30
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SELAKU PEJABAT UMUM PEMBUAT AKTA OTENTIK LEGAL PROTECTION ON NOTARIES/OFFICIALS AUTHORIZED OF MAKING LAND CERTIFICATES AS PUBLIC OFFICIALS AUTHORIZED OF MAKING AUTHENTIC CERTIFICATES Kurniawan Agung Yasin, Muhadar, Marwati Riza Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi: Kurniawan Agung Yasin Perumahan Bukit Manusela No. 23 Ambon 0812124034560 [email protected]

Kurniawan Agung Yasin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sfserwe

Citation preview

Page 1: Kurniawan Agung Yasin

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SELAKU PEJABAT UMUM

PEMBUAT AKTA OTENTIK

LEGAL PROTECTION ON NOTARIES/OFFICIALS AUTHORIZED OF MAKING LAND CERTIFICATES AS PUBLIC

OFFICIALS AUTHORIZED OF MAKING AUTHENTIC CERTIFICATES

Kurniawan Agung Yasin, Muhadar, Marwati RizaProgram Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Alamat Korespondensi:Kurniawan Agung YasinPerumahan Bukit Manusela No. 23 [email protected]

Page 2: Kurniawan Agung Yasin

ABSTRAKNotaris adalah salah satu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengkaji, menganalisis dan mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap seorang Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan sejauh mana tanggung jawan Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat yuridis empiris. Dimana dilakukan penelitian dilapangan untuk mendapatkan data primer. Jenis dan sumber data yang digunakan yakni data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari data kepustakaan atau penelaahan terhadap literatur atau bahan pustaka. Bahan pustaka ini meliputi peraturan perundang-undangan, literatur, berkas perkara dan pendapat ahli hukum. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap Notaris/PPAT dilakukan dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan I.N.I. Selain melakukan pengawasan, kedua organisasi ini memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap Notaris yang diduga melakukan pelanggaran sekaligus memberikan sanksi apabila Notaris terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi yang diberikan kepada Notaris adalah sanksi perdata dan administratif. Namun tidak jarang Notaris dilaporkan secara pidana atas pelanggaran yang sebenarnya dalam UU-JN bila Notaris melakukannya dikenakan sanksi perdata atau sanksi administratif. Dalam pembuatan sebuah akta, ada tanggung jawab yang diemban oleh seorang notaris. Tanggung jawab ini menilai sampai sejauh mana notaris bertanggung jawab terhadap akta. Tanggung jawab Notaris terdiri dari tanggung jawab perdata, tanggung jawab administratif atau tanggung jawab menurut UU-JN dan tanggung jawab pidana. Tanggung jawab perdata dan administratif sudah jelas diatur dalam UU-JN, sedangkan tanggung jawab pidana tidak diatur dalam UU-JN. Atas kekurangtahuan penegak hukum tentang dunia kenotariatan, sering kali terjadi Notaris dijadikan tersangka dengan tuduhan yang bukan menjadi tanggung jawab Notaris melainkan kesalahan tersebut justru kesalahan atau tanggung jawab para pihak.

Kata kunci: Pengawasan, Tanggung jawab dan Sanksi.

Abstract

Notary public is an official who is authorized to make authentic act. This study aims to investigate, analyse and find out the form of legal protection against a Notary / Land Deed Official (PPAT) and the extent to which responsibility jawan Notary / PPAT in deed otentik.Metode used in this research is an empirical law juridical . Where do field research to obtain primary data. Types and sources of data used in the primary data is data obtained directly from the source and secondary data is data obtained from literature data or a review of the literature or library materials. This library materials include legislation, literature, case files and legal expert opinion. The data have been obtained and analyzed using qualitative methods. The results showed that the legal protection of the Notary / PPAT done in the form of surveillance conducted by the Supervisory Council and the Board of Honorary THIS Notary In addition to monitoring, the two organizations have the authority to conduct an examination of the notary who allegedly committed an offense while providing Notary sanctions proved to have violated. Sanction given to the notary is civil and administrative sanctions. But not infrequently the Notary reported criminal offenses in the Act-JN actually Notary do when sanctioned civil or administrative sanctions. In the making of a deed, no responsibility is assumed by a notary. The responsibility of assessing the extent to which the notary responsible for the deed. Notary responsibilities consist of civil liability, administrative liability or responsibility under the Act-JN and criminal responsibility. Civil and administrative responsibilities are clearly set out in the Act-JN, whereas criminal responsibility is not regulated in the Law-JN. Due to lack of knowledge among top law enforcement about the world notaries, notary often occurs as a suspect on charges that are not the responsibility of the notary but the error is actually the fault or responsibility of the parties.

Keywords: Supervision, Responsibility and Sanction.

Page 3: Kurniawan Agung Yasin
Page 4: Kurniawan Agung Yasin

PENDAHULUAN

Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak

dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Sebagian besar Notaris juga berprofesi sebagai

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pengertian pejabat umum yang diemban oleh seorang

Notaris/PPAT bukan berarti Notaris/PPAT adalah pegawai negeri. Dimana pegawai negeri

merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang tersusun yang digaji oleh pemerintah.

Dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 30 tahun

2004 tentang Jabatan Notaris, untuk selanjutnya cukup disingkat UU-JN, maka sangat jelas

bahwa Notaris adalah salah satu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.

