20
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada abad ke-18, yang lazim disebut enlightenment age, orang harus memilih salah satu di antara dua semangat filosofis yang berlawanan secara paradigmatik. Kedua filsafat tersebut adalah rasionalisme dan empirisme. Kant berkeyakinan bahwa pilihan salah satu dari keduanya adalah tidak realistis, karena terjebak dalam kepalsuan pengetahuan. Keyakinan Kant berawal dari dua problem filosofis yang diwarisinya dari dua filosof sebelumnya, sebagai wakil besarnya, Descartes dan Hume. Apabila Decartes meninggalkan masalah “fatamorgananya” pengetahuan empirik dan menegaskan pengetahuan deduktif-matematis sebagai kepastian episteme-nya, sebaliknya Hume mengaksiomakan penerimaan kesan-kesan indriawi sebagai doktrin episteme sejati dan karenanya menolak pemikiran konseptual murni. Kant menyebut yang pertama dengan pengetahuan a priori dan yang kedua pengetahuan empiric atau a posteriori. Yang pertama berseumber pada sensibility dan yang kedua bersumber pada understanding. Menurut Kant, paradigma pengetahuan yang dipegang kedua pihak tersebut secara ekstrem adalah sama-sama salah. Karena bagi Kant, sebenarnya sensibilitas dan pemahaman merupakan sumber 1

Kritisisme Immanuel Kant wahyudi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sashhhhhhhhh

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPada abad ke-18, yang lazim disebut enlightenment age, orang harus memilih salah satu di antara dua semangat filosofis yang berlawanan secara paradigmatik. Kedua filsafat tersebut adalah rasionalisme dan empirisme. Kant berkeyakinan bahwa pilihan salah satu dari keduanya adalah tidak realistis, karena terjebak dalam kepalsuan pengetahuan.Keyakinan Kant berawal dari dua problem filosofis yang diwarisinya dari dua filosof sebelumnya, sebagai wakil besarnya, Descartes dan Hume. Apabila Decartes meninggalkan masalah fatamorgananya pengetahuan empirik dan menegaskan pengetahuan deduktif-matematis sebagai kepastian episteme-nya, sebaliknya Hume mengaksiomakan penerimaan kesan-kesan indriawi sebagai doktrin episteme sejati dan karenanya menolak pemikiran konseptual murni.Kant menyebut yang pertama dengan pengetahuan a priori dan yang kedua pengetahuan empiric atau a posteriori. Yang pertama berseumber pada sensibility dan yang kedua bersumber pada understanding. Menurut Kant, paradigma pengetahuan yang dipegang kedua pihak tersebut secara ekstrem adalah sama-sama salah. Karena bagi Kant, sebenarnya sensibilitas dan pemahaman merupakan sumber pengetetahuan manusia secara integrative. Melalui yang pertama, objek-objek diberikan kepada kita dan melalui yang kedua, objek-objek itu dipikirkan.Upaya menyintesiskan kedua sumber pengetahuan tersebut menjadi paradigma episteme yang baru merupakan prior research-nya Kant. Dari upaya pemaduan ini, Kant memberikan argumentasi-argumentasi logisnya untuk membuktikan penemuannya itu. Dari sini pula, kita bisa mengetahui pemikiran logika Kant.[footnoteRef:2] [2: Zubaedi dkk, Filsafat Barat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal 46.]

Immanuel Kant adalah seorang filosof besar yang muncul dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-18. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur, pada tanggal 22 April 1724. Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme. Di sekolah ini ia dididik dengan disiplin sekolah yang keras. Sebagai seorang anak, Kant diajar untuk menghormati pekerjaan dan kewajibannya, suatu sikap yang kelak amat dijunjung tinggi sepanjang hidupnya. Di sekolah ini pula Kant mendalami bahasa latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikiran mereka.[footnoteRef:3] [3: Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, Cetakan keenam, 2010), hal 69.]

