61
KONSERVASI PENYU DI INDONESIA (Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Berbagai Spesies Penyu Lain) Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dan merupakan tugas akhir pada Mata Kuliah Zoologi Vertebrata dengan dosen pengampu Dosen : Dr.Hj.Tuti Kurniati, M.Pd Assisten : Sumiyati Sa’adah, M.Si Disusun oleh: Aan Amilah (1211206002) IV/A JURUSAN PEND. MIPA PRODI PEND. BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2013

KONSERVASI PENYU DI INDONESIA .pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

KONSERVASI PENYU DI INDONESIA

(Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Berbagai

Spesies Penyu Lain) Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dan merupakan tugas

akhir pada Mata Kuliah Zoologi Vertebrata dengan dosen pengampu

Dosen : Dr.Hj.Tuti Kurniati, M.Pd

Assisten : Sumiyati Sa’adah, M.Si

Disusun oleh:

Aan Amilah (1211206002)

IV/A

JURUSAN PEND. MIPA PRODI PEND. BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2013

Page 2: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf
Page 3: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

i

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohiim.....

Alhamdulillah, segala puji bagi Tuhan semesta alam Allah SWT. Berkat

izinnya akhirnya makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Solawat

serta salam juga tetap terlimpah pada sang revolusi Islam Nabi Muhammad SAW

beserta keluarga dan sahabatnya.

Saya selaku penyusun menghaturkan terimakasih kepada rekan-rekan yang

telah membantu dalam memberikan saran dalam penyusunan makalah ini dan

membantu dalam mencari berbagai referensi sehingga akhirnya makalah ini dapat

tersusun dengan baik.

Makalah yang berjudul PENYU ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuannya khususnya

yang berkaitan dengan judul materi ini.

Bandung, Mei 2013

Penyusun

Page 4: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

ii

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 3

C. Tujuan Pembahasan .................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Jenis dan Sebaran Penyu

1. Identifikasi Jenis ................................................................. 4

2. Bentuk Luar Penyu ............................................................ 6

B. Keadaann Penyu Saat Ini

1. Kelimpahan dan Kecenderungan Populasi ........................... 12

2. Kelompok atau Keragaman Populasi Penyu di Indonesia .... 18

C. Bio-Ekologi Penyu

1. Reproduksi ........................................................................ 21

2. Siklus Hidup Penyu ............................................................ 32

D. Jalur Migrasi Penyu

1. Jalur Migrasi Penyu Hijau ................................................... 34

2. Jalur Migrasi Penyu Belimbing ........................................... 35

3. Jalur Migrasi Penyu Abu-Abu ............................................. 36

E. Status Perlindungan Penyu ........................................................... 37

F. Ancaman dann Permasalahan Penyu ............................................ 38

G. Deskripsi Penyu Hijau ............................................................ 45

H. Nasib Penyu Hijau di Indonesia ................................................... 47

I. Pembudidayaan Penyu Hijau ........................................................ 50

BAB III SIMPULAN ................................................................................. 55

DAFTAR PUSTAKA

Page 5: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

1

BAB I

PENDHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dari luas laut sekitar 3,1

juta km2 (0,3 juta km2 perairan territorial dari 2,8 juta km2 perairan nusantara)

atau 62% dari luas territorial. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal

dengan kekayaan dan keanekaragaman dan sumber daya alamnya baik

sumberdaya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove dan terumbu

karang ) maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan

gas serta mineral atau bahan tambang lainnya). Hal tersebut menunjukkan bahwa

di sekitar kelautan mempunyai potensi yang sangat besar dalam bangunan di masa

depan (Dahuri,2001). Kondisi ini merupakan habitat yang sesuai bagi penyu untuk

singgah dan bereproduksi di pantai kepulauan Indonesia. Di Indonesia terdapat 6

dari 7 jenis penyu yang ada di dunia. Dari 6 jenis penyu tersebut, 4 jenis

diantaranya: yaitu penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau

(Chelonia mydas), penyu sisik (Eremochelys imbricate),dan penyu lekang

(Lepidochelys olivacea) telah diketahui berbiak di Indonesia, sementara jenis yang

lain, penyu tempayan (Caretta caretta) diduga juga berbiak disini (Salm, 1984;

salm dan Halim, 1984; Kitchener, 1996). Jenis keenam, penyu pipih (Natator

epresus) diketahui hanya berbiak di Australia, tetapi telah teramati mencari makan

di perairan Indonesia (Kitchener, 1996).

Sampai saat ini kehidupan penyu di Indonesia sangat terancam, keseriusan

ancaman penyu di Indonesia dari kepunahan nampak dari kekhawatiran Green

peace (1989) dalam Nuitja, 1997 mengatakan bahwa pertambahan populasi secara

alamiah penyu laut di Indonesia mendekati nol. Bahkan IUCN, 1984 dan

TRAFFIC Japan sudah mulai mengkhawatirkan dimasa mendatang penyu tidak

akan ditemukan lagi di Indonesia (Troeng, 1997). Pembantaian penyu dan

pengambilan telur penyu di Indonesia telah mendorong kearah kepunahan penyu

Page 6: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

2

laut, sebab secara alamiah keberhasilan hidup penyu hanya 1% dari seluruh telur

yang dihasilkan. Pembantaian penyu dan pengambilan telur secara liar telah

mendorong menurunnya populasi penyu di Indonesia. Bahkan catatan terakhir

WWF menyatakan penurunan populasi penyu di Indonesia mencapai 60%

(Partomo, 2004).

Penyu merupakan hewan langka dunia, sehingga kepunahan penyu di

Indonesia akan sangat merugikan Indonesia baik akibat kehilangan

keanekaragaman hewan maupun posisi Indonesia di percaturan Internasional.

Sebagai contoh Green Peace mengancam memboikot wisata ke Indonesia akibat

pemantaian penyu di Bali tahun 1989, di Tingkat Asean tahun 1997 telah ada

perjanjian bersama untuk perlindunan penyu, bahkan ASEAN Serikat memboikot

ekspor udang dari ASEAN akibat menggunakan jaring yang membunuh penyu

(Arshad Khan, 2003).

Secara formal, pemerintah Indonesia telah berusaha melindungi penyu dari

kepunahan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam peraturan pemerintah tersebut

ditetapkan semua jenis penyu dilindungi. Beberapa tempat juga telah ditetapkan

sebagai kawasan perlindungan penyu di Indonesia di antaranya, Taman Nasional

Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, Suaka Margasatwa Jamursba Medi

Irian Jaya dan lain-lain. Salah satu usaha perlindungan adalah dengan

menyelamatkan telur penyu di pantai, membesarkan dan melepas ke laut. Namun

permasalahan yang muncul akibat kurang pengetahuan pelaksana dan pendanaan

ternyata banyak telur penyu yang tidak menetas dan anak penyu yang mati selama

perawatan. Maka dari itu, makalah ini akan membahas tetang penyu dan

kehidupannya di alam.

Page 7: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

3

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka saya dapat menyimpulkan rumusan

masalah menjadi beberapa pertanyaan yaitu:

1. Bagaimana bentuk luar penyu dan terdiri apa saja bagian tumbuhnya?

2. Seperti apa keadaan penyu saat ini (kelimpahan dan keragaman)?

3. Bagaimana tahapan penetasan telur penyu?

C. Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah yang telah kami rumuskan maka tujuan dari

pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. engetahui bentuk luar penyu dan terdiri apa saja bagian tumbuhnya.

2. Mengetaui keadaan penyu saat ini (kelimpahan dan keragaman).

3. Mengetahui tahapan penetasan telur penyu.

Page 8: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Jenis dan Sebaran Penyu

1. Identifikasi Jenis

Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu beserta fungsinya

sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi dengan baik. Tubuh penyu

terdiri dari bagian-bagian:

a. Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian

punggung dan berfungsi sebagai pelindung.

b. Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut.

c. Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas

dengan lastrón. Bagian ni dapat digunakan sebagai alat identifikasi.

d. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat

dayung.

e. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi

sebagai alat penggali. Gambaran bagian-bagian tubuh penyu dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Tungkai depan

Plastron

Karapas

Infra

marginal Kuku Tungkai

Tungkai belakang

Bagian-Bagian Tubuh Penyu (Sumber: Yayasan Alam Lestari, 2000)

Tampak dari dorsal Tampak dari ventral

Page 9: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

5

Family : Cheloniidae, meliputi :

Species :

1) Chelonia mydas (penyu hijau)

2) Natator depressus (penyu pipih)

3) Lepidochelys olivacea (penyu abu)

4) Lepidochelys kempi (penyu kempi)

5) Eretmochelys imbricata (penyu sisik)

6) Caretta caretta (penyu karet atau penyu tempayan)

Family : Dermochelyidae, meliputi :

Species :

7) Dermochelys coriacea (penyu belimbing)

Dari 7 spesies penyu di atas, penyu jenis Lepidochelys kempi (penyu kempi) tidak

berada di Indonesia, tapi berada di Ameraka Latin. Oleh karena itu pada

pembahasan makalah ini tidak dibahas tentang Penyu Kempi tetapi hanya

membahas ke 6 penyu diatas yng beada di Indonesia.

Tabel 1. Nama ilmiah, internasional dan nama daerah (Indonesia)

NO NAMA ILMIAH DAN

INTERNASIONAL NAMA DAERAH

1 Chelonia mydas (Green turtle)

Penyu Hijau (Jawa Barat dan Kalimantan Timur), Penyu Daging (Bali), Penyu Sala (Sumbawa), Katuwang (Sumatera Barat), Penyu Pendok (Karimun Jawa)

2 Natator depressus (Flatback turtle) Penyu Pipih

3 Lepidochelys olivacea (Olive ridley turtle)

Penyu Abu-Abu

4 Dermochelys coriacea (Leatherback turtle) Penyu Belimbing

Page 10: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

6

5 Eretmochelys imbricata (Hawksbill turtle)

Penyu Sisik (Jawa Barat, Sumatera Barat, Bali, Belitung, Simelue, Pulau Seribu, Sulawesi, Kalimantan Timur), Penyu Genting (Jawa Timur), dan Penyu Sisir (Madura)

6 Caretta caretta (Loggerhead turtle) Penyu karet dan penyu tempayan

Identifikasi jenis penyu dapat dilakukan berdasarkan pada hal-hal berikut:

a. Bentuk luar (morfologi)

b. Tanda-tanda khusus pada karapas

c. Jejak dan ukuran sarang (diameter dan kedalaman sarang) serta kebiasaan

bertelur

d. Pilihan habitat peneluran

2. Bentuk luar penyu

Identifikasi penyu berdasarkan bentuk luar (morfologi) setiap jenis

dapat dilihat pada Tabel dibawah. Tata cara atau kunci identifikasi jenis

penyu berdasarkan ciri-ciri morfologi dapat dilihat pada abel dibawah ini.

Tabel 2. Identifikasi Berdasarkan Bentuk Luar

(Morfologi) Jenis Penyu

NO JENIS-JENIS PENYU CIRI-CIRI MORFOLOGI

1 Chelonia mydas (Penyu Hijau)

Karapas berbentuk oval, berwarna kuning keabu-abuan, tidak meruncing dipunggung, kepala bundar.

2 Natator depressus (Penyu Pipih)

Karapas meluas berbentuk oval, berwarna kuning keabu-abuan, tidak meruncing di belakang, kepala yang kecil dan bundar.

3 Lepidochelys olivacea (Penyu Abu-Abu)

Karapas berbentuk seperti kubah tinggi, terdiri dari 5 pasang “coastal scutes” dimana disetiap sisi terdiri dari 6-9 bagian. Bagian pinggir karapas lembut. Karapas berwana hijau gelap (dark olive green) dan bagian bawah berwarna kuning. Kepala penyu abu-

Page 11: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

7

abu tergolong besar.

4 Dermochelys coriacea (Penyu Belimbing)

Punggung memanjang berbentuk buah belim bing , epalanya sedang serta membundar, kaki depan panjang serta punggung berwarna hitam, hampir seluruhnya disertai bintik-bintik putih.

5 Eretmochelys imbricata (Penyu Sisik)

Bentuk karapas seperti jantung (elongate) , meruncing dipunggung, kepalanya sempit seta karapasnya berwarna coklat dengan beberapa variasi terang mengkilat.

6 Caretta caretta (Penyu Tempayan)

Bentuk memanjang, meruncing dibagian belakang,kepala berbentuk “triangular” hampir seluruhnya berwarna cokelat kemerah-merahan.

Gambar 2. Kunci identifikasi jenis penyu berdasarkan ciri-ciri morfologi (Sumber: Queensland Department of Environment and Heritage)

Perbedaan bentuk morfologi setiap jenis penyu dapat dilihat pada Gambar.

Penyu Hijau (Chelonia mydas) Tampak Atas

Penyu Pipih (Natator depressus) Tampak Atas

Page 12: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

8

Penyu Abu-abu (Lepidochelys olivacea) Tampak Atas

Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Tampak Atas

Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) Tampak Atas

Page 13: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

9

Penyu Tempayan (Caretta caretta) Tampak Atas

c. Jejak, ukuran sarang dan kebiasaan bertelur penyu

Identifikasi jenis penyu berdasarkan jejak (track), ukuran sarang dan

kebiasaan bertelur penyu dijelaskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Identifikasi Berdasarkan Jejak (track) dan Ukuran Sarang

NO JENIS

IDENTIFIKASI

JEJAK

UKURAN SARANGA

DAN KEBIASAANN

BERTELUR

1 Chelonia mydas (Penyu Hijau)

Lebar jejak + 100 cm Bentuk pintasan dan

tanda diagonal berpola simetris yang dibuat oleh tungkai depannya.

Kedalaman antara 55-60 rb

2 Natator depressus (Penyu Pipih)

Lebar jejak + 90 cm Pintasannya jelas dengan

tanda diagonalnya yang berpola simetris dibuat oleh tungkai depannya.

Pembuatan sarang dilakukan di pantai terbuka dan luas, di daratan atau di pulau-pulau besar berhabitat karang.

3 Lepidochelys olivacea (Penyu Abu-Abu)

Lebar jejak + 80 cm Bentuk pintasan

dangkal, tanda diagonal yang dibuat tungkai depannya tidak simetris.

Bertelur setiap saat (malam atau siang), ditemukan serentak dalam beberapa hari “arribada” Arribada adalh perilaku unik dari betina L. Olivacea yang bersarang secara serentak pada waktu

Page 14: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

10

tertentu. Penyu ini bertelur di daerah tropis berpohon.

4 Dermochelys coriacea (Penyu Belimbing)

Lebar jejak antara 150-200 cm

Pintasan sangat dalam dengan tanda diagonal yang simetris.

bertelur di pantai yang luas dan panjang di daerah yan trois.

5 Eretmochelys imbricata (Penyu Sisik)

Lebar jejak antara 75-80 cm

Bentuk pintasan dangkal, tanda diagonal yang dibuat tidak simetris.

Tempat bertelur memilih di pasir koral atau pasir granit. Kedalaman sarang paling dangkal dibanding jenis penyu lainnya.

6 Caretta caretta (Penyu Tempayan)

Lebar track antara 90-100 cm

Pintasannya ajelas tetapi dalam dan tanda diagonalnya yang berpola dibuat oleh kaki depannya

Pembuatan sarang umumnya dilakukan di pantai pada daratan pulau besar

Pengukuran jejak setiap jenis penyu bertelur dilakukan mulai saat naik dari

permukaan air menuju intertidal sampai mencari lokasi yang cocok untuk digali.

Pengukuran jejak dilakukan malam hari. Contoh jejak beberapa jenis penyu

disajikan pada gambar di bawah ini.

Contoh jejak beberapa jenis penyu. (1) penyu sisik; (2) penyu belimbing; dan (3) penyu hijau

(1. Ali Mashar, 2007;2..www.bss.sfsu.edu; 3. www.ecoworld.com)

Panjang kaki belakang (pore flipper) pada penyu jenis tertentu

menentukan dalamnya sarang. Secara umum penyu mampu membuat lubang

Page 15: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

11

sarang sejauh panjang jangkauan kaki belakangnya untuk mengeduk pasir di

sekitarnya. Sarang yang paling dangkal adalah yang dibuat oleh penyu sisik

karena kaki belakang penyu sisik adalah yang terpendek diantara penyu lainnya.

Sebagai gambaran jumlah telur dan kondisi sarang telur beberapa jenis penyu

dapat dilihat pada gambar ini.

Gambaran kondisi sarang telur penyu hijau di alam dan penghitungan telur penyu sisik oleh petugas Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Pesisir Selatan di Pulau Penyu, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Page 16: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

12

B. Keadaan Populasi Penyu Saat Ini

A. Kelimpahan dan kecenderungan populasi

Penyu hijau, penyu sisik, penyu belimbing dan penyu abu-abu

adalah jenis penyu yang terdapat di perairan Indonesia dan telah masuk

dalam daftar Appendix I CITES. Upaya untuk menghitung kelimpahan

populasi berbagai jenis penyu yang ada di Indonesia. Sebelum tahun

1997 pernah dilakukan (Tomascik et al, 1997), namun setelah periode

tersebut pembaruan data belum pernah dilakukan. Data kelimpahan

populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun hanya

ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Jamursba Medi–Warmon di

Papua, Kabupaten Berau - Kalimantan Timur serta pantai Sukamade dan

Ngagelan di Jawa Timur.

Semua jenis penyu di lokasi tersebut mengalami penurunan,

kecuali populasi bertelur penyu Lekang di pantai peneluran Alas Purwo,

Jawa Timur. Pada penjelasan di bawah ini disajikan contoh kelimpahan

populasi beberapa jenis penyu di beberapa pantai peneluran.

a. Kelimpahan populasi Penyu Belimbing di Jamursba Medi –

Warmon, Papua

Pantai Jamursba Medi adalah lokasi peneluran penyu

belimbing terbesar di kawasan Pasifik (Hitipeuw et al, 2007).

Panjang kedua pantai tersebut adalah 18 km dan 6 km. Hasil

pemantauan terhadap populasi penyu belimbing oleh WWF dan

rekan dari tahun 1993–2004 yang dilakukan oleh Hitipeuw et al

(2007) menunjukkan bahwa jumlah sarang telur (nest) penyu di

pantai Jamursba Medi berfluktuasi dan diprediksi antara 1921–

13.360 sarang, dengan rerata 4573 ± 2910 (SD). Angka ini diduga

ditelurkan oleh sekitar 300–900 ekor penyu betina. Angka yang

sebanding juga diperoleh di lokasi peneluran Warmon yang berjarak

± 30 km dari Jamursba Medi.

Berdasarkan pemantauan pada periode 1993–2004, jumlah

penyu belimbing yang bertelur di kedua lokasi ini diperkirakan

Page 17: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

13

antara 600–1800 ekor per-tahun. Musim bertelur puncak di Jamursba

Medi adalah pada Bulan April–September, sedangkan di Wermon

adalah Oktober–Maret. Kecenderungan populasi (population trend)

di Jamursba Medi mengalami penurunan, demikian pula prediksi di

Warmon.

Jumlah sarang telur (nests) penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) per musim di pantai peneluran

Jamursba Medi, Papua. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari Hitipeuw et al, 2007.

b. Kelimpahan Populasi Penyu Hijau di Kabupaten Berau,

Kalimantan Timur

Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur

adalah salah satu lokasi peneluran dan ruaya pakan penyu hijau di

Asia (Adnyana, 2003; Adnyana et al, 2007). Kepulauan ini terletak

di wilayah perairan seluas ± 1.222.988 ha, lokasinya mulai dari

Pulau Panjang (di Utara) hingga semenanjung. Mangkaliat (di

Selatan). Di Perairan ini terdapat 31 pulau-pulau kecil dimana 9

diantaranya tempat penyu bertelur, yaitu Pulau Derawan, Sangalaki,

Samama, Maratua, Bulang-Bilangan, Mataha, Sambit, Balikukup

dan Pulau Kaniungan. Pulau Kaniungan adalah lokasi bertelur bagi

penyu sisik. Situasi pulaupulau penyu yang tersebar di seluruh

Page 18: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

14

perairan Berau tidak memungkinkan dilakukannya pemantauan

populasi di semua tempat Kelimpahan populasi bertelur penyu hijau

di wilayah ini diperkirakan antara 4500–5000 ekor per tahun

(Tomascik et al, 1997; Adnyana, 2003). Musim peneluran terjadi

sepanjang tahun dengan musim puncak sekitar Bulan Mei–Oktober.

Pulau Sangalaki adalah pulau dengan kepadatan bertelur

tertinggi, menyumbang lebih dari 30% dari total keseluruhan

populasi bertelur di Kabupaten Berau (Adnyana et al, 2007).

Pemantauan populasi yang dilakukan di pulau ini sejak awal Tahun

2002 menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi yang semakin

menurun (Gambar 8). Bahkan jika dibandingkan dengan total sarang

telur penyu yang dicatat pada periode tahun 1985-1990, rerata (±SD)

jumlah sarang pada periode 2002–2007 (4151 ± 1088) adalah sekitar

57,5% dari rerata yang diperoleh pada periode 1995 – 2000

(Adnyana et al, 2007).

Jumlah sarang telur (nests) penyu Hijau (Chelonia mydas) per tahun di Pulau Sangalaki, Kalimantan

Timur. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari Adnyana et al, 2007.

Page 19: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

15

c. Kelimpahan Populasi Penyu Hijau di Pantai Sukamade, Jawa

Timur

Pantai Sukamade yang terletak di kawasan Taman Nasional

Meru Betiri adalah salah satu pantai peneluran penting di Jawa

Timur. Di sepanjang 3 km pantai peneluran ini terdapat 4 jenis

penyu yang bertelur, yaitu penyu hijau, belimbing, sisik dan abu-abu.

Namun data yang dikumpulkan sejak periode awal 1980-an

menunjukkan hanya penyu hijau yang masih dominan ditemukan

bertelur, sedangkan jenis lainnya sangat jarang.

Jumlah sarang telur per tahun yang ditemukan di Sukamade

berkisar antara 177–2.072 dengan rerata (±SD) 747 ± 475. Kajian

yang dilakukan oleh tim gabungan dari Universitas Udayana, WWF

Indonesia dan pengelola Taman Nasional Meru Betiri di Tahun

2004-2005 memperkirakan bahwa jumlah penyu hijau yang bertelur

di lokasi ini tak kurang dari 500 ekor per tahun (Adnyana et al,

2005).

Musim peneluran terjadi sepanjang tahun dengan musim

puncak sekitar Bulan November-Desember. Cakupan wilayah

peneluran yang relatif pendek (3 km) memungkinkan dilakukannya

pemantauan yang intensif. Pemantauan populasi yang dilakukan

sejak awal 1970-an menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi

yang semakin menurun (Gambar 9).

Page 20: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

16

Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Belimbing, Sisik dan Abu-abu) per

tahun di pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jumlah ini adalah dominan (>95%) penyu Hijau. Garis putusputus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data

dikutip dari basis data TNMB dan Adnyana et al, 2005.

d. Kelimpahan populasi Penyu Abu-abu di Pantai Ngagelan, Jawa Timur

Pantai Ngagelan terletak di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa

Timur juga merupakan lokasi peneluran bagi 4 jenis penyu (penyu hijau,

belimbing, sisik dan penyu abu-abu). Jika di pantai Sukamade didominasi

oleh penyu hijau, maka di pantai Ngagelan mayoritas penyu yang

ditemukan adalah jenis penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea). Musim

puncak peneluran di sepanjang 18 km pantai peneluran ini adalah sekitar

Bulan April – September.

Data peneluran penyu yang dikumpulkan oleh para petugas

lapangan Taman Nasional Alas Purwo sejak Tahun 1983–2008

menunjukkan bahwa populasi penyu (>95% penyu abu-abu) yang bertelur

meningkat tajam dari tahun ke tahun (Gambar 10). Data ini semestinya

dapat dipakai contoh keberhasilan suatu pengelolaan konservasi penyu di

Indonesia. Namun demikian, mengingat kompleksitas isu konservasi

penyu, maka data mesti diinterpretasi dengan hati-hati. Salah satu argumen

Page 21: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

17

dari fenomena ini diduga karena tingkat eksploitasi penyu abu-abu untuk

dimanfaatkkan dagingnya relatif rendah dibandingkan dengan penyu hijau,

demikian halnya untuk diambil cangkangnya dibandingkan dengan penyu

sisik. Meningkatnya upaya pemantauan oleh para petugas lapangan pada

tahun-tahun belakangan (yang seiring dengan meningkatnya isu konservasi

penyu) di Taman Nasional Alas Purwo adalah faktor lain yang sangat

signifikan.

Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Belimbing, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai peneluran Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Jumlah ini adalah dominan (>95%) penyu Lekang. Garis putusputus menunjukkan kecenderungan penurunan) linier. Data

dikutip dari basis data Taman Nasional Alas Purwo.

e. Kelimpahan Populasi di Lokasi Peneluran Lainnya Prediksi kelimpahan populasi juga bisa dilakukan dengan melihat

catatan data lainnya yang terkait, misal data jumlah telur yang dilaporkan

oleh para pemegang hak konsesi telur penyu seperti yang terjadi di pantai

Paloh–Sambas, Kalimantan Barat. Jumlah sarang telur penyu yang

dihasilkan di pantai peneluran penyu Paloh, Kabupaten Sambas, provinsi

Kalimantan Barat dari Tahun 1996 hingga 2004 adalah 27.872 sarang,

dengan rerata ± SD per tahun adalah 3097±750 (Laporan Koperasi

Tanjung Bendera, 2004). Angka ini memang tidak menunjukkan angka

kelimpahan populasi penyu di lokasi tersebut, karena merupakan catatan

Page 22: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

18

petugas koperasi yang mesti membayar sejumlah ‘konsesi’ kepada pihak

tertentu. Data ini hanya bisa dipergunakan sebagai penduga minimal.

Selain sebagai penduga kelimpahan minimal, seri data yang dikumpulkan

dalam 9 tahun ini juga memberikan gambaran kecenderungan populasi

penyu di Paloh yang menurun dari tahun ke tahun.

Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai peneluran Paloh, Kalimantan Barat. Jumlah ini adalah dominan (>90%) penyu Hijau. Garis putus-

putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari basis data Koperasi Tanjung Bendera, 2004.

Indikasi penurunan populasi di lokasi peneluran lainnya seperti

Pesisir Selatan dan Kepulauan Banyak di Sumatera Barat, area peneluran

di wilayah Laut Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan tempattempat lainnya di

Indonesia dapat diketahui dari laporan-laporan pemantauan singkat

(Suganuma etal, 1999; dan Adnyana, 2009) maupun berita yang

disampaikan oleh media cetak maupun elektronik. Pemantauan yang

lebih terstruktur perlu dilakukan untuk mengetahui situasi yang

sebenarnya.

B. Kelompok atau Keragaman Populasi Penyu di Indonesia

Secara taksonomik, dikenal 7 jenis penyu di dunia, dimana 6

(enam) diantaranya hidup di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau

(Chelonia mydas), penyu pipih (Natator depressus), penyu abu-abu

(Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu

belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu tempayan (Caretta

Page 23: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

19

caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja

(1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta

caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti

mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang

meliputi Indonesia (Limpus et al., 1992, Charuchinda et al., 2002).

Namun dengan teknik genetik telah diketahui bahwa setiap jenis

terdiri dari berbagai populasi atau stok. Penelitian yang dilakukan oleh

NOAA (Dutton, unpublished) menunjukkan bahwa populasi penyu

belimbing yang bertelur di pantai Jamursba Medi sejenis dengan penyu-

penyu belimbing yang bertelur di Papua New Guinea dan Kepulauan

Solomon. Populasi penyu ini kemudian disebut sebagai kelompok Pasifik

Barat yang memiliki keragaman genetik berbeda dengan kelompok

lainnya, yaitu kelompok Pasifik Timur (Mexico, Costa Rica, dan

Amerika Tengah) serta Kelompok Peninsula Malaysia yang kini

dinyatakan telah punah.

Spesies penyu yang paling banyak ditemukan dan memiliki wilayah

jelajah yang luas di perairan kepulauan Indonesia adalah penyu hijau

(Chelonia mydas) diikuti oleh penyu sisik(Eretmochelys imbricata).

Penyu hijau tidak mudah dibedakan dengan penyu-penyu lainnya.

Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda metal

(metal tag) maupun penelusuran telemetri mengindikasikan bahwa

penyu-penyu belimbing yang berkembang biak (kawin dan bertelur) di

Pasifik Barat (termasuk populasi Papua) memiliki ruaya pakan dan

berkembang di Pasifik Utara. Sementara itu, stok populasi di Pasifik

Timur diketahui beruaya pakan di belahan Selatan (southern hemisphere)

yang meliputi perairan dekat Peru dan Chile.

Page 24: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

20

Stok genetik penyu Belimbing yang masih tersisa di dunia Area berwarna solid adalah lokasi peneluran dengan stok genetik definitif. Area ber garis-garis adalah lokasi peneluran penyu Belimbing dengan stok genetik yang belum sepenuhnya dikertahui. Stok populasi yang ada di Papua sejenis dengan yang ada di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Stok populasi penyu Belimbing yang bertelur di Malaysia

dinyatakan telah punah (Dutton, unpublished).

Studi keragaman genetik dengan teknik DNA mitokondrial pada

penyu-penyu hijau menunjukkan bahwa populasi yang bertelur di tujuh

pantai peneluran yaitu pantai Sukamade (Jawa Timur), pantai Pangumbahan

(Jawa Barat), pulau Sangalaki (Kalimantan Timur), pulau Derawan

(Kalimantan Timur), pulau Piai (Raja Ampat), pulau Enu (Aru), serta pantai

Paloh (Kalimantan Barat) berbeda satu dengan yang lainnya dan dinyatakan

sebagai stok populasi atau unit pengelolaan (management unit) yang

masing-masing berdiri sendiri (Purwanasari dan Adnyana, 2009; Wahidah,

2008; Mahardika et al, 2007; Moritz et al, 2002). Hanya populasi penyu

yang di pantai Paloh dinyatakan memiliki keragaman yang sama dengan

populasi penyu di Sarawak (Moritz et al, 2002).

Secara teoritis, terjadinya pertukaran individu petelur (dari lokasi

peneluran satu dengan lainnya) pada populasi dengan stok genetik yang

berbeda hampir tidak terjadi, dan setiap populasi akan memberikan respon

Page 25: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

21

terpisah terhadap adanya suatu ancaman maupun pengelolaan konservasi

(Moritz, 1994). Dengan ilustrasi lain, keberhasilan proteksi penyu yang

bertelur di pulau Sangalaki tak akan memberikan efek positif bagi populasi

penyu yang bertelur di pulau didekatnya, yaitu pulau Derawan (keduanya

memiliki keragaman genetik yang berbeda). Dengan demikian, fokus

konservasi mesti dilakukan pada kedua populasi tersebut. Sementara itu,

karena memiliki keragaman genetik yang sama, maka masih eksisnya

penyu-penyu hijau di pantai Paloh (Kalimantan Barat) sedikit banyak adalah

akibat dari upaya proteksi yang dilakukan di pantai di dekatnya (Sarawak -

Malaysia), demikia pula sebaliknya.

Selain identifikasi terhadap keragaman genetik populasi penyu yang

bertelur, kajian terhadap keragaman populasi penyu di dua ruaya pakan

(perairan Aru Tenggara dan perairan di dekat Pulau Panjang, Kalimantan

Timur) juga telah dilakukan. Telaah stok campuran (mixed stock

assessment) yang dilakukan di ruaya pakan perairan Aru Tenggara

menunjukkan adanya agregasi populasi penyu yang tidak saja berasal dari

pulau-pulau peneluran di dekatnya, namun juga dari Papua New Guinea dan

Great Barrier Reef Utara, Australia (Moritz et al, 2002). Sementara, penyu-

penyu yang ada di ruaya pakan pulau Panjang diketahui berasal dari

populasi yang bertelur di pulau Derawan, Sangalaki, kepulauan penyu yang

ada di Malaysia-Philippines, serta Micronesia (Cahyani et al, 2007). Ini

menegaskan pentingnya kolaborasi internasional dalam pengelolaan suatu

ruaya pakan dengan stok populasi penyu yang majemuk.

C. Bio-Ekologi Penyu 1. Reproduksi

Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu

dewasa jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai

menghasilkan generasi baru (tukik). Penyu membutuhkan kurang lebih 15-

50 tahun untuk dapat melakukan perkawinan. Selama masa kawin, penyu

laut jantan menarik perhatian betinanya dengan menggosok-gosokkan

kepalanya atau menggigit leher sang betina. Sang jantan kemudian

Page 26: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

22

mengaitkan tubuhnya ke bagian belakang cangkang si betina. Kemudian ia

melipat ekornya yang panjang ke bawah cangkang betina. Beberapa jantan

dapat saling berkompetisi untuk merebut perhatian si betina. Hanya penyu

laut betina yang pergi kepantai untuk bersarang dan menetaskan telurnya.

Penyu laut jantan jarang sekali kembali ke pantai setelah mereka menetas.

Penyu laut pergi untuk menetaskan telurnya ke pantai dimana mereka dulu

dilahirkan. Penyu betina naik ke pantai untuk bertelur. Dengan kaki

depannya, mereka menggali lubang untuk meletakkan telur-telurnya.

Kemudian mereka mengisi lubang itu dengan telur-telurnya sebanyak

kurang lebih 100 butir (bahkan mungkin lebih). Kemudian mereka dengan

hati-hati menutup kembali lubang tersebut dengan pasir dan meratakan

pasir tersebut untuk menyembunyikan atau menyamarkan letak lubang

telurnya. Setelah proses melelahkan ini selama kurang lebih 1-3 jam

berakhir, mereka kembali ke laut. Penyu umumnya lambat dan canggung

apabila berada di darat, dan bertelur adalah hal yang sangat melelahkan,

Penyu yang sedang bertelur sering terlihat mengeluarkan air mata, padahal

sebenarnya mereka mengeluarkan garamgaram yang berlebihan di dalam

tubuhnya. Beberapa penyu dapat menghentikan proses bertelur apabila

mereka terganggu atau merasa dalam bahaya. Oleh karena itu, sangat

penting diketahui bahwa jangan mengganggu penyu yang sedang bertelur.

Tahapan reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Perkawinan

Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger

di atas punggung penyu betina (Gambar 13). Tidak banyak regenerasi

yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur yang dikeluarkan

oleh seekor penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai

dewasa. Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada

kasus penyu tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam

enangkaran apabila telah tiba masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat

kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang

sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang. Penyu jantan

Page 27: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

23

kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama

perkawinan berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki depan

untuk menjepit tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu

yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di permukaan air dalam

waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih.

Perkawinan Penyu (Sumber: ãSeaPics.com dan Yayasan Alam Lestari, 2000)

Untuk membedakan kelamin penyu dapat dilakukan dengan cara ”sexual

dimorphism”, yaitu membedakan ukuran ekor dan kepala penyu sebagai berikut:

NO URAIAN JENIS KELAMIN

JANTAN BETINA

1 Kepala Lebih kecil Lebih besar

2 Ekor Lebih kecil,

memanjang

Lebih pendek, agak

besar

Page 28: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

24

Jantan Betina

Perbedaan jenis kelamin penyu. Kiri: jantan; Kanan: betina (Sumber: www.kathyboast.com)

Setiap jenis penyu melakukan kopulasi di daerah sub-tidal pada

saat menjelang sore hari atau pada matahari baru terbit. Setelah 2-3 kali

melakukan kopulasi, beberapa minggu kemudian penyu betina akan

mencari daerah peneluran yang cocok sepanjang pantai yang diinginkan.

b. Perilaku Peneluran

Ketika akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu

betina yang datang ke daerah peneluran, sedangkan penyu jantan berada di

daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah laku yang berbeda sesuai

dengan spesies masing-masing. Setiap spesies penyu memiliki waktu

(timing) peneluran yang berbeda satu sama lain. Lama antara peneluran

yang satu dengan peneluran berikutnya (interval peneluran) dipengaruhi

oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka interval peneluran

cenderung makin pendek.

Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka interval peneluran

cenderung makin panjang. Tahapan bertelur pada berbagai jenis penyu

umumnya berpola sama. Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur

adalah sebagai berikut:

1) Penyu menuju pantai, muncul dari hempasan ombak

2) Naik ke pantai, diam sebentar dan melihat sekelilingnya, bergerak

melacak pasir yang cocok untuk membuat sarang. Jika tidak cocok,

penyu akan mencari tempat lain.

Page 29: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

25

3) Menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body pit), dilanjutkan

menggali sarang telur di dalam body pit.

4) Penyu mengeluarkan telurnya satu per satu, kadangkala serentak dua

sampai tiga telur. Ekor penyu melengkung ketika bertelur.

5) Umumnya penyu membutuhkan waktu masing-masing 45 menit untuk

menggali sarang dan 10-20 menit untuk meletakkan telurnya.

6) Sarang telur ditimbun dengan pasir menggunakan sirip belakang, lalu

menimbun kubangan (body pit) dengan ke empat kakinya.

7) Membuat penyamaran jejak untuk menghilangkan lokasi bertelurnya. 8) Kembali ke laut, menuju deburan ombak dan menghilang diantara

gelombang. Pergerakan penyu ketika kembali ke laut ada yang

bergerak lurus atau melalui jalan berkelok-kelok.

9) Penyu betina akan kembali ke ruaya pakannya setelah musim

peneluran berakhir, dan tidak akan bertelur lagi untuk 2 – 8 tahun

mendatang.

c. Pertumbuhan Embrio

Telur yang baru keluar dari perut penyu betina diliputi lendir,

berbentuk bulat seperti bola pingpong, agak lembek dan kenyal. Sebagai

contoh, gambaran pertumbuhan embrio penyu Tempayan, berdasarkan

informasi dari Yayasan Alam Lestari (2000) dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1) Embrio umur 30 hari

- Panjang 2 cm

- Kepala besar, mata berwarna hitam besar

- Karapas sudah mulai terbentuk sebagian

- Kaki dengan 5 tulang jari terlihat jelas

2) Embrio umur 40 hari

- Panjang mencapai 4 cm

- Kaki dan mata mulai bergerak perlahan-lahan

- Karapas berwarna hitam, mulai mengeras

Page 30: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

26

- Tampak pembuluh darah pada kuning telur

yang menutup embrio

- Tukik sudah sempurna

3). Embrio dan permukaan telur umur 50 hari

- Permukaan telur berwarna

putih jernih dan kering.

Apabila digerak-gerakan

terasa akan pecah.

- Seluruh tubuh tukik yang

sudah terbentuk

berwarna hitam, mata

kadang terbelalak

4) Embrio umur 52 hari

- Telur menetas apabila sisa kuning telur

sudah mengering

- Panjang tukik mencapai 7 cm, berat 19

gram

- Tukik keluar dari pasir pada hari ke- 52

Pertumbuhan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh

optimal pada kisaran suhu antara 24–33 0C, dan akan mati apabila di luar kisaran

suhu tersebut. Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan

embrio sampai penetasan, antara lain:

1) Suhu pasir

Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas.

Penelitian terhadap telur penyu hijau yang ditempatkan pada suhu pasir

berbeda menunjukkan bahwa telur yang terdapat pada suhu pasir 32 0C

menetas dalam waktu 50 hari, sedangkan telur pada suhu pasir 24 0C

menetas dalam waktu lebih dari 80 hari.

2) Kandungan air dalam pasir

Page 31: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

27

Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir.

Makin banyak penyerapan air oleh telur dari pasir menyebabkan

pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat diameter telur menjadi

bertambah besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air dari

telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya

embrio dalam telur tidak akan berkembang dan mati.

3) Kandungan oksigen

Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang

menyerap ke dalam sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan

oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan mati.

d. Proses penetasan

Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan

induknya, masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Tahapan

proses penetasan hingga tukik keluar dari sarang menurut Yayasan Alam

Lestari (2000) disajikan pada gambar dibawah ini.

Proses Penetasan

Keterangan:

1. Telur dalam sarang.

2. Tukik memecahkan cangkang telur dengan menggunakan paruh (caruncle)

yang terdapat di ujung rahang atas.

3. Tukik mulai aktif dan berusaha keluar dari sarang setelah selaput embrio

terlepas.

4. Tukik bersama-sama dengan saudaranya berusaha menembus pasir untuk

mencapai ke permukaan.

Page 32: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

28

Jenis kelamin tukik semasa inkubasi sangat dipengaruhi oleh suhu. Berikut ini

adalah grafik hubungan antara jenis kelamin tukik semasa inkubasi dengan suhu

penetasan pada penyu tempayan.

Hubungan antara jenis kelamin tukik penyu Tempayan dan suhu penetasan (sumber : Yntema & Mrososvsky,

1980 dalam Yayasan Alam Lestari, 2000)

f. Tukik menuju laut

Tukik menetas setelah sekitar 7-12 minggu. Kelompok tukik

memerlukan waktu dua hari atau lebih untuk mencapai permukaan pasir,

biasanya pada malam hari. Untuk menemukan arah ke laut tukik

berpatokan pada arah yang paling terang serta menggunakan topografi

garis horison di sekitarnya.

Begitu mencapai laut tukik menggunakan berbagai kombinasi

petunjuk (arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke

daerah lepas pantai yang lebih dalam. Kegiatan tukik melewati pantai dan

berenang menjauh adalah upaya untuk merekam petunjuk-petunjuk yang

diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan kawin. Proses

ini disebut imprinting process.

Page 33: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

29

Tukik setelah menetas berusaha keluar ke permukaan pasir dan menuju laut

(Sumber: ãSeaPics.com)

Saat tukik sudah berada di laut diduga memasuki kawasan dimana arus-

arus laut bertemu. Tukik-tukik tersebut menggunakan rumput-rumput laut yang

mengapung, benda apung lain yan terperangkap oleh arus laut serta hewan-hewan

Page 34: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

30

laut kecil sebagai makanan. Tukik bersifat karnivora sampai berumur 1 tahun, dan

akan berubah setelah berumur lebih dari 1 tahun tergantung dari jenis penyu itu

sendiri.

Tukik jarang terlihat lagi hingga karapasnya mencapai ukuran 20-40 cm

dengan usia sekitar 5-10 tahun setelah menetas. Pada saat itu tukik yang telah

menjadi dewasa berenang kembali ke ruayan pakan di pesisir dan tinggal di

daerah tersebut sampai siap memijah, dan saat itu pulalah siklus hidup penyu

dimulai lagi. Masa tukik-tukik menghilang disebut sebagai tahun-tahun hilang

(the lost years), yang ternyata saat itu tukik berlindung dan mencari makan di

daerah sargassum.

Tukik berlindung diantara algae Sargassum (Sumber: ãSeaPics.com)

Page 35: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

31

g. Habitat Bertelur Penyu

Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu

bertelur. Habitat peneluran bagi setiap penyu memiliki kekhasan.

Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai

serta terletak di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30 derajat di

pantai bagian atas.

Jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasanya terdapat

di sepanjang daerah peneluran penyu secara umum dari daerah pantai ke

arah daratan adalah sebagai berikut (Gambar 20):

a) Tanaman Pioner

b) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura

procumbens, dan lainnya

c) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia

catappa, Cycas rumphii, dan lainnya.

d) Zonasi terdalam dari formasi hutan pantai Callophyllum inophyllum,

Canavalia ensiformis, Cynodon actylon, dan lainnya.

Formasi Vegetasi dan Kondisi Pantai Peneluran Penyu di daerah peneluran penyu (penyu hijau dan penyu sisik)

di Pulau Penyu, Sumbar (kiri) dan di daerah peneluran penyu hijau di Pantai Merubetiri, Jember, Jatim (kanan)

2. Siklus Hidup Penyu

Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama. Penyu

mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan berpuluh-

puluh tahun untuk mencapai usia reproduksi. Penyu dewasa hidup

bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan

menempuh jarak yang jauh (hingga 3000 km) dari ruaya pakan ke pantai

peneluran. Pada umur yang belum terlalu diketahui (sekitar 20-50 tahun)

Page 36: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

32

penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di sekitar daerah

kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau

dua bulan sebelum penelura pertama di musim tersebut. Baik penyu jantan

maupun betina memiliki beberapa pasangan kawin.

Penyu betina menyimpan sperma penyu jantan di dalam tubuhnya

untuk membuahi tiga hingga tujuh kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7

sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut. Penyu jantan biasanya

kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu betina menyelesaikan kegiatan

bertelur dua mingguan di pantai. Penyu betina akan keluar dari laut jika

telah siap untuk bertelur, dengan menggunakan sirip depannya menyeret

tubuhnya ke pantai peneluran. Penyu betina membuat kubangan atau

lubang badan (body pit) dengan sirip depannya lalu menggali lubang untuk

sarang sedalam 30-60 cm dengan sirip belakang. jika pasirnya terlalu

kering dan tidak cocok untuk bertelur, si penyu akan berpindah ke lokasi

lain.

Penyu mempunyai sifat kembali ke rumah (”Strong homing

instinct”) yang kuat (Clark, 1967, Mc Connaughey, 1974; Mortimer dan

Carr, 1987; Nuitja, 1991), yaitu migrasi antara lokasi mencari makan

(Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding ground). Migrasi ini

dapat berubah akibat berbagai alasan, misalnya perubahan iklim,

kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan

manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat di daerah peneluran,

misalnya tsunami. Siklus hidup penyu secara umum dapat dilihat pada

skema pada gambar ini:

Page 37: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

33

Skema siklus hidup penyu (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Serangan, Bali)

Upaya konservasi penyu tak akan pernah cukup jika hanya dilakukan di

lokasi peneluran saja, karena penyu adalah satwa bermigrasi. Penyu yang telah

mencapai usia dewasa di suatu ruaya peneluran (foraging ground) akan

bermigrasi ke lokasi perkawinan dan pantai peneluran (breeding and nesting

migration). Setelah mengeluarkan semua telurnya, penyu betina akan kembali

bermigrasi ke ruaya pakannya masing-masing (post-nesting migration). Demikian

pula halnya dengan penyu jantan, yang akan bermigrasi kembali ke ruaya

pakannya setelah selesai melakukan perkawinan. Pengetahuan tentang jalur

migrasi penyu diperoleh dengan penerapan teknik penelusuran menggunakan

satelit telemetri. Di Indonesia, studi ini dilakukan secara intensif pada jenis penyu

hijau, abu-abu dan belimbing. Studi pada penyu sisik juga pernah dilakukan di

Pulau Segamat (Halim et al, 2002) dan Maluk-Sumbawa (Adnyana, 2008), namun

dengan jumlah penyu yang sangat sedikit (2 ekor penyu din Segamat dan seekor

penyu di Sumbawa). Studi dengan ukuran sampel kecil tersebut menunjukkan

bahwa Pergerakan penyu Sisik di kedua wilayah peneluran ini hanya bersifat

lokal, artinya tidak terlalu.

Page 38: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

34

D. Jalur Migrasi Penyu

1. Jalur Migrasi Penyu Hijau

Studi tentang migrasi pasca bertelur penyu hijau di Indonesia telah

dilakukan di beberapa lokasi peneluran, yaitu Kepulauan Raja Ampat–

Papua (Gearheart et al, 2005), Pulau Misol–Papua (Jayaratha & Adnyana,

2009), Berau - Kalimantan Timur (Adnyana et al, 2007)) serta Sukamade-

Jawa Timur (Jayaratha & Adnyana, 2009). Studi-studi tersebut

menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil penyu ber-ruaya pakan di area

yang dekat dengan area perkawinan maupun bertelurnya. Ini ditemukan

pada sebagian penyu yang di tag di Raja Ampat dan di Pulau Misol–

Papua. Sebagian besar lainnya bermigrasi ke area yang berjarak hingga

ribuan kilometer dari lokasi bertelur dan menunjukkan jalur maupun

tujuan yang relatif konsisten.

Pola pergerakan migrasi penyu hijau cenderung bergerak melalui

pesisir. Pergerakan lintas samudera ditemukan pada penyu Hijau yang di

tag di pantai Sukamade–Jawa Timur. Penyu hijau di Raja Ampat sebagian

besar bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut

Sulu- Sulawesi dan Laut Jawa (Kalimantan Selatan). Penyu hijau di

Sukamade sebagian besar bermigrasi ke Western Australia dan sebagian

lagi ke Kepulauan Tengah (antara Dompu–Sulawesi Selatan). Penyu hijau

di Berau semuanya bermigrasi ke Laut Sulu; sebagian ke wilayah perairan

Philipina dan sebagian lagi ke wilayah perairan Sabah – Malaysia.

Page 39: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

35

Migrasi pasca bertelur penyu Hijau di 3 lokasi peneluran di Indonesia. Keterangan: Penyu Hijau di Raja Ampat (RA)sebagian besar bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut Sulu-Sulawesi dan

Laut Jawa (Kalimantan Selatan). Penyu Hijau di Sukamade (S) sebagian besar bermigrasi ke Western Australia dan sebagian lagi ke Kepulauan Tengah (antara Dompu–Sulawesi Selatan). Penyu Hijau di Berau (B) semuanya

bermigrasi ke Laut Sulu-Sulawesi.

2. Jalur Migrasi Penyu Belimbing Penyu belimbing diketahui memiliki kisaran pergerakan yang

paling luas dibandingkan dengan reptil lautan lainnya, telah terbukti

bermigrasi melintasi Samudera Pasifik maupun Atlantik (Ferraroli et al.

2004; Hays et al. 2004; James et al. 2005; Eckert 2006; Benson et al.

2007b). Penyu belimbing yang bertelur di Amerika Tengah dan Meksiko

diketahui bermigrasi kearah selatan menuju perairan hangat/ tropis Pasifik

selatan (Eckert dan Sarti 1997). Studi yang dilakukan terhadap 9 ekor

penyu belimbing pasca bertelur di pantai peneluran Jamursba Medi

menunjukkan bahwa penyu-penyu tersebut bergerak menuju berbagai

perairan tropis, yaitu ke perairan Philipina dan Malaysia, perairan di

Jepang, hingga menyeberangi equatorial Pasifik ke perairan hangat di

Amerika Utara (Benson et al, 2007). Penyu belimbing yang menyeberangi

Samudera Pasifik tiba di Perairan dekat Oregon-USA pada Bulan Agustus,

saat tingginya agregasi ubur-ubur (Shenker 1984). Ini menunjukkan bahwa

tujuan migrasi berhubungan dengan tersedianya sumber pakan (Benson et

al 2007). Hubungan langsung antara lokasi peneluran Pasifik Barat dan

ruaya pakan di Timur Laut Pasifik menegaskan konklusi mengenai

struktur stok (genetik) oleh Dutton et al (2000).

Page 40: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

36

Lintasan satelit telemetri 6 penyu Belimbing pasca-bertelur yang bergerak kearah Utara atau Timur Laut dari Jamursba Medi, Indonesia (tanda bintang). Lingkaran kecil hitam sepanjang lintasan menunjukkan lokasi

bulanan. Lingkaran kosong besar menunjukkan lokasi transmisi terakhir.

Lintasan satelit telemetri 3 penyu Belimbing pasca-bertelur yang bergerak kearah Barat dari Jamursba Medi, Indonesia (tanda bintang). Lingkaran kecil hitam/penuh menunjukkan lokasi bulanan, sedangkan lingkaran

besar kosong menunjukkan lokasi transmisi terakhir

3. Jalur Migrasi Penyu Abu-abu

Penelusuran pergerakan pasca-bertelur terhadap penyu abu-abu

telah dilakukan di dua wilayah peneluran, yaitu bagian Selatan (Alas

Purwo – Jawa Timur dan Bali) serta Utara (Jamursba Medi dan Kaironi,

Papua). Dari empat penyu yang diamati di wilayah selatan, 3 ekor (75%)

bermigrasi kearah Barat menuju perairan Provinsi Jawa Barat, sedangkan

yang seekor bergerak mengelilingi wilayah selatan dan timur Pulau Bali

sebelum bergerak menuju Laut Jawa. Sementara itu, seluruh (5 ekor)

penyu dari wilayah Utara bermigrasi menuju ke selatan hingga laut Banda

serta Arafura.

Page 41: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

37

Lintasan satelit telemetry penyu Lekang pasca-bertelur di Jawa Timur (S – Alas Purwo) & Bali (B),

Kepala Burung Papua (J – Jamursba Medi; K – Kaironi)

E. Status Perlindungan Penyu

Kompleksitas isu penyu berdampak pada pengaturan pengelolaan dan

konservasinya, dan kenyataannya tidak tak satu aturanpun yang mampu menjawab

kompleksitas permasalahan ini. Seluruh aturan mesti dipergunakan secara

bersamaan. Aturan-aturan baru mesti dibangun untuk mengisi kesenjangan yang

masih tersisa. Luasnya cakupan siklus hidup penyu mengharuskan adanya

pengaturan yang meliputi daratan (pantai), wilayah perairan pesisir (hingga 12

mil), zona ekonomi ekslusif sampai di lautan lepas. Penyu telah terdaftar dalam

daftar Apendik I Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna Spesies

Terancam (Convention on International Trade of Endangered Species - CITES).

Konvensi tersebut melarang semua perdagangan internasional atas semua

produk/hasil yang datang dari penyu, baik itu telur, daging, maupun cangkangnya.

Kita sendiri dapat menolong untuk melestarikan spesies penyu laut, yaitu dengan:

1. Tidak mengkonsumsi makanan yang berasal dari penyu (telur, daging)

2. Tidak menggunakan barang-barang yang terbuat dari cangkang penyu

(mis: bingkai kacamata, dll)

3. Tidak membuang sampah plastik dan benda-benda lain yang berbahaya ke

dalam laut. Penyu tertentu dapat salah mengartikan plastik sebagai makanan

mereka yaitu ubur-ubur, sehingga menyebabkan sakit atau kematian penyu

yang memakannya.

Page 42: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

38

4. Tidak mengganggu penyu yang sedang bertelur karena mereka dapat

menghentikan proses bertelur apabila merasa terancam.

5. Tidak mengambili telur-telur penyu karena akan menghancurkan populasi

mereka.

6. Menjaga kesehatan terumbu karang kita. Terumbu karang yang sehat

merupakan tempat makan dan tempat tinggal yang baik untuk penyu.

7. Turut mendukung program konservasi penyu laut.

Sifat-sifat migrasinya yang cenderung lintas negara mewajibkan adanya

pengaturan bilateral, tri nasional bahkan regional. Kompleksitas dampak sosial-

ekonomi yang muncul pada setiap keputusan pengelolaannya memandatkan

adanya partisipasi aktif dan progresif dari berbagai pihak. Hal terakhir ini,

barangkali adalah salah satu faktor penting yang mendasari keterlibatan lembaga–

lembaga keagamaan serta komunitas Adat dalam upaya penyelamatan populasi

penyu.

F. Ancaman dan Permasalahan Penyu

Keberadaan penyu, baik di dalam perairan maupun saat bertelur ketika

menuju daerah peneluran banyak mendapatkan gangguan yang menjadi ancaman

bagi kehidupannya. Permasalahan-permasalahan yang dapat mengancam

kehidupan penyu secara umum dapat digolongkan menjadi ancaman alami dan

ancaman karena perbuatan manusia. Penyu laut telah mengalami penurunan yang

dramatis dalam jumlah populasi dalam jangka waktu terakhir ini. Bahkan

beberapa spesies terancam kepunahan dalam waktu yang dekat. Di alam,

penyupenyu yang baru menetas menghadapi ancaman kematian dari hewan-

hewan seperti kepiting, burung, dan reptilia lainnya seperti biawak. Ancaman

yang paling besar bagi penyu di Indonesia, seperti juga halnya di seluruh dunia,

adalah manusia. Pembangunan daerah pesisir yang berlebihan telah mengurangi

habitat penyu untuk bersarang. Penangkapan penyu untuk iambil tellur, daging,

kulit, dan cangkangnya telah membuat populasi penyu berkurang. Di beberapa

negara, penduduk masih mengambili telur penyu untuk dikonsumsi. Telur-telur

itu dapat ditemui di pasar. Penyu hijau termasuk penyu yang dimanfaatkan secara

berlebihan (over eksploitasi ) oleh penduduk Indonesia. Mereka dibunuh untuk

Page 43: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

39

diambil dagingnya. Bali merupakan konsumer terbesar penyu laut. Mereka

menggunakan penyu dalam upacaraupacara adat mereka. Ribuan penyu telah

terbunuh untuk memenuhi permintaan pasar di Bali. Gangguan atau ancaman

alami yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain:

1. Pemangsaan (predation) tukik, baik terhadap tukik yang baru keluar dari

sarang (diantaranya oleh babi hutan, anjing-anjing liar, biawak dan burung

elang) maupun terhadap tukik di laut (diantaranya oleh ikan cucut).

2. Penyakit, yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau karena pencemaran

lingkungan perairan.

3. Perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut naik dan banyak

terjadi erosi pantai peneluran sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap

berubahnya daya tetas dan keseimbangan rasio kelamin tukik.

Salah satu penelitian sekunder yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa dari

Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikarian an Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas

Padjadjaran (Unpad) menemukan adanya korelasi antara perubahan iklim dan

makin terdegradasinya populasi penyu di habitatnya. Hasil penelitian tersebut

bahkan secara ekstrem mengklaim bahwa penyu tidak akan lagi dapat melakukan

reproduksi pada tahun 2070 yang akan datang. Menurut salah seorang mahasiswa

yang menjadi salah satu orang yang menjadi tim peneliti tersebut mengatakan, ada

dua aspek yang diyakini dapat mendegradasi keberadaan penyu dari habitatnya.

Di antaranya adalah peningkatan debit air laut dan peningkatan temperatur udara

di muka bumi secara konstan. Menurutnya, adanya peningkatan air laut ini akan

makin menenggelamkan pantai yang telah lama menjadi tempat potensial bagi

penyu untuk bertelur. Menurutnta, jika debit air laut terus meningkat, penyu akan

mencari tempat untuk bertelur makin jauh dari bibir pantai, sedangkan tempat di

atas pantai itu komposisi pasirnya sudah berbeda. Kalau air laut sudah sampai di

tanah lapisan atas, ia sudah tidak akan bisa bertelur lagi. Kekhawatiran tersebut

tentunya bukan tanpa alasan. Pakar dinamika kelautan, Noir P. Purba, M'Si-

mengatakan, berdasarkan data dari IPCC (Inter Panel on Climate Change), secara

Page 44: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

40

global permukaan air laut terns meningkat sebanyak 0,25 milimete pertahun.

Bahkan ada juga penelitian yang mengatakan kenaikannya hingga cm per tahun.

Akan tetapi, itu tergantung geografinya, tidak sama di semua lokasi. Di Indonesia,

yang hingga sekarang terlihat sangat terancarn itu Jakarta, Semarang, dan

Banjarmasin, menrut penuturannya.

Tidak hanya itu, menurut Noir, pantai selatan Jawa yang dikenal sebagai ternpat

mendaratnya penyu untuk bertelur pun terlihat mengalarni peningkatan. Hanya

saja, hingga saat ini peningkatannya belum terlihat secara signifikan.Menurunya

sangat masuk akal jika laut pasang, otomatis pasir tergenang dan ketika lubang

tempat penyu menyimpan telur itu tergenang, pasti telur itu akan jadi busuk

karena air laut itu mengandung bakteri yang dapat memakan protein telur itu.

Menurut pendapatnya.

Penentuan Jenis Kelarnin Dibandingkan dengan jenis hewan lain, penyu memiliki

struktur regenerasi yang terbilang cukup unik. Dalam truktur regenerasi penyu

dikenal istilah temperature sex determination, yang artinya jenis kelamin tukik

(anak penyu) sangat dipengaruhi oleh suhu yang ada di sekitarnya. Hal ini jelas

berbeda dengan hewan lain yang struktur regenerasinya ditentukan oleh sifat

genetik (genetic sex determination). Penyu tidak sama dengan reptillain yang

kerap mengerami telur, Seusai bertelur, induk penyu akan mengubur telur tersebut

dalam pasir lalu meninggalkannya begitu saja. Dalamjangka waktu sekitar 45 hari,

telur-telur penyu tersebut kemudian akan menetas dengan sendirinya. Dalam

suhu panas, yaitu diatas 29 derajat Celsius, kelak akan menghasilkan tukik betina.

Begitu pula sebaliknya, dalam suhu di bawah 29 derajat Celsius akan lahir tukik

jantan. Jika suhu di muka burni terus meningkat, menurnt Vikky salah satu

mahasiswa yang tergabung kedalam tim peneliti Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas

Perikarianan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjadjaran (Unpad) menutup

kemungkinan kelak telur penyu yang menetas secara alami selurnhnya akan

berjenis kelamin betina. Jika suhu terus naik secara konstan, menurnt perhitungan

mereka, tahun 2050 jenis kelarnin tukik yang lahir itu sudah betina semua. Kalau

itu terjadi, tahun 2070 penyu betina akan sulit untuk bereproduksi karena penyu

jantannya tidak ada. Tepi pendapat ini masih diragukan oleh pakar reptil dan

Page 45: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

41

amphibi Institut Teknologi Bandung Dr. Djoko Tjahjono Iskandar. Menurunya,

penentuan jenis kelamin berdasarkan suhu tidak hanya dapat ditemui pada reptil

sejenis penyu semata. Banyak reptillain yang seperti itu. Ada suhu yang berbeda

pada masing- masing spesies, Djoko mengatakan, sebelum penyu memutuskan

untuk menggali sarang sebagai tempatnya untuk bertelur, ia memiliki insting

untuk mendeteksi secara pasti suhu yang ada di sekitarnya. Kemungkinan tetap

ada, tetapi sejauh ini belum bisa dikatakan secara pasti menurutnya. la

menuturkan, selain temperatur, kedalaman lubang yang digali oleh penyu sebelum

bertelur juga berpengaruh terhadap jenis kelarnin tukik kelak, mengingat

temperatur dan kelembaban yang ada di dalam tanah belum tentu sama dengan

temperatur udara di atas tanah.

Sedangkan gangguan atau ancaman karena perbuatan manusia yang setiap saat

dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain:

1. Tertangkapnya penyu karena aktivitas perikanan, baik disengaja maupun

tidak disengaja dengan berbagai alat tangkap, seperti tombak , jaring insang

(gill net), rawai panjang (longline) dan pukat (trawl).

2. Penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang dan

tulangnya.

3. Pengambilan telur-telur penyu yang dimanfaatkan sebagai sumber protein.

4. Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir yang dapat merusak habitat penyu

untuk bertelur seperti penambangan pasir, pembangunan pelabuhan dan

bandara, pembangunan sarana-prasarana wisata pantai dan pembangunan

dinding atau tanggul pantai (lihat Lampiran 2).Gambar dibawah ini

mengilustrasikan berbagai ancaman yang membahayakan kehidupan populasi

penyu..

Page 46: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

42

Penyu banyak diburu atau ditangkap manusia dengan tombak dan jaring (Sumber: Pusat Pendidikan dan

Konservasi Penyu, Bali)

Pembangunan Dinding Pantai (Sumber: Pusat Pendidikan dan Konservasi Penyu, Bali)

Ancaman Predator atau Pemangsa (Sumber: ãSeaPics.com)

Page 47: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

43

Terkena Baling-Baling Kapal (Sumber: ãSeaPics.com)

Terjaring Trawl (Sumber: ãSeaPics.com)

Page 48: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

44

Telur mati terlilit tanaman laut (kiri); Pemanfaatan oleh manusia (kanan) (Sumber: ãSeaPics.com)

Mati setelah menetas, kemudian dikerumuni oleh semut (Sumber: ãSeaPics.com)

Page 49: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

45

G. Deskripsi Penyu Hijau

Penyu laut termasuk ke dalam kelompok reptilia yang mempunyai daerah

jelajah yang sangat luas, yang mendiami laut tropis dan subtropis di seluruh dunia.

Penyu laut diperkirakan telah menghuni bumi ini lebih dari 100 juta tahun. Oleh

karena itu penyu laut dikenal sebagai fosil hidup. Penyu telah mengalami

beberapa adaptasi untuk dapat hidup di laut, diantaranya yaitu dengan adanya

tangan dan kaki yang berbentuk seperti sirip dan bentuk tubuh yang lebih ramping

untuk memudahkan mereka berenang di air. Penyu laut juga memiliki

kemampuan untuk mengeluarkan garam-garam air laut yang ikut tertelan bersama

makanan yang mereka makan dan juga kemampuan untuk tinggal di dalam air

dalam waktu yang lama selama kurang lebih 20-30 menit. Telinga penyu laut

tidak dapat dilihat, tetapi mereka memiliki gendang telinga yang dilindungi oleh

kulit. Penyu laut dapat mendengar suara-suara dengan frekuensi rendah dengan

sangat baik dan daya penciuman mereka juga mengagumkan. Mereka juga dapat

melihan dengan sangat baik di dalam air. Penyu laut memiliki cangkang yang

melindungi tubuh mereka dari pemangsa. Penyu laut berbeda dengan kura-kura.

Apabila dilihat sepintas, mereka memang terlihat sama. Ciri yang paling khas

yang membedakan penyu laut dengan kurakura yaitu bahwa penyu laut tidak

dapat menarik kepalanya ke dalam apabila merasa terancam. Penyu hijau

(Chelonia mydas) merupakan penyu laut yang berukuran pertengahan sampai

besar. Penyu hijau betina yang siap bertelur (nesting female) memiliki ukuran

karapas (Carapace) dengan 3 kaki dengan bobot lebih dari 400 pon. Tukiknya

berukuran kecil, dengan panjang karapas 2 inch dengan bobot kurang dari 1 ons.

Karapas penyu dewasa licin sepanjang marjin (edges) lateral dan posteior dengan

sisik yang tidak beraturan (non-overlapping scales). Tukiknya memiliki karapas

yang bundar. Warna penyu hijau bervariasi dari hijau ke abu-abu ke coklat, dan

karapas sering kali ditandai dengan titik-titik yang lebih gelap atau ditandai

dengan loreng-loreng. Nama penyu hijau diambil dari warna jaringan lemaknya

yang hijau, bukan dari warna eksternalnya. Bagian bawah karapas (plastron)

biasanya berwarna putih atau kuning.

Page 50: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

46

Penyu bukanlah ikan meskipun hewan ini hidup di perairan. Penyu

tergolong ke dalam reptil dan bernafas dengan paru-paru. Bentuk cangkang yang

mengerucut dan keempat anggota tubuhnya yang menyerupai sirip

memudahkannya bermigrasi ke berbagai samudra. Bahkan penyu hijau tercatat

sebagai penjelajah antar benua yang hebat, mampu mengunjungi wilayah-wilayah

tropis, seperti Indonesia, Hawai, dan Brazil. Namun begitu, seperti sudah menjadi

kebiasaan, penyu akan kembali ke tempat dia menetas.

