejati yang menolak intervensi. Namun, friksi
terlanjur tercipta. Anas mengalahkan dua kandidat yang berakar kuat: Andi Mallarangeng
yang dijagokan oleh keluarga Cikeas dan Marzuki Alie. Keberadaan ketiga faksi inilah yang
menjelaskan mengapa kepemimpinan Anas melahirkan anti-Anas. Meski berhasil
membangun fondasi politik kuat di level bawah dan menengah (DPC dan DPD), tapi basis
politiknya di tingkat puncak yang merupakan salah satu pilar penting partai sedikit rapuh.
Setelah terpilih menjadi ketua umum, pertama-tama Anas melakukan sejumlah konsolidasi.
Pertama, Ia mengonsolidasikan Dewan Pimpinan Pusat sehingga mampu mengelola urusan
partai sehari-hari. Kedua, memperkuat basis dukungan dari jajaran pimpinan partai di daerah.
Anas tampil sebagai pemimpin akomodatif dan adaptif. Ia hindari ketegangan dan konflik
dengan para pimpinan partai di daerah. Ketiga, Anas berkonsolidasi dengan jaringan
tradisionalnya: aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan para alumninya. Langkah-
langkah strategis tersebut dianggap membahayakan posisi SBY Ketua Dewan Pembina,
pendiri, dan “pemilik” Partai Demokrat. Jika dibiarkan, Anas dapat meluncur bebas tanpa
bisa dikendalikan dengan basis politik yang tidak bisa dikontrol SBY.
Kedua, sebagai kader Demokrat, Anas memang tampil sebagai anak baik yang sama sekali
tidak pernah mengganggu kenyamanan SBY, sang dewan pembina. Tapi, ia juga bukan tipe
orang yang berada amat sangat dekat dengan SBY. Ia pun bukan tipe anak manis yang lugu
yang menurut saja dengan segala titah dan instruksi sang Dewan Pembina. Kemampuan Anas
menggalang kekuatan politik di luar lingkaran Cikeas membuktikan kepiawaian Anas yang
dapat mengancam posisi SBY di Demokrat. SBY khawatir dengan “fenomena Anas” yang
dapat mengurangi pengaruhnya di Partai Demokrat.
Benarkah SBY mengkudeta Anas?
Survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) baru-baru ini mengejutkan
banyak pihak. Partai Demokrat yang merajai Pemilu 2009 dalam survei ini mengalami terjun
bebas. Suaranya hanya 8,3 persen. Demokrat berada di bawah Partai Golkar yang menempati
posisi tertinggi, dengan perolehan 21,3 persen, disusul PDI Perjuangan yang menempati
peringkat kedua dengan 18,2 persen. Beberapa petinggi Demokrat menuduh Anas sebagai
penyebab jatuhnya suara partai tanpa analisis mendalam, objektif, dan ilmiah.
Karena itu, keputusan SBY mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat pada 8 Februari
lalu mengejutkan. Pertama karena SBY dikenal politisi yang amat santun. Kedua, karena ia
sering disebut-sebut sebagai demokrat sejati. Tapi dengan posisinya sebagai Ketua Majelis
Tinggi Partai Demokrat, SBY tanpa ragu mengambil alih kepemimpinan Demokrat. Ketua
Umum Anas Urbaningrum dilucuti. Tak berhenti di situ. SBY memimpin langsung
penandatanganan Pakta Integritas yang berisi 10 butir kepada seluruh Ketua DPD Demokrat
di kediamannya, Cikeas, Bogor, pada 10 Februari lalu.
Karena itu, apa yang dilakukan SBY sesungguhnya “kudeta sunyi”. Pertama, permintaan
SBY agar Anas fokus menghadapi masalah hukum di KPK adalah bahasa halus
penonaktifannya sebagai ketua umum. SBY sengaja menyampaikan pernyataannya secara
diplomatis agar tak terkesan sedang menzalimi Anas. Dengan mengatakan bahwa sepenuhnya
kendali penyelamatan partai di tangannya, SBY secara terang-benderang telah mengambil
kewenangan yang semula berada di tangan Anas.
Kedua, langkah yang dilakukan SBY itu tidak ada dalam AD/ART Partai Demokrat. Untuk
mengganti atau menurunkan seorang ketua umum seharusnya dilakukan Kongres Luar Biasa
(KLB). Tetapi cara itu tidak mungkin dilakukan karena Anas mendapat dukungan kuat di
DPD. KLB dapat dilaksanakan atas permintaan Majelis Tinggi Partai atau sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah DPD dan ½ dari jumlah DPC. Dengan basis pendukung Anas yang
kuat di tingkat DPD dan DPC, upaya KLB bukan perkara mudah bagi SBY. Apalagi tidak
ada alasan kuat untuk menyelenggarakannya mengingat status hukum Anas yang bukan
tersangka.
Karena itu, kudeta sunyi menjadi pilihan yang dtempuh SBY. Dengan cara itu, SBY mungkin
masih mempertahankan politik santunnya. Tapi ia telah menanggalkan kehormatannya
sebagai demokrat sejati. Dan ia melangkah ke jurang gelap otoritarianisme. Korbannya tak
tanggung-tanggung: Anas Urbaningrum—bintang paling terang di Partai Demokrat.
Namun anas sebagai korban dari konflik elit ini ternyata masih melakukan perlawanan dalam
konflik elit penguasa negara dengan penguasa partai, ucapan ucapan seperti bayi yang tidak
diharapkan lahir di demokrat dan juga penonaktifan dirinya sebagai ketua umum adalah
lembaran baru merupakan sebuah perlawanan kalem dari anas urbaningrum.
Daftar Pustaka
Saputro, Henry The Journey Of Anas Urbaningrum, Yogjakarta, Buku Pintar, 2012
Sumber lain
http://politik.kompasiana.com/2013/02/12/anas-sby-dan-kudeta-sunyi-533667.html
http://politik.kompasiana.com/2012/12/16/ketika-sby-kecil-melawan-516612.html
http://aahifis29.blogspot.com/2011/07/definisi-elit-politik.html
http://teoripolitikseverus.blogspot.com/