Filsuf Jerman ini dikenal juga sebagai tokoh Kritisisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi Kant, baik rasionalisme maupun Empirisme belum berhasil membimbing kita untuk memperoleh pengetahuan yang pasti, berlaku umum, dan terbukti dengan jelas.[footnoteRef:4] [4: Rizal Mustansyi, Filsafat Analitik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal 33.]

B. Rumusan Masalah- Akar-akar Pemikiran Kant?- Pengaruh Leibniz dan Hume?- Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah?

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian KritisismeKritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Pelopor kritisisme adalah Immanuel Kant.Immanuel Kant (1724 1804) mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, Kant menawarkan sebuah konsep Filsafat Kritisisme yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kata kritik secara harfiah berarti pemisahan. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksudkan sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan.

B. Akar-Akar Pemikiran KantImmanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan Pencerahan, yaitu suatu masa di mana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Setelah hilang pada masa abad pertengahan (di mana otoritas kebenaran, pada umumnya, ada pada gereja dan para peter), unsur rasionalitas itu seakan ditemukan kembali pada masa Renaisance (abad ke-15), dan kemudian mencapai puncaknya pada masa pencerahan (abad ke-18) ini. Sebagai filsuf yang hidup pada puncak perkembangan Pencerahan Jerman, Kant sudah tentu terpengaruh suasana zamannya itu. Kant gelisah dengan kemajuan yang dicapai manusia. Bagaimana manusia bisa menemukan hokum alam, apa hakikat di balik hokum alam (metafisika) itu, benarkah itu Tuhan? Bagaimana manusia mempercayai Tuhan? Inilah beberapa kegelisahan (akademik)nya. Sama seperti Newton yang mencari prinsip-prinsip yang ada dalam alam organik, Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar berbeda sama sekali dengan metafisika pra Kant.[footnoteRef:5] [5: Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, hal 72.]

Kant terdorong untuk menggagas medote filosofi baru itu karena alasan yang sama dengan alasan Descartes: ia bertanya dalam hati mengapa ilmu-ilmu lain maju pesat, tetapi metafisika tidak demikian. Sekalipun begitu, jawabannya atas pertanyaan ini bukan hanya mengabaikan masalah benak-badan seluruhnya, melainkan juga kontribusi utama Descartes lainnya: yakni keyakinannya akan obyektivitas mutlak dunia eksternal.Kant menamai sendiri cara berfilsafatnya: metode Kritis. Judul tida buku utamanya, yang di dalamnya ia kembangkan sistemnya, masing-masing dimulai dengan kata Kritik. Setiap buku itu menggunakan sudut pandang yang berlainan; masing-masing menghadapi semua pertanyaan masing-masing dengan ujung pandang khusus. Kritik pertamanya, (CPR), mengambil sudut pandang teoretis. Ini berarti jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan ini berkenaan dengan pengetahuan kita. Dua kritik lainnya, kadang-kadang menjawab pertanyaan yang sama dengan cara berbeda, karena mengambil sudut pandang berbeda.[footnoteRef:6] [6: Dr. Stephen Palmquist, Pohon Filsafat (Teks Kuliah Pengantar Filsafat), (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan kedua, 2007), hal 86-87 ]

C. Pengaruh Leibniz dan HumeKecuali tradisi Pencerahan dan tradisi Peistis yang memiliki pengaruh dalam kehidupan Kant, Leibniz dan Hume adalah di antara banyak filsuf yang mempunyai pengaruh besar pada Kant, Terutama untuk membangun epistemologinya. Khusus kepada Hume, Kant merasa bahwa Hume-lah yang telah membangunkannya dari sikap dogmatism. Setelah membaca karya-karya Hume, Kant kemudian tidak lagi menerima prinsip-prinsip rasionalisme dan aksioma-aksioma ontology, bahkan pemikiran (termasuk etika) nya dibangun dari kritik atas dogmatism. Sementara pada Leibnis (sebenarnya juga Wolf), beberapa istilah teknis Kant berasal dari mereka seperti istilah apriori dan a posterirori.Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran rasionalisme, sedangkan Hume muncul sebagai wakil dari aliran empirisme.Di sini jelas, bahwa epistemology ala Leibniz bertentangan dengan epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume mengajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenal sesuatu terjadi setelah sesuatu itu dialami terlebih dahulu.[footnoteRef:7] [7: Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, hal 72.]

