Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR
Kajian Pemekaran Kota Salatiga Tahun Anggaran 2015
Oleh:
Drs. Daru Purnomo, M.Si Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM
Dr. Umbu Rauta, SH.,M.Hum Dr. Bambang Ismanto, M.Si
Seto Herwandito, S.Pd, M.Ikom
Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman
Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2015
KATA PENGANTAR
Ketersediaan wilayah yang cukup sesuai kebutuhan pembangunan di daerah,
merupakan satu permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah Kota Salatiga.
Dibatasi dengan wilayahnya yang sempit/terbatas, upaya pembangunan Kota Salatiga
tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Sementara itu keberadaan daerah-daerah di
sekitar Kota Salatiga yang relatif “jauh” dari pusat Kabupaten Semarang, secara
geografis, akan memudahkan jangkauan pelayanannya dari Kota Salatiga. Kondisi ini
memunculkan pemikiran yang wajar untuk mengkaji potensi dan peluang pemekaran
(baca: penyesuaian) Kota Salatiga.
Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi
menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang lebih maju dan berkembang.
Kami, dari Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di
dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW, merasa bangga karena dipercaya
oleh DPRD Kota Salatiga untuk mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun
kajian ini dapat memperoleh dukungan dari semua pihak yang terkait dengan
permasalahan pengembangan wilayah di Kota Salatiga dan hasilnya dapat menjadi
masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan pemekaran Kota Salatiga di waktu
mendatang.
Laporan akhir ini disusun sebagai wujud tanggung jawab kami dalam
menyelesaikan tahapan awal kegiatan kajian ini. Kiranya semua yang kita lakukan
dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.
Salatiga, 21 Agustus 2015
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Identifikasi Masalah ................................................................................ 3 1.3. Maksud dan Tujuan ................................................................................ 3 1.4. Sasaran dan Ruang Lingkup ...................................................................... 4 BAB II. LANDASAN TEORI .............................................................................. 5 2.1. Dimensi Normatif Penataan Wilayah ........................................................ 5 2.2. Implikasi Politik Penataan Wilayah .......................................................... 7 2.3. Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah ........................ 10 2.4. Teori Struktur, Tata Ruang, dan Perkembangan Kota .............................. 12 2.5. Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007 ....................... 21 BAB III. METODOLOGI ..................................................................................... 23 3.1. Metode Penelitian .................................................................................... 23 3.2. Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data ................................................. 27 3.3. Jadwal Pelaksanaan ................................................................................. 28 3.4. Pelaksanaan Kegiatan .............................................................................. 28 3.5. Pelaksana Kegiatan .................................................................................. 29 3.6. Pengawasan Pekerjaan ............................................................................. 29 3.7. Analisis Manfaat dan Biaya ..................................................................... 29 BAB IV. HASIL KEGIATAN AKHIR ................................................................. 31 4.1. Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah .................. 31 4.2. Sejarah dan Dinamika Kota Salatiga ......................................................... 42 4.3. Kondisi Sosial Politik ................................................................................ 45 4.4. Kondisi Kependudukan Kota Salatiga ...................................................... 50 4.5. Potensi Daerah Kota Salatiga ………………………………………….. . 68 4.6. Aspek Ekonomi Dalam Dinamika Pemekaran .......................................... 74 BAB V. PENUTUP ................................................................................................ 96 DAFTAR PUSTAKA
ii
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten/kota atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu,
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18, 18A dan 18B UUD NRI
1945).
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya
menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prinsip
penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas
kepada Pemerintahan Daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintahan Daerah harus mengoptimalkan
pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU
No. 23 Tahun 2014, Pemerintahan Daerah dan masyarakat di daerah lebih
diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat
laju pembangunan daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan
otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural,
fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2
Baik UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No.23
Tahun 2014 memberi pesan perlunya mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan
kepada masyarakat di daerah-daerah. Karena itu, banyak urusan pemerintahan yang
kemudian diserahkan dan didelegasikan kepada daerah-daerah melalui asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Luas wilayah kabupaten/kota antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Bagi
kabupaten/kota yang terlalu luas, maka pemerintah daerah otonom sulit untuk
memberikan pelayanan yang mampu menjangkau semua wilayah. Berdasarkan kondisi
ini, maka banyak daerah-daerah yang berusaha memekarkan diri terpisah dengan
daerah otonom yang menjadi induknya. Daerah yang ingin menjadi daerah otonom
sendiri umumnya adalah daerah memiliki kekayaan sumber daya alam.
Pertimbangannya, dengan menjadi daerah otonom sendiri, maka daerah bersangkutan
akan memiliki infrastruktur kepemerintahan, sarana dan prasarana, dana dan policy
sendiri sehingga kekayaan sumber daya alam di daerahnya dapat diolah untuk lebih
memakmurkan masyarakat di daerahnya. Apalagi melihat luasnya wilayah Indonesia
dengan kondisi hutan dan laut, maka pemekaran dapat dipandang sebagai upaya untuk
mempercepat pemeratan pembangunan.
Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 yang
selanjutnya diganti dengan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah, sampai sekarang telah terbentuk lebih dari
200 daerah baru (baik berupa kabupaten, kota dan provinsi).
Penataan wilayah (teritorrial reform) pada dasarnya merupakan bagian dari
manajemen pemerintahan daerah, yang dimaksudkan untuk menata wilayah
administratif suatu daerah agar rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien.
Idealnya, penataan wilayah ini dilakukan seiring dengan perkembangan suatu daerah,
sehingga pertumbuhan dan kemajuan tersebut tidak hanya terpusat tetapi dapat
dinikmati secara merata di seluruh wilayah. Pertumbuhan pusat-pusat kegiatan
ekonomi yang baru biasanya menjadi awal bagi perkembangan suatu daerah.
Pertumbuhan ini sejalan dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut, baik yang
bersumber dari kekayaan alam, maupun yang berupa sumber-sumber daya lainnya,
seperti kemajuan industri, dan sebagainya.
3
1.2. Identifikasi Masalah
Demikian pula dengan Kota Salatiga, dengan luas wilayah administratif
5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dan jumlah penduduk pada tahun 2013 sebanyak
178.594 jiwa sehingga kepadatan per Km² mencapai 3.145 jiwa/km2, maka Kota
Salatiga mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan titik berat pada sektor
industri/jasa. Letak Kota Salatiga yang sangat strategis, berbatasan dengan Kabupaten
Semarang, dan berdekatan dengan ibukota propinsi Jawa Tengah (Semarang), DIY
(Jogja) dan Solo, menyebabkan Kota Salatiga menjadi sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai kota satelit. Laju pertumbuhan ekonomi di Kota Salatiga
terutama berpusat di Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Diponegoro dan sekitarnya.
Keberadaan Kota Salatiga, yang berada di dalam wilayah Kabupaten
Semarang, telah menjadi daya tarik dan memberikan kontribusi ekonomi bagi
masyarakat di Kabupaten Semarang. Namun, kontribusi yang cukup besar tersebut
dirasakan belum sepadan dengan kesejahteraan yang dinikmati masyarakat di kawasan
tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya wacana pemekaran (baca:
penyesuaian) Kota Salatiga. Wacana pemekaran ini perlu dikaji di kalangan
masyarakat, baik bagi kelompok yang mendukung maupun yang menolak. Oleh
karena itu, dalam menyikapi wacana pemekaran ini, Pemerintah Kota Salatiga perlu
melakukan pengkajian secara mendalam dan komprehensif kelayakan pemekaran
Kota Salatiga. Kajian kelayakan ini merupakan tindak lanjut terhadap aspirasi
masyarakat. Kajian ini terutama difokuskan untuk menganalisis potensi kelurahan-
kelurahan yang ada di wilayah perbatasan Kota Salatiga untuk menjadi bagian wilayah
Kota Salatiga. Pengkajian secara ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan analisis
yang obyektif dan akuntabel, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan mengenai rencana pemekaran dan penataan wilayah Kota
Salatiga.
1.3. Maksud dan Tujuan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian tentang potensi pemekaran
(baca: penyesuaian) Kota Salatiga yang berfokus pada studi pengembangan kelurahan
di wilayah perbatasan di Kota Salatiga. Secara rinci tujuan dari kegiatan studi ini
adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis potensi wilayah yang ada di sekitar Kota Salatiga.
4
2. Menganalisis kemungkinan pemekaran Kota Salatiga sesuai dengan indikator
dalam PP No. 78 Tahun 2007.
3. Menganalisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya dan manfaat.
1.4.Sasaran dan Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan meliputi pengkajian mengenai
potensi pemekaran wilayah Kota Salatiga, sebagai bahan pertimbangan dalam
mengkaji kemungkinan pemekaran Kota Salatiga. Selanjutnya, berdasarkan hasil
kajian tersebut, dilakukan analisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya
dan manfaat.
Keluaran yang akan dihasilkan dari kegiatan ini berupa Dokumen Studi
Kelayakan Pemekaran (baca: Penyesuaian) Kota Salatiga sebagai bahan
pertimbangan/rekomendasi bagi pengambil kebijakan, yakni Walikota dan DPRD
Kota Salatiga dalam menyusun kebijakan penataan wilayah Kota Salatiga sesuai
dengan kondisi faktual dan kebutuhan masyarakat Kota Salatiga umumnya dan calon
wilayah/kelurahan baru pada khususnya.
5
II. LANDASAN TEORI
2.1. Dimensi Normatif Penataan Wilayah
Pada dasarnya usaha pemekaran suatu daerah menjadi dua atau lebih luas
adalah tidak dilarang, asalkan didukung oleh keinginan sebagian besar masyarakat
dan memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik wilayah. Selain itu,
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat.
Dalam rangka mengatur pemekaran dan atau penggabungan daerah,
pemerintah telah menetapkan syarat-syarat dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan
penggabungan daerah yang tertuang dalam PP No. 129 tahun 2000.
Pada perkembangan berikutnya, PP No. 129 tahun 2000 diganti dengan PP No.
78 Tahun 2007. Dalam Penjelasan PP No. 78 Tahun 2007 secara eksplisit dinyatakan
bahwa seluruh persyaratan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksudkan
agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningatkan pelayanan publik yang
optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam
memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi
tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang
dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah,
sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Dengan demikian, dalam usulan
pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah secara ilmiah.
Dalam mengkaji daerah calon daerah pemekaran sekurang-kurangnya tiga
langkah pokok yang perlu dilalui yaitu mengkaji tentang kondisi eksisting penataan
wilayah di Kota Salatiga, selanjutnya mengukur potensi pemekaran sesuai dengan
indikator dalam PP No. 78 Tahun 2007 dan terakhir menganalisis kelayakan
pemekaran dilihat dari sisi biaya dan manfaat.
Dari sudut pandang yang berbeda, masyarakat yang menyetujui dan atau
menolak pemekaran suatu daerah, hendaknya secara sadar memiliki alasan rasional.
Artinya, tidak hanya asal menyetujui dan atau menolak tanpa kelengkapan informasi
6
yang memadai. Dari seluruh kasus pemekaran daerah, selalu akan ada masyarakat di
daerah setempat yang menolak. Suatu hal yang bersifat manusiawi. Namun, hal yang
perlu dihindari adalah alasan politik yang berlebihan sehingga melupakan aspek
rasional dan mementingkan politik sesaat semata. Beberapa perspektif yang
diharapkan akan memberikan perluasan wawasan dan cara pandang guna melengkapi
kita dalam menyikapi fenomena pemekaran daerah adalah sebagai berikut:
Alasan normatif. Produk hukum yang dilandasi UU Pemerintahan Daerah
adalah wadah yang paling terbuka bagi daerah untuk memiliki akses sebanyak
mungkin dalam pemekaran daerah. Dalam pandangan yang bersifat normatif tersebut,
daerah punya hak otonom seluas-luasnya untuk mengatur dan mengelola urusan rumah
tangganya sendiri. Daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat sentuhan
pembangunan (karena jarak akses kebijakan yang mungkin dirasa terlalu “jauh”) akan
mendapatkan suatu peluang yang besar dalam mengembangkan dirinya. Kebijakan
akan semakin dekat dan peran masyarakat terhadap pembangunan semakin besar.
Namun demikian, pada sisi lain ternyata tidak semua daerah hasil pemekaran memiliki
kesempatan yang sama. Sebagian dari daerah otonomi baru menjadi beban bagi
pemerintah pusat (katakanlah karena PAD lebih sedikit daripada pembiayaan daerah),
akibatnya mereka hanya mengharapkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang masih
banyak bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini dilandasi realita bahwa usaha-usaha
daerah memacu PAD, terutama bagi daerah yang miskin sumber daya alam, tidak
terlalu signifikan.
Gejala ini mendapat fokus perhatian pada UU No. 23 Tahun 2014. Persyaratan
pembentukan daerah otonom baru sudah lebih selektif dan makin ketat, dengan
mekanisme persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Pertimbangan
lainnya yang perlu diperhatikan adalah daerah induk yang ditinggalkan dapat menjadi
lemah, akibat minimnya potensi sumber-sumber PAD yang bisa dikembangkan.
Demikianlah alasan normatif yang perlu dijadikan pegangan bagi penggagas
pembentukan daerah baru.
Alasan memacu diri untuk melakukan kompetisi. Dalam kacamata kompetisi,
pemekaran daerah dapat diartikan sebagai strategi untuk mendapatkan peluang dan
akses yang baru dalam upaya mendapatkan dan mengelola sumberdaya daerah.
Artinya semua daerah punya hak yang sama berkompetisi dalam mengembangkan
daerahnya. Namun demikian, makna kompetisi bisa saja berbalik menjadi ancaman
7
bahkan bencana, ketika daerah tidak mampu berkompetisi. Dengan adanya kebijakan
otonomi daerah, tanpa memandang daerah induk maupun daerah pemekaran akan
melakukan kompetisi yang sama. Setiap daerah harus berjuang guna mendapatkan
akses seluas-luasnya bagi transaksi bermacam sumber daya yang dimiliki, baik yang
menyangkut sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Penglolaan sektor riil
mulai dari bidang perdagangan, jasa, pariwisata, transportasi, dan lain-lain akan ramai
diperebutkan. Pemerintahan baru pada awal persaingannya banyak yang tersandung
oleh masa transisi politik di daerah yang bersangkutan, sehingga perhatian terhadap
pembangunan menjadi kurang. Jika pemerintah baru tidak segera menata diri maka
ancaman kebangkrutan akanterjadi.
Perspektif rasional. Motivasi pemekaran satu wilayah yang paling baik adalah
melalui perspektif rasional. Ketika isu pemekaran daerah ditinjau secararasional, maka
aspek politis, normatif, dan lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu. Kebutuhan
daerah untuk mekar atau tidak, sepenuhnya dilandasi pertimbangan rasionalitas. Aspek
logis yang harus dipenuhi antara lain rasioantara daerah otonomi baru dengan kondisi
riil penduduk, harus jadi titik tumpu utama. Dengan memakai pertimbangan rasional,
maka metode, strategi,kebijakan, kalkulasi atau pertimbangan apapun dalam proses
pemekaran akan terarah pada indikator-indikator yang terukur secara akurat dan valid.
Perspektif rasional adalah perspektif yang paling ideal untuk diterapkan,namun
justru ini adalah perspektif yang paling sulit dikongkretkan. Kesulitan terutama datang
(lebih tepatnya dihambat) oleh faktor politis dan normatif.Untuk alasan yang ketiga
itulah, perspektif normatif perlu mencoba mengakomodasi alasan rasional. Jalan
tengahnya perlu ada suatu studi ataupenelitian yang rasional sesuai dengan tuntutan
normatif dan atau perundang-undangan.
2.2. Implikasi Politik Penataan Wilayah
Desentralisasi dalam arti pemencaran kekuasaan dapat dilakukan secara
teritorial melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Desentralisasi teritorial ini
dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan jarak antara pemerintah dengan yang
diperintah. Pemerintahan di tingkat lokal diperlukan untuk efisiensi dan efektivitas
dalam hal keuangan, penegakan hukum, pendaftaran tanah, dan urusan-urusan lain
yang akan sulit dilakukan hanya oleh pemerintah pusat. Karena itu, pemencaran
8
kekuasaan secara teritorial juga akan berkaitan dengan penentuan fungsi dan
kewenangan apa yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh level nasional, level
propinsi, ataupun level kota/kabupaten. Dengan kata lain, desentralisasi teritorial akan
diikuti oleh desentralisasi kewenangan. Hal ini akan menentukan jumlah urusan yang
dilaksanakan olehdaerah otonom tersebut.
Dalam konsep negara kesatuan seperti yang diterapkan di Indonesia,
desentralisasi teritorial tidak menyebabkan terjadinya pengurangan wilayah negara
meskipun terjadi pemekaran, penggabungan ataupun penghapusan daerah otonom.
Daerah-daerah otonom yang berupa Kabupaten/Kota tetap menjadi bagian dari
wilayah Provinsi, dan wilayah-wilayah Provinsi tetap menjadi wilayah dari negara.
Yang berbeda antara negara (pusat), provinsi,kabupaten/kota bahkan desa hanyalah
kewenangan atau otoritasnya yang tercermin dari urusan dan fungsi yang menjadi
kewenangannya.
Desentralisasi berimplikasi pada lokalisasi pembuatan kebijakan dimana setiap
daerah berwenang membuat kebijakannya sendiri. Implikasinya banyak permasalahan
yang tidak dapat dibatasi oleh wilayah administrasi (territorial administrative) dan isu
teritorial (territorial issue), seperti pelayanan, pengelolaan sungai, pintu air,
pendidikan dan pariwisata. Suatu tempat wisata yang lokasinya berada di perbatasan
antara dua daerah otonom,seperti pantai atau pegunungan, seringkali menimbulkan
konflik dalam hal pemeliharaannya karena daerah yang satu merasa tidak mendapat
pendapatan dari obyek wisata itu sehingga menyerahkan pemeliharaannya pada
daerahyang mendapat pendapatan. Sementara daerah yang memperoleh pendapatan
dari obyek wisata itu justru menyerahkan pemeliharaannya pada daerah yang
wilayahnya menjadi lokasi obyek wisata itu. Demikian juga dengan masalah
pendidikan, perbedaan kurikulum antar daerah akan mempersulit tercapainya standar
pelayanan minimal. Untuk mengatasi kemungkinan ini, perlu ditetapkan suatu
mekanisme kerja sama antar daerah atau melalui penerapan wewenang koordinasi
pemerintah propinsi.
Implikasi politik yang harus dipertimbangkan dari kebijakan penataan daerah
otonom yang menyangkut pemekaran, penggabungan atau penghapusan daerah-daerah
otonom adalah kemungkinan terjadinya konflik antar daerah yang menyangkut batas-
batas teritorial yang ada kaitannya dengan wilayah potensi sumber daya alam.
9
Kepemilikan akan sumber daya alam yang potensial dapat memicu tuntutan untuk
membentuk daerah otonom baru.
Pembentukan atau pemekaran daerah otonom memang dapat menambah ruang
politik lokal bagi tumbuhnya partisipasi politik dan demokratisasi di tingkat lokal.
Namun, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran nasional
maupun propinsi untuk membiayai daerah baru tersebut. Pembiayaan disini
maksudnya adalah alokasi Dana Perimbangan yang harus diperhitungkan untuk
daerah yang bersangkutan.
Banyak kasus mengenai pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru
diawali oleh ketidakpuasan politik maupun ekonomi, misalnya kasus terbentuknya
Provinsi Banten karena merasa kontribusi ekonomi yang diberikan tidak sebanding
dengan yang kembali pada masyarakat Banten. Akan tetapi, seringkali tuntutan
pemekaran atau pembentukan daerah baru tidak disertai perhitungan ekonomi maupun
politik yang cermat dan akurat. Aspek kesiapan aparat dan kesiapan masyarakat
setempat kurang diperhitungkan. Ketika daerah tersebut sudah terbentuk baru
dipikirkan bagaimana mengisi keanggotaan DPRD atau berapa jumlah aparat birokrasi
yang diperlukan untuk mengelola manajemen pemerintahan. Karena itu, dalam
menentukan keputusan pembentukan atau pemekaran daerah, haruslah diketahui
dahulu isu strategisapa yang melatarbelakangi tuntutan tersebut serta bagaimana
dinamika politik lokal di daerah itu.
Penataan wilayah dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni : (1) pemekaran; (2)
penggabungan; dan (3) re-groupping sub-sub wilayah dalam daerah yang
bersangkutan (misalnya re-grouping kecamatan dan/atau desadalam wilayah
kabupaten). Keputusan untuk memilih salah satu cara didasarkan pada outcomes yang
ingin dicapai, apakah efektivitas pelayanan publik; pertumbuhan ekonomi; pemerataan
pembangunan; pemberdayaan masyarakat setempat dll. Kemudian ditentukan pula apa
yang menjadi output dengan realisasi dapat dirasakan secara konkret, misalnya jika
outcomes-nya efektivitas pelayanan publik maka output-nya kemudahan akses
masyarakat untuk dilayani. Atas dasar itu, disusun aktivitas-aktivitas yang akan
dilakukan dalam bentuk berbagai program atau kebijakan. Alternatif pemekaran
wilayah atau tidak, berada pada tahap ini. Apakah pelayanan dapat lebih efektif
jikadaerah dimekarkan atau bisa juga efektif dengan membentuk sub-sub dinas
ditingkat kecamatan dan atau desa. Pertimbangan alternatif mana yang akan diambil
10
akan menentukan aparat pelaksananya dan anggaran yang dibutuhkan. Dengan
demikian, keputusan penataan daerah otonom harus disesuaikan dengan kebutuhan
dan potensi riil dengan berpedoman pada prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang
efektif.
Dengan demikian, dalam dimensi politik, penataan daerah otonom tidak
sekedar ditentukan oleh perhitungan kemampuan ekonomi daerah tersebut tapi juga
implikasi yang ditimbulkannya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Pertanyaan yang paling penting untuk dijawab dalam merumuskan kebijakan penataan
daerah otonom adalah apakah kebijakan itu dapat (1)mewujudkan distribusi
pertumbuhan ekonomi yang serasi dan merata antar daerah; (2) mewujudkan distribusi
kewenangan yang sesuai dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat lokal; (3)
penciptaan ruang politik bagi pemberdayaan dan partisipasi institusi-institusi politik
lokal; serta (4) mewujudkan distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh
masyarakat.
2.3. Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah
Penatan daerah otonom atau penataan wilayah, sebenarnya merupakan hal
yang umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena
berkaitan dengan rentang kendali. Rentang kendali ini berkaitan dengan kapasitas
koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik. Dengan kondisi geografis yang
beragam, kemampuan koordinasi dan aksesibilitas pelayanan akan berbeda pula.
Semakin luas suatu daerah, akan semakin sulit rentang kendalinya. Demikian pula,
semakin banyak bagian dari suatu daerah, kapasitas koordinasi dan pelayanan akan
semakin kecil. Di sinilah diperlukan adanya penataan wilayah, sebagai suatu
mekanisme untuk mengelola wilayah suatu daerah agar rentang kendali dan
aksesibilitas pelayanan publik dapat dinikmati secara merata.
Dimensi wilayah mempunyai arti penting dalam pembangunan karena setiap
kegiatan pembangunan pasti akan berlangsung dan membutuhkan sumber daya yang
berupa lahan. Dalam dimensi spatial, lahan merupakan sumber daya lingkungan yang
menjadi ruang bagi berlangsungnya kegiatan dan juga pendukung struktural wadah
kegiatan regional. Karena sifat dan posisinya inilah maka perencanaan wilayah yang
berdimensi spatial dapat memainkan posisi strategis dalam menjembatani persoalan
11
desentralisasi dan otonomi daerah terutama yang berkaitan dengan perencanaan
pembangunan.
Pada masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini, implementasi kebijakan
pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah kerap menimbulkan masalah
krusial. Di antaranya adalah konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan kontra,
tarik menarik kepentingan antara daerah induk dengan calon daerah baru, dan
munculnya problematika ketidakmampuan daerah baru hasil pemekaran dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahannya. Selain itu, hal yang menonjol dari
maraknya keinginan untuk membentuk daerah baru, dominannya pertimbangan politik
subyektif elit ketimbang hasil kajian ilmiah-obyektif untuk peningkatan efektifitas
pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Sejak UU No. 22 Tahun 1999 diberlakukan, isu pemekaran lebih dominan jika
dibandingkan dengan isu penggabungan atau penghapusan daerah otonom. Di satu sisi
kecenderungan tersebut dapat diterima dan dipahami sebagai wujud kedewasaan dan
harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah dan masyarakatnya.
Namun di sisi lain, mengundang kekhawatiran terhadap kemampuan dan keberlanjutan
daerah otonom baru untuk dapat bertahan mengurus rumah tangganya sendiri.
Pemekaran daerah diharapkan mampu menjadi media untuk membuka simpul-simpul
keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehingga
perlu dibuka kesempatan bagi daerah tersebut untuk mendirikan pemerintahan sendiri
berdasarkan potensi yang dimiliki. Walaupun dalam berbagai peraturan perundang-
undangan tentang pemerintahan daerah telah diuraikan bahwa kriteria daerah dibentuk
berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial
politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang secara teknis
diuraikan lebih lanjut dalam PP No. 78 Tahun 2007, tetapi kenyataannya aspirasi
politik lebih mendominasi dibandingkan dengan pemenuhan kriteria tersebut.
Pada praktiknya, terbentuknya daerah-daerah otonom baru ini seringkali hanya
didasarkan pada pertimbangan atau indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat
pendapatan, aktivitas kegiatan ekonomi, dan potensi sumber daya alam yang dimiliki.
Sedangkan dimensi politik yang kemudian muncul setelah daerah otonom itu
terbentuk baru dipikirkan kemudian. Gejala inilah yang kemudian (tampaknya) ingin
diantisipasi oleh UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004.
12
Dalam UU ini, pembentukan daerah baru disertai dengan persyaratan administratif,
teknis, dan fisik wilayah.
Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU sebelumnya yang tidak sampai
ke pengaturan teknis pembentukan daerah. Harapannya, pengaturan yang lebih rinci
dapat membuat pembentukan daerah-daerah baru lebih terarah dan tidak semata-mata
berorientasi politis. Namun demikian, bila penghitungan kapasitas calon daerah baru
masih berbasis pada metode skoring sebagaimana digunakan oleh PP No. 78 Tahun
2007, tampaknya perlu ada banyak penyesuaian yang dilakukan agar tidak semata
berbasis pada penghitungan matematis, tapi jugamemperhatikan aspirasi lokal.
Keputusan mengenai pembentukan daerah baru harus lebih cermat dan
bijaksana untuk melakukan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kapasitas
yang dimiliki, sehingga dalam pelaksanaanya tidak tergesa-gesa dan cenderung
bersifat politis. Bila hal ini tidak diindahkan maka hasil dari pemekaran tidak akan
memberikan dampak terhadap peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
secara makro maupun mikro, tetapi cenderung akan membebani keuangan negara dan
masyarakat akibat adanya pemekaran, karena social dan political cost pemekaran
suatu wilayah akan lebih besar jika dibandingkan terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dampak pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah baru akan
terasa dalam jangka panjang, tetapi bila prosesnya hanya didasari oleh pertimbangan
politis tanpa memperhatikan kriteria-kriteria obyektif maka akan memberikan
pengaruh yang kecil dan parsial terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,
aksesibilitas pelayanan publik, dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Idealnya,
pemekaran daerah terjadi bila penguatan kapasitas dan kapabilitas daerah dilakukan
secara bertahap, misalnya peningkatan kapasitas dalam pembangunan infrastruktur
(jalan, bangunan, pemerintahan, dan lain-lain), aktivitas ekonomi, serta fiskal daerah
sehingga sampai jangka waktu tertentu ketika daerah tersebut lepas dari daerah
induknya. Dengan demikian, daerah yang bersangkutan akan mandiri dengan
sendirinya dan tidak tergantung pada daerah induk, Provinsi maupun Pusat.
2.4. Teori Struktur, Tata Ruang dan Perkembangan Kota
A. Struktur Ekonomi Kota
Wilayah kota menjadi tempat kegiatan ekonomi penduduknya di bidang jasa,
perdagangan, industri, dan administrasi. Selain itu, wilayah kota menjadi tempat
13
tinggal dan pusat pemerintahan. Kegiatan ekonomi kota dapat dibedakan menjadi dua
sebagai berikut:
1. Kegiatan Ekonomi Dasar
Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk
keperluan luar kota atau dikirim ke daerah sekitar kota. Produk yang dikirim
dan disalurkan berasal dari industri, perdagangan, hiburan, dan lainnya.
2. Kegiatan Ekonomi Bukan Dasar
Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk
keperluan sendiri. Kegiatan ini disebut juga dengan kegiatan residensial dan
kegiatan pelayanan. Kegiatan ekonomi kota dapat berupa industri dan kegiatan
jasa atau fasilitas yang tidak memerlukan lahan yang luas. Kegiatan ini
menyebabkan kota berpenduduk padat, jarak bangunan rapat, dan bentuk kota
kompak.
Struktur kota dipengaruhi oleh jenis mata pencaharian penduduknya. Mata
pencaharian penduduk kota bergerak di bidang nonagraris, seperti perdagangan,
perkantoran, industri, dan bidang jasa lain. Dengan demikian, struktur kota akan
mengikuti fungsi kota. Sebagai contoh, suatu wilayah direncanakan sebagai kota
industri, maka struktur penduduk kota akan mengarah atau cenderung ke jenis
kegiatan industri.
Pada kenyataan, jarang sekali suatu kota mempunyai fungsi tunggal.
Kebanyakan kota juga merangkap fungsi lain, seperti kota perdagangan, kota
pemerintahan, atau kota kebudayaan. Contoh: Yogyakarta selain disebut kota budaya
tetapi juga disebut sebagai kota pendidikan dan kota wisata.
Di daerah kota terdapat banyak kompleks, seperti apartemen, perumahan
pegawai bank, perumahan tentara, pertokoan, pusat perbelanjaan (shopping center),
pecinan, dan kompleks suku tertentu. Kompleks tersebut merupakan kelompok-
kelompok (clusters) yang timbul akibat pemisahan lokasi (segregasi). Segregasi dapat
terbentuk karena perbedaan pekerjaan, strata sosial, tingkat pendidikan, suku, harga
sewa tanah, dan lainnya. Segregasi tidak akan menimbulkan masalah apabila ada
pengertian dan toleransi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Munculnya segregasi
di kota dapat direncanakan ataupun tidak direncanakan. Kompleks perumahan dan
kompleks pertokoan adalah contoh segregasi yang direncanakan pemerintah kota.
14
Bentuk segregasi yang lain adalah perkampungan kumuh/slum yang sering
tumbuh di kota-kota besar seperti Jakarta. Rendahnya pendapatan menyebabkan tidak
adanya kemampuan mendirikan rumah tinggal sehingga terpaksa tinggal di sembarang
tempat. Kompleks seperti ini biasanya ditempati oleh kaum miskin perkotaan.
Permasalahan seperti ini memerlukan penanganan yang bijaksana dari pemerintah.
B. Struktur Intern Kota
Pertumbuhan kota-kota di dunia termasuk di Indonesia cukup pesat.
Pertumbuhan suatu kota dapat disebabkan oleh pertambahan penduduk kota,
urbanisasi, dan kemajuan teknologi yang membantu kehidupan penduduk di kota.
Wilayah kota atau urban bersifat heterogen ditinjau dari aspek struktur bangunan dan
demografis. Susunan, bentuk, ketinggian, fungsi, dan usia bangunan berbeda-beda.
Mata pencaharian, status sosial, suku bangsa, budaya, dan kepadatan penduduk juga
bermacam-macam. Selain aspek bangunan dan demografis, karakteristik kota
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti topografi, sejarah, ekonomi, budaya, dan
kesempatan usaha. Karakteristik kota selalu dinamis dalam rentang ruang dan waktu.
15
Gambar 2.1. Bentuk Persegi Empat Struktur Kota Jogja awal Abad XX
Apabila dilihat sekilas wajah suatu kota, maka akan banyak susunan yang tidak
beraturan. Akan tetapi, apabila diamati dengan cermat maka akan dijumpai bentuk dan
susunan khas yang mirip dengan kota-kota lain. Misalnya, kota A berbentuk persegi
empat, kota B berbentuk persegi panjang, dan kota C berbentuk bulat. Begitu juga
dalam susunan bangunan kota terjadi pengelompokan berdasarkan tata guna lahan
kota.Jadi, suatu kota memiliki bentuk dan susunan yang khas. Apabila kamu
mengamati kota berdasarkan peta penggunaan lahan, maka kamu akan mendapatkan
berbagai jenis zona, seperti zona perkantoran, perumahan, pusat pemerintahan,
pertokoan, industri, dan perdagangan. Zona-zona tersebut menempati daerah kota,
baik di bagian pusat, tengah, dan pinggirannya. Zona perkantoran, pusat pemerintahan,
16
dan pertokoan menempati kota bagian pusat atau tengah. Zona perumahan elite
cenderung memiliki lokasi di pinggiran kota. Sedang zona perumahan karyawan dan
buruh umumnya berdekatan dengan jalan penghubung ke pabrik atau perusahaan
tempat mereka bekerja. Para geograf dan sosiolog telah melakukan penelitian
berkaitan dengan persebaran zona-zona suatu kota. Penelitian itu bertujuan untuk
mengetahui perkembangan dan persebaran spasial kota.
C. Beberapa Teori Tentang Struktur Kota
1) Teori Konsentris (Concentric Theory)
Teori konsentris dari Ernest W. Burgess, seorang sosiolog beraliran human
ecology, merupakan hasil penelitian Kota Chicago pada tahun 1923. Menurut
pengamatan Burgess, Kota Chicago ternyata telah berkembang sedemikian rupa
dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang konsentris yang mencerminkan
penggunaan lahan yang berbeda-beda. Burgess berpendapat bahwa kota-kota
mengalami perkembangan atau pemekaran dimulai dari pusatnya, kemudian seiring
pertambahan penduduk kota meluas ke daerah pinggiran atau menjauhi pusat.
Zona-zona baru yang timbul berbentuk konsentris dengan struktur bergelang atau
melingkar.
Berdasarkan teori konsentris, wilayah kota dibagi menjadi lima zona sebagai
berikut.
Gambar 2.2. Struktur Kota Menurut Teori Konsentris
Teori Burgess sesuai dengan keadaan negara-negara Barat (Eropa) yang telah
maju penduduknya. Teori ini mensyaratkan kondisi topografi lokal yang
memudahkan rute transportasi dan komunikasi.
17
2) Teori Sektoral (Sector Theory)
Teori sektoral dikemukakan oleh Hommer Hoyt. Teori ini muncul berdasarkan
penelitiannya pada tahun 1930-an. Hoyt berkesimpulan bahwa proses pertumbuhan
kota lebih berdasarkan sektorsektor daripada sistem gelang atau melingkar
sebagaimana yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt juga meneliti Kota
Chicago untuk mendalami Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District) yang
terletak di pusat kota.
Ia berpendapat bahwa pengelompokan penggunaan lahan kota menjulur seperti
irisan kue tar. Mengapa struktur kota menurut teori sektoral dapat terbentuk? Para
geograf menghubungkannya dengan kondisi geografis kota dan rute
transportasinya. Pada daerah datar memungkinkan pembuatan jalan, rel kereta api,
dan kanal yang murah, sehingga penggunaan lahan tertentu, misalnya perindustrian
meluas secara memanjang. Kota yang berlereng menyebabkan pembangunan
perumahan cenderung meluas sesuai bujuran lereng.
Gambar 2.3. Struktur Kota Menurut Teori Sektoral
3) Teori Inti Ganda (Multiple Nucleus Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Harris dan Ullman pada tahun 1945. Kedua
geograf ini berpendapat, meskipun pola konsentris dan sektoral terdapat dalam
wilayah kota, kenyataannya lebih kompleks dari apa yang dikemukakan dalam teori
Burgess dan Hoyt.
18
Gambar 2.4. Struktur Kota Menurut Teori Inti Ganda
Pertumbuhan kota yang berawal dari suatu pusat menjadi bentuk yang
kompleks. Bentuk yang kompleks ini disebabkan oleh munculnya nukleus-nukleus
baru yang berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Nukleus-nukleus baru akan
berkembang sesuai dengan penggunaan lahannya yang fungsional dan membentuk
struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. Nukleus kota dapat berupa
kampus perguruan tinggi, Bandar udara, kompleks industri, pelabuhan laut, dan
terminal bus. Keuntungan ekonomi menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan
lahan secara mengelompok sehingga berbentuk nukleus. Misalnya, kompleks
industri mencari lokasi yang berdekatan dengan sarana transportasi. Perumahan
baru mencari lokasi yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan dan tempat
pendidikan.
Harris dan Ullman berpendapat bahwa karakteristik persebaran penggunaan
lahan ditentukan oleh faktor-faktor yang unik seperti situs kota dan sejarahnya yang
khas, sehingga tidak ada urut-urutan yang teratur dari zona-zona kota seperti pada
teori konsentris dan sektoral. Teori dari Burgess dan Hoyt dianggap hanya
menunjukkan contoh-contoh dari kenampakan nyata suatu kota.
4) Teori Konsektoral (Tipe Eropa)
Teori konsektoral tipe Eropa dikemukakan oleh Peter Mann pada tahun 1965
dengan mengambil lokasi penelitian di Inggris. Teori ini mencoba menggabungkan
teori konsentris dan sektoral, namun penekanan konsentris lebih ditonjolkan.
19
Gambar 2.5. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Eropa)
5) Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)
Teori konsektoral tipe Amerika Latin dikemukakan oleh Ernest Griffin dan
Larry Ford pada tahun 1980 berdasarkan penelitian di Amerika Latin. Teori ini
dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.6. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)
6) Teori Poros
Teori poros dikemukakan oleh Babcock (1932), yang menekankan pada
peranan transportasi dalam memengaruhi struktur keruangan kota. Teori poros
ditunjukkan pada gambar sebagai berikut.
20
Gambar 2.7. Struktur Kota Menurut Teori Poros
7) Teori Historis
Dalam teori historis, Alonso mendasarkan analisisnya pada kenyataan historis
yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal penduduk di dalam kota. Teori
historis dari Alonso dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.8. Struktur Kota Menurut Teori Historis
Dari model gambar tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya
standar hidup masyarakat yang semula tinggal di dekat CBD disertai penurunan
kualitas lingkungan, mendorong penduduk untuk pindah ke daerah pinggiran (a).
Perbaikan daerah CBD menjadi menarik karena dekat dengan pusat segala fasilitas
kota (b). Program perbaikan yang semula hanya difokuskan di zona 1 dan 2,
melebar ke zona 3 yang menarik para pendatang baru khususnya dari zona 2 (c).
Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa
perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK
21
atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi,
aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan
secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan
kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu
ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat
ekonominya.
2.5. Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007
Indikator dan sub indikator sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007
menunjukkan perlunya diperhatikan kondisi kependudukan; kemampuan ekonomi;
potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial budaya; sosial politik; luas daerah;
pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan masyarakat; dan rentang kendali. Secara
rinci, indikator dan sub indikator yang diatur dalam PP tersebut adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007
Indikator Faktor Indikator 1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 2. Kemampuan ekonomi 3. PDRB non migas per kapita 4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kontribusi PDRB non migas 3. Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000
penduduk 7. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk 8. Rasio pasar per 10.000 penduduk 9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 12. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk 13. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau kapal motor 15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA
terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1
terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas 19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 4. Kemampuan keuangan 20. Jumlah PDS 21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk
22
22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5. Sosial budaya 23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 24. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 25. Jumlah balai pertemuan 6. Sosial politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk
yang mempunyai hak pilih 27. Jumlah organisasi kemasyarakatan 7. Luas daerah 28. Luas wilayah keseluruhan 29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 8. Pertahanan 30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas
wilayah 31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang
pertahanan 9. Keamanan 32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah
penduduk 10. Tingkat kesejahteraan masyarakat
33. Indeks Pembangunan Manusia
11. Rentang kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan
(provinsi atau kabupaten) 35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan
ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)
III. METODOLOGI
3.1. Metode Penelitian
23
Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kelayakan pemekaran Kota
Salatiga menggunakan metoda survei dengan desain penelitian deskriptif analisis.
Unit analisisnya adalah desa atau kelurahan yang ada di Kabupaten Semarang dan
berbatasan dengan Kota Salatiga.
Kajian ini dilakukan dengan berlandaskan pada indikator dan sub indikator
sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007 yang meliputi kondisi
kependudukan; kemampuan ekonomi; potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial
budaya; sosial politik; luas daerah; pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan
masyarakat; dan rentang kendali. Secara rinci, indikator dan sub indikator yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru
berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007
Indikator Faktor Indikator 1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 2. Kemampuan ekonomi 3. PDRB non migas per kapita 4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kontribusi PDRB non migas 3. Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per
10.000 penduduk 7. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk 8. Rasio pasar per 10.000 penduduk 9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 12. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk 13. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau kapal motor 15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah
tangga 16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan
bermotor 17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal
SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1
terhadap penduduk usia 25 tahunke atas
24
19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 4. Kemampuan keuangan 20. Jumlah PDS 21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk 22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5. Sosial budaya 23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 24. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 25. Jumlah balai pertemuan 6. Sosial politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada
penduduk yang mempunyai hak pilih 27. Jumlah organisasi kemasyarakatan 7. Luas daerah 28. Luas wilayah keseluruhan 29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 8. Pertahanan 30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas
wilayah 31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang
pertahanan 9. Keamanan 32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap
jumlah penduduk 10. Tingkat kesejahteraan masyarakat
33. Indeks Pembangunan Manusia
11. Rentang kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan
(provinsi atau kabupaten) 35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau
kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)
Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuaidengan
perannya dalam pembentukan daerah otonom, sebagaimana pada tabel berikut ini.
25
Tabel 3.2. Bobot untuk Setiap Faktor dan Indikator
No. Faktor dan Indikator Bobot 1 Kependudukan 20 1. Jumlah penduduk 15 2. Kepadatan penduduk 5 2 Kemampuan ekonomi 15 1. PDRB non migas per kapita 5 2. Pertumbuhan ekonomi 5 3. Kontribusi PDRB non migas 5 3 Potensi daerah 15
1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk
1
2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 Penduduk 1 3. Rasio pasar per 10.000 penduduk 1 4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 1 5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 1 6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 1 7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 Penduduk 1 8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 1 9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor
atau perahu atau kapal motor 1
10. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 1 11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 1 12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA
terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas 1
13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas
1
14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 1 4 Kemampuan keuangan 15
1. Jumlah PDS 5 2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk 5 3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5
5 Sosial budaya 5 1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 2 2. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 2 3. Jumlah balai pertemuan 1
6 Sosial politik 5 1. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk
yang mempunyai hak pilih 3
2. Jumlah organisasi kemasyarakatan 2 7 Luas daerah 5
1. Luas wilayah keseluruhan 2 2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 3
8 Pertahanan 5 1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah 3
26
2. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan 2 9 Keamanan 5
1. Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk
5
10 Tingkat kesejahteraan masyarakat 5 1. Indeks Pembangunan Manusia 5
11 Rentang kendali 5 1. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat
pemerintahan (provinsi atau kabupaten) 2
2. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)
3
TOTAL 100
Selanjutnya, nilai dari tiap indikator tersebut dihitung denganmenggunakan
sistem skoring, yang terdiri dari 2 (dua) metode sebagai berikut:
1. Metode rata-rata
Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon
daerah dan daerah induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan daerah di
sekitarnya.
2. Metode kuota
Metode kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota
penentuan skoring baik terhadap calon daerah maupun daerah induk. Kuota
jumlah penduduk kabupaten untuk pembentukan kabupaten adalah 5 kali rata-
rata jumlah penduduk kecamatan seluruh kabupaten di provinsi yang
bersangkutan. Semakin besar perolehan besaran/nilai calon daerah dan daerah
induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan daerah, maka
semakin besar skornya.
Dalam hal terdapat beberapa faktor yang memiliki karakteristik tersendiri
maka penilaian teknis dimaksud dilengkapi dengan penilaian secara kualitatif. Nilai
indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing indikator. Kelulusan
ditentukan oleh total nilai seluruh indikator denganka tegori sebagai berikut:
Tabel 3.3
Kategori Kelulusan
27
Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru
apabila calon daerah otonom dan daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai
total nilai seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu
(340-419) serta perolehan total nilai indikator faktor kependudukan (80-100), faktor
kemampuan ekonomi (60-75), faktor potensi daerah (60-75) dan faktor kemampuan
keuangan (60-75). Usulan pembentukan daerah otonom baru ditolak apabila calon
daerah otonom atau daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai
seluruh indikator dengan kategori kurang mampu, tidak mampu dan sangat tidak
mampu dalam menyelenggarakan otonomi daerah, atau perolehan total nilai indikator
faktor kependudukan kurang dari 80 atau faktor kemampuan ekonomi kurang dari
60,atau faktor potensi daerah kurang dari 60, atau faktor kemampuan keuangan kurang
dari 60.
3.2. Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data
Pengkajian ini sebagian besar menggunakan data sekunder dari berbagai
sumber, antara lain: 1) basis data indeks pembangunan manusia; 2) Kota Salatiga
dalam angka; 3) statistik keuangan daerah, dan 4) monografi kecamatan di sekitar
Kota Salatiga (yang menjadi bagian Kabupaten Semarang). Untuk memvalidasi data
sekunder tersebut, dilakukan wawancara terhadap para pejabat dari
dinas/badan/lembaga yang relevan, antara lain: Badan Pusat Statistik, Bappeda, dan
aparat kecamatan terkait.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1) wawancara, terhadap
masyarakat, pemuka/tokoh msyarakat maupun para pejabat dari dinas/badan/lembaga
yang relevan; 2) studi kepustakaan; mempelajari dan menelaah serta menganalisas
literatur baik berupa data statistik, monografi, buku-buku, artikel, maupun karya
ilmiah baik itu jurnal maupun buletin yang ada kaitanya dengan permasalahan yang
akan dikaji; 3) kunjungan lapangan untuk memperoleh data primer sekaligus cross
28
check data sekunder dengan kondisi faktual; 4) focus group discussion (FGD) untuk
menjaring masukan baik dari masyarakat, SKPD, maupun anggota Dewan.
Metode analisis untuk memprediksi kelayakan pemekaran Kota Salatiga
menggunakan metode analisis biaya dan manfaat (cost and benefit) dengan
memperhatikan potensi, permasalahan, dan kecenderungan perkembangan wilayah
calon pemekaran dikaitkan dengan kondisi Kota Salatiga.
3.3. Jadwal Pelaksanaan
Penyelesaian atas seluruh obyek dan lingkup Kegiatan Kajian Pemekaran Kota
Salatiga dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari kalender atau sekitar 12
minggu hari kerja, terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK).
Dengan batasan waktu penyelesaian tersebut, jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan
adalah sebagai berikut: No Kegiatan Bln1-1 Bln1-2 Bln2-1 Bln2-2 Bln3-1 Bln3-2
1 Persiapan (SPMK, penyusunan kues dsb)
2 Pengumpulan data
3 FGD tahap 1
4 Pengolahan dan Analisa Data
5 Penulisan Laporan
6 FGD tahap 2
7 Perbaikan Laporan Akhir
8 Penyerahan Laporan Akhir
3.4. Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dilaksanakan oleh Kelompok
Masyarakat Perguruan Tinggi, akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab
dengan kewajiban sebagai berikut :
1) bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan pekerjaan Kegiatan Kajian
Pemekaran Kota Salatiga.
2) menyusun hasil Kajian Pemekaran Kota Salatiga;
3.5.Pelaksanan
29
Agar supaya Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dapat dilaksanakan
dengan hasil yang maksimal, maka dibentuk tim yang terdiri dari para ahli/pakar lintas
disiplin ilmu. Tim ahli yang dimaksud terdiri dari tenaga-tenaga dengan bidang
keahlian yang berhubungan dengan pekerjaan dan berpengalaman di bidangnya
minimal 2 (dua) tahun, yang terdiri dari :
1) Daru Purnomo, SP, MS (Ahli Geografi Sosial);
2) Prof. Sony Heru Priyanto (Ahli Pembangunan Ekonomi dan Kewirausahaan)
3) Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto (Ahli Ekonomi Pertanian);
4) Dr. Ir. Bistok Hasiholan MSc. (Ahli Pemetaan Lahan dan SIG);
5) Dr. Ir. Bambang Ismanto MS. (Ahli Dinamika Sosial dan Pendidikan);
6) Dr. Tinjung Maria Prihtanti. (Ahli Komunikasi Sosial);
7) Dr. Umbu Rauta, SH, MH (Ahli Hukum Otonomi Daerah);
8) Seto Herwandito, S.Pd, M.M, M.Ikom (Ahli Marketing Manajemen)
3.6. Pengawasan Pekerjaan
Dalam rangka pelaksanaan Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga, Tim
Peneliti akan berkoordinasi dan berkonsultasi dengan:
1) Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Salatiga.
2) Pimpinan SKPD Kota Salatiga.
3) Lembaga non pemerintah sesuai kebutuhan
3.7. Analisis Manfaat Dan Biaya
A. Analisis Manfaat
Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga ini, diorientasikan dapat
memberikan kemanfaatan secara internal dan eksternal. Manfaat internal berupa
tersedianya bahan dasar untuk tersedianya hasil kajian terhadap pelaksanaan kebijakan
mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan
dinamikanya dan tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga
mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan
dinamikanya dan tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik
dari aspek sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat
di Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah yang
30
merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga. Manfaat eksternal
yaitu tersusunnya rujukan terhadap upaya pemekaran Kota Salatiga.
B. Analisis Biaya
Analisis biaya Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga, dihitung berdasarkan
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebagaimana tercantum pada Lampiran Proposal ini.
IV. HASIL KEGIATAN AKHIR
31
4.1. Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah
A. Teori Otonomi Daerah
1. Ajaran Pembagian Kekuasaan Vertikal/Teritorial
Pembagian kekuasaan secara vertikal/teritorial yang melengkapi pembagian
kekuasaan secara horisontal/fungsional merupakan cakupan dari ajaran tentang
pembatasan pemerintahan (konstitusionalisme). Friedrich menyatakan:
“At the outset, constitutionalism was described as divided power ...
Constitutionalism by dividing power provides a system of effective
restraints upon governmental action.”
Konsep lain yang digunakan sebagai padanannya adalah federalisme dalam arti
luas, yang artinya tidak melulu berbicara tentang pembagian kekuasaan
vertikal/teritorial di negara federal, tetapi juga di negara kesatuan dengan
desentralisasi. Friedrich menjelaskan:
“There is nothing in the distinction between federalism and
decentralization which would imply an inherent superiority of one
over the other; their advantages and disadvantages can only be
contrasted in terms of the peculiar conditions of the time and place
under which a particular government is supposed to operate.”
Namun ketika berbicara tentang pilihan model pembatasan pemerintahan paling
efektif antara federalisme dan desentralisasi, Friedrich cenderung menganggap bahwa
federalisme dalam arti sempit adalah lebih efektif:
“A federal governmental structure provides a spatial or
territorial, as distinguished from a functional, division of powers.
Such a division operates as a rather effective restraint upon the
abuse of governmental powers by the central authorities ... what
federalism does is to mobilize firmly entrenched local powers in
support of the constitution, and to offer them protection under the
constitution as well.”
32
Pendapat ini dapat dipahami rasionya, akan tetapi kebenarannya menurut penulis
relatif. Memang, skema federalisme pada negara federal lebih kuat karena posisi
pemerintah lokal, yaitu negara bagian, tidak bergantung pada kebijakan pemerintah
pusat, pemerintah federal, melainkan langsung bersumber dari konstitusi. Berbeda
dengan skema desentralisasi pada negara kesatuan yang bergantung pada kebijakan
dari pemerintah pusat. Indonesia adalah salah satu contohnya, di mana model
pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah dari waktu ke waktu dipengaruhi
oleh kebijakan pemerintah pusat sebagaimana ditunjukkan dengan berubah-ubahnya
produk legislasi yang melandasi kekuasaan pemerintah daerah tersebut.
Terlepas dari persoalan pilihan sebagaimana dikemukakan di atas, memahami
persoalan kekuasaan pemerintah daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi
daerah tidak dapat mengelak dari ratio legis-nya sebagai bagian dari ajaran tentang
konstitusionalisme. Pengertian demikian nampak dari pendapat The Liang Gie tentang
alasan hadirnya satuan pemerintahan teritorial lebih kecil (Pemerintah Daerah) yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berikut
ini:
• Guna mencegah penumpukan kekuasaan yang bisa membuka ruang bagi
terjadinya tirani;
• Sebagai upaya pendemokrasian;
• Untuk memungkinkan tercapainya pemerintahan yang efisien;
• Guna dapat memberikan perhatian terhadap kekhususan-kekhususan yang
menyertai setiap daerah; dan
• Agar Pemerintah Daerah dapat lebih langsung membantu penyelenggaraan
pembangunan.
Berdasarkan uraian di atas, pembatasan kekuasaan pemerintah pusat tidak
semata mengambil bentuk pembagian kekuasaan belaka. Tetapi agenda lainnya
sebagai implikasi adalah hasil guna dan daya guna praktik penyelenggaraan
pemerintahan dalam arti luas. Dilakukannya pembagian kekuasaan pemerintahan
secara vertikal atau teritorial ini memungkinkan pemerintah daerah dapat terlibat lebih
langsung dalam penyelenggaraan pembangunan dikaitkan dengan kebutuhan-
kebutuhan khusus daerahnya. Asumsi yang melandasinya adalah daerah lebih tahu
33
kebutuhannya ketimbang pemerintah pusat karena persoalan jarak yang lebih dekat
dengan sumber permasalahan.
2. Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Yang Desentralistik
Indonesia adalah Negara Kesatuan atau Unitary State. Meskipun menganut
bentuk atau susunan negara kesatuan, akan tetapi negara Indonesia dijalankan secara
desentralistik sejak masa Indonesia merdeka (terinterupsi sejenak oleh periode
Republik Indonesia Serikat) sampai sekarang. Yang dimaksud dengan negara kesatuan
yang desentralistik adalah negara kesatuan yang diselenggarakan menurut asas
desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (sic: Pusat)
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar teoretis mengapa Indonesia tidak menganut konsep negara yang
sentralistik adalah alasan kewilayahan. Kusnardi & Ibrahim mengatakan: “Karena
wilayah negara Republik Indonesia itu sangat luas yang meliputi banyak kepulauan
yang besar dan kecil, maka tidak mungkinlah jika segala sesuatunya akan diurus
seluruhnya oleh Pemerintah yang berkedudukan di Ibukota Negara. Untuk mengurus
penyelenggaraan pemerintahan negara sampai kepada seluruh pelosok daerah negara,
maka perlu dibentuk suatu pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah ini sebenarnya
menyelenggarakan pemerintahan yang secara langsung berhubungan dengan
masyarakatnya.” Lebih lanjut, desentralisasi juga merupakan perwujudan, pada
analisis akhir, gagasan konstitusionalisme (pemerintahan terbatas) yaitu pembagian
kekuasaan secara vertikal/teritorial dan gagasan demokrasi atau kedaulatan rakyat .
Desentralisasi sebagai bentuk pembatasan terhadap kekuasaan Pemerintah Pusat
konsisten dengan prinsip negara hukum yang telah diakui secara konstitusional
sebagai prinsip penyelenggaraan negara Indonesia. Desentralisasi sebagai perwujudan
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat sangat terkait dengan upaya pemenuhan
kesejahteraan umum seluruh rakyat, bahwa semakin dekat pemerintah hadir di tengah-
tengah rakyatnya dapat berbanding lurus dengan semakin sejahteranya rakyat serta
semakin mudahnya rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan dan sekaligus
mengontrolnya. Legislator UU No. 23 Tahun 2014 meyakini bahwa desentralisasi dan
otonomi daerah dapat: “... mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
34
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Konsep negara kesatuan yang desentralistik nampak dari bentuk atau susunan
negara yang tidak mengenal ‘negara’ dalam negara, serta pengakuan atas eksistensi
daerah otonom yang memiliki kewenangan dan dapat menjalankan urusan
pemerintahan sendiri. Menurut Mawardi, sistem desentralisasi memiliki ciri-ciri:
1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya negara
federasi;
2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan bentuk
penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan yang diberikan kepada
daerah;
3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan atau
pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa
dan aspirasi masyarakat.
Dalam rangka asas desentralisasi sebagai dasar untuk penyelenggaraan negara
Indonesia sebagai negara kesatuan tersebut maka pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian, hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara provinsi
dan kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah. Dengan demikian asas otonomi daerah adalah asas dalam
rangka penyelenggaraan negara kesatuan yang desentralistik. Yang dimaksud dengan
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Sistem Otonomi
Sistem otonomi adalah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah
tangga daerah. Lazimnya ada tiga macam sistem otonomi yang dikenal, yaitu: (1).
Sistem Otonomi Materiil (materiele huishoudingsbegrip); (2). Sistem Otonomi Formil
(formeele huishoudingsbegrip); (3). Sistem Otonomi Riil/Nyata (riele huishoudings-
begrip) yang merupakan kompromi sistem pertama dan kedua.
35
Dalam menentukan batas-batas urusan rumah tangga daerah, sistem otonomi
materiil bertolak dari pembedaan secara tegas antara lingkup kekuasaan pemerintah
pusat dengan lingkup kekuasaan daerah otonom. Penentuan tersebut kemudian
ditetapkan menjadi materi undang-undang yang mengatur tentang pembentukan
daerah. Prinsip dari sistem otonomi materiil ini adalah otonomi daerah hanya meliputi
tugas-tugas daerah otonom yang telah ditentukan secara limitatif. Sementara apa yang
tidak tercantum di sana tetap merupakan urusan pemerintah pusat.
Sistem otonomi formil bersifat kebalikannya dari sistem otonomi materiil, yaitu
tidak membedakan antara urusan pemerintah pusat dengan urusan pemerintah daerah.
Prinsip dari sistem otonomi formil ini adalah lingkup rumah tangga yang menjadi
urusan dari daerah otonom tidak ditetapkan secara a priori, tetapi bergantung pada
bagaimana daerah otonom menjabarkannya. Perpaduan kedua sistem ini melahirkan
sistem otonomi riil/nyata yang mengandung prinsip otonomi daerah berdasarkan
faktor riil atau nyata sesuai kebutuhan atau kemampuan sesungguhnya dari daerah
otonom dan pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi. Sehingga
konsekuensinya, jika secara nyata daerah mampu maka apa yang sebelumnya
merupakan urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada daerah otonom; begitu
pula sebaliknya.
Dikaitkan dengan sistem otonomi maka pembentukan daerah baru secara umum
dan atau penyesuaian daerah adalah sejalan dengan pengertian sistem otonomi
riil/nyata. Oleh karenanya, konsisten dengan politik hukum UU Pemerintahan Daerah,
sebagai berikut:
1. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
2. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup
dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian
36
isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah
otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan
tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
B. Landasan Yuridis Penataan Daerah
Istilah “penataan daerah” baru dikenal dalam UU No. 23 Tahun 2014. Saat
berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, istilah yang dikenal dan digunakan yaitu
“pembentukan daerah”. Istilah ini selanjutnya digunakan sebagai salah satu anak judul
dari PP No. 78 Tahun 2008. Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 , telah diberikan
peluang bagi pembentukan daerah baru baik provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
maupun desa/kelurahan.
Pasca era transisi, peraturan perundang-undangan terkait dengan pembentukan
atau penataan daerah adalah sebagai berikut:
1. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
4. PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah yang mengatur mengenai pembentukan daerah baru pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
5. PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan yang mengatur mengenai
pembentukan daerah baru pada tingkat kecamatan.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, perihal pembentukan daerah diatur dalam Pasal
4 sampai Pasal 8. Pengaturan lebih lanjut dari UU a quo diatur dalam PP No. 78 Tahun
2007. Adapun pokok-pokok pengaturannya sebagai berikut:
1. Istilah yang digunakan yaitu “pembentukan daerah”. Bentuk hukum pembentukan
daerah ditetapkan dengan undang-undang, yang antara lain mencakup nama,
cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan
pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD,
pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat
daerah.
37
2. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian
daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah
atau lebih. Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih dapat
dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Ini berarti bahwa jenis pembentukan daerah ada 2 (dua) yaitu: penggabungan
daerah dan pemekaran daerah.
3. Pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik
kewilayahan. Syarat administratif untuk pembentukan daerah provinsi meliputi:
persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi
cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta
rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk pembentukan
kabupaten/kota meliputi: persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota
yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi
Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar
pembentukan daerah, yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan
provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten,
dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana,
dan prasarana pemerintahan.
Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang
bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penghapusan dan
penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah
beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Perubahan batas suatu daerah,
perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama,
atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
1. Setelah pergantian UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 23 Tahun 2014,
pengaturan perihal pembentukan daerah (baca: penataan daerah) diatur dalam Bab
VI Pasal 31 sampai Pasal 48. Adapun pokok-pokok pengaturan sebagai berikut:
38
2. Istilah yang digunakan yaitu “penataan daerah”, dengan tujuan untuk: (a)
mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah; (b) mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat; (c) mempercepat peningkatan kualitas
pelayanan publik; (d) meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; (e)
meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah; dan (f) memelihara
keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah.
3. Penataan Daerah terdiri atas Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah.
Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah dapat dilakukan berdasarkan
pertimbangan kepentingan strategis nasional.
4. Pembentukan Daerah terdiri dari dua pola berupa: Pemekaran Daerah dan
Penggabungan Daerah. Pembentukan Daerah mencakup pembentukan daerah
provinsi dan pembentukan daerah kabupaten/kota.
5. Pemekaran Daerah dapat berupa: (a) pemecahan daerah provinsi atau daerah
kabupaten/kota untuk menjadi dua atau lebih daerah baru; atau (b) penggabungan
bagian daerah dari daerah yang bersanding dalam 1 (satu) daerah provinsi menjadi
satu daerah baru.
6. Pemekaran Daerah dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau
Daerah Persiapan kabupaten/kota. Pembentukan Daerah Persiapan harus
memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Persyaratan dasar
meliputi: (a) persyaratan dasar kewilayahan; dan (b) persyaratan dasar kapasitas
Daerah.
Persyaratan dasar kewilayahan meliputi: luas wilayah minimal, jumlah
penduduk minimal, batas wilayah, cakupan wilayah; dan batas usia minimal
daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan Kecamatan. Luas wilayah minimal
dan jumlah penduduk minimal ditentukan berdasarkan pengelompokan pulau atau
kepulauan. Batas wilayah dibuktikan dengan titik koordinat pada peta dasar.
Cakupan Wilayah meliputi: (a) paling sedikit 5 (lima) daerah kabupaten/kota
untuk pembentukan Daerah Provinsi; (b) paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk
pembentukan Daerah Kabupaten; dan (c) paling sedikit 4 (empat) kecamatan
untuk pembentukan Daerah Kota. Batas usia minimal meliputi: (a) batas usia
minimal Daerah provinsi 10 (sepuluh) tahun dan Daerah kabupaten/kota 7 (tujuh)
tahun terhitung sejak pembentukan; dan (b). batas usia minimal Kecamatan yang
39
menjadi cakupan wilayah daerah kabupaten/kota 5 (lima) tahun terhitung sejak
pembentukan.
Persyaratan dasar kapasitas Daerah adalah kemampuan daerah untuk
berkembang dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang didasarkan pada
parameter: geografi, demografi, keamanan, sosial politik, adat, dan tradisi;
potensi ekonomi, keuangan daerah; dan kemampuan penyelenggaraan
pemerintahan.
Persyaratan administratif disusun dengan tata urutan sebagai berikut: (a) untuk
daerah provinsi meliputi: persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota dengan
bupati/wali kota yang akan menjadi cakupan wilayah daerah persiapan provinsi;
persetujuan bersama DPRD provinsi induk dengan gubernur daerah provinsi
induk. (b). untuk daerah kabupaten/kota meliputi: keputusan musyawarah desa
yang akan menjadi cakupan wilayah daerah kabupaten/kota, persetujuan bersama
DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota daerah induk; dan
persetujuan bersama DPRD provinsi dengan gubernur dari daerah provinsi yang
mencakupi daerah Persiapan kabupaten/kota yang akan dibentuk.
Pembentukan Daerah Persiapan diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah
Pusat, DPR, atau DPD setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan
persyaratan administratif. Berdasarkan usulan tersebut, Pemerintah Pusat
melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan dasar kewilayahan dan
persyaratan administratif. Hasil penilaian disampaikan kepada DPR dan DPD.
Dalam hal usulan pembentukan Daerah Persiapan dinyatakan memenuhi
persyaratan administratif, Pemerintah Pusat membentuk tim kajian independen
yang bertugas melakukan kajian terhadap persyaratan dasar kapasitas Daerah.
Hasil kajian disampaikan kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya
dikonsultasikan kepada DPR dan DPD. Hasil konsultasi menjadi pertimbangan
Pemerintah Pusat dalam menetapkan kelayakan pembentukan Daerah Persiapan.
Daerah Persiapan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Jangka waktu
Daerah Persiapan adalah selama 3 (tiga) tahun. Daerah Persiapan dipimpin oleh
kepala daerah persiapan. Kepala daerah persiapan provinsi diisi dari pegawai
negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri. Kepala daerah persiapan kabupaten/kota diisi dari
40
pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan dan diangkat atau diberhentikan
oleh Menteri atas usul gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap
Daerah Persiapan, selanjutnya menyampaikan perkembangan pembinaan,
pengawasan, dan evaluasi kepada DPR dan DPD. Pemerintah Pusat melakukan
evaluasi akhir masa Daerah Persiapan, dengan maksud untuk menilai kemampuan
Daerah Persiapan dalam melaksanakan kewajiban. Hasil evaluasi akhir masa
Daerah Persiapan dikonsultasikan kepada DPR dan DPD. Daerah Persiapan yang
dinyatakan layak ditingkatkan statusnya menjadi Daerah baru dan ditetapkan
dengan undang-undang. Sedangkan Daerah Persiapan yang dinyatakan tidak layak
dicabut statusnya sebagai Daerah Persiapan dengan peraturan pemerintah dan
dikembalikan ke Daerah induk.
Penggabungan Daerah dapat berupa: (a) penggabungan dua daerah
kabupaten/kota atau lebih yang bersanding dalam satu daerah provinsi menjadi
daerah kabupaten/kota baru; dan (b) penggabungan dua daerah provinsi atau lebih
yang bersanding menjadi daerah provinsi baru. Penggabungan Daerah dilakukan
berdasarkan: (a) kesepakatan daerah yang bersangkutan; atau (b) hasil evaluasi
Pemerintah Pusat.
Penggabungan Daerah yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Daerah yang
bersangkutan harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan dasar
kapasitas Daerah. Penggabungan Daerah kabupaten/kota yang dilakukan
berdasarkan kesepakatan Daerah diusulkan oleh gubernur kepada Pemerintah
Pusat, DPR, atau DPD setelah memenuhi persyaratan administratif.
Penggabungan Daerah provinsi yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Daerah
yang bersangkutan diusulkan secara bersama oleh gubernur yang daerahnya akan
digabungkan kepada Pemerintah Pusat, DPR atau DPD setelah memenuhi
persyaratan administratif. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah Pusat
melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan administratif, selanjutnya
hasil penilaian disampaikan kepada DPR dan DPD. Dalam hal usulan
penggabungan daerah dinyatakan memenuhi persyaratan administratif,
Pemerintah Pusat dengan persetujuan DPR dan DPD membentuk tim kajian
independen. Tim kajian independen bertugas melakukan kajian terhadap
persyaratan kapasitas daerah. Hasil kajian disampaikan oleh tim kajian
41
independen kepada Pemerintah Pusat untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada
DPR dan DPD. Hasil konsultasi tersebut menjadi pertimbangan bagi Pemerintah
Pusat, DPR atau DPD dalam pembentukan undang-undang mengenai
penggabungan Daerah. Dalam hal penggabungan Daerah dinyatakan tidak layak,
Pemerintah Pusat, DPR atau DPD menyampaikan penolakan secara tertulis
dengan disertai alasan penolakan kepada gubernur.
Penggabungan Daerah dapat pula dilakukan dalam hal daerah atau beberapa
daerah tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penilaian terhadap
kemampuan menyelenggarakan otonomi daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang mengenai
penggabungan Daerah kepada DPR dan DPD. Dalam hal rancangan undang-
undang mengenai penggabungan Daerah disetujui, rancangan undang-undang
dimaksud ditetapkan menjadi undang-undang.
7. Di samping Pembentukan Daerah, jenis lain dari Penataan Daerah yaitu
Penyesuaian Daerah. Penyesuaian Daerah dapat berupa: (a) perubahan batas
wilayah daerah; (b) perubahan nama daerah; (c) pemberian nama dan perubahan
nama bagian rupa bumi; dan (d) pemindahan ibu kota; dan/atau perubahan nama
ibu kota. Dalam penjelasan Pasal 48 UU No. 23 Tahun 2014 ditegaskan bahwa
yang dimaksud dengan “perubahan batas wilayah Daerah” dalam ketentuan ini
adalah penambahan atau pengurangan Cakupan Wilayah suatu daerah yang tidak
mengakibatkan hapusnya suatu Daerah. Perubahan batas wilayah daerah
ditetapkan dengan undang-undang. Perubahan nama Daerah, pemberian nama dan
perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta perubahan nama
ibu kota ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
8. Dalam UU a quo juga diatur tentang kemungkinan pembentukan daerah dengan
pertimbangan kepentingan strategis nasional. Pembentukan Daerah dimaksud
berlaku untuk daerah perbatasan, pulau-pulau terluar, dan daerah tertentu untuk
menjaga kepentingan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan Daerah tersebut harus dilakukan melalui tahapan Daerah Persiapan
provinsi atau Daerah Persiapan kabupaten/kota paling lama 5 (lima) tahun.
Pembentukan Daerah Persiapan harus memiliki cakupan wilayah dengan batas-
batas yang jelas dan mempertimbangkan parameter pertahanan dan keamanan,
potensi ekonomi, serta paramater lain yang memperkuat kedaulatan Negara
42
Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Daerah Persiapan dikonsultasikan
oleh Pemerintah Pusat kepada DPR dan DPD.
Dalam konteks rencana “pemekaran wilayah” Kota Salatiga, dengan mengacu
pada materi muatan UU No. 23 Tahun 2014, pola penataan daerah yang sesuai yaitu
Penyesuaian Daerah, khususnya dalam wujud Perubahan Batas wilayah Daerah.Pada
awalnya analisis pemekaran Kota salatiga ini akan menggunakan UU 23 Tahun 2014
sebagai landasan hukumnya, tetapi karena aturan pelaksanaannya belum ada maka
diputuskan untuk menggunakan PP 78 Tahun 2007 sebagai landasan acuan hukumnya.
Sejalan dengan peraturan tersebut maka indikator utama yang akan
dipergunakan sebagai dasar kajian adalah:
1. Kependudukan
2. Kemampuan ekonomi
3. Potensi daerah
4. Kemampuan keuangan
5. Sosial budaya
6. Sosial politik
7. Luas daerah
8. Pertahanan
9. Keamanan
10. Tingkat kesejahteraan masyarakat
11. Rentang kendali
12. Layanan Publik (kesehatan, perijinan, pendidikan)
13. Analisis Keruangan (ekonomi pusat pertumbuhan)
4.2. Sejarah dan Dinamika Kota Salatiga
Kehidupan global (internasional) telah menjadi bagian Kota Salatiga jauh
sebelum Indonesia merdeka. Alamnya yang sejuk, indah, bersahabat dan aman
menjadi pilihan hunian, Kota militer, lahan perkebunan kopi dan lokasi penyelesaian
kemelut Kerajaan Surakarta.
Alam Salatiga menghasilkan udara sejuk dan nyaman dengan suhu udara rata-
rata 23 -24 derajad celcius. Posisi Salatiga Pada ketinggian rata-rata 600 meter di atas
permukaan laut dan terkesan dipagari alam pegunungan. Keberadaan di lembah
43
gunung Merbabu sebelah barat daya bersinggungan dengan pegunungan Telomoyo
dan Gajah Mungkur dan sisi barat terdapat Gunung Ungaran.
Kenyamanan alam dan rasa aman Salatiga menjadi kota pilihan transit orang-
orang yang baru datang dari Eropa dan hendak tinggal di Hindia Belanda dan hunian
Pimpinan / Militer Belanda. Pembangunan hotel, rumah sakit, tempat ibadah, Bisnis,
komnikasi dan fasilitas jalan, pendistrian, transportasi dan pasar telah dibangun secara
standar pada era penjajahan Belanda. Di Salatiga di bangun beberapa Hotel seperti
Hotel Kalitaman, Hotel Berg en Dal, dan Hotel Blommestein. Di dekat Kerkhof
dibangun Rumah Sakit Khusus Tentara dan Rumah Sakit Umum serta menuju arah
Kopeng (Jalan Hasanudin) Rumah Sakit Paru-Paru kini RSU Ario Wirawan. Di
Salatiga didirikan Sekolah seperti Eerste Europeesche Lagere School, Tweede
Europeesche Lagere School, Hollandsche Chinese School (HCS), Normaalscool dan
Kweekschool. Disamping berdiri sekolah swasta seperti HIS Kanisius dan SD Zending.
Fasilitas perkantoran seperti Algemeene Volksch Bank, Pos Telefoon Telegram
Kantoor, fasilitas jalan, lapangan olah raga, taman dan trotoar.
Posisi strategis Semarang, Magelang dan Surakarta, dan hunian orang Belanda
menjadikan pertimbangan Salatiga sebagai Kota Militer. Tahun 1746 VOC
membangun benteng ‘De Hersteller’ di Kota Salatiga dengan maksud untuk menjamin
keamanan jalur Surakarta – Semarang dalam lalu lintas perdagangan Jawa Tengah
pedalaman ke Pantai Utara. Benteng ini memberi rasa aman sehingga pilihan singgah
para pedagang di Salatiga. Benteng ‘Hock’ yang kini menjadi Kantor Korem 073
merupakan citra Salatiga sebagai Kota Militer. Rasa aman dan kedamaian menjadi
pertimbangan para petinggi Belanda dalam mendamaikan pertikaian Kerajaan
Surakarta. Tepatnya tanggal 17 Maret 1757 disepakati ‘Perjanjian Salatiga’ yang
melahirkan Kadipaten Mangkunegaran.
Hingga sekarang, teritorial Salatiga memiliki fasilitas pertahanan dan
keamanan seperti Komando Resort Militer dengan wilayah kekuasaan Semarang,
Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kendal, Purwodadi, Demak, Kudus, Jepara dan
Blora, Komando Distrik Militer dan Polisi Resort dengan wilayah kekuasaan Salatiga
dan Kabupaten Semarang dan Batalyon Infantri berada dalam teritorial Salatiga.
Cikal bakal lahirnya Salatiga tertulis dalam batu besar dalam prasasti
Plumpungan, berisi ketetapan hukum tentang status tanah perdikan atau swatantra bagi
desa Hampra. Perdikan berarti suatu daerah yang dibebaskan dari segala kewajiban
44
pembayaran pajak atau upeti karena memiliki kekhususan tertentu. Dasar pemberian
daerah perdikan itu diberikan kepada desa atau daerah yang benar-benar berjasa
kepada seorang raja.
Kota Salatiga adalah Staat Gemente yang dibentuk berdasarkan Staatblad 1923
No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 17 tahun 1995 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Barat.
Berdasarkan kesadaran bersama dan didorong kebutuhan areal pembangunan
demi pengembangan daerah, muncul gagasan mengadakan pemekaran wilayah yang
dirintis tahun 1983. Kemudian terealisir tahun 1992 dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah No. 69 tahun 1992 yang menetapkan luas wilayah Salatiga menjadi 5.898
Ha dengan 4 Kecamatan yang terdiri dari 22 Kelurahan Tahun 2015 bertambah
menjadi 23 Kelurahan.
Sejak jaman Belanda dan Jepang hingga sekarang, Salatiga berkembang Kota
Pendidikan yang berbasis kebhinekaan dan internasional. Kesadaran berpendidikan
masyarakat muncul sejak pemerintahan Belanda, Jepang dan Pemerintahan Republik
Indonesia. Kehadiran tentara KNIL yang berasal dari berbagai suku di wilayah Timur
Indoenesia menjadikan Salatiga sebagai miniatur kehidupan Indonesia. Pendirian dan
perkembangan Universitas Kristen Satya Wacana dengan mahasiswa dan dosen lebih
dari 27 suku di Indonesia semakin mendinamiskan Salatiga sebagai Indonesia Mini
bahkan Kota Global. Oleh karena program pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia
di UKSW yang diikuti masyarakat Australia, Eropa, Amerika Serikat, Jepang,
Singapore, Korea Selatan turut mengenalkan Salatiga secara internasional. Demikian
pula fasilitas kesehatan dalam hal ini Rumah Sakit, layanan air minum dan ketahanan
dan keamanan di Salatiga telah berkembang sejak Pemerintahan Belanda.
Kini Salatiga tumbuh sebagai Kota pendidikan, olah raga, budaya dan transit
wisata. Pesona kota berbukit yang sejuk, nyaman, aman sangat kondusif tumbuh dan
berkembangnya sarana prasarana pendidikan, pengembangan potensi olah raga,
budaya serta menjadi tempat singgah wisata dalam perjalanan Jogjakarta, Solo dan
Semarang (Joglosemar). Pengembangan infrastruktur jalan lingkar, jalan perkotaan,
drainase lingkungan dan dukungan perijinan serta pertumbuhan lembaga Perbankan
menjadi pendukung iklim usaha di Kota Salatiga. Pembangunan Jalan Tol ruas Bawen
– Semarang dan perspektif Bawen ke Solo akan semakin mendinamiskan
45
perkembangan Kota Salatiga sebagai hunian yang nyaman. Perkembangan UKSW,
IAIN serta STIE AMA akan mendukung penyiapan SDM yang bermutu sejalan
dengan upaya perwujudan Trifungsi Kota Salatiga sebagai Kota Pendidikan,
Perdagangan dan Transit Wisata.
Keberadaan Salatiga dalam Geografis Kabupaten Semarang sebagai fakta
alami yang tidak bisa saling dipisahkan. Dinamika perkembangan sosial, ekonomi,
budaya dan politik kedua wilayah ini harus diberikan alternatif dalam membangun
masyarakat yang makmur, mandiri dan berkeadilan. Jangkauan layanan dasar kepada
masyarakat Kabupaten Semarang menjadi fakta yang perlu dicarikan solusi agar
kebutuhan tetap dipertahankan dan dikembangkan. Terbatasnya dana transfer APBN
sebagai implikasi terbatasnya wilayah dan jumlah penduduk perlu dipikirkan bersama
agar apa yang selama ini telah dinikmati masyarakat tidak berhenti.
4.3.Kondisi Sosial Politik
A. Aspek Sosial Budaya
Kota Salatiga tergolong kota atau wilayah yang kecil dibanding dengan
wilayah di sekelilingnya seperti kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, dll. Lokasi
kota Salatiga yang dikelilingi oleh Kabupaten Semarang menjadikan kota ini unik.
Adapun rentang kendali kota Salatiga dengan kecamatan dalam kabupaten Semarang
yang berdekatan dengan kota Salatiga bisa dibilang berjarak dekat, otomatis rentang
kendali nya mudah atau dekat. Kota Salatiga terdiri dari 4 Kecamatan, dimana 1
kecamatan terdiri dari 4-6 desa, sehingga dalam memberikan pelayanan masih relatif
mudah. Idealnya suatu kecamatan terdiri dari hingga maksimal 10 desa, hal ini tidak
menjadi kendala untuk kota salatiga dalam menambah jumlah desa yang akan ikut
menjadi bagian dari suatu lecamatan. (idealnya 1 kecamatan 10 desa)
Kota Salatiga dengan luas wilayah yaitu 5.678.110 km² memiliki jumlah
penduduk sebesar 178.594 jiwa/m², terdiri dari 87.343 jiwa untuk laki-laki dan 91.251
jiwa untuk perempuan dengan demikian tingkat kepadatan penduduknya adalah 3.145
orang per km²
Kota Salatiga yang terkenal akan “Indonesia Mini” dengan pluralitas yang ada
terdapat 214 masjid, 303 mushola, 80 gereja dan 7 vihara/ pura, dengan total
berjumlah 617 tempat ibadah tersebar di 4 kecamatan. Sedangkan untuk olah raga,
Salatiga sejak dahulu terkenal akan “Pendidikan Latihan” atau DIKLAT, diantaranya
46
adalah diklat TC yang sudah mencetak pesebak bola sekelas nasional seperti Bambang
Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, selain itu adapula Oyong Liza, Risdianto,
Iswadi Idris, Sartono Anwar, sampai Anjas Asmara, juga merupakan jebolan Diklat
Salatiga.
Tabel 4.1. Sarana Peribadatan di Wilayah Kota Salatiga
KECAMATAN MASJID MUSHOLA GEREJA PURA/ VIHARA dan Lainnya
Argomulyo 59 75 24 3
Sidomukti 55 48 26 2
Sidorejo 66 107 13 2
Tingkir 38 85 13 1
JUMLAH 218 315 76 8
TOTAL 617
Sumber: Kecamatan dalam angka 2014
Cabang olah raga Atletik juga cukup menonjol dengan adanya klub Dragon
Atletik, dimana mencetak pelari-pelari terbaik, salah satunya seperti Tryaningsih.
Olah raga ketangkasan berkuda (equestrian), Bulutangkis, Basket dan lain sebagainya
juga mulai berkembang, bahkan Salatiga akan dipromosikan menjadi kota atletik
dunia.
Partisipasi masyarakat kota salatiga terhadap permasalahan kemasyarakatan
dapat terwujud dalam organisasi kemasyarakatan (Ormas) sebanyak 128 Lembaga
Swadaya Masyarakat yang bergerak di berbagai bidang. Selain itu adanya balai
pertemuan juga mendukung dalam partisipasi masyarakat terhadap permasalahan
kemasyarakatn yang ada. Jumlah balai pertemuan di Kota Salatiga sebanyak 22 balai
pertemuan, dimana semua Kecamatan (Argomulyo, Sidorejo dan Tingkir) terdapat 6
balai pertemuan dan hanya Kecamatan Sidomukti yang memiliki 4 balai pertemuan.
47
Tabel 4.2. Jumlah Balai Pertemuan
Kota Kecamatan Balai Pertemuan
SALATIGA Argomulyo 6
Sidomukti 4
Sidorejo 6
Tingkir 6
JUMLAH 22
Sumber: Kecamatan dalam angka 2014
B. Aspek Sosial Politik
Tabel 4.3 dibawah menunjukkan bahwa partisipasi politik warga khususnya
dalam pelaksanaan Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat cukup
antusias. Terbukti dengan bertambahnya jumlah pemilih dari tahun ke tahun, baik
pada pilihan legislatif maupun pilihan walikota dan wakil walikota. Data diatas
menujukkan adanya kenaikan jumlah pemilih (pada pilihan walikota dan pileg 2014)
sebesar 4.075
Tabel 4.3. Jumlah Pemilih Total Pileg dan Pilihan Walikota-Wakil Walikota
Kecamatan di Salatiga
Jumlah Penduduk
Jumlah Pemilih Pileg 2014
Jumlah Pemilih pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota 2011
Jumlah Pemilih pada Pilpres 2009
Argomulyo 42.133 31.081
Sidomukti 40.664 29.298
Sidorejo 54.074 36.988
Tingkir 41.723 31.017
JUMLAH 178.594 128.384 124.309 122.630
Sumber: KPU Kota Salatiga
C. Aspek Pertahanan
Untuk aspek pertahanan, Salatiga terbilang unik karena dihuni oleh beberapa
instansi militer, diantaranya yaitu Korem 073 Makutarama, Kodim 0714 Salatiga dan
Batalyon Infanteri 411 “Raiders/ Pandawa” padahal untuk luas wilayah Salatiga
terbilang kecil. Akan tetapi hal ini yang menjadikan salatiga menjadi kota yang unik
48
dengan aspek pertahanan yang mumpuni. Salatiga menjadi satu-satunya kota yang
terdapat KOREM, KODIM maupun Batalyon Infanteri.
Sedangkan untuk karakteristik wilayah, kota Salatiga yang terdiri dari 4
kecamatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang. Wilayah utara Salatiga yaitu
Kecamatan Sidorejo berbatasan dengan Kecamatan Pabelan-Kabupaten Semarang,
wilayah timur yaitu Kecamatan Tingkir berbatasan dengan Kecamatan Pabelan dan
Kecamatan Suruh-Kabupaten Semarang, wilayah selatan yaitu Kecamatan Argomulyo
berbatasan dengan Kecamatan Tengaran dan Getasan-Kabupaten Semarang dan
wilayah barat yaitu Kecamatan Sidomukti berbatasan dengan Kecamatan Tuntang-
Kabupaten Semarang.
Kesenjangan ekonomi dan sosial merupakan permasalahan klasik dan sistemik
yang harus segera mendapatkan prioritas penanganannya, terutama yang mengarah
pada konflik akibat keterbatasan peluang dan akses terhadap sumberdaya. Suasana
kondusif merupakan faktor utama bergeraknya seluruh aktifitas sektor, sehingga
optimalisasi sumberdaya dapat berjalan optimal dan kesejahteraan masyarakat dapat
terwujud dengan lancar, aman dan terkendali.
Pembangunan yang tidak merata di Kota Salatiga menjadikan kota ini hanya
berpusat di tengah kota saja, sedangkan daerah yang berbatasan dengan Kabupaten
Semarang minim pembangunan yang merata baik infrastruktur, fasilitas publik, jalan,
sekolah, dsb.
D. Aspek Keamanan
Banyaknya konsentrasi militer dan polisi di Salatiga dan sekitarnya
memungkinkan Salatiga terhindar dari tindak kerusuhan massa. Kondisi wilayah yang
jarang tertimpa bencana alam memungkinkan masyarakat dapat menjaga ketertiban
dan ketenteraman. Usaha untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban akan
sekaligus berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan keamanan didaerah masing-
masing. Di dalam hal ini maka usaha untuk mewujudakan ketenteraman dan ketertiban
didasarkan pada sistem Pamswakarsa di bawah bimbingan dan pembinaan POLRI.
49
Tabel 4.2. Jumlah Personel Kepolisian Kota Salatiga
NO WILAYAH JUMLAH 1 Sidorejo 38 2 Sidomukti 53 3 Argomulyo 38 4 Tingkir 54
Jumlah 183 Sumber: Polres Salatiga, 2014
Berdasarkan tabel 4.2 nampak bahwa jumlah personel polisi di Kota Salatiga
relatif masih kecil. Secara keseluruhan personel polisi berjumlah 183 personel yang
tersebar dalam 4 Kecamatan. Dengan jumlah personel yang terbatas di satu pihak dan
jumlah penduduk Kota Salatiga yang semakin meningkat, maka Polri dalam hal ini
sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat dapat dipastikan kinerjanya
semakin berat dan masih belum maksimal, hal ini dibuktikan dengan kurangnya tenaga
kepolisian dalam menjangkau seluruh Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Kota
Salatiga. Idealnya adalah 1 Desa terdiri dari 1 polisi, jikalau luas Desa tersebut luas
maka bisa terdiri dari 2 polisi. Berikut adalah ratio polisi dan masyarakat yang ada di
Kota Salatiga.
Tabel 4.3. Rasio Jumlah Penduduk Dengan Jumlah Personel Kepolisian Kota Salatiga
No Kecamatan Jumlah Penduduk
Polsek Jumlah Personel
Perbandingan
1 Sidorejo 54.074 Sidorejo 38 1 : 1.423 2 Sidomukti 40.664 Sidomukti 53 1 : 768 3 Argomulyo 42.133 Argomulyo 38 1 : 1.109 4 Tingkir 41.723 Tingkir 54 1 : 773 178.594 183 1 : 976 Ratio Rata-Rata 1: 1.019 Ratio Nasional 1: 575 JUMLAH PERSONEL
POLRES SALATIGA 341
Sumber: Polres Salatiga, 2014
Dari data tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara jumlah
penduduk dengan jumlah personel kepolisian. Hal ini nampak pada perbandingan di
setiap polsek yang menunjukkan bahwa satu orang anggota polisi rata-rata
bertanggungjawab pada 1.019 jiwa (ratio tertinggi di Kecamatan Sidorejo dan
terendah di Kecamatan Tingkir). Bahkan, secara nasional ratio polisi-masyarakat di
50
wilayah Kota Salatiga masih terbilang sangat tinggi, dimana ratio rata-rata polisi-
masyarakat secara nasional adalah 1: 575 (Kompas, Maret, 2014). Kondisi ini
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun personil polisi harusnya ditambah sejalan
dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk. Idealnya untuk kota besar adalah 1 :
300, sedangkan untuk kota seperti Salatiga ratio Polisi - masyarakat berkisar 1 : 400.
Berdasarkan kriteria ideal rasio polisi dan masyarakat, maka pada aspek ini personil
polisi harus ditambah, apalagi jika ada rencana untuk melakukan pemekaran wilayah
(baca: penyesuaian).
4.4. Kondisi Kependudukan Kota Salatiga
A. Penduduk dan Dinamika Wilayah
Kebutuhan dasar manusia adalah ruang atau tempat tinggal selain kebutuhan
akan sandang dan pangan. Sekalipun dalam pengertian yang paling sederhana dan
dalam waktu yang terbatas, setiap manusia pada berbagai tingkat peradaban apapun
dan dimanapun pasti membutuhkan ruang untuk bermukim dan melaksanakan
aktivitasnya.
Dinamika suatu kota senantiasa selalu mengalami perubahan, seperti halnya
Salatiga sebagai suatu wilayah administratif dari waktu ke waktu juga mengalami
perubahan. Secara umum terjadinya perubahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari
adanya dua faktor utama sebagai diterminan sifat dinamika kehidupan suatu wilayah,
yaitu aspek demografis (kependudukan) di satu sisi dan aspek dari aktivitas penduduk
itu sendiri di sisi yang lain.
51
SPACE AND DEMOGRAPHICC I T Y
ASPECT of POPULATIONEcon. Soc TechCul.In‐Out Migrat.Birth‐Death
POPULATIONPol.
NumberDemand for Space
Activities
Urban DevelopmentHorizontal Movement Vertikal Movement
Urban Sprowl
Centrifugal
Developers Initiative
AccessibilityPublic Service
Centripetal
Landoners Characteristic
Regulatory Measures
Physical Characteristic
Leap-frog DevRibbon Dev.Concentric Dev
Loss of Agricultural Land
Rural Sectors
Unmanaged GrowthUrban Sectors
Rural-Oriented TechniquesUrban-Oriented Techniques Financ. M. Compr.M.Police M.
Bagan: Penduduk dan Kebutuhan Ruang
Pertambahan penduduk yang terus menerus dan cenderung meningkat, akan
membawa konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan suatu wilayah, yaitu adanya
tuntutan permintaan akan space yang meningkat pula untuk dimanfaatkan sebagai
tempat hunian maupun aktifitas dari kegiatan penduduk lainnya seperti politik,
ekonomi, social, budaya dan teknik. Sebagian besar kota-kota di Indonesia, demikian
halnya kota Salatiga mengalami problematik yang serius dalam memenuhi kebutuhan
akan ruang yang semakin meningkat, sementara itu ketersediaan ruang terbuka yang
masih memungkinkan untuk mengakomodasikan aktivitas mereka semakin terbatas
dan semakin berkurang, jikapun masih ada ruang-ruang yang tersedia merupakan
bagian yang memang tidak layak atau diperuntukan sebagai hunian maupun
aktivitasnya. Migrasi penduduk ke kota Salatiga dan bertambahnya penduduk secara
alami (natural increase) yang terus berlangsung dari tahun ke tahun dan cenderung
semakin meningkat, menyebabkan terjadinya proses densification penduduk,
permukiman maupun bangunan non permukiman di kota yang berjalan tidak
terkendali dan cenderung terjadinya pencaplokan wilayah yang peruntukannya tidak
sesuai (urban sprowl). Untuk mengantisipasi terjadinya proses dentifikasi tersebut
maka perlu adanya strategi perencanaan penataan spasial yang baik dan kongkrit .
52
Tidak adanya perencanaan penataan ruang dan atau implementasi hasil
perencanaan penataan ruang yang baik menjadi salah satu penyebab terjadinya
deteriorisasi lingkungan kekotaan (urban environmental deterioration). Hal ini bisa
diidentifikasi dari semakin meningkatnya luasan permukiman kumuh yang ada pada
suatu wilayah. Keberadaan permukiman kumuh ini mempunyai beberapa aspek negatif
terhadap lingkungan, baik aspek spasial, aspek lingkungan biotik, lingkungan abiotik,
lingkungan social, lingkungan ekonomi dan lingkungan budaya. Tentunya untuk
mengatasi hal ini perlu adanya upaya yang terpadu baik secara vertikal maupun
horizontal. Kendala yang dihadapi suatu kota terkait proses dentifikasi adalah
keterbatasan ruang untuk bisa menanmpung penduduk dan aktifitasnya, sehingga
secara alami akan terjadi proses sprowling secara horizontal.
Untuk mengatasi persoalan sprowling, ada banyak alternatif yang bisa
dilakukan (lihat bagan). Namun secara sederhana persoalan itu dapat diatasi dari dua
sisi, yakni pemekaran secara fisik (menambah wilayah) dan atau pengendalian
penduduk.
B. Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga
Aspek kependudukan dengan mengacu pada perspektif demografis, dimana
jumlah penduduk suatu wilayah khususnya di kota Salatiga cenderung memiliki
tingkat pertumbuhan jumlah penduduk yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan tingkat pertumbuhan penduduk provinsi bahkan tingkat nasional (Laju
pertumbuhan penduduk provinsi Jawa Tengah sebesar 0,37 persen, dan nasional
(Indonesia) sebesar 1,49 persen, sedang Kota Salatiga pada tahun 2010 sebesar 1,09
dan meningkat di tahun 2013 sebesar 2,71 persen).
Jika dilihat dari trend laju pertumbuhan penduduk, kota Salatiga mengalami
pertumbuhan penduduk yang cenderung semakin meningkat dengan angka laju
pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi dari nasional bahkan tingkat provinsi Jawa
Tengah. Determinan pertambahan penduduk suatu wilayah tidak hanya disebabkan
oleh natural growth saja, tetapi juga oleh aliran penduduk atau migrasi dari bagian
wilayah lain yang masuk ke suatu wilayah (inmigration).
Bertambah dan meningkatnya kegiatan penduduk pada suatu wilayah yang
dipicu oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri maupun
meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat menyebabkan semakin meningkatnya
53
volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Hal ini akan memberi konsekuensi
keruangan yang sangat serius yaitu meningkatnya permintaan akan ruang untuk
mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan
aktifitas-aktifitas tersebut. Persoalan yang sering dihadapi oleh pemerintah kota adalah
terbatasnya persediaan ruang yang bisa dimanfaatkan untuk mengakomodasikan
prasarana-prasarana kegiatan baru. Sebagian kecil prasarana fisik ini dapat dibangun
di bagian dalam kota atau bahkan di pusat kota dengan memanfaatkan ruang-ruang
terbuka yang masih tersisa ataupun melakukan rehabilitasi fungsi dari bangunan-
bangunan yang telah ada dengan cara melakukan intensifikasi fungsi maupun
membangun bangunan secara vertikal. Namun hal ini ada batasnya, oleh karena itu
tidak dapat dihindari sebagian besar kebutuhan akan ruang yang tidak dapat dibangun
di bagian dalam kota baik oleh karena kelangkaan ruang maupun karena semakin
tingginya harga tanah yang tidak terjangkau, maka pengembangan akan dialihkan pada
wilayah-wilayah pinggiran kota yang ketersediaan lahan terbukanya relatif masih
memungkinkan untuk dibangun.
Konsekuensi dari semakin meningkatnya permintaan akan ruang, yang dipicu
oleh tuntutan meningkatnya permukiman maupun tuntutan meningkatnya bangunan-
bangunan untuk mengakomodasikan kegiatan akan mengakibatkan munculnya dua
konskuensi spasial yang penting diperhatikan dalam pembuatan kebijakan untuk
mencermati dinamika perkembangan pembangunan wilayah. Konsekuensi spasial
yang penting untuk dicermati adalah konsekuensi keruangan secara fisikal
(perkembangan spasial secara vertical dan horizontal) dan konsekuensi keruangan
yuridis-administratif.
Konsekuensi spasial secara fisikal di kota Salatiga maupun kota-kota lain di
Indonesia cenderung proses perkembangan spasial terjadi secara horizontal, yaitu
suatu proses penambahan ruang yang terjadi secara mendatar dengan cara menempati
ruang-ruang yang masih kosong baik di daerah-daerah bagian dalam kota maupun di
daerah pinggiran kota. Konsekuensi perkembangan spasial di bagian dalam kota
berakibat pada semakin padatnya kota yang disebabkan karena bertambahnya
bangunan-bangunan, penduduk dan aktivitasnya. Sebagai contoh Kota Salatiga,
tingkat kepadatan penduduk tertinggi ada di wilayah-wilayah perkotaan seperti
Kelurahan Salatiga, Kelurahan Gendongan, Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan
Kalicacing yang memiliki tingkat kepadatan penduduk di atas 6000/km2. Sedangkan
54
kelurahan-kelurahan lainnya seperti Sidorejo Lor, Ledok, Tegalrejo, dan Mangunsari
akan berproses menjadi kelurahan yang ruang-nya semakin padat sebagai akibat dari
proses perkembangan spasial secara horizontal. Jika melihat dari tingginya
pertumbuhan penduduk Kota Salatiga, maka proses perkembangan spasial akan
mengarah pada bagian-bagian yang masih kosong, dan hal ini akan terjadi di bagian
sub urban dan periphery (pinggiran) kota.
Konsekuensi perkembangan spasial secara yuridis-administratif terjadi sebagai
akibat terjadinya perubahan-perubahan batas fisikal marfologi kekotaan. Perubahan ini
terjadi karena dipengaruhi oleh dua diterminan dinamika suatu wilayah, yaitu jumlah
penduduk yang semakin bertambah dan jumlah, volume, serta frekuensi kegiatan dari
penduduk itu sendiri juga mengalami perubahan. Salatiga pernah melakukan
perubahan spasial secara yuridis-administratif dalam hal ini dengan wilayah-wilayah
kabupaten Semarang. Mengingat perkembangan spasial Kota Salatiga yang begitu
pesat, maka perlu dipikirkan kembali untuk melakukan perubahan batas fisik
marfologis dengan wilayah administratif lainnya, tentunya perlu ada persetujuan
antara pemerintah Kota Salatiga dengan Pemerintah di luar kota Salatiga.
C. Analisis Situasi Kependudukan Kota Salatiga
1) Struktur Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Struktur penduduk menurut umur dan jenis kelamin secara grafik dapat
digambarkan dalam bentuk piramida penduduk. Piramida penduduk adalah cara
penyajian lain dari struktur umur dan jenis kelamin penduduk. Dasar piramida
penduduk menunjukkan jumlah penduduk, dan badan piramida penduduk bagian kiri
dan kanan menunjukkan banyaknya penduduk laki-laki dan penduduk perempuan
menurut umur.
Dengan melihat proporsi penduduk laki-laki dan perempuan dalam tiap
kelompok umur pada piramida tersebut, dapat diperoleh gambaran mengenai sejarah
perkembangan penduduk masa lalu dan perkembangan penduduk masa yang akan
datang. Struktur umur penduduk saat ini merupakan hasil kelahiran, kematian dan
migrasi masa lalu. Sebaliknya, struktur umur penduduk saat ini akan menentukan
perkembangan penduduk di masa yang akan datang. Berikut adalah piramida
penduduk Kota Salatiga tahun 2010 (Sensus Penduduk, 2010) dan tahun 2013.
55
Bagan: Piramida Penduduk Kota Salatiga Tahuin 2010 dan 2013
Dari dua piramida penduduk kota Salatiga tahun 2010 dan 2013 menunjukkan
bahwa telah terjadi perubahan struktur umur penduduk kota Salatiga yang lebih
didominasi penduduk usia dewasa (15 – 60 tahun) dengan penduduk usia muda (0 -14
tahun) yang lebih kecil. Selama kurun waktu 3 tahun bentuk piramida penduduk kota
Salatiga semakin cembung ditengah dan semakin sempit di bagian bawah yang berarti
jumlah penduduk muda semakin turun, sedangkan jumlah penduduk dewasa semakin
meningkat. Demikian juga bagian atas piramida yang sedikit melebar menunjukkan
semakin banyaknya jumlah penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas). Dari piramida
penduduk ini dapat digunakan untuk memprediksi besarnya ratio ketergantungan dan
juga angka harapan hidup. Atas dasar piramida di atas dapat dinyatakan bahwa Kota
Salatiga memiliki ratio ketergantungan yang semakin kecil (Bonus Demografi) dan
angka harapan hidup yang semakin meningkat.
Tabel 4.4
Struktur Penduduk Kota Salati
Umur Laki-Laki Perempuan Total 0 – 4 7.262 6.677 13.939 5 – 9 6.957 6.769 13.726 10 – 14 6.916 7.015 13.931 15 – 19 7.465 7.552 15.017 20 – 24 8.299 8.399 16.698 25 – 29 7.646 7.971 15.617 30 – 34 6.995 7.167 14.162 35 – 39 6.686 6.815 13.501 40 – 44 6.044 6.631 12.675 45 – 49 5.676 6.369 12.045 50 – 54 5.429 5.854 11.283 55 – 59 4.372 4.445 8.817
56
60 – 64 2.614 2.713 5.327 65 – 69 1.686 2.065 3.751 70 – 74 1.279 1.716 2.995 75 + 2.017 3.093 5.110 Jumlah 87.343 91.251 178.594
Jumlah Total Penduduk
2012 173.874 2011 172.485 2010 171.327 2009 170.024 2008 168.981
Sumber: Statistik Daerah Kota Salatiga 2014, Diolah
Karakteristik penduduk menurut umur dan jenis kelamin Kota Salatiga tahun
2013 merupakan sebuah gambaran stuktur penduduk yang sangat menarik untuk
dilakukan kajian, karena dari karakteristik tersebut dapat diketahui jumlah penduduk
berdasar pengelompokan umur dan jenis kelamin, dan yang menarik pada perbedaan
jumlah penduduk berdasar kelompok umur di Kota Salatiga jumlah terbesar pada
kelompok umur dewasa/produktif (15 – 59 tahun) , dan kelompok umur muda/belum
produktif (0 – 14 tahun) dan tidak produktif (65 tahun ke atas) relatif rendah. Struktur
penduduk Kota Salatiga ditunjukkan pada tabel dan piramida di atas.
2) Persebaran dan Kepadatan Penduduk
Persebaran penduduk atau disebut juga distribusi penduduk menurut tempat
tinggal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu persebaran penduduk secara geografis
dan persebaran penduduk secara administratif, disamping itu ada persebaran penduduk
menurut klasifikasi tempat tinggal yakni desa dan kota. Secara geografis, penduduk
Salatiga tersebar di wilayah provinsi Jawa Tengah dan terletak diantara dua kota pusat
pengembangan yaitu Kota Semarang dan Surakarta. Secara administratif (dan politis),
penduduk Salatiga tersebar di 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Argomulyo, Kecamatan
Tingkir, Kecamatan Sidomukti, dan Kecamatan Sidorejo.
57
0,37%Jawa Tengah 2010
1,49%Indonesia 2010
5,64%
1,49%Indonesia 2050*
Papua 2010
+5,27%
Variasi Pertumbuhan Penduduk
Salatiga 2010 : 1.09%
Salatiga Ke-3 terbesar setelahSemarang & Jepara
Bagan: Posisi Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga Di antara Pertumbuhan Penduduk
Provinsi dan Nasional
Jika dilihat dari distribusi penduduk di 4 kecamatan yang ada di Kota Salatiga,
menunjukkan tingkat ketersebaran/distribusi yang relative cukup merata. Namun jika
dilihat dari konsentrasi jumlah penduduk maka kecamatan Sidorejo menempati urutan
pertama dengan jumlah penduduk tertinggi, sedangkan untuk ketiga kecamatan
lainnya jumlah penduduknya relative hampir seimbang (lihat tabel 3.3). Namun jika
dilihat dari indicator tingkat kepadatannya maka kecamatan Tingkir merupakan
kecamatan yang paling tinggi kepadatannya, sedangkan kecamatan Sidorejo
menduduki peringkat ke-3 setelah kecamatan Sidomukti, dan kecamatan Argomulyo
merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk paling rendah.
58
Tabel 4.5 Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2009 - 2013
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kepadatan penduduk di masing-
masing kecamatan yang ada di kota Salatiga memiliki trend yang semakin meningkat.
Hal ini dimungkinkan karena perkembangan penduduk baik secara natural growth
maupun migrasi dari tahun- ke tahun di Salatiga selalu mengalami peningkatan,
sedangkan luasan wilayah cenderung tetap, sehingga tingkat kepadatan akan selalu
meningkat. Jika dilihat dari data kepadatan penduduk tersebut, menunjukkan bahwa
tingkat pembangunan kota Salatiga di 4 kecamatan tersebut menunjukkan tingkat
intensifikasi yang sama.
59
Tabel 4.6. Jumlah Dan Tingkat Kepadatan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2009-2013
No Kelurahan
2009 2010 2011 2012 2013
Jml Penddk
Kepadatan per Km²
Jml Penddk
Kepadatan per Km²
Jml Penddk
Kepadatan per Km²
Jml Penddk
Kepadatan per Km²
Jml Penddk
Kepadatan per Km²
A Kec. Sidorejo 49.683 3,058 50.024 3,079 52.357 3,223 52.688 3,243 54.074 3,328
1 Blotongan 10.367 2,446 10.599 2,501 11.642 2,747 11.822 2,790 11.592 2,735
2 Sidorejo Lor 12.622 4,647 12.697 4,675 14.407 5,304 14.440 5,317 14.914 5,491
3 Salatiga 16.385 8,111 16.298 8, 068 `16.111 7,976 16.004 7,923 17.130 8,480
4 Bugel 2.823 .959 2.844 966 2.824 959 2.844 966 2.886 980
4 Kauman Kidul 3.777 1,929 3.864 1,973 3.643 1,861 3.778 1,930 3.639 1,858
5 Pulutan 3.709 1,564 3.722 1,570 3.730 1,573 3.800 1,603 3.913 1,650
B Kec. Tingkir 41.952 3,977 39.978 3,987 40.562 3,811 41.150 3,830 41.723 3,955
1 Kutowinangun 20.518 6,984 19.187 6,967 19.447 6,645 19.707 6,482 19.961 6.794
2 Gendongan 5.373 7,798 4.961 7,676 5.022 7,010 5.083 6,961 5.142 7.463
3 Sidorejo Kidul 5.239 1,888 5.417 1,952 5.216 1,984 5.306 2,008 5.398 1,945
4 Kalibening 1.642 1,649 1.762 1,648 1.790 1,784 1.817 1,767 1.845 1.825
5 Tingkir Lor 4.758 2,684 4.209 2,698 4.273 2,405 4.338 2,418 4.401 2,428
6 TingkirTengah 4.422 3,209 4.733 3,233 4.814 3,509 4.897 3,539 4.976 3,611
C Kec. Argomulyo 41.816 2,257 40.212 2,302 40.853 2,210 41.500 2,244 42.133 2,274
1 Noborejo 5.068 1,526 5.074 1,527 5.158 1,553 5.243 1,578 5.326 1,603
2 Ledok 10.578 1,682 9.486 5,065 9.630 5,141 9.774 5,218 9.915 5,294
3 Tegalrejo 10.351 5,494 9.915 5,263 10.079 5,349 10.246 5,438 10.409 5,525
4 Kumpulrejo 7.236 3,864 6.581 1,047 6.682 1,062 6.785 1,079 6.887 1,095
5 Randuacir 4.580 1,213 4.904 1,299 4.988 1,321 5.071 1,343 5.153 1,365
6 Cebongan 4.001 2,897 4.252 3,079 4.316 3,125 4.381 3,172 4.443 3,217
D Kec. Sidomukti 36.573 3,912 36.611 3,195 38.975 3,401 39.208 3,422 40.664 3,549
1 Kecandran 4.959 1,242 4.958 1,242 5.150 1,290 5.245 1,314 5.319 1,322
2 Dukuh 9.786 2,594 10.001 2,651 11.736 3,111 11.892 3,153 12.058 3,194
3 Mangunsari 14.968 5,147 14.894 5,122 15.678 5,391 15.770 5,423 16.380 5,633
4 Kalicacing 6.860 8,717 6.758 8,587 6.411 8,146 6.301 8,006 6.907 8,776
Jumlah Total 170.024 2,994 171,327 3,017 172.485 3,038 173.874 3,062 178.594 3,145
Sumber: Salatiga Dalam Angka Diolah , 2014
60
Penduduk Kota Salatiga relatif terdistribusi secara merata di seluruh wilayah.
Umumnya penduduk banyak terkonsentrasi di daerah pusat kota dan sub urban
dibandingkan di wilayah peripheri. Secara rata-rata, kepadatan penduduk kota salatiga
pada tahun 2013 tercatat sebesar 3,145 jiwa/Km2 (kategori tingkat kepadatan sedang).
Untuk mengetahui tingkat konsentrasi penduduk di Kota Salatiga dapat digunakan
dengan perhitungan tingkat kepadatan penduduk aritmatik (KPA), yaitu jumlah
penduduk yang menempati 1 Km² atau dengan penghitungan jumlah penduduk dibagi
luas wilayah (Km2). Untuk selengkapnya dapat dilihat pada tabel di atas. Dari tabel
tersebut menunjukkan bahwa ada delapan kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang sangat tinggi, yaitu Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Salatiga
(Kecamatan Sidorejo), Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan Gendongan
(Kecamatan Tingkir), Kelurahan Ledok dan Kelurahan Tegalrejo (Kecamatan
Argomulyo) serta Kelurahan Mangunsari dan Kelurahan Kalicacing (Kecamatan
Sidomukti)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa penduduk Kota Salatiga pada tahun
2009 berjumlah 170.024 jiwa dan pada umumnya mengalami peningkatan tiap tahun,
akan tetapi pada tahun 2013 mencapai angka 178.594 jiwa. Artinya ada lonjakan
jumlah penduduk sebesar 4720 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar
2.71 %. Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh angka kelahiran dan
kematian serta migrasi. Sedangkan kelurahan-kelurahan yang ada di Salatiga, pada
umumnya semua mengalami kenaikan, hanya ada enam kelurahan yang mengalami
penurunan jumlah penduduk, empat kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah
penduduk sedang dan dua kelurahan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk yang
tinggi.
Kelurahan yang mengalami penurunan jumlah penduduk adalah Kelurahan
Kauman Kidul (Kecamatan Sidorejo), Kelurahan Kutowinangun, Kelurahan
Gendongan dan Kelurahan Tingkir Lor (Kecamatan Tingkir), Kelurahan Ledok dan
Kelurahan Kumpulrejo (Kecamatan Argomulyo). Kelurahan yang mengalami
kenaikan jumlah penduduk sedang adalah Kelurahan Sidorejo lor (Kecamatan
Sidorejo), Kelurahan Tingkir Tengah (Kecamatan Tingkir), Kelurahan Randuacir dan
Kelurahan Cebongan (Kecamatan Argomulyo). Sedangkan kelurahan yang mengalami
kenaikan jumlah penduduk yang tinggi adalah Kelurahan Dukuh dan Kelurahan
Mangunsari (Kecamatan Sidomukti).
61
Jumlah penduduk Kota Salatiga Tahun 2013 yaitu 178.594 jiwa dengan luas
wilayah 5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dengan Kepadatan per Km² mencapai 3.145.
Jumlah penduduk tertinggi di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidorejo sebesar
54.074 jiwa dengan kepadatan per Km² 3.328 dengan luas Kecamatan 16,247 Km²,
kemudian Kecamatan Argomulyo 42.133 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.274 per
Km² dengan luas 18,526 Km² , Kecamatan Tingkir sebesar 41.723 jiwa dengan
kepadatan penduduk per Km² sebesar 3.355 jiwa dengan luas sebesar 10,549 Km², dan
jumlah penduduk terendah di Kota Salatiga yaitu di Kecamatan Sidomukti yaitu
sebesar 40.664 jiwa dengan kepadatan 3.549 jiwa per Km² dengan luas 11.459 Km².
Sedangkan jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Sidorejo yaitu di
Kelurahan Salatiga yaitu sebesar 17.130 jiwa dengan kepadatan 8.480 dengan luas
2,020 Km² dan terendah terdapat di Kelurahan Bugel yaitu sebesar 2.886 jiwa dengan
kepadatan 980 Km² dengan luas 2,944 Km². Kemudian di Kecamatan Argomulyo
jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kelurahan Tegalrejo yaitu sebesar 10.409
dengan kepadatan penduduk 5.525 per Km² dengan luas 1,884 Km² dan jumlah
penduduk terendah di Kelurahan Cebongan sebesar 4.443 jiwa dengan kepadatan
penduduk 3.217 dan luas 1,381 Km². Kecamatan Tingkir jumlah penduduk tertinggi di
Kelurahan Kutowinangun sebesar 19.961 jiwa dengan kepadatan penduduk 6,794 per
Km² dan luas 2,938 Km² dan jumlah penduduk terendah di Kelurahan Kalibening
sebesar 1.845 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.852 dan luas 9,96 Km². Jumlah
penduduk tertinggi di Kecamatan Sidomukti yaitu di Kelurahan Mangunsari sebesar
16.380 jiwa dengan luas 2.908 Km² dan kepadatan penduduk 5,633 sedangkan jumlah
penduduk terendah di Kelurahan Kecandran sebesar 5.319 jiwa dengan luas 3,992
Km² dan kepadatan penduduk 1,322.
Apabila menggunakan patokan angka kepadatan penduduk, yaitu kategori
kepadatan Sangat Tinggi (> 6 004/ km2), kategori kepadatan tinggi (4.003 – 6.004/
Km2), Kategori kepadatan Sedang (2.002 – 4.002 / Km2) dan kategori Kepadatan
rendah (< 2.002 / km2), maka hanya ada lima wilayah kelurahan yang dikategorikan
sangat tinggi. Pertama yaitu Kelurahan Kalicacing dengan angka kepadatan mencapai
8.776, hal ini terjadi karena lokasi tersebut memiliki wilayah yang tidak luas, akan
tetapi penduduk yang tinggal di lokasi tersebut sangatlah banyak atau terlalu banyak
(overcrowded), sehingga menjadikan angka kepadatannya sangat tinggi. Lokasi
Kelurahan Kalicacing merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota yaitu Salatiga,
62
sehingga akses jalan, perekonomian, toko, transportasi sangat mendudukung untuk
ditinggali.
Kedua adalah Kelurahan Salatiga dengan angka kepadatan penduduk mencapai
8.480 jiwa/ Km2 dikatakan sangat tinggi karena lokasi ini merupakan pusat kota, jadi
banyaknya toko, akses jalan, fasilitas publik menjadi magnet bagi penduduk untuk
tinggal di lokasi tersebut. Ketiga adalah Kelurahan Kutowinangun dan Kelurahan
Gendongan, kedua kelurahan ini merupakan lokasi yang dekat dengan pusat kota
Salatiga, dekatnya akses untuk ke fasilitas publik, akses jalan, dekat dengan pusat
perekonomian menjadikan kedua kelurahan ini banyak ditinggali.
Selain itu ada dua kelurahan yang jumlah penduduknya meningkat drastis,
yaitu Kelurahan Dukuh dan Mangunsari (Kecamatan Sidomukti), hal ini disebabkan
adanya JB atau Jalan Baru (Jalan Lingkar Selatan) menjadikan daerah di sekeliling
jalan tersebut menjadi berkembang. Fakta yang terjadi adalah semenjak Jalan Baru
tersebut selesai dibuat maka banyak pembangunan dilakukan, seperti pertokoan, ruko,
rumah penduduk, perumahan, dan sekolah-sekolah, serta harga tanah atau rumah di
pusat kota yaitu Salatiga sudah terlampau mahal menjadikan masyarakat bergeser
untuk mencari lokasi yang harga tanah atau rumah masih murah dan akses jalan atau
transportasi mudah, hal inilah yang menjadikan jumlah penduduk di dua kelurahan
tersebut meningkat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar Peta Kepadatan
Penduduk dan Peta Pola Penggunaan Ruang Kota Salatiga berikut ini.
Trend perkembangan penduduk Kota Salatiga yang cenderung meningkat dari
tahun ke tahun baik dari aspek kuantitas maupus aktifitasnya, berimplikasi terhadap
permintaan akan ruang yang semakin meningkat pula, hal ini tercermin pada distribusi
tingkat kepadatan yang semakin tinggi pada berbagai wilayah Kota Salatiga.
63
Gambar
Peta Kepadatan Penduduk Kota Salatiga 2014
64
Gambar
Peta Pola Ruang Kota Salatiga Tahun 2014
65
3) Mobilitas Penduduk
Dalam pertumbuhan penduduk salah satu komponen yang penting adalah
mobilitas penduduk (migrasi). Banyaknya masyarakat atau penduduk yang melakukan
mobilitas atau migrasi karena berbagai alasan, seperti untuk memperoleh pendidikan
yang lebih baik atau pekerjaan yang lebih baik atau karena mengikuti anggota
keluarga lain yang berpindah – suami misalnya.
Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu
tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas
politik/negara (migrasi internasional). Atau sederhananya migrasi adalah perpindahan
yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Ada dua
dimensi penting dalam penalaahan migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan
dimensi waktu. Digunakan batasan waktu, misal berapa tahun untuk migran, jika dia
tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang baru itu paling sedikit
6 bulan lamanya. Atau dari dimensi ruang atau daerah, adalah penduduk tersebut
pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain dalam jangka waktu tertentu.
Mobilitas penduduk (migrasi) ada yang bersifat permanen dan tidak
permanen.Dua jenis mobilitas penduduk yang tidak permanen ialah migrasi sirkuler
dan migrasi ulang-alik. Migrasi sirkuler atau migrasi musiman, yakni migrasi yang
terjadi jika seseorang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat
tujuan. Sedangkan migrasi ulang-alik (commuter) yakni orang yang setiap hari
meninggalkan tempat tinggalnya pergi ke kota lain untuk bekerja atau berdagang dan
sebagainya tetapi pulang pada sore atau malam harinya, Sedangkan mobilitas
penduduk permanen diantaranya migrasi seumur hidup, migrasi risen, dan migrasi
total. Migrasi seumur hidup (lift time migration) artinya bahwa seseorang dikatakan
sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempat tinggal waktu
lahir.
Perilaku mobilitas penduduk Kota Salatiga selalu mengalami perubahan dari
tahun ke tahun. Semakin padatnya kota Salatiga tidak terlepas dari aspek perilaku
mobilitas penduduk, hal ini jika diamati dari perkembangan mobilitas penduduk
Salatiga mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk yang datang ke Salatiga selalu menunjukkan angka yang lebih besar dari
pada penduduk yang pergi.
66
Tabel 4.7. Mobilitas Penduduk Kota Salatiga tahun 2013
No Aspek TAHUN 2009 2010 2011 2012
1 Total Jumlah Penduduk Kota Salatiga
170.024 171.327 172.485 173.874
2 Jumlah Penduduk Datang Kota Salatiga
4469 5113 5577 4398
3 Jumlah Penduduk Pergi Kota Salatiga
3886 4627 3367 3477
4 IMIGRASI 26,28 29,84 32,33 25,29 5 EMIGRASI 22,85 27,006 19,52 19,99
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2013
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk datang secara
signifikan lebih besar dari pada jumlah penduduk pergi. Dalam konteks perkembangan
penduduk maka sumbangan perilaku mobilitas ini secara signifikan berpengaruh
cukup besar terhadap terjadinya pertumbuhan penduduk yang ada di Kota Salatiga.
Berdasarkan tabel tersebut sumbangan terbesar terhadap perkembangan dan kepadatan
penduduk di Salatiga terjadi pada tahun 2011, dimana ada penambahan penduduk
sebesar 2210 jiwa dan pada tahun 2012 mengalami penurunan walaupun secara
signifikan masih cukup tinggi yakni sebasar 921 jiwa. Yang perlu dicermati terkait
dengan perilaku mobilitas ini adalah keingnan menetap atau tidaknya migran di daerah
tujuan (Salatiga). Jika mereka tidak ada keinginan menetap maka disebut sebagai
migrasi sirkuler, artinya mereka secara resmi atau administrasi masih tercatat dan
terikat dengan daerah asal dan biasanya ini terjadi secara musiman. Kota Salatiga
dapat dikatakan sebagai center/pusat yang memiliki daya tarik bagi kota-kota atau
daerah-daerah disekitarnya sebagai satelit, sehingga alasan ekonomi menjadi faktor
utama terjadinya migrasi sirkuler. Perilaku mobilitas ini nampak nyata pada musim-
musim tertentu seperti pada hari-hari besar dimana banyak terjadi migrasi sirkuler
(“mboro”) atau musim tanam di perdesaan dan musim kemarau panjang.
Berbeda dengan perilaku mobilitas penduduk permanen, dimana dari tabel di
atas menunjukkan bahwa jumlah migrant masuk di Salatiga cukup tinggi dari tahun ke
tahun. Hal ini menggambarkan bahwa kota Salatiga mempunyai kelebihan-kelebihan
tertentu sehingga menjadi magnet bagi penduduk daerah lain untuk dimasuki sebagai
tempat tinggal yang baru, Artinya Kota Salatiga secara social-ekonomi-politik
67
dipandang oleh migran memiliki kelebihan bila dibandingkan daerah sekitar lannya
sehingga mendorong mereka untuk memasukinya.
Melihat kondisi mobilitas yang terjadi di Salatiga, maka perlu adanya
pengarahan mobilitas penduduk secara optimal, dengan mendasarkan pada
keseimbangan jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung
lingkungan.
4) Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan parameter yang secara
internasional digunakan untuk mengukur tingkat kualitas manusia. Besarnya nilai
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dapat menjadi gambaran tentang capaian tingkat
kesejahteraan masyarakat ditinjau dari tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli
masyarakat. IPM Kota Salatiga dari tahun 2009-2012 cenderung mengalami
peningkatan. IPM Kota Salatiga dari tahun 2009-2012 memiliki nilai lebih tinggi
daripada IPM Jawa Tengah tahun 2009-2012. Berikut perkembangan nilai IPM Kota
Salatiga dibandingkan dengan nilai IPM Jawa Tengah.
Tabel 4.8. Perbandingan IPM Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
NO KABUPATEN/KOTA 2009 2010 2011 2012 1 Kota Semarang 76,90 77,11 77,42 77,98 2 Kota Salatiga 76,11 76,53 76,83 77,13 3 Kab.Kendal 70,07 70,41 76,83 71,48 4 Kab.Semarang 73,66 74,41 74,45 74,98 5 Kab.Demak 73,66 74,10 74,45 73,52 6 Kab.Grobogan 70,60 70,63 71,27 71,77 7 Jawa Tengah 71,25 72,49 72,94 73,13
Sumber: TKPK Jawa Tengah, 2014
Angka IPM Kota Salatiga pada tahun 2012 sebesar 77,13 meningkat 0,39
persen dibanding tahun 2011 yang sebesar 76,83 persen. Lambatnya kenaikan IPM ini
dapat dipahami, mengingat dampak dari investasi di sektor kesehatan dan pendidikan
khususnya terhadap peningkatan indikator penyusun IPM biasanya baru terlihat secara
nyata dalam jangka panjang.
68
4.5. Potensi Daerah
A. Ratio Pegawai Negeri Terhadap Penduduk
Pada tahun 2013 jumlah karyawan di Salatiga baik PNS, karyawan tetap
maupun kontrak di kota Salatiga berjumlah 5.751 orang, dimana sekitar 80,09 persen
adalah pegawai tetap dan 19,91 persen. Pada tahun 2013 jumlah penduduk Salatiga
sebesar 178.594 jiwa, dengan demikian maka ratio PNS terhadap penduduk adalah
sebesar 1: 31.054, artinya setiap 1 pegawai negeri sipil melayani sebanyak 31.054
penduduk
Tabel 4.9. Jumlah PNS Di Salatiga Tahun 2013
No. PNS Jumlah Persentase Ratio PNS - Penduduk
1 Pegawai Tetap 4606 80.09
2 Pegawai Kontrak 1145 19.91
Total PNS 5751 100.00
Rasio Jumlah PNS Terhadap Penduduk 31.0544
Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah
B. Rasio Fasilitas Kesehatan Terhadap Penduduk
Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai sangat diperlukan dalam upaya
peningkatan status kesehatan dan gizi masyarakat. Ketersediaan akan fasilitas ini
tentunya tidak hanya bisa dicukupi dari pemerintah saja tetapi juga dari dukungan
swasta. Berikut adalah fasilitas kesehatan di Kota Salatiga tahun 2013
Tabel 4.10 Rasio Fasilitas Kesehatan Per 10.000 Penduduk
No. Fasilitas Kesehatan Jumlah Persentase Rasio per 10.000 penduduk
1 Rumah Sakit 6 7.32
2 Puskesmas 6 7.32
3 PUSTU 23 28.05
4 RS. Bersalin 1 1.22
5 Poliklinik 16 19.51
6 Apotek 30 36.58
Total Fasilitas Kesehatan 82 100.00
Rasio Fasilitas Kesehatan per 10.000 penduduk 121.95
Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah
69
Dari tabel nampak fasilitas kesehatan yang ada di Kota Salatiga cukup
beragam yakni meliputi Rumah Sakit, Puskesmas, PUSTU (Puskesmas Pembantu), RS
Bersalin, Poliklinik, dan Apotek. Jumlah keseluruhan fasilitas kesehatan ada 82,
dengan demikian besarnya rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk adalah 1:
121.95, artinya setiap 1 fasilitas kesehatan melayani sebanyak 121.95 atau 122
penduduk.
Kota Salatiga dapat dikatakan memiliki fasilitas kesehatan yang cukup banyak
bila dibanding dengan wilayah sekitar. Hal ini dapat dilihat dari besaran jumlah
pemanfaat fasilitas kesehatan yang ada di salah satu Rumah Sakit di Kota Salatiga.
Tabel 4.11. Data Jumlah dan Asal Pasien Di BPRSUD Kota Salatiga Tahun 2010 – 2014
Tahun Kota
Salatiga Luar Kota
Salatiga Jumlah Keterangan 2010 34,518 30,091 64,609 2011 28,103 26,169 54,272
2012 Masa transisi dari sistem manual ke komputerisasi
2013 27,864 32,506 60,370 2014 30,205 38,046 68,251
Sumber : BPRSUD Kota Salatiga, 2015
Dari tabel nampak bahwa jumlah pasien berasal dari luar Kota Salatiga yang
memanfaatkan Rumah Sakit di BPRSUD Salatiga dari tahun ke tahun menunjukkan
peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan sejak tahun 2013 – 2014 jumlah pasien
dari luar Salatiga yang memanfaatkan fasilitas kesehatan di BPRSUD lebih banyak
dari pada penduduk Salatiga itu sendiri.
C. Rasio Tenaga Medis Per 10.000 Penduduk
Pada tahun 2013, Kota Salatiga memiliki tenaga medis (dokter umum, dokter
spesialis, dokter gigi, dan bidan) berjumlah 408. Dari jumlah tersebut persentase
terbesar adalah dokter umum (42.65 persen). Perkembangan tenaga medis di Salatiga
ini sejalan dengan perkembangan fasilitas kesehatan yang ada.
Jika dilihat dari besarnya rasio tenaga medis per 10.000 penduduk, maka secara
keseluruhan rasionya adalah 1:25, artinya setiap satu tenaga medis mampu
menjangkau sekitar 25 orang. Namun jika dilihat dari variasi tenaga medis maka rasio
terbesar adalah pada tenaga medis dokter spesialis (1:118) dan dokter gigi (1:233).
70
Tabel 4.10 Rasio Tenaga Medis Per 10.000 Penduduk
No. Tenaga Medis Jumlah Persentase Rasio per 10.000 penduduk
1 Dokter Umum 174 42.65 57.47
2 Dokter Spesialis 85 20.83 117.65
3 Dokter Gigi 43 10.54 232.56
4 Bidan 106 25.98 94.34
Total Tenaga Media 408 100.00
Rasio Tenaga Medis per 10.000 penduduk 24.51 (25)
Sumber: Salatiga Dalam Angka, 2014 diolah
Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka membawa konsekuensi
terhadap kebutuhan tenaga medis khususnya untuk dokter spesialis yang rasionya
masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan tenaga medis lainnya.
D. Rasio Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank Per 10.000 Penduduk
Menurut Statistik Daerah Kota Salatiga Tahun 2014, jumlah Bank di Kota
Salatiga dari tahun 2005 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan. Jumlah terakhir
bank yang ada di Kota Salatiga mencapai 23 Bank, dimana 5 Bank dari pemerintah, 16
dari swasta Nasional dan 2 Bank dari Pemerintah daerah.
Sedangkan jumlah koperasi atau lembaga keuangan non bank, di Kota Salatiga
mencapai 203 koperasi. Angka ini terdiri dari Koperasi Pegawai Negeri sebanyak 28,
Koperasi ABRI sebanyak 6, Koperasi Karyawan sebanyak 33, Koperasi Simpan
Pinjam sebanyak 28, Koperasi Pedagang Pasar sebanyak 4, Koperasi Pensiunan
Pegawai Negeri sebanyak 3, Koperasi Veteran sebanyak 2, Koperasi Kepolisian
sebanyak 1, Koperasi Tahu Tempe sebanyak 1, Koperasi Wanita sebanyak 6, Koperasi
Unit Desa sebanyak 1, Pusat Koeprasi sebanyak 1, Kopinkra sebanyak 1, Koperasi
Pedagang Kaki lima (PKL) sebanyak 1, Koperasi Mahasiswa sebanyak 1, Koperasi
Lain-lain sebanyak 14, KSU sebanyak 57, Koperasi Pondok Pesantren sebanyak 9 dan
Koperasi Pemuda sebanyak 3.
Hasil penggabungan antara Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank akan
diperoleh angka Bank (23) + Koperasi (203) = 226. Untuk ratio bank dan lembaga
keuangan non bank menjadi 226 : 10.000 atau sama dengan 1 : 44,24, artinya 1 bank
atau lembaga keuangan non bank akan melayani 44 nasabah.
71
E. Rasio Pasar per 10.000 Penduduk
Pasar yang berfungsi sebagai tempat yang sangat vital untuk pertumbuhan
ekonomi, dimana pasar berperan sebagai tempat penyalur barang. Di Kota Salatiga
sendiri sekarang ini sudah banyak hadir pusat perbelanjaan modern seiring dengan
globalisasi. Akan tetapi walaupun pusat perbelanjaan modern sudah menjamur
kehadiran passar tradisional masih tetap ada. Di Kota Salatiga sendiri terdapat 14 unit
pasar tradisional pada tahun 2013.
Untuk ratio pasar per 10.00 penduduk menjadi 14: 10.000 dengan hasil yaitu 1:
714, 28, yang artinya bahwa satu pasar melayani 714 orang pembeli di Kota Salatiga.
Dari hasil penelitian mahasiswa UKSW, jurusan Sosiologi-Fiskom, Bagus Trianggono
(2015), mengungkapkan bahwa di Kota Salatiga kehadiran PKL sekarang ini sangatlah
meningkat, terutama pada pasar tiban di jalan baru atau (JB). Dari 700 PKL yang ada
di Jalan Baru (JB) kebanyakan berasal dari luar Kota Salatiga, adapun daerah tersebut
adalah Pemalang, Kudus, Demak, Tegal, Pekalongan, Kebumen, Solo, Temanggung.
Untuk persentasenya dari 700 PKL yang asli Salatiga yang terbagi menjadi 4
Kecamatan hanya 30% selebihnya di luar Kota Salatiga. Penelitian tersebut
menguatkan bahwa Kota Salatiga memiliki daya magnet yang kuat di sektor
perekonomian.
F. Rasio Sekolah SD per Penduduk Usia SD
Jumlah SD di Kota Salatiga mencapai 95 sekolah tersebar di empat
Kecamatan. Dengan jumlah sekolah SLTP terbanyak berada pada Kecamatan Sidorejo
dengan 30 sekolah lalu Sidomukti dengan 17 sekolah, dan Argomulyo sebanyak 27
sekolah serta Tingkir terdiri dari 21 sekolah.
Sedangkan untuk jumlah siswa SD di kota Salatiga mencapai angka 17.074
siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa
SD sebanyak 6.266, Kecamatan Sidomukti sebanyak 3.012, Kecamatan Tingkir
sebanyak 4.426 dan Kecamatan Argomulyo sebanyak 3.370 siswa.
Dengan demikian Rasio sekolah SD per penduduk usia SD adalah 30 SD :
17.074. Hasilnya adalah 177, jadi setiap satu sekolah SD mampu menampung siswa
sebanyak 177 siswa.
72
G. Rasio Sekolah SLTP per Penduduk Usia SLTP
Jumlah SLTP di Kota Salatiga mencapai 23 sekolah tersebar di empat
Kecamatan. Dengan jumlah sekolah SLTP terbanya berada pada Kecamatan Sidorejo
dengan 13 sekolah lalu Sidomukti dengan 4 sekolah, dan Argomulyo dan Tingkir,
masing-masing terdiri dari 3 sekolah.
Sedangkan untuk jumlah siswa SLTP di kota Salatiga mencapai angka 9.244
siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa
SLTP sebanyak 4.737, Kecamatan Sidomukti sebanyak 2.039, Kecamatan Tingkir
sebanyak 1.063 dan Kecamatan Argomulyo sebanyak 1.405 siswa.
Dengan demikian Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP adalah 23
SLTP : 9.244. Hasilnya adalah 402, jadi setiap satu sekolah SLTP mampu menampung
siswa sebanyak 402 siswa.
H. Rasio Sekolah RT per Penduduk Usia RT
Jumlah RT di Kota Salatiga mencapai 8 sekolah tersebar di empat Kecamatan.
Dengan jumlah sekolah RT terbanya berada pada Kecamatan Sidorejo dengan 6
sekolah lalu Sidomukti dengan 1 sekolah, dan Argomulyo tidak ada sekolah RT dan
Tingkir, terdiri dari 1 sekolah.
Sedangkan untuk jumlah siswa RT di kota Salatiga mencapai angka 4.142
siswa, dengan komposisi sebagai berikut: Kecamatan Sidorejo dengan jumlah siswa
RT sebanyak 2.663, Kecamatan Sidomukti sebanyak 539, Kecamatan Tingkir
sebanyak 0 dan Kecamatan Argomulyo sebanyak 940 siswa.
Dengan demikian Rasio sekolah RT per penduduk usia RT adalah 8 RT :
4.142. Hasilnya adalah 518, jadi setiap satu sekolah RT mampu menampung siswa
sebanyak 518 siswa.
73
I. Persentase Rumah Tangga (Penduduk Kota Salatiga) Yang Mempunyai
Kendaraan Bermotor
Jumlah RT di Kota Salatiga mencapai 1.070 RT tersebar di empat Kecamatan.
Dengan jumlah RT terbanyak berada pada Kecamatan Sidorejo dengan 303 RT lalu
Sidomukti dengan 220 RT, Tingkir dengan 292 RT, dan Argomulyo dengan 255 RT.
Untuk jumlah penduduk kota Salatiga mencapai 178.594 penduduk.
Sedangkan untuk jumlah kendaraan bermotor di Kota Salatiga mencapai
108.313 kendaraan. Angka ini terbagi menjadi 5 kategori, yaitu Kendaraan Bermotor
Roda 2 sebanyak 86.240, Kendaraan Bermotor Penumpang sebanyak 17.692, Bus
Mikro bus sebanyak 408, Kendaraan Bermotor Beban sebanyak 3.922, dan Kendaraan
Bermotor Khusus sebanyak 51 buah.
Dengan demikian Rasio rumah tangga (penduduk kota salatiga) yang
mempunyai kendaraan bermotor menjadi 178.594 (1.070 RT) : 108.313. Hasilnya
adalah 1,648% artinya bahwa 1 rumah tangga rata-rata bisa memiliki 2 kendaraan
bermotor.
J. Persentase Pelanggan Listrik Terhadap Jumlah Rumah Tangga
Kota Salatiga yang terdiri dari 4 Kecamatan ternyata memiliki angka
pemakaian yang cukup besar. Dari 4 Kecamatan tersebut pemakaian KwH mencapai
angka 1.120.861.825 dan jika dirupiahkan maka akan menjadi 868.698.213.928 ribu
rupiah.
Menurut PT PLN Kota Salatiga, banyaknya pelanggan Rumah Tangga (RT)
yang menggunakan listrik sebesar 287.878. Sedangkan jumlah RT kota Salatiga adalah
1.070 RT. Ratio salatiga memiliki pelanggan 1.070__ x 100% = 3,47
287.878
K. Rasio Panjang Jalan Terhadap Jumlah Kendaraan Bermotor
Untuk panjang jalan di Kota Salatiga di tahun 2013 terbagi menjadi 4 kategori
yaitu, Diaspal sepanjang 504.642 m, Kerikil sepanjang 90.023 m, Tanah sepanjang
30.841 m dan Lainnya 28.705 m, dengan panjang keseluruhan mencapai 654.211m
74
Sedangkan untuk jumlah kendaraan bermotor di Kota Salatiga mencapai
108.313 kendaraan. Angka ini terbagi menjadi 5 kategori, yaitu Kendaraan Bermotor
Roda 2 sebanyak 86.240, Kendaraan Bermotor Penumpang sebanyak 17.692, Bus
Mikro bus sebanyak 408, Kendaraan Bermotor Beban sebanyak 3.922, dan Kendaraan
Bermotor Khusus sebanyak 51 buah.
Untuk ratio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor sebesar
654.211m : 108.313 motor = 6,04. Artinya bahwa setiap m² akan dilalui atau dimasuki
oleh paling tidak 6 kendaraan bermotor. Dengan demikian apabila jalan tersebut tetap/
tidak diperpanjang atau diperlebar, maka akan menimbulkan kesesakan yang
disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor di setiap m²..
4.6. Aspek Ekonomi Dalam Dinamika Pemekaran
Salatiga adalah kota yang unik, kas dan menyenangkan bagi sebagian besar
orang. Orang datang ke Salatiga bukan karena ada “gula-gula” atau sumber ekonomi
yang melimpah, namun karena kondisi alam dan suasana kotanya yang nyaman.
Dengan kondisi seperti tersebut diatas, menyebabkan orang datang dan tinggal di
Salatiga. Mereka kemudian bermukim dan menetap di Salatiga. 20 tahun yang lalu,
penduduk salatiga baru sekitar 100 ribuan. Sekarang sudah lebih dari 200 ribuan. Ini
membutuhkan permukiman.
Dalam kasus permukiman di Salatiga pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya, pertumbuhan pemukiman terus berkembang pesat. Pertumbuhan
permukiman ini juga tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan perumahan
dan pertumbuhan perumahan ini akibat meningkatnya jumlah rumah yang dibangun.
Jika ada masyarakat yang membangun rumah, akan diikuti oleh pembangunan rumah
berikutnya sehingga menjadi kumpulan rumah atau perumahan. Dengan ada
perumahan yang terus bertambah maka akan ada masyarakat yang bertempat tinggal,
bertumbuh dan berkembang, yang sering disebut dengan permukiman. Dengan
tumbuhnya permukiman, kemudian akan menjadi daya tarik orang lain untuk
membangun rumah di permukiman tersebut.
Disatu sisi, pertumbuhan permukiman ini sangat baik dari sisi ekonomi namun
disisi lain bisa menimbulkan masalah jika pertumbuhannya tidak terkendali, terencana
dan teratur. Untuk pengendalian dan pembangunan permukiman, kita perlu mengenali
75
faktor determinan pertumbuhan permukiman itu sendiri. Dengan mengenali faktor
determinan tersebut, Pemerintah Daerah bisa membuat intervensi melalui instrumen-
instrumen pembangunan baik itu regulasi, insentif dan fasilitasi. Namun jika upaya itu
tidak mampu mengendalikan pertumbuhan permukiman, Pemerintah Kota Salatiga
juga bisa mencari alternatif lain diantaranya adalah pemekaran wilayah.
A. Faktor Determinan Ekonomi Pemekaran
Pemekaran wilayah adalah fungsi dari permukiman. Jika permukiman terus
bertambah maka membutuhkan ruang yang lebih besar. Jika ruang tetap, maka
permukiman akan melampaui batas normal dan menyebabkan masalah.
Permukiman sendiri adalah fungsi dari perumahan. Jika perumahan meningkat
maka secara linier maupun tidak akan menyebabkan pertumbuhan permukiman.Selain
dari pertumbuhan permukiman, pemekaran wilayah juga diperlukan karena tuntutan
pertumbuhan kota. Kota yang semakin bertumbuh menyebabkan volatilitasnya
bertambah tinggi. Dengan luas yang terbatas maka pertumbuhan kota akan terhambat.
Secara garis besar, kerangka pemikiran tentang faktor determinan ekonomi
kebutuhan pemekaran seperti tampak pada gambar dibawah ini.
76
Berdasarkan pada kerangka kerja model metabolisme pengembangan kota,
tampak bahwa dalam pengembangan kota, perlu diperhatikan atau memerlukan input
sumberdaya diantaranya adalah ketersediaan lahan. Dengan luas wilayah yang
terbatas, pengembangan kota Salatiga akan terhambat salah satunya akibat
ketersediaan lahan.
77
Untuk mengembangkan kota, tidak terkecuali Salatiga, perlu memperhatikan
beberapa indikator dalam pengembangan kota. Beberapa indikator tersebut seperti
pertumbuhan ekonomi, perbaikan kualitas hidup, tata kelola yang baik dalam
pemerintahan dan manajemen serta melindungi lingkungan.
B. Faktor Determinan Pertumbuhan Kota dan Permukiman
1) Pertumbuhan Kota/Wilayah
Salah satu aspek yang mempengaruhi dinamika permukiman adalah
pertumbuhan kota atau wilayah. Kota atau wilayah yang sedang membangun atau
banyak membangun, akan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga pergerakan
tenaga kerja akan mengarah ke kota atau wilayah tersebut.
Pergerakan tenaga kerja ini kemudian menyebabkan permintaan akan rumah
baik secara sewa atau dimiliki akan meningkat. Dengan permintaan rumah meningkat
akan menyebabkan peningkatan permukiman baik pada permukiman yang lama
maupun yang baru.
Pertumbuhan kota juga menyebabkan nilai asset menjadi meningkat sehingga
menyebabkan orang ingin berinvestasi di kota/wilayah tersebut, yang pada akhirnya
78
akan menyebabkan perubahan permukiman.Dari hasil survey yang dilakukan di Kota
Salatiga, menurut pendapat responden, dulu pertumbuhan kotanya rendah, lebih dari
70%. Sementara itu sekarang ini mereka mengatakan pertumbuhan Kota Salatiga
tinggi. Lebih dari 56% mengatakan tinggi.
Tabel 4.11. Pertumbuhan Kota Dulu Frequency Percent Valid
Percent Cumulative Percent
Valid Rendah 67 73.6 73.6 73.6 Tinggi 24 26.4 26.4 100.0 Total 91 100.0 100.0
Pertumbuhan Kota Sekarang Frequency Percent Valid
Percent Cumulative
Percent
Valid Rendah 40 44.0 44.0 44.0 Tinggi 51 56.0 56.0 100.0 Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
2) Kegiatan Investasi
Ada dua hal yang terkait dengan kegiatan investasi ini yaitu kegiatan investasi
rumah dan kegiatan investasi secara umum, tidak hanya rumah. Dari makna yang
pertama dimana orang berinvestasi pada rumah, maka permintaan akan rumah
meningkat untuk jadi barang invesitasi.
Dengan pertumbuhan kota dan penduduk, berbagai asset menjadi lebih bernilai
dari sebelummnya. Banyak orang kemudian tertarik untuk membeli rumah baik untuk
ditempati, disewakan maupun untuk dijual kembali.Kondisi inilah yang menyebabkan
perubahan dan pergerakan permukiman, masyarakat memiliki motif untuk investasi
kemudian developer atau dirinya sendiri kemudian membangun rumah dan perumahan
yang akhirnya akan membentuk investasi.
Meskipun tidak banyak, hanya sekitar 6%, responden memilih tinggal di
Salatiga dengan pertimbangan untuk investasi. Nilai yang Kecamatan ini tidak terlepas
dari faktor ekonomi yang ada di Salatiga. Perlu diketahui bahwa Salatiga merupakan
Kota Kecamatan yang awalnya hanya memiliki satu Kecamatan, kemudian
79
berkembang menjadi 4 Kecamatan yang berasal dari limpahan Kabupaten Semarang
dengan kondisi yang kurang memadai. Jumlah penduduknya juga relatif Kecamatan,
tidak lebih dari 300 ribu jiwa. Kondisi ini menyebabkan perkembangan nilai investasi
cenderung lambat sehingga investor enggan untuk menginvestasikan modalnya di
Salatiga.
Hasil survey yang dilakukan di Salatiga ternyata hanya sekitar 18% membeli
rumah untuk Ruko. Tidak banyak membeli rumah untuk kepentingan rumah toko.
Tabel 4.12. Rumah Untuk Toko (RUKO)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak menjawab 1 1.1 1.1 1.1Sangat Tidak Setuju
17 18.7 19.3 20.5
Tidak Setuju 53 58.2 60.2 80.7Netral 8 8.8 9.1 89.8Setuju 9 9.9 10.2 100.0Total 88 96.7 100.0
Missing System 3 3.3 Total 91 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
Hasil yang agak berbeda tampak bahwa responden membeli rumah karena
untuk investasi, karena menurut mereka, nilai rumah terus meningkat dengan cepat
sehingga selain sebagai tempat tinggal, rumah juga berfungsi sebagai investasi.
Tabel 4.13. Rumah Untuk Investasi Frequency Percent Valid
Percent Cumulative
Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju
7 7.7 7.7 7.7
Tidak Setuju 45 49.5 49.5 57.1Netral 7 7.7 7.7 64.8Setuju 31 34.1 34.1 98.9Sangat Setuju 1 1.1 1.1 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
80
3) Pertumbuhan Usaha
Dalam kehidupan sehari-hari, pertumbuhan usaha sangat mempengaruhi
pertumbuhan permukiman. Usaha yang semakin bertumbuh, menyebabkan banyak
permintaan material, asset dan tenaga kerja. Dengan peningkatan dan pertumbuhan
usaha, banyak orang yang kemudian tinggal disuatu wilayah dimana usaha itu berada.
Akibatnya permintaan perumahan meningkat dan kemudian permukiman juga tumbuh
dan berkembang. Dengan kata lain, jika disuatu daerah pertumbuhan usahanya pesat,
maka akan diikuti oleh pertumbuhan rumah-perumahan yang akhirnya akan
menumbuhkan permukiman.
Tabel 4.14. Pembangunan Industri
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju
22 24.2 24.2 24.2
Tidak Setuju 42 46.2 46.2 70.3Netral 10 11.0 11.0 81.3Setuju 14 15.4 15.4 96.7Sangat Setuju 3 3.3 3.3 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
Tabel 4.15. Usaha Maju Frequency Percent Valid
Percent Cumulative
Percent
Valid
Tidak menjawab 1 1.1 1.1 1.1Sangat Tidak Setuju
9 9.9 10.1 11.2
Tidak Setuju 42 46.2 47.2 58.4Netral 18 19.8 20.2 78.7Setuju 19 20.9 21.3 100.0Total 89 97.8 100.0
Missing System 2 2.2 Total 91 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
81
4) Jangkauan Layanan Umum Tidak Didukung Potensi Fiskal
Perkembangan pendidikan menjadi daya tarik masyakat Kabupaten Semarang,
sebagian Grobogan, Boyolali dan Kabupaten Magelang bersekolah di Salatiga sejak
Pra Sekolah, Pendidikan dasar, Menengah hingga Perguruan Tinggi. Demikian pula
layanan kesehatan, layanan air minum, air minum, fasilitas transportasi dan drainase
serta infrastruktur militer yang melayani penduduk wilayah lain. Layanan ini relatif
menyedot dana transfer APBN baik Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
untuk penyelenggaraan operasional dan investasi layanan publik. Sementara itu
terlayaninya penduduk daerah lain tidak terakomodasi dalam perhitungan dana
transfer APBN untuk menutup kekurangan (gap) fiskal. Oleh karena perhitungan dana
transfer lebih memperhitungkan luas wilayah, potensi daerah dan jumlah penduduk
daerah yang bersangkutan.
Perkembangan pendidikan tidak saja melayani masyarakat Salatiga tetapi juga
masyarakat di sekitar wilayah Kecamatan Tuntang, Beringin, Pabelan, Tengaran,
Getasan bahkan Kedung Jati dan sebagian Boyolali. Mutu pendidikan, sistem layanan
modern dan kedekatan jarak tempat tinggal peserta didik menjadi pertimbangan
dalam pilihan Sekolah. Selisih Angka Parisipasi Kasar dengan Angka Partisipasi
Murni Sekolah baik pendidikan dasar dan menengah menjadi indikator adanya
penduduk luar daerah terdaftar di Sekolah Salatiga. APK SD/MI sekitar 117,68 %,
dan APM : 100,58 %, sementara itu APK SMP/MTs sekitar 118, 44 %, dan APM :
87,23 %. Sedangkan APK SMA/MA/SMK sekitar 146,38 % dan APM nya sekitar :
105.37%. Perbedaan APK dan APM ini disebabkan penduduk usia di luar sekolah
yang telah terdaftar dan atau terdapat jumlah penduduk dari daerah lain yang terdaftar
di Sekolah yang bersangkutan.
PDAM Kota Salatiga melayani sekitar 28.000 pelanggan, 1.500 pelanggan
penduduk Kabupaten Semarang. Pembangunan reservoir Salatiga di Senjoyo sejak
Belanda diperuntukkan bagi masyarakat di Salatiga. Namun karena posisinya dalam
wilayah Kabupaten Semarang maka kepemilikannya bukan Pemerintah Kota Salatiga.
Layanan 1500 pelanggan ini sebagian besar dari pelanggan kelas A dan B yang
mendapatkan subsidi dari Pemerintah Kota Salatiga.
Pemilik dasaran dan Kios Pasar Blauran, Pasar Raya 1, dan 2, dan Pasar Jetis
serta Rejosari sebagian penduduk Kabupaten Semarang. Lebih dari 65 % pemilik Kios
pada pasar-pasar adalah pengusaha Kelas menengah dari Kecamatan Bringin, Pabelan,
82
Tuntang, Getasan, Tengaran, Suruh, Susukan dan sebagian Kabupaten Boyolali, dan
Magelang. Keberadaan pengusaha ini secara ekonomis memiliki kontribusi dalam
perhitungan PDRB dan dukungan PAD. Namun dalam hal pemanfaat dana transfer
pembangunan infrastruktur dan fasilitas perijinan mengurangi kesempatan bagi
penduduk Kota Salatiga.
Layanan Kesehatan RSUD Kota Salatiga juga memberikan layanan BPJS
sebagian masyarakat Kecamatan Bringin, Pabelan, Tuntang, Getasan, Tengaran,
Suruh, Susukan dan sebagian Kabupaten Boyolali, dan Magelang serta Purwodadi.
Rasio layanan kesehatan baik rujukan rawat jalan dan rawat inap penduduk bagi
masyarakat Salatiga dan penduduk luar daerah sekitar 30 : 70 persen.
PAD Kota Salatiga dan DAU relatif terbatas karena terbatasnya wilayah dan
jumlah penduduk. Namun layanan publik tidak hanya bagi masyarakat setempat
namun juga masyarakat Kabupaten Semarang, Kabupaten Magelang bahkan
Purwodadi. Oleh karena dalam memberikan layanan dasar baik bidang pendidikan,
kesehatan, UMKM, dan infrastruktur tidak bisa membatasi secara langsung
berdasarkan domisili penduduk. Namun demikian, tidak bisa kenyataan ini
berlangsung terus menerus. Oleh karena layanan dasar harus meningkat mutu dalam
dinamika kebutuhan masyarakat. Sementaran itu dana transfer APBN tidak korelatif
dengan peningkatan jumlah penduduk yang dilayani. Rasionalisasi layanan berbasis
pengembangan wilayah menjadi pemikiran bersama agar layanan dasar dapat
dipertahankan dan ditingkatkan mutunya seiring dengan dinamika kebutuhan
peningkatan mutu kehidupan masyarakat.
5) Faktor Sosial dan Budaya
Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi
perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat
istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi merupakan
faktor-faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh dan
berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi sarana yang dapat
menunjukkan citra dan jati diri penghuninya. Sebagai contoh permukiman masyarakat
Bali di luar Propinsi Bali. Perumahan mereka menyatu dan membentuk permukiman
masyarakat Bali. Dengan adanya permukiman Bali, akan menarik orang Bali lainnya
untuk datang dan membangun rumah di permukiman tersebut.
83
6) Faktor Ekonomi
Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian. Tingkat
perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan perkembangan
permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan mempengaruhi tingkat
pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang, maka makin tinggi pula
kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal ini akan meningkatkan
perkembangan permukiman di suatu daerah. Keterjangkauan daya beli masyarakat
terhadap suatu rumah akan mempengaruhi perkembangan permukiman. Semakin
murah harga suatu rumah di daerah tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli
rumah, maka semakin berkembanglah permukiman yang ada.
Determinan Permukiman: Analisis Ekonomi
1. Harga rumah
2. Pendapatan Masyarakat
3. Tingkat Bunga & Fasilitas pendanaan
4. Lokasi
5. Jumlah Penduduk
6. Pertumbuhan kota/wilayah
7. Kegiatan investasi
8. Pertumbuhan usaha
9. Kebutuhan tempat tinggal
10. Kebijakan pemerintah
Untuk membangun sebuah rumah dibutuhkan waktu yang cukup lama,
umumnya kurang dari setahun, maka untuk pembangunan perumahan secara massal
tentunya diperlukan waktu lebih dari itu. Dengan jangka waktu pembangunan
perumahan yang cukup lama, maka pada setiap waktu stok perumahan diasumsikan
tetap, dimana terdapat stok perumahan yang telah tertentu (fixed) yang tidak dapat
disesuaikan dengan cepat sebagai tanggapan terhadap perubahan perubahan harga.
Komponen harga rumah pada keseimbangan merupakan titik pertemuan antara
permintaan dan penawaran. Perubahannya dapat diukur dengan menggunakan
indikator inflasi sektor perumahan. Jika harga rumah terus mengalami kenaikan, maka
permintaan dari masyarakat akan menurun. Sebaliknya, kenaikan harga rumah
merupakan suatu rangsangan bagi pihak pengembang untuk membangun perumahan.
84
Harga rumah yang sesuai dengan kualitasnya bahkan cenderung terkesan
murah maka masyarakat akan tertarik untuk membelinya. Jika harga rumah dirasa
lebih murah jika dilihat dari kualitasnya dan jika dibandingkan dari tempat lain, maka
masyarakat akan tertarik dan mengambil keputusan untuk membelinya.
Dari hasil survey yang dilakukan di Salatiga, lebih dari 90 persen responden
menyatakan bahwa membeli rumah di Salatiga karena harganya sesuai dengan
kualitasnya. Dalam persepsi masyarakat, harga rumah di Salatiga relatif murah
dibanding dari daerah lain dengan kualitas yang hampir sama. Ini menunjukkan bahwa
salah satu faktor perkembangan permukiman di Salatiga ada karena harganya sesuai
dengan kualitasnya.
Tabel 4.16. Harga Rumah dan Kualitasnya
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Kurang Setuju
4 4.4 4.4 4.4
Netral 6 6.6 6.6 11.0 Setuju 57 62.6 62.6 73.6 Sangat Setuju
24 26.4 26.4 100.0
Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015 Dari hasil survey tampak bahwa lebih dari 50% penduduk Salatiga berasal dari luar
Salatiga. Mereka menetap dan tinggal di Salatiga dengan berbagai alasan. Ada yang
berasal dari Jawa Tengah, Pulau Jawa pada umumnya, Pulau Sumatera bahkan Papua.
Tempat tinggal asal ini mencerminkan Kota Salatiga sangat terbuka dengan pendatang
dan bersama-sama dengan pendatang berkembang dan mengembangkan Kota.
85
Tabel 4.17. Tempat Tinggal Asal Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
15 16.5 16.5 16.5 - 1 1.1 1.1 17.6- 4 4.4 4.4 22.0Ambarawa 1 1.1 1.1 23.1Bandung 1 1.1 1.1 24.2Bogor 1 1.1 1.1 25.3Boyolali 2 2.2 2.2 27.5Depok. 1 1.1 1.1 28.6Gendongan 1 1.1 1.1 29.7Jakarta 4 4.4 4.4 34.1Jambi 1 1.1 1.1 35.2Kab. Semarang 1 1.1 1.1 36.3Kabupaten Semarang 2 2.2 2.2 38.5Kalimantan 1 1.1 1.1 39.6Kartasura 1 1.1 1.1 40.7Kendal 1 1.1 1.1 41.8Klaten 1 1.1 1.1 42.9Kudus 1 1.1 1.1 44.0Magelang. 1 1.1 1.1 45.1Papua Barat, sorong 1 1.1 1.1 46.2Pati 1 1.1 1.1 47.3Purbalingga 1 1.1 1.1 48.4Purwodadi 2 2.2 2.2 50.5Purworejo 1 1.1 1.1 51.6Rembang 1 1.1 1.1 52.7Salatiga 20 22.0 22.0 74.7Semarang 16 17.6 17.6 92.3Solo 3 3.3 3.3 95.6Sragen 1 1.1 1.1 96.7Sumatera Selatan 1 1.1 1.1 97.8Ungaran 1 1.1 1.1 98.9Wonosari 1 1.1 1.1 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
86
Banyak alasan mengapa mereka tinggal di Salatiga, mulai dari alasan keluarga
sampai menjalankan usaha. Secara rinci, alasan mengapa mereka tinggal di Salatiga
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Urutan pertama mengapa mereka tinggal di Salatiga adalah alasan keluarga,
yaitu lebih dari 35%. Pada umumnya mereka tinggal di Salatiga karena mengikuti
suami alias alasan menikah. Ada juga yang mengikuti istri, anak dan orang tua. Urutan
kedua adalah karena pekerjaan dan usaha, dengan persentasi sekitar 30%. Mereka
tinggal di Salatiga karena bekerja dan atau berusaha.
Tabel 4.18. Alasan Tinggal di Salatiga Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
1 1.1 1.1 1.1Belajar 1 1.1 1.1 2.2dekat dengan industri
1 1.1 1.1 3.3
Investasi 3 3.3 3.3 6.6Keluarga 33 36.3 36.3 42.9Kuliah 1 1.1 1.1 44.0Lingkungan 11 12.1 12.1 56.0Pekerjaan 28 30.8 30.8 86.8Pekerjaan. 1 1.1 1.1 87.9Pensiun 2 2.2 2.2 90.1tempat lahir 1 1.1 1.1 91.2Tempat lahir 5 5.5 5.5 96.7Tempat tinggal 3 3.3 3.3 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015 Ketika mereka tinggal di Salatiga, ada beberapa hal yang menyenangkan bagi
mereka yaitu nyaman, aman dan sejuk. Mereka merasa Kota Salatiga sangat sejuk,
sangat aman, sangat nyaman dan sangat bersih. Lingkungannya sehat dan dari sisi
sosial sangat welcome atau memiliki kekeluargaan yang tinggi. Disamping alasan
sosial yaitu warganya memiliki toleransi dan penerimaan yang tinggi, mereka
senang tinggal di Salatiga karena biayanya murah. Disamping itu fasilitas cukup
memadai. Letak kota Salatiga juga dianggap strategis meskipun termasuk kota
Kecamatan.
87
Tabel 4.19. Hal Yang Menyenangkan di Salatiga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
1 1.1 1.1 1.1Aksesnya mudah. 1 1.1 1.1 2.2Aman 6 6.6 6.6 8.8Belanja murah 1 1.1 1.1 9.9Beli masih murah 1 1.1 1.1 11.0damai, letak strategis.
1 1.1 1.1 12.1
Fasilitas cukup 1 1.1 1.1 13.2Kekeluargaan 14 15.4 15.4 28.6Kekeluarggan 1 1.1 1.1 29.7Lingkungan sehat 2 2.2 2.2 31.9Murah 1 1.1 1.1 33.0Nyaman 56 61.5 61.5 94.5Strategis 2 2.2 2.2 96.7Tenang 1 1.1 1.1 97.8Transportasi mudah 2 2.2 2.2 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
Disamping hal-hal yang menyenangkan diatas, menurut responden, masalah
utama yang ada di Kota Salatiga adalah ketersediaan air. Memang di beberapa
wilayah atas, air memang sulit didapat. Namun untuk daerah-daerah bawah atau
yang bisa terairi dari sumber air Senjoyo, air relatif mencukupi.
88
Tabel 4.20. Permasalahan di Kota Salatiga Frequency Percent Valid
Percent Cumulative
Percent
Valid
28 30.8 30.8 30.8Air 32 35.2 35.2 65.9Drainase 1 1.1 1.1 67.0Drainase buruk 1 1.1 1.1 68.1Gangguan sosial 4 4.4 4.4 72.5Jalan sempit 1 1.1 1.1 73.6Keakraban kurang 4 4.4 4.4 78.0Keamanan 7 7.7 7.7 85.7Listrik dan parkir 1 1.1 1.1 86.8Penerangan jalan 2 2.2 2.2 89.0Sarana jalan jelek 7 7.7 7.7 96.7Tempat Pembuangan Sampah
1 1.1 1.1 97.8
tidak ada jaringan untuk komunikasi
1 1.1 1.1 98.9
Transportasi sulit 1 1.1 1.1 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
7) Pendapatan atau Daya Beli masyarakat
Nicolson (1999) mengemukakan bahwa jika pendapatan bertambah maka
secara otomatis bagian dari pendapatan yang akan dibelanjakan akan bertambah,
sehingga jumlah barang yang bisa dibeli juga meningkat (Iskandar, 2002). Sedangkan
Soeharjoto (1998) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan per kapita, maka
pembelian rumah akan bertambah.
Berdasarkan konsep engel, semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin
rendah porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan, dan semakin tinggi pula
porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan non-makanan. Jika pendapatan
per kapita masyarakat meningkat, maka porsi pendapatan yang digunakan untuk
membeli rumah atau membayar cicilan KPR lebih besar.
Berdasarkan pada teori-teori diatas tampak bahwa dengan pendapatan
meningkat, dengan asumsi harga-harga tetap atau margin peningkatan pendapatan
lebih besar dari peningkatan harga, masyarakat akan mengalokasikan peningkatan
89
pendapatan tadi untuk membeli rumah, yang akan menyebabkan pertumbuhan
perumahan dan permukiman.
Dari hasil survey yang dilakukan di Kota Salatiga, diperoleh hasil bahwa
pendapatan warga Salatiga dari sisi peningkatan gajinya meningkat sebesar 102%
selama 5 tahun terakhir, sementara itu peningkatan pendapatan yang bersumber dari
usaha meningkat sebesar 46%. Berdasarkan tabel dibawah ini tampak bahwa 63%
peningkatan pendapatan berasal dari mereka bekerja dan pensiunan, baik PNS maupun
Swasta serta 35 persen berasal dari wiraswasta. Dari sini kita bisa mengatakan bahwa
peningkatan pendapatan terutama dari karyawan menyebabkan peningkatan daya beli
terhadap perumahan dan meningkatkan perkembangan permukiman. Seperti yang
tampak pada tabel dibawah ini, sebanyak 75 persen responden menyatakan bahwa
mereka membeli rumah karena gaji mereka naik.
Tabel 4.21. Pekejaan Responden Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
4 4.4 4.4 4.4 1 54 59.3 59.3 63.7 2 32 35.2 35.2 98.9 3 1 1.1 1.1 100.0 Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
Keterangan:
1. Karyawan
2. Wiraswasta
3. Lainnya
90
Tabel 4.22. Pembelian Rumah Karena Gaji Naik Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju
1 1.1 1.1 1.1
Tidak Setuju
21 23.1 23.1 24.2
Netral 20 22.0 22.0 46.2 Setuju 39 42.9 42.9 89.0 Sangat Setuju
10 11.0 11.0 100.0
Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
8) Tingkat Bunga
Semakin tinggi tingkat suku bunga kredit, maka semakin besar cicilan kredit
yang harus dibayarkan oleh nasabah. Tingkat suku bunga berbeda tergantung tingkat
kepercayaaan kredit dari si peminjam, jangka waktu pinjaman dan bebagai aspek
perjanjian lainnya antara peminjam dengan pemberi pinjaman (Dornbusch et. al.,
2004).
Kenaikan tingkat suku bunga kredit, baik konsumsi maupun investasi akan
mengurangi permintaan agregat untuk setiap tingkat pendapatan, karena disamping
menaikkan jumlah cicilan kredit yang harus dibayar, tingkat suku bunga yang lebih
tinggi juga akan mengurangi keinginan untuk baik untuk konsumsi maupun
berinvestasi.
Tabel 4.23. Bunga Kredit Murah
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Sangat tdk Setuju 7 7.7 7.7 7.7Tidak Setuju 19 20.9 20.9 28.6Netral 20 22.0 22.0 50.5Setuju 34 37.4 37.4 87.9Sangat Setuju 11 12.1 12.1 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
91
Tabel 4.24. Angsuran Terjangkau Frequency Percent Valid
Percent Cumulative
Percent
Valid
Sangat Tdk Setuju 8 8.8 8.8 8.8Tidak Setuju 21 23.1 23.1 31.9Netral 14 15.4 15.4 47.3Setuju 37 40.7 40.7 87.9Sangat Setuju 11 12.1 12.1 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
9) Lokasi Perumahan
Dalam menetapkan pemilihan suatu rumah sebagai tempat untuk tinggal atau
bernaung dari segala kondisi tidaklah mudah, terutama dalam pemilihan suatu rumah
didalam kawasan perumahan. Banyak pertimbangan yang akan dihitung dan banyak
aspek yang akan mempengaruhi penetapan lokasi perumahan
Baik atau tidaknya pemilihan lokasi perumahan akan terkait dengan beberapa
pihak yang menjadi tim atau organisasi pembentukan suatu perumahan. Beberapa
pihak yang terlibat dan motivasi pemilihan lokasi untuk perumahan adalah lokasi dan
fasilitas.
Dari hasil survey tampak bahwa salah satu alasan mereka tinggal di Salatiga
adalah lokasi sangat strategis, nyaman, aman, tenang dan sejuk. Lebih dari 12%
responden mengatakan bahwa mereka senang tinggal di Salatiga karena faktor
lingkungan perumahan yang baik.
Tabel 4.25. Tempat Strategis
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju
1 1.1 1.1 1.1
Tidak Setuju 13 14.3 14.3 15.4Netral 12 13.2 13.2 28.6Setuju 42 46.2 46.2 74.7Sangat Setuju 23 25.3 25.3 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
92
10) Jumlah Penduduk
Komponen faktor lain yang ditentukan dari waktu ke waktu untuk permintaan
perumahan adalah Jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan pasar
yang potensial dalam memasarkan suatu produk. Kenaikan pada tingkat pertumbuhan
populasi akan menyebabkan kebutuhan perumahan menjadi semakin besar.
Biasanya pertambahan penduduk juga diikuti dengan perkembangan dalam
kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima pendapatan
dan meningkatkan daya beli. Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan permintaan
akan rumah-perumahan yang pada akhirnya akan menumbuhkan permukiman.
Dari hasil survey kepada responden di Kota Salatiga, menurut mereka jumlah
penduduk kota Salatiga sekarang ini banyak. Dari jawaban ini tampak bahwa jumlah
penduduk di Kota Salatiga bertambah. Sekitar 10 tahun yang lalu, jumlah penduduk di
Kota Salatiga sekitar 150 ribu jiwa. Sekarang ini hamper mencapai 200 ribu jiwa, ini
tentu saja membutuhkan rumah dan mempengaruhi pertumbuhan permukiman di Kota
Salatiga.
Tabel 4.26. Jumlah Penduduk Sekarang Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Banyak 59 64.8 64.8 64.8 sedang 1 1.1 1.1 65.9 Sedikit 30 33.0 33.0 98.9 tinggi 1 1.1 1.1 100.0 Total 91 100.0 100.0
11) Kebutuhan Tempat Tinggal
Pertumbuhan permukiman disisi yang lain memang terjadi karena kebutuhan
tempat tinggal. Dengan bertambanya usia, kemudian menikah dan memiliki anak
menyebabkan orang tersebut akan membutuhkan tempat tinggal. Kebutuhan tempat
tinggal ini terjadi karena pertumbuhan keluarga, dari ikut orang tua, kemudian
menikah dan memiliki anak, mulai dari satu, dua dan seterusnya. Kondisi ini terus
bertumbuh seiring dengan waktu. Dengan pertumbuhan keluarga, akan menyebabkan
seseorang membutuhkan rumah, kemudian akan terbentuk perumahan dan akhirnya
akan terbentuk permukiman secara alamiah akibat kebutuhan rumah.
93
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan terlihat bahwa sebesar 36%
responden tinggal di Salatiga adalah masalah keluarga dalam hal ini adalah menikah.
Ketika menikah atau berkeluarga, mereka biasanya bertempat tinggal berbeda dengan
orang tua dan akhirnya harus membeli rumah sendiri. Kondisi ini yang menyebabkan
perubahan dalam permukiman di Salatiga. Kebutuhan tempat tinggal selain karena
berkeluarga, sebanyak lebih dari 30% membutuhkan tempat tinggal karena harus
bekerja di Salatiga.
Kalau ditanyakan pada mereka mengapa membeli rumah, sebanyak 75%
mereka menyatakan setuju karena alasan menikah. Sementara itu mereka setuju jika
membeli rumah karena memiliki anak dan bekerja di Salatiga.
Tabel 4.27. Membeli Rumah Karena Menikah Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju 7 7.7 7.7 7.7Tidak Setuju 9 9.9 9.9 17.6Netral 3 3.3 3.3 20.9Setuju 51 56.0 56.0 76.9Sangat Setuju 21 23.1 23.1 100.0Total 91 100.0 100.0
Membeli Rumah Karena Mempunyai Anak Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju
4 4.4 4.4 4.4
Tidak Setuju 7 7.7 7.8 12.2Netral 3 3.3 3.3 15.6Setuju 54 59.3 60.0 75.6Sangat Setuju 22 24.2 24.4 100.0Total 90 98.9 100.0
Missing System 1 1.1
Total 91 100.0
Membeli Rumah Karena Bekerja Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Sangat Tidak Setuju 1 1.1 1.1 1.1Tidak Setuju 9 9.9 10.1 11.2
94
Netral 8 8.8 9.0 20.2Setuju 49 53.8 55.1 75.3Sangat Setuju 22 24.2 24.7 100.0Total 89 97.8 100.0
Missing System 2 2.2
Total 91 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
12) Kebijakan Pemerintah
Disadari atau tidak, kebijakan pemerintah sangat menentukan pertumbuhan
dan perkembangan permukiman. Ini artinya, permukiman akan dibuat seperti apa,
Pemerintah bisa melakukannya melalui penerapan kebijakan permukiman. Itu artinya
kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan permukiman.
Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perubahan permukiman adalah:
1. Kebijakan permukiman sendiri
2. Kebijakan moneter dan fiskal
3. Kebijakan pembangunan ekonomi
4. Kebijakan ini kemudian tali temali dengan kebutuhan masyarakat akan
perumahan dengan berbagai motif, membentuk dan atau meniadakan permukiman
Tabel 4.28. Kebijakan Rumah Murah
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju 7 7.7 7.8 7.8Tidak Setuju 30 33.0 33.3 41.1Netral 14 15.4 15.6 56.7Setuju 29 31.9 32.2 88.9Sangat Setuju 10 11.0 11.1 100.0Total 90 98.9 100.0
Missing System 1 1.1
Total 91 100.0
Kebjikan Kemudahan Uang Muka Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju 7 7.7 7.8 7.8Tidak Setuju 24 26.4 26.7 34.4Netral 12 13.2 13.3 47.8Setuju 38 41.8 42.2 90.0
95
Sangat Setuju 9 9.9 10.0 100.0Total 90 98.9 100.0
Missing System 1 1.1
Total 91 100.0
Kebijakan Pembangunan Permukiman Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid
Sangat Tidak Setuju 4 4.4 4.4 4.4Tidak Setuju 14 15.4 15.4 19.8Netral 12 13.2 13.2 33.0Setuju 50 54.9 54.9 87.9Sangat Setuju 11 12.1 12.1 100.0Total 91 100.0 100.0
Sumber: Analisis data primer 2015
4.7. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelayanan Publik di Kabupaten Semarang
dan Kota Salatiga
Keberadaan pemerintah dan masyarakat yang ada pada suatu wilayah
merupakan dua komponen yang saling mempengaruhi. Aktivitas pemerintah dalam hal
pelayanan publik tidak dapat dipungkiri memiliki dampak terhadap masyarakat di
suatu wilayah. Dampak tersebut dapat berupa dampak positif (seperti antara lain
penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan ekonomi, semakin terjangkaunya
pelayanan umum, dll), maupun dampak negatif (seperti antara lain birokrasi yang
bertele-tele, lambannya suatu penanganan permasalah, tidak transparannya dalam hal
pelayanan, dan lain-lain). Masyarakat memiliki cara pandang tersendiri mengenai
pelayanan yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Cara masyarakat memandang
pemerintah dalam pelayanan publik tersebut dapat diartikan sebagai persepsi. Leavitt
(1978) menyatakan bahwa persepsi (perception) adalah pandangan atau pengertian,
yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.
Dalam konteks kekinian ada suatu pergeseran terkait peran pemerintah dalam
hal menjalankan funsi memberikan pelayanan publik. Pelayanan publik adalah segala
kegiatan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, dalam pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Peningkatan pelayanan publik yang efisien dan efektif akan
mendukung tercapainya efisiensi dan efektifitas akan mendukung tercapainya efisiensi
96
pembiayaan, artinya ketika pelayanan umum yang diberikan oleh penyelenggara
pelayanan kepada pihak yang dilayani berjalan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya
atau mekanisme atau prosedurnya tidak berbelit-belit, akan mengurangi biaya atau
beban bagi pihak pemberi pelayanan dan juga penerima pelayanan. Pemerintah
sebagai instansi penyelenggara pelayanan public berkewajiban untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Ukuran keberhasilan pelayanan akan tergambar pada
indeks kepuasan masyarakat yang diterima oleh para penerima pelayanan berdasarkan
harapan dan kebutuhan mereka yang sebenarnya. Namun sebenarnya pelayanan publik
dapat bekerja sama dengan pihak swasta atau diserahkan kepada swasta apabila
memang dipandang lebih efektif dan sepanjang mampu memberikan kepuasan
maksimal kepada masyarakat.
Terkait dengan hal tersebut dalam kajian ini akan mencoba melihat secara
kualitatif tentang persepsi masyarakat yang ada di Kabupaten Semarang terhadap
penyelenggaraan pelayanan public baik yang dilaksanakan oleh instansi yang ada di
kabupatennya sendiri maupun persepsi mereka terhadap kota Salatiga. Berbicara
mengenai persepsi berarti berkaitan dengan cara pandang dan wilayah penalaran.
Dalam perspektif social, realitas tidaklah tunggal melainkan sangat kompleks. Hal ini
memungkinkan setiap orang akan memiliki cara pandang tersendiri terhadap fenomena
tersebut. Demikian pula dengan focus kajian ini sehubungan dengan pelayanan public
sebagai asumsi dari indikasi isu yang diangkat. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa
pelayanan public bagi masyarakat menjadi bagian yang sangat penting dalam
mensupport kebutuhan-kebutuhan yang semakin berkembang baik aspek social,
ekonomi, politik maupun budaya. Sebagai contoh hal yang paling bersentuhan dengan
masyarakat adalah dalam pelayanan administrative, dimana sebagian informan
mengatakan bahwa pemerintah di wilayah Kabupaten Semarang relative telah mampu
memberikan pelyanan yang sangat dirasakan masyarakatnya dengan mempermudah
urusan administrasi. Menurut Suyati1 salah satu informan penelitian, menyatakan
betapa memuaskannya pelayanan administrasi yang ada di wilayah Kabupaten
Semarang.
“Kalau di Kabupaten Semarang pelayanan nya bagus. Seperti bikin KTP cepat tidak perlu waktu yang lama. Tapi kalau ngurus apa-apa jauh harus ke Ungaran
1 Suyati (58 tahun), adalah pensiunan PNS sekaligus sebagai Ketua PKK di Desa Patemon Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang. Wawancara dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2015 di rumahnya desa Patemon Tengaran
97
seperti ngurus SIM, mungkin karena jauh dari kabupaten ngih jarang diperhatikan”…..Menurut beliau…” Kalau di Kabpuaten pelayanannya cepat, tapi kalau mau perpanjangan sepeda motor jauh harus ke Ungaran. Kalau dibandingkan Salatiga jarak untuk mengurus nya lebih dekat. Tapi, kalau di Salatiga katanya ngurus KTP nya lama tidak seperti kabupaten. Terus pelayanan di Kabupaten lebih baik karena orangnya ramah, kalau di Salatiga harus kenal orang dalam biar ngurus apa-apa cepat”
Hal senada juga disampaikan oleh informan yang lain (Fajar, Joko Parjono) ,
dimana factor pelayanan public salah satunya adalah pelayanan administratif (contoh
KTP) mereka cenderung mempersepsikan bahwa pelayanan di kabupaten lebih baik,
cepat, mudah, dan ramah. Dalam isu yang sama mereka mempersepsikan bahwa
pelayanan administratif (KTP) di Salatiga cenderung ribet, bertele-tele, tidak
transparan, dan nepotisme.
Namun di sisi lain seperti pelayanan pembuatan KTP, SIM, Perpanjangan
STNK, pelayanan kesehatan, perhatian pemerintah ke daerah, dipersepsikan bahwa
wilayah Kota Salatiga secara Geografis lebih terjangkau karena dekat dan lebih mudah
dan lebih maju.
“Aku sih liat kalau di Kabupaten Semarang mau ngurus BPKB jauh, harus ke Ungaran. Itu yang kadang bikin males ngurus”…….. SIM aku ngurus nya di Salatiga soalnya SIM nya di alamatin Salatiga ini. Nembak, jadi biar gampang dan deket ngurusnya. Soal keamanan, Salatiga menurutku ya aman, soalnya ada Polsek, terus Korem sama Kodim. Di Kaupaten Semarang ya samasih, aman juga.2
Hal yang sama juga disampaikan oleh Joko Parjono3 terkait dengan apa yang
menjadi keunggulan dan kelemahan dalam pelayanan public baik di Kabupaten
Semarang maupun persepsi mereka di wilayah Kota Salatiga.
……”Keunggulan Kabupaten Semarang menurut saya cuma luas wilayahnya mas ga ada yang lain, pembangunan apalagi infrastruktur itu belum merata mas, masalah surat menyurat juga aksesnya ke Ungaran, ga ada cabang-cabangnya, itu mas yang bikin malas sampai ga mau mengurusi apapun, bisa mas biasaya diurus sama pak RW atau kadus tapi ya kita tetep ngasih uang saku, sebagai ganti jarak nya lebih dekat ke kota. Kalau desa ini jadi di masuk Salatiga saya sangat setuju karena kalau urusan dengan pemerintah lebih dekat dan di Kota
2 Wawancara dengan Fajar Satrio Wiguno (21 tahun), seorang mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Jawa Tengah, tinggal di desa Sraten kecamatan Tuntang Kanupaten Semarang. Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2015
3 Wawancara dengan Joko Parjono, seprang Guru yang tinggal di Desa Pabelan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Beliau juga mantan ketua RT dilingkungan dia tinggal. Wawancara dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2015
98
Salatiga masalah penggajian pegawai itu setahu saya ada tunjangan insentif sama LP, sedang di kabupaten sendiri ga ada mas. Hanya harapan saya kalo masuk Salatiga untuk pelayanan public lebih dipermudah dang a dipersulit”…..
Lain Fajar dan Joko, lain pula Budi Arief4, pada dasarnya setiap orang memiliki
pesepsi yang berbeda mengenai realitas di sekelilingnya (Mulyono, 2007). Arief
meyakini bahwa warga di tempatnya ia tinggal, sebagian besar bekerja mencari rejeki
di wilayah Salatiga. Dan menurutnya pelayanan public seperti akses pendidikan dan
akses surat-menyurat selama ini cukup merepotkan kalau di kabupaten.
“Kalau sekolah ya misalnya.Dari kita itu di Jombor soal sekolah kebanyakannya ke Kodya, ke Salatiga. Soalnya gini, kalau kita sekolah di kabupaten, dari SD mau masuk ke SMP, ke tingkat yg lebih tinggi di kota, itu pasti NEM nya dipotong dan kapasitas penerimaan siswa sekolah di kabupaten juga terbatas” ………..”Lalu untuk urusan surat-surat, pelayanan publik sebenarnya gampang kalau hanya sampai tingkat kecamatan. Tapi kalau sudah masuk kab.Semarang itu jauh harus ke Ungaran itupun antrenya banyak dan lama. Pas mengurus surat elahiran contohnya, itu bisa seharian disana Cuma untuk daftar, tandatangan arsip. Terus nunggu lagi sampai sebulan baru jadi.Kesulitannya disitu…”
Lebih lanjut ketika informan ditanya seandainya ada pemekaran menjadi bagian dari
Kota Salatiga, bagaimna respon masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
…..” Untuk animo masyarakat, saya sering ngobrol-ngobrol dengan masyarakat
sekitar. Mereka kalau ada pilihan pemekaran, mereka memilih ke kodya/kota
salatiga. Terutama dari desa Jombor dan Sraten, karena itu tadi, kedekatan batas
wilayahnya juga dekat, anak sekolah banyak yang di salatiga, aktifitas bekerja
banyak di salatiga. Terus kalau di Salatiga kan per kecamatan, jadi langsung ke
kota.”
Inti dari persepsi adalah interpretasi dan persepsi manusia bersifat dinamis (Rakhmat,
1999). Artinya pemaknaan seseorang terhadap sebuah stimuli tergantung dari latar
belakang pengetahuan ataupun p[engalaman orang tersebut. Pada informan Ibu Suyati,
Fajar, Joko Parjono, dan Arief misalnya, mereka cenderung mempersepsi indikasi isu
pelayanan publik di wilayah Kabupaten Semarang berdasarkan pengalaman yang
selama ini diseleksi menjadi bekal informasi mereka. Walau tidak semua yang
4 Arief Budi (55 tahun), bekerja sebagai pegawai Swasta di Salatiga dan tinggal di Desa Jombor, Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2015 di lokasi pekerjaannya di Salatiga.
99
dipersepsikan sesuai dengan realita, namun hal tersebut adalah wajar. Karena kunci
untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu
merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang
benar terhadap situasi (Thoha, 2000)
Dari fakta hasil wawancara dengan informan menunjukkan bahwa factor
pengalaman menjadi pengaruh kuat dalam pembentukan persepsi, sebagai contoh
Arief Budi dan Fajar menggunakan pengalamannya sebagai pekerja dan yang pernah
berurusan secara administrative dalam memberikan persepsi terkait indicator isu
pelayanan public. Informan menunjukkan melalui pengalamannya baik dalam akses
pendidikan maupun pelayanan pengurusan surat-surat kendaraan yang begitu mudah
jika dilakukan di Kota Salatiga. Secara khusus persepsi dari ke empat informan
kecuali Joko Parjono hampir sama bahwa di tingkat satuan lingkungan seperti RT,
RW, Dusun, Desa dan Tingkat Kecamatan di Kabupaten Semarang memiliki
pelayanan public yang dipersepsikan oleh mereka cukup bagus, tetapi untuk instansi di
atasnya (Kabupaten) mereka merasa agak kesulitan baik secara geografis maupun
administrative, sehingga pelayanan dipersepsikan menjadi tidak efisien.
100
V. PENUTUP
Kajian kelayakan ini merupakan tindak lanjut terhadap kondisi kekinian Kota
Salatiga yang senantiasa dinamis. Kajian ini terutama difokuskan untuk menganalisis
potensi kelurahan-kelurahan yang ada di wilayah yang berbatasan dengan Kota
Salatiga yang memungkinkan untuk dimekarkan (baca: penyesuaian). Pengkajian
secara ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan analisis yang obyektif dan akuntabel,
sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai
rencana pemekaran (baca: penyesuaian) dan penataan wilayah Kota Salatiga pada
umumnya.
101
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), Evaluasi Kebijakan Pembentukan DOB, Kajian Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan Keuangan di DOB, Direktorat Otda Bappenas-Jakarta.
Bintarto R. 1977. Geografi Kota. Yogyakarta: UP Spring. Budihardjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Penerbit Alumni. Departemen Dalam Negeri. (2005), Sinopsis Penelitian: Efektifitas Pemekaran
Wilayah di Era Otonomi Daerah. Pusat Litbang Otonomi Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri. Jakarta
Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Penataan Ruang. 2007. Pedoman Kriteria
Teknis Kawasan Budidaya. Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta Ida, Laode (2005), Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia, Media Indonesia,
Jakarta, 22 Maret 2005 Jaweng, Robert dan Tri Ratnawati. 2005. Meninjau Kebijakan Pemekaran Daerah.
Jentera: Jurnal Hukum 10 (3): 60-73. Laode Ida (2005), Permasalahan Pemekaran Daerah di Indonesia. Media Indonesia,
22 Maret 2005 Pemerintah Republik Indonesia (2004), Undang-Undang No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah (www.indonesia,go.id) Pemerintah Republik Indonesia (2014), Undang-Undang No. 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah (www.indonesia,go.id) Piliang, Indraa J. (2004), Otonomi, Pemekaran, atau Merdeka?, Kompas, Jakarta
(www.kompas.co.id) Salatiga Dalam Angka, Tahun 2001, 2002, 2003, 2012, 2013, BPS Kota Salatiga USAID Democartic Reform Support Program (2006), Membedah Reformasi
Desentralisasi Di Indonesia, Ringkasan Laporan, USAID-DRSP, Jakarta.