Upload
tranngoc
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
77
BAB IV
ANALISIS EPISTEMOLOGI KRITISISME IMMANUEL KANT
DALAM PERSPEKTIF ISLAM NALAR BURHANI MUHAMMAD
ABED AL-JABIRI
A. Keunggulan Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Filsafat
Modern
Perkembangan sains, sebagian terbesar adalah hasil peradaban Barat
pada periode modern dan merupakan satu dari keberhasilan-keberhasilan yang
terbesar dari akal manusia. Satu permasalahan yang muncul pada filsafat abad
modern khususnya abad ke-17 dan 18 adalah masalah epistemologi.
Satu diskursus yang sedang dikaji oleh penulis sekarang adalah
bagaimana Epsitemologi Kritisisme Imamnuel Kant dapat dipresentasikan.
Epistemologi Kritisisme yang dimaksd dalam hal ini adalah gagasan
Immanuel Kant secara substansial yang mengkritik validitas ilmu
pengetahuan, menguji operasionalitasnya dan menentukan batas-batas ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Pemikiran seorang tokoh filsuf Eropa modern dapat dipahami, apabila
menengok kembali kepada segi historisnya. Karena dari sanalah memang lahir
filsafat untuk pertama kalinya. Filsafat modern merupakan kelanjutan dari
filsafat Yunani. Pokok pemikiran yang muncul pada filsafat modern,
sebenarnya merupakan kelanjutan dan berdasarkan pemikir-pemikir Yunani
Kuno.
Lebih jelasnya, penulis akan mencoba menelusuri dari pendekatan
historis. Secara konvensional orang mengadakan periodesasi filsafat sebagai
berikut :
1. Masa Yunani Kuno (abad ke-6 SM sampai dengan akhir abad ke-3 SM)
2. Mmasa abad pertengahan (akhir abad ke-3 SM sampai dengan awal abad
ke-15)
3. Masa modern (akhir abad ke-15 sampai dengan abad ke-19)
4. Masa dewasa ini (filsafat kontemporer) abad 20 M.
58
Wajah filsafat pada awal kelahirannya (abad ke-6 SM sampai dengan
ke-3 SM) menampilkan diri sebagai “mitologi”, dongeng-dongeng, takhayul,
novel-novel, sajak-sajak dan nyanyian-nyanyian yang menggambarkan para
dewa dan asal-usul terjadinya alam semesta. Hal ini berlangsung lebih kurang
tiga abad. Karena manusia tidak lagi merasa puas atas dongeng-dongeng dan
takhayul para dewa kemudian manusia mulai mencoba mencari jawaban
secara aqliah. Di sini filsafat lari dari mitos ke logos dengan tokoh-tokoh
terkenal yaitu Thales (624-548), Anaximandros (610-540), Pytagoras (580-
500), Demokritos (460-370), Anaximenes dan lain-lain yang dikenal sebagai
filsuf alam “kosmologi”.1
Dengan tinggal landasnya para filsuf alam semesta, filsafat Yunani
Kuno mencapai puncak keagungannya pada diri Socrates (469-399 SM),
Plato (427-347) dan Aristoteles (384-322 SM). Di sinilah perkembangan
filsafat Yunani Kuno yang semula lahir menampakkan dirinya sebagai
mitologi, kemudian berkembang menjadi kosmologi kemudian menjadi etika
dan akhirnya kembali lagi menjadi sesuatu yang bersifat mistik pada akhir
abad ke-13, diajarkan oleh Plotinus yang menamakan dirinya sebagai aliran
Neo-Platonisme. Sekitar abad ke-7 sampai dengan ke-9, filsafat sudah berubah
wajahnya untuk mengabdi pada dogma-dogma agama Kristen. Filsafat pada
masa ini dikenal sebagai abad kegelapan, filsafat abad pertengahan. Tokoh
yang tampil pada abad pertengahan adalah Agustinus (354-430) dan Thomas
Aquinas (1225-1274). Merekalah yang dapat memadukan ajaran agama
Kristen dengan filsafat, sehingga kehadiran filsafat Yunani Kuno tidak perlu
dilarang bahkan filsafat Yunani Kuno diinterpretasikan sedemikian rupa untuk
memberikan justifikasi atau pembenaran bagi dogma-dogma gereja.
Dalam perkembangan sejarah menuju abad ke-16 di Eropa muncul
suatu gerakan Renaissance (kelahiran kembali), manusia seakan-akan lahir
kembali dari tidur abad pertengahan. Seluruh kebudayaan Barat dibangunkan
dari suatu keadaan statis menuju manusia bebas yaitu manusia yang tidak lagi
1 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 9-10
59
terikat oleh otoritas selain atoritas individu masing-masing. Inilah jembatan
antara abad pertengahan dan zaman modern. Abad Renaissance kemudian
disusul oleh zaman Aufklarung di abad ke-18. Aufklarung merupakan suatu
gerakan (zaman) yang didukung oleh suatu kepercayaan bahwa akal manusia
merupakan segala-galanya.2
Zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah pemberontakan
terhadap alam pikir abad pertengahan. Renaissance yang menghidupkan
kembali kebudayaan Yunani-Romawi sebagai alternatif terhadap kebudayaan
Kristiani, bukan hanya merupakan pemberontakan di bidang nilai-nilai
kultural, melainkan juga menyongsong zaman baru dengan krisis abad
pertengahan itu. Penemuan-penemuan penting di bidang ilmu pengetahuan
juga kunci fajar zaman baru itu yang meninggalkan alam pikir abad
pertengahan. Seperti halnya : Copernicus dan Galileo-Galilei sebagai pemikir-
pemikir unggul yang telah menemukan bahwa bumi mengitari matahari dan
bukan sebaliknya.
a. Sumber Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant
Sosok Immanuel Kant (1724-1804) adalah sosok seorang filsuf
terbesar yang sangat populer diantara para filosuf modern.
Kepopulerannya tidaklah terlepas dari 3 karya terbesarnya yang diawali
dengan kata Critique yakni Critique of Pure Reason (1781), Critique of
Practical Reason (1787) dan Critique of Judgement (1790). Oleh sebab
adanya awalan Critique dalam 3 karya terbesar tersebut, maka filsafatnya
disebut Kritisisme yang berisi gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran
Immanuel Kant secara berurutan yakni epistemologi, etika dan estetika.
Melalui ketiga karya tersebut, pemikiran dan pola pikir Immanuel Kant
banyak dituangkan. Dia termasuk filosuf abad ke-18 yang lebih dikenal
dengan nama abad pencerahan atau Aufklarung. Di mana pencerahan
(dengan hal cerah atau cahaya) dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan
eksak dan eksperimental lebih dipentingkan daripada inspirasi filsafat dan
agama. Seperti halnya Immanuel Kant mengatakan bahwa manusia harus
2 Ibid., hlm. 12-18
60
berani membiarkan dirinya dipimpin oleh cahaya akal. Dan Hegel melihat
dalam filsafat pencerahan adanya suatu penerimaan akal dan penolakan
wahyu agama. Sangatlah sukar bila membatasi gejala filsafat pencerahan
dari sudut daerah dan zaman. Contoh gejala umum filsafat pencerahan dari
sudut daerah dan zaman seperti Tolland di Eropa, Hume di Inggris, Wolf
dan Lessing di Jerman, Montesqieu, Voltaire dan Diderot di Perancis.3
Mengenai sumber pengetahuan, pertama-tama para filsuf modern
menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kekuasaan feodal,
melainkan dari diri manusia itu sendiri. Tentang aspek mana yang ambil
peranan dalam perolehan pengetahuan itu mereka berbeda pendapat.
Aliran Rasional dengan tokohnya Descartes berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio. Kebenaran yang pasti berasal dari rasio.
Selanjutnya Aliran Rasional dan ajarannya dikembangkan oleh tokoh
G.W. Leibniz (1846-1716), Wolf di Jerman. Sedang Aliran Empiris
dengan tokoh David Hume, sebaliknya meyakini bahwa pengalamanlah
sebagai sumber pengetahuan baik pengalaman batin maupun inderawi. Di
mana Plato dan Aristoteles-lah yang dianggap sebagai cikal bakal Aliran
Rasionalisme dan Empirisme. Dari sinilah timbul Kritisisme Immanuel
Kant yang berusaha mengkritik kedua aliran tersebut untuk mencapai
sumber pengetahuan yang benar.4 Yakni, pengetahuan manusia berasal
dari luar maupun dari jiwa manusia itu sendiri.5
Immanuel Kant merupakan orang yang seakan-akan telah
menyempurnakan pencerahan dengan tiba-tiba. Dengan munculnya Kant
sekaligus dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu
gagasan baru yang memberi acuan mengenai apa yang akan dipikirkan
secara kefilsafatan di zaman yang lebih kemudian. Dan ia sendiri merasa
bahwa ia meneruskan pencerahan.
3 Brouwer dan Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung :
Alumni, 1986), hlm. 75 4 Yusriah, “Pengaruh Kritisisme Kant Terhadap Filsafat Modern dalam Jurnal Teologia,”
(Semarang : Media Komunikasi Informasi Keilmuan, 1989), hlm. 9 5 Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam – Sejarah Aliran dan Tokoh, (Malang : UMM Press,
2003), hlm. 12
61
Benarlah bahwa gagasan-gagasan Immanuel Kant ini dimunculkan
oleh bentrokan Epistemologi yang timbul dari pemikiran Rasionalisme di
Jerman sebagaimana dikembangkan oleh Leibniz-Wolf dengan Empirisme
Inggris yang kemudian bermuara dalam pemikiran Hume. Kant mencoba
untuk mengatasi bentrokan tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur
mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-
unsur mana yang terdapat dalam akal manusia.
b. Validitas Ilmu
Persoalan yang diperdebatkan pada waktu itu salah satunya adalah
soal “objektivitas pengetahuan”. Apakah pengetahuan yang sungguh-
sungguh objektif itu berasal dari akal ataukah dari pengalaman. Descartes
berpendapat, bahwa dalil Cogito Ergo Sum adalah dasar dari segala
pengetahuan. Kenyataan bahwa “saya ada” adalah kenyataan objektif,
kenyataan tentang dunia bukan sekedar persepsi seseorang. Oleh karena
itu dalil Cogito Ergo Sum adalah dasar objektivitas pengetahuan.
Sedangkan Leibniz yakin bahwa dalam pemahaman itu sendiri sudah
terdapat prinsip-prinsip innate yang kebenarannya diketahui secara intuitif,
tidak tergantung pada pengalaman dan dari sinilah penjelasan tentang
dunia diderivasikan secara utuh, objek dasar yang paling dasar dalam
dunia adalah substansi atau metode. Dalam diri setiap substansi sudah
tercakup subjek dan predikat yang tidak terbatas dan sempurna. Setiap
metode memiliki kemampuan untuk mendapatkan gagasan (perceptio)
yang baru dan jelas, sehingga tercapailah gagasan yang jelas dan disadari
(apperceptio). Pengalaman adalah tingkat pertama pengetahuan akal, jadi
bukan merupakan sumber pengetahuan. Sebaliknya, Hume menolak
pendapat dioperasikan tanpa ide, dan ide hanya dicari melalui pengamatan.
Menurut Hume, isi pemikiran harus merupakan suatu analisis akhir yang
didasarkan atas pengalaman yang terdiri dari impresi-impresi.6
6 Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat dari Aristoteles Sampai Derrida,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 60
62
Nampaknya bila ditelusuri lebih detail dan valid, maka filsafat
Kant lebih berusaha untuk mengumpulkan dan mengatasi kedua aliran
tersebut. Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa sekalipun
inspirasi filsafat Kant muncul dari dua aliran yang berbeda yakni
Rasionalisme dan Empirisme, namun Kant tidak begitu saja langsung
memadukan dua pemikiran tersebut menjadi satu sistem.
Sebab, mengikuti salah satu aliran di atas tidak akan
menyelesaikan masalah. Kedua-duanya keliru, kekeliruan Rasionalisme
ialah karena Rasionalisme tidak memperhatikan pengalaman, lebih
mementingkan rasio, pengertian dan aspek-aspek statis. Sedangkan
Empirisme lebih mementingkan pengalaman dan aspek-aspek dinamis,
tetapi tidak memiliki konsep untuk menggambarkan pengalaman.7
Kant yang mencoba mempersatukan Rasionalisme dan Empirisme,
mengatakan bahwa dengan hanya mementingkan salah satu dari kedua
aspek sumber pengetahuan (rasio dan empiri) tidaklah akan diperoleh
pengetahuan yang kebenarannya bersifat universal sekaligus dapat
memberikan informasi baru. Menurut Kant, syarat dasar suatu ilmu adalah
: a) bersifat umum, mutlak serta b) memberi pengetahuan baru.
Pengetahuan yang rasional adalah pengetahuan yang analitis a priori, di
sini predikat sudah termuat dalam subjek. Sedangkan pengetahuan yang
empiris adalah pengetahuan yang sintetis a posteriori, di sini predikat
dihubungkan dengan subjek yang berdasarkan pengalaman inderawi.
Masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan. Pengetahuan
rasional (analitis a priori) adalah pengetahuan yang bersifat universal, tapi
tidak memberi informasi baru. Sebaliknya empiris (sintetis a posteriori)
dapat memberikan informasi baru, tetapi kebenarannya tidak universal.
Dengan demikian, baik Rasionalisme maupun Empirisme tidak memenuhi
syarat yang dituntut oleh suatu ilmu. Sehingga Kant mengemukakan
bahwa pengetahuan itu seharusnya sintetis a priori yakni pengetahuan
7 Ibid., hlm. 61
63
bersumber dari rasio dan empiri yang sekaligus bersifat a priori dan a
posteriori.8
Maka ilmu pengetahuan menuntut adanya putusan-putusan a priori
yang bersifat sintesis. Oleh karena itu, suatu metafisika yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah harus juga bekerja dengan
mempergunakan putusan-putusan yang a priori, namun juga bersifat
sintesis. Dengan demikian, bagi Kant perlu menyelidiki bagaimana
mungkin ada putusan-putusan yang “sintesis a priori”, putusan-putusan
yang sekalipun sintesis, namun tidak tergantung dari pengalaman. Jadi
Kant memandang pengenalan sebagai sintesis antara unsur-unsur a priori
dan unsur-unsur a posteriori yang masing-masing memainkan peranan
sebagai bentuk (a priori) dan materi (a posteriori). Penemuan Kant dalam
hal tersebut menandakan suatu revolusi dalam filsafat yang
diperbandingkan dengan revolusi kopernikan artinya suatu revolusi yang
dapat diperbandingkan dengan perubahan revolusioner yang diadakan oleh
Copernicus dalam bidang astronomi. Sebelum Kant, dahulu para filsuf
mencoba mengerti pengenalan dengan mengandaikan bahwa “si subjek
(aku) mengarahkan diri kepada objek” (dunia, benda-benda). Tetapi Kant
sebaliknya berpangkal dan bertolak dari anggapan bahwa “objeklah yang
mengarahkan diri kepada si subjek”. Seperti Copernicus menetapkan
bahwa bumi berputar di sekitar matahari, bukan sebaliknya. Jadi yang
revolusioner dari pendekatan Kant adalah ia tidak lagi mulai dari objek-
objek melainkan dari subjek. Oleh karena itu, struktur subjek sendiri harus
diselidiki yaitu kebenaran bukan penyesuaian pengetahuan dengan dunia
melainkan dunia dengan pengetahuan manusia.9
8 Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para
Tokohnya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 33 9 Brouwer dan Puspa Heryadi, op.cit., hlm. 69-74
64
c. Struktur Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant
Dalam karyanya Kant Kritik atas Rasio Murni, Kant membedakan
3 macam pengertian :
1. Pengertian analitis, dengan sifatnya predikat yang sudah termuat
dalam konsep subjek dan tidak memberikan pengertian baru, misalnya
lingkaran “bulat”.
2. Pengertian sintetis a posteriori di mana predikat dihubungkan dengan
subjek berdasarkan pengalaman inderawi dan memberikan pengertian
baru, misal manusia merasa panas.
3. Pengertian sintetis a priori, pada pengertian ini dipakai sumber
pengetahuan yang bersifat a priori dan a posteriori sekaligus, akal
budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan serentak. Hasilnya akan
memperoleh pengertian umum, universal dan pasti, misalnya air
mendidih pada suhu 1000 C, bumi berputar sekitar porosnya setiap 24
jam.10
Disinilah pada tingkat pengertian sintesis a priori Kant mulai
menyelididki bagaimana mungkin ada putusan-putusan yang sintesis a
priori yaitu putusan yang sekalipun sintetis namun tidak tergantung dari
pengalaman. Dalam rangka menghubungkan teori Empirisme dan
Rasionalisme maka Kant berusaha menjelaskan dengan tingkat-tingkat
pengenalan roh yaitu dari tingkat yang terendah sampai yang tertinggi.
Pengenalan yang terendah adalah pengamatan inderawi kemudian akal,
dan akhirnya sampai pada tingkat budhi (intelek). Pada pengamatan
inderawi ini, yang menjadi unsur a posteriori ialah kesan-kesan atau
cerapan-cerapan indera yang manusia terima dari objek yang tampak.
Indera-indera bersifat menerima apa yang disajikan objek yang tampak
dari kesan-kesan yang langsung itu. Manusia mendapat pengenalan dan
pengetahuan, akan tetapi yang manusia amati hanyalah penampakan,
gejala-gejalanya (fenomena) bukan dalam bendanya sendiri das Ding an
10 Lili Cahyadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Emperatif
Kategoris, (Yogyakarta : Kanisius, 1991), hlm. 35
65
Sich. Pada pengenalan inderawi harus dilengkapi dengan adanya “ruang”
dan “waktu”.11 Sedangkan pengamatan dan pengenalan pada taraf akal,
Kant membedakan antara akal dengan budi, tugas akal mengatur data-data
inderawi dengan mengemukakan putusan-putusan. Segala hasil
pengamatan indera diolah oleh akal sehingga menjadi suatu sintesa yang
teratur dalam putusan-putusan.
Pengenalan pada taraf akal tersebut merupakan sintesis antara
bentuk dan materi, apa yang diperoleh melalui bidang indera harus
dituangkan kedalam apa yang dinamakan bidang akal yang bisa melalui
kategori yang jumlahnya ada 12 dan dapat dirangkum menjadi 4 kategori
asasi yaitu : kuantitas yang terdiri dari kesatuan, kejamakan dan keutuhan.
Kualitas terdiri dari realitas, negasi dan pembatasan. Hubungan terdiri atas
substansi, kausalitas, dan resiprositas. Modalitas terdiri atas kemungkinan,
peneguhan dan keniscayaan.
Di mana tiap deretan kategori terdiri atas 3 kategori tersebut yang
pertama dan yang kedua saling bertentangan (umpamanya : kesatuan dan
kejamakan), sedang yang ketiga (yaitu keutuhan) mewujudkan kesatuan
yang lebih tinggi dari kedua kategori yang mendahuluinya. Cara berpikir
yang demikian itu, yaitu pemikiran dengan memakai tesa, antitesa dan
sintesa di zaman yang lebih kemudian diperkembangkan oleh Fichte,
Schelling dan Hegel.
Sedang pengenalan pada bidang budi ini tugasnya adalah menarik
kesimpulan dari putusan-putusan yang telah dibuat akal, budi
menggabungkan putusan-putusn yang dipimpin oleh tiga idea yaitu jiwa,
dunia dan Allah atau dengan kata lain psikologi, kosmologi dan teologi.12
Namun ketiga macam idea itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh
akal pikir manusia. Ketiga idea ini hanya merupakan petunjuk untuk
menciptakan kesatuan pengetahuan. Walaupun ketiga idea tersebut
11 Joko Siswanto, op.cit., hlm. 63 12 Yusriah, op.cit., hlm. 12.
66
berkaitan dengan pengalaman tetapi mereka sendiri tidak termasuk
pengalaman manusia.
d. Hakikat Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant
Pada dasarnya filsafat Immanuel Kant terdapat perhubungan antara
idealisme dan realisme. Hal itu bias dimulai dengan pertanyaan apa yang
dimaksudkan dengan istilah Das Ding an Sich? Dalam pengamatan
perbedaan fenomenon dan benda rupanya sama dengan perbedaan antara
dua realitas. Pengamatan membatasi pengetahuan yang tidak bisa
melampui pengamatan sendiri dan mencapai benda di luar manusia sedang
tanpa sense data manusia tidak dapat mengenal apa-apa dengan memakai
kategori-kategori. Dengan memakai kategori manusia hanya bisa
mengenal benda pada umumnya tetapi bukan salah satu benda yang
khusus. Pengamatan yang dibentuk oleh kategori-kategori melebihi
kategori-kategori itu sehingga hal yang nampak menampakkan dirinya
sebagai hal yang kebetulan dan bentuk yang lain memang mungkin.
Dengan menyebut fenomenon dengan nama noumenon hal mengerti
menampakkan diri sebagai hal yang membatasi pengamatan dan benda-
benda tidak lagi dianggap sebagai fenomenon saja.
Pengamatan menjadi mungkin karena mengerti dan mengamati
membatasi satu yang lain dan hal itu dijelaskan dengan istilah noumenon.
Berdasar teori tentang noumenon dan fenomenon menjadi nyata adanya
hukum-hukum alam di dunia manusia yang tidak bisa disangkal. Ada
hukum-hukum alam karena manusia mengkonstitusikan fenomenon-
fenomenon yang sesuai dengan aturan-aturan dari pengetahuan manusia.
Tapi dalam pengetahuan itu pengalaman muncul sebagai hal yang tidak
lengkap dan kadang sempurna: segala hal yang diketahui dalam
pengamatan ialah hal yang bersyarat dan kebetulan sehingga setiap hukum
ialah hukum empiris yang dibuat berdasar induksi.
Das ding an sich ialah suatu ide dari suatu hukum yang tidak
bersyarat dan yang mengkonstitusikan pengamatan sebagai system.
Jelaslah bahwa hakikat Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant ialah
67
suatu idealisme yang transendental karena mengada sama dengan
mengetahui.13
Diskursus di atas mengindikasikan bahwa kritik terhadap keunggulan
Epistemologi Immanuel Kant, terletak pada kemampuannya untuk
menjembatani 2 corak pemikiran yang sangat berbeda antara Rasionalisme
dengan Empirisme menjadi kesatuan harmonis. Sehingga, baik pengetahuan
yang diperoleh dalam bidang inderawi maupun yang diperoleh dalam bidang
akal mencerminkan langkah-langkah logis yang dengan sendirinya dapat
diterima dalam pemikiran tokoh-tokoh Linguistic Analysis (Analisis Bahasa)
atau Analytical Philosophy ataupun Logical Analysis (Analisis Logika) dalam
abad ke-20-an. Di mana ketiga istilah tersebut berbeda tetapi pada hakikatnya
mengandung pengertian yang sama yaitu suatu pandangan yang berupaya
menjelaskan (melalui analisis) penggunaan bahasa dalam filsafat. Dengan
segala kemampuannya, Immanuel Kant mampu memadukan dua aliran yang
berbeda tersebut.14 Dengan tujuan mengkritik validitas ilmu pengetahuan,
menguji operasionalitasnya dan menentukan batas-batas ilmu pengetahuan itu
sendiri sedemikian rupa. Kant telah memberikan pembetulan terhadap sikap
berat sebelah yang dikemukakan oleh penganut Rasionalisme dan Empirisme
dan telah membuka jalan bagi perkembangan filsafat di kemudian hari.
Sungguh merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi dunia
filsafat secara umum. Sedangkan pengetahuan yang terletak dalam bidang
rasio, mungkin tidak akan pernah digubris oleh kaum Atomisme Logik dan
kaum Positivisme Logik. Sebab Kant telah mengaitkan pengetahuan yang
diperoleh secara logis itu dengan ‘sesuatu’ yang justru bersifat tidak logis
yaitu Allah, jiwa dan dunia. Bagi kaum Atomisme Logik misalnya terutama
dalam pandangan Wittgenstein, ketiga idea itu dianggap “sesuatu yang bersifat
mistis”. Akan tetapi justru di sinilah letak keistimewaan Kant, sebab Kant
sendiri mengakui bahwa akal manusia tidak akan pernah dapat mencapai
ketiga macam idea tersebut. Ketiga macam idea tersebut hanya merupakan
13 Brouwer dan Puspa Heryadi, op.cit., hlm. 73-74. 14 Rizal Mustansyir, op.cit., hlm. 36
68
postulat yang mendasari suatu bentuk putusan sintetik a priori. Suatu hal yang
tidak diragukan lagi Kant telah menolak metafisika (senada dengan kaum
Positivisme Logik dan para tokoh analitik bahasa pada umumnya bagi
filsafat). Menurut Kant, metafisika ilmiah yang mengatasi pengalaman
inderawi itu mustahil, sebab metafisika demikian hanya mengenai noumenon
(sesuatu yang tidak teramati) bukan tentang fenomin (sesuatu yang teramati).15
Filsafat menjadi lebih lengkap dengan kehadiran Kant daripada
sebelumnya. Karena sebelum kehadiran Immanuel Kant tidak pernah ada para
filsuf yang berani mensintesis aliran Rasionalisme dan Empirisme tersebut.
Jadi, benarlah pernyataan bahwa dengan kehadiran Kant, filsafat Barat
mengalami suatu “pergeseran paradigma” sehingga manusia bisa mengatakan,
Kant telah memberi filsafat suatu “mitos” baru yakni mitos tentang benda di
dalam lubuknya.16
Khazanah Epistemologi Kant segera berdampak kuat terhadap semua
bidang penyelidikan filosofis yang mendatangkan suatu zaman (baru) di “era
modern” filsafat Barat dan membangkitkan serangkaian panjang filsafat
“pasca-modern” atau “pasca-kritis”.
Tidak dapat disangkal bahwa hingga zaman sekarang pengaruh Kant
sangat besar khususnya terhadap pemikiran Jerman, metafisika Rasionalitas
yang diajarkan Wolf telah disingkirkan oleh filsafat Kant. Epistemologi Kant
mengandung suatu kritik atas seluruh filsafat yang mendahuluinya.
Perpecahan Empirisme dan Rasionalisme diatasi dengan Epistemologi
Kritisisme Kant yang memberi tempat baik kepada unsur a posteirori maupun
unsur a priori dalam pengenalan manusia. Namun peranan yang diberikan
unsur a priori lebih besar daripada peranan yang diberikan kepada unsur a
posteriori. Makin tinggi tingkat pengenalan, makin berkuranglah peranan
unsur a posteriori. Maka tidak terlalu mengherankan bahwa dalam sejarah
filsafat “pasca Kant” sintesa antara Rasionalisme dan Empirisme diganti oleh
pertentangan yang menghasilkan dua aliran baru yaitu Idealisme dan
15 Ibid. 16 Stephen Palmquist, Pohon Filsafat Teks Kuliah Pengantar Filsafat, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 108
69
Positivisme. Idealisme dengan tokohnya Fichte, Schalling dan Hegel yang
menekankan unsur kesadaran. Idealisme melanjutkan pikiran Kant bahwa
subjek memberi struktur kepada kenyataan. Idealisme berbicara tentang “Aku”
kebebasan dan sejarah Positivisme melanjutkan skeptisisme Kant. Namun
Positivisme baru mulai memainkan peranan penting setelah perkembangan
Idealisme.17
Sekitar abad 19 di Jerman lahirlah aliran baru dalam filsafat dan
dianggap aliran paling penting yaitu Neo-Kantianisme : perhatian baru untuk
filsafat Kant yang mana dalam aliran ini Kant dan pengikut-pengikutnya
memainkan peranan penting, manifesto yang melontarkan himbauan untuk
kembali kepada Kritisisme Kant dengan tokohnya yang terkenal antara lain :
H. Von Helmhalzz F. Lange, H. Vaihinger, Wilhem Dilthey, dan lain-lain.
Lebih-lebih di abad 20, seorang tokoh pendiri aliran analitik dalam kalangan
Universitas Marburg, yaitu Herman Cohen telah mempelajari filsafat Kant dan
menganalisa ketiga karya yang penting, Kritik atas Rasio Murni, Kritik atas
Rasio Praktis, dan Kritik atas Daya Pertimbangan.
Filsafat analitik yang lahir di abad ke-20 ini, tidak terlepas juga dari
pengaruh filsafat Kant, karena baik pengetahuan yang diperoleh dalam bidang
inderawi atau akal kedua-duanya mencerminkan langkah-langkah logis. Hal
tersebut dengan sendirinya merupakan acuan bagi filsafat analitik.18
B. Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Perspektif Islam
Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant adalah filsafat pengetahuan
Immanuel Kant yang mencoba menyelidiki batas-batas kemampuan rasio
sebagai sumber pengetahuan manusia. Kritisisme Kant dapat dianggap
sebagai suatu usaha rakasasa untuk mendamaikan Rasionalisme dan
Empirisme dengan mengkolaborasikan keduanya.19
17 Yusriah, op.cit., hlm. 13 18 Ibid, hlm. 12-13 19 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan
Plasa, 1997), hlm. 78.
70
Pernyataan tersebut mengidentifikasikan bahwa dalam Kritisisme
Immanuel Kant tidak mengedepankan akal secara absolut dan tidak pula
mengedepankan pengalaman secara mutlak. Tetapi Kritisisme Kant,
memadukan antara unsur-unsur yang terdapat dalam Rasionalisme dengan
unsur-unsur Empirisme menjadi kesatuan yang harmonis sebagai sumber
pengetahuan. Hal itu dilakukan berawal dari usaha Kant yang melihat tentang
kelemahan dan kelebihan masing-masing kedua aliran yang saling
bertentangan (Rasionalisme dan Empirisme). Baginya Rasionalisme hanya
dapat memberikan kebenaran yang universal dan tidak dapat memberikan
informasi yang baru. Karena Rasionalisme hanya mementingkan akan secara
mutlak dalam memperoleh pengetahuan. Sedangkan Empirisme, baginya
hanya dapat memberikan informasi yang baru tetapi kebenarannya tidak
universal. Karena Empirisme hanya mementingkan pengalaman saja sebagai
sumber pengetahuan.
Menurut Kanti, sumber pengetahuan yang benar adalah pengetahuan
bersifat universal kebenarannya dan dapat memberikan informasi yang baru
sehingga pengetahuan itu sebenarnya bersifat sintesis a priori, yakni bersifat
rasio dan empiri dengan melalui tiga tingkatan dari yang terendah sampai
tertinggi (tingkat pencerapan inderawi, akal budi, dan budaya).
Tak dapat disangkal bahwa keberhasilan Kritisisme Immanuel Kant
berangkat dari temuan yang telah dicapai oleh para tokoh besar sebelumnya,
kemudian melihat problem-problem, mencermati kesalahan-kesalahan,
menyadari (meluruskan) keraguan, dan mengembangkan temuan-temuan dan
metode-metode mereka dengan memulai dari beberapa filosof yang
mendahuluinya seperti dari Plato dan Aristoteles hingga tokoh-tokoh yang
sezaman dengan Walff, melewati Descartes dan Leibniz, lebih-lebih Hume
yang diakui oleh Kant bahwa ia telah menyadarkan dirinya dari "keterlelapan
dogmatis". Hanya saja, Kant dalam kajiannya tidak membatasi diri pada
obyek yang ia geluti dan mempengaruhi perhatiannya.20
20 Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, terj. Haqd al-Aql al-Qur'an, penj. M. Faisol Fatawi,
(Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 344.
71
Term rasio dan empiri dalam Kritisisme sebagai sarana memperoleh
pengetahuan tidak bertentangan dengan al-Qur'an khususnya dalam QS. An-
Nahl: 78 dan QS. Al-Mukminuun: 78. Yang masing-masing artinya adalah
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati agar kamu bersyukur" (QS. An-Nahl: 78) dan "Dan Dialah yang telah
menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan, dan hati. Amat
sedikitlah kamu bersyukur" (QS. Al-Mukminun: 78).21
Dalam kandungan QS. An-Nahl: 78 dan Al-Mukminun: 78 tersebut,
menunjukkan bahwa al-Qur'an mengajak manusia menggunakan pancaindra
dan akal sekaligus, baik yang bersifat material maupun spiritual. Indra dan
akal saling menyempurnakan. Antara keduanya tidak terpisah dan berdiri
sendiri sebagaimana diklaim masing-masing oleh filsuf Empirisme dan
Rasionalisme.22 Sehingga dalam hal ini, Kritisisme Immanuel Kant yang
sistetis a priori yakni pengetahuan bersumber dari rasio dan empiri sekaligus
tidak bertentangan dengan al-Qur'an.
Selanjutnya dalam tradisi pemikiran Islam, epistemologi melalui
berbagai sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai suatu kebenaran dan
kenyataan. Perbedaan dalam pemeliharaan dasar ontologi, dengan sendirinya
akan mengakibatkan sarana yang akan dipakai dengan indera, akal, intuisi,
kasyf, dan sarana lain juga menunjukkan kelebihan dan kelemahan sistem
epistemologi dengan batas-batas validasi suatu sistem pengetahuan.23
Dalam hal ini Miska Muh. Amien telah memberi definisi sebagai
berikut: Epistemologi Islam adalah usaha manusia untuk menelaah masalah-
masalah obyektifitas, metodologi, sumber serta validasi pengetahuan secara
mendalam dengan menggunakan subyek Islam sebagai titik tolak berpikir.24
21 Depag RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Alwaah, 1993), hlm. 535. 22 Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Perspektif Al-Qur'an, (Bandung: Rosda
Karya, 1989), hlm. 32. 23 Koento Wibisono, dkk., Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, (Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 12. 24 Miska Muh. Amien, Epistemologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), hlm.
2-3.
72
Sehingga epistemologi dalam Islam pun merupakan titik sentral
pandangan Islam yang menjadi tolak ukur yang menentukan hal-hal dengan
tujuan yang diketahui, menunjukkan batas-batasnya.
Islam sendiri, mempunyai 3 kerangka epistemologi yakni
1. Epistemologi Bayani, studi filosofis terhadap sistem bangunan
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu sebagai kebenaran mutlak,
akal berada pada posisi sekunder yang hanya bertugas untuk memberikan
pembenaran terhadap teks tersebut. Metode yang digunakan adalah
metode bayani dengan memahami (menganalisis) teks guna menemukan
makna yang dikandung dalam lafat dan dengan istinbat hukum-hukum dan
al-Qur'an khususnya. Peran akal dalam metode Bayani hanya sebatas
sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau
diinterpretasi.
2. Epistemologi burhani, studi filosofis terhadap sistem bangunan
pengetahuan yang menempatkan akal, percobaan, dan hukum-hukum
logika sebagai sumber pengetahuan. Pendekatan burhani adalah
pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen
logika (induksi, deduksi, abdiksi, simbolik, proses, dan lain-lain).
3. Epistemologi irfani, pengetahuan diperoleh dengan metode ilham dan
kasyf yang telah dikenal jauh sebelum Islam. Metode yang digunakan
adalah metode irfani, yaitu pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalaman bathini dhawq, qalb, wijdan, basirah, dan intuisi.25
Sebagaimana al-Jabiri pun memetakkan ilmu-ilmu keislaman antara lain
kalam, fiqh, tasawuf, dan filsafat Islam menjadi 3 bentuk epistemologi
yakni bayani, irfani, dan burhani.26
Sehubungan dengan hal itu, maka M. Amin Abdullah dalam dunia
pemikiran Muslim memetakan 3 macam teori pengetahuan yang biasa disebut-
sebut yakni
25 Pradana Bay ZTF, Filsafat Islam: Sejarah, Aliran, dan Tokoh, (Malang: UMM Press,
2003), hlm. 45-49. 26 A. Khudari Shaleh, "Moh. Abed al-Jabiri – Model Epistemologi Islam", dalam buku
Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 231.
73
1. Pengetahuan Rasional, pengetahuan yang bersumber dari akal. Tokoh-
tokohnya adalah al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Bajjah, Ibn Tufail, Ibnu Rusyd,
dan lain-lain
2. Pengetahuan inderawi, pengetahuan ini hanya terbatas pada klasifikasi
sumber pengetahuan dan belum ada filsuf yang mengembangkan teori ini.
3. Pengetahuan kasyf, pengetahuan yang diperoleh melalui ilham.27
Dari ketiga teori pengetahuan tersebut, kiranya pengetahuan
Rasionallah yang sangat mendominasi tradisi filsafat Islam. Sedangkan
pengetahuan inderawi (empiris) kurang mendapat tempat, walaupun al-Qur'an
sendiri banyak mendorong untuk menggunakan indera sebagai sumber
pengetahuan. Akan tetapi dari ketiga macam epistemologi Islam tersebut,
tidak menutup kemungkinan akan terjadi semacam keterpaduan atau
pengkombinasian di antara ketiganya atau pengkombinasian dengan unsur
yang lain. Sebagai contohnya adalah sebagai berikut:
Ibnu Bajjah sebagai filosof muslim di bagian barat, menjelaskan:
pengetahuan dapat diperoleh dengan menggunakan metode eksperimen
(berconaan). Percobaan dikakukan lewat perasaan (indera). Tetapi dilain
pihak Ibnu Bajjah mengatakan pengamatan inderawi semata-mata belum
cukup untuk mendapat kebenaran dan masih harus ditingkatkan lebih lanjut ke
tingkat pengamatan akal (rasio). Mengenai Tuhan sendiri dapat diketahui
manusia melalui filsafat: "Manusia dengan berpikir sendiri (berfilsafat) akan
dapat memahami (makrifat) tentang akal yang tertinggi yaitu Tuhan Yang
Maha Kuasa.28
Kalau disimpulkan, pemikiran Ibn Bajjah merupakan perpaduan antara
perasaan dengan akal. Dalam masalah pengetahuan fakta dia mempergunakan
metode rasional empiris, tetapi mengenai kebenaran Tuhan dia
mempergunakan filsafat kebenaran itu sendiri dapat diperoleh manusia apabila
manusia menyadari.
27 Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 244. 28 Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1973), hlm.
58.
74
Kemudian, al-Ghazali sebagai tokoh sufisme mempunyai corak
pemikiran yang bersifat sufistik. Dalam mempelajari epistemologi al-Ghazali
memang agak rumit sebagaimana mempelajari epistemologi Kritisisme
Immanuel Kant, dalam arti mempelajari corak berpikirnya yang sebenarnya.
Metode al-Ghazali sendiri dimulai dari keragu-raguan (bandingkan
dengan Rene Descartes). Keragu-raguan yang mengelilingi al-Ghazali bukan
septis, sebab ia meragukan atau lebih tepat tidak percaya kepada kemampuan
perasaan (indera) dan kemampuan akal sebelum diuji secara kritis
sebagaimana diungkapkan bahwa "setelah timbul syak – wa – sangka maka
timbul pengetahuan biasa saja bahwa segala yang tidak saja diketahui dan
lain-lain yang seperti itu, dan yang hanya meyakinkan saja bukanlah
pengetahuan yang pasti. Satuan ilmu yang tidak pasti, ilmu yang tidak
menentu, bukanlah ilmu yakin.29 Setelah ia tidak percaya pada indera, ia pun
meragukan kemampuan akal. Hal ini dapat dilihat dalam pembahasannya
mengenai ilmu mahsut "Mungkin di belakang penetapan akal itu akan datang
perhubungan-perhubungan lainnya, jika hal ini terjadi besar kemungkinannya
apa yang telah ditetapkan oleh akal itu akan disalahkan juga seperti ketetapan
akal menyalahkan yang mahsut.30
Dari keragu-raguan tersebut, maka ia berpindah metode dalam mencari
kebenaran yang asalnya menggunakan indra, dan akal kemudian beralih
menggunakan hati atau lebih dikenal dengan tasawufnya.
Para sejarawan mencatat bahwa sejarah pemikiran muslim sebelum
munculnya ajaran tasawuf al-Ghazali ditandai dengan pertentangan yang
sengit antara golongan fuqaha (ahli fiqh) dengan ahli sufi, dan antara
golongan sufi dengan folongan al-Asy'ariyah. Kemudian datanglah al-Ghazali
mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Sehingga membuat para
fuqaha dapat menerima ajaran tasawuf, dan para sufi dapat menerima ajaran
fuqaha. Bagi al-Ghazali, tasawuf bukanlah suatu ajaran yang berdiri sendiri,
terpisah dari syari'at. Hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam
29 H. Rus'an, Mutiara Ihya Ulumud din, (Jakarta: CV. Mulya, 1964), hlm. 18. 30 Miska Muh. Amien, op.cit., hlm. 53.
75
kitabn ihya'nya yang merupakan perpaduan yang harmonis antara fiqh,
tasawuf, dan ilmu kalam.31
Sejalan dengan itu, Suhrawardi terkenal dengan filsafat Ishraqiyyah
yang mensistesis metode diskursif dan intuitif. Ishraqiyyah Suhrawardi
merupakan suatu perubahan corak pemikiran filsafat Islam, akibat pengaruh
mistisisme. Suhrawardi dengan Ishraqiyyahnya mencoba untuk menunjukkan
ketidakmampuan akal murni untuk menemukan hakikat kebenaran, dan di sisi
lain ia juga mengkritik teori tasawuf al-Ghazali yang terlalu menonjolkan
intuisi.
Dia menawarkan konstruksi pemikiran baru dengan menyatukan
kebenaran agama dan metafisika yang diserap dari filsafat Persia Kuno, tradisi
Iran, filsafat Yunani serta filsafat Islam dengan mendekatkan nasional
(diskursif) dan mistisisme (intuisi) untuk menemukan hakikat kebenaran.
Pemikiran utama Ishraqiyyah merupakan simbol-simbol yang memadukan
pemikiran tradisional dengan hermetisme serta filsafat Pytagoras, Plato,
Aristoteles, dan Zoroaster, serta unsur-unsur lainnya. Inti dari ajaran
Ishraqiyyah terfokus pada sifat dan penggambaran cahaya (nur). Cahaya
dalam Ishraqiyyah tidak bersifat material dan juga tidak dapat didefinisikan.
Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan.
Suhrawardi menyebutkan sebagai realitas absolut, yaitu realitas ketuhanan
yang tidak terbatas dan tidak dibatasi, cahaya segala cahaya (nur al-anwar).
Ishraqiyyah memberi kesempatan pada akal untuk menyelami kebenaran, juga
menawarkan agama, filsafat, dan tasawuf sebagai sarana untuk memperoleh
kebenaran spiritual.32
Selanjutnya Muh Iqbal sebagai seorang filosof Islam sesudah Ibn
Rusd, khususnya dalam The Reconstruction berusaha memblender warisan
ilmu Islam klasik yaitu kalam. Dia bukan saja memadukan tasawuf dan
filsafat Islam yang sejak akhir masa klasik atau awal abad tengah memang
sudah bisa dipadukan dengan munculnya apa yang disebut dengan tasawuf
31 Amin Abdullah, op.cit., hlm. 279-280. 32 Musyafa Fathoni, "Filsafat Ishraqiyyah Suhrawardi: Sintesis metode diskursif dan
intuisi" dalam At-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4, no. 2 Juli 2004, hlm. 177.
76
falsafi, demikian juga berpaduannya kalam dengan filsafat tetapi juga
berusaha memadukan teologi (kalam) dengan tasawuf. Pada kasus yang
terakhir itu sampai-sampai Gibb terheran-heran bagaimana Iqbal bisa
menyatakan bercita-cita merekonstruksi teologi Islam yang telah ada, namun
ternyata yang dibahas bukan teologi ortodoks tetapi malah teologi Sufis.
Pernyataan yang menunjukkan dapat dipadukannya antara kalam dan
tasawuf, terlihat dari ucapan Iqbal tentang kesatuan wujud yakni "Ego yang
tertinggi dalam kata-kata Qur'an adalah Maha Kaya (tidak memerlukan)
sesuatu alam. Bagi Dia (Tuhan), yang bukan ego tidak menyatakan dirinya
sebagai sesuatu yang lain yang terletak berhadap-hadapan, atau kalau tidak
demikian halnya, maka sebagaimana ego kita yang terbatas berada dalam
hubungan parsial dengan sesuatu yang lain yang terletak berhdap-hadapan itu.
Apa yang kita namakan alam atau yang bukan ego itu, hanyalah satu saat yang
melintas dalam kehidupan Tuhan.33
Selanjutnya setelah Iqbal, terdapat Mulla Sandra yang terkenal dengan
karyanya Al-Hikmah al-Muta-aliyah yang merupakan satu perspektif baru di
dalam kehidupan intelektual Islam berdasarkan sintesis dan pengharmonisan
hamper semua aliran pemikiran Islam. Ia juga satu aliran pemikiran dimana
tujuan wahyu, hakikat kebenaran yang dicapai melalui dzang dan kasyf serta
penalaran dan pembuktian rasional disatukan. Dalam kombinasi tersebut
terlihat dengan jelas keterpaduan yang harmonis antara prinsip-prinsip irfan,
filsafat, dn agama. Dimana pembuktian rasional / filsafat terkait erat dengan
al-Qur'an dan hadits Nabi, serta ajaran-ajaran para imam, yang dipadukan
dengan doktrin-doktrin irfan sebagai hasil iluminasi yang diperoleh oleh jiwa
yang suci melalui interprestasi simbolik terhadap teks-teks suci, yang
dipahami melalui intuisi intelektual pemikiran rasional ditentukan kepda
kebenaran-kebenaran yang universal dari irfan.
33 Yusuf Suyono, "Relasi Ilmu-ilmu Keislaman dalam pemikiran Abduh dan Iqbal" dalam
Theologi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, vol. 13, no. I, Februari 2002, hlm. 14.
77
Mengenai akal sebagai sumber pengetahuan, Mulla membedakan
menjadi 4 tingkat: potensi akal, akal positif, akal aktual, dan akal yang
diperoleh.34
Mulla Sadra menyatakan bahwa untuk memperoleh petunjuk yang
benar tidak cukup hanya dengan bertaklid kepada kata-kata agama, tetapi
harus disertai penylidikan dan penalaran, sebab, tidak ada tempat bersandar
bagi agama kecuali ucapan-ucapan Nabi dan pembuktian akal yang
menjelaskan tentang kebenaran misinya. Akan tetapi, petunjuk yang benar
tidak akan diperoleh jika hanya mengandalkan akal, tanpa sinar agama.
Dengan kata lain, langkah akal akan terbatas dan kemampuannya menjadi
berkurang jika dia tidak diberi petunjuk oleh sinar agama. Oleh karena itu,
harus terjadi kombinasi yang serasi antara agama, dan akal. Salah satunya
tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Agama yang benar dan bersinar terang
tidak akan menjadikan hukum-hukum bertentangan dengan pengetahuan yang
meyakinkan dan pasti agama yang disertai akal adalah cahaya di atas cahaya.35
Dengan demikian, dari paparan panjang lebar tersebut maka terlihat
dengan jelas bahwa sebenarnya epistemology Kritisisme Immanuel Kant ingin
mensejajarkan atau mengkombinasikan unsur yang satu dengan unsur yang
lain sehingga terjadi keterpaduan untuk mencpai kesatuan yang harmonis
sebagaimana yang telah berkembang dalam Islam khususnya dunia pemikiran
muslim.
34 Sayyid Mohsen Miri, "Mulla Sadra Kehidupan dan Pemikirannya," dalam Jurnal al-
Huda, vol. 2, no. 8, Islamic Center, Jakarta, 2003, hlm. 137. 35 Syaifan HUr, Filsafat Wujud Mulla Sadra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
125.