D. Epistemologi Kant, Membangun dari BawahSeperti disampaikan di atas, bahwa sebelum Kant memang muncul perdebatan soal objektivitas pengetahuan yaitu oleh pemikiran rasionalisme di Jerman sebagaimana dikembangkan Leibniz-Wolf dengan empirisme Inggris yang kemudian bermuara pada pemikiran Hume. Filsafat Kant berusaha mengatasi dua aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant menyebut perdebatan itu dengan antinomy, seakan kedua belah pihak merasa benar sendiri, sehingga tidak sempat member peluang untuk munculnya alternative ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.Mendapatkan inspirasi dari Copernican Revolution, Kant merubah wajah filsafat secara radikal, di mana ia memberikan tempat sentral pada manusia sebagai subjek berpikir. Maka dalam filsafatnya, Kant tidak mulai dengan penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan menyelidiki struktur-struktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan: Akal tidak boleh bertindak seperti seorang mahasiswa yang cuma puas dengan mendengarkan keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi hendaknya ia bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan persiapkan sebelumnya.Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis, suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Langkah Kant ini dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir atas daya pertimbangan.

E. Kritik atas Rasio MurniPada taraf indra, ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan indrawi selalu ada dua bentuk apriori yaitu ruang dan waktu. Pada taraf akal budi, Kant membedakan akal budi dengan rasio. Tugas akal budi ialah memikirkan suatu hal atau data-data yang ditangkap oleh indrawi. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesis antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawi dan bentuk adalah apriori, bentuk apriori ini dinamakan Kant sebagai kategori.Pada taraf rasio, kant menyatakan bahwa tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga ide, yaitu Allah, jiwa dan dunia. Apa yang dimaksud ide menurut Kant ialah suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam gejala psikis (jiwa), gejala jasmani (dunia) dan gejala yang ada (Allah).Akal murni adalah akal yang bekerja secara logis. Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indra.Menurut Kant, jiwa kita merupakan organ yang aktif, dimaksudkan sebagai jiwa yang inheren, secara aktif mengkoordinasi sensasi-sensasi yang masuk dengan idea-idea kita. Karena dikoordinasi itulah maka pengalaman yang masuk, yang tadinya kacau, menjadi tersusun teratur.Apa makna kata sensasi dan persepsi menurut Kant? Sensasi ialah pengindraan, sensasi itu hanyalah suatu keadaan jiwa menanggapi rangsangan (stimulus) . Sensasai itu masuk melalui alat indra, melalui indra itu lalu masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan,kemudian disadari. Akan tetapi, bagaimana caranya? Ternyata, sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu. Saluran itu adalah hukum-hukum . Karena hukum-hukum itulah maka tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan itu diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Contohnya, Jam berdetak, Anda tidak mendengarnya, akan tetapi, detak yang sama bahkan lebih rendah, akan didengar bila kita bertujuan ingin mendengarkannya.Kemudian Jiwa (mind) yang memberi arti terhadap stimulus itu mengadakan seleksi dengan menggunakan dua cara yang amat sederhana, Menurut Kant, Pesan-pesan (dari Stimulus) disusun sesuai dengan ruang (tempat) datangnya sensasi, dan waktu terjadinya itu. Mind itulah yang mengerjakan sesuatu itu, yang menempatkan sensasi dalam ruang dan waktu, menyifatinya dengan ini atau itu. Ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang dipahami, ruang dan waktu itu adalah alat persepsi. Oleh karena itu ruang dan waktu itu apriori.[footnoteRef:8] [8: Arif Budiman, Peta Pemikiaran Immanuel Kant, http://filsafat.kompasiana.com/2011/06/13/ peta-pemikiran-immanuel-kant , diakses 27 Juni 2011.]

Menurut Kant, pengetahuan yang dihasilkan aliran rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-Apriori. Putusan ini memang mengandung suatu kepastian dan berlaku umum. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan aliran empirisme tercermin dalam putusan Sintetik-Aposteriori . Yang sifatnya tidak tetap. Kant memadukan keduanya dalam suatu bentuk putusan yang Sintetik-Apriori. Di dalam putusan ini, akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori, menurut Kant, syarat rasio untuk dapat mencapai tahap rasionalitasnya yakni melewati tiga tahap. Yaitu :1. Tahap Inderawi, disini peranan subjek lebih menonjol, tapi harus ada bentuk rasio murni yaitu ruang dan waktu yang dapat diterapkan pada pengalaman. Hasil pencerapan indrawi inderawi yang dikaitkan dengan bentuk ruang dan waktu ini merupakan fenomena konkret. Namun pengetahuan yang diperoleh dalam bidang inderawi ini selalu berubah-ubah tergantung pada subjek yang mengalami, dan situasi yang melingkupinya.2. Akal Budi ; apa yang telah diperoleh melalui bidang inderawi tersebut untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat objektif-universal haruslah dituangkan ke dalam bidang akal.3. Tahap Rasional ; pengetahuan yang telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan Sintetik-Apriori, setelah dikaitkan dengan tiga macam ide, yaitu Allah (ide teologis) Jiwa (ide psikologis) dan dunia (ide kosmologis). Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikiran manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.[footnoteRef:9] [9: Rizal Mustansyi, Filsafat Analitik, hal 34-35.]

F. Kritik Atas Rasio Praktis Apabila kritik atas rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan mutlak bagi pengetahuan manusia, maka dalam kritik atas rasio praktis yang dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan susila. Kant coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form) perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperative). Kesadaran demikian ini disebut dengan otonomi rasio praktis (yang dilawankan dengan heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara, subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokkok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical) atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperative kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=sollen). Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.Kant, pada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya praanggapa dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut postulat rasio praktis, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan. Hukum susila merupakan tatanan kebebasan, karena hanya dengan mengikuti hukum susila orang menghormati otonomi kepribadian manusia. Kebakaan jiwa merupakan pahala yang niscaya diperoleh bagi perbuatan susila, karena dengan keabadian jiwa bertemulah kewajiban dengan kebahagiaan, yang dalam kehidupan di dunia bisa saling bertentangan. Pada gilirannya, keabadian jiwa dapat memperoleh jaminan hanya dengan adanya satu pribadi, yaitu Tuhan, namun, sekali lagi, harus dipahamai bahwa postulat itu tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut Kant menyebutnya kepercayaan (Glube).Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan argument moral tentang adanya Tuhan, sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis bekerja melahirkan perbuatan susila.[footnoteRef:10] [10: Mohammad Muslih, Filsafal Ilmu, hal. 78]

G. Kritik Atas Daya PertimbanganKonsekuensi dari kritik atas rasio murni dan kritik atas rasio praktis menimbulkan adanya dua kawasan tersendiri, yaitu kawasan keperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Adanya dua kawasan itu, tidak berarti bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik atas Daya Pertimbangan (Kritik der Urteilskraft), dimaksudkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektik, manusia mengarahkan objek pad diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.[footnoteRef:11] [11: Ibid]

H. Idealisme TransendentalTidak mudah memahami Kant, terutama ketika sampai pada teorinya: realisme empirikal (empirical realism) dan idealism transcendental (transcendental idealism), apalagi jika mencoba mempertemukan bagian-bagian dari teorinya itu. Istilah transcendental berhadapan dengan istilah empiris, di mana keduanya sama-sama merupakan term epistemologi, namun sudah tentu mengandung maksud yang berbeda, yang pertama berarti independen dari pengalaman (dalam arti transenden), sedang yang terakhir disebut berarti imanen dalam pengalaman. Begitu juga realisme berlawanan dengan idealisme, adalah dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: lepas dari eksistensi subyek dan bergantung pada eksistensi subyek. Teori Kant ini mengingatkan kita kepada filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley sudah tentu seorang empiris, tetapi ia sekaligus muncul sebagai seorang idealis. Sementara Decartes bisa disebut seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara umum, independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui esensinya melalui idea bawaan (innate ideas) secara clear and distinct, bukan melalui pengalaman. Inilah yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang realis transcendental.

I. Dialektika TransendentalDalam analitika transcendental, Kant menunjukkan kondisi-kondisi pengetahun yang pasti, yaitu kategori yang bisa diterapkan terhadap apa yang diberikan dalam ruang dan waktu. Dalam dialektika transcendental, Kant ingin menunjukkan hakikat akal (reason) dengan menggunakan kategori-kategori di luar apa yang diberikan dalam ruang dan waktu. Dengan cara ini, ia mencoba menjawab persoalan metafisik.Kant membedakan antara understanding dan reason. Yang pertama membuat penilaian tentang apa yang diberikan dalam ruang dan waktu melalui kategori.Dalam paralogisme akal murni, Kant menemukan klaim psikologi rasional. Wolf dengan mengikuti garis Cartesian, mengklaim bahwa the thinking Iadalah identik dengan substansi. Kant menolaknya dengan dalih karena kesatuan kesadaran diri yang mengondisikan semua pengalaman perseptual tidak membuktikan kesatuan noumenal mutlak atau immortalitas dari diri. Kant mengakui ada ego transcendental sebagai kondisi pasti dari pengalaman, tetapi tidak dapat memegangi eksistensi ego transendental sebagai suatu substansi. Pengetahuan ilmiah dibatasi oleh dunia fenomena. Ego transcendental bukan milik dunia itu, melainkan banyak konsep yang membatasi.Dalam ideals of pure reason, Kant menolak bukti-bukti teoretik-rasional tenang eksistensi Tuhan, seperti yang diberikan oleh argumentasi ontologism, dan kosmologis, misalnya. Dalam argument ontologism, pikiran memiliki konsep tentang suatu Wujud yang meliputi realitas itu sendiri, yaitu Tuhan. Argument kosmologis berbunyi: pertama, bahwa jika ada sesuatu yang contingent (tidak tentu), maka pasti ada suatu Wujud yang pasti dan tak dikondisikan sebagai sebabnya; kedua, karena pengalaman tidak member hakikat suatu Wujud, kita harus bersandar pad konsep a priori tentang Wujud tersebut. Kant menolak bukti-bukti logis tersebut karena ada loncatan kesimpulan. Tuhan ada tetapi ia terlalu besar bagi akal kita.[footnoteRef:12] [12: Zubaedi dkk, Filsafat Barat, hal 58-59]

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan Filsafat Immanuel kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris.

B. SaranKami menyadari selaku penyusun makalah ini, bahwa terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu, kami mengharap saran yang konstruktif dari teman-teman sekalian serta para pembaca terutama dari dosen pengampu demi perbaikan makalah kami dimasa selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Budiman, Peta Pemikiaran Immanuel Kant, http://filsafat.kompasiana.com/2011/06/13/ peta-pemikiran-immanuel-kant , diakses 14 Juni 2011.Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, Cetakan keenam, 2010Rizal Mustansyi, Filsafat Analitik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001Stephen Palmquist, Pohon Filsafat (Teks Kuliah Pengantar Filsafat),Yogayakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan kedua, 2007Zubaedi dkk, Filsafat Barat, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 200713