Upload
yurike-maani
View
23
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
CONTOH
Pendekatan DiagnostiK Keluarga untuk Kasus Gizi Buruk
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan
Nasional adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan
derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan,
pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak
yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai
cara untuk mendapatkannya (Anonim, 2007).
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah
menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan
pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator,
salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang
telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44
per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40
per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut
WHO 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian
tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama
kematian dengan membunuh 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan
pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering
berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang
dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai
penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh
kematian balita (Anonim, 2008).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung
selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian,
dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran
bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura
(Anonim, 2007).
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti
dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran
bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera
diobati. Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran
pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih
tinggi pada balita di negara berkembang.
Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006
hingga 2008, berturut–turut adalah 74.278 kasus (36,26 %), 62.126 kasus (31,45%),
72.537 kasus (35,94%) (Anonim, 2008). Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA
merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup
tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari
masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996, faktor-faktor yang
mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor
prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan
seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan.
Asap dapur dan faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah
sangat berpengaruh karena semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat
merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah
perempuan dan anak-anak, sedangkan faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi,
ASI Ekslusif dan BBLR merupakan faktor yang dapat membantu mencegah terjadinya
penyakit infeksi seperti gangguan pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah
(Anonim, 2007).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi dari
istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga
unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:
1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara
anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian
bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory
tract).
3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit
yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari.
Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau
stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang
kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam
dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Infeksi lebih
lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat
komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga
bronkhitis dan pneumonia (radangparu).
Cara Penularan Penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA ini
termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara
penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi.
Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun
tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.
Diagnosa ISPA
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena dahak biasanya
sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang
memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan
spesimen fungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan
untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat
efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita,
namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama
jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri
penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui
publikasi WHO), bahwa Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan
bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus.Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada
adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat)
sesuai umur. Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan
dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :
1) Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau
lebih.
2) Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per menit
atau lebih.
3) Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per menit
atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai dengan adanya
nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya
penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita
pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya
gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan pneumonia maka
diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau
penyakit non-pnemonia lainnya.
Klasifikasi ISPA
Klasifikasi Berdasarkan Umur
1) Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang
tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam
(38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernafasan
cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis
sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.
b. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali
per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.
2) Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :
a. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak
kejang dan sulit dibangunkan.
b. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
c. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
d. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
e. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.
Epidemiologi Penyakit ISPA
Distribusi Penyakit ISPA
A. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Orang
Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh anak sangat
berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya belum kuat. Kalau
di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak akan lebih
mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses penyebaran
penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa
mengalami 6-8 kali penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk dengan
menganalisa data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, didapatkan bahwa
prevalensi penyakit ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%),
6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%),
48-59 bulan (8,0%). Berdasarkan hasil penelitian Ridwan Daulay di Medan pada
tahun 1999 mendapatkan bahwa kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara laki-laki
dan perempuan, sedangkan ISPA bawah pada umur < 6 tahun lebih sering pada anak
lakilaki. 18 Sesuai dengan penelitian Djaja, dkk (2001) prevalensi ISPA pada anak
laki laki (9,4%) hampir sama dengan perempuan (9,3%).
B. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat
ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan penyebab morbiditas utama pada
negara maju sedangkan di negara berkembang morbiditasnya relatif lebih kecil tetapi
mortalitasnya lebih tinggi terutama disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia.
Menurut penelitian Djaja, dkk (2001) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di perkotaan
(11,2%), sementara di pedesaan (8,4%); di Jawa-Bali (10,7%), sementara di luar Jawa-bali
(7,8%).6 Berdasarkan klasifikasi daerah prevalensi ISPA untuk daerah tidak tertinggal
(9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).
Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu
Berdasarkan hasil kesepakatan Declaration of the World Summit for Children pada 30
desember 1999 di New York, AS ditargetkan bahwa penurunan kematian akibat pneumonia
balita sampai 33% pada tahun 1994-1999. Sedangkan di Indonesia sendiri oleh Dirjen PPM
& PL menargetkan bahwa angka kematian balita akibat penyakit ISPA 5 per 1000 pada tahun
2000 akan diturunkan menjadi 3 per 1000 pada akhir tahun 2005. Berdasarkan Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2005, terlihat bahwa cakupan pneumonia penderita dan
pengobatan dari target (perkiraan penderita) masih relatif rendah, tahun 2000 ada 30,1%;
tahun 2001 ada 25%; tahun 2002 ada 22,1%; tahun 2003 ada 30%; tahun 2004 ada 36%;
tahun 2005 ada 27,7%. Hasil pantauan yang dilakukan ini belum menggambarkan kondisi
yang sebenarnya oleh karena masih ada beberapa wilayah yang belum menyampaikan
laporannya. Penelitian Septri Anti (2007), dari catatan bulanan program P2 ISPA Kota
Medan tahun 2002-2006 didapatkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi linier terdapat nilai
signifikan sebesar 0,552 (>0,05), tidak terdapat hubungan yang signifikan antara waktu
dengan jumlah penderita ISPA pada balita, hal ini berarti bahwa adanya kecenderungan
peningkatan jumlah balita penderita ISPA, dimana penderita penyakit ISPA pada tahun 2002
berjumlah 8.836 orang dan pada tahun 2007 mencapai 9.412 orang.
Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut atau
kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis
simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan
penyakit virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus,
Coxsackie, dan Echo.Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003), mendapatkan bahwa
bakteri Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan sebagian besar kematian
4 juta balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian WHO dan
UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95% S.pneumococcus kehilangan
sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50% dari bakteri yang diperiksa
resisten terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk mengobati infeksi pernafasan
akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60% S. pneumonie ditemukan resisten
terhadap antibiotika.Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti spektrum
dari 101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan didapatkan
bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua penderita dijumpai tumbuh dua
galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri gram positif dijumpai
sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%).Dari hasil biakan
terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri Streptococcus viridans 38 galur sebesar
36,89%, diikuti oleh Enterobacter aerogens 19 galur sebesar 18,45%, Pseudomonas
aureginosa 16 galur sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur sebesar 13,59%, Stapilococcus
aureus 13 galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur sebesar 1,94%, dan Sreptococcus
pneumonie 1 galur sebesar 0,97%.21
b. Manusia
Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun
mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang lebih
tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan
lumen saluran nafasnya masih sempit.Berdasarkan hasil penelitian Maya di RS Haji Medan
(2004), didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun
1998 sampai tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun adalah 91,1%,22
demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun 2006, didapatkan bahwa
proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun sebesar
82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan sebesar 17,9%.
Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada
anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun.
Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat,
dibandingkan dengan anak perempuan.
Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama
kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang
meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang
kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat
memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Hasil
penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain cross sectional
didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko
pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi
baik/normal. Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan Pemantauan
Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan terhadap umur. Status
gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD
Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD
Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD
Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26
Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram.
Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian lebih
tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama
kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada
bayi baru lahir.
Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan faktor
antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama
(4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan
(Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting
untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu
formula, dan makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan
ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru
diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus
tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi postnatal.
Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit menular
tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya imunisasi
didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam
pemeliharaan kesehatan anak. Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit
seperti, POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis.
Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit
tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia pada balita dengan
status imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413),
artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada
anak yang status imunisasinya tidak lengkap.
Lingkungan
Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan
bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40- 70%, optimum 60%. Hasil
penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional
didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.
Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp
(B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi
faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.
Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-300C. Hal
ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah tersebut
tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor
risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang
diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi
penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan
suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai.
Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, ≤3,9 m2/orang, 4-
4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, ≥9 m2/orang. Dikatakanpadat jika luas lantai
rumah ≤3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas lantai rumah ≥4 m2/orang.31 Menurut Gani
dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan proses kejadian pneumonia
pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan
dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat.Berdasarkan hasil penelitian Chahaya
tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.
Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat
menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap.
Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-
paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan
pernafasan.
Bahan Bakar Untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara
menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar
nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan
penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.
Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari
4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO),
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian
Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur
di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada
laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814
penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah
sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%. Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%,
pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar
70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena
mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun saudaranya yang merokok
dalam rumah.
Status Ekonomi dan Pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu individu dengan
individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap penyakitnya merupakan hal
yang penting dalam menangani penyakit tersebut. Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu
sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan diterima oleh anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio pengeluaran
makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka jumlah ibu yang
membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik
didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke
pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.Ibu dengan
pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak berobat ke fasilitas kesehatan,
sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati sendiri ketika anak sakit
ataupun berobat ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih
banyak membawa anaknya ke pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu
yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih
mengenal gejala penyakit yang diderita oleh balitanya.
Pencegahan Penyakit ISPA
Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan pengobatan penderita
sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat terutama kader, dengan
dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di sarana kesehatan yang terkait.
Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap sebagai strategi
untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Termasuk disini ialah :
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor
resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA,
penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan
anak, penyuluhan kesehatan lingkungan rumah, penyuluhan bahaya rokok.
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan
(insiden) pneumonia.
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi di
dalam maupun di luar rumah.
Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin. Upaya
pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :
a. Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi :
Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami sianosi
sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang hebat), terapi antibiotik
dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau kanamisin.
Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu untuk
menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan bersihkan sumbatan pada
hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi makan.
b.Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya meliputi :
Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan
memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam. Apabila pada anak terjadi
perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati
demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang
dua kali sehari.
Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik dengan
memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari,
obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati pada pemberian terapi cairan, nilai
ulang setiap hari.
Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan kotrimoksasol, ampisilin,
amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain intramuskular per hari, nasihati ibu untuk
memberikan perawatan di rumah, obati demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.
Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik sebaiknya tidak
diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati demam, nasihati ibu untuk
memberikan perawatan di rumah.
Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya infeksi pneumokistik,
perawatan suportif, penilaian ulang.
Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak bertambah parah
dan mengakibatkan kematian.
Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian kloram fenikol
selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloksasilin ditambah gentamisin
jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.
Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin dalam 48 jam
atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzipenisilin kemudian periksa adanya
komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda pneumonia
setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab pneumonia persistensi. Pneumonia:
Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya tanda-tanda perbaikan
(pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan membaik. Nilai kembali dan
kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda
penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat
atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda
pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau
secara ketat.
Penanganan Penyakit ISPA
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPbA, paling sering
adalah pneumonia. Bayi baru lahir dan bayi berusia satu bulan atau disebut ’bayi muda’ yang
menderita pneumonia dapat tidak mengalami batuk dan frekuensi pernfasannya secara normal
sering melebihi 50 kali permenit. Infeksi bakteri pada kelompok usia ini dapat hanya
menampakkan tanda klinis yang spesifik, sehingga sulit untuk membedakan pneumonia dari
sepsis dan meningitis. Infeksi ini dapat cepat fatal pada bayi muda yang telah diobati dengan
sebaik-baiknya di rumah sakit dengan antibiotik parenteral. Cara yang paling efektif untuk
mengurangi angka kematian karena pneumonia adalah dengan memperbaiki manajemen
kasus dan memastikan adanya penyediaan antibiotik yang tepat secara teratur melalui fasilitas
perawatan tingkat pertama dokter praktik umum. Langkah selanjutnya untuk mengurangi
angka kematian karena pneumonia dapat dicapai dengan menyediakan perawatan rujukan
untuk anak yang mengalami ISPbA berat memerlukan oksigen, antibiotik lini II, serta
keahlian klinis yang lebih hebat
Tinjauan kasus
Tanggal: Oleh: kelompok 5
Data identitas keluarga pasien
a. Biodata
Biodata Keluarga Pasien
Nama Bapak: Suhardin
Umur :35 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan: Supir truk
Nama Istri : Sunariah
Umur : 28 Tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT (Ibu Rumah Tangga)
Nama Anak: Zaskia Aprilia Polinga
Umur: 2 tahun
Anak ke: Pertama
b. Susunan keluarga
No.Nama
anggota
Umur
L/P
Hubungan
keluarga
Pendidikan/
pekerjaanImunisasi
Keadaan
fisik
1. Suhardin L/35tahun KKSD/ sopir
mobil- Sehat
2.Ny.
SunariahP/28tahun Istri SD/ IRT - Sakit
3.An.
Saskia P/ 2 tahun Anak - Lengkap Sakit
4. Sehat
c. Genogram keluarga
Suhardin n
Sunariah
Riwayat kesehatan keluarga pasien
1) Bapak : Sebagai ketua keluarga, menderita penyakit Hipertensi, dan
memiliki kebiasaan merokok.
2) Ibu: Sebagai IRT memiliki gejala ISPA sama dengan anaknya.
3) Zaskia : flu, batuk dan demam sudah 3 hari, tidak sesak, pernah diare pada
umur < 1 tahun.
4) Nenek dari bapak : penderita gastritis, hipertensi, sakit kepala, OA.
Data pola hidup keluarga
1. Pola kesehatan
a. Bila anggota keluarga sakit berobat ke PUSKESMAS
b. Persalinan ditolong oleh bidan di PUSKESMAS
2. Pola kebiasaan sehari-hari
a) Pola makan dan makanan
Dewasa: makan 3x/ hari sarapan tempe, tahu, telur, nasi putih.
Siang ikan, nasi putih dan sayur.
Makan malam ikan, nasi putih dan sayur.
Anak (2 tahun): makan 3-4x/ hari dengan makan indomie 1 kali sehari dan
makanan jajan sosis dan frutamin.
Penyediaan makanan : goreng dan rebus (lebih sering merebus)
Sering minum air (air gallon dan dimasak)
b) Pola kebersihan
Ayah: mandi 3-4x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 3-4x/ hari.
Ibu: mandi 2-3x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 2x/ hari.
Anak: mandi 2-3x/ hari. Ganti baju dan pakaian dalam 4-5x/ hari.
Saskia
Keluarga sering cuci tangan
Sering mencuci pakaian tiga kali seminggu.
Sumber air untuk mencuci dan mandi: air sumur dan sumur bor.
Data keadaan lingkungan
1. Kondisi rumah dan kawasan lingkungan
1) Keluasan rumah adalah cukup luas untuk dihuni oleh 4 orang +/- 10 x 5 m2
2) Lantai terbuat daripada semen dan di lapisi dengan tikar plastic.
3) Dinding terbuat dari papan dan sekat antara kamar dari tripleks.
4) Atap terbuat dari seng pada bagian depan dan pada bagian belakang terbuat
dari daun rumbia.
5) Plavon hanya terdapat di kamar keluarga, terbuat dari kain dan berdebu.
6) -Ventilasi ruang keluarga kurang baik, hanya memiliki satu buah jendela
ukuran 1x 0.5 m
-Ventilasi kamar kurang baik, rumah terdiri dari tiga kamar:
Satu kamar memiliki satu buah jendela dengan ukuran 1,5 x 1 m
Dan dua kamar tidak memiliki jendela.
-Ventilasi ruang tamu baik, memiliki jendela ukuran
7) Pencahayaan pada waktu siang juga kurang baik.
pada kamar keluarga karena tidak ada jendela,hanya terdapat satu lampu.
8) Tempat mencuci piring terletak didapur.
9) Tempat tidur terhambur dan tidak rapi.
10) Tempat pembuangan sampah: kawasan rumah tidak mempunyai tempat
pembuangan sampah yang sesuai.
11) Kamar mandi : Terletak didalam rumah, tertutup.
12) Jamban :BAB langsung di jamban didalam rumah.
13) Perkarangan :Ada di hadapan rumah dan gersang serta berdebu.
14) Letak rumah berada di pinggiran jalan dan jarak dengan tetangga +/- 1 meter.,
keadaan perumahan blum terlalu agak padat.
15) Terdapat pembuangan limbah dibelakang rumah yang kotor dan tergenang..
Keadaan sosial ,ekonomi dan pendidikan keluarga.
1. Sifat keluarga : keluarga inti kerna terdiri daripada ibu, bapak, dan dua orang anak.
2. Sosial ekonomi
a. Kepala keluarga tidak memiliki penghasilan yang tetap (± Rp.1.500.000,-)
b. Istri sebagai ibu rumah tangga tidak bekerja
3. Sosial budaya
a. Hubungan keluarga dengan tetangga baik, saling membantu jika ada kesulitan
4. Pendidikan ibu dan bapa dan pengetahuan tentang ISPA :
a. Ibu : pendidikan SMA, tidak pernah mengikuti sosialisasi ISPA.
b. Bapa : pendidikan SD
Daftar masalah keluarga
Permasalahan PeneranganAnak selalu main diluar rumah yang kotor Hasil evaluasi berat badan anak
dengan anak-anak lain yang mengidap penyakit ISPA.
menunjukan bahwa anak mengalami gizi buruk
Pengetahuan ibu kurang tengtang penyakit ISPA.
Hasil anamnesis melalui ibu bahwa dia kurang tau bagaimana itu penyakit ISPA sehingga beli obat sembarang diwarung.
Hygiene sanitasi linkungan yang buruk dan keadaan rumah yang kurang ideal untuk ditinggali keluarga.
Kawasan perkarangan rumah tempat tinggal keluarga gersang dan kotor.
Jamban umum yang digunakan kotor.Keadaan status ekonomi keluarga yang sangat kurang.
Hanya ayah sahaja yang berkerja dan pendapatan juga tidak tetap untuk menampung kehidupan ahli anggota keluarga yang lain.
Hasil pendapatan keluarga menyebabkan keluarga tidak mampu mendapat jaminan kesihatan
Perancanaan intervensi terhadap masalah keluarga
Permasalahan Rencana intervensi Rasional tindakan intervensiKedua dua anak mempunyai status gizi yang buruk
Perbaiki status gizi melalui pemberian makanan tambahan melalui program pemerintah (therapeutic feeding)
Konseling kepada kedua ibu bapa mengenai pemberian gizi yang benar terhadap anak
Memberi saran kepada orang tua untuk sering merujuk ke PUSKESMAS.
Dengan pemberian makanan tambahan ini diharapkan dapat memperbaiki status gizi anak
Dengan konseling ini, diharapkan ibu dan keluarga mengenal dan menerapkan perilaku pola pemberian makanan pada anak.
Saran yang disampaikan kepada ibu bapa ini diharapakan dapat memperbaik kualitas hidup.
Kedua anak sering mengalami masalah diare
Konseling terhadap kedua ibu bapa mengenai perilku pemakanan yang sehat untuk anak anak
Memberi penyuluhan mengenai sanitasi dan lingkungan yang bersih
Memberi konseling tentang PHBS
Dengan konseling ini diharapkan ibu bapa mengenal dan mngetahui cara pemberian makanan yang bersih dan sehat supaya anak tidak mendapat diare
Dengan konseling ini diharapkan dapat menerapkan perilaku
yang baik terhadap sanitasi dan lingkungan untuk mengelakan penyakit yang dapat disebabkan oleh sanitasi dan lingkungan yang kotor.
Hygiene sanitasi linkungan yang buruk dan keadaan rumah yang kurang ideal untuk ditinggali keluarga
Memberikan penyuluhan terhadap sanitasi dan lingkungan yang bersih dan sehat terhadap keluarga
Dengan pemberian penyuluhan tentang sanitasi lingkungan yang baik diharapkan ibu dan keluarga mengetahui dan faham bagaimana gambaran lingkungan yang sehat sebenarnya
Keadaan status ekonomi keluarga yang sangat rendah
Memberi konseling kepada ibu bapa mengenai keluarga berencana dan pengurusan kewangan yang baik
Dengan konseling ini diharapkan ibu bapa dapat membentuk sebuah keluarga yang stabil.
Kesimpulan
Masalah kesehatan yang dialami keluarga disebabkan karena ketidaktahuan ibu dan
keluarga tentang cara pemberian makanan yang benar dan pentingnya sanitasi
lingkungan yang baik bagi kesehatan. Selain itu kebiasaan masyarkat yang cenderung
mengkonsumsi karbohidrat dan makanan instant yang sebenarnya kurang baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan anak karena nutrisi yang dibutuhkan kurang. Oleh
sebab itu, diperlukan dukungan, bimbingan dan motifasi dari tenaga kesehatan dan kader
untuk merubah pola kebiasaan yang kurang baik dan kurang bermanfaat.
Saran
1. Petugas Kesehatan
a. Meningkatkan peranan bidan dalam fungsinya sebagai pelaksanan pengajar
kebidanan lebih meningkatkan kemampuan yang dimiliki. Bidan
meningkatkan kerjasama yang baik dengan petugas kesehatan yang lain, klien
dan kelurga dalam memberikan penyuluhan –penyuluhan yang utama
berkaitan dengan masalah ibu dan anak.
2. Kader Kesehatan
a. Lebih meningkatkan wawasan dan kerjasama yang baik dengan masyarakat
dan petugas kesehatan sehingga mampu memberikan pelayanan yang baik
bagi masyarakat dan mampu memotifasi masyarkat untuk menuju kearh yang
lebih baik.
3. Keluarga
Menjalankan saran petugas untuk memperbaiki pola makan balitanya
Memjalankan saran petugas untuk memperbaiki sanitasi lingkungannya
Melakukan konsultasi dengan kader dan petugas kesehatan jika ada masalah yang
berhubungan dengan kesehatan keluarga.