Upload
buinhi
View
234
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
KOONSEP TAUHÎ
DALAM
D SYAI
M KITA
KH‘ABD
AB ‘AMA
DURRA
AL MA’
AHMAN
RIFAH
SHIDDÎQ
Skripsi
DDiajukan keepada Fakulltas Ushuludddin dan Fillsafat untukk Memenuhii Persyarataan
Memperroleh Gelarr Sarjana Fillsafat Islamm (S.Fil.I)
DDisusun Oleeh:
ISMA
F
PROGR
FAKULTA
UIN
AIL YUHAAIDIR
10060331011126
RAM STUUDI AQIDDAH FILLSAFAT
AS USHUULUDDINN DAN FFILSAFAAT
N SYARIIF HIDAYYATULLLAH
JJAKARTAA
14331 H / 2010 M
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk untuk
memenuhi salah satu peersayaratan memperoleh gelar Strata Satu di UIN
Syarif Hidayatullah;
2. Semua sumber yang telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16, September 2010
Ismail Yuhaidir
KONSEP TAUHÎD SYAIKH‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ DALAM
KITAB ‘AMAL MA’RIFAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh;
ISMAIL YUHAIDIR
NIM: 106033101126
Pembimbing;
Dr. Sri Mulyati, M.A
NIP: 19560417.198603.2.001
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Konsep Tauhîd Syaikh‘Abdurrahman Shiddîq dalam Kitab
‘Amal Ma’rifah”: telah diujikan dalam siding munaqasah Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tangga 16 September 2010 M.
skripsi ini telah diterima sebagai salah satu Syarat memperoleh gelar Sarjana
Filsafat Islam(S.Fil.I) pada program studi Aqidah Filsafat.
Sidang Munaqasyah
Jakarta, 16 September 2010
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Tien Rohmatin, MA
NIP: 19610927.199303.1.002 NIP: 1968093 199403.2.002
Anggota,
Drs. Fakhruddin, MA Dr. Sri Mulyati, M.A
NIP: 19580714.198703.1.002 NIP: 19560417.198603.2.001
Jakarta, 24 September 2010
NO : Istimewa
Lampiran : 1 lembar
Perihal : Permohonan Mengikuti Wisuda Sarjana ke-81
Kpd Yth,
Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Salam sejahtera saya sampaikan semoga Bpk selalu dalam keadaan sehat
dan dalam lindungan Allah Swt.
Selanjutnya saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Ismail Yuhaidir
NIM : 106033101126
Fak/Jur/Smstr : Ushuluddin/Aqidah Filsafat/IX
Program : Reguler
Sudah mengikuti ujian skripsi pada tanggal 16 September 2010 dengan ini
bermaksud mengajukan permohonan mengikuti wisuda sarjana ke-81 di
karenakan sedang mengerjakan revisi skripsi dengan membutuhkan waktu sampai
tanggal 16 November 2010 sehubungan batas akhir wisuda sarjana ke-81 di
fakultas sampai tanggal 4 oktober 2010.
Demikianlah surat permohonan ini saya buat, terima kasih atas segala
perhatiannya.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Ketua Juruan Aqidah Filsafat Pemohon
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Ismail Yuhaidi
NIP: 19610927 199303 1 002 NIM : 106033101126
ABSTRAKSI
Ismail Yuhaidir dalam hasil penulisan dan penelitiannya skripsi pada
tugas ahkir syarat kelulusan UIN Syarif Hidayatullah dengan judul “ Konsep
Tauhîd Syaikh Abdurrahman Shiddik dalam kitab ‘Amal Ma’rifah,”Tokoh
Ulama’ Bangka” di bawang bimbingan Dr. Sri Mulyati, M.A.
Syaikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, Mufti Kerajaan Indragiri Riau
adalah salah seorang buyut dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau
adalah seorang ulama besar yang hidup pada tahun 1857-1939 M, sangat
terkenal di Pulau Bangka. Dia adalah tokoh ulama yang telah membawa
perubahan kultur keberagamaan di Bangka.dia juga telah banyak mencetak
kader-kader ulama di kepulauan Bangka yang sampai sekarang nilai-nilai
perjuangannya di kenang oleh banyak masyarakat, bahakan namanyapun di
abadikan di sebuah perguruan tinggi di Bangka yaitu STAIN Syaikh
Abdurrahman Shiddiq. Salah satu karya tulisnya yang populer adalah risalah
Amal Ma’rifah. Kitab ini disusun oleh beliau untuk menjadi tuntunan bagi
orang-orang yang mencari ilmu-ilmu kesempurnaan di zaman itu, sebab sedikit
sekali guru tasawuf yang alim dan mampu mengajarkan tasawuf secara benar.
Kitab ini juga sering dijadikan rujukan serta diajarkan oleh ulama atau guru-
guru agama di Bangka, dan ada kecenderungan kitab ini diidentikkan dengan
kitab al-Durr al-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, serta dianggap
bernuansa ajaran wahdat al-wujud. .
Maka dari itu sangatlah penting bagi penulis untuk mengangkat
pemikiran Sayikh Abudrrahman Shiddiq dalam karya tulisnya Amal Ma’rifah
mudah-mudahan nantinya dapat mendorong kita untuk lebih memahami hakekat
dari nilai ketuhanan yang kita jalani selama ini. Karena bagi penulis pemikikran
Syaikh Abudrraman Shiddik cukup memberikan pencerahan yang sangat luar
biasa dalam mengesakan Allah Swt.
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Untuk ini begitu besar rasa syukur yang terus menerus penuliskan haturkan
atas nikmat, rahmat dan hidayah yang telah diberikan Allah Swt kepada hamba yang
lemah ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan penuh
kemudahan dan kelancaran. Shalawat serta salam tidak lupa penulis senandungkan
kepada junjungan Nabi akhir zaman beliau bernama Nabi Muhammad Saw.
Perjalanan ini seungguh panjang namun berasa singkat sekali, tak terasa
semenjak masuk pada angkat tahun 2006 dan berakhir pada tahun 2010. Tak terasa
kini akan berakhirlah masa studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini untuk
stara S 1 pada Jurusan Aqidah filsafat.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak sekali kesulitan dan
hambatan yang dihadapi, serta penulis menyadari penulisan skripsi ini jauh dari
sempurna, masih banyak sekali perbaikan-perbaikan dalam penulisan ini. apalagi data
yang penulis kaji mengenai tokoh ini referensinya masih sangat minim sekali.
Selanjutnya penulis ingin sekali mengucapakan ribuan terimakasih tiada
terhingga dan seakan kebaikankan semuanya tak dapat saya balaskan dengan apapun
juga, mudah-mudahan apa yang telah mereka berikan selama ini dibalas oleh Allah
Swt dengan setimpal dan ilmu yang saya dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat
untuk ummat dan kemaslahatan agama. Saya tujukan ucapan terima kasih itu kepada
kepada:
1. Ibu Dr. Sri Mulyati, M.A , sebagai Dosen pembimbing skripsi, yang telah
mengarahkan sehigga terselesainya skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Zainun kamal, M.A, sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, beserta
jajarannya, pembantu Dekan I, II, III, mudah-mudahan dapat membawa Fakultas
Ushuluddin menjadi Fakultas terdepan.
ii
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.A, beserta Ibu Dra. Tien Rohmatin, M.A, baik
selaku Ketua Jurusan dan Sektretaris jurusan maupun dosen yang telah banyak
membatu dalam kelancaran proses selama kuliah.
4. Kedua orang tuaku, Ba’ ku Mi’an dan Emakku Marfu’ah, yang selalu memberi
motivasi dan do’anya yang tak terhingga, doa itu mengalir dengan begitu
derasnya bagaikan air mengalir sehingga mengantarkan daku pada gerbang
kesuksesan dalam menempuhkan studi di kampus tercinta ini.
5. Kepada ayunda-ayundaku dan abangku tercinta, Siti Aminah, Nur Laila, Zaleha,
Ridwan, terimakasihku selalu yang menyayangi adiknya yang manja ini, sehingga
termotivasilah semangat diri ini untuk terus memberikan yang terbaik buat
keluarga.
6. Tokoh masyarakat Bangka Belitung, terkhusus Masyarakat Desa Puding Besar.
Terimaksih dorongan agar saya cepat menyelesaikan studiku, agar cepat balik
kekampung halaman untuk mengabdi buat masyarakat di kampung.
7. Teman-teman seperjuanganku, Ali Ma’mun, Diah, Husen, Anwar, Euis, Mahbub,
Kholik, Reyhan, Hasbullah, Adan, Fahmi, Tofik, Farid,
8. Teman-teman seperjuanganku di PAMALAYU BABEL, Joko Wasono, Rudy,
Fahri, Zul, Budiman, Ican, Febri,
9. Keluarga Besar, KOMFUF, BEM-F Ushuluddin, BEM-J AF selamat berjuang
sampai ketemu nanti di gerbang kesuksesan yang lebih cemerlang bermanfaat
untuk agama dan bangsa nantinya, amin.
Jakarta, 02 September 2010
Ismail Yuhaidir
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFATAR ISI ......................................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. vi
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 7
C. Metode Penelitian .................................................................................. 8
D. Tujuan Penulisan ................................................................................... 9
E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10
BAB II. BIOGRAFI SYEKH ABDURRAHMAN SIDDIQ ............................... 13
A. Riwayat Hidup dan Perjuanganya ...................................................... 13
B. Karya-karya Syaikh Abdurrahman Siddiq ......................................... 29
BAB III. PENGERTIAN TAUHID DAN PERKEMBANGAN ISLAM ............ 35
A. Pengertian Tauhid dan Perkembangan Islam ...................................... 35
B. Perkembangan Islam di Bangka ......................................................... 38
BAB IV. POKOK-POKOH TAUHID SYAIKH ABDURRAHMAN
SIDDIQ .................................................................................................... 42
A. Pengertian , Syari’ah, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah ............................ 42
1. Pengertian Syari’ah ..................................................................... 42
2. PengertianTarekat ....................................................................... 43
3. Pengertian Hakikat ...................................................................... 44
4. Pengertian Ma’rifat ..................................................................... 45
B. Konsep Pengesaan Allah dengan Afal-Nya, Asma-Nya, dan
Dzat-Nya ............................................................................................ 49
1. Tauhid Af’al ................................................................................ 49
iv
2. Tauhid Asma’ ............................................................................. 55
3. Tauhid Sifat ................................................................................. 60
4. Tauhid dzat .................................................................................. 68
BAB V. PENUTUP ............................................................................................... 75
A. Kesimpulan ........................................................................................ 75
B. Saran ................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 78
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
al ال n ن gh غ sy ش kha خ a ا
ص d د b ب sh ف f و w
ض dz ذ t ت dh ق q ه h
` ء k ك th ط r ر ts ث
ي l ل zh ظ z ز j ج y
h ح ah, at ة m م ‘ ع s س
Vokal Panjang Vokal Pendek
vi
ا â = a
ى î = i
و û = u
Dibatas
â و
ى î
iyy (î Pada akhir
و uww (û Pada akhir kata
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tauhid adalah salah satu ajaran pokok Islam yang diwahyukan Tuhan
kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan, umum dikatakan bahwa ajaran
tauhid merupakan dasar dari segala dasar kebenaran, serta merupakan akar
tunggang dari ajaran Islam.1
Tauhid juga merupakan suatu kumpulan kepercayaan atau keyakinan.
Adapaun pokok-pokok keyakinan adalah iman kepada Allah SWT dan Rasul-
Nya, iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab Rasul,
iman kepada adanya Hari Kebangkitan, serta iman kepada qadla dan qadar.2
secara historis, paham ketauhidan pada dasarnya sudah ada semenjak
diturunkannya Nabi Adam as ke muka bumi ini. Namun demikian, seiring
berjalanannya proses dialektika sejarah kehidupan manusia, konsep tauhid ini
pun secara berangsur-angsur mengalami sebuah distori pemahaman yang
tentunya bertentangan dengan apa yang telah diajarkan dan dimaksudkan oleh
Nabi Adam as.3 oleh karena itu, hadirnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini
sebagai utusan Tuhan yang terakhir berupaya menyempurnakan konsep
tauhid tersebut berdasarkan nilai-nilai ajaran yang telah diwahyukan Tuhan
1 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran
Hamka dala Teoligi Islam ( Jakarta: Paramadina, 1990),h4 2 Ibn Taymiyyah, al-Aqidah al-wasathiyyah, (Beirut, Dar al-A'rabiyyah wa an-Nasrhr,
tth)h.5 3 Taib Tahir Abd Mu'in, Ilmu Kalam (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975), cet., ke-3, h.15
1
2
kepada-Nya yang belakangan terdokumentasikan dalam sebuah “kitab suci”
atau al-Qur'an.4
Dalam agama Islam, ada ajaran yang jelas dan tegas yaitu ajaran
ketuhanan Yang Maha Esa. Agama ini selalu menjelaskan bahwa seluruh
semangat ajarannya berpusat pada paham ketuhanan Yang Maha Esa, yang
secara spesifik disebut dengan istilah tauhid. Sepanjang ajaran Islam, tauhid
itulah ajaran ketuhanan Yang Maha Esa secara sebenarnya, yang
pengajarannya secara sistem dimulai dari Nabi Ibrahim, nenek moyang
bangsa Israel (Yahudi) dan bangsa Arab (terutama Quraysy).5
Awalnya, tauhid yang merupakan pokok keyakinan bagi muslim
tersebut bersumber pada nash yang bersifat naqli. Namun dalam
perkembangannya, tauhid sebagai sebuah ilmu berkembang tidak hanya
terbatas pada kawasan dalil naqli belaka, tetapi juga menambah kawasan dalil
'aqli. Perkembangan ilmu tauhid yang menggunakan landasan rasional
tersebut terkadang disebut pula sebagai ilmu kalam, ilmu tauhid (ilmu kalam)
tersebut juga memberikan suatu jalan bagi alasan rasional dan logis tentang
pokok-pokok kepercayan Islam terhadap argumentasi yang dikeluarkan oleh
para perusak aqidah Islam, seperti para orientalis yang berusaha mengaburkan
konsep tauhid dengan tujuan agar umat Islam memiliki keraguan terhadap
doktrin tauhid, sehingga diharapkan mereka menjadi murtad.
4 Taib Tahir, Ilmu kalam, h.16 5 Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 199),
h.xvi.
3
Dalam urusan menganut sebuah paham keislaman. Islam tidak
membolehkan ada pemaksaan dalam bentuk apapun. Tugas Islam adalah
menyeru kepada kebaikan, sepanjang ajaran Islam adalah berarti memenuhi
konsekuensi paham tauhid secara benar, menurut keyakinan Islam, Tuhan
yang Maha Esa sendiri mengajarkan, melalui wahyu-Nya, yaitu al-Qur'an,
bahwa kita harus menganut prinsip tidak boleh ada paksaan dalam agama.6
Tauhid merupakan bidang kajian penting dalam Islam yang mengupas pokok-
pokok agama (ushul ad-din). Hal tersebut mencakup kumpulan kepercayaan
('aqaid) yang harus diimani oleh setiap Muslim. Dengan katalain, tauhid
merupakan aspek penting bagi ummat Islam.
Tauhid memiliki hubungan yang erat dengan aspek Ibadah. Ibadah
dalam arti sebagai suatu penghambaan diri kepada Allah SWT dengan
menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal tersebut juga
merupakan hakikat dari agama Islam, karena makna Islam adalah penyerahan
diri kepada-Nya dengan penuh rasa kerendahan diri dan penuh rasa cinta.
Ibadah juga berarti segala perkataan dan perbuatan, baik secara lahir maupun
batin, yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT. 7
Berangkat dari hal tersebut, perlu kiranya kita mengetahui masuknya
Islam di Indonesia agar kita dapat memahami perkembangan dan penyebaran
Islam di ranah Indonesia yang kita tempati ini. Ada beberapa pendapat
mengatakan bahwa yang membawa masuknya Islam ke Indonesia adalah
6 Nurcholis Madjid, Cita-cita Politik Islam era Reformasi, h. 77 7 Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab, kitab at-Tauhdi allazi huwa haq allah 'ala al-Abid,
(Riyadl : Departemen Urusan Agama Islam, Dakwah, dan Irsyad, 1995). h. 11
4
orang-orang India, ada yang mengatakan orang Persia, ada yang mengatakan
orang Arab. Masing-masing pandangan memiliki argumentasi yang layak
diperiksa dan teliti. Oleh karena permasalahan kita adalah masuknya tasawuf
yang terkait dengan para pelopor dakwah Islam yang pertama itu, maka kita
perlu memiliki informasi mengenai ini, baik kebangsaan mereka, aliran
keagamaan, maupun tarekat, dan metode yang digunakan untuk
memperkenalkan Islam kepada para penduduk di wilayah itu.8
Sedangkan dalam perkembangan studi-studi Islam di Indonesia,
terdapat kecenderungan yang kuat bahwa dikotomi Islam tradisional-modern
digunakan sebagai alat analisis. Tidak jarang, kajian Islam tradisional
cenderung dikesampingkan atau paling tidak, kurang mendapat perhatian
yang profesional. Padahal, dalam kenyataan, meskipun tidak ditemui data
statistiknya, jumlah penganut Islam tradisonal di Indonesia jauh lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penganut Islam Modern. Ironisnya lagi,
penelitian tentang Islam tradisional seringkali menggunakan perspektif dan
standard ukuran Islam Modern sehinga melahirkan kekeliruan dan
kesalahpahaman mengenai Islam tradisonal itu sendiri terkhusunya
penyebaran agama Islam di kepulauan Bangka.9
Meskipun beberapa studi tentang Islam tradisonal sudah dilakukan
tetapi kebanyakannya masih berpendirian bahwa Islam tradisonal itu
merupakan entitas yang monolik, tanpa menunjukkan variasi yang terdapat di
8 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia,terj,, Depok, Pusataka IIMaN, 2009,hl 13. 9 Zulkifli, Kontinuitas Islam Tradisional di Bangka, Sungailiat, Shiddiq Press, 2007, hl
20.
5
dalamnya. Hal ini menunjukkan kekurangan nuansa analisis sehingga Islam
tradisional hanya menunjukan kepada suatu pemahaman dan praktik
keagamaan yang kontradiksi dengan Islam modern. Padahal, perbedaan
kondisi sosiokultural suatu masyarakat akan melahirkan corak Islam
tradisional tersendiri.
Dari sini perlu kiranya penulis mengkaji Konsep Tauhid Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq serta pengembangan Islam di Bangka. Dapat dilihat
begitu besar pengaruh ajaran tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bagi
masyarakat kepulauan Bangka. Hal tersebut dapat dilihat dengan
berlangsungan kegiatan keagamaan di Bangka. Dalam hal ini penulis sedikit
menguraikan tentang konsep Tauhid Syaikh Abdurraman Shiddik dalam kitab
Amal Ma’rifah tasawuf yang beliau terapkan dalam metode dakwahnya.
Tokoh ulama yang bernama Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq al-Banjari
cukup dikenal di kalangan masyarakat Kalimantan terkhususnya di kepulaun
Bangka, sebab beliau merupakan salah seorang zuriat ulama besar
Kalimantan Syaikh Muhammad ‘Arsyad al-Banjari, dan salah satu ulama
yang masuk dalam entri Ensiklopedi Islam Indonesia.
Beliau adalah seorang da‘i yang gigih, pendidik yang giat, mufti yang
aktif, penerjemah, ulama yang warâ’, sufi yang tawadhu, dan juga penyair
kondang yang pertama sekali memperkenalkan tasawuf di tanah Melayu
terkhususya di Bangka. Syair-syair yang beliau susun mampu memukau
orang-orang di zamannya, sehingga melalui syair-syair itu beliau juga
berdakwah dan berusaha meluruskan aliran kalam dan pemahaman tauhid
6
yang cenderung menyimpang, disebabkan para tokohnya yang tidak memiliki
dasar agama yang kuat dan hanya bertumpu pada khayalan dan alam
kebatinan saja. Selain aktif berdakwah, ‘Abdurrahman Shiddîq juga aktif
menulis, di antara karyanya yang terkenal adalah Amal Ma’rifah dan
Syajaratul Arsyadiyah.10
Latar belakang ditulisnya kitab Amal Ma’rifah ini berangkat dari
banyaknya orang yang menuntut ilmu ke berbagai wilayah Nusantara guna
mencari ilmu-ilmu “kesempurnaan” dalam rangka mencapai martabat seorang
muslim yang betul-betul taat kepada Allah SWT. Namun pada saat itu banyak
aliran kalam dan tasawuf yang cenderung menyimpang, karena tidak
menempatkan porsi syari’ah secara benar sehingga masyarakat cenderung
menjadi fatalis (Jabari),
Kurangnya pemahaman suatu ajaran atau gagasan dari sebuah kitab
tersebut, dapat merusak cara pemahaman mengenai paham tasawuf seseorang
yang telah mereka konsepkan, bila saja pemahamanya salah maka akan
berdampak negatif padahal konsep tasawuf yang mereka jadi rujukan tidak
terlepas dari al-Qur‘an dan Hadits. Oleh karena itu, isi kitab tersebut perlu
dikaji lebih menyeluruh lagi, sehingga diperoleh kejelasan yang lebih agar
dapat dipertanggungjawabkan, dan terhindar dari kesalahan dalam memvonis
ajaran seorang ulama. Karena bila hal ini sampai terjadi akan rusaklah
reportasi seorang ulama di hadapan manusia.
10 M. Arrafie Abduh, Corak Tasawuf Abdurrahmad Shiddîq dalam Syair-Syairnya, Jurnal
Penelitian Kutubkhanah. IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru Riau tahun 2000/2001.
7
Telah tertulis dalam kitab Amal Ma’rifah nampaknya bahwa Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq mengemukakan tentang konsep tauhid dan sufistik
yang bernuansa Akhlaki ‘Amali paling jauh sampai kepada wahdah al-syuhûd,
akan tetapi tidak sampai kepada wahdah al-wujûd meskipun ada sejumlah
ungkapan yang mendekati ke arah itu. Hal ini karena pada saat itu setting
sosial masyarakat banyak diwarnai paham wahdah al-wujûd, yang terlihat
dengan banyaknya ajaran-ajaran yang mengarah kepada paham tersebut di
masyarakat.11
Karena itu melalui penulisan skripsi ini, penulis berusaha untuk
memaparkan kehidupan ‘Abdurrahman Shiddîq, kemudian naskah kitab yang
menjadi objek penelitian, ajaran-ajarannya serta konsep tauhid sufistik dan
tasawuf yang terkandung dalam risalah Amal Ma’rifah tersebut. Kajian
seperti ini sepengetahuan penuli sangat sedikit sekali orang untuk menggali
kilasan sejarah perjuangan ulama lokal dan memiliki kemampuan yang luar
biasa seperti halnya ulama-ulama nusantara yang menyebarkan dakwahnya di
ranah negeri yang memiliki corak ragam suku dan memiliki budaya yang
berbeda-beda.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Penulis membatasi hanya pada permasalahan Tauhid Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq dalam kitab Amal Ma’rifah.
11 http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010
8
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, maka
dapat dirumuskan: “Bagaimana Konsep Tauhid Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq dalam kitab ‘Amal Ma’rifah?”
C. Metode Penelitian
Dalam melakukan pembahasan metode yang di pakai adalah metode
penelitian yang bersifat kepustakaan (Library Research), yaitu
mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan seorang tokoh yang diteliti,
baik buku-buku karyanya sendiri sebagai data primer, maupun karya orang
lain sebagai data sekunder.
Sumber primer adalah kitab Amal Ma’rifah buku ini menerangkan
beberapa pendapat ahli ilmu tasawuf dan beberapa konsep tauhid yang beliau
ajarkan, buku ini dicetak pada tahun 1332 H. Sedangkan sumber sekunder
adalah Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
Mufti Iindargiri oleh H. M. Syafei Abdullah. Ensiklopedi Islam oleh dewan
redaksi Ensiklopedi Islam. Seminar Hasil Penelitian Dosen Tahun 2007,
Sya’ir Iabarah dan Khabar Qiyamah, (kajian Teks dan Kontekstual melalui
pendekatan Teosentris dan Antroposentris).
Dalam penulisan ini penulis mengunakan metode deskriptif analitis,
yaitu sebuah penelitian yang bertujuan untuk Menelaah kitab, yaitu
mempelajari secara mendalam kitab Amal Ma’rifah tentang isi ajaran yang
terkandung dalam kitab tersebut, mendeskripsikan isi kitab, maksudnya
menggambarkan atau menyajikan isi kitab apa adanya. Deskripsi isi kitab ini
9
dilakukan dengan mengemukakan pokok-pokoknya saja, sesuai dengan obyek
yang diteliti. Dengan membandingkan ajaran tasawuf ‘Abdurrahman Shiddîq
dengan teori-teori tasawuf terdahulu, maka akan diketahui ke arah mana
kecenderungan corak, konsep atau pemikiran tauhid sufistik dan tasawuf
‘Abdurrahman Shiddîq. Adapun tehnik penulisan ini, penulis menggunakan
buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) oleh
Penerbit CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan ke-II, April 2007.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan karya ini sebagai sebuah tugas akhir untuk
melengkapi persyaratan kelulusan studi Strata Satu (SI), adalah bahwa
penulis mencoba memahami pemikiran Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
mengenai ajaran tawasuf yang berkembang di Bangka. Sehingga nantinya
dapat disusun mengenai ajaran beliau tentang dunia kesufian agar dapat
memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia pemikiran. Lebih penting
lagi penulis ingin mengangkat ulama daerah yang namanya belum begitu
tenar seperti halnya ulama-ulama tasawuf nusantara.
E. Tinjauan Pustaka
Adapun karya-karya yang membahas tentang Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq sepengetahuan penulis adalah:
Hasil penelitian Bahran Noor Haira berjudul Kitab Amal Ma’rifah,
Sebuah Interpretasi Baru, (1996) mengungkapkan pemahaman baru dan
10
berisikan bantahan terhadap anggapan orang yang menilai bahwa
‘Abdurrahman Shiddîq penganut tasawuf wahdah al-wujûd.
Tulisan M. Arrafie Abduh berjudul “Corak Tasawuf ‘Abdurrahmad
Shiddîq dalam Syair-Syairnya”, yang dimuat dalam Jurnal Penelitian
Kutubkhanah, Volume III, diterbitkan oleh IAIN Sultan Syarif Qasim
Pekanbaru Riau tahun 2000/2001, mengkaji pemikiran tasawuf
‘Abdurrahman Shiddîq al-Banjari lewat syair-syair yang telah beliau tulis.
Tulisan Muhammad Nazir berjudul “Kontroversi Sikap Ulama
Tentang Eksistensi Ilmu Kalam dan Pandangan Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq al-Banjari”, yang dimuat dalam Jurnal Khazanah IAIN Antasari,
Volume II, Nomor 3, Mei-Juni 2003, mengkaji dan mengungkapkan tentang
pendapat dari ‘Abdurrahman Shiddîq terhadap eksistensi dan urgensi Ilmu
Kalam, melalui salah satu karya tulisnya berkenaan dengan masalah tauhid,
yang berjudul Aqaid al-Iman.
Namun dalam penulisan ini saya berbeda dengan penulis-penulis
sebelumnya, adapun perbedaannya saya lebih menekankan pada pemikiran
Tasawuf beserta konsepnya dalam pengenalan kepada Allah itu sendiri
sehingga menguatkan keyakinan bagi siapa yang mendalami kitab Amal
Ma’rifah ini nantinya. Dan sedikit penulis mengangkat kisah perjuangan
beliau di kepulauan Bangka.
F. Sistematika Penulisan
11
Dalam penulisan skripsi, penulis membagi pembahasan ke dalam lima
bab, masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan menegnai topik
tertentu, yaitu:
Bab I Pendahuluan, dimaksud untuk memperjelaskan latar belakang
masalah yang menjadi inti pokok bahasan dalam skripsi ini, arah pembahasan
dan tujuan yang hendak dicapai, pemfokusan pada segi-segi tertentu dalam
pembahasan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sehingga jelaslah
apa yang hendak diditeliti oleh penulis maksud dan tujuan dari penelitian ini.
Bab II Pemaparan tentang biografi Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
serta menjelaskan tentang Riwayat hidup beliau, sedikit mengungkapkan
perjuangan beliau di Bangka untuk menyebarkan syi’ar Islam dan banyak
sekali sekali karya-karya yang beliau tuliskan yang bisa di jadikan rujukan
bagi mereka yang mau mengkaji pemahaman Islam secara mendalam.
Bab III dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian tauhid itu
sendiri dan perkembangn Islam di Bangka. Sehingga dengan ini dapatlah di
mengerti begitu panjangnya sejarah perjalan Islam yang pada akhirnya di akui
oleh banyak penduduk dunia, terkhususnya di Indonesia bila di lihat dari
sejarah masuknya ajaran Islam dengan begitu kentalnya. Sama halnya ketika
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menyebarkan konsep tawasuf yang beliau anut
sangat banyak sekali tantangan yang beliau hadapi untuk menyebarkan
Syarî‘ah Islam.
Bab IV pokok ajaran tauhid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam
sebuah karyanya Amal Ma’rifah. Di sini penulis akan sedikit memaparkan
12
tentang pengertian Syari’at, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah. Dan lebih pentingnya
lagi pada bab inilah kita akan mengetahui konsep dan pemikiran tasawuf yang
di jalankan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam kitabnya Amal
Ma’rifah. Mudah-mudahan nantinya dapat memberikan pencerahan bagi
siapa saja yang membacanya.
Bab V penutup ini melingkupi kesimpulan yang diambil dari ini
pembahasan tersebut dan beserta saran-saran. Yang mana nantinya akan dapat
dimegerti secara detail dari bab perbab sehingga memperoleh sebuah
kesimpulan dari sekian banyak pembahasan.
BAB II
BIOGRAFI SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ
A. Riwayat Hidup dan Perjuangannya
1. Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bin
Muhammad Afif bin Muhammad bin Jamaluddin al-Banjari.1 Ia
dilahirkan di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan pada
tahun 1857 M pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin
Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), dengan nama
‘Abdurrahman. Kemudian saat menuntut ilmu di Mekkah, oleh salah
seorang gurunya Sayid Bakri Syatha, seorang ulama terkenal yang menulis
kitab fiqh terkenal I‘anah al-Thalibin memberi nama tambahan dengan
“Shiddîq” pada namanya, sehingga menjadi ‘Abdurrahman Shiddîq.2
Tidak ada informasi yang pasti tentang mengapa sang guru memberikan
gelar itu kepadanya, tetapi cerita yang berkembang hingga sekarang ialah
bahwa itu merupakan tanda penghargaan atas prestasi yang dicapaikannya
dalam belajar, selain karena akhlaknya yang luhur.
Nama ayahnya adalah H. Muhammad ‘Afif bin Mahmud bin H.
Jamaluddin, sedangkan nama ibunya adalah Shafura binti H. Muhammad
Arsyad (Pagatan). Silsilah dari pihak ayahnya, bertemu pada Syeikh
1 D. Sirojuddin Ar., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Hoeve,1999), cet. Ke-6, h.27.
2 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, (Pekan Baru: CV. Serjaya-Jakarta, 1982), h. 19.
13
14
Muhammad Arsyad al-Banjari dari istrinya yang bernama Gowat (Go
Hwat Nio) seorang keturunan Cina. Dari istrinya ini Syaikh Muhammad
Arsyad memiliki enam orang anak, di antaranya adalah Khalifah H.
Zainuddin. H. Zainuddin kawin dengan Ambas melahirkan tujuh orang
anak, satu di antaranya bernama Sari. Sari bersuamikan Mahmud dan
melahirkan tujuh orang anak, satu di antaranya adalah H. Muhammad
‘Afif, orang tua dari ‘Abdurrahman Shiddîq. Silsilah keluarga dari pihak
ibu juga bertemu pada Syeikh Muhammad Arsyad dari istrinya yang
bernama Bajut. Bajut melahirkan anak yang bernama Syarifah. Syarifah
bersuamikan Usman dan melahirkan Muhammad As’ad yang kawin
dengan Hamidah dan melahirkan 12 orang anak. Salah satu di antara anak
Muhammad As’ad dan Hamidah bernama Muhammad Arsyad.
Muhammad Arsyad beristrikan ‘Ummu Salamah dan melahirkan tujuh
orang anak, satu di antaranya bernama Shafura dan Shafura inilah ibu dari
‘Abdurrahman Shiddîq.3
2. Silsilah keturunan
Adapun keturunan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq merupakan
keturunan kelima dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1770-1812
M), pengarang kitab Sabil al-Muhtadin kitab agama yang terkenal
dikalangan ummat Islam pada zaman itu.4 Adapun dilihat dari keturunan
ayahnya, ia masih termasuk keluarga sultan Banjar. Ibunya Safura binti
3 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 19
4 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 19
15
Syaikh H. Muhammad Arsyad bin H. Muhammad As’ad, adalah cucu
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, penulis kitab Sabilal al-Muhtadin
(Jalan- Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk)5. Kemudian apabila dilihat
dari pihak neneknya, ‘Ummu Salmah, ‘Abdurrahman Shiddîq merupakan
generasi keempat dari Syaikh Muhammad Arsyad, yakni ‘Abdurrahman
Shiddîq bin Shafura bin ‘Ummu Salamah binti Pangeran Mufti H. Ahmad
bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Di lihat dari keturunan ayahnya, ia masih termasuk keluarga Sultan
Banjar. Selain punya zuriat ke atas yang bertemu pada Syaikh Muhammad
Arsyad, ‘Abdurrahman Shiddîq juga banyak melahirkan zuriat ke bawah
melalui istri-istri yang pernah dinikahinya yang berjumlah sembilan orang,
dan memiliki anak berjumlah 35 orang.
Menurut pengakuannya sendiri dalam Risalah Syajarah al-
Arsyadiyah, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dan sejumlah anaknya. Isteri
dan anak-anaknya adalah sebagai berikut : 1. Nur Simah, di Mekkah, tidak
mempunyai anak; 2) Fatimah di Belinyu tidak mempunyai anak; 3)
Rahmah binti H. Usman mempunyai anak dua orang tetapi keduanya
meninggal dunia dalam usia anak-anak; 4) Hajjah Salmah Amnati,
mempunyai dua orang anak tetapi keduanya meninggal dunia dalam usia
anak-anak; 5) Halimah binti Idris di Muntok Bangka, mempunyai anak
delapan orang yaitu Shafura, Siti Hannah, Habibah, Raihanah, Hawa,
Hamid Shiddîq, Siti Sarah, dan Siti Rahil; 6) Zulaikha, di Sungaiselan,
5 D. Sirojuddin Ar., Ensiklopedi Islam h. 27
16
mempunyai anak satu orang yaitu ‘Ummu Salmah; 7) Hasanah binti
Muhammad Thayib, di Puding Besar Bangka, mempunyai anak delapan
orang, yaitu Muhammad As’ad, Hafsah, Saudah, Muhammad Fatih,
Shafiyah, Siti Ma Khair, Mahabbah, dan Afifah; 8) Aminah binti
Muhammad Khalid mempunyai anak delapan orang, yaitu Aisyah,
Muhammad Amin, Mahmud, Maimunah, Mariyah al-Qibtiyah, Zainuddin,
Zainab, dan Muhammad Jamaluddin; 9) Fatimah binti H. Muhammad
Nasir mempunyai anak enam orang, yaitu Khajidah, Balqis, Muhammad
Thayib, Abdullah, Muhammad Arsyad, dan Ummu Hani. Anak keturunan
Syaikh Muhammad Shiddîq tersebar di berbagai daerah tempat beliau
pernah lama menetap seperti di Bangka dan Riau.
Dapat dilihat bahwa keturunan beliau diakui dalam
ketangguhannya dalam menyebarkan syi’ar Islam, wajar bila saja sifat-
sifat pengabdian untuk agamanya terus mengalir hingga keanak cucunya
sampai sekarang ini.6
3. Pendidikannya
‘Abdurrahman Shiddîq sewaktu kecilnya tidak sempat lama diasuh
oleh ibunya, sebab di usia baru dua bulan ibunya Shafura meninggal dunia.
Selanjutnya beliau diasuh oleh adik ibunya (Mak Ciknya) bernama
Sa’idah. Sa’idah adalah seorang wanita yang termasuk alim pada masa itu
dan ‘Abdurrahman Shiddiq dididik mengaji dan mengenali Islam sedikit
6 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, (Sungailiat Bangka: Siddiq Press, 2006) h. 12.
17
demi sedikit.7 Dalam masa pengasuhan ini dia tetap dipelihara dan dijaga
oleh kakek dan neneknya yang sangat menyayangi beliau. Menjelang usia
satu tahun, kakeknya yang bernama Mufti H. Muhammad Arsyad bin
Mufti H. Muhammad As’ad di panggil kehadirat Allah Swt. Sejak
kepergian kakeknya untuk selama-lamanya saat itu hingga dewasa
‘Abdurrahman tinggal dan diasuh oleh neneknya yang bernama ‘Ummu
Salamah.
‘Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang berilmu agama
dan taat beribadah. Dalam pemeliharaannya inilah ‘Abdurrahman Shiddîq
diajari membaca al-Quran dan setelah menjelang umur dewasa dia disuruh
belajar oleh neneknya kepada guru-guru agama yang ada di Kampung
Dalam Pagar guna memperluas pengetahuan agamanya.8
Setelah ‘Abdurrahman Shiddik menginjak dewasa, ia mulai belajar
bahasa Arab dengan pamannya H. A. Rahman Muda dan sudah ada tanda-
tanda kecerdasan yang ia miliki, sempat pada waktu itu ia disuruh untuk
melanjutkan studinya keMakkah namun karena masalah biaya ia menunda
keberangkatanya sehingga ia melanjutan studinya ke Padang (Sumatera
Barat). Sewaktu belajar agama di Padang ini,9 ‘Abdurrahman Shiddîq
sempat berguru dengan H. Muhammad Sa‘id Wali, H. Muhammad Khotib
dan Syaikh H. ‘Abdurrahman Muda. Selama belajar di Padang
7 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri h. 19.
8 Syaik ‘Abdurrahman Shiddîq, Sejarah Hidup, diakses pada 10 juli 2010, dari: http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36.
9 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri h. 20.
18
‘Abdurrahman Shiddîq bekerja membantu pamannya sebagai penjual emas
yaitu sebagaimana lazimnya orang-orang Banjar Martapura yang terkenal
keahlian mereka membuat barang-barang perhiasan pedagang emas, perak
serta berlian. Untuk melaksanakan cita-cita melanjutkan studinya ke
Mekkah oleh pamannya disuruh berdagang emas dan perak ke Barus dan
Natal (Tapanuli Selatan). Setelah beberapa lama ia menjual barang dagang
kepunyaan pamannya itu pulang pergi Padang-Tapanuli Selatan dengan
mendapatkan hasil lumayan. Di samping itu juga ia sempat pula mengajar
di Natal pada sebuah Surau. Disana ia mengajar kitab “Sabil al- Muhtadin”
kitab ini adalah karangan kakeknya Syaikh H. Muhammad Arsyad Banjar.
Namun ia tidak dapat untuk berdiam di Natal walaupun ia dipinta untuk
mengajar dan menetap.hal ini terkendala ia masih memiliki keinginan
untuk melanjutkan belajarnya ke tanah suci Makkah.10
Setelah menamatkan pendidikannya di Padang tahun 1882, tidak
lama kemudian sekitar pada tahun 1889 beliau pergi menuntut ilmu ke
Mekkah. Ada versi mengatakan beliau berangkat ke tanah suci tahun 1887
dari pulau Bangka Sumatera Selatan yang menjadi tempat kediamannya
saat itu.11 Sebelum menuju tanah suci beliau singgah di Mentok (Bangka)
untuk minta izin dan do’a restu dari ayahandanya yang telah bermukim di
Mentok.
10 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri h. 20.
11 Syaik ‘Abdurrahman Shiddîq, Sejarah Hidup, diakses pada 10 juli 2010, dari: http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36.
19
Di Mekkah ia menuntut ilmu kepada para ulama besar yang
membuka halaqah-halaqah pengajian agama di Masjidil Haram. Guru-
guru tempatnya belajar di antaranya adalah Ahmad Khatib Minangkabau
(dikenal sebagai pembaharu Islam di Sumatera Barat) Syaikh Said Bakri
Syatha, Syaikh Said Babasyid, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh
Muhammad Nawawi al-Bantani12. Selain itu ‘Abdurrahman Shiddîq juga
giat mengaji agama di halaqah-halaqah yang ada di Masjid Nabawi di
Madinah. Sedangkan teman yang seangkatan dengan beliau sama-sama
mengaji di Mekkah pada masa itu ialah Ahmad Khatib (Minangkabau),
Ahmad Dhamyati (Mufti Mekkah tahun 1912). Syaikh ‘Abdullah Zamawi,
Syaikh Said Yamani, Syaikh Mukhtar, Abdul Qadir Mandailing, Syaikh
‘Umar Sumbawa, Awang Kenali (Kelantan Malaysia), Hasyim Asy’ari
(Jombang), Syaikh Sulaiman Arrasuli ( Candung Bukittinggi) dan Syaikh
Tahir Jalaluddin.13
‘Abdurrahman Shiddîq tinggal di tanah suci Mekkah dan Madinah
selama tujuh tahun, lima tahun menuntut ilmu dan dua tahun mengajar
(tahliah) di Masjidil Haram. Sebelum pulang ke tanah air untuk
menyampaikan dan mengamalkan ilmu yang diperoleh atas izin dari
pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, ‘Abdurrahman Shiddîq sempat pula
12 D. Sirojuddin Ar., Ensiklopedi Islam h. 27. 13 Syafie ‘Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik
Mufti Indragiri, h. 20.
20
mengajar di Masjidil Haram dengan ilmu yang ia dapatkan selama belajar
di sana.14
4. Kembali ke Indonesia
Kurang lebih dua tahun ia mengajar di masjidil haram Mekkah,
beliau mengambil keputusan kembali ke tanah air (Indonesia). Mengingat
di Indonesia pada masa itu masih terasa kekurangan guru agama, sedang di
Mekkah sudah cukup banyak orang alim. Beliau berpendapat bahwa bila
ilmu yang ia dapatkan selama di tanah suci akan lebih besar manfaatnya
bila diamalkan di tanah air sendiri. Apalagi banyak dorongan sahabat-
sahabat di tanah air untuk kembali ke tanah air dalam rangka melawan
penjajahan Belanda yang bertujuan untuk memecahkan akidah ummat
Islam.15
Dalam kepulangannya ke tanah air sebagian sahabatnya kurang
setuju, terutama Syaikh Ahmad Khatib. Setelah selang beberapa waktu
terjadilah keduanya saling tukar pikiran bagaimana menyingkapi akan hal
ini sehingga mereka berdua bersepakat untuk kembali ketanah air. Setiba
di Jakarta keduanya berpisah menuju daerahnya masing-masing. Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq menuju Kalimantan Selatan (Martapura).
Sedangkan Syaikh Ahmad khatib menuju ke kota padang.16 Setelah
delapan bulan berada di Kalimantan Selatan, Syaikh ‘Abdurrahman
14 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Sejarah Hidup, diakses pada 10 juli 2010, dari: http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36.
15 Syafie ‘Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 21.
16 Syafie ‘Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 21.
21
Shiddîq berangkat ke Batavia atau Betawi. Selama tiga bulan di sana.
Kepergian dia kesana untuk menemui beberapa tokoh Sarikat Islam
seperti H. Samanhudi dan ‘Umar said Cokroaminoto dalam rangka
menjalin kerja sama dalam perjuangan meningkatkan martabat bangsa dan
perjuangan memperoleh kemerdekaan melalui dakwah di daerah
pedalaman dan terbelakang walaupun dia sendiri tidak menjadi anggota
organisasi tersebut.17
Kemudian ia pergi ke Martapura (Kalimantan Selatan). Kurang
lebih delapan bulan. Selama berada di Martapura beliau mengunjungi
makam kakeknya H. Muhammad Arsyad sekaligus mengunjungi sanak
famili dan handai taulan. Setelah sekian bulan ia tinggal di Martapura
(Kalimantan Selatan) ia melanjutkan perjalanan ke Jakarta (1898) waktu
itu Jakarta masih bernama Batavia. Ia menetap di Jakarta sekitar tiga bulan
dan tinggal di rumah Syaikh Usman, beliau ditawarkan kedudukan mufti
oleh Syaikh Usman untuk mengantikan kedudukan beliau. Namun tawaran
ini ditolaknya karena ingin menetap di Bangka bersama ayahanda dan
famili beliau.18
5. Berjuang dan Berdakwah di Bangka
Setelah sekian lama ia mendalami ilmu Agama ia memulai
dakwahnya dengan mengajar ilmu agama di Mentok suatu kota kecil di
pulau Bangka. Beliau berdakwah dari perkampungan pekampungan yang
17 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, (Sungailiat Bangka: Siddiq Press, 2006) h. 20.
18 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 22.
22
berbeda-beda adapun sarana yang digunakan yaitu masjid, sesuai dengan
tradisi penyebaran Islam di daerah Bangka tersebut. Adapun tujuan beliau
berdakwah untuk memberantas syirik yang sedang melanda di daerah
tersebut dan meluruskan akidah yang sedang dipercayai masyarakat
setempat. Untuk menjawab tantangan tersebut beliau membuat sebuah
tulisan yang ia beri nama “Amal Ma’rifah” buku ini selesai ditulis pada
tahun 8 Rabiulawal 1332 H di Sapat Indragiri. Kitab ini ditulis sebagai
tangkisan terhadap yang merusak akidah Islamiyah yang diperlengkap
dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.19
Sebelum ke Bangka, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq berkunjung ke
Batavia untuk bertemu temannya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau,
yang akan kembali ke Mekkah. Pertemuan ini mereka manfaatkan untuk
membahas tentang cara terbaik membina kehidupan ummat Islam di tanah
air. Konon dia tinggal di kediaman Sayid Usman bin Yahya selama di
Batavia. Sayid Usman adalah mufti Batavia dan tokoh kontroversial. Dia
adalah teman dekat Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah kolonial
Belanda untuk urusan pribumi dan Arab. Ada kabar bahwa Sayid Usman
bin Yahya menawarkan jabatan mufti Batavia kepada Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq mengantikan dirinya tetapi Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq menolak jabatan tersebut. Mungkin berkat hubungan pertemanan
19 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 24.
23
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dengan Sayid Usman inilah yang
menyebabkan tersebar luasnya karya-karya Sayid Utsman di Bangka.20
Kedatangan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq di Bangka semula tidak
mendapat sambutan baik dari ayahnya karena ayahnnya telah mendengar
kabar yang menyatakan bahwa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tidak belajar
secara serius selama berada di Mekkah.21 Selama beberapa bulan berada di
Muntok, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tidak melaksanakan kegiatan
pengajaran dan dakwah sama sekali kecuali tinggal di rumah dan
bersilaturrahmi pada keluarga dan tetangga. Beliau tidak disuruh mengajar
karena ayahnya belum begitu yakin bahwa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
dapat menguasai kitab-kitab yang diajarkan ayahnya. Hal ini bermula
ketika ayahnya jatuh sakit masyarakat mengusulkan agar Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq menggantikan ayahnya mengajar dipengajian
tersebut. Setelah meneruskan kitab-kitab yang diajarkan yang diajarkan
ayahnya. Dengan pengalaman mengajarnya di Mekkah dan didiskusinya
dengan para ulama di Mekkah, Martapura, maupun Batavia, Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq dapat menjelaskan materi kitab dengan baik dan
menarik sehingga pengajian pun semakin bertambah. 22 Dan ketika
ayahnya H. Muhammad Afif mendengar secara diam-diam baru dia yakin
akan kemampuan anaknya. Sehingga akhirnya dengan besar hati H.
20 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 50.
21 Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 20.
22 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 20.
24
Muhammad Afif memberikan kepercayaan kepada anaknya Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq untuk meneruskan pengajiannya.
Semua kegiatan dakwah dan pendidikan agama Islam yang
dilakukan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq semula berpusat di Muntok.
Tetapi kemudian kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di kota-kota dan di
desa-desa di Bangka seperti Belinyu, Sungaiselan, Kemuja, Kundi, Puding
Besar dan Kotawaringin. Kegiatan dakwah dan pendidikan tersebut
dipusatkan di masjid-masjid dan rumah-rumah penduduk karena pada
masa itu belum terdapat lembaga pendidikan formal di Bangka. Kondisi
seperti ini berbeda dengan Jawa yang terkenal dengan lembaga pesantren,
atau dengan Aceh yang terkenal dengan dayah dan Minangkabau dengan
suraunya. Namun demikian, pada masa Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
inilah penyebaran Islam berlangsung dengan pesat. Islam semakin
berpengaruh dan berakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Bangka.23
Sistem yang membedakan penyebaran dakwah keislaman di
Bangka dan di daerah Jawa.Di Jawa biasanya penyebaran Islam diadakan
di pesantren-pesantren sehingga sampai sekarangpun sistem ini terus
berkembang dan sudah banyak diakui pemerintah sistemnya. Sedang pada
masa itu penyebaran Islam di Bangka biasanya di adakan dari rumah ke
rumah dari satu masjid ke masjid lainnya. Adapun alasan kenapa pengajian
23 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 21.
25
itu berpindah-pindah karena pada masa itu di Bangka belum ada
pendidikan formal seperti sekarang, namun sekarang di Bangka telah
banyak berdirinya pesantren-pesantren seperti di Jawa. Seperti pondok
pesantren H. Nawi yang lebih condong pada pengajaran kitab kuning atau
salafiahnya, dan pondok al-Ikhlas di Batu Rusa dan pondok pesantren
Darur Abror Desa Kace, dan Pondok Pesantern Salafiah Bahrul Ulum
Desa Kimak. Kegiatan dakwah Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq bermula di
Muntok. Tetapi kemudian kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di kota-
kota dan di desa-desa di Bangka seperti Belinyu, Sungaiselan, Kemuja,
Kundi, Puding Besar, dan Kotawaringin.
Selama di Bangka beliau juga aktif menulis brosur-brosur atau
sekarang kita kenal dengan bulletin yang berisikan tentang masalah
Tauhid, brosur ini oleh beliau dikirimkan ke Kalimantan dan juga ke luar
negeri seperti Malaysia dan Singgapura. Dengan dituliskannya bulletin ini
semakin membantu beliau dalam menyebarkan dakwah Islamiyah di
kepulauan Bangka. Diceritakan oleh salah satu cucunya (Ibu Sahrum di
Pudingbesar 20 Mei 2010) dari bebrapa muridnya adalah anak-anak
pegawai pemerintah kolonial Belanda sehingga mempermudah Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq melaksanakan kegiatan penyebaran Agama Islam.
Bahkan ia mendapat “surat keterangan” yang berisi izin untuk
mengajarkan ilmu-ilmu Agama Islam. Dengan demikian, Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq dapat secara leluasa berdakwah dan mengajar ke
seluruh pelosok pulau Bangka. Beliau tinggal di Bangka kurang lebih lima
26
belas tahun sebagai ulama dan sebagai guru Agama dan akhirnya
meninggalkan Bangka untuk melanjutkan dakwahnya ke wilayah yang
lebih luas menuju kawasan Singapura dan Semenanjung Tanah Melayu.
Sebelum berangkat meninggalkan pulau Bangka (1910) H.
Abdurraman Shiddîq telah menyelesaikan sebuah buku sya’ir yang
bernama “Sya’ir Ibarah dan Khabar Kiamat” sebagai kenang-kenangan
bagi masyarakat Bangka dan sekaligus untuk mengalihkan kegemaran
masyarakat pada cerita-cerita dongeng yang tidak bermanfaat pada masa
itu.
Ia juga menunjuk sepupunya, H. Muhammad Khalid, sebagai
penggantinya menjadi guru agama dan melimpahkan kepercayaan kepada
beberapa ulama untuk berdakwah dan mengajarkan agama Islam ke
berbagai pelosok Pulau Bangka, beberapa murid Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq kemudian menjadi ulama terkenal di Bangka dan bahkan menjadi
tokoh karismatis yang disegani pemerintah kolonial belanda24. Selain H.
Ada juga seorang ulama bernama H. Khatamarrasyid salah satu murid
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq di daerah Belinyu. Ulama ini tidak hanya
terkenal karena kedalaman pengetahuan agamanya tetapi juga karena
kezuhudan dan kemuliaan akhlaknya. Selain itu, ia mempunyai banyak
keistimewaan dan kekeramatan yang hingga saat ini masih diakui oleh
masyarakat Bangka. Makamnya terletak di Bakik, daerah Jebus, masih
24 Syafie Abdullah, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syaikh H. A Rahman Shiddik Mufti Indragiri, h. 24.
27
ramai diziarahi orang baik sebagai kegiatan tahunan maupun dalam rangka
memenuhi nazar ketika mendapat suatu keberuntungan atau terhindar dari
suatu musibah dan bahaya. Ziarah ke makam tersebut dipandang dapat
mendatangkan berkah yang senantiasa dicari masyarakat di Bangka. Dua
ulama terkenal lain yang pernah menjadi murid Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq adalah H. Suhaimi dan H. Hasan Basri, dua saudara yang lahir di
kotawaringin. Semasa hidupnya H. Suhaimi aktif berdakwah dan
memberikan pengajian diseluruh pelosok pulau Bangka. Dia dimakamkan
di Pemakaman Keramat Pangkalpinang. H. Hasan Basri aktif mengajar
dan memberikan pengajian, selain menjadi sesepuh Pondok Pesantren
Darussalam Pangkalpinang. Adapun murid terkenal lainnya adalah H.
Usman yang Banyak melaksanakan kegitan dakwah dan pengajaran agama
di daerah Bangka Tengah. Setelah belajar dengan Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq, H. Usman bermukim di tanah suci untuk mendalami ilmu-ilmu
agama Islam dan kemudian kembali menjadi ulama terkenal di Bangka.
Setelah wafat dimakamkan di Desa Payabenua, kegiatan dakwah dan
pengajaran agama dilanjutkan oleh anak-anaknya yang kebanyakan
menjadi ulama dan tokoh agama yang disegani di daerahnya. Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq juga banyak mempunyai murid di Kemuja karena
dia pernah menetap di desa tersebut.
Proses penyebaran ajaran Islam diseluruh pelosok Pulau Bangka
dijalankan oleh murid-murid Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq yang
kebanyakan meneruskan studinya di tanah suci Makkah. Oleh karena itu,
28
pada awal abad XX Islam sudah semakin kuat pengaruhnya dalam
kehidupan sosial dan masyarakat, baik yang pernah di Martapura
(Kalimantan Selatan) dan Indagiri (Riau), maupun di Bangka beberapa
putranya bahkan menjadi ulama dan tokoh agama terkenal di Bangka yang
banyak melaksanakan kegiatan dakwah dan pengajaran agama Islam di
Muntok, Pangkalpinang, Belinyu, Sungaiselan, salah seorang putranya
adalah H. Muhammad Toyib yang tinggal di Pangkalpinang hingga wafat
pada 1996. Dia adalah salah seorang ulama terkenal di Bangka yang
memberikan pengajian di masjid-masjid di Pangkalpinag dan Desa
sekitarnya.25
Setelah mengabdikan ilmu di Martapura, bersama keluarga dia
pindah ke Sapat, Indragiri. ‘Abdurrahman juga mengadakan perjalanan
dakwah ke Semenanjung Melayu pada tahun 1911. Di Sapat Indragiri pada
tahun 1912 beliau membangun sebuah masjid dan pondok pesantren di
tengah-tengah perkebunan kelapa. Di sana selain sebagai guru agama dan
muballigh beliau juga dikenal sebagai petani kelapa. Lokasi pesantren
tersebut dikenal sebagai kampung Parit Hidayat, yang kemudian
berkembang menjadi locus pendidikan di daerah Riau seiring dengan
kedatangan para santri dari berbagai pelosok Indragiri.
‘Abdurrahman Shiddîq juga pernah ditawari untuk menjadi Mufti
di beberapa tempat. Pertama sewaktu singgah di Betawi ditawari menjadi
25 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 23.
29
Mufti Betawi, yang ketika itu dijabati oleh Syaikh Said Usman Betawi.
Kedua, beliau juga ditawari oleh Sultan Kerajaan Johor menjadi Mufti,
namun kedua tawaran itu ditolaknya. Tawaran untuk menjadi mufti di
kerajaan Indragiri Riau pun baru diterimanya setelah pihak kerajaan
memohon berkali-kali, yang mulai diembannya sejak tahun 1919 sampai
wafatnya tahun 1939.
B. Karya-karya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq salah satu ulama yang memiliki karya
tulis yang cukup banyak dan bisa dikatakan ia adalah ulama ynag cukup
produktif dalam karya tulisnya, di samping itu ia juga aktif dalam kegiatan
pendidikan dan dakwah. Dia menulis tidak kurang dari delapan belas kitab
yang mencakup beragam bidang ilmu agama Islam.26 Dapat juga dikatakan
bahwa ia mendakwahkan ajaran-ajaran Islam di daerah-daerah di Bangka dan
Indragiri melalui tulisan. Selain melaui lisan dan cara-cara konvensional.
Dari beberapa koleksi kitab-kitab yang beliau tulis tidak tersimpan
disatu tempat tersendiri. Ini dikarenakan terjadinya agresi Belanda tahun 1948
yang memporak-porandakan kompleks pesantren di Indragiri yang
merupakan tempat menyimpan seluruh koleksi kitabnya. Dalam peristiwa
tersebut tidak semua kitab terselamatkan. Hanya saja seluruh kitab yang
ditulis Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq telah tersebar di berbagai daerah di
26 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 23
30
Bangka, Riau, atau di Kalimantan Selatan dan, oleh sebab itu, sebagian masih
disimpan di rumah-rumah penduduk di daerah tersebut. Demikian juga,
sejumlah tokoh, ulama, keturunnya sendiri masih menyimpan atau
memelihara kitab-kitab ulama tersebut.27
Adapun dalam bidang penulisan, karya-karya Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq yang telah ditemui oleh tuan guru H. Wan Muhammad Saghir28
adalah sebagimana yang ada di bawah ini yaitu:
1. Asrarus Shalah, di selesaikan pada bulan rajab 1320 H. kandungannya
membicarakan mengenai sembayang. Cetakan yang pertama matba’ H.
Muhammad Sa’id bin H. Arsyad, kampong Silong, jalan Arab street,
Kedai surat no. 82 Singapura. Akhir Dzulhijjah 1327 H. cetakan
selanjutnya oleh Matba’ah al-Ahmadiyah, 12 jalan Sulttan Singapura,
1348 H/1929 M (cetakan ketiga).
2. Fath al-‘alim, diselesaikan pada 10 sya’ban 1324 H. Kandungannya
membicarakan akidah ahlus sunnah wal jamaah secara lengkap, di cetak
oleh mathba’ah al-Ahmadiah, 82 jalan Sultan, Singapura, 28 Syaban
1347 H/ 8 Januari 1929 M.
3. Risalah Tazkirah li nafsi wa lil qashirin mitsli, diselesaikan pada 20
Sya’ban 1324 H. kandungannya merupakan tazkiyah dan nasihat yang
dipetik daripada majmu’ karangan Syaikh Muhammad Arsyad bin
27 Zulkifli Harmi Dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, h. 24.
28 Ringkasan yang diambil dari ustadz Sobri mengenai sejarah ulama Syaikh Abudrrahman Siddik.
31
Abdullah al-Banjari. Cetakan pertama, tempat cap H. Muhammad Amin,
Singapura 1324 H.
4. Risalah Amal Ma’rifah, diselesaikan di Sapat Inderagiri, 8 Rabiulawal
1332 H. kandungannya membicarakan akidah menurut padangan
tasawuf, cetakan kedua, 30 Muharam 1344 H oleh Matba’ah al-
Ahmadiah, 50 minto road, singapura. (kitab inilah yang akan
ditranslitkan untuk tatapan pengunjung blog al-fansuri-insyaallah).
5. Syair Ibarat dan Khabar Kiamat, diselesaikan 25 Zulhijjah 1332 H.
kandungannya menceritakan peristiwa Hari Kiamat di tulis dalam bentuk
syair. Dicetak oleh Matba’ah, 50 Minto Road, Singapura, 9 Syaaban
1344 H.
6. Risalah Kecil Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam, diselesaikan 1
Safar 1334 H. Kandungannya merupakan pelajaran fardu ain untuk
kanak-kanak. Cetakan yang ketiga oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 82 Jalan
Sultan, Singapura 1348 H/1929 M.
7. Aqaidul Iman, diselesaikan di Sapat, Inderagiri, 16 Rabiulawal 1338 H.
kandungannya membicarakan tentang akidah keimanan. Cetakan baru
oleh toko buku hasanu, jalan Hasanuddin Bajarmasin atas izin Mahmud
Shiddiq, Pagatan, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan 1405 M.
diterbitkan daripada salinan tulisan tangan oleh Hasan Bashri Hamdani.
Di awal-awal kitab ini, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menyatakan
bahwa mempelajari dan mengenal aqa’id al-iman merupakan suatu
keharusan atau kewajiban bersifat individual (fardu ‘ain) bagi setiap
32
mukallaf seperti dikemukannya “fi hazihi rasalatun fi aqa’id al-iman
allati tajibu ala al-mukallafin ma’rafatuha fardhan ‘ayniyyan”. Mukallaf
yang dimaksudnya adalah orang-orang yang memiliki syarat Islam, balig,
aqil.
8. Syajaratul Arsyadiyah, diselesaikan 12 Syawal 1350 H. Kandungannya
membicarakan asal-usul Syaikh Muhammad Asyad bin Abdullah al-
Banjari dan keturunan-keturunanya. Cetakan pertama oleh Matba’ah al-
Ahmadiah, 82 jalan Sultan, Singapura.
9. Risalah Takmilah Qaulil Mukhtashar, diselesaikan 10 Shafar 1351 H.
Kandungannya menceritakan tanda-tanda hari kiamat dan mengenai
kedatangan Imam Mahdi. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82
Jalan Sultan, Singapura, dicetak kombinasi dengan Syajaratul
Arsyadiyah (103 halaman) oleh pengarang yang sama, dan Risalah Qaulil
Mukhtashar fi’Alamtil Mahdi Muntazhar (55 halaman) karya Syeikh
Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah bin ‘Abdullah al-Banjari. Kitab ini
terdiri atas 33 halaman, buku ini disusun untuk menyempurnakan kitab
Qawl al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahdi al-Muntazar (Perkataan
Ringkas pada Tanda-tanda al-Mahdi al-Muntazar), karangan datuknya,
Syaikh Muhammad Aryad Al-Banjari. Buku tersebut membicarakan
tanda-tanda kiamat kubra (besar) yang diterjahkan ke dalam Bahaya
Melayu oleh oleh Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq sendiri.
10. Mau’izah li Nafsi wa li Amtsali minal Ikhwan, diselesaikan 5 Rajab 1355
H. kandunganya merupakan kumpulan pengajaran akhlak. Cetakan yang
33
pertama oleh Matba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1355
H.
11. Dan beberapa kumpulan Khutbah yang beliau tulis. Di cetak oleh
Matba’ah al-Ahmadiah, 101 Jalan Sultan, Singapura tanpa diketahui
tahun cetakannya.
12. Majmu’ul Ayat wal Ahadits fi Fadhailil ‘Ilmi wal Ulama’ Muta’allimin
wal Mustami’in, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan.
Kandungannya merupakan kumpulan hadits serta terjemahanya dalam
bahasa Melayu. Dicetak oleh Matba’ah al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan,
Singapura, 1346 H/1927 M.
13. Catatan, tanpa tarikh, ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu.
kandungannya merupakan beberapa catatan Syeikh ‘Abdurrahman
Shiddiq mulai lahir malam Kamis, sebelum Subuh 1288 H/Juni/Juli 1871
M. wafat hari Senin, jam 5.40 pada 4 Syaban 1358 H/18 September 1939
M, dalam usia 70 tahun. Tahun 1306 H beliau ke Makkah. Tinggal di
sana hingga tahun 1312 H. selain itu terdapat catatan kelahiran dan wafat
anak-anaknya dan lain-lain.
Demikianlah karya-karya Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq yang, kalau
dikaji secara mendalam dan komprehensif, mengambarkan karakter
pemikiran dan padangan keagamaannya, dalam konteks tradisi intlektual
Islam prinsipnya masih berpegang teguh pada tradisi Islam yang telah berakar
kuat dalam jaringan ulama Nusantara dan Timur Tengah. Namun, unsur-
unsur semangat pemurnian aqidah dari praktek-praktek keagamaan yang
34
menyimpang telah mewarnai karya-karyanya tersebut, dan ingin meluruskan
praktek-praktek tasawuf dengan menekankan pada keharusan bagi setiap
orang memiliki pemahaman yang kuat akan teologi dan fiqh sebelum
memasuki dunia sufisme. Dalam hal tarekat, dia adalah pengikut dan guru
tarekat, dia adalah pengikut dan guru Tarekat Sammaniyyah (yang
dinisbahkan kepada diri Syaikh Muhammad Samman) sebagaimana
kakeknya, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Adapun dari beberapa buku yang beliau tulis tersebut, hanya beberapa
buku saja yang dimiliki oleh penulis, karena karya-karyanya masih tercecer di
berbagai tempat, dari sekian karya yang dimiliki oleh penulis adalah, Asrarus
Shalah, Fathul ‘alim, Amal Ma’rifah, Syair ibarah dan Khabar Kiamat,
Aqaidul Iman.
BAB III
PENGERTIAN TAUHID DAN PERKEMBANGAN ISLAM
A. Pengertian Tauhid dan Perkembangan Islam
Tauhid, sebagai sebuah kata, telah melalui tahapan-tahapan perkembangan
makna.1 Pada tahapan pengertian bahasa, kata tauhid berasal dari kata kerja
“wahada yuwahhidu-tauhidan” yang berarti “menyatukan”. Maksudnya adalah
mengesakan, yaitu mengesakan Allah Swt. Dalam lisan al-Arab. Kata tauhid
diartikan dengan “percaya kepada Allah Swt. Sebagai satu-satunya Tuhan dan
tidak berbuat syirik terhadap-Nya. “Tauhid adalah bentuk mashdar atau infinif
dari kata kerja “wahada” yang merupakan derivasi dari akar kata
“wahdah”.artinya keesaan.2 Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab itu
kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan arti keesaan Allah3 sehingga
kata mentauhidkan berarti mengakui keesaan Allah Swt.4
Pada tahap berikutnya pengertian tauhid mengalami perluasan makna.
Tauhid ketika itu didefenisikan sebagai “mengesakan Allah Swt, sebagai Tuhan
(rubûbiyah), sembahan (ulûhiyyah), dengan segala nama, sifat, dan perbuatan-
Nya.5 Kata tauhid merupakan kata kerja (verbal noun) aktif (yakin, memerlukan
perlengkapan penderita atau objek), sebuah derivasi dari kata “wâhid” yang
1 Ibrahim Muhammad al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam. Ter (Jakarta : Rabbani
Press, 1998) cet ke-1, h 7 2 Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid v, cet Ke-3 h 90 3 Muhammad Ngafenan, Kamus Etologi Bahasa Indoneisa, (Semarang : Dahara Priza,
1990) cet ke-2 h. 171 4 Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pusaka, 1990) cet ke-3, h. 907-
098 5 Ibrahim Muhammad al-Buraikan, h 7
35
36
artinya “satu) atau “Esa”. Maka makna harfiah tauhid adalah “menyatukan “ atau
:mengesakan” hal-hal yang berserahkan atau terpecah-pecah seperti
penggunaannya dalam bahasa Arab “tauhîd al-kalimah” yang berarti
“mempersatukan paham” dalam ungkapan “tauhîd al-quwwah” yang berarti”
mempersatukan kekuatan. 6
Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Tauhid diambil dari kata “wahada”,
yang berarti “mengesakan”, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa. Sebuah
pengakuan atas keesaan Allah Swt. Yang tidak dapat dibagi-bagi, yang mutlak,
dan sebagai satu-satunya Yang Maha Nyata.7
Dalam teologi, kata ini berarti pernyataan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah Swt.8 Sebagai istilah teknis dalam ilmu kalam (yang ciciptakan oleh para
mutakalimin atau ahli teologis dialektis Islam), kata-kata tauhid dimaksudkan
sebagai faham “memahaesakan Tuhan” atau lebih sederhananya faham
“ketuhanan Yang Maha Esa” atau monoteisme. Meskipun bentuk harfiah kata
tauhid itu sendiri tidak terdapat dalam al-Qur’an (yang ada dalam al-Qur’an
adalah kata-kata “ahad” atau “wahid”) namun istilah ciptaan kaum mutakalimin
itu memang secara tepat mengungkapakan isi pokok ajaran kitab suci itu, yaitu
ajaran tentang “memahaesakan Tuhan: Bahkan secara jelas tauhid juga
menggambarkan inti ajaran semua nabi rasul yang diutus untuk setiap kelompok
6 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) cet-2, h. 72
7 Cyil Glasse, Ensiklopedia Islam, h, 409 8 B. D. Mc Donald, Tauhid, dalam M TH Housma, et, all. Frist Encylopedia of Islam,
leiden E. J. Brill, 1987) vol, 8,h, 704
36
37
manusia di bumi hingga kelahiran Nabi Muhammad Saw, yaitu ajaran Ketuhanan
Yang Maha Esa.9
Salah satu sumber penyebaran Islam di Indonesia adalah berawal dari
berdirinya kerajaan Pasai. Kerajaan ini menjadi sentral penyiaran agama Islam ke
berbagai daerah di sumatera dan pesisir pulau Jawa. Penyebaran Islam di Pulau
Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim,
Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro, yang ketiganya adalah abituren Pasai,
Melalui keuletan mereka itulah berdirinya kerajaan Islam Demak yang kemudian
menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.10 Kemudian
perkembangan Islam selanjutnya di jawa di kembangkan oleh para ulama yang
sangat tinggi ilmunya yang lebih kita kenal dengan sebutan Wali Sanga atau wali
Sembilan dari gelar tersebut cukuplah kiranya kita menyatakan bahwa mereka
memiliki derajat kewalian yang sangat keramat.
Perkembangan Islam di Indonesia memiliki keterkaitan dengan
penyebaran tasawuf di ranah Nusantara, penyebaran Islam di Nusantara tidak
dapat dipisahkan dari tasawuf. Bahkan “Islam pertama” yang di kenal di
Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan dengan pendekatan
sufistik. Para penyebar Islam di Indonesia itu umumnya para da’i yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman tasawuf. Mereka juga banyak yang menjadi
pengamal dan penyebaran tarekat di Indonesia.11
9 Nurcholis Majdjid, Islam, h. 72-73 10 Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, h. 27. 11 M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, h. 19.
37
38
B. Perkembangan Islam di Bangka
Mengenai masuknya Islam ke Bangka belum ditemui data yang dapat
dipercaya, namun bila dilihat dari letak geografisnya yang berada di jalur lalu
lintas yang menghubungkan Malaka, Sumatera dan Jawa, besar kemungkinan
Islam sudah masuk kepulauan Bangka bersamaan dengan masuknya Islam ke
Palembang atau Jawa. Bahkan, kalau komunitas Muslim sudah terbentuk di
Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, tidak menutup kemungkian bahwa
pada masa itu sudah ada orang Muslim yang datang ke Bangka meskipun belum
membentuk suatu komunitas. Perlu dicatat bahwa sudah sejak lama pulau Bangka
menduduki posisi penting bagi Kerajaan Sriwijaya yang ditandai dengan
didirikannya prasasti di Kotakapur pada tahun 686. Konon katanya Pulau Bangka
kemudian menjadi benteng pertahanan Kerajaan Sriwijaya untuk ekspansi ke
Majapahit dan Melayu. Namun, berberapa abad kemudian Pulau Bangka menjadi
sarang bajak laut yang dikenal oleh masyarakat Bangka dengan sebutan lanun dan
sampailah pada penyebaran Islam di Bangka secara meluas.12
Secara umum, Islam di Indonesia melalui pada dua jalur yaitu, Islam
tradisional dan modern. Islam modern lebih mementingkan pemurnian dan
pembaharuan aspek-aspek ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kehidupan
masyarakat modern, Sedangkan Islam tradisional cenderung memelihara dan
mempertahankan tradisi Islam yang telah diterima secara turun temurun. Dua jalur
agama tersebut sering kali terjadi perbedaan faham dan pendapat.13
12 Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq, h. 11. 13 Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, terj h. 13
38
39
Menurut sejarah proses pengislamisasi di Bangka melalui lima jalur yaitu
Jalur pertama lewat Johor (Malaysia) yang kedua melalui jalur Minangkabau,
ketiga melalui jalur Banten, jalur keempat adalah Palembang, jalur yang terakhir
adalah lewat Banjar (kalimantan Selatan) untuk lebih jelasnya lagi penulis akan
menjelaskan ini dari tinjauan masa ke masa yang berkembang pada saat itu
dengan sedikit dukungan info dari masyarakat setempat.
Jalur pertama melalui Johor (Malaysia) karena pada abad XVI ini, Bangka
sudah menjadi persinggahan kapal-kapal yang meneruskan pelayarannya dari
Malaka ke Jawa dan daerah Nusantara lainnya. Semenjak pulaun Bangka di
bawah kekuasaan Kesultanan Johor yang sebelumnya bersekutu dengan
Kesultanan Minangkabau dan berhasil menumpas bajak laut di Bangka di sinilah
tampak adanya pengislamisasi secara intens dan terus berkembang. Di samping itu
pula Sultan Johor kemudian mengangankat Panglima Sarah sebagai Raja Muda di
pulau Bangka adapaun kedudukan kerajaannya terletak di Bangkakota. Tak lama
setelah itu pasca wafatnya Panglima Sarah tampuk kekuasaan diserahkan kepada
Kesultanan Minangkabau yang di pimpin oleh raja Alam harimau garang yang
berkedudukan di Kotawaringin.
Jalur kedua ini tidak lepas dari pengabdian kesultanan Minangkabau,
bahwa pada masa kekuasaan Raja Alam Harimau perkembangn Islam cukup
cepat. Karena di samping Raja Alam Harimau sebagai seorang pemerintah ia juga
sebagai tokoh alim ulama. Salah satu masjid yang dirikan beliau adalah masjid
jamik yang berada di tikungan dekat sungai Kotawaringin. Beliau wafat di
Kotawaringin dan makamnya tetap masih terjaga sampai sekarang, dicerita oleh
39
40
masyarakat sekitar ketika beliau berjuang dan mengabdikan dirinya di Pulau
Bangka bertempat di Kotawaringin beliau adalah salah seorang yang sangat gigih
dalam membina dan memimpin masyarakat sekitar. Sehingga sampai sekarangpun
namanya selalu dingat oleh masyarakat sekitar.14
Jalur ketiga adalah Banten, nampaknya Banten memiliki peran penting
dalam penyebaran Islam di Bangka ini dapat di lihat dari beberapa sejarah bahwa
Banten juga mengambil peran penting dalam perjuangan pengislamisasi di
Bangka. Peran penting ini diambil alih Sultan Agung Tirtayasa (1665-1692) dari
Banten kemudian di tunjuklah Bupati Nusantara sebagai Raja Muda yang
berkedudukan di Bangkakota. Degan demikikan Bangkakota kembali menjadi
pusat pemerintahan, penyebaran Islam dan pengaturan masalah-masalah social
kemasyarakatan di Bangka walaupun pada waktu itu pusat pemerintah sempat
dipindahkan oleh Raja Harimau Garang.
Berikutnya adalah jalur keempat yaitu Palembang. Setelah Bupati
Nusantara wafat pada tahun 1671, Putrinya Khatijah yang menjadi isteri Sultan
‘Abdurrahman mewarisi pulau Bangka dan sekitarnya. Pada masa Sultan
‘Abdurrahman memegang kekuasaan tersusunlah hukum adat yang dinamakan
Undang-Undang Simbur Cahaya. Sedangkan untuk daerah Bangka terbitlah dan
diberlakukan hukum adat uyang dinamai Undang-Undang Sindang Mardika15.
Adapun kedudukanya ada di kota Muntok hukum ini hak penuh di pegang oleh
Rangga, Rangga adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mengepalai
14 Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq, h. 10. 15 Zulkifli, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim, Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq, h 13.
40
41
41
hukum tersebut. Hukum ini dapat berlaku bagi masarakat setempat dan hukum ini
tidak hanya sebatas masalah perkara agama saja namun hukum ini memilki
kekuatan untuk menentukan sampai kepada tututan kematian. Inilah awal
berkembangnya islamisasi di Bangka.
Peroses islamisasi di Bangka tampak jelas setelah kedatangan ulama-
ulama dari Banjar (Kalimantan Selatan). Pada jalur kelima inilah proses islamisasi
berjalan intensif sejak pertengahan abad XIX. Salah satu tokoh ulama Banjar yang
datang ke pulau Bangka adalah H. Muhammad Afif, namun data tak menemukan
kapan beliau datang ke Bangka, dikisahkan banyaknya ulama Banjar merantau ke
berbagai pelosok daerah karena pemerintahan Belanda ingin menghapus kesultan
Banjar sehingga banyaklah terjadi pemberontakan. Pemberontakan yang
dilakukan oleh masarakat Banjar selalu dapat dilumpuhkan oleh pemerintah
Hindia Belanda sehingga sektor ekonomi lumpuh total dan keadaan semakin tidak
aman.
H. Muhammad Afif adalah salah seorang ulama Banjar yang ikut pindah
dan meneruskan dakwahnya untuk menyebarkan syi’ar-syi’ar Islam. Dan
seterusnya dilanjutkan oleh anaknya yang lebih kita kenal dengan Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq tokoh yang tulis kaji konsep ajaran tasawufnya pada
skripsi ini.16
16 http;//Bangka, Syaikh Abd. Siddik Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010.
BAB IV
POKOK-POKOK TAUHID SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDÎQ
A. Pengertian Syari’ah, Tarekat, Hakikat, Ma’rifah
Sebelum berbicara tentang pemikiran tauhid dan tasawuf Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq, perlu bagi kita mengetahui kedudukan syariat,
tarekat, hakikat dan ma’rifah. Keempat unsur ini memang penting bagi
keagamaan seseorang dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Beliau
sudah menegaskan, syariat tanpa hakikat hampa dan hakikat tanpa syariat
batil, sebagaimana pendapat Syaikh Abdul Qadir Jaelani yang menyatakan
bahwa “tiap-tiap hakikat yang tidak meneguhi akan dia oleh syariat, maka itu
adalah zindik”.
1. Pengertian Syarî‘ah
Dalam kitab amal ma’rifah di jelaskan bahwa barang yang
ditiadakan oleh Allah SWT dari pada segala hukum ‘amar dan nahi dan
lainnya, maka takluk ia pada anggota.1 Penjelasan disini adalah bahwa
ketika sesorang menjalankan syari’ah hendaklah ia turut pada perbuatan
hati dan tunduk menjalankan syari’ah-Nya. Adapun dalam pandangan
Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi mengenai syariat adalah dimensi
perundang-undangan dalam Islam. Ia adalah ketentuan yang telah
1 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, (Singapura: Matba’ah Ahmadiyah, 1929), h. 7.
42
43
ditetapkan Allah SWT. Sebagai al-Syari’ melalui Rasul-Nya Muhammad
SAW. Baik yang berupa perintah maupun larangan.2
Syari’ah merupakan aspek hukum dalam Agama Islam (Islamic
Law). Syari‘ah diartikan sebagai cara formal untuk melaksanakan
peribadatan kepada Allah, yang biasa disebut sebagai rukun Islam, yang
bersumber dari al- Qur’an dan Sunnah Rasul. Seseorang yang ingin
memasuki dunia tasawuf harus lebih dahulu mengetahui secara mendalam
tentang al-Qur’an dan Hadits. Sebab tanpa itu semua seseorang tidak akan
mampu naik ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan menurut al-Ghazali, jika
seorang sufi memasuki dunia tasawuf tanpa dibekali pengetahuan tentang
syari’at, besar kemungkinan ia menjadi zindiq3.
2. Pengertian Tarekat
Adapun tarekat artinya jalan. Yakni jalan yang menyempurnakan
syariat seperti taubat dan zuhud dan tawakkal dan sabar, dan ridho dan
shiddîq, dan mahabbah dan zikrul maut (ingat akan mati) dan lainnya dari
pada segala perangai yang terpuji, thariqat juga harus takluk atau
bersandar pada hati dan dalam perbuatan nyata.4
Menurut Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq Dalam melakukan ibadah
atau menjalankan syari’at kepada Allah seseorang akan mencari keridhaan
Allah SWT. Maka diantara makhluk dengan khalik itu ada perjalanan
hidup dan tata cara yang harus ditempuh sebagaimana yang telah tertera
2 Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), h. 322.
3 Hamka, Tasawuf, h. 201. 4 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 7.
44
dalam agama. Perjalanan hidup itulah yang dimaksud dengan thariqat
(jalan). Atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal sebagai al-sayr wa al-
suluk, yang di dalamnya sesorang sufi akan menempuh berbagai tingkatan
maqamah dan keadaan-keadaan batin (ahwal)
3. Pengertian Hakikat
Adapun pengertian Hakikat menurut Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq, yaitu I’tiqad yang sebenarnya yang wajib dipercayakan sama
ilahiyat (ketuhanan) atau nubuwwat (kenabian) atau sam’iat (perkara-
perkara ghaib yang diimani) yaitu tunduk pada perbuatan hati.5 Sedangkan
hakikat adalah dimensi penghayatan dalam pengalaman syariat yang ada.
Dengan penghayatan atas pengalaman syariat itulah maka sesorang akan
mendapatkan manisnya iman yang disebut ma‘rifah.6
Bila tarekat itu telah dijalani dengan segenap kesungguhan, maka
akhirnya bertemulah dengan hakikat, yang merupakan tujuan dari
perjalanan spiritual ini. Hakikat ialah mengetahui inti yang paling dalam
dari sesuatu sehingga tidak ada yang tersembunyi baginya.
Pada tahap ini akan tercapailah apa yang dinamakannya kasyaf.
Yaitu terbukanya rahasia yang senantiasa menyelubungi, yang menjadi di
antara hamba dengan Sang Khalik sehingga hamba bisa memperoleh
kenyataan akan Tuhan. Di sini muncul dua pendirian yang merupakan
perasaan yang didapat oleh ahli suluk. Sebagian merasa dalam perjumpaan
5 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 8. 6 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 323.
45
tersebut, dirinya telah lenyap. Yang ada dan yang disaksikannya hanyalah
al-haqq. Di sinilah timbul paham hulul yaitu timbul kesatuan antara ‘Asyik
dengan Ma’syuk. Sebagian yang lainnya berpendirian bahwa yang
mungkin terjadi hanya ittisal, yaitu perhubungan antara aku dan Dia.
Antara mahluk dengan Dia Khalik. Tiada kesatuan antara Khalik dan
makluk.7
4. Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan,
ma’rifah yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat berarti
pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi
daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.
Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinya dengan mengetahui
rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia
sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu dan segala
yang maujud berasal dari yang satu.8
Dengan penghayatan atas pengalaman syari’ah itu maka seseorang
akan mendapatkan manisnya iman yang disebut ma’rifah. Sedangkan
Ma’rifah artinya pengenalan yang sempurna kepada Allah Ta’ala yaitu
takluk pada sirr hati. Maka arti mengenal itu yaitu mengenal wahdaniah
Allah Ta’ala pada af’al-Nya (perbuatan-Nya) dan pada asma’-Nya (nama-
7 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 112. 8 ‘Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), h. 220.
46
Nya) dan pada sifat dan pada dzat dengan i’tiqad yang yakin sekira-kira
tetap pada i’tiqadnya tiada yang memperbuat sekalian kainat melainkan
Allah Ta’ala dan tiada yang bernama didalam kainat hanya Allah Ta’ala.
Dan tiada yang bersifat didalam kainat hanya Allah Ta’ala. Dan tiada yang
maujud didalam kainat ini hanya Allah Ta’ala.9 Adapun segala perbuatan
mungkin dan asma’nya dan sifatnya dan wujûdnya, maka yaitu fana di
dalam af’al Allah Ta’ala dan asma’-Nya dan sifah-Nya dan wujûd-Nya.
Hasilnya yang ada pada mumkin ini majazi dan madzhar yakni kenyataan
af’al Allah Ta’ala dan asma’-nya dan sifatnya dan wujudnya tiada
mempunyai wujud hakiki yang sebenarnya.10
Dalam kitab Asrar al-shalah min ‘iddah al-kutub al-mu’tamadah
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq menegaskan kembali makna ma’rifah yaitu
mengenal uluhiyyah zat Allah dan sifat-Nya yang wajib, mustahil dan jaiz
dengan pengenalan yang sebenarnya berdasarkan dalil yang benar serta
mengenal dalam arti wahdaniyyah (ketauhidan) Allah pada perbuatan,
asma’, sifat-Nya serta sifat-Nya juga mengenai wahdaniyyah.11
Sebagaimana halnya dengan mahabbah, makrifat ini terkadang di
pandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hâl. Dalam
literatur Barat, ma’rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan
al-Junaid, ma’rifah dianggap sebagai hâl, sedangkan dalam Risalah al-
9 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 8.
10 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah. h. 8.
11Syaikh Abdurrahman Shiddiq,Asrar al-salah min ‘iddat al-kutub al-mu’tamadah. Singapura: Matba’ah Ahmadiya 1931 , h. 11.
47
Qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam, sementara itu al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya ’Ulum al-din memandang ma’rifah datang sebelum
mahabbah. Sedangkan al-Kalabazi menjelaskan bahwa ma’rifah datang
sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa
ma’rifah dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut
berbarengan. Keduanya mengambarkan keadaan dekatnya hubungan
seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan ma’rifah
mengambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada antar sufi dengan
Tuhan.12
Selanjutnya ma’rifah di gunakan untuk menunjukkan pada salah
satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan
sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan
itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang
diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan
bahwa ma’rifah mengambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis,
pengetahuan dengan hati sanubari.13
Dalam pandangan Syaikh Abdurrahman Shiddiq, untuk mencapai
ma’rifah adalah hati (qalb), namun artinya tidak sama dengan heart dalam
bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga alat
untuk berpikir. Bedanya , dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb
yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai
12 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1978) hl 57.
13 . Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam h75.
48
zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan.
Proses sampainya qalb pada sinar Tuhan ini erat kaitannya dengan
konsep takhalli, tahalli dan tajalli sebagaimana diungkapkan oleh para
tokoh tasawuf yaitu:.
Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan
perbuatan maksiat melalui taubat Karena manusia memiliki sifat baik dan
jahat.14 Firman Allah Swt:
☺
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya” (Q.S. al-Syam: 8)
Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan
akhlak yang mulia dan amal ibadah. Dalam firman-Nya ditegaskan:
⌧
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”
(Q.S. al-Syam: 9)
Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas
cahaya Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt:
14 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf h. 224.
49
☺
“Takkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu
menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan”. (Q.S. al-
A’raf:143)
Demikianlah beberapa cara untuk mencapai pada Allah Swt,
sampai di sini bukan berarti dapat melihat Allah secara utuh, namun
ketenangan jiwalah yang akan kita peroleh bila telah melalui tiga tahapan
ini.15
B. Konsep Pengesaan Allah dengan Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat, dan Dzat-
Nya
1. Tauhid al-Af’al
Tauhid atau wahdaniyah af’al, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
merumuskan perbuatan manusia dalam hubungannya dengan perbuatan
Tuhan. Bahwa semua perbuatan manusia baik yang positif berupa iman
dan taat maupun perbuatan yang negatif berupa kafir dan maksiat, baik
perbuatan itu bersifat mubasyarah (Langsung) maupun tawallud (terlahir)
kesemuanya dalam pandangan mata hati adalah perbuatan Allah semata.
Bila hal ini sudah diyakini secara haqqul yaqin, barulah seseorang hamba
mendapat ma’rifah dalam wahdaniyah af’al dengan Allah. Pendapat
15 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf h. 14
50
demikian sepintas lalu meniadakan perbuatan makhluk, sehingga terkesan
perbuatan makhluk itu tidak ada, yang ada hanya perbuatan Allah. Dasar
yang digunakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq dalam mengajarkan
wahdaniyah af’al ini antara lain adalah surah ash-Shafaat ayat 96.
☺
“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu, karenanya sembahlah Dia dan esakanlah Dia”
Pendapat ini bila dipahami secara sepotong-potong tentu
berbahaya. Orang awam yang tauhid dan syariatnya masih lemah boleh
jadi akan enggan mengerjakan amal kebaikan, atau bahkan berani
melakukan perbuatan jahat, karena beranggapan kedua sisi perbuatan itu
berasal dari Allah juga. Jika Allah tidak menghendaki, tidak akan terwujud
perbuatan baik dan jahat itu. Tetapi bagi orang yang keberagamaannya
sudah mantap, hal demikian tidak jadi masalah, karena ‘Abdurrahman
Shiddîq sendiri sudah menyediakan kata kuncinya, yaitu hakikat tanpa
syariat itu batil, atau hakikat tanpa syariat zindik. Kemudian apabila
syariat diteliti, maka tidak satupun ditemui ajarannya yang menyuruh
mengabaikan amal kebaikan (ma’ruf) dan menyuruh mengerjakan
kejahatan (munkar).16
Tidak hanya itu, syariat juga memberi tempat kepada akal untuk
menilai suatu perbuatan tergolong ma’ruf dan munkar. Abdul Qadir
16 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 10
51
Jaelani mengatakan: Artinya: “segala sesuatu yang bersesuaian dengan Al-
Qur’an, hadits dan akal sehat disebut ma’ruf dan segala sesuatu yang
bertentangan dengan ketiganya disebut munkar”.
Jadi perbuatan (af’al) hamba yang baik dan buruk dapat diukur
dengan syariat, yang bersumber dari al-Qur’an, Hadits dan akal (ra’yu).
Akal di sini adalah hasil ijtihad manusia yang juga dapat dijadikan
landasan hukum sesudah al-Quran dan Hadits, meliputi ijma’, qiyas,
istihsan, maslahat- mursalah, ‘urf, dan lain-lain.
Karenanya tidak masuk akal bila syariat menyuruh berbuat yang
munkar atau melarang yang ma’ruf. Disebabkan syariat Islam sejalan
dengan akal, maka pasti perintah syariat adalah yang ma’ruf dan yang
dilarangnya adalah yang munkar. Dengan demikian, walaupun pada
dasarnya Allah yang menciptakan manusia dan semua af’al-nya
(wahdaniyah af’al), namun tidaklah pantas menyandarkan perbuatan yang
munkar kepada Allah atau sebagai perbuatan Allah. Yang benar adalah
bahwa perbuatan baik (ma’ruf) lahir atas hidayah Allah dan sebaliknya
perbuatan jahat (munkar) akibat kebodohan manusia itu sendiri. Seperti
dalam firman Allah:
☺
☺
⌧
52
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa
saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.
Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah
Allah menjadi saksi”(Q.S. an-Nisa’: 79)
Pendapat ini bagi ‘Abdurrahman Shiddîq dimaksudkan agar
manusia tidak tergelincir kepada akidah Qadariyah bahwa setiap perbuatan
manusia adalah karena kodrat manusia itu sendiri dan memberi bekas atau
sebaliknya tergelincir ke dalam akidah Jabariyah yang meyakini semua
perbuatan baik dan buruk berasal dari Allah, sedangkan usaha dan ikhtiar
manusia tidak memberi bekas seperti halnya bulu yang berterbangan ditiup
angin.17
Selain itu konsep wahdaniyah af’al ini oleh ‘Abdurrahman Shiddîq
juga dimaksudkan untuk mewujûdkan tasawuf akhlaki pada hamba, yaitu
terlepasnya mereka dari sifat syirik khafi, seperti ujub, riya, sum’ah dan
lainnya. Sehingga dengan meyakini wahdaniyah af’al, manusia akan
terhindar dari sifat riya dan ujub, misalnya merasa dirinya hebat karena
rajin beribadah atau alim, mampu melakukan apa saja perbuatan baik.
Sekiranya manusia tidak meyakini wahdaniyah af’al-Nya Allah, bisa jadi
ia akan riya, ujub, sum’ah dan sifat tercela yang lainnya karena merasa
hebat dengan perbuatannya serta merasa ia sendiri yang kuasa melakukan
semua itu.
17 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 10-12.
53
Jadi wahdaniyat-Nya Allah pada af’al yang diajarkan oleh
‘Abdurrahman Shiddîq punya dua muara. Pertama meluruskan akidah agar
tetap berada di jalur Ahlussunah wal Jama’ah dan tidak cenderung kepada
Qadariyah atau Jabariyah sebagimana ditekankan dalam pendahuluan
kitabnya, kedua menumbuhkan tasawuf amali agar pada diri manusia
terhindar dari sifat-sifat tercela.18
Syaik Abdurrahman Shiddîq lebih jauh menjelaskan bahwa segala
perbuatan, apakah itu terjadi pada diri sesorang maupun di luar dirinya,
tidak terlepas dari perbuatan yang bersifat mubasyarah dan tawallud
(terlahir). Contoh perbuatan yang bersifat mubasyarah (langsung) menurut
dia, ialah terjadinya gerakan pena di tangan seorang penulis, artinya
gerakan pena itu terwujûd disebabkan oleh adanya gerakan tangan penulis
yang mubasyarah (langsung) dengan gerakan pena. Sedangkan contoh
perbuatan yang bersifat tawallud (terlahir) ialah terjadinya gerakan batu
yang lepas dari tangan pelempar; artinya terjadinya gerakan batu karena
tawallud (terlahir) dari pelempar19.
Menurut dia, perbuatan yang bersifat mubasyarah (langsung) dan
yang bersifat tawallud (terlahir), kedua-keduanya pada hakikatnya adalah
af’al (perbuatan) Allah Swt. Adapun perbuatan manusia atau mahluk, baik
ia bersifat mubasyarah (langsung) maupun bersifat tawallud (terlahir)
hanya bisa dipandang sebagai perbuatan majazi (semu).20
18 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h 10-12. 19 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, , Risalah Amal Ma’rifah, h 12 20 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, , Risalah Amal Ma’rifah, h 13
54
Pendapat ini hampir mirip dengan pendapat Muhammad Nafis yang
menjelaskan sebagai berikut, apabila salik membiasakan musyahadah
(memandang) berbagai macam perbuatan pada hakikatnya hanya satu
(tauhid al-af’al), dan pandangan itu diyakininya sepenuh hati (tahqiq),
maka ini akan terlepas dari syirik khafi (syirik tersembunyi) sebagaiman
tersebut di atas, dan pada akhirnya salik akan dapat memandang bahwa
semua perbuatan majazi (semu) yang lenyap atau sirna (fana’) di dalam
perbuatan Allah yang hakiki, bagaikan sinarnya cahaya lampu di dalam
sinar matahari yang terang benderang, bila salik mau terus berlatih dengan
cara pandang (mubasyarah) demikian, sedikit demi sedikit dengan tidak
membaurkan antara pandangan syari’at dengan pandangan hakikat, maka
ia akan sampai pada peringkat (maqam) yang dinamakan maqam
wahdaniyah af’al. Pada tingkat ini menurut Muhammad Nafis, seorang
salik sudah mampu melenyapkan (memfana’kan) dirinya di dalam
perbuatan Allah Ta’ala yang Maha besar.21
Pendapat Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq ini juga tentang tauhid al-
af’al ini, bila diteliti rujukannya agaknya cenderung kepada pendapat
Junaid al-Baghdadi, yang membagi tauhid untuk ‘awam dan untuk orang
khawwas. Berkenaan dengan tauhid khawwas menurut beliau adalah bila
seseorang mampu mengesakan Allah dengan keyakinan bahwa manusia itu
hanya laksana bayang-bayang di hadapan Allah, segala yang berlaku pada
21 Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 100.
55
aktivitas, perbuatan manusia adalah ketentuan yang berlaku atas kuasa
Allah, karena dalam pengesaan Allah itu manusia telah fana’ dari dirinya
dan dari segala yang lainnya, dengan memandang kepada hakikat wujud
dan keesaan Allah. Hilang lenyap perasaan indrawi manusia dan
perbuatannya, sebab yang berlaku hanyalah af’al dan kehendak Allah saja
dan eksistensi manusia itu seperti tidak ada.
Dengan demikian pada aspek wahdaniyah af’al ini,
Syaikh‘Abdurrahman Shiddîq tidaklah mengajarkan wahdah al-wujûd
(tauhid wujûdi), tapi lebih kepada wahdah al-syuhûd (tauhid syuhûdi). Hal
ini karena kesatuan af’al yang berasal dari Allah itu hanyalah pada hakikat
dan pada pandangan batin, tanpa mengenyampingkan af’al atau usaha dan
ikhtiar manusia. Sebab kewajiban manusia menjalankan syariat.22
2. Tauhid Asma’
Maqam tauhid al-asma’ merupakan maqam (peringkat) kedua bagi
para ‘arif billah setelah memahami dan menghayati betul-betul pada
maqam (peringkat) awal, yakni tauhid al-af’al. Kematangan setiap jenjang
(maqam) tersebut harus dipandang sebagai anugerah Allah kepada mereka
yang tekun sebagai salik atau mendapat ilmunya melalui guru, maupun
bagi mereka yang majzub, yaitu mendapatkan ilmunya langsung dari Allah
tanpa melalui perantara guru dan latihan-latihan23. Syaikh ‘Abdurrahman
Shiddîq menyebutkan bahwa segala nama pada hakiktanya bersumber
22 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 33-36. 23 Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan., h. 133.
56
pada Allah Swt. Karena segala sesuatu yang wujûd selain Allah Swt
adalah khayal (imajinasi) atau wahm (ilusi) belaka. Misalnya, bila kita
melihat seorang pemurah, hendaknya kita memandang bahwa sifat
pemurah itu adalah kepunyaan Allah SWT semata. Pemurah terdapat pada
seseorang itu, juga pada lainnya, hanya mazhar (manifestasi) dari nama
Tuhan, yaitu al-karim (Maha Pemurah).
Adapun dalam kitab ‘amal ma’rifah di sebutkan tauhid asma’
adalah mengesakan Allah SWT pada asma’-Nya, yaitu bahwa engkau
pandang dengan mata hatimu dan mata kepalamu dengan i’tikad yang
putus bahwasanya Allah SWT saja wahdaniyah pada asma’-Nya,
maksudnya pada segala nama maka tiada segala-gala di dalam alam ini
mempunyai nama pada hakikatnya melainkan dzat-Nya Allah SWT.24
Adapun segala nama didalam alam ini sekaliannya adalah hanya
nama-Nya saja. Sungguhnya tiada yang maujud pada hakikatnya hanyalah
Allah SWT sendiri. Dan wujûd segala alam ini hanya khayal saja dan
hanya Allah lah yang memiliki ketetapan nama itu. Maka sebab itulah
semuanya akan kembali.25
Menurut ‘Abdurrahman Shiddîq, tauhid (wahdaniyah al-Asma)
adalah meyakini dengan pandangan mata hati bahwa tiada sekali-kali yang
ada di alam ini memiliki nama, kecuali pada hakikatnya zat Allah saja,
atau yang wujud dan punya nama hanya Allah saja. Segala nama yang ada
24 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 7 25. Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 8
57
☺
.
“Maka ke manapun kamu menghadap disitulah wajah Allah”
Bila seseorang sudah musyahadah akan Esanya Allah pada asma’,
maka bila melihat ada orang yang pemurah, dikembalikanlah kepada Allah
bahwa hanya Dia Yang Maha Pemurah. Bila melihat orang kaya, Allah
jualah yang Maha Kaya (Ghani), demikian seterusnya pada perumpamaan-
perumpamaan yang lain.
Himpunan sekalian asma itu ada dua. Pertama jami’, artinya
menghimpun sekalian mazhar pada asma, yang diistilahkan dengan:
.شهودالكثرة في الوحدة
“Pandang yang banyak pada satu asma, maksudnya sekalian alam
ini pada dasarnya dari Allah jua”.
Kedua ma’ani, mecegahkan, yaitu tercegahnya sekalian mazhar
mempunyai nama. Terbitnya dari Allah juga, yang diistilahkan dengan:
.ة في الكثرةشهودالوحد
“Pandang yang satu pada yang banyak, yakni permulaannya dan
kesudahannya pada Allah jua.”
58
Jadi dalam wahdaniyat al-asma ini, muslim melihat segala yang di
alam ini dari Allah juga berasalnya dan kepada Allah pula kembalinya.26
Ajaran ini menurut penulis boleh jadi asal muasalnya berupa
pandangan serba Tuhan (Panteisme). Menurut Harun Nasution, Panteisme
berarti seluruhnya Tuhan, bahwa seluruh kosmos ini Tuhan. Semua yang
ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada
dalam keseluruhannya. Benda-benda yang ditangkap oleh pancaindra
adalah bagian dari Tuhan. Tuhan adalah immanent, berada dalam alam,
bukan di luar. Karena seluruh kosmos ini satu, maka Tuhan dalam
Panteisme juga satu, hanya menurut Panteisme Tuhan mempunyai bagian-
bagian. Alam yang dilihat oleh panca indra hanya ilusi atau khayal saja,
yang hak dan yang ada itu hanya Tuhan.
Dilihat dari pengertian Panteisme di atas, maka nampak bahwa
wahdaniyah al-Asma yang diajarkan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq memang
agak identik. Namun, wahdaniyah al-Asma yang diajarkan ini juga hanya
ada dalam penyaksian batin (syuhûdi), sehingga beliau mengajarkan
syuhûd al-katsrah fi al-wahdah dan syuhûd al-wahdkah fi al-katsrah.
Pendapat ini agaknya dipengaruhi oleh beberapa pendapat, diantaranya
Abu Bakar al-Syibli dan Imam al-Ghazali.
Al-Syibli pernah mengatakan, “Aku tidak pernah melihat sesuatu
terkecuali Tuhan”. Sufi yang menganut pendapat demikian akan
mengalami penghayatan wahdah al-syuhûd dan tenggelam dalam mabuk
26 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 9
59
cinta (rapture to love) kepada Allah. Apa saja yang dipandangnya tampak
sebagai Tuhan. Sementara dalam pandangan al-Ghazali wahdaniyah al-
Asma ini berada dalam tingkatan tauhid martabat ketiga. Menurut al-
Ghazali, pada martabat ini seseorang melihat segala yang banyak dalam
alam ini pada hakikatnya terbit dari yang satu yaitu Allah. Tauhid tingkat
ini juga disebut tauhid ahl al-kasyf atau tauhid martabat muqarrabin, sebab
seorang sufi melakukan musyahadahnya dengan jalan kasyf. Orang yang
mencapai tauhid ini mampu menyaksikan keesaan Tuhan dengan kasyf
melalui perantaraan nur al-Haqq.27
Dengan demikian, ajaran tauhid al-Asma yang dikemukakan oleh
‘Abdurrahman Shiddîq boleh jadi mengacu kepada pendapat al-Syibli dan
al-Ghazali, yaitu wahdah al-syuhûd. Walaupun ada kemiripan dengan
Panteisme, kemungkinan itu hanya faktor kebetulan saja, sebab
‘Abdurrahman Shiddîq tidak mencantumkan pendapat para filosof di luar
Islam sebagai acuan pendapatnya. Tauhid al-Asma’ ini juga bertujuan
untuk memantapkan tauhid itu sendiri serta mencegah dari mengagumi
sesuatu yang lain di luar Allah. Misalnya ketika melihat orang yang kaya
ia tidak akan silau, sebab hanya Allah yang Maha Kaya dan Allah pulalah
yang memberikan kekayaan pada orang tersebut.
Pada sisi lain, orang yang sampai pada tauhid al-Asma‘ ini tidak
lagi mementingkan harta benda dunia dengan berbagai nama ini dan tidak
27 Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, h. 133
60
pula risau atau iri dengan orang yang memilikinya, sebab semuanya telah
mampu dikembalikannya kepada Asma’-Nya Allah.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan oleh penulis bahwa ajaran
Tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq tentang Tauhid al-Asma’ sebagai
berikut : semua nama itu kembali kepada asma’ Allah. Maksudnya segala
yang bernama di alam semesta ini semuanya berwujûd dari asma’ Allah.
Semua nama itu memerlukan wujûd yang hakiki hanya satu, yaitu wujûd
Allah, maka sebagai konsekuensi logisnya hakikat asma’ pun hanya satu,
yakni asma’ Allah. Dalam hubungan ini tampaknya ajaran tasawuf Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq sama dengan ajaran wahdah alwujûd. Tetapi ia
menolak paham ittihad dan hulul, tampaknya dia sependapat dengan al-
Ghazali atau aliran Tasawuf Sunni.
3. Tauhid Sifah
Dalam kitab Amal Ma’rifah tauhid sifat adalah bagaimana
mengesakan Allah SWT pada sifat, yaitu jika engkau pandang dengan
mata hati dan mata kepalamu dengan i’tikad yang putus bahwasanya Allah
SWT sajalah wahdaniyah segala sifat, artinya asa pada bersifat kodrat dan
iradah dan ilmu dan hayat dan sama’ dan basar dan kalam dan lainnya,
karena tiada ada dzat bersifat dengan yang tersebut itu pada hakikinya
melainkan dzat Allah SWT dan dibangsakan sifat itu kepada mahluk yaitu
hanya majaz saja bukan pada hakikinya. Dan engkau lihat sifat itu berdiri
kepada mahkluk, maka apabila di pandang dengan haqqul yakin niscaya
fana’lah sifat-sifat mahluk di dalam sifat Allah SWT yakni tiadalah kuasa
61
ia melainkan dengan qodrat Allah SWT dan tiada berkehendak ia
melainkan dengan iradah Allah SWT hingga akhirnya. Maka ketika itu
mufakatlah ma’rifah Engkau dengan al-Qur’an dan hadits beserta ijma’
ulama dalam firman Allah:
ن اهللا على آل شئ قديرا
“Bahwasanya Allah SWT yang amat kuasa atas tiap-tiap sesuatu”
Dalam firman Allah SWT di dalam hadits qudsi menegaskan
kembali tentang tauhid sifat ini :
هم وال يزال بمثل أداء ماأفترضت علي المتقربونما تقرب إلي
العبد يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته آنت سمعه الذي
يسمع به وبصره الذي يبصربه ولسانه الذى ينطق به ويداه التى
.مشي بها وقلبه الذي يضمربهيبطش بها ورجله التي ي
“Tiada menghampirikan oleh segala orang menghampirkan dirinya
kepada Aku dengan seumpama mengerjakan barang yang Aku fardukan
atas mereka itu dan senantiasa hamba-Ku menghampirikan dirinya kepada
Aku dengan mengerjakan segala ibadah sunnah hingga Aku kasih akan ia,
Maka apabila Aku kasih akan dia niscaya adalah Aku Pendengarnya yang
mendengar ia denga dia, dengan pengelihtannya yang melihat ia akan dia,
dan lidahnya yang berkata-kata ia dengan dia, dan tangannya yang
memegang ia dengan dia dan kakinya yang berjalan ia dengan dia dan Aku
hatinya yang berjuta-juta ia dengan dia.
62
Tingkatan tauhid sifat inilah kesudahan yang diharuskan dan yang
dimaksudkan dan yang ditetapkan. Dan tiada yang melampaui dari pada
maqam ini melainkan Saydina Muhammad SAW dan Ambiya dan Auliya
yang di bawah qidamnya. Maka maqam yang di atasnya yaitu maqam
tauhid dzat.28
Tauhid al-sifat, yakni fana’ (luluh)-nya seluruh sifat mahluk,
termasuk dirinya sendiri, di dalam sifat Allat Swt. Sifat seperti qudrah
(berkuasa), iradah (berkehendak), ‘ilmu (mengetahui), hayat (hidup),
sama’ (mendengar), basar (melihat), dan kalam (berkata-kata), adalah
sifat-sifat itu yang dimiliki Allah, sedangkan sifat mahluk hanyalah
merupakan perwujudan dari sifat-sifat Allah, sebagaimana di katakan
dalam oleh Muhammad Nafis Al-Banjari dalam kitabnya “seperti bahwa
engkau lihat dan engkau musyahadahkan dengan hatimu dan iktikadmu
bahwasanya sifat yang berdiri ia kepada dzat-Nya itu, yaitu seperti
Qudrah, dan iradah, dan ‘ilmu, dan hayah, dan sama’, dan basyar, dan
kalam, sekalianya itu sifat Allah Ta’ala, karena tiada ada dzat yang bersifat
dengan segala sifat yang tersebut pada hakikatnya, melainkan dzat Allah
Ta’ala jua, dan dibangsakan segala sifat itu kepada mahluk itu, yaitu
madhar-Nya sifat Allah Ta’ala juga.29
Dalam wahdaniyah sifat, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
mengajarkan hanya Allah yang Esa pada segala sifat; dalam kudrah,
28 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 33-36. 29 Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan. h. 134.
63
iradah, ilmu, hayah, sama’, bashar, kalam dan sebagainya. Tidak ada zat
lain yang punya sifat seperti sifatnya Allah. Kalaupun ada makhluk punya
sifat itu hanya majaz, hakikatnya hanya sifat Allah.
Dengan memiliki dan meyakini wahdaniyah sifat ini, seorang
hamba akan mampu mencapai maqam fana fillah dan baqa‘ bisifatillah.
Hamba akan beroleh ma’rifah dan Allah akan membukakan rahasia sifat-
Nya yang mulia kepada hamba.
Pandangan demikian juga timbul karena penglihatan syuhûdi,
bukan dalam realitas. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa ‘Abdurrahman
Shiddîq menghilangkan eksistensi makhluk dan khaliq. Pengarang hanya
menekankan tauhid al-Sifah ini pada segi zauqiyah (perasaan). Orang yang
mencapai tauhid jenis ini merasakan mereka kehilangan diri dan sifat-sifat
mereka dan merasa menyatu dalam sifat-Nya Tuhan.30
Dalam kitab Fath-‘Alim fi Tartib al-Ta’lim oleh Syaikh
Abdurrahman Shdiddiq di sebutkan bermula fasal pada menyatakan
berbagai sifat yang wajib kepada empat bagi ketahui olehmu bahwasanya
sifat duapuluh itu terbagi ia kepada empat bagi pertama sifat nafsiah
artinya sifat yang dibangsakan kepada diri zat Allah Swt karena melazimi
sifat itu baginya kedua sifat salbiah artinya sifat yang dibangsakan kepada
meninggalkan karena bahwasanya qidam meninggalkan berpermulaan
adanya dan baqa’ meninggalkan berkesudahan adanya hingga akhirnya
ketiga sifat ma’ani yang berdiri dengan zat Allah Swt, keempat sifat
30 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah, h. 35-36.
64
ma’nawiyah artinya sifat yang dibangsakan kepada makna yang berdiri
bagi zat Allah Swt karena melazimi sifat ma’naiyah itu baginya syahdan
sifat nafsiah itu satu wujûd dan takrifnya hiya al-hal al-wajibah li al-dzat
ma damat al-dzat ghayr al-mu’allalatin bi ‘illatin artinya yaitu hal yang
wajib bagi zat selama kekal zat tiada dikarenakan dengan suatu. Dan
martabatnya maujud pada dzihn (rasanya) dan tiada maujud pada kharij
(luarnya). Adapun sifat salbiah itu ada lima sifat qidam baqa’
mukhalafatuhu ta’ala li al-hawadits qiyamuhu ta’ala binafsih dan
takrifnya hiya ‘ibaratun ‘an nafsi ma la yaliqu bihi jalla wa ‘azza artinya
yaitu ibarat dari pada menafikan barang yang tiada layak dengan Tuhan
kita yang Maha Besar dan Maha Mulia. Adapun sifat ma’ani itu tujuh sifat
qudrah iradah ‘ilmu hayah sama’ bashar kalam dan takrifnya hiya kull
shifatin mawjudatin qa’omatin bi mawjudin awjabat lahu hukman artinya
yaitu tiap-tiap sifat yang maujud yang berdiri dengan zat yang maujud
yang wajib baginya satu hukum yaitu hal ma’nawiyah dan martabatnya
maujud pada dzihn dan tiada maujud pada kharij. Adapun sifat
ma’nawiyah itu tujuh sifat qadirun muridun ‘alimun hayyun sami’un
bashirun mutakallimun dan takrifnya hiya al-hal wajibah li al-dzat ma
damat al-dzat mu’allamatan bi ‘illatin artinya yaitu hal yang wajib bagi
zat selama kekal zat yang dikarenakan dengan suatu karena yaitu sifat
ma’ani pada akal karena tiada terakal keadaannya yang kuasa melainkan
65
kemudian daripada terakal keadaannya yang kuasa melainkan kemudian
daripada terakal kuasa hingga akhirnya.31
Dalam sebuah kitab Awaluddin sifat dua puluh di jelaskan secara
ringkas bahwasanya sifat Allah yang wajib secara ijmali terbagi empat
bagian sebagaimana berikut:
a. Sifat Nafsiah
Artinya ialah suatu hal yang wajib bagi zat Allah. Bersifat
dengan sifat wujûd yaitu “ada” tidak dikarenakan oleh karena yang lain
adapun sifat nafsiah itu hanya satu yaitu wujûd
b. Sifat Salbiah
Arti dari sifat salbiah, ialah menolak atau menapikan, segala
macam sifat yang tidak layak pada zat Allah Ta’ala. Sifat salbiah itu
terdiri dari lima yaitu qidam, baqo, mukholafatu lilhawadits,
wahdaniyah, qiyamuhu binafsih
c. Sifat Ma’ani
Arti dari sifat Ma’ani ialah sifat yang maujud (ada) yang diri
pada zat Allah yang maujud. Yang mewajibkan zat itu bersifat dengan
suatu hukum sifat ma’nawiah. Sifat ma’ani ini terdiri dari tujuh sifat
yaitu, qudrah, iradah, ‘ilmu, hayah, sama’, bashar, kalam.
d. Sifat Ma’nawiah
31 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Fath al-‘Alim Fi Tartib al-Ta’lim , (Singapura: Matba’ah Ahmadiyah, 1936), h. 7.
66
Arti dari sifat ma’nawiah ialah suatu yang tsabit, yang tetap bagi
zat Allah bersifat dengan ma’ani, tegasnya anatara sifat ma’ani dengan
sifat ma’nawiah jadi berlazim-laziman keduanya. Sedangkan sifat
ma’nawiah ada tujuh sifat juga, yaitu, qodirun, muridun, alimun,
hayyin, sami’un, bashirun, mutakallimun.32
Melihat dari ajaran wahdah al-wujûd yang dikemukakan oleh
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq ini agaknya juga dipengaruhi oleh pendapat
Junaid al-Baghdadi. Dan pendapat ini juga searah dengan pendapat
Hamzah Fansuri, menurut pandangan Hamzah Fansuri wujud itu pada
dasarnya hanyalah satu, walaupun kelihatannya banyak. Wujud yang satu
ini berkulit dan berisi, atau ada yang mazhar (kenyataan lahir) dan ada
yang batin. Ataupun semua benda-benda yang ada ini, sebenarnya adalah
merupakan pernyataan saja dari pada wujud yang hakiki, dan wujud hakiki
itulah yang disebut Allah.33
Bila dilihat dari ajaran yang beliau ajarkan sepertinya ada
kaitannya dengan Tarekat Sammaniyah, yang mungkin menjadi ciri
khasnya adalah corak wahdat al-wujud yang dianut oleh aliran ini.
Keterkaitan ini diperkuat dengan penyebaran Tarekat Sammaniyah di
Kalimantan Selatan yang disebar dan dibawakan oleh M. Arsyad Al-
Banjari hal ini beliau aplikasikan dalam bentuk qasidah pujian Syaikh
Samman. Syaikh M. Arsyad Al-Banjari masih keturunan Syaikh
32 Utsman bin Abdullah, Sifat duapuluh, Yayasan Sosial Pendidikan Pengembangan & Penelitian Islam M.A Jaya –jakarta, Indonesia, hl 29-31
33 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, (Jakarta, Kencana, 2006), h, 74
67
Abdurraman Shiddik dari pihak ayahnya34 Dan di di daerah Bangkapun
sampai sekarang masih sering terdengar bacaan Manaqib Samman dan
Hikayat Syaikh Samman di majlis-majlis pengajian.
Orang yang berhasil mencapai tauhid al-Sifat ini akan
mengantarkannya kepada pengalaman dan penghayatan fana’ fillah. Fana,
ecstasy, ini amat didambakan oleh para sufi. Orang yang mencapainya
akan mengalami perubahan-perubahan: Pertama, peralihan moral dari
sifat-sifat tercela dengan jalan pengendalian nafsu dan keinginannya.
Kedua, lenyapnya kesadaran terhadap apa yang ada di sekeliling, baik
pikiran, perbuatan dan perasaan, lantaran terhisap dalam penghayatan pada
Tuhan, karena penghayatan hanya tertuju pada sifat-sifat Allah. Ketiga,
lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya.
Jadi orang yang mampu bertauhid sifat ini akan tenggelam
perasaan, pikiran dan sifat-sifat dirinya dan semuanya terhisap atau tertuju
pada sifat-sifat Tuhan saja. Orang tidak akan merasa ada makhluk yang
kuasa, berilmu, berkehendak dan lain-lain, karena pemilik semua sifat-sifat
utama hanya Allah saja, sebab hanya Allah yang amat berkuasa atas segala
sesuatu.35
34 Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005, h194
35 http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010.
68
4. Tauhid dzat
Menurut Syaikh Abdurrahman Shiddiq maqam tauhid Dzat adalah
setinggi-tingginya tingkatan. Tiada lagi maqam di atasnya yang sampai
kepadanya pengetahuan mahluk. Pada maqam inilah kesudahan
musyahadah arifin billah. Dan perhatian perjalanan mereka itu dan
kepadanya daripada oleh Dzat yang terlintas pada hati manusia dan
kepadanya sehingga dan sehabis-habis supaya pengetahuan sekalian
mahluk.36 Adapun maqam yang di atasnya maka tiada mendapat akan dia
anbiya dan mursalin dan malaikat mukarrabin. dalam firman Allah SWT:
.و يحذرآم اهللا نفسه
“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya”.
Kemudian Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq memperkuatkan lagi
dalam sebuah hadits yang berbunyi :
.أحمق اهللاآلكم في ذات
“Sekalian kamu pada mendapat apa dzat Allah SWT ahmak (tidak
dapat diketahui)”.
Berkata Syaikh Abdul Wahab Sya’roni ra “bermula pengetahuan
Dzat hak Allah tiada merasa dan tiada mendapat akan dia oleh seseorang
juga dari pada sekalian mahluk-Nya karena bahwasanya Allah SWT bukan
Ia yang dihukumkan akal dan bukan yang dihukumkan oleh mata hati dan
mata kepala tetapi adalah ia baik yang demikian itu, maka bukan ia
36 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 37
69
demikan itu. Dan barang siapa mengetahui akan yang demikian itu wajib
atasnya bahwa menyembah akan Dzat yang Suci lagi ghoib yaitu
kenyataan yang di musyahadahkan dan itu ibadah yang disempurnakan.37
Tiada yang sampai kepssada maqam (tingkatan) tauhid dzat ini
melainkan Nabi Muhammad SAW sajalah dan Anbiya dan Auliya dan
yang dibawahnya yang benar-benar menjalankan tauhid ini dengan
bersungguh-sungguh.
Maka bermula bagaimana mengesakan Allah SWT pada dzat-Nya
yaitu bahwa engkau pandang dengan mata hati dan mata kepala dengan
pandangan yang putus bahwasanya tiada yang maujud di dalam wujûdnya
itu hanya Allah sajalah. Maka fanalah dzat kita dan sekalian makhluk
dibawah dzat Allah Swt hingga tiada yang maujud melainkan Allah SWT
sendirinya dan wujûd yang lain melainkan Allah adalah khayal saja.38
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq juga mengumpamakannya dengan mimpi,
baginya mimpi itu adalah tiada baginya hakiki atau sebenarnya ini dapat
dinyatakan, apabila kita terbangun maka hilanglah ia seperti demikianlah
wujûd Allah. Apabila kita mati niscaya hilanglah dan baharulah kita jaga
dan kita lihat bahwasanya tiada baginya wujûd yang sebenarnya seperti
sabda Rasulullah :
.الناس نيام فإذا ماتواانتبهوا
37 Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, h. 42. 38 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah h. 39
70
“Segala manusia itu tidur maka apabila mati mereka itu maka
barulah terbangun mereka itu”
Karena mati itu menurut ahli tasawuf dua perkara: Pertama, Mati
rasa maksudnya menjauhnya ruh dari pada jasad. Kedua, Mati maknawi
dan mati hakiki yaitu fana di dalam mar’rifatnya dan musyahadah akan
af’al dari-Nya dan sekalian mahluk dan asma’-Nya dan sifah-Nya . Maka
mati maknawi inilah yang diisyaratkan dalam hadits Nabi Muhammad:
أن تموتوا ومن أراد أن ينظر إلى ميت يمشى على وجه موتوا قبل
.الأرض فلينظر إلى أبي بكر
“Matikanlah olehmu akan dirimu sebelum lagi kamu mati kamu
dan barang siapa berkehendak bahwa memandang ia kepada mayit yang
berjalan ia di atas bumi maka hendaklah memandang ia akan Abu Bakar
Shiddîq (hadits)
Maka dalil diatas tadi amat sangat banyak seperti apa yang
disebutkan dalam al-Qur’an:
.آل من عليها فان ويبقى وجه ربك ذواالجالل واإلآرام
“Bermula tiap-tiap barang yang ada dari pada segala hayawan atau
yang bersusun atas dzat dan sifat sekaliannya itu binasa pada masa yang
dahulu dan pada masa sekarang dan masa yang lagi akan datang dan kekal
dzat Allah Tuhan ya Muhammad yang mempunyai kebesaran dan
kemulian”.
Dan dalam firman Allah disebutkan lagi:
71
.آل شئ هالك إلا وجهه
“Bermula tiap-tiap sesuatu itu binasa ia pada masa yang telah lalu
dan pada masa sekarang dan masa akan datang melainkan dzat Allah SWT
saja tiada binasa”.39
Pendapat ini sepaham dengan pendapat Ibnu ‘Arabi ia mengatakan
bahwa gambaran alam yang disaksikan indra manusia di dunia ini adalah
seperti gambaran dalam mimpi, yang perlu ditakwilkan. Dengan mengutip
hadits Nabi bahwa manusia di dunia ini seperti orang-orang yang sedang
tidur, bila mereka mati barulah mereka sadar (bangun), Ibnu ‘Arabi
mengajarkan bahwa hadits itu Nabi Muhammad memperingatkan bahwa
apa saja yang dilihat manusia dalam hidup di dunia ini adalah seperti
mimpi bagi orang-orang yang tidur, merupakan khayal yang harus
ditakwil alam ini hanyalah khayal dan ia sungguh-sungguh ada (haqq)
sebenarnya. Penjelasan lebih lanjut tentang ini dari Ibnu ‘Arabi adalah
sebagai berikut. Alam itu wahm, tidak memiliki wujûd hakiki; inilah
makna khayal, yaitu dikhayalkan bagi anda bahwa dia (alam) adalah
wujud tambahan, yang berdiri sendiri di luar dari wujud Tuhan; padahal
tidak demikian kenyataan yang sesungguhnya.40
Sedangkan menurut Muhammad Nafis dalam kitabnya kitabnya al-
Durr al-Nafis, alam semesta ini fana’, dan hakikatnya tidak ada, yang ada
hanya wujûd Allah. Wujud Allah mendapat segala sesuatu Allah tidak ada
39 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah h. 45-46 40 Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Wahdah al-Wujud (kesatuan wujud),
Tuhan Alam Manusia, dalam Tasawuf syamsuddin sumatrani,(Padang: Lain IB Press, 1999), h. 38.
72
persamaan-Nya dengan sesuatu (laisa kamislihi syaiun). Tidak maujud
pada hakikatnya hanya Allah. Fana’ segala perbuatan hamba pada
perbuatan Allah, fana’ segala asma’ hamba pada asma’ Allah, fana’ pula
sifat-sifat hamba pada sifat Allah, dan akhirnya fana’ segala dzat hamba
pada dzat Allah. Segala apapun yang ada pada mahluk ini hilang sirna dan
semata-semata dan wahm (dugaan). Lenyap segala ketentuan yang Maha
Mengetahui. Terlihat oleh hamba segala ketentuan pada yang Maha
Mengetahui. Terlihat oleh hamba segala perbuatan Allah. Mahluk pada
hakikatnya hanyalah laksana benang melayang di udara, kemana angin
bertiup kesanalah ia ikut melayang.41
‘Abdurrahman Shiddîq juga menyatakan bahwa yang maujud di
dalam maujud kecuali hanya Allah. Wujud manusia hanya khayal,
semuanya akan fana’ dalam maujud Allah, seperti maujud dalam mimpi,
setelah terbangun semua Dalam hal wahdaniyah zat, ‘Abdurrahman
Shiddîq mengajarkan keyakinan bahwa tiada sirna, begitu juga maujud
yang lain selain Allah.42
Orang yang mampu mencapai tauhid keempat ini akan mampu
menyelam dalam laut ahadiyat Allah atau keesaan Allah bagaikan tidak
terselamatkan lagi atau mabuk dan tidak ingin siuman dari mabuknya.
Ketika itu baginya habis fana fillah, hilangnya wujudnya dalam wujûdnya
Allah. Namun, ia masih belum sampai ke tingkat al-baqa bi Allah, yakni
41 Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, h. 140. 42 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 40
73
kekal bersama Allah dengan pandangan yang mantap bahwa Allah yang
menyatakan kekekalan pandangan tersebut.43
Pada ukuran tertentu paham ini sangat dekat kepada paham
wahdaniyah al-wujûd dan hulul atau ittihad pada umumnya seperti Ibn
Arabi dan al-Hallaj. Yang menjadi rujukan ‘Abdurrahman Shiddîq dalam
tauhid dzat ini adalah Abu Yazid ia merupakan salah satu tokoh sufi yang
cenderung kepada wahdah al-wujûd melalui konsep ittihad yang
diajarkannya. Saat Abu Yazid syathahat dan mengalami penghayatan
ittihad (the unitive state) ia mengatakan: “aku adalah Engkau dan Engkau
adalah aku”. Dan masih banyak lagi ucapan syathahat lainnya yang
menunjukkan Abu Yazid sedang ittihad atau manunggaling kawula Gusti.
Tetapi menurut ‘Abdurrahman Shiddîq, semua keyakinan itu
haruslah dalam pandangan zauqiyah (perasaan), bukan pandangan qauli
dan lafzi, sebab semua pandangan panca indra lemah dan tidak kuasa
menembus alam gaib. Hanya orang yang zauq (merasa) yang akan
mendapat pengalaman tesebut. Karenanya beliau tetap memegang kepada
syuhûdul katsrah fil wahdah dan syuhûdul wahdah fil katsrah.44
Dengan demikian dapatlah disimpulkan oleh penulis, paham
wahdaniyat zat yang dikemukakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq, meski
sangat dekat dengan ittihad dan wahdah al-wujûd, namun beliau
menempatkannya dalam wahdah al-syuhûd saja. Walaupun mengacu
43 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 46 44 Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq, Risalah Amal Ma’rifah., h. 49
74
kepada beberapa pendapat Abu Yazid Bustami, namun ‘Abdurrahman
Shiddîq sendiri tidak pernah mengucapkan kata-kata syathahat, seperti
yang pernah diucapkan oleh Abu Yazid Bustami ataupun sufi yang lain.
Beliau tetap teguh memegang prinsip bahwa Allah itu tidak sama dengan
sesuatu apapun, serta baqanya zat Allah, sedangkan semua makhluk lain
akan fana.
Jadi dari keempat tingkat tauhid di atas, yakni wahdaniyat af’al,
asma, sifat, dan zat yang beliau kenalkan semuanya mengacu kepada
pendapat ulama sufi terdahulu seperti pendapat asy-Syibli, al-Baghdadi
dan al-Ghazali dengan konsep wahdah al-syuhûd. Walau pada tingkat
wahdaniyat zat pandangan ‘Abdurrahman Shiddîq sangat dekat dengan
wahdah al-wujûd, namun tetap aspek syuhûdi yang ditekankannya. Jadi
wahdah itu bukan fakta, bukan pada qauli dan lafzi, tapi pada zauqi saja.45
45 http;//zuljamalie,blogdetik. Com/2009/07/17/36, diakses pada 10 juli 2010.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam Pemikiran Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq dia mengenalkan
beberapa konsep tauhid yaitu tauhid wahdaniyat af’al, tauhid wahdaniyat
asma, tauhid wahdaniyah sifat dan tauhid wahdaniyah zat.
2. Dari Keempat bentuk konsep tauhid yang beliau jelaskan dalam kitab
‘amal ma’rifah ini sarat dengan tasawuf falsafi yang bermuatan wahdah
al-syuhûd banyak dipengaruhi oleh pendapat Abu Bakar al-Syibli, Junaid
al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Pada wahdaniyat zat, beliau hampir
saja mendekati wahdah al-wujûd. Namun beliau tetap menekankan bahwa
wahdaniyah al-Zat itu hanya pada dimensi zauqi, bukan qauli dan lafzi,
sehingga beliau tidak pernah mengucapkan kata-kata syathahat
sebagaimana pernah diucapkan Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj atau Ibnu
Arabi. Melalui wahdaniyah af’al diharapkan manusia tidak syirik, ujub
dan riya dengan af’alnya, karena pada hakikatnya hanya Allah yang
memiliki af’al, sebab Allah tidak saja menciptakan manusia tapi juga
menciptakan af’al manusia. Melalui wahdaniyah asma diharapkan
manusia tidak silau oleh nama dan beragam nama yang ada pada makhluk
dan yang dipunyai makhluk, sebab hakikatnya hanya Allah yang
mempunyai nama-nama kesempurnaan. Melalui wahdaniyah sifat
75
76
diharapkan manusia tidak sombong dengan sifat-sifat dan kelebihannya,
sebab hanya Allah yang memiliki segala sifat kesempurnaan. Kemudian
melalui wahdaniyah zat, diharapkan mata hati manusia menyatu dengan
zat Allah, sehingga segala pikiran, perasaan dan perbuatan terkonsentrasi
pada zat Allah saja, tapi bukan menyatu dengan Allah dalam bentuk
wahdah al-wujûd atau manunggal dengan Tuhan.
B. Saran
Berkenaan dengan Pemikiran Tasawuf Syaikh ‘Abdurrahman Shiddîq
(Telaah Atas Kitab Amal Ma’rifah), disarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Walaupun berusaha meneliti dari kitabnya ‘Amal Ma’rifah dan biografinya
sehingga ditemukanlah konsep tasawuf yang beliau ajarkan buat
masyarakat, bukanlah berarti penulisan ini sudah cukup sebagai bahan
rujukan bagi penulis sesudah ini, karena apa yang diteliti oleh penulis ini
jauh dari kesempurnaan, maka perlu kiranya perbaikan dari semua pihak
nantinya bila menemukan kekurangan dan keganjalan namun inilah usaha
yang dilakukan penulis untuk mengangkat nama tokoh ulama’ Bangka.
2. Perlunya mengangkat nama tokoh ulama’ daerah kemuka umum, meningat
betapa besar perjuangan mereka memperjuangkan agama Islam ini ke
masyarakat, khususnya di kepulauan Bangka, dan harapan penulis kepada
siapapun yang nantinya meneliti tentang tokoh ulama’ Syaikh
‘Abdurrahman Shiddîq hendaklah mencari informasi yang lebih akurat,
mengigat data tentang beliau masih kurang sekali
77
3. Ajaran tauhid ‘Abdurrahman Shiddîq memang perlu dipelajari dipahami
dan dihayati oleh umat, namun hendaknya terbatas bagi kalangan
menengah ke atas saja yang penghayatan tauhid, i’tikad, dan pengamalan
syariatnya sudah memadai. Bagi orang awam yang tauhid, i’tikad, dan
syariatnya belum matang hendaknya dihindarkan dari mempelajari isi
kandungan kitab Amal Ma’rifah ini, sebab dapat berakibat terabaikannya
syariat serta terganggunya akidah.
4. Ajaran tauhid yang dikemukakan oleh ‘Abdurrahman Shiddîq hendaknya
dipahami dalam konteks tasawuf akhlaki dan amali, sehingga dalam
menghayati tingkatan-tingkatan tauhid, seseorang tetap konsisten
menempuh maqamah-maqamah akhlak tasawuf yang terpuji dan tetap
mengutamakan pengamalan syariat. Tegasnya pemahaman tauhid harus
secara total dan berintegrasi dengan syariat dan hakikat (tasawuf),
sehingga tidak terjadi pengabaian salah satunya.
DAFTAR PUSAKA
Abdullah. Syafe’i, Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syekh H. A. Rahman Shiddik Mufti Indragiri, Jakarta: CV. Serjaya. 1982.
Abduh M. Arrafie, Corak Tasawuf Abdurrahmad Siddiq dalam Syair-Syairnya,
Jurnal Penelitian Kutubkhanah. IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru Riau tahun 2000/2001.
Abdullah, Utsman bin, Sifat duapuluh, Yayasan Sosial Pendidikan
Pengembangan & Penelitian Islam Anwar, Rohan, Ahlak Tasawuf, Bandung: Pusaka Setia, 2009 Achmad. Abu Bakar: Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Solo. Ramadhani, cet
9. 1996 Al-taftazani, Abu al-Wafa. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung : Pusaka salman,
ct. I. 1980). Judul Asli, Madkhal ila al-Tasawwuf al-islam, cet. IV kairo : Dar al-al-Tsaqafah li al-Nasyr wa al-Tauzi, 1983).Penerjemah : Ahmad Rofi Utsmani.
Taib Tahir Abd Mu'in, Ilmu Kalam (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975 Bruinessen. Martin Van. Kitab Kuning : Pesantren dan Tarekat. Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia. Bandung. Mizan. 1999 B. D. Mc Donald, Tauhid, dalam M TH Housma, et, all. Frist Encylopedia of
Islam, leiden E. J. Brill, 1987 vol, 8, Chirzin. M. Habib. Agama dan Ilmu dalam Pesantren” dalam Pesantren dan
Pembaharuan. Jakarta : LP3S 1983 Dewan Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, jilid v, cet Ke-3 Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pusaka, 1990) cet ke-3, Harmi, Zulkifli dkk, Translitersi dan Kandungan, Fath al-Alim Fi Tartib Al-
ta’lim, Syaikh Abdurrahman Siddik, Sungailiat Bangka: Siddiq Press, 2006.
Hirtenstein, Stephen. Dari Keragaman Kesatuan Wujud ; Ajaran & kehidupan
Spritual Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001
78
79
Hhtp;zuljs,s;i,blogdetik.com/2009/07/36., diskases pada 10 Juli 2010 Isa , Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 100. Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara, Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,Jakarta,
Kencana, 2006 Muhammad, Ibrahim al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam. Ter (Jakarta :
Rabbani Press, 1998) cet ke-1, h 7 Mulyati, Sri Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
Jakarta, Kencana, 2005, h194 Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
Nasution , Harun, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1978. Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan karya Ilmiah (skripsi, tesis dan
disertasi) Jakarta: CeQDA. 2007 Ngafenan, Muhammad, Kamus Etologi Bahasa Indoneisa, (Semarang : Dahara
Priza, 1990) cet ke-2 h. 171 Shihab, Alwi, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf di
Indonesia, (Bandung: Mizan IIMaN, 2009) Shiddiq, Abdurrahman, Risalah Amal Ma’rifah, Banjarmasin: Munawaddah,
1329 H ---------------------Asrar al-Salah min ‘Iddat al-Kutub al-Mu’tamadah. Singapura:
Matba’ah Ahmadiya 1931 -----------------------Fath al-Alim Fi Tartib al-Ta’lim. Singapura: Matba’ah
ahmadiyah 1929. ----------------------Risalah fi Aqai’id al-Iman. Singapura : Matba’ah Ahmadiyah
1936 Sirojuddin , Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Hoeve,1999, cet. Ke-6.
80
Yunasril, Ali,. Manusia Citra Ilahi : Pengembangan Konsep Insane Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili, Jakarta: Paramadina, cet. Ke-1, 1997.
Yusuf M Yunan, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran
Hamka dala Teoligi Islam Jakarta: Paramadina, 1990 Taufik, et. Al. Peranan Syaikh Abdurrahman Siddik dalam Pengmbangan Islam
di Pulau Bangka. Sungailait : P3M STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Taufik, Seminar Hasil Penelitian Dosen Tahun 2007, Syair Ibarah dan Khabar
Qiyamah oleh Syaikh Abdurrahman Siddik, Bangka STAIN SAS Ibn Taymiyyah, al-Aqidah al-wasathiyyah, Beirut, Dar al-A'rabiyyah wa an-
Nasrhr, tth Zulkifli, Kontinuitas Islam Tradisional di Bangka, Sungailiat, Shiddiq Press,
2007.