Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Laporan Kasus
SEORANG PENDERITA SINDROM DOWN DENGAN LEUKEMIA AKUT
Yaditta Mirdania, Losen Adnyana, Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Sindrom Down (DS) merupakankelainan kromosom yang paling sering dijumpai
post natal. Insiden Sindrom Down (DS)diperkirakan sebesar 1 dari 700 kelahiran hidup
(1,2). Selain itu Sindrom Down ini sering terjadi bersamaan dengan keganasan tertentu,
seperti leukemia, germ cell tumor, dan retinoblastoma (1,2).Sindrom Down pertama kali
dihubungkan dengan leukemia sejak tahun 1930 dimana pertama kali dilaporkan sebuah
kasus leukemia akut pada penderita Sindrom Down (2).
Peningkatankejadianleukemiapada individu denganSindrom Down(DS) diamatihampir
50tahun yang laluoleh Krivit dan Good pada tahun1957 (2,3).Pada suatu studi
didapatkan risiko relatifdarileukemia akutpada 5 tahunpertama
kehidupanmerupakan56kali dariindividunon-DS, danleukemiamyeloidakut(AML)
adalahsamasering sepertileukemia limfoid akut(ALL) (3,4). Anak-anak dengansindrom
Down(DS) memiliki risiko10 sampai20kali lipat terjadinya semua jenis leukemiaakut,
sedangkanresiko relatif terjadinya leukemiamegakaryoblastikakut(AMKL)
diperkirakan500kali lebih tinggipada anak-anakdengan Sindrom Down
dibandingkanmereka yang bukan (3,4).
Karena tingginya resiko terjadinya leukemia akut pada penderita Sindrom Down
tersebut maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai Leukemia akut pada
penderita Sindrom Down. Mengingat Sindrom Down merupakan suatu sindrom yang
ditandai dengan adanya berbagai kelainan kongenital yang meliputi multi organ yang
mungkin akan berpengaruh terhadap manifestasi klinis leukemia itu sendiri maupun
terapi dan prognosis leukemia pada penderita tersebut. Berikut akan dilaporkan sebuah
kasus seorang penderita Sindrom Down dengan leukemia akut tipe myeloid yang ada di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
2
Kasus
Seorang laki-laki, usia 16 tahun, suku Bali, rujukan dari RSUD Negara, pasien
datang dengan keluhan demam tinggi sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit,
demam dirasakan terus menerus, demam turun sesaat setelah minum obat penurun panas
kemudian naik lagi. Pasien juga mengeluh batuk sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit, batuk disertai dahak dengan warna putih, sesak nafas disangkal. Gusi berdarah juga
dirasakan oleh pasien sejak kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit, darah
dirasakan merembes terus menerus. Buang air kecil dan buang air besar lancer dan tidak
ada keluhan.
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pasien tidak pernah mengeluhkan sakit
seperti sekarang, dan tidak didapatkan riwayat sakit jantung maupun paru-paru. Dari
riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan riwayat leukemia ataupun keganasan
lainnya. Dari riwayat sosial, pasien saat ini bersekolah di sekolah dasar kelas 5, sering
tidak naik kelas. Riwayat merokok sejak kurang lebih 6 tahun yang lalu, 1 bungkus/hari.
Riwayat konsumsi alkohol disangkal.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pasien kesadaran compos mentis, kesan sakit
berat, wajah mongoloid face, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 128 x/menit regular,
kuat, frekuensi nafas 22 x/menit, suhu 39 ⁰C, saturasi oksigen perifer 99%. Pada
pemeriksaan kepala leher didapatkan mata anemis, teraba pembesaran kelenjar getah
bening colli dan submandibular kanan- kiri multiple, ukuran terbesar 2x2 cm, konsistensi
kenyal, mobile, dan tidak nyeri. JVP didapatkan tidak meningkat. Pada pemeriksaan
thorax didapatkan simetris, ictus cordis teraba pada 1 cm medial linea midclavicular
sinistra ICS V, S1 dan S2 tunggal, regular, tidak didapatkan murmur. Pada pemeriksaan
paru-paru didapatkan fremitus raba meningkat pada basal hemithorax kanan, perkusi
didapatkan sonor di kedua lapangan paru dengan auskultasi didapatkan ronkhi kasar pada
basal paru kanan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan supel, bising usus normal,
hepar teraba 2 cm bawah arcus costae, dengan konsistensi kenyal, permukaan licin, sudut
tajam, tidak nyeri, liver span 14 cm, lien tidak teraba dengan traube space positif. Pada
ekstremitas didapatkan hangat, dan terdapat tanda simian crease pada kedua telapak
tangan.
3
Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan leukosit 56,95x10³
/mm³, Neutrofil 13,78x10³/mm³ (24,19%), Limfosit 4,25x10³/mm³ (7,46%), monosit
21,29x10³/mm³ (37,38%), eosinophil 0,02x10³/mm³ (0,03%), basophil 17,62x10³/mm³
(30,94%), hemoglobin 5,18, hematocrit 17,35%, MCV 92,26, MCH 27,55, trombosit
23,92x10³. Pada pemeriksaan kimia klinik didapatkan AST 31, ALT 37, Bilirubin total
0,45, bilirubin direk 0,25, bilirubin indirek 0,2, albumin 1,9, BUN 11,5, sc 1,1, LDH
1091,99, Natrium 136, Kalium 2,4. Pada pemeriksaan EKG didapatkan irama sinus
takikardi 128 x/menit, aksis normal, Pada pemeriksaan rongsen thorax didapatkan
cardiomegaly. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan eritrosit normokrom
normositer, leukosit kesan jumlah meningkat dengan ditemukan sel mieloblast lebih dari
5%, trombosit kesan jumlah menurun dengan kesimpulan suspek leukemia akut. Pada
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang didapatkan sumsum tulang hiperselular dengan
myeloid:eritroid rasio 4:1, system granulopoietik didapatkan peningkatan mieloblast
lebih dari 30% dengan didapatkan seri myeloid matang yaitu stab, sistem eritroid dan
trombosit menurun, dengan kesimpulan AML-M2 (Acute Myeloblastic Leukemia with
maturation). Pada pemeriksaan analisa kromosom didapatkan trisomi kromosom 21.
Gambar 1. Gambar sebelah kiri menunjukkan hapusan darah tepi, sebelah kanan
menunjukkan Aspirasi sumsum tulang
4
Gambar 2. Analisa Kromosom pasien
Pada pasien ini didiagnosis AML-M2 + Sindrom Down + Pneumonia komuniti
(Community Acquired Pneumonia PSI class IV ) dengan hypokalemia et causa suspek
low intake + spuria. Pada pasien diberikan terapi Infus NaCl 0,9% +KCl 50 meq 20
tetes/menit, transfusi PRC s/d Hb 10 gram/dL, transfusi TC s/d trombosit 20.000,
antibiotic Cefoperazon 2x1 gram intravena, Azithromycin 1x500 mg intra oral, dan
paracetamol 3x500 mg intra oral, serta direncanakan untuk pemberian kemoterapi
dengan regimen cytarabine-Daunorubicin (7+3) setelah infeksi teratasi. Namun penderita
meninggal pada hari ke 5 kemoterapi karena kecurigaan perdarahan intracranial.
Pembahasan
Sindrom Down
Sindrom Down (DS) adalah kelainan kromosom yang paling umum di antara bayi
hidup lahir (1,2). Ini adalah bentuk yang paling sering cacat intelektual (keterbelakangan
mental) yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Pada Sindrom Down teridentifikasi
adanya trisomi dari kromosom 21. Mayoritas kasus Sindrom Down merupakan hasil dari
adanya non-disjunction dari kromosom 21 pada meiosis I atau meiosis II dari salah satu
orang tua (4,5). Sindrom Down ditandai dengan berbagai malformasi kongenital, dan
5
masalah kesehatan lainnya. Tidak semua dari kriteria klinis sindrom down muncul pada
setiap individu yang terkena. Manifestasi klinis dari Sindrom Down antara lain :
1. Kelainan fisik
Kelainan fisik pada Sindrom Down ditandai dengan adanya mongoloid
face, yaitu adanya lipatan epikantus, wajah datar dengan jembatan hidung yang
datar, telinga displastik atau dapat dilipat, atau telinga yang kecil dan letak
rendah, brakisefalik, mulut terbuka, lidah menonjol, leher pendek dengan kulit
yang berlebih pada tengkuk leher, palatum sempit, dan gigi yang abnormal (1).
2. Retardasi mental
Hampir semua individu dengan Sindrom Down memiliki gangguan
kognitif, dengan IQ 50 sampai 70 atau 35 sampai 50, masing-masing, meskipun
beberapa penderita dapat memiliki IQ 20 sampai. Pada anak dengan Sindrom
Down,penurunan perkembangan jelas terlihat pada tahun pertama kehidupan.
Secara umum, rata-rata usia duduk (11 bulan), merangkak (17 bulan), dan
berjalan (26 bulan), yang merupakan dua kali usia rata-rata anak normal.
Perkembangan bahasa juga lebih lambat, dengan usia rata-rata untuk kata
pertama pada 18 bulan (1)
3. Gangguan Neuropsikiatri, seperti Alzheimer, autisme, dan gangguan perilaku
seperti agresifitas dan depresi
4. Penyakit Jantung
Sekitarsetengah dari individu denganSindrom Down memiliki penyakit
jantung bawaan. Dalam suatu studi berbasis populasi terbesar, kelainan
kardiovaskular teridentifikasi pada 342 (42 %) dari 821 bayi yang lahir dengan
Sindrom Down 1985-2006 di wilayah North East of England, dimana 23%
memiliki lebih dari satu anomali. Kelainan jantung yang telah teridentifikasi pada
penderita Sindrom Down antara lain: CompleteAtrioventricular Septal defect
(CAVSD) 37%,Ventricular Septal Defect (VSD) 31 %, Atrial Septal Defect
(ASD) 15 %,Partial Atrioventricular Septal Defect (PAVSD) 6 %, Tetralogi
Fallot (TOF ) 5 %,Patent Ductus Arteriosus (PDA) 4 % (1).
5. Kelainan Gastrointestinal
Penderita dengan trisomi 21 memiliki resiko lebih tinggi mengalami
kelainan saluran pencernaan, yang terjadi pada sekitar 5% dari kasus. Kelainan
6
yang paling khas antara lain atresia duodenum atau stenosis,pankreas annular,
dan Hirschprung Disease, yang terjadi di 2,5 % penderita sindrom down.
6. Pertumbuhan terlambat
Anak-anak dengan sindrom down memiliki berat badan lahir, panjang,
dan lingkar kepala lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. Panjang saat
lahir hanya sekitar 0,5 standar deviasi kurang dari kontrol bayi baru lahir. Dalam
sebuah studi dari 105 anak-anak dengan sindrom Down, panjang, berat, dan
lingkar kepala berada di bawah orang-orang dari anak-anak yang sehat normal
saat lahir; tetap rendah sampai pubertas. Laju pertumbuhan penderita sindrom
down lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak normal, terutama pada anak-
anak dengan penyakit jantung bawaan yang berat. Pada orang dewasa dengan
Sindrom Down, ketinggian rata-rata pada laki-laki dan perempuan adalah 157
dan 144 cm, masing-masing, dan berat rata-rata adalah 71 dan 64 kgpada laki-
laki dan perempuan (1).
7. Kelainan mata
Kelainan yang paling umum antara lain : kelainan refraksi, strabismus,
nystagmus (1).
8. Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran dialami oleh 38-78 % individu dengan Sindrom
Down. Otitis media adalah masalah yang sering dialami oleh 50 sampai 70 persen
anak-anak sindrom down (1).
9. Gangguan Endokrin
Kelainan endokrin pada sindrom down termasuk disfungsi tiroid dan
diabetes. Gangguan tiroid prevalensinya bervariasi, hipotiroidisme dapat terjadi
pada 3 sampai 54 % penderita, sedangkan hipertiroidisme dapat terjadi pada 2,5
% penderita. Selain itu, resiko terjadinya diabetes tipe I juga meningkat pada
penderita sindrom down(1).
10. Kelainan hematologi
Penderita Sindrom Down sering mengalami kelainan hematologi yang
mempengaruhi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Risiko leukemia
pada sindrom down berkisar antara 1 sampai 1,5 persen (1,2,3). Sekitar 65 persen
dari bayi yang baru lahir dengan trisomi 21 memiliki polisitemia (1). Dalam satu
studi, konsentrasi erythropoietin plasma diukur dalam darah tali pusat lebih tinggi
7
pada bayi dengan DS dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan bahwa
hipoksemia janin kronis menyebabkan tingginya insiden polisitemia (1).
Pada penderita Sindrom Down juga dapat mengalami leukemia transien,
juga dikenal sebagai penyakit transient myeloproliferative (TMD) atau transient
myelopoiesis abnormal (TAM), adalah bentuk leukemia yang hampir secara
eksklusif mempengaruhi bayi baru lahir dengan DS (1,2,3,4). Leukemia transien
ditandai dengan adanya sel blast di darah perifer, terjadi pada sekitar 10% bayi
dengan Sindrom Down. TAM dapat mengalami resolusi spontan dalam waktu 3-6
bulan, prognosisnya baik, akan tetapi ada kecenderungan untuk resiko terjadinya
leukemia akut pada beberapa tahun mendatang.Sebagian besar bayi yang baru
lahir tidak menunjukkan gejala dan hanya hadir dengan sirkulasi sel blast, dengan
atau tanpa leukositosis. Gambaran klinis lainnya antara lain efusi pleura serosa,
hepatomegali, splenomegali dan pada sekitar 10% dari pasien, terjadi fibrosis hati
karena infiltrasi sel blast. Pada sebagian besar kasus, jumlah sel blast secara
bertahap menurun, dan menghilang spontan sebelum usia tiga bulan tanpa
memerlukan kemoterapi. Namun, pada pasien-pasien dengan leukositosis tinggi
(>50.000) dapat diberikan kemoterapi low-dose cytarabine.(2,3,4)
Dalam studi prospektif dan retrospektif, hingga 26 persen bayi dengan
leukemia transient akan berkembang menjadi FAB M7 subtipe leukemia myeloid
akut (AML-M7), juga dikenal sebagai leukemia megakaryoblastik akut (AMKL)
atau leukemia myeloid DS (ML-DS). AMKL terjadi pada sekitar 1 dari 50
sampai 200 anak-anak dengan sindrom down. Insiden ini sekitar 500 kali lebih
besar pada anak-anak dengan DS. AMKL dapat terjadi pada 4 tahun pertama
kehidupan yang terkait dengan mutasi pada GATA1. Sebaliknya, leukemia
myeloid pada orang dengan DS berusia empat tahun atau lebih tua biasanya
negatif untuk mutasi GATA1, dan prognosis mereka tidak berbeda dari AML
pada pasien tanpa Sindrom Down. Penderita Sindrom Down juga memiliki
resiko terjadi leukemia limfoblastik akut (ALL) sekitar 10 sampai 20 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan anak-anak tanpa sindrom down. Dalam laporan yang
membandingkan SEMUA pada anak-anak dengan dan tanpa DS, temuan berikut
dicatat pada presentasi (2,3,4).
11. Kelainan Paru-paru
Komplikasi paru lain yang sering terjadi pada anak-anak dengan Sindrom
Down antara lain gangguan pembuluh darah paru, penyakit paru-paru parenkim,
8
kelainan saluran napas atas dan bawah, dan aspirasi kronis. Infeksi saluran
pernapasan juga lebih sering dan sering lebih parah dibandingkan anak tanpa
sindrom down (1).
12. Gangguan kulit
Mayoritas anak-anak Sindrom Downdidapatkan gangguan kulit seperti
hyperkeratosis, dermatitis seboroik, xerosis, dan alopecia areata
13. Masalah reproduksi
Wanita dengan Sindrom Down subur dan bisa hamil, akan tetapihampir
semua laki-laki dengan Sindrom Down infertil. Hal ini terjadi karena adanya
penurunan spermatogenesis.
14. Defisiensi imun
Sindrom Down dikaitkan dengan berbagai gangguan imunologi yang
dianggap berkaitan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi, gangguan
autoimun, dan keganasan. Defek kemotaktik, penurunan kadar IgG4, dan
kelainan kuantitatif dan kualitatif dari sel T dan sel sistem B telah teridentifikasi
pada penderita Sindrom Down. Namun masih belum pasti apakah mekanisme
tersebut yang menyebabkan defisiensi imun pada Sindrom Down (1).
Acute Myeloblastic Leukemia (AML)
AML ditandai dengan proliferasi klonal dari prekursor myeloid dengan
berkurangnya kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi elemen seluler yang lebih
matang. Akibatnya, terjadi akumulasi dari sel blast dalam sumsum tulang, darah perifer,
dan kadang-kadang dalam jaringan lain, dengan penurunan produksi normal sel darah
merah, trombosit, dan granulosit matang. Peningkatan produksi sel-sel ganas, bersama
dengan pengurangan unsur-unsur yang matang, menghasilkan berbagai konsekuensi
sistemik termasuk anemia, perdarahan, dan peningkatan risiko infeksi (5,6,7,8).
AML adalah leukemia akut yang paling umum pada orang dewasa dan
menyumbang sekitar 80 persen dari kasus dalam kelompok ini. Di Amerika Serikat dan
Eropa, insidennya berkisar antara 3 sampai 5 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan
pada anak kurang dari 10 tahun, insiden AML kurang dari 10 persen. Pada orang dewasa,
usia rata-rata pada saat diagnosis adalah sekitar 65 tahun. Insiden meningkat dengan usia
dengan sekitar 1,3 dan 12,2 kasus per 100.000 penduduk untuk mereka yang di bawah
atau di atas 65 tahun, masing-masing, dengan rasiolaki-laki: perempuan sekitar 5:3.
Kejadian AML dikaitkan dengan faktor lingkungan (misalnya, paparan bahan kimia,
9
radiasi, tembakau, atau obat-obatan kemoterapi), kelainan genetik (misalnya, trisomi 21,
anemia Fanconi, mutasi RUNX1 keluarga), dan kelainan hematologi lainnya (5,6,7,8).
Pasien dengan AML umumnya mengalami gejala yang berhubungan dengan
komplikasi pansitopenia (misalnya, anemia, neutropenia, dan trombositopenia). Jika ada
demam, hampir selalu terkait dengan infeksi; terutama jika terjadi neutropenia (<1000
neutrofil / microL). Organomegali jarang terjadi pada pasien dengan AML dan
pembesaran kelenjar getah bening yang signifikan jarang terjadi. Apabila terdapat
hepatomegali dan splenomegali dapat dipikirkan suatu transformasi akut dari leukemia
kronik sebagai diagnosis bandingnya. Penting diketahui riwayat penyakit dengan
seksama dan korelasi dengan temuan lain dalam darah dan sumsum tulang untuk
menegakkan diagnosis leukemia akut. Pasien dengan AML dapat mengalami berbagai
gangguan metabolisme dan elektrolit yang terjadi karena tingginya dari sel-sel leukemia
dalam darah. Salah satu contohnya adalah sindrom lisis tumor yang merupakan darurat
onkologi yang harus dicurigai pada pasien dengan hiperfosfatemia, hipokalsemia,
hyperuricemia, dan / atau hiperkalemia. Gangguan metabolik lain yang terlihat pada
pasien dengan AML termasuk hipokalemia dan asidosis laktat. Hipoksemia dalam gas
darah arteri dapat dilihat dari kadar tekanan oksigen arteri. Hapusan darah perifer pada
presentasi biasanya menggambarkan anemia normokromik normositik dengan derajat
keparahan yang bervariasi. Hitung retikulosit normal atau menurun. Sekitar 75 persen
pasien memiliki jumlah platelet di bawah 100 x 10 9 / L (100.000 / microL) di diagnosis,
dan sekitar 25 persen akan memiliki jumlah di bawah 25 x 10 9 / L (25.000 / microL).
Jumlah leukosit rata-rata pada diagnosis adalah sekitar 15 x 10 9 / L (15.000 sel /
microL); 20 persen pasien memiliki jumlah leukosit di atas 100 x 10 9 / L (100.000 sel /
microL) dan 25 sampai 40 persen pasien memiliki jumlah leukosit kurang dari 5 x 10 9 /
L (5000 sel / microL) (5,6,7,8).
Pada sebagian besar pasien (95 %) ditemukan mieloblas pada hapusan darah
perifer. Mieloblas adalah sel muda dengan inti besar, biasanya dengan nukleolus
menonjol, dan sejumlah variabel sitoplasma biru pucat (kadang-kadang dengan granulasi
samar) setelah pewarnaan dengan Wright Giemsa. Rasio inti dan sitoplasma berbeda-
beda tergantung pada kematangan sel. Dapat pula ditemukan gambaran Auer rod, yang
patognomonik pada AML, dimana jumlahnya bervariasi tergantung pada subtipe AML.
Aurer rod ini teridentifikasi sebagai batang berwarna pink / merah dalam
sitoplasma.Aspirasi sumsum tulang dan biopsi (biasanya unilateral) adalah kunci
10
diagnosis untuk AML. Pada aspirasi sumsum tulang didapatkan sumsum tulang dengan
gambaran hiperseluler dengan dominasi sel muda. Sel mieloblast sumsum tulang yang
melebihi 20% pada sumsum tulang menegakkan diagnosis AML. (5,6,7,8).
AML pada Sindrom Down
Trisomi 21 merupakan salah satu kelainan kromosom yang tersering ditemukan
menyertai keganasan terutama leukemia akut. Beberapa literaturmenunjukkan
peningkatan resiko sebesar 10-20 kali terjadinya leukemia akut pada pasien dengan
kelainan trisomi21 (2,3,4). Hal ini dijelaskan dari adanya beberapa gen yang terdapat di
kromosom 21 yang berhubungan dengan keganasan (9-14). Gen tersebut diantaranya,
gen ETS2 (v-ets erythroblastosis virus E26 oncogene homolog 2) yang merupakan gen
potensial onkogen yang pertama kali dipetakan pada kromosom 21 (21q22) yang
berhubungan dengan AML tipe M2, dan gen BCEI dan berhubungan dengan kanker
payudara (9). Baldus et al, menemukan adanya overekspresi dari dari beberapa gen yaitu
ETS2, APP (Amyloid precursor protein), dan ERG (Ets related gene), yang terletak pada
kromosom 21 (21q22), pada penderita AML dengan Sindrom Down (10, 14). Akan
tetapi peran gen tersebut dalam leukemogenesis sendiri masih belum jelas (10,14). Selain
itu, leukemogenesis pada pasien Sindrom Down berhubungan dengan mutasi somatik
yang melibatkan gen GATA1 (2,3,4). GATA1 merupakan suatu faktor transkripsi terkait
kromosom X yang penting untuk diferensiasi seri eritrosit dan megakariositik. Mutasi ini
menghasilkan protein GATA1 yang lebih pendek (GATA1s), dimana menyebabkan
terjadinya proliferasi megakariosit immatur yang tidak terkontrol (2,3,4,13,14). Trisomi
21 memiliki kontribusi terhadap terjadinya mutasi GATA1 pada Sindrom Down, dimana
gen-gen yang berlokasi pada kromosom 21 seperti CBS (Cystathionine-β-synthase) dan
Zinc-copper superoxidedismutase (SOD1), dihubungkan dengan metabolisme abnormal
folat intrasel, akumulasi urasil, dan peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan
terjadinya kerusakan DNA (2,3,4).
Beberapa studi menunjukkan bahwa leukemia akut pada sindrom down,
khususnya tipe AMkL (Acute MegakaryocyticLeukemia) memiliki prognosis yang baik,
yakni 80-100 % sembuh. Hal ini berhubungan dengan adanya sensitivitas
megakaryoblast sindrom down terhadap cytarabine (Ara-C) dan Daunorubicin pada
sebuah studi in vitro. Sensitivitas ini diduga berhubungan dengan adanya mutasi
GATA1, yang dibuktikan dengan rendahnya angka event-free survival dan tingginya
11
angka relaps AML pada penderita sindrom Down usia lebih dari 4 tahun, yang mana
memiliki frekuensi mutasi GATA1 yang lebih rendah.Terjadinya mutasi dari GATA1
yang menghasilkan GATA1s menyebabkan ekspresi CDA (Cytidine Deaminase Gene)
yang terletak pada kromosom 1. CDA terlibat dalam deaminasi hidrolitik yang
irreversible dari Ara-C menjadi metabolit inaktif ara-U. Studi invitro menunjukkan
bahwa kadar transkripsi CDA lebih rendah secara signifikan pada penderita Sindrom
Down. Selain itu, ekspresi gen lokal kromosom 21 dan target gen GATA1 juga berbeda
antara AMkL dengan sindrom down dan non sindrom down. Ekspresi dari protein anti
apoptosis seperti BCL2 (yang terlokalisasi di kromosom 18) dan HSP70 ( lokasi di
kromosom 5) lebih rendah pada pasien Sindrom Down dibandingkan non Sindrom
Down. Hal ini mengindikasikan bahwa megakaryoblast pada Sindrom Down lebih
sensitif terhadap efek apoptosis dari kemoterapi. Overekspresi dari CBS juga
dihubungkan dengan terbentuknya metabolit aktif intraseluler dari ara-C secara invitro
(2,3,4).
Akan tetapi sensitivitas invitro dari AMkL Sindrom Down tersebut tidak terjadi
pada ALL Sindrom Down. Limfoblast Sindrom Down tidak menunjukkan sensitivitas
yang lebih besar terhadap berbagai agen kemoterapi dibandingkan dengan ALL non
Sindrom Down. Selain itu, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dari toksisitas
agen kemoterapi pada ALL dengan atau tanpa Sindrom Down. Abnormalitas sitogenetik
paling sering pada ALL B-precursor non sindrom Down adalah hiperploidi (>50
kromosom) atau TEL/AML1 (ETV6/RUNX1) fusi yang dihasilkan dari translokasi
t(12;21)(p13;q22), yang mana keduanya dihubungkan dengan event-free survival yang
tinggi. Sedangkan pada ALL sindrom Down menurut studi dari COG (Children’s
Oncology Group), frekuensi ETV6/RUNX1 dan hiperploidi (dengan trisomy kromosom
4 dan 10) lebih kecil dibandingkan pada non Sindrom Down. Selain itu mutasi GATA1
hampir tidak didapatkan pada ALL Sindrom Down (2,3,4).
Pengobatan konvensional dari AML-DS telah dikaitkan dengan pengobatan
terkait berlebihan mortalitas (TRM), toksisitas jantung karena anthracyclines dan infeksi
serius. Zwaan et al menunjukkan peningkatan 12 kali lipat dalam sensitivitas terhadap
sitarabin dalam sel DS-AML dibandingkan dengan sel non DS-AML, serta peningkatan
kepekaan terhadap anthracycline (dua sampai tujuh kali lipat) dan etoposide (20 kali
lipat).Peningkatan morbiditas akibat toksisitas kemoterapi dilaporkan meningkat dan
lebih berat pada ALL dengan Sindrom Down, diantaranya mucositis dan infeksi. Selain
12
itu, pemberian kortikosteroid pada ALL Sindrom Down meningkatkan kejadian
hiperglikemia. COG melaporkan peningkatan resiko kematian akibat infeksi pada pasien
ALL selama terapi fase induksi dengan kortikosteroid. Selain itu, studi POG melaporkan
resiko relative sebesar 3,4 untuk terjadinya toksisitas jantung pada 6493 pasien Sindrom
Down yang diterapi dengan anthracycline. Studi lain pada 9421 pasien AML dengan
Sindrom Down terjadi cardiomyopathy simptomatik, dengan 3 orang meninggal karena
gagal jantung kongestif. Peningkatan toksisitas jantung akibat anthracycline ini diduga
karena gen SOD dan SBR1 pada kromosom 21 yang menyebabkan terjadinya radikal
oksigen dan mempengaruhi metabolisme anthracycline (2,3,4).
Pada penggunaan agen antifolat, dalam hal ini methotrexate, penderita Sindrom
Down juga menunjukkan toksisitas berat seperti myelosupresi, mukositis, dan
hepatotoksik, yang mengindikasikan bahwa Sindrom Down juga mempengaruhi
metabolisme folat. Methotrexate ditransport secara aktif ke intrasel melalui protein
transmembrane yang diatur oleh gen SLC19A1 yang terletak di kromosom 21. Trisomi
21 menyebabkan terjadinya uptake methotrexate yang lebih besar ke berbagai jaringan
normal yang potensial menyebabkan terjadinya toksisitas obat (2,3,4).
Ringkasan
Telah dilaporkan sebuah kasus Leukemia Akut pada penderita Sindrom Down,
dimana penderita dengan Sindrom Down memiliki kecenderungan sebesar 10-20 kali
lipat lebih besar untuk terjadinya leukemia akut. Selain itu leukemia akut pada Sindrom
Down juga berhubungan dengan kejadian toksisitas kemoterapi yang lebih besar
dibandingkan dengan non-DS leukemia, oleh karena itu mungkin diperlukan regimen
khusus atau penyesuaian dosis untuk penderita leukemia akut dengan Sindrom Down.
Daftar Pustaka
1. BullM.J, Committee on Genetics. Health supervision for children with Down
syndrome. Pediatrics.2011;128:393.
2. Kudo K. Myeloid Leukemia Associated with Down Syndrome.Intech. 2013;107-
113
3. XavierAC, Taub JW.Acute leukemia in children with Down Syndrome.
Hematologica. 2010; 95(7):1043-1045
13
4. Xavier AC, Ge Y, Taub JW. Down Syndrome and Malignancies A Unique
Clinical Relationship Review. Journal of Molecular Diagnostic. 2009; 11(5):371-
380.
5. Kurnianda J, Leukemia Mieloblastik Akut.Pada : Alwi I, Salim S, Hidayat R,
Kurniawan J, Tahapary D., eds.Penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam
PAPDI edisi 6. Jakarta : Interna Publishing; 2015. pp 2671-2677.
6. Provan D, Baglin T, Dokal I, de Vas J. Acute Myeloblastic Leukemia.Oxford
Handbook of Clinical Haematology4th
edition. Oxford: Oxford University Press.
2015.pp 124-137.
7. Hudnall SD. Acute Myeloid Leukemia, Hematology : A Pathophysiologic
Approach. Philadelphia: Mosby; 2012. pp 87-89.
8. Marcucci G, Bloomfield CD. Acute Myeloid Leukemia.In : Kasper DL, Hauser
SL, Jameson JL., eds.Harrison’s Principles of Internal Medicine19th
edition. New
York : McGraw-Hill Education; 2015.pp 678-687.
9. Watkins PC, Tanzi RE, Cheng SV, Gusella JF.Gene Mapping and medical
genetics, Molecular genetics of Human Chromosome 21. Journal of medical
genetics. 1987;24: 257-270.
10. Strati P, Daver N, Ravandi F, Pemmaraju N, Pierce S, Manero GG, et
al.Biological and Clinical features of Trisomi 21 in Adult patients with Acute
Myeloid Leukemia. Clin Lymphoma Myeloma Leuk. 2013;13 (2):S276-S281.
11. Khan I, Malinge S, Crispino JD. Myeloid Leukemia in Down Syndrome. Crit
Rev Oncog. 2011;16 (1-2):25-36.
12. Queiroz LB, Ferrari I, De Sa CM, Mazzeu JF, Magalhaes IQ, de Lima
BD.Leukemogenesis in Down Syndrome.Intech. 2011;295-312.
13. Mateos MK,Barbarig D, Byatt SA, Sutton R, Marshall GM.Down Syndrome and
Leukemia : insights into Leukemogenesis and translational targets. Translational
Pediatrics. 2015; 4(2):76-92.
14. Baldus CD, Liyanarachchi S, Mrozek K, Auer H, Tanner SM, Gulmond M, et al.
Acute Myeloid Leukemia with Complex Karyotypes and Abnormal Chromosome
21 :Amplification discloses overexpression of APP, ETS2, and ERG genes.
PNAS. 2004; 3915-3920.