86
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI JAKARTA 2013

LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH …dpd.go.id/upload/lampiran/CmA2MaQQPx_20160302.pdf · DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRANKEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI

JAKARTA 2013

980

981

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/DPD RI/II/2013-2014

TENTANGRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersifat Khusus atau yang bersifat Istimewa yang diatur dengan undang-undang;

b. bahwa masyarakat Bali memiliki kekhususan dalam nilai-nilai sosial budaya, pengetahuan, norma, adat istiadat, seni, dan tradisi luhur yang mengakar serta menjadi bagian kebudayaan nasional yang bercirikan bhinneka tunggal ika yang menjadi daya tarik di bidang pariwisata dan yang memberi manfaat bagi kepentingan nasional;

c. bahwa dalam rangka lebih menjamin keajegan nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan pelestarian Lingkungan Hidup, serta mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi bagi masyarakat Bali perlu disusun Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali;

d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya;

e. bahwa Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite I sesuai dengan lingkup tugasnya telah mengambil prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali dan telah disampaikan kepada Panitia Perancang Undang-Undang untuk dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi;

f. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud huruf e telah disampaikan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali;

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

982

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia 2007-2009;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna Ke-8Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang II Tahun Sidang 2013-2014Tanggal 20 Desember 2013

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI.

PERTAMA : Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

KEDUA : Isi dan rincian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN,Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

983

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

BAGIAN KESATUNASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …TENTANG

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI

JAKARTA2013

984

985

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Kebutuhan untuk merumuskan regulasi mengenai otonomi khusus bagi Provinsi Bali

semakin mendesak. Hal ini terkait dengan dua pertimbangan berikut ini: Pertama, aspirasi masyarakat Bali untuk menuntut pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Bali tidak pernah “padam”. Aspirasi itu sudah mulai muncul sejak tahun 1999 yang diusung oleh berbagai komponen masyarakat Bali. Selanjutnya, aspirasi masyarakat Bali tersebut telah mendapatkan penerimaan politik dan didukung secara resmi oleh pemerintahan daerah, baik pada level Provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota se-Bali. Pada tahun 2005, DPRD Provinsi Bali membentuk Panitia Khusus untuk merumuskan RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali. Bahkan, Pansus Otsus Bali DPRD Bali telah berhasil merumuskan RUU Otonomi Khusus Bali yang disertai Naskah Akademiknya. Tidak berhenti sampai disitu saja. Pada tahun 2012, aspirasi otonomi khusus bagi Provinsi Bali kembali mengemuka melalui Gerakan Forum Perjuangan Hak Bali. Hal ini menegaskan bahwa secara sosiologis-politis, masyarakat Bali, dalam kurun waktu sepuluh tahun terahir, secara ajeg telah mengartikulasi dan memperjuangkan aspirasi kepada Pemerintah Pusat untuk memperoleh status sebagai daerah khusus.

Pesan maupun substansi argumen yang disampaikan ke Pemerintah Pusat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini juga sangat jelas bahwa Provinsi Bali memiliki sifat kekhususan/ asimetrisme yang memerlukan pengaturan yang juga bersifat khusus dalam kerangka regulasi nasional. Wacana sifat kekhususan yang dimunculkan mulai dari keunikan dalam adat budaya dan agama, kekhususan Bali sebagai keunggulan nasional di bidang pariwisata, keadilan dalam perimbangan keuangan sampai dengan kebutuhan “one island, one management” dalam mengatasi problem Bali.

Dalam hal keunikan budaya dan adat, sampai saat ini, di desa-desa di Bali masih hidup dua sistem pemerintahan desa atau dengan nama lain yaitu Desa Pakraman dan Desa Dinas. Desa-desa Pakraman ini memiliki kewenangan dan otonomi asli yang sangat kuat di dalam mengatur wilayahnya sendiri. Desa Pakraman memiliki peraturan kekayaan desa dan sistem keamanan sendiri. Hal ini merupakan warisan dari hak asal usul yang sudah mengakar secara turun temurun yang sekaligus juga menjadi salah satu daya tarik pariwisata. Selain Desa Pakraman, Bali juga memiliki sistem Subak suatu sistem pengairan tradisional yang sudah diakui di seluruh dunia dan menjadi salah satu warisan budaya dunia. Semua warisan adat budaya di atas diharapkan mendapatkan perlindungan melalui UU Otonomi Khusus.

Selain itu, perkembangan dinamika pemerintahan dan pembangunan, Bali memerlukan suatu sistem “One Island, One Management System”. Kebutuhan penataan sistem pemerintahan dan pembangunan semakin mendesak karena Bali hanya sebuah pulau kecil dan memiliki sumberdaya yang terbatas. Oleh karena itu, diperlukan sistem integrasi manajemen, terutama dalam kepariwisataan dan tata ruang sehingga pembangunan bisa berjalan lebih merata dan lebih mudah dikelola untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat Bali.

Kedua, dalam perkembangan berikutnya, aspirasi yang diperjuangkan oleh berbagai komponen masyarakat Bali tersebut, telah mendapatkan respon dari Pemerintah Pusat dengan menjadikan agenda otonomi khusus Bali sebagai bagian dari agenda proses legislasi nasional sejak tahun 2005-2009, dan dilanjutkan dalam Prolegnas 2010-2014. Walaupun sudah masuk dalam prolegnas dalam sepuluh tahun tahun terakhir, namun RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali serta Naskah Akademiknya, belum pernah dirumuskan dan menjadi prioritas pembahasan oleh DPR RI maupun Pemerintah.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pengaturan mengenai otonomi khusus Bali bukan saja perlu segera dirumuskan, tetapi juga harus mendapatkan prioritas dalam proses legislasi nasional. Sehubungan dengan itu, DPD RI mengambil inisiatif untuk menyusun Rancangan Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali dan Naskah Akademiknya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusional kepada DPD RI seperti tercantum dalam pasal 22 D ayat (1) UU D 1945 bahwa Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

INDENTIFIKASI MASALAHDengan melihat urgensi dan relevansi pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi

Bali seperti dipaparkan di atas, maka pertanyaan yang dirumuskan dalam Naskah Akademik ini adalah sebagai berikut:1. Apakah Otonomi Khusus untuk Provinsi Bali memiliki pijakan /landasan konstitusional,

sosiologis-politis dan teoritis? Apa yang bisa menjadi landasan dari pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali?

986

2. Apa saja yang menjadi muatan yang bersifat khusus dalam UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali?

B. TUJUANNaskah Akademik ini dimaksudkan untuk memberikan basis argumen akademik bagi

pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali. Dengan demikian tujuan Naskah Akademik ini meliputi:1. Memberikan pijakan perspektif teoritik, komparatif dan empirik dalam pengaturan otonomi

khusus bagi provinsi Bali;2. Mengidentifikasi dan menganalisis landasan filosofis, konstitusional, dan sosiologis dalam

pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali;3. Mengidentifikasi jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup muatan/substansi

pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali.C. KEGUNAAN

Naskah Akademik ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau konstribusi sebagai berikut:

1. Bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan adalah untuk menyajikan landasan pijak yang objektif dan komprehensif tentang urgensi dan relevansi otonomi khusus bagi Provinsi Bali sehingga diharapkan berguna untuk memahami aspirasi kekhususan Provinsi Bali;

2. Bagi DPD RI adalah untuk memperjelas aspirasi yang selama ini berkembang berupa tuntutan masyarakat Bali untuk mendapatkan status otonomi khusus bagi Provinsi Bali, untuk ditindaklanjuti dalam tahap berikutnya sesuai dengan kewenangan legislasi DPD RI dalam pembentukan undang-undang; dan

3. Bagi masyarakat Bali adalah untuk mewujudkan aspirasi otonomi khusus bagi Provinsi Bali dalam proses legislasi di tingkat Pusat.

D. METODE Naskah Akademik ini diawali dengan penelitian dengan metode penelitian

deskriptif analitis.1 Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bersifat pemaparan dalam rangka menggambarkan selengkap mungkin tentang suatu keadaan yang berlaku di tempat tertentu, atau suatu gejala yang ada, atau juga peristiwa tertentu yang terjadi dalam masyarakat dalam konteks penelitian.2 Selanjutnya dalam penelitian ini dilakukan pendekatan undang-undang (statute approach).

Selain itu juga digunakan pendekatan sejarah hukum (historical approach) dalam rangka pelacakan sejarah pengaturan dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari aturan hukum dari waktu ke waktu yang dalam hal ini adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia. Disamping itu, melalui pendekatan demikian peneliti juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut.3

Pendekatan berikutnya yang digunakan adalah perbandingan hukum (comparative of law). Pendekatan perbandingan hukum berfungsi untuk mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, termasuk menelaah kesesuaian antara kaidah hukum yang satu dengan yang lain, serta membandingkannya dengan kenyataan yang terjadi (praktik).4 Pendekatan perbandingan hukum ini penting dalam rangka untuk mengetahui apakah terdapat konsep-konsep hukum yang bersifat universal dan apakah perbedaan-perbedaan yang ada merupakan suatu penyimpangan dari konsep-konsep hukum tersebut. Berkait erat dengan objek penelitian dan latar belakang penelitian maka dipilih tiga negara yang dijadikan komparasi yaitu: Filipina, Spanyol, dan Inggris.

Sesuai dengan sistematika dan pendekatan penelitian maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) dengan mengadakan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek yang diteliti sehingga didapat data sekunder5 dalam penelitian ini mencakup:

a. Bahan hukum primer yaitu berupa:

1 Menurut Kamus Bahasa Indonesia, “analitis” (analisistis) artinya adalah bersifat analisis. Sedangkan arti analisis di antaranya adalah “proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya”. Lihat Sulchan Yashin (Ed.), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KBI-Besar) Serta: Ejaan Yang Disempurnakan Dan Kosa Kata Baru, Surabaya: Amanah, 1997, hlm. 34.

2 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 50; Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 10; Bambang Soepeno, Statistik Terapan dalam Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial & Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 2-3.

3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 1264 Lili Rasjidi, Monograf: Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Bandung:

UNPAD, 2005, hlm. 45 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 155-164

987

1) Konstitusi:- Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, meliputi: UUD 1945,

Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD Negara Republik Indonesia 1945;- Konstitusi Filipina; - Konstitusi Italia;- Konstitusi Spanyol; dan- Kebiasaan Ketatanegaraan Inggris.

2) Undang-Undang:- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Papua;- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh;- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan

Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia;

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta;

- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang;

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang;

- Peraturan Perundang-undangan di Filipina yang mengatur otonomi asimeteris;- Peraturan Perundang-undangan di Italia yang mengatur otonomi asimeteris;- Peraturan Perundang-undangan di Spanyol yang mengatur otonomi asimeteris; dan- Peraturan Perundang-undangan di Inggris yang mengatur otonomi asimeteris.

b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa makalah, buku-buku yang ditulis oleh para ahli, hasil penelitian, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan otonomi asimetris.

c. Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan-bahan yang menunjang bahan hukum primer dan sekunder antara lain: Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, dan lainnya.

Data dalam penelitian ini dikumpukan melalui studi kepustakaan (library research), Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rapat Kerja dengan Pakar/Ahli dan Lembaga Negara, pencarian data melalui internet (online research), dan studi lapangan (field research). Studi kepustakaan dan pencarian data melalui internet dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder (bahan hukum primer, sekunder, dan tertier). Studi lapangan dilakukan dengan focus group discussion (FGD) dan Indeepth Interview untuk memperoleh data primer. FGD dilakukan dengan peserta dari pihak Dewan Perwakilan Daerah, masyarakat serta ahli di bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Perbandingan Otsus di Indonesia, dan Substansi Kekhususan Bali. Indeepth Interview dilakukan dengan kepala daerah, tokoh masyarakat dan LSM/Ormas.

Data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif melalui tiga tahapan model alur, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Hasil analisis data primer digunakan untuk menunjang hasil analisis data sekunder dalam penarikan kesimpulan.

Selanjutnya, dari data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif6. Dalam analisis ini, dilakukan analisis berdasarkan teori atau konsep yang dimuat dalam kerangka pemikiran untuk mengkaji dan menjawab permasalahan dalam penelitian. Hasil yang diperoleh akan dituangkan dalam bentuk deskriptif. Proses analisis dilakukan dengan pengelompokan bahan hukum yang terkumpul dan mempelajarinya untuk menemukan prinsip-prinsip yang akan menjadi pedoman pembahasan.7 Prinsip-prinsip tersebut diperoleh dengan penafsiran terhadap bahan-bahan hukum serta konteks ruang dan waktu dokumen tersebut dibuat.8 Dengan kata lain, analisis terhadap data yang ada dianalisis berdasarkan kaidah-kaidah interpretasi dan konstruksi hukum.

6 Lili Rasjidi, Op. Cit., hlm. 47 James E. Mauch and Jack W. Birch, Guide to the Successful Thesis and Desertation, Third Edition,

New York: Marcel Dekker Inc., 1993, hlm. 115. 8 Asshiddiqie, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind. Hill-Co, 1998, hlm. 14.

988

BAB IIKAJIAN TEORITIS, KOMPARATIF DAN PRAKTIK EMPIRIK

A. KAJIAN TEORITISA.1. Sistem Desentralisasi di Indonesia

Indonesia memilih sistem negara kesatuan dengan menetapkan pilihan pada penerapan desentralisasi. Alasan mendasar bagi desentralisasi adalah tercapainya efektifitas pemerintahan dan terlaksananya demokrasi dari bawah (Kaho, 1988). Pemenuhan tujuan tersebut dapat terlaksana manakala pemerintahan merespon keadaan - keadaan real yang ada dalam pertimbangan kekhususan-kekhususan daerah baik secara geografis, sosial, maupun politik. Efektifitas pemerintahan tentunya tidak mungkin tercapai dengan sentralisasi oleh karenanya dibutuhkan pengembangan desentralisasi teritorial dan dekonsentrasi teritorial. Dalam pilihan penataan ini, payung regulsi dalam UUD 1945 terutama pasal 18 memberikan arahan tersebut walaupun masih sumir.

Ketidakjelasan ini karena pertimbangan dan pola dalam pembagian kewenangan dan urusan berpijak dari nalar pusat mengatur daerah. Faktor ini menimbulkan ketegangan penerapan desentralisasi yang mengharuskan pemberian hak bagi daerah dalam pengelolaan kewenangan sendiri, atau otonomi daerah dengan nalar pusat untuk mengatur kebebasan ini.

Pergulatan pembagian kewenangan atau urusan dalam desentralisasi tidak bisa dipisahkan dari hal-hal apa yang di sentralisasi. Sulit ditemukan dalam konseptual maupun praktikal, tiap negara mengatur kewenangan dengan hanya mengadopsi satu dari dua hal ini. Dalam fokus perhatian untuk menerapkan pola atau teknik pengaturan urusan dan kewenangan, ada 4 tipologi sistem (lihat tabel) yang memungkinkan untuk di lihat, yakni sistem residu, sistem material, sistem formil dan sistem real. Masing-masing dari sistem ini feasible untuk dikombinasikan satu dengan yang lainnya.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia selama ini, pelbagai macam prinsip telah digunakan, mulai dengan ajaran rumah tangga material (ultra vires) yang dianut oleh UU 1/45 dan UU 22/48, ajaran Rumah Tangga Formal (General Competence) dengan variasinya yaitu otonomi riil dan seluas-luasnya (UU 1/57; Penpres 6/59 disempurnakan dan Penpres 5/1960 (disempunakan); UU 18/65; UU 22/1999; UU 32/2004). Variasi berikutnya adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab (UU no 5/1974). Secara singkat, uraian tentang kebaikan dan kelemahan sistem ini dapat dipaparkan sebagai berikut; (1) Rumah Tangga Material : urusan-urusan rumah tangga daerah diperinci satu-persatu secara

mendetil dan pasti. Kebaikan dari sistem ini adalah adanya kepastian dan kejelasan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Sedangkan, kelemahannya menunjukkan bahwa kewenangan daerah yang kuat dirasakan sangat terbatas sebaliknya bagi daerah yang lemah akan dirasakan sangat memberatkan.

(2) Otonomi Formal : daerah dapat menyelenggarakan segala macam selama tidak diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya. Kebaikan dari sistem ini adalah pemberian kewenangan luas dan ada kebebasan untuk memilih bagi daerah. Sedangkan, kelemahannya menunjukkan bahwa tidak jelas batas-batas kewenangan, tumpang tindih, dapat terjadi benturan-benturan kewenangan.

(3) Otonomi Riil dan seluas-luasnya ; daerah-daerah yang baru dibentuk dapat langsung menjalankan pemerintahan/urusan-urusan rumah tangganya karena dalam UU Pembentukannya telah ditetapkan apa yang dikenal dengan sebutan urusan-urusan pangkal. Urusan rumah tangga daerah sewaktu-waktu dapat ditambah melalui penyerahan urusan-urusan kepada daerah dengan memperhatikan kemampuan daerah. Penyerahan urusan rumah tangga dilakukan secara langsung maupun bertingkat dan dilakukan melalui UU atau PP.

(4) Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab : lebih menekankan pada pertanggung jawaban dalam penyelenggaraan otonomi yaitu daya guna dan hasil guna. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah berada dibawah daya guna dan hasil guna. Dengan kata lain demokrasi di/dari bawah berada dibawah hasil guna dan daya guna. Oleh klarena selama UU 5/74 hanya ada 2 kewenangan diserahkan yaitu Urusan Pekebunan dangan PP No 22/1975 dan Pariwisata dengan PP No 24/1979.

Dalam perubahan regulasi dan model pembagian urusan yang dianut, penyerahan urusan-urusan dari nasional ke lokal secara seragam memang lebih praktis dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi desain yang seragam akan sulit disesuaikan jika model dan realitas implementasi belum sejatinya mengakomodasi prinsip demokrasi dan desentralisasi secara substansial; yakni penghormatan terhadap keanekaragaman. Seorang ahli mengatakan bahwa pemerintahan dapat dilaksanakan dengan baik dan berhasil, apabila dalam penyelenggaraannya sesuai dengan keadaan d kondisi daerah. Masing-masing daerah memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang disebabkan oleh perbagai macam faktor seperti geografis (keadaan tanah, iklim, flora dan fauna), adat-istiadat, nilai-nilai, dialek bahasa, kehidupan ekonomi, tingkat pendidikan dan pengajaran, dsb.

989

Penyeragaman dalam penyerahan urusan ini secara fundamental hadir karena faktor dialektika wadah dan isi antara formasi negara (state formation) sebagai wadah dan derajat akomodasi keberagaman kebudayaan sebagai isi. Bagi Amerika semisal, perkembangan negara dan budayanya dapat dikatakan hampir bersamaan. Pada saat negara didirikan, mereka juga mulai mengembangkan budaya Amerika Serikat. Sangat berbeda dengan di Indonesia. Pemikiran tentang negara baru muncul pada awal abad ke-20 sedang budaya telah tumbuh dan berkembang sejak leluhur bangsa Indonesia mendiami pulau-pulau di nusantara ini. Ini mengakibatkan adanya perbedaan-perbedaan dalam menjalankan pemerintahan dari suku bangsa yang satu dengan yang lainnya. Ryaas Rasyid (1997,P39) menyatakan :

“Secara nyata dan obyektif, wilayah Negara kita merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang satu sama lain dipisahkan oleh selat, dan dikelilingi oleh lautan yang sangat luas. Keadaan penduduknya dengan adat-istiadat, kebudayaan dan ragam bahasa daerahnya bermacam-macam, begitu pula keadaan alam dan potensi yang terkandung didalamnya jelas menampilkan masalah-masalah yang satu sama lain berbeda, bahkan memiliki kekhususan-kekhususan. Keadaan yang demikian itu dipandang akan lebih efektif apabila dikelola secara spesifik pula.

Kegagalan corak penyeragaman selalu mengarah kepada sentralisasi, dan menimbulkan contradiction interminis sekaligus melenceng dari spririt konstitusi dasar karena asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sudah ditetapkan menganut asas desentralisasi. Keanekaragaman yang terdapat dalam Negara RI sebenarnya dijamin oleh pasal 18 UUD 1945. Salah seorang Founding Father bangsa ini juga tergolong menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat sendiri-sendiri dalam kader Negara persatuan. Tiap daerah mempunyai historis dan sifat khusus yang berlainan daripada riwayat dan sifat daerah lain. Berhubung dengan itu, pemerintah harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan menguniformisir seluruh daerah menurut satu model”. (The Liang Gie, 1977, p.42-43).

Walaupun spirit untuk akomodasi keberagaman ini kuat. Akan tetapi faktor sejarah regime politik memberikan konteks bahwa keseragaman ternyata tidak hadir dalam ruang yang kosong. Nalar pembagian urusan yang mampu ditetapkan sebagai indikator dalam mengukur derajat akomodasi keberagaman, dalam implementasi realnya sangat tergantung dari perkembangan – perkembangan politik maupun konfigurasi politik pada tiap periodisasi regime politik ( Gie, 1993; Kertapradja, 2009).

Setidaknya ada beberapa model/pola desentraliasi yang responsive atas variasi lokal. Model ini terkait erat dengan bagaimana pola pemerintah daerah dan perbedaan masing-masing pola dalam merespon variasi lokal yang muncul. Merujuk pada Alderfer (1964, p.1) Ia membedakan pemerintahan daerah di dunia ini kedalam 4 pola yaitu (1) Pola Perancis, (2) Pola Aglo –Saxon termasuk Amerika Serikat, (3) Pola Uni Soviet dan (4) Pola Tradisional. Pemerintahan daerah pola perancis dianut oleh Negara-negara bekas jajahan Perancis, Belanda, Portugis, Spanyol. Di Asia antara lain terdapat di Filiphina, Indonesia, Vietnam, Laos, Kamboja, dll. Jepang meskipun tidak dijajah oleh Perancis namun pada era Restorasi Meiji, banyak mengirim warganya untuk belajar politik dan pemerintahan di Perancis, teknologi di Jerman dan ekonomi di Inggris. Itulah sebabnya, Jepang menganut pola perancis ini. Pola Perancis ini masuk ke Indonesia pada saat Belanda dikuasai Napoleon. Untuk mempertahankan Indonesia dari gempuran-gempuran Inggris, Louis Napoleon mengirim Laksamana Daendels yang diangkat sebagai gubernur jendral. Daendles-lah yang menerapkan pola itu. Meskipun demikian, akhirnya Indonesia dikuasai juga oleh Inggris. Dengan konvensi London, akhirnya Indonesia dikembalikan lagi kepada Belanda. Pola penyeragaman diterapkan kembali karena menguntungkan bagi penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. RR 1855, yang sangat sentalistik, UUD desentalisasi 1902, UU Perubahan Desentralisasi 1922 dll, tetap menganut pola penyeragaman ini, sampai sekarang. Pola pemerintahan daerah Perancis memiliki ciri-ciri utama dengan; (a) Kuatnya sentralisasi, (b) Sangat dominannya “Chain of Command”, (c) Eksekutif sangat dominan, (d) Legislatif lemah, (e) Serba seragam, (f) Struktur pemerintannya bertingkat-tingkat. Dan (g) Tujuan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah memperoleh daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya.

Pola Anglo-Saxon dapat dilihat di contoh dari Inggris. Meskipun Inggris adalah suatu Negara kesatuan tetapi tidak menyeragamkan pemerintahan daerahnya. Inggris menghormati keanekaragaman yang dimiliki oleh setiap daerahnya. Keanekaragaman ini disebabkan karena Inggris adalah Negara kepulauan yang menyebabkan adanya heterogenitas. Masing-masing pulau berbeda dengan satu dengan yang lainnya. Lain halnya dengan Perancis, sebagai suatu negara daratan yang homogen. Wilayahnya relatif sempit, penduduknya tidak banyak, bangsa Perancis adalah bangsa yang mononasional, bahasa, bahasa dan budayanya sama. Ciri utama pemerintahan daerah di Inggris adalah: (a) Sangat desentralistis, (b) Badan Legislatifnya dominan, (c) Kooptasi dilakukan melaui sistem komite, (d) Urusan-urusan rumah tangga daerah di Inggris sangat bervariasii, dan (e) Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat tinggi. (Alderfer, 1694, p.10).

990

Watak akomodatif terhadap keanekaragaman dapat dilihat antara lain dalam struktur pemerintahan daerah yang berlainan (tidak seragam) dan asimetris. Mengikuti argument (Byrne, 1985, p. 42-43), Struktur pemerintahannya menunjukkan;

(a) The single tier all purpose authority called “country borough” in England and Wales and countries of cities in Scotland. About 15 million people all about 15 million people all about 25 percent of the population lived under this system in 1965; (b) The two tier system, which existed in the Administrative Country of London, The London Country Council having responsibility over the whole area for such function as education planning, health and housing. About 3 million people or about 5 per cent of the population lived ini LCC area in 1965; about 8 million or 15 per cent lived in the area of greater London; dan (c) The Three tier system of Country District (including Urban District Councils Rural District Councils and \Parishes which operated in the reminder of Britain and this covered about 40 million or about 70 per cent of the population. Under this system, the country Council had responsible for the broader function of education, planning, welfare and police, and the district Council for public health, housing and amenities.

Dari apa yang disebutkan di atas, meskipun Inggris adalah suatu negara kesatuan (unitary state) tetapi tetap mengakui adanya keanekaragaman sehingga menjadi negara kesatuan yang menganut “Federal arrangement”. Masih banyak lagi negara-negara kesatuan seperti Inggris yang menganut federal arrangement. Dengan demikian maka pengaturannya tidak perlu seragam. Bila dibandingkan dengan Inggris, maka keanekaragaman Indonesia jauh lebih tinggi tingkatan heterogenitasnya. Luas wilayah RI 8 juta km2 (daratan 2 juta km2, lautan 6 juta km2); jumlah penduduk 210 juta jiwa dan merupakan Negara ke-4 di dunia dilihat dari jumlah penduduknya; jumlah pulau : 13.677 pulau; suku bangsa : 300 suku bangsa; bahasa daerah : 600 dialek; budaya : beranekaragam, setiap suku bangsa memiliki budayanya sendiri-sendiri; 5 agama besar ada di Indonesia; keadaan geografis berbeda-beda; potensi sumber dayanya pun bervariasi dan sebagainya. A.2. Desain Desentralisasi dengan Corak Keberagaman

Belajar dari banyak hal diatas, arah perkembangan desentralisasi membutuhkan pijakan orientasi yang jelas pada content desain desentralisasi berikut cara dan kapasitas implementasi dari sistem pembagian kewenangan/ urusan dan kedudukan antar level pemerintahan. Respon atas context persoalan yang selama ini lebih berat pada inward looking dalam menjawab problematika ke dalam akan tetapi juga diharuskan menuju kesetimbangan outward looking. Kehirauan terhadap content dan context perubahan desentralisasi9.

Variasi lokal merupakan konteks daerah yang secara natural memiliki keragaman dan perbedaan kebutuhan yang berbeda-beda. Sejumlah variabel yang bisa digunakan untuk membidik perbedaan konteks daerah tersebut adalah ; 1) keragaman sosio-kultural dan politis yang seringkali khas dan spesifik atau kekhasan kebudayaan; 2) politik regional yang muncul akibat dari ketimpangan sosial-ekonomi sebagai implikasi dari politik pembangunan sehingga memunculkan beberapa provinsi menuntut pembagian yang adil dalam hubungan pusat dan daerah seperti halnya Aceh dan Papua; dan 3) kapasitas (un)governability, khususnya dalam hal kemampuan daerah untuk menyediakan pelayanan dasar atau bahkan political goods yang sangat berbeda.

Selain tantangan yang bersifat internal tersebut, pengembangan sistem desentralisasi 9 Secara empiris, ada sejumlah faktor yang ikut menentukan perjalanan otonomi daerah, apakah menampilkan

kabar-kabar baik atau kabar-kabar buruk. Pertama, konteks fondasi dan kultur politik lokal. Tidak sedikit daerah di Indonesia yang mempunyai tradisi primordialisme dan politik kekerabatan yang mendarah daging. Tradisi ini tentu menciptakan patronase dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi dan politik lokal, menampilkan orang-orang kuat yang menjadi “negara bayangan” (pseudo state), sehingga menyuburkan praktik-praktik KKN dan merusak otonomi daerah. Tetapi pemimpin daerah yang mempunyai visi kuat dan akuntabilitas seperti Makassar, Luwu Utara, Gorontalo, atau Aceh Barat Daya ternyata mampu menembus dan meruntuhkan pondasi politik yang buruk itu, sehingga mampu membuat otonomi daerah menjadi lebih bermakna bagi rakyat. Kedua, kekuatan masyarakat sipil. Mereka adalah kalangan terdidik baik di dunia pendidikan maupun organisasi masyarakat, yang mempunyai integritas moral, kritis, beradab dan berpandangan visioner. Mereka menaruh perhatian pada isu-isu publik, antikemapanan, antilokalisme, antikorupsi dan tentu juga kritis terhadap pemerintahan daerah, sehingga mereka menjadi kekuatan kontrol sosial yang memberi makna terhadap daerah. Daerah-daerah yang memiliki kekayaan masyarakat sipil seperti Yogyakarta dan Surakarta tentu akan memberi makna atas otonomi daerah. Banyak pihak mengatakan bahwa Yogyakarta memberi teladan bagi tumbuhnya otonomi daerah yang sejati. Sebaliknya daerah-daerah yang miskin masyarakat sipil cenderung oligarkhis, eksklusif, korup dan terbelakang. Ketiga, cara pandang dan disain desentralisasi yang mengilhami dan tertuang dalam perangkat regulasi. Para kaum institusonalis, misalnya, berkeyakinan bahwa salah satu kunci sukses desentralisasi dan otonomi daerah adalah ketepatan disain institusional yang dipilih dan diterapkan. Disain institusional itu mencakup mulai dari pilihan model desentralisasi sampai dengan persoalan akuntabilitas pemerintah daerah serta pembinaan dan pengawasan. Dalam hal ini tatanan regulasi UU 32/2004 yang dewasa ini mendapat banyak kritik, membawa pengembangan sistem desentralisasi ke depan mutlak memperhatikan kebutuhan untuk merespon variasi lokal. Eko, Sutoro, Workshop DRSP, Yogyakarta, 20-21 April 2009

991

perlu juga mempertimbangkan konteks globalisasi atau eksternal yang semakin dalam menjangkau semua sudut kehidupan. (4) Melindungi kepentingan nasional yang tidak mungkin diemban secara sepihak oleh pusat melainkan juga daerah, semisal dalam respon perkembangan isu-isu security, daerah – daerah perbatasan yang rawan dll10. Dan (5) adalah peran daerah dalam memperkuat kapasitas kompetisi nasional dalam level global. Kecenderungan ini semakin menguat dengan posisi geo-politik maupun geo-ekonomi daerah dalam spektrum kawasan semisal Kalimantan, Bali sangat potensial memajukan daerah sekaligus menguatkan kompetisi kawasan dalam dalam lokus – lokus tertentu semisal ekonomi, eco-tourism, dll.

Keragaman daerah sebagaimana tersirat dalam regulasi dasar pengaturan desentralisasi, UUD 1945, hanya mungkin diakomodasi didesain desentralisasi yang secara proporsional merespon keragaman ini.

Bagan II.1. Persoalan Mendasar dalam Pengaturan DesentralisasiSumber : DRSP Loknas Jakarta, 23-24 Maret 2009

Secara prinsipil, tentu perubahan level desain dan penataan kewenangan/urusan dalam multi-layers pemerintahan memunculkan ruang pengaturan bagi distribusi kewenangan dalam hubungan antar level pemerintahan. Kata kunci selain desain yang secara natural sangat beragam atau asimetris, adalah otoritas atau kewenangan mengelola urusan yang diterjemahkan dengan sejauh mana dan dilevel mana otonomi akan diberlakukan untuk mencapai tujuan mendasar dari desentralisasi.

Bagan II.2. Spektrum Desentralisasi

Sumber : DRSP – Loknas, Jakarta 23-24 Maret 2008

Titik berat otonomi daerah dalam spektrum desentralisasi memunculkan empat varian dimana kemudian letak otonomi akan diberlakukan, yakni (1) desain pemerintahan dengan dua daerah otonom di provinsi maupun kabupaten. Desain ini bersifat konservatif dalam artian dianut dalam UU 32/2004. (2) adalah dua daerah otonom dengan penekanan otonomisasi provinsi mencakup kewenangan khusus dengan mengakomodasi asimetrisme atau kekhususan 10 Semisal dalam faktor yang sangat darurat, daerah memegang peranan penting untuk ikut serta dalam mendukung

kepentingan nasional semisal keamanan. Zaman Belanda mengenalkan peran gubernuer yang berfungsi dalam peran polisional untuk mendeclare kondisi darurat.

Dua Daerah Otonom

(provinsi dan kabupaten/kota

Dua Daerah Otonom

(provinsi dengan kewenangan

khusus dan dan kabupaten/kota

otonom

Satu daerah otonom di Provinsi

sedangkan kabupaten/kota sebagai daerah administratif

Satu daerah otonom di

kabupaten/kota dan

gubernur/wakil gubernur murni

sebagai wakil pemerintahan

pusat

Konservative

Moderat Radikal

992

karakteristik daerah provinsi, (3) adalah satu daerah otonom dengan lokus otonomi di provinsi dan menempatkan kabupaten/kota sebagai daerah administratif. Dan (4) adalah satu daerah otonom dengan satu daerah otonom kabupaten dan menempatkan gubernur/wakil gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat.

Manakala kecenderungan arah desentralisasi ini dikonfirmasikan dengan sifat perubahan yang dikehendaki sesuai dengan tuntutan reformasi UU 32/2004, pilihan masing – masing desain dan implikasi menagerial politik hubungan pusat daerah akan bersifat konservatif, radikan dan moderat. Konservatif dalam spektrum ini adalah penerapan pembagian kewenangan sesuai dengan UU 32/2004 dimana tidak ada perubahan sama sekali. Radikal dimana dapat diartikan adanya desain perubahan secara mengakar dan fundamental terhadap titik berat otonomi dan moderat sebagai pilihan-pilihan yang membuka ruang bagi pendetailan peran provinsi dan gubernur dalam otoritas pengelolaan struktur kedudukan, hubungan antar level, struktur kewenangan/urusan dan hubungan antar kewenangan dalam desain desentralisasi.

Memperhatikan masalah yang muncul sebagaimana dipaparkan di atas, ke depan perlu dibangun sistem yang lebih tegas dan konsisten atas pilihan pola pembagian kewenangan antar level pemerintahan. Ketidakjelasan pola tersebut akan menyebabkan implementasi sistem desentralisasi dihadapkan pada masalah-masalah yang sama dari waktu ke waktu. Pilihan pola/sistem yang tersedia sebagaimana dipaparkan didepan menjadi kerangka untuk menganalisis sistem yang sekiranya visibel dalam kaitan dengan pengembangan pemerintahan yang efektif.

Dari rangkaian sejarah perkembangan desentralisasi dan arah perkembangannya, adanya benang merah yang bisa ditarik adalah pentingnya kebutuhan untuk membangun disain yang bersumber dari jawaban atas variasi-variasi daerah/lokal, maupun respon eksternal. Kehendak untuk melangkah lebih maju terhadap alternatif desain mana yang dipilih seyogyanya juga mendasarkan pada detail masalah UU 32/2004 sebagai simpul persoalan yang juga terselesaikan dalam desain alternatif. Dalam disain desentralisasi sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 dan PP 38/2007 tentang pembagian kewenangan, kecenderungan pola yang dikembangkan adalah sistem ultra vires, dengan basis teritorial, menunjuk pada pendefinisian daerah otonom. Sistem ini dengan kekuatan dan kelemahannya lebih feasible. Walaupun demikian, instrumentasi sistem ini juga harus memperlihatkan praktek kompleksitas masalah terutama dalam hal ketidakjelasan batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh antar level pemerintahan. Sehingga, alternatif yang dikembangkan tidak terjerumus kedalam lubang masalah yang sama.A.3. Desentralisasi Asimetris Asimetrisme dalam desain hubungan pusat daerah memang sangat jamak ditemukan prakteknya di berbagai Negara. Secara umum desain asimetrisme dikembangkan sebagai respon atas penguatan gerakan politik sub-nasional dalam hubungannya dengan pemerintah nasional. Disain asimetrisme yang bentuk kebijakannya sering dilabeli dengan otonomi khusus, merupakan hasil negosiasi antara pemerintah nasional dengan kekuatan politik sub-nasional, sebagai kompensasi atas gerakan pemisahan diri yang umumnya menjadi tuntutan dari entitas sub-nasional. Asimetrisme sebagai peredam gejolak pemisahan diri bisa terkonfirmasi dari kasus-kasus: 1) Quebec di Kanada, 2) Basque di Spanyol, 3) Aland di Swedia, 4) Aceh dan Papua di Indonesia, 5) MORO di Fillipina, dan banyak kasus lainnya. Dengan belajar dari kasus-kasus di atas, motivasi politik adalah dominan dalam proses terbentuknya disain asimetrisme. Asimetrisme dalam logika di atas merupakan respon atas gerakan di entitas sub nasional menuntut pengakuan yang lebih besar dalam teritorial tertentu. Tuntutan pokok dibalik motivasi ini adalah derajat otonomi yang lebih tinggi, berbasis pada klaim hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination). Terbentuknya motivasi ini bisa dikarenakan terpinggirnya atau tidak terepresentasikan sebuah komunitas teritorial dalam sistem politik nasional untuk jangka waktu yang panjang, pengabaian hak-hak sosio-kultural masyarakat, maupun represi politik yang panjang. Dalam kerangka motivasi politik ini, pemerintah nasional sesungguhnya tidak memiliki disain dasar asimetrisme, karena isi asimetrisme sangat ditentukan oleh hasil negosiasi antara pemerintah nasional dengan “pejuang-pejuang” sub-nasional tersebut. Di luar motivasi politik, desain asimetrisme bisa juga dikembangkan dalam kerangka motivasi ekonomi. Pengembangan desain ini dipicu oleh kenyataan bahwa pemerintah lokal tertentu dinilai oleh pemerintah nasional tidak memiliki kapasitas untuk menyediakan dan mengelola pelayanan publik secara efisien atau dengan standar minimal tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintahan lokal sederajat lainnya. Bahwa desentralisasi harus mempertimbangkan aspek efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pelayanan publik dan pengembangan ekonomi. Motivasi ini berangkat adanya ketidaksetaraan masing-masing daerah dalam menyelenggarakan fungsi desentralisasi, baik karena faktor geografis dan demografis, sejarah/tradisi pemerintahan, maupun kemampuan keuangan daerah. Tujuan akhir dari desentralisasi asimetris adalah memastikan sebuah daerah memiliki kapasitas menjalankan fungsi-fungsi dasar pemerintahan secara baik dalam standar yang ditentukan. Kasus pelaksanaan desentralisasi di Namibia, dimana pemerintah nasional secara aktif memberikan asistensi bagi pemerintah lokalnya untuk memastikan terselenggaranya pemerintahan lokal secara baik adalah contoh baik. Selain untuk menguatkan kapasitas pemerintahan lokal, desain asimetrisme dalam kerangka ekonomi juga menjadi kerangka pengembangan kawasan-kawasan ekonomi

993

tertentu. Pemerintah nasional dalam hal ini bisa membentuk dan memberikan otoritas khusus untuk mengembangkan ekonomi bagi sejumlah kawasan yang memiliki potensi besar untuk berkembang, atau sebagai simpul ekonomi nasional. Kasus Hongkong dan Macau dalam kontek China, dan ZEE Batam pada masa Orde Baru adalah contoh kawasan khusus dengan mandat dan pertimbangan ekonomi. Dengan memperhatikan motivasi perumusan asimetrisme di atas, bisa disimpulkan bahwa desain tersebut tidak hanya merujuk pada kebutuhan nasional untuk merespon ketegangan anatara pemerintah nasional – lokal, namun juga terkait dengan visi pengembangan governability dan penguatan ekonomi. Desain asimetrisme bisa dirancang dalam dua kesadaran tersebut. Selanjutnya, asimetrisme dengan mengikuti logika pikir di atas juga tidak semata-mata menjadi ranah eksklusif bagi daerah yang ujungnya menghasilkan bentuk-bentuk otonomi khusus, namun di dalamnya juga bisa dirumuskan bentuk asimetrisme perlakuan nasional terhadap daerah. Asimetrisme tegasnya, tidak hanya menjangkau masalah-masalah otonomi, namun juga ruang-ruang dimana pemerintah nasional memiliki otoritasnya.A.4. Model-model Asimetrisme Dalam asimetrisme akan dikembangkan sebagai bentuk kekhususan otonomi bagi daerah, yang dibutuhkan adalah kerangka kekhususan tersebut. Kerangka kekhususan sangat penting demi menghindarkan desain asimetrisme kasus per kasus yang dipastikan akan mengurus energi politik nasional. Dalam hal asimetrisme untuk menguatkan kapasitas governability daerah, maka peran kebijakan nasional sangat penting. Untuk itu, pemerintah nasional perlu membuat desain kategoris serta mempersiapkan implikasi terhadap berbagai kebijakan yang menjadi otoritas pemerintah nasional. Dalam konteks ini pola asimetrisme bisa meliputi aspek-aspek seperti: asimetrisme fiskal, rumusan sistem dekonsentrasi yang menjangkau aspek keberagaman daerah, dan kelembagaan departemen dengan kapasitas pengembangan daerah yang kuat, misalnya kementerian daerah tertinggal dan kementerian untuk percepatan pembangunan kawasan timur Indonesia. Dengan substansi dan arah asimetrisme sebagaimana dipaparkan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mekanisme perumusan asimetrisme dan isi desain dari kebijakan tersebut? Rumusan isi dan mekanisme asimetrisme digunakan untuk menjawab kebutuhan keragaman daerah yang mencakup mulai dari aspek historis terbentuknya sebuah daerah, karakter sosio-kultural yang khas, maupun kapasitas pemerintahan dalam memastikan terlaksananya fungsi-fungsi pokoknya. Untuk merespon situasi tersebut, skema desentralisasi yang seragam tidak akan mencukupi. Kerangka desentralisasi asimetris dengan demikian bisa menjangkau arena politik, fiskal, administrasi pemerintahan, penyediaan pelayanan dasar, maupun pengembangan ekonomi. Pola desentralisasi asimmetrisme menjadi pilihan di berbagai Negara. Praktek-praktek desentralisasi asimetris, seperti dijelaskan oleh Gabrielle Ferrazi & Wawan Mas’udi (2008), diantaranya meliputi; model fully assymmetrical decentralization, model asimetrisme rural dan urban, dan model otonomi khusus. Ketiga model tersebut adalah desain yang jamak dipakai di berbagai negara, meskipun variasi lain yang lebih spesifik juga bisa ditemukan. Pembeda paling utama dari ketiga model tersebut adalah derajat keluasan dan kedalaman otoritas yang dinikmati oleh sebuah entitas sub-nasional atau daerah dibandingkan dengan daerah lainnya. Dalam model desentralisasi asimetris yang penuh (fully assymetrical decentralization), setiap daerah diperlakukan secara berbeda-beda, sehingga masing-masing memiliki sesuatu yang asimetris dibandingkan dengan daerah lainnya. Model asimetrisme ini mengasumsikan adanya pluralitas yang sagat ekstrim yang harus direspon oleh pemerintah nasional, sehingga masing-masing daerah menerima otonomi sangat sangat spesifik. Level daerah yang diefinisikan sebagai asimetris pun juga tidak sama, dan sangat ditentukan kepada entitas daerah seperti apa asimetrisme diberikan. Secara visual, model asimetrisme ini bisa dilihat dari bagan berikut ini:

Bagan II.3. Model Desentralisasi Asimetris Penuh

Sumber: Ferrazi & Mas’udi (2008)

994

Model selanjutnya adalah asimetrisme sebagai upaya untuk menjustifikasi secara berbeda diantara kawasan-kawasan yang ada. Ukuran untuk menentukan justifikasi tersebut sangat mungkin bersifat teknokratis dengan memperhatikan aspek-aspek sosial dan eknomi tertentu. Bentuk asimetrisme semacam ini misalnya berangkat dari pemilahan kawasan pedesaan dan perkotaan, yang dalam penanganannya membutuhkan pola yang berbeda. Secara lebih umum, pendefinisian model asimetrisme ini bisa berangkat dari ukuran-ukuran pembangunan, dimana ada kawasan yang karena sejarah sudah terbangun secara kuat, dengan kawasan yang tertinggal secara pembangunan. Dalam konteks Indonesia, perbedaan perlakuan atas kawasan perbatasan dan kepulauan misalnya, bisa menjadi pertimbangan atas bentuk asimetrisme yang akan dikembangkan. Lebih jelasnya gambaran model asimetrisme tersebut adalah sebagai berikut:

Bagan II.4.Asimetrisme Berbasis Urban–Rural atau Developed–Underdeveloped

Sumber: Ferrazi & Mas’udi (2008) Model selanjutnya yang sangat jamak ditemui adalah kehadiran otonomi khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan ketegangan antara pemerintah nasional dengan sub-nasional yang mengarah ke gerakan-gerakan pemisahan diri (secession) atau dikarenakan karakter daerah yang sangat spesifik. Model ini harus berangkat dari pendefinisian atas kekhusuan yang akan dikelola. Model ini selanjutnya akan menghasilkan bentuk desentralisasi yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus untuk daerah-daerah tertentu. Bagan model otonomi khusus sebagai bentuk asimetrisme adalah sebagai berikut:

Bagan II.4. Otonomi Khusus sebagai Bentuk Asimetrisme

Sumber: Ferrazi & Mas’udi (2008)

Model-model asimetrisme di atas bisa dijadikan inspirasi untuk mendefiniskan masalah seperti apa yang dihadapi oleh desain hubungan pusat - daerah di Indonesia. Pola apa yang akan dikembangkan tentu saja ditentukan oleh definisi masalah apa yang dirumuskan sebagai pijakan untuk membangun desain. Sebagai desain kebijakan asimetrisme, ketiga model tersebut dalam derajat yang berbeda bisa menjadi inspirasi untuk merumuskan pola hubungan pusat – daerah yang bisa menjawab tantangan governability dan keragaman sosio–kultural.

995

Selain aspek modelling, dalam disain asimetrisme juga perlu dipertimbangkan jangka waktu pelaksanaan kebijakan. Sebagai sebuah kebijakan, jangka waktu kebijakan ini bisa bersifat permanen ataupun bersifat sementara (transisional). Hal pokok yang mendeterminasi jangka waktu tersebut selain motivasi kebijakan, juga tensi yang harus dihadapi dalam hubungan nasional – sub-nasional. Sejumlah negara mengembangkan pola desentralisasi asimetris untuk jangka waktu tertentu sebagai bagian dari transisi untuk mencapai kondisi tertentu. Kondisi yang dimaksud bisa didefinisikan dalam bentuk target pencapaian penguatan kapasitas pemerintahan tertentu, ataupun dalam rangka untuk mencapai stabilitas hubungan pusat – daerah. Dalam kasus Spanyol misalnya, sebagai implementasi dari konstitusinya yang menegaskan penguatan otonomi regional, dirancang tiga rute implementasi desentralisasi, yaitu: rute cepat, rute lambat dan rute khusus. Yang menentukan masing-masing rute tersebut adalah derajat ketegangan pemerintah nasional dengan sub-nasional. Jangka waktu tertentu juga diadopsi di Brasil, dimana konstitusi memberikan kewenangan bagi pemerintah nasional untuk melakukan intervensi dalam periode tertentu terhadap pemerintah regional/lokal, misalnya dalam kasus sistem akuntabilitas keuangan. Sedangkan, model yang lebih permanen menunjuk pada hasil negosiasi dalam bentuk “kontrak politik” baru antara pemerintah nasional dengan sub nasional. Kontrak politik tersebut merupakan jalan terakhir untuk memastikan wilayah sub nasional yang sedang bergejolak tidak memisahkan diri. Di Kanada misalnya, setelah melalui proses referendum berulang kali, akhirnya Quebec bisa mengklaim hak otonomi yang sangat luas dan dijamin tegas dalam konstitusi. Hal yang sama berlaku pula dalam konteks Inggris Raya, dimana Skotlandia dan Wales memiliki derajat otonomi yang tinggi. Kasus Aceh dan Papua, dalam beberapa hal bisa dikategorikan dalam konteks ini. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah bentuk asimetrisme, apakah finansial ataukah fungsional. Asimetrisme finansial ditandai dengan kebijakan pemerintah nasional untuk menyediakan sumber-sumber keuangan tambahan bagi berjalannya fungsi-fungsi pemerintahan tanpa harus mengintervensi penyelenggaraan pemerintahan di lokal. Desain ini dikembangkan untuk menjawab kebutuhan wilayah tertentu yang spesifik secara geografis, sehingga menuntut kebutuhan-kebutuhan yang spesifik. Penguatan di sisi input ini juga dimaksudkan untuk mendorong equalisasi antar wilayah dalam hal terpenuhinya pelayanan masyarakat secara layak. Sejumlah kasus yang bisa dirujuk; 1) upaya Pemerintah Brasil untuk mempercepat pembangunan di kawasan North, North East, dan Centre West–nya, dan 2) Desain Pemerintah Federal Jerman dalam menyediakan dana khusus bagi lander (provinsi) baru pasca re-union antara Barat dan Timur. Bentuk asimetris fungsional menunjuk pada disain yang memungkinkan keterlibatan langsung pemerintah nasional dalam ikut memastikan terselenggaranya fungsi pemerintahan di wilayah tertentu. Dalam hal ini pemerintah nasional menentukan standar tertentu, baik dalam hal infrastruktur, kapasitas staf pemerintah, dan kapasitas pelayanan publik yang menjadi justifikasi keterlibatan nasional di lokal. Kasus Namibia, sekali lagi menjadi contoh baik, dimana ada UU yang mengatur masalah tersebut. Keterlibatan secara administratif pemerintah nasional ini untuk memastikan agar fungsi dari pelaksanaan desentralisasi terjamin bisa dilaksanakan. Desain fungsional ini juga berlaku dalam bentuk intervensi, khususnya dalam situasi-situasi emergency yang mana pemerintah lokal gagal untuk menyelesaikannya. Aspek terakhir yang juga harus dipertimbangkan adalah sisi cakupan asimetrisme, apakah untuk pemerintahan lokal (kabupaten/kota), maupun pemerintahan regional (provinsi). Pilihan cakupan tersebut tentu saja ditentukan oleh seberapa luas implikasi yang akan diperoleh atau masalah yang harus dijawab, dan disain dasar titik berat otonomi yang ditentukan. Dalam konteks Indonesia, prinsip asimetrisme dalam desentralisasi dan otonomi daerah secara konstitusional sebenarnya sudah ditegaskan dalam pasal 18 UUD 1945. Namun demikian upaya untuk mendesain kebijakan desentralisasi asimetris bukanlah pekerjaan sederhana, mengingat kompleksitas dan variasi permasalahan. Untuk itu, dalam merancang desain asimetrisme perlu dipertimbangkan hal-hal terkait dengan; alasan atau dasar pertimbangan, lokus, derajat kedalaman, dan instrumentasi desainnya.

B. KAJIAN KOMPARATIF ANTAR NEGARADi berbagai negara kesatuan, contoh penerapan otonomi khusus dapat dijumpai di

Spanyol-Catalonia, Basque Country, dan Galicia, Italia-di 5 (lima) daerah, Perancis- Corsica, Denmark- Greenland, Tanzania- Zanzibar, UK-Irlandia Utara, Scotland, Wales, Finlandia- Sami dan sebagainya. Dalam konteks hukum internasional, otonomi khusus adalah salah satu bagian dari hak untuk menentukan nasib sendiri (right of self determination). Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka.

Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya Hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk

996

mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari penerapan otonomi adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asai manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayan terhadap demokrasi, kesetraan, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.

Adanya daerah otonomi khusus dalam suatu negara (a self-governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyelesaian konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat utnuk menciptakan daerah otonomi khusus sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government11. Untuk itu, daerah yang memperoleh status otonomi khusus harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya dalam suatu Negara.

Dengan demikian, otonomi khusus dapat juga bermakna upaya membangun keseimbangan dengan konstruksi hukum, antara kedaulatan negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu negara. Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat ditentukan melalui pengalihan kekuasaan legislatif dari organ negara kepada lembaga dari daerah otonomi khusus tersebut. Dengan mendasarkan prinsip kedualatan negara, satu atau lebih wilayah dapat diberikan status khusus sebagai daerah otonomi yang berhak menikmati local self-government yang menurut Lauri Hannikainen mencakup beberapa kewenangan dan isu tertentu yang penting antara lain:

1. Status dari daerah otonomi khusus harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada diatas ketentuan perundang-undangan di sutau negara. Ini juga bisa didasarkan pada perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut.

2. Daerah otonomi khusus harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat di daerah tersebut dan memiliki bebarapa kewenangan legislatif yang mandiri.

3. Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi khusus yang meliputi: pendidikan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi.

4. Daerah otonomi khusus mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional.

5. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi khusus dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif.

6. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan ekonomi dari daerah otonomi khusus.

7. Daerah otonomi khusus juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya.12

Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas harus diikuti juga oleh perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara langsung seperti:

1. DPR lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri.2. Kepala pemerintahan yang dipilih.3. Kekuasaan kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan

penafsiran terhadap peraturan lokal.4. Adanya perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan

pemerintah pusat.13

Terkait dengan pengaturan otonomi khusus dalam Konstitusi Negara, kajian komparasi memperlihatkan model-model yang digunakan bervariasi di berbagai Negara. Model pertama adalah Konstitusi Negara menentukan daerah yang diberi status otonomi khusus. Misalnya, di dalam Konstitusi Filipina ditentukan bahwa daerah di Muslim Mindanao dan di Cordilleras sebagai daerah otonom. Dalam daerah tersebut meliputi provinsi, kabupaten/kota dan desa serta kawasan-kawasan geografis yang berhubungan dengan sejarah dan budaya, struktur ekonomi dan sosial.

SEC. 15.There shall be created autonomous regions in Muslim Mindanao and in the Cordilleras consisting of provinces, cities, municipalities, and geographical areas sharing common and distinctive historical and cultural heritage, economic and social structures, and other relevant characteristics within the framework of this Constitution and the national sovereignty as well as territorial integrity of the

11 Kjell-Ake Nordquist, Autonomy As A Conflict Solving Mechanism-An Overview dalam Autonomy: Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 59

12 Lauri Hannikainen, Self Determination and Autonomy in International Law dalam Autonomy: Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 90

13 Hurst Hannum, Autonomy, Sovereignty, and Seld Determination: The Accomodation of Conflicting Rights, University of Pennsylvenia Press, Philadelphia, 1996, Hal 467

997

Republic of the Philippines.Presiden harus melakukan pengawasan umum atas daerah otonom untuk

memastikan bahwa hukum ditegakkan di wilayah otonomi. Sedangkan semua kekuasaan, fungsi, dan tanggung jawab negara tidak diberikan kepada daerah otonom, melainkan berada pada Pemerintah Nasional. Kongres membentuk undang-undang untuk masing-masing daerah otonom dengan bantuan dan partisipasi dari komisi konsultatif daerah terdiri dari wakil-wakil yang ditunjuk oleh Presiden dari daftar calon dari badan multisektoral. Undang-undang tersebut akan menentukan struktur dasar pemerintahan dari wilayah yang terdiri dari eksekutif dan legislatif, yang keduanya harus mencerminkan perwakilan dari unit-unit politik konstituen. Undang-undang juga harus menyediakan pengadilan khusus untuk pribadi, keluarga, dan harta yang yurisdiksi hukumnya konsisten dengan ketentuan Konstitusi dan undang-undang nasional.

Selain Filipina, daerah yang mendapatkan status otonomi khusus juga dirumuskan dalam Konstitusi Italia. Dalam Pasal 116 Konstitusi Italia disebutkan bahwa:

Article 116 (Special Regions)Particular forms and conditions of autonomy, as laid down by special statutes adopted by constitutional law, shall be granted to Sicilia, Sardegna, Trentino-Alto Adige, Friuli-Venezia Giulia, and Valle d’Aosta.

Dengan demikian Italia menerapkan otonomi khusus yang dituangkan dalam hukum konstitusi yang disahkan oleh Parlemen Italia. Terdapat lima daerah, yakni Sardinia, Sicily, Trentino-Alto Adige/Südtirol, Aosta Valley, dan Friuli-Venezia Giulia, yang memiliki otonomi yang khusus. Status otonomi khusus tersebut memberikan kekuasaan yang relatif lebih besar dalam hal legislasi dan administrasi. Di samping itu, daerah tersebut juga memiliki otonomi finansial yang signifikan. Friuli-Venezia Giulia memiliki 60% dari keseluruhan pajak, sementara Sicily memiliki 100% dari pajak dan daerah-daerah tersebut memiliki kebebasan menentukan bagaimana pendapatan tersebut digunakan. Otonomi khusus tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang dihuni penduduk berbahasa minoritas. Aosta Valley dihuni penduduk berbahasa Prancis, Friulli-Venezia Giulia penduduknya kebanyakan berbahasa Slovenia, sementara Trentino-Alto Adige/Südtirol penduduknya mayoritas berbahasa Jerman. Di samping itu, kondisi geografis yang terisolasi juga turut menjadi pertimbangan.14

Model kedua, adalah Konstitusi Negara tidak menentukan daerah yang diberi status khusus Dalam Konstitusi Spanyol, tidak dicantumkan daerah yang mendapatkan status otonomi khusus. Namun, pemerintah pusat mengatur level otonomi yang berbeda bagi daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat otonomi yang cenderung lebih besar dibanding daerah lain. Hal ini mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hak-hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara historis. Desentralisasi fiskal asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol dan menjadi landasan yang penting dalam transisi menuju demokrasi15

C. KAJIAN PRAKTIK -EMPIRIKBerdasarkan kajian teoritik dan komparatif seperti dipaparkan di atas, tergambar dengan

jelas bahwa konsep otonomi khusus merupakan respon atas keanekaragaman kondisi sosio-kultural, ekonomi maupun politik dari daerah-daerah. Dalam kondisi kemajemukan itu, model desentralisasi yang uniform jelas tidak akan menjawab problem-problem yang dihadapi oleh daerah-daerah.

Dengan cara pandang semacam ini maka setiap daerah memiliki keragaman dan perbedaan kebutuhan yang berbeda-beda. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, ada sejumlah variabel yang bisa digunakan untuk membidik perbedaan konteks daerah tersebut adalah ; 1) keragaman sosio-kultural dan politis yang seringkali khas dan spesifik atau kekhasan kebudayaan; 2) politik regional yang muncul akibat dari ketimpangan sosial-ekonomi sebagai implikasi dari politik pembangunan sehingga memunculkan beberapa provinsi menuntut pembagian yang adil dalam hubungan pusat dan daerah; dan 3) kapasitas (un)governability, khususnya dalam hal kemampuan daerah untuk menyediakan pelayanan dasar atau bahkan political goods yang sangat berbeda. Selain tantangan yang bersifat internal tersebut, pengembangan sistem desentralisasi perlu juga mempertimbangkan konteks globalisasi atau eksternal yang semakin dalam menjangkau semua sudut kehidupan. (4) Melindungi kepentingan nasional yang tidak mungkin diemban secara sepihak oleh pusat melainkan juga daerah, semisal dalam respon perkembangan isu-isu security, daerah – daerah perbatasan yang rawan dll. Dan (5) adalah peran daerah dalam memperkuat kapasitas kompetisi nasional dalam level global. Kecenderungan ini semakin menguat dengan posisi geo-politik maupun geo-ekonomi daerah dalam spektrum kawasan.

Pertanyaan yang muncul berikutnya apa yang menjadi kebutuhan Provinsi Bali sehingga 14 Partnership, Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, hlm. 1515 Teresa Garcia-Milà dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An AsymmetricTransition to Democracy, paper 22 Maret, 2002

998

memerlukan pengaturan yang bersifat khusus? Dalam perjalanannya Bali menghadapi sejumlah persoalan yang mendasar. Problem Bali bisa diindentifikasi sebagai berikut: Pertama, sebagaimana diketahui Bali tidak memiliki sumber daya alam yang potensial seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Papua dan lain-lain. Namun Bali memiliki sumber daya dari sektor pariwisata sebagai produk unggulan adat dan budaya Bali yang telah tersohor hingga ke mancanegara. Adat dan budaya Bali yang dijiwai Agama Hindu dan dilandasi falsafah Tri Hita Karana merupakan seperangkat nilai yang dijadikan dasar bagi pengembangan dan pelestarian pariwisata budaya bali. Namun demikian, perkembangan pesat industri Pariwisata ini berjalan di tengah penerapan konsep otonomi luas yang menitik beratkan otonomi di level kabupaten/ kota. Hal ini ternyata memunculkan fenomena ego sentrisme kabupaten/ kota di Bali. Masing-masing kabupaten/ kota berupaya untuk menarik minat investor sebanyak-banyak dan sekaligus ingin mendapatakan pembagian “kue” ekonomi pariwisata. Selanjutnya, fenomena ini memunculkan dampak yang luas bagi survivalitas pariwisata Bali ke depan. Dampak yang bisa diindentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Ketimpangan ekonomi antar daerah, dimana kantong-kantong pariwisata hanya berpusat pada wilayah-wilayah Bali selatan, yang meliputi Kabupaten Badung, Denpasar dan Gianyar. Hal ini bisa ditegaskan dari data ketimpangan kemampuan keuangan antar kabupaten/kota di Bali. Dari sembilan Kabupaten/ kota yang ada di Bali, Kabupaten Badung memiliki kapasitas fiskal yang paling tinggi yakni sebesar: Rp. 1,730,646,314,019,87. Kondisi fiskal di Badung sangat kontras dengan kapasitas keuangan dari kabupaten Jembrana, Klungkung dan Bangli yang hanya mencapai: Rp. 51,525,703,700,74, Rp. 593,188,148,415,95 dan Rp, 620,869,950,105,38. Ketimpangan antar daerah ini tentu saja merepresentasikan kapasitas pemerintah daerah dalam menggerakan pembangunan. Lebih jauh, ketimpangan regional antar daerah di Bali dapat dilacak dalam data berikut ini:No. Kabupaten /Kota PAD1. Buleleng 116,118,162,898,172. Jembrana 51,525,703,700,743. Tabanan 167,624,055,100,004. Badung 1,730,646,314,019,87

5. Gianyar 1,029,800,596,165,356. Bangli 620,869,950,105,387. Klungkung 593,188,148,415,958. Karangasem 896,559,443,753,439. Denpasar 1,249,898,528,752,33

Sumber: Bappeda Provinsi Bali 2012

Perkembangan wilayah di Provinsi Bali masih menampakkan adanya kesenjangan perkembangan antar wilayah. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan perekonomian sekitar 67% PDRB Bali disumbangkan oleh wilayah pembangunan Bali Selatan dan sisanya 33% disumbangkan oleh wilayah Bali Barat, Utara dan Timur.Ketimpangan regional juga sekaligus menegaskan perbedaan tingkat kesejahteraan atau kesenjangan ekonomi antara antara warga masyarakat yang berada di kantong-kantong pariwisata dengan warga yang berada di luar kantong pariwisata. Pada tahun 2003, kabupaten yang persentase penduduk miskinnya tertinggi adalah Kabupaten Buleleng sebesar 10,18% dan terendah terjadi di Kota Denpasar sebesar 3,77%. Pada tahun 2004, persentase penduduk miskin di Kabupaten Buleleng sebesar 10,13% dan di Kota Denpasar sebesar 2,95%. Dari hasil pendataan rumah tangga miskin oleh BPS (dengan mempergunakan 14 variabel) diperoleh bahwa data per 31 Mei 2006 jumlah rumah tangga miskin di Bali mencapai 147.044 rumah tangga atau 16,9% dengan rincian per kabupaten meliputi Kabupaten Jembrana 6.998 RTM, Tabanan 11.672 RTM, Bandung 5.201 RTM, Gianyar 7.629 RTM, Klungkung 8.460 RTM, Bangli 13.191 RTM, Karangasem 41,826 RTM, Buleleng 47.908 RTM, dan Denpasar 4.159 RTM.Ketimpangan juga tergambar dalam tingkat pendapatan per kapita antarwilayah pada tahun 2005, Kabupaten Badung merupakan daerah yang memiliki pendapatan tertinggi yakni sebesar Rp 16.575.940,- sementara itu yang terendah adalah Kabupaten Karangasem yakni sebesar Rp 5.539.860,- Data BPS tentang Indeks Pembangunan Manusia per Kabupaten/ Kota pada tahun 2011 memperlihatkan gambaran bahwa ada empat kabupaten yang berada di bawah rata-rata IPM Nasional: Klungkung, Bangli, Buleleng dan Karangasem. Dengan demikian, masih ada 44 % kabupaten di Bali yang berada dibawah rata-rata IPM Nasional maupun Provinsi. Sedangkan, data tingkat harapan hidup juga menempatkan kabupaten Klungkung, Buleleng dan Karangasem dibawah rata-rata tingkat harapan hidup nasional maupun provinsi. Itu artinya, 33 persen kabupaten di Bali yang masih berada dibawah rata-rata. Demikianpula dengan angka melek huruf, ada

999

empat kabupaten: Bangli, Klungkung, Buleleng dan Karangasem yang berada di bawah rata-rata angka melek huruf nasional.

2. Perkembangan pariwisata yang dibalut dengan ego sentrisme daerah memunculkan fragmentasi/ ketidaksinergian dalam perencanaan, perijinan, promosi, sampai dengan pengendalian dampak pembangunan pariwisata. Salah satu contoh yang penting diangkat adalah persoalan perijinan hotel yang saat ini dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota. Tanpa ada sinergi maka pembangunan hotel di Bali bisa sangat berlebihan (over supply) sehingga memicu kompetisi yang tidak sehat diantara para pelaku pariwisata. Dengan terjadinya kompetisi tidak sehat ini tentu saja akan berdampak pada citra pariwisata Bali di manca negara dan selanjutnya melemahkan daya saing Bali dalam sektor pariwisata.

3. Problem pengendalian tata ruang dan krisis ekologis. Pulau Bali relatif kecil, dengan luas hanya 5.632,86 kilometer persegi atau sama dengan 0, 29 % dari luas keseluruhan NKRI. Dengan keterbatasan seperti itu, Pulau Bali ”terkapling-kapling” menjadi 9 wilayah kabupaten/kota. Masing-masing kabupaten/kota berdiri sendiri memanfaatkan ruang untuk kepentingan pembangunan daerahnya dalam kerangka otonomi seluas-luasnya. Akibatnya, terjadi krisis ekologis dampak negatif pemanfaatan ruang untuk kepentingan pembangunan setiap kabupaten/ kota. Padahal dalam lampiran Perda RPJMD tahun 2009 ditegaskan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan hidup Provinsi Bali sebagai suatu ekosistem pulau mempunyai peranan penting dalam perekonomian Bali. Kondisi umum yang akan diuraikan meliputi kondisi eksisting sumberdaya hutan, biodiversitas, Daerah Aliran Sungai (DAS), air bawah tanah, ruang terbuka hijau, erosi dan longsor, pencemaran air dan pencemaran lingkungan lainnya, sumberdaya pesisir dan lautan, serta intrusi air laut dan sumberdaya tak terbarukan.Problem meluasnya lahan kritis merupakan problem Bali saat ini. Luasan wilayah di Bali yang memiliki lahan kritis dan sangat kritis pada tahun 2004 seluas 55.313 ha dengan tingkat erosinya tergolong sedang sampai berat, luasan wilayah di Bali yang memiliki tingkat erosi tergolong sedang adalah 60.326,2 ha (10,7%), berat 68.204,3 ha (12,1%), dan sangat berat 99.252,6 ha (17,1%). Kerusakan lahan akan berlanjut apabila kondisi ini dibiarkan terus. Sumberdaya hutan, kondisinya ditunjukkan oleh keberadaan kawasan hutan di provinsi Bali secara keseluruhan mencapai luas 130.686,01 ha. Luas hutan tersebut terdiri dari luas hutan daratan 127.271,89 ha dan luas hutan perairan laut 3.451 ha atau 23,2% dari luas wilayah provinsi Bali (563.286,00 ha). Ini berarti persentase luas kawasan hutan di Bali dibawah standar yang seharusnya 30%. Kerusakan hutan di Bali umumnya disebabkan oleh perambahan, kebakaran, dan penggunaan kawasan untuk diluar kegiatan kehutanan. Kerusakan hutan yang berkepanjangan juga mengakibatkan terganggunya tata hidrologis sehingga dapat menimbulkan kekeringan, banjir/longsor, menurunnya flora-fauna hutan, serta sumber hutan sebagai sumber plasma nutfah lainnya dan memberikan kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan agama pada skala lokal, regional, nasional, dan global yang semakin besar. Selain itu, dalam RPJMD 2009 ruang terbuka hijau, luasannya secara terus menerus mengalami penurunan terlihat dari menurunnya luas lahan sawah, sedangkan luas lahan untuk permukiman meningkat. Pengurangan luas lahan persawahan rata-rata 1005 ha per tahun. Penggunaan lahan untuk permukiman meningkat dari 6,3% (1992) menjadi 7,3% (1997) dan 9,2% pada tahun 2005. Pengurangan luasan ruang terbuka hijau akan meningkat apabila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangan. Begitupula dengan data erosi panjang pantai. Panjang garis pantai wilayah Bali adalah 430,8 km. Pantai Bali mengalami erosi pada tahun 1987, 1997, 2003, dan 2004 berturut-turut adalah sepanjang 51,50 km, 64,65 km, 70,11 km, dan 89,29 km atau 20,73% dari total panjang pantai Bali. Dari panjang pantai yang tererosi tersebut hingga tahun 2005, yang tertangani baru sepanjang 43,00 km. Dalam lampiran Perda RPJMD juga diindentifikasi potensi krisis air. Air bawah tanah, permukaannya cenderung menurun sebagai akibat pengambilan air secara berlebihan baik di wilayah perkotaan maupun di wilayah perdesaan. Kondisi ini terutama terjadi di Bali Selatan di mana kepadatan penduduk sangat tinggi dan pertumbuhan pariwisata sangat pesat. Di Kota Denpasar pengambilan air bawah tanah berdasar data retribusi air tanah adalah sebesar 3.225.720 m3 per tahun. Bila dilihat per kabupaten/kota, Kabupaten Badung dan Kota Denpasar telah mengalami defisit air bila semua kebutuhan airnya hanya memanfaatkan air bawah tanah. Bahaya instrusi air laut akan terjadi bila pengambilan air bawah tanah tidak mendapat perhatian yang baik.RPJMD tahun 2009 juga mengidentifikasi problem pencemaran air, tanah dan udara. Pencemaran air menjadi permasalahan yang semakin penting pada saat ini. Secara umum, kualitas air danau di empat lokasi telah mengalami penurunan status cemar kualitas. Pencemaran air laut juga terjadi di beberapa lokasi pantai di Bali. Sungai-sungai di perkotaan banyak tercemar oleh limbah domestik. Pencemaran tanah juga cenderung meningkat yang disebabkan oleh kemajuan industrialisasi yang tidak diimbangi dengan

1000

penerapan teknologi bersih sehingga berdampak negatif terutama terhadap lingkungan perkotaan. Kondisi tanah tercemar oleh bahan kimia, baik dari sampah padat maupun pupuk. Masalah pencemaran ini juga disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Peningkatan jumlah sumber pencemar udara seperti kendaraan bermotor akan meningkatkan intensitas pencemaran udara. Peningkatan penggunaan sepeda motor saat ini meningkat tajam terutama karena tidak tersedianya angkutan umum massal, murah dan nyaman. Konsentrasi Gas-Gas Rumah Kaca (GRK) disinyalir mengalami peningkatan dan secara keseluruhan, bahan-bahan pencemar udara yang meliputi sulfur dioksida, karbon monoksida, nitrogen dioksida, timbal dan debu, konsentrasinya masih di bawah standar baku mutu udara ambienSelain itu, egosentrisme daerah juga berdampak pada keajegan sistem nilai yang dirumuskan dalam tata ruang Bali. Seperti diketahui, tata ruang di Bali sangat terkait dengan kepercayaan atau keyakinan tentang sakral (suci) dan profan (campah serta cuntaka). Kepercayaan itu diterjemahkan dalam tata ruang (konsep ulu dan teben) dimana tempat suci (pura) dan kawasan suci (gunung, laut, danau, campuhan, dan tempat lainnya) diyakini sebagai kawasan suci. Segala aktivitas kehidupan, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan yang dilakukan di tempat suci (pura) dan kawasan suci, bukan saja harus bersih, melainkan juga harus mencerminkan ”kesucian” sesuai dengan ajaran Hindu. Apabila terjadi hal yang sebaliknya, melakukan aktivitas yang mencerminkan keprofanan atau ”kacuntakan”, di tempat suci atau kawasan suci, maka perbuatan itu dianggap melukai keyakinan umat Hindu, setidaknya bagi mereka yang berada di sekitar tempat suci atau kawasan suci tersebut. Berpijak dari keyakinan ini maka Parisada Hindu Darma Indonesia Provinsi Bali mengeluarkan bhisama kesucian tempat suci dan kawasan suci di Bali. Dengan demikian, dampak negatif dari tidak terkendalinya tata ruang bukan hanya memiliki alasan karena krisis ekologis di Pulau Bali melainkan juga memiliki kaitan dengan keyakinan adat dan budaya Bali.

Kedua, sokoguru utama yang menopang pariwisata Bali adalah adat dan budaya Bali. Adat dan budaya Bali merupakan satu kesatuan yang terangkai dalam satu sistem yang pada intinya sama (homogen). Kalaupun ada perbedaan itu dikarenakan perbedaan yang bersifat eksternal seperti lokasi (pegunungan dan dataran) bukan dari perbedaan internal (substansi dan makna). Kesatuan adat budaya dan agama di Bali dapat pula dilihat dari tata letak tempat suci umat Hindu (Pura) yaitu Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan yang merupakan satu kesatuan tersebar diseluruh wilayah provinsi Bali Demikian pula pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu melalui kreatifitas adat dan budayanya merupakan ujung tombak penggerak perekonomian Bali. Namun demikian, adat dan budaya yang menjadi nafas kehidupan masyarakat Bali terancam mengalami krisis, ketika peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional tidak sensitif atau bahkan tidak mengakomodasi kekhususan Bali dalam hal adat dan budayanya. Ada beberapa dimensi adat dan budaya Bali yang belum mendapatkan penghormatan, pengakuan dan perlindungan dalam konstruksi regulasi nasional:

1. Pengakuan dan penghormatan pada kelembagaan masyarakat adat dan hak asal-usulnya. Tatanan sosial masyarakat Bali memiliki kekhususan dibandingkan dengan di tempat lain di luar Provinsi Bali. Kalau di tempat lain dikenal hanya ada satu model desa, sementara di Bali ada dua desa yaitu (1) ”desa pakraman” atau ”desa adat” dan (2) ”desa dinas”. Disamping itu juga ada organisasi tradisional dibidang pertanian (”subak”), organisasi yang dibentuk berdasarkan ikatan suka dan duka warganya yang disebut ”Banjar”, organisasi tradisional yang dibentuk berdasarkan kegemaran yang sama (”sekaa”) dan organisasi tradisional berdasarkan keturunan (”dadya”). Masing-masing memiliki sistem pengaturan hidup bersama dalam sebuah awig-awig (hukum adat). Setiap kelembagaan adat juga memiliki sistem pemerintahan atau kepengurusan sendiri yang ditentukan oleh awig-awig yang mereka miliki.

Data terakhir menunjukkan di Provinsi Bali terdapat 1.488 desa adat/ desa pakraman. Warga desa adat disebut krama desa. Mereka ini terdiri dari orang-orang yang beragama Hindu dan tercatat (mipil) sebagai warga desa adat di tempatnya berdomisili. Kini penduduk Provinsi Bali berjumlah 3.375.292 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.126.467 jiwa diantaranya adalah kramadesa, dan sisanya sebanyak 248.825 jiwa adalah tamiu. Perangkat pimpinan desa adat disebut ”prajuru desa” yang menjalankan fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada masing-masing desa adat, hukum adat Bali dan hukum nasional. Salah satu kewenangan desa adat dibawah koordinasi prajuru desa adalah menyelesaikan persengketaan adat dan pelanggaran adat, berdasakan awig-awig yang berlaku pada desa adat bersangkutan dan hukum adat Bali.

Semua desa adat yang ada di Bali, menghimpun diri dalam wadah tunggal yang dikenal dengan Majelis Desa Pakraman (disingkat MDP) dalam tiga tingkatan yakni Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Majelis Desa Pakraman yang merupakan representasi kultural desa pakraman, mempunyai tugas: mengayomi adat istiadat; memberikan saran, usul

1001

dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah- masalah adat; melaksanakan setiap keputusan-keputusanparuman sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan; membantu penyuratan awig-awig; melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh. Majelis Desa Pakraman mempunyai wewenang : memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman; sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa; membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di kabupaten/kota, dan di propinsi.

Sedangkan subak adalah masyarakat hukum adat di Bali yang besifat sosio-agraris-religius, yang terdiri atas para petani yang menggarap sawah pada suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari satu sumber”. Beberapa ciri dasar organisasi subak sebagai berikut: (1) Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan aturan-aturan keorganisasian (awig-awig), baik tertulis maupun tidak tertulis. (2) Subak mempunyai suatu sumber air bersama. Sumber air bersama ini dapat berupa bendungan (empelan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi. (3) Subak mempunyai areal persawahan. (4) Subak mempunyai otonomi baik internal maupun eksternal. (5) Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul (pura yang berhubungan dengan persubakan). Perangkat pimpinan subak disebut ”prajuru subak” yang menjalankan fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada masing-masing subak, hukum adat Bali dan hukum nasional. Seperti telah disinggung di atas, lewat sistem subak ini, Bali diatur sebagai satu kesatuan ekosistem.

2. Pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat dan peradilan adat, dimana sengketa antar warga dan berbagai bentuk pelanggaran adat diputuskan melalui mekanisme peradilan adat sesuai dengan hukum adat yang berlaku di wilayah hukum adatnya masing-masing. Seperti halnya berbagai jenis pelanggaran pada umumnya, pelanggaran adat dapat dikenakan sanksi. Sanksi dikalangan masyarakat masyarakat adat, dikenal dengan sebutan “koreksi adat”, atau “reaksi adat”. Untuk di Bali, sanksi adat itu disebut danda, atau pamidanda. Danda adalah sanksi yang dikenakan oleh desa adat/pakraman (organisasi tradisional lainnya), kepada seorang atau kelompok orang dan atau keluarganya, karena dianggap terbukti telah melakukan pelanggaran adat atau melanggar norma agama Hindu. Danda dijatuhkan dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam masyarakat. Sanksi dalam fungsi seperti tersebut diatas, mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali. Beberapa jenis sanksi adat yang dikenal, dapat klasifikasikan menjadi tiga, yang dikenal dengan tri danda (tiga sanksi) yang terdiri dari : arta danda, jiwa danda dan sangaskara danda. Arta danda (sanksi berupa harta benda atau benda-benda materiil), seperti denda, pengganti kerugian materiil, dll. Sangaskara danda (sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu, sesuai dengan ajaran agama Hindu), seperti pelaksanaan upacara pemarisuda, prayascita (upacara pembersihan yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan magis). Jiwa danda (sanksi berupa penderitaan jasmani dan rohani/jiwa), seperti minta maaf (ngaksama), dikucilkan di lingkungannya (kanorayang). Lembaga atau organisasi mana yang berwenang menangani pelanggaran adat dan mengenakan sanksi adat kepada pelaku pelanggaran adat di daerah Bali, tergantung dari aturan atau norma yang dilangar. Apabila yang dilanggar adalah aturan (awig-awig) desa adat/ pakraman, maka yang berwenang menangani dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku pelanggarannya adalah desa adat/pakraman. Apabila yang dilanggar adalah aturan (awig-awig) subak, maka organisasi subak di mana pelangaran adat itu terjadilah yang berwenang menangani dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku pelanggarannya. Demikian pula halnya kalau yang dilanggar adalah aturan (awig-awig) sekaa dan dadya. Jenis dan besar kecilnya sanksi yang dijatuhkan, senantiasa mengacu kepada tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu untuk mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam masyarakat.Oleh karena itu, penjatuhan sanksi biasanya disertai sangaskara danda, yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan niskala.

3. Secara normatif, lembaga-lembaga adat yang ada dan masih hidup seperti desa pakraman, subak, sekaa dan dadya, belum diakui sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah. Sedangkan faktanya, Desa Pakraman memiliki tanah, yang disebut tanah desa atau tanah duwe desa. Tanah hanyalah sau milik (duwe atau asset) Desa Pakraman. Harta kekayaan milik (duwe atau asset) desa pakraman yang lain dapat dikelompokan menjadi tiga unsur desa pakraman, yaitu: (a). Milik yang berhubungan dengan parahyangan, seperti tempat suci/ Pura beserta segala duwe yang menyertainya. (b). Milik yang berhubungan dengan pawongan, seperti krama (warga) desa beserta segala tanggungjawabnya (swadharma) yang menyertainya. (c). Milik yang berhubungan dengan palemahan, seperti tanah duwe desa, LPD dan harta kekayaan duwe desa

1002

pakraman lainnya. Menurut Dharmayuda (1987) tanah desa atau tanah ”duwe desa”, dapat dibedakan

menjadi tanah duwe desa dalam arti sempit dan tanah duwe desa dalam arti yang luas. Tanah duwe desa dalam arti sempit adalah terbatas pada tanah-tanah desa yang dikuasai langsung oleh desa adat/pakraman, yaitu tanah-tanah yang terdiri atas tanah pasar, tanah setra, tanah lapang dan tanah bukti.

Selain itu dikenal juga adanya Tanah Ayahan Desa (AYDS). Mengenai tanah ini, Dharmayuda (1987) menjelaskan sebagai berikut. Tanah Ayahan Desa (AYDS) adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasai oleh desa adat/ pakraman yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama desa dengan hak untuk menikmati dengan kewajiban memberikan ayahan berupa tenaga maupun materi kepada desa adat/pakraman.

Tanpa pengakuan atas tanah desa ini jelas memperlemah pososi desa adat dalam mempertahankan miliknya, dan bersamaan dengan itu mempermudah pemindatanganan tanah desa, tanpa menghiraukan unsur ”kasucian”, ”kacuntakan” dan ”parhyangan desa”. Tanah adat yang dimiliki oleh desa adat atau desa pakraman dan dikuasai oleh krama desa berdasarkan hukum adat Bali, tidak dilengkapi bukti kepemilikan tanah dalam bentuk sertifikat hak milik atas nama desa adat/pakraman.

Yang sudah diakui sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah adalah tempat suci (pura), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No: SK.556/DJA/1986, tanggal: 24 – 9- 1986 tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Saat ini, kepemilikan, pemindahtanganan dan alih fungsi tanah desa di Bali, terkesan terlalu longgar dan kurang memperhitungkan hukum adat, keberadaan prajuru adat dan kurang memperhatikan unsur suci dan kacuntakan yang menjadi kekhususan Bali. Padahal, seperti halnya tatanan kehidupan desa adat, eksistensi tanah di Bali juga diatur berdasarkan hukum adat dan hukum nasional. Hukum mana yang dominan dalam praktiknya, tergantung dari status kepemilikan tanah yang dimaksud. Pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah negara, pada umumnya diatur berdasarkan hukum nasional. Perkecualiannya dalam hal di atas tanah negara tersebut terdapat tempat suci (pura), tempat yang diyakini sebagai tempat suci, sebagian atau seluruhnya tanah negara tersebut termasuk kawasan suci, maka pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah negara tersebut, selain diatur berdasarkan hukum nasional juga diatur berdasarkan hukum Hindu, hukum adat Bali, dan awig-awig adat yang berlaku di desa adat setempat.

4. Beban ganda bagi warga Desa Pakraman (krama desa) yang menguasai tanah desa. Mereka dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan juga harus melaksanakan tanggung jawab (swadharma) terhadap desa pakraman. Tanggungjawab yang dimaksud meliputi tiga hal sesuai dengan unsur-unsur desa pakraman, yaitu: (a). Tanggungjawab yang berhubungan dengan unsur parahyangan. (b). Tanggungjawab yang berhubungan dengan unsur palemahan. Wujud nyata tanggungjawab yang dimaksud dapat berupa ayah-ayahan (wajib kerja secara fisik) dan pawedalan (urunan berupa materi)

Ketiga, problem ketidakadilan dalam pola hubungan keuangan (fiskal) pusat dan daerah. Perkembangan sektor pariwisata ini telah mampu menjadikan Bali sebagai destinasi atau tujuan wisata dunia yang menghasilkan “income” lebih dari 32 triliun pertahun atau sekitar 30% dari devisa negara yang memiliki peran sangat penting dalam mengakselerasi perekonomian nasional. Selain itu, kepariwisataan Bali juga mampu memberikan efek ganda (multiplier effect) yang sangat besar terhadap masyarakat lokal dan nasional.

Namun demikian, “sharing” ini dirasakan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat Bali. Kontribusi Bali ternyata tidak banyak kembali ke Bali terutama untuk , konservasi, pelesatarian sarana, prasarana, sistem, nilai adat dan budaya yang bersifat magis religius. Selama ini, Bali hanya mendapatkan sumber pendapatan dari pajak, retribusi, bagi hasil pajak tertentu, DAU, DAK, bantuan lain. Namun Bali belum mendapatkan dana bagi hasil yang berasal dari income nasional yang diperoleh dari devisa hasil pariwisata Bali. Bentuk devisa ini dapat dihasilkan dari pajak maskapai-maskapai penerbangan yang rute penerbangannya ke Bali, pajak perusahaan biro perjalanan wisata yang kegiatan usahanya terkait kepariwisataan bali, pajak bandara (airport tax), pajak atas orang asing yang bekerja di sektor pariwisata di Bali, pajak investasi lain selain hotel dan restoran yang bergerak dibidang kepariwisataan Bali, dan jenis income dari sektor pariwisata yang lain.

Keadilan dalam pembagian sumberdaya pariwisata merupakan hal yang urgen. Karena ke depan tantangan sektor pariwisata Bali akan semakin besar ketika Bali sebagai pusat keunggulan pariwisata Indonesia, harus berhadapan dengan persaingan semakin ketat di era global yang dalam hal attraction, accesibility, ancillary, dan amenities. Peta persaingan global itu tentusaja akan berpengaruh terhadap Bali sebagai daerah tujuan wisata dengan konsep pengembangan pariwisata budaya. Dengan demikian, perimbangan keuangan pusat yang lebih adil bisa dimanfaatkan oleh Bali untuk meningkatkan daya saing pariwisata Bali dalam peta persaingan pariwisata global.

1003

BAB IIIEVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. PENGATURAN OTONOMI KHUSUS DI INDONESIASeperti yang sudah dipaparkan di Bab II, model desentralisasi sebagai sebuah bentuk hubungan antara Pusat dan Daerah dalam negara kesatuan meliputi dua bentuk, yaitu Desentralisasi Simetris dan Desentralisasi Asimetris. Menurut Charles D. Tarlton sebagaimana disitir Robert Endi Jaweng, desentralisasi simetris ditandai kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah dengan sistem politik nasional, pemerintah pusat maupun antar daerah. Sedangkan desentralisasi asimetris dengan ciri sebaliknya, artinya suatu daerah khusus/istimewa memiliki pola hubungan berbeda dan tak lazim terjadi di daerah-daerah lain, utamanya hal ihwal relasi dengan pusat, relasi dengan daerah sekitar, dan pengaturan internal daerah itu sendiri. Dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desentralisasi asimeteris dalam bentuk otonomi khusus telah lahir dan berjalan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di samping itu di Provinsi Papua juga dilaksanakan otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Jakarta juga menyandang status Daerah Khusus Ibukota berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perkembangan mutakhir adalah pengakuan keistimewaan Yogyakarta dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. 1. Otonomi Khusus AcehDibandingkan daerah lain, Aceh memperoleh “dua kali” atribut “otonomi khusus”. Pertama, melalui UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD. Pada kebijakan ini, pertimbangan pemberian otonomi khusus adalah: (1) bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang; (2) bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus; (3) bahwa UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; dan (4) bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Kedua, melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dasar pertimbangannya adalah: (1) bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa; (2) bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; (3) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; (5) bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pada UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD disebutkan bahwa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Di bawah provinsi terdapat daerah otonom Kabupaten dan Kota. Di Aceh, sesuai dengan UU ini, “kabupaten” diganti dengan istilah lokal “Sagoe”, yang dipimpin oleh Bupati/Wali Sagoe atau nama lain. Kota, yang selanjutnya disebut Banda atau nama lain, adalah Daerah Otonom dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dipimpin oleh Walikota/Wali Banda atau nama lain.

1004

Di bawah kabupaten dan kota terdapat tiga strata administrasi, yaitu “Kecamatan”, “Mukim”, dan “Gampong”. Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain adalah perangkat daerah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda, yang dipimpin oleh Camat atau nama lain. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Lambang daerah, termasuk alam atau panji kemegahan, adalah lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Dalam melaksanakan otonomi khusus tersebut, terdapat lembaga-lembaga publik di tingkat daerah. Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagai lembaga simbolik pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lain pemerintah Daerah Istimewa Aceh sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Badan Legislatif Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Mahkamah Syariah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak mana pun dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kebijakan di tingkat daerah Aceh mempergunakan istilah setempat, yaitu “qanun”. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Selanjutnya, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Di bawah provinsi, terdapat kabupaten dan kota. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, pada undang-undang ini tidak terdapat perubahan istilah kabupaten menjadi istilah lokal. Disebutkan pada undang-undang ini bahwakabupaten/kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota. Pada UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Pemerintahan kabupaten/kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Pemerintah Daerah Aceh, yang selanjutnya disebut Pemerintah Aceh, adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh. Lembaga publik di Aceh di tingkat provinsi terdiri dari lembaga eksekutif, yaitu gubernur, dan legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (bukan DPRD Aceh). Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemerintah daerah kabupaten/kota, yang selanjutnya disebut pemerintah kabupaten/kota, adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Lembaga publik di bawah provinsi, yaitu Kabupaten dan Kota, mengikuti tata kelola pada umumnya di Indonesia, yaitu bahwa Bupati/Walikota adalah kepala pemerintah daerah kabupaten/kota yang dipilih melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pembedaan nama terjadi di sektor legislatif, yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), sebagaimana wajarnya lembaga legislatif, merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Sebagamana ada pada UU No. 18 Tahun 2001, maka pada UU No. 11 Tahun 2006 juga disebutkan tiga strata di bawah kabupaten dan kota adalah “kecamatan”, “Mukim”, dan “Gampong”. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan

1005

pemerintahan kecamatan. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh Keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Lembaga pengelola demokrasi di Aceh adalah komisi pemilihan umum, yang di Aceh diberi nama sebagai Komisi Independen Pemilihan- (KIP), yang terdiri dari KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota. Meskipun mempunyai nama yang berbeda dibanding di daerah lain di Indonesia, KIP tetap merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Kekhasan dari otonomi khusus Aceh adalah berkenaan dengan sistem kepartaian. Pada UU ini partai politik diartikan sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota adalah pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional. Kekhususan Aceh dapat dilihat pada tiga dimensi. Pertama, dimensi peristilahan. Ini memungkinkan Aceh mempergunakan peristilahan yang berbeda dengan Pusat. Beberapa istilah yang khas bagi Aceh, meliputi:

1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sebagai pembeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;

2. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota sebagai pembeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;

3. Komisi Independen Pemilihan sebagai pembeda dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah;

4. Qanun sebagai kata ganti dari Peraturan Daerah;5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh sebagai pembeda dengan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah; 6. Sagoe sebagai kata ganti dari Kabupaten;7. Banda sebagai kata ganti dari Kota;8. Gampong sebagai pembeda dengan Desa; dan9. Keuchik sebagai pembeda dengan Kepala Desa.

Kedua, dimensi kelembagaan, yang memungkinkan terdapat beberapa lembaga yang bersifat khas, yaitu:1. Syariat Islam sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan bersama;42. Partai politik lokal, yang tidak terdapat pada daerah lain;3. Mahkamah Syar’iyah Aceh, yaitu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan

peradilan agama;4. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yaitu majelis yang anggotanya terdiri atas

ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA;

5. Lembaga Wali Nanggroe sebagai lembaga kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat serta pelestarian kehidupan adat dan budaya;

6. Mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat; dan

7. Lambang Daerah dan Panji Kemegahan Aceh.Ketiga, pada dimensi keuangan. Secara komparatif, terdapat lima kekhususan hak

keuangan bagi Aceh yang berbeda secara signifikan dengan daerah lain, yaitu: 1. Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak Bumi. Jika pada UU No.

18 Tahun 2001, dana ini, yang disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA di wilayah Provinsi NAD setelah dikurangi pajak”, besarnya 55% dan akan menjadi 35% mulai tahun ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah menjadi flat 55% tanpa dibatasi waktu;

2. Adanya tambahan Dana Bagi Hasil Pertambangan Gas Bumi. Jika pada UU No. 18 Tahun 2001, dana ini, yang disebut sebagai “tambahan penerimaan Provinsi NAD dari hasil SDA di wilayah Provinsi NAD setelah dikurangi pajak” besarnya 40% dan akan menjadi 20% mulai tahun ke-9 setelah pelaksanaan UU, dalam UU No. 11 Tahun 2006 diubah menjadi flat 40 % tanpa dibatasi waktu.

3. Adanya Dana Alokasi Khusus selama tahun ke-1 sampai tahun ke-15 dengan besaran

1006

2% dari plafon DAU Nasional dan akan turun menjadi 1% setelah tahun ke-16 sampai tahun ke-20.

4. Sebagian pendapatan Pemerintah yang berasal dari BUMN yang hanya beroperasi di Aceh, dengan besaran yang ditentukan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Aceh.

5. Pengelolaan dana-dana bagi hasil diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Aceh dan tidak diatur secara rinci pembagiannya hingga ke daerah kabupaten/kota, kecuali untuk penggunaannya. Untuk tambahan Dana Bagi Hasil migas, sebesar 30% ditetapkan untuk pembiayaan pendidikan di Aceh dan 70% untuk program pembangunan yang disepakati Provinsi dan Kabupaten/Kota.16

1. Otonomi Khusus PapuaKebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut

Kausar (2006:2) merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris”. Artinya, kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya. Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk. Dengan demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.

Selain itu berbagai literatur berkaitan dengan devolusi asimetris, juga dapat ditelaah untuk memahami konsep kekhususan otonomi Papua dan Papua Barat. De facto asymmetry merujuk pada adanya perbedaan kondisi antara daerah satu dengan lainnya. Misalnya saja dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa. Sehingga muncul perbedaan dalam pemberian otonomi, baik sistem perwakilan atau kewenangan karena adanya perbedaan karakteristik tadi. De jure asymmetry merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja dengan alasan yang berbeda.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan landasan yuridis pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan (acseleration development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus sasaran pembangunan. Sebagai akibat dari penetapan otonomi khusus ini, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada Provinsi Papua. Dengan kata lain terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, seiring dengan itu terdapat pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua. Berdasarkan sifat khusus tersebut, berlakulah asas hukum aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum (lex spesialis derogat legi generali). Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal, yang diawali dengan konsideran dan diakhiri dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Sebagai bentuk kebijakan di Papua, UU Nomor 21 Tahun 2001 ini memiliki filosofi perlindungan, pemberdayaan, dan pemihakan. Filosofi ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai persoalan di Papua. Harapannya, kebijakan ini bisa menjadi instrumen efektif dalam mengakomodasi hak masyarakat Papua secara lebih proporsional serta menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di Papua seperti kemiskinan, keterbelakangan, masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan ekonomi.

Dengan demikian, kebijakan otonomi khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk mengakomodasikan tiga hal; pertama menjawab kebutuhan peningkatan dan perbaikan kesejahteraan daerah, kedua mempertahankan integrasi NKRI dan ketiga mencari jalan tengah terhadap kemelut di Papua selama ini.

Hal-hal yang mendasar yang menjadi isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah: Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik berciri:

a. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan 16 Agung Djojosoekarto, ddk (editor), Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Jakarta: Kemitraan, 2008, hlm. 27-28

1007

pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;

b. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan

c. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat.

Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif dan eksekutif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat yang dilakukan oleh Partnership for Government Reform masih terdapat permasalahan dalam pelaksanaan 6 (enam) bidang kewenangan khusus, sebagai berikut:17

- Sektor ekonomi dalam pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus. Pemerintah Papua telah mencoba menerjemahkan kebijakan tersebut dengan menerbitkan perdasus tentang ekonomi berbasis kerakyatan dan keberpihakan pada masyarakat adat dalam mendapat manfaat ekonomi dalam pengelolaan hutan. Di level kabupaten/kota telah diupayakan berbagai program ekonomi kerakyatan namun hasilnya belum optimal. Program pemberdayaan ekonomi kerakyatan efeknya kurang terasa dalam pembangunan perekonomian.

- Sektor pendidikan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat mendapat perhatian yang lebih. Pendidikan selama pelaksanaan otonomi khusus diterjemahkan beragam oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam berbagai program-program peningkatan prasarana serta peningkatan kuantitas dan kualitas pendidik. Sejumlah program juga diterapkan untuk meningkatkan tingkat pendidikan putra-putri asli Papua. Terdapat peningkatan partisipasi sekolah di berbagai jenjang usia pendidikan. Ada indikasi perbaikan di bidang pendidikan, meskipun hasilnya belum optimal dan memerlukan perbaikan dalam kualitas pendidikan berupa ketersediaan sarana pendidikan dan sumber daya manusia pendidiknya. Bidang pendidikan mendapat dukungan yang besar dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan juga sumber utamanya APBD.

- Selama ini implementasi otonomi khusus di bidang kesehatan belum diatur dengan perdasus. Perdasus pelayanan kesehatan baru ditetapkan tahun 2010 dan belum tersosialisasikan dengan baik. Kewajiban memberikan pelayanaan kesehatan bagi penduduk belum dilaksanakan secara memadai, masyarakat masih mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan, terutama karena minimnya sarana pelayanan kesehatan dan tenaga bidang kesehatan. Terdapat berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk, namun masih belum optimal. Demikian halnya dengan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, meski ada indikasi penurunan secara makro, namun angka penderita gizi buruk dan kurang masih signifikan di kedua provinsi. Peningkatan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, perlu terus ditingkatkan karena kondisinya masih sangat kekurangan, khususnya pada daerah-daerah yang sulit dijangkau dan daerah pemekaran. Sumber daya manusia juga menjadi persoalan yang serius dalam pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping kurangnya tenaga kesehatan yang ada, persoalan lain terkait sumber daya manusia juga menyangkut lemahnya kemampuan manajerial dan keuangan.

- Pembangunan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik. Namun ada kecenderungan bahwa sasaran program infrastruktur yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada upaya penerobosan isolasi daerah yang upaya mempermudah aksesibilitas. Hal ini menjadikan pelaksanaan otonomi khusus dalam pembangunan infrastruktur tidak sejalan dengan esensinya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan ketiadaan juknis yang jelas dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Implementasi pembangunan infrastruktur dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat juga diwarnai berbagai masalah mulai dari masalah teknis pendanaan yang mengalami keterlambatan, kondisi medan geografis yang sulit, dan kendala pembebasan tanah ulayat.

- Upaya untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap 17 Partnership, Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, hlm. 196-199

1008

pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus telah dilakukan di antaranya melalui penerbitan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan, sementara di Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang kependudukan. Di satu sisi hal ini dapat membantu menyediakan data dan informasi tentang keberadaan penduduk asli Papua. Namun demikian, ada kecenderungan untuk memberikan tindakan diskriminatif terhadap penduduk asli Papua dan bukan asli Papua. Upaya untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan yang diamanatkan dalam kebijakan otonomi khusus tidak dimaksudkan untuk memberikan diskriminasi antara penduduk asli Papua dan bukan asli Papua dalam memberikan kesempatan bekerja. Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat asli Papua untuk bisa lebih berdaya saing dalam memperoleh pekerjaan. Meski angka pengangguran terbuka mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir ini di Provinsi Papua maupun Papua Barat, namun kondisi tingkat pengangguran terbuka masih mengindikasikan perlunya upaya yang lebih baik. Perhatian untuk pelaksanaan otonomi khusus bagi bidang kependudukan dan tenaga kerja masih perlu ditingkatkan.

- Dalam bidang lingkungan hidup, upaya pengelolaan lingkungan diantaranya telah dilakukan dengan menerbitkan perdasus telah diterbitkan perdasus tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua. Sementara untuk Provinsi Papua Barat belum ada perdasus yang mengatur tentang hal tersebut. Meski telah ditetapkan, namun perdasus yang ada belum sepenuhnya menjadi acuan dan belum banyak diterapkan pada upaya-upaya yang konkrit. Upaya pelestarian lingkungan, pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, perlindungan sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lindung serta pegelolaan perubahan iklim perlu ditingkatkan.

- Permasalahan lainnya dalam bidang lingkungan hidup ini adalah belum adanya lembaga independen dalam penyelesaiaan sengketa lingkungan kemudian juga diikuti dengan sarana prasarana pendukung dan terakhir SDM yang berlatar belakang lingkungan hidup.

- Bidang sosial belum tertangani dengan baik dalam pelaksanaan otonomi khusus. Dana Otonomi Khusus yang diberikan untuk membiayai bidang sosial masih sangat terbatas dan bidang ini cenderung tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Karena minimnya perhatian dari pemerintah dalam hal pendanaan, penanganan masalah sosial menjadi kurang optimal. Dalam bidang sosial, dengan spektrum yang sangat luas yang diatur harus ada pengaturan yang jelas antara mana yang menjadi ranah penyelenggaraan otonomi khusus menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 dan mana yang menjadi ranah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah sehingga memerlukan kejelasan hal-hal yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi khusus di bidang sosial.

2. Daerah Khusus Ibukota JakartaProvinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan kedudukannya sebagai Ibukota

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai daerah otonom yang berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi DKI Jakarta dilatarbelakangi oleh tantangan karakteristik permasalahan yang sangat kompleks dan berbeda dengan provinsi lain. Sebagai ibukota negara, Provinsi DKI Jakarta selalu berhadapan dengan masalah urbanisasi, keamanan, transportasi, lingkungan, pengelolaan kawasan khusus, dan masalah sosial kemasyarakatan lain yang memerlukan pemecahan masalah secara sinergis melalui berbagai instrumen.

Otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi. Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan menurut asas otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan, dan kekhususan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

1009

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Kedudukan, Fungsi, dan Peran

Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi. Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.DPRD DKI Jakarta

DPRD Provinsi DKI Jakarta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD Provinsi DKI Jakarta memberikan pertimbangan terhadap calon Walikota/Bupati yang diajukan oleh Gubernur. Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang berlaku mulai Pemilihan Umum Tahun 2009.Pemerintah DKI Jakarta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh satu orang Gubernur dibantu oleh satu orang Wakil Gubernur yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang harus memperoleh suara lebih dari 50% suara sah.

Perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, Kota Administrasi/Kabupaten Administrasi, kecamatan, dan kelurahan. Dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah DKI Jakarta dapat mengusulkan kepada Pemerintah penambahan jumlah dinas, lembaga teknis provinsi serta dinas, dan/atau lembaga teknis daerah baru sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anggaran keuangan daerah.

Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah dan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam kedudukan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibantu oleh sebanyak-banyaknya 4 (empat) orang Deputi Gubernur sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah yang bertanggung jawab kepada Gubernur. Deputi diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur.Kota Administrasi dan Kabupaten Administrasi

Kota Administrasi/Kabupaten Administrasi dipimpin oleh Walikota/Bupati. Walikota/Bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan diberhentikan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Walikota/Bupati bertanggung jawab kepada Gubernur.

Walikota/Bupati dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang Wakil Walikota/Wakil Bupati. Wakil Walikota/Wakil Bupati diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Wakil Walikota/Wakil Bupati diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Wakil Walikota/Wakil Bupati bertanggung jawab kepada Walikota/Bupati.

Perangkat pada tingkat Kota Administrasi/Kabupaten Administrasi terdiri atas sekretariat Kota Administrasi/sekretariat Kabupaten Administrasi, suku dinas, lembaga teknis lain, kecamatan, dan kelurahan. Kecamatan dipimpin oleh camat yang dibantu oleh seorang wakil camat. Camat dan wakil camat diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Kelurahan dipimpin oleh lurah dibantu oleh seorang wakil lurah. Lurah dan wakil lurah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.

Untuk membantu wali kota/bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan kota/kabupaten dibentuk dewan kota/dewan kabupaten. Anggota dewan kota/dewan kabupaten terdiri atas tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat dengan komposisi satu kecamatan satu wakil. Anggota dewan kota/dewan kabupaten diusulkan oleh masyarakat dan disetujui oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta untuk selanjutnya ditetapkan oleh Gubernur. Ketentuan mengenai susunan, jumlah, kedudukan, tata kerja dan tata cara pemilihan keanggotaan dewan kota/dewan kabupaten diatur dengan peraturan daerah.

Untuk membantu lurah dalam penyelenggaraan pemerintahan kelurahan dibentuk lembaga musyawarah kelurahan. Anggota lembaga musyawarah kelurahan dipilih secara demokratis pada tingkat rukun warga dan selanjutnya ditetapkan oleh wali kota/bupati melalui camat. Ketentuan mengenai susunan, kedudukan, tata kerja, dan keanggotaan lembaga musyawarah kelurahan diatur dengan peraturan daerah.

1010

Kewenangan dan Protokoler Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom

mencakup seluruh urusan pemerintahan (kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama, serta bagian-bagian dari urusan pemerintahan lain yang menjadi wewenang Pemerintah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan) dan urusan pemerintahan lainnya yang diatur dalam UU 29/2007. Dalam penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lainnya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia meliputi penetapan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang:a. tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup;b. pengendalian penduduk dan permukiman;c. transportasi;d. industri dan perdagangan; dane. pariwisata.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang ada di daerah Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta mendelegasikan sebagian kewenangan dan urusan pemerintahan kepada pemerintah kota administrasi/kabupaten administrasi, kecamatan, dan kelurahan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jenis kewenangan dan urusan yang didelegasikan, ruang lingkup, dan tata cara pendelegasiannya diatur dan ditetapkan dalam peraturan daerah.

Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Kerjasama dan Tata Ruang

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Banten dengan mengikutsertakan pemerintah kota/kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah provinsi lain dan dengan kota di negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah Ibukota Negara dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Rencana Tata Ruang Wilayah Ibukota Negara dikoordinasikan dengan tata ruang provinsi yang berbatasan langsung. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang berbatasan langsung merupakan hasil kerja sama secara terpadu dengan Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten.

Kerja sama secara terpadu mencakup keterpaduan dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang yang dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah setiap provinsi dengan memperhatikan kepentingan strategis nasional. Kerja sama terpadu sebagaimana dimaksud pada dikoordinasikan oleh menteri terkait.

Pemerintah dapat membentuk dan/atau menetapkan kawasan khusus di wilayah Provinsi DKI Jakarta untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus di wilayahnya kepada Pemerintah.Pendanaan

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan daerah berlaku bagi Provinsi DKI Jakarta. Pendanaan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain dianggarkan dalam APBN.

Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR berdasarkan usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur pada setiap akhir tahun anggaran wajib melaporkan seluruh pelaksanaan kegiatan dan pertanggungjawaban keuangan yang terkait dengan kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Pemerintah melalui menteri/kepala lembaga terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.18

18 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_DKI_Jakarta

1011

3. Keistimewaan YogyakartaKasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah

mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian negara mengakui dan menghormati Yogyakarta sebagai daerah yang bersifat bersifat istimewa dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pengakuan dan penghormatan negara atas keistimewaan Yogyakarta didasar oleh faktor sejarah. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku Alam VIII memutuskan untuk menjadi bagian dari Indonesia. Kedua tokoh itu masing-masing secara terpisah, tetapi dengan format dan isi yang sama, mengeluarkan Maklumat pada tanggal 5 September 1945 yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status daerah istimewa.

Keputusan kedua tokoh tersebut memiliki arti penting bagi Indonesia karena telah memberikan wilayah dan penduduk yang nyata bagi Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaannya. Peran Yogyakarta terus berlanjut di era revolusi kemerdekaan yang diwujudkan melalui upaya Kasultanan dan Kadipaten serta rakyat Yogyakarta dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. DIY pada saat ini dan masa yang akan datang akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dinamis. Masyarakat Yogyakarta dewasa ini memasuki fase baru yang ditandai oleh masyarakat yang secara hierarkis tetap mengikuti pola hubungan patron-klien pada masa lalu dan di sisi lain masyarakat memiliki hubungan horizontal yang kuat. Perkembangan di atas, sekalipun telah membawa perubahan mendasar, tidak menghilangkan posisi Kasultanan dan Kadipaten sebagai sumber rujukan budaya bagi mayoritas masyarakat DIY. Kasultanan dan Kadipaten tetap diposisikan sebagai simbol pengayom kehidupan masyarakat dan tetap sebagai ciri keistimewaan DIY. Pengaturan Keistimewaan DIY dalam peraturan perundang-undangan sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap konsisten dengan memberikan pengakuan keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa. Pengaturan Keistimewaan DIY

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, kewenangan yang diberikan kepada DIY melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta semata-mata mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang memperlakukan sama semua daerah di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sampai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal di atas telah memunculkan interpretasi bahwa Keistimewaan DIY hanya pada kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur. Oleh karena itu, diperlukan perubahan, penyesuaian dan penegasan terhadap substansi keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Istimewa melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan dan Substansi Keistimewaan

Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. Pengaturan tersebut berlandaskan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, ke-bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspek historis, sosiologis, dan yuridis, substansi Keistimewaan DIY diletakkan pada tingkatan pemerintahan provinsi. Kewenangan istimewa meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Dengan demikian, Pemerintahan Daerah DIY mempunyai kewenangan yang meliputi kewenangan istimewa berdasarkan Undang-Undang ini dan kewenangan berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Namun, kewenangan yang telah dimiliki oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota di DIY tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka mendukung efektivitas penyelenggaraan Keistimewaan DIY, pengalokasian dan penyaluran pendanaan Keistimewaan melalui mekanisme transfer ke daerah.

1012

B. ANALISIS ATAS UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAHDari paparan sebelumnya, telah terlihat bahwa penerapan konsep daerah yang bersifat

khusus atau bersifat istimewa di Indonesia, bukan semata-mata untuk respon atas keragaman sosio-kultural dan politis yang seringkali khas dan spesifik atau kekhasan kebudayaaan ataupun politik regional yang muncul akibat dari ketimpangan sosial-ekonomi sebagai implikasi dari politik pembangunan. Namun pengembangan konsep otonomi khusus juga bisa ditujukan untuk menjawab kebutuhan daerah dan melindungi kepentingan nasional yang tidak mungkin diemban secara sepihak oleh pusat, serta dalam rangka memperkuat kapasitas kompetisi nasional dalam level global. Sampai disini muncul keterbatasan dari Undang-undang Pemerintah Daerah yang berlaku saat ini yakni UU No. 32 Tahun 2004 dalam mengakomodasi keanekaragaman kebutuhan daerah baik dari sisi sosio-kultural yang bersifat khas maupun problematika dan tantangan spesisifik yang dihadapi oleh daerah. Seperti yang telah digambarkan di Bab II, dalam kajian praktik-empirik, Bali menghadapi problematika dan tantangan spsesifik terkait dengan kondisi geografis, sosio-kultural masyarakat Bali. Ada beberapa keterbatasan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dalam merespon tantangan tersebut:1. Dalam isu kedudukan, Kabupaten/ Kota memiliki kedudukan yang sama dengan Provinsi

karena sama-sama menjadi daerah otonom yang sifatnya non hierarkis.2. Dalam soal kewenangan, kabupaten/ kota memiliki otonomi seluas-luasnya dalam arti berhak

mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Sedangkan Provinsi memiliki otonomi seluas-luasnya serta bersifat lintas kabupaten. Hal ini memunculkan potensi tarik menarik kewenangan antara pemerintah kabupaten dengan provinsi. Terlebih pembagian kewenangan antara level pemerintahan tidak terumuskan dengan tegas. Akibatnya muncul tafsir yang berbeda atas kewenangan yang sama.

3. Walaupun dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan soal prinsip eksternalitas, namun dalam relasi eksternalitas sering tidak berjalan dengan baik. Kerjasama antar kabupaten tidak berjalan dengan efektif karena ada kecenderungan kompetisi yang tidak sehat sebagai imbas egosentrisme kedaerahan. Hubungan antar kabupaten lebih sering bersifat konfliktual, terutama menyangkut persoalan yang bersifat lintas kabupaten, seperti penata ruangan, dan pengelolaan sumberdaya.

4. Begitupula dalam menjalankan urusan pilihan yang seharusnya disesuaikan dengan konteks kebutuhan daerah, daerah otonom cenderung melakukannnya secara simetris (uniform) sehingga akhirnya keanekaragaman sosio-kultural dan konteks problem yang khas-spesifik tidak direspon dengan baik.

5. Dalam pengaturan tentang Desa atau dengan nama lain, UU No. 32 Tahun 2004 tidak memperhatikan dan mengakomodasi model dualisme desa. Di Bali ada dua jenis desa yaitu ”desa pakraman” atau ”desa adat” dan ”desa dinas”. Dalam Dalam praktiknya, UU hanya mengakui keberadaan desa dinas, padahal desa pakraman memiliki kewenangan yang diakui oleh masyarakat Bali sebagai otonomi asli.

6. Dalam pengaturan tentang Peraturan yang dapat dibuat oleh Pemerintah Daerah, UU No. 32 tahun 2004 hanya memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi berkembangnya masyarakat Bali. Permasalahan tersebut terjadi atas dasar bahwa di Bali berlaku beberapa jenis peraturan yang hingga kini masih diakui. Peraturan-peraturan tersebut bahkan dikaui dan dijalankan secara ajeg oleh masyarakat Bali. Persoalan yang muncul kemudian adalah bahwa dalam UU No. 32 Tahun 2004 dibatasi jenis sanksi yang dapat ditetapkan dalam Perda. Sehingga kalaupun peraturan adat yang kemudian dicoba untuk diperdakan akan terganjal oleh ketentuan yang menyebutkan bahwa dalam Perda hanya boleh terdapat ketentuan limitatif dalam UU No. 32 Tahun 2004.

7. Permasalahan yang lebih kompleks adalah terkait dengan pengakuan kesatuan masyarakat hukum adak beserta hak-hak tradisionalnya. UU No. 32 Tahun 2004 dalam pasal 3 ayat (9) menyebutkan bahwa:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia”.

Penegasan tentang keberadaan masyarakat hukum adat dalam pasal tersebut terlihat tidak terlalu spesifik. Penjelasan Pasal 3 ayat (9) menyebutkan cukup jelas. Artinya ketentuan dalam pasal tersebut dianggap cukup jelas sehingga tidak perlu diberi penjelasan. Padahal sesungguhnya pasal tersebut tidak jelas. Tidak jelas apa bentuk pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat serta hak-haknya. Hal ini tentu berdampak pada keberadaan masyarakat hukum adat di Bali. Ketidakjelasan tersebut berdampak pada kepastian hukum keberadaan masyarakat adat Bali yang hingga kini masih bertahan dan menyelenggarakan kehidupannya berdasarkan pada hukum adat.

C. ANALISIS ATAS UNDANG-UNDANG SEKTORAL1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

1013

Problem uniformitas bukan hanya secara tersembunyi muncul dalam UU Pemerintahan Daerah, namun juga sangat kuat muncul dalam UU sektoral, seperti UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat dengan daerah dan UU sektoral yang lain.

1. Dalam UU Perimbangan, kecenderungan bias daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam, sehingga formula dari Dana Perimbangan sangat dipengaruhi oleh karakteristik daerah yang kaya SDA. Sedangkan Bali dan beberapa daerah lain, yang memiliki karakteristik yang berbeda, dimana SDA bukan menjadi modal utama Bali dalam menyelenggarakan pembangunan daerahnya, karena perekonomian Bali justru lebih banyak digerakkan oleh sumberdaya jasa pariwisata. Implikasinya, formula Dana Perimbangan tidak adil dalam kondisi daerah dengan karakteristik seperti Bali dan sumberdaya non SDA tidak bisa menjawab kebutuhan Bali. Akibatnya, daerah-daerah yang miskin SDA namun memiliki potensi non SDA tidak terakomodasi dalam transfer fiskal dari Pusat ke daerah. Hal ini selanjutnya menjadi basis pijak bagi protes atas ketidakadilan dalam perimbangan hubungan keuangan pusat dan daerah.

2. Peraturan perundang-undangan yang mengatur sektoral seperti bidang ketenagakerjaan, pertanahan dan penata ruangan seringkali tidak sensitif terhadap konteks daerah yan memiliki karakteristik yang beragam. Misalnya, peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan belum mengakui desa pakraman sebagai badan hukum yang menjadi subyek hak milik atas tanah. Demikian pula dengan UU Ketenagaerjaan tidak terlalu sensisitif terhadap konteks sosio-kultural lokal Bali, dimana warganya memiliki beban ganda yakni kewajiban adat-agama.

3. Dalam UU Perimbangan, kecenderungan bias daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam, sehingga formula dari Dana Perimbangan sangat dipengaruhi oleh karakteristik daerah yang kaya SDA. Sedangkan Bali dan beberapa daerah lain, yang memiliki karakteristik yang berbeda, dimana SDA bukan menjadi modal utama Bali dalam menyelenggarakan pembangunan daerahnya, karena perekonomian Bali justru lebih banyak digerakkan oleh sumberdaya jasa pariwisata. Implikasinya, formula Dana Perimbangan tidak adil dalam kondisi daerah dengan karakteristik seperti Bali dan sumberdaya non SDA tidak bisa menjawab kebutuhan Bali. Akibatnya, daerah-daerah yang miskin SDA namun memiliki potensi non SDA tidak terakomodasi dalam transfer fiscal dari Pusat ke daerah. Hal ini selanjutnya menjadi basis pijak bagi protes atas ketidakadilan dalam perimbangan hubungan keuangan pusat dan daerah.

4. Ketidakadilan bagi Bali dalam hal perimbangan keuangan tersebut juga disebabkan oleh pengaturan pendapatan hasil pariwisata yang tidak disebutkan dalam UU tersebut. Sektor pariwisata tidak termasuk dalam hasil sumber daya alam atau sektor lain yang dibagikan kepada daerah, sehingga hasil dari sektor pariwisata justru banyak dinikmati olerh pemerintah pusat. Hal ini juga akibat dari kebijakan pariwisata yang masih sentralistik.

5. Dana bagi hasil tidak merefleksikan potensi daerah. Dana bagi hasil pendapatan yang berasal dari daerah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang kemudian dibagihasilkan ke daerah secara proporsional. Namun dalam hal ini pemerintah tidak memperhatikan kebutuhan spesifik dari masing-masing daerah, khususnya Bali.

6. Bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak sebanding. Pengeluaran yang dikeluarkan Bali untuk mengelola sektor pariwisata lebih besar dari dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Beban Bali menjadi bertambah dalam menjaga keutuhan, kenyamanan dan keamanan sebagai konsekuensi Bali sebagai pusat pariwisata di Indonesia.

2) Undang Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.Pada mulanya adanya Undang Undang Kepariwisataan tersebut merupakan respon dari pemerintah akan kebutuhan pengaturan masalah kepariwisataan yang komprehensip, tidak dapat dipungkiri wilayah-wilayah di Indonesia memilki potensi pariwisata yang sangat besar mengingat kekayaan alam dan budaya. Tetapi jika diperhatikan lebih lanjut substansi dari undang Undang tersebut justru membatasi adanya kewenangan daerah dalam pengaturan kepariwisataan di daerahnya. Bali sebagai salah satu daerah dengan destinasi pariwisata terbesar di Indonesia tentu sangat “direpotkan” dengan undang undang ini. setidaknya ada lima kelemahan dalam Undang Undang Kapariwisataan tersebut yang dapat mempersempit ruang gerak pemerintah daerah Bali untuk mengelola pariwisata sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

1. Adanya Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional (RIPPARNAS). Hal ini diatur dalam Pasal 8 – 9 Undang Undang Pariwisata dan dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS. RIPPARNAS menjadi pedoman bagi semua daerah dalam menyusun kebijakan kepariwisataan ditingkat daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Penyusunan RIPPARNAS termasuk menetapkan Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sedangkan Pemerintah Daerah harus mengkoordinasikan dan mengkonsultasikan semua kebijakan yang bekaitan dengan kepariwisataannya. Bagi masyarakat Bali tentu hal ini sangat merepotkan mengingat Bali memiliki sektor pariwisata yang sangat komplit dibanding dengan daerah-daerah yang lain. disetiap jengjkal kehidupan masyarakat bali terdapat nilai pariwisata yang dapat dimanfaatkan dan dikelola secara mandiri oleh masyarakat Bali, jika masih

1014

harus menunggu kebijakan Pemerintah Pusat, akan banyak potensi pariwisata yang tidak terakomodir dan terkelola dengan baik.

2. Kebijakan pariwisata yang masih terpusat. Peran pemerintah pusat sangat dominan, mulai dari penetapan kebijakan, pengawasan pelaksnaan hingga kewenangan melakukan evaluasi. Sebagaiamana disebutkan dalam pasal 38 UU Par Kewenangan Pemerintah adalah: a) menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional; b) mengkoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi; c) menyelenggarakan kerjasama internasional dibidang kepariwisataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d) menetapkan daya tarik wisata nasional; e) menetapkan destinasi pariwisata nasional; f) menetapkan norma, standar, pedoman, prosedur, kriteria, dan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan kepariwisataan; g) mengembangkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia dibidang kepariwisataan; h) memelihara, mengembangkan dan melestarikan aset potensial yang belum tergali; i) melakukan dan memfasilitasi promosi pariwisata nasional; j) memberikan kemudahan yang mendukung kunjungan wisatawan; k) memberikan informasi dan/atau peringatan dini yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan; l) meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan potensi wisata yang dimiliki masyarakat; m) mengawasi, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan kepariwisataan; dan n) mengalokasikan anggaran kepariwisataan. Sedangkan kewenangan pemerintah daerah adalah: a) menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan tingakt provinsi, kabupaten/kota; b) mengkoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya; c) melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendaftaran usaha pariwisata; d) menetapkan destinasi pariwisara provinsi. Kabupaten/kota; e) menetapkan daya tarik wisata provinsi, kabupaten/kota; f) memfasilitasi promosi destinasi pariwisata yang berada di wilayahnya; g) memelihara adet daerah yang menjadi daya tarik wisata; dan h) mengalokasikan anggaran kepariwisataan.

3. Dari distribusi kewenangan tersebut dapat dilihat adanya ketimpangan kewenangan dalam pembuatan kebijakan dan pengelolaan sektor pariwisata antara pemrintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah hanya bersifat administratif dan kewenangannya delegatif dari pemerintah pusat, arah kebijakan kepariwisataan masih bertumpu pada kebijakan pemerintah pusat. Padahal sejatinya daerah-lah yang paling mengetahui potensi-potensi wisata di daerahnya. Hal ini tentu sangat merugikan daerah berpotensi wisata besar seperti Bali, dimana daerah harus menyesuaikan kebijakannya dengan arah kebijakan pemerintah pusat, tidak dapat melakukan kerjasama internasional secara mandiri khsuus bidang kepariwisataan dan tidak dapat menetapkan jenis usaha pariwisata di luar yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Padalah pote wisata Bali tdak hanya terpusat pada wisata alam dan budaya tetapi juga wisata spriritual.

4. Terkait dengan adanya Undang Undang tentang Kawasan Periwisata Khusus Pasal 13 ayat (4) Undang Undang Pariwisata). Hingga saat ini pemerintah belum menyebutkan secara spesifik daerah mana saja yang ditetapkan sebagai kawasan pariwisata khusus dan apa saja kriterianya. Dalam prakteknya hingga saat ini daerah-daerah bisa “mengklaim” daerahnya sendiri sebagai kawasan pariwisata khusus. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh provinsi Bali sebagai pemilik destinasi pariwisata terbesar di Indonesia, kekayaan alam dan budaya menjadi alasan utama bagi bali untuk dapat dijadikan daerah/kawasan khusus pariwisata dan layak diberikan hak-hak khusus dalam pengelolaannya.

5. Adanya standarisasi dan sertifikasi usaha pariwisata oleh pemerintah pusat. Hal ini akan sangat menyulitkan bagi jenis usaha pariwisata tertentu yang hanya dimiliki Bali, misalnya wisata adat dan wisata spiritual, bagaimana kriteria dan spesifikasinya? Dan siapakan yang berhak mengeluarkan sertifikasi tersebut? Pada intinya setiap usaha pariwisata di daerah memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri yang tidak dapat distandarisasi dan diseragamkan, karena fakor etika dan estetika berbeda di masing-masing daerah sesuai dengan kondisi masyarakat. Jika dipaksakan untuk standararisasi dan unifikasi bentuk, keunikan Bali akan lenyap dan masyarakat yang akan dirugikan.

3) Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan RuangUndang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada dasarnya merupakan pengaturan terhadap penggunaan ruang wilayah yang ada di Indonesia. Pengaturan ruang berdasarkan Undang-Undang tersebut dapat dikatakan berjenjang dari Pemerintah (Pusat), Pemerintah Provinsi dan juga Pemerintah Kabupaten/Kota. Pengaturan tersebut menunjukkan adanya suatu keinginan untuk menyeragamkan pola penataan ruang di Indonesia.Penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya harus memperhatikan keadaan nyata suatu daerah. Hal tersebut nantinya akan berdampak pada termanfaatkannya ruang secara maksimal dan menyebabkan lingkunga tidak akan terganggu. Pola pengaturan ruang yang hierarkis tentu akan menimbulkan dampak negatif dalam penataan ruang. Kalaupun tudak menimbulkan dampak negative, potensi ruang daerah tidak akan dapat digunakan dengan maksimal.Bali sebagai suatu daerah yang ada di Indonesia tentu memiliki karakteristik ruang yang

1015

berbeda dengan daerah lainnya. Karalteristik tersebut muncul atas dasar perbedaan wilayah maupun perbedaan budaya. Namun pada dasarnya hal tersebut merupakan suatu hal yang bukan menjadi nilai negatif, tetapi sebaliknya. Karakteristik local tersebut bias jadi tidak akan dapat diselenggarakan dengan maksimal jika ketentuan pengaturan mengenai ruang mengacu pada konsep nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Konsep yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal penataan ruang tentu tidak akan mampu untuk mengakomodir karakteristik lokal yang ada di Bali. Dengan demikian potensi ruang Bali yang sesungguhnya telah diatur secara ajeg oleh masyarakat Bali sebelum dan sesudah Indonesia merdeka tidak dapat dimaksimalkan.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang seperti yang telah disebutkan sebelumnya bersifat hierarkis. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tersebut membuktikannya. Beberapa pasal dibawah ini menunjukkan bahwa Penataan Ruang harus mengacu pada konsep penataan ruang yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat.1. Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi “Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang

wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.”

2. Pasal 10 ayat (7) yang menyebutkan “Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

3. Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan:(1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan:

a. rencana umum tata ruang; danb. rencana rinci tata ruang.

(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara berhierarki terdiri atas:a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;b. rencana tata ruang wilayah provinsi; danc. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.

4. Pasal 18 menyebutkan bahwa:(1) Penetapan rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang

wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri.

(2) Penetapan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri setelah mendapatkan rekomendasi Gubernur.

(3)Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

5. Pasal 20 ayat (2) menyebutkan bahwa:(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:

a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan

antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dang. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

6. Pasal 22 ayat (1) menyebutkan bahwa:(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;b. pedoman bidang penataan ruang; danc. rencana pembangunan jangka panjang daerah.

Beberapa pasal yang telah disebutkan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan mengenai penataan ruang jelas mengacu pada konsep penataan ruang Pemerintah Pusat. Hal tersebut bagi Provinsi Bali tentu berdampak pada tidak terakomodirnya karakteristik lokal dan juga kearifan lokal penataan ruang Bali yang sudah lama ada

1016

BAB IVLANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. LANDASAN FILOSOFIS Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa

peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita dari pengaturan otonomi khusus untuk Provinsi Bali.

Landasan filosofis dari pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali adalah sebagai berikut: Pertama, Bhinneka Tunggal Ika. Falsafah ini merupakan sesanti yang dicantumkan dalam lambang negara. Esensi dasar falsafah ini adalah pengakuan dan penghormatan terhadap kemajemukan, namun pada saat yang sama juga membangun ketunggal-ikaan dalam kerangka Persatuan Indonesia. Dengan demikian sila ketiga Pancasila bisa ditafsirkan secara lebih dinamis, dengan melihat kemajemukan bukan sebagai hambatan atau tantangan bagi Persatuan Indonesia, melainkan pengakuan dan penghormatan terhadap kemajemukan merupakan fondasi dasar dalam membangun persatuan. Penghormatan dan pengakuan pada kemajemukan selanjutnya diikuti dengan upaya mencari konsensus bersama dalam ketunggal-ikaan.

Falsafah Bhinneka Tunggal Ika bukan semata-mata konsep yang diterima secara nasional di Indonesia, melainkan juga menjadi basis filosofi dalam pandangan hidup di berbagai negara di dunia. Itu artinya falsafah ini bersifat universal. Dalam sejarah perjalanan bangsa Amerika Serikat dikenal falsafah: ”unity in diversity”. Falsafah ini juga dijumpai dalam strategi berbagai negara-bangsa dalam merespon kemajemukan. Politik multikultural yang diterapkan di berbagai negara Eropa, dan Amerika Utara sangat menekankan pada penghormatan dan pengakuan pada keanekaragaman sosio-kultural, namun tetap membangun konsensus sebagai sebuah negara-bangsa.

Dalam pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali, falsafah bhinneka tunggal ika ditempatkan sebagai asas yang diartikan sebagai tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ikaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, Rekognisi kearifan lokal. Yang dimaksud dengan pendayagunaan kearifan lokal adalah pemeliharaan dan nilai-nilai dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat Bali dalam konteks kekinian dan masa depan. Masyarakat Bali meyakini konsep Tri Hita Karana adalah satu konsepsi yang mengintegrasikan secara selaras tiga komponen penyebab kesejahteraan dan kebahagian hidup. Ketiga konsep tersebut adalah :

1. Parhyangan yakni membangun hubungan harmoni dengan Tuhan yang memberikan perlindungan bagi kehidupan.

2. Pawongan, adalah membangun hubungan harmoni dengan sesama.3. Palemahan, yaitu membangun harmoni dengan lingkungan di sekitarnya.Selanjutnya, konsep Tri Hita Karana bukan semata-mata budaya nilai, namun diwujudkan

dalam budaya kelembagaan terutama dijalankan oleh lembaga adat: Desa Pakraman, Banjar, Sekehe dan Subak. Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hubungan adat di daerah Bali yang memiliki kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga yang meiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Desa pakraman berfungsi sangat sentral dalam implementasi konsep Tri Hita Karana dalam wujudnya yang kongret mulai tata pemerintahan, tata sosial sampai dengan tata ruang. Berbagai fungsi Desa Pakraman, didesentralisasi dalam beberapa kesatuan wilayah dibawah desa yang disebut banjar. Banjar disamping berfungsi secara religius juga menangani fungsi – fungsi yang bersifat sosial, ekonomi dan kultural.

Selain Desa Pakraman dan Banjar, pengorganisasi komunitas dilakukan oleh Sekehe. Sekehe merupakan lembaga sukarela yang dibentuk atas dasar tujuan-tujuan tertentu. Di Bali ada bermacam-macam jenis sekehe di bidang kehidupan pertanian, kerajinan, kesenian, keagamaan dan lain-lain. Sedangkan, didalam sistem pertanian di bali, subak memegang peranan yang sangat penting. Subak merupakan salah satu lembaga tradisional yang merupakan satu kesatuan para pemilik atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari satu sumber air atau bendungan tertentu. Subak merupakan satu kesatuan ekonomi, sosial dan keagamaan. Tugas warga subak pada umumnya adalah mengatur pembagian air, memelihara dan memperbaiki sarana irigasi, melakukan pemberantasan hama, melakukan inovasi pertanian dan mengkonsepsikan serta mengaktifkan upacara.

Dengan demikian, Tri Hita Karana merupakan nilai fundamental yang melandasi pengakuan otonomi khusus bagi Provinsi Bali, bahwa keserasian dan keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam diyakini merupakan sumber kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Bali yang harus terus menerus dipelihara dan dilestarikan.Ketiga, nilai-nilai demokrasi dan kerakyatan. Mengapa nilai-nilai demokrasi dan kerakyatan

1017

perlu dikedepankan? Karena selama ini antara nilai-nilai kearifan lokal , terutama nilai-nilai dalam masyarakat hukum adat selalu dikontraskan dengan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai kearifan lokal dianggap sangat partikularistik, sedangkan nilai-nilai demokrasi cenderung ditempatkan sebagai seperangkat nilai universal yang asing bagi masyarakat lokal. Padahal, nilai-nilai demokrasi dan kerakyatan bukan nilai yang asing dalam masyarakat Bali. Demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi kerakyatan, yang secara harfiah diterjemahkan sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam masyarakat Bali, nilai demokrasi kerakyatan terwujud dalam posisi dan peran warga (krama) dalam proses pengambilan keputusan di semua jenis persekutuan sosial. Setiap pengambilan keputusan dalam institusi adat pasti melibatkan krama dalam sebuah mekanisme Paruman atau rapat warga. Di desa Pakraman, kedudukan krama sangat penting. Pengurus Desa Pakraman atau disebut Prajuru Desa Pakraman hanya menjelankan keputusan yang dibuat oleh Krama dalam Paruman Desa Pakraman. Semua ketentuan tentang hak dan kewajiban krama diatur dalam konstitusi Desa Pakraman yang disebut Awig-awig.

Sifat kerakyatan dalam demokrasi yang hidup dalam masyarakat Bali terlihat jelas dari keputusan yang dibuat dalam Paruman Desa Pakraman terkait dengan kepentingan krama yang bersifat perlindungan, pengayoman dan pembimbingan warga. Hal ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai demokrasi dan kerakyatan menjadi pandangan hidup dan juga menjad “ruh” dalam praktik hidup bersama masyarakat Bali.Keempat, kepentingan nasional. Penegasan tentang kepentingan nasional ini perlu dilakukan. Karena status sebagai daerah khusus bukan hanya untuk kepentingan masyarakat Bali an sich, namun lebih luas lagi penguatan pada otonomi khusus Bali adalah menjawab kepentingan daerah-daerah lain dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Basis argumennya adalah sebagai berikut:

a. Bali dengan kebudayaan masyarakatnya, sudah menjadi milik dan kebanggaan Indonesia dan Dunia. Berbagai kekhususan yang dimiliki Provinsi Bali dianggap sesuatu yang unik oleh orang luar Bali, menyebabkan mereka datang ke Bali dan memberikan berbagai julukan indah kepada Pulau Bali. Perdana Menteri India, Pandit Jawahral Nehru, saat berkunjung ke Bali ditemani oleh Presiden Soekarno, tahun 1950-an, memberi julukan ”The Morning of the World” kepada Pulau Bali (Vickers, 1996: 5; Robinson, 2006: 284). Pada akhirnya kekhususan dan keunikan yang dimiliki, telah mengantarkan Provinsi Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata terkenal di dunia.

b. Perkembangan sektor pariwisata di Bali memiliki konektivitas dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Ini berarti pariwisata Bali bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi pariwisata Indonesia. Sebagai lokomotif, laju pertumbuhan ekonomi pariwisata di Bali akan menimbulkan dampak ikutan pada ekonomi pariwisata dan non pariwisata di provinsi lain di Indonesia. Dengan demikian, sektor pariwisata Bali akan menyumbang bagi pembangunan ekonomi nasional.

c. Pariwisata Bali yang berbasiskan budaya juga menjadi salah satu unggulan Indonesia dalam daya saing ekonomi global. Dengan demikian, penguatan otonomi khusus Bali bukan hanya untuk Bali, melainkan untuk meningkatkan tingkat daya saing dalam kompetisi global.

Kelima, efektivitas pemerintahan. Pemerintahan yang diselenggarakan dalam kerangka otonomi khusus harus bisa berdayaguna. Hal ini perlu ditekankan karena belajar dari pengalaman pemberian status otonomi khusus di berbagai daerah yang dilakukan tanpa efektivitas pemerintahan justru akan berimplikasi pada semakin jauhnya praktek otonomi khusus dari tujuan kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, pengakuan otonomi khusus harus diikuti oleh asas pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, transparana, akuntabel, responsif, partisipatif dan menjamin kepastian hukum.

B. LANDASAN SOSIOLOGIS Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan

bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Secara sosiologis Naskah Akademik disusun dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Tujuan kajian sosiologis ini adalah untuk menghindari tercerabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di masyarakat. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang setelah diundangkan kemudian ditolak oleh masyarakat lewat aksi-aksi demonstrasi merupakan cerminan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki akar sosial kuat.

Dalam konteks pembicaraan tentang otonomi khusus bagi Provinsi Bali, seperti yang telah digambarkan di Bab II, Bali memiliki problematika dan tantangan yang khusus dan spesifik sehingga tidak terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Dalam

1018

menghadapi problematika itu, dalam sepuluh tahun terakhir ini berkembang wacana otonomi khusus untuk Provinsi Bali, yang disuarakan oleh berbagai komponen masyarakat Bali. Wacana otonomi khusus bisa dibagi dalam tiga periode: Periode 2004-205, periode kedua tahun 2005-2009 dan periode ketiga tahun 2012-2014.Wacana Otsus Bali Babak Pertama, 1998-2005

Gerakan untuk menuntut Otsus Bali berawal proses politik yang muncul pada tahun 1998. Pada waktu itu, muncul rasa tersinggung warga Bali atas ucapan AM Saefuddin, tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dalam kabinet BJ Habibie, yang menyiratkan bahwa orang yang beragama Hindu tak bisa menjadi Presiden Republik Indonesia. Merespon pernyataan AM Saefuddin itu, warga Bali ketika itu menggelar demo besar-besaran, menuntut agar AM Saefuddin mundur. Apabila tidak mundur maka gerakan ini menuntut Bali Merdeka. Walaupun akhirnya tidak ada tindakan apa-apa terhadap AM Saefuddin oleh Habibie, tuntutan Bali Merdeka ini akhirnya surut dengan sendirinya sejalan dengan beralihnya tongkat kepemimpinan nasional dari Habibie ke Gus Dur. Wacana otsus bagi Provinsi Bali muncul kembali setelah ditetapkannya Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam kedua UU itu, tidak disebutkan mengenai pembagian hasil pendapatan negara dari sektor pariwisata. Hal ini dianggap pengaturan yang tidak adil dan merugikan Bali yang mengandalkan pendapatan dari pariwisata. Perjuangan untuk menuntut Otsus Bali diketuai oleh Wagub kala itu, IGN Alit Kusuma Kelakan. Karena lemahnya proposal yang masuk, tidak ada tanggapan yang antusias dari Jakarta. Bahkan, Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, mempertanyakan keinginan Otsus Bali. Menurutnya itu permintaan yang berlebihan. Demikian pula, Menteri Dalam Negeri saat itu, M. Ma’ruf juga menyatakan ketidak-setujuannya, terutama jika alasannya adalah pembagian hasil dari sektor pariwisata.Wacana Otsus Bali Babak Kedua, 2005-2009

Di periode ini, usulan Otsus Bali digarap dengan lebih serius. Paling tidak, keseriusan ini bisa dilihat dari pembentukan Panitia Khusus oleh DPRD Provinsi Bali untuk memperjuangkan Otonomi Khusus Bagi provinsi Bali. Dalam kerjanya, Pansus DPRD Bali dibantu oleh tim akademisi dari Universitas Udayana. Ada dua hal yang telah dilakukan oleh Pansus DPRD Bali: Pertama, Pansus DPRD menggalang konsensus untuk terwujudnya Otsus Bali. Upaya membangun konsesus itu dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat mulai dari bendesa adat/pakraman, bupati, akademisi, budayawan, dan lain-lain. Kedua, Pansus DPRD telah behasil merumuskan RUU Otonomi khusus Bali yang disertai dengan naskah akademiknya. Tangga berikutnya adalah mendorong agenda RUU dalam agenda legislasi nasional. Namun sayangnya, upaya mendorong RUU Otsus Bali di tingkat nasional baru sebatas berhasil memasukan agenda RUU Otsus Bali ke dalam daftar prolegnas pada tahun 2007. Wacana Otsus Bali Babak Ketiga, 2012-2014 Setelah sempat mengendap selama bertahun-tahun, wacana otonomi khusus Bali kembali muncul di permukaan pada pertengahan 2012. Motornya kali ini bukan lagi institusi yang ada di daerah, tapi para wakil Bali di DPD RI dan DPR RI. Dari DPR RI, wacana Otsus digerakan oleh Nyoman Darmantra. Pada awal tahun 2012, Nyoman Dhamantra menggalang Gerakan Forum Perjuangan Hak Bali. Berbeda dengan wacana otonomi khusus yang sudah bergulir sebelumnya, Forum Perjuangan Hak Bali mengusulkan revisi UU Pembentukan Provinsi Bali, di mana muatan otonomi khusus seperti pemerintah tersentralisasi di Provinsi dan perimbangan dana pariwisata bisa dimasukkan dalam revisi UU tersebut. Forum Perjuangan Hak Bali juga tidak menggunakan kata otonomi khusus melainkan menyebutnya dengan istilah “desentralisasi asimetris”, yakni otonomi di mana hubungan pemerintah pusat dengan daerah tidak tunggal tetapi beragam dan tergantung kondisi daerah. Berpijak dari tiga babak wacana Otsus Bali seperti tergambar di atas terlihat jelas bahwa wacana otsus memiliki akar sosial yang kuat dan masih hidup dalam masyarakat Bali. Wacana ini telah diperjuangkan oleh berbagai komponen masyarkat Bali ke tingkat nasional. Dalam konteks perkembangan itu, masyarakat Bali tinggal menunggu respon dari lembaga pembentuk undang-undang di tingkat pusat.

C. LANDASAN YURIDISLandasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa

peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu,antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

1019

Dengan demikian Dasar yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtsgrond) bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini terdiri dari dasar yuridis dari segi formil dan dasar yuris dari segi materiil. Dasar yuridis dari segi formil adalah landasan yang berasal dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi suatu instansi membuat aturan tertentu. Sedangkan dasar yuridis dari segi materiil yaitu dasar hukum untuk mengatur permasalahan (objek) yang akan diatur. Dengan demikian dasar yuridis ini sangat penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Dasar konstitusional untuk mengatur kewenangan khusus yang diaspirasikan masyarakat Bali bisa dirujuk pada :

a. Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

b. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.Berdasarkan praktik ketatanegaraan, dapat ditarik benang merah bahwa penjabaran

pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 berbentuk Daerah Khusus dan Daerah Istimewa. Pertama, Daerah Khusus. Satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus (Otsus). Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat daerah. Dasar hukum Daerah Khusus diatur di dalam UUD NRI 1945, yaitu:

- Pasal 18 A Ayat (1):“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”

- Pasal 18B Ayat (1):“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Latar belakang pemberian otonomi khusus lebih didasarkan pada pertimbangan non sejarah dan hak asal usul. Pemberian otonomi khusus lebih dititikberatkan pada kondisi dan kebutuhan riil daerah sehingga diperlukan penyelenggaraan wewenang yang bersifat khusus. Misalnya pemberian Otsus Papua dilatarbelakangi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Selain itu, pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.

Kewenangan Daerah dengan otonomi khusus mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain kewenangan tersebut, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, daerah diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang kekhususannya. Daerah-daerah yang memiliki status otonomi khusus selain diatur dengan UU Khusus, tunduk pula dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan ketentuan undang-undang lain.

Kedua, Daerah Istimewa. Daerah Istimewa adalah daerah yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh Daerah berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki Daerah selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dasar hukum Daerah Istimewa diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 18B Ayat (1) yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

1020

Keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh Daerah berdasarkan sejarah dan hak asal-usul sebagai contoh dapat dilihat pada Aceh sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Pengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah yaitu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Pengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada aspek kesejarahan yaitu Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek lainnya adalah hak asal-usul yaitu Kesultanan Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram, peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, serta balas jasa Presiden Soekarno atas pengakuan raja-raja yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan wakilnya adalah KGPAA Paku Alam VIII, masing-masing gubernur dan wakil gubernur memiliki masa jabatan seumur hidup.

Selain Aceh dan Yogyakarta, dalam sejarah Indonesia, pengakuan keistimewaan juga pernah diberikan kepada Surakarta. Pengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Surakarta didasarkan pada hak asal-usul Kasunanan Surakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram, peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, serta balas jasa Presiden Soekarno atas pengakuan raja-raja yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia. Gubernur Daerah Istimewa Surakarta yang pertama adalah Sri Susuhunan Pakubuwana XII dan wakil gubernur Sri Mangkunegara VIII. Namun karena terjadi revolusi sosial yang didalangi oleh Tan Malaka untuk menentang berkuasanya kekuatan aristokrasi dan feodalisme di Daerah Istimewa Surakarta, maka semenjak 16 Juni 1946 DIS dihapuskan dan diganti dengan status Karesidenan yang dipimpin oleh seorang residen.

Saat ini, masih berkembang aspirasi dari daerah-daerah untuk diakui sebagai daerah khusus atau daerah istimewa. Berkembangnya tuntutan otonomi khusus atau istimewa tersebut sebenarnya tidak terlepas dari kelemahan otonomi daerah (desentralisasi simetris) yang selama ini berjalan. Kelemahan tersebut antara lain:

a. Ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang berakibat pada perbedaan interprestasi, tumpang tindih, dan tarik menarik kewenangan antar level pemerintahan;

b. Kerancuan yang terjadi menyusul model susunan pemerintahan yang menempatkan provinsi sebagai daerah otonom sebagaimana kabupaten/kota, padahal wilayah provinsi meliputi wilayah kabupaten/kota, dan pada saat bersamaan juga merupakan wakil Pemerintah Pusat di daerah;

c. Situasi pembuatan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah yang cenderung terpecah-pecah sehingga menghasilkan peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan atau tidak tepat sasaran, baik dalam lingkup nasional maupun lokal;

d. Kecenderungan pemerintah nasional tidak melakukan penyesuaian kelembagaan dengan rezim desentralisasi sehingga yang terjadi justru “pembengkakan” struktur kelembagaan di pusat;

e. Pembagian kewenangan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang belum jelas dan cenderung seragam untuk seluruh daerah sehingga banyak menimbulkan banyak kesulitan karena tak seluruhnya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan daerah;

f. Banyaknya urusan pemerintahan yang mensyaratkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria), dimana kelambanan di departemen sektoral dlm NSPK berimbas pada tidak adanya standar kualitas penyelenggaraan urusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Walaupun ada keleluasaan bagi daerah untuk bergerak sebelum NSPK keluar, namun sangat sedikit daerah yang berinovasi untuk menetapkan sendiri kualitas pelayanan publik.

Kelemahan-kelemahan tersebut menunjukkan bahwa desain tunggal desentralisasi di tengah keberagaman karakteristik dan kebutuhan lokal tidak menjadi jawaban atas variasi tantangan lokal Indonesia. Karakteristik khusus misalnya Daerah kepulauan, daerah perbatasan, kawasan rawan bencana, kawasan-kawan dengan keunikan budaya dan kesejarahan, daerah-daerah dengan keterbatasan kapasitas dalam pengelolaan fungsi dasar pemerintahan, daerah-daerah yang menyimpan konflik dengan nasional. Dengan demikian diperlukan upaya alternatif guna menghapi kelemahan dan “kegagalan” penyelenggaraan otonomi. Dengan demikian perlu pemikiran alternatif tentang model desentralisasi Indonesia ke depan

Dalam konteks Bali, pengaturan difokuskan pada pengakuan dan pengormatan kearifan lokal Bali misalnya subak sebagai world herritage dan penghormatan lainnya dari negara terhadap adat dan istiadat Bali. Masalah pertanahan dan penataan ruang Bali juga bisa diatur berdasarkan

1021

Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 tersebut.19

Otsus Bali tidak sama dengan Otsus Papua dan Aceh. Otsus Bali tidak semata-mata berkaitan masalah politik regional yang muncul akibat dari ketimpangan sosial-ekonomi sebagai implikasi dari politik pembangunan sehingga memunculkan tuntutan pembagian yang adil dalam hubungan pusat dan daerah. Aspirasi Otsus Bali muncul dalam dua kebutuhan: Pertama, perlindungan keragaman sosio-kultural dan politis yang seringkali khas dan spesifik atau kekhasan kebudayaan.20Dengan adanya kekhasan budaya Bali berupa perlindungan dan pengaturan secara tersendiri terkait dengan hari-hari kerja yang didasarkan pada upacara-upacara, kawasan pantai menjadi milik publik, sistem subak, sistem pengabuan mayat, adanya pecalang maka seluruh nilai-nilai tersebut yang menjadi spesifikasi Bali dapat diatur dalam suatu UU dengan kerangka daerah khusus (Otsus). Kedua, melindungi kepentingan nasional yang tidak mungkin diemban secara sepihak oleh pusat melainkan juga daerah. Bali sebagai daerah unggulan di sektor Pariwisata budaya perlu diberikan ruang dan kewenangan khusus untuk meningkatkan kemampuannya dalam dalam persaiangan ekonomi pariwisata global.

Pengaturan otonomi khusus Bali dalam sebuah undang-undang yang merupakan revisi undang-undang perubahan pembentukan Provinsi Bali kurang tepat karena otonomi khusus Bali perlu disinergikan dengan kewenangan daerah kabupaten/kota. Perubahan Undang-Undang pembentukan provinsi implikasinya hanya pada pengaturan pemerintahan provinsi. Sedangkan Kabupaten/Kota yang diatur dengan undang-undang tersendiri-sendiri tidak terpengaruh dengan perubahan tersebut. Disinilah peliknya apabila kewenangan khusus Bali tersebut diatur dengan cara merubah undang-undang pembentukan Provinsi Bali. Pengaturan yang tepat adalah dengan membuat undang-undang tersendiri tentang Pemerintahan Provinsi Bali. Undang-undang tersebut materi muatannya mengatur kewenangan khusus yang ingin diatur.

Selain memiliki pijakan yang kuat dalam Konstitusi, pemberian kewenangan khusus bagi Provinsi Bali diperkuat oleh konvensi-konvensi internasional. Sebagaimana diketahui, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik PBB (International Covenant on Civil and Politic Rights/ ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tanggal 28 Oktober 2005. Pasal 27 dari kovenan itu menyatakan bahwa kelompok minoritas agama, etnis, bahasa, wajib dilindungi oleh negara sehingga anggota kelompok dapat bebas menganut agama dan menjalankan ibadah agama serta bebas menikmati kebudayaannya sendiri.’

Senada dengan itu, Pasal 15 Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Right / ICESCR, 1966) yang juga telah diratifikasi Indonesia tahun 2005, menekankanbahwa negara wajib melindungi dan mengembangkan kebudayaan lokal tersebut bila perlu dengan melakukan tindakan konservasi. Lebih jauh berkenaan dengan hal tersebut, Article 15 Paragraph 2 antara lain menyatakakan : ……..”to achieve the full realization of this right shall include those necessary for the conservation ….(DPI United Nations; 1995 : 232). Konservasi dalam konteks Bali dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melindungi dan melestarikan kebudayaan Bali yang bersifat khusus dan terkenal di mancanegara yang tiada lain kekhususan atau keunikan itu sesungguhnya merupakan salah satu puncak kebudayaan nasional.

Instrumen internasional lainnya yang secara lebih khusus mengamanatkan perlunya perlindungan terhadap warisan budaya yang bersifat khusus adalah Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Dunia (ConventionConcering the Protection of the World Cultural anD Natural Heritage) 1972, Pasal 4 Konvensi tersebut mengatur tentang kewajiban negara untuk melakukan perlindungan dan konservasi terhadap warisan budaya yang ada di wilayah negara. Sementara Pasal 5 huruf (d) menegaskan perlu adanya payung hukum nasional dalam melakukan perlindungan, konservasi maupun rehabilitasi (…..”to take approriate legal…measure necessary for the…..protection and rehabilitations”). Indonesia telah meratifikasi konvensi UNESCO itu pada tanggal 6 Agustus 1989.

19 Fajrul Falakh dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Kantor DPD RI20 Ferry Mursidan Baldandalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPD RI

1022

BAB VARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

Dengan memperhatikan Bab I sampai dengan Bab IV, maka direkomendasikan arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan Undang-Undang Otonomi Khusus Bali adalah sebagai berikut:A. ARAH PENGATURANA.1. AsasDalam pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali perlu dirumuskan asas-asas yang merupakan suatu pernyataan fundamental yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat maupun dalam penyelenggaraan otonomi khusus. Pada Bab IV sudah disampakan landasan filosofis dari otonomi khusus Provinsi Bali. Landasan filosofis itu selanjutnya menjadi prinsip-prinsip yang menjiwai pengaturan maupun penyelenggaraan otonomi khusus. Asas-asas tersebut antara lain:

1. Asas Bhinekka Tunggal IkaAsas ini merupakan penjabaran dari rumusan sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Ketunggal-ikaan (persatuan Indonesia) hanya bisa terwujud jika dilakukan dengan menghormati dan mengakui Kebhinekaan (keanekaragaman). Berpijak pada asas ini diharapkan terwujud tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-Bhinneka-tunggal-ikaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara teoritik, prinsip ini bisa diwujudkan dalam model tata kelola desentralisasi yang mengakui dan menghormati keanekaragaman karakteristik daerah-daerah, yang disebut desentralisasi asimetris.

2. Rekognisi Kearifan LokalAsas ini memberikan panduan bahwa dalam pengaturan maupun penyelenggaraan otonomi khusus harus didasarkan pada penghormatan dan pengakuan nilai-nilai dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat Bali. Nilai-nilai dan tradisi luhur itu bersumber pada ajaran agama Hindu. Hal ini seklaigus mempertegas dan menjabarkan sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa. Secara filosofis, masyarakat Bali meyakini falsafah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan nilai yang tumbuh, berkembang dan diamalkan dalam kehidupan masyarakat Bali. Falsafah itu mengajarkan bahwa tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha (Dharma, Artha, Kama, Moksha) bisa dicapai melalui keharmonisan, keselarasan, dan keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesame manusia (Pawongan) dan manusia dengan lingkungannya (Palemahan).

3. Asas Demokrasi dan KerakyatanAsas ini merupakan sesuatu yang fundamental sebagai penjabaran sila keempat Pancasila: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan / perwakilan. Asas ini memberi pedoman bahwa penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi kerakyatan, seperti: partisipasi, musyawarah-mufakat, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas.

4. Asas Keadilan dan KesejahteraanKeadilan dan kesejahteraan merupakan sesuatu yang fundamental dalam pengaturan dan penyelenggaraan otonomi khusus. Asas keadilan dan kesejahteraan perlu dicantumkan untuk menegaskan bahwa pemberian otonomi khusus bukan dimaksudkan semat-mata untuk mewujudukan kepentingan Bali, namun juga tujuan nasional, yakni: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejhteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

5. Kepentingan NasionalKepentingan nasional merupakan nilai fundamental yang menjadi pengikat membangun ketungga-ikaan di tengah kemajukan (kebhinnekaan). Rumusan kepentingan nasional termuat dalam pembukaan undang-undang dasar terutama dalam tujuan bernegara: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam konteks penyelenggaraan otonomi khusus bagai Provinsi Bali, kepentingan nasional adalah prinsip dasar yang harus ditekankan untuk menjamin bahwa pengakuan dan penyerahan kewenangan khusus bukan dimaksudkan untuk kepentingan Bali semata, namun dimaksudkan untuk mencapai tujuan nasional.

A.2. Tujuan Selain mencantumkan asas-asas dalam pengaturan dan penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Bali, dalam pengaturan perlu ditetapkan tujuan dari penyelenggaraan otonomi khusus. Perumusan tujuan menjadi penting sebagai arah, motivasi dan sekaligus tolak ukur kinerja pemerintah Provinsi Bali dalam menyelenggarakan otonomi khusus. Tujuan penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali antara lain:

1. terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Bali; 2. terwujudnya pembangunan yang berlandaskan budaya Bali dan berwawasan lingkungan,

yang dijiwai ajaran agama Hindu dan Tri Hita Karana;

1023

3. terwujudnya pengakuan, penghormatan, dan pemberdayaan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak asal usul untuk memperkokoh ketahanan sosial;

4. terwujudnya perlindungan, penghormatan, dan pengembangan budaya Bali sebagai warisan budaya bangsa; dan

5. terciptanya tata kelola pemerintahan yang partisipatif, transparan, akuntabel, responsif, partisipatif serta menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. RUANG LINGKUP PENGATURANPengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali mencakup:

1. pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak asal usulnya;

2. penyerahan kewenangan khusus bagi Provinsi Bali; dan3. pendanaan penyelenggaraan kewenangan khusus bagi Provinsi Bali.

Dalam pengaturan otonomi khusus seharusnya mencakup pengakuan dan penghormatan Negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak asal-usulnya. Hal ini merupakan pengejewantahan dari prinsip rekognisi dimana Negara memberikan pengakuan atas otonomi asli.

Selain itu, Negara melalui undang-undang otonomi khusus juga menyerahkan kewenangan tertentu yang menjadi kekhususan provinsi Bali. Kewenangan khusus yang menjadi landasan bagi Otonomi Khusus Bali adalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang diakui dan diberikan bagi Provinsi Bali untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi dan hak asal-usul masyarakat Bali yang secara khusus ditentukan Undang-Undang ini. Dan aspek keuangan menyangkut pengaturan sumber-sumber pendanaan serta tata cara pengalokasian dana dalam rangka penyelenggaraan kewenangan khusus.

B.1. PENGAKUANB.1.1. Umum

Negara mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak-hak dan kelembagaan masyarakat hukum adat Bali. Hak-hak meliputi hak masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat yang diatur dalam ketentuan hukum adat. Kelembagaan adat meliputi Desa Pakraman dan Subak.

B.1.2. Desa Pakraman Seperti telah digambarkan di Bab II bahwa tatanan sosial masyarakat Bali memiliki kekhususan, karena di Bali dikenal dua jenis desa, yakni: desa dinas dan desa pakraman. Desa Pakraman memiliki sistem pemerintahan sendiri atau kepengurusan sendiri yang ditentukan oleh awig-awig, norma adat yang tertulis dan atau tidak tertulis yang mengatur kehidupan bersama di wilayah Desa Pakraman.

Dalam kaitan dengan Desa Pakraman, undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Bali memberikan pengakuan dan penghormatan atas keberadaan Desa Pakraman. Undang-undang perlu memperkuat kedudukan Desa Pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai sistem pemerintahan adat, wilayah, harta kekayaan, dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan kahyangan tiga dan/atau kahyangan desa berdasarkan hak asal usul.

Dalam kerangka otonomi khusus, Desa Pakraman memiliki fungsi:a. mengatur, mengayomi dan menjaga kerukunan krama desa, krama tamiu, dan tamiu;

Krama desa adalah orang yang beragama Hindu yang terdaftar sebagai warga Desa Pakraman di tempat tinggalnya. Krama tamiu adalah orang yang beragama Hindu yang terdaftar sebagai warga Desa Pakraman di luar tempat tinggalnya. Tamiu adalah orang selain krama desa dan krama tamiu yang bertempat tinggal di wilayah Desa Pakraman.

b. melaksanakan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; dan

c. menyelesaikan sengketa adat dalam lingkungan wilayahnya sesuai dengan awig-awig setempat;

Dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud, Desa Pakraman mempunyai tugas:a. membuat awig-awig. Sebelum awig-awig diberlakuan perlu diverfikasi oleh Majelis Desa

Pakraman.b. membentuk dan menetapkan struktur pemerintahan Desa Pakraman dan kelembagaan

adat sesuai dengan awig-awig;c. mengelola harta kekayaan desa atau duwe Desa Pakraman. Duwe Desa Pakraman

adalah aset Desa Pakraman baik yang nyata (sekale) maupun yang tidak nyata (niskale) yang terkait dengan parhyangan seperti Pura dengan segala perlengkapannya, pawongan seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Pasar Desa, badan usaha milik Desa Pakraman, dan palemahan seperti tanah Desa Pakraman;

d. melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan;

1024

e. membina, mengembangkan, dan melestarikan nilai budaya Bali untuk memperkuat kebudayaan nasional berdasarkan prinsip kebhinneka-tunggal-ikaan; dan

f. menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Desa Pakraman.Pengakuan pada keberadaan Desa Pakraman tentusaja diikuti dengan kebutuhan untuk

mencegah muncul fenomena desa mawa cara atau ego sentrisme Desa Pakraman. Oleh karena itu, untuk memberi wadah bagi Desa Pakraman memusyawarahkan berbagah hal yang menyangkut masalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman serta untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan dan pembangunan maka semua desa adat yang ada di Bali, perlu menghimpun diri dalam wadah tunggal yang dikenal dengan Majelis Desa Pakraman (disingkat MDP). MDP dibentuk dalam tiga tingkatan yakni Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. Majelis Desa Pakraman terdiri atas :

a. Majelis Utama Desa Pakraman untuk lingkup provinsi yang berkedudukan di ibukota provinsi;b. Majelis Madya Desa Pakraman untuk lingkup Kabupaten/Kota yang berkedudukan di

ibukota Kabupaten/Kota; danc. Majelis Alit Desa Pakraman untuk lingkup kecamatan yang berkedudukan di kota kecamatan.Majelis Desa Pakraman yang merupakan representasi kultural desa pakraman, mempunyai

tugas dan kewenangan sebagai berikut:a. mengayomi adat istiadat; b. ikut serta dalam penyiapan Rancangan Perdasus; c. memberikan saran dan pertimbangan dalam pembahasan Rancangan Perdasus; d. memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan,

kelompok/lembaga termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota tentang masalah-masalah adat;

e. memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota tentang masalah-masalah adat;

f. menyelenggarakan paruman dan pesamuan Majelis Desa Pakraman untuk memusyawarahkan dan memutuskan masalah adat dan kebudayaan Bali. Paruman adalah permusyawaratan dalam Majelis Desa Pakraman yang terdiri atas Paruman Agung dilaksanakan oleh Majelis Utama Desa Pakraman, Paruman Madya dilaksanakan oleh Majelis Madya Desa Pakraman, Paruman Alit dilaksanakan oleh Majelis Alit Desa Pakraman. Pesamuan adalah rapat kerja Majelis Desa Pakraman yang terdiri atas Pesamuan Agung dilaksanakan oleh Majelis Utama Desa Pakraman, Pesamuan Madya dilaksanakan oleh Majelis Madya Desa Pakraman, Pesamuan Alit dilaksanakan oleh Majelis Alit Desa Pakraman.

g. melaksanakan keputusan paruman dan pesamuan Majelis Desa Pakraman; h. melaksanakan pembinaan adat istiadat dan awig-awig yang tertulis maupun yang belum

tertulis;i. sebagai penengah dan penyelesai dalam perkara adat yang tidak dapat diselesaikan pada

tingkat Desa Pakraman; danj. membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, Kabupaten/Kota, dan

provinsi.Khusus untuk butir b dan c dilaksanakan oleh Majelis Utama Desa Pakraman. Ketentuan lebih lanjut mengenai Desa Pakraman diatur dengan Perdasus.B.1.3. Subak

Selain Desa Pakraman, undang-undang otonomi khusus juga perlu mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan Subak. Subak berkedudukan sebagai Subak berkedudukan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai sistem pemerintahan adat, wilayah, harta kekayaan, dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Pura Subak berdasarkan hak asal usul di bidang pertanian dan pengairan.

Subak mempunyai fungsi:a. membantu pemerintah dalam meningkatkan pembangunan di bidang pertanian; b. melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam Subak;c. menetapkan awig-awig sebagai suatu kesepakatan dalam mengatur kepentingan sosial

pertanian dan keagamaan; d. membina dan melestarikan nilai-nilai agama dan adat-istiadat Bali serta menjaga

persatuan dan kesatuan anggotanya;e. menjaga dan melestarikan Pura Subak;f. menjaga, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan Subak, sarana

dan prasarana irigasi lainnya guna menjamin kelancaran ketertiban irigasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

g. memberdayakan krama Subak untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani; dan

h. menjaga kelestarian wilayah Subak dan lingkungannya dalam rangka pertanian berkelanjutan.

Subak berhimpun dalam wadah organisasi Subak untuk memusyawarahkan masalah di

1025

bidang pertanian dan pengairan serta berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan irigasi teknis di wilayah Subak. Ketentuan lebih lanjut lembaga Subak sebagaimana dimaksud diatur dengan Perdasus. Selain itu, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota melibatkan Subak dalam rencana dan pelaksanaan pengembangan pembangunan di wilayah Subak. Pembangunan irigasi teknis oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota harus mendapat persetujuan masyarakat Subak.

B.2. KEWENANGAN Kewenangan Provinsi Bali sebagai daerah otonom mencakup: pertama, kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan; Kedua, kewenangan khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Kewenangan khusus bagi provinsi Bali merupakan lex specialis dari kewenangan yang sudah diatur dalam undang-undang yang terkait dengan daerah. Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Bali dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Bali. Kewenangan khusus sebagaimana dimaksud meliputi hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Bali, dalam bidang:

1. kebudayaan;2. pertanahan;3. tata ruang; 4. lingkungan hidup;5. pariwisata;6. penanaman modal skala besar dan strategis;7. kependudukan; 8. ketenagakerjaan;9. kelautan; dan10. kehutanan.

Kewenangan khusus sebagaimana dimaksud diatas diletakkan pada tingkat Provinsi. Lokus otonomi khusus di tingkat Provinsi didasarkan beberapa argumen: Argumen pertama, Provinsi bisa ditempatkan sebagai intermediary agency dalam mengatasi problem Bali secara keseluruhan. Seperti disampaikan di Bab II, Bali menghadapi tantangan ketimpangan ekonomi antar daerah. Ketimpangan regional itu juga menunjukkan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat antar daerah. Dengan otonomi khusus di tingkat Provinsi, maka pemerintah Provinsi bisa menjalankan fungsi equalisasi sehingga ketimpangan antar daerah bisa diperkecil. Argumen kedua, Bali sebagai pulau yang memiliki luas wilayah yang kecil dan sumberdaya yang terbatas akan lebih mudah dikelola dengan sistem “one island, one management” sehingga bisa menjawab tantangan pengendalian tata ruang, kependudukan, ketenagakerjaan, penanaman modal dan upaya penanganan krisis ekologis sebagai dampak negative terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang untuk pembangunan. Dengan integrasi manajemen pemerintahan dan pembangun itu maka tujuan otonomi daerah untuk mensejahterakan masyarakat Bali bisa terwujud. Argumen ketiga, Bali merupakan pusat keunggulan nasional dalam bidang pariwisata budaya. Sebagai daerah unggulan nasional maka pariwisata Bali perlu dikelola secara terintegrasi sehingga bermanfaat bagi masyarakat Bali, masyarakat provinsi-provinsi lain dan memperkuat daya saing pariwisata Indonesia dalam persaingan global. Argumen keempat, Bali memiliki karakteristik budaya, adat dan agama yang relative homogen. Sehingga, lokus otonomi khusus di level Provinsi akan mengoptimalkan upaya perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan adat dan budaya yang mengakar dalam masyarakat Bali.

Dengan demikian, Provinsi berhak, berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di bidang-bidang tertentu yang diserahkan dan diakui dalam rangka otonomi khusus. Selain menyelenggarakan 10 urusan pemerintahan yang bersifat khusus, pemerintah Provinsi memiliki kewenangan konkuren yang dilaksanakan antara Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota meliputi:

a. pendidikan;b. kesehatan;c. pekerjaan umum;d. pertanian dan ketahanan pangan;e. penanaman modal;f. perdagangan;g. energai dan sumber daya mineral; danh. ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat.

Pengaturan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren diatur dengan Perdasus. Selain kewenangan khusus dan konkuren, Gubernur selaku wakil Pemerintah tetap menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Pemerintah dalam rangka asas dekonsentrasi. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,

1026

memiliki tugas dan kewenangan untuk mengkoordinir, mensupervisi, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan otonomi daerah yang dilakukan oleh kabupaten dan kota se Bali. Sehingga kabupaten/ kota dapat mengembangkan otonominya secara sinergis, baik antar kabupaten/ kota dan antara provinsi dengan kabupaten/ kota. Selain itu, Pemerintah Provinsi menyelenggarakan urusan pemerintahan yang ditugaskan oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan asas tugas pembantuan.

Sedangkan, kewenangan Kabupaten/Kota mencakup kewenangan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, kecuali kewenangan khusus yang diakui dan diserahkan sebagai kewenangan khusus di level Provinsi. Di luar kewenangan khusus, Kabupaten/ Kota tetap memiliki hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan asas otonomi dan tugas pembantuan. Kewenangan Kabupaten/Kota mecakup kewenangan dalam urusan pemerintahan:a. sosial;b. pemberdayaan perempuaan dan perlindangan anak;c. kommunikasi dan informasi;d. koperasi, usaha kecil dan menengah;e. pemuda dan olah raga;f. pemberdayaan masyarakat desa;g. statistik;h. persandian;i. perpustakaan;j. arsip;k. perikanan darat;l. perindustrian ;m. perumahan rakyat; dann. administrasi kependudukan dan catatan sipil.

Terkait dengan kewenangan khusus yang diakui dan diserahkan pada Provinsi, kabupaten/ kota juga ikut mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kekhususan dalam rangka penyelenggaraan tugas perbantuan.

Perjanjian internasional oleh Pemerintah Pusat yang terkait dengan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan setelah mendapat pertimbangan Gubernur. Gubernur dalam memberikan pertimbangan berkonsultasi dengan DPRD. Tata cara konsultasi Gubernur dengan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. Selain itu, Provinsi Bali dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B.2.1. KEBUDAYAANTujuan pengakuan dan penyerahan kewenangan di bidang kebudayaan adalah untuk menghormati, melindungi, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan Bali sebagai hasil cipta, rasa, karsa, dan karya masyarakat Bali. Dalam pengaturan otonomi khusus perlu ditesgakan bahwa kebudayaan Bali bersifat multidimensional. Hal ini penting agar kebudayaan Bali tidak diartikan sempit sebatas seni-budaya. Demikianpula, kebudayaan Bali juga tidak bisa dimaknai sebagai produk (hasil) karena kebudayaan mengandung dimensi proses cipta dan karsa. Oleh karena itu, pengaturan di bidang kebudayaan mencakup beberapa dimensi: Pertama, kebudayaan sebagai nilai-nilai, norma dan pengetahuan. Kedua, kebudayaan sebagai proses kreasi, cipta, karsa dan karya manusia Bali. Ketiga, kebudayaan dalam arti hasil proses cipta, karsa dan karya manusia Bali, baik dalam bentuk benda maupun wadah dan kelembagaan adat-budaya yang mengakar dalam masyarakat Bali. Untuk mencapai tujuan otonomi khusus di bidang kebudayaan maka Pemerintah Provinsi melakukan strategi sebagai berikut:a. penggalian nilai-nilai dan pengetahuan yang mengakar pada masyarakat;b. pendidikan kebudayaan, seni, sastra, dan bahasa daerah Bali;c. perlindungan kebebasan berkreasi para budayawan, seniman, dan lembaga-lembaga

budaya;d. perlindungan hak kekayaan intelektual masyarakat Bali sesuai dengan peraturan perundang-

undangan;e. penginventarisasian, pendokumentasian, pemeliharaan, pengembang dan pelestarian

kebudayaan Bali; danf. fasilitasi lembaga budaya, pusat pengembangan budaya, dan peningkatan kesejahteraan

budayawan dan seniman. Dalam menjalankan strategi Pemerintah Provinsi bekerjasama dengan lembaga budaya dan Desa Pakraman. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap keberlanjutan dan kelestarian eksistensi Pura Kahyangan yang mempersatukan Bali. Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut

1027

dalam Perdasus. Selain itu, Pemerintah Provinsi menghormati dan melindungi berbagai keanekaragaman kebudayaan masyarakat daerah atau bangsa lain yang hidup dan berkembang di Provinsi Bali dalam semangat bhineka tunggal ika sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Bali.B.2.2. PERTANAHANa. Umum

Kewenangan pertanahan sebagaimana dimaksud diselenggarakan untuk mengakui dan menghormati Desa Pakraman dan Pura atas tanah berdasarkan hak-hak asal-usulnya serta memanfaatkan sumber agraria sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan sebagaimana dimaksud, Desa Pakraman dan Pura dengan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai badan hukum. Desa Pakraman dan Pura sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Desa

Tanah Desa Pakraman meliputi tanah Pekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa, dan Tanah Duwe Desa Pakraman lainnya. Desa Pakraman berwenang menggunakan, mengembangkan dan mengendalikan tanah Desa Pakraman untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, dan sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, serta kesejahteraan masyarakat. Sedangkan, tanah Pura meliputi tanah tegak Pura, tanah telanjakan Pura, dan tanah pelaba Pura.

Guna melindungi dan memanfaatkan sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berwenang melaksanakan:

a. penatagunaan tanah; b. pengendalian nilai tanah;c. pemberian ijin lokasi;d. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;e. penyelesaian sengketa tanah garapan;f. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;g. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan

maksimum dan tanah absentee;h. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;i. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;j. pemberian ijin membuka tanah; dank. perencanaan penggunaan tanah di wilayah Kabupaten/Kota.

b. Tanah Desa PakramanTanah Desa Pakraman merupakan salah satu harta kekayaan yang dimiliki Desa Pakraman

atau duwe Desa Pakraman. Seperti yang disampaikan di Bab II, tanah desa atau tanah ”duwe desa”, dapat dibedakan menjadi tanah duwe desa dalam arti sempit dan tanah duwe desa dalam arti yang luas. Tanah duwe desa dalam arti sempit adalah terbatas pada tanah-tanah desa yang dikuasai langsung oleh desa adat/pakraman, yaitu tanah-tanah yang terdiri atas tanah pasar, tanah setra, tanah lapang, tanah laba Pura dan tanah bukti. Sedangkan dalam arti luas meliputi: tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa. Tanah pekarangan desa adalah tanah tempat pemukiman tradisional Bali yang dikuasai secara turun temurun oleh Desa Pakraman. Tanah ayahan desa adalah tanah pertanian yang diserahkan kepada krama Desa untuk dimanfaatkan dengan tugas melaksanakan kewajiban tertentu (ayahan) terhadap Desa Pakraman. Tanah duwe Desa Pakraman lainnya misalnya tanah kuburan (setra), tanah lapang, tanah pasar, tanah hutan desa, karang suwung atau tanah milik desa yang belum diserahkan kepada krama desa.

Sedangkan tanah pelaba Pura terdiri dari tiga kategori: tanah tegak Pura, tanah telajakan dan tanah pelaba pura. Tanah tegak Pura adalah tanah tempat Pura didirikan. Ttanah telanjakan Pura adalah tanah-tanah kosong di sekitar Pura. Tanah Pelaba Pura adalah tanah produktif milik Pura

Dalam konteks kewenangan khusus di bidang pertanahan, Desa Pakraman dinyatakan sebagai badan hukum yang mempunyai hak milik atas tanah duwe Desa Pakraman. Tanah Desa Pakraman meliputi tanah Pekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa, Tanah Laba Pura dan Tanah duwe Desa Pakraman lainnya. Sebagai badan hukum, Desa Pakraman berwenang menggunakan, mengembangkan dan mengendalikan tanah desa pakraman untuk penyelenggaraan pemerintahan desa dan sebesar-besarnya untuk pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial serta kesejahteraan krama desa pakraman. Demikianpula dengan Pura. Pura berwenang menggunakan, mengembangkan dan mengendalikan fungsi tanah Pura untuk pemeliharaan kelangsungan Pura. Undang-undang Otonomi Khusus perlu melindungi keberadaan tanah desa pakraman ini. Strategi perlindungan yang perlu dirumuskan adalah sebagai berikut:(1) Tanah Desa Pakraman merupakan salah satu harta kekayaan milik Desa Pakraman.(2) Tanah Desa Pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama

perorangan. Hak milik atas tanah Desa Pakraman didaftarkan pada instansi pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1028

(3) Tanah Desa Pakraman sebagaimana tidak dikenakan pajak(4) Pengelolaan Tanah Desa Pakraman dilakukan oleh prajuru Desa Pakraman sesuai dengan

awig-awig Desa Pakraman.(5) Setiap pengalihan/perubahan status tanah Desa Pakraman harus mendapat persetujuan

Paruman Desa Pakraman.(6) Pengawasan pengelolaan Tanah Desa Pakraman dilakukan oleh krama Desa Pakraman.(7) Penyediaan tanah Desa Pakraman untuk keperluan pembangunan harus dilakukan dengan

mendapat persetujuan Paruman Desa Pakraman. (8) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian

sengketa terkait tanah Desa Pakraman secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan para pihak.

Sedangkan perlindungan untuk tanah Pura dilakukan dengan strategi sebagai berikut:(1) Tanah Pura merupakan salah satu harta kekayaan milik Pura.(2) Tanah Pura tidak dapat disertifikatkan atas nama perorangan.(3) Pengelolaan Tanah Pura dilakukan oleh pengempon Pura. Pengempon Pura adalah warga

yang bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan Pura dengan segala aktivitasnya.(4) Setiap pengalihan/perubahan status Tanah Pura harus mendapat persetujuan paruman

pengempon Pura. paruman pengempon Pura adalah permusyawaratan seluruh warga yang bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan Pura dengan segala aktivitasnya.

(5) Pengawasan pengelolaan Tanah Pura dilakukan oleh pengempon Pura.(6) Penyediaan Tanah Pura untuk keperluan pembangunan harus dilakukan dengan mendapat

persetujuan pengempon Pura.B.2.3. TATA RUANGKewenangan Tata Ruang sebagaimana dimaksud diselenggarakan untuk mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang untuk pembangunan di Provinsi Bali. Kewenangan Provinsi Bali dalam tata ruang meliputi penataan ruang wilayah provinsi, Kabupaten/Kota, dan kawasan perdesaan dengan menjaga kesucian tempat suci, kawasan suci, dan melestarikan kawasan jati diri budaya Bali. Yang dimaksud dengan kawasan suci adalah kawasan tertentu yang tidak termasuk tempat suci tetapi diyakini sebagai tempat atau wilayah yang suci oleh umat Hindu seperti gunung, danau, pantai, pertemuan mata air, dan sejenisnya.

Dalam pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud disusun kerangka umum kebijakan tata ruang wilayah sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang Provinsi Bali. Kerangka umum kebijakan tata ruang sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan memperhatikan nilai-nilai ajaran agama Hindu, falsafah Tri Hita Karana dan tradisi luhur yang tertuang dalam yang tertuang dalam keputusan lembaga tertinggi umat Hindu dan lembaga adat. Kerangka umum kebijakan tata ruang sebagaimana dimaksud menjadi dasar penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud dikoordinasikan dengan tata ruang provinsi yang berbatasan langsung. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang berbatasan langsung sebagaimana dimaksud merupakan hasil kerja sama secara terpadu dengan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kerja sama secara terpadu sebagaimana dimaksud mencakup keterpaduan dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang yang dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah setiap provinsi dengan memperhatikan kepentingan strategis nasional.

Kerja sama terpadu sebagaimana dimaksud dikoordinasikan oleh menteri terkait. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi diatur dalam Perdasus yang penyusunannya berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Penetapan rancangan Perdasus tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari menteri terkait.B.2.4. LINGKUNGAN HIDUP

Kewenangan khusus di bidang Lingkungan Hidup diselenggarakan untuk menjamin keserasian, keselarasan, keseimbangan kelangsungan hidup mahluk hidup dan kelestarian ekosistem Bali sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah Provinsi menyelenggarakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi Lingkungan Hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berasaskan pelestarian fungsi Lingkungan Hidup dengan menjunjung tinggi peran serta masyarakat dan nilai-nilai Tri Hita Karana.

Kewenangan Provinsi Bali dalam Lingkungan Hidup meliputi pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup pada wilayah provinsi dan Kabupaten/Kota dengan menjaga keserasian lingkungan antara manusia dengan alam serta melestarikan kesucian tempat suci dan kawasan suci. Dalam pelaksanaan kewenangan tersebut, disusun kerangka umum kebijakan pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan rencana pembangunan jangka

1029

panjang Provinsi Bali. Kerangka umum kebijakan pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan dengan memperhatikan nilai-nilai sad kerti. sad kertih adalah 6 (enam) cara melestarikan lingkungan alam dan lingkungan sosial terdiri atas danu kertih, wana kertih, samudera kertih, jagad kertih, akma kertih, dan jana kertih.

Kerangka umum kebijakan pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi dasar penyusunan rencana pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup wajib melibatkan peran serta masyarakat dan menerima masukan dan pertimbangan Majelis Utama Desa Pakraman.B.2.5. PARIWISATA

a. UmumBali memiliki posisi strategis dalam konteks kepentingan nasional karena Bali merupakan pusat unggulan nasional di bidang pariwisata. Namun demikian, pembangunan pariwisata juga menimbulkan sejumlah dampak negatif, baik dari sisi kebudayaan, kesejahteraan maupun ekologis. Oleh karena itu, pengakuan dan penyerahan kewenangan di bidang pariwisata bertujuan untuk:

a. meningkatkan citra, harkat, martabat serta memperkukuh jati diri bangsa Indonesia di mata Internasional;

b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara merata dan berkelanjutan;c. melestarikan dan mengembangkan kebudayaan dan lingkungan alam Bali sebagai bagian

dari kepariwisataan nasional secara berkelanjutan; d. Meningkatkan daya saing bangsa

Undang-undang otonomi khusus perlu mempertegas bahwa kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia berkedudukan sebagai landasan utama pembangunan kepariwisataan Bali. Dengan demikian, pembangunan kepariwisataan Bali sebagaimana dimaksud diselenggarakan dalam bentuk Kepariwisataan Budaya. Kepariwisataan budaya dalam kerangka Otonomi Khusus Provinsi Bali diselenggarakan dengan prinsip:

a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;

b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;d. memelihara kelestarian alam dan Lingkungan Hidup;e. memberdayakan masyarakat setempat;f. menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang

merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan;

g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan

h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.b. Pembangunan Kepariwisataan Budaya Untuk memperkuat proses integrasi manajemen pembangunan kepariwisataan budaya maka

diperlukan perencanaan yang terpadu dan berdasar pada:a. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional;b. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Budaya Provinsi Bali; dan c. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali.Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Budaya sebagaimana dimaksud mencakup:a. perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan

kelembagaan kepariwisataan budaya Provinsi Bali; danb. perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan

kelembagaan kepariwisataan budaya kabupaten/kota. Dalam menyusun Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Budaya Provinsi Bali, Pemerintah Provinsi mempertimbangkan masukan kabupaten/kota. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Budaya Provinsi Bali sebagaimana dimaksud diatur dengan Perdasus.Pembangunan kepariwisataan budaya dilaksanakan dengan memperhatikan nilai-nilai budaya dan kelestarian lingkungan. Pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan hanya dapat dilakukan di kawasan pariwisata yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali. Dalam pengembangan pembangunan kawasan pariwisata, Pemerintah Provinsi melibatkan, masyarakat, Desa Pakraman dan lembaga adat/ budaya lainnya.Desa Pakraman dapat mengembangkan daya tarik wisata sesuai dengan potensi setempat. Pemerintah Provinsi dapat memberikan bantuan pendanaan bagi pengembangan kepariwisataan yang dikelola Desa Pakraman atau lembaga adat lainnya. Setiap orang dilarang memanfaatkan upacara keagamaan, menggunakan simbol-simbol keagamaan, benda-benda yang disakralkan menurut agama Hindu, dengan tujuan semata-mata sebagai daya tarik wisata. Desa Pakraman dan/atau lembaga adat lainya, dapat bekerja sama

1030

dengan Pemerintah Provinsi melakukan usaha-usaha untuk mencegah aktivitas kepariwisataan yang tidak sesuai dengan tujuan kepariwisataan budaya Bali. Pemerintah Provinsi bersama lembaga yang terkait dengan pembangunan kepariwisataan menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk mendukung kepariwisataan Bali. Ketentuan lebih lanjut mengenai kepariwisataan budaya dan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan upacara keagamaan, menggunakan simbol-simbol keagamaan, benda-benda yang disakralkan, dengan tujuan semata-mata sebagai daya tarik wisata diatur dalam Perdasus.

Guna menjamin pengembangan pariwisata Bali memiliki dampak secara nasional, maka Pemerintah Provinsi melakukan kerja sama secara terpadu dalam pengembangan pariwisata dengan daerah-daerah di luar Provinsi Bali. Kerjasama pengembangan pariwisata mencakup pembangunan kepariwisataan Daerah yang meliputi: destinasi pariwisata; pemasaran pariwisata; industri pariwisata; dan kelembagaan kepariwisataan.B.2.6. PENANAMAN MODAL SKALA BESAR

a. UmumKewenangan Penanaman Modal Skala Besar diselenggarakan untuk :a. mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman modal guna membuka

kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;b. mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah dan usaha tradisional

dengan membangun kemitraan;c. mewujudkan pertumbuhan ekonomi antarwilayah dan antarsektor yang cukup tinggi

secara berkualitas, seimbang, dan berkelanjutan; dand. melindungi fungsi ruang dan mencegah dampak negatif penanaman modal skala besar

terhadap Lingkungan Hidup di Provinsi Bali.Kewenangan Provinsi Bali dalam Penanaman Modal Skala Besar meliputi:a. menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan Penanaman Modal Skala Besar

provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bentuk rencana umum Penanaman Modal Skala Besar dan rencana strategis melalui koordinasi dengan pemerintah dan Kabupaten/Kota;

b. merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan Penanaman Modal Skala Besar;

c. mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang Penanaman Modal Skala Besar;

d. pemberian izin usaha kegiatan Penanaman Modal Skala Besar dan nonperizinan;e. pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi Penanaman Modal Skala

Besar; danf. mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan

Penanaman Modal Skala Besar.

Dalam pelaksanaan kewenangan, Pemerintah Provinsi menyusun kerangka umum kebijakan pengembangan Penanaman Modal Skala Besar provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Bali. Kerangka umum kebijakan pengembangan Penanaman Modal Skala Besar provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan dengan memperhatikan pertimbangan Majelis Utama Desa Pakraman dan lembaga tertinggi umat Hindu.

Penyelenggaraan penanaman modal dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat Bali. Pemerintah Provinsi menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan usaha tradisional, serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan usaha tradisional. Dalam pengambilan kebijakan dan perizinan Penanaman Modal Skala Besar, Pemerintah Provinsi melibatkan Desa Pakraman setempat.

B.2.7. KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAANa. Umum

Seperti yang sudah dipaparkan di Bab II, tantangan yang dihadapi oleh Bali sebagai pusat perkembangan sektor pariwisata nasional adalah terkait dengan proses mobilitas kependudukan dan ketenagakerjaan yang bersifat lintas daerah. Sebagai daerah yang terbuka, Bali tentusaja menjadi magnet bagi para pencari kerja yang ingin meningkatkan kesejahteraan mereka di Bali. Disisi lain, proses migrasi ini memunculkan masalah-masalah kependudukan dan budaya. Selain itu kompetisi di dunia kerja memunculkan masalah baru yang semakin kompleks karena tenaga kerja lokal terikat dengan kewajiban adat di desa pakraman. Tantangan tersebut memerlukan sistem manajemen kependudukan dan ketenagakerjaan yang terintegrasi. Oleh karena itu, pengakuan dan penyerahan kewenangan khusus di bidang kependudukan dan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Bali. Kewenangan khusus ini diselenggarakan dengan mengembangkan sistem manajemen kependudukan dan ketenagakerjaan yang terintegrasi.

b. KependudukanUndang-undang otonomi khusus perlu memberikan kewenangan pada Pemerintah Provinsi untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan dan

1031

migrasi penduduk di Provinsi Bali. Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi masyarakat Bali dalam semua sektor pembangunan, Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan. Penempatan penduduk di Provinsi Bali dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakanoleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur dan memperhatikan pertimbangan Majelis Utama Desa Pakraman dan Parisada Hindu Dharma Indonesia. Penempatan penduduk sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Perdasus.

c. KetenagakerjaanSetiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Pemerintah Provinsi memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi calon tenaga kerja agar mampu bersaing dalam pasar kerja. Pengusaha yang melakukan kegiatan investasi di Provinsi Bali wajib mengutamakan tenaga kerja setempat..Pengusaha wajib memberikan kesempatan kepada Pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Pengusaha wajib tidak mempekerjakan pekerja/buruh pada hari-hari libur resmi dan hari besar agama Hindu Pengusaha dapat memerkerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi dan hari besar agama Hindu, apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pemberian kesempatan untuk melaksanakan ibadah dan mengikuti upacara adat sebagaimana dimaksud dan sanksi kepada pengusaha yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dumaksud diatur lebih lanjut dalam Perdasus.Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi dan hari besar agama Hindu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud wajib membayar upah kerja lembur. Ketentuan mengenai hari-hari libur resmi, jenis,dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis upacara agama serta libur merayakan hari besar agama Hindu dan sanksi kepada pengusaha yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud diatur dalam Perdasus.B.2.8. KELAUTAN Kewenangan khusus di bidang kelautan diselenggarakan untuk mewujudkan: Perlindungan dan pelestarian wilayah kelautan berdasarkan nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih, pemanfaatan dan pengelolaan ruang wilayah kelautan secara terintegrasi, berwawasan lingkungan, berkelanjutan, dan berkeadilan yang sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Kewenangan khusus di bidang Kelautan meliputi:

a. Menyusun dan menetapkan kebijakan penataan ruang wilayah kelautan berdasarkan nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih

b. Menyusun dan menetapkan kebijakan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan kelautan baik di wilayah pesisir maupun di laut untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup,

c. Menyusun dan menetapkan kebijakan kegiatan perikanan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungannya untuk sebesar- besarnya kesejahteraan masyarakat.

d. Menyusun dan nenetapkan kebijakan penyelenggaraan kepariwisataan di laut yang dilaksanakan berdasarkan asas Tri Hita Karana, kelestarian, berkelanjutan, keterpeliharaan, dan memperhatikan aspek ekologis kawasan serta melibatkan peran serta Desa Pakraman dan masyarakat pesisir sebagai pemangku kepentingan.

Dalam menyelenggarakan kewenangan khusus di bidang kelautan, Pemerintah Provinsi mempunyai kewajiban:

a. Menjaga dan melindungi kesucian wilayah kelautan sesuai dengan nilai-nilai Tri HIta Karana dan Sad Kertih

b. melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran laut dan kerusakan lingkungan serta ekosistem kelautan,yang berasal dari semua sumber pencemaran laut

c. melakukan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

d. Melakukan pencegahan dan penanggulangan kerusakan lingkungan di wilayah-wilayah pesisir dan pantai akibat abrasi maupun kegiatan investasi dan kepariwisataan.

e. menyelenggarakan suatu Sistem Pemantauan dan Penanggulangan bencana alam di laut yang mempunyai dampak serius terhadap tata kehidupan masyarakat

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan khusus di bidang kelautan diatur dalam PerdasusB.2.9. KEHUTANAN

Kewenangan khusus di bidang kehutanan diselenggarakan untuk mewujudkan perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian, hutan dan kawasan hutan secara terpadu,

1032

berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih Sesuai dengan Putusan MK no 35/ PUUU-X/2012, melalui UU ini, Negara mengakui dan menghormati hutan adat Hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah Desa Pakraman Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak-hak ,asal usul desa pakraman Dalam penghormatan dan pengakuan hutan adat Desa Pakraman berhak:

a. Melakukan kegiatan keagamaan dan adat sesuai ajaran agama Hindu b. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari

krama Desa Pakraman yang bersangkutan;c. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan undang-undang;d. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahterannya;e. melakukan perlindungan dan konservasi hutan sesuai dengan kearifan lokal.

Kewenangan khusus di bidang Kehutanan meliputi:a. Menetapkan kebijakan perlindungan hutan dan konservasi alam guna menjaga hutan,

kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, fungsi prouksi dan fungsi religi-budaya , tercapai secara optimal dan lestari.

b. Menetapkan kebijakan perlindungan hutan yang memiliki fungsi agama dan budaya sesuia nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih

c. Menetapkan kebijakan guna mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

d. Menentapkan kebijakan pemanfaatan hutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.

e. Menetapkan kebijakan Rehabilitasi hutan dan lahan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional serta kawasan hutan yang memiliki fungsi agama dan adat. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dengan tetap menjaga nilai-nilai Tri HIta Karana dan Sad Kertih. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi setelah memperhatikan pertimbangan Majelis Utama Desa Pakraman dan Parisada Hindu Dharma Indonesia . Pengaturan lebih jauh tentang perlindungan, pemafaatan dan tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Perdasus.

B.3. PERDA, PERDASUS, PERATURAN GUBERNUR, DAN KEPUTUSAN GUBERNURB.3.1. Perda Perda dibentuk dan ditetapkan dengan persetujuan bersama DPRD Bali dan Gubernur. Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud berpedoman pada peraturan perundang-undangan. B.3.2 Perdasus Perdasus dibentuk oleh DPRD Bali dan Gubernur untuk melaksanakan ruang lingkup otonomi khusus. Rancangan Perdasus dapat diusulkan oleh DPRD Bali atau Gubernur. Apabila dalam suatu masa sidang DPRD Bali dan Gubernur menyampaikan rancangan Perdasus mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah rancangan Perdasus yang disampaikan oleh DPRD Bali dan rancangan Perdasus yang disampaikan Gubernur digunakan sebagai bahan sandingan.

Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan Perdasus, DPRD Bali dan Gubernur mendayagunakan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat. Dalam penyiapan rancangan Perdasus DPRD Bali dan Gubernur mengikutsertakan PHDI dan Majelis Utama Desa Pakraman.Dalam pembahasan rancangan Perdasus, DPRD Bali dan Gubernur memperhatikan dengan sungguh-sungguh saran dan pertimbangan PHDI dan Majelis Utama Desa Pakraman. Tata cara pembentukan Peraturan Daerah berlaku secara mutatis mutandis dalam pembentukan Perdasus.

Rancangan Perdasus yang telah disetujui bersama oleh DPRD Bali dan Gubernur, disampaikan oleh pimpinan DPRD Bali kepada Gubernur paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan untuk ditetapkan sebagai Perdasus. Rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan Perdasus tersebut disetujui bersama oleh DPRD Bali dan Gubernur. Dalam hal rancangan Perdasus tidak ditetapkan oleh Gubernur dalam waktu sebagaimana dimaksud, rancangan Perdasus tersebut sah menjadi Perdasus dan wajib diundangkan dengan penempatannya dalam lembaran daerah. Dalam hal sahnya rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud, rumusan kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah Khusus ini dinyatakan

1033

sah. Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada harus dibubuhkan pada halaman terakhir Perdasus sebelum pengundangan naskah Perdasus ke dalam lembaran daerah. Perdasus disampaikan kepada Menteri.

Perdasus yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, nilai dan budaya masyarakat Bali atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Presiden. Pembatalan Perdasus sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Gubernur harus menghentikan pelaksanaan Perdasus dan selanjutnya DPRD Bali bersama Gubernur mencabut Perdasus dimaksud paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterbitkannya Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud. Apabila Provinsi Bali tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perdasus sebagaimana dimaksud dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan pembatalan. Presiden memberikan keputusan atas pengajuan keberatan pembatalan Perdasus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud Presiden tidak memberikan keputusan, Perdasus tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.B.3.3 Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur Gubernur berwenang menetapkanPeraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur. Peraturan Gubernur dan/atau Keputusan Gubernurditetapkan untuk melaksanakan Perda dan Perdasus. Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, nilai-nilai luhur, budaya, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud diundangkan dalam Berita Daerah. Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud disampaikan kepada Menteri. Pemerintah Provinsi menyebarluaskan Perda, Perdasus, Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur.

B.4. PENDANAANPengaturan keuangan bagi Provinsi Bali dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan kebutuhan Provinsi Bali dan kemampuan keuangan negara. Dana dalam rangka penyelenggaraan kewenangan khusus dibahas dan ditetapkan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan pengajuan Pemerintah Provinsi. Dana berupa dana otonomi khusus yang diperuntukkan bagi dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi yang pengalokasian dan penyalurannya melalui mekanisme transfer ke daerah.

Selain dana otonomi khusus, Provinsi Bali menerima perimbangan keuangan dari Pemerintah Pusat yang bersumber dari pendapatan Negara bukan pajak yang berupa visa kedatangan dan sumber daya jasa pariwisata. Perimbangan keuangan dari visa kedatangan dan sektor sumber daya jasa pariwisata digunakan untuk pemeliharaan, renovasi, konservasi, pelestarian sarana, prasarana, sistem, nilai adat dan budaya yang bersifat religius. Ketentuan lebih lanjut mengenai perimbangan keuangan dari visa kedatangan dan sektor sumber daya jasa pariwisata diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Guna memastikan pembangunan di Bali berdampak bagi kesejahteraan masyarakat Bali, Pemerintah Provinsi dapat menyertakan modal kepada badan usaha milik negara yang melakukan kegiatan usaha di Bali, seperti badan usaha pengelolaan Bandara dan lain-lain. Tujuan penyertaan modal itu adalah sebagai berikut: pertama, masyarakat Bali ikut mendapatkan manfaat dari usaha BUMN yang menjalankan usahanya di Bali, Kedua, mendorong rasa ikut memiliki, menjaga dan juga memajukan berbagai usaha BUMN yang melakukan usahanya di Bali.

Guna menjaga keseimbangan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Bali dilakukan perimbangan keuangan antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota dan antar Kabupaten/Kota. Perimbangan keuangan sdilakukan dengan prinsip proporsionalitas dan berkeadilan. Pengaturan mengenai perimbangan keuangan diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

B.5. KETENTUAN PIDANADalam undang-undang otonomi khusus perlu diatur mengenai sanksi pidana bagi tindakan kejahatan yang terkait dengan perusakan, pemusnahan symbol-simbol agama, benda disucikan atau tempat suci; tindakan kejahatan dengan sengaja menggunakan atau memafaatkan upacara keagamaan, symbol-simbol keagamaan dan atau benda-benda yang disakralkan; serta perbuatan asusial di temat suci. Pengenaan sanksi pidana ini diperlukan karena dalam KUHP, tindakan kesejahatan ini tidak diatur atau diatur dengan sanksi yang ringan. Padahal tindak kejahatan yang terkait dengan simbol keagamaan dan atau benda-benda yang disucikan sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Hindu, serta mengganggu kesucian dari simbol/ benda/ tempat suci yang disakrakan oleh umat Hindu. Sanksi pidana perlu diatur meliputi:(1) Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memusnahkan simbol-simbol agama, benda-

benda yang disucikan atau tempat suci umat Hindu, diancam dengan pidana penjara paling

1034

singkat 5 (lima) tahun dan paling berat 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

(2) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan maksud untuk dimiliki sendiri atau diserahkan kepada orang lain mengambil benda-benda yang disucikan atau disakralkan dalam agama Hindu diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling berat 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau memanfaatkan upacara keagamaan, simbol-simbol keagamaan, dan/atau benda-benda yang disakralkan, dengan tujuan semata-mata sebagai daya tarik wisata diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang melakukan tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di kawasan tempat suci atau tempat ibadah diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling berat 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

B.6. KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP Perdasus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini harus dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Sebelum Perdasus terbentuk, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengakuan dan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dinyatakan masih berlaku.

Semua ketentuan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah tetap berlaku bagi Provinsi Bali sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

1035

BAB VIPENUTUP

A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan dalam Bab-Bab sebelumnya, dapat disimpulkan

sebagai berikut:1. Pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Bali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

memiliki landasan legal-konstitusional dan argumentasi empirik yang sangat kuat. Secara konstitutional UUD 1945, khususnya pasal 18B Ayat (1) UUD NRI 1945, membuka peluang untuk pengakuan dan penghormatan pada satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa.

2. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Daerah. Kewenangan Daerah dengan otonomi khusus mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain kewenangan tersebut, dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Daerah diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang kekhususannya. Oleh karena itu, undang-undang otonomi khusus merupakan lex specialis dari semua produk perundang-undangan yang saat ini berlaku. Ini artinya, Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang otonomi khusus.

3. Secara sosiologis-empirik, upaya untuk memperjuangan kekhususan bagi Provinsi Bali tidak pernah “padam”. Aspirasi itu sudah mulai muncul sejak tahun 1999 yang diusung oleh berbagai komponen masyarakat Bali. Selanjutnya, aspirasi masyarakat Bali tersebut telah mendapatkan penerimaan politik dan didukung secara resmi oleh pemerintahan daerah, baik pada level Provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota se-Bali. Substansi kekhususan yang dikendaki di Bali meliputi: Pariwisata (Perencanaan, Perjinan, Promosi dan Pengendalian pariwisata yang terpadu di Pemerintah Provinsi), Adat dan Budaya (Pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dan penghormatan atas hari-hari libur sesuai dengan adat dan budaya), Pertanahan (Pengakuan atas tanah-tanah adat), Tata Ruang (Perencanaan dan Pengendalian Tata ruang yang berada dalam satu kesatuan ekologis, menghormati nilai-nilai budaya dan mempertimbangkan konsep kawasan suci), Kependudukan (Perencaan dan pengendalian kependudukan yang terintegrasi antar wilayah dengan memperhatikan hak-hak warga Bali), Kelembagaan Daerah (Pengakuan dan penghormatan pada institusi representasi adat dan agama dalam sistem pemerintahan daerah), dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (Pembagian dana perimbangan yang berasal dari sektor pariwisata dan konsep “share holders” dalam kepemilikana badan usaha antara pemerintah pusat dan daerah).

4. Pengaturan kekhususan bagi Provinsi Bali dapat dilakukan dalam tiga alternatif model. Pertama, mengatur kekhususan tersebut dengan membentuk undang-undang tentang otonomi khusus. Kedua, melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Pembentukan Provinsi. Dalam konteks Bali bisa dibentuk dengan melakukan perubahan atau amandemen pada Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Ketiga, melakukan perubahan pada berbagai Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, perubahan keuangan pusat-daerah dan undang-undang sektoral dengan memasukkan substansi kekhususan Provinsi Bali dalam muatan undang-undang tersebut. Namun, dari tiga pilihan model pengaturan tersebut,, pengaturan dengan model otonomi khusus memiliki kelebihan dbandingkan yang lain. Karena model pengaturan otonomi khusus bersifat lex specialis dari semua peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku.

5. Otonomi khusus bagi Provinsi Bali memiliki landasan filosofis, sosilogis dan yuridis yang kuat. Landasan filosofis dari pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali meliputi: perwujudan dari nilai filosofis Bhinneka Tunggal Ika, pendayagunaan kearifan lokal, terutama nilai Tri Hita Karana dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat Bali, nilai-nilai demokrasi dan kerakyatan, upaya mencapai kepentingan nasional serta mewujudkan efektivitas pemerintahan. Sedangkan landasan sosiologis dari otonomi khusus bagi Provinsi Bali adalah berbagai aspirasi yang disuarakan oleh berbagai komponen masyarakat Bali sejak tahun 1999. Dan terakhir, landasan yuridis dari otonomi khusus bagi Provinsi Bali bisa merujuk pada pasal 18 B ayat (1) dan pasal 18 B ayat (2) UUD 1945.

6. Ruang lingkup materi muatan Undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Bali meliputi pengaturan mengenai kewenangan khusus yang meliputi kewenangan dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang: kebudayaan, pertanahan, pariwisata, tata ruang, lingkungan, penanaman modal, kependudukan dan ketenagakerjaan. Kewenangan khusus tersebut diletakkan pada tingkat Provinsi. Tujuan dari pengaturan otonomi khusus bagi provinsi Bali,

1036

yang mencakup materi muatan kewenangan khusus di atas, adalah untuk mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-Bhinneka-tunggal-Ikaan dalam kerangka NKRI; mewujudkan perlindungan dan penhormatan pada kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya; melembagakan peran dan tanggungjawab dalam menajaga dan mengembangkan budaya yang merupakan warisan budaya bangsa; terwujudnya pembangunan yang berlandaskan budaya Bali yang dijiwai ajaran agama Hindu dan Tri Hita Karana; mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang untuk pembangunan di Provinsi Bali; menciptakan tata pemerintahan yang baik; dan, untuk mewujudukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

7. Walaupun memiliki basis argumentasi yang kuat, namun wacana Otsus dan daerah istimewa di luar empat daerah (Papua, Aceh, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta) memiliki hambatan politik yang tidak ringan. Ada beberapa hal yang bisa menjadi tantangan politik dari gagasan Otsus ini:

a. Tantangan awal bisa muncul dari pembela gagasan Negara Kesatuan (Unitarianisme). Bagi para penyongkong gagasan ini, Otsus dianggap sebagai bagian dari mewujudukan federalisasi dalam negara kesatuan. Singkatnya, konsep otonomi khusus dipandang sebagai upaya memperkuat provinsialisme atau bahkan federalisme.

b. Tantangan berikutnya bisa berasal dari kalangan yang menganggap Otsus bukan solusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Pandangan ini semakin kuat muncul ketika terjadi problem dalam implementasi Otsus, baik di Aceh maupun Papua. Bahkan, dalam perkembangan terkini, di Papua muncul wacana untuk mengembalikan Otsus ke Pemerintah Pusat.

c. Tantangan juga bisa muncul dari kalangan yang berpendapat bahwa pemberian otonomi khusus pada sebuah daerah akan “menular” dan diikuti oleh tuntutan yang sama dari daerah-daerah lain.

Kalau dicermati lebih jauh penolakan atas Otsus lebih didasarkan pada dua hal: pertama, penggunaaan istilah Otonomi Khusus itu sendiri. Dan yang kedua, terkait dengan persepsi atas praktik-implementasi Otsus yang diterapkan di Aceh dan Papua. Sehingga, penolakan bukan pada substansi kekhususan yang dimiliki oleh sebuah daerah. Belajar dari berbagai kritik atas pengaturan otonomi khusus yang pernah dirumuskan sebelumnya, pengaturan Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali seharusnya memuat aturan serta norma-norma yang lebih jelas dan meyakinkan sehingga bukan hanya mencegah munculnya multi tafsir, namun bisa diimplementasikan secara lebih baik.

B. RekomendasiDalam rangka menindaklanjuti naskah akademik ini maka dapat direkomendasikan sebagai

berikut:1. DPD RI perlu segera menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Bali dengan berdasar pada Naskah Akademik ini.2. Perumusan Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali

perlu dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat Bali.

3. Dalam proses perubahan UU 32/2004 yang sedang berjalan, perlu dimasukkan BAB yang memuat pengaturan tentang kriteria daerah khusus dan daerah istimewa.21 Sehingga, pengaturan otonomi khusus bagi Provinsi Bali memiliki tautan dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah.

******

21 Sadu Wasistiono dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Kantor DPD RI

1037

DAFTAR PUSTAKA

A. BukuAbdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004. Agung Djojosoekarto, ddk (editor), Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Jakarta: Kemitraan, 2008.Asshiddiqie, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind. Hill-Co, 1998 Bambang Soepeno, Statistik Terapan dalam Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial & Pendidikan, Jakarta:

Rineka Cipta, 1997.Hurst Hannum, Autonomy, Sovereignty, and Seld Determination: The Accomodation of Conflicting

Rights, University of Pennsylvenia Press, Philadelphia, 1996.James E. Mauch and Jack W. Birch, Guide to the Successful Thesis and Desertation, Third

Edition, New York: Marcel Dekker Inc., 1993. Kjell-Ake Nordquist, Autonomy As A Conflict Solving Mechanism-An Overview dalam Autonomy:

Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997.Lauri Hannikainen, Self Determination and Autonomy in International Law dalam Autonomy:

Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997.Lili Rasjidi, Monograf: Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum, Bandung:

UNPAD, 2005.Partnership, Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005.Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, Jakarta, 1986.Teresa Garcia-Milà dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric.Transition to Democracy, paper 22 Maret, 2002.B. InternetBastian Widyatama, dkk, http://politik.kompasiana.com/ 2013/03/12/pengalaman-desentralisasi-

asimetris-suku-moro-basque-tamil-dan-sami-luar-negeri-536208Bastian Widyatama, dkk, http://politik.kompasiana.com/2013/03/12/ pengalaman-desentralisasi-

asimetris-suku-moro-basque-tamil-dan-sami-luar-negeri-536208.htmlhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_DKI_Jakarta

Laode Husen & Husni Jalil, Otonomi Daerah Di Beberapa Negara, http://husen-biku.blogspot.com/2010/06/pemerintahan-lokal-di-beberapa-negara.html

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, meliputi: UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD Negara Republik Indonesia 1945

Konstitusi Filipina Konstitusi ItaliaKonstitusi SpanyolUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua;Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta;

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2007;Peraturan Perundang-undangan di Filipina yang mengatur otonomi asimeteris;Peraturan Perundang-undangan di Italia yang mengatur otonomi asimeteris;Peraturan Perundang-undangan di Spanyol yang mengatur otonomi asimeteris; dan

Peraturan Perundang-undangan di Inggris yang mengatur otonomi asimeteris.

1038

1039

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

BAGIAN KEDUARANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR … TAHUN …

TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI

JAKARTA2013

1040

1041

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …TENTANG

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa keserasian dan keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam diyakini merupakan sumber kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Bali yang harus terus menerus dipelihara dan dilestarikan;

b. bahwa masyarakat Bali memiliki kekhususan dalam nilai-nilai sosial budaya, pengetahuan, norma, adat istiadat, seni, dan tradisi luhur yang mengakar serta menjadi bagian kebudayaan nasional yang bercirikan bhinneka tunggal ika;

c. bahwa Provinsi Bali memiliki keunggulan nasional di bidang pariwisata budaya yang memberi manfaat bagi kepentingan nasional;

d. bahwa pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan selama ini di Provinsi Bali perlu lebih menjamin keajegan nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan pelestarian Lingkungan Hidup, serta mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi bagi masyarakat Bali;

e. bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali;

Mengingat: 1. Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI.

1042

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Otonomi Khusus adalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang diakui dan diberikan

bagi Provinsi Bali untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi dan hak asal-usul masyarakat Bali yang secara khusus ditentukan Undang-Undang ini.

2. Tri Hita Karana adalah falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan lingkungannya (palemahan).

3. Sad Kertih adalah 6 (enam) cara melestarikan, menghamoniskan, dan mensucikan lingkungan alam dan lingkungan sosial terdiri atas danu kertih (danau, sungai, dan air), wana kertih (hutan), samudera kertih (laut), jagad kertih (bumi), atma kertih (roh/jiwa), dan jana kertih (manusia).

4. Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

5. Majelis Desa Pakraman adalah wadah organisasi tempat berhimpunnya Desa Pakraman untuk memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah adat dan budaya Bali untuk kepentingan Desa Pakraman serta untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan dan pembangunan.

6. Awig-Awig Desa Pakraman adalah norma-norma adat tertulis dan tidak tertulis yang mengatur kehidupan bersama di wilayah Desa Pakraman.

7. Subak adalah suatu masyarakat hukum adat Bali di bidang tata guna air dan atau tata tanaman yang bersifat sosio agraris, religius, ekonomis dan secara historis terus tumbuh serta berkembang.

8. Awig-Awig Subak adalah norma-norma adat tertulis dan tidak tertulis yang mengatur Subak.9. Parisada Hindu Dharma Indonesia yang selanjutnya disingkat PHDI adalah majelis tertinggi

umat Hindu Indonesia yang merupakan wahana pengabdian, pembinaan dan sebagai pengayom dalam melayani serta melindungi umat Hindu menuju terwujudnya masyarakat Hindu Indonesia yang sejahtera lahir bathin dan mencapai kesempurnaan abadi (Jagadhita dan Moksa).

10. Pariwisata Budaya Bali adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana.

11. Kepariwisataan Budaya Bali adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multi dimensi serta multi disiplin yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana.

12. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

13. Penanaman Modal Skala Besar adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di Provinsi Bali dengan jumlah modal yang ditanam yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai penanaman modal skala besar.

14. Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

15. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

16. Kelautan adalah hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan di wilayah laut yang meliputi permukaan laut, kolom air, dasar laut dan tanah di bawahnya, landas kontinen termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pesisir, pantai, pulau kecil, serta ruang udara diatasnya.

17. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

18. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri.

1043

20. Pemerintahan Daerah Provinsi Bali yang selanjutnya disebut Provinsi Bali adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali menurut asas otonomi, otonomi khusus, dan tugas pembantuan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

21. Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang selanjutnya disebut Pemerintah Provinsi adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

22. Gubernur Provinsi Bali yang selanjutnya disebut Gubernur adalah Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pemerintahan daerah dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di Provinsi Bali.

23. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali, yang selanjutnya disingkat DPRD Bali, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah Provinsi Bali sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

24. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Bupati/Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota di Bali menurut asas otonomi, otonomi khusus, dan tugas pembantuan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

25. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah di Bali.

26. Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Bali dengan persetujuan bersama Gubernur dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

27. Peraturan Gubernur adalah peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur untuk melaksanakan peraturan daerah, peraturan daerah khusus dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

BAB IIASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Bagian KesatuAsas

Pasal 2 Penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali dilaksanakan berdasarkan asas: a. bhinneka tunggal ika; b. pengakuan kearifan lokal;c. demokrasi dan kerakyatan; d. keadilan dan kesejahteraan; dane. kepentingan nasional.

Bagian KeduaTujuan

Pasal 3 Tujuan penyelenggaraan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali meliputi: a. terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Bali; b. terwujudnya pembangunan yang berlandaskan budaya Bali, berwawasan lingkungan, dan

dijiwai ajaran agama Hindu, serta Tri Hita Karana;c. terwujudnya pengakuan, penghormatan, dan pemberdayaan kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak asal usulnya untuk memperkokoh ketahanan sosial;d. terwujudnya perlindungan, penghormatan, dan pengembangan budaya Bali sebagai warisan

budaya bangsa; dane. terciptanya tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, responsif, partisipatif serta

menjamin keberagaman dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagian KetigaRuang Lingkup

Pasal 4 Ruang lingkup pengaturan Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali meliputi:a. pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak asal usulnya; b. penyerahan kewenangan khusus bagi Provinsi Bali; danc. pendanaan penyelenggaraan kewenangan khusus bagi Provinsi Bali.

1044

BAB IIIPENGAKUAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 5 (1) Negara mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan, dan mengembangkan hak-

hak dan kelembagaan masyarakat hukum adat Bali.(2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak masyarakat hukum adat dan hak

perorangan warga masyarakat hukum adat yang diatur dalam ketentuan hukum adat.(3) Kelembagaan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Desa Pakraman dan

Subak.

Bagian KeduaDesa Pakraman

Pasal 6 Desa Pakraman berkedudukan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai sistem pemerintahan adat, wilayah, harta kekayaan, dan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan kahyangan tiga dan/atau kahyangan desa berdasarkan hak asal usul.

Pasal 7 Desa Pakraman mempunyai fungsi:a. mengatur, mengayomi dan menjaga kerukunan krama desa, krama tamiu, dan tamiu;b. melaksanakan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita

Karana; danc. menyelesaikan sengketa adat dalam lingkungan wilayahnya sesuai dengan Awig-Awig setempat.

Pasal 8 (1) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Desa Pakraman

mempunyai tugas dan wewenang:a. membuat Awig-Awig;b. membentuk dan menetapkan struktur pemerintahan Desa Pakraman sesuai dengan

Awig-Awig;c. mengelola harta kekayaan Desa Pekraman atau duwe Desa Pakraman termasuk

Lembaga Perkreditan Desa dan Pasar Desa; d. melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan,

kebudayaan, dan kemasyarakatan yang terkait dengan adat istiadat dan tradisi; e. membina, mengembangkan, dan melestarikan nilai budaya Bali untuk memperkuat

kebudayaan nasional berdasarkan prinsip bhinneka tunggal ika; danf. menjaga ketertiban di wilayah Desa Pakraman.

(2) Sebelum Awig-Awig sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberlakukan, perlu diverifikasi oleh Majelis Desa Pakraman.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perdasus.

Pasal 9 (1) Desa Pakraman berhimpun dalam wadah organisasi Majelis Desa Pakraman untuk

memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut adat dan budaya serta untuk berpartisipasi dalam proses penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan.

(2) Majelis Desa Pakraman terdiri atas :a. Majelis Utama Desa Pakraman untuk lingkup provinsi yang berkedudukan di ibukota provinsi;b. Majelis Madya Desa Pakraman untuk lingkup Kabupaten/Kota yang berkedudukan di

ibukota Kabupaten/Kota; danc. Majelis Alit Desa Pakraman untuk lingkup kecamatan yang berkedudukan di kota kecamatan.

(3) Majelis Desa Pakraman mempunyai wewenang: a. mengayomi adat istiadat; b. ikut serta dalam penyiapan Rancangan Perdasus; c. memberikan saran dan pertimbangan dalam pembahasan Rancangan Perdasus; d. memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan,

kelompok/lembaga termasuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota tentang masalah-masalah adat;

e. menyelenggarakan paruman dan pesamuan Majelis Desa Pakraman untuk memusyawarahkan dan memutuskan masalah adat dan kebudayaan Bali;

1045

f. melaksanakan keputusan paruman dan pesamuan Majelis Desa Pakraman; g. melaksanakan pembinaan adat istiadat dan Awig-Awig yang tertulis dan yang tidak

tertulis;h. sebagai penengah dan penyelesai dalam perkara adat yang tidak dapat diselesaikan di

Desa Pakraman sesuai dengan tingkatannya; dani. membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, Kabupaten/Kota, dan

provinsi.(4) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c, dilaksanakan

oleh Majelis Utama Desa Pakraman.

Pasal 10 (1) Pemerintah Provinsi memberdayakan Desa Pakraman dan Majelis Utama Desa Pakraman

melalui fasilitasi asistensi, bantuan teknis, dan bantuan lainnya.(2) Pemerintah Kabupaten/Kota memberdayakan Desa Pakraman, Majelis Alit Desa Pakraman,

dan Majelis Madya Desa Pakraman melalui fasilitasi asistensi, bantuan teknis, dan bantuan lainnya.

Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai Desa Pakraman dan Majelis Desa Pakraman diatur dengan Perdasus.

Bagian KetigaSubak

Pasal 12 Subak berkedudukan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai sistem pemerintahan adat, wilayah, harta kekayaan, dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Pura Subak berdasarkan hak asal usul di bidang pertanian dan pengairan.

Pasal 13 Subak mempunyai fungsi:a. membantu Pemerintah Pusat dalam meningkatkan pembangunan di bidang pertanian; b. melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam Subak;c. menetapkan Awig-Awig sebagai suatu kesepakatan dalam mengatur kepentingan sosial

pertanian dan keagamaan; d. membina dan melestarikan nilai-nilai agama dan adat-istiadat Bali serta menjaga persatuan

dan kesatuan anggota di wilayah Subak;e. menjaga dan melestarikan Pura Subak;f. menjaga, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan Subak, sarana dan

prasarana irigasi lainnya guna menjamin kelancaran ketertiban irigasi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

g. memberdayakan krama Subak untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani; dan

h. menjaga kelestarian wilayah Subak dan lingkungannya dalam rangka pertanian berkelanjutan.

Pasal 14 Subak berhimpun dalam wadah perkumpulan Subak untuk memusyawarahkan masalah di bidang pertanian dan pengairan serta berpartisipasi dalam proses penetapan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan pertanian.

Pasal 15 (1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melibatkan Subak dalam perencanaan

dan pelaksanaan pembangunan irigasi teknis di wilayah Subak sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2) Setiap pembangunan yang dilakukan di wilayah Subak dilarang mengganggu sistem irigasi dan fungsi Subak.

Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai Subak dan pelibatan Subak dalam pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14 dan sanksi atas pelanggaran larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) diatur dengan Perdasus.

1046

BAB IVKEWENANGAN

Pasal 17 (1) Kewenangan Provinsi Bali mencakup kewenangan dalam urusan pemerintahan daerah

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan kewenangan khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

(2) Kewenangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, penetapan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam bidang:a. kebudayaan;b. pertanahan;c. tata ruang;d. lingkungan hidup;e. pariwisata; f. penanaman modal skala besar;g. kependudukan dan ketenagakerjaan;h. kelautan; dani. kehutanan.

(3) Kewenangan konkuren yang dilaksanakan antara Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota meliputi:a. pendidikan;b. kesehatan;c. pekerjaan umum;d. pertanian dan ketahanan pangan;e. penanaman modal;f. perdagangan;g. energai dan sumber daya mineral; danh. ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat.

(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren diatur dengan Perdasus.

Pasal 18 Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat melaksanakan monitoring, evaluasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19 Pemerintah Provinsi menyelenggarakan urusan pemerintahan yang ditugaskan oleh Pemerintah Pusat dalam rangka penyelenggaraan asas tugas pembantuan.

Pasal 20 (1) Dalam menyelenggarakan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17

ayat (2), Pemerintah Provinsi dapat menugaskan sebagian urusan kepada Kabupaten/Kota berdasarkan asas tugas pembantuan.

(2) Urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan sumber pendanaan, dan dukungan sarana dan prasarana.

Pasal 21 Kewenangan Kabupaten/Kota mecakup kewenangan dalam urusan pemerintahan:a. sosial;b. pemberdayaan perempuaan dan perlindangan anak;c. kommunikasi dan informasi;d. koperasi, usaha kecil dan menengah;e. pemuda dan olah raga;f. pemberdayaan masyarakat desa;g. statistik;h. persandian;i. perpustakaan;j. arsip;k. perikanan darat;l. perindustrian;m. perumahan rakyat; dann. administrasi kependudukan dan catatan sipil.

Pasal 22 (1) Perjanjian internasional oleh Pemerintah Pusat yang terkait dengan kewenangan khusus

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan setelah mendapat pertimbangan

1047

Gubernur.(2) Gubernur dalam memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berkonsultasi dengan DPRD.(3) Provinsi Bali dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga

atau badan asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan.(4) Tata cara konsultasi Gubernur dengan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

lebih lanjut dengan Perdasus.

BAB V KEBUDAYAAN

Pasal 23 Kewenangan khusus di bidang kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a diselenggarakan untuk menghormati, melindungi, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan Bali sebagai hasil cipta, rasa, karsa, dan karya masyarakat Bali.

Pasal 24 Pemerintah Provinsi menghormati, melindungi, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 melalui strategi:a. penggalian nilai-nilai dan pengetahuan yang mengakar pada masyarakat;b. pendidikan kebudayaan, seni, sastra, dan bahasa daerah Bali;c. perlindungan kebebasan berkreasi para budayawan, seniman, dan lembaga-lembaga

budaya;d. perlindungan hak kekayaan intelektual masyarakat Bali sesuai dengan peraturan perundang-

undangan;e. penginventarisasian, pendokumentasian, pemeliharaan, pengembangan dan pelestarian

kebudayaan Bali; danf. fasilitasi lembaga budaya, pusat pengembangan budaya, dan peningkatan kesejahteraan

budayawan dan seniman.

Pasal 25 Dalam menjalankan strategi kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pemerintah Provinsi harus mengikutsertakan PHDI, Majelis Utama Desa Pakraman, dan lembaga budaya.

Pasal 26 Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap keberlanjutan dan kelestarian eksistensi Pura Kahyangan yang mempersatukan Bali.

Pasal 27 Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menghormati dan melindungi berbagai keanekaragaman kebudayaan masyarakat daerah dan bangsa lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya Bali dalam semangat bhinneka tunggal ika.

Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur dalam Perdasus.

BAB VIPERTANAHAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 29 (1) Kewenangan khusus di bidang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)

huruf b, diselenggarakan untuk mengakui dan menghormati hak Desa Pakraman dan Pura atas tanah berdasarkan hak-hak asal-usulnya serta melindungi dan memanfaatkan sumber agraria sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

(2) Guna mengakui dan menghormati hak Desa Pakraman atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Desa Pakraman dengan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai badan hukum.

(3) Guna melindungi dan memanfaatkan sumber agraria untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berwenang melaksanakan:a. penatagunaan tanah; b. pengendalian nilai tanah;c. pemberian ijin lokasi;

1048

d. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;e. penyelesaian sengketa tanah garapan;f. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;g. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan

maksimum dan tanah absentee;h. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;i. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;j. pemberian ijin membuka tanah; dank. perencanaan penggunaan tanah di wilayah Kabupaten/Kota.

Pasal 30 (1) Desa Pakraman sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik

atas tanah Desa Pakraman.(2) Tanah Desa Pakraman meliputi tanah pekarangan desa, tanah ayahan desa, dan tanah

duwe Desa Pakraman lainnya.(3) Pura merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Pura. (4) Tanah Pura meliputi tanah tegak Pura, tanah telanjakan Pura, dan tanah pelaba Pura.(5) Desa Pakraman berwenang menggunakan, mengembangkan dan mengendalikan fungsi

tanah Desa Pakraman untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, dan sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, serta kesejahteraan krama Desa Pakraman.

(6) Pura berwenang menggunakan, mengembangkan dan mengendalikan fungsi tanah Pura untuk pemeliharaan kelangsungan Pura.

Bagian KeduaTanah Desa Pakraman

Pasal 31 (1) Tanah Desa Pakraman merupakan salah satu harta kekayaan milik Desa Pakraman.(2) Tanah Desa Pakraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan pajak.(3) Tanah Desa Pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama

perorangan.(4) Pengelolaan Tanah Desa Pakraman dilakukan oleh prajuru Desa Pakraman sesuai dengan

Awig-Awig Desa Pakraman.(5) Setiap pengalihan/perubahan status tanah Desa Pakraman harus mendapat persetujuan

Paruman Desa Pakraman.(6) Pengawasan pengelolaan Tanah Desa Pakraman dilakukan oleh krama Desa Pakraman.(7) Penyediaan tanah Desa Pakraman untuk keperluan pembangunan harus dilakukan dengan

mendapat persetujuan Paruman Desa Pakraman.

Pasal 32 Hak milik atas tanah Desa Pakraman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 didaftarkan pada instansi pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33 (1) Majelis Desa Pakraman memberikan mediasi aktif dan/atau mengambil keputusan dalam

usaha penyelesaian sengketa terkait tanah Desa Pakraman secara adil dan bijaksana.(2) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan mediasi sesuai dengan

kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanah Desa Pakraman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

Bagian KetigaTanah Pura

Pasal 35 (1) Tanah Pura merupakan salah satu harta kekayaan milik Pura.(2) Tanah Pura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan pajak.(3) Tanah Pura tidak dapat disertifikatkan atas nama perorangan.(4) Pengelolaan Tanah Pura dilakukan oleh pangempon Pura.(5) Setiap pengalihan/perubahan status Tanah Pura harus mendapat persetujuan paruman

pangempon Pura.(6) Pengawasan pengelolaan Tanah Pura dilakukan oleh pangempon Pura.(7) Penyediaan Tanah Pura untuk keperluan pembangunan harus dilakukan dengan mendapat

persetujuan pangempon Pura.

1049

Pasal 36 Hak milik atas Tanah Pura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 didaftarkan pada instansi pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37 (1) PHDI dan Majelis Desa Pakraman bersama-sama memberikan mediasi aktif dan/atau

mengambil keputusan dalam usaha penyelesaian sengketa terkait Tanah Pura secara adil dan bijaksana.

(2) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan Mediasi sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanah Pura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur dalam Perdasus.

BAB VIITATA RUANG

Pasal 39 (1) Kewenangan Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c

diselenggarakan untuk mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang untuk pembangunan di Provinsi Bali.

(2) Kewenangan Provinsi Bali dalam tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penataan ruang wilayah provinsi, Kabupaten/Kota, dan kawasan perdesaan dengan menjaga kesucian tempat suci, kawasan suci, dan melestarikan kawasan jati diri budaya Bali.

(3) Dalam pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun kerangka umum kebijakan tata ruang wilayah sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang Provinsi Bali.

(4) Kerangka umum kebijakan tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan nilai-nilai ajaran agama Hindu, falsafah Tri Hita Karana dan tradisi luhur yang tertuang dalam keputusan PHDI dan lembaga adat.

(5) Kerangka umum kebijakan tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

Pasal 40 (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional.(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan

dengan tata ruang provinsi yang berbatasan langsung.(3) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang berbatasan langsung sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) merupakan hasil kerja sama secara terpadu dengan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

(4) Kerja sama secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencakup keterpaduan dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang yang dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah setiap provinsi dengan memperhatikan kepentingan strategis nasional.

(5) Kerja sama terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikoordinasikan oleh menteri yang tugasnya di bidang penataan ruang.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi diatur dalam Perdasus yang penyusunannya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

BAB VIIILINGKUNGAN HIDUP

Pasal 41 (1) Kewenangan khusus di bidang Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17

ayat 2 huruf d, diselenggarakan untuk menjamin keserasian, keselarasan, keseimbangan kelangsungan hidup mahluk hidup dan kelestarian ekosistem Bali sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana.

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi menyelenggarakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi Lingkungan Hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

(3) Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berasaskan pelestarian fungsi

1050

Lingkungan Hidup dengan menjunjung tinggi peran serta masyarakat dan nilai-nilai Tri Hita Karana.

Pasal 42 (1) Kewenangan Provinsi Bali dalam Lingkungan Hidup meliputi pengendalian dan pengelolaan

Lingkungan Hidup pada wilayah provinsi dan Kabupaten/Kota dengan menjaga keserasian lingkungan antara manusia dengan alam serta melestarikan kesucian tempat suci dan kawasan suci.

(2) Dalam pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun kerangka umum kebijakan pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang Provinsi Bali.

(3) Kerangka umum kebijakan pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan nilai-nilai sad kerti.

(4) Kerangka umum kebijakan pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi dasar penyusunan rencana pengendalian dan pengelolaan Lingkungan Hidup.

(5) Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib melibatkan peran serta masyarakat dan menerima masukan dan pertimbangan Majelis Utama Desa Pakraman.

Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan dan pengendalian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diatur dalam Perdasus.

BAB IXPARIWISATA

Bagian KesatuUmum

Pasal 44 (1) Kewenangan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d

diselenggarakan untuk :a. meningkatkan citra, harkat, martabat serta memperkukuh jati diri bangsa Indonesia di

tingkat internasional; b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara merata dan berkelanjutan; c. melestarikan dan mengembangkan kebudayaan dan lingkungan alam Bali sebagai

bagian dari kepariwisataan nasional secara berkelanjutan; dand. meningkatkan daya saing bangsa.

(2) Kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia merupakan landasan utama pembangunan kepariwisataan Bali.

(3) Pembangunan kepariwisataan Bali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan dalam bentuk Kepariwisataan Budaya Bali.

Pasal 45 Kepariwisataan dalam kerangka Otonomi Khusus Provinsi Bali diselenggarakan dengan prinsip:a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep

hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;

b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;d. memelihara kelestarian alam dan Lingkungan Hidup;e. memberdayakan masyarakat setempat;f. menjamin keterpaduan antara pusat dan daerah, antar daerah, dan antar sektor yang

merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan;

g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan

h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagian KeduaPembangunan Kepariwisataan Budaya Bali

Pasal 46 (1) Pembangunan Kepariwisataan Budaya Bali dilakukan berdasarkan:

a. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional;

1051

b. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Budaya Bali; dan c. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali.

(2) Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Budaya Bali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:a. perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan

kelembagaan Kepariwisataan Budaya Bali Provinsi Bali; danb. perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan

kelembagaan kepariwisataan budaya Kabupaten/Kota.(3) Dalam menyusun Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Budaya Provinsi Bali,

Pemerintah Provinsi mempertimbangkan masukan Kabupaten/Kota.(4) Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Budaya Provinsi Bali sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) diatur dengan Perdasus.

Pasal 47 (1) Pembangunan Kepariwisataan Budaya Bali dilaksanakan dengan memperhatikan nilai-nilai

budaya dan kelestarian lingkungan.(2) Pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan hanya dapat dilakukan di kawasan

pariwisata yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali.

Pasal 48 (1) Dalam pengembangan pembangunan kawasan pariwisata, Pemerintah Provinsi melibatkan,

masyarakat, Desa Pakraman dan lembaga adat/ budaya lainnya.(2) Desa Pakraman dapat mengembangkan daya tarik wisata sesuai dengan potensi setempat.(3) Pemerintah Provinsi dapat memberikan bantuan pendanaan bagi pengembangan

kepariwisataan yang dikelola Desa Pakraman atau lembaga adat lainnya.

Pasal 49 (1) Desa Pakraman dan/atau lembaga adat lainnya dapat memberikan pertimbangan kepada

Pemerintah Provinsi untuk mencegah aktivitas kepariwisataan yang tidak sesuai dengan tujuan Kepariwisataan Budaya Bali.

(2) Pemerintah Provinsi melakukan usaha pencegahan sesuai dengan pertimbangan yang diberikan oleh Desa Pakraman dan/atau lembaga adat lainnya.

Pasal 50 (1) Pemerintah Provinsi bersama lembaga yang terkait dengan pembangunan kepariwisataan

menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk mendukung kepariwisataan Bali.

(2) Pemerintah Provinsi melakukan kerja sama secara terpadu dalam pengembangan pariwisata dengan daerah-daerah di luar Provinsi Bali.

(3) Kerjasama pengembangan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup pembangunan kepariwisataan Daerah yang meliputi:a. destinasi pariwisata;b. pemasaran pariwisata; c. industri pariwisata; dand. kelembagaan kepariwisataan.

Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai Kepariwisataan Budaya Bali diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

BAB XPENANAMAN MODAL SKALA BESAR

Pasal 52 (1) Kewenangan Penanaman Modal Skala Besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat

(2) huruf f diselenggarakan untuk :a. mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman modal guna

membuka kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;b. mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah dan usaha

tradisional dengan membangun kemitraan;c. mewujudkan pertumbuhan ekonomi antarwilayah dan antarsektor yang cukup tinggi

secara berkualitas, seimbang, dan berkelanjutan; dand. melindungi fungsi ruang dan mencegah dampak negatif penanaman modal skala

besar terhadap Lingkungan Hidup di Provinsi Bali.(2) Kewenangan Provinsi Bali dalam Penanaman Modal Skala Besar sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi:

1052

a. menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan Penanaman Modal Skala Besar provinsi dan Kabupaten/Kota dalam bentuk rencana umum Penanaman Modal Skala Besar dan rencana strategis melalui koordinasi dengan pemerintah dan Kabupaten/Kota;

b. merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan Penanaman Modal Skala Besar;

c. mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang Penanaman Modal Skala Besar;

d. pemberian izin usaha kegiatan Penanaman Modal Skala Besar dan nonperizinan;e. mengusulkan pemberian insentif fiskal nasional dan dapat memberikan insentif sesuai

dengan kewenangannya bagi Penanaman Modal Skala Besar; danf. mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan

Penanaman Modal Skala Besar.(3) Dalam pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah

Provinsi menyusun kerangka umum kebijakan pengembangan Penanaman Modal Skala Besar provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Bali.

(4) Kerangka umum kebijakan pengembangan Penanaman Modal Skala Besar provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan memperhatikan pertimbangan Majelis Utama Desa Pakraman dan PHDI.

Pasal 53 (1) Penyelenggaraan penanaman modal dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat

hukum adat Bali.(2) Pemerintah Provinsi menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro,

kecil, menengah, koperasi, dan usaha tradisional, serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan usaha tradisional.

(3) Dalam pemberian perizinan Penanaman Modal Skala Besar, Pemerintah Provinsi bepedoman pada kebijakan umum dan melibatkan Desa Pakraman setempat.

Pasal 54 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penanaman Modal Skala Besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diatur dalam Perdasus.

BAB XIKEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 55 (1) Kewenangan kependudukan dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

17 ayat (2) huruf g diselenggarakan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Bali.

(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan mengembangkan sistem manajemen kependudukan dan ketenagakerjaan yang terintegrasi.

Bagian KeduaKependudukan

Pasal 56 (1) Pemerintah Provinsi melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap

pertumbuhan dan migrasi penduduk di Provinsi Bali dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

(2) Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi masyarakat Bali dalam semua sektor pembangunan, Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.

(3) Penempatan penduduk Provinsi Bali dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan persetujuan Gubernur dan memperhatikan pertimbangan Majelis Utama Desa Pakraman dan PHDI.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan dan migrasi penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Perdasus.

1053

Bagian KetigaKetenagakerjaan

Pasal 57 (1) Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/

atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.(2) Pemerintah Provinsi memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi calon tenaga kerja agar

mampu bersaing dalam pasar kerja.(3) Pengusaha yang melakukan kegiatan investasi di Provinsi Bali wajib mengutamakan tenaga

kerja setempat.Pasal 58

(1) Pengusaha wajib memberikan kesempatan kepada Pekerja/Buruh untuk melaksanakan upacara yadnya yang diwajibkan oleh agamanya.

(2) Pengusaha wajib tidak memerkerjakan pekerja/buruh pada hari besar agama Hindu.(3) Pengusaha dapat memerkerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari besar agama

Hindu, apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hari besar agama Hindu dan jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) serta sanksi kepada pengusaha yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Perdasus.

BAB XIIKELAUTAN

Pasal 59 (1) Kewenangan khusus di bidang kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)

huruf diselenggarakan untuk mewujudkan:a. perlindungan dan pelestarian wilayah kelautan berdasarkan nilai-nilai Tri Hita Karana

dan Sad Kertih; danb. pemanfaatan dan pengelolaan ruang wilayah kelautan secara terintegrasi, berwawasan

lingkungan, berkelanjutan, dan berkeadilan yang sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

(2) Kewenangan khusus di bidang Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:a. menyusun dan menetapkan kebijakan penataan ruang wilayah kelautan berdasarkan

nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih; b. menyusun dan menetapkan kebijakan eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan

kelautan baik di wilayah pesisir maupun di laut untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup;

c. menyusun dan menetapkan kebijakan kegiatan perikanan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungannya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat; dan

d. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan kepariwisataan di laut yang dilaksanakan berdasarkan asas Tri Hita Karana, kelestarian, berkelanjutan, keterpeliharaan, dan memperhatikan aspek ekologis kawasan serta melibatkan peran serta Desa Pakraman dan masyarakat pesisir sebagai pemangku kepentingan.

Pasal 60 Dalam menyelenggarakan kewenangan khusus di bidang kelautan, Pemerintah Provinsi mempunyai bertanggung jawab:

a. menjaga dan melindungi kesucian wilayah kelautan sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih;

b. melakukan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran laut dan kerusakan lingkungan serta ekosistem kelautan,yang berasal dari semua sumber pencemaran laut;

c. melakukan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia;

d. melakukan pencegahan dan penanggulangan kerusakan lingkungan di wilayah-wilayah pesisir dan pantai akibat abrasi maupun kegiatan investasi dan kepariwisataan; dan

e. menyelenggarakan suatu sistem pemantauan dan penanggulangan bencana alam di laut yang mempunyai dampak serius terhadap tata kehidupan masyarakat.

Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan khusus di bidang Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 diatur dalam Perdasus.

1054

BAB XIIIKEHUTANAN

Pasal 62 (1) Kewenangan khusus di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)

huruf i diselenggarakan untuk mewujudkan perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian, hutan dan kawasan hutan secara terpadu, berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih.

(2) Negara mengakui dan menghormati hutan adat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(3) Hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah Desa Pakraman.(4) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak-hak asal usul desa pakraman.(5) Dalam penghormatan dan pengakuan hutan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Desa Pakraman berwenang:a. melakukan kegiatan keagamaan dan adat istiadat; b. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari

krama Desa Pakraman yang bersangkutan;c. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan

tidak bertentangan dengan undang-undang;d. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahterannya; dane. melakukan perlindungan dan konservasi hutan.

Pasal 63 Kewenangan khusus di bidang Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) meliputi:

a. menetapkan kebijakan perlindungan hutan dan konservasi alam guna menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, fungsi prouksi dan fungsi keagamaan-budaya, tercapai secara optimal dan lestari;

b. menetapkan kebijakan perlindungan hutan yang memiliki fungsi agama dan budaya sesuia nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih;

c. menetapkan kebijakan guna mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat;

d. menentapkan kebijakan pemanfaatan hutan yang bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan; dan

e. menetapkan kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Pasal 64 (1) Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada

hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional serta kawasan hutan yang memiliki fungsi agama dan adat.

(2) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung dengan tetap menjaga nilai-nilai Tri Hita Karana dan Sad Kertih.

(3) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi setelah memperhatikan pertimbangan Majelis Utama Desa Pakraman dan PHDI.

Pasal 65 Pengaturan lebihlanjut mengenai perlindungan, pemafaatan dan tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) diatur dengan Perdasus.

BAB XIVPERDA, PERDASUS, PERATURAN GUBERNUR, DAN

KEPUTUSAN GUBERNUR

Bagian KesatuPerda

Pasal 66 (1) Perda dibentuk dan ditetapkan dengan persetujuan bersama DPRD Bali dan Gubernur. (2) Perda dibentuk untuk mengatur kewenangan Provinsi Bali sebagai daerah otonom selain

1055

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).(3) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Bagian KeduaPerdasus

Pasal 67 (1) Perdasus dibentuk dan ditetapkan dengan persetujuan bersama DPRD Bali dan Gubernur. (2) Perdasus dibentuk untuk mengatur kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17

ayat (2). (3) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan Perdasus, DPRD Bali dan Gubernur

mendayagunakan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat Bali.

(4) Dalam penyiapan rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) DPRD Bali dan Gubernur mengikutsertakan PHDI dan Majelis Utama Desa Pakraman.

(5) Dalam pembahasan rancangan Perdasus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) DPRD Bali dan Gubernur memperhatikan dengan sungguh-sungguh saran dan pertimbangan PHDI dan Majelis Utama Desa Pakraman.

(6) Tata cara pembentukan Peraturan Daerah berlaku secara mutatis mutandis dalam pembentukan Perdasus.

Bagian KetigaPeraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur

Pasal 68 (1) Gubernur berwenang menetapkan Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur. (2) Peraturan Gubernur dan/atau Keputusan Gubernur ditetapkan untuk melaksanakan Perda

dan Perdasus. (3) Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, nilai-nilai luhur, budaya, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(4) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diundangkan dalam Berita Daerah.

(5) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Menteri.

Pasal 69

Pemerintah Provinsi menyebarluaskan Perda, Perdasus, Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVPENDANAAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 70 Pengaturan keuangan bagi Provinsi Bali dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 71 (1) Dana dalam rangka penyelenggaraan kewenangan khusus dibahas dan ditetapkan oleh

Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan pengajuan Pemerintah Provinsi.(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dana otonomi khusus yang diperuntukkan

bagi dan dikelola oleh Pemerintah Provinsi yang pengalokasian dan penyalurannya melalui mekanisme transfer ke daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian dan penyaluran dana otonomi khusus diatur dengan peraturan Menteri Keuangan.

(4) Gubernur melaporkan pelaksanaan kegiatan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali kepada Pemerintah Pusat melalui Menteri pada setiap akhir tahun anggaran.

Pasal 72 (1) Selain dana otonomi khusus, Provinsi Bali menerima perimbangan keuangan dari Pemerintah

Pusat yang bersumber dari pendapatan Negara bukan pajak yang berupa visa kedatangan dan sumber daya jasa pariwisata.

1056

(2) Perimbangan keuangan dari visa kedatangan dan sektor sumber daya jasa pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pemeliharaan, renovasi, konservasi, pelestarian sarana, prasarana, sistem, nilai adat dan budaya yang bersifat religius.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perimbangan keuangan dari visa kedatangan dan sektor sumber daya jasa pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penerimaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 73 Pemerintah Provinsi dapat menyertakan modal kepada badan usaha milik negara yang melakukan kegiatan usaha di Bali.

Pasal 74 (1) Guna menjaga keseimbangan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Bali dilakukan

perimbangan keuangan antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota dan antar Kabupaten/Kota.(2) Perimbangan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip

proporsionalitas dan berkeadilan.(3) Pengaturan mengenai perimbangan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Perdasus.

BAB XVIKETENTUAN PIDANA

Pasal 75 (1) Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memusnahkan simbol-simbol agama, benda-

benda yang disucikan atau tempat suci umat Hindu, diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

(2) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan maksud untuk dimiliki sendiri atau diserahkan kepada orang lain mengambil benda-benda yang disucikan atau disakralkan dalam agama Hindu diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau memanfaatkan upacara keagamaan, simbol-simbol keagamaan, dan/atau benda-benda yang disakralkan, dengan tujuan semata-mata sebagai daya tarik wisata diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang melakukan tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di kawasan tempat suci atau tempat ibadah diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

BAB XVIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 76 (1) Perdasus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini harus dibentuk paling lambat 1

(satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.(2) Sebelum Perdasus terbentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), semua peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan pengakuan dan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dinyatakan masih berlaku.

BAB XVIIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 77 (1) Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah bagi

Provinsi Bali dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

(2) Semua ketentuan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah berlaku bagi Provinsi Bali sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

1057

Pasal 78 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 79 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal …PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …

1058

PENJELASANATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …TENTANG

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI BALI

I. UMUMPengakuan dan pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Bali untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak asal usul masyarakat Bali dilatarbelakangi pertimbangan bahwa Bali memiliki keunikan dalam adat budaya dan agama. Sampai saat ini Desa Pakraman di Bali masih tetap eksis dan memiliki kewenangan dan otonomi asli yang sangat kuat di dalam mengatur wilayahnya sendiri. Desa Pakraman memiliki peraturan, kekayaan desa, dan sistem keamanan sendiri. Hal ini merupakan warisan dari hak asal usul yang sudah mengakar secara turun temurun yang sekaligus juga menjadi salah satu daya tarik pariwisata.

Selain Desa Pakraman, Bali memiliki sistem Subak yaitu suatu sistem pengelolaan irigasi dan pertanian tradisional yang sudah diakui dunia dan menjadi salah satu warisan budaya dunia. Semua warisan adat budaya di atas diharapkan mendapatkan pengakuan dan perlindungan melalui undang-undang.

Di samping itu, perkembangan dinamika pemerintahan dan pembangunan, Bali memerlukan suatu sistem penataan satu pulau dengan satu sistem manajemen (One Island, One Management System). Kebutuhan penataan sistem pemerintahan dan pembangunan semakin mendesak karena Bali hanya sebuah pulau kecil dan memiliki sumberdaya yang terbatas. Dalam kondisi seperti itu, Bali memerlukan integrasi sistem managemen pembangunan dan peñata ruangan sehingga pembangunan bisa berjalan lebih merata, berwawasan lingkungan dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat Bali.

Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Bali bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin keberagaman dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan perlindungan dan penghormatan pada kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Kewenangan Provinsi Bali sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan kewenangan khusus dalam bidang: kebudayaan, pertanahan, pariwisata, tata ruang, kependudukan, dan ketenagakerjaan. Kewenangan khusus tersebut diletakkan pada tingkat provinsi.

Dalam rangka mendukung efektivitas penyelenggaraan kewenangan khusus, Undang-Undang ini mengatur pendanaan kekhususan yang pengalokasian dan penyalurannya melalui mekanisme transfer ke daerah. Selain itu Provinsi Bali juga menerima perimbangan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang ini juga memuat tindak pidana khusus dalam rangka melindungi dan melestarikan tempat suci dan benda suci atau benda sakral yang memiliki nilai religius bagi masyarakat Bali.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1Cukup jelas.

Pasal 2Huruf a

Yang dimaksud asas bhinneka tunggal ika yaitu tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin keberagaman dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Huruf bYang dimaksud asas pengakuan kearifan lokal yaitu pemeliharaan dan pendayagunaan nilai-nilai musyawarah, gotong royong, solidaritas, tenggang rasa, toleransi, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat dalam konteks kekinian dan masa depan.

Huruf cYang dimaksud asas demokrasi yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis melalui partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.Yang dimaksud asas kerakyatan yaitu kebijakan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan pengembangan kemampuan masyarakat, pengayoman dan pembimbingan masyarakat.

Huruf dYang dimaksud asas keadilan dan kesejahteraan yaitu pengaturan otonomi

1059

khusus bagi Provinsi Bali dilakukan untuk mewujudkan akses pembangunan yang adil sehingga terwujud kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Huruf eYang dimaksud asas kepentingan nasional yaitu pengaturan mengenai kekhususan Provinsi Bali harus sekaligus melayani kepentingan Indonesia, dan sebaliknya.

Pasal 3Cukup jelas.

Pasal 4Huruf a

Cukup jelas.

Huruf bYang dimaksud dengan “kewenangan khusus” adalah urusan pemerintahan bersifat khusus yang diserahkan sebagai urusan otonomi kepada Provinsi Bali.

Huruf cCukup jelas.

Pasal 5Cukup jelas.

Pasal 6Yang dimaksud dengan ikatan kahyangan tiga adalah tiga buah Pura yang terdiri atas Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem sebagai satu kesatuan yang merupakan milik (duwe) Desa Pakraman.Pura Kahyangan Desa merupakan Pura yang tidak termasuk Pura Kahyangan Tiga yang juga merupakan milik (duwe) Desa Pakraman.

Pasal 7Huruf a

Krama desa merupakan orang yang beragama Hindu yang terdaftar sebagai warga Desa Pakraman di tempat tinggalnya. Krama tamiu merupakan orang yang beragama Hindu yang terdaftar sebagai warga Desa Pakraman di luar tempat tinggalnya. Tamiu merupakan orang selain krama desa dan krama tamiu yang bertempat tinggal di wilayah Desa Pakraman.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Pasal 8Ayat (1)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cYang dimaksud dengan duwe Desa Pakraman adalah aset Desa Pakraman baik yang nyata (sekala) maupun yang tidak nyata (niskala) yang terkait dengan parhyangan seperti Pura Desa dengan segala perlengkapannya, pawongan seperti Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Pasar Desa, dan badan usaha milik Desa Pakraman lainnya, serta palemahan seperti tanah Desa Pakraman.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eCukup jelas.

Huruf fCukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 9Ayat (1) Cukup jelas.Ayat (2) Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

1060

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas.Ayat (3) Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Cukup jelas.Huruf c

Cukup jelas.Huruf d

Cukup jelas.Huruf e

Paruman adalah permusyawaratan dalam Majelis Desa Pakraman yang terdiri atas Paruman Agung dilaksanakan oleh Majelis Utama Desa Pakraman, Paruman Madya dilaksanakan oleh Majelis Madya Desa Pakraman, Paruman Alit dilaksanakan oleh Majelis Alit Desa Pakraman. Pasamuhan adalah rapat kerja Majelis Desa Pakraman yang terdiri atas Pasamuhan Agung dilaksanakan oleh Majelis Utama Desa Pakraman, Pasamuhan Madya dilaksanakan oleh Majelis Madya Desa Pakraman, Pasamuhan Alit dilaksanakan oleh Majelis Alit Desa Pakraman.

Huruf fCukup jelas.

Huruf gCukup jelas.

Huruf hCukup jelas.

Huruf iCukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas

Pasal 10Cukup jelas.

Pasal 11Cukup jelas.

Pasal 12Pura Subak adalah Pura yang merupakan milik (duwe) Subak.

Pasal 13Ayat (1)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eCukup jelas.

Huruf fCukup jelas.

Huruf gKrama Subak merupakan orang yang menjadi anggota subak.

Huruf hCukup jelas.

Pasal 14Cukup jelas.

Pasal 15Cukup jelas.

Pasal 16Cukup jelas.

Pasal 17Cukup jelas.

Pasal 18Cukup jelas.

1061

Pasal 19Cukup jelas.

Pasal 20Cukup jelas.

Pasal 21Cukup jelas.

Pasal 22Cukup jelas.

Pasal 23Cukup jelas.

Pasal 24Cukup jelas.

Pasal 25Yang dimaksud dengan lembaga budaya adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat untuk membina dan mengembangkan kebudayaan di Bali.

Pasal 26Yang dimaksud dengan ”Pura Kahyangan yang mempersatukan Bali“ adalah Pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, dan Kahyangan Jagat.

Pasal 27Yang dimaksud dengan keanekaragaman kebudayaan masyarakat daerah dan bangsa lain adalah kebudayaan suku dan bangsa lain yang tumbuh dan berkembang yang memperkaya budaya Bali dengan dilandasi filosofi semua orang bersaudara (menyama braya).

Pasal 28Cukup jelas.

Pasal 29Cukup jelas.

Pasal 30Ayat (1).

Cukup jelas.Ayat (2)

Tanah pakarangan desa adalah tanah tempat pemukiman tradisional Bali yang dikuasai secara turun temurun oleh Desa Pakraman. Tanah ayahan desa adalah tanah pertanian yang diserahkan kepada krama Desa untuk dimanfaatkan dengan tugas melaksanakan kewajiban tertentu (ayahan) terhadap Desa Pakraman. Tanah duwe Desa Pakraman lainnya misalnya tanah kuburan (setra), tanah lapang, tanah pasar, tanah hutan desa, karang suwung atau tanah milik desa yang belum diserahkan kepada krama desa.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Yang dimaksud tanah tegak Pura adalah tanah tempat Pura didirikan.Yang dimaksud tanah telanjakan Pura adalah tanah-tanah kosong di sekitar PuraYang dimaksud tanah Palaba Pura adalah tanah produktif milik Pura

Ayat (5)Cukup jelas.

Ayat (6)Cukup jelas.

Pasal 31Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3) Cukup jelas.Ayat (4) Cukup jelasAyat (5)

Yang dimaksud Paruman yaitu permusyawaratan warga desa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam Desa Pakraman.

Ayat (6)Yang dimaksud Krama Desa Pakraman yaitu mereka yang menempati karang Desa Pakraman dan/atau bertempat tinggal di wilayah Desa Pakraman atau di tempat lain yang menjadi warga desa Desa Pakraman.

Ayat (7)Cukup jelas.

1062

Pasal 32Cukup jelas.

Pasal 33Cukup jelas.

Pasal 34Cukup jelas.

Pasal 35Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Cukup jelas.Ayat (4).

Yang dimaksud Pangempon Pura adalah warga yang bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan Pura dengan segala aktivitasnya.

Ayat (5)Yang dimaksud paruman pangempon Pura adalah permusyawaratan seluruh warga yang bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan Pura dengan segala aktivitasnya.

Ayat (6)Cukup jelas.

Ayat (7)Cukup jelas.

Pasal 36Cukup jelas.

Pasal 37Cukup jelas.

Pasal 38Cukup jelas.

Pasal 39Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Yang dimaksud tempat suci adalah Pura.Yang dimaksud kawasan suci adalah kawasan tertentu yang tidak termasuk tempat suci tetapi diyakini sebagai tempat atau wilayah yang suci oleh umat Hindu seperti gunung, danau, pantai, pertemuan mata air, dan sejenisnya.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 40Cukup jelas.

Pasal 41Cukup jelas.

Pasal 42Cukup jelas.

Pasal 43Cukup jelas.

Pasal 44Cukup jelas.

Pasal 45Cukup jelas.

Pasal 46Cukup jelas.

Pasal 47Cukup jelas.

Pasal 48Cukup jelas.

Pasal 49Cukup jelas.

1063

Pasal 50Cukup jelas.

Pasal 51Cukup jelas.

Pasal 52Cukup jelas.

Pasal 53Cukup jelas.

Pasal 54Cukup jelas.

Pasal 55Cukup jelas.

Pasal 56Cukup jelas.

Pasal 57Cukup jelas.

Pasal 58Ayat (1)

Yang dimaksud Yadnya adalah kurban suci yang dipersembahkan ummat Hindu kepada Tuhan (Dewa Yadnya), manusia (manusia Yadnya), leluhur (pitra Yadnya), orang-orang suci (rsi Yadnya), dan alam (bhuta Yadnya).

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 59Cukup jelas.

Pasal 60Cukup jelas.

Pasal 61Cukup jelas.

Pasal 62Cukup jelas.

Pasal 63Cukup jelas.

Pasal 64Cukup jelas.

Pasal 65Cukup jelas.

Pasal 66Cukup jelas.

Pasal 67Cukup jelas.

Pasal 68Cukup jelas.

Pasal 69Cukup jelas.

Pasal 70Cukup jelas.

Pasal 71Cukup jelas.

Pasal 72Cukup jelas.

Pasal 73Cukup jelas.

Pasal 74Cukup jelas.

Pasal 75Cukup jelas.

Pasal 76Cukup jelas.

Pasal 77 Cukup jelas.

1064

Pasal 78 Cukup jelas.

Pasal 79 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …