121

Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

  • Upload
    lyhanh

  • View
    239

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)
Page 2: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)
Page 3: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)
Page 4: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

IV

Page 5: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

V

Daftar isi v

Kata Pengantar vii

Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi

Daerah

Bagian II 9 Perekonomian Sumatera

Bagian III 25 Perekonomian Jawa

Boks 1 40 Kemacetan : Meningkatkan Biaya Logistik dan

Menghilangkan Potensi Pertumbuhan Ekonomi

Bagian IV 43

Perekonomian Kalimantan

Boks 2 56

Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan Indonesia-

Malaysia

Bagian V 59 Perekonomian Kawasan Timur Indonesia

Bagian VI 75 Isu Strategis :

Mendorong Peningkatan Daya Saing Kawasan Perkotaan

Sebagai Penggerak Ekonomi Regional

Lampiran 91

Page 6: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)
Page 7: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh

perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia selalu

mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu

terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan

menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan

berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan antara

Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang

mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia1

. Pembahasan tersebut

memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai

berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam

proses perumusan kebijakan.

Pada triwulan I 2016, realisasi pertumbuhan ekonomi secara nasional tercatat

sebesar 4,92%, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh

sebesar 5,04%. Perlambatan ekonomi terjadi di semua wilayah, yang secara berurut

dari yang terdalam adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI), Jawa, Sumatera dan

Kalimantan. Rendahnya kinerja ekspor terkait masih lemahnya permintaan global

dan terbatasnya perbaikan harga komoditas, tertahannya investasi, serta masih

rendahnya penyerapan belanja pemerintah daerah karena transisi pemerintahan

hasil Pilkada dan keterlambatan pengesahan APBD mempengaruhi perlambatan

ekonomi di triwulan laporan. Di tengah permintaan eksternal yang masih terbatas,

pertumbuhan ekonomi triwulan I 2016 lebih bertumpu pada permintaan domestik

tercermin dari meningkatnya konsumsi rumah tangga yang mampu menahan

perlambatan ekonomi lebih dalam di berbagai daerah.

Berbagai indikator ekonomi terkini pada triwulan II 2016 secara agregat

mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi. Kondisi ini ditopang menguatnya

konsumsi rumah tangga menjelang siklus Ramadhan dan persiapan Lebaran serta

didorong realisasi belanja pemerintah dan berlanjutnya pembangunan

infrastruktur. Selain itu, kinerja ekspor diperkirakan membaik seiring indikasi

perbaikan harga komoditas sehingga diperkirakan dapat berdampak positif pada

perbaikan kinerja industri dan perkebunan. Pergeseran masa panen bahan pangan

ke triwulan II 2016 di berbagai daerah sentra produksi tanaman bahan makan

diperkirakan juga dapat mendorong kinerja pertanian. Namun, kinerja

pertambangan diperkirakan masih terbatas karena dibayangi oleh prospek

perbaikan ekspor barang tambang, terutama batubara, yang masih cenderung

lemah.

Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2016 secara agregat

berada pada level yang terjaga yakni sebesar 4,45%. Realisasi inflasi di Sumatera

merupakan yang tertinggi yakni sebesar 5,71%, diikuti Kalimantan sebesar 5,07%,

KTI 4,72% dan Jawa 3,93%. Terjaganya inflasi sepanjang triwulan I 2016 tidak

terlepas dari adanya beberapa kebijakan penurunan tarif yang dilakukan oleh

pemerintah dan rendahnya tekanan inflasi pangan.

1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu

Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

D

Page 8: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Prospek pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2016 mengindikasikan secara

agregat perekonomian akan tumbuh di kisaran 5,0-5,4%; lebih rendah prakiraan

sebelumnya yang sebesar 5,2-5,6%. Perbaikan perekonomian diprakirakan akan

ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera dan didorong oleh

realisasi berbagai proyek infrastruktur berskala besar di daerah. Di sisi inflasi,

prospek perkembangan inflasi di berbagai daerah untuk keseluruhan tahun 2016

tetap terkendali dalam kisaran sasaran inflasi sebesar 4%±1%. Perkiraan masih

terbatasnya perbaikan harga komoditas global serta harga minyak dunia

berdampak pada minimnya tekanan inflasi. Selain itu, meskipun permintaan

domestik diperkirakan akan tumbuh lebih baik pada 2016, namun tekanan inflasi

dari sisi permintaan domestik diperkirakan masih minim seiring dengan masih

terbatasnya ekpektasi perbaikan ekonomi dari pelaku ekonomi.

Buku Laporan Nusantara ini menguraikan secara lengkap mengenai dinamika

terkini dan prospek ekonomi. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu

khusus mengenai upaya mendorong peningkatan daya saing kawasan perkotaan

sebagai penggerak ekonomi regional. Daya dukung kota dari berbagai dimensi (a.l

SDM, ekonomi, teknologi, infrastruktur, lingkungan, tata kelola) yang mencukupi

akan menjamin daya saing perkotaan, sehingga mampu memberikan kontribusi

yang produktif bagi masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan. Strategi

pembangunan kota jangka menengah panjang diarahkan kepada tahapan

pencapaian kota yang nyaman ditinggali (liveable city) pada 2025, yang kemudian

secara bertahap mengarah pada kota hijau (green city) sampai dengan kota cerdas

(smart city) pada 2045. Pengembangan kawasan perkotaan yang mulai mengarah

ke luar Jawa, terutama melalui pengembangan perdagangan berbasis digital (e-

commerce), diharapkan dapat meningkatkan pemerataan ekonomi di berbagai

daerah di Indonesia.

Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I-

IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan

Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini

dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan

pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia

dalam pembangunan ekonomi daerah.

Jakarta, 23 Mei 2016

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Juda Agung

Direktur Eksekutif

Page 9: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

viii

Melati Putih (Jasminum Sambac)Bunga Nasional Indonesia (Puspa Bangsa), Dianggap Mampu Mewakili Karakteristik Bangsa Indonesia Yang Sederhana dan Penuh Kesucian Namun Memiliki Keelokan Budi.

Page 10: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

1

Ringkasan Perkembangan

Terkini dan Prospek

Ekonomi Daerah

Bagian

I

Page 11: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

1

Bagian I

Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek

Ekonomi Daerah Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah

Perekonomian nasional pada triwulan I 2016

tumbuh melambat dibanding triwulan

sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi pada

triwulan laporan tercatat sebesar 4,92%, lebih

rendah dibanding triwulan sebelumnya yang

tumbuh 5,04%2. Perlambatan ekonomi terjadi di

hampir seluruh daerah terutama karena

pengaruh masih rendahnya kinerja ekspor dan

investasi, serta terbatasnya penyerapan belanja

pemerintah daerah. Meski demikian, kinerja

konsumsi rumah tangga yang meningkat dapat

menahan perlambatan ekonomi lebih dalam di

berbagai daerah. Perlambatan ekonomi yang

cukup dalam dialami oleh Kawasan Timur

Indonesia (KTI), diikuti Jawa, Sumatera, dan

Kalimantan.

Pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur

Indonesia (KTI) melambat dari sebelumnya

tumbuh 8,60% menjadi 6,01% pada triwulan I

2016. Penyerapan belanja pemerintah di

berbagai daerah di KTI yang cenderung terbatas,

disertai kinerja produksi tambang yang menurun

menjadi faktor utama cukup dalamnya

perlambatan ekonomi KTI. Terbatasnya

penyerapan belanja pemerintah di berbagai

daerah, termasuk di KTI, dipengaruhi antara lain

oleh transisi pemerintahan hasil Pilkada dan

keterlambatan pengesahan APBD. Selain itu,

mulai terkontraksinya ekonomi Provinsi Papua

karena turunnya produksi mineral dan pertanian,

setelah pada empat kuartal terakhir dapat

tumbuh rata-rata 8%, turut memberi dampak

pada melemahnya kinerja ekonomi KTI secara

keseluruhan. Meski demikian, tingkat

2 Berdasarkan angka rilis BPS pada 4 Mei 2016

pertumbuhan ekonomi KTI secara agregat yang

masih sebesar 6,0% merupakan yang paling tinggi

dibanding wilayah lainnya.

Perekonomian Jawa yang memiliki pangsa

terbesar, hampir 60% dari perekonomian

nasional, juga tumbuh melambat dari 5,87%% di

triwulan sebelumnya menjadi sebesar 5,31%

pada triwulan laporan. Kondisi ini terutama

dipengaruhi oleh terbatasnya penyerapan belanja

pemerintah di berbagai daerah di Jawa. Selain

itu, perlambatan juga dipengaruhi tertahannya

kinerja industri pengolahan diantaranya sebagai

dampak penutupan beberapa pabrik elektronik

besar dan kendaraan di penghujung 2015. Di sisi

lain, perbaikan ekspor masih berlanjut meski

tidak sebesar kenaikan impor, terutama didorong

perdagangan antar daerah sejalan dengan

adanya perbaikan konsumsi domestik.

Berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah

pusat berskala besar seperti pembangunan jalan

trans Jawa, transportasi massal, dan bandar

udara berkontribusi dalam menahan

perlambatan ekonomi berbagai daerah di Jawa

lebih dalam.

Perlambatan ekonomi juga dialami oleh

Sumatera setelah dalam tiga kuartal terakhir

cenderung tumbuh meningkat. Pada triwulan I

2016, perekonomian berbagai daerah di

Sumatera secara agregat tumbuh 4,18%, lebih

rendah dibandingkan realisasi triwulan

sebelumnya yang sebesar 4,56%. Melambatnya

pertumbuhan ekonomi Sumatera ini dipengaruhi

oleh kinerja ekspor beberapa daerah penghasil

perkebunan yang melemah karena masih relatif

rendahnya harga komoditas di pasar global serta

khususnya penurunan produksi kelapa sawit

sebagai akibat tingginya curah hujan dan dampak

kabut asap pada tahun 2015. Selain itu,

Page 12: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

2

penyerapan belanja pemerintah di berbagai

daerah di Sumatera juga masih terbatas sehingga

turut memengaruhi kinerja investasi Sumatera.

Namun, perbaikan konsumsi rumah tangga

seiring dengan cukup tingginya kenaikan UMP di

sejumlah daerah dan berlanjutnya proyek

infrastruktur pemerintah berskala besar di

Sumatera dapat menahan perlambatan ekonomi

lebih lanjut.

Perekonomian Kalimantan pada triwulan

laporan tumbuh rendah 1,08% melambat

dibanding triwulan lalu yang sebesar 1,45%.

Berlanjutnya penurunan ekspor komoditas

tambang migas dan batubara karena masih

rendahnya harga komoditas menjadi penyebab

utama perlambatan ekonomi Kalimantan.

Penurunan kinerja ekspor tambang ini

menyebabkan ekonomi Kalimantan Timur,

provinsi penyumbang PDRB terbesar di

Kalimantan, mengalami kontraksi pertumbuhan

ekonomi yang lebih dalam dari triwulan

sebelumnya. Perlambatan perekonomian

Kalimantan juga dipengaruhi pelemahan investasi

di seluruh daerah di Kalimantan karena pelaku

usaha yang masih melakukan penguatan

(konsolidasi) internal di tengah rendahnya

permintaan komoditas di pasar global. Dari

empat provinsi di wilayah ini, hanya Kalimantan

Barat yang masih dapat tumbuh meningkat

didorong oleh beroperasinya smelter alumina dan

membaiknya produksi perkebunan.

Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2016

Memasuki triwulan II 2016, perkembangan

berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah

mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi.

Kondisi ini ditopang menguatnya konsumsi

rumah tangga menjelang siklus Ramadhan dan

persiapan Lebaran serta didorong realisasi

belanja pemerintah dan berlanjutnya

pembangunan infrastruktur. Selain itu, kinerja

ekspor diperkirakan membaik seiring indikasi

perbaikan harga komoditas mulai terlihat

sehingga diperkirakan dapat berdampak positif

pada perbaikan kinerja industri dan perkebunan.

Pergeseran masa panen bahan pangan ke

triwulan II 2016 di berbagai daerah sentra

produksi tanaman bahan makan diperkirakan

juga dapat mendorong kinerja pertanian di

berbagai daerah. Namun, kinerja pertambangan

diperkirakan masih terbatas karena dibayangi

oleh prospek perbaikan ekspor barang tambang,

terutama batubara yang masih cenderung lemah.

Page 13: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

3

Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan II 2016*

* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Keterangan : merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB), hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB)

Stabilitas Keuangan Daerah

Kinerja sektor korporasi pada triwulan I 2016

masih melanjutkan perlambatan. Hal ini

ditunjukkan oleh penyaluran kredit ke sektor

korporasi yang melambat hampir di seluruh

wilayah. Perlambatan penyaluran kredit

korporasi terdalam terjadi di Jawa yakni dari

16,11% di triwulan IV 2015 menjadi 12,94% pada

akhir triwulan I 2016 yang lebih banyak

dipengaruhi tekanan kredit ke Industri

Pengolahan. Di sisi lain, pertumbuhan penyaluran

kredit di Kalimantan masih sangat rendah, yakni

sebesar 3,70%, meski sedikit lebih tinggi

dibanding triwulan lalu yang tumbuh 2,17%.

Sejalan dengan melambatnya kinerja

pertambangan dan industri pengolahan,

penyaluran kredit ke kedua sektor tersebut juga

melambat. Namun, perbaikan kredit ke sektor

pertanian di berbagai wilayah dapat menahan

perlambatan pertumbuhan kredit korporasi lebih

dalam. Hal yang perlu dicermati adalah rasio NPL

gross kredit korporasi yang, meski masih dibawah

batas aman 5%, namun cenderung meningkat

pada triwulan laporan. Kinerja perlambatan

kredit yang diiringi kenaikan risiko tersebut

diperkirakan membaik terbatas pada triwulan

mendatang yang didorong penguatan konsumsi

domestik dan perbaikan harga komoditas

sehingga mendorong penguatan kinerja

korporasi.

Di tengah pelemahan ekonomi yang masih

membayangi, rasio keuangan korporasi masih

relatif sehat. Kondisi ini tercermin dari gross

profit margin korporasi yang meningkat akibat

efisiensi produksi, perbaikan net income margin

yang menunjukkan perbaikan3

pasca tekanan

minimnya laba pada 2015, serta Interest

coverage ratio4 yang masih dalam kondisi sehat.

Sementara itu, Debt to Equity Ratio cenderung

stabil kecuali pada korporasi pertambangan yang

mengalami penurunan karena posisi utang yang

terus menurun.

3 Net Income Margin mencerminkan kemampuan korporasi

dalam menghasilkan laba 4 Interest coverage ratio menunjukkan kemampuan korporasi

melunasi biaya bunga

Tendensi

KawasanAsesmen

Tendensi

KawasanAsesmen

Tendensi

KawasanAsesmen

Tendensi

KawasanAsesmen

Pertumbuhan

Ekonomi

Perbaikan konsumsi RT,

pemerintah & investasi

Peningkatan konsumsi dan

investasi

Peningkatan konsumsi dan

investasi

Percepatan pertumbuhan

konsumsi dan investasi

Konsumsi RT Didorong oleh faktor persiapan

hari besar keagamaan, inflasi

yang rendah & perbaikan daya

beli sejalan dengan peningkatan

harga komoditas

Didorong oleh faktor persiapan hari

besar keagamaan, berlangsungnya

panen raya, inflasi yang terjaga &

perbaikan optimisme konsumen

Didorong oleh faktor

persiapan hari besar

keagamaan, inflasi yang

terjaga & perbaikan

pendapatan petani (tabama &

perkebunan)

Persiapan hari besar

keagamaan didukung oleh

keyakinan konsumen yang

membaik dan terjaganya

pendapatan lapangan usaha

utama

Konsumsi

Pemerintah

Akselerasi belanja pemerintah Adanya akselerasi belanja Pemda &

pengaruh base effect 2015 (realisasi

rendah pada Tw II 2015 karena

terkendala pengesahan APBD DKI

Jakarta)

Akselerasi belanja pemerintah Penyerapan anggaran yang

lebih baik khususnya dalam

realisasi bantuan pertanian dan

dana desa

Investasi

(PMTB)

Peningkatan belanja modal

pemerintah (infrastruktur) dan

swasta

Realisasi proyek infrastruktur

pemerintah dan perbaikan investasi

swasta (indikasi SKDU)

Realisasi proyek infrastruktur

pemerintah dan investasi

swasta meski investasi

pertambangan masih terbatas

Peningkatan aktivitas

pembangunan di sektor riil baik

dari sisi swasta (fiber optik,

penambahan kapasitas

smelter) maupun pemerintah

(jalan, pembangkit listrik,

bendungan).

Ekspor Perbaikan ekspor masih terbatas

didukung oleh batubara, minyak

bumi, dan karet

Perbaikan ekonomi negara mitra

dagang utama. Meningkatnya

ekspor antar daerah akibat panen

dan peningkatan permintaan

menjelang hari besar keagamaan.

Ekspor masih terbatas karena

produksi LNG yang menurun &

harga batubara rendah

namun, ekspor CPO sedikit

membaik

Perlambatan ekspor olahan

tambang seiring disinsentif

harga dan terbatasnya kuota

ekspor mineral.

Impor Ditopang peningkatan Impor

barang konsumsi

Peningkatan impor barang

konsumsi & barang modal, seiring

dengan perkiraan peningkatan

konsumsi RT dan investasi

Dipicu oleh masih terbatasnya

investasi, namun impor antar

daerah diperkirakan

meningkat

Penurunan kebutuhan bahan

baku tambang dan produk

olahannya.

SUMATERA JAWA KALIMANTAN TIMUR INDONESIA

Page 14: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

4

Sejalan dengan perlambatan kinerja sektor

korporasi, kinerja sektor rumah tangga juga

melambat. Hal ini tercermin dari penyaluran

kredit ke sektor rumah tangga yang melambat

dari 10,03% pada triwulan lalu menjadi 9,17%

pada triwulan laporan. Perlambatan terutama

terjadi Jawa dan Sumatera, sementara

Kalimantan cukup stabil dan KTI justru

meningkat. Lebih jauh, perlambatan terutama

terjadi pada kredit kendaraan bermotor di

berbagai wilayah. Meski demikian, masih

membaiknya kredit perumahan rakyat dan kredit

multiguna mampu menahan perlambatan lebih

dalam.

Membaiknya konsumsi rumah tangga pada

triwulan laporan disertai terjaganya risiko kredit

ke sektor rumah tangga. Hal ini tercermin dari

NPL gross yang masih dibawah 5%. Meski

demikian, NPL gross kredit perumahan di

Kalimantan yang mulai meningkat perlu

mendapat perhatian.

Kinerja sektor rumah tangga yang masih cukup

baik juga tercermin dari simpanan perseorangan

yang tumbuh meningkat. Di sisi lain,

perkembangan terkini menunjukkan kenaikan

pertumbuhan tabungan yang lebih akseleratif

dibandingkan deposito.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Rupiah

Sejalan dengan kondisi perekonomian, aktivitas

transaksi keuangan juga cenderung masih

terbatas. Nilai transaksi keuangan melalui sistem

Real Time Gross Settlement (RTGS) secara

nominal masih tumbuh negatif 7,41% pada

triwulan laporan atau senilai Rp26,7 triliun,

sedikit lebih baik dibanding periode akhir

triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif

15,82%. Demikian halnya dari sisi volume yang

menunjukkan transaksi pada sistem RTGS masih

terbatas yang terkontraksi sedikit lebih dalam

dari -48,20% menjadi -48,98% atau sekitar 1,43

juta transaksi.

Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, April 2016 (yoy)

Peningkatan aktivitas transaksi keuangan

terlihat pada kliring. Aktivitas kliring melalui

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)

pada triwulan I 2016 secara nominal tumbuh

51,58%, meningkat dibanding triwulan lalu yang

tumbuh 33,77%. Secara volume, transaksi melalui

sistem kliring juga tumbuh sedikit meningkat dari

8,13% menjadi 8,30%.

Sementara itu, peredaran uang kartal

menunjukkan peningkatan seiring meningkatnya

Konsumsi Rumah Tangga. Hal tersebut tercermin

dari peningkatan outflow uang kartal dari Bank

Indonesia pada triwulan I 2016 yaitu 12,10%

Page 15: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

5

(yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tumbuh 8,74% (yoy).

Perkembangan Inflasi

Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada

triwulan I 2016 secara agregat berada pada level

yang terjaga yakni sebesar 4,45%. Realisasi

inflasi di Sumatera merupakan yang tertinggi

yakni sebesar 5,71%, diikuti Kalimantan sebesar

5,07%, KTI 4,72% dan Jawa 3,93%. Terjaganya

inflasi sepanjang triwulan I 2016 tidak terlepas

dari adanya beberapa kebijakan penurunan harga

BBM, tarif angkutan dalam kota, dan tarif listrik

serta rendahnya tekanan inflasi pangan.

Kebijakan pemerintah untuk melakukan

penyesuaian harga LPG dan BBM berdampak

signifikan pada rendahnya inflasi sepanjang

triwulan I 2016. Penurunan harga BBM,

khususnya bahan bakar bersubsidi, kemudian

diikuti oleh kebijakan untuk menurunkan tarif

angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dan

angkutan dalam kota di sejumlah daerah. Selain

itu, penyesuaian tarif listrik pada bulan Febuari

dan Maret 2016 serta koreksi tarif angkutan

udara turut menyebabkan rendahnya inflasi di

berbagai daerah. Keseluruhan kebijakan ini

mengakibatkan kelompok administered price

mengalami deflasi secara berturut-turut

sepanjang triwulan I 2016.

Sementara itu, minimalnya tekanan kenaikan

inflasi pangan sepanjang triwulan I 2016

didukung oleh terjaganya pasokan dan

minimalnya gangguan distribusi. Penurunan

tekanan inflasi bersumber dari komoditas daging

ayam ras dan telur ayam ras seiring dengan

peningkatan pasokan Day Old Chicken (DOC),

setelah sebelumnya mencatatkan inflasi yang

cukup tinggi pada awal tahun. Kondisi serupa

juga terjadi pada komoditas beras yang

mengalami deflasi seiring dengan berlangsungnya

panen padi di beberapa sentra produksi. Secara

umum, kondisi pasokan pangan pada triwulan I

2016 relatif terjaga meskipun masih dibayangi

oleh dampak gangguan iklim El Nino. Upaya

Pemerintah dalam mengantisipasi peningkatan

harga komoditas pangan terkait lanjutan dampak

El Nino di 2016, diantaranya berupa dukungan

impor beras dan jagung untuk mendukung

kebutuhan peternakan memberikan dampak

positif bagi pencapaian inflasi.

Tekanan inflasi pada triwulan I 2016 berasal dari

peningkatan harga pangan. Peningkatan harga

pangan terutama terjadi pada komoditas

hortikultura yaitu bawang merah dan cabai

merah. Peningkatan harga terjadi sebagai

dampak berkurangnya pasokan kedua komoditas

tersebut seiring dengan masih terbatasnya panen

dan kendala produksi akibat intensitas hujan

yang tinggi. Beberapa daerah sentra bawang

merah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa

Timur mengalami kendala produksi akibat

tingginya intensitas hujan.

Memasuki awal triwulan II 2016, tekanan inflasi

di berbagai daerah berada pada level yang lebih

rendah dibanding bulan sebelumnya. Sebagian

besar daerah mengalami deflasi pada bulan April

2016 dengan deflasi terdalam terjadi di wilayah

Sumatera yakni 0,91%, kemudian diikuti oleh KTI

0,40%, Jawa 0,35% dan Kalimantan 0,24%.

Pencapaian ini ditopang oleh deflasi kelompok

administered prices dan bahan pangan. Deflasi

bahan pangan terutama bersumber dari

komoditas cabai merah, beras, ikan segar, daging

ayam ras, dan cabai rawit. Penurunan harga

beras dan cabai merah didukung oleh panen raya

yang mulai berlangsung. Namun, terdapat

beberapa daerah yang masih mencatatkan inflasi

yaitu Kalimantan Selatan, NTT dan Maluku Utara,

meskipun rendah. Inflasi pada daerah tersebut

disebabkan oleh komoditas makanan jadi

(Kalimantan Selatan), bawang merah (Maluku

Utara), daging ayam ras dan sayuran (NTT).

Pada triwulan II 2016 diperkirakan terjaga pada

level yang rendah, meskipun terdapat potensi

peningkatan tekanan inflasi seiring dengan

peningkatan permintaan menjelang Ramadhan

dan persiapan Lebaran. Secara tahunan, inflasi di

seluruh wilayah diperkirakan menurun

dibandingkan dengan triwulan I 2016. Penurunan

Page 16: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

6

prospek inflasi ditopang oleh penyesuaian harga

BBM dan dampak lanjutannya. Selain itu, kondisi

pasokan yang relatif terjaga ditengah

peningkatan permintaan menjelang hari besar

keagamaan turut mendukung pencapaian inflasi

yang lebih rendah. Meski demikian, tekanan

inflasi dari komoditas pangan khususnya bawang

merah, bawang putih dan minyak goreng dalam

jangka pendek perlu diwaspadai seiring dengan

keterbatasan pasokan dan peningkatan harga

CPO.

Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah

Prospek Ekonomi Daerah

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016

diprakirakan lebih baik dibanding 2015, meski

tidak seoptimis perkiraan sebelumnya.

Perbaikan perekonomian diprakirakan akan

ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jawa dan

Sumatera. Prospek perekonomian daerah tahun

2016 secara agregat mengindikasikan

perekonomian nasional tumbuh pada kisaran 5,0-

5,4%, sedikit lebih rendah dibandingkan

prakiraan sebelumnya yang sebesar 5,2-5,6%.

Prakiraan meningkatnya pertumbuhan ekonomi

Jawa ditopang oleh konsumsi masyarakat yang

semakin kuat yang mendorong meningkatnya

perdagangan antar daerah. Selain itu, akselerasi

penyerapan belanja pemerintah terutama terkait

pembangunan infrastruktur akan mendorong

perbaikan investasi dan usaha konstruksi.

Pemulihan ekonomi negara tujuan ekspor utama

juga diprakirakan akan mendorong ekspor luar

negeri serta kinerja Industri Pengolahan.

Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan

akan didukung akselerasi proyek infrastruktur

pemerintah. Beberapa proyek infrastruktur

berskala besar di Sumatera seperti pembangunan

jalan trans Sumatera, pembangkit listrik, dan

sarana penunjang kegiatan Asian Games 2018

diperkirakan dapat mendorong investasi dan

kinerja perekonomian secara keseluruhan. Selain

itu, meningkatnya produksi pertanian

diprakirakan akan diikuti perbaikan ekspor,

terutama komoditas SDA, meskipun masih

dibayangi risiko tekanan harga komoditas.

Di sisi lain, berbeda dengan prakiraan

sebelumnya, perkembangan indikator ekonomi

terkini mengindikasikan perekonomian

Kalimantan masih akan menghadapi tantangan

yang cukup berat. Kontraksi pertambangan

batubara masih menjadi penghambat kinerja

perekonomian secara keseluruhan seiring masih

rendahnya harga komoditas serta penurunan

target produksi batubara dibanding tahun lalu.

Meski demikian, produksi CPO dan beroperasinya

smelter alumina diprakirakan akan menopang

pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2016.

Sebagaimana Kalimantan, perekonomian KTI

pada 2016 juga diprakirakan tumbuh lebih

lambat yang disebabkan oleh kegiatan investasi

non bangunan dan ekspor pertambangan yang

tumbuh tidak sebaik tahun sebelumnya. Meski

demikian, pertumbuhan diprakirakan tetap

tercatat tinggi ditopang konsumsi yang masih

kuat seiring prospek peningkatan pendapatan

pada usaha jasa dan perdagangan.

Prospek inflasi di berbagai daerah untuk

keseluruhan tahun 2016 diperkirakan terkendali

dalam kisaran sasaran inflasi sebesar 4%±1%.

Perkiraan masih terbatasnya kenaikan harga

komoditas global serta masih rendahnya harga

minyak dunia berdampak pada minimnya

tekanan inflasi dari faktor eksternal. Selain itu,

meskipun permintaan domestik diperkirakan

akan tumbuh lebih baik pada 2016, namun

tekanan inflasi dari sisi permintaan domestik

diperkirakan masih minim seiring dengan masih

terbatasnya ekspektasi perbaikan ekonomi dari

pelaku ekonomi domestik.

Risiko inflasi di daerah pada 2016 diperkirakan

berasal dari kelompok bahan pangan.

Pencapaian inflasi bahan pangan diberbagai

wilayah sepanjang Januari hingga April 2016

masih berada diatas target roadmap

pengendalian inflasi. Selain itu, terdapat potensi

risiko gangguan produksi pada beberapa jenis

Page 17: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

7

komoditas pangan antara lain cabai merah dan

bawang merah akibat fenomena La Nina yang

diperkirakan akan berlangsung pada paruh kedua

2016 perlu mendapatkan perhatian. Di sisi lain,

berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah

untuk mengantisipasi dampak La Nina (a.l

pemberian bantuan pompa, pembuatan sumur

dangkal dan bibit unggul) dan normalisasi harga

berbagai komoditas pangan (a.l terkait impor

beras dan daging sapi) diperkirakan akan mampu

meminimalisir peningkatan tekanan inflasi.

Sementara, upaya pemerintah terkait

pembangunan infrastruktur penunjang produksi

pangan seperti bendungan, waduk, dan irigasi

yang telah dilakukan sejak 2015 diperkirakan

belum akan berdampak besar pada peningkatan

produksi pangan dalam jangka pendek, karena

berbagai infrastruktur tersebut masih

membutuhkan dukungan penyediaan

infrastruktur penunjang seperti irigasi teknis, dll.

Faktor risiko inflasi lainnya adalah rencana

pemerintah terkait kebijakan mengalihkan

pelanggan listrik daya 900VA yang selama ini

disubsidi secara bertahap pada bulan Juni,

Agustus, Oktober dan Desember 2016 .

Secara keseluruhan, inflasi 2016 diperkirakan

masih dalam kisaran target yang ditetapkan.

Kondisi ini terkait dengan masih rendahnya harga

minyak global yang kemudian mempengaruhi

penurunan tarif listrik dan harga BBM.

Upaya untuk menjaga stabilitas harga menjadi

fondasi dalam mewujudkan stabilitas makro.

Oleh karena itu, koordinasi pengendalian inflasi

yang ditempuh BI bersama dengan pemerintah

baik di tingkat pusat maupun daerah akan terus

diperkuat. Berbagai pembenahan struktural terus

diupayakan melalui implementasi dan

internalisasi roadmap pengendalian inflasi,

khususnya di tingkat daerah. Upaya pengendalian

inflasi difokuskan pada upaya menjaga

ketersediaan dan keterjangkauan pasokan

pangan, kelancaran distribusi, dan pengelolaan

ekspektasi masyarakat melalui komunikasi yang

intensif. Upaya tersebut diatas juga didukung

oleh kebijakan pemerintah untuk memperkuat

kapasitas produksi dan pengelolaan pasokan

pangan domestik disertai upaya pembenahan

distribusi barang.

Tantangan Ke Depan

Pemulihan ekonomi di 2016 masih akan

menghadapi tantangan karena terbatasnya

perbaikan ekonomi global serta kinerja fiskal

dan optimisme sektor swasta terhadap prospek

pemulihan perekonomian yang masih terbatas.

Perbaikan ekonomi negara tujuan ekspor utama

yang masih belum solid di tengah belum

signifikannya perbaikan harga komoditas global,

berdampak pada terbatasnya perbaikan kinerja

ekonomi daerah. Perbaikan ekonomi yang

terbatas terutama terjadi pada daerah yang

mengandalkan ekspor komoditas primer (SDA)

antara lain beberapa daerah di Kalimantan,

Sumatera, dan sebagian KTI. Hal ini selanjutnya

berdampak pada melemahnya kinerja korporasi

di daerah-daerah tersebut karena turunnya

pendapatan usaha, khususnya yang bersumber

dari ekspor. Pada gilirannya kondisi ini berimbas

pada daya beli masyarakat di tengah optimisme

masyarakat terhadap perekonomian yang belum

pulih sepenuhnya, serta berdampak juga pada

turunnya pendapatan fiskal daerah.

Di sisi lain, peningkatan transfer ke daerah secara

signifikan pada 2016 memberikan peluang

sekaligus juga merupakan tantangan bagi daerah.

Alokasi dana transfer daerah, termasuk dana

desa, pada APBN 2016 mencapai Rp770,2 triliun

atau meningkat 15,9% dari APBN-P 2015

sehingga memberikan peluang bagi daerah untuk

turut berperan lebih besar dalam mendorong

percepatan pembangunan ekonomi. Sementara

itu, PMK No. 235/PMK.07/2015 tentang Konversi

Penyaluran DBH/DAU dalam Bentuk Non Tunai

telah diterapkan. Hingga akhir triwulan laporan, 6

daerah dikenai konversi SBN karena memiliki

saldo kas daerah di perbankan yang lebih besar

dari jumlah yang dianggap wajar, sementara 144

daerah dikenai sanksi penundaan pencairan DAU

karena tidak menyampaikan laporan keuangan

bulanan sebagaimana yang diwajibkan dalam

Page 18: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

8

PMK di atas. Namun, pada tahap kedua

pengenaan sanksi penundaan pencairan DAU

(April 2016), jumlah daerah yang dikenai sanksi

jauh berkurang menjadi hanya 50 daerah. Hal

tersebut mengindikasikan komitmen pemerintah

daerah untuk terus meningkatkan kepatuhan dan

kinerja pengelolaan keuangan yang lebih baik.

Peningkatan efektivitas dan optimalisasi

penyerapan belanja anggaran pemerintah ini

sangat penting dalam menstimulasi

perekonomian di sepanjang tahun 2016.

Dari sisi inflasi, terdapat beberapa tantangan

dalam upaya pencapaian inflasi yang stabil dan

rendah. Tantangan tersebut antara lain terkait

dengan fluktuasi inflasi komoditas bahan pangan

yang masih terjadi di berbagai wilayah dan

beberapa permasalahan yang bersifat struktural.

Beberapa persoalan struktural tersebut antara

lain terkait dengan keterbatasan kapasitas

produksi pangan, inefisiensi struktur pasar, dan

belum memadainya dukungan infrastruktur

logistik dalam menjamin kelancaran distribusi

pangan. Berbagai persoalan struktural ini

menyebabkan tingginya ketergantungan produksi

pangan terhadap faktor iklim dan cuaca,

inefisiensi pembentukan harga di pasar yang

ditandai dengan disparitas harga antara produsen

dan konsumen maupun antar wilayah yang cukup

lebar.

Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut,

strategi kebijakan yang terintegrasi dan

koordinasi yang intensif antara pusat-daerah

perlu secara konsisten dilakukan dan diperkuat.

Langkah koordinasi diarahkan pada upaya untuk

mempercepat implementasi pembangunan

berbagai infrastruktur utama yang mampu

menjadi akselerator bagi kinerja perekonomian

daerah di tahun 2016. Pentingnya pembangunan

infrastruktur dituangkan secara lebih mendetail

dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2016

yang mengambil tema besar percepatan

pembangunan infrastruktur. Secara khusus,

pengembangan perkotaan menjadi salah satu

unsur dalam prioritas dan sasaran pembangunan

terkait dengan dimensi pemerataan dan

kewilayahan yaitu terkait upaya mengurangi

kemiskinan dan kesenjangan antar wilayah. Peran

daerah perkotaan yang strategis dalam

menopang dan memberikan umpan balik bagi

akselerasi perekonomian daerah membutuhkan

daya dukung yang mencukupi baik secara kualitas

maupun kuantitas, salah satunya melalui

pemenuhan infrastruktur dasar perkotaan.

Daya dukung kota dari berbagai dimensi (a.l SDM,

ekonomi, teknologi, infrastruktur, lingkungan,

tata kelola) yang mencukupi akan menjamin daya

saing perkotaan, sehingga daerah perkotaan

mampu memberikan kontribusi yang produktif

bagi masyarakat dan perekonomian secara

keseluruhan. Perkembangan daerah perkotaan

yang saat ini berlangsung di berbagai daerah

sebagai bagian dari proses urbanisasi, perlu

diperkuat oleh dasar/konsep pengembangan

perkotaan yang jelas dan terarah. Hal ini

diperlukan agar pengembangan perkotaan dapat

berlangsung secara terintegrasi dan memberikan

dukungan produktif bagi wilayah disekitarnya

(perkotaan-pedesaan) serta dapat meminimalisir

berbagai dampak negatif perkotaan yang

mungkin timbul. (Lihat Isu Khusus Mendorong

Peningkatan Daya Saing Kawasan Perkotaan

sebagai Penggerak Ekonomi Regional).

Page 19: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Bunga Padma Raksasa (Rafflesia Arnoldii)Merupakan Puspa Langka Berasal Dari Provinsi Bengkulu, Sumatera.

Page 20: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Perekonomian Sumatera

Bagian

II

Page 21: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

9

Bagian II

Perekonomian Sumatera Perekonomian Sumatera triwulan I 2016 tumbuh 4,18%, lebih rendah dibanding triwulan IV 2015

yang sebesar 4,56%. Pertumbuhan yang lebih rendah tersebut dipengaruhi oleh rendahnya konsumsi

pemerintah di awal tahun serta kinerja ekspor yang masih tumbuh negatif. Adanya pergeseran

musim panen menyebabkan kinerja lapangan usaha pertanian dan industri tidak setinggi triwulan

sebelumnya. Meski demikian, masih kuatnya konsumsi rumah tangga dapat menahan perlambatan

ekonomi lebih lanjut. Perkembangan terkini mengindikasikan perekonomian Sumatera pada

triwulan II 2016 dapat tumbuh lebih tinggi dengan ditopang oleh menguatnya konsumsi rumah

tangga dan meningkatnya penyerapan fiskal daerah serta peningkatan kinerja investasi. Perbaikan

ekonomi diperkirakan berlanjut hingga akhir 2016 didukung realisasi berbagai pembangunan

infrastruktur berskala besar sehingga, secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian Sumatera

diperkirakan tumbuh membaik dibanding periode tahun 2015, yakni di kisaran 4,2%-4,7%.

Tekanan inflasi di Sumatera pada triwulan I 2016 tercatat cukup tinggi yang didorong peningkatan

harga beberapa komoditas pangan terkait pergeseran masa tanam. Pada triwulan II 2016, tekanan

inflasi diperkirakan sedikit meningkat akibat naiknya permintaan dan indikasi adanya kendala

produksi pangan karena faktor iklim serta masih besarnya risiko gangguan distribusi karena logistik

yang belum optimal. Meski demikian, melalui dukungan koordinasi yang erat dalam TPID, inflasi

2016 diperkirakan dapat tetap berada pada rentang sasaran inflasi nasional 4%+ 1%.

Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.1. Survei Konsumen dan Perkiraan Konsumsi RT

Pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera di

triwulan I 2016 tercatat lebih rendah dibanding

triwulan IV 2015. Pada periode laporan, ekonomi

Sumatera tumbuh 4,18% (yoy), lebih rendah dari

pertumbuhan triwulan IV 2015 yang sebesar

4,56% (yoy). Perlambatan ekonomi di Sumatera

terutama terjadi di provinsi Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Lampung,

dan Kep. Bangka Belitung (Tabel II.1).

Perlambatan di Sumatera Utara, Riau, dan

Sumatera Barat sangat dipengaruhi oleh

penurunan kinerja CPO dan tabama. Sementara

itu, perlambatan di Kep. Riau sangat dipengaruhi

oleh penurunan kinerja industri pengolahan dan

konstruksi. Penurunan permintaan komoditas

timah membuat perlambatan ekonomi di Kep.

Bangka Belitung.

Tabel II.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera

(% year-on-year)

Sumber: BPS

I I I I I I IV I

PDRB (% YoY) 3.47 2.98 3.13 4.56 3.54 4.18

Provinsi Aceh (1.93) (2.09) (0.29) 1.42 (0.72) 3.66

Provinsi Sumut 4.84 5.13 5.09 5.32 5.10 5.02

Provinsi Sumbar 5.50 5.48 4.93 5.74 5.41 5.48

Provinsi Riau (0.01) (2.13) (1.38) 4.45 0.22 2.34

Provinsi Jambi 5.00 4.33 4.38 3.18 4.21 3.42

Provinsi Kep. Riau 6.83 6.70 5.40 5.20 6.02 4.58

Provinsi Sumsel 4.58 4.71 4.75 3.94 4.50 4.94

Provinsi Bengkulu 5.29 5.24 5.18 4.86 5.14 4.99

Provinsi Lampung 4.91 5.06 5.22 5.33 5.13 5.05

Provinsi Kep. Bangka Belitung 4.10 3.97 3.97 4.28 4.08 3.30

Indikator Makroekonomi

Daerah2015

20162015

Page 22: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

10

Dari sisi pengeluaran, melambatnya

pertumbuhan ekonomi Sumatera dipengaruhi

oleh rendahnya kinerja konsumsi pemerintah dan

masih terbatasnya ekspor di tengah investasi

yang masih tumbuh terbatas. Meski demikian,

pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lebih

tinggi dari capaian triwulan sebelumnya mampu

menahan perlambatan lebih dalam.

Kinerja konsumsi rumah tangga triwulan I 2016

tumbuh lebih tinggi dari triwulan IV 2015, yakni

dari 4,49% menjadi tumbuh 5,24%. Hal ini

sejalan dengan meningkatnya Indeks Keyakinan

Konsumen (IKK) Sumatera di triwulan laporan,

yakni dari 96,04 menjadi 109,11. (Grafik II.1).

Selain itu, peningkatan UMP yang cukup besar di

beberapa daerah pada awal tahun 2016 turut

mendukung menguatnya konsumsi rumah

tangga. Peningkatan konsumsi juga terkonfirmasi

oleh hasil survei penjualan eceran (Grafik II.2)

dan peningkatan impor barang konsumsi (Grafik

II.3).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.2. Survei Penjualan Eceran

Sumber: Bea cukai

Grafik II.3. Impor Barang konsumsi

Di sisi lain, konsumsi pemerintah yang tumbuh

sangat rendah dipengaruhi oleh pola

pengeluaran APBD di awal tahun yang

cenderung rendah. Masa transisi pasca Pilkada

Desember 2015 di beberapa daerah

diperkirakan turut berdampak pada penetapan

dan juga penyerapan APBD. Hal ini ditunjukkan

dari pertumbuhan konsumsi pemerintah triwulan

I 2016 yang sebesar 0,76% (yoy), jauh lebih

rendah dari triwulan IV 2015 sebesar 7,39% (yoy)

maupun triwulan I 2015 sebesar 2,72% (yoy).

Secara rata-rata, realisasi APBD wilayah Sumatera

pada triwulan laporan sebesar 8,30%. Agregasi

APBD provinsi di Sumatera tahun 2016 sebesar

Rp196,8 triliun, turun dibandingkan APBD tahun

2015 yang berjumlah Rp226,3 triliun.

Investasi di triwulan I 2016 tumbuh relatif tinggi

5,48% (yoy) meski lebih rendah dibandingkan

triwulan sebelumnya 5,68% (yoy). Relatif

tingginya pertumbuhan investasi terutama

didorong oleh pertumbuhan investasi non-

bangunan di Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Riau, Sumatera Selatan, dan Kep. Bangka

Belitung. Sementara melambatnya investasi

pemerintah ditengarai dipengaruhi oleh belum

optimalnya belanja infrastruktur pemerintah

yang masih pada tahap awal. Hingga triwulan I

2016 realisasi belanja infrastruktur pemerintah

masih pada kisaran 0-18%.

Ekonomi Sumatera triwulan II 2016 diperkirakan

tumbuh lebih tinggi yakni sebesar 4,45% (yoy).

Pertumbuhan ekonomi triwulan tersebut

diperkirakan didorong oleh semakin

meningkatnya kinerja konsumsi pemerintah dan

investasi bersamaan dengan konsumsi rumah

tangga yang tetap kuat. Perkiraan realisasi

belanja pemerintah pada triwulan II serta

selesainya proses konsolidasi pasca Pilkada

Desember 2015 diperkirakan akan mendorong

ekonomi Sumatera tumbuh lebih tinggi. Rencana

realisasi pembayaran gaji PNS ke-14 dan

pencairan dana desa diperkirakan berdampak

positif bagi peningkatan kinerja ekonomi

Sumatera. Investasi swasta diperkirakan

meningkat sejalan dengan optimisme sektor

swasta terhadap prospek ekonomi kawasan yang

terindikasi oleh perkembangan pembangunan

Page 23: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

11

pabrik kertas di Sumatera, pembangunan

pelabuhan multipurposes Kuala Tanjung, serta

investasi baru di sejumlah kawasan tambang.

Konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap kuat

seiring dengan daya beli yang membaik dan

stabilnya kondisi makroekonomi. Di sisi lain,

konsumsi yang tinggi akan mendorong impor

lebih tinggi meski belum akan disertai perbaikan

kinerja ekspor secara signifikan karena prospek

masih rendahnya harga komoditas dan

permintaan eksternal. Akibatnya, net ekspor

diperkirakan terkontraksi lebih dalam dan

berpotensi menahan perbaikan ekonomi

Sumatera lebih lanjut.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.4. Likert Scale Pertanian

Menurunnya kinerja pertanian menjadi sumber

perlambatan ekonomi Sumatera pada triwulan I

2016. Berakhirnya masa panen kelapa sawit

menyebabkan penurunan hasil sawit di hampir

semua provinsi penghasil. Selain itu, tingginya

curah hujan serta dampak kabut asap pada akhir

tahun 2015 membuat produktivitas tanaman

kelapa sawit menurun. Selain perkebunan,

tanaman bahan makanan (tabama) juga

mengalami penurunan produksi akibat banjir,

gagal panen, dan pergeseran waktu panen di

beberapa daerah. Sebagai contoh, produksi

tabama di Sumatera Barat menurun akibat

bencana banjir dan gagal panen, sementara

produksi tabama di Lampung menurun akibat

adanya pergeseran musim panen. Kondisi yang

sama juga diperkirakan terjadi pada komoditas

karet karena faktor harga yang belum

menunjukkan perbaikan signifikan. Penurunan

hasil pertanian juga dikonfirmasi oleh pelaku

usaha melalui liaison (Grafik II.4).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.5. SKDU Pertanian

Kinerja pertanian diperkirakan mengalami

perbaikan pada triwulan II 2016 sejalan dengan

intensifnya upaya mendorong produksi pangan.

Optimisme ini terlihat dari indikasi optimisme

pelaku usaha pertanian hingga April 2016

berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha

(SKDU) (Grafik II.5). Hasil tabama berpeluang

meningkat sejalan dengan pelaksanaan program-

program ketahanan pangan di sejumlah provinsi

pada 2015 dan 2016. Beberapa program

dimaksud juga mencakup penambahan lahan

pertanian padi dan pemberian bantuan peralatan

pertanian.

Sumber: Bloomberg

Grafik II.6. Harga CPO Internasional

Optimisme juga terjadi pada sub sektor

perkebunan seiring dengan prospek perbaikan

harga komoditas pertanian. Harga CPO pada

bulan April 2016 tercatat meningkat sebesar

14,0% (yoy) (Grafik II.6). Berdasarkan hasil liaison,

Page 24: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

12

perbaikan harga ini sudah dirasakan di level

petani. Sementara itu, harga karet juga membaik

meski masih mengalami kontraksi 2,4% (yoy).

Prediksi membaiknya kinerja sektor pertanian

juga didukung masih relatif tingginya kredit

sektor pertanian. Kredit sektor pertanian pada

triwulan I 2016 tumbuh 19,63% (yoy), terutama

ditopang oleh peningkatan penyaluran kepada

subsektor perkebunan kelapa sawit. (Grafik II.7).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.7. Kredit Pertanian

Pertambangan

Di tengah harga komoditas yang masih

cenderung rendah, kinerja lapangan usaha

pertambangan tercatat membaik dibanding

triwulan sebelumnya, meski masih berada pada

zona negatif. Kinerja pertambangan masih

tumbuh negatif 0,69% (yoy), lebih baik dibanding

kontraksi triwulan sebelumnya sebesar 3,83%

(yoy). Perbaikan ditopang oleh produksi migas

yang sedikit meningkat di Riau. Selain itu,

peningkatan eksplorasi gas di Jambi serta

kenaikan produksi batu bara Sumatera Selatan

mendukung perbaikan kinerja sektor

pertambangan. Peningkatan produksi batu bara

di Sumatera Selatan terjadi seiring dengan

beroperasinya infrastruktur pendukung, seperti

rel kereta api, tempat penampung, dan beberapa

PLTU yang menggunakan energi batu bara.

Sektor pertambangan diperkirakan masih

mencatatkan kontraksi pada triwulan II karena

perkembangan harga komoditas yang masih

rendah. Kontraksi diperkirakan masih terus

terjadi pada komoditas migas selaras dengan

prospek harga migas yang masih menurun.

Produksi pertambangan nonmigas juga

diperkirakan menurun sejalan dengan masih

terbatasnya permintaan komoditas

pertambangan. Produksi batubara di Sumatera

Selatan diperkirakan akan relatif stabil.

Sementara produksi timah diperkirakan masih

rendah akibat minimnya permintaan, di tengah

harga yang sudah mulai membaik (Grafik II.8).

Sumber: Bloomberg

Grafik II.8. Harga Timah

Industri Pengolahan

Kinerja usaha industri pengolahan melambat,

sejalan dengan penurunan produksi pertanian

dan permintaan ekspor yang masih rendah.

Pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan

I 2016 tercatat 4,66% (yoy), lebih rendah dari

triwulan sebelumnya sebesar 5,76% (yoy).

Lemahnya kinerja industri pengolahan juga

tercermin dari hasil liaison yang menunjukkan

penurunan penjualan ekspor maupun domestik

dan penurunan kapasitas utilisasi industri (Grafik

II.9).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.9. Likert Scale Industri Pengolahan

Page 25: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

13

Kinerja industri pengolahan diperkirakan

mengalami perbaikan pada triwulan II 2016. Hal

ini sejalan dengan perkiraan membaiknya hasil

pertanian. Optimisme tersebut terkonfirmasi dari

hasil SKDU yang menyatakan adanya peningkatan

lapangan usaha industri pengolahan di triwulan II

2016 (Grafik II.10). Hal serupa juga ditunjukan

oleh hasil liaison bahwa penjualan, baik domestik

maupun ekspor, juga tercatat mengalami

perbaikan walaupun masih terbatas.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.10. SKDU Industri Pengolahan

Perdagangan

Kinerja perdagangan menguat pada triwulan I

2016 sejalan dengan menguatnya konsumsi

rumah tangga. Sektor perdagangan tumbuh

4,92% (yoy), meningkat dibanding pertumbuhan

triwulan sebelumnya yang sebesar 4,86% (yoy).

Peningkatan daya beli akibat penguatan rupiah,

terjaganya inflasi, dan optimisme terhadap

prospek perekonomian ke depan mendukung

peningkatan aktivitas perdagangan. Peningkatan

aktivitas sektor perdagangan terkonfirmasi oleh

meningkatnya penjualan eceran yang terindikasi

dari hasil Survei Penjualan Eceran (SPE).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.11. SKDU Perdagangan

Meningkatnya kinerja perdagangan diperkirakan

berlanjut di triwulan mendatang. Peningkatan

tersebut terindikasi dari keyakinan masyarakat

maupun pelaku usaha. Bulan puasa pada Juni

2016 diperkirakan menjadi puncak belanja

konsumsi masyarakat. Selain itu, adanya gaji ke-

14 diperkirakan akan mendorong peningkatan

konsumsi. Searah dengan itu, pelaku usaha

berkeyakinan bahwa pada triwulan II 2016 akan

terjadi peningkatan perdagangan seperti

terindikasi dari indeks perdagangan pada SKDU

(Grafik II.11).

Konstruksi

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia

Grafik II.12. Penjualan Semen Sumatera

Kinerja konstruksi relatif stabil pada triwulan I

2016 yakni tumbuh sebesar 5,63% (yoy). Capaian

ini tidak berbeda jauh dengan triwulan IV 2015

yang tumbuh 5,62% (yoy). Realisasi proyek

infrastruktur yang telah dilakukan sejak triwulan

lalu diperkirakan menjadi faktor penyebab

tumbuhnya lapangan usaha konstruksi.

Berdasarkan hasil SKDU, terdapat sedikit

peningkatan pada realisasi kegiatan usaha sektor

bangunan pada triwulan laporan. Indikasi

tersebut tercermin oleh peningkatan konsumsi

semen Sumatera yang tercatat tumbuh tinggi

10,97% (yoy) (Grafik II.12).

Page 26: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

14

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.13. SKDU Konstruksi

Ke depan, usaha konstruksi diperkirakan terus

menguat sejalan dengan semakin besarnya

realisasi konsumsi pemerintah. Meningkatnya

kinerja konstruksi sejalan dengan proyeksi

kenaikan investasi pemerintah dan swasta.

Pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan

mencapai 7,37% (yoy). Kondisi ini juga

ditunjukkan dari hasil survei SKDU kepada

perusahaan konstruksi yang menyatakan bahwa

proyeksi konstruksi triwulan II semakin baik

dibanding triwulan sebelumnya. (Grafik II.13)

Fiskal Daerah

Penyerapan fiskal daerah yang cenderung

rendah di awal tahun 2016 berdampak pada

terbatasnya dukungan fiskal dalam

mengakselerasi pertumbuhan ekonomi

Sumatera. Realisasi anggaran pemerintah daerah

di wilayah Sumatera baru sebesar 8,30% dari

target penyerapan anggaran triwulan I 2016 yang

sebesar 20,26% (Grafik II.14). Rendahnya realisasi

penyerapan anggaran terjadi terutama akibat

dari rendahnya serapan anggaran belanja fisik

yang baru mencapai 7,40% dari target realisasi

sebesar 16,88%.

Faktor utama rendahnya serapan belanja fisik

daerah adalah progres sejumlah proyek

infrastruktur Sumatera yang masih berada dalam

tahap pembebasan/pengadaan lahan. Beberapa

proyek infrastruktur multiyears tersebut antara

lain pembangunan jalan tol intra provinsi dan

trans Sumatera, pembangunan/pengembangan

jalur kereta api, dan pengembangan angkutan

massal terintegrasi di beberapa provinsi.

Sumber: Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran

Grafik II. 14. Realisasi APBD Sumatera Triwulan I 2016

Meski demikian, beberapa proyek lainnya telah

berjalan di atas target seperti pengembangan

jalur kereta api Spoor Simpang Pertanian-Sei

Mangke di Sumatera Utara, double track Airport

Railing Services di Sumatera Utara, Trans Kutaraja

di Aceh, serta bandara Pekon Serai di Lampung.

Di samping itu, secara agregat APBD Sumatera

tahun 2016 mengalami penurunan menjadi

sebesar Rp196,8 triliun dibandingkan APBD tahun

2015 yang berjumlah Rp226,3 triliun. Penurunan

terjadi pada komponen belanja rutin, sementara

anggaran belanja modal meningkat 3,39%. Hal ini

antara lain disebabkan oleh menurunnya

pendapatan daerah karena rendahnya harga

komoditas ekspor terutama perkebunan.

Perkembangan Inflasi

Hingga triwulan I 2016, laju inflasi Sumatera

mengalami tren meningkat. Pada triwulan I 2016,

inflasi Sumatera meningkat dari triwulan

sebelumnya yang sebesar 3,05% (yoy) menjadi

5,71% (yoy). Capaian tersebut juga tercatat lebih

tinggi dibandingkan dengan inflasi Nasional

sebesar 4,45% (yoy).

Inflasi Sumatera pada bulan Februari 2016 dan

Maret 2016 masing-masing sebesar 0,01% (mtm)

dan 0,44% (mtm) lebih tinggi dibandingkan rata-

rata historisnya. Peningkatan laju inflasi terutama

didorong peningkatan laju inflasi pada komoditas

hortikultura, khususnya cabai merah, beras,

bawang merah, dan bawang putih, seiring

dengan adanya gangguan cuaca, banjir, serta

pergeseran masa tanam akibat el nino di wilayah-

wilayah pemasok di Sumatera dan Jawa.

Page 27: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

15

Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi

permintaan relatif berkurang akibat terjaganya

ekspektasi inflasi dan stabilnya nilai tukar. Namun

demikian, terdapat tekanan dari meningkatnya

harga emas internasional kepada kelompok

sandang khususnya komoditas emas perhiasan.

Penurunan harga bahan bakar juga telah

berpengaruh terhadap tarif angkutan. Selain itu,

berbagai kebijakan telah membuat komoditas

tarif listrik, serta tarif angkutan udara menurun.

Kebijakan lain jug dapat mendorong inflasi

terutama terkait komoditas rokok kretek dan

rokok kretek filter.

Secara spasial, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi

Sumatera Utara dan Sumatera Barat dengan

masing-masing sebesar 7,16% (yoy) dan 6,62%

(yoy). Sebaliknya, inflasi terendah terjadi di

provinsi Aceh dan Riau yang masing-masing

tercatat sebesar 3,55% (yoy) dan 4,42% (yoy).

Grafik II.15. Proyeksi Inflasi Triwulan II 2016

Pada bulan April 2016, Sumatera mengalami

deflasi 0,91% (mtm). Dengan capaian tersebut,

inflasi Sumatera pada triwulan II 2016

diperkirakan berada pada posisi lebih rendah

yakni pada kisaran 4,16% (Grafik II.15).

Penurunan laju inflasi diperkirakan akan

bersumber dari dampak lanjutan penurunan

harga BBM, tarif angkutan, dan tarif listrik kepada

biaya distribusi. Selain itu, membaiknya pasokan

sejalan masuknya musim panen akan membuat

inflasi bahan pangan di triwulan II terjaga.

Dalam rangka menjaga fluktuasi inflasi di

kawasan Sumatera, Tim Pengendalian Inflasi

Daerah (TPID) di Sumatera secara konsisten

melaksanakan beberapa kegiatan unggulan

daerah, antara lain:

a. Mengupayakan optimalisasi dan

pengembangan toko tani dan eks-terminal agro

bisnis untuk mengurangi jalur distribusi

komoditas pangan utama serta

mengembangkan sistem resi gudang di

beberapa kota, seperti di Lampung.

b. Pengembangan lahan-lahan pertanian baru

daerah-daerah yang potensial untuk

penanaman padi, seperti di Natuna, Lingga,

serta pemanfaatan lahan-lahan eks-

pertambangan.

c. Melaksanakan operasi cabai terkait dengan

aktivitas panen cabai merah di Kab. Karo serta

selanjutnya Bulog akan bekerjasama dengan

anak perusahaannya untuk membantu

distribusi cabai merah serta mengupayakan

harga referensi daerah.

d. Memfasilitasi pertemuan petani dengan PTPN

IV untuk menyukseskan program pemberian

modal dengan bunga ringan di Sumatera Utara.

e. Pembentukan Klaster Cabai Merah, Bawang

Merah dan Hortikultura serta pengadaan

kebutuhan pangan mengantisipasi puasa dan

lebaran, serta penghapusan retribusi di Tempat

Pelelangan Ikan (TPI) di Bangka Belitung

f. Peresmian Gedung Pengendalian Inflasi di

Sumatera Barat yang berfungsi sebagai

terminal agrobisnis dalam rangka

menyeimbangkan permintaan-penawaran dan

stabilisasi harga komoditas pangan utama di

Sumatera Barat;

g. Diversifikasi pangan dan konsumsi produk lokal

di Bengkulu. TPID Bengkulu menghimbau

kepada pemda, perusahaan, para stakeholders

dan masyarakat setempat untuk

mengkonsumsi produk-produk hasil lokal,

seperti makanan, pakaian, dsb. Di samping itu,

TPID Bengkulu juga menghimbau masyarakat

untuk sarapan dengan pisang sebagai

komoditas utama Provinsi Bengkulu;

Page 28: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

16

h. Pembentukan klaster cabai dan padi di Jambi.

Selain kegiatan tersebut, beberapa provinsi telah

mengadakan kerjasama antar daerah dalam

rangka menjaga pasokan serta menstabilkan

harga. Adapun bentuk-bentuk kerjasama antara

daerah yang ada di Sumatera antara lain:

a. Kerjasama dalam pengendalian pasokan cabai

merah di Kabupaten Batubara dan Kabupaten

Simalungun, Provinsi Sumatera Utara;

b. Rapat koordinasi pembahasan draft

Memorandum of Understanding (MoU) kerja

sama antar daerah di Kota Padang dan Kota

Solok, Provinsi Sumatera Barat;

c. Rapat koordinasi pertukaran informasi bahan

pangan di Pulau Bintan dan Kota Tanjung

Pinang, Provinsi Kepulauan Riau;

d. Pengadaan kegiatan temu usaha pengusaha

cabai merah di Palembang dan Kabupaten

Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan

e. Kerjasama penyediaan bahan pangan antara

Provinsi Lampung dengan Provinsi DKI Jakarta.

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko

Di tengah menurunnya kinerja korporasi,

stabilitas keuangan masih terjaga. Secara umum,

kinerja korporasi di Sumatera terkena imbas

dinamika perkembangan ekonomi global dan

domestik. Hal ini terkonfirmasi oleh menurunnya

kinerja sektor korporasi utama di Sumatera,

seperti pertambangan, pertanian, dan industri

pengolahan. Meski demikian, ketahanan sektor

korporasi dan sektor keuangan masih terjaga.

Tabel II.2. Indikator Kunci Kinerja Keuangan Korporasi Sumatera

Sumber: Bloomberg Tw IV 2014 dan 2015, (diolah dari 12

korporasi Tbk di pulau Sumatera)

Hasil liaison Bank Indonesia mengindikasikan

penjualan perusahaan masih mengalami

penurunan pada triwulan I 2016 yang ditandai

dengan likert yang bernilai negatif, terutama

terjadi pada penjualan ekspor. Hal yang sama

ditunjukkan oleh indikator asset turnover5

yang

turun dari 0,58 menjadi 0,57 (Tabel II.2).

Sumber: Bloomberg 2008-2015, (diolah dari 12 korporasi Tbk

di Sumatera)

Grafik II.16. Indikator Profitabilitas Korporasi Sumatera

Lebih lanjut, Likert Scale dan indeks SKDU

kapasitas utilisasi juga mengalami penurunan,

terutama untuk kapasitas utilisasi kegiatan

industri dan pertanian. Perkembangan tersebut

juga menyebabkan profitabilitas perusahaan

menurun (Grafik II.16).

5Indikator ini mencerminkan rasio penjualan terhadap total

aset yang menunjukkan tingkat produktivitas dari sisi kemampuan korporasi dalam menggunakan asetnya untuk menghasilkan penjualan.

2014 2015 2014 2015 2014 2015

AGRI 5.70 1.02 11.68 2.06 1.08 0.96

IND 2.17 3.62 5.84 9.32 1.58 1.57

MINE 4.78 (0.71) 10.90 (1.83) 1.41 1.73

TOTAL 4.26 1.54 9.77 3.59 1.30 1.36

SektorROA ROE DER

2014 2015 2014 2015 2014 2015

AGRI 0.82 1.02 1.93 2.04 0.77 0.78

IND 1.52 1.48 1.63 1.64 0.38 0.43

MINE 1.80 1.81 1.71 1.58 0.54 0.47

TOTAL 1.21 1.41 1.77 1.74 0.59 0.58

SektorCR SR Asset TO

2014 2015 2014 2015 2014

AGRI 4.92 7.95 4.70 (11.83) 5.24

IND 6.34 6.29 16.74 14.12 2.74

MINE 5.17 (17.25) 15.95 (12.80) 2.47

TOTAL 5.31 2.04 9.89 (5.86) 3.78

SektorProfit Margin Sales ICR

Page 29: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

17

Sumber: Bloomberg 2008-2015, (diolah dari 12 korporasi Tbk

di Sumatera)

Grafik II.17. Indikator Solvabilitas Korporasi Sumatera

Namun demikian, ketahanan korporasi dalam

jangka panjang (solvabilitas) dan jangka pendek

(likuditas) masih relatif terjaga, meski mengalami

penurunan. Hal tersebut tercermin dari rasio

Total Asset/Total Liabilitas yang masih berada di

atas 1,0 (Grafik II.17).

*Data disetahunkan Sumber: Bloomberg 2014-2015, (diolah dari 12 korporasi Tbk

di Sumatera)

Grafik II.18. Perkembangan Kemampuan Membayar Porporasi Keuangan Sumatera

Masih baiknya ketahanan korporasi juga

didukung oleh kemampuan korporasi dalam

membayar utang yang meningkat. Rasio

kemampuan membayar utang korporasi (debt

service ratio) menunjukkan penurunan pada

2015, dari sebesar 46,68% menjadi sebesar

24,64%6. Berdasarkan sebaran sektor ekonomi

6 DSR: Cicilan pokok + bunga / EBITDA

yang memiliki DSR paling tinggi terdapat pada

sektor pertanian dan industri. Hal yang sama juga

ditunjukan oleh indikator kemampuan

perusahaan dalam membayar bunga. Rasio ICR

(interest coverage ratio) menunjukkan

peningkatan dari 3,78 pada 2014 (Grafik II.18),

menjadi sebesar 5,03 pada 20157.

Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi

Penurunan suku bunga kredit di triwulan I 2016

belum diikuti peningkatan penyaluran kredit

kepada korporasi. Suku bunga kredit tercatat

10,02%, menurun dibandingkan triwulan

sebelumnya sebesar 10,14%. Penurunan suku

bunga ini terjadi baik pada suku bunga kredit

modal kerja maupun suku bunga kredit investasi.

Pada triwulan I 2016 tercatat penyaluran kredit

perbankan melambat dari 14,90% (yoy) pada

triwulan IV 2015 menjadi 11,23% (yoy) pada

triwulan I 2016. Perlambatan terutama terjadi

pada penyaluran kredit industri pengolahan dan

kredit perdagangan yang masing-masing memiliki

pangsa 32% dan 15% dari total penyaluran kredit

korporasi (Grafik II.19). Kredit sektor industri

pertanian melambat dari 12,78% (yoy) pada

triwulan IV 2015 menjadi 7,38% (yoy). Sementara

kredit perdagangan tumbuh negatif menjadi -

1,94% (yoy) dari sebelumnya 19,95% (yoy).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.19. Proporsi Kredit Sektoral Korporasi

7 ICR: EBIT / biaya bunga. Threshold ICR yang aman adalah di

atas 1,5

Page 30: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

18

Berdasarkan jenis penggunaan, perlambatan

didorong oleh penurunan pertumbuhan kredit

modal kerja dan kredit investasi. Kedua jenis

kredit tersebut memiliki pangsa terbesar dalam

penyaluran kredit korporasi, masing-masing 55%

dan 45% (Grafik II.20). Kredit modal kerja

melambat dari 13,09% (yoy) menjadi 11,13%

(yoy), demikian pula dengan kredit investasi, dari

17,88% (yoy) menjadi 11,58% (yoy). Perlambatan

kedua jenis kredit ini turut mengkonfirmasi

kondisi dunia usaha Sumatera yang masih

tertekan oleh dampak perlambatan ekonomi.

Triwulan I 2015 Triwulan I 2016

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.20. Proporsi Kredit Korporasi per Jenis Penggunaan

Perlambatan kredit korporasi dipicu oleh respon

korporasi terhadap dinamika perekonomian

dengan melakukan upaya-upaya efisiensi,

termasuk menahan pencairan kredit (tidak

menambah komponen sumber dana pinjaman)

untuk mengurangi biaya operasional.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.21. Pertumbuhan Kredit Korporasi Sektor Utama Sumatera

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.22. Pertumbuhan NPL Kredit Korporasi Sektor Utama Sumatera

Perlambatan kredit berdampak kepada

meningkatnya rasio NPL. Tingkat NPL sektor

korporasi meningkat dari 2,28% menjadi 2,43%.

Secara sektoral, peningkatan NPL terjadi pada

sektor-sektor pendukung seperti konstruksi,

listrik gas dan air, serta transportasi dan

komunikasi (Grafik II.22). Namun demikian,

keseluruhan rasio NPL masih terjaga di bawah

5%.

DPK perbankan untuk korporasi juga terpantau

mengalami perlambatan dari 1,24% (yoy) menjadi

0,84% (yoy) terutama pada tabungan dan

deposito (Grafik II.24).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.23. Perkembangan Suku Bunga Kredit dan Simpanan Korporasi Sumatera

Sumber: Bank Indonesia

Modal Kerja55%

Investasi45%

Konsumsi0%

Modal Kerja55%

Investasi45%

Konsumsi0%

Page 31: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

19

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.24. Pertumbuhan DPK Korporasi Sumatera

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah

Tangga

Di tengah perlambatan ekonomi Sumatera pada

triwulan I 2016, ketahanan sektor rumah tangga

membaik. (Detail kondisi konsumsi rumah tangga

dapat dilihat pada bagian Pertumbuhan

Ekonomi).

Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan

Perbaikan daya beli dan pendapatan mendorong

peningkatan konsumsi RT dan kenaikan

tabungan perseorangan Sumatera pada triwulan

I 2016. Pertumbuhan DPK perseorangan

Sumatera pada triwulan I 2016 tercatat tumbuh

sebesar 7,61% (yoy), sedikit membaik

dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh

sebesar 7,56% (yoy). DPK perseorangan masih

mendominasi porsi DPK perbankan atau

mencapai 70,16% (Grafik II.25). walau sedikit

menurun dibandingkan periode sebelumnya.

Sementara itu, pertumbuhan DPK perseorangan

masih menjadi penopang pertumbuhan DPK

(Grafik II.26).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.25. Perkembangan Pangsa DPK Perseorangan

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.26. Perkembangan Pertumbuhan DPK Perseorangan

Pertumbuhan DPK pada triwulan ini didorong

oleh pertumbuhan tabungan dari 7,09% (yoy)

menjadi 8,77% (yoy). Sementara itu,

pertumbuhan deposito dan giro mengalami

perlambatan masing-masing dari 9,68% (yoy) dan

-1,90% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi

6,91% (yoy) dan -1,51% (yoy) pada triwulan I

2016 (Grafik II.27). Peningkatan tabungan ini juga

dikonfirmasi dari hasil Survei Konsumen yang

menunjukkan peningkatan proporsi penghasilan

masyarakat untuk tabungan dari 19,8% menjadi

21,5%.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.27. Perkembangan DPK Perseorangan

Kredit Perseorangan di Perbankan

Penurunan suku bunga untuk KPR dan KKB di

triwulan I 2016 belum berdampak kepada

peningkatan pertumbuhan kredit KPR dan KKB.

Secara keseluruhan, kredit sektor rumah tangga

(RT) melambat dari 6,83% (yoy) pada triwulan IV

2015 menjadi 6,33% (yoy). Perlambatan terjadi di

seluruh kelompok kredit RT utama seperti KPR,

KKB, dan kredit multiguna (Grafik II.28).

Page 32: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

20

Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh 5,32%

(yoy) melambat dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tumbuh 5,59% (yoy) (Grafik

II.29). Perlambatan terutama disebabkan oleh

perlambatan penyaluran kredit untuk rumah dan

apartemen di atas tipe 21 dan rumah kantor

(rukan). Perlambatan kredit KPR diindikasikan

disebabkan oleh peningkatan harga properti.

Indeks Harga Properti Residensial (SHPR)

menunjukkan terjadinya peningkatan harga

untuk seluruh kelas properti, terutama untuk

kelas besar.

Sementara itu, pertumbuhan Kredit Kendaraan

Bermotor mengalami kontraksi dari -6,26% (yoy)

menjadi -9,21% (yoy). Penurunan penyaluran

kredit terjadi pada seluruh jenis kendaraan,

terutama sepeda motor. Perlambatan kredit

terjadi pula pada penyaluran kredit multiguna.

Kredit multiguna di triwulan I 2016 tumbuh

9,69% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan

sebelumnya yang sebesar 10,14% (yoy).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.28. Pertumbuhan Pembiayaan Sektor Rumah Tangga per Jenis Penggunaan

Perlambatan pertumbuhan kredit dan

peningkatan DPK sektor rumah tangga

berdampak kepada penurunan komposisi

pengeluaran masyarakat untuk cicilan pinjaman.

Survei Konsumen mengindikasikan porsi cicilan

pinjaman mengalami penurunan dari 12,9%

menjadi 12,5%. Sementara porsi pengeluaran

masyarakat untuk tabungan mengalami

peningkatan (Tabel II.3).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.29. Pertumbuhan KPR per Tipe

Di tengah perlambatan penyaluran kredit RT,

rasio NPL masih terjaga di bawah 5%, dengan

kecenderungan NPL yang meningkat. Rasio NPL di

triwulan I 2016 meningkat dari 1,80% di triwulan

IV 2015 menjadi 1,89% (Grafik II.30). Peningkatan

NPL RT terjadi pada seluruh jenis penyaluran

kredit RT dengan kenaikan tertinggi pada NPL

KPR/KPA.

Tabel II.3. Komposisi Pengeluaran Masyarakat

Sumber: Survei Konsumen, Bank Indonesia

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.30. Posisi NPL Sektor Rumah Tangga per Jenis

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Penyaluran kredit UMKM di Sumatera

cenderung melambat serta tumbuh di bawah

pertumbuhan nasional. Penyaluran kredit UMKM

pada triwulan I 2016 tercatat tumbuh sebesar

5,38% (yoy), menurun dibandingkan triwulan IV

2015 sebesar 5,83% (yoy) bahkan lebih rendah

dari penyaluran kredit UMKM secara nasional

2016

I II III IV I II III IV IKonsumsi 65.0 65.8 67.1 66.2 62.2 63.0 64.2 67.2 66.1

Cicilan 12.2 11.5 12.4 10.9 13.1 14.0 12.8 12.9 12.5

Tabungan 22.8 22.6 20.5 22.9 24.7 23.0 23.0 19.8 21.5

2014 2015Komponen

Page 33: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

21

yang dapat tumbuh 6,16% (yoy). Secara sektoral,

perlambatan kredit UMKM terjadi pada sektor

ekonomi utama di Sumatera, seperti industri

pengolahan, perdagangan, dan sektor lainnya

yang masing-masing melambat dari -9,73% (yoy),

10,87% (yoy), dan -3,23% (yoy) pada triwulan IV

2015 menjadi -14,48% (yoy), 10,76% (yoy), dan -

3,87% (yoy). Perlambatan penyaluran kredit

UMKM tersebut diiringi dengan peningkatan NPL.

Rasio NPL kredit UMKM meningkat dari 5,46%

(yoy) di triwulan IV 2015 menjadi 6,21% di

triwulan I 2016 (yoy) (Grafik II.31).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.31. Penyaluran Kredit UMKM

Perlambatan penyaluran kredit UMKM selain

dipengaruhi oleh dinamika pertumbuhan

ekonomi domestik yang masih terbatas, juga

ditengarai akibat masih relatif tingginya suku

bunga kredit UMKM. Pada triwulan I 2016, rata-

rata kredit UMKM adalah sebesar 13,92%, lebih

tinggi dari kredit korporasi yang sebesar 10,02%.

Tidak jauh berbeda dari kondisi historisnya,

penyaluran kredit UMKM Sumatera pada

triwulan I 2016 masih didominasi oleh sektor

perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), dan

sektor pertanian, masing-masing tercatat sebesar

53,74% dan 20,83%.

Pengelolaan Uang Tunai Rupiah

Transaksi keuangan tunai di triwulan I 2016

tercatat mengalami peningkatan net inflow

dibanding triwulan yang sama tahun lalu.

Peningkatan ini sejalan dengan pola operasi

keuangan pemerintah di triwulan I. Kondisi net

inflow ini dialami hampir seluruh provinsi di

Sumatera, kecuali Kepulauan Riau. Secara total,

net inflow Sumatera di Triwulan I 2016 mencapai

Rp13,0 triliun atau meningkat 13,07% (yoy).

Berdasarkan provinsinya, aliran uang masuk

(inflow) terbesar terjadi di Sumatera Utara,

Sumatera Barat, dan Lampung. (Grafik II.32)

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.32. Pembayaran Tunai

Sementara itu, temuan uang palsu (UPAL) di

wilayah Sumatera pada triwulan I 2016 sebanyak

5.371 lembar menurun dibanding triwulan IV

2015 yang berjumlah sebanyak 6.316 lembar.

Namun demikian, temuan UPAL ini lebih besar

dibandingkan periode yang sama tahun lalu

sebesar 3.619 lembar. Secara spasial, temuan

UPAL se-Sumatera berasal dari Lampung

(36,75%) dan Sumatera Utara (25,95%) (Grafik

II.33).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.33. Temuan Uang Palsu (UPAL)

Sistem Pembayaran Nontunai

Transaksi kliring di kawasan Sumatera baik secara

nominal maupun volume pada triwulan I 2016

meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya

seiring dengan peningkatan aktivitas sektor

perdagangan dan konsumsi domestik serta

implementasi SKNBI 2. Implementasi SKNBI 2

Page 34: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

22

mengharuskan minimal transaksi sebesar Rp500

juta. Secara nominal, transaksi kliring triwulan I

2016 tumbuh sebesar 59,29% (yoy), lebih tinggi

dibandingkan triwulan IV 2015 yang hanya

19,14% (yoy) (Grafik II.34). Total transaksi kliring

pada triwulan I tahun 2016 berjumlah Rp131,79

Triliun meningkat dari Rp105,26 triliun di triwulan

IV 2015. Sejalan dengan peningkatan nominal,

volume kliring turut mengalami peningkatan

sebesar 20,82% (yoy) pada triwulan I 2016

dibandingkan dengan triwulan IV 2015 yang

tercatat hanya tumbuh sebesar 5,08% (yoy)

(Grafik II.35).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.34. Transaksi Kliring Menurut Nominal (Wilayah Sumatera)

Sumber: Bank Indonesia

Grafik II.35. Transaksi Kliring Menurut Volume

Secara spasial, transaksi kliring tertinggi terjadi di

Sumatera Utara sebesar Rp58,78 triliun atau

44,6% dari keseluruhan transaksi di Sumatera.

Sementara itu, transaksi kliring terendah terjadi

di Bengkulu dengan nominal sebesar Rp1,68

triliun atau 1,3% dari total Sumatera.

Perkembangan Layanan Keuangan Digital

Ketersediaan Layanan Keuangan Digital (LKD)

bagi penduduk Sumatera menunjukkan

peningkatan signifikan. Pada triwulan I 2016

ketersediaan LKD meningkat 83,1% (yoy). Jumlah

agen LKD di wilayah Sumatera saat ini telah

mencapai 8.664 agen atau sebesar 11,1% dari

jumlah agen LKD secara nasional. Provinsi dengan

jumlah agen LKD terbesar berasal dari Riau atau

sebanyak 27,29% dari total agen LKD se-

Sumatera. Sementara itu, Aceh memiliki jumlah

agen LKD paling sedikit dengan hanya 2,05% dari

total agen LKD di wilayah Sumatera.

Beberapa kegiatan terkini Bank Indonesia dalam

usaha meningkatkan jumlah agen LKD di daerah

diantaranya adalah:

a. Melakukan sosialisasi & kampanye LKD kepada

pemerintah daerah, sekolah, universitas, dan

pengusaha (termasuk UMKM).

b. Melakukan MoU antara BI, Perbankan dan

instansi terkait untuk pembayaran gaji, pajak,

tagihan, cicilan, dan sebagainya.

c. Mendorong kerjasama antara perbankan,

pemerintah daerah, dan sekolah dalam

penyaluran dana sosial bergulir ke masyarakat,

pelaku UMKM, serta pembayaran pajak oleh

pemda.

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian 2016 diperkirakan tumbuh sesuai

dengan perkiraan sebelumnya. Secara

keseluruhan tahun 2016, perekonomian

Sumatera diperkirakan tumbuh 4,2%-4,7% (yoy),

lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun

2015 yang sebesar 3,52%. Konsumsi rumah

tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi

diperkirakan menjadi motor penggerak ekonomi

pada 2016. Dari sisi lapangan usaha, sektor

pertanian, industri, dan konstruksi serta

perdagangan diperkirakan akan menjadi

kontributor utama pertumbuhan tahun 2016.

Berdasarkan asesmen harga komoditas, proyeksi

kenaikan harga palm oil diperkirakan akan

menjadi faktor pemicu meningkatnya

Page 35: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

23

pertumbuhan sektor pertanian dan industri yang

berdampak kepada peningkatan konsumsi,

investasi dan aktivitas perdagangan.

Tabel II.4. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera (% year-on-year)

Indikator Makroekonomi

Daerah 2015

2016 2016f

I IIf

PDRB (% YoY) 3.52 4.18 4.42 4.22 - 4.72

Aceh (0.72) 3.66 4.12 3.61 - 4.11

Sumut 5.10 5.02 5.21 5.09 - 5.59

Sumbar 5.41 5.48 5.62 5.31-5.81

Riau 0.22 2.34 2.51 1.41-1.91

Jambi 4.21 3.42 3.96 4.01 - 4.51

Kep. Riau 6.02 4.58 4.75 5.31 - 5.81

Sumsel 4.50 4.94 5.28 5.12 - 5.62

Bengkulu 5.14 4.99 5.12 4.94 - 5.44

Lampung 5.13 5.05 5.22 5.15 - 5.65

Kep. Babel 4.08 3.30 3.81 3.50 - 4.00

Sumber: Bank Indonesia

Secara spasial, perbaikan ekonomi Sumatera

tahun 2016 diperkirakan terjadi di hampir seluruh

provinsi, dengan pertumbuhan tertinggi di

Sumatera Barat dan Kep. Riau. Sementara

pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Riau

dan Aceh (Tabel II.4).

Secara keseluruhan 2016, peran fiskal masih

belum mampu menjadi pendorong utama

pertumbuhan ekonomi Sumatera. Namun

demikian, dukungan belanja modal terhadap

perekonomian sejalan dengan meningkatnya

alokasi belanja modal diperkirakan mampu

menahan perlambatan belanja rutin. Peningkatan

alokasi ini diperkirakan memberikan efek lanjutan

bagi perekonomian Sumatera.

Perbaikan ekspor tahun 2016, khususnya

perbaikan ekspor komoditas pertambangan

relatif terbatas sejalan dengan prospek tahunan

peningkatan harga batu bara, minyak bumi, dan

karet. Meski demikian, prospek peningkatan

harga CPO akibat berkurangnya pasokan CPO

dunia diperkirakan dapat memperbaiki kinerja

ekspor Sumatera.

Dari sisi penawaran, prospek peningkatan laju

pertumbuhan ekonomi berasal dari

meningkatnya kinerja sektor utama. Sektor

pertanian diperkirakan meningkat akibat

peningkatan produksi pasca realisasi berbagai

upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi

Tabama serta prospek kenaikan harga CPO pasca

penurunan stok CPO Malaysia dan kenaikan

permintaan biodiesel domestik. Sektor konstruksi

diprediksi melanjutkan pertumbuhannya sejalan

dengan kelanjutan pengembangan beberapa

megaproyek infrastruktur di wilayah Sumatera

dan meningkatnya realisasi investasi swasta.

Prospek Inflasi

Secara keseluruhan tahun, inflasi Sumatera pada

2016 diprakirakan lebih tinggi dibandingkan

2015. Inflasi Sumatera akan berada pada kisaran

4,29% hingga 4,79%, relatif sesuai dengan

perkiraan sebelumnya. