14
1 (Budi Setiawan) Kreativitas dan Inovasi Seni Pertunjukan Sebagai Jembatan Membangun Multikultur: Studi Kasus pada... KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI JEMBATAN MEMBANGUN MULTIKULTUR: STUDI KASUS MASYARAKAT KOTA MATARAM CREATIVITY AND INNOVATION PERFORMING ARTS AS A BRIDGE BUILD MULTICULTURAL: CASE STUDY ON SOCIETYOFMATARAM CITY Budiana Setiawan Puslitbang Kebudayaan Kompleks Kemdikbud Jl. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta Email: [email protected] Hp. 081586157986 Naskah diterima 10 Juli 2015, diterima setelah perbaikan 5 Januari 2016, disetujui untuk dicetak 26 Februari 2016 ABSTRAK Kota merupakan tempat berbaurnya berbagai etnis. Hal ini menyebabkan terjadinya interaksi antaretnis dalam kehidupan sehari-hari. Agar interaksi dapat berjalan secara harmonis, sangat diperlukan semangat multikulturalisme. Salah satu upaya untuk menjalin semangat multikulturalisme di antara etnis-etnis yang berbeda adalah melalui seni pertunjukan. Tiap-tiap etnis di Indonesia memiliki kekhasan dalam berbagai seni pertunjukan, mulai dari tari, lagu, musik, hingga drama tradisional. Seni pertunjukan tersebut dapat dikreasi dan diinovasi dengan melibatkan partisipasi etnis-etnis lainnya, sehingga dapat digunakan sebagai jembatan untuk membangun semangat multikulturalisme. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk- bentuk kreativitas dan inovasi di bidang seni pertunjukan yang dilakukan oleh etnis-etnis yang tinggal di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, dengan metode penelitian yang meliputi: pengamatan (observasi), wawancara mendalam, studi pustaka, dan focus group discussion (FGD). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa penduduk asli Kota Mataram adalah etnis Sasak, sedangkan etnis-etnis pendatang, antara lain: Jawa, Bali, Bugis, Bima, Flores, Cina, Arab, dan lain-lain. Pembauran antaretnis tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, termasuk di dalamnya bidang seni pertunjukan. Adapun bentuk-bentuk kreativitas dan inovasi dari seni pertunjukan-seni pertunjukan yang berhasil diidentifkasi, antara lain: gamelan Gendang Beleq, Wayang Sasak, Batek Baris Lingsar, Teater Cepung, Teater Cupak Gerantang, dan tari-tarian Nusantara. Kata Kunci: multikulturalisme, kreativitas, inovasi, seni pertunjukan, pembauran antaretnis. ABSTRACT City is a melting pot for many ethnics. This is causes among ethnic interaction in daily life. That interaction can run harmoniously, is very needed spirit of multiculturalism. One of effort to establish the spirit of multiculturalism among different ethnic groups is through performing arts. Every ethnic in Indonesia has peculiarities in various of performing arts, i.e.: dance, song, music, traditional drama, etc. The performing arts can be created and innovated by involving of participation of others ethnic groups, so it can be used as a bridge to build the spirit of multiculturalism. This paper aims to determine many forms of creativity and innovation in performing arts, that were conducted by ethnic groups who live in Mataram City, Capital of West Nusa Tenggara Province. This research is a qualitative descriptive study, with The method for research are observation, in-depth interviews, literature study, and focus group discussion (FGD). Based on results of the research can be seen that the native society in Mataram City are Sasak ethnic, while miggrants ethnics are: Java, Bali, Bugis, Bima, Flores, Chinese, Arabic, etc. Asimilation between the ethnic causing the acculturation of culture, including the performing arts. The forms of creativity and innovation of performing

KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

1

(Budi Setiawan) Kreativitas dan Inovasi Seni Pertunjukan Sebagai Jembatan Membangun Multikultur: Studi Kasus pada...

KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI JEMBATAN MEMBANGUN MULTIKULTUR:

STUDI KASUS MASYARAKAT KOTA MATARAM

CREATIVITY AND INNOVATION PERFORMING ARTS AS A BRIDGE BUILD MULTICULTURAL:

CASE STUDY ON SOCIETYOFMATARAM CITY

Budiana SetiawanPuslitbang KebudayaanKompleks Kemdikbud

Jl. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta Email: [email protected]

Hp. 081586157986

Naskah diterima 10 Juli 2015, diterima setelah perbaikan 5 Januari 2016, disetujui untuk dicetak 26 Februari 2016

ABSTRAKKota merupakan tempat berbaurnya berbagai etnis. Hal ini menyebabkan terjadinya interaksi antaretnis dalam kehidupan sehari-hari. Agar interaksi dapat berjalan secara harmonis, sangat diperlukan semangat multikulturalisme. Salah satu upaya untuk menjalin semangat multikulturalisme di antara etnis-etnis yang berbeda adalah melalui seni pertunjukan. Tiap-tiap etnis di Indonesia memiliki kekhasan dalam berbagai seni pertunjukan, mulai dari tari, lagu, musik, hingga drama tradisional. Seni pertunjukan tersebut dapat dikreasi dan diinovasi dengan melibatkan partisipasi etnis-etnis lainnya, sehingga dapat digunakan sebagai jembatan untuk membangun semangat multikulturalisme. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk kreativitas dan inovasi di bidang seni pertunjukan yang dilakukan oleh etnis-etnis yang tinggal di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, dengan metode penelitian yang meliputi: pengamatan (observasi), wawancara mendalam, studi pustaka, dan focus group discussion (FGD). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa penduduk asli Kota Mataram adalah etnis Sasak, sedangkan etnis-etnis pendatang, antara lain: Jawa, Bali, Bugis, Bima, Flores, Cina, Arab, dan lain-lain. Pembauran antaretnis tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, termasuk di dalamnya bidang seni pertunjukan. Adapun bentuk-bentuk kreativitas dan inovasi dari seni pertunjukan-seni pertunjukan yang berhasil diidentifkasi, antara lain: gamelan Gendang Beleq, Wayang Sasak, Batek Baris Lingsar, Teater Cepung, Teater Cupak Gerantang, dan tari-tarian Nusantara. Kata Kunci: multikulturalisme, kreativitas, inovasi, seni pertunjukan, pembauran antaretnis.

ABSTRACTCity is a melting pot for many ethnics. This is causes among ethnic interaction in daily life. That interaction can run harmoniously, is very needed spirit of multiculturalism. One of effort to establish the spirit of multiculturalism among different ethnic groups is through performing arts. Every ethnic in Indonesia has peculiarities in various of performing arts, i.e.: dance, song, music, traditional drama, etc. The performing arts can be created and innovated by involving of participation of others ethnic groups, so it can be used as a bridge to build the spirit of multiculturalism. This paper aims to determine many forms of creativity and innovation in performing arts, that were conducted by ethnic groups who live in Mataram City, Capital of West Nusa Tenggara Province. This research is a qualitative descriptive study, with The method for research are observation, in-depth interviews, literature study, and focus group discussion (FGD). Based on results of the research can be seen that the native society in Mataram City are Sasak ethnic, while miggrants ethnics are: Java, Bali, Bugis, Bima, Flores, Chinese, Arabic, etc. Asimilation between the ethnic causing the acculturation of culture, including the performing arts. The forms of creativity and innovation of performing

Page 2: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

2

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (1 - 14)

A. PENDAHULUANBangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, terdiri dari ratusan etnis dengan latar

belakang kebudayaan yang beraneka ragam. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 238 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010), terdapat sekitar 350 kelompok etnis, serta memiliki 483 bahasa dan dialek yang berbeda (Indonesia Travel Planner 2009: 2). Etnis-etnis tersebut tidak hanya tinggal berkelompok-kelompok dalam suatu wilayah tertentu, melainkan tersebar dan saling berbaur di berbagai wilayah di tanah air, terutama di wilayah-wilayah perkotaan. Kota-kota di Indonesia merupakan tempat bertemu, bertempat tinggal, dan berbaurnya berbagai etnis. Kota dianggap merupakan tempat yang menyediakan banyak lapangan pekerjaan, sehingga masyarakat dari berbagai etnis datang untuk bekerja dan bertempat tinggal di kota. Keragaman etnis dalam suatu lokasi yang sama tersebut menyebabkan terjadinya interaksi antaretnis dalam kehidupan sehari-hari. Agar interaksi antaretnis dapat berjalan secara harmonis, dalam suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis tersebut sangat diperlukan semangat multikulturalisme.

Berkaitan dengan kemajemukan budaya bangsa Indonesia, maka perlu disadari bahwa kemajemukan tersebut merupakan modal dasar dalam menumbuhkembangkan semangat multikulturalisme. Hal ini sejalan dengan visi pengembangan kebudayaan Indonesia, yaitu: “mewujudkan kebudayaan Indonesia yang tangguh, berjati diri, bermartabat, berdaulat, dan dihormati oleh masyarakat internasional” (Rencana Induk Nasional Pembangunan Kebudayaan Tahun 2010-2025. 2013: 28). Oleh karena itu keragaman budaya tersebut harus dilindungi dan disosialisasikan kepada khalayak luas, sehingga dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya semangat multikulturalisme.

Dewasa ini interaksi antaretnis yang sebelumnya harmonis dan saling mengisi tersebut sering terganggu oleh adanya konflik-konflik antaretnis, terutama di wilayah-wilayah perkotaan, seperti Sampit (Kalimantan Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), Poso (Sulawesi Tengah), Jakarta, dan lain-lain. Konflik-konflik antaretnis muncul dikarenakan masing-masing etnis mengedepankan kepentingan-kepentingan kelompoknya. Ketika kepentingan kelompoknya tidak sesuai atau berbenturan dengan kepentingan kelompok lain, maka terjadilah konflik antaretnis tersebut, yang tentu sangat mencederai semangat multikulturalisme.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memotret masyarakat antaretnis yang mampu menumbuhkembangkan semangat multikulturalisme. Adapun lokasi yang dipilih adalah Kota Mataram, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota ini dipilih karena merupakan salah satu kota multietnis. Penduduk asli Kota Mataram adalah etnis Sasak, sedangkan etnis-etnis pendatang, antara lain: Jawa, Bali, Bugis, Bima, Flores, Cina, Arab, dan lain-lain. Pertemuan antaretnis tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, termasuk di dalamnya bidang seni pertunjukan.

Secara astronomis Kota Mataram terletak pada 116o 04’ – 116o 10’ Bujur Timur dan 08o 33’ – 08o 38’ Lintang Selatan. Secara administratif sebelah utara, timur, dan selatan berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat, serta sebelah barat dengan Selat Lombok, yang menghubungkan dengan Provinsi Bali. Kota ini memiliki luas 61,30 km2, yang terbagi dalam 6 kecamatan, yakni: Ampenan (9,46 km2), Sekarbela (10,32 km2), Mataram (10,76 km2), Selaparang (10,77 km2), Cakranegara (9,67 km2), dan Sandubaya (10,32 km2) (Kota Mataram dalam Angka, 2016: 8-10).

arts that can be identified successfully are: Gendang Beleq ensamble, wayang Sasak, Batek Baris Lingsar Dance, Cepung Theatre, Cupak Gerantang Theatre, and Nusantara dances.

Keywords: multiculturalism, creativity, innovation, performing arts, assimilation of ethnic groups

Page 3: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

3

(Budi Setiawan) Kreativitas dan Inovasi Seni Pertunjukan Sebagai Jembatan Membangun Multikultur: Studi Kasus pada...

Jumlah penduduk Kota Mataram pada tahun 2015 adalah 450.226 jiwa, dengan tingkat kepadatan 7.345 jiwa tiap kilometer persegi. km2 (Kota Mataram dalam Angka, 2016: 71).

Sebagaimana disampaikan di atas, salah satu upaya untuk menjalin semangat multikulturalisme di antara etnis-etnis yang berbeda adalah melalui seni pertunjukan. Keanekaragaman latar belakang kebudayaan yang dimiliki tiap-tiap etnis tersebut akan tampak terlihat pada berbagai bentuk seni pertunjukannya. Tiap-tiap etnis di Indonesia memiliki bermacam seni pertunjukan, mulai dari tari, lagu, musik, hingga drama tradisional. Keanekaragaman kesenian tersebut menunjukkan bahwa tiap-tiap etnis mengekspresikan rasa keindahan dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, seni pertunjukan dapat digunakan sebagai jembatan untuk membangun semangat multikulturalisme.

Multikulturalisme menuntut kehidupan bersama yang penuh toleransi, yang ditandai dengan keinginan untuk belajar tentang budaya orang lain, yang dapat menumbuhkan sikap empati, saling pengertian, dan saling menghargai perbedaan. Salah satu cara untuk membangun kehidupan multikultur yang harmonis adalah melalui seni pertunjukan. Namun seni pertunjukan yang dimiliki tiap-tiap etnis tidak akan dapat mewujudkan kehidupan multikultur yang harmonis tanpa adanya kreativitas dan inovasi terhadap seni pertunjukan yang berkembang di antara etnis-etnis yang tinggal bersama tersebut. Oleh karena itu permasalahan yang hendak diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut; a) Apa saja jenis-b) jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat di Kota Mataram? Bagaimana bentuk kreativitas dan inovasi di bidang seni pertunjukan yang dapat digunakan untuk membangun multikultur tersebut?; c) Bagaimana peranan masyarakat dalam mendukung terciptanya kreativitas dan inovasi di bidang seni pertunjukan dalam rangka mewujudkan kehidupan multikultur yang harmonis?

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk kreativitas dan inovasi di bidang seni pertunjukan yang oleh semua etnis yang tinggal bersama di suatu wilayah dapat digunakan untuk mendukung pembangunan kesadaran multikultur, sehingga tercipta interaksi yang harmonis antaretnis. Adapun sasaran penelitian adalah masyarakat pelaku seni pertunjukan dari etnis-etnis yang berbeda di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif. Metode penelitian yang dilakukan adalah melalui pengamatan (observasi), wawancara mendalam, studi pustaka, dan focus group discussion (FGD). Pengamatan dilakukan pada aktivitas para masyarakat yang terlibat dalam seni pertunjukan, baik sebagai pelaku maupun penikmat. Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa orang narasumber yang merupakan pelaku kesenian, seperti pemilik sanggar, penari, dalang, pemain gamelan, dan lain-lain. Hasil dari pengamatan dan wawancara mendalam tersebut kemudian disinergikan melalui FGD. Dalam FGD ini semua pihak yang terlibat, baik sebagai narasumber, pelaku seni, maupun aparatur pemerintah daerah diajak berdiskusi, saling meluruskan informasi, dan memberikan masukan kepada peneliti. Seluruh hasil pengumpulan data tersebut kemudian dideskripsikan secara mendetail sesuai dengan topik-topik yang berkaitan dengan multikulturalisme.

B. PEMBAHASANa. Pengertian Kreativitas dan Inovasi

Kreativitas dan inovasi merupakan dua hal yang berbeda, namun sering digunakan secara bersamaan dalam satu kesatuan frase tanpa dibedakan artinya. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki pengertian yang ‘beririsan’ dan saling melengkapi. Adapun pengertian dari kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut.

Page 4: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

4

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (1 - 14)

a) KreativitasMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘kreativitas’ berasal dari kata dasar ‘kreatif’, yang

berarti: memiliki daya cipta atau memiliki kemampuan untuk menciptakan; bersifat daya cipta. Sedangkan ‘kreativitas’ berarti: kemampuan untuk mencipta atau daya cipta; serta perihal berkreasi (1990: 465). Adapun menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, ‘kreativitas’ merupakan kata serapan dari bahasa Inggris ’creativity’, yang berarti: (1) involving the use of skill and the imagination to produce something new or a work of art. (2) having the skill and ability to produce something new, especially a work of art, showing this ability (Wehmeier, 2005: 360).

(1) meliputi penggunaan keterampilan dan imajinasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau sebuah karya seni yang baru. (2) memiliki keterampilan dan kemampuan untuk memproduksi sesuatu yang baru, khususnya karya seni, serta mempertunjukkan kemampuannya itu].

Berdasarkan pengertian di atas, maka dalam konteks tulisan ini yang dimaksud dengan kreativitas adalah “kemampuan untuk mencipta atau menghasilkan karya seni yang baru dengan berbekal pada kemampuan keterampilan dan imajinasi yang dimiliki”. Dengan demikian pengertian “kreativitas seni pertunjukan” dalam konteks tulisan ini adalah menciptakan suatu jenis seni pertunjukan baru, yang merupakan kolaborasi unsur seni pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan kreasi baru, kolaborasi dua atau lebih jenis seni perntunjukan yang berbeda, dan melakukan perubahan tampilan agar sesuai dengan kebutuhan kekinian.

b) InovasiMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘inovasi’ berarti: pemasukan atau pengenalan

hal-hal yang baru; pembaruan; dan penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya, baik dalam bentuk gagasan, metode, ataupun alat (1990: 333). Adapun menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, inovasi juga merupakan kata serapan dari bahasa Inggris ‘innovation’, yang berarti: 1) the introduction of new things, ideas, or ways of doing something (pengenalan terhadap hal-hal, gagasan, atau cara untuk melakukan sesuatu yang baru). 2) a new idea, way of doing something that has been introduced or discovered (gagasan dan cara untuk melakukan sesuatu yang baru yang telah dikenalkan atau ditemukan sebelumnya) (Wehmeier, 2005: 801).

Berdasarkan pengertian di atas, dalam konteks penelitian ini yang dimaksud dengan ‘inovasi’ adalah “melakukan hal-hal, gagasan, atau cara yang baru untuk lebih mengenalkan, menarik minat, dan mengembangkan terhadap suatu kesenian”. Contoh dari inovasi, antara lain: penciptaan event seni pertunjukan yang berskala besar, pelibatan seni pertunjukan tradisional ke dalam event-event yang bersifat kontemporer maupun yang berkaitan dengan pemerintahan, pelibatan lembaga/ perusahaan dalam mendukung pendanaan event-event berskala besar, dan lain-lain.

b. Pengertian MultikulturalismePengelolaan kemajemukan budaya bangsa Indonesia merupakan isu yang penting saat ini

karena masih sering terjadi konflik antaretnis maupun dominasi etnis satu terhadap etnis-etnis lainnya. Menurut Irwan Abdulah, konflik yang terjadi menunjukkan kegagalan pengelolaan kemajemukan bangsa. Ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya kegagalan tersebut. Pertama, pengingkaran atas status kebudayaan yang beragam yang terwujud dalam berbagai bentuk. Kedua, uniformitas (penyeragaman) yang bertolak belakang dari keanekaragaman budaya, yang terjadi pada skala yang luas dan bervariasi. Ketiga, terjadinya kegagalan dalam menjaga keseimbangan antarkelompok masyarakat (Abdullah, 2006: 72-75). Tanpa usaha yang strategis, kegagalan pengelolaan kemajemukan bangsa ini akan menimbulkan kekhawatiran akan memudarnya

Page 5: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

5

(Budi Setiawan) Kreativitas dan Inovasi Seni Pertunjukan Sebagai Jembatan Membangun Multikultur: Studi Kasus pada...

ikatan kebangsaan. John Sydenham Furnivall menyebutkan, bahwa masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, akan terjerumus dalam anarki jika gagal menemukan formula federasi pluralis yang memadai. Bertolak dari pemahaman di atas maka setiap usaha untuk mendukung pengelolaan kemajemukan budaya bangsa menjadi sangat penting. Untuk mendukung usaha ini, pembelajaran terhadap praktik-praktik antaretnis yang mampu menciptakan harmoni dalam mengelola keanekaragaman budaya bangsa perlu dilakukan (Furnivval, 1948; dalam Malesevic. 2004: 51).

Multikulturalisme menuntut kehidupan bersama yang penuh toleran, yang ditandai dengan keinginan untuk belajar tentang budaya orang lain, yang dapat menumbuhkan sikap empati, saling pengertian, dan saling menghargai perbedaan. Multikulturalisme juga dimaknai sebagai paham yang menjunjung tinggi tiga aspek, yakni: a) Identitas budaya; b) Sikap saling belajar dan memahami perbedaan; c) Sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan, meskipun tidak selalu meyakini nilai-nilai, norma, pandangan, dan aturan-aturan yang dianut oleh kelompok atau golongan yang memiliki latar belakang yang berbeda tersebut. Dalam multikulturalisme mutlak perlu adanya interaksi yang harmonis antar etnis yang memiliki identitas budaya yang berbeda, baik interaksi yang bersifat perseorangan maupun kelompok (Khoirunnisa, 2012: vii).

Merunut pada paparan Parsudi Suparlan titik tolak penting dalam perkembangan pemahaman multikulturalisme terjadi di Amerika pasca perang dunia kedua. Pada 1950, isu penyamaan hak-hak sipil masyarakat kulit hitam seperti hak-hak yang dimiliki warga kulit putih mulai muncul. Perjuangan penyamaan hak ini menuai hasil pada tahun 1960-an, di mana diskriminasi antara warga kulit hitam atas warga kulit putih dihapuskan. Dengan penghapusan diskriminasi ini maka hak-hak yang dimiliki warga kulit putih dalam penggunaan fasilitas umum, affirmative action, dan hak-hak sipil lainnya juga dimiliki oleh warna negara dari kalangan kulit bewarna. Pada tahun 1970an, konsep multikulturalisme ini mulai disebarluaskan dalam bentuk pengajaran di sekolah-sekolah. Melalui kebijakan inilah, anak-anak dari golongan minoritas dalam taraf tertentu dapat menggunakan bahasa ibu mereka sebagai bahasa pengantar dalam proses pendidikan (Suparlan, 2008: 2-3).

Bikhu Parekh membagi multikulturalisme berdasarkan bentuknya menjadi lima, yakni:a. Multikulturalisme isolasionis, yaitu mengacu pada masyarakat di mana berbagai kelompok

kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi secara minimal satu sama lain.

b. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan akan membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.

c. Multikulturalisme otonomis, yaitu terjadi pada masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.

Page 6: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

6

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (1 - 14)

d. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni terjadi pada masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.

e. Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, dan sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

(Parekh, 1997:183-185; lihat juga Azra, 2007)

c. Multikulturalisme dalam Seni Pertunjukan di Kota MataramMengapa semangat multikultur dapat dibangun melalui kegiatan seni pertunjukan? Hal ini

dikarenakan kesenian mempunyai sifat yang universal. Kesenian adalah merupakan ungkapan rasa keindahan. Dalam hal ini semua manusia memiliki keinginan untuk menikmati keindahan. Kesenian juga berfungsi sebagai pemersatu bangsa, mendorong ke arah lahirnya persahabatan, menggalang kerja sama, dan menghilangkan batas-batas kesukuan dan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Bahwa batas-batas kesukuan dan batas-batas wilayah administrasi pemerintahan menjadi ‘hilang’ melalui kesenian dapat kita lihat di kota-kota di mana berbagai etnis tinggal bersama dan menjadi satu.

Di antara berbagai jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Kota Mataram, yang berhasil diidentifikasi, antara lain: gamelan Gendang Beleq, Wayang Sasak, Batek Baris Lingsar, Teater Cepung, Teater Cupak Gerantang, tari-tarian Nusantara, dan lain-lain. Adapun bentuk-bentuk kreativitas dan inovasi dari seni pertunjukan-seni pertunjukan tersebut diuraikan sebagai berikut.

a) Gamelan Gendang Beleq Gendang Beleq adalah sebutan untuk kesenian gamelan tradisional etnis Sasak. Beleq dalam

bahasa Sasak berarti besar. Disebut demikian karena gendang yang digunakan dalam perangkat gamelan ini berukuran sangat besar, jauh melebihi ukuran gendang pada umumnya, sehingga menghasilkan suara yang keras dan bernada rendah. Konon gendang ini dahulu diciptakan untuk mengiringi dan memberi semangat para prajurit yang akan menuju ke medan perang atau sebaliknya, menyambut kedatangan para prajurit dari medan perang.

Gendang Beleq Sumber: Puslitbang Kebudayaan tahun 2011

Page 7: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

7

(Budi Setiawan) Kreativitas dan Inovasi Seni Pertunjukan Sebagai Jembatan Membangun Multikultur: Studi Kasus pada...

Gendang Beleq juga dikenal sebagai musik pengiring nyongkolan atau sorong serah, yakni prosesi mengiring pengantin pria beserta para kerabatnya ketika mendatangi rumah pengantin wanita. Setelah kedua pengantin bertemu, Gendang Beleq tetap digunakan untuk mengiringi kedua mempelai menuju pelaminan. Dalam kesenian Gendang Beleq terdapat beberapa alat yang digunakan untuk mendukung permainannya, antara lain:(a) Gendang Beleq Gendang Beleq merupakan alat utama dalam kesenian Gendang Beleq. Dalam setiap perangkat

kesenian Gendang Beleq terdapat dua gendang yang dimainkan oleh dua orang. Gendang Beleq ini berbentuk silinder dengan ukuran yang besar, terbuat dari bahan kayu yang ditutup dengan kulit sapi atau kambing yang telah disamak. Gendang dapat dimainkan dengan cara ditepuk dengan telapak tangan pada salah satu sisinya dan dengan alat pemukul pada sisi lainnya. Gendang Beleq berfungsi untuk mengatur ritme gamelan.

(b) Terumpang Terumpang dimainkan oleh satu orang. Berbentuk menyerupai mangkuk besar dengan satu

sisi terdapat bundaran kecil yang berupa benjolan. Terumpang terbuat dari bahan perunggu.(c) Gong Dalam satu perangkat kesenian Gendang Beleq terdapat dua buah gong dengan ukuran yang

berbeda. Gong yang lebih kecil mempunyai bunyi nada yang lebih tinggi dari gong yang lebih besar. Masing-masing gong harus dipikul oleh dua orang, sehingga jumlah seluruhnya adalah empat orang. Pemikul gong di belakang juga bertindak sebagai pemukul gong. Gong terbuat dari bahan perunggu.

(d) Kenceng/ Ceng-ceng Alat musik ini berbentuk dua piringan perunggu yang berukuran kecil. Cara memainkannya

dengan memegang bagian punggung piringan, dengan dengan kedua tangan. Memainkannya dengan cara menepuk-nepukkan piringan tersebut saling berhadapan. Kenceng ini berfungsi untuk memberi nuansa dinamis dalam gamelan.

(e) Suling Suling dimainkan oleh satu orang dengan cara ditiup. Suling terbuat dari bahan bambu yang

diberi beberapa lubang pada sisinya agar menghasilkan bunyi.(f) Oncer, Oncer dimainkan oleh satu orang dengan cara dipukul. Oncer mempunyai bentuk seperti

gong, terbuat dari bahan perunggu. Oncer berfungsi untuk mengatur tempo.(g) Pencek, dimainkan oleh satu orang dengan cara ditepuk. Pencek mempunyai bentuk seperti

kenceng tetapi mempunyai ukuran yang lebih kecil, diletakkan di sebuah papan kayu yang digantung di leher.

Kreativitas dan inovasi yang pernah dilakukan terhadap kesenian Gendang Beleq ini adalah sebagai berikut.(a) Pada tahun 2005 masyarakat Nusa Tenggara Barat berhasil menggabungkan para penabuh

Gendang Beleq sebanyak 4.000 orang dalam rangka peringatan Maulid Nabi. Mereka tidak hanya berasal dari etnis Sasak, tetapi juga dari etnis-etnis lain, seperti Jawa, Bali, Bima, dan lain-lain. Pergelaran ini diselenggarakan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan nasional Indonesia.

(b) Pada tahun 2007 masyarakat Nusa Tenggara Barat kembali berhasil mengumpulkan 5.500 orang penabuh Gendang Beleq dan Baleganjur dalam rangka memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI). Baleganjur merupakan kesenian tradisional etnis Bali yang memiliki banyak kemiripan dengan kesenian Gendang Beleq. Perbedaan yang mencolok hanya pada

Page 8: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

8

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (1 - 14)

bentuk gendang yang digunakan. Pada kesenian Baleganjur, gendang yang digunakan berukuran lebih kecil, sedangkan pada kesenian Gendang Beleq, gendang yang digunakan berukuran sangat besar. Mereka terdiri dari 4.695 orang penabuh Gendang Beleq yang berasal dari 132 sanggar dan 805 penabuh Baleganjur dari 30 sanggar. Atas prestasinya tersebut pada tanggal 9 Oktober 2008 MURI memberikan penghargaan kepada masyarakat NTB dengan kategori Pergelaran Gendang Beleq dan Baleganjur dengan peserta terbanyak.

(Wawancara dengan Sukarno, pimpinan Sanggar Seni dan Karawitan Rinjani, 8 Agustus 2011).

b. Wayang Sasak Wayang Sasak adalah seni pertunjukan wayang kulit yang terdapat di Pulau Lombok, Nusa

Tenggara Barat. Seperti halnya wayang Purwo di Jawa, wayang kulit Sasak dibuat dari bahan kulit kerbau dan tanduk kerbau. Seni pertunjukan ini diperkirakan berkembang di Pulau Lombok pada abad ke-16. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Wayang Sasak masuk ke Pulau Lombok karena diperkenalkan oleh Sunan Prapen, putra dari Sunan Giri, satu dari sembilan tokoh Wali Sanga, penyebar Islam di Jawa. Dahulu Wayang Sasak digunakan sebagai media dakwah agama Islam di Pulau Lombok, namun sekarang lebih merupakan media hiburan untuk masyarakat dan untuk kegiatan hajatan, seperti: sunatan, perkawinan, membayar kaul, dan sebagainya. Pendapat lain menyatakan bahwa Wayang Sasak diciptakan oleh Pangeran Sangupati, yaitu seorang mubaliq dari Lombok.

Menilik bentuk wayangnya, kesenian wayang Sasak mendapatkan pengaruh dari Jawa. Meskipun demikian, sumber cerita wayang Sasak bukan dari kisah Mahabarata atau Ramayana yang berasal dari India, tetapi hikayat Amir Hamzah yang berasal dari Persia. Dalam wayang Sasak, hikayat Amir Hamzah lebih dikenal dengan nama Serat Menak, karena telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh pujangga dari Kerajaan Mataram Islam di Jawa. Meskipun demikian, lakon cerita ini kemudian dikembangkan lagi oleh para dalang menjadi cerita-cerita carangan.

Serat Menak mengisahkan tentang kehidupan Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW. Dalam wayang kulit Sasak, Amir Hamzah disesuaikan namanya dengan budaya Jawa, menjadi Wong Agung Menak Jayengrana. Cerita Serat Menak masuk ke Indonesia melalui Semenanjung Melayu (Malaka), kemudian ke Jawa, dan akhirnya menyebar juga hingga ke Pulau Lombok. Cerita Serat Menak tersebut ditulis di daun lontar dalam bahasa Jawa dengan huruf Jejawan (huruf Sasak). Dikarenakan mengambil kisah dari Persia, maka lakon wayang Sasak biasanya bernuansa Islam, berbeda dengan kisah Mahabarata atau Ramayana yang bernuansa Hindu.

Sesuai dengan pakemnya, pertunjukan wayang Sasak dibagi menjadi lima babak/ adegan. Adegan pertama adalah pengaksama yang berisi permintaan maaf kepada penonton apabila dalam mendalang sang dalang beserta pengiringnya membuat kesalahan. Adegan kedua adalah kabar, yang mengisahkan tentang sebelun terciptanya alam raya dan yang ada hanya Sang Pencipta. Adegan ketiga adalah ucapan, yang memaparkan lakon yang dibawakan. Adegan keempat adalah lelampan atau jalannya cerita. Adegan kelima adalah bejanggeran atau penutup. Cerita wayang Sasak terdiri dari tujuh cerita. Cerita pertama menampilkan tokoh Jayengrana yang intinya berisi tentang ungkapan hati. Cerita kedua menampilkan tokoh Umarmaya, yang intinya berisi tentang akal untuk menimbang yang baik dan buruk. Cerita yang ketiga menampilkan tokoh Raden Maktal, yang berisi tentang pikiran yang menimbang benar atau salah. Cerita yang keempat menampilkan tokoh Taktanus yang merupakan simbol anggota tubuh sebagai pelaksana. Cerita yang kelima menampilkan tokoh Saktanus yang tidak pernah akan mundur dari perintah apapun. Dalam hal ini Taktanus dan Saktanus merupakan tokoh kembar. Cerita yang keenam menampilkan tokoh Umar

Page 9: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

9

(Budi Setiawan) Kreativitas dan Inovasi Seni Pertunjukan Sebagai Jembatan Membangun Multikultur: Studi Kasus pada...

Madi, yang menggambarkan tokoh yang pemberani kalau kebutuhan pangan sudah terpenuhi. Cerita yang ketujuh menampilkan Alam Daur yang menggambarkan bagaimana membudidayakan alam tetap lestari, semua harus berjalan dengan seimbang (Widyastuti dan Tarfi, 1987: 13-15).

Dahulu wayang Sasak kurang digemari oleh masyarakat. Mereka yang menonton wayang Sasak pada umumnya adalah para orang tua yang hanya memahami bahasa Kawi saja. Agar anak muda-anak muda juga dapat menggemari wayang Sasak, maka pertunjukan wayang Sasak juga diselipi dengan bahasa Sasak dan dengan bahasa Indonesia.

Adapun kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh para dalam dalam pergelaran wayang Sasak, antara lain:a) Pergelaran wayang Sasak tidak hanya berdasarkan pakem dari Serat Menak saja, tetapi

juga menampilkan kisah-kisah carangan berdasarkan cerita-cerita dari lontar yang pernah dituliskan oleh para pujangga Sasak pada masa lalu.

b) Seperti halnya wayang Purwa dari Jawa yang memiliki empat tokoh punakawan, yakni: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, wayang Sasak juga memiliki empat tokoh punakawan. Mereka disebut dengan Amaq Ocong, Amaq Amet, Amaq Baok, dan Inaq Itet. Melalui empat punakawan tersebut, sang dalang menampilkan humor sembari menyampaikan kritik-kritik sosial dan pesan-pesan pembangunan. Kehadiran punakawan menjadi daya tarik tersendiri, karena di samping menampilkan guyonan-guyonan segar, juga diselingi menyanyi dan menari.

c) Menciptakan bentuk-bentuk baru dari tokoh-tokoh wayang (khususnya pada tokoh-tokoh punakawan) sehingga gerakannya lebih hidup. Misalnya wayang panakawan itu dapat menunduk, membungkuk, mengangguk-anggukkan kepala, serta jika berbicara mulutnya bisa bergerak-gerak mengikuti kata-kata yang diucapkan dalang.

d) Menggunakan bahasa yang komunikatif, dengan diselipi bahasa Sasak dan bahasa Indonesia, sehingga mudah dipahami generasi muda. Di samping itu, karena ditonton oleh berbagai etnis, dialog antarwayang sering ditampilkan dengan dialek Bali, Sunda, atau Jawa. Hal ini merupakan suatu bentuk penghormatan bagi para penonton dari etnis-etnis selain etnis Sasak.

e) Pergelaran wayang Sasak tidak lagi menggunakan blencong (lampu dari minyak) di depan layar, melainkan menggunakan teknik pencahayaan dari tata lampu. Teknik pencahayaan ini mampu memberikan efek penampilan pergerakan wayang menjadi lebih dramatis.

Pada masa lalu pernah terdapat dalang wayang Sasak yang berasal dari etnis Bali dan beragama Hindu. Padahal kisah wayang Sasak banyak menampilkan nilai-nilai yang bernuansa Islam. (Wawancara dengan Haji Lalu Nasip A.R, dalang Wayang Sasak; dan Sukarno, pimpinan Sanggar Seni dan Karawitan Rinjani, 9 Agustus 2011).

c. Kesenian Batek Baris LingsarBatek Lingsar adalah kesenian yang ditampilkan dalam prosesi arak-arakan upacara.

Dalam setiap prosesi arak-arakan, kelompok penari Batek Baris Lingsar selalu berada di posisi terdepan karena fungsinya adalah sebagai pembuka jalan. Para penari mengenakan busana prajurit menyerupai serdadu Belanda, membawa senapan, dan berjalan dalam formasi baris-berbaris seperti layaknya tentara. Busana mereka yang menyerupai serdadu Belanda memang menunjukkan adanya pengaruh Belanda, yang diadopsi sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pada awalnya Batek Baris Lingsar ditampilkan untuk melengkapi upacara Perang Topat dalam rangkaian upacara Pujawali di Pura Lingsar, yang bersama-sama dirayakan oleh umat Islam dari etnis Sasak dan umat Hindu dari etnis Bali. Dalam hal ini Tari Batek Baris Lingsar ditampilkan bersama-sama dengan Tari Rejang Dewa yang ditarikan oleh penari dari etnis Bali. Saat ini Tari Batek Baris Lingsar juga ditampilkan dalam upacara-upacara daur hidup pada etnis

Page 10: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

10

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (1 - 14)

Sasak, seperti Nyongkolan (perkawinan) dan khitanan. Selain itu, kesenian ini juga ditampilkan pada setiap Peringatan Kemerdekaan RI pada bulan Agustus.

Dalam setiap pergelaran kesenian ini menunjukkan adanya kolaborasi antara kesenian Bali, Sasak dan Jawa. Hal ini nampak pada lagu-lagu yang dibawakan dalam setiap pergelaran, seperti lagu Aja Lale (bahasa Sasak) dengan lagu Ojo Lali (bahasa Jawa). Para penari Batek Baris Lingsar pun tidak hanya dari etnis Sasak, tetapi melibatkan pula penari dari etnis Bali dan Jawa.

Dalam kesenian Batek Baris Lingsar, terdapat tiga penari yang memerankan tiga orang ulama yang berasal dari Jawa dan menyebarkan agama Islam di Lombok, yakni: Haji Abdurauf, Haji Abdul Malik, dan Hj. Dewi Anjani. Yang menarik, ketiga tokoh ulama Islam tersebut juga dihormati dan ditempatkan sebagai leluhur oleh umat Hindu etnis Bali. Ketiga tokoh tersebut oleh umat Hindu etnis Bali disebut dengan Betara Gde Lingsar, Betara Gde Gunung Agung, dan Betara Gde Rinjani (Wawancara dengan Suparman Taufik, Pemangku Adat di Lingsar, 10 Agustus 2011).

d. Tari-Tarian NusantaraTari-tarian Nusantara merupakan jenis tarian kreasi baru atau tari kontemporer. Meskipun

merupakan kreasi baru, namun busana, gerakan-gerakan, maupun gamelan untuk mengiringi tari-tarian tersebut tetap berbasis pada budaya etnis-etnis yang ada di Pulau Lombok. Ide dasar penciptaan tari-tarian Nusantara adalah agar semua etnis di Pulau Lombok dapat ikut terlibat dalam kegiatan seni tari tersebut. Dalam tarian ini para penari da penabuh gamelannya terdiri dari bermacam-macam etnis, seperti:Sasak, Jawa, Bima, Sumbawa, Bugis-Makassar, Cina, Bali, dan sebagainya. Tari-tarian yang diciptakan, antara lain: Gandrung, Presean, Perang Topat, Ruwah Maulud, Sabua Ade, Suba Monica, dan lain-lain. Tari Ruwah Maulud merupakan tari garapan baru bernafaskan Islam dan khusus untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Tari Sabua Ade mengisahkan pertemuan antara dua anak muda. Tari garapan baru ini bahkan pernah mendapat penghargaan sebagai penyaji terbaik pada Parade Tari Nasional di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 2002. Tari Suba Monca adalah tari yang menggambarkan kegagahan pasukan inti Kerajaan Bojo. Tari garapan ini bahkan pernah menjadi penyaji terbaik pada Festival Nasional Tari Tradisi dalam rangka Indonesia Emas 50 Tahun RI di Jakarta Convention Center (JCC) dan Istana Merdeka Jakarta.

Sanggar yang menangani tari-tari Nusantara ini adalah Sanggar Citra Sasak. Di samping menciptakan tari-tarian kontemporer, juga menciptakan tari kolosal dengan tema khusus untuk pembukaan suatu acara, seperti Nuansa Gora, Tilawatil Al Quran Tingkat Nasional, Konferensi Tingkat Tinggi Menteri-Menteri Tenaga Kerja Asean, dan Hari Pangan Sedunia tahun 2010. Di samping itu sanggar ini pernah merintis acara Lombok Begendang pada tahun 2010 dan 2011. Jenis kesenian ini mempersatukan dan mengkolaborasikan semua jenis alat musik perkusi yang ada di seluruh Pulau Lombok melalui sebuah pergelaran bersama (Wawancara dengan Endah Setyorini, Pembina Sanggar Citra Sasak, 10 Agustus 2011).

e. Kesenian CepungDi Kota Mataram dan sekitarnya saat ini hanya ada satu grup kesenian Cepung, yakni

Grup Cepung Wacana Asih pimpinan Mami Ambar. Cepung berasal dari kata bekepung, yang berarti ‘bersama-sama’. Disebut demikian karena kesenian ini memang digarap secara bersama-sama antara beberapa orang yang berlainan etnis dan agama. Kesenian Cepung merupakan suatu seni membaca dan melagukan naskah kuno. Naskah kuno yang dibaca dan dilagukan bersumber pada Lontar Monyeh, sebuah naskah kuno yang ditulis dengan aksara Pegon (Arab Jawa), dengan susunan pupuh seperti pada tembang berbahasa Jawa atau Sunda, seperti pupuh Sinom,

Page 11: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

11

(Budi Setiawan) Kreativitas dan Inovasi Seni Pertunjukan Sebagai Jembatan Membangun Multikultur: Studi Kasus pada...

Dandanggula, Megatruh, atau Maskumambang. Dalam pembacaan naskah biasanya menampilkan dua atau tiga orang pembaca naskah yang masing-masing berasal dari etnis Sasak, Jawa, Bali, atau Bima.

Cerita yang dikisahkan dalam Lontar Monyeh menyerupai ceritera Lutung Kasarung, yang merupakan cerita rakyat Sunda. Cerita ini mengisahkan percintaan antara Pangeran Guruminda, seorang pangeran tampan yang dikutuk menjadi seekor lutung (sejenis kera berbulu hitam) dan Putri Purbasari yang cantik. Pembacaan naskah ini dilagukan dengan irama tembang dan diiringi dengan seruling, dan rebab. Setiap pupuh atau bait akan dinyanyikan berulang-ulang, dan sesekali diselingi dengan tarian. Kesenian ini dalam berbagai upacara adat, seperti perkawinan, khitanan, atau memenuhi nadar. Namun saat ini kesenian tersebut juga ditampilkan dalam peringatan hari-hari besar nasional dan keagamaan. (Wawancara dengan Marni Ambar, Grup Cepung Wacana Asih, 9 Agustus 2011).

f. Kesenian Cupak GerantangKesenian Cupak Grantang sempat mati suri, namun berhasil dihidupkan kembali pada tahun

1985 oleh Sanggar Suandha Putra pimpinan Yusuf. Kesenian ini merupakan teater tradisional yang mana tokoh utamanya adalah dua orang punakawan bernama Cupak dan Gerantang. Tokoh Cupak dan Gerantang, di samping melucu, seringkali juga memberikan pesan-pesan moral dan sosialisasi hasil pembangunan untuk memberikan informasi yang mendidik bagi penonton. Kedua tokoh ini diperankan oleh para pemain dengan menggunakan topeng. Musik yang digunakan untuk mengiringi pementasan drama tradisional ini, antara lain: suling, gendang, penthuk, rincik, gong, dan kenong. Dalam perkembangannya juga dimasukkan seperangkat gamelan Gendang Beleq untuk mengiringi kesenian ini. Hal ini dimaksudkan agar kesenian Cupak Gerantang dapat diminati lebih banyak penonton.

Topeng tokoh Cupak dalam teater tradisional Cupak Gerantang Sumber: Puslitbang Kebudayaan tahun 2011

Page 12: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

12

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (1 - 14)

Teater tradisional Cupak Gerantang pernah mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1970-an. Ketika itu hampir tiap malam sanggar-sanggar teater tradisional Cupak Gerantang tampil memenuhi undangan untuk menghibur berbagai kalangan. Namun saat ini teater tradisional Cupak Gerantang paling banter hanya pentas dua kali dalam satu bulan. Teater tradisional Cupak Gerantang memang hampir punah karena saat ini hanya tinggal tiga kelompok yang masih eksis melakukan pertunjukan. Padahal seni pertunjukan ini dapat menjadi pemersatu masyarakat yang tinggal di Kota Mataram pada khususnya dan Pulau Lombok pada umumnya. Oleh karena itu Yusuf, selaku pimpinan Sanggar Suandha Putra, mengajak seniman-seniman dari etnis-etnik non-Sasak. Baginya, tidak ada perbedaan antara masyarakat asli Sasak dengan masyarakat pendatang dari berbagai etnis. Semua etnis di Pulau Lombok adalah pendukung kebudayaan masyarakat Sasak. Di kalangan seniman dari berbagai etnis ada pendapat bahwa bila diri mereka senang mempelajari kesenian dari daerah lain, maka seniman dari etnis lain pun juga akan senang dengan kesenian dari daerah kita. Hal ini dikarenakan seni pertunjukan bersifat universal.

Bahwa teater Cupak Gerantang dapat menjadi pemersatu masyarakat dari berbagai etnis dibuktikan dengan beberapa orang anggota sanggar yang bukan berasal dari etnis Sasak, melainkan dari etnis Bali, Bima, dan Jawa. Di samping itu, seni pertunjukan telah beberapa kali diminta untuk mengisi acara yang diselenggarakan oleh masayarakat yang berasal dari luar etnis Sasak. Sebagai misal, teater Cupak Gerantang pernah mengisi pada acara hajatan yang diselenggarakan oleh warga dari etnis Bali, Jawa, dan Tionghoa. Para penonton teater Cupak Gerantang tidak hanya berasal dari etnis Sasak saja melainkan dari berbagai etnis yang ada di Kota Mataram, seperti Jawa, Bali, Samawa, Bima, Kupang dan sebagainya. Untuk menyiasati hal itu, maka ketika pertunjukkan kesenian Cupak Gerantang, bahasa yang dipergunakan bukan hanya bahasa Sasak tetapi juga diselingi dengan Bahasa Indonesia, sehingga penonton bisa mengikuti kisah cerita yang dimainkan dalam kesenian Cupak Gerantang (Wawancara dengan Yusuf, Pimpinan Sanggar Suandha Putra, 16 Agustus 2011)

Di luar konteks berkesenian, upaya peningkatan kesadaran multikultur juga dilakukan pula oleh komponen-komponen masyarakat, seperti budayawan, seniman, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), antara lain dengan mengadakan kegiatan seminar, workshop, kampanye hidup rukun, dan diskusi. Upaya peningkatan kesadaran multikultur juga dilakukan dengan mengemukakan wacana konsep kesenian SASAMBO (singkatan dari Sasak, Samawa, dan mBojo). Kesenian yang akan dikembangkan tersebut merupakan perpaduan dari tiga etnis mayoritas yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, yakni: Sasak, Samawa, dan mBojo.

Meskipun telah terjadi kreativitas dan inovasi yang dilakukan para pelaku seni terhadap kesenian tradisional, dalam upaya pengembangan kesenian tradisional sebagai jembatan untuk membangun kehidupan multikultur, para pelaku seni masih merasakan beberapa permasalahan dan kendala, antara lain: (1) Terdapat kebijakan dari pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung kehidupan seni, misalnya: pelarangan beberapa jenis kesenian tradisional karena dianggap musrik dan bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. (2) Kurangnya apresiasi pemerintah daerah terhadap kesenian yang dapat membangun kesadaran multikultur. (3) Kurangnya dukungan pihak swasta untuk mensponsori perhelatan-perhelatan berskala besar, terutama yang memanfaatkan ruang publik untuk kegiatan kesenian tradisional. (4) Minimnya upaya pencatatan, pendokumentasian, pendataan seni budaya tradisional, sehingga beberapa sumber kesenian tradisional nyaris punah, termasuk di antaranya kesenian Mekepung (Hasil FGD dengan unsur Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat dan pimpinan-pimpinan sanggar kesenian tradisional di Kota Mataram, tanggal 16 Agustus 2011).

Page 13: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

13

(Budi Setiawan) Kreativitas dan Inovasi Seni Pertunjukan Sebagai Jembatan Membangun Multikultur: Studi Kasus pada...

C. PENUTUPSebagaimana disampaikan di atas, visi pengembangan kebudayaan Indonesia adalah

“mewujudkan kebudayaan Indonesia yang tangguh, berjati diri, bermartabat, berdaulat, dan dihormati oleh masyarakat internasional” Untuk mewujudkan visi tersebut, keragaman budaya bangsa Indonesia harus dilindungi dan disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya semangat multikulturalisme.

Salah satu upaya untuk menjalin semangat multikulturalisme di antara etnis-etnis yang berbeda adalah melalui seni pertunjukan. Dalam hal ini seni pertunjukan menjadi jembatan dalam membangun multikultur. Namun kehidupan multikultur yang harmonis tidak adan dapat terwujud apabila tidak ada kreativitas dan inovasi terhadap seni pertunjukan yang dapat mengakomodasi kepentingan berkesenian di antara etnis-etnis yang tinggal bersama tersebut. Dalam hal ini masyarakat di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat telah membuktikan dapat melakukan kreativitas dan inovasi tersebut. Penduduk asli Kota Mataram dan sekitarnya adalah etnis Sasak. Meskipun demikian, mereka telah hidup bersama-sama dengan etnis-etnis lainnya, seperti: Bali, Jawa, Bugis, Bima, Flores, Sumbawa, Arab, Cina, dan lain-lain. Harmonisasi antaretnis tersebut tercipta melalui berbagai jenis seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di Kota Mataram.

Berdasarkan pembagian bentuk multikulturalisme menurut Bikhu Parekh, multikulturalisme yang dilakukan oleh masyarakat di Kota Mataram dapat dikatakan termasuk dalam multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakat yang memiliki kultur dominan akan membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Dalam hal ini masyarakat etnis Sasak memberikan kebebasan kepada etnis-etnis pendatang untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Salah satu caranya adalah melakukan kreativitas dan inovasi terhadap seni pertunjukan sehingga dapat melibatkan etnis-etnis yang lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa kreativitas dan inovasi yang dilakukan terhadap seni pertunjukan-seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di Kota Mataram dan sekitarnya dapat digunakan sebagai “jembatan” untuk menjalin hubungan yang harmonis antara etnis satu dengan etnis yang lain. Bahwa kesenian dapat menjadi jembatan dalam menjalin hubungan antar etnis dapat diketahui dari para pelaku kesenian tradisional yang tidak hanya dari satu etnis tertentu, tetapi melibatkan juga dari etnis-etnis lain. Pertunjukan kesenian tradisional juga tidak hanya dihadiri penonton dari etnis tertentu, melainkan dihadiri oleh penonton dari berbagai etnis. Mereka saling berbaur menjadi satu dalam menyaksikan kesenian tradisional tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pemerintah perlu mengapresiasi seni pertunjukan-seni pertunjukan yang yang dapat membangun kesadaran multikultur tersebut. Saat ini masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya Kota Mataram, merasakan kebijakan dari pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung kehidupan seni pertunjukan, misalnya: pelarangan beberapa jenis kesenian tradisional karena dianggap musrik dan bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Di samping itu kurangnya apresiasi pemerintah daerah terhadap kesenian tradisional menyebabkan minimnya upaya pencatatan, pendokumentasian, pendataan kesenian tradisional, sehingga beberapa sumber kesenian tradisional nyaris punah, khususnya seni Mekepung (seni membaca naskah-naskah kuno).

DAFTAR PUSTAKAAbdulah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka PelajarAzra, Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”,

Kongres Kebudayaan. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk tahun 2010.

Page 14: KREATIVITAS DAN INOVASI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI …

14

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (1 - 14)

Furnivall, John Sydenham. 1948. ”Ethnicity, Modernization, and Social Integration”. in Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publication. Pages 45-50.

Indonesia Travel Planner. 2009. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan PariwisataKhoirunnisa. 2012. Multikulturalisme dan Politik Identitas. Jakarta: Young Progressive MuslimKota Mataram dalam Angka. 2016. Mataram: Badan Pusat Statistik Kota Mataram.Parekh, Bikhu, 1997, “National Culture and Multiculturalism”, dalam Kenneth Thomson (ed.),

Media and Cultural Regulation, London.Rencana Induk Nasional Pembangunan Kebudayaan Tahun 2010-2025. 2013. Jakarta: Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan. Suparlan, Parsudi. 2008. Dari Masyarakat Majemuk Menuju Masyarakat Indonesia yang

Multikultur. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.Wehmeier, Sally (chief editors). 2005. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Seventh edition.

New York: Oxford University Press.Widyastuti, Alit dan M. Tarfi, 1987, Wayang Sasak, Mataram: Proyek Pengembangan Permuseuman,

Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bagian