Perbedaan penyu dengan kura-kura yaitu dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Penyu Laut

Kura-kura air tawar

Kura-kura Darat

Page 51: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

47

H. Nasib Penyu Hijau di Indonesia

Segitiga Karang meliputi Indonesia, Malaysia, Filipina, Papua Nugini,

Kepulauan Solomon dan Timor Leste menjadi rumah bagi 6 dari 7 jenis penyu

yang ada di dunia. Penyu-penyu tersebut adalah penyu hijau atau dikenal dengan

nama green turtle (Chelonia mydas), penyu sisik atau dikenal dengan nama

Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), penyu lekang atau dikenal dengan

nama Olive ridley turtle (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing atau dikenal

dengan nama Leatherback turtle (Dermochelys olivacea), penyu pipih atau dikenal

dengan nama Flatback turtle (Natator depressus) dan penyu tempayan atau

dikenal dengan nama Loggerhead turtle (Caretta caretta). Penyu belimbing

adalah penyu yang di lindungi dan masuk dalam CITES (Convention on

International Trade of Endangered Species) Appendix 1. Penyu hijau adalah salah

satu jenis penyu laut yang umum dan jumlahnya lebih banyak dibanding beberapa

penyu lainnya. Meskipun jumlahnya lebih banyak dibanding penyu lainnya,

populasi penyu hijau tiap tahun berkurang oleh penangkapan dan pembunuhan

baik sengaja maupun tidak sengaja yang terperangkap oleh jaring.

Penyu hijau hidup di lautan tropis dan subtropis di Samudra Atlantik dan

Pasifik. Penyu hijau memiliki leher yang pendek dan sirip yang menyerupai

lengan yang beradaptasi untuk berenang. Paruhnya pendek dan tidak melengkung.

Beratnya mencapai 315 kg, yang terbesar mencapai 395 kg. Penyu remaja

menghabiskan waktunya di laut dangkal. Penyu akan kembali ke pantai saat

bertelur. Penyu ini akan bertelur setiap tiga tahun sekali. Keberadaan penyu hijau

sangat jarang sehingga dilindungi oleh setiap Negara dan ditetapkan sebagai

hewan dilindungi oleh IUCN dan CITIES. Namun dibeberapa Negara seperti di

Indonesia, penyu hijau masih diburu dan diambil telurnya untuk dimakan.

Gerakannya yang unik dan khas seakan menggambarkan kelihayan perenang

dasar laut yang mempesona. Ini mungkin bisa menggambarkan betapa unik dan

indah melihat penyu laut berenang bebas di bawah permukaan laut. Dengan

menggerakkan kedua kaki renang depan untuk mengontrol gerakan dan

kecepatan, hewan ini bergerak gesit di dasar laut. Juga dengan bantuan kaki

Page 52: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

48

belakang sebagai penyeimbang seakan memberikan kesempurnaan gaya renang

yang memukau.

Penyu laut khususnya penyu hijau adalah hewan pemakan tumbuhan

(herbivore) namun sesekali dapat menelan beberapa hewan kecil. Hewan ini

sering di laporkan beruaya di sekitar padang lamun (seagrass) untuk mencari

makan, dan kadang di temukan memakan macroalga di sekitar padang alga. Pada

padang lamun hewan ini lebih menyukai beberapa jenis lamun kecil dan lunak

seperti (Thalassia testudinum, Halodule uninervis, Halophila ovalis, and H.

ovata). Pada padang alga, hewan ini menyukai (Sargassum illiafolium and

Chaclomorpha aerea). Pernah di laporkan pula bahwa penyu hijau memakan

beberapa invertebrate yang umumnya melekat pada daun lamun dan alga.

Penyu laut adalah adalah hewan yang menghabiskan hampir seluruh

hidupnya di bawah permukaan laut. Induk betina dari hewan ini hanya sesekali

kedaratan untuk meletakkan telut-telurnya di darat pada substrate berpasir yang

jauh dari pemukiman penduduk. Untuk penyu hijau, seekor Induk betina dapat

melepaskan telur-telurnya sebanyak 60 – 150 butir, dan secara alami tanpa adanya

perburuan oleh manusia, hanya sekitar 11 ekor anak yang berhasil sampai kelaut

kembali untuk berenang bebas untuk tumbuh dewasa. Dari 1.000 anak penyu

(tukik) yang lahir, rata-rata hanya satu yang bisa hidup sampai dewasa. Beberapa

peneliti pernah melaporkan bahwa presentase penetasan telur hewan ini secara

alami hanya sekitar 50 % dan belum ditambah dengan adanya beberapa predator-

predator lain saat mulai menetas dan saat kembali ke laut untuk berenang.

Predator alami di daratan misalnya kepiting pantai (Ocypode saratan, Coenobita

sp.), burung dan tikus. Dilaut, predator utama hewan ini antara lain ikan-ikan

besar yang beruaya di lingkungan perairan pantai. Sangat kecilnya presentase

tersebut lebih diperparah lagi dengan penjarahan oleh manusia yang mengambil

telur-telur tersebut segera setelah induk-induk dari penyu tadi bertelur.

Karenanya, bila habitat penyu terganggu, berupa gugus pantai dan

hamparan hutan mangrove-nya, Penyu tidak akan berani untuk naik ke pantai dan

bertelur. Semakin lama populasinya akan menurun. Belum lagi gangguan-

gangguan dari manusia yang mengancam keberadaannya. Aktifitas perburuan

Page 53: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

49

daging penyu, jual beli cindera mata yang terdiri dari karapaks (cangkang penyu)

atau menjual telurnya adalah hal-hal yang dapat membuatnya terancam punah.

Semua jenis penyu adalah satwa yang dilindungi menurut undang-undang.

Berdasarkan Undang-undang no 5 tahun 1990, perdagangan satwa langka

termasuk penyu dapat dikenai hukuman penjara maksimum lima tahun dan denda

seratus juta rupiah.

Tasikmalaya (ANTARA News) - Populasi penyu hijau (Chelonia mydas)

di Kawasan Konservasi Sindangkerta (KKS), Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya,

Jabar, kian memprihatikan, bahkan bukan mustahil beberapa tahun mendatang

punah. Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Badan Konservasi Sumber Daya Alam

(BKSDA) Jabar, Ir. Tata Jatirasa kepada ANTARA, mengakui adanya penurunan

tingkat populasi penyu hijau yang datang ke KKS. Data tahun 2006, jumlah penyu

hijau yang mendarat di KKS tercatat hanya 54 ekor, padahal data tahun 2002

menyebutkan populasi penyu hijau masih berjumlah 60 ekor, malahan tahun 2003

lalu jumlahnya lebih banyak lagi yakni mencapai 84 ekor. "Telur-telur yang ada

itu dihasilkan dari penyu dewasa. Kalau penyu dewasanya sudah tidak ada atau

semakin sedikit, maka jumlah telurnya pun otomatis berkurang".

Dikatakan, tahun 2006 dari 54 penyu hijau tersebut yang mendarat hanya

49 ekor yang bertelur. Jumlah telur yang ditetaskan adalah 3.318 ekor dengan

rincian 1.523 telur yang menetas dan dari jumlah itu sebanyak 1.348 tukik (anak

penyu) hidup serta 175 tukik mati. Sementara itu hingga April 2007 ini jumlah

penyu yang mendarat baru mencapai 12 ekor. Berkurangnya populasi penyu hijau

dewasa itu antara lain dipengaruhi oleh perubahan alam di sekitar KKS dan

penyebabnya sangat kompleks.

Menurut Tata, sebenarnya kondisi pasir dan alam di sekitar KKS masih

cukup bagus untuk dijadikan tempat penangkaran penyu hijau. Pihaknya mengaku

khawatir dengan perubahan lingkungan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu,

pihaknya selalu melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)

Tasikmalaya agar bisa mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada. Menurut

dia, adanya perusakan hutan yang dibarengi dengan kian padatnya area

pemukiman di sekitar KKS, juga merupakan salah satu faktor yang membuat

Page 54: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

50

populasi penyu hijau terus mengalami penurunan. Disebutkan, suasana gaduh dan

alam yang makin tak nyaman membuat penyu yang ada di KKS itu enggan untuk

bertelur. Wilayah konservasi penyu itu idealnya berada di tempat yang jauh dari

kebisingan dengan situasi yang tenang, penyu-penyu menjadi merasa aman untuk

bertelur. Ia mengatakan, ancaman kepunahan penyu hijau yang paling besar

datang dari gangguan lingkungan sekitarnya, seperti munculnya pencurian telur

penyu, kerusakan terumbu karang, hancurnya sepadan pantai dan masih banyak

lagi. Jadi faktornya sangat kompleks, ujarnya. Kawasan Konservasi Penyu

Sindangkerta memiliki luas yang memanjang sejauh 3 kilometer dari mulai

Cikuya Hirup hingga Pasir Sindangkerta.

I. Pembudidayaan Penyu Hijau

Penangkaran merupakan sebuah praktek yang umum dilakukan dalam

Konservasi Penyu untuk melindungi telur-telur penyu yang terancam di habitat

alami. Problem-problem yang muncul pada program penangkaran penyu: biaya

tinggi, kebutuhan akan staf yang terlatih dan terpercaya, biaya yang mencukupi

untuk keberlanjutan penangkaran, keberhasilan tetas yang tidak konsisten, efek

terhadap genetika penyu, hilangnya keragaman genetik, dan efeknya terhadap

jenis kelamin yang dihasilkan dari penangkaran. Suhu selama masa inkubasi juga

mempengaruhi keberhasilan tetas, lama masa inkubasi, ukuran, morfologi dan

fisiologi serta perilaku tukik yang dihasilkan..

1. Tegal Sereh

Sejak tahun 2002 lalu, di kawasan Tegal Sereh yang tak jauh dari KKS

telah dibangun Area Suaka Margasatwa. Sekarang, penyu-penyu hijau dewasa

lebih senang bertelur di Tegal Sereh, sehingga untuk ke depannya Tegal Sereh

diharapkan akan mampu menjadi benteng kepunahan penyu hijau.

Puncak masa bertelur penyu hijau, dimana telor penyu hijau akan

berserakan yakni pada bulan September hingga Desember. Pada saat-saat seperti

itu semua petugas KKS disibukan karena harus menjaga dan mengamankan telur-

telur yang berserakan. Bahkan tak jarang para petugas itu harus menjaganya

hingga larut malam. Penyu hijau bertelur setiap tiga tahun sekali dengan jumlah

Page 55: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

51

mencapai 180 telur. Proses bertelurnya sendiri, hanya memerlukan waktu sekitar

2,5 jam. Tapi kalau telur-telur itu dibiarkan menetas secara alami, kemungkinan

hidupnya sangat kecil. Fluktuasi lingkungan sangat berpengaruh pada proses

penetasan. Kawasan Konservasi Sindangkerta dinilai merupakan salah satu

kawasan yang sebenarnya sangat cocok untuk proses penetasan teur penyu.

Memang KKS bukanlah satu-satunya tempat konservasi penyu di Indonesia.

