Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR
RISET KOMPETENSI DOSEN UNPAD (RKDU)
MODEL AGRIBISNIS UBI JALAR UNGGULAN UNPAD SEBAGAI
SUMBER DAYA HAYATI BERORIENTASI INDUSTRI DALAM
UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANINYA
Dibiayai oleh:
Dana Hibah Internal Unpad
Skema Riset Kompetensi Dosen Unpad (RKDU)
Sesuai dengan Kontrak Penelitian
Nomor: 002/UN6.E/PL/2018, Tanggal 22 Mei 2018
Tahun Ke 1 (Satu) Dari Rencana 3 (Tiga) Tahun
TIM PENGUSUL
Ketua:
Dr. Hepi Hapsari, Ir. MS.
NIDN: 0010046307
Anggota:
Dr. Elly Rasmikayati, Dra., M.Sc.
NIDN: 0002106407
Dr.sc.agr., Ir. Agung Karuniawan, M.Sc.agr.
NIDN: 0001116602
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERTANIAN
DESEMBER 2018
Bidang Riset : Pangan
Rumpun Ilmu : Sosial Ekonomi Pertanian
IDENTITAS DAN URAIAN UMUM RKDU
1. Judul Riset :
Model Agribisnis Ubi Jalar Unggulan UNPAD sebagai Sumber Daya Hayati
Berorientasi Industri dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petaninya
2. Judul PPM :
Upaya Pemberdayaan Petani Ubi Kayu melalui Pengembangan Model Agribisnis Ubi
Jalar Berbasis Industri
3. Tim Periset/Pelaksana :
No Nama Jabatan Bidang
Keahlian Fakultas
Alokasi
Waktu
(jam/minggu)
1. Dr. Hepi Hapsari, Ir.
MS.
Anggota Penyuluh
an
Pertanian
Pertanian 12
2. Dr. Elly Rasmikayati,
dra., M.Sc.
Ketua Sosial
Ekonomi
Pertanian
Manajemen
Sumber Daya
Hayati
12
3. Dr.sc.agr., Ir. Agung
Karuniawan,
M.Sc.agr.
Anggota Agro-
teknologi
Manajemen
Sumber Daya
Hayati
10
4. Bobby Rachmat S.,
S.Si., M.EP.
Asisten
Peneliti
Agri-
bisnis
Pertanian 10
4. Objek Riset (jenis material yang diteliti dan segi riset):
Agribisnis ubi jalar unggulan UNPAD berorientasi Industri, dan kesejahteraan
petaninya
5. Masa Pelaksanaan
Mulai : bulan Mei tahun 2018
Berakhir : bulan Desember tahun 2020
6. Usulan Biaya
Anggaran Kegiatan Riset : Rp 150.000.000,00
Anggaran Kegiatan PPM : Rp. 20.000.000,00
7. Pusat Riset/Pusat Studi/Pusat Unggulan :
Pusat Studi Teknologi dan Inovasi Lingkungan
8. Instansi yang Terlibat (jika ada, dan uraikan apa kontribusinya)
9. Temuan yang Ditargetkan (penjelasan gejala atau kaidah, metode, teori, produk, atau
rekayasa)
Menguji gejala dan variasi atau penyimpangan antara yang terjadi di lapangan dan teori
secara spesifik lokasi maupun makro sehingga dapat ditemukan saran kebijakan yang
paling tepat sebagai model agribisnis ubi jalar unggulan unpad sebagai sumber daya
hayati berorientasi industri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petaninya
10.Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu (uraikan tidak lebih dari 50 kata,
tekankan pada gagasan fundamental dan orisinal yang akan mendukung
pengembangan iptek-sosbud)
Penelitian ini akan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya agribisnis ubi jalar unggulan unpad dari hilu hingga ke hilir, serta dapat
dijadikan acuan/dasar dalam membuat kebijakan bidang agribisnis, sumber daya hayati
dan bidang social khususnya dalam rangka peningkatan produksi ubi jalar berorientasi
industri dan peningkatan kesejahteraan petani ubi jalar unggulan UNPAD.
11. Rencana Luaran Wajib: Jurnal Internasional Bereputasi (Q1-Q4)(yang menjadi
sasaran (tuliskan nama terbitan berkala terakreditasi)
International Journal Ijaber
12. Rencana Luaran Tambahan:
a. Prosiding Internasional Terindeks (sebutkan nama seminar dan tempat)
Seminar Nasional di PT Ternama
b. Hak Kekayaan Intelektual (sebutkan bentuk dan judul karya yang akan di HKI-kan)
Tidak Ada
13. Keterlibatan Mahasiswa (sebutkan S1, S2dan/atau S3 dan sebutkan berapa orang)
Mahasiswa S1 3 Orang
14. Tingkat Kesiapterapan Teknologi (isi dengan skala 1-9 mengacu pada LAMPIRAN
D)
Skala 3
RINGKASAN
Agribisnis merupakan pilihan pemerintah untuk dijadikan instrument untuk
mensejahterakan petani. Sebagai seumbi fakta bahwa agribisnis merupakan suatu sistem
yang sangat kompleks yang menyangkut berbagai aspek dan saling terkait satu sama
lain. Ubi jalar merupakan salah satu sumberdaya hayati unggulan yang berdaya saing
industri karena permintaan untuk ekspor yang tinggi. Unpad telah menciptakan
beberapa varietas ubi jalar yang memiliki daya saing industri yang baik dan sudah
dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun demikian, kajian agribisnis
ubi jalar dari sudut pandang social ekonomi di tingkat petaninya belum banyak diteliti.
Untuk tahun pertama, penelitian ini bertujuan untuk: 1) Memahami karakteristik
usahatani ubi jalar; 2) Menganalisis karakteristik individu petani ubi jalar; dan 3)
Memahami dan menganalisis sistem agribisnis ubi jalar dari subsistem hulu hingga hilir.
Penelitian ini berlokasi di Kec. Arjasari, Kab. Bandung. Metode penelitian
menggunakan mix method yang meliputi metode penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Alat análisis yang digunakan adalah descriptive statistics analysis, Focus Discussion
Group (FGD) dan survey dengan menggunakan teknik Simple Random Sampling. Hasil
penelitian ini diharapkan menjadi dasar untuk memperkuat petani dalam memutuskan
untuk melakukan agribisnis ubi jalar unggulan Unpad agar mengutamakan efisiensi
serta sebagai dasar pembuatan kebijakan bagi pemerintah untuk menguatkan
kelembagaan agribisnis ubi jalar unggulan Unpad yang berkelanjutan (sustainable),
sehingga pada akhirnya diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan bagi para petani
secara signifikan.
Key words: Ubi jalar unggulan Unpad, karakteristik usahatani ubi jalar, karakteristik
individu petani ubi jalar, sistem agribisnis usahatani ubi jalar.
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN SAMPUL ……................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
RINGKASAN ...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 4
2.1. Sistem Agribisnis …………………………..………………….. 4
2.2. Persepsi dan Perilaku Usahatani ….………..………………….. 6
2.3. Efisiensi Usahatani …….…………………..………………….. 9
2.4. Kelembagaan Terkait Keberlanjutan Usahatani …………….. 12
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ................................... 1
3.1. Tujuan Penelitian ….................................................................... 3
3.2. Manfaat Penelitian ….................................................................. 3
BAB 4 METODE PENELITIAN ................................................................. 13
4.1. Desain Penelitian ........................................................................ 13
4.2. Metode Analisis Data ................................................................ 16
4.3. Luaran Riset …………................................................................ 20
BAB 5 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI...................................... 21
4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian …...................................... 21
4.2. Keragaan Usahatani Ubi Jalar ………........................................ 30
4.3. Karakteristik Individu Petani Ubi Jalar ……….......................... 40
4.4. Sistem Agribisnis Ubi Jalar ………............................................ 54
4.5. Luaran yang dicapai …………………........................................ 62
BAB 6 RENCANA TAHAP BERIKUTNYA …......................................... 66
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ………............................................ 68
6.1. Kesimpulan ………………......................................................... 68
6.2. Saran ………….......…………………........................................ 68
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70
BAB I
PENDAHULUAN
Agribisnis merupakan pilihan pemerintah untuk dijadikan instrument untuk
mensejahterakan petani. Sebagai seumbi fakta bahwa agribisnis merupakan suatu sistem
yang sangat kompleks yang menyangkut berbagai aspek dan saling terkait satu sama
lain.. Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam.) merupakan salah satu sumberdaya nabati
potensial dengan kandungan karbohidrat tinggi yang dapat mendukung terwujudnya
ketahanan pangan nasional. Selain itu, ubi jalar juga mengandung mineral dan vitamin
ubi jalar yang tinggi (Ishida et al., 2000; Manrique and Roca, 2007; Burri, 2011). Ubi
jalar dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan pangan maupun sebagai bahan baku
industri seperti a) Daun untuk sayuran dan pakan ternak, b) Batang untuk bahan tanam
dan pakan ternak, c) Kulit ubi untuk pakan ternak, d) Ubi segar digunakan sebagai bahan
makanan, e) Tepung ubi jalar sebagai bahan makanan, f) Pati ubi jalar dimanfaatkan
untuk fermentasi, pakan ternak, asam sitrat (Zuraida dan Supariati, 2001). Pemanfaatan
ubi jalar sebagai bahan pangan, bahan baku industri dan sumber energi merupakan
respon terhadap kebijakan pemerintah tentang “Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal” (Peraturan
Presiden No 22 tahun 2009), dan “Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal” (Peraturan Menteri Pertanian No. 43/ Permentan/
OT.140/ 10/ 2009), menunjang visi misi Jawa Barat “meningkatkan ekonomi pertanian”
dengan prioritas tematik sektoral/tema riset potensial yaitu Jawa Barat bebas rawan
pangan (Common Goals Jawa Barat, 2015),serta dilandasi topik riset pilar pangan
Universitas Padjadjaran yaitu “pangan lokal untuk pangan nasional” (Renstra Unpad,
2012-2016).
Permintaan pasar eksport ubi jalar yang beragam (ubi madu, stick, dan paste)
terus meningkat. Kebutuhan bahan baku ubi segar 2014 sekitar 15 ton/hari untuk ekspor
ubi “madu”, 20 ton/hari untuk bahan baku stick ekspor, dan 25 ton/hari untuk paste
(komunikasi pribadi dengan mitra industri PT. Indowooyang). Namun, dalam potensi
tersebut terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh industri berbasis ubi jalar di
Indonesia diantaranya adalah tidak terjaminnya kontinyuitas bahan baku ubi jalar dari
produsen ubi jalar baik kuantitas maupun kualitasnya, dan potensi hasil yang masih
rendah. Hal ini terjadi karena berbagai faktor yang terkait kegiatan usaha tani ubi jalar,
seperti masih rendahnya kapasitas produksi ubi jalar produsen (kuantitas dan kualitas),
masih terbatasnya luasan tanam, masih rendahnya pemahaman bisnis dari pelaku
produsen ubijalar, dan masih rendahnya keterkaitan antara produsen ubi jalar sebagai
penghasil bahan baku industri dengan mitra industri.
Luas areal tanam ubi jalar dari tahun ke tahun terus meningkat. Wilayah sentra
produksi utama adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara,
Bali, NTT, dan Papua (BPS, 2011). Namun budidaya ubi jalar yang berorientasi pada
industri sebagian besar berada di Jawa Barat.Belum adanya arahan pengembangan ubi
jalar menyebabkan petani melakukan uji tanam ubi jalar pada lahan yang belum tentu
sesuai atau di lahan marginal.Perbedaan lingkungan tumbuh ubi jalar menyebabkan
perkembangan dan hasil ubi baik secara kualitas maupun kuantitas dapat
berbeda(Nedunchezhiyanet al.,2012).Diketahuinya wilayah yang sesuai bagi
pertumbuhan dan hasil ubi jalar dapat menunjang ekstensifikasi budidaya ubi jalar
secara optimal.Terlebih dengan adanya varietas ubi jalar unggul yang berpeluang untuk
digunakan secara luas. Hal ini dapat menunjangpeningkatkan ketersediaan pasokan
bahan baku industri berbasis pangan ubi jalar.
Menurut Manrique and Roca (2007) Indonesia menyumbangkan 2% bagi
produksi ubi jalar di seluruh dunia. Tingkat adopsi petani akan varietas unggul ubi jalar
di Indonesia sangat rendah dan didominasi beragam varietas lokal yang spesifik lokasi.
Dengan banyaknya varietas lokal ini, maka kemungkinan variasi produktivitas ubi jalar
di Indonesia berbasis masyarakat melalui penanaman varietas lokal yang beragam
sangatlah besar. Namun demikian beragamnya varietas lokal yang dimanfaatkan
masyarakat merupakan potensi genetik potensial untuk meningkatkan kapasitas
genetik.Temuan teknologi UNPAD berupa varietas ubi jalar unggul baru yang sudah
memiliki HKI PVT (varietas AWACHY1-5) maupun calon klon ungul baru lainnya
dapat memberikan dampak lebih pada petani dan industri pengguna. Terlebih
pengembangan varietas unggul tersebut dapat ditunjang dengan ketersediaan informasi
lokasi penanaman yang sesuai bagi pertumbuhan dan hasil ubi jalar.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Varetas Ubi Jalar Unggulan
Pengggunaan plasma nutfah ubi jalar lokal sebagai sumber perbaikan genetik
adalah dalam upaya pelestarian sumber genetik potensial dari kepunahan, dan dapat
dijadikan acuan karakteristik spesifik dalam pembentukan varietas unggul baru. Ubi
jalar lokal ini merupakan kumpulan gen “baik” hasil seleksi masyarakat berdasarkan
pendekatan kearifan lokal (Shaumi et al., 2011; Waluyo and Karuniawan, 2011).
Adanya keragaman pada ubi jalar lokal pada dasarnya memberikan pilihan kepada
petani untuk menanam ubi jalar sesuai dengan kebutuhannya. Petani tradisional
memiliki peranan penting dalam konservasi dan generasi keragaman spesies yang
dibudidayakan dan telah diteliti di berbagai belahan dunia selama lebih dari satu abad
(Martins, 1994; Brush, 2000). Serangkaian faktor dianggap penting dalam memilih
spesies dalam pertanian tradisional adalah faktor budaya dan kelimpahan, ketersediaan
dan kemudahan perolehan spesies (Cleveland et al., 1994). Pengelolaan plasma nutfah
ubi jalar melalui rancangan lapangan yang memungkinkan terjadinya saling menyerbuk
silang telah menghasilkan biji dari tetua betina yang diketahui, dan menghasilkan
keturunan potensial untuk diseleksi dan diuji daya hasil lebih lanjut (Maulana et al.,
2010; Roosda et al., 2010).
Ubi jalar memiliki sistem kawin silang luar tanaman ini diperbanyak secara
vegetatif dengan masing-masing kultivar dianggap klon (Prakash et al., 1996). Self-
ketidakcocokan dalam hasil bunga di allogamy, meningkatkan heterozigositas genetik
(Thomson et al., 1997). Kompatibilitas seksual berhubungan dengan sistem self-
incompatibility multiallelic sporophytic yang diekspresikan dalam stigma (Diaz et al.,
1996). Identifikasi varietas merupakan kegiatan yang penting untuk mengurangi
tuntutan hukum, konfirmasi hak kekayaan intelektual, dan memelihara kemurnian
genetik. Karakter morfologi telah diakui secara universal sebagai deskriptor dan
karakterisasi varietas tanaman. Penggunaan deskriptor morfologi dalam metode
sekuensial sangat berguna untuk membedakan varietas yang berbeda. Identifikasi
morfologi yang didukung dengan pendekatan analisis statistik telah berhasil
membedakan klon-klon unggul dan menghindari duplikasi (Shiotani et al., 1990;
Sahuquillo et al., 1997; Tutel et al., 2005; Veasey et al., 2007; Afuape et al., 2011).
Kapasitas adaptasi dari spesies atau jenis tanaman untuk iklim, varian geografis dan
budaya juga penting, karena petani tradisional tertarik dalam struktur keanekaragaman
dan populasi yang memungkinkan mereka untuk memaksimalkan adaptasi lokal (Soleri
and Smith, 1995).
Allard dan Bradshaw (1964) mengemukakan, pertumbuhan dan hasil tanaman
sangat dipengaruhi oleh interaksi klon x lingkungan. Dengan adanya interaksi klon x
lingkungan, suatu populasi yang menampilkan hasil tertinggi di suatu lokasi sering tidak
konsisten di lokasi lain. pengujian suatu klon di beberapa lingkungan yang berbeda perlu
dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih komprehensif terutama tentang
keragaman yang muncul di bawah pengaruh kondisi eksternal yang berbeda. Bilbro dan
Ray (1976) mengemukakan bahwa keberhasilan program pemuliaan tanaman akan
tercapai jika memperhatikan aspek (i) tingkat hasil klon yang mempunyai hasil di atas
rata-rata, (ii) adaptasi, yaitu bentuk lingkungan yang dapat memunculkan klon-klon
terbaik, dan (iii) stabilitas, yaitu konsistensi hasil suatu klon dibandingkan dengan klon
lain. Semua aspek ini akan terintegrasi dalam satu pengukuran hasil suatu klon.
Pengujian multilokasi yang cukup representatif bagi semua lingkungan tumbuh penting
dilakukan untuk mengetahui daya adaptasi, potensi hasil, dan stabilitas hasil agar dapat
ditentukan galur yang berdaya adaptasi luas dan sempit. Suatu pengukuran pengaruh
lingkungan terhadap hasil adalah juga merupakan pengukuran untuk mengetahui daya
adaptasi (Nor and Cady, 1979).
2.2. Persepsi dan Perilaku Petani
Persepsi mengenai mutu suatu jasa dan kepuasan menyeluruh memiliki beberapa
indikator atau petunjuk yang bias dilihat. Pelanggan mungkin tersenyum ketika mereka
berbicara mengenai barang atau jasa. Mereka mungkin mengatakan hal-hal yang bagus
tentang barang atau jasa. Senyum merupakan suatu bukti bahwa pelanggan puas,
sebaliknya cemberut mencerminkan kekecewaan. Istilah kepuasan pelanggan dan
persepsi mutu merupakan label yang kita pergunakan untuk meringkas suatu himpunan
aksi atau tindakan yang terlihat, terkait dengan produk atau jasa (Supranto, 2001).
Perilaku adalah tindakan (kegiatan atau tindak-tanduk) manusia yang dapat
diamati. Sebaliknya sikap merupakan pencerminan dari dorongan-dorongan yang
datang dari dalam diri seseorang dan reaksi terhadap stimulus yang datang dari
lingkungan. Bila sikap tersebut disalurkan keluar, terjadilah perilaku. Jadi sikap adalah
kecenderungan untuk berperilaku (Sastrodiningrat, 1986).
Perilaku berasal dari kata “peri” dan “laku”. Peri berarti cara berbuat dan laku
berarti perbuatan, kelakuan, dan cara menjalankan.1 Menurut kamus psikologi, perilaku
adalah perbuatan atau aktivitas.2 Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dan
mendarah daging disebut dengan perilaku. Di mana perilaku adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari.
Skinner membedakan perilaku menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku yang alami (innate behavior) adalah perilaku yang dibawa sejak
lahir yang berupa refleks-refleks dan insting-insting, seperti haus cari minum
dan meminumnya.
2. Perilaku operan (operant behaviour) adalah perilaku yang dibentuk melalui
proses belajar, seperti cara berpakaian atau cara berbicara. Perilaku operan
(operant behaviour) merupakan perilaku yang dominan dimiliki oleh
manusia. Perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk, yang diperoleh,
dan dikendalikan oleh pusat kesadaran atau otak (kognitif). Proses
pembentukan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari
diri sendiri, antara lain susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, dan
belajar.
Mengenai perilaku manusia, terdapat tiga asumsi yang saling berkaitan.
Pertama, perilaku itu disebabkan. Kedua, perilaku itu digerakkan. Ketiga, perilaku itu
ditujukan pada sasaran/tujuan. Tiga Asumsi tersebut yang berarti bahwa proses
perubahan perilaku memiliki kesamaan setiap individu, yakni perilaku itu ada
penyebabnya, terjadinya tidak dengan spontan, dan mengarah kepada kepada suatu
sasaran, baik secara eksklusif maupun inklusif.
Menurut Karmila seperti yang dikutip dari Levis, perilaku di sini bisa juga
dikaitkan dengan perilaku petani yang dicerminkan dalam tindakan sehari-hari mereka
baik dalam lingkungan seperti keluarga, masyarakat maupun lingkungan pekerjaan.
Dalam teori Lawrence Green menurut Karmila seperti yang dikutip oleh Notoadmojo
perilaku manusia ditinjau dari tingkat kesehatan, dimana kesehatan seseorang
dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku.5
Faktor perilaku dibentuk oleh:
1. Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya,
2. Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana untuk
kegiatan pertanian, serta
3. Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petani yang merupakan referensi dari perilaku masyarakat.
Beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
2.3. Efisiensi Usahatani, Pengolahan dan Pemasaran
Efisiensi adalah ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu
dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya. Efisiensi juga berarti rasio
antara input dan output atau biaya dan keuntungan (Mulyadi, 2007;63). Menurut
Hasibuan (2005;233) yang mengutip pernyataan H. Emerson, efisiensi adalah
perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan
dengan sumber-sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal yang
dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dengan kata lain hubungan antara
apa yang telah diselesaikan. Dari uraian disimpulkan bahwa efisiensi adalah suatu cara
dengan bentuk usaha yang dilakukan dalam menjalankan sesuatu dengan baik dan tepat
serta meminimalisir pemborosan dalam segi waktu, tenaga dan biaya.
Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat
itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tanah dan air, perbaikan-perbaikan
yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan
di atas tanah dan sebagainya (Mubyarto, 1989). Dr Mosher memberikan definisi farm
(yang diterjemahkan oleh Krisnandi menjadi usahatani) sebagai suatu tempat atau
bagian dari permukaan bumi di mana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani
tertentu apakah ia seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji. Dengan
demikian, usahatani pada dasarnya adalah alokasi sarana produksi yang efisien untuk
mendapatkan produktivitas pendapatan usahatani yang tinggi. Jadi usahatani dikatakan
berhasil kalau diperoleh produktivitas yang tinggi dan sekaligus juga pendapatan yang
tinggi. Efisiensi usahatani berkaitan dengan pengelolaan usahatani dalam pengambilan
keputusan yang terbaik dan tepat serta meminimalisir pemborosan dalam segi lahan,
waktu, tenaga dan biaya dalam memilih antara berbagai alternatif penggunaan sumber
daya yang terbatas. Pemilihan usahatani secara efisien memerlukan berbagai informasi
untuk dijadikan pedoman, baik informasi hasil-hasil penelitian, maupun informasi
sesaat atau insidensil dari pemerintah dan swasta yang bergerak dalam bidang pertanian
(Soekartawi et al, 1984).
Pengolahan hasil pertanian merupakan komponen kedua dalam kegiatan
agribisnis setelah komponen produksi pertanian (Soekartawi, 2003 dalam Rahmawati,
2004). Pada penanganan hasil tanaman, tindakan yang dilakukan segera setelah panen
disebut pengolahan hasil panen, tindakan tersebut bila tidak dilakukan segera, akan
menurunkan kualitas dan mempercepat kerusakan sehingga komoditas tidak tahan lama
disimpan sebelum dipasarkan. Banyak petani yang tidak melaksanakan pengolahan
hasil yang disebabkan oleh berbagai sebab, padahal disadari bahwa kegiatan pengolahan
ini dianggap penting, karena dapat meningkatkan nilai tambah. Komponen pengolahan
hasil pertanian menjadi penting karena pertimbangan diantaranya untuk meningkatkan
nilai tambah, meningkatkan kualitas hasil, meningkatkan penyerapan tenaga kerja,
meningkatkan ketrampilan produsen dan meningkatkan pendapatan produsen. Efisiensi
dalam pengolahan hasil pertanian berkaitan dengan usaha pengambilan keputusan
dalam memaksimalkan perlakuan pada hasil panen agar sebanyak mungkin tidak rusak
sebelum masuk pasar serta usaha memberikan nilai tambah agar hasil panen tersebut
baik yang terserap pasar ataupun tidak dapat menjadi produk yang memberikan nilai
yang lebih dan dapat dipasarkan, tentunya segala usaha tersebut dilakukan dengan
mengoptimalkan input yang digunakan dalam proses pengolahannya.
Pemasaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengusahakan produk
yang dipasarkannya itu dapat diterima dan disenangi oleh pasar (Gitosudarmo 1994).
Efisiensi pemasaran adalah ukuran dari persentase perbandingan antara nilai pemasaran
dengan nilai produk yang dipasarkan, karena itu pasar yang tidak efisien akan terjadi
jika: (1) Biaya pemasaran semakin besar. (2) Nilai produk yang dipasarkan jumlahnya
tidak terlalu besar (Soekartawi 1993). Lebih lanjut Soekartawi menyatakan bahwa
efisiensi pemasaran akan terjadi jika: (1) Biaya pemasaran dapat ditekan sehingga
keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi. (2) Persentase perbedaan harga yang
dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi. (3) Tersedianya fasilitas fisik
pemasaran, dan (4) Adanya kompetisi pasar yang sehat. Beberapa syarat dapat
digunakan sebagai ukuran efisiensi pemasaran (Khols dalam Irviani 2008), yaitu:
1. Keuntungan pemasaran
2. Harga yang diterima konsumen
3. Tersedianya fasilitas fisik pemasaran
4. Kompetisi pasar yang sehat
Efisiensi dapat ditunjukkan dengan mengukur margin pemasaran, saluran
pemasaran, dan dapat digunakan sebagai tolak ukur tingkat efisiensi suatu pemasaran
(Bressler dalam Irviani 2008). Efisiensi pemasaran didasarkan pada hubungan antar
biaya pemasaran dengan volume komoditi yang di usahakan, sedangkan prinsip efisiensi
dalam kegiatan pemasaran adalah usaha meminimumkan besarnya biaya tiap unit
komoditi untuk periode waktu tertentu. Langkah untuk mencapai efisiensi pemasaran
dalam mempertinggi laba harus dilakukan usaha penekanan biaya dan margin
pemasaran itu sendiri. Usaha-usaha tersebut ditunjukkan kepada tercapainya efisiensi
pemasaran dalam rangka mempertinggi tingkat kepuasan dari semua pihak yang terlibat
dalam proses pemasaran (Hanafiah dan Saefudin 1983).
2.4. Kelembagaan Agribisnis untuk Keberanjutan Usahatani
Secara empirik sistem agribisnis yang berdaya saing dicirikan oleh dua kondisi
yaitu: adanya kaitan fungsional antara bidang agribisnis dan lembaga pendukung
agribisnis, dan adanya kaitan institusional di antara bidang agribisnis. Kaitan yang serasi
di antara bidang agribisnis menyebabkan sistem agribisnis bersifat efektif dalam
merespon dinamika pasar output. Sedangkan kaitan institusional menyebabkan sistem
agribisnis bersifat efisien. Hal ini karena adanya kaitan institusional tersebut
menyebabkan seluruh kegiatan agribisnis berada dalam satu kendali kegiatan, dan
“marjin ganda” serta “sharing system” yang tidak adil di antara pelaku agribisnis dapat
ditekan (Litbang Deptan, 2007). Oleh karena itu pengembangan kelembagaan harus
mempertimbangkan aspek ekonomi, kelembagaan ekonomi berasumsi bahwa pilihan
rasional individu harus mengarah pada efisiensi sebagai pengaturan kelembagaan yang
mempunyai biaya transaksi paling sedikit (Lieberherr, 2009).
Pengembangan agribisnis ramah lingkungan merupakan agribisnis yang dari
segi perencanaan usaha telah memperhitungkan dukungan kekuatan alam secara
berkelanjutan. Tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya alam disesuaikan dengan daya
dukung dan resistensi sumberdaya alam yang ada, sehingga produktivitas sumberdaya
setempat dari waktu ke waktu tetaplah stabil. Alternatif lain pengurasan atau
pengrusakan akibat kegiatan agribisnis diupayakan ditanggulangi dengan penambahan
investasi yang dikhususkan untuk mengembalikan mutu sumberdaya alam seperti
semula atau (paling tidak) seperti sebelum diusahakan (Pranadji, 2003). Keberlanjutan
seumbi inovasi melampaui tahap ide tergantung pada bagaimana para pelaku mengubah
norma-norma dan pola interaksi melalui inovasi kelembagaan (Prasad, 2007).
BAB 3
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian tahun pertama ini bertujuan untuk:
1) Memahami karakteristik usahatani ubi jalar
2) Menganalisis karakteristik individu petani ubi jalar
3) Memahami dan menganalisis sistem agribisnis ubi jalar dari subsistem hulu
hingga hilir
3.2. Kegunaan Riset
1. Secara keilmuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan keilmuan di bidang agribisnis dan sosial ekonomi pertanian.
2. Riset ini secara praktis diharapkan menguji gejala dan variasi atau
penyimpangan antara yang terjadi di lapangan dan teori secara spesifik lokasi
maupun makro sehingga dapat ditemukan saran kebijakan yang paling tepat
sebagai model agribisnis ubi jalar unggulan unpad sebagai sumber daya hayati
berorientasi industri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petaninya. Selain
itu, penelitian ini dapat dijadikan acuan/dasar dalam membuat kebijakan bidang
agribisnis, sumber daya hayati dan bidang social khususnya dalam rangka
peningkatan produksi ubi jalar berorientasi industri dan peningkatan
kesejahteraan petani ubi jalar unggulan UNPAD.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Riset
Penelitian dilakukan dengan metode Survey-eksplanatory, dengan teknik
pengambilan sampel acak sederhana. Populasi penelitian adalah para petani ubi jalar di
daerah sentra ubi jalar di Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dalam beberapa
tahapan klaster. Tahap pertama, klaster sentra uni jalar unggulan Unpad di Jawa Barat
adalah kecamatan Arjasari kabuaten Bandung. Dari Kabupaten Arjasari akan ditentukan
sampel desa dengan rumus sampling acak klaster tahap pertama. Berdasarkan
perhitungan menggunakan rumus sampel acak sederhana bisa diambil minimal 1 desa
sentra ubi jalar unggulan Unpad yaitu desa Arjasari. Penentuan desa Arjasari sebagai
lokasi penelitian dilakukan secara acak dengan menggunakan software MINITAB.
Gambar 3.1. Teknik Pengambilan Sampel Petani Ubi Jalar
Selanjutnya dari desa Arjasari diambil sejumlah responden petani ubi jalar
dengan rumus sampling acak sederhana. Untuk menentukan ukuran sampel (sample
size) yang akan digunakan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini digunakan
teknik penarikan sampel acak sederhana sebagai berikut (Anderson et. al.) :
Kab. Bandung
Kecamatan Arjasari
A
Responden Petani Ubi Jalar Unggulan Unpad
Kecamatan Arjasari
A
𝑛 =𝑁�̅�(1 − �̅�)
(𝐵2
4𝑁) + �̅�(1 − �̅�)
di mana:
𝑛 = ukuran sampel
𝑁 = ukuran populasi
�̅� = point estimate untuk proporsi populasi dengan sampling error terkecil = 0,5
𝐵 = bound on sampling error = 2 × 0,05 × 𝑁 = 0,1 × 𝑁
Dengan tidak adanya data valid tentang jumlah petani ubi di desa arjasari maka
digunakan ukuran sampel sebanyak 114 orang petani. Dengan ukuran sampel dapat
menutupi ukuran populasi yang tak terhingga, sehingga berapapun ukuran populasinya
maka akan terwakili oleh nilai ukuran sampel tersebut. Dengan demikian didapatkanlah
responden orang petani ubi jalar unggulan Unpad yang mewakili populasi petani ubi
jalar di sentra ubi jalar unggulan Unpad di Kabupaten Bandung.
4.2. Metode Analisis Data
Penelitian dilaksanakan dengan metode kombinasi kuantitatif-kualitatif (mixed
methods research). Menurut Creswell dkk. (2008) metode penelitian kombinasi
kuantitatif-kualitatif adalah metode yang berfokus pada pengumpulan dan analisis data
serta memadukan antara data kuantitatif dan kualitatif. Metode ini digunakan untuk
menangani tingkatan yang berbeda dalam satu sistem. Temuan dari setiap tingkatan
dipadukan untuk merumuskan interpretasi yang menyeluruh.
4.2.1. Alat Analisis Data Persepsi dan Perilaku Petani dalam Melakukan
Agribisnis Ubi Jalar Unggulan Unpad
Untuk proses penelitian tahun pertama, teknik analisis kuantitatif yaitu statistika
deskriptif dilakukan untuk menganalisis perilaku data mengenai persepsi dan perilaku
petani dalam melakukan agribisnis ubi jalar unggulan Unpad dengan perhitungan
statistik. Alat yang digunakan untuk mendukung analisis ini berupa berbagai tabel,
cross-tabulasi, diagram dan bermacam grafik. Pada bagian ini juga akan dibahas
mengenai bentuk sebaran jawaban responden terhadap keseluruhan konsep yang diukur.
Operasionalisasi variable persepsi dan perilaku petani ubi jalar disajikan pada Tabel 3.1.
Konsep Dimensi Sub Dimensi Variabel Satuan Respon Kualitatif
Persepsi
Perilaku
- Persepsi
terhadap
bentuk
fisik
tanaman
- Persepsi
terhadap
hasil
panen ubi
jalar
- Keinginan
membudi-
dayakan
- Keinginan
mengolah
hasil
panen
- UKuran daun
- Tingkat
kesuburan
- Warna daun
- Ketahanan
terhadap
hama
- Ukuran umbi
- Warna umbi
- Produksi
umbi
- Potensi
usahatani
- Keinginan
membudi-
dayakan
- Keinginan
mengolah
hasil panen
1. Kecil
2. Sedang
3. Besar
1. Tidak subur
2. Kurang subur
3. Subur
1. Hijau muda
2. Hijau
3. Hijau tua
(merah/ungu)
1. Tidak tahan
2. Kurang tahan
3. Tahan hama
1. Kecil
2. Sedang
3. Besar
1. Putih
2. Kuning
3. Ungu
1. Sedikit
2. Cukup
3. Tinggi
1. Tidak berpotensi
2. Cukup berpotensi
3. Sangat berpotensi
1. Tidak ingin
2. Ragu-ragu
3. Sangat ingin
1. Tidak ingin
2. Ragu-ragu
3. Sangat ingin
Dari sebaran jawaban responden tersebut, selanjutnya akan diperoleh seumbi
kecenderungan dari seluruh jawaban yang ada. Untuk mendapat kecenderungan
jawaban responden terhadap masing-masing variabel, akan didasarkan pada nilai skor
rata-rata (indeks) yang dikategorikan ke dalam rentang skor berdasarkan perhitungan
three box method berikut ini (Ferdinand, 2006):
Proses ini melalui beberapa tahapan, yaitu:
1. Scoring
Dalam penelitian ini urutan pemberian skor menggunakan skala likert yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Sangat Baik = Skor 5
Baik = Skor 4
Netral/Ragu-ragu = Skor 3
Buruk = Skor 2
Sangat Buruk = Skor 1
2. Penentuan Rentang Skor
Survey ini menggunakan skala Likert dengan skor tertinggi di tiap
pertanyaannya adalah 5 dan skor terendah adalah 1. Dengan jumlah responden sebanyak
62 orang, maka:
Skor terendah : 114 x 1 = 114
Skor tertinggi : 114 x 5 = 570
Sehingga rentang untuk hasil survey adalah
Rentang = Skor tertinggi – Skor terendah = 570 – 114 = 456
dengan jumlah kelas sebanyak 5 kelas sebagaimana jumlah skor dalam skala
likert yang digunakan dalam penelitian ini, maka panjang interval kelas (𝑃) adalah
sebagai berikut
𝑃 =𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔
𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙=
248
5= 91,20
Dengan demikian rentang skor-nya adalah:
a. 114 – 205,20 = Sangat buruk
b. 205,21 – 296,40 = Buruk
c. 296,41 – 387,60 = Netral
d. 387,61 – 478,80 = Baik
e. 478,81 – 310 = Sangat baik
Rentang skor ini merupakan kesimpulan untuk variabel persepsi dan perilaku
petani ubi yang diturunkan dari indikator-indikator atau pertanyaan-pertanyaan untuk
setiap variabel tersebut.
3. Tabulating
Pengelompokan atas data jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan atau
indikator yang membentuk variabel-variabel penelitian dengan benar dan teliti,
kemudian dilakukan proses scoring per indikator dan jumlah skor untuk variabel
penelitian merupakan nilai rata-rata dari semua skor jawaban dari pertanyaan/indikator.
Nilai rata-rata tersebut merupakan kesimpulan untuk setiap variabel berdasarkan nilai
rentang skor yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kemudian dilakukan juga analisis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu
mengolah data dan informasi verbal tentang seluruh gejala yang didapat dari hasil
analisis kuantitatif. Dalam mendapatkan penjelasan dan pemahamaan mengenai
perilaku data dilakukan metoda FGD (Focus Group Discussion) dan studi kasus ke
petani ubi jalar di lapangan untuk lebih menggali lagi alasan dibalik hasil analisis data,
apa alasan di lapangan mengapa hasilnya seperti demikian. Selain itu juga digunakan
teori-teori yang berasal dari literatur serta hasil-hasil penelitian sebelumnya yang terkait
dengan topik penelitian.
4.2.2. Alat Analisis Efisisensi Usahatani, Pengolahan dan Pemasaran Ubi Jalar
Unggulan Unpad yang Dilakukan Petani
Analisis data efisiensi usahatani, pengolahan dan pemasaran ubi jalar unggulan
Unpad menggunakan pendekatan Data Analysis Development (DEA). Metoda ini
merupakan pendekatan non-parametrik dalam mengukur tingkat efesiensi dan tidak
membutuhkan asumsi khusus seperti parametrik. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis data dimana ketersediaan data nya masih sangat terbatas untuk memenuhi
penggunaan pendekatan lain, serta penggunaan multi input dan multi output yang sukar
di akomodir oleh pendekatan lainnya. Dalam DEA, efisiensi relatif DMU didefinisikan
sebagai rasio dari total output tertimbang dibagi total input tertimbangya (total weighted
output/total weighted input). Inti dari DEA adalah menentukan bobot (weights) atau
timbangan untuk setiap input dan output DMU. Bobot tersebut memiliki sifat : (1) tidak
bernilai negatif , dan (2) bersifat universal, artinya setiap DMU dalam sampel harus
dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama untuk mengevaluasi rasionya (total
weighted output/total weighted input) dan rasio tersebut tidak boleh lebih dari 1 (total
weighted output/total weighted input <1).
Ada dua model yang digunakan dalam pendekatan DEA, yaitu model CRS
(1978) dan VRS (1984). Berikut adalah penjelasan dari kedua model tersebut:
a. Constant Returns to Scale (CRS) Model Constant Return to Scale
dikembangkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes (oleh karena itu, model CRS dapat
juga disebut dengan model CCR) pada tahun 1978. Dan Yumanita dan Ascarya (2005)
menyatakan “Model ini mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan
output adalah sama (constant returns to scale)”. Artinya, jika ada tambahan input sebesar
x kali, maka output akan meningkat sebesar x kali juga. Asumsi lain yang digunakan
dalam model ini adalah setiap perusahaan atau unit pembuat keputusan (DMU)
beroperasi pada skala optimal. Rumus constant returns to scale dapat dituliskan sebagai
berikut (Handoyo, 2008):
b. Variable Returns to Scale (VRS)
Model ini dikembangkan oleh Banker, Charnes, Rhodes (karenanya dapat juga
disebut dengan model BCC) pada tahun 1984 dan merupakan pengembangan dari model
CRS. Model ini berasumsi bahwa rasio antara penambahan input dan output tidak sama
(variable returns to scale). Artinya, penambahan input sebesar x kali tidak akan
menyebabkan output meningkat sebesar x kali, bisa lebih kecil (decreasing returns to
scale) atau lebih besar dari x kali (increasing returns to scale). Rumus Variable Return
to Scale (VRS) dapat dituliskan dengan program matematika seperti berikut (Handoyo,
2008). Konstanta μo bertanda bebas, yakni dapat bernilai positif ataupun negatif
(Cooper et al., 2007). Konstanta μo dalam rumus VRS di atas menyebabkan
penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x
kali pula melainkan dapat lebih kecil atau lebih besar dari x kali. Adapun μo dapat
bernilai positif apabila output mengalami peningkatan (increasing), namun apabila
negatif maka output mengalami penurunan (decreasing).
Penelitian ini menggunakan model DEA CCR primal input-oriented, dimana
model ini bertujuan untuk mengurangi jumlah input yang digunakan agar dapat
mendapatkan hasil output pada tingkat yang sama melalui metode constant return to
scale (CSR). Alasan penggunaan metode ini adalah untuk melihat dampak dari
perubahan nilai yang dilakukan terhadap input perusahaan untuk mendapatkan hasil
output dengan nilai yang sama. Model DEA CCR yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Model CCR Primal : Max ℎ𝑘 = ∑ 𝑈𝑟𝑠𝑟=1 𝑌𝑟𝑘
Subject to: ∑ 𝑉𝑖𝑚𝑖=1 𝑌𝑖𝑘 = 1
∑ 𝑈𝑟𝑌𝑟𝑗 − ∑ 𝑉𝑖𝑋𝑖𝑗 ≤ 0
𝑈𝑟 , 𝑉𝑟 ≥
Di mana:
𝑈𝑟 = Bobot yang ditentukan terhadap output r
s = Jumlah output
𝑉𝑟 = Bobot yang ditentukan terhadap output i
m = Jumlah input
ℎ𝑘 = Efisiensi relatif terhadap variabel ke k (usahatani, pengolahan dan pemasaran)
n = Jumlah variabel (usahatani, pengolahan dan pemasaran)
= Konstanta positif bobot variabel
4.2.2. Model Kelembagaan Agribisnis Ubi Jalar Unguulan Unpad yang Dapat
Meningkatkan Keberlanjutan Usahatani Ubi Jalar Unggulan Unpad
Analisis data keberlanjutan usahatani, pengolahan dan pemasaran ubi jalar
unggulan Unpad menggunakan Multidimensional Scalling (MDS). Penghitungan indeks
keberlanjutan menggunakan bantuan perangkat lunak RAPFISH (Rapid Appraisal for
Fisheries) yang dikembangkan oleh Rapfish Group Fisheries Centre University of
British Columbia, Kanada (Pitcher, 1999; Fauzy dan Anna, 2005) yang dimodifikasi
untuk keperluan penelitian ini sehingga bernama RAPSPOT (Rapid Appraisal for Sweat
Potatoes). Metode MDS ini dipilih karena mampu memberikan hasil secara
menyeluruh, cepat dan obyektif terkait dengan aspek-aspek yang mempengaruhi
keberlanjutan usahatani, sehingga memudahkan untuk mengimplementasikan dalam
kebijakan. Kruskal (1977); Borg dan Groenen (2005) menyatakan bahwa MDS
merupakan analisis statistik untuk mengetahui kemiripan dan ketidakmiripan variabel
yang digambarkan dalam ruang geometris. Kelemahannya menurut Lee (2011) adalah
hanya berdasarkan pada permodelan kognitif.
Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam penggunaan MDS, yaitu penentuan
dimensi dan atribut melalui diskusi pakar, penilaian dan pemberian skor secara ordinal
dalam rentang 0 (buruk) sampai 3 (baik) sesuai dengan karakter atribut oleh responden
terpilih atau berdasarkan data-data yang didapat (baik primer maupun sekunder).
Langkah selanjutnya melakukan ordinansi MDS terhadap dimensi analisis pengungkit
(leverage factor) dari atribut-atribut berdasarkan Root Mean Square (RMS) pada sumbu
x. Tahap akhir adalah melakukan analisis Monte Carlo untuk mengetahui pengaruh galat
dalam pemberian skor. Untuk mengetahui ketepatan analisis dilakukan penentuan
Goodness of fit dalam MDS berdasarkan nilai S-Stress yang dihitung dari nilai S dan
R2. Proses iterasi dapat dihentikan jika nilai R2 sudah mendekati 1. Nilai stress yang
rendah menunjukkan good fit dan nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Nilai
stress dihitung menggunakan rumus berikut:
𝑆𝑇𝑅𝐸𝑆𝑆 = (∑ ∑ (𝛿2 − 𝜉𝑖𝑗)
2𝑛𝑖=1
𝑛𝑗=1
∑ ∑ 𝛿𝑖𝑗2𝑛
𝑖=1𝑛𝑗=1
)
1
2
Metode ini telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi tingkat keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya alam. Penelitian Kholil dan Dewi, (2014) telah dapat
mengidentifikasi tingkat keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan di
Kepulauan Seribu dengan menggunakan MDS, demikian juga Nurmalina (2008) dengan
menggunakan MDS dapat mengidentifikasi tingkat keberlanjutan ekologi, ekonomi dan
sosial terhadap ketersediaan beras di Jawa dan luar Jawa (Kalimantan dan Sumatra).
Nilai indeks keberlanjutan menggunakan skala yang dikembangkan University
Columbia, Canada dalam Fauzi dan Anna (2005), disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Kategori Status Keberlajutan
Nilai Indeks Kategori
0,00 – 25,00 Buruk (Tidak Berkelanjutan)
25,01 – 50,00 Kurang (Kurang Beekelanjutan)
50,01 – 75,00 Cukup (Cukup Berkelanjutan)
75,01 – 100,00 Baik (Sangat Berkelanjutan)
4.3. Luaran Riset
Tabel 2. Tahapan, Luaran, dan Capaian Penelitian
Tahun I Tahun II Tahun II
Tahapan Survey Petani Survey Usahatani Aplikasi Model
Pengumpulan
Data
Data sekunder
Sampel petani
Melengkapi Data
sekunder
Sampel kelompok tani
Rekomendasi
Kebijakan
Luaran Profil petani
ubi jalar
unggulan
Unpad
Analysis efisiensi
usahatani
Analysis sistem
pengolahan ubi jalar dan
efisiensinya
Analisis
keberlanjutan
usahatani ubi
jalar unggulan
Unpad
Tahun I Tahun II Tahun II
Analisis
persepsi dan
perilaku petani
dalam
menjalankan
usahatani ubi
jalar unpad
Analsysis sistem
pemasaran ubi jalar dan
efisiensinya
Terbentuknya
model
kelembagaan
agribisnis ubi
jalar unggulan
Unpad yang
berkelanjutan
(sustainable)
sehingga
diharapkan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
petani ubi jalar
Indikator
Capaian
Min 1 artikel
jurnal nasional
terakreditasi
dan 1 jurnal
Q4
Min 1 artikel jurnal
nasional terakreditasi dan
1 jurnal Q4
Min 1 artikel
jurnal nasional
terakreditasi
dan 1 jurnal
Q4
BAB 5
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
5.1.1. Keadaan Umum Desa Arjasari
Desa Arjasari merupakan Desa yang berada dibelahan lain kaki gunung Malabar,
Desa yang berada di sudut selatan Kabupaten Bandung ini terdiri atas berbagai potensi
serta kearifan lokal yang ter-integrasi dengan adat khas masyarakat sunda pada
umumnya yang kental dengan nuansa Religiusitas , Someah, serta Seni Budaya yang
tetap mampu eksis dan bertahan tidak tergerus arus zaman.
5.1.1.1. Letak Geografis
Wilayah Desa Arjasari terletak di ketinggian kurang lebih 700 – 1.000 Meter
diatas permukaan laut dengan suhu rata – rata 28 derajat Celcius dengan curah hujan
rata – rata 3.560 mm/tahun dengan luas wilayah 768,848 Ha. Sebagian besar wilayah
terdiri dari dari Daerah Pertanian dan Perumahan Penduduk. Keadaan tanah pada
umumnya terdiri dari dataran tinggi pegunungan dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut :
Tabel 5.1. Batas Wilayah Desa Arjasari
Batas Desa/Kelurahan Kecamatan
Sebelah Utara Pinggirsari dan Wargaluyu Arjasari
Sebelah Timur Pinggirsari Arjasari
Sebelah Selatan Baros dan Pinggirsari Arjasari
Sebelah Barat Lebakwangi Arjasari
5.1.1.2. Demografis
Wilayah Desa Arjasari terbagi menjadi 5 (Lima) Dusun dengan jumlah Rukun
Tetangga (RT) 67 dan Rukun Warga (RW) 15. Jumlah Penduduk Desa Arjasari
Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung sampai dengan akhir bulan Desember 2013
adalah 10.345 Jiwa yang terdiri dari 5.222 Jiwa penduduk laki-laki dan 5.123 Jiwa
penduduk perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 3.004 Kepala Keluarga.
Pembagian golongan jumlah penduduk di desa Arjasari berdasarkan umur antara lain:
Tabel 5.2. Sebaran Umur Penduduk Desa Arjasari
No. Golongan Laki-Laki Perempuan
1. Penduduk Usia 0-6 tahun 624 640
2. Penduduk Usia 7-18 tahun 1378 1348
3. Penduduk Usia 19-56 tahun 2846 2696
4. Penduduk Usia 56 tahun ke atas 525 564
Jumlah sumber daya manusia yang produktif dan tidak produktif di Desa
Arjasari berdasarkan rasio laki – laki dan perempuan antara lain:
Tabel 5.3. Sebaran Usia Produktif Penduduk Desa Arjasari Berdasarkan Jenis
Kelamin
No. Tenaga Kerja Laki-Laki Perempuan
1. Penduduk usia produktif (18-56 tahun) yang bekerja 2129 625
2. Penduduk usia produktif (18-56 tahun) yang tidak bekerja 717 2071
Desa Arjasari dikenal dengan desa yang kaya akan kekayaan alamnya serta
potensi sumber daya alam yang belum tersentuh oleh berbagai pihak khususnya
investor-investor yang kerap mencari lahan untuk kemudian dibudidayakan. Potensi
masyarakat Desa Arjasari terdiri dari beberapa aspek yaitu pertanian, peternakan, dan
kegiatan usaha produktif. Berdasarkan hidrologinya, aliran-aliran sungai yang ada di
wilayah Desa Arjasari membentuk pola Daerah Alirah Sungai (DAS) Citarum Tercatat
beberapa sungai maupun solokan yang terdapat di Desa Arjasari, yaitu :
1) Sungai Ciparis (yang berbatasan dengan Desa Pinggirsari)
2) Sungai Cibintinu (yang membelah Desa Arjasari)
3) Sungai Cilingga (yang berbatasan dengan Desa Baros)
4) Sungai Cikalimorot (yang membelah Desa Arjasari)
5.1.2. Potensi Desa Arjasari
Desa Arjasari memiliki potensi antara lain :
1. Jumlah penduduk yang sangat tinggi dan rata-rata memiliki mata
pencaharian bertani;
2. Lahan pertanian yang sangat luas dan belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh
pemilik sesuai dengan peruntukannya;
3. Terdapatnya masyarakat yang memiliki keterampilan berupa selain dari
bertani yang belum ditumbuhkembangkan sesuai kemampuannya;
Desa Arjasari merupakan seumbi desa yang terletak di Kecamatan Arjasari,
Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Desa Arjasari terdiri dari 5 dusun yang terbagi
menjadi 15 RW. Luas desa sebesar 70.862 ha dengan batas wilayah sebelah barat adalah
lebak wangi, sebelah timur adalah Desa Pinggirsari, sebelah utara adalah warga guyu
dan sebelah selatan adalah Desa Baros. Desa Arjasari memiliki luas lahan pertanian
seluas 597 ha, lahan sawah seluas 335 hs dan lahan perhutani seluas 150 ha.
Desa Arjasari dikenal dengan desa yang kaya akan kekayaan alamnya serta
potensi sumber daya alam yang belum tersentuh oleh berbagai pihak khususnya
investor-investor yang kerap mencari lahan untuk kemudian dibudidayakan. Potensi
masyarakat Desa Arjasari terdiri dari beberapa aspek yaitu pertanian, peternakan, dan
kegiatan usaha produktif. Berikut adalah penjelasan kegiatan-kegiatan tersebut:
5.1.2.1. Pertanian
Arjasari merupakan tempat yang cocok untuk mengembangkan usaha pada
sektor pertanian. Arjasari memiliki wilayah seluas 768.848 ha, dengan ketinggian 700-
1.000 di atas permukaan laut, curah hujan 3.660 per tahun, suhu harian rata-rata adalah
26oC. Sehingga daya dukung lingkungan terhadap pertanian masih terkategori tinggi.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang diunggulkan pada kekayaan alam
Desa Arjasari, diantaranya adalah jagung manis sebagai salah satu yang diunggulkan
pada sektor pertanian sebanyak 1 – 1,5 ton per hektar serta beras sebanyak 3,5 – 4 ton
per hektar. Selain itu Desa Arjasari juga memiliki tanaman kopi yang sebagian besar
ditanam dibawah pohon pinus, tanaman umbi-umbian, ubi cilembu, singkong, serta
berbagai jenis tanaman palawija lainnya.
Jagung-jagung manis yang dihasilkan pada sektor pertanian Desa Arjasari
kemudian dijual kepada tengkulak atau bandar seharga Rp 2.000,- mayoritas petani
tidak menjual secara langsung ke pasar. Begitu juga dengan ubi cilembu para pertani
tradisional kemudian menjual ubi cilembu ini kepada para tengkulak dengan harga Rp
6.000,- /kg. Mayoritas penduduk asli Desa Arjasari bermata pencaharian sebagai petani
dan buruh tani, hal ini merupakan suatu kegiatan yang telah dilakukan secara turun
temurun oleh mayoritas penduduk asli Desa Arjasari. Sementara mayoritas penduduk
pendatang Desa Arjasari memiliki mata pencaharian yang beragam seperti pedagang,
wirausaha
5.1.2.2. Peternakan
Pada umumnya setiap penduduk Desa Arjasari yang bertani juga turut
melakukan kegiatan beternak. Kegiatan beternak ini juga merupakan suatu kegiatan
mata pencaharian yang dilakukan secara turun temurun oleh para tetua sebelumnya.
Desa Arjasari dikenal dengan hewan ternak Domba yang sangat diunggulkan pada
sektor peternakan. Ternak domba ini menjadi sangat menguntungkan ketika hari raya
Idul Adha tiba, berbagai kalangan masyarakat dari berbagai daerah kerap datang ke
Desa Arjasari pada hari raya Idul Adha untuk mencari domba-domba berkualitas yang
diunggulkan di Desa Arjasari. Pengelolaan kegiatan ternak domba ini dapat dikatakan
cukup baik dan dapat mengikuti kondisi serta keadaan pasaran setiap saat.
Selain ternak domba yang sangat terkenal di Desa Arjasari ini, terdapat ternak
ayam broiler, peternakan ini terletak di Desa Karangmukti yang sebagian besar
merupakan peternakan yang berbentuk makloon. Makloon merupakan suatu perjanjian
kerjasama yang disepakati oleh pihak peternak ayam dengan pihak yang telah
menyediakan ayam, kandang dan obat-obatan. Jumlah keseluruhan ayam yang terdapat
pada ternak ayam broiler ini adalah sebanyak 5.000 ekor per kandang.
Selain itu terdapat sapi pedaging dan sapi perah yang juga turut menjadi suatu
potensi yang diunggulkan oleh Desa Arjasari ini. Namun dalam kenyataan nya terdapat
beberapa kendala yang menghambat pertumbuhan peternakan warga Desa Arjasari.
Berkaitan dengan hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan melalui program SMD
(Sarjana Masuk Desa) telah memberikan modal kepada para sarja yang kemudian
dilakukan dengan harapan bahwa para peternak dapat memulai mengembangkan
peternakannya lebih baik lagi.
5.1.2.3. Kegiatan usaha produktif atau Home Industry
Pada sektor kegiatan usaha produktif, Desa Arjasari memiliki salah satu
keunggulan pada kegiatan usaha produktif yaitu tekstil. Kegiatan usaha produktif tekstil
yang dimaksud ini merupakan kegiatan tekstil seperti pembuatan baju yang dilakukan
di rumah masing-masing warga, usaha ini berawal dari sebagian tenaga kerja yang
berasal dari Desa Arjasari yang bekerja di pabrik tekstil pada Kabupaten Bandung dan
Kota Bandung yang kemudian dikembangkan oleh masing-masing tenaga kerja tersebut
di lingkungan Desa Arjasari sehingga warga dapat menghasilkan produk tekstil khas
penduduk Desa Arjasari.
Selain kegiatan usaha produktif tekstil, Desa Arjasari juga memiliki beberapa
sektor usaha yaitu pabrik tahu, pabrik sabun rumahan, pabrik sepatu dan pabrik batako.
Disamping itu terdapat usaha listrik yang terletak pada RW 14. Desa ini juga memiliki
salah satu keunggulan pada sektor kuliner yang diolah secara langsung dari hasil
pertanian desa ini seperti kerupuk yang terdapat pada RW 9, makanan ringan stik yang
terdapat pada RW 14, kicimpring yang terdapat pada RW 9, combring yang terdapat
pada RW 5 serta makanan-makanan ringan lainnya yang menjadi keunggulan Desa
Arjasari.
5.1.2.4. Lahan Perhutani
Desa Arjasari merupakan desa yang masih sangat kaya akan kekayaan alamnya
selain sektor pertanian dan sektor peternakan, Desa Arjasari memiliki lahan perhutani
yang sangat luas dimana sebagian besar lahan tersebut ditanami dengan tanaman pohon
pinus yang tumbuh besar secara alami di desa ini. Hal ini dapat dilihat secara jelas pada
sepanjang jalan menuju Desa Arjasari yang terdiri dari hamparan hijau yang sangat luas
dan berdiri berbagai pepohonan rindang sangat indah dengan pemandangan pegunungan
serta bukit yang ada di sekitarnya.
5.1.3. Permasalahan Desa Arjasari
5.1.3.1. Permasalahan Masyarakat
Desa Arjasari merupakan seumbi desa yang masih sangat murni dan kaya akan
kekayaan alamnya. Namun begitu pada kenyataannya dibalik berbagai potensi yang
dimiliki oleh Desa Arjasari ini tentu terdapat permasalahan-permasalahan yang menjadi
kendala dalam mendukung perkembangan Desa Arjasari ini. Permasalahan masyarakat
yang dialami dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat Desa
Arjasari termasuk dalam kategori masyarakat prasejahtera. Hal ini disebabkan oleh
fluktuatifnya harga yang dihasilkan pada sektor pertanian. Selain itu berdasarkan hasil
pengamatan dapat dikatakan bahwa sekitar dua hingga tiga persen masyarakat Desa
Arjasari memiliki rumah yang tidak layak huni. Kriteria rumah tidak layak huni tersebut
dapat ditinjau ketika rumah dengan luas yang tidak lebih dari 8 m2 namun dihuni oleh
lebih dari satu kepala keluarga yang terdiri lebih dari sepuluh anggota keluarga,
kemudian tidak terdapat sarana MCK (mandi, cuci, kakus) yaitu kamar mandi atau wc
di dalam rumah sehingga warga yang tidak memiliki sarana ini harus berbagi kamar
mandi dengan warga lainnya yang memiliki sarana tersebut.
5.1.3.2. Permasalahan Alam
Desa Arjasari merupakan desa yang masih sangat murni, sebagian besar lahan
Desa Arjasari terdiri dari lahan hijau yang sangat luas. Namun begitu hal ini tidak
menutup kemungkinan bagi desa yang terletak pada seumbi lereng gunung yang
memiliki kemiringan yang cukup curam serta rapatnya kontur tanah untuk terjadinya
longsor. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya tanaman hijau yang berfungsi untuk
menahan tanah pada lereng-lereng yang curam tersebut agar tidak longsor. Di sisi lain
di desa yang terletak pada kaki gunung malabar ini kerap kali timbul kabut tebal yang
muncul setelah hujan deras turun khususnya pada sore hari, hal ini tidak begitu
mengganggu aktivitas warga pada saat siang hari namun menjelang terbenam nya
matahari dan sangat kurangnya sarana penerangan jalan pada hampir sepanjang jalan
desa ini menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat pada malam hari karena dapat
mengurangi jarak pandang serta membahayakan pengendara.
Disamping itu akses jalan utama menuju Desa Arjasari dapat dikatakan tidak
memadai, dikatakan demikian karena hampir sebagian besar jalan utama menuju Desa
ini rusak dan hancur. Mirisnya kondisi tersebut telah terjadi selama beberapa tahun ini
dan belum ada pihak yang menyentuh permasalahan tersebut. Hal serupa juga dapat
dilihat pada RW 13 yang merupakan seumbi komplek perumahan dengan nama Kota
Baru Arjasari yang terletak di daerah kaki gunung malabar dengan pemandangan alam
yang sangat indah. Komplek yang asri dan indah ini dibangun oleh seumbi developer
pada sekitar tahun 1990 namun seiring dengan perkembangan waktu menurut
pengakuan warga, developer yang bersangkutan meninggalkan proyek tersebut
sehingga akses jalan yang sebelumnya dibangun mulus dengan beton dan aspal seiring
dengan perkembangan waktu kian rusak dan tidak terpelihara dengan baik lagi. Hal ini
juga yang menyebabkan rusaknya akses jalan menuju salah satu kawasan Desa Arjasari
tersebut.
5.1.3.3. Permasalahan Pertanian
Ditinjau dari segi pertanian, penduduk Desa Arjasari dapat dikatakan terbagi
menjadi dua golongan, yaitu penduduk asli Desa Arjasari yang mayoritas bermata
pencaharian sebagai petani dan buruh tani yang dilakukan secara turun temurun, serta
penduduk pendatang yang kemudian menempati Desa Arjasari dengan mata
pencaharian yang beragam diantaranya adalah pedagang, peternak, petani, ibu rumah
tangga, serta tenaga kerja yang bekerja di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.
Berkaitan dengan ini penduduk sekitar cenderung menyebut penduduk pendatang yang
bermata pencaharian petani sebagai petani profesional. Dikatakan demikian karena
petani-petani yang merupakan penduduk pendatang ini cenderung menyewa sebagian
lahan desa untuk kemudian diolah sebagai lahan pertanian mereka yang didukung
dengan teknologi yang sangat memadai.
Pada sektor pertanian jagung terdapat ketergantungan dari bibit yang dihasilkan
dari pabrik sehingga berdasarkan pengakuan beberapa warga serta kepala desa, hal ini
dipandang bahwa terdapat suatu strategi yang digunakan oleh pabrik dalam
menghasilkan bibit tersebut dengan harga yang fluktuatif sehingga dianggap merugikan
para petani tradisional yang masih sangat tergantung pada bibit hasil olahan pabrik
tersebut karena menurut pengakuan, para petani tradisional tidak dapat menghasilkan
bibit sendiri.
Selain itu pada sektor pertanian jagung yang merupakan salah satu ikon dari
Desa Arjasari ini, seringkali terjadi defisit yang disebabkan oleh perbedaan hasil panen
yang dirasakan oleh petani tradisional apabila dibandingkan dengan petani profesional.
Hasil pertanian petani tradisional dijual ke tengkulak / bandar dengan harga Rp 2.000,-
/kg dengan hasil rata-rata 1 – 1,5 ton per hektar yang menghabiskan biaya operasional
sekitar 2 – 2,5 juta rupiah per kilo bibit. Sementara hasil pertanian petani profesional
dijual langsung ke pasar tanpa melalui tengkulak / bandar dengan harga lebih dari Rp
2.000,-/kg yaitu berkisar antara Rp 4.000,- hingga Rp 6.000,- dengan hasil rata-rata 2,5
– 3 ton per hektar namun hal ini dilakukan dengan biaya operasional yang sama dengan
petani tradisional yaitu sekitar 2 – 2,5 juta rupiah per kilo bibit.
Namun begitu hal ini salah satunya disebabkan karena kualitas jagung yang
dihasilkan oleh petani profesional memiliki hasil yang lebih baik yang didukung dengan
teknologi yang tentunya lebih baik daripada petani tradisional. Dalam hal ini sangat
nampak bahwa terdapat suatu kesenjangan sosial antara penduduk asli Desa Arjasari
yang bermata pencaharian sebagai petani tradisional dan petani profesional tersebut.
Selain itu lemahnya permasalahan pada sektor pertanian ini juga disebabkan salah
satunya karena kurangnya kesadaran para pemuda serta pemudi desa ini untuk turut
serta dalam mengembangkan sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian
mayoritas penduduk Desa Arjasari.
Pada sektor pertanian umbi-umbian penanaman dapat dilakukan dengan
pembibitan sendiri dan tidak tergantung dengan bibit hasil olahan pabrik seperi pada
sektor pertanian. Penanaman umbi-umbian ini dapat menggunakan obat kimia
perangsang kentang yang didapat dari Lembang dan Pangalengan. Namun begitu dalam
hal ini tidak terdapat pengaturan pola tanam yang baik sehingga hasil yang dihasilkan
dapat dikatakan kurang maksimal, disamping itu kesadaran masyarakat mengenai
pengaturan pola tanam masih sangat kurang sehingga pengaturan ini sangat sulit untuk
dilaksanakan serta diterapkan untuk mendukung hasil pertanian yang lebih baik.
5.1.3.4. Permasalahan Kesehatan
Permasalahan kesehatan yang terdapat pada Desa Arjasari adalah kurangnya
kesadaran mengenai kesehatan serta kebersihan lingkungan yang tidak menjadi
perhatian utama masyarakat desa yang juga didukung dengan sulitnya akses menuju
pelayanan kesehatan. Selain itu juga terdapat beberapa penyakit yang sering diderita
oleh masyarakat Desa Arjasari seperti hipertensi, TBC, infeksi saluran pernafasan akut,
dan lain-lain.
5.1.3.5. Permasalahan Potensi Kekayaan Alam
Desa Arjasari merupakan desa yang memiliki berbagai kekayaan alam yang
masih sangat murni dan belum banyak tersentuh oleh pihak-pihak luar desa. Ditinjau
dari potensi alamnya, desa ini memiliki potensi alam yang luar biasa yang dapat
dijadikan icon wisata yang kemudian dapat menjadi sumber pendapatan bagi para
penduduk desa untuk meningkatkan pendapatan warga desa dengan memaksimalkan
potensi alam yang ada tersebut. Namun begitu kurang memadai akses jalan utama untuk
menjangkau desa ini dirasakan sebagai salah satu faktor penghambat masuknya investor
untuk menanamkan modalnya di kawasan Desa Arjasari dengan membangun kawasan
wisata di daerah sekitar Desa Arjasari ini sehingga dapat memaksimalkan potensi alam
yang dimiliki oleh Desa Arjasari ini.
5.1.3.6. Permasalahan Teknologi
Desa Arjasari merupakan desa yang terletak di kaki gunung malabar dengan
kekayaan alam yang sangat melimpah, namun begitu hal ini tidak didukung dengan
sarana dan prasarana yang memadai sehingga berbagai potensi alam yang dimiliki Desa
Arjasari tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Desa Arjasari memiliki hasil
pertanian yang sangat menjual secara materil namun kurangnya teknologi dalam
pengolahan lebih lanjut hasil pertanian tersebut menjadi kendala dalam pengolahan hasil
pertanian yang lebih baik. selain itu dikatakan bahwa hampir segala kegiatan sehari-hari
yang dilakukan oleh warga desa dilakukan secara tradisional, padahal dengan masuknya
teknologi dan informasi yang memadai tentunya dapat juga meningkatkan kualitas
pertanian serta peternakan Desa Arjasari serta meningkatkan kesadaran masyarakat desa
dalam berbagai hal.
5.1.3.7. Permasalahan Perhutani
Desa Arjasari merupakan desa yang masih memiliki lahan perhutani yang sangat
luas yaitu seluas 150 hektar. Hal ini tentunya dapat dimanfaatkan secara maksimal
sebagai lahan hijau serta lahan resapan untuk menampung persediaan air dibawahnya.
Belakangan ini Kementrian Kehutanan Republik Indonesia mengadakan program
penghijauan pada lahan perhutanan Desa Arjasari dengan menanam tanaman jati dan
tanaman jabon dengan perjanjian bahwa setelah umur 10 tahun kayu-kayu tersebut
boleh ditebang dan selama itu penduduk Desa Arjasari yang bermata pencaharian
sebagai petani masih dapat melakukan kegiatan bercocok tanam dibawahnya. Namun
pada kenyataannya, pohon jati dan pohon jabon merupakan pohon besar yang tumbuh
tinggi menjulang keatas sehingga untuk waktu 2 tahun pertama masyarakat desa masih
dapat melakukan kegiatan bercocok tanam dibawahnya, namun setelah itu sinar
matahari tidak dapat masuk ke sela-sela pepohonan jati dan jabon tersebut sehingga
tanaman pertanian yang tumbuh dibawah pepohonan tersebut kekurangan sinar
matahari. Hal ini menyebabkan menurunnya kegiatan produksi pertanian Desa Arjasari
dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini. Selain itu kurangnya kesadaran akan
pengetahuan hukum dari penduduk Desa Arjasari sebagai pemiliki lahan-lahan yang
kini ditanami oleh pepohonan jati dan jabon tersebut yang merupakan akar dari
permasalahan ini terjadi. Berdasarkan pengakuan warga yang bersangkutan, warga
hanya menandatangani secarik kertas tanpa pemahaman mengenai hal tersebut. Hal ini
sangat disayangkan mengingat bahwa pada hakikatnya setiap masyarakat dianggap tahu
hukum tak terkecuali bahwa seseorang tersebut merupakan petani yang tidak lulus
sekolah dasar atau warga yang tinggal di pedalaman. Seseorang tersebut juga tidak bisa
mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya
hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu. Namun begitu pada sisi
pemerintahan, pemerintah berkewajiban untuk menyampaikan adanya hukum atau
peraturan tertentu kepada masyarakat.
5.2. Keragaan Usahatani Ubi Jalar Petani
5.2.1. Benih Ubi jalar
Petani ubi jalar di lokasi penelitian yang dijadikan responden adalah petani yang
menanam ubi jalar varietas kuningan putih (AC Putih) dan varietas ubi ungu. Varietas
kuningan putih merupakan varietas lokal dan paling banyak dibudidayakan oleh petani
di lokasi penelitian. Alasan petani menggunakan varietas kuningan putih karena varietas
lokal unggulan dengan produktivitas tinggi, bercita rasa manis, bentuknya bulat, tahan
terhadap panas, harga jual cukup tinggi, serta permintaan pasar selalu ada sepanjang
tahun. Ciri fisik tanaman ubi jalar ini adalah daunnya yang runcing dan agak tipis serta
berwarna hijau tua. Sedangkan varietas ubi ungu memiliki ciri fisik daunnya lebar dan
tumbuh lebat serta warna daun yang hijau agak keunguan.
Gambar 5.1. Tanaman Ubi jalar Ungu (Kiri) dan Ubi Jalar Kuning (Kanan) yang
Banyak Dibudidayakan oleh Petani di Arjasari
5.2.2. Status lahan dan Pola Taman Ubi Jalar
Petani ubi jalar di lokasi penelitian umumnya menanam ubi jalar di lahan
miliknya. Pola tanam ubi jalar yang mereka gunakan umumnya pola tanam ubi-
palawija/padi-ubi yakni pola tanam yang diselingi penanaman palawija untuk lahan
kebun/ladang dan padi untuk lahan sawah. Tanaman penyelang palawija bisa juga
diganti dengan tanaman kacang-kacangan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Petani
yang tidak memiliki lahan biasanya menyewa atau menyakap lahan dengan biaya sewa
dibayar menggunakan hasil panen ubi. Selain itu, ada juga yang menggarap lahan gadai
untuk ditanami ubi jalar.
Gambar 5.2. Kegiatan Kunjungan ke Kebun Ubi Jalar Petani oleh Tim Enumerator
5.2.3. Penggunaan Pupuk dan Pestisida
Menurut ketua kelompok tani di lokasi penelitian, pemupukan biasanya
dilakukan sekali saja yaitu pada saat usia tanaman menginjak sekitar 2 bulan dengan
sistem pembukaan tanah. Tanah dibuka agar akarnya terlihat kemudian diberikan pupuk
(umumnya pupuk NPK) lalu ditutup kembali dengan tanah tapi tidak terlalu dalam. Hal
ini dimaksudkan agar akar dapat bernafas dengan lebih baik dan agar air hujan/irigasi
bisa langsung mengenai akar tanaman sehingga proses pertumbuhan umbi akan lebih
maksimal. Untuk lahan kebiun atau ladang, pemupukan dilakukan dengan melihat iklim,
jika petani menilai bahwa akan turun hujan maka mereka akan segera melakukan
pemupukan. Hal ini dilakukan karena pupuk NPK yang mereka pakai jika setelah
diberikan tidak terkena air maka tidak akan diserap oleh tanaman.
Mengenai hama pengganggu tanaman, mereka mengeluhkan adanya hama
“lanas” yang menyebabkan umbi manjadi busuk, permukaan kulit luar umbi tidak mulus
dan menimbulkan bau yang kurang enak. Berdasarkan informasi dari beberapa orang
petani, disebutkan bahwa jika ubi yang terkena hama tersebut diproses/dimasak maka
akan terbentuk seacam racun yang dapat meyebabkan gangguan kesehatan. Untuk
meminimalisisasi dampak dari serangan hama tersebut, petani umumnya melakukan
semacam treatment khusus pada lahannya sebelum dilakukan petananaman atau pada
saat pengolahan lahan. Mereka manambahkan kapur dolomit dan garam tanpa iodium
agar benih/larva “lanas” mati dan mencegah induknya untuk menyimpan telur di tanah
mereka. Penyemprotan insektisida juga mereka lakukan untuk mengatasi serangan hama
pengganggu tanaman ubi. Namun demikian, menurut mereka, setelah segala usaha
tersebut dilakukan, faktanya selalu ada saja umbi ubi jalar yang masih terkena hama
“lanas” tersebut, walaupun tidak sampai 50% dari hasil panen.
Gambar 5.3. Salah satu tampilan daging ubi jalar yang terkena hama “lanas”
5.2.4. Hasil Produksi dan Sistem Pemasaran Ubi Jalar
Usahatani ubi jalar yang mereka budidayakan mampu menghasilkan produksi
ubi jalar sebesar 250-300 kg untuk lahan sekitar 100 m2. Menurut mereka hasil panen
ubi akan langsung dibeli oleh Bandar yang dating ke lokasi petani. Penyortiran ubi
biasanya dilakukan bersamaan pada saat bandar datang. Ada juga yang memakai sistem
tebasan, mereka menjual ubi tanpa harus memanen, panen dilakuka oleh
pembeli/Bandar. Petani yang lebih mementingkan efisiensi biaya biasanya banyak yang
menggunakan sistem ini.
Gambar 5.4. Beberapa Hasil Panenan Ubi Jalar di Lokasi Penelitian
5.3 Karakteristik Responden
Dalam pembahasan kali ini akan dijelaskan mengenai karakteristik responden.
Responden pada penelitian kali ini adalah petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari,
Kabupaten Bandung. Ciri-ciri petani yang dapat dijadikan sebagai responden adalah
petani ubi jalar yang telah memiliki pengalaman berusahatani ubi jalar paling tidak 1
musim tanam. Jumlah responden yang digunakan pada penelitian kali ini adalah 100
orang. Keseluruhan petani ubi jalar yang menjadi responden adalah petani ubi jalar yang
berdomisili di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Berikut adalah penjelasan
lebih lanjut mengenai karakteristik responden/petani ubi jalar.
5.3.1 Karakteristik Petani Berdasarkan Usia
Tabel 5.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No Umur Frekuensi /
Persentase (%) Rata-rata Umur
1 ≤ 30 tahun 6
51 tahun
2 31 - 40 tahun 29
3 41 - 60 tahun 55
4 ≥ 61 tahun 21
Total 100
Usia produktif manusia adalah dari usia 15-64 tahun. Sehingga dapat dikatakan
berdasarkan tabel 10 bahwa rata-rata pertani ubi jalar di Kecamatan Arjasari termasuk
ke dalam usia produktif dalam bekerja. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan
mayoritas responden petani ubi jalar masih sangat rendah. Sedangkan petani merasa
bahwa budidaya/usahatani ubi jalar cukup hanya mengandalkan keahlian otodidak.
Petani ubi jalar dengan usia dibawah atau sama dengan 30 tahun paling sedikit padahal
usia tersebut adalah usia dimana seseorang memiliki kekuatan bekerja yang baik. Hal
ini dapat menunjukkan bahwa tidak banyak kaum muda yang mau terjun ke dunia
pertanian terutama usahatani ubi jalar. Seperti keterangan dari beberapa responden
diketahui bahwa anak-anak mereka lebih memilih bekerja di perkantoran dan di
perkotaan dibandingkan di sektor pertanian terutama di usahatani ubi jalar. Hal ini
dikarenakan bekerja di perkantoran lebih dirasakan memiliki gengsi yang lebih tinggi
dibandingkan menjadi petani ubi jalar.
5.3.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama dan Pekerjaan
Sampingan Saat ini
Tabel 1.5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Utama dan Pekerjaan
Sampingan Saat ini
No. Pekerjaan Utama Frekuensi /
Persentase (%)
Pekerjaan
Sampingan
Frekuensi /
Persentase (%)
1 Pedagang 4 Pedagang 4
2 Petani Ubi jalar 87 Petani Ubi jalar 17
3 PNS 3 PNS 1
4 Lainnya 6 Lainnya 45
Total 100 Total 67
Pada tabel 5.5 terlihat responden yang dijadikan sampel sebagian besar
menjadikan usahatani ubi jalar sebagai pekerjaan utamanya. Angka yang dicapai bahkan
hingga lebih dari 80% dari total responden. Ini menunjukkan bahwa berusahatani ubi
jalar memang merupakan pekerjaan yang menjadi primadona bagi masyarakat di
Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Sedangkan dari tabel juga diketahui bahwa
kurang dari 30% responden yang menjadikan usahatani ubi jalar sebagai pekerjaan
sampingannya.
Dari jumlah total responden petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari mayoritas
memiliki pekerjaan sampingan yang cukup beragam diantaranya adalah guru, buruh,
supir, petani padi dan palawija, petani jambu, petani pisang, dan lain-lain, sedangkan 33
orang responden petani ubi jalar tidak memiliki pekerjaan sampingan atau dapat
dikatakan hanya menjadikan petani ubi jalar sebagai satu-satunya profesi/pekerjaan
yang ditekuni. Ini merupakan hal yang menarik bahwa kurang lebih 1/3 dari total
responden petani ubi jalar menjadikan usahatani ubi jalar sebagai pekerjaan utama dan
satu-satunya pekerjaan untuk mencukupi kehidupan keluarganya sehari-hari. Ini
membuktikan bahwa usahatani ubi jalar adalah usahatani yang menguntungkan dan
menjanjikan untuk dilakukan.
5.3.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Saat ini
Tabel 5.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Saat ini
No. Pendidikan Terakhir Frekuensi /
Persentase (%)
1 Akademi/Diploma 2
2 Sarjana 3
3 SD 55
4 SMA 18
5 SMP 18
6 Tidak Sekolah 4
Total 100
Tabel 12 menunjukkan hasil dari 100 orang responden petani ubi jalar di
Kecamatan Arjasari yaitu diketahui bahwa mayoritas petani ubi jalar berpendidikan
terakhir SD (Sekolah Dasar). Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan para petani ubi
jalar masih sangatlah rendah. Para responden mengaku bahwa dahulu pendidikan masih
menjadi hal yang mahal sehingga banyak dari orangtua yang tidak mampu
menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku pendidikan yang tinggi. Pada budidaya
ubi jalar pun para petani mengaku belajar secara otodidak atau dengan berdiskusi dan
belajar dari rekan-rekan yang telah berhasil dalam usahatani ubi jalarnya.
5.3.4 Pengalaman Petani Berusahatani Ubi jalar
Tabel 5.7. Lama Pengalaman Usahatani Ubi jalar
No. Pengalaman Usahatani (Tahun) Frekuensi / Persentase
(%)
1 5 – 15 53
2 16 – 30 32
3 30 – 50 13
4 > 50 2
Total 100
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa mayoritas responden petani ubi jalar di
Kecamatan Arjasari memiliki pengalaman usahatani ubi jalar yang belum terlalu lama
yaitu sekitar 1/3 nya saja dari usia responden petani ubi jalar. Hal ini dikarenakan pada
mulanya ubi jalar belum menjadi komoditas utama yang mereka usahakan, petani lebih
cenderung bertani padi/palawija. Namun semenjak sekitar tahun 2000, budidaya dan
usahatani ubi jalar mulai gencar digalakkan sehingga membuat banyak petani yang
beralih komoditas menjadi budidaya komoditas ubi jalar. Hal ini juga dibuktikan oleh
banyaknya lahan sawah milik responden petani ubi jalar yang diubah fungsi menjadi
kebun ubi jalar. Selain itu banyak dari petani yang mendapatkan warisan berupa
lahan/pohon ubi jalar sehingga mereka meneruskan usahatani ubi jalar hingga saat ini.
Biasanya, petani yang baru berusahatani ubi jalar sekitar 5 tahun tidak memiliki
lahan ubi jalar dan pohon ubi jalar pribadi tetapi menyewa kepada pemilik pohon ubi
jalar lainnya yang memang pohon ubi jalarnya sudah produktif. Jikapun mereka ternyata
memiliki lahan/pohon ubi jalar pribadi, maka jumlahnya sangatlah sedikit dan pohon
ubi jalar yang dimiliki belum produktif. Sedangkan responden petani ubi jalar yang
sudah berusahatani ubi jalar selama lebih dari 50 tahun pada umumnya merupakan
petani ubi jalar yang sudah memiliki lahan/pohon ubi jalar pribadi dan cenderung tidak
menyewa lahan/pohon ubi jalar orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata
lama pengalaman usahatani ubi jalar petani responden adalah selama 18 tahun.
5.3.5. Status Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Ubi jalar
Pada hasil penelitian ini status penguasaan lahan petani ubi jalar terbagi menjadi
3 kategori yaitu lahan ubi jalar milik pribadi, lahan ubi jalar garap, dan lahan ubi jalar
sewa. Dapat dilihat pada gambar 5.5.
Gambar 5.5. Status Penguasaan Lahan Petani Ubi jalar
Dari hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa mayoritas petani ubi jalar
memiliki lahan ubi jalar pribadi seluas 0,11-0,5 Ha dan tidak memiliki kebun/lahan ubi
jalar lain yang digarap ataupun disewa. Mayoritas petani memiliki kebun/lahan ubi jalar
pribadi karena banyak yang merupakan warisan dari orangtua, selain itu juga karena
pohon ubi jalar ditanam di pekarangan rumah petani, selain itu juga karena alih fungsi
lahan yang mereka miliki misal yang mulanya berfungsi sebagai sawah menjadi
lahan/kebun ubi jalar.
Meskipun begitu, dari hasil wawancara peneliti terhadap responden di lapangan,
diketahui bahwa terdapat sebagian petani yang selain memiliki lahan pribadi petani
tersebut juga menyewa atau menggarap kebun/lahan ubi jalar milik orang lain. Dalam
hal sistem penyewaan kebun/lahan ubi jalar, sebenarnya yang terjadi di lapangan yaitu
petani tidak menyewa kebun/lahan ubi jalar tetapi menyewa pohon ubi jalar yang sudah
produktif kepada pemiliknya. Kemudian dari jumlah pohon ubi jalar yang disewa oleh
petani ini dikonversi ke dalam satuan luas lahan.
84
10
27
Status Penguasaan Lahan
MILIK GARAP SEWA
Hubungan antara status penguasaan lahan ubi jalar dan status penguasaan pohon
ubi jalar ini ternyata memiliki hubungan yang bergaris lurus. Diketahui dari hasil
penelitian di lapangan bahwa mayoritas petani memiliki pohon ubi jalar pribadi
sebanyak 11-50 pohon yang ditanam dengan jarak tanam pada umumnya yaitu 10x10
m, maka jika dikonversi ke luas lahan adalah 0,11-0,5 Ha.
5.4 Dinamika Agribisnis Tanaman Ubi jalar
Dinamika agribisnis tanaman ubi jalar berdasarkan responden petani ubi jalar di
Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung dilihat dari sisi subsistem-subsistem
agribisnis yang dilakukan responden petani ubi jalar yang berjumlah 100 orang dan dari
hasil analisis peneliti saat melakukan wawancara dengan responden dijelaskan sebagai
berikut.
5.4.1 Subsistem Hulu
Subsistem agribisnis hulu (up stream agribusiness), meliputi pengadaan dan
penyaluran sarana produksi pertanian primer. Adapun modal, dan tenaga kerja termasuk
di dalamnya. Berikut akan dijelaskan hasil dari subsistem hulu agribisnis ubi jalar di
Kecamatan Arjasari.
5.4.1.1 Jumlah Modal Usahatani Ubi jalar/Tahun
Tabel 5.8. Jumlah Modal Usahatani Ubi jalar/Tahun
No. Jumlah Modal (Rupiah) Frekuensi / Persentase (%)
1 < 10 juta 31
2 10-50 juta 52
3 51-100 juta 8
4 101-500 juta 8
5 > 500 juta 1
Total 100
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa jumlah modal yang dikeluarkan oleh
petani ubi jalar sangat beragam mulai dari Rp 300.000 – Rp 1.000.000.000. Meski
begitu, mayoritas responden petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari mengeluarkan Rp
10.000.000 – Rp 50.000.000 untuk usahatani ubi jalar mereka dalam satu tahun. Modal
yang dikeluarkan ini bukanlah modal usahatani ubi jalar dari awal penanaman namun
pada masa pemeliharaan hingga panen. Masa pemeliharaan tanaman ubi jalar
merupakan saat yang paling memerlukan modal yang besar karena biaya zat perangsang
tumbuh tanaman ubi jalar yang mahal serta penyemprotan tanaman ubi jalar yang harus
dilakukan secara berkala guna menjaga bunga pada tanaman ubi jalar tidak rontok serta
untuk mencegah dan membasmi hama serta penyakit yang menyerang tanaman ubi jalar.
Responden petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari mayoritas mengeluarkan
modal untuk usahatani ubi jalarnya dari modal sendiri/pribadi. Modal pribadi dirasa
petani lebih menguntungkan petani ubi jalar nantinya pada saat pemasaran. Keuntungan
pun dapat langsung terasa karena semua hasil dapat langsung dinikmati tanpa terbatas
pengembalian pinjaman modal. Adapun pinjaman ke bank biasanya dijadikan opsi
selanjutnya atau sebagai opsi tambahan sumber permodalan seperti dapat dilihat pada
tabel 16. Menurut hasil wawancara dengan responden petani ubi jalar, diketahui bahwa
bahkan pihak perbankan sering sekali menawarkan pinjaman modal untuk usahatani ubi
jalar. Ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar merupakan usahatani yang
menjanjikan keuntungan yang besar sehingga banyak pihak perbankan yang langsung
terjun menjemput bola dalam menawarkan pinjaman modal bagi petani ubi jalar.
Tabel 5.9. Asal Modal Terbesar Usahatani Ubi jalar
No. Asal Modal Terbesar dalam Usahatani Frekuensi /
Persentase (%)
1 Modal Sendiri 34
2 Modal Sendiri, Bandar 2
3 Modal Sendiri, Pinjaman Bank 16
4 Modal Sendiri, Pinjaman Bank, dan Bandar 1
5 Modal Sendiri, Pinjaman Mitra 7
6 Modal Sendiri, Tengkulak 1
7 Pinjaman Bank 28
8 Pinjaman Bank, Tengkulak 1
9 Pinjaman Mitra 7
10 Tengkulak 3
Total 100
Ternyata berdasarkan tabel 5.9 juga diketahui bahwa responden petani ubi jalar
hanya sebagian kecil yang menjadikan tengkulak/bandar sebagai opsi pinjaman modal
bagi usahatani ubi jalar mereka. Menurut para responden petani ubi jalar, mereka tidak
mau terikat terhadap tengkulak/bandar tertentu yang saat penjualan nanti dapat menekan
harga kepada petani ubi jalar, dengan hal tersebut maka pilihan pinjaman bank menjadi
hal yang dirasa aman dilakukan bagi petani ubi jalar.
Tabel 5.10. Hubungan Sumber Modal Usahatani dengan Tujuan Pasar Petani Ubi jalar
No
Sumber
Modal dengan
Tujuan Pasar
Bandar/
pedagang
besar/
supplier
Pasar
Modern
Pasar
Tradisional
Pedagang
pengumpul/t
engkulak
Total
1 Bandar 0 0 2 0 2
2 Modal Sendiri 9 1 3 28 41
3 Pinjaman
Bank 17 2 13 13 45
4 Pinjaman
Mitra 1 0 0 6 7
5 Tengkulak 0 0 0 5 5
Total 27 3 18 52 100
Hal ini juga ditunjukkan oleh tabel 17 bahwa mayoritas petani yang
mengusahatanikan ubi jalarnya dengan modal sendiri menjual hasil ubi jalarnya ke
pedagang pengumpul/tengkulak. Ini berarti pemilihan petani untuk menjual kepada
pedagang pengumpul/tengkulak bukanlah berdasarkan atas keterikatan pinjaman modal
semata tetapi karena sudah terbiasa dan merasa nyaman untuk menjual hasil ubi jalar ke
pedagang pengumpul/tengkulak tersebut. Selain itu, resiko menjual ke pedagang
pengumpul/tengkulak sangatlah rendah bagi petani. Uang yang didapat juga secara
umum langsung dibayarkan secara tunai sehingga petani langsung dapat merasakan
hasil dari penjualannya. Tidak seperti jika petani menjual ke pasar tradisional atau ke
pasar modern secara langsung yang pada umumnya tidak langsung membayarkan uang
hasil penjualan terhadap petani namun menggunakan sistem jatuh tempo atau kredit.
Mayoritas petani tidak menyukai sistem ini karena nantinya petani akan sulit untuk
mencari uang untuk modal usahatani selanjutnya dan juga beresiko tidak dibayar karena
seringkali pihak pasar tradisional tidak bertanggung jawab dalam pembayaran.
Tidak terlalu berbeda dengan yang terjadi semenjak mayoritas responden petani
ubi jalar memulai usahatani ubi jalarnya. Diketahui bahwa mayoritas responden petani
ubi jalar semenjak memulai usahatani ubi jalar sudah menggunakan sumber modal
pribadi dan mayoritas sejak awal sudah menjual hasil panennya ke pedagang
pengumpul/tengkulak. Namun berbeda dengan yang terjadi pada jumlah modal yang
dikeluarkan. Jumlah modal yang dikeluarkan menyesuaikan jumlah pohon ubi jalar
yang diusahatanikan oleh petani setiap tahunnya. Semenjak awal berusahatani ubi jalar
hingga saat ini mayoritas responden petani ubi jalar selalu menambah jumlah pohon ubi
jalar atau kebun/lahan ubi jalar yang dimiliki secara bertahap dari hasil keuntungan
usahatani ubi jalar yang dilakukan.
5.4.1.2 Tenaga Kerja dalam Usahatani Ubi jalar
Tenaga kerja dalam usahatani ubi jalar dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
yaitu tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga dan tenaga kerja yang berasal
bukan dari anggota keluarga. Tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga adalah
meliputi bahwa responden petani ubi jalar itu sendiri termasuk ke dalamnya yang berarti
bahwa apabila tenaga kerja yang berasal dari anggota keluarga adalah 1 orang, maka
orang tersebut adalah responden petani ubi jalar itu sendiri. Berdasarkan tabel 18 terlihat
bahwa mayoritas responden petani ubi jalar mengerjakan atau turun langsung ke
kebun/lahan dalam usahatani ubi jalarnya.
Tabel 5.2. Tenaga Kerja dari Anggota Keluarga
No. Tenaga Kerja dari Anggota Keluarga Frekuensi / Persentase (%)
1 0 orang 26
2 1 orang 47
3 2 orang 19
4 3 orang 7
5 5 orang 1
Total 100
Mayoritas responden petani ubi jalar ternyata tidak menggunakan tenaga kerja
yang berasal bukan dari anggota keluarga seperti dapat dilihat pada tabel 19. Ini
menunjukkan bahwa selain petani ubi jalar lebih senang turun langsung ke kebun/lahan
ubi jalarnya, mereka juga lebih mempercayai anggota keluarganya dalam merawat dan
memelihara kebun ubi jalarnya. Meskipun menggunakan tenaga kerja yang berasal dari
anggota keluarganya, mayoritas petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari, Kabupaten
Bandung ini tetap memberikan upah kepada anggota keluarga tersebut. Sehingga dapat
dikatakan bahwa usahatani ubi jalar yang dilakukan bersifat komersial dan bukan
subsisten.
Tabel 5.3. Tenaga Kerja Bukan dari Anggota Keluarga
No. Tenaga Kerja Bukan dari Anggota
Keluarga Frekuensi / Persentase (%)
1 0 orang 42
2 1 orang 10
3 2 orang 27
4 3 orang 7
5 4 orang 4
6 5 orang 1
7 6 orang 4
8 7 orang 1
9 13 orang 1
10 15 orang 2
11 16 orang 1
Total 100
Sehingga seperti yang ditunjukkan pada tabel 20 bahwa rata-rata tenaga kerja
dalam usahatani ubi jalar responden petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari adalah 1
orang yang berasal dari anggota keluarga dan 2 orang tenaga kerja yang bukan berasal
dari anggota keluarga.
Tabel 5.4. Rata-rata Jumlah Tenaga Kerja
No. Jenis Tenaga Kerja N Jumlah
Minimal
Jumlah
Maksimal
Mean
(Rata-rata)
1 Anggota Keluarga 100 0 5 1
2 Bukan Anggota
Keluarga 100 0 16 2
Tenaga kerja yang digunakan oleh mayoritas responden petani ubi jalar dapat
berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Meski begitu, penambahan atau pengurangan
tenaga kerja tidak terlalu signifikan dari tahun ke tahun semenjak petani ubi jalar
memulai usahatani ubi jalarnya hingga saat ini. Pada umumnya petani hanya menambah
hari kerja dari tenaga kerja yang sudah ada untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih
banyak.
5.4.1.3 Asal Sarana Produksi Pertanian dalam Usahatani Ubi jalar
Terdapat beberapa sarana produksi pertanian dalam usahatani ubi jalar antara
lain seperti cangkul, selang, alat penyemprot, gergaji, ember, drum, carangka,
container, onclang, dll.
Gambar 5.6. Asal Sarana Produksi Usahatani Ubi jalar
Gambar 5.6 menunjukkan bahwa mayoritas responden petani ubi jalar di
Kecamatan Arjasari mendapatkan sarana produksi pertanian dalam usahatani ubi jalar
mereka yaitu dari membelinya secara pribadi. Adapun hibah hanya 3% petani yang
merasakannya. Hibah yang pernah didapatkan adalah berupa container dan alat
perangkap hama dari pemerintah. Hal itu pun hanya terjadi sekali yaitu sekitar tahun
2013 dan belum pernah ada bantuan hibah lagi kepada petani. Biasanya, yang
95%
3% 1% 1%
Asal Saprotan Usahatani Mangga
Beli Beli dan Hibah Pinjam Sewa
merasakan sarana produksi pertanian ini adalah responden petani ubi jalar yang
memiliki jabatan (misal ketua kelompok tani) saja. Sehingga dengan begitu petani
merasa harus dapat mandiri dengan membeli kebutuhan sarana produksi pertanian
sendiri daripada mengharapkan bantuan dari pihak lain yang sangat jarang terjadi.
5.4.2 Subsistem Produksi Pertanian
Subsistem produksi pertanian primer (on farm agribusiness), meliputi kegiatan
yang menggunakan sarana yang dihasilkan dari subsistem agribisnis hulu. Kegiatan olah
lahan, tanam, pemeliharaan tanaman, dan panen termasuk pula ke dalamnya. Namun
pada penelitian ini, kegiatan olah lahan dan tanam bukan termasuk ke dalam variabel
yang diteliti karena objek yang diteliti adalah tanaman ubi jalar yang telah dapat
berproduksi/menghasilkan umbi. Mayoritas responden petani ubi jalar di Kecamatan
Arjasari ternyata menanam tiga varietas utama umbi ubi jalar yaitu Ubi jalar ungu, Ubi
jalar kuning, dan Ubi jalar cilembu. Ketiga varietas ubi jalar tersebut merupakan ubi
jalar dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga memiliki potensi untuk
diusahatanikan oleh petani. Namun sistem pola tanam akan dijelaskan pada sub bab
berikut.
5.4.2.1 Sistem Pola Tanam Tanaman Ubi jalar
Tabel 5.5. Sistem Pola Tanam Tanaman Ubi jalar oleh Responden Petani Ubi jalar
No. Pola Tanam Frekuensi / Persentase (%)
1 Hanya menanam ubi jalar saja 42
2 Menanam tanaman lainnya 58
Total 100
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa responden petani ubi jalar di Kecamatan
Arjasari sebagian besar menanam tanaman ubi jalarnya pada kebun/lahannya tidak
secara homogen tetapi cukup heterogen yaitu dengan menanam pula tanaman lainnya
pada kebun/lahan yang sama. Dari hasil wawancara diketahui bahwa rata-rata petani
menanam tanaman ubi jalar diselingi tanaman lain seperti pisang, kacang-kacangan,
petai, pepaya, dan padi. Hal ini dikarenakan di daerah Kecamatan Arjasari memang
kerap ditemui tanaman ubi jalar yang ditanam di pematang sawah, sehingga tanaman
ubi jalar tidak hanya ditanam di kebun saja. Selain itu, hasil panen dari komoditas
selingan juga dapat dikonsumsi secara pribadi oleh keluarga responden petani ubi jalar
sehingga dapat mengurangi pengeluaran untuk kehidupan sehari-hari.
Dahulu sebelum tanaman ubi jalar mulai digalakkan untuk ditanam mayoritas
responden petani mengusahatanikan padi. Namun sejak komoditas ubi jalar mulai
digalakkan oleh pemerintah yang menurut responden petani ubi jalar adalah sekitar
tahun 1990-2000 maka petani banyak yang beralih dalam komoditas yang
dibudidayakannya menjadi komoditas ubi jalar. Hal tersebut kemudian bertahan hingga
saat ini.
5.4.2.2 Pemeliharaan Tanaman Ubi jalar
Pada teknologi nutrisi ramah lingkungan berbasis pupuk hayati yang diterapkan
oleh mayoritas responden petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung,
pemeliharaan tanaman ubi jalar memerlukan perhatian yang serius dan cukup intensif
dalam pemeliharaan sehari-harinya. Berdasarkan Tabel 5.15 menunjukkan bahwa
frekuensi pemupukan tanaman ubi jalar yang dilakukan oleh mayoritas responden petani
ubi jalar adalah hanya 1 kali dalam 1 tahun. Hal ini dirasa cukup bagi petani karena
dosis yang diberikan sudah dirasa cukup untuk kebutuhan setiap tanaman ubi jalar,
selain itu pengerjaan pemupukan yang pada umumnya tidak cukup dilakukan dalam satu
hari sehingga dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya jika hanya dilakukan sekali
dalam setahun.
Tabel 5.6. Frekuensi Pemupukan Pohon Ubi jalar/Tahun
No. Pemupukan/Tahun Frekuensi / Persentase (%)
1 0 kali 1
2 1 kali 76
3 2 kali 18
4 3 kali 3
5 4 kali 2
Total 100
Kemudian berdasarkan tabel 5.16 menunjukkan bahwa penyiangan kebun ubi
jalar yang dilakukan oleh mayoritas responden petani ubi jalar adalah hanya 1 kali dalam
1 tahun. Hal tersebut juga dirasa cukup oleh mayoritas petani ubi jalar, karena apabila
dilakukan terlalu berlebihan kegiatan penyiangan dapat mengganggu pertumbuhan akar
tanaman ubi jalar karena mayoritas petani ubi jalar bukan menggunakan alat manual
dalam penyiangannya namun menggunakan obat pembasmi rumput liar/gulma.
Tabel 5.7. Frekuensi Penyiangan Kebun Ubi jalar/Tahun
No. Jumlah Penyiangan/Tahun Frekuensi / Persentase (%)
1 0 kali 20
2 1 kali 45
3 2 kali 18
4 3 kali 12
5 4 kali 4
6 7 kali 1
Total 100
Tabel 5.17 menunjukkan bahwa frekuensi pemangkasan tanaman ubi jalar yang
dilakukan oleh mayoritas responden petani ubi jalar juga hanya 1 kali dalam 1 tahun.
Hal ini dilakukan seperti itu karena apabila dilakukan pemangkasan yang berlebihan
maka akan lebih cepat mengurangi jumlah bunga yang tumbuh dari pohon ubi jalar.
Jikapun dilakukan pemangkasan lebih dari 1 kali, maka itu tergantung dari kondisi
pohon ubi jalar di lapangan yang apabila banyak hama menyerang maka pemangkasang
perlu dilakukan lebih dari 1 kali.
Tabel 5.8. Frekuensi Pemangkasan Ranting Pohon Ubi jalar/Tahun
No. Pemangkasan/Tahun Frekuensi / Persentase (%)
1 0 kali 17
2 1 kali 52
3 2 kali 21
4 3 kali 8
5 5 kali 2
Total 100
Selain itu tabel 5.18 juga menunjukkan bahwa frekuensi pemberian pupuk hayati
tanaman ubi jalar yang dilakukan oleh mayoritas responden petani ubi jalar adalah
hanya 1 kali dalam 1 musim. Hal tersebut dirasa sangat cukup dan memang sesuai
dengan standar operasional budidaya ubi jalar teknologi nutrisi ramah lingkungan
berbasis pupuk hayati. Pemberian pupuk hayati akan meningkatkan keseimbangan
mikrobiologis sehingga dapat memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan produksi
ubi jalar.
Tabel 5.9. Frekuensi Pemberian Pupuk Hayati pada Pohon Ubi jalar/Tahun
No. Pemberian Pupuk Hayati/Musim Frekuensi / Persentase (%)
1 0 kali 3
2 1 kali 87
3 2 kali 9
4 3 kali 1
Total 100
Pemeliharaan tanaman ubi jalar yang berkala yaitu penyemprotan pestisida,
fungisida, insektisida (obat-obatan) dan penggunaan pupuk hayati. Jika rata-rata dalam
satu tahun petani ubi jalar dapat memanen ubi jalarnya sebanyak 2-3 kali, maka terdapat
2-3 kali musim penyemprotan ini. Pada fase ini, frekuensi penyemprotan harus
dilakukan secara rutin. Dari hasil penelitian di lapangan seperti yang dapat dilihat pada
tabel 5.19 mayoritas responden petani ubi jalar melakukan penyemprotan pestisida dan
obat penahan rontok bunga sebanyak 2 kali dalam 1 minggu. Penyemprotan ini biasanya
dilakukan bersamaan dengan langsung mencampurkan bahan menjadi satu. Namun
dalam beberapa kondisi dapat dilakukan tambahan dari salah satu zat tergantung cuaca
di lapangan.
Tabel 5.10. Frekuensi Penyemprotan Pestisida dan Pemeliharaan Bunga Ubi jalar
No. Penyemprotan/Minggu Frekuensi / Persentase (%)
1 1 kali/minggu 28
2 2 kali/minggu 66
3 3 kali/minggu 6
Total 100
Namun ternyata, jumlah penyemprotan yang dilakukan mayoritas petani ubi
jalar di lapangan tidak sesuai dengan standar operasional budidaya ubi jalar dengan
teknologi nutrisi ramah lingkungan berbasis pupuk hayati. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa petani banyak atau sering melakukan penyemprotan dikarenakan
khawatir ubi jalar akan terserang hama lanas jika sering terjadi hujan. Hal ini karena
apabila ubi jalar terserang hama, maka petani tidak akan mendapatkan hasil umbi ubi
jalar sehingga akan merugi. Meski begitu, penyemprotan yang berlebihan malah akan
membuat tanaman ubi jalar menjadi rentan dan pengeluaran petani pun bertambah.
5.4.2.3 Panen Tanaman Ubi jalar
Di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung ini seluruh responden petani ubi
jalar dari hasil penelitian ternyata melakukan kegiatan panen dengan memanen umbi
ubi jalarnya sendiri. Maksud dari melakukan panen sendiri disini adalah bahwa petani
tidak menyerahkan kegiatan panen umbi ubi jalar ke pihak lain. Pengerjaan dilakukan
oleh petani itu sendiri dan jika memiliki tenaga kerja maka dibantu oleh tenaga kerja
tersebut.
Jumlah rata-rata produksi tersebut menurut responden petani ubi jalar dapat
dihasilkan oleh benih ubi jalar yang unggul. Varietas ubi jalar juga dapat menentukan
besarnya hasil produktivitas ubi jalar/pohon. Contohnya adalah ubi jalar varietas
cilembu yang memang umbinya berukuran cukup besar sehingga satu pohon ubi jalar
cilembu usia yang sama dengan varietas lain (misal dengan ubi jalar ungu) dapat
menghasilkan ubi jalar dengan total berat yang jauh lebih besar.
5.4.3 Subsistem Agribisnis Hilir
Subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness) meliputi pengolahan
komoditas pertanian primer. Namun pada sub pembahasan ini pengolahan umbi ubi jalar
yang dimaksud bukanlah pengolahan dari produk mentah menjadi produk olahan,
melainkan perlakuan tambahan yang dilakukan kepada umbi ubi jalar yang sehingga
dapat memberikan nilai tambah kepada umbi ubi jalar tersebut. Kegiatan-kegiatan
tersebut antaralain adalah pencucian umbi ubi jalar, pengemasan ubi jalar, sortasi umbi
ubi jalar, grading ubi jalar, dan pemberian label pada umbi ubi jalar.
Berdasarkan tabel 29 dapat dilihat bahwa mayoritas responden petani ubi jalar
tidak melakukan kegiatan yang dapat menambah nilai jual dari umbi ubi jalar hasil
produksi mereka yang salah satunya adalah kegiatan pencucian umbi ubi jalar. Dari hasil
wawancara peneliti dengan responden petani ubi jalar diketahui bahwa menurut petani
ubi jalar kegiatan-kegiatan tersebut hanya menambah biaya dan waktu yang dikeluarkan
oleh petani sedangkan pembeli hasil umbi ubi jalar mereka juga tidak begitu
mempermasalahkan jika petani ubi jalar tidak melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Pada umumnya di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung yang melakukan kegiatan
pencucian umbi ubi jalar sebelum dijual adalah pedagang pengumpul, tengkulak, dan
bandar. Namun sebenarnya, kegiatan pencucian tidak selalu dilakukan. Pencucian hanya
dilakukan kepada umbi ubi jalar yang kotor/terdapat bercak-bercak sisa penyemprotan
pestisida yang kerap membuat kulit ubi jalar menjadi hitam.
Tabel 5.11. Responden Melakukan Pencucian Umbi Ubi jalar
No. Pencucian Umbi Ubi jalar Frekuensi / Persentase (%)
1 Tidak 90
2 Ya 10
Total 100
Umbi ubi jalar yang memiliki bercak hitam pada kulitnya ini belum tentu
termasuk ke dalam umbi ubi jalar yang berkualitas rendah. Setelah dilakukan pencucian
bahkan umbi ubi jalar tersebut dapat termasuk ke dalam grade yang paling baik. Berikut
adalah gambar ubi jalar yang memiliki bercak hitam akibat penyemprotan namun
berkualitas baik.
Selain mayoritas responden petani ubi jalar tidak melakukan pencucian umbi ubi
jalar, mereka juga tidak melakukan kegiatan sortasi umbi ubi jalar seperti ditunjukkan
pada tabel 30. Semua bentuk umbi ubi jalar yang dihasilkan akan langsung dijual ke
pedagang pengumpul/tengkulak/bandar. Bagi mayoritas petani mereka merasa bahwa
yang lebih mengerti mengenai spesifikasi untuk penyortiran umbi ubi jalar adalah pihak
pedagang pengumpul/tengkulak/bandar sehingga petani merasa tidak perlu membuang
waktu dan tenaga untuk melakukan penyortiran. Nantinya pihak pedagang
pengumpul/tengkulak/ bandarlah yang akan melakukan sortasi umbi ubi jalar. Umbi ubi
jalar dipisahkan antara yang layak jual dan yang tidak layak jual. Adapun umbi ubi jalar
yang tidak layak jual adalah seperti umbi ubi jalar yang tergores hingga daging umbinya
terlihat, bentuknya sangat kecil, dan umbi memar.
Tabel 5.12. Responden Melakukan Sortasi Umbi Ubi jalar
No. Sortasi Umbi Ubi jalar Frekuensi /
Persentase (%)
1 Tidak 83
2 Ya 17
Total 100
Berdasarkan tabel 5.31, mayoritas responden petani ubi jalar tidak melakukan
kegiatan grading. Kegiatan grading sendiri adalah kegiatan mengelompokkan atau
membagi umbi ubi jalar ke dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan tingkat kualitasnya.
Mayoritas responden petani ubi jalar tidak melakukan kegiatan ini yaitu karena para
petani ubi jalar merasa masih kurang paham untuk melakukan kegiatan tersebut. Jikapun
terdapat petani yang beberapa kali pernah mencoba meng-grading hasil panen umbi ubi
jalarnya sebelum dijual namun karena petani menjualnya ke pedagang
pengumpul/tengkulak/bandar maka kegiatan grading dilakukan ulang oleh pihak
pembeli karena mereka merasa memiliki standar yang berbeda dengan hasil grading
yang petani lakukan. Sehingga pada akhirnya petani menyerahkan urusan grading ke
pedagang pengumpul/tengkulak/bandar saja sehingga tidak bekerja dua kali. Meski
begitu, pada umumnya grading yang ditentukan pedagang
pengumpul/taengkulak/bandar terhadap petani terbagi menjadi 2 yaitu Grade AB dan
Grade PL.
Tabel 13. Responden Melakukan Grading Umbi Ubi jalar
No. Grading Umbi Ubi jalar Frekuensi / Persentase (%)
1 Tidak 86
2 Ya 14
Total 100
Grade AB adalah tingkat kelas untuk umbi ubi jalar dari petani yang kualitasnya
paling baik dan Grade PL adalah tingkat kelas untuk umbi ubi jalar dari petani yang
kualitasnya cukup baik. Untuk ubi jalar yang tidak termasuk grade disebut ubi jalar
cakra. Namun ubi jalar dengan grade ini sangat jarang karena mayoritas petani sudah
melakukan pemanenan dengan baik sehingga hanya ubi jalar yang cukup usia saja yang
dipanen. Grading biasanya dilihat dari besar dan berat umbi ubi jalar, bentuk,
kemulusan kulit, tingkat kematangan umbi, dan warna. Setiap varietas memiliki standar
Mayoritas responden petani ubi jalar juga tidak melakukan kegiatan pengemasan
umbi ubi jalar sebelum menjualnya seperti dapat dilihat pada tabel 5.25. Tidak
dilakukannya pengemasan oleh petani adalah karena mayoritas petani ubi jalar menjual
hasil panen ubi jalarnya ke pedagang pengumpul/ tengkulak/ bandar yang tidak
mengharuskan petani untuk mengemas umbi ubi jalarnya sedemikian rupa
Tabel 5.14. Responden Melakukan Pengemasan Umbi Ubi jalar
No. Pengemasan Umbi Ubi jalar Frekuensi / Persentase (%)
1 Tidak 86
2 Ya 14
Total 100
Pengemasan biasanya dilakukan oleh tengkulak/bandar sedangkan pedagang
pengumpul pada umumnya tidak melakukan pengemasan. Terdapat beberapa jenis
pengemasan yang dilakukan, jenisnya bergantung pada jenis pasar yang akan dituju.
Untuk pasar tradisional biasanya umbi ubi jalar dikemas dalam karung yang dapat
memuat hingga 20 - 30 Kg umbi ubi jalar atau langsung diangkut menggunakan
container tanpa dikemas. Kemasan untuk pasar modern/supplier biasanya
menggunakan kardus dan container (tergantung permintaan). Jika menggunakan
kardus, maka kapasitasnya hanya memuat hingga lebih kurang 10 Kg namun container
dapat memuat hingga 50 Kg umbi ubi jalar. Sedangkan untuk pasar ekspor/eksporir
kemasan yang digunakan adalah karung dengan kapasitas 5 – 10 Kg umbi ubi jalar saja.
Kardus tersebut juga didesain sedemikian rupa yang saat diisi akan diberi sekat antar
umbi ubi jalar agar tidak mudah terbentur sehingga kualitas umbi ubi jalar tetap terjaga
dengan baik.
Selanjutnya pada tabel 5.26 ditunjukkan bahwa mayoritas responden petani ubi
jalar tidak melakukan kegiatan pelabelan umbi ubi jalar. Usahatani ubi jalar ini juga
merupakan usaha yang dilakukan per individu, kalaupun petani tergabung dalam
kelompok tani ubi jalar, tidak ada satupun kelompok tani ubi jalar yang memiliki label
khusus yang dapat digunakan oleh seluruh anggotanya. Sehingga petani tidak memiliki
merek khusus untuk umbi ubi jalar mereka.
Tabel 5.15. Responden Melakukan Pelabelan Umbi Ubi jalar
No. Pelabelan Umbi Ubi jalar Frekuensi / Persentase (%)
1 Tidak 95
2 Ya 5
Total 100
Pelabelan biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul/tengkulak/bandar yang
memasok umbi ubi jalar ke pasar-pasar modern dan eksporir. Pelabelan dilakukan
dimaksudkan untuk mengenalkan produk umbi ubi jalar dari Kabupaten Bandung
kepada konsumen secara luas. Setiap tengkulak/bandar biasanya sudah memiliki nama
label mereka tersendiri.
Ternyata hal-hal diatas tidak banyak berubah sejak awal responden petani ubi
jalar mulai mengusahatanikan komoditas ubi jalar. Sejak awal responden petani ubi jalar
jarang sekali ada yang melakukan pengolahan umbi ubi jalar seperti pencucian, sortasi,
grading, pengemasan, dan pelabelan. Perasaan nyaman dan mudah yang dirasakan
petani dengan hanya langsung menyerahkannya saja kepada pedagang
pengumpul/tengkulak/ bandar sudah tertanam sejak awal mereka berusahatani ubi jalar
hingga saat ini.
5.4.4 Subsistem Pemasaran Komoditas Agribisnis
5.4.4.1 Tujuan Pasar Petani Ubi jalar/Pembeli Produk Umbi Ubi jalar
Berdasarkan skema dibawah dapat diketahui bahwa tujuan pasar mayoritas
responden petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung adalah menjual
hasil produk ubi jalarnya ke pedagang pengumpul/tengkulak. Kemudian selain itu,
petani ubi jalar cenderung menjualnya ke bandar/pedagang besar/supplier. Menurut
petani, menjual hasil panen ubi jalar ke pedagang pengumpul/tengkulak sangatlah
mudah dan dekat. Petani ubi jalar masih banyak yang memiliki prinsip bahwa rezeki
haruslah dibagikan kepada sesama, terutama sesama warga sekitar. Maka dari itu petani
ubi jalar lebih cenderung menjual umbi ubi jalar mereka ke tengkulak di sekitar
lingkungan rumah mereka.
Selain itu, resiko yang besar juga menjadi pertimbangan petani untuk
memasarkan hasil produk ubi jalarnya ke pasar tradisional/pasar modern secara
langsung. Pembayaran yang tidak kontan membuat petani merasa dirugikan, terlebih
apabila jatuh tempo hingga lebih dari 2 bulan membuat petani kesulitan untuk
menyediakan modal pemeliharaan tanaman ubi jalar selanjutnya. Kasus penipuan atau
juga kerap terjadi yaitu pedagang di pasar tradisional pada akhirnya mangkir dari
perjanjian pembayaran dan tidak bertanggung jawab terhadap pembayaran bagi petani.
Tentu saja petani tidak dapat menuntut secara jalur hukum karena tidak ada perjanjian
tertulis antara petani dengan pedagang di pasar induk/tradisional tetapi hanya
mengandalkan rasa saling percaya satu sama lain.
Berdasarkan skema tujuan pasar dibawah, mayoritas petani ubi jalar menjual
hasil produk ubi jalarnya ke pedagang pengumpul/tengkulak namun juga ternyata sudah
terdapat petani ubi jalar yang mampu memasok hasil umbi ubi jalarnya langsung menuju
pasar tradisional dan bahkan ke pasar modern. Petani yang hanya menjual hasil umbi
ubi jalarnya ke supermarket adalah petani yang merangkap sebagai tengkulak. Petani
jenis ini melakukan kegiatan produksi hingga pemasaran secara mandiri dan sudah
memiliki mitra supermarket yang tetap. Kemudian petani yang menjual ke
bandar/pedagang besar/supplier dan ke pasar tradisional secara langsung adalah
biasanya petani yang sumber permodalannya berasal dari pribadi namun
mengambil/meminjam ZPT dari bandar/pedagang besar/supplier sehingga hasilnya
sebagian harus dijual ke bandar/pedagang besar/supplier tersebut hingga menutupi
biaya ZPT yang diambil diawal. Petani jenis ini sama dengan petani yang menjual ke
pedagang pengumpul/tengkulak dan langsung menjual ke pasar tradisional, yang
membedakan hanyalah sumber peminjaman ZPT nya saja (pinjam ke
tengkulak/bandar).
Petani yang menjual hasil umbi ubi jalarnya ke pedagang pengumpul/ tengkulak
dan ke bandar/pedagang besar/supplier saja pada umumnya adalah petani ubi jalar yang
memiliki keterikatan pinjaman ZPT. Selian itu juga petani jenis ini mayoritas lebih
nyaman menjual ke pengumpul/tengkulak dan ke bandar/pedagang besar/supplier
karena rendahnya resiko yang harus diambil. Biasanya, petani jenis ini tidak memiliki
kendaraan dan tenaga kerja yang memadai untuk membawa hasil umbi ubi jalar ke pasar
yang jauh.
Selain itu, petani yang menjual hasil umbi ubi jalarnya ke pasar tradisional saja
adalah responden petani ubi jalar yang memiliki luas lahan ubi jalar yang sangat besar
dan sudah memiliki koneksi yang baik ke pasar induk/tradisional. Karena hasil produksi
pribadinya saja sangat banyak, maka petani ini lebih memilih menjual langsung ke pasar
induk/tradisional di kota-kota besar seperti Kota Bandung, Jakarta, Tasikmalaya,
Bekasi, Bogor, dan lain-lain. Sumber modal petani jenis ini biasanya berasal dari modal
pribadi dan pinjaman bank. Alat transportasi sudah dimiliki oleh petani jenis ini untuk
mengirim barang ke pasar yang dituju. Petani seperti ini dapat dikatakan sudah mandiri.
Supermarket ( 1 % )
Bandar/Pedagang Besar/Supplier
Pasar Tradisional
Bandar/Pedagang Besar/Supplier
Pasar Tradisional ( 5 % )
Pasar Tradisional
Supermarket
Supplier/Eksporir
Pasar Tradisional
Pedagang Pengumpul/Tengkulak ( 52 % )
Pedagang Pengumpul/Tengkulak
Bandar/Pedagang Besar/Supplier
Pedagang Pengumpul/Tengkulak
Pasar Tradisional
Gambar 5.71. Skema Tujuan Pasar Petani Ubi jalar
Responden petani yang menjual ubi jalarnya ke eksporir dan pasar tradisional
serta ke supermarket dan pasar tradisional biasanya adalah merangkap sebagai
tengkulak/bandar. Selain memiliki kebun dan pohon ubi jalar pribadi, petani jenis ini
PETANI
( 25 % )
( 1 % )
( 1 % )
( 2 % )
( 9 % )
( 4 % )
juga membeli hasil panen ubi jalar petani lainnya. Seringkali juga memberikan kepada
petani ubi jalar yang membutuhkan modal yang dapat berupa uang atau pinjaman ZPT.
Pemberian pinjaman ini dimaksudkan adalah untuk mengikat para petani sehingga
menjual umbi ubi jalarnya kepada dirinya. Petani jenis ini sangat perlu melakukan hal
tersebut karena ia perlu menjaga kuantitas pasokan terhadap pasar yang ia tuju (eksporir
dan supermarket). Persyaratan yang cukup ketat membuat petani harus menghindari
resiko penalty apabila tidak dapat memasok sesuai dengan waktu dan jumlah pasokan.
Hal diatas ternyata berbeda dengan hasil penelitian Supriatna (2005) yang
menunjukkan bahwa seluruh saluran pemasaran di Kabupaten Bandung pasti melewati
pengumpul, agen, dan pasar induk. Padahal petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari
Kabupaten Bandung bisa langsung memasok ke pasar tradisional lokal dan bisa juga
langsung memasok ke pasar modern. Selain itu terdapat pula petani ubi jalar yang dapat
memasok ke eksporir.
Tabel 5.16. Hubungan Tingkat Pendidikan Petani dengan Tujuan Pasar
No.
Hubungan Tingkat
Pendidikan dengan
Pemilihan Pasar
Bandar/
pedagang
besar/
supplier
Pasar
Modern
Pasar
Tradi-
sional
Pedagang
pengumpul/
tengkulak
Total
1 Akademi/Diploma 0 0 1 1 2
2 Sarjana 1 0 1 1 3
3 SD 18 0 5 32 55
4 SMA 3 2 7 6 18
5 SMP 5 1 4 8 18
6 Tidak Sekolah 0 0 0 4 4
Total 27 3 18 52 100
*Ket : TS = Tidak Sekolah
Selanjutnya tabel 5.27 menunjukkan bahwa mayoritas responden petani ubi jalar
memiliki tingkat pendidikan terakhir SD dan memilih menjual hasil ubi jalarnya ke
pedagang pengumpul/tengkulak. Sedangkan yang memasok ke pasar modern dan ke
pasar tradisional secara langsung adalah responden petani yang tingkat pendidikannya
lebih tinggi antara SMP dan SMA. Meski begitu, cukup banyak pula petani yang tingkat
pendidikannya SMP dan SMA tetapi tetap memasok hasil ubi jalarnya ke pedagang
pengumpul/tengkulak. Ini berarti tingkat pendidikan petani tidak terlalu mempengaruhi
petani untuk memasok hasil ubi jalarnya ke pasar tertentu.
Pada kegiatan pemasaran hasil panen ubi jalar, ternyata mayoritas petani sejak
dulu awal memulai usahatani ubi jalar sudah memasok ke tujuan pemasaran yang sama
dengan yang dilakukan pada saat ini. Tidak banyak yang berubah dari tujuan pemasaran
petani ubi jalar. Adapun beberapa petani yang tadinya hanya memasok ke
tengkulak/bandar kemudian mencoba menjual hasil ubi jalarnya ke pasar tradisional
nyatanya lebih memilih menjual hasil ubi jalarnya ke tengkulak/bandar kembali. Pada
umumnya lama waktu petani mencoba ke tujuan pasar yang baru tidaklah lebih dari 1
tahun.
5.4.4.2 Sistem Penentuan Harga Jual Ubi jalar
Tujuan pasar petani ubi jalar yang mayoritas menjual hasil panen ubi jalarnya ke
pedagang pengumpul/tengkulak dan bandar ternyata kerap kali membuat petani tidak
memiliki bargaining position yang tinggi di dalam penentuan harga jual umbi ubi jalar.
Terlebih lagi apabila adanya bantuan sarpotan seperti berupa zat perangsang tumbuh
dari tengkulak/bandar kepada petani ubi jalar. Hal tersebut membuat petani ubi jalar
harus terus memasok hasil panen ubi jalar mereka ke tengkulak/bandar tertentu yang
memberikan pinjaman tersebut hingga hutangnya terlunasi. Sehingga mayoritas
responden petani ubi jalar hanya menjadi price taker seperti yang dapat dilihat pada
gambar 5.8.
Adapun penentuan harga oleh pembeli dan keputusan bersama berarti bahwa
petani memiliki sebagian pinjaman modal (berupa bantuan uang) kepada tengkulak atau
bandar yang jumlahnya tidak digunakan untuk keseluruhan pohon ubi jalar yang ia
miliki. Maka petani tersebut menjual sebagian hasil panennya ke tengkulak/bandar guna
melunasi hutang dan sebagian lagi pada umumnya langsung dijual ke pasar tradisional
induk/lokal oleh petani tersebut.
Selain itu ada pula responden petani ubi jalar yang dapat menentukan harga jual
dengan keputusan dirinya sendiri dan keputusan bersama antara dirinya dengan pembeli
yaitu merupakan petani ubi jalar yang langsung menjual sendiri hasil panen ubi jalarnya
ke pasar tradisional lokal dan sebagian ia jual ke pasar induk yang harus melewati
pedagang besar (pengepul di pasar induk) tersebut. Sehingga ia memiliki kemampuan
menentukan harga jual sendiri dan sebagian lagi penentuan harga berdasarkan
keputusan bersama dengan pembeli (pengepul). Biasanya petani seperti ini merupakan
petani yang tidak memiliki keterikatan hutang kepada tengkulak/bandar.
Gambar 5.82. Penentuan Harga Jual Ubi jalar
Adapula penentuan harga yang ditentukan oleh petani dan pembeli. Hal ini
berarti responden petani ubi jalar tersebut memiliki peran lain yaitu sebagai
tengkulak/bandar/pedagang pengumpul/supplier. Sehingga ia dapat menentukan harga
jual sebagai petani terhadap pembelinya yaitu misal ke pasar induk tradisional, namun
bisa pula pembeli yang menentukan harganya (pembeli di sini berarti pasar modern).
Maka petani jenis ini adalah petani yang sudah memiliki tujuan pasar yang cukup
beragam dan dapat dikatakan sudah cukup mandiri dalam hal permodalan.
Tabel 5.17. Sistem Pembayaran Penjualan Ubi jalar terhadap Petani Ubi jalar
No. Sistem Pembayaran Frekuensi / Persentase
(%)
1 Jatuh Tempo 12
2 Kredit 3
3 Tunai 63
4 Tunai dan Jatuh Tempo 17
5 Tunai dan Kredit 5
Total 100
Tabel 5.28 menunjukkan bahwa mayoritas responden petani ubi jalar pada
sistem pembayaran saat penjualan dibayar secara tunai. Ini sesuai dengan yang disukai
5%
88%
3%1% 3%
Penentuan Harga Jual Ubi Jalar
Keputusan Bersama Pembeli
Pembeli dan Keputusan Bersama Petani dan Keputusan Bersama
Petani dan Pembeli
oleh mayoritas responden petani ubi jalar. Petani cenderung mencari pembeli yang dapat
membayar petani secara tunai. Hal ini dikarenakan petani membutuhkan uang tersebut
untuk modal pemeliharaan pohon ubi jalar selanjutnya. Sehingga jika jatuh tempo/kredit
maka pemeliharaan pohon ubi jalar dapat terhambat.
Hal diatas yang merupakan kondisi saat ini ternyata tidak berbeda jauh dengan
saat awal responden petani ubi jalar memulai usahatani ubi jalarnya. Tujuan pasar yang
tidak banyak berubah hingga saat ini juga membuat sistem penentuan harga tidak
banyak berubah. Dengan sumber permodalan petani dari awal usahatani yang sudah
dapat dikatakan cukup mandiri, maka sejak awal petani cenderung memilih pasar
dengan sistem pembayaran yang tunai.
5.4.5 Subsistem Lembaga Penunjang
5.4.5.1 Kelompok Tani Ubi jalar
Tabel 5.18. Keikutsertaan Responden Petani Ubi jalar dalam Lembaga
No.
Keikutsertaan Petani Ubi jalar dalam Lembaga
Lembaga Tingkat Desa
(Kelompok Tani)
Frekuensi /
Persentase
(%)
Lembaga Antar
Wilayah
(Diluar Desa)
Frekuensi /
Persentase
(%)
1 Tidak 56 Tidak 97
2 Ya 44 Ya 3
Total 100 Total 100
Berdasarkan tabel 37 diketahui bahwa mayoritas responden petani ubi jalar di
Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung tidak tergabung ke dalam kelompok tani. Hal
ini terjadi karena beberapa faktor yang diantaranya adalah tidak adanya kelompok tani
yang aktif di desa tempat tinggal responden petani ubi jalar dan responden petani ubi
jalar merasa tidak perlu untuk tergabung dalam kelompok tani karena sangat jarangnya
manfaat yang dirasakan dari kelompok tani yang ada. Sistem pada hampir semua
kelompok tani tidak berjalan dengan baik sangat membuat tidak adanya ketertarikan
bagi petani untuk tergabung ke dalam kelompok tani.
Mayoritas responden petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung
juga tidak tergabung dalam suatu lembaga usahatani ubi jalar dengan cakupan yang
lebih luas (diluar desa). Mayoritas petani ubi jalar bahkan tidak mengetahui informasi
mengenai adanya lembaga-lembaga usahatani ubi jalar tersebut. Adapun hanya 3% dari
total keseluruhan responden petani ubi jalar yang tergabung dalam lembaga usahatani
ubi jalar sebagian besar memegang jabatan di dalam lembaga tersebut. Kondisi ini
cukup disayangkan karena kurangnya informasi kepada petani ubi jalar tentang lembaga
usahatani ubi jalar karena dengan petani tergabung dalam suatu lembaga usahatani maka
akan memiliki wadah tempat belajar dan berbagi ilmu antar petani ubi jalar.
Adapun saat pertama kali pemerintah menggalakkan komoditas ubi jalar untuk
ditanam di Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung, tidak lama setelahnya banyak
terbentuk kelompok tani ubi jalar. Pembentukkan kelompok tani tersebut dimaksudkan
untuk mewadahi para petani ubi jalar untuk berdiskusi, selain itu juga menjadi gerbang
bantuan-bantuan dari pemerintah untuk usahatani komoditas ubi jalar. Selain itu,
seringkali terdapat kelompok tani yang dibuat secara mendadak atau musiman saja,
yaitu hanya jika akan ada pemberian bantuan/ pelatihan/ penyuluhan maka dengan
sengaja dibentuklah kelompok tani- kelompok tani ubi jalar. Hal ini sangat disayangkan
karena keaktifan dari kelompok tani sangat bergantung pada bantuan dari pihak lain.
Maka ketika terjadi kondisi seperti saat ini yang sangat jarang ada bantuan, kelompok
tani juga bagaikan tidak ada.
5.4.5.2 Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan adalah lembaga yang menyediakan fasilitas keuangan bagi
petani untuk dapat melakukan pinjaman dan memberikan bantuan-bantuan materil
lainnya. Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa lembaga keuangan yang
pernah membantu petani ubi jalar cukup beragam seperti yang dapat dilihat pada tabel
4.31.
Tabel 5.19. Lembaga Keuangan bagi Responden Petani Ubi jalar
No. Lembaga Keuangan Frekuensi / Persentase
(%)
1 Bank 37
2 Bank dan Poktan/Gapoktan 1
3 Bank dan Tengkulak 18
4 Bank, Koperasi, dan Tengkulak 1
5 Bank, Poktan/Gapoktan, dan Tengkulak 2
6 Koperasi 1
7 Pemerintah/Dinas terkait dan Tengkulak 1
8 Poktan/Gapoktan dan Tengkulak 1
9 Poktan/Gapoktan, Pemerintah, dan Tengkulak 1
10 Tengkulak 16
11 Tidak Pernah 21
Total 100
Tabel 5.31 menunjukkan pula bahwa mayoritas responden petani ubi jalar pada
penelitian ini hanya pernah dibantu dalam hal keuangan oleh lembaga keuangan bank.
Ini merupakan hal yang menarik karena menurut beberapa responden bahwa tingkat
kepercayaan pihak bank kepada para petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari sangatlah
baik. Bahkan pihak bank tidak lagi sungkan untuk langsung turun ke lapangan untuk
menawarkan pinjaman kepada para petani. Keuntungan usahatani ubi jalar yang dapat
mencapai 100% dari jumlah modal ini ternyata memang sangat menggiurkan bahkan
bagi pihak investor. Bagi petani, pinjaman ke bank dirasa mudah untuk dilakukan
karena tidak memerlukan syarat yang berbelit yaitu cukup memberikan jaminan
sertifikat rumah/kendaraan, maka pinjaman akan disetujui pihak perbankan. Syarat
pengembaliannya pun cukup mudah yaitu hanya berupa syarat pengembalian berbunga
yang dapat dibayarkan pada akhir tahun/saat panen secara sekaligus, sehingga petani
tidak perlu mengangsur dalam pengembalian pinjaman tersebut. Dengan meminjam ke
bank pula petani tidak memiliki keterikatan tujuan pasar sehingga dapat memilih pasar
dengan bebas pada harga yang sesuai dengan yang diharapkan.
Mayoritas responden petani ubi jalar yang meminjam modal ke bank
menunjukkan bahwa petani sudah menggunakan sistem formal dalam pengelolaan
usahatani ubi jalar. tujuan penjualan ke tengkulak atau bandar mayoritas bukanlah
karena keterikatan dan ketergantungan, namun lebih kepada kemudahan akses yang
dirasakan oleh petani untuk memasok dan menjual hasil ubi jalarnya ke sana. Hal
tersebut menjadikan petani ketergantungan terhadap pelayanan informal dari tengkulak
atau bandar yang berperan sebagai perantara antara sektor informal dengan sektor
formal.
5.4.5.3 Bantuan Pemerintah
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan guna membuat dan
menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu juga guna memberikan
bantuan dan pendampingan bagi petani. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan seperti
yang dapat dilihat pada gambar 18, mayoritas responden petani ubi jalar masih belum
pernah merasakan adanya bantuan dari pemerintah terkait usahatani ubi jalar yang
dilakukan. Adapun bantuan yang dirasakan secara tidak langsung yaitu bantuan
permodalan dari bank. Namun selebihnya masih tidak merasakan bantuan apapun dari
pemerintah. Adapula penyuluhan/pelatihan hanya dirasakan oleh sebagian responden
petani ubi jalar, itupun masih sangat jarang dan jangka waktunya belum berkala. Selain
itu, banyak pula petani ubi jalar yang merasa penyuluhan/pelatihan kurang efektif
karena hal tersebut hanya dilakukan pada satu hari tertentu, padahal petani merasa
bahwa penyuluhan/pelatihan harus dikontrol dengan baik oleh pemerintah dan
dilakukan secara bertahap dan kontinyu.
Gambar 3. Bentuk Bantuan Pemerintah yang Dirasakan Responden Petani Ubi jalar
5.5. Luaran/Pekerjaan yang Telah Dicapai
Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan pada penelitian ini, berikut adalah
tahapan aktivitas penelitian yang telah dilaksanakan adalah:
13%2%
3%
17%
12%
53%
Bentuk Bantuan Pemerintah
Bantuan SaprotanPendampingan dan penyuluhan/pelatihanPendampingan, penyuluhan/pelatihan, dan bantuan saprotanPenyuluhan/pelatihanPinjaman ModalTidak Ada
Tabel 5.33. Kegiatan yang Telah Dilakukan
No. Jenis
Kegiatan Uraian
Waktu
Pelaksanaan
1
Revisi
instrument
penelitian
Berdasarkan persetujuan penelitian, kami melakukan
revisi untuk mencapai luaran yang diharapkan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan
pertemuan Tim Peneliti untuk menyesuaikan proses
penelitian dengan luaran yang diharapkan dan dana
yang didapatkan.
Hasil dari pertemuan tersebut adalah sejumlah
penambahan dan perbaikan dalam instrument
penelitian. Diantaranya adalah penambahan materi
pada Bab 2 Tinjauan Pustaka agar lebih operasional
sebagai dasar penyusunan Bab 3 Metodologi
Penelitian. Selain itu juga pada Bab 3 ditambahkan
sejumlah instrument untuk pelaksanaan penelitian
tahun pertama yaitu penambahan operasionalisasi
variable dan update dalam alat analisis datanya.
7 Juni 2018
2
Pertemuan
persiapan
administrasi
dan
pencarian
data
sekunder
Pertemuan untuk mempersiapkan kebutuhan
administrasi dan pencarian data sekunder yang akan
dibutuhkan. Data yang dibutuhkan adalah data
sekunder mengenai statistik daerah penelitian yaitu
desa Arjasari, Kab. Bandung
27 Juni
2018
3
Pertemuan
dan diskusi
persiapan
penelitian
Mempersiapkan dan menyusun tahapan kegiatan
penelitian yang akan dilakukan, mengatur waktu
pelaksanaan tahapan kegiatan sampai dengan
pencapaian setiap tahapan kegiatan penelitian dari
awal sampai akhir pada penelitian di tahun pertama.
4 Juli 2017
No. Jenis
Kegiatan Uraian
Waktu
Pelaksanaan
Hasil pertemuan membahas langkah pertama adalah
menyusun rencana observasi awal ke lokasi
penelitian untuk bertemu dan berdiskusi dengan
petani melalui metoda FGD (Focus Group
Discussion). Kemudian langkah selanjutnya adalah
persiapan melakukan survey kepada petani untuk
mengumpulkan data persepsi dan perilaku petani
terhadap usahatani ubi jalar unggulan Unpad.
4
Menyusun
metode dan
instrumen
penelitian
untuk
pelaksanaan
observasi
awal. FGD
dan survey
kepada
petani di
lokasi
penelitian
Menyusun, mengembangkan dan memperbarui
perangkat penelitian sebelum 69urvey awal
dilakukan:
1. Menyusun teknis pelaksanaan untuk FGD,
diantaranya adalah membentuk kepanitiaan
pelaksanaan FGD, menyusun susunan acaranya
dan membuat daftar pertanyaan yang akan
diidskusikan pada saat FGD.
2. Menyusun kepanitiaan untuk pelaksanaan survey
untuk pengumpulan data penelitian tahun pertama
yaitu mengenai persepsi dan perilaku petani
terhadap usahatani ubi jalar unggulan Unpad dan
memperbaiki kuesioner penelitian yang akan
digunakan dalam pelaksanaan survey
11 Juli 2017
5.
Pelaksanaan
observasi
awal di
lokasi
penelitian
Pelaksanaan observasi awal ini dilakukan oleh Tim
Panitia Acara dan Tim Peneliti untuk mengunjungi
ketua kelompok tani, berdiskusi seputar usahatani
ubi jalar dan mengunjungi lahan ubi jalar petani
6 Pelaksanaan
FGD (Focus
Tahapan yang dilakukan dalam pelaksaaan FGD
adalah : 18 Juli 2018
No. Jenis
Kegiatan Uraian
Waktu
Pelaksanaan
Group
Discussion)
1. Panitia FGD melakukan penelusuran dan
koordinasi dengan para petani untuk
menyampaikan kegiatan yang akan dilaksanakan
dan memastikan waktu pelaksanaan dan
menyesuaikan waktu pelaksanaan dengan waktu
luang yang dimiliki petani, serta memastikan
jumlah peserta dan kemudian mengundang
mereka untuk dapat menghadiri mengikuti acara
FGD.
2. Melakukan persiapan, penetapan desain
penelitian, termasuk finalisasi panduan
wawancara dan kuesioner yang akan diiskusikan
pada acara FGD.
3. Menentukan tempat pelaksanaan FGD. Pada
pelaksanaannya FGD ini bertempat di ruangan
mengaji anak-anak pada seumbi mushola di
lokasi penelitian.
7 Wawancara
key-informan
Melakukan penjajakan kunjungan lapangan ke
petani ubi
26 Juli 2018
8
Diskusi hasil
observasi
awal dan
pembuatan
kuesioner
untuk survey
ke petani
Diskusi hasil observasi dan FGD ke petani dan
rencana pembuatan kesioner serta pembuatan
laporan kemajuan penelitian.
30 Juli 2018
No. Jenis
Kegiatan Uraian
Waktu
Pelaksanaan
9 Survey Kegiatan survey kepada 100 petani ubi jalar di Kec.
Arjasari
28
September
2018
10 Entry data
hasil survey Entry data ke aplikasi Microsoft Excel
2 Oktober
2018
11 Olah data Olah data di aplikasi Microsoft Excel dan SPSS 15 Oktober
2015
12
Penulisan
Laporan
akhir
Penulisan laporan akhir 1 November
2018
BAB 5
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Rencana selanjutnya atau penelitian tahun ke-2 apabila disetujui adalah:
1) Menganalisis efisiensi usahatani, pengolahan dan pemasaran ubi jalar unggulan
Unpad yang dilakukan petani.
2) Mengukur tingkat keberlanjutan agribisnis ubi jalar
3) Memodelkan kelembagaan agribisnis ubi jalar unggulan Unpad yang mampu
mendukung keberlanjutan usahatani ubi jalar unggulan Unpad:
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai hasil observasi awal dan FGD (Focus
Group Discussion) yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan (sementara) sebagai
berikut :
1. Lokasi penelitian yaitu desa Arjasari Kab Bandung sangat berpotensi untuk
menjadi daerah sentra produksi ubi jalar unggulan Unpad. Banyak petani yang
sudah berpengalaman dalam menjalankan usahatani ubi jalar di lokasi
penelitian. Hal ini menjadi modal tersendiri untuk pengembangan ubi jalar
unggulan Unpad. Petani memberikan respon awal yang baik dan penuh harapan
tentang prospek budidaya ubi jalar manggunakan varietas ubi jalar unggulan
Unpad.
2. Dari hasil crosstabulation antara sumber modal dan tujuan pasar didapatkan
hasil bahwa mayoritas petani yang mengusahatanikan ubi jalarnya dengan modal
sendiri menjual hasil ubi jalarnya ke pedagang pengumpul/tengkulak. Ini berarti
pemilihan petani untuk menjual kepada pedagang pengumpul/tengkulak
bukanlah berdasarkan atas keterikatan pinjaman modal semata tetapi karena
sudah terbiasa dan merasa nyaman untuk menjual hasil ubi jalar ke pedagang
pengumpul/tengkulak tersebut.
3. Pada kegiatan pemasaran hasil panen ubi jalar, ternyata mayoritas petani sejak
dulu awal memulai usahatani ubi jalar sudah memasok ke tujuan pemasaran
yang sama dengan yang dilakukan pada saat ini. Tidak banyak yang berubah dari
tujuan pemasaran petani ubi jalar. Adapun beberapa petani yang tadinya hanya
memasok ke tengkulak/bandar kemudian mencoba menjual hasil ubi jalarnya ke
pasar tradisional nyatanya lebih memilih menjual hasil ubi jalarnya ke
tengkulak/bandar kembali. Pada umumnya lama waktu petani mencoba ke
tujuan pasar yang baru tidaklah lebih dari 1 tahun.
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1. Respon awal petani akan lebih terlihat secara terukur setelah dilakukan survey
yang sedang dipersiapkan untuk dilakukan
2. Penelitian ini akan menjadi penelitian yang mengkaji tentang pengembangan
suatu komoditas baru yang sangat prospektif dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat petani ubi jalar
DAFTAR PUSTAKA
Adger, W.N, N.W. Arnella, E.L. Tompkinsa. 2005. Successful Adaptation To Climate
Change Across Scales. Global Environmental Change 15 (2005) 77–86. Melalui
www.elsevier.com/locate/gloenvcha.
BMKG.2011. Perubahan Iklim dan Dampaknya Di Indonesia.Melalui
:<www.bmkg.go.id> [24/02/ 2012].
Creswell, J.W. and V.L.P. Clark. 2008. Designing and Conducting Mixed Methods
Research. Sage Publications. London.
Fujisawa, Mariko dan K. Kazuhiko. 2011.Climate change adaptation practices of apple
growers in Nagano, Japan. Springer Science Business Media B.V. Mitigation
Adaptation Strategy Global Change (2011) 16:865–877.
Ghozali, I. 2005, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS edisi 3.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gommes, R. 1998. Climate-related risk in agriculture. Canada: IPCC.
Hilmanto, Rudi. 2010. Etnoekologi. Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung.
IPCC. 2007. Climate Change 2007: The Project Science Basis. IPCC Working Groups
contributions to the Fourth Assessment Report (AR4). Geneva:
Intergovernmental Panel on Climate Change.
Kalinda and H. Thompson. 2011. Smallholder Farmers Perceptions of Climate Change
and Conservation Agriculture: Evidence From Zambia. Journal of Sustainable
Development, Vol. 4, No. 4, Agustus 2011.
KLH. 2007. Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi perubahan Iklim.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
LAPAN.2002. Landasan Ilmiah Perubahan Iklim.LAPAN. Bandung.
Las, I. 2007. Srategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim. Jakarta: Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian.
Li, C., Z. Ting, & R.G. Rasaily. 2010. Farmer’s Adaptation to Climate Risk in the
Context of China: A research on Jianghan Plain of Yangtze River Basin.
Agriculture and Agricultural Science Procedia 1: 116–125. Science Direct.
Natawidjaja, R.S., L. Sulistyowati, L. Setiagustina, H. Sulistyoningrum dan A. Nugraha.
2008. Analisis Suply dan Value Chain di Jawa Barat. Bandung: Unpad Press.
Olesen, J.E. and M. Bindi. 2002. Consequences of climate change for European
agricultural productivity, land use and policy. European Journal of Agronomy
16: 239-262.
Pindyck, S., Robert dan Daniel L. Rubinfeld. 1998. Econometrics Models and Economic
Forecast, Fourth Edition. McGraw-Hill International Edition: Singapore.
Rasmikayati, E. 2013. Perubahan Iklim: Dampaknya terhadap Perilaku serta Pendapatan
Petani. UNPAD
Rasmikayati, E. 2014. Kajian Risiko Produksi dan Pemasaran Pada Petani Mangga.
UNPAD
Ruminta. 2011. Kajian Kerentanan, Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor
Pertanian di Kabupaten Bandung. Jakarta: Universitas Padjadjaran.
Sarjono, H. dan W. Julianita. 2014. Structural Equation Model (SEM), Seumbi
Pengantar, Aplikasi untuk Penelitian Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Shen, S., A. Basist. & A. Howard. 2010. Structure of a digital agriculture system and
agricultural risks due to climate changes. Agriculture and Agricultural Science
Procedia 1: 42–51. Science Direct.
Sulistyowati, L. dan E. Rasmikayati. 2014. Determinant of Commercialization of
Manggo Farmers In West Java. UNPAD.
Surmaini, E., Eleonora R., dan I. Las. 2010. Upaya Sektor pertanian Dalam Menghadapi
Perubahan Iklim.Jurnal Litbang Pertanian, Edisi 30(1), 2011. Jakarta.
Wang, J. 2010. Food Security, Food Prices and Climate Change in China: a Dynamic
Panel Data Analysis. Agriculture and Agricultural Science Procedia 1: 321–324.
Science Direct.