21
77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF ISLAM NALAR BURHANI MUHAMMAD ABED AL-JABIRI A. Keunggulan Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Filsafat Modern Perkembangan sains, sebagian terbesar adalah hasil peradaban Barat pada periode modern dan merupakan satu dari keberhasilan-keberhasilan yang terbesar dari akal manusia. Satu permasalahan yang muncul pada filsafat abad modern khususnya abad ke-17 dan 18 adalah masalah epistemologi. Satu diskursus yang sedang dikaji oleh penulis sekarang adalah bagaimana Epsitemologi Kritisisme Imamnuel Kant dapat dipresentasikan. Epistemologi Kritisisme yang dimaksd dalam hal ini adalah gagasan Immanuel Kant secara substansial yang mengkritik validitas ilmu pengetahuan, menguji operasionalitasnya dan menentukan batas-batas ilmu pengetahuan itu sendiri. Pemikiran seorang tokoh filsuf Eropa modern dapat dipahami, apabila menengok kembali kepada segi historisnya. Karena dari sanalah memang lahir filsafat untuk pertama kalinya. Filsafat modern merupakan kelanjutan dari filsafat Yunani. Pokok pemikiran yang muncul pada filsafat modern, sebenarnya merupakan kelanjutan dan berdasarkan pemikir-pemikir Yunani Kuno. Lebih jelasnya, penulis akan mencoba menelusuri dari pendekatan historis. Secara konvensional orang mengadakan periodesasi filsafat sebagai berikut : 1. Masa Yunani Kuno (abad ke-6 SM sampai dengan akhir abad ke-3 SM) 2. Mmasa abad pertengahan (akhir abad ke-3 SM sampai dengan awal abad ke-15) 3. Masa modern (akhir abad ke-15 sampai dengan abad ke-19) 4. Masa dewasa ini (filsafat kontemporer) abad 20 M.

BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

77

BAB IV

ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT

DALAM PERSPEKTIF ISLAM NALAR BURHANI MUHAMMAD

ABED AL-JABIRI

A. Keunggulan Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Filsafat

Modern

Perkembangan sains, sebagian terbesar adalah hasil peradaban Barat

pada periode modern dan merupakan satu dari keberhasilan-keberhasilan yang

terbesar dari akal manusia. Satu permasalahan yang muncul pada filsafat abad

modern khususnya abad ke-17 dan 18 adalah masalah epistemologi.

Satu diskursus yang sedang dikaji oleh penulis sekarang adalah

bagaimana Epsitemologi Kritisisme Imamnuel Kant dapat dipresentasikan.

Epistemologi Kritisisme yang dimaksd dalam hal ini adalah gagasan

Immanuel Kant secara substansial yang mengkritik validitas ilmu

pengetahuan, menguji operasionalitasnya dan menentukan batas-batas ilmu

pengetahuan itu sendiri.

Pemikiran seorang tokoh filsuf Eropa modern dapat dipahami, apabila

menengok kembali kepada segi historisnya. Karena dari sanalah memang lahir

filsafat untuk pertama kalinya. Filsafat modern merupakan kelanjutan dari

filsafat Yunani. Pokok pemikiran yang muncul pada filsafat modern,

sebenarnya merupakan kelanjutan dan berdasarkan pemikir-pemikir Yunani

Kuno.

Lebih jelasnya, penulis akan mencoba menelusuri dari pendekatan

historis. Secara konvensional orang mengadakan periodesasi filsafat sebagai

berikut :

1. Masa Yunani Kuno (abad ke-6 SM sampai dengan akhir abad ke-3 SM)

2. Mmasa abad pertengahan (akhir abad ke-3 SM sampai dengan awal abad

ke-15)

3. Masa modern (akhir abad ke-15 sampai dengan abad ke-19)

4. Masa dewasa ini (filsafat kontemporer) abad 20 M.

Page 2: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

58

Wajah filsafat pada awal kelahirannya (abad ke-6 SM sampai dengan

ke-3 SM) menampilkan diri sebagai “mitologi”, dongeng-dongeng, takhayul,

novel-novel, sajak-sajak dan nyanyian-nyanyian yang menggambarkan para

dewa dan asal-usul terjadinya alam semesta. Hal ini berlangsung lebih kurang

tiga abad. Karena manusia tidak lagi merasa puas atas dongeng-dongeng dan

takhayul para dewa kemudian manusia mulai mencoba mencari jawaban

secara aqliah. Di sini filsafat lari dari mitos ke logos dengan tokoh-tokoh

terkenal yaitu Thales (624-548), Anaximandros (610-540), Pytagoras (580-

500), Demokritos (460-370), Anaximenes dan lain-lain yang dikenal sebagai

filsuf alam “kosmologi”.1

Dengan tinggal landasnya para filsuf alam semesta, filsafat Yunani

Kuno mencapai puncak keagungannya pada diri Socrates (469-399 SM),

Plato (427-347) dan Aristoteles (384-322 SM). Di sinilah perkembangan

filsafat Yunani Kuno yang semula lahir menampakkan dirinya sebagai

mitologi, kemudian berkembang menjadi kosmologi kemudian menjadi etika

dan akhirnya kembali lagi menjadi sesuatu yang bersifat mistik pada akhir

abad ke-13, diajarkan oleh Plotinus yang menamakan dirinya sebagai aliran

Neo-Platonisme. Sekitar abad ke-7 sampai dengan ke-9, filsafat sudah berubah

wajahnya untuk mengabdi pada dogma-dogma agama Kristen. Filsafat pada

masa ini dikenal sebagai abad kegelapan, filsafat abad pertengahan. Tokoh

yang tampil pada abad pertengahan adalah Agustinus (354-430) dan Thomas

Aquinas (1225-1274). Merekalah yang dapat memadukan ajaran agama

Kristen dengan filsafat, sehingga kehadiran filsafat Yunani Kuno tidak perlu

dilarang bahkan filsafat Yunani Kuno diinterpretasikan sedemikian rupa untuk

memberikan justifikasi atau pembenaran bagi dogma-dogma gereja.

Dalam perkembangan sejarah menuju abad ke-16 di Eropa muncul

suatu gerakan Renaissance (kelahiran kembali), manusia seakan-akan lahir

kembali dari tidur abad pertengahan. Seluruh kebudayaan Barat dibangunkan

dari suatu keadaan statis menuju manusia bebas yaitu manusia yang tidak lagi

1 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002),

hlm. 9-10

Page 3: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

59

terikat oleh otoritas selain atoritas individu masing-masing. Inilah jembatan

antara abad pertengahan dan zaman modern. Abad Renaissance kemudian

disusul oleh zaman Aufklarung di abad ke-18. Aufklarung merupakan suatu

gerakan (zaman) yang didukung oleh suatu kepercayaan bahwa akal manusia

merupakan segala-galanya.2

Zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah pemberontakan

terhadap alam pikir abad pertengahan. Renaissance yang menghidupkan

kembali kebudayaan Yunani-Romawi sebagai alternatif terhadap kebudayaan

Kristiani, bukan hanya merupakan pemberontakan di bidang nilai-nilai

kultural, melainkan juga menyongsong zaman baru dengan krisis abad

pertengahan itu. Penemuan-penemuan penting di bidang ilmu pengetahuan

juga kunci fajar zaman baru itu yang meninggalkan alam pikir abad

pertengahan. Seperti halnya : Copernicus dan Galileo-Galilei sebagai pemikir-

pemikir unggul yang telah menemukan bahwa bumi mengitari matahari dan

bukan sebaliknya.

a. Sumber Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant

Sosok Immanuel Kant (1724-1804) adalah sosok seorang filsuf

terbesar yang sangat populer diantara para filosuf modern.

Kepopulerannya tidaklah terlepas dari 3 karya terbesarnya yang diawali

dengan kata Critique yakni Critique of Pure Reason (1781), Critique of

Practical Reason (1787) dan Critique of Judgement (1790). Oleh sebab

adanya awalan Critique dalam 3 karya terbesar tersebut, maka filsafatnya

disebut Kritisisme yang berisi gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran

Immanuel Kant secara berurutan yakni epistemologi, etika dan estetika.

Melalui ketiga karya tersebut, pemikiran dan pola pikir Immanuel Kant

banyak dituangkan. Dia termasuk filosuf abad ke-18 yang lebih dikenal

dengan nama abad pencerahan atau Aufklarung. Di mana pencerahan

(dengan hal cerah atau cahaya) dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan

eksak dan eksperimental lebih dipentingkan daripada inspirasi filsafat dan

agama. Seperti halnya Immanuel Kant mengatakan bahwa manusia harus

2 Ibid., hlm. 12-18

Page 4: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

60

berani membiarkan dirinya dipimpin oleh cahaya akal. Dan Hegel melihat

dalam filsafat pencerahan adanya suatu penerimaan akal dan penolakan

wahyu agama. Sangatlah sukar bila membatasi gejala filsafat pencerahan

dari sudut daerah dan zaman. Contoh gejala umum filsafat pencerahan dari

sudut daerah dan zaman seperti Tolland di Eropa, Hume di Inggris, Wolf

dan Lessing di Jerman, Montesqieu, Voltaire dan Diderot di Perancis.3

Mengenai sumber pengetahuan, pertama-tama para filsuf modern

menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kekuasaan feodal,

melainkan dari diri manusia itu sendiri. Tentang aspek mana yang ambil

peranan dalam perolehan pengetahuan itu mereka berbeda pendapat.

Aliran Rasional dengan tokohnya Descartes berpendapat bahwa sumber

pengetahuan adalah rasio. Kebenaran yang pasti berasal dari rasio.

Selanjutnya Aliran Rasional dan ajarannya dikembangkan oleh tokoh

G.W. Leibniz (1846-1716), Wolf di Jerman. Sedang Aliran Empiris

dengan tokoh David Hume, sebaliknya meyakini bahwa pengalamanlah

sebagai sumber pengetahuan baik pengalaman batin maupun inderawi. Di

mana Plato dan Aristoteles-lah yang dianggap sebagai cikal bakal Aliran

Rasionalisme dan Empirisme. Dari sinilah timbul Kritisisme Immanuel

Kant yang berusaha mengkritik kedua aliran tersebut untuk mencapai

sumber pengetahuan yang benar.4 Yakni, pengetahuan manusia berasal

dari luar maupun dari jiwa manusia itu sendiri.5

Immanuel Kant merupakan orang yang seakan-akan telah

menyempurnakan pencerahan dengan tiba-tiba. Dengan munculnya Kant

sekaligus dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu

gagasan baru yang memberi acuan mengenai apa yang akan dipikirkan

secara kefilsafatan di zaman yang lebih kemudian. Dan ia sendiri merasa

bahwa ia meneruskan pencerahan.

3 Brouwer dan Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung :

Alumni, 1986), hlm. 75 4 Yusriah, “Pengaruh Kritisisme Kant Terhadap Filsafat Modern dalam Jurnal Teologia,”

(Semarang : Media Komunikasi Informasi Keilmuan, 1989), hlm. 9 5 Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam – Sejarah Aliran dan Tokoh, (Malang : UMM Press,

2003), hlm. 12

Page 5: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

61

Benarlah bahwa gagasan-gagasan Immanuel Kant ini dimunculkan

oleh bentrokan Epistemologi yang timbul dari pemikiran Rasionalisme di

Jerman sebagaimana dikembangkan oleh Leibniz-Wolf dengan Empirisme

Inggris yang kemudian bermuara dalam pemikiran Hume. Kant mencoba

untuk mengatasi bentrokan tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur

mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-

unsur mana yang terdapat dalam akal manusia.

b. Validitas Ilmu

Persoalan yang diperdebatkan pada waktu itu salah satunya adalah

soal “objektivitas pengetahuan”. Apakah pengetahuan yang sungguh-

sungguh objektif itu berasal dari akal ataukah dari pengalaman. Descartes

berpendapat, bahwa dalil Cogito Ergo Sum adalah dasar dari segala

pengetahuan. Kenyataan bahwa “saya ada” adalah kenyataan objektif,

kenyataan tentang dunia bukan sekedar persepsi seseorang. Oleh karena

itu dalil Cogito Ergo Sum adalah dasar objektivitas pengetahuan.

Sedangkan Leibniz yakin bahwa dalam pemahaman itu sendiri sudah

terdapat prinsip-prinsip innate yang kebenarannya diketahui secara intuitif,

tidak tergantung pada pengalaman dan dari sinilah penjelasan tentang

dunia diderivasikan secara utuh, objek dasar yang paling dasar dalam

dunia adalah substansi atau metode. Dalam diri setiap substansi sudah

tercakup subjek dan predikat yang tidak terbatas dan sempurna. Setiap

metode memiliki kemampuan untuk mendapatkan gagasan (perceptio)

yang baru dan jelas, sehingga tercapailah gagasan yang jelas dan disadari

(apperceptio). Pengalaman adalah tingkat pertama pengetahuan akal, jadi

bukan merupakan sumber pengetahuan. Sebaliknya, Hume menolak

pendapat dioperasikan tanpa ide, dan ide hanya dicari melalui pengamatan.

Menurut Hume, isi pemikiran harus merupakan suatu analisis akhir yang

didasarkan atas pengalaman yang terdiri dari impresi-impresi.6

6 Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat dari Aristoteles Sampai Derrida,

(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 60

Page 6: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

62

Nampaknya bila ditelusuri lebih detail dan valid, maka filsafat

Kant lebih berusaha untuk mengumpulkan dan mengatasi kedua aliran

tersebut. Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa sekalipun

inspirasi filsafat Kant muncul dari dua aliran yang berbeda yakni

Rasionalisme dan Empirisme, namun Kant tidak begitu saja langsung

memadukan dua pemikiran tersebut menjadi satu sistem.

Sebab, mengikuti salah satu aliran di atas tidak akan

menyelesaikan masalah. Kedua-duanya keliru, kekeliruan Rasionalisme

ialah karena Rasionalisme tidak memperhatikan pengalaman, lebih

mementingkan rasio, pengertian dan aspek-aspek statis. Sedangkan

Empirisme lebih mementingkan pengalaman dan aspek-aspek dinamis,

tetapi tidak memiliki konsep untuk menggambarkan pengalaman.7

Kant yang mencoba mempersatukan Rasionalisme dan Empirisme,

mengatakan bahwa dengan hanya mementingkan salah satu dari kedua

aspek sumber pengetahuan (rasio dan empiri) tidaklah akan diperoleh

pengetahuan yang kebenarannya bersifat universal sekaligus dapat

memberikan informasi baru. Menurut Kant, syarat dasar suatu ilmu adalah

: a) bersifat umum, mutlak serta b) memberi pengetahuan baru.

Pengetahuan yang rasional adalah pengetahuan yang analitis a priori, di

sini predikat sudah termuat dalam subjek. Sedangkan pengetahuan yang

empiris adalah pengetahuan yang sintetis a posteriori, di sini predikat

dihubungkan dengan subjek yang berdasarkan pengalaman inderawi.

Masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan. Pengetahuan

rasional (analitis a priori) adalah pengetahuan yang bersifat universal, tapi

tidak memberi informasi baru. Sebaliknya empiris (sintetis a posteriori)

dapat memberikan informasi baru, tetapi kebenarannya tidak universal.

Dengan demikian, baik Rasionalisme maupun Empirisme tidak memenuhi

syarat yang dituntut oleh suatu ilmu. Sehingga Kant mengemukakan

bahwa pengetahuan itu seharusnya sintetis a priori yakni pengetahuan

7 Ibid., hlm. 61

Page 7: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

63

bersumber dari rasio dan empiri yang sekaligus bersifat a priori dan a

posteriori.8

Maka ilmu pengetahuan menuntut adanya putusan-putusan a priori

yang bersifat sintesis. Oleh karena itu, suatu metafisika yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah harus juga bekerja dengan

mempergunakan putusan-putusan yang a priori, namun juga bersifat

sintesis. Dengan demikian, bagi Kant perlu menyelidiki bagaimana

mungkin ada putusan-putusan yang “sintesis a priori”, putusan-putusan

yang sekalipun sintesis, namun tidak tergantung dari pengalaman. Jadi

Kant memandang pengenalan sebagai sintesis antara unsur-unsur a priori

dan unsur-unsur a posteriori yang masing-masing memainkan peranan

sebagai bentuk (a priori) dan materi (a posteriori). Penemuan Kant dalam

hal tersebut menandakan suatu revolusi dalam filsafat yang

diperbandingkan dengan revolusi kopernikan artinya suatu revolusi yang

dapat diperbandingkan dengan perubahan revolusioner yang diadakan oleh

Copernicus dalam bidang astronomi. Sebelum Kant, dahulu para filsuf

mencoba mengerti pengenalan dengan mengandaikan bahwa “si subjek

(aku) mengarahkan diri kepada objek” (dunia, benda-benda). Tetapi Kant

sebaliknya berpangkal dan bertolak dari anggapan bahwa “objeklah yang

mengarahkan diri kepada si subjek”. Seperti Copernicus menetapkan

bahwa bumi berputar di sekitar matahari, bukan sebaliknya. Jadi yang

revolusioner dari pendekatan Kant adalah ia tidak lagi mulai dari objek-

objek melainkan dari subjek. Oleh karena itu, struktur subjek sendiri harus

diselidiki yaitu kebenaran bukan penyesuaian pengetahuan dengan dunia

melainkan dunia dengan pengetahuan manusia.9

8 Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para

Tokohnya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 33 9 Brouwer dan Puspa Heryadi, op.cit., hlm. 69-74

Page 8: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

64

c. Struktur Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant

Dalam karyanya Kant Kritik atas Rasio Murni, Kant membedakan

3 macam pengertian :

1. Pengertian analitis, dengan sifatnya predikat yang sudah termuat

dalam konsep subjek dan tidak memberikan pengertian baru, misalnya

lingkaran “bulat”.

2. Pengertian sintetis a posteriori di mana predikat dihubungkan dengan

subjek berdasarkan pengalaman inderawi dan memberikan pengertian

baru, misal manusia merasa panas.

3. Pengertian sintetis a priori, pada pengertian ini dipakai sumber

pengetahuan yang bersifat a priori dan a posteriori sekaligus, akal

budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan serentak. Hasilnya akan

memperoleh pengertian umum, universal dan pasti, misalnya air

mendidih pada suhu 1000 C, bumi berputar sekitar porosnya setiap 24

jam.10

Disinilah pada tingkat pengertian sintesis a priori Kant mulai

menyelididki bagaimana mungkin ada putusan-putusan yang sintesis a

priori yaitu putusan yang sekalipun sintetis namun tidak tergantung dari

pengalaman. Dalam rangka menghubungkan teori Empirisme dan

Rasionalisme maka Kant berusaha menjelaskan dengan tingkat-tingkat

pengenalan roh yaitu dari tingkat yang terendah sampai yang tertinggi.

Pengenalan yang terendah adalah pengamatan inderawi kemudian akal,

dan akhirnya sampai pada tingkat budhi (intelek). Pada pengamatan

inderawi ini, yang menjadi unsur a posteriori ialah kesan-kesan atau

cerapan-cerapan indera yang manusia terima dari objek yang tampak.

Indera-indera bersifat menerima apa yang disajikan objek yang tampak

dari kesan-kesan yang langsung itu. Manusia mendapat pengenalan dan

pengetahuan, akan tetapi yang manusia amati hanyalah penampakan,

gejala-gejalanya (fenomena) bukan dalam bendanya sendiri das Ding an

10 Lili Cahyadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Emperatif

Kategoris, (Yogyakarta : Kanisius, 1991), hlm. 35

Page 9: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

65

Sich. Pada pengenalan inderawi harus dilengkapi dengan adanya “ruang”

dan “waktu”.11 Sedangkan pengamatan dan pengenalan pada taraf akal,

Kant membedakan antara akal dengan budi, tugas akal mengatur data-data

inderawi dengan mengemukakan putusan-putusan. Segala hasil

pengamatan indera diolah oleh akal sehingga menjadi suatu sintesa yang

teratur dalam putusan-putusan.

Pengenalan pada taraf akal tersebut merupakan sintesis antara

bentuk dan materi, apa yang diperoleh melalui bidang indera harus

dituangkan kedalam apa yang dinamakan bidang akal yang bisa melalui

kategori yang jumlahnya ada 12 dan dapat dirangkum menjadi 4 kategori

asasi yaitu : kuantitas yang terdiri dari kesatuan, kejamakan dan keutuhan.

Kualitas terdiri dari realitas, negasi dan pembatasan. Hubungan terdiri atas

substansi, kausalitas, dan resiprositas. Modalitas terdiri atas kemungkinan,

peneguhan dan keniscayaan.

Di mana tiap deretan kategori terdiri atas 3 kategori tersebut yang

pertama dan yang kedua saling bertentangan (umpamanya : kesatuan dan

kejamakan), sedang yang ketiga (yaitu keutuhan) mewujudkan kesatuan

yang lebih tinggi dari kedua kategori yang mendahuluinya. Cara berpikir

yang demikian itu, yaitu pemikiran dengan memakai tesa, antitesa dan

sintesa di zaman yang lebih kemudian diperkembangkan oleh Fichte,

Schelling dan Hegel.

Sedang pengenalan pada bidang budi ini tugasnya adalah menarik

kesimpulan dari putusan-putusan yang telah dibuat akal, budi

menggabungkan putusan-putusn yang dipimpin oleh tiga idea yaitu jiwa,

dunia dan Allah atau dengan kata lain psikologi, kosmologi dan teologi.12

Namun ketiga macam idea itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh

akal pikir manusia. Ketiga idea ini hanya merupakan petunjuk untuk

menciptakan kesatuan pengetahuan. Walaupun ketiga idea tersebut

11 Joko Siswanto, op.cit., hlm. 63 12 Yusriah, op.cit., hlm. 12.

Page 10: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

66

berkaitan dengan pengalaman tetapi mereka sendiri tidak termasuk

pengalaman manusia.

d. Hakikat Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant

Pada dasarnya filsafat Immanuel Kant terdapat perhubungan antara

idealisme dan realisme. Hal itu bias dimulai dengan pertanyaan apa yang

dimaksudkan dengan istilah Das Ding an Sich? Dalam pengamatan

perbedaan fenomenon dan benda rupanya sama dengan perbedaan antara

dua realitas. Pengamatan membatasi pengetahuan yang tidak bisa

melampui pengamatan sendiri dan mencapai benda di luar manusia sedang

tanpa sense data manusia tidak dapat mengenal apa-apa dengan memakai

kategori-kategori. Dengan memakai kategori manusia hanya bisa

mengenal benda pada umumnya tetapi bukan salah satu benda yang

khusus. Pengamatan yang dibentuk oleh kategori-kategori melebihi

kategori-kategori itu sehingga hal yang nampak menampakkan dirinya

sebagai hal yang kebetulan dan bentuk yang lain memang mungkin.

Dengan menyebut fenomenon dengan nama noumenon hal mengerti

menampakkan diri sebagai hal yang membatasi pengamatan dan benda-

benda tidak lagi dianggap sebagai fenomenon saja.

Pengamatan menjadi mungkin karena mengerti dan mengamati

membatasi satu yang lain dan hal itu dijelaskan dengan istilah noumenon.

Berdasar teori tentang noumenon dan fenomenon menjadi nyata adanya

hukum-hukum alam di dunia manusia yang tidak bisa disangkal. Ada

hukum-hukum alam karena manusia mengkonstitusikan fenomenon-

fenomenon yang sesuai dengan aturan-aturan dari pengetahuan manusia.

Tapi dalam pengetahuan itu pengalaman muncul sebagai hal yang tidak

lengkap dan kadang sempurna: segala hal yang diketahui dalam

pengamatan ialah hal yang bersyarat dan kebetulan sehingga setiap hukum

ialah hukum empiris yang dibuat berdasar induksi.

Das ding an sich ialah suatu ide dari suatu hukum yang tidak

bersyarat dan yang mengkonstitusikan pengamatan sebagai system.

Jelaslah bahwa hakikat Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant ialah

Page 11: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

67

suatu idealisme yang transendental karena mengada sama dengan

mengetahui.13

Diskursus di atas mengindikasikan bahwa kritik terhadap keunggulan

Epistemologi Immanuel Kant, terletak pada kemampuannya untuk

menjembatani 2 corak pemikiran yang sangat berbeda antara Rasionalisme

dengan Empirisme menjadi kesatuan harmonis. Sehingga, baik pengetahuan

yang diperoleh dalam bidang inderawi maupun yang diperoleh dalam bidang

akal mencerminkan langkah-langkah logis yang dengan sendirinya dapat

diterima dalam pemikiran tokoh-tokoh Linguistic Analysis (Analisis Bahasa)

atau Analytical Philosophy ataupun Logical Analysis (Analisis Logika) dalam

abad ke-20-an. Di mana ketiga istilah tersebut berbeda tetapi pada hakikatnya

mengandung pengertian yang sama yaitu suatu pandangan yang berupaya

menjelaskan (melalui analisis) penggunaan bahasa dalam filsafat. Dengan

segala kemampuannya, Immanuel Kant mampu memadukan dua aliran yang

berbeda tersebut.14 Dengan tujuan mengkritik validitas ilmu pengetahuan,

menguji operasionalitasnya dan menentukan batas-batas ilmu pengetahuan itu

sendiri sedemikian rupa. Kant telah memberikan pembetulan terhadap sikap

berat sebelah yang dikemukakan oleh penganut Rasionalisme dan Empirisme

dan telah membuka jalan bagi perkembangan filsafat di kemudian hari.

Sungguh merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi dunia

filsafat secara umum. Sedangkan pengetahuan yang terletak dalam bidang

rasio, mungkin tidak akan pernah digubris oleh kaum Atomisme Logik dan

kaum Positivisme Logik. Sebab Kant telah mengaitkan pengetahuan yang

diperoleh secara logis itu dengan ‘sesuatu’ yang justru bersifat tidak logis

yaitu Allah, jiwa dan dunia. Bagi kaum Atomisme Logik misalnya terutama

dalam pandangan Wittgenstein, ketiga idea itu dianggap “sesuatu yang bersifat

mistis”. Akan tetapi justru di sinilah letak keistimewaan Kant, sebab Kant

sendiri mengakui bahwa akal manusia tidak akan pernah dapat mencapai

ketiga macam idea tersebut. Ketiga macam idea tersebut hanya merupakan

13 Brouwer dan Puspa Heryadi, op.cit., hlm. 73-74. 14 Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 36

Page 12: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

68

postulat yang mendasari suatu bentuk putusan sintetik a priori. Suatu hal yang

tidak diragukan lagi Kant telah menolak metafisika (senada dengan kaum

Positivisme Logik dan para tokoh analitik bahasa pada umumnya bagi

filsafat). Menurut Kant, metafisika ilmiah yang mengatasi pengalaman

inderawi itu mustahil, sebab metafisika demikian hanya mengenai noumenon

(sesuatu yang tidak teramati) bukan tentang fenomin (sesuatu yang teramati).15

Filsafat menjadi lebih lengkap dengan kehadiran Kant daripada

sebelumnya. Karena sebelum kehadiran Immanuel Kant tidak pernah ada para

filsuf yang berani mensintesis aliran Rasionalisme dan Empirisme tersebut.

Jadi, benarlah pernyataan bahwa dengan kehadiran Kant, filsafat Barat

mengalami suatu “pergeseran paradigma” sehingga manusia bisa mengatakan,

Kant telah memberi filsafat suatu “mitos” baru yakni mitos tentang benda di

dalam lubuknya.16

Khazanah Epistemologi Kant segera berdampak kuat terhadap semua

bidang penyelidikan filosofis yang mendatangkan suatu zaman (baru) di “era

modern” filsafat Barat dan membangkitkan serangkaian panjang filsafat

“pasca-modern” atau “pasca-kritis”.

Tidak dapat disangkal bahwa hingga zaman sekarang pengaruh Kant

sangat besar khususnya terhadap pemikiran Jerman, metafisika Rasionalitas

yang diajarkan Wolf telah disingkirkan oleh filsafat Kant. Epistemologi Kant

mengandung suatu kritik atas seluruh filsafat yang mendahuluinya.

Perpecahan Empirisme dan Rasionalisme diatasi dengan Epistemologi

Kritisisme Kant yang memberi tempat baik kepada unsur a posteirori maupun

unsur a priori dalam pengenalan manusia. Namun peranan yang diberikan

unsur a priori lebih besar daripada peranan yang diberikan kepada unsur a

posteriori. Makin tinggi tingkat pengenalan, makin berkuranglah peranan

unsur a posteriori. Maka tidak terlalu mengherankan bahwa dalam sejarah

filsafat “pasca Kant” sintesa antara Rasionalisme dan Empirisme diganti oleh

pertentangan yang menghasilkan dua aliran baru yaitu Idealisme dan

15 Ibid. 16 Stephen Palmquist, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 108

Page 13: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

69

Positivisme. Idealisme dengan tokohnya Fichte, Schalling dan Hegel yang

menekankan unsur kesadaran. Idealisme melanjutkan pikiran Kant bahwa

subjek memberi struktur kepada kenyataan. Idealisme berbicara tentang “Aku”

kebebasan dan sejarah Positivisme melanjutkan skeptisisme Kant. Namun

Positivisme baru mulai memainkan peranan penting setelah perkembangan

Idealisme.17

Sekitar abad 19 di Jerman lahirlah aliran baru dalam filsafat dan

dianggap aliran paling penting yaitu Neo-Kantianisme : perhatian baru untuk

filsafat Kant yang mana dalam aliran ini Kant dan pengikut-pengikutnya

memainkan peranan penting, manifesto yang melontarkan himbauan untuk

kembali kepada Kritisisme Kant dengan tokohnya yang terkenal antara lain :

H. Von Helmhalzz F. Lange, H. Vaihinger, Wilhem Dilthey, dan lain-lain.

Lebih-lebih di abad 20, seorang tokoh pendiri aliran analitik dalam kalangan

Universitas Marburg, yaitu Herman Cohen telah mempelajari filsafat Kant dan

menganalisa ketiga karya yang penting, Kritik atas Rasio Murni, Kritik atas

Rasio Praktis, dan Kritik atas Daya Pertimbangan.

Filsafat analitik yang lahir di abad ke-20 ini, tidak terlepas juga dari

pengaruh filsafat Kant, karena baik pengetahuan yang diperoleh dalam bidang

inderawi atau akal kedua-duanya mencerminkan langkah-langkah logis. Hal

tersebut dengan sendirinya merupakan acuan bagi filsafat analitik.18

B. Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Perspektif Islam

Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant adalah filsafat pengetahuan

Immanuel Kant yang mencoba menyelidiki batas-batas kemampuan rasio

sebagai sumber pengetahuan manusia. Kritisisme Kant dapat dianggap

sebagai suatu usaha rakasasa untuk mendamaikan Rasionalisme dan

Empirisme dengan mengkolaborasikan keduanya.19

17 Yusriah, op.cit., hlm. 13 18 Ibid, hlm. 12-13 19 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan

Plasa, 1997), hlm. 78.

Page 14: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

70

Pernyataan tersebut mengidentifikasikan bahwa dalam Kritisisme

Immanuel Kant tidak mengedepankan akal secara absolut dan tidak pula

mengedepankan pengalaman secara mutlak. Tetapi Kritisisme Kant,

memadukan antara unsur-unsur yang terdapat dalam Rasionalisme dengan

unsur-unsur Empirisme menjadi kesatuan yang harmonis sebagai sumber

pengetahuan. Hal itu dilakukan berawal dari usaha Kant yang melihat tentang

kelemahan dan kelebihan masing-masing kedua aliran yang saling

bertentangan (Rasionalisme dan Empirisme). Baginya Rasionalisme hanya

dapat memberikan kebenaran yang universal dan tidak dapat memberikan

informasi yang baru. Karena Rasionalisme hanya mementingkan akan secara

mutlak dalam memperoleh pengetahuan. Sedangkan Empirisme, baginya

hanya dapat memberikan informasi yang baru tetapi kebenarannya tidak

universal. Karena Empirisme hanya mementingkan pengalaman saja sebagai

sumber pengetahuan.

Menurut Kanti, sumber pengetahuan yang benar adalah pengetahuan

bersifat universal kebenarannya dan dapat memberikan informasi yang baru

sehingga pengetahuan itu sebenarnya bersifat sintesis a priori, yakni bersifat

rasio dan empiri dengan melalui tiga tingkatan dari yang terendah sampai

tertinggi (tingkat pencerapan inderawi, akal budi, dan budaya).

Tak dapat disangkal bahwa keberhasilan Kritisisme Immanuel Kant

berangkat dari temuan yang telah dicapai oleh para tokoh besar sebelumnya,

kemudian melihat problem-problem, mencermati kesalahan-kesalahan,

menyadari (meluruskan) keraguan, dan mengembangkan temuan-temuan dan

metode-metode mereka dengan memulai dari beberapa filosof yang

mendahuluinya seperti dari Plato dan Aristoteles hingga tokoh-tokoh yang

sezaman dengan Walff, melewati Descartes dan Leibniz, lebih-lebih Hume

yang diakui oleh Kant bahwa ia telah menyadarkan dirinya dari "keterlelapan

dogmatis". Hanya saja, Kant dalam kajiannya tidak membatasi diri pada

obyek yang ia geluti dan mempengaruhi perhatiannya.20

20 Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, terj. Haqd al-Aql al-Qur'an, penj. M. Faisol Fatawi,

(Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 344.

Page 15: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

71

Term rasio dan empiri dalam Kritisisme sebagai sarana memperoleh

pengetahuan tidak bertentangan dengan al-Qur'an khususnya dalam QS. An-

Nahl: 78 dan QS. Al-Mukminuun: 78. Yang masing-masing artinya adalah

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,

dan hati agar kamu bersyukur" (QS. An-Nahl: 78) dan "Dan Dialah yang telah

menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat

sedikitlah kamu bersyukur" (QS. Al-Mukminun: 78).21

Dalam kandungan QS. An-Nahl: 78 dan Al-Mukminun: 78 tersebut,

menunjukkan bahwa al-Qur'an mengajak manusia menggunakan pancaindra

dan akal sekaligus, baik yang bersifat material maupun spiritual. Indra dan

akal saling menyempurnakan. Antara keduanya tidak terpisah dan berdiri

sendiri sebagaimana diklaim masing-masing oleh filsuf Empirisme dan

Rasionalisme.22 Sehingga dalam hal ini, Kritisisme Immanuel Kant yang

sistetis a priori yakni pengetahuan bersumber dari rasio dan empiri sekaligus

tidak bertentangan dengan al-Qur'an.

Selanjutnya dalam tradisi pemikiran Islam, epistemologi melalui

berbagai sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai suatu kebenaran dan

kenyataan. Perbedaan dalam pemeliharaan dasar ontologi, dengan sendirinya

akan mengakibatkan sarana yang akan dipakai dengan indera, akal, intuisi,

kasyf, dan sarana lain juga menunjukkan kelebihan dan kelemahan sistem

epistemologi dengan batas-batas validasi suatu sistem pengetahuan.23

Dalam hal ini Miska Muh. Amien telah memberi definisi sebagai

berikut: Epistemologi Islam adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-

masalah obyektifitas, metodologi, sumber serta validasi pengetahuan secara

mendalam dengan menggunakan subyek Islam sebagai titik tolak berpikir.24

21 Depag RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Alwaah, 1993), hlm. 535. 22 Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Perspektif Al-Qur'an, (Bandung: Rosda

Karya, 1989), hlm. 32. 23 Koento Wibisono, dkk., Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 12. 24 Miska Muh. Amien, Epistemologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), hlm.

2-3.

Page 16: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

72

Sehingga epistemologi dalam Islam pun merupakan titik sentral

pandangan Islam yang menjadi tolak ukur yang menentukan hal-hal dengan

tujuan yang diketahui, menunjukkan batas-batasnya.

Islam sendiri, mempunyai 3 kerangka epistemologi yakni

1. Epistemologi Bayani, studi filosofis terhadap sistem bangunan

pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu sebagai kebenaran mutlak,

akal berada pada posisi sekunder yang hanya bertugas untuk memberikan

pembenaran terhadap teks tersebut. Metode yang digunakan adalah

metode bayani dengan memahami (menganalisis) teks guna menemukan

makna yang dikandung dalam lafat dan dengan istinbat hukum-hukum dan

al-Qur'an khususnya. Peran akal dalam metode Bayani hanya sebatas

sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau

diinterpretasi.

2. Epistemologi burhani, studi filosofis terhadap sistem bangunan

pengetahuan yang menempatkan akal, percobaan, dan hukum-hukum

logika sebagai sumber pengetahuan. Pendekatan burhani adalah

pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen

logika (induksi, deduksi, abdiksi, simbolik, proses, dan lain-lain).

3. Epistemologi irfani, pengetahuan diperoleh dengan metode ilham dan

kasyf yang telah dikenal jauh sebelum Islam. Metode yang digunakan

adalah metode irfani, yaitu pemahaman yang bertumpu pada instrumen

pengalaman bathini dhawq, qalb, wijdan, basirah, dan intuisi.25

Sebagaimana al-Jabiri pun memetakkan ilmu-ilmu keislaman antara lain

kalam, fiqh, tasawuf, dan filsafat Islam menjadi 3 bentuk epistemologi

yakni bayani, irfani, dan burhani.26

Sehubungan dengan hal itu, maka M. Amin Abdullah dalam dunia

pemikiran Muslim memetakan 3 macam teori pengetahuan yang biasa disebut-

sebut yakni

25 Pradana Bay ZTF, Filsafat Islam: Sejarah, Aliran, dan Tokoh, (Malang: UMM Press,

2003), hlm. 45-49. 26 A. Khudari Shaleh, "Moh. Abed al-Jabiri – Model Epistemologi Islam", dalam buku

Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 231.

Page 17: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

73

1. Pengetahuan Rasional, pengetahuan yang bersumber dari akal. Tokoh-

tokohnya adalah al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, Ibnu Rusyd,

dan lain-lain

2. Pengetahuan inderawi, pengetahuan ini hanya terbatas pada klasifikasi

sumber pengetahuan dan belum ada filsuf yang mengembangkan teori ini.

3. Pengetahuan kasyf, pengetahuan yang diperoleh melalui ilham.27

Dari ketiga teori pengetahuan tersebut, kiranya pengetahuan

Rasionallah yang sangat mendominasi tradisi filsafat Islam. Sedangkan

pengetahuan inderawi (empiris) kurang mendapat tempat, walaupun al-Qur'an

sendiri banyak mendorong untuk menggunakan indera sebagai sumber

pengetahuan. Akan tetapi dari ketiga macam epistemologi Islam tersebut,

tidak menutup kemungkinan akan terjadi semacam keterpaduan atau

pengkombinasian di antara ketiganya atau pengkombinasian dengan unsur

yang lain. Sebagai contohnya adalah sebagai berikut:

Ibnu Bajjah sebagai filosof muslim di bagian barat, menjelaskan:

pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode eksperimen

(berconaan). Percobaan dikakukan lewat perasaan (indera). Tetapi dilain

pihak Ibnu Bajjah mengatakan pengamatan inderawi semata-mata belum

cukup untuk mendapat kebenaran dan masih harus ditingkatkan lebih lanjut ke

tingkat pengamatan akal (rasio). Mengenai Tuhan sendiri dapat diketahui

manusia melalui filsafat: "Manusia dengan berpikir sendiri (berfilsafat) akan

dapat memahami (makrifat) tentang akal yang tertinggi yaitu Tuhan Yang

Maha Kuasa.28

Kalau disimpulkan, pemikiran Ibn Bajjah merupakan perpaduan antara

perasaan dengan akal. Dalam masalah pengetahuan fakta dia mempergunakan

metode rasional empiris, tetapi mengenai kebenaran Tuhan dia

mempergunakan filsafat kebenaran itu sendiri dapat diperoleh manusia apabila

manusia menyadari.

27 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1999), hlm. 244. 28 Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1973), hlm.

58.

Page 18: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

74

Kemudian, al-Ghazali sebagai tokoh sufisme mempunyai corak

pemikiran yang bersifat sufistik. Dalam mempelajari epistemologi al-Ghazali

memang agak rumit sebagaimana mempelajari epistemologi Kritisisme

Immanuel Kant, dalam arti mempelajari corak berpikirnya yang sebenarnya.

Metode al-Ghazali sendiri dimulai dari keragu-raguan (bandingkan

dengan Rene Descartes). Keragu-raguan yang mengelilingi al-Ghazali bukan

septis, sebab ia meragukan atau lebih tepat tidak percaya kepada kemampuan

perasaan (indera) dan kemampuan akal sebelum diuji secara kritis

sebagaimana diungkapkan bahwa "setelah timbul syak – wa – sangka maka

timbul pengetahuan biasa saja bahwa segala yang tidak saja diketahui dan

lain-lain yang seperti itu, dan yang hanya meyakinkan saja bukanlah

pengetahuan yang pasti. Satuan ilmu yang tidak pasti, ilmu yang tidak

menentu, bukanlah ilmu yakin.29 Setelah ia tidak percaya pada indera, ia pun

meragukan kemampuan akal. Hal ini dapat dilihat dalam pembahasannya

mengenai ilmu mahsut "Mungkin di belakang penetapan akal itu akan datang

perhubungan-perhubungan lainnya, jika hal ini terjadi besar kemungkinannya

apa yang telah ditetapkan oleh akal itu akan disalahkan juga seperti ketetapan

akal menyalahkan yang mahsut.30

Dari keragu-raguan tersebut, maka ia berpindah metode dalam mencari

kebenaran yang asalnya menggunakan indra, dan akal kemudian beralih

menggunakan hati atau lebih dikenal dengan tasawufnya.

Para sejarawan mencatat bahwa sejarah pemikiran muslim sebelum

munculnya ajaran tasawuf al-Ghazali ditandai dengan pertentangan yang

sengit antara golongan fuqaha (ahli fiqh) dengan ahli sufi, dan antara

golongan sufi dengan folongan al-Asy'ariyah. Kemudian datanglah al-Ghazali

mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Sehingga membuat para

fuqaha dapat menerima ajaran tasawuf, dan para sufi dapat menerima ajaran

fuqaha. Bagi al-Ghazali, tasawuf bukanlah suatu ajaran yang berdiri sendiri,

terpisah dari syari'at. Hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam

29 H. Rus'an, Mutiara Ihya Ulumud din, (Jakarta: CV. Mulya, 1964), hlm. 18. 30 Miska Muh. Amien, op.cit., hlm. 53.

Page 19: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

75

kitabn ihya'nya yang merupakan perpaduan yang harmonis antara fiqh,

tasawuf, dan ilmu kalam.31

Sejalan dengan itu, Suhrawardi terkenal dengan filsafat Ishraqiyyah

yang mensistesis metode diskursif dan intuitif. Ishraqiyyah Suhrawardi

merupakan suatu perubahan corak pemikiran filsafat Islam, akibat pengaruh

mistisisme. Suhrawardi dengan Ishraqiyyahnya mencoba untuk menunjukkan

ketidakmampuan akal murni untuk menemukan hakikat kebenaran, dan di sisi

lain ia juga mengkritik teori tasawuf al-Ghazali yang terlalu menonjolkan

intuisi.

Dia menawarkan konstruksi pemikiran baru dengan menyatukan

kebenaran agama dan metafisika yang diserap dari filsafat Persia Kuno, tradisi

Iran, filsafat Yunani serta filsafat Islam dengan mendekatkan nasional

(diskursif) dan mistisisme (intuisi) untuk menemukan hakikat kebenaran.

Pemikiran utama Ishraqiyyah merupakan simbol-simbol yang memadukan

pemikiran tradisional dengan hermetisme serta filsafat Pytagoras, Plato,

Aristoteles, dan Zoroaster, serta unsur-unsur lainnya. Inti dari ajaran

Ishraqiyyah terfokus pada sifat dan penggambaran cahaya (nur). Cahaya

dalam Ishraqiyyah tidak bersifat material dan juga tidak dapat didefinisikan.

Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan.

Suhrawardi menyebutkan sebagai realitas absolut, yaitu realitas ketuhanan

yang tidak terbatas dan tidak dibatasi, cahaya segala cahaya (nur al-anwar).

Ishraqiyyah memberi kesempatan pada akal untuk menyelami kebenaran, juga

menawarkan agama, filsafat, dan tasawuf sebagai sarana untuk memperoleh

kebenaran spiritual.32

Selanjutnya Muh Iqbal sebagai seorang filosof Islam sesudah Ibn

Rusd, khususnya dalam The Reconstruction berusaha memblender warisan

ilmu Islam klasik yaitu kalam. Dia bukan saja memadukan tasawuf dan

filsafat Islam yang sejak akhir masa klasik atau awal abad tengah memang

sudah bisa dipadukan dengan munculnya apa yang disebut dengan tasawuf

31 Amin Abdullah, op.cit., hlm. 279-280. 32 Musyafa Fathoni, "Filsafat Ishraqiyyah Suhrawardi: Sintesis metode diskursif dan

intuisi" dalam At-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4, no. 2 Juli 2004, hlm. 177.

Page 20: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

76

falsafi, demikian juga berpaduannya kalam dengan filsafat tetapi juga

berusaha memadukan teologi (kalam) dengan tasawuf. Pada kasus yang

terakhir itu sampai-sampai Gibb terheran-heran bagaimana Iqbal bisa

menyatakan bercita-cita merekonstruksi teologi Islam yang telah ada, namun

ternyata yang dibahas bukan teologi ortodoks tetapi malah teologi Sufis.

Pernyataan yang menunjukkan dapat dipadukannya antara kalam dan

tasawuf, terlihat dari ucapan Iqbal tentang kesatuan wujud yakni "Ego yang

tertinggi dalam kata-kata Qur'an adalah Maha Kaya (tidak memerlukan)

sesuatu alam. Bagi Dia (Tuhan), yang bukan ego tidak menyatakan dirinya

sebagai sesuatu yang lain yang terletak berhadap-hadapan, atau kalau tidak

demikian halnya, maka sebagaimana ego kita yang terbatas berada dalam

hubungan parsial dengan sesuatu yang lain yang terletak berhdap-hadapan itu.

Apa yang kita namakan alam atau yang bukan ego itu, hanyalah satu saat yang

melintas dalam kehidupan Tuhan.33

Selanjutnya setelah Iqbal, terdapat Mulla Sandra yang terkenal dengan

karyanya Al-Hikmah al-Muta-aliyah yang merupakan satu perspektif baru di

dalam kehidupan intelektual Islam berdasarkan sintesis dan pengharmonisan

hamper semua aliran pemikiran Islam. Ia juga satu aliran pemikiran dimana

tujuan wahyu, hakikat kebenaran yang dicapai melalui dzang dan kasyf serta

penalaran dan pembuktian rasional disatukan. Dalam kombinasi tersebut

terlihat dengan jelas keterpaduan yang harmonis antara prinsip-prinsip irfan,

filsafat, dn agama. Dimana pembuktian rasional / filsafat terkait erat dengan

al-Qur'an dan hadits Nabi, serta ajaran-ajaran para imam, yang dipadukan

dengan doktrin-doktrin irfan sebagai hasil iluminasi yang diperoleh oleh jiwa

yang suci melalui interprestasi simbolik terhadap teks-teks suci, yang

dipahami melalui intuisi intelektual pemikiran rasional ditentukan kepda

kebenaran-kebenaran yang universal dari irfan.

33 Yusuf Suyono, "Relasi Ilmu-ilmu Keislaman dalam pemikiran Abduh dan Iqbal" dalam

Theologi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, vol. 13, no. I, Februari 2002, hlm. 14.

Page 21: BAB IV Revisi@ - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/16/jtptiain-gdl-s1... · 77 BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT DALAM PERSPEKTIF

77

Mengenai akal sebagai sumber pengetahuan, Mulla membedakan

menjadi 4 tingkat: potensi akal, akal positif, akal aktual, dan akal yang

diperoleh.34

Mulla Sadra menyatakan bahwa untuk memperoleh petunjuk yang

benar tidak cukup hanya dengan bertaklid kepada kata-kata agama, tetapi

harus disertai penylidikan dan penalaran, sebab, tidak ada tempat bersandar

bagi agama kecuali ucapan-ucapan Nabi dan pembuktian akal yang

menjelaskan tentang kebenaran misinya. Akan tetapi, petunjuk yang benar

tidak akan diperoleh jika hanya mengandalkan akal, tanpa sinar agama.

Dengan kata lain, langkah akal akan terbatas dan kemampuannya menjadi

berkurang jika dia tidak diberi petunjuk oleh sinar agama. Oleh karena itu,

harus terjadi kombinasi yang serasi antara agama, dan akal. Salah satunya

tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Agama yang benar dan bersinar terang

tidak akan menjadikan hukum-hukum bertentangan dengan pengetahuan yang

meyakinkan dan pasti agama yang disertai akal adalah cahaya di atas cahaya.35

Dengan demikian, dari paparan panjang lebar tersebut maka terlihat

dengan jelas bahwa sebenarnya epistemology Kritisisme Immanuel Kant ingin

mensejajarkan atau mengkombinasikan unsur yang satu dengan unsur yang

lain sehingga terjadi keterpaduan untuk mencpai kesatuan yang harmonis

sebagaimana yang telah berkembang dalam Islam khususnya dunia pemikiran

muslim.

34 Sayyid Mohsen Miri, "Mulla Sadra Kehidupan dan Pemikirannya," dalam Jurnal al-

Huda, vol. 2, no. 8, Islamic Center, Jakarta, 2003, hlm. 137. 35 Syaifan HUr, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.

125.