Kultur Embio Lily2

  • Upload
    bar

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/25/2019 Kultur Embio Lily2

    1/5

    Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004

    ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

    209

    PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN BAP TERHADAP KULTUR

    EMBRIO PINANG SIRIH (Areca catechuL.) SECARA IN VITRO.

    (Effect of NAA and BAP concentration on embryo culture of Pinang sirih (Areca catechuL)by in vitro)

    Tamsil Bustamam, Nalwida Rozen, danWawan Kurniawan *)

    ABSTRACT

    An experiment to study the effect of NAA and BAP con-

    centration on embryo culture of Pinang sirih was conduct-

    ed at Tissue Culture Laboratory, Faculty of Agriculture,

    Andalas University from June to October 2002.The objec-

    tive of the experiment was to get the best combination of

    NAA and BAP concentration in forming good plantlet

    through embryo culture. The experiment was a factorial

    experiment with two factors, and it was arranged in Com-

    pletely Randomized Design with three observations. The

    first factor consisted of three levels of NAA concentration,

    that is, 4, 6, and 8 ppm, and the second factor consisted of

    three levels BAP concentration, namely, 0, 0.5, and 1.0

    ppm. The result of this experiment showed that at 4 ppm

    NAA gave very good formation of shootlet. The formation

    of shootlet and rootlet were also very good at 0 ppm BAP.

    Key wods : Areca catechu L., embryo culture, shootlet,

    rootlet.

    PENDAHULUAN

    Pinang (Areca catechu L.) termasuk salah satu

    komoditi ekspor yang diandalkan untuk menam-

    bah devisa negara. Bagian yang digunakan untuk

    ekspor adalah biji. Perkembangan ekspor biji

    pinang Indonesia terus meningkat dari tahun ke

    tahun, dengan negara tujuan utama adalah India

    dan Pakistan, diikuti Singapura, Nepal, Bangla-

    desh, Malaysia (Biro Pusat Statistik, 2000).

    Pinang mempunyai nilai ekonomis yang cu-

    kup baik dengan manfaat yang beragam dan dae-

    rah penyebarannya cukup luas. Manfaat biji pi-

    nang antara lain untuk bahan industri seperti da-

    lam penyamakan kulit, industri tekstil, industri zat

    pewarna, kosmetik, minuman dan farmasi, disam-

    ping itu sebagai bahan makanan stimulansia dan

    bumbu masak. Daun dari tanaman pinang juga

    dapat digunakan sebagai obat gangguan saluran

    pernafasan. Batang digunakan untuk bahan

    bangunan, saluran air, dan sering dipakai sebagai

    perlombaan panjat pinang dalam rangka mempe-

    ringati hari-hari besar. Akar dimanfaatkan untuk

    obat cacing dan gangguan pencernaan.

    Budidaya tanaman pinang secara intensif telah

    dilakukan di India, Bangladesh dan Srilangka,

    sedangkan di Indonesia belum dilakukan secara

    intensif. Pemeliharaan pinang selama ini hanya

    seadanya tanpa dipelihara dengan baik. Tanaman

    pinang yang tumbuh dengan baik diambil hasilnya

    tanpa adanya langkah-langkah pembudidayaan.Apabila keadaan ini berlanjut terus-menerus,

    dikhawatirkan akan terjadi pengurangan secara

    signifikan karena sampai sekarang belum ada

    peremajaan pinang apalagi budidaya secara

    intensif seperti tanaman perkebunan lainnya.

    Melihat keadaan yang demikian sudah seharusnya

    kita pikirkan untuk pengembangan pinang agar

    terhindar dari kelangkaan akibat eksploitasi

    pinang yang berlebihan.

    Dalam rangka mengupayakan pengembangan

    tanaman pinang, penyediaan bibit merupakan sa-

    lah satu faktor yang menentukan dalam peremaja-

    an dan perluasan areal penanaman pinang. Selamaini perbanyakan pinang dilakukan secara konven-

    sional yang sampai sekarang masih menghadapai

    banyak kendala. Kendala tersebut antara lain

    lamanya waktu yang diperlukan untuk perke-

    cambahan dari benih dan rentannya bibit terhadap

    kondisi lingkungan, serta serangan dari hama dan

    penyakit.

    Menurut Untu (1995) benih pinang akan ber-

    kecambah setelah 2 - 3 bulan, dalam persemaian

    dan selama persemaian terjadi kerusakan benih

    akibat hama dan penyakit. Perbanyakan tanaman

    pinang secara konvensional mempunyai beberapakendala, antara lain biji memiliki masa dormansi,

    untuk berkecambah memerlukan waktu 54 hari

    bahkan lebih. Untuk mendapatkan bibit pinang

    yang siap ditanam di lapangan membutuhkan

    waktu 18 - 30 bulan, bibit pada umur ini memiliki

    5-7 helai daun (Bhat, 1978). Untuk itu perlu

    dicarikan suatu metoda yang dapat mempercepat

    perkecambahan dan aman dari gangguan hama

    ataupun penyakit.

    *)Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang

  • 7/25/2019 Kultur Embio Lily2

    2/5

    Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004

    ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

    210

    Pada berbagai jenis tanaman palem

    (Arecaceae), diketahui teknik kultur in vitro

    merupakan salah satu solusi yang cukup efektif

    untuk mengatasi masalah dalam penyediaan bibit.

    Pinang termasuk salah satu tanaman yang sulitberkecambah maka dengan teknik kultur in vitro

    akan dapat mengatasi masalah tersebut, karena

    kultur in vitro termasuk salah satu cara budidaya

    untuk tanaman yang sulit berkecambah

    (Wattimena, 1996).

    Salah satu teknik kultur in vitro yang cukup

    luas penggunaannya adalah kultur embrio, karena

    kultur embrio merupakan studi awal untuk

    mendapatkan atau menentukan media yang paling

    cocok bagi suatu jenis tanaman, memiliki tingkat

    keberhasilan yang tinggi dan dapat tumbuh lang-

    sung membentuk tunas. Selanjutnya tunas terse-but dapat dijadikan eksplan yng bebas dari micro-

    organisme sehingga tidak perlu disterilisasi lagi.

    Menurut Monnier (1990) melalui kultur embrio

    dapat dipelajari perkembangan embrio lebih dini.

    Di bidang pemuliaan tanaman, kultur embrio da-

    pat mempercepat siklus hibridisasi. Teixeira,

    Sondahl, dan Kirby (1993) menyatakan bahwa

    dipilihnya embrio sebagai eksplan karena terse-

    dianya buah, memiliki keseragaman fisiologis yang

    tinggi dan dapat dibawa dalam waktu dan jarak

    yang cukup panjang.

    Lestari (1999) menyatakan embrio enau

    (Arenga pinnataWurmb. Merr.) yang berasal daribuah muda mempunyai kemampuan menghasilkan

    kalus yang lebih tinggi dibanding embrio yang

    berasal dari buah yang lebih tua. Hal ini disebab-

    kan karena proses pematangan benih. Menurut

    Heddy tahun 1996 cit Lestari (1999) pada saat

    benih memasuki tahap matang fisiologis maka

    jaringan-jaringan embrio mengering dan organela-

    organela seluler menjadi tidak berfungsi.

    Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman se-

    cara in vitro, dikendalikan oleh keseimbangan dan

    interaksi dari zat pengatur tumbuh (ZPT) yang

    berada dalam eksplan, baik ZPT endogen maupun

    eksogen yang diserap dari media tumbuh. Hasil

    penelitian Hendaryono dan Wijayani (1994) me-

    nyatakan bahwa pembentukan kalus terbaik dari

    embrio melinjo adalah dengan pemberian 4 ppm

    NAA tanpa penambahan ZPT lain. Yuriko (2001)

    menyatakan kultur embrio pinang dengan penam-

    bahan 6 ppm NAA pada media MS dapat membe-

    rikan pertumbuhan yang optimum.

    Pengkajian mengenai kultur embrio pada

    pinang belum banyak dilakukan. Berdasarkan hal

    tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dalam

    rangka memperoleh bibit yang baik dan bermutu

    serta bebas hama dan penyakit dalam jumlah yangrelatif banyak dan seragam.

    BAHAN DAN METODE

    Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kul-

    tur Jaringan Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertani-

    an Fakultas Pertanian Universitas Andalas Pa-dang, dengan waktu dari bulan Juni sampai

    Oktober 2002.

    Bahan penelitian: embrio buah pinang yang

    masih muda, zat kimia penyusun media MS,

    Naphthalene Acetic Acid (NAA), Benzyl Amino

    Purine (BAP), NaOH 1N, HCl 1N, alkohol 70%,

    Bayclin, sukrosa, akuades, agar konsumsi, air

    kelapa muda, deterjen, aluminum foil, dan plastic

    wrap.

    Alat yang digunakan : timbangan analitik,

    autoclave, kompor listrik, pH meter, laminar air

    flow cabinet (LAFC), lemari es, oven, hotplatedengan magnetic stirer, gelas piala, labu ukur, ca-

    wan petri, erlenmeyer, pisau scalpel, pinset, karet

    hisap, hand sprayer, botol kultur, lampu neon,

    lampu spiritus, gunting buah, cutter, dan ruang

    pemeliharaan yang dilengkapi dengan pengatur

    suhu.

    Percobaan disusun dalam bentuk faktorial

    dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2

    faktor dan masing-masing faktor terdiri dari 3

    taraf. Faktor pertama adalah tingkat konsentrasi

    NAA yang terdiri dari : 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan

    faktor kedua adalah tingkat konsentrasi BAP yang

    terdiri dari : 0 ppm, 0,5 ppm, dan 1 ppm, sehinggadidapatkan 9 kombinasi perlakuan.

    Masing-masing perlakuan terdiri dari 5

    ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 5 botol

    kultur, sehingga diperoleh 225 botol kultur yang

    digunakan. Data yang diperoleh diuji secara sta-

    tistika dengan uji F pada taraf nyata 5% dan disa-

    jikan dalam bentuk tabel. Apabila berbeda nyata

    dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncans New

    Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata

    5 %.

    Pelaksanaan percobaan

    Sterilisasi alat

    Alat-alat yang dipakai terlebih dulu disterilkan

    dengan cara mencuci alat-alat tersebut dengan

    deterjen dan dibilas hingga bersih, setelah itu di-

    rendam dengan bayclin 5 ml/ l air selama satu

    malam. Kemudian disterilisasi dengan mengguna-

    kan autoclave pada tekanan 15 psi, suhu 121oC

    selama 30 menit. Setelah itu diovenkan pada suhu

    75o

    C sampai saat dipergunakan.

  • 7/25/2019 Kultur Embio Lily2

    3/5

    Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004

    ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

    211

    Persiapan media

    Dalam pembuatan media pertama sekali dibu-

    at larutan stok dan diberi kode A, B, C, D, E, dan

    F berdasarkan jenis garamnya. Larutan vitamin

    ditempatkan dalam botol yang terpisah. Padalarutan stok ini, media dipekatkan sehingga pada

    saat pembuatan media hanya dengan memipet

    sejumlah volume tertentu sesuai dengan takaran

    yang diperlukan. Kedalam larutan ditambahkan

    BAP dan NAA sesuai dengan perlakuan dengan

    cara memipet larutan stok yang sudah ada.

    Kemudian ditambah arang aktif dan ditambah

    sukrosa 3%. Kemudian diatur pH agar mencapai

    5,8. Media selanjutnya ditambah agar sebanyak

    8g/l dan dimasak sampai mendidih. Selanjutnya

    media dimasukkan kedalam botol kultur sebanyak

    10 ml tiap botol dan ditutup rapat dengan alumi-nium foil, kemudian disterilkan dalam autoclave

    pada tekanan 15 psi pada suhu 121oC selama 20

    menit setelah itu dipindahkan dan disimpan di

    ruang inkubasi selama 1 minggu.

    Persiapan eksplan

    Buah pinang dicuci dengan deterjen sambil di-

    sikat dengan sikat gigi untuk mengangkat kotoran

    yang melekat. Kemudian dibilas bersih, setelah

    bersih buah dipotong pada ujung dan pangkalnya

    masing-masing 0,5 cm, kemudian langsung diren-

    dam dalam alkohol 70%. Buah dibawa ke dalam

    LAFC dan dibiarkan selama 30 menit.Embrio merupakan bagian tanaman yang ter-

    tutup dan bebas mikroorganisme, karenanya tidak

    dilakukan sterilisasi terhadap embrio itu sendiri.

    Embrio dipisahkan dari buah dengan menggu-

    nakan pisau scalpel dan diambil dengan pinset.

    Embrio yang telah dipisahkan tersebut langsung

    ditanam di dalam botol kultur, tanpa melalui

    proses sterilisasi.

    Penanaman eksplan

    Penanaman eksplan dilakukan di dalam

    LAFC. Embrio yang sudah dipisahkan dari buah-

    nya tadi ditanam dalam botol kultur yang telah

    berisi media, masing-masing satu embrio untuk

    setiap botol kultur, kemudian ditutup dengan

    aluminimum foil dan dibalut dengan plastik wrap.

    Penggelapan

    Untuk menghindari terjadinya browning, ma-

    ka dilakukan penggelapan. Botol kultur ditempat-

    kan di ruangan gelap pada suhu 25 - 27 oC selama

    14 hari.

    Pemeliharaan kultur eksplan

    Botol-botol kultur dipindahlan ke ruangan te-rang setelah 14 hari dalam ruangan gelap. dan di-

    susun pada rak-rak kultur dalam ruangan pe-

    meliharaan dengan suhu ruangan tetap 25 - 27 oC,

    cahaya lampu rata-rata 2000 luks dan setiap hari

    disemprot dengan alkohol 70%.

    Pengamatan

    Variabel yang diamati pada penelitian ini me-

    liputi : persentase eksplan yang hidup (%), per-

    sentase eksplan yang mengalami pencoklatan (%),

    persentase eksplan membentuk kalus (%), per-

    sentase eksplan yang membentuk shootlet,, per-

    sentase eksplan yang membentuk rootlet, dan

    perubahan warna eksplan.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    1. Persentase eksplan yang hidup

    Pemberian NAA dan BAPmemberikan penga-

    ruh yang tidak nyata terhadap persentase eksplan

    yang hidup, tetapi persentasenya cukup tinggi

    bervariasi antara 71,0 88,7 % seperti tertera

    pada tabel berikut ini.

    Tabel 1. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih

    yang hidup dengan pemberian berbagai

    konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu

    setelah tanam

    Konsentrasi NAA

    (ppm)

    Konsentrasi BAP (ppm)

    0,0 0,5 1,0

    4 83,7 76,0 81,1

    6 88,7 88,7 78,6

    8 88,7 71,0 73,5

    KK = 16,7%

    Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda

    tidak nyata menurut uji F pada

    taraf nyata 5 %.

    Data di atas menunjukkan bahwa kemampuan

    hidup eksplan cukup tinggi, hal ini disebabkan

    karena NAA dan BAP yang diberikan sudah

    mampu mendorong eksplan untuk hidup, disam-

    ping itu jenis media yang digunakan juga telahsesuai bagi pertumbuhan eksplan. Sesuai dengan

    pendapat Hendaryono dan Wijayani (1994) bahwa

    media tumbuh kultur in vitrosangat besar penga-

    ruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan

    eksplan serta bibit yang dihasilkannya.

    2. Persentase eksplan yang mengalami

    pencoklatan

    Persentase eksplan yang mengalami penco-

    klatan cukup rendah pada setiap kombinasi perla-

    kuan, bervariasi antara 0,711,47% dan berbeda

    tidak nyata sesamanya (Tabel 2 ).

  • 7/25/2019 Kultur Embio Lily2

    4/5

    Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004

    ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

    212

    Tabel 2. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih

    yang mengalami pencoklatan dengan pemberian

    berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14minggu setelah tanam

    Konsentrasi

    NAA (ppm)

    Konsentrasi BAP (ppm)

    0,0 0,5 1,0

    4 1,47 1,47 0,71

    6 0,71 0,71 1,47

    8 0,71 1,47 0,71

    Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda

    tidak nyata menurut uji F pada taraf nyata 5 %.

    Pemberian auksin dan sitokinin menyebabkan

    pencoklatan yang rendah terhadap eksplan.

    Menurut Zaid cit. Subardianto (2001) diduga

    NAA sebagai auksin memperkecil pengaruh sito-

    kinin yang bersifat merangsang sintesis senyawa

    fenol yang menyebabkan pencoklatan.

    3. Persentase eksplan yang membentuk kalus

    Pembentukan kalus tertinggi yaitu 19,0%

    diberikan oleh kombinasi 8 ppm NAA dengan 0

    ppm BAP, tetapi pemberian NAA dan BAP seca-

    ra umum belum memperlihatkan pengaruh yang

    nyata terhadap persentase eksplan yang memben-

    tuk kalus. Hal ini diduga bahwa zat pengatur

    tumbuh endogen telah mampu menunjang pertum-

    buhan eksplan ke arah pembentukan kalus.Menurut Wiendi et al (1991) di dalam kultur in

    vitro pertumbuhan dan morfogenesis tanaman

    dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari

    zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan.

    Pada tanaman monokotil pembentukan kalus

    hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa

    sitokinin. Ternyata dari hasil memang terlihat

    bahwa dengan pemberian auksin memperlihatkan

    kalus yang terbentuk semakin banyak tanpa

    pemberian sitokinin.

    Tabel 3. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih

    yang membentuk kalus dengan pemberianberbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14

    minggu setelah tanam

    Konsentrasi NAA

    (ppm)

    Konsentrasi BAP (ppm)

    0,0 0,5 1,0

    4 6,3 6,3 1,3

    6 6,3 1,3 6,3

    8 19,0 1,3 1,3

    Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda

    tidak nyata menurut uji F pada taraf nyata 5 %.

    4. Persentase eksplan yang membentuk

    hootlet.

    Pemberian NAA dan BAP secara bersamaan

    dengan berbagai konsentrasi ternyata tidak

    memberikan interaksi yang nyata, tetapiNAA dan

    BAP secara tunggal masing-masing menunjukan

    pengaruh yang nyata seperti terlihat pada Tabel 4berikut.

    Tabel 4. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih

    yang membentuk shootlet dengan pemberian

    berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14

    minggu setelah tanam

    Konsentrasi

    NAA (ppm)

    Konsentrasi BAP (ppm) Rata-

    rata0,0 0,5 1,0

    4 63,7 34,0 43,8 47,1 A

    6 41,5 21,3 31,6 31,5 B

    8 38,8 13,9 11,4 21,4 B

    Rata-rata 48,0 a 23,1 b 29,0 bKK = 51,2%

    Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil

    yang sama dan angka-angka pada kolom yang sama dii-

    kuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut

    uji DNMRT pada taraf nyata 5 %.

    Pada Tabel 4 terlihat bahwa semakin tinggi

    konsentrasi NAA ataupun BAP menurunkan per-

    sentase eksplan yang membentuk shootlet sehing-

    ga persentase tertinggi didapatkan pada kombinasi

    4 ppm NAA dengan 0 ppm BAP yaitu 63,7 %.

    Menurut Wiendi et al (1991) dan Nasir (2002)

    bahwa keseimbangan dan interaksi dari zat

    pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan akan

    memepengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis

    tanaman dalam kultur in vitro.

    5. Persentase eksplan yang membentuk rootlet

    Tabel 5. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih

    yang membentuk rootlet dengan pemberian

    berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14

    minggu setelah tanam

    Konsentrasi

    NAA (ppm)

    Konsentrasi BAP (ppm) Rata-

    rata0,0 0,5 1,0

    4 44,4 31,7 82,3 52,8

    6 94,9 31,7 44,4 57,0

    8 94,4 6,4 6,4 52,4

    Rata-rata 94,6 a 23,3 b 44,3 b

    KK =

    Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil

    yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT

    pada taraf nyata 5 %.

    Dari hasil analisis (Tabel 5) ternyata pembe-

    rian NAA berpengaruh tidak nyata sedangkan

    pemberian BAP memperlihatkan pengaruh yang

  • 7/25/2019 Kultur Embio Lily2

    5/5

    Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004

    ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002

    213

    nyata. terhadap eksplan yang membetnuk rootlet.

    Pemberian 0 ppm BAP memperlihatkan hasil yang

    tinggi dibanding perlakuan lainnya. Hal ini

    disebabkan karena BAP dalam pembentukan root-

    let kurang dibutuhkan. Sesuai dengan pendapatWiendi et al (1991) bahwa pembentukan akar

    pada kultur in vitromembutuhkan sitokinin dalam

    konsentrasi yang rendah sekali. Hal ini berarti

    bahwa pada konsentrasi 4 ppm NAA dan 0 ppm

    BAP keseimbangan zat pengatur tumbuh eksogen

    dengan endogen sudah tercapai dalam pemben-

    tukan rootlet.

    6. Perubahan warna eksplan

    Perubahan warna eksplan tidak dianalisis se-

    cara statistika, hanya diamati secara visual saja.

    Eksplan yang membetuk kalus dan rootlet bewar-

    na kuning muda, sedangkan yang membentuk

    shootlet bewarna hijau. Menurut Wiendi et al

    (1991) bahwa dengan terbentuknya warna hijau

    pada eksplan merupakan awal terjadinya morfo-

    genesis.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil percobaanan ini dapat di-

    simpulkan bahwa pemberian 4 ppm NAA dapat

    mendorong pertumbuhan shootlet dan pemberian

    0 ppm BAP mendorong pertumbuhan shootlet

    dan rootlet.

    DAFTAR PUSTAKA

    Bhat, K.S. 1978. Agronomic research in arecanut a review.

    Journal of planttation Crops volome 6 no. 2 Institut

    Regional Station. India. Pp 67-80.

    Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik perdagangan luar negeri

    Indonesia : ekspor 1999 jilid 1. Biro Pusat Statistik. Ja-

    karta. Hal. 32.Hendaryono, D.P.S. dan A.Wijayani. 1994. Teknik kultur

    jaringan. Peberbit Kanisius. Yokjakarta. 139 hal.

    Lestari, M. 1999. Kultur embrio tanaman enau (Arenga

    pinnata(Wurmb) Merr) secara invitrodengan berbagai

    tingkat kematangan buah. Skripsi Fakultas Pertanian

    Universitas Andalas Padang. 147 hal.

    Monnier, M. 1990. Zygotic embryo culture. S.S.Bhojwani

    (editor). Development ini crop science 19 plant tissue

    culture (applications and limitations). Elsevier Science

    Publishers B.V. Amsterdam, Netherlands. Pp. 336-390.

    Nasir, M. 2002. Bioteknologi potensi dan keberhasilannya

    dalam bidang pertanian. PT Grafindo Persada. Jakarta.

    286 hal.

    Subardianto. 2001. Pengaruh konsentrasi NAA dan kinetin

    terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan tunaskenanga (Canangium odorata Baill) secara in vitro.

    Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang.

    44 hal.

    Teixeira, J.B, M.R.Sondahl, and E.G.Kirby. 1993. Somatic

    embryogenesis from immature zygotic embryos of palm

    oil. Plant Cell, Tissue and Organ Culture no.34. Kluwer

    Academic Pulishers. Netherlands. Pp 227-233.

    Untu, Z. 1995. Penggunaan zat pengatur tumbuh pada pembi-

    bitan pinang. Buletin Balitka no.24. Balai Penelitian

    Tanaman Kelapa. Menado. Hal. 60-65.

    Wattimena,G.A. 1996. Zat pengatur tumbuh tanaman.

    Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU

    Bioteknologi. IPB Bogor. 247 hal.

    Wiendi, N.A, G.A.Wattimena, dan L.W.Gunawan. 1991.

    Perbanyakan tanaman dalam bioteknologi tanaman. PAU

    Bioteknologi. IPB Bogor. 507 hal.

    Yuriko, H. 2001. Kultur embrio pinang sirih (Areca catechu

    L.) secara in vitro pada beberapa tingkat kematangan

    buah. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Andalas

    Padang. 48 hal.

    ------------------------------oo0oo------------------------------