2. Pantai Pangumbahan

Populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di pantai selatan Sukabumi

terancam punah. Penyu Hijau atau Chelonia mydas yang habitatnya terdapat di

pantai selatan Kabupaten Sukabumi, yaitu di Pantai Pangumbahan dan Suaka

Margasatwa (SM) Cikepuh di Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap Kabupaten

Sukabumi, populasinya menurun drastis dan terancam punah. Penyebabnya

eksploitasi untuk kepentingan komersial. Pada tahun 80-an, populasi penyu hijau

yang terlihat naik ke daratan sekitar 50-an setiap malamnya. Namun sekarang

penyu hijau yang bisa kita lihat pada musim bertelur hanya sekitar tiga ekor per

malam, menurut Budiyanto, Direktur Eksekutif Kusuka bumiku, di Sukabumi,

Budiyanto mengatakan kepada beritabumi.or.id, populasi penyu tersebut harus

segera diselamatkan dan tidak boleh dieksploitasi dalam bentuk dan atau alasan

apapun. Menurutnya, yang paling penting dan mendesak saat ini adalah

melakukan upaya rehabilitasi dan restorasi untuk mengembalikan populasi penyu

dan ekosistemnya, setidaknya seperti puluhan tahun silam. Sementara menurut

Budiyanto, pengunduhan (pengambilan telur) penyu hijau di Pantai Pangumbahan

selama ini justru dilakukan pihak swasta, yakni CV Daya Bakti yang menjadi

rekanan Pemkab Sukabumi. Bahkan pihak pengelola berhak melakukan usaha

pengambilan telur dari satwa yang dilindungi undang-undang tersebut dari sarang

alaminya.

Sedangkan di lokasi sepanjang pantai dalam kawasan konservasi Suaka

Margasatwa Cikepuh, pengambilan telur-telur penyu tersebut dilakukan oleh

oknum masyarakat secara ilegal. Bahkan diduga melibatkan oknum pegawai pada

lingkungan Departemen Kehutanan (Dephut). Menurut keterangan Budiyanto

sejumlah oknum pegawai kehutanan yang terlibat tersebut telah mendapat sanksi

Page 56: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

52

administrasi, yaitu dipindah-tugaskan ke daerah lain. Upaya pelestarian penyu

yang dilakukan oleh pemerintah dapat ditempuh melalui kegiatan pengamanan

pantai, pengumpulan telur, pembuatan tempat penetasan semi permanen,

pemeliharaan telur yang ditetaskan, pemeliharaan tukik yang baru menetas,

pemeliharaan tukik di tempat penampungan, tagging, sexing, pencatatan data

jumlah penyu, pencatatan data jumlah telur, penyuluhan, pelayanan penelitian,

pelepasan tukik ke laut, pendidikan dan pelatihan untuk pelajar dan mahasiswa.

3. Pulau Jemur

Berdasarkan penelitan yang dibagi kedalam 3 stasiun (tempat) bertelurnya

penyu. Beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat berelur penyu di

stasiun I yaitu rintangan batu-batu cadas dan gelombang air laut yang lemah.

Gelombang air laut lemah, diduga disebabkan oleh letak pantai, yaitu adanya

pulau yang terletak sekitar 100 m dari pantai, dan selain itu diantara pulau dan

pantai terdapat pula palung laut, sehingga pantai terhalang dari gelombang yang

kuat. Di stasiun II dan III karakteristik pantai cenderung landai dan terbuka

dengan kecepatan gelombang sedang dan kuat.

Menurut Anonimus (1997) bahwa kehadiran penyu di pantai untuk

membuat sarang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pantai landai dan

kekuatan gelombang yang membantu penyu untuk mendarat dipantai, selain itu

rintangan berupa tebing batu-batu cadas dan ganguan lainnya sangat

mempengaruhi kehadiran penyu di pantai. Secara “temporal” aktivitas membuat

sarang penyu hijau di pulau Jemur dimulai pada bulan April, dan aktivitas puncak

membuat sarang berlangsung pada bulan Mei dan Juni , dan menurun pada bulan

Juli. Menurut Pusphalaila et al (1999) bahwa masa bersarang penyu hijau secara

temporal dimulai pada pertengahan bulan Mei, dan aktivitas puncak membuat

sarang selama bulan Juni dan Juli, dan menurun pada bulan Agustus, dan berakhir

dalam bulan September. Musim bersarang panyu normal dimulai pada bulan April

dan puncaknya pada bulan Mei dan Juni, selanjutnya menurun pada bulan Juli

(Winel et al, 2000).

Page 57: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

53

Aktivitas puncak membuat sarang penyu di pulau Jemur memungkinkan

terjadi pada bulan Mei dan Juni, karena pada saat itu berlangsung musim

kemarau. Sesuai yang dikemukakan oleh Maria et al (2000) yaitu bahwa

kelimpahan sarang memuncak berlangsung pada musim kemarau, hal ini ada

hubungannya dengan kondisi iklim makroklimak dengan mikroklimak sarang

yang berpengaruh terhadap keberhasilan penetasan dan berperan sebagai aspek

biologi reproduksi penyu. Berdasarkan rerata sarang per bulan dari setiap zona di

setiap stasiun, kemiringan pantai, tekstur pasir, rintangan dan gangguan di pantai,

menunjukkan rerata sarang paling sedikit dijumpai di stasiun II. Diduga

disebabkan oleh kemiringan pantai yang terlalu landai, yaitu dengan kemiringan

pantai kecil dari 140, sehingga pantai sering diterpa gelombang dan akan

memudahkan interupsi air laut kepantai. Hal ini menyebabkan pasir selalu basah

dan cenderung lebih padat. Pasir yang lebih padat akan menyulitkan penyu dalam

menggali lobang sarang. Sebaliknya pantai curam dan terjal merupakan kendala

bagi penyu untuk mendarat kepantai. Kemiringan pantai yang tidak terlalu landai

dan tidak pula terlalu curam yaitu berkisar antara 240-310, kondisi ini

memudahkan penyu untuk mendarat dipantai sehingga dipantai tersebut relatif

lebih banyak dijumpai sarang penyu. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh

Anonimus (1999) bahwa kondisi pantai yang cocok untuk sarang adalah pantai

dengan kemiringan 300, dan lokasi daerah peneluran berada diatas daerah pasang

surut antara 30-80 m. Tekstur pasir pun sangat menentukan dalam proses

penetasan telur penyu.

Menurut Nybakken (1998) bahwa ukuran partikel pasir dipantai

merupakan fungsi dari gelombang ombak di pantai itu, jika ombak kecil partikel-

partikel berukuran kecil, sedangkan jika ombak besar dan kuat partikel-partikel

akan menjadi kasar dan membentuk kerikil serta kepentingannya terletak pada

retensi air dan kesesuaian untuk digali. Selanjutnya Anonimus (1999)

mengemukakan bahwa penyu tidak jadi bertelur jika tipe pasir yang berada dalam

sarang berupa pecahan kerang yang kasar juga bercampur tanah liat atau kerikil,

selain itu butiran pasir yang sangat halus didalam penggalian lubang sering

longsor sehingga penyu tidak mau meneruskan penggalian sarang dan berpindah

Page 58: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

54

mencari tempat yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa butiran pasir yang

cocok dan disenangi oleh induk penyu untuk bersarang adalah dalam ukuran

sedang dan halus.

Dari uraian di atas dikemukakan bahwa kehadiran penyu membuat sarang

di stasiun II rendah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adalah tekstur pasir

dan rintangan batu-batu cadas. Tekstur pasir pantai merupakan interaksi dari

kemiringan pantai dan kecepatan gelombang kepantai. Berdasarkan kemiringan

sarang, jarak naungan dengan mikroklimak (suhu dan kelembaban) sarang (tabel

2). Sarang pada kemiringan 30-320 dengan suhu harian pagi hari 28-310C dan 30-

320 C pada sore hari. Sarang pada kemiringan 200-280 (<300) dengan suhu

harian pagi hari 19-260C dan 20-280C pada sore hari. Suhu harian sarang pada

sore hari relatif lebih tinggi dari pada pagi hari, hal ini disebabkan radiasi dan

konduksi panas lebih optimal, sehingga daratan (pantai) mengalami kenaikan

suhu.

Page 59: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

55

BAB III

SIMPULAN

Berdasarkan rumusan masalah pada diatas maka dapat di ssimpulkan pembahasan

makalah ini menjadi beberapa poin, yaitu:

1. Tubuh penyu terdiri dari bagian-bagian:

a. Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian

punggung dan berfungsi sebagai pelindung.

b. Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut.

c. Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas

dengan lastrón. Bagian ni dapat digunakan sebagai alat identifikasi.

d. Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat

dayung.

e. Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi

sebagai alat penggali. 2. Kelimpahan dan Keragaman Penyu saat ini.

Keadaan penyu saat ini terancam punah karena eksploitasi penyu dan

telur yang begitu tidak terkendali yang disebabkan oleh tingkah laku manusia

yang serakah tanpa memperdulikan keseimbangan lingkungan. Penyu yang

dahulu keadaannya melimpah terutama Chelonia mydas yang tersebar di

seluruh Indonesia teapi sekarang statusnya menjadi dilindungi karena

keberadaannya (populasi) nya semakin berkurang, sementara masa bertelurnya

sangat lama harus menunggu sekitar 3-4 tahun untuk dapat bertelur, itu pun

tidak semua telur dapat berkembang menjadi tukik (anak penyu) karena

ancaman dari luar sangat banyak dan beragam ancaman.

Untuk keberagaman ini masih tetap ada sampai saat ini hanya

keberadaannya sangat sedikit, sehingga butuh perlindungan yang sangat ekstra

untuk tetap mempertahankan setiap jenis penyu yang sekarang masih ada.

3. Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur adalah sebagai berikut:

a. Penyu menuju pantai, muncul dari hempasan ombak

Page 60: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

56

b. Naik ke pantai, diam sebentar dan melihat sekelilingnya, bergerak melacak

pasir yang cocok untuk membuat sarang. Jika tidak cocok, penyu akan

mencari tempat lain.

c. Menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body pit), dilanjutkan

menggali sarang telur di dalam body pit.

d. Penyu mengeluarkan telurnya satu per satu, kadangkala serentak dua

sampai tiga telur. Ekor penyu melengkung ketika bertelur.

e. Umumnya penyu membutuhkan waktu masing-masing 45 menit untuk

menggali sarang dan 10-20 menit untuk meletakkan telurnya.

f. Sarang telur ditimbun dengan pasir menggunakan sirip belakang, lalu

menimbun kubangan (body pit) dengan ke empat kakinya.

g. Membuat penyamaran jejak untuk menghilangkan lokasi bertelurnya. h. Kembali ke laut, menuju deburan ombak dan menghilang diantara

gelombang. Pergerakan penyu ketika kembali ke laut ada yang bergerak

lurus atau melalui jalan berkelok-kelok.

i. Penyu betina akan kembali ke ruaya pakannya setelah musim peneluran

berakhir, dan tidak akan bertelur lagi untuk 2 – 8 tahun mendatang.

Page 61: KONSERVASI PENYU  DI INDONESIA .pdf

DAFTAR PUSTAKA

Yustina, 2004, Jurnal Biogenesis, Analisis Distribusi Sarang Penyu Hijau

Chelonia mydas di Pulau Jemur Riau, Pekan Baru, Vol. 1, ISSN:

1829-5460.

Risma Illa Maulany, 2011, Biologi, Ekologi dan Manajemen Penyu Lekang

(Lepidochely olivacea) di Taman Nasional Alas Purwo,

Banyuwangi: Natural and Rural Systems Management University of

Queensland.

Agus Dermawan dkk. 2009. Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi

Penyu. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI.

Mimi. 2012. Penyu Laut .Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan RI.

Albiansyah dan Aditya. 2011. Akibat Perubahan Iklim Populasi Penyu

Terancam. Bandung: Pikiran Rakyat.