Upload
bar
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/25/2019 Kultur Embio Lily2
1/5
Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004
ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002
209
PENGARUH KONSENTRASI NAA DAN BAP TERHADAP KULTUR
EMBRIO PINANG SIRIH (Areca catechuL.) SECARA IN VITRO.
(Effect of NAA and BAP concentration on embryo culture of Pinang sirih (Areca catechuL)by in vitro)
Tamsil Bustamam, Nalwida Rozen, danWawan Kurniawan *)
ABSTRACT
An experiment to study the effect of NAA and BAP con-
centration on embryo culture of Pinang sirih was conduct-
ed at Tissue Culture Laboratory, Faculty of Agriculture,
Andalas University from June to October 2002.The objec-
tive of the experiment was to get the best combination of
NAA and BAP concentration in forming good plantlet
through embryo culture. The experiment was a factorial
experiment with two factors, and it was arranged in Com-
pletely Randomized Design with three observations. The
first factor consisted of three levels of NAA concentration,
that is, 4, 6, and 8 ppm, and the second factor consisted of
three levels BAP concentration, namely, 0, 0.5, and 1.0
ppm. The result of this experiment showed that at 4 ppm
NAA gave very good formation of shootlet. The formation
of shootlet and rootlet were also very good at 0 ppm BAP.
Key wods : Areca catechu L., embryo culture, shootlet,
rootlet.
PENDAHULUAN
Pinang (Areca catechu L.) termasuk salah satu
komoditi ekspor yang diandalkan untuk menam-
bah devisa negara. Bagian yang digunakan untuk
ekspor adalah biji. Perkembangan ekspor biji
pinang Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun, dengan negara tujuan utama adalah India
dan Pakistan, diikuti Singapura, Nepal, Bangla-
desh, Malaysia (Biro Pusat Statistik, 2000).
Pinang mempunyai nilai ekonomis yang cu-
kup baik dengan manfaat yang beragam dan dae-
rah penyebarannya cukup luas. Manfaat biji pi-
nang antara lain untuk bahan industri seperti da-
lam penyamakan kulit, industri tekstil, industri zat
pewarna, kosmetik, minuman dan farmasi, disam-
ping itu sebagai bahan makanan stimulansia dan
bumbu masak. Daun dari tanaman pinang juga
dapat digunakan sebagai obat gangguan saluran
pernafasan. Batang digunakan untuk bahan
bangunan, saluran air, dan sering dipakai sebagai
perlombaan panjat pinang dalam rangka mempe-
ringati hari-hari besar. Akar dimanfaatkan untuk
obat cacing dan gangguan pencernaan.
Budidaya tanaman pinang secara intensif telah
dilakukan di India, Bangladesh dan Srilangka,
sedangkan di Indonesia belum dilakukan secara
intensif. Pemeliharaan pinang selama ini hanya
seadanya tanpa dipelihara dengan baik. Tanaman
pinang yang tumbuh dengan baik diambil hasilnya
tanpa adanya langkah-langkah pembudidayaan.Apabila keadaan ini berlanjut terus-menerus,
dikhawatirkan akan terjadi pengurangan secara
signifikan karena sampai sekarang belum ada
peremajaan pinang apalagi budidaya secara
intensif seperti tanaman perkebunan lainnya.
Melihat keadaan yang demikian sudah seharusnya
kita pikirkan untuk pengembangan pinang agar
terhindar dari kelangkaan akibat eksploitasi
pinang yang berlebihan.
Dalam rangka mengupayakan pengembangan
tanaman pinang, penyediaan bibit merupakan sa-
lah satu faktor yang menentukan dalam peremaja-
an dan perluasan areal penanaman pinang. Selamaini perbanyakan pinang dilakukan secara konven-
sional yang sampai sekarang masih menghadapai
banyak kendala. Kendala tersebut antara lain
lamanya waktu yang diperlukan untuk perke-
cambahan dari benih dan rentannya bibit terhadap
kondisi lingkungan, serta serangan dari hama dan
penyakit.
Menurut Untu (1995) benih pinang akan ber-
kecambah setelah 2 - 3 bulan, dalam persemaian
dan selama persemaian terjadi kerusakan benih
akibat hama dan penyakit. Perbanyakan tanaman
pinang secara konvensional mempunyai beberapakendala, antara lain biji memiliki masa dormansi,
untuk berkecambah memerlukan waktu 54 hari
bahkan lebih. Untuk mendapatkan bibit pinang
yang siap ditanam di lapangan membutuhkan
waktu 18 - 30 bulan, bibit pada umur ini memiliki
5-7 helai daun (Bhat, 1978). Untuk itu perlu
dicarikan suatu metoda yang dapat mempercepat
perkecambahan dan aman dari gangguan hama
ataupun penyakit.
*)Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang
7/25/2019 Kultur Embio Lily2
2/5
Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004
ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002
210
Pada berbagai jenis tanaman palem
(Arecaceae), diketahui teknik kultur in vitro
merupakan salah satu solusi yang cukup efektif
untuk mengatasi masalah dalam penyediaan bibit.
Pinang termasuk salah satu tanaman yang sulitberkecambah maka dengan teknik kultur in vitro
akan dapat mengatasi masalah tersebut, karena
kultur in vitro termasuk salah satu cara budidaya
untuk tanaman yang sulit berkecambah
(Wattimena, 1996).
Salah satu teknik kultur in vitro yang cukup
luas penggunaannya adalah kultur embrio, karena
kultur embrio merupakan studi awal untuk
mendapatkan atau menentukan media yang paling
cocok bagi suatu jenis tanaman, memiliki tingkat
keberhasilan yang tinggi dan dapat tumbuh lang-
sung membentuk tunas. Selanjutnya tunas terse-but dapat dijadikan eksplan yng bebas dari micro-
organisme sehingga tidak perlu disterilisasi lagi.
Menurut Monnier (1990) melalui kultur embrio
dapat dipelajari perkembangan embrio lebih dini.
Di bidang pemuliaan tanaman, kultur embrio da-
pat mempercepat siklus hibridisasi. Teixeira,
Sondahl, dan Kirby (1993) menyatakan bahwa
dipilihnya embrio sebagai eksplan karena terse-
dianya buah, memiliki keseragaman fisiologis yang
tinggi dan dapat dibawa dalam waktu dan jarak
yang cukup panjang.
Lestari (1999) menyatakan embrio enau
(Arenga pinnataWurmb. Merr.) yang berasal daribuah muda mempunyai kemampuan menghasilkan
kalus yang lebih tinggi dibanding embrio yang
berasal dari buah yang lebih tua. Hal ini disebab-
kan karena proses pematangan benih. Menurut
Heddy tahun 1996 cit Lestari (1999) pada saat
benih memasuki tahap matang fisiologis maka
jaringan-jaringan embrio mengering dan organela-
organela seluler menjadi tidak berfungsi.
Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman se-
cara in vitro, dikendalikan oleh keseimbangan dan
interaksi dari zat pengatur tumbuh (ZPT) yang
berada dalam eksplan, baik ZPT endogen maupun
eksogen yang diserap dari media tumbuh. Hasil
penelitian Hendaryono dan Wijayani (1994) me-
nyatakan bahwa pembentukan kalus terbaik dari
embrio melinjo adalah dengan pemberian 4 ppm
NAA tanpa penambahan ZPT lain. Yuriko (2001)
menyatakan kultur embrio pinang dengan penam-
bahan 6 ppm NAA pada media MS dapat membe-
rikan pertumbuhan yang optimum.
Pengkajian mengenai kultur embrio pada
pinang belum banyak dilakukan. Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dalam
rangka memperoleh bibit yang baik dan bermutu
serta bebas hama dan penyakit dalam jumlah yangrelatif banyak dan seragam.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kul-
tur Jaringan Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertani-
an Fakultas Pertanian Universitas Andalas Pa-dang, dengan waktu dari bulan Juni sampai
Oktober 2002.
Bahan penelitian: embrio buah pinang yang
masih muda, zat kimia penyusun media MS,
Naphthalene Acetic Acid (NAA), Benzyl Amino
Purine (BAP), NaOH 1N, HCl 1N, alkohol 70%,
Bayclin, sukrosa, akuades, agar konsumsi, air
kelapa muda, deterjen, aluminum foil, dan plastic
wrap.
Alat yang digunakan : timbangan analitik,
autoclave, kompor listrik, pH meter, laminar air
flow cabinet (LAFC), lemari es, oven, hotplatedengan magnetic stirer, gelas piala, labu ukur, ca-
wan petri, erlenmeyer, pisau scalpel, pinset, karet
hisap, hand sprayer, botol kultur, lampu neon,
lampu spiritus, gunting buah, cutter, dan ruang
pemeliharaan yang dilengkapi dengan pengatur
suhu.
Percobaan disusun dalam bentuk faktorial
dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2
faktor dan masing-masing faktor terdiri dari 3
taraf. Faktor pertama adalah tingkat konsentrasi
NAA yang terdiri dari : 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan
faktor kedua adalah tingkat konsentrasi BAP yang
terdiri dari : 0 ppm, 0,5 ppm, dan 1 ppm, sehinggadidapatkan 9 kombinasi perlakuan.
Masing-masing perlakuan terdiri dari 5
ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 5 botol
kultur, sehingga diperoleh 225 botol kultur yang
digunakan. Data yang diperoleh diuji secara sta-
tistika dengan uji F pada taraf nyata 5% dan disa-
jikan dalam bentuk tabel. Apabila berbeda nyata
dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncans New
Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata
5 %.
Pelaksanaan percobaan
Sterilisasi alat
Alat-alat yang dipakai terlebih dulu disterilkan
dengan cara mencuci alat-alat tersebut dengan
deterjen dan dibilas hingga bersih, setelah itu di-
rendam dengan bayclin 5 ml/ l air selama satu
malam. Kemudian disterilisasi dengan mengguna-
kan autoclave pada tekanan 15 psi, suhu 121oC
selama 30 menit. Setelah itu diovenkan pada suhu
75o
C sampai saat dipergunakan.
7/25/2019 Kultur Embio Lily2
3/5
Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004
ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002
211
Persiapan media
Dalam pembuatan media pertama sekali dibu-
at larutan stok dan diberi kode A, B, C, D, E, dan
F berdasarkan jenis garamnya. Larutan vitamin
ditempatkan dalam botol yang terpisah. Padalarutan stok ini, media dipekatkan sehingga pada
saat pembuatan media hanya dengan memipet
sejumlah volume tertentu sesuai dengan takaran
yang diperlukan. Kedalam larutan ditambahkan
BAP dan NAA sesuai dengan perlakuan dengan
cara memipet larutan stok yang sudah ada.
Kemudian ditambah arang aktif dan ditambah
sukrosa 3%. Kemudian diatur pH agar mencapai
5,8. Media selanjutnya ditambah agar sebanyak
8g/l dan dimasak sampai mendidih. Selanjutnya
media dimasukkan kedalam botol kultur sebanyak
10 ml tiap botol dan ditutup rapat dengan alumi-nium foil, kemudian disterilkan dalam autoclave
pada tekanan 15 psi pada suhu 121oC selama 20
menit setelah itu dipindahkan dan disimpan di
ruang inkubasi selama 1 minggu.
Persiapan eksplan
Buah pinang dicuci dengan deterjen sambil di-
sikat dengan sikat gigi untuk mengangkat kotoran
yang melekat. Kemudian dibilas bersih, setelah
bersih buah dipotong pada ujung dan pangkalnya
masing-masing 0,5 cm, kemudian langsung diren-
dam dalam alkohol 70%. Buah dibawa ke dalam
LAFC dan dibiarkan selama 30 menit.Embrio merupakan bagian tanaman yang ter-
tutup dan bebas mikroorganisme, karenanya tidak
dilakukan sterilisasi terhadap embrio itu sendiri.
Embrio dipisahkan dari buah dengan menggu-
nakan pisau scalpel dan diambil dengan pinset.
Embrio yang telah dipisahkan tersebut langsung
ditanam di dalam botol kultur, tanpa melalui
proses sterilisasi.
Penanaman eksplan
Penanaman eksplan dilakukan di dalam
LAFC. Embrio yang sudah dipisahkan dari buah-
nya tadi ditanam dalam botol kultur yang telah
berisi media, masing-masing satu embrio untuk
setiap botol kultur, kemudian ditutup dengan
aluminimum foil dan dibalut dengan plastik wrap.
Penggelapan
Untuk menghindari terjadinya browning, ma-
ka dilakukan penggelapan. Botol kultur ditempat-
kan di ruangan gelap pada suhu 25 - 27 oC selama
14 hari.
Pemeliharaan kultur eksplan
Botol-botol kultur dipindahlan ke ruangan te-rang setelah 14 hari dalam ruangan gelap. dan di-
susun pada rak-rak kultur dalam ruangan pe-
meliharaan dengan suhu ruangan tetap 25 - 27 oC,
cahaya lampu rata-rata 2000 luks dan setiap hari
disemprot dengan alkohol 70%.
Pengamatan
Variabel yang diamati pada penelitian ini me-
liputi : persentase eksplan yang hidup (%), per-
sentase eksplan yang mengalami pencoklatan (%),
persentase eksplan membentuk kalus (%), per-
sentase eksplan yang membentuk shootlet,, per-
sentase eksplan yang membentuk rootlet, dan
perubahan warna eksplan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Persentase eksplan yang hidup
Pemberian NAA dan BAPmemberikan penga-
ruh yang tidak nyata terhadap persentase eksplan
yang hidup, tetapi persentasenya cukup tinggi
bervariasi antara 71,0 88,7 % seperti tertera
pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih
yang hidup dengan pemberian berbagai
konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu
setelah tanam
Konsentrasi NAA
(ppm)
Konsentrasi BAP (ppm)
0,0 0,5 1,0
4 83,7 76,0 81,1
6 88,7 88,7 78,6
8 88,7 71,0 73,5
KK = 16,7%
Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji F pada
taraf nyata 5 %.
Data di atas menunjukkan bahwa kemampuan
hidup eksplan cukup tinggi, hal ini disebabkan
karena NAA dan BAP yang diberikan sudah
mampu mendorong eksplan untuk hidup, disam-
ping itu jenis media yang digunakan juga telahsesuai bagi pertumbuhan eksplan. Sesuai dengan
pendapat Hendaryono dan Wijayani (1994) bahwa
media tumbuh kultur in vitrosangat besar penga-
ruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan
eksplan serta bibit yang dihasilkannya.
2. Persentase eksplan yang mengalami
pencoklatan
Persentase eksplan yang mengalami penco-
klatan cukup rendah pada setiap kombinasi perla-
kuan, bervariasi antara 0,711,47% dan berbeda
tidak nyata sesamanya (Tabel 2 ).
7/25/2019 Kultur Embio Lily2
4/5
Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004
ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002
212
Tabel 2. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih
yang mengalami pencoklatan dengan pemberian
berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14minggu setelah tanam
Konsentrasi
NAA (ppm)
Konsentrasi BAP (ppm)
0,0 0,5 1,0
4 1,47 1,47 0,71
6 0,71 0,71 1,47
8 0,71 1,47 0,71
Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji F pada taraf nyata 5 %.
Pemberian auksin dan sitokinin menyebabkan
pencoklatan yang rendah terhadap eksplan.
Menurut Zaid cit. Subardianto (2001) diduga
NAA sebagai auksin memperkecil pengaruh sito-
kinin yang bersifat merangsang sintesis senyawa
fenol yang menyebabkan pencoklatan.
3. Persentase eksplan yang membentuk kalus
Pembentukan kalus tertinggi yaitu 19,0%
diberikan oleh kombinasi 8 ppm NAA dengan 0
ppm BAP, tetapi pemberian NAA dan BAP seca-
ra umum belum memperlihatkan pengaruh yang
nyata terhadap persentase eksplan yang memben-
tuk kalus. Hal ini diduga bahwa zat pengatur
tumbuh endogen telah mampu menunjang pertum-
buhan eksplan ke arah pembentukan kalus.Menurut Wiendi et al (1991) di dalam kultur in
vitro pertumbuhan dan morfogenesis tanaman
dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari
zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan.
Pada tanaman monokotil pembentukan kalus
hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa
sitokinin. Ternyata dari hasil memang terlihat
bahwa dengan pemberian auksin memperlihatkan
kalus yang terbentuk semakin banyak tanpa
pemberian sitokinin.
Tabel 3. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih
yang membentuk kalus dengan pemberianberbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14
minggu setelah tanam
Konsentrasi NAA
(ppm)
Konsentrasi BAP (ppm)
0,0 0,5 1,0
4 6,3 6,3 1,3
6 6,3 1,3 6,3
8 19,0 1,3 1,3
Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji F pada taraf nyata 5 %.
4. Persentase eksplan yang membentuk
hootlet.
Pemberian NAA dan BAP secara bersamaan
dengan berbagai konsentrasi ternyata tidak
memberikan interaksi yang nyata, tetapiNAA dan
BAP secara tunggal masing-masing menunjukan
pengaruh yang nyata seperti terlihat pada Tabel 4berikut.
Tabel 4. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih
yang membentuk shootlet dengan pemberian
berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14
minggu setelah tanam
Konsentrasi
NAA (ppm)
Konsentrasi BAP (ppm) Rata-
rata0,0 0,5 1,0
4 63,7 34,0 43,8 47,1 A
6 41,5 21,3 31,6 31,5 B
8 38,8 13,9 11,4 21,4 B
Rata-rata 48,0 a 23,1 b 29,0 bKK = 51,2%
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil
yang sama dan angka-angka pada kolom yang sama dii-
kuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut
uji DNMRT pada taraf nyata 5 %.
Pada Tabel 4 terlihat bahwa semakin tinggi
konsentrasi NAA ataupun BAP menurunkan per-
sentase eksplan yang membentuk shootlet sehing-
ga persentase tertinggi didapatkan pada kombinasi
4 ppm NAA dengan 0 ppm BAP yaitu 63,7 %.
Menurut Wiendi et al (1991) dan Nasir (2002)
bahwa keseimbangan dan interaksi dari zat
pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan akan
memepengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis
tanaman dalam kultur in vitro.
5. Persentase eksplan yang membentuk rootlet
Tabel 5. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih
yang membentuk rootlet dengan pemberian
berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14
minggu setelah tanam
Konsentrasi
NAA (ppm)
Konsentrasi BAP (ppm) Rata-
rata0,0 0,5 1,0
4 44,4 31,7 82,3 52,8
6 94,9 31,7 44,4 57,0
8 94,4 6,4 6,4 52,4
Rata-rata 94,6 a 23,3 b 44,3 b
KK =
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil
yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT
pada taraf nyata 5 %.
Dari hasil analisis (Tabel 5) ternyata pembe-
rian NAA berpengaruh tidak nyata sedangkan
pemberian BAP memperlihatkan pengaruh yang
7/25/2019 Kultur Embio Lily2
5/5
Stigma Volume XI I No.2, April Jun i 2004
ISSN 0853-3776 AKREDITASI DIKTI No. 52/DIKTI/KEP/1999 tgl. 12 Nopember 2002
213
nyata. terhadap eksplan yang membetnuk rootlet.
Pemberian 0 ppm BAP memperlihatkan hasil yang
tinggi dibanding perlakuan lainnya. Hal ini
disebabkan karena BAP dalam pembentukan root-
let kurang dibutuhkan. Sesuai dengan pendapatWiendi et al (1991) bahwa pembentukan akar
pada kultur in vitromembutuhkan sitokinin dalam
konsentrasi yang rendah sekali. Hal ini berarti
bahwa pada konsentrasi 4 ppm NAA dan 0 ppm
BAP keseimbangan zat pengatur tumbuh eksogen
dengan endogen sudah tercapai dalam pemben-
tukan rootlet.
6. Perubahan warna eksplan
Perubahan warna eksplan tidak dianalisis se-
cara statistika, hanya diamati secara visual saja.
Eksplan yang membetuk kalus dan rootlet bewar-
na kuning muda, sedangkan yang membentuk
shootlet bewarna hijau. Menurut Wiendi et al
(1991) bahwa dengan terbentuknya warna hijau
pada eksplan merupakan awal terjadinya morfo-
genesis.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaanan ini dapat di-
simpulkan bahwa pemberian 4 ppm NAA dapat
mendorong pertumbuhan shootlet dan pemberian
0 ppm BAP mendorong pertumbuhan shootlet
dan rootlet.
DAFTAR PUSTAKA
Bhat, K.S. 1978. Agronomic research in arecanut a review.
Journal of planttation Crops volome 6 no. 2 Institut
Regional Station. India. Pp 67-80.
Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik perdagangan luar negeri
Indonesia : ekspor 1999 jilid 1. Biro Pusat Statistik. Ja-
karta. Hal. 32.Hendaryono, D.P.S. dan A.Wijayani. 1994. Teknik kultur
jaringan. Peberbit Kanisius. Yokjakarta. 139 hal.
Lestari, M. 1999. Kultur embrio tanaman enau (Arenga
pinnata(Wurmb) Merr) secara invitrodengan berbagai
tingkat kematangan buah. Skripsi Fakultas Pertanian
Universitas Andalas Padang. 147 hal.
Monnier, M. 1990. Zygotic embryo culture. S.S.Bhojwani
(editor). Development ini crop science 19 plant tissue
culture (applications and limitations). Elsevier Science
Publishers B.V. Amsterdam, Netherlands. Pp. 336-390.
Nasir, M. 2002. Bioteknologi potensi dan keberhasilannya
dalam bidang pertanian. PT Grafindo Persada. Jakarta.
286 hal.
Subardianto. 2001. Pengaruh konsentrasi NAA dan kinetin
terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan tunaskenanga (Canangium odorata Baill) secara in vitro.
Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang.
44 hal.
Teixeira, J.B, M.R.Sondahl, and E.G.Kirby. 1993. Somatic
embryogenesis from immature zygotic embryos of palm
oil. Plant Cell, Tissue and Organ Culture no.34. Kluwer
Academic Pulishers. Netherlands. Pp 227-233.
Untu, Z. 1995. Penggunaan zat pengatur tumbuh pada pembi-
bitan pinang. Buletin Balitka no.24. Balai Penelitian
Tanaman Kelapa. Menado. Hal. 60-65.
Wattimena,G.A. 1996. Zat pengatur tumbuh tanaman.
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU
Bioteknologi. IPB Bogor. 247 hal.
Wiendi, N.A, G.A.Wattimena, dan L.W.Gunawan. 1991.
Perbanyakan tanaman dalam bioteknologi tanaman. PAU
Bioteknologi. IPB Bogor. 507 hal.
Yuriko, H. 2001. Kultur embrio pinang sirih (Areca catechu
L.) secara in vitro pada beberapa tingkat kematangan
buah. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Andalas
Padang. 48 hal.
------------------------------oo0oo------------------------------