62
LAPORAN HASIL DISKUSI MODUL PENGINDERAAN PEMICU 3 KELOMPOK DISKUSI 1 1. Bakri Bayquni Nasution I11110010 2. Ullis Mawardhani I11111046 3. Wenny Ruppina I11111067 4. Gusti Angri Angalan I11112004 5. Cindy Lidia I11112006 6. JoviPardomuan S. I11112008 7. Gita Amalia Asikin I11112032 8. Khairun Nisa I11112033 9. Friedrich Kurniawan Moja I11112051 10. Aprindo Donatus I11112055 11. Putri Umagia Drilna I11112067 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

Laporan Dk 3 Imun Dengan Pembagian

Embed Size (px)

DESCRIPTION

11

Citation preview

LAPORAN HASIL DISKUSIMODUL PENGINDERAANPEMICU 3

KELOMPOK DISKUSI 1

1. Bakri Bayquni NasutionI111100102. Ullis MawardhaniI111110463. Wenny RuppinaI111110674. Gusti Angri AngalanI111120045. Cindy LidiaI111120066. JoviPardomuan S.I111120087. Gita Amalia AsikinI111120328. Khairun NisaI111120339. Friedrich Kurniawan MojaI1111205110. Aprindo DonatusI1111205511. Putri Umagia Drilna I11112067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK2015

BAB IPENDAHULUAN

1.1 PemicuSeorang laki-laki usia 40 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan utama badan pegal-pegal dan nyeri pada betis. Perjalanan penyakit: pasien mengalami keluhan tersebut sejak 3 hari yang lalu, badan terasa pegal-pegal, disertai mual muntah 3-4x / hr , sakit kepala, demam tinggi, tidak menggigil. Penderita sebelumnya 1 minggu yang lalu ikut berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti membersihkan selokan di kompleknya.Data tambahan:

1.2 Klarifikasi dan Definisi Masalah-

1.3 Kata Kunci1. Nyeri pada betis2. Demam tinggi3. Badan pegal-pegal4. Mual, muntah5. Sakit kepala

1.4 Rumusan MasalahLaki-laki 40 tahun dengan keluhan utama badan pegal-pegal dan nyeri pada betis disertai demam tinggi, sakit kepala dan mual muntah 3-4 kali/hari.

1.5 Analisis Masalah

Laki-laki 40 tahunPartisipasi dalam kegiatan kerja bakti membersihkan selokan

Perjalanan penyakitKeluhan sejak 3 hari laluKeluhan utama Badan pegal-pegalNyeri pada betis

Demam tinggi, tidak mengigilSakit kepalaMual muntah 3-4 kali/hariBadan pegal-pegal

Pathogen Gejala demam

Cari penyebab

Pemeriksaan penunjang

Tatalaksana

1.6 HipotesisLaki-laki 40 tahun mengalami infeksi virus hepatitis A sehingga menyebabkan pelepasan sitokin yang memicu terjadinya demam dan mialgia.

1.7 Pertanyaan Diskusi1. Jelaskan mengenai sitokin! Berdasarkan poin-poin berikut: Jenis dan pengaruh terhadap tubuh (1, 4) Mekanisme kerja (2, 5)2. Jelaskan mengenai infeksi patogen! Berdasarkan poin-poin berikut: Patogenitas infeksi bakteri (3, 6)Patogenesis infeksi bakteri diawali permulaan proses infeksi hingga mekanisme timbulnya tanda dan gejala penyakit. Patogenesis bakteri memiliki beberapa tahapan, antara lain: Adhesi, Kolonisasi, Invasi, dan Toksigenesis.AdhesiAdhesi merupakan proses bakteri menempel pada permukaan sel inang, pelekatan terjadi pada sel epitel. Adhesi bakteri ke permukaan sel inang memerlukan protein adhesin dimana adhesin dibagi menjadi 2 fimbrial dan afimbrial. Adhesi fimbrial adalah struktur menyerupai rambut yang terdapat pada permukaan sel bakteri yang tersusun atas protein yang tersusun rapat dan memiliki bentuk silinder heliks. Mekanisme adhesi fili yaitu Fili bertindak sebagai ligan dan berikatan dengan reseptor yang terdapat pada permukaan sel host. Molekul adhesin afimbrial golongan berupa protein (polipeptida) dan polisakarida yg melekat pada membran sel bakteri. Polisakarida yg berperan dalam sel biasanya adalah penyusun membran sel seperti:glikolipid, glikoprotein, matriks ekstraseluler (fibronectin, collagen).KolonisasiKolonisasi merupakan proses dimana bakteri menempati dan bermultiplikasi pada suatu daerah tertentu dalam tubuh manusia. Kolonisasi berlangsung pada permukaan inang dengan proses- proses yang meliputi penetrasi kulit utuh, penetrasi lapisan musin, resistensi terhadap peptida antibakteri, penempelan, protease sIgA, mekanisme pengambilan besi.InvasiInvasi yaitu proses bakteri masuk ke dalam sel inang/jaringan dan menyebar ke seluruh tubuh, akses yang lebih mendalam dari bakteri supaya dapat memulai proses infeksi. Dibagi menjadi dua yaitu ekstraseluler dan intraseluler. Pada saat bakteri dalam tahap invasi, bakteri akan mengeluarkan suatu zat berupa enzim yang memfasilitasi peristiwa invasi yang disebut invasin. Invasi ini meliputi tahap - tahap yaitu mikroba menghasilkan enzim pendegradasi jaringan, mikroba menghasilkan protease IgA. Setelah invasi, mikroba mampu bertahan hidup dan berkembang biak dalam sel inang.Strategi pertahanan bakteriBakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di dalam sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan. Bakteri ekstraseluler biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri. Selain itu, kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri dapat dihambat. Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin yang meracuni leukosit. Strategi lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non fagosit sehingga memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit .Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen melalui aksi produk mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja regulator aktivasi komplemen. Bahkan beberapa spesies dapat menghindari lisis dengan cara mengalihkan lokasi aktivasi komplemen melalui sekresi protein umpan (decoy protein) atau posisi permukaan bakteri yang jauh dari membran sel. Beberapa organisme Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan tebal yang menghambat insersi komplek serangan membran C5b-9 pada membran sel bakteri.Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan obligat. Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi tidak dapat dihancurkan oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga mekanisme, yaitu: 1. Menghambat fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri. 2. Lipid mikobakterial seperti lipoarabinomanan menghalangi pembentukan roi (reactive oxygen intermediate) seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan terjadinya respiratory burst. 3. Menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas dalam sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya.

ToksigenesisKemampuan suatu mikroorganisme untuk menghasilkan suatu toxin - suatu bahan yang memiliki efek merusak pada sel dan jaringan inang, dan potensi toxin merupakan faktor penting dalam kemampuan mikroorganisme untuk menyebabkan penyakit. Toxin yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat berupa exotoxin, toxin yang dikeluarkan ke sekeliling medium; atau endotoxin, toxin yang berada dalam sel sebagai bagian dari sel.Exotoxin dikeluarkan dari sel mikroba ke suatu medium kultur atau ke dalam sirkulasi atau jaringan inang. Exotoxin merupakan protein; yang dapat dihasilkan oleh bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Efeknya pada jaringan manusia biasanya sangat spesifik. Exotoxin biasanya mempunyai afinitas untuk suatu jaringan khusus dimana dia dapat menyebabkan kerusakan. Exotoxin kehilangan toxisitasnya jika dipanaskan atau diberi perlakuan secara kimia. Endotoxin. Beberapa mikroorganisme, khususnya bakteri Gram-negatif, tidak mengeluarkan suatu toxin terlarut, tetapi membuat suatu endotoxin yang dibebaskan ketika sel mengalami pembelahan, pecah dan mati. Endotoxin dari bakteri Gram-negatif merupakan komponen struktural membran luar dari dinding sel bakteri Gram-negatif. Komponen ini merupakan polisakarida (khususnya porsi A lipid). Endotoxin merupakan racun yang efektif pada tempat terikatnya ( ketika menjadi bagian dari dinding sel yang utuh) dan ketika dilepaskan sebagai produk lytik pada pembelahan sel. Dibandingkan dengan exotoxin , endotoxin lebih stabil terhadap pemanasan, tidak membentuk toxoid dan kurang toxik. Endotoxin bertanggung jawab untuk beberapa gejala penyakit seperti demam dan shock.Mekanisme PatogenesisBakteri menempel pada inang, kemudian bakteri akan mengeluarkan enzim Hialuronidase untuk menembus jaringan, enzim Hialuronidase menembus sel inang dengan cara menghidrolisis asam hiarulonat, yaitu semen jaringan esensial untuk melekatkan bakteri ke sel inang. Setelah menempel di sel inang, dengan bantuan enzim ekstraseluler yaitu enzim lesitinase dan hemolisin akan melisiskan sel darah merah. Hemolisin merupakan substansi yang selain melisis sel-sel darah merah juga membebaskan hemoglobinnya. Setelah sel darah merah mengalami lisis atau rusak, bakteri juga akan merusak kolagen yang merupakan serabut jaringan yang banyak terdapat di otot dan tulang dengan bantuan enzim kolagenase. Setelah itu bersama activator dalam plasma enzim koagulase, mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan kemudian menghasilkan endapan fibrin. Endapan fibrin digunakan untuk melindungi bakteri dari fagosit inang. Jika sel bakteri lebih kuat melawan pertahan sel inang maka terjadilah pagositosis bakteri.

1Faktor virulensi yang berperan dalam kolonisasiStruktur permukaan (fimbria, flagella, antigen kapsul, enzim, dan komponen membran luar) penting dalam hal virulensi bakteri, terutama kemampuannya menempel, pembentukan koloni sebagai tahap awal infeksi.

2Pergerakan bakteriAdanya flagela pada permukaan bakteri patogenik dan oportunistik dianggap dapat memudahkan kolonisasi dan penyebaran dari tempat awal. Proteus basil ketika tumbuh dalam medium cair, sel bertingkah laku sebagai sel perenang (swimmer cell). Ketika dipindahkan ke medium padat, Proteus basil mengalami morfogenesis menjadi sel berkerumun (swarming) dan berkerumun di atas medium padat. Pertumbuhan swarming kemudian menjadi swammer.

3Perlekatan bakteriFimbriae dan kemampuan menempel Kemampuan melekat bakteri seringkali dihubungkan dengan adanya fimbria pada sel bakteri. Penelitian secara in vitro memperlihatkan bahwa fimbriae mempertinggi perlekatan sel bakteri terhadap sel uroepitel tetapi menyebabkan patogen lebih rentan terhadap fagositosis. Bakteri dengan jumlah fimbriae banyak lebih mudah dicerna oleh sel polymorphonuclear monolayer dibandingkan dengan jumlah fimbriae sedikit. Adhesin Bakteri melakukan sejumlah mekanisme dimana dia dapat menempel atau menembus jaringan inang. Bakteri melekat hanya kepada permukaan yang komplemen, dan perlekatan melibatkan suatu interaksi di antara struktur pada permukaan bakteri (adhesin) dan reseptor pada substrat. Biasanya, ligand multipel pada permukaan pathogen tersedia untuk meningkatkan kekuatan dan spesifisitas perlekatan ketika ligand tersebut digunakan bersama-sama. Dengan target struktur yang mengandung matriks glikoprotein, glikoprotein membran integral, atau glikolipid, adhesin merupakan protein yang digunakan dalam interaksi protein-karbohidrat atau protein-protein. Secara resmi tetap dimungkinkan bahwa adhesin merupakan karbohidrat yang digunakan karbohidrat yang sama, sebagaimana yang terjadi dalam sejumlah interaksi eukariot, tetapi tipe perlekatan bakteri ini belum dapat digambarkan. Faktor yang mempengaruhi adhesi:a. Hidrofobitas permukaanb. Muatan bersih permukaanc. Molekul pengikat pada bakteri (ligan)d. Interaksi reseptor sel inangAdhesin secara normal dilihat pada permukaan luar sel atau keluar dari appendage seperti fimbria. Bakteri dan sebagian besar substrat biologik dianggap sebagai muatan negatif. Penyusunan adhesin tersebut pada jarak tertentu dari sel bakteri membantu mengatasi serangan yang menolaknya dan mengijinkan kontak dengan reseptor pada permukaan substrat pada jarak tertentu dari bakteri. Adanya suatu reseptor yang komplemen pada substrat tidak selalu sama dengan kemampuan suatu bakteri untuk kolonisasi pada jaringan tersebut. Sebagai contoh, E. coli, yang menghasilkan adhesin spesifik-manosa, tidak berkolonisasi pada semua substrat mengandung manosa. Dari fakta ini dianggap bahwa proses perlekatan dapat melibatkan penyajian yang benar, orientasi, dan mudah dicapai oleh adhesin bakteri dan reseptor jaringan inang. Terdapat korelasi positif di antara kemampuan sel jaringan inang untuk mengikat suatu bakteri patogen dan kerentanan inang terhadap patogen tersebut. Semakin hidrofob permukaan sel bakteri, semakin besar pelakatan pada sel inang. Sel bakteri membutuhkan protein adhesin untuk melekatkan diri pada sel inang. Kemudian, antibodi yang bekerja melawan ligan bakteri dapat mengahmbat pelekatan pada sel inang dan melindungi inang dari infeksi.Sebagai contoh Bordetella pertussis melekat dengan baik pada sel bersilia manusia tetapi tidak melekat pada sel yang sama dari spesies mammalia lain yang tidak menerima B.pertussis. Sebagai tambahan untuk spesifisitas infeksi, kerentanan suatu individu dalam suatu spesies dapat berikatan kepada pelekat, dianggap diperantarai oleh penyajian reseptor spesifik yang sering ada dalam bentuk antigen golongan darah. Perlekatan E. coli kepada sel epitel dari pasien dengan infeksi saluran urin yang berulang , dapat lima kali lebih besar dibandingkan dengan perlekatan kepada sel dari individu yang bebas-infeksi. Dengan cara yang sama, Streptococcus pneumoniae diisolasi dari penderita otitis media memperlihatkan kecenderungan yang lebih besar untuk melekat kepada sel nasofarinx dari pada sel dari pasien penderita septisemia atau meningitis, dengan anggapan bahwa strain tersebut memperlihatkan tropisma jaringan. Beberapa adhesin yang dimiliki oleh bakteri patogen: Adhesin sel uroepitelUroepithelial Cell Adhesin (UCA), merupakan suatu protein yang diisolasi dari isolat uropatogenik P. mirabilis HU 1069. Adesin yang ditemukan berpengaruh untuk penyerangan bakteri terhadap sel uroepitel. Gen ucaA terdiri dari 540 bp yang mengkode suatu polipeptida terdiri dari 180 asam amino, termasuk 22 asam amino pengenal urutan peptida. Adhesin FHA (filamentaous hemaglutinin)FHA Bordetella pertussis merupakan protein sekretori 220-kDa yang mengandung beberapa epitope dan dapat mengenali resptor pada permukaan sel inang. Resptor tersebut termasuk suatu domain pengikat-heparin ujung-N yang mengikat polisakarida mengandung sulfat, dan dilibatkan dalam hemaglutinasi, suatu domain lektin ujung-N yang mengikat asam sialat dan dilibatkan dalam hemaglutinasi., suatu domain lektin untuk sel bersilia, suatu domain yang mengandung urutan RGD (arginin-glisin-asparagin) yang mengikat CR3 integrin leukosit, dan dua daerah yang meniru daerah pengikatan pada faktor X cascade koagulasi dan berikatan kepada CR3 leukosit. Dua daerah FHA juga memperlihatkan sekitar 30% urutan yang sama dengan keratin dan elastin.

4Mekanisme penetrasi bakteri patogenSuatu patogen pertama kali harus mencapai jaringan inang dan memperbanyak diri sebelum melakukan kerusakan. Dalam banyak kasus, hal yang dibutuhkan adalah organisme harus menembus kulit, membran mukosa, atau epitel intestin, permukaan yang secara normal bertindak sebagai barrier mikroba. Melintasi kulit masuk ke lapisan subkutan hampir selalu terjadi melalui luka; jarang dilakukan patogen menembus melewati kulit yang utuh.

a. Penetrasi atau penembusan mukusPermukaan mukosa ditutupi oleh selapis tipis mukus, yang tersusun dari beberapa karbohidrat. Lapisan ini merupakan barrier pertama yang menghadapi patogen ketika memasuki hospes. Beberapa organisme memiliki kemampuan untuk menguraikan mukus dengan menggunakan enzim yang dikeluarkannya. Faktor lain yang membantu penembusan lapisan mukosa adalah motilitas atau pergerakan. Sebagai contoh motilitas kelihatan terlibat dalam kolonisasi V. cholerae. Motilitas meningkatkan serbuan Salmonella dan penembusan sel epitel, meskipun tidak sangat diperlukan. Walaupun demikian, patogen lain yang menembus permukaan mukosa dan berinteraksi secara baik dengan sel epitel mukosa adalah nonmotil /tidak bergerak. Beberapa contoh, termasuk spesies Shigella dan Yersiniae (pada suhu 37oC). Mekanisme penembusan dan peran mukus dalam proses ini, tidak dikelompokkan. Sel M (sel epitel yang khusus) memiliki sedikit mukus pada permukaannya, sebaliknya sel epitel bentuk silinder dilapisi mukus yang lebih tebal. Terlihat bahwa sebagian besar mikroorganisme menembus lewat sel M, tidak terdapatnya suatu barrier mukus pada sel M mukus kemungkinan dianggap tidak memainkan peran yang berarti dalam kolonisasi dari sel ini. Sebagai itu, beberapa toxin bakteri yang menyebabkan diarhea, juga menyebabkan hilangnya mukus. Hilangnya mukus memudahkan jalan masuk ke sel epitel mukosa. Perlekatan spesifik. Sebagian besar infeksi mikroba dimulai dalam membran mukosa pada saluran pernapasan, urin, atau genitourinari. Ini menunjukkan bakteri atau virus mampu memulai infeksi dengan kemampuan melekat secara spesifik kepada sel epitel. Bukti untuk spesifisitas ada beberapa tipe. Pertama , merupakan spesifisitas jaringan. Suatu mikroba penyebab infeksi tidak melekat pada semua sel epitel secara bersama-sama, tapi memperlihatkan selekifitas dengan melekat pada daerah tubuh tertentu dimana secara normal dia dapat masuk. Sebagai contoh, Neisseria gonorrhoeae, agen penyebab penyakit menular secara sexual gonorrhea, melekat lebih kuat terhadap epitel urogenital dibanding ke jaringan lain. Kedua, spesifisitas inang; suatu strain bakteri yang secara normal menginfeksi manusia akan lebih kuat melekat kepada sel epitel manusia yang cocok dibanding dengan sel yang sama pada hewan (contoh, tikus), atau sebaliknya. Mekanisme yang sebenarnya digunakan untuk perlekatan sering melibatkan pengikatan appendage permukaan bakteri seperti pili (fimbriae) terhadap reseptor permukaan sel inang. Sebagai alternatif identifikasi reseptor inang, bakteri dapat membuat adhesin nonfimbria sebagai perantara perlekatan. Contoh tersebut termasuk adhesin afimbria dari E. coli dan hemagglutinin bentuk-filamen dari Bodetella pertussis. Sebagai tambahan untuk perlekatan terhadap reseptor permukaan mukosa, beberapa adhesin bakteri memerantarai kontak bakteri dengan bakteri, terbentuk dalam susunan mikrokoloni yang berikatan secara bersentuhan. Peranan perlekatan antara bakteri dilakukan dalam kolonisasi mukosa menentukan, dengan alasan sekali suatu patogen berhasil berikatan terhadap permukaan inang, mereka dapat menyebar. Dengan kata lain, bakteri berpisah pada permukaan inang, mereka dapat tetap tinggal dan saling berikatan dengan sesamanya lebih cepat daripada langsung kepada permukaan sel inang, yang membatasi daerah ini. Perlekatan antara bakteri ini, dianggap bahwa bakteri mengexpresikan resptor khusus yang menyerupai sel inang atau adhesin tersebut dapat mengenali reseptor yang berbeda pada bakteri dan sel inang. Dengan kata lain, bakteri mengexpresikan tipe adhesin yang berbeda untuk kontak interspesies (bakteri-sel inang) dan intraspesies (bakteri-bakteri). Infeksi seringkali dimulai pada tempat yang disebut membran mukosa tubuh hewan. Membran mukosa ditemukan di seluruh tubuh termasuk mulut, farink, esofagus, saluran urin, pernapasan, dan gastrointestin. Membran mukosa terdiri dari lapisan tunggal atau banyak sel epitel, sel yang langsung berhubungan dengan lingkungan eksternal. Membran mukosa seringkali ditutupi dengan suatu lapisan pelindung dari mukus, terutama bahan glikoprotein, yang melindungi sel epitel. Lalu, barrier mukosa dipecahkan, mengijinkan patogen untuk memasuki jaringan yang lebih dalam.

b. Terjadinya invasiInvasi merupakan proses bakteri masuk ke dalam sel inang atau jaringan dan menyebar ke seluruh tubuh. Invasi di bagi menjadi 2 yaitu ekstraseluler dan intraseluler. Ekstraseluler proses ini terjadi apabila mikroba merusak barier jaringan untuk menyebar ke dalam tubuh inang baik melalui peredaran darah maupun limfa. Intraseluler terjadi apabila mikroba benar benar berpenetrasi dalam sel inang dan hidup di dalamnya

Gambar 3.1 Mekanisme terjadinya invasi

Produksi invasinMasuknya bakteri di dalam sel inang, meliputi peran aktif bagi organisme dan peran pasif bagi sel inang. Pada kebanyakan invasi, bakteri menghasilkan faktor virulen yang mempengaruhi sel inang dan menyebabkan sel inang menelan atau memakan bakteri. Saat berada dalam sell inang, bakteri bersembunyi dalam vakuola yang terdiri dari selaput sel inang atau selaput vakuola yang dapat dilarutkan, dan bakteri menyebar dalam sitoplasma. Penyebaran bakteri pada jaringan ini dibantu dengan invasin yang berupa enzim, yang dihasilkan sendiri oleh sel bakteri tersebut. Beberapa macam produk invasin, antara lain :1) Protease IgAIgA adalah antibodi yang disekresikan pada permukaan mukosa. 2) LesitinaseBakteri patogen menghasilkan enzim proteolitik kolagenase yang menggradasikan kolagen, protein utama pada jaringan penyambung berserat, dan mempermudah penyebaran infeksi dalam jaringan.3) Koagulase Koagulase bekerja sama dengan faktor-faktor serum untuk mengkoagulasikan plasma. Koagulase juga menyebabkan pengendapan fibrin pada permukaan sel inang.4) Hialuronidase enzim yang menghidrolisis asam hialuronat. Enzim ini dihaslkan oleh banyak bakteri, (misalnya strafilokokus, streptkokus, anaerob) dan membantu penyebaran bakteri melalui jaringan.

c. Pertahanan terhadap hostUntuk dapat bertahan dan memperoleh suplai besi, bakteri pathogen memproduksi siderofor, yaitu senyawa yang mampu megkelat besi dengan afinitas tinggi, sehingga dapat menangkap besi lebih cepat. Contohnya Clostridium memproduksi enzim yang disebut kolagenase sehingga dapat merusak kolagen jaringan dan dapat berkoloni di dalam jaringan inang.Cara Bakteri Mempertahankan Host1. Bakteri mengubah antigen di permukaan mukosa 2. Bakteri menghasilkan protein pengikat antibodi3. Bakteri bertahan hidup terhadap fagositosis dengan cara menghindari fagosom, mencegah fusi fagosom lisosom dengan cara melakukan pengasaman pada vakuola, menurunkan keefektifan senyawa toksik yang menghasilkan komponen mirip inang4. Bakteri 5. di keluarkan ke fagolisosom setelah fusi.

d. ToksigenesisBakteri patogen mempunyai kemampuan memproduksi toksin yg berfungsi sebagai alat utk merusak sel inang dan mendapatkan nutrisi yang diperlukan dari sel inangnya. Secara umum dapat dibedakan 2 macam berdasarkan proses pembentukan toksin oleh bakteri yaitu eksotoksin dan endotoksin1. EksotoksinSifat-sifat eksotoksin: Toksin yang termolabil (rusak oleh pemanasan) Biasanya dibuat oleh bakteri gram positif Daya kerja yang bersifat enzimatis Tiap eksotoksin dapat memiliki efek farmakologis yang khas Dapat diubah menjadi toksoid

Ciri-ciri eksotoksin : Jika toksin disuntikan kepada jasad hidup, maka jasad ini di dalam tubuhnya akan membuat bahan-bahan penentang (antitoksin). Eksotoksin tidak begitu berbahaya jika tertelan, akan tetapi membawa maut jika masuk ke dalam peredaran darah. Khususnya Toksin Botulinum dapat membawa maut jika sampai masuk ke dalam alat-alat pencernaan. Eksotoksin dapat dibagi menjadii beberapa jenis, antara lain: Menurut jenis sel yang diserang, antara lain: Sitotoksin, Neurotoksin, Leukotoksin, Hepatoksin, Kardiotoksin. Menurut bakteri penghasilnya, antara lain: Kolera toksin, Shiga toksin, Difteria toksin. Menurut struktur dan aktivitas, antara lain: Eksotoksin A-B, Eksotoksin perusak membrane, Eksotoksin superantigen.

2. EndotoksinSifat-sifat endotoksin: Senyawa protein polisakarida lipid yang termostabil (tidak rusak dengan pemanasan) Tidak mempunyai efek enzimatis Dibuat oleh bakteri gram positif Tidak dapat diolah menjadi toksoid

Efek biologis endotoksin telah dipelajari secara mendalam. Efek biologis endotoksin bervariasi, yaitu leukopenia, leukositosis, depresi tekanan darah, aktivasi keping darah, nekrosis sumsum tulang, hipotermia dan toksisitas letal (pada tikus), dan induksi sintesis prostaglandin. Namun terdapat efek dari endotoksin yang menguntungkan inang, yaitu efek mitogenik limfosit B (dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi virus dan bakteri), induksi sintesis -interferon oleh limfosit T(dapat mengaktifkan makrofag dan sel-sel pembunuh dan mengaktifkan penolakan terhadap sel tumor), aktivasi komplemen, induksi nonspesifik resistensi infeksi, aktivasi makrofag, induksi sintesis faktor nekrosis tumor, dan induksi toleransi endotoksin. Penelitian terakhir terfokus pada eksploitasi efek positif endotoksin khususnya dalam perkembangan menstimulasi respons imun. Menghidrolisis gugus fosfat atau deasilasi satu atau beberapa asam lemak dari lipid A dapat menurunkan toksisitas lipid A. Toleransi terhadap endotoksin dapat dihasilkan dengan mengintroduksi lebih dulu endotoksin dosis rendah atau mengintroduksi lipid A nontoksis sebelum endotoksin dosis tinggi.

Tabel 3.1 Perbedaan eksotoksin dan endotoksinEksotoksinEndotoksin

1. Diproduksi oleh sel bakteri hidup, konsentrasinya tinggi dlm media cair Diproduksi oleh sel bakteri yang telah mati

2. Tersusun atas molekul polipeptida,Tersusun atas lipopolisakarida kompleks, dimana gugus lemak mrpk penentu tingkat toksisitasnya

3. Relatif tidak stabil pada pemanasan; rusak pd >600C, toksin akan kehilangan daya toksisitasnyaMasih stabil pd 600C selama 2 jam tanpa mengubah daya toksisitasnya

4. Bersifat antigenik; mampu menstimulasi membentukan antibodi. Mampu merangsang pembentukan antitoksinTidak bersifat antigenik, tidak mampu menstimulasi pembentukan antitoksin. Hanya mampu membentuk antibodi terhadap gugus polisakaridanya

5. Bisa dibuat toksoid dgn. Penambahan formalin, asam, pemanasan dll.Tidak dapat dibuat toksoid

6. Mempunyai sifat toksisitas tinggi, fatal pd hewan coba pd dosis yg sangat kecilDosis rendah sdh mampu menimbulkan gejala Lebih ringan, pd dosis tinggi fatalDiperlukan dosis tinggi untuk dapat menimbulkan gejala

7. Tidak menimbulkan demam pd inangMenimbulkan demam pd inang

Berikut adalah contoh-contoh toksin yang dihasilkan oleh beberapa bakteri :1. BotulininSenyawa beracun ini diproduksi oleh Clostridium botulinum. Keracunan yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung botulinin ini disebut botulisme. Botulinin merupakan neurotoksin yang sangat berbahaya bagi manusia dan sering kali akut dan menyebabkan kematian. Bakteri Clostridium botulinum umum terdapat pada makanan kaleng dengan pH lebih dari 4,6.

2. Toksoflavin Dan Asam BongkrekKedua senyawa beracun ini diproduksi oleh Pseudomonas Cocovenenans, dalam jenis makanan yang disebut tempe bongkrek, yaitu tempe yangdibuat dengan bahan utama ampas kelapa. Pseudomonas Cocovenenans ini tumbuh pada tempe bongkrek yang gagal dan rapuh. Pseudomonas Cocovenenans memerlukan substrat minyak kelapa, dengan enzim yang diproduksinya mampu menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak . Gliserol kemudian diubah menjadi toksoflavin (C7H7N5O2), dan asam lemaknya terutama asam oleat diubah menjadi asam bongkrek ( C28H38O7 ) Asam bongkrek ini dapat mengganggu metabolism glikogen dengan memobilisasi glikogen dari hati sehingga terjadi hiperglikemia yang kemudian berubah menjadi hipoglikemia dan lalu menyebabkan kematian.Pertumbuhan Pseudomonas Cocovenenans dapat dicegah bila pH substrat diturunkan di bawah 5,5 atau dengan penambahan garam NaCl pada substrat dengan konsentrasi 2,75 3 %.

3. EnterotoksinEnterotoksin adalah eksotosin yang aktivitasnyaa mempengaruhi usus halus, sehingga umumnyaa menyebabkan sekresi cairan secara berlebihan ke rongga usus, menyebabkan diare dan muntah muntahh. Enterotoksin diproduksi oleh berbagai macam bakteri, termasuk orgnisme termasuk keracunan makanan seperti Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Salmonella enteriditis, dan Vibrio cholera disebut enterotoksin karena menyebabkan gastroenteritis.

Mikotoksin Mikotoksin merupakan senyawa beracun yang diproduksi oleh kapang atau jamur. Mikotoksin yang terkenal adalah Aflatoksin yaitu senyawa beracun yang diproduksi oleh Aspergillus yang misalnya Aspergillus parasiticus. Subtrat yng disenangi oleh Aspergillus flavus adalah kacang tanah atau produk produk dari kacang tanah serta bungkil kacang tanah

Jawet, Melnick, & Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran : Edisi 20. Jakarta : EGC

Jawetz, Melnick, & Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran : Edisi 23. Jakarta : EGC

Gupte, Statish. 2000. Mikrobiologi Dasar : Edisi 3. Jakarta : Bina Rupa Aksara

Patogenitas infeksi virus (4, 7)

Patogenitas infeksi jamur (5, 8) Patogenitas infeksi parasit (6, 9)3. Jelaskan mengenai respon imun terhadap infeksi! Berdasarkan poin-poin berikut: Infeksi bakteri (7, 10)Respons Imun terhadap Bakteri EkstraselularBakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu:1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi2. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Sebagai contoh toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta netralisasi efek toksin.A. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri EkstraselularRespons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Aktivasi komplemen tanpa adanya antibodi juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibody yaitu C3b yang mempunyai efek opsonisasi bakteri serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan respons inflamasi. Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6, serta IL-8. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut.

B. Imunitas Spesifik terhadap Bakteri EkstraselularKekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons kekebalan spesifik terhadap bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding sel atau kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus independent. Antigen ini dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin (Ig) M spesifik yang kuat. Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui mekanisme perangsangan isotype switching rantai berat oleh sitokin. Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan bakteri:1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik yang menghasilkan C3b dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3 sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat.2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut.3. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta pelepasan mediator inflamasi akut.Respons Imun terhadap Bakteri IntraselularSejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag. Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria monocytogenes.A. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri IntraselularMekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi, bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu, mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.B. Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri IntraselularRespons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh cell mediated immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon (IFN ). Sitokin IFN ini akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular.Baratawidjaja, Karnen Garna dan Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi Ke-9. Jakarta: FKUI. Brooks, Geo F. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Respons Imun terhadap Bakteri EkstraselularBakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu:1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi1. Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik. Sebagai contoh toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta netralisasi efek toksin.1. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri EkstraselularRespons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Aktivasi komplemen tanpa adanya antibodi juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibody yaitu C3b yang mempunyai efek opsonisasi bakteri serta meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan respons inflamasi. Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6, serta IL-8. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut.

1. Imunitas Spesifik terhadap Bakteri EkstraselularKekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons kekebalan spesifik terhadap bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding sel atau kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus independent. Antigen ini dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin (Ig) M spesifik yang kuat. Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui mekanisme perangsangan isotype switching rantai berat oleh sitokin. Ada 3 mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan bakteri:1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik yang menghasilkan C3b dan selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3 sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat.1. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel target serta meningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut.1. Aktivasi komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta pelepasan mediator inflamasi akut.Respons Imun terhadap Bakteri IntraselularSejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag. Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria monocytogenes.1. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri IntraselularMekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi, bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu, mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.1. Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri IntraselularRespons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh cell mediated immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon (IFN ). Sitokin IFN ini akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular.Baratawidjaja, Karnen Garna dan Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi Ke-9. Jakarta: FKUI. Brooks, Geo F. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Infeksi virus (8, 11)Respon imun terhadap virus yang melibatkan sel T dan sel NK termasuk dalam system imun selular, sementara yang melibatkan antibody merupakan system imun humoral. Respon imun humoral efektif melawan virus hanya saat berada ekstraselular, yaitu pada tahap awal infeksi atau ketika dikeluarkan dari sel yang lisis. Virus yang masuk ke dalam tubuh memiliki dua fase kehidupan yaitu fase ekstraselular dan fase intraselular. Saat virus masih berada pada fase ekstraselular, virus dapat dikenali oleh BCR sel B. Pada sel-sel yang terinfeksi virus, umumnya setelah virus masuk ke dalam sel kemudian virus akan bereplikasi dan mengadakan sintesis protein. Begitu pula pada virus yang menginfeksi sel dendritik, virus akan bereplikasi dan mengadakan sintesis protein. Protein virus yang terbentuk ini kemudian didegradasi di proteosom menjadi fragmen peptide, lalu akan diikat oleh MHC klas I dan diekspresikan di permukaan sel. Sel dendritik yang terinfeksi virus kemudian menuju organ limfoid sekunder. Di organ lymphoid sekunder, kompleks MHC klas I-fragmen peptide pada permukaan sel dendritik akan dikenali oleh TCR sel T CD8. Kemudian sel T CD8 akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik (CTL) dan sel memori. Sel T sitotoksik lalu keluar dari organ limfoid sekunder menuju jaringan yang terinfeksi virus. Sel yang terinfeksi virus akan mensekresikan IFN tipe I. IFN tipe I ini berfungsi untuk menstimulasi ekspresi MHC klas I pada semua sel sehingga sel yang terinfeksi virus akan dengan mudah dikenali oleh sel T sitotoksik. Setelah TCR sel T sitotoksik berikatan dengan kompleks MHC klas I-fragmen peptide yang diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi, sel T sitotoksik kemudian melepaskan granula-granulanya yang berisi enzim perforin, serglycin dan granzym. Perforin, serglycin, serta granzyme membentuk suatu kompleks. Perforin dan serglycin berfungsi untuk memfasilitasi masuknya granzyme ke dalam sitosol sel yang terinfeksi virus. Granzyme yang sudah masuk ke dalam sel yang terinfeksi virus kemudian akan mengaktifkan pro-caspase 3 menjadi caspase 3. caspase 3 kemudian akan menginduksi apoptosis dengan cara mengaktifkan protein-protein yang berperan dalam apoptosis. Salah satu protein yang diaktifkan oleh caspase 3 adalah CAD (caspase-activated deoxyribonuclease). Sebelum diaktifkan oleh caspase 3, CAD diikat oleh ICAD (inhibitory-CAD). Caspase 3 kemudian memecah ICAD sehingga CAD dapat aktif dan kemudian menginduksi fragmentasi DNA. Selain mengaktifkan caspase 3, granzyme juga berfungsi untuk memecah BID (BH3-interacting domain death agonist protein) menjadi tBID (truncated BID) yang dapat merusak membran luar mitokondria sehingga sitokrom-c akan keluar. Keluarnya sitokrom-c akan menginduksi apoptosis. Ikatan sel T sitotoksik dengan sel yang terinfeksi virus akan lepas setelah terjadi apoptosis sel, sel T sitotoksik kemudian menuju sel lain yang terinfeksi virus untuk selanjutnya bekerja dengan cara yang sama. Sel T sitotoksik juga mensekresikan IFN. IFN, dan LT, TNF mencegah replikasi virus serta menginduksi peningkatan ekspresi MHC klas I. Selain memproses virus yang menginfeksi dirinya sendiri, sel dendritik juga dapat memproses virus yang menginfeksi sel lain melalui mekanisme lain, yaitu dengan memfagosit virus secara langsung maupun memfagosit sel lain yang terinfeksi virus.Baratawidjaja, Karnen Garna dan Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi Ke-9. Jakarta: FKUI. Brooks, Geo F. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Infeksi jamur (9, 1) Imunitas nonspesifikSawar fisik kulit dan membran mukosa, faktor kimiawi dalam serum dan sekresi kulit berperan dalam imunitas nonspesifik. Efektor utamanya terhadap jamur adalah neutrofil dan makrofag. Netrofil dapat melepas bahan fungisidal seperti ROI dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh intraselular. Galur virulen (kriptokok neofarmans) menghambat produksi sitokin TNF dan IL-12 oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat aktivasi makrofag. Imunitas spesifikInfeksi jamur disebut mikosis. Jamur yang masuk ke dalam tubuh akan mendapat tanggapan melalui respon imun. IgM dan IgG di dalam sirkulasi diproduksi sebagai respon terhadap infeksi jamur. Respon cell-mediated immune (CMI) adalah protektif karena dapat menekan reaktivasi infeksi jamur oportunistik. Respon imun yang terjadi terhadap infeksi jamur merupakan kombinasi pola respon imun terhadap mikroorganisme ekstraseluler dan respon imun intraseluler. Respon imun seluler dilakukan sel T CD 4 dan CD 8 yang bekerja sama untuk mengeliminasi jamur. Dari subset sel T CD 4, respon Th 1 merupakan respon protektif, sedangkan respon Th 2 merugikan tubuh.Baratawidjaja, Karnen Garna dan Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi Ke-9. Jakarta: FKUI. Brooks, Geo F. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Infeksi parasit (10, 2)a. Imunitas Non SpesifikMeskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu. Respons imun non spesifik utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut resisten terhadap efek bakterisidal makrofag.Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan. Beberapa cacing mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif, tetapi ternyata banyak parasit memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen. b. Imunitas Spesifik.1. Respon Imun yang BerbedaBerbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup dan patogenisitasnya. Hal ini menimbulkan respons imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik itu akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T independen.2. Infeksi CacingRespon pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat oleh eosinofil. Selanjutnya eosinofil di aktifkan dan mensekresi granul enzim yang menginfeksi parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibandingkan enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi nutrofil danmakrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. Parasit masuk kedalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sitoklin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat di keluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP, dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgGdan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing. IgE parasit diduga banyak ahli hanya merupakan bagian dari peningkatan masif IgE yang diinduksi IL-4 oleh sel Th2 dan eksesnya diduga untuk memenuhi IgER pada permukaan sek mast untuk dijadikan refrakter terhadap rangsangan antigen parasit. 3. Sel Mast pada Infeksi CacingMeskipun sudah diketahui bahwa sitokin Th2 diperlukan untuk mengeluarkan cacing dari saluran cerna, namun untuk menentukan jenis sel efektor yang menjadi sasaran sitokin tersebut masih sangat sulit. Dewasa ini diketahui ada jalur efektor multipel yang memacu Th2 dalam usus dan bahwa kerentanan parasit terhadap mekanisme pertahanan pejamu bervariasi. Efektor Th2 adalah antibodi, eosinofil, dan sel mast. Namun pada hewan eksperimental, baik antibodi maupun eosinofil terbukti tidak diperlukan. Pada beberapa infeksi (Trikinela spiralis) antibodi diperlukan untuk pengeluaran cacing yang lebih cepat. Sel mast mukosa diperlukan untuk pengeluaran beberapa spesies seperti strongiluides dan trikinela tetapi tidak pada trikiuris dan nipostrongilus. Sel mast mengikat IgE pada permukaan parasit melalui Fc-R dengan afinitas yang tinggi. Peningkatan mencolok kadar IgE akibat infeksi dengan cacing saluran cerna mungkin merupakan bagian penting dari degranulasi sel mast yang terarah untuk melepas mediator atau merupakan epifenomen yang merupakan sebagian dari peningkatan masif yang di induksi IL-4 yang diproduksi CD4+. Selain efek toksik, mediator tersebut juga memacu motilitas usus dan produksi glikoprotein musin oleh sel goblet usus. Hipersekresi mukus dapat mencegah kontak dan pengambilan nutrien oleh parasit. Jadi peningkatan sekresi mukus dan peristaltik usus mungkin sudah cukup untuk mengeluarkan cacing. Bila tidak ada sel mast, hal sama dapat terjadi terhadap fisiologis usus. Pengeluaran cacing lain seperti N. Braziliensis tidak memerlukan sel mast dan lebih dependen atas produksi IL-13 dibanding IL-4. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena IL-13 merupakan pemicu induksi poten untuk hiperplasi sel goblet dan diduga sekresi musin merupakan komponen kunci untuk mengeluarkan N. Braziliensis.4. Eosinofil Pada Imunitas CacingEosinofil merupakan penanda umum adanya infeksi cacing dan sudah lama diduga bahwa sitotoksik dan diperlukan pada destruksi patogen multiselulerberukuran besar. Namun tidak banyak bukti mengenai peran eosinofil dalam pengeluaran cacing.bukti yang banyak ditemukan yaitu adanya fungsi sitolitik terhadap fase larva parasit yang bermigrasi ke jaringan. Eosinofil di duga juga diperlukan untuk menghancurkan larva yang masuk ke jaringan.5. Makrofag dan Nitrit untuk Membunuh ParasitMakrofag merupakan sel terpenting yang memproduksi sitokin untuk mengoitrol dan menyingkirkan parasit. NO yang diproduksi makrofag nampaknya sangat berperan untuk membunuh parasit. NO adalah sitotoksik untuk malaria, lesmania, T. Cruzi, toxoplasma, skistosoma, dan fungus patogen kriptokok neoformans. IFN- merupakan sitokin penting oleh karena dapat mengaktifkan respiratory burst yang menghasilkan NO. IFN- dapat bekerja sinergeistik dengan IFN- dalam meningkatkan produksi NO dengan menginduksi sintase oksida nitrit (NOS). Sitokin TGF- dan IL-10 menghambat produksi NO oleh makrofag. Jalur NO penting dalam pembunuhan cacing ekstraselular. Kebanyakan larva cacing dapat dibunuh in vitro oleh makrofag yang diaktifkan oleh IFN-. Banyak parasit dapat melawan serangan oksidatif dengan berbagai strategi. Larva skistosoma terutama mencegah respons Th1. Makrofag yang diaktifkan oleh sitokin Th1 dapat membunuh larva yang tidak tergantung pada antibodi. NO reaktif yang diproduksi oleh makrofag yang diaktifkan atas pengaruh IFN di duga berperan. 6. Malaria Ada sekitar 150 spesies plasmodium, 4 di antaranya diketahui dapat menginfeksi manusia yaitu plasmodium falciparum, P. Vivax, P. Malariae, dan P. Ovale. Siklus hidupnya cukup kompleks, termasuk perubahan morfologis baik dalam pejamu manusia dan nyamuk anopheles. Imunitas terhadap malaria falciparum terjadi sangat perlahan, menunjukkan peran respons Th1 dan Th2 meskipun berbeda namun sangat penting dalam mengontrol penyakit. Antibodi berperan dalam imunitas terhadap sporozoit yang disuntikkan ke nyamuk yang dapat mencegah infeksi hepatosit. Sel CD8+ dapat menghancurkan parasit yang sudah ada dalam sel hati. Produksi IFN- oleh sel CD8+ juga berperan dalam mengontrol fase hati. Namun siklus eritrosit lebih memerlukan perhatian. Pada fase ini parasit berkembang dan menyertai gejala penyakit. Sel Th1 memproduksi sitokin proinflamasi yang memacu aktivasi makrofag dan dekstruksi sel darah merah terinfeksi. Dengan progres infeksi, sel Th2 memacu produksi antibodi spesifik, yang menghambat reinvasi sel darah lebih banyak. Antibodi berperan dalam dekstruksi sel darah terinfeksi melalui aktivasi komplemen dan memacu makrofag untuk memakannya melalui Fc-R. Pada P Falciparum, terjadi produksi sitokin Th1 berlebihan. Meskipun hal itu diperlukan pada infeksi parasit, tetapi sering juga disertai dengan komplikasi berbahaya yang dapat mengancam maut pada malaria serebral. Malaria serebral, semula di duga disebabkan sel darah merah dengan parasit yang menempel ke vaskulatur otak yang mengurangi oksigen ke otak. Meskipun adherens parasit merupakan faktor penting dalam terjadinya kerusakan jaringan, dewasa ini di anggap bahwa penghancuran parasitdalam otak menimbulkan sitokin proinflamasi. TNF- yang menimbulkan kerusakan otak. IL10 sangat esensial untuk dapat mencegah kerusakan jaringan otak yang lebih berat. Sel darah merah yang terinfeksi P falciparum, menempel pada endotel venul kecil dan menimbulkan penyumbatan mikrovaskular. Parasit yang di hancurkan dapat memacu produksi IL-1 dan TNF dalam kadar tinggi. NO yang diproduksi oleh endotel otak sebagai rspons terhadap kadar IL-1 dan TNF dalam kadar tinggi dapat menimbulkan gejala serebral melalui hambatan neurotransmisi. Bila sitokin-sitokin tersebut diberikan melalui suntikan dapat menimbulkan demam dan gejala nonspesifik malaria. Produksi TNF yang berlebihan didugamenimbulkan banyak komplikasi malaria yang mengancam hidup seperti suhu tinggi, hipoglikemia, dan malaria serebral. Brooks, Geo F. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari organ tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

4. Jelaskan perbedaan manifestasi klinik infeksi bakteri, virus (11, 3, 7, 8)Gambaran klinis yang meningkatkan kemungkinan infeksi virusGambaran klinis yang meningkatkan kemungkinan infeksi bakteri

Banyak organ terlibat pada waktu yang sama, sering pada traktus respirasi atasUmumnya terlokalisasi

Ada riwayat kontak dengan orang yang memiliki gejala yang samaDemam tinggi (>390C), durasi >3hari

Penampakan baik, interaksi dengan orang tua tidak tergangguIrritable, letargi, terlihat toxic

CRP dan leukosit normal atau menurun. Limfositosis, trombositopenia.CRP dan sel darah putih meningkat

Penurunan sitokinSitokin meningkat

Procalcitonin normalProcalcitonin tinggi (>1,2ng/ml)

Ismoedijanto. 2010. Pendekatan Diagnosis pada Anak dengan Demam. Tatalaksana Mutakhir Kasus Demam pada Anak. Jember

5. Bagaimana proses terjadinya demam pada infeksi pathogen? (1, 4)Demam biasanya terjadi akibat kebutuhan tubuh untuk menanggapi suatu rangsang seperti infeksi. Demam dapat terjadi dengan adanya substansi penyebab demam (penghasil panas) yang disebut pirogen. Dikenal dua jenis pirogen, yaitu pirogen eksogen dan endogen.a. Pirogen eksogen (infeksi atau non-infeksi). Pirogen eksogen merupakan senyawa yang berasal dari luar tubuh pejamu dan sebagian besar terdiri dari produk mikroba, toksin atau mikroba itu sendiri. Bakteri Gram negative memproduksi pirogen eksogen berupa polisakarida yang disebut pula sebagai endotoksin. Bakteri Gram positif tertentu dapat pula memproduksi pirogen eksogen berupa polipeptida yang dinamakan eksotoksin. Pirogen eksogen menginduksi pelepasan senyawa di dalam tubuh pejamu yang dinamakan pirogen endogen. Pirogen endogen tersebut diproduksi oleh berbagai jenis sel di dalam tubuh pejamu terutama sel monosit dan makrofag. Senyawa yang tergolong pirogen endogen ialah sitokin, seperti interleukin (interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6), tumor necrosis factor (TNF-, TNF-) dan interferon.b. Pirogen endogen. Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan sel tertentu lainnya secara langsung atau dengan perantaraan pembuluh limfe masuk system sirkulasi dan dibawa ke hipotalamus di daerah preoptik berikatan dengan reseptor, akan merangsang hipotalamus untuk mengaktivasi fosfolipase-A2 yang selanjutnya akan melepaskan asam arakhidonat dari membran fosfolipid dan kemudian oleh enzim siklooksigenase-2 akan diubah menjadi PGE2. Di dalam pusat pengendalian suhu tubuh pirogen endogen menimbulkan perubahan metabolik, antara lain sintesis prostaglandin E2 (PGE2) yang mempengaruhi pusat pengendalian suhu tubuh sehingga set point untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk suatu suhu tubuh yang lebih tinggi. Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk meningkatkan aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi aktivitasnya dengan vasokontriksi pembuluh darah kulit sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi demam.Sudoyo, Aru W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna publishingTortora, GJ; Bryan, BH. 2009. Principles of Anatomy and Physiology, 12th ed, vol 2. Asia: John Wiley & Sons. p. 1002-1004.

6. Jelaskan mengenai jenis-jenis demam pada dewasa! (2, 5, 11)7. Bagaimana respon imun dapat menyebabkan mialgia? (3, 6, 10)8. Jelaskan mengenai penyakit leptospirosis dan hepatitis A! Berdasarkan poin-poin berikut: leptospirosis Definisi (4, 7)

Etiologi (5, 8) Patofisiologi (6, 9) M. KlinisSecara garis besar manifestasi klinis dapat dibagi menjadi leptospirosis an-ikterik dan ikterik.1. Leptospirosis an-ikterik. Fase septik dengan gejala demam, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual. Dan muntah. Fase imun terdiri dari demam yang tidak begitu tinggi, nyeri kepla hebat, meningitis aseptik, konjungtiva hiperemis, uveitis, hepatospenomegali, kelainan paru, dan ruam kulit.2. Leptospirosis ikterik. Fase septik sama dengan fase an-ikterik. Manifestasi yang mencolok terjadi pada fase imun, ditandai dengan disfungsi hepatorenal disertai diastesis hemoragik. Diagnosis (7, 10)Pemeriksaan penunjangPada kasus leptospirosisi an-ikterik dijumpai jumlah leukosit normal dengan neutrofilia, peningkatan laju endap darah, dan protein dalam likuor serebrospinal. Kelainan pada paru dan jantung, peningkatan kadar bilirubin serum, fosfatase alkali, enzim amino transferase, kreatin fosfokinase, kreatinin dan ureum darah, serta trombositopenia oada umumnya terdapat pada leptospira ikterik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan isolasi dari organisme dari berbagai spesimen atau serokonversi antibodi 4 kali lipat antara akut dan konvalesens. Namun reaksi silang dengan penyakit spirokheta lainnya sering dijumpai. Bakteria dapat diisolasi dari darah atau likuor serebrospinal pada 10 hari pertama. Leptospira dapat diidentifikasi secara langsung dari jarigan yang terinfeksi dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau dengan direct fluorescentantibody assay. Biakan darah, lijuor serebrospinal, urin, dan jaringan yang terkena (seperti ginjal) dapat memberikan hasil positif. Pengambilan sampel harus dikoordinasikan dengan petugas mikrobiologi setempat karena sampel memerlukan teknik khusus pada pemrosesannya. Leptospira dapat dibiak pada media tertentu (seperti Fletcher, Stuart, Ellinghausen) yang dikombinasikan dengan neomisin atau 5-fluorouracil. Selama 7-10 hari pertama setelah timbul gejala, sampel diambil dari darah dan likuor serebrospinal. Setelah itu dapat diambil dari urin dapat bertahan lebih lama sekitar beberapa minggu sampai bulan. Konsultasi dengan laboratorium mikrobiologi setempat sangat dibutuhkan Pemeriksaan serologis leptospira lebih berguna secara klinis jika diperiksa pada awal penyakit, akan tetapi kebanyakan uji serologis hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu. Microscopic agglutination test (MAT) dan indirect hemagglutination assay (IHA) adalah dua uji yang biasanya tersedia. Microscopic agglutination test menggunakan antigen yang diperoleh dari serovar leptospira yang umum ditemukan. Hasil positif didefinisikan sebagai peningkatan titer 4 kali antara fase akut dan konvalesens. Titer tunggal yang melebihi 1:200 atau titer serial yang melampaui 1:100 menunjukkan dugaan kearah infeksi leptospira, tapi keduanya tidak diagnostik. Sensitivitas and spesifisitas MAT berturutturut adalah 92% dan 95%, sedangkan nilai prediktif positif 95% dan nilai prediktif negatif 100%. Hasil negatif palsu MAT dapat terjadi pada sampel tunggal yang diambil sebelum fase imun penyakit. Akurasi uji juga ditentukan oleh pemilihan antigen, yang memerlukan diskusi dengan laboratorium setempat mengenai serovar yang sering ditemukan di daerah tersebut. Hasil positif palsu MAT dapat terjadi pada kasus Legionella, penyakit Lyme, serta sifilis. Uji IHA lebih cepat dan mudah dilakukan dan berdasarkan atas antibodi spesifik genus, dengan sensitivitas 92- 100% dan spesifisitas 94-95%. Uji tambahan yang sedang dalam penelitian adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), polymerase chain reaction (PCR), dan dipstick assays. Tatalaksana (8, 11)

Prognosis (9, 1)Mortalitas pada leptospirosis berat sekitar 10%, kematian paling sering disebabkan karena gagal ginjal, perdarahan masif atau ARDS. Fungsi hati dan ginjal akan kembali normal, meskipun terjadi disfungsi berat, bahkan pada pasien yang menjalani dialisis. Sekitar sepertiga kasis yang menderita meningitis aseptik dapat mengalami nyeri kepala secara periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis leptospirosis mengalami kehilangan ketajaman penglihatan dan pandangan yang kabur.

Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, Sri Rezeki S Hadinegoro. Leptospirosis. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 3, Desember 2001: 163 - 167

hepatitis A Definisi (4, 7) Etiologi (5, 8) Patofisiologi (6, 9) Diagnosis (7, 10) Tatalaksana (8, 11)

Prognosis (9, 1)

9. Mengapa pasien tersebut mual muntah? (10, 2)10. Jelaskan mengenai pathogenesis menggigil! (11, 3)(tambahan dari dr tata)11. Mengapa pasien mengalami demam tanpa disertai menggigil? (1, 4)12. Bagaimana hubungan kerja bakti dengan kondisi pasien? (2, 5)13. Bagaimana tatalaksana pada kasus? (3, 6, 9)

CATATAN:PENOMORAN PEMBAGIAN SOAL DAPAT DILIHAT DI COVER DEPANINGAT!!!BAHAN DK DIKIRIM SECEPATNYA YA TEMEN2..SERTAI DENGAN DAPUS VANCOUVER

BAB IIPEMBAHASAN

BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

37