Untuk seorang PPAT, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1998

Pasal 1 ayat (1) ,Notaris/PPAT selaku pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik, memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat. Banyak sektor dalam

kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari seorang

Notaris/PPAT. Bahkan beberapa ketentuan perundang-undangan mengharuskan suatu

transaksi atau kegiatan dibuat dengan akta Notaris/PPAT. Yang artinya jika tidak dibuat

dengan akta Notaris/PPAT maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak memiliki kekuatan

hukum. Hal tersebut untuk memberikan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi

masyarakat.

Dalam UU-JN bentuk-bentuk perlindungan hukum dapat kita lihat pada Pasal 4 ayat

(2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf e mengenai sumpah jabatan Notaris. dimana dalam kedua

Pasal tersebut dijelaskan bahwa Notaris berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan akta

maupun keterangan-keterangan yang berkaitan dengan akta tersebut. Selain kedua Pasal

tersebut ada juga Pasal 66 yang mengatur tentang tata cara pemanggilan Notaris untuk

dimintai keteranggannya dalam proses Perdata maupun Pidana dan penyitaan Minuta akta.

Berkaitan dengan Pasal 66 UU-JN, berkaitan erat dengan keberadaan Majelis Pengawas

Notaris. dimana Majelis Pengawas Notaris merupakan instansi yang bertugas untuk

mengawasi, memeriksa dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris. pengawasan yang

dilakukan oleh Majelis Pengawas merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum dengan

cara preventif.

Telah dijelaskan dalam UU-JN bahwa untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris

maka diberikan kewajiban dan kewenangan kepada Menteri yang diteruskan kepada Majelis

Pengawas Notaris untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris dalam

Page 5: Kurniawan Agung Yasin

melaksanakan pekerjaannya merupakan sesuatu hal yang positif. Sehingga diharapkan

aktifitas masyarakat yang berhubungan dengan Notaris/PPAT dapat berjalan dengan baik.

Selain diawasi oleh Majelis Pengawas Notaris, Notaris juga diawasi oleh pengurus dan

dewan kehormatan Ikatan Notaris Indonesia (INI). Sama seperti Majelis Pengawas Notaris,

Dewan kehormatan juga terdiri dari Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan

Wilayah, dan Dewan Kehormatan Pusat. Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan

Kehormatan dikhususkan pada pelanggaran yang berkaitan dengan Kode Etik Notaris.

Demi kelancaran proses penyidikan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ikatan

Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta tanah (IPPAT) sejak tahun 2006

telah melakukan kerjasama tentang pelaksanaan pemanggilan dan pemeriksaan Notaris/PPAT.

Bentuk kerjasama tersebut tertuang dalam nota kesepahaman antara Kepolisian Negara

Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia yaitu Nomor. Pol:B/1056/V/2006 dan

Nomor 01/MOU/PP-INI/V/2006 tanggal 9 Mei 2006, nota kesepahaman antara Kepolisian

Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Nomor Pol:

B/1055/V/2006 dan nomor 05/PP-IPPAT/V/2006 tanggal 9 Mei 2006 tentang Pembinaan Dan

Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum.

Dalam perkara pidana yang saya temukan, seorang Notaris/PPAT dijadikan tersangka

dengan tuduhan menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Laporan Polisi, 2008).

Yang dimaksud menempatkan keterangan palsu adalah identitas yang dibawa pada saat

pembuat akta bukan identitas mereka yang datang pada saat pembuatan akta tersebut,

melainkan identitas orang lain. Oleh penyidik, Notaris/PPAT dinilai memasukkan keterangan

palsu kedalam akta otentik. Hal seperti ini menandakan dunia Notaris/PPAT belum begitu

dipahami oleh beberapa pihak. Sehingga seringkali terjadi hal-hal seperti ini. Dimana seorang

Notaris/PPAT dianggap sebagai pihak dan harus bertanggungjawab atas kesalahan yang

bukan menjadi tanggung jawabnya.Untuk itu, yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah

Bagaimana bentuk Perlindungan hukum terhadap Notaris/PPAT dan sampai dimana tanggung

jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Rancangan Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan ini di dasari

atas pertimbangan penulis mendapatkan kasus hukum yang melibatkan Notaris/PPAT pada

daerah ini. Sebenarnya kasus-kasus serupa banyak penulis jumpai di daerah lain. Untuk

menunjang dan melengkapi data, maka dilakukan penelitian yuridis normatif, artinya fakta-

Page 6: Kurniawan Agung Yasin

fakta di lapangan dikaitkan dengan asas-asas hukum, sistem hukum dan kaedah-kaedah hukum

untuk memperoleh data sekunder.

Populasi dan Sampel

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Notaris dan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT), yang berada di Propinsi Sulawesi Selatan. Yang menjadi sampel dalam

penelitian ini adalah Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terlibat masalah

tindak pidana. Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Non Random

Sampling. Dimana teknik Non Random Sampling ini tidak memberikan kesempatan kepada

Notaris/PPAT dalam populasi untuk dipilih menjadi sampel. Melainkan penulis yang memilih

Notaris/PPAT dalam populasi untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini.

Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua

bagian, yaitu Data primer yakni data yang diperoleh langsung dari sumber pertama (Amiruddin

dkk., 2010). Data primer ini diperoleh dengan melakukan wawancara secara langsung di lokasi

penelitian yang bersumber dari responden yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.Data

sekunder yakni data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan

terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

penelitian yang sering disebut sebagai bahan hokum (Fajar dkk., 2010).

Teknik Pengumpulan Data

Setelah responden ditetapkan dalam penelitian ini, selanjutnya ditetapkan teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara : Wawancara (interview), yaitu suatu bentuk

komunikasi verbal semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Wawancara

tidak sekedar percakapan biasa, wawancara ini dilakukan dengan cara mendatangi responden

kemudian dilakukan tanya jawab secara langsung dengan responden. Dokumentasi, yakni

digunakan dalam memperoleh bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan

berbagai peraturan perundang-undangan, literatur, berkas perkara dan pendapat ahli hukum

yang relevan.

Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan

metode kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data sekunder dan

data primer kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. Dengan metode ini diharapkan

dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh dan jelas mengenai Perlindungan Hukum Terhadap

Notaris/PPAT Selaku Pejabat Umum Pembuat Akta Otentik serta permasalahan-permasalahan

yang berkaitan secara komprehensif.

Page 7: Kurniawan Agung Yasin

HASIL

Pelindungan Hukum terhadap Notaris/PPAT selaku Pejabat Umum

Notaris/PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta

otentik. Seorang Notaris/PPAT dipandang sebagai sosok yang dibutuhkan oleh masyarakat

dalam membuat akta sebagai bukti perbuatan hukum yang akan mereka lakukan. Hal ini

disebabkan karena apa yang ditulis oleh seorang Notaris/PPAT dalam sebuah akta harus bisa

memberikan kepastian hukum, digunakan sebagai alat bukti dan dapat memberikan

perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang ada dalam akta tersebut.

Notaris/PPAT selaku pejabat umum pembuat akta otentik dalam melakukan

pekerjaannya sehari-hari dipenuhi dengan berbagai resiko. Sehingga Perlindungan hukum

kepada Notaris/PPAT merupakan sebuah hal yang wajar guna memberikan rasa aman bagi

seorang Notaris/PPAT.Bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris tersebut dilakukan baik

secara preventif maupun represif. Upaya hukum preventif disini bersifat pencegahan.

Mencegah agar hak seorang Notaris/PPAT tidak dilanggar. Ini berarti upaya hukum

pencegahan dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran hukum. Apabila pelanggaran hukum

telah terjadi, upaya hukum disini bukan lagi bersifat preventif atau pencegahan melainkan

bersifat represif.

Perlindungan Hukum terhadap Notaris secara preventif diantaranya adalah ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam UU-JN maupun kode etik Notaris, pengawasan yang dilakukan

oleh Majelis Pengawas Daerah dan Pengawasan oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris

Indonesia (INI). Sedangkan secara represif dapat berupa teguran dan sanksi dari Majelis

Pengawas Notaris maupun teguran dan sanksi dari Dewan Kehormatan INI.

Bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris yang terdapat dalam UU-JN adalah

ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU-JN mengenai sumpah/janji Notaris. isi dari sumpah janji

tersebut diantaranya menyebutkan “....bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan

yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”. Selain ketentuan dari Pasal 2 tersebut,

dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e disebutkan bahwa “....dalam menjalankan jabatannya, Notaris

berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali

undang-undang menentukan lain”.

Ketentuan dari Pasal 66 UU-JN ini bagi pihak Notaris merupakan salah satu bentuk

perlindungan hukum bagi profesi notaris, namun bagi masyarakat umum, penyidik, penuntut

umum atau hakim pasal ini dinilai bisa menjadi penghalang dalam melakukan proses

Page 8: Kurniawan Agung Yasin

penyidikan. Hal inilah yang mendasari Kant Kamal untuk mengajukan permohonan pada

Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi terhadap Pasal 66 UU-JN.

Pelayanan yang diberikan Notaris/PPAT kepada masyarakat bertujuan untuk

memberikan perlindungan dan kepastian hukum melalui akta yang dibuat dihadapan atau

olehnya. Dengan demikian, perlu adanya pengawasan terhadap pekerjaan seorang

Notaris/PPAT. Hal ini bertujuan agar apa yang dilakukan oleh Notaris/PPAT sesuai dengan

aturan hukum mengenai tugas dan wewenangnya sebagai pejabat umum sehingga terhindar

dari penyalahgunaan wewenang.

Pengawasan ini juga bertujuan untuk memastikan segala hak, kewenangan serta

kewajiban yang diberikan kepada Notaris/PPAT senantiasa dilakukan sesuai peraturan-

peraturan yang telah ditentukan dan juga sesuai moral dan kode etik Notaris/PPAT demi

memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Hal ini didasari karena

jabatan Notaris adalah jabatan pengabdian kepada kepentingan negara dan masyarakat. Maka

pengawasan khususnya pemeriksaan kepada Notaris harus mengedepankan rasa menghargai

dan menghormati sesama perangkat Negara (Pengurus Pusat INI, 2008).

Tujuan lain dari pengawasan yang diberikan kepada seorang Notaris/PPAT adalah

untuk memberikan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas sebagai pejabat umum.

Notaris/PPAT hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dalam menjalankan

tugasnya. Namun perlindungan hukum disini adalah perlindungan hukum terhadap profesinya

sebagai Notaris/PPAT, bukan Notaris/PPAT secara pribadi.

Kewajiban Notaris Untuk Merahasiakan Isi Akta Maupun Keterangan Yang Berkaitan Dengan Pembuatan Akta.

Sebagai pejabat umum, sebelum melaksanakan tugas jabatan Notaris/PPAT

diharuskan untuk mengucapkan sumpah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU-JN yang

menyebutkan bahwa:

“Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk”.

Sedangkan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UU-JN menyatakan bahwa:

“dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”

Dari bunyi ketentuan dua pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Notaris

wajib merahasiakan isi akta maupun keterangan yang diperoleh dalam melaksanakan jabatan

kecuali pada pihak-pihak yang langsung berkepentingan dalam pembuatan akta, misalnya

ahli waris maupun penerima hak mereka, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Page 9: Kurniawan Agung Yasin

Kewajiban ini pada dasarnya bisa berakhir apabila ada suatu kewajiban menurut

hukum. Misalnya jika seseorang yang dalam hal ini Notaris dipanggil untuk memberikan

kesaksian di pengadilan baik untuk perkara perdata maupun pidana. Akan tetapi, disisi lain

seorang Notaris masih bisa mempertahankan kewajiban untuk merahasiakan sesuai dengan

hak yang dimilikinya tersebut berdasarkan ketentuan dari Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata

maupun Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.

Notaris merupakan sebuah jabatan yang sangat mengedepankan asas kepercayaan,

untuk itu Notaris memiliki kewajiban untuk merahasiakan isi akta yang dibuatnya dan

keterangan-keterangan yang diperoleh dari para pihak pada saat pembuatan akta. Hal ini

selain karena ditentukan oleh undang-undang yaitu Pasal 4 ayat (2) UU-JN, Pasal 16 ayat (1)

huruf e UU-JN, Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, Pasal 322 KUHP dan Pasal 1909

ayat (3) KUH Perdata juga untuk menjaga kepercayaan dari para pihak yang kerahasiaannya

dijaga oleh Notaris.

Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, timbul pertanyaan apakah Notaris

memang benar-benar tidak dapat memberikan keterangan baik itu dalam proses penyidikan,

penuntutan maupun dipersidangan. Notaris berada diposisi yang sulit untuk menentukan

apakah akan memberikan kesaksian atau tetap berpegang pada aturan yang berlaku yakni

merahasiakan segala sesuatu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Disatu sisi apakah

Notaris akan memberikan kesaksian dengan pertimbangan untuk kepentingan masyarakat

umum atau Notaris akan menjaga kepentingan jabatannya.

Pengawasan Majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris

Pengawasan yang dilakukan terhadap Notaris merupakan salah satu bentuk

perlindungan hukum baik itu terhadap Notaris maupun terhadap masyarakat yang

mempergunakan jasa Notaris. Tujuan dilakukannya pengawasan oleh Majelis Pengawas agar

dalam menjalankan tugasnya, Notaris selalu mengikuti semua persyaratan yang berkaitan

dengan tugas.

Pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris dan Dewan

Kehormatan yang merupakan alat perlengkapan dari Pengurus Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris agar dalam menjalankan

tugas jabatannya selaku pejabat umum memenuhi segala persyaratan yang berkaitan dengan

tugas jabatan Notaris seperti yang sudah diatur dalam UU-JN demi memberikan kepastian

hukum dan melindungi kepentingan masyarakat yang memerlukan jasanya.

Majelis Pengawas sendiri terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas

Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. Masing-masing Majelis pengawas memiliki

Page 10: Kurniawan Agung Yasin

kewenangan dan kewajiban tersendiri yang sudah diatur dalam UU-JN. Salah satu

kewenangan dari Majelis Pengawas Daerah adalah menyelenggarakan sidang untuk

memeriksa atas adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan

jabatan notaris (Pasal 70 poin a UU-JN). Disini dapat kita lihat adanya kesamaan wewenang

antara tugas Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan. Untuk menghindari tumpang tindih

pengawasan mengenai pelanggaran kode etik, perlu diberi batasan antara kedua instansi ini

mengenai ruang lingkup pengawasan agar tidak terjadi pengawasan yang tumpang tindih.

Pengawasan terhadap Notaris oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Pengawasan terhadap Notaris selain dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris juga

dilakukan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Dewan Kehormatan. Selain melakukan

pengawasan, Dewan Kehormatan yang merupakan alat perlengkapan dari INI juga berwenang

untuk memberikan sanksi terhadap Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran.

Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan organisasi INI lebih dikhususkan

terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan Kode Etik Notaris.

Sama halnya dengan Majelis Pengawas Notaris, Dewan Kehormatan juga terdiri dari

Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan Dewan Kehormatan Pusat.

Masing-masing Dewan Kehormatan memiliki kewenangan dan kewajiban masing-masing

yang diatur dalam kode etik Notaris.

Dewan kehormatan bertugas untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan dan

menjatuhkan sanksi terhadap pelaksanaan kode etik notaris yang meliputi kewajiban, larangan

maupun pengecualian yang harus dilakukan oleh Notaris. Selain melakukan pemeriksaan

terhadap Notaris yang diduga melakukan pelanggaran kode etik, dewan kehormatan juga

berhak untuk menjatuhkan sanksi bilamana Notaris telah terbukti melakukan pelanggaran

terhadap kode etik notaris.

Pengawasan atas pelaksanaan kode etik yang dilakukan oleh Pengurus Daerah INI dan

Dewan kehormatan dilakukan dalam 3 tingkatan. Pada tingkat pertama pengawasan dilakukan

oleh Pengurus Daerah INI dan Dewan Kehormatan Daerah. Pada tingkat banding dilakukan

oleh Pengurus Wilayah INI dan Dewan Kehormatan Wilayah. Dan pada tingkatan yang

terakhir dilakukan oleh Pengurus Pusat INI dan Dewan Kehormatan Pusat.

Sanksi Terhadap Notaris yang terdapat dalam UU-JNSanksi merupakan instrumen yuridis yang diberikan apabila kewajiban atau larangan

yang terdapat dalam aturan hukum dilanggar. Dalam kaitannya dengan Notaris, Majelis

Pengawas Notaris memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yang

terbukti melakukan pelanggaran.

Page 11: Kurniawan Agung Yasin

Namun tidak semua Majelis Pengawas Notaris bisa menjatuhkan sanksi terhadap

Notaris. Yang berwenang untuk memberikan sanksi terhadap Notaris adalah Majelis

Pengawas Wilayah yang memberikan sanksi teguran lisan/tertulis dan Majelis Pengawas

Pusat yang memberikan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi pemberhentian sementara

ini merupakan sanksi yang diberikan kepada Notaris sambil menunggu untuk dijatuhkan

sanksi yang lain yang diusulkan oleh Majelis Pengawas Pusat ke Menteri Hukum dan HAM

seperti sanksi pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian dengan tidak hormat..

Dalam UU-JN diatur mengenai sanksi yang diberikan terhadap Notaris apabila

melanggar ketentuan/aturan yang terdapat dalam UU-JN. Dalam UU-JN ada 2 macam sanksi

yang dapat dijatuhi terhadap Notaris. sanksi tersebut adalah sanksi administratif (Pasal 85

UU-JN) dan sanksi perdata (Pasal 84 UU-JN).

Sanksi Administratif

Ketentuan dari Pasal 85 UU-JN adalah: ”pelanggaran ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1)

huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16

ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j,

Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58,

Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa:Teguran lisan;Teguran

tertulis;Pemberhentian sementara;Pemberhentian dengan hormat; atau Pemberhentian dengan

tidak hormat.

Menurut Philipus M. Hadjon, parameter jenis sanksi administratif terdiri dari: Paksaan

pemerintahan (bestuursdwang); Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang

menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi);Pengenaan denda administratif; Pengenaan uang

paksa oleh pemerintah (dwangsom) (Sjaifurrachman dkk., 2011).

Dalam Pasal 85 UU-JN, ada 5 jenis sanksi administratif yang bisa dikenakan pada

seorang Notaris. Sanksi tersebut dikenakan secara berjenjang mulai dari teguran lisan, teguran

tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan yang terakhir adalah

pemberhentian tidak hormat. Sanksi-sanksi administratif ini merupakan sanksi internal yang

diberikan terhadap Notaris yang dalam melaksanakan tugasnya tidak melakukan tindakan-

tindakan yang seharusnya dilakukan notaris karena sudah diatur dalam UU-JN.

Pemberian teguran lisan dan selanjutnya teguran tertulis bertujuan untuk memberikan

kesempatan pada Notaris untuk membela diri melalui banding. Sedangkan untuk sanksi

pemberhentian sementara atau skorsing dimaksudkan agar Notaris tidak melaksanakan

tugasnya untuk sementara waktu, sebelum sanksi pemberhentian dengan hormat maupun

Page 12: Kurniawan Agung Yasin

pemberhentian tidak hormat dijatuhkan pada Notaris. Pemberian sanksi pemberhentian

sementara dapat berakhir dalam bentuk pemulihan kepada Notaris untuk menjalankan tugas

jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan pemberhentian dengan hormat maupun

pemberhentian tidak hormat.

Pemberian sanksi administratif terhadap Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas.

Namun tidak semua Majelis Pengawas Notaris bisa menjatuhkan sanksi terhadap Notaris.

Yang memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi terhadap Notaris adalah Majelis

Pengawas Wilayah yang memberikan sanksi teguran lisan/tertulis dan Majelis Pengawas

Pusat yang memberikan sanksi pemberhentian sementara. Sanksi pemberhentian sementara

ini merupakan sanksi yang diberikan kepada Notaris sambil menunggu untuk dijatuhkan

sanksi yang lain yang diusulkan oleh Majelis Pengawas Pusat ke Menteri Hukum dan HAM

seperti sanksi pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian dengan tidak hormat.

Sanksi Perdata

Mengenai sanksi perdata yang bisa dikenakan terhadap Notaris dijelaskan dalam Pasal

84 UU-JN.

Ketentuan dari Pasal 84 UU-JN adalah:

tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.Dalam Pasal 84 disebutkan bahwa akta Notaris karena kesalahan Notaris bisa menjadi

akta dibawah tangan bahkan akta Notaris bisa batal demi hukum. Akibatnya, para pihak yang

menderita kerugian karena akta yang dibuat di Notaris menjadi akta dibawah tangan atau batal

demi hukum bisa menuntut penggantian biaya, ganti rugi atau bunga pada Notaris.

Sanksi Kode Etik Notaris

Dalam Pasal 83 ayat (1) UU-JN disebutkan bahwa Ikatan Notaris Indonesia (INI)

adalah Organisasi Notaris. Dalam kongres Luar Biasa yang dilakukan di bandung pada tahun

2005, INI telah menetapkan kode etik yang terdapat pada pasal 13 anggaran dasar. Kode etik

ini berlaku bagi seluruh anggota INI.

Pemberian sanksi-sanksi tersebut disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang

dilakukan oleh Notaris. Sebelum dijatuhi sanksi, dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan yang

dilakukan oleh dewan kehormatan. Dewan kehormatan sendiri merupakan alat perlengkapan

dari organisasi INI yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran

Page 13: Kurniawan Agung Yasin

kode etik dan menjatuhkan sanksi terhadap Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran

kode etik.

Pemeriksaan maupun pemberian sanksi terhadap Notaris oleh dewan kehormatan

dilakukan pada tiga tingkatan. Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi awalnya dilakukan pada

tingkatan pertama yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah. Yang kedua adalah

pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada Tingkat banding yang dilakukan oleh Dewan

Kehormatan Wilayah. Sedangkan tingkatan yang ketiga, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi

tingkat terakhir yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Pusat. Semua putusan yang

ditetapkan oleh Dewan Kehormatan, baik itu Dewan Kehormatan Daerah, Dewan

Kehormatan Wilayah, maupun Dewan Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh pengurus INI

Daerah.

Sanksi Pidana Terhadap Notaris

Sanksi yang diatur dalam UU-JN adalah sanksi administratif dan sanksi perdata.

Sedangkan dalam kode etik juga terdapat sanksi yang bisa dikenakan terhadap Notaris. Dari

UU-JN dan kode etik notaris tidak kita temukan adanya sanksi pidana yang bisa dikenakan

terhadap Notaris. Namun hal tersebut bukan berarti seorang Notaris tidak bisa dijatuhi sanksi

pidana. Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang notaris terhadap akta yang dibuatnya selain

bisa dijatuhi sanksi administratif, sanksi perdata maupun kode etik bisa juga dikualifikasikan

sebagai tindak pidana.

Keenam aspek diatas jika dilanggar oleh Notaris selain bisa dijatuhi sanksi yang telah

diatur dalam UU-JN yaitu sanksi perdata maupun sanksi administratif, bisa juga di selesaikan

secara pidana dengan anggapan bahwa Notaris sudah membuat surat palsu atau memalsukan

akta. Aspek-aspek yang dijadikan dasar untuk memidanakan Notaris merupakan aspek formal

dari sebuah akta. Dalam UU-JN telah diatur apabila seorang Notaris melakukan pelanggaran

terhadap aspek-aspek formal dalam pembuatan akta maka terhadap Notaris bisa dijatuhi

sanksi perdata atau sanksi administratif tergantung jenis pelanggaran apa yang dilanggar oleh

Notaris.

Apabila dalam akta yang dibuat Notaris terdapat pernyataan atau keterangan yang

diduga palsu tidak menyebabkan akta tersebut menjadi akta palsu. Sebagai contoh dalam akta

otentik dimasukkan keterangan berdasarkan identitas (Kartu Tanda Penduduk) para yang

diperlihatkan pada Notaris yang dan dari pengamatan Notaris secara fisik KTP tersebut adalah

asli. Namun dikemudian hari Kartu Tanda Penduduk tersebut ternyata palsu. Hal seperti ini

tidak berarti Notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu kedalam akta

Page 14: Kurniawan Agung Yasin

Notaris. Karena secara materiil, hal tersebut bukan menjadi tanggungjawab Notaris,

melainkan tanggungjawab para pihak itu sendiri.

Kasus seperti ini sama persisnya dengan kasus yang penulis temukan. Dimana

Notaris/PPAT dijadikan tersangka oleh penyidik dengan tuduhan memasukkan keterangan

palsu ke dalam akta otentik yang dalam kasus ini adalah akta jual beli. Yang dipalsukan

adalah Kartu Tanda Penduduk para pihak. Menempatkan seorang Notaris sebagai Tersangka

pada kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa adanya pihak-pihak yang belum begitu

paham dengan dunia Notaris.

Yang bisa dijadikan dasar untuk menuntut Notaris secara pidana adalah aspek-aspek

formal dari sebuah akta. Hal itupun bisa dilakukan bilamana dapat dibuktikan aspek-aspek

formal tersebut dilanggar dengan sengaja dilakukan oleh Notaris sendiri maupun bersama-

sama dengan para pihak untuk dijadikan alat dalam melakukan tindak pidana.

Tanggung Jawab Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta

Notaris/PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dibebani

oleh tanggung jawab atas perbuatan yang berhubungan dengan pembuatan akta. Tanggung

jawab tersebut berupa kebenaran isi dari akta yang dibuat dihadapan atau oleh dirinya sendiri.

Tanggung jawab notaris/PPAT meliputi tanggung jawab Hukum dan Tanggung Jawab Moral.

Tanggung jawab hukum meliputi tanggung jawab administrasf, tanggung jawab perdata, dan

tanggung jawab pidana.

Berbicara mengenai tanggung jawab seorang Notaris/PPAT, dalam Pasal 65 UU-JN

telah dijelaskan mengenai tanggungjawab seorang Notaris, Notaris Pengganti, Notaris

Pengganti Khusus dan Pejabat sementara Notaris.

Ketentuan dari Pasal 65 UU-JN itu sendiri adalah:

“Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol”.Dari ketentuan Pasal tersebut, muncul pendapat bahwa pertanggungjawaban Notaris

terhadap akta yang dibuatnya berlaku terus walaupun Notaris tersebut sudah tidak lagi

memangku jabatan sebagai seorang Notaris dan protokol Notarisnya telah diserahkan pada

pihak yang menyimpan protokolnya tersebut.

Ketentuan dari Pasal 65 UU-JN merupakan ketentuan yang dirasakan tidak adil bagi

kalangan Notaris/PPAT. Hal ini disebabkan tidak dikenal adanya tanggung jawab mutlak

yang tidak memiliki batas waktu. Semua jabatan baik itu jabatan di pemerintahan maupun

organisasi memiliki batasan. Batasan ini baik dari sisi batasan mengenai kewenangan, dan

Page 15: Kurniawan Agung Yasin

batasan waktu menjabat sebuah jabatan. Batasan waktu disini adalah tanggung jawab dari

suatu pejabat sepanjang yang bersangkutan memangku jabatan, sehingga bila jabatan

seseorang telah selesai maka tanggung jawab yang bersangkutan juga berhenti dengan

sendirinya.

PEMBAHASAN

Penelitian ini memperlihatkan Perlindungan Hukum terhadap Notaris dilakukan secara

preventif maupun secara represif. Perlindungan secara preventif antara lain melalui aturan-

aturan yang terdapat UU-JN, Kode Etik Notaris, Pengawasan baik yang dilakukan oleh

Majelis Pengawas Notaris maupun Dewan Kehormatan. Berkaitan dengan pembuatan akta,

bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris dijelaskan pada Pasal 4 ayat (2) UU-JN

mengenai sumpah/janji Notaris dan Pasal 16 ayat (1) huruf e. Ketentuan dari kedua pasal

tersebut mengenai kewajiban Notaris untuk menjaga kerahasiaan atas akta yang dibuatnya

demi melindungi kepentingan dari semua pihak yang terkait dengan akta. Pengawasan yang

dilakukan Majelis Pengawas Notaris maupun Dewan Kehormatan bertujuan untuk

memberikan perlindungan hukum kepada Notaris dan masyarakat yang mempergunakan jasa

Notaris. Pengawasan yang dilakukan oleh 2 institusi ini dimaksudkan agar dalam

melaksanakan tugas selaku pejabat umum, Notaris tetap berpedoman pada ketentuan-

ketentuan yang ada dalam UU-JN maupun Kode Etik Notaris.

Dari ketentuan Pasal 65 UU-JN tersebut, beberapa pihak beranggapan bahwa

tanggung jawab Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti khusus maupun Pejabat

Sementara Notaris, berlaku mulai dari pembuatan akta sampai Notaris meninggal dunia.

Kalau maksud dari pasal tersebut memang demikian, saya menganggap hal tersebut

merupakan suatu hal yang sangat berlebihan dan tidak adil bagi Notaris.

Tanggung jawab Notaris yang terdapat dalam UU-JN merupakan tanggung jawab

internal dan bilamana dilanggar bisa dikenakan sanksi administratif. Tanggung jawab

tersebut bila kita lihat dari ketentuan Pasal 85 mengenai sanksi administratif adalah

tanggung jawab mengenai apa yang ada dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16

ayat (1) huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf

e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat

(1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, pasal 20, Pasal 27,

Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63,

Akta Notaris adalah alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Namun kekuatan sempurna tersebut akan hilang apabila terbukti melanggar ketentuan

Page 16: Kurniawan Agung Yasin

tertentu. Akta yang tadinya memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna hanya akan

menjadi akta dibawah tangan. Akan tetapi akta dibawah tangan tersebut masih memiliki

kekuatan pembuktian yang sempurna bila para pihak mengakuinya.

Pasal 84 UU-JN mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh

Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16

ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52 yang

berakibat akta yang dibuat Notaris hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta

dibawah tangan atau akta batal demi hukum dapat dijadikan alasan bagi pihak-pihak yang

menderita kerugian akibat hal tersebut untuk menuntut ganti rugi, biaya maupun bunga

terhadap Notaris.

Dalam gugatan di pengadilan, penggugat harus bisa membuktikan apa yang

diingkarinya dalam akta yang digugat. Apabila gugatan tersebut terbukti, akta tersebut tetap

berlaku dan mengikat para pihak yang terkait dalam akta tersebut sepanjang pihak-pihak

tersebut tidak membatalkan akta itu atau atas putusan pengadilan. Yang membedakannya

adalah kemungkinan akta tersebut hanya terdegradasi kedudukannya menjadi akta dibawah

tangan dan nilai pembuktian dari akta dibawah tangan tergantung para pihak atau hakim pada

pengadilan.

Dengan adanya hubungan hukum antara Notaris dan penghadap, dalam pembuatan

akta, Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat sudah sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Sehingga kepentingan dari penghadap terlindungi. Dalam

hal tanggung jawab pidana oleh seorang Notaris/PPAT yang akan dibahas adalah perbuatan

pidana yang dilakukan berkaitan dengan jabatannya selaku pejabat umum yang membuat akta

otentik, bukan bertindak secara pribadi. Pemisahan ini perlu kita ketahui, sehingga kita dapat

mengetahui sejauh mana Notaris/PPAT bertindak sebagai pribadi atau bertindak selaku

pejabat umum.

Dalam hukum tata negara positif, jabatan muncul sebagai pribadi. Malahan jabatan

adalah pribadi yang khas bagi hukum tatanegara. Bukankah hukum tatanegara itu tidak lain

daripada keseluruhan norma khusus, yang berlaku bagi tingkah laku orang-orang yang

dibedakan daripada orang lain hanya oleh karena mereka adalah pemangku suatu jabatan

Negara (Logeman, 2004).

Unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan, memenuhi rumusan peraturan

perundang-undangan, dan bersifat melawan hukum. Bila kita cermati dalam KUHP, tindak

pidana yang memiliki keterkaitan dengan profesi seorang Notaris/PPAT adalah perbuatan

pidana yang berkaitan dengan pemalsuan surat (Pasal 263, 264 dan 266), rahasia jabatan

Page 17: Kurniawan Agung Yasin

(Pasal 322 ayat 1) dan pemalsuan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 416). Pasal 322 KUHP

berkaitan dengan beberapa pasal yang terdapat dalam UU-JN. Diantaranya adalah Pasal 4

mengenai sumpah jabatan dan Pasal 16 ayat 1 huruf e mengenai rahasia Notaris dan klien.

Notaris/PPAT merupakan pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat

akta sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Dimana untuk seorang

Notaris diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris dan untuk

PPAT diatur dalam Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 37 tahun 1998 tentang

peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ajie, 2009a;2011;2009b).

Notaris bisa dijatuhi sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP. Dalam Pasal 63 ayat (2)

KUHP menyebutkan apabila ada suatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan

pidana yang khusus disamping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah

yang dipakai, sebaliknya apabila ketentuan pidana khusus tidak mengatur, maka terhadap

pelanggaran tersebut akan dikenakan pidana umum yaitu KUH Pidana.

Kalau kita cermati lebih teliti, dalam UU-JN sudah dijelaskan mengenai sanksi yang

dapat dijatuhi kepada seorang Notaris/PPAT bilamana dalam melaksanakan tugasnya

melakukan pelanggaran. Dalam UU-JN dijelaskan bahwa bilamana seorang Notaris/PPAT

dalam melaksanakan tugasnya melakukan pelanggaran maka bisa dikenakan sanksi. Sanksi

yang dikenakan bisa berupa sanksi perdata, administrasi maupun kode etik. Tidak ditemui

adanya sanksi pidana yang dijatuhi terhadap seorang Notaris/PPAT bilamana melakukan

pelanggaran dalam pembuatan akta.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sanksi yang bisa dikenakan terhadap Notaris bila terbukti melakukan pelanggaran

adalah sanksi administratif, sanksi perdata, sanksi kode etik yang diatur dalam Kode Etik

Notaris maupun sanksi pidana. Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi terhadap Notaris, pihak

Majelis Pengawas Notaris maupun Dewan Kehormatan melakukan pemeriksaan terhadap

Notaris untuk mengetahui sejauh mana pelanggaran yang dilakukan dan sanksi apa yang akan

dikenakan terhadap Notaris. Sanksi pidana terhadap seorang Notaris dilakukan apabila ada

tindakan hukum yang dilakukan Notaris terhadap aspek formal, dan materiil akta yang dengan

sengaja dilakukan dengan maksud akta tersebut dijadikan dasar untuk melakukan tindak

pidana. Tanggung jawab seorang Notaris dalam pembuatan akta dapat dilihat dari tanggung

jawab administratif, tanggung jawab perdata, dan tanggung jawab pidana.

Page 18: Kurniawan Agung Yasin

Pertanggungjawaban Notaris terhadap akta yang dibuat sebaiknya selama masa jabatan dari

Notaris tersebut. apabila notaris tersebut pensiun, maka sampai disitu juga

pertanggungjawabannya terhadap akta-akta yang dibuat. Pelaporan tindak pidana yang

dilakukan terhadap Notaris sebaiknya dilakukan sebagai upaya hukum yang terakhir setelah

dapat dibuktikan bahwa Notaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan

tugasnya. Karena dalam UU-JN telah diatur mengenai sanksi adminstratif maupun perdata

yang bisa dijatuhi terhadap notaris yang terbukti melakukan pelanggaran dalam melaksanakan

tugas jabatan.

DAFTAR PUSTAKA

Adjie, Habib. (2009) Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cetakan kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.

__________, Hukum Notaris Indonesia, Tafsiran Telematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, cetakan kedua. PT. Refika Aditama, Bandung, 2009.

__________, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.

Amiruddin dan Asikin.(2010).Zainal Pengantar Metode Penelitian Hukum. Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal 30

Fajar,Mukti dan Yulianto Achmad. (2010). Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, , hal 156

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.39.PW.07.10 Tahun 2004Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012Logeman.(2004).Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Ichtiar Baru-Van Hoeve,

Jakarta, hal 117Laporan Polisi Nomor LP/05/I/2008/Dit Reskrim Nota kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris

Indonesia Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 66 Undang-Undang –JNPasal 85 Undang-Undang –JNPasal 84 Undang-Undang –JNPengurus Pusat INI.(2008). Jati diri Notaris Indonesia, dulu sekarang dan yang akan datang, ,

Jakarta, hal 238.Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007Sjaifurrachman & Habib Adjie.(2011). Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan

Akta, Mandar Maju, Bandung, , hal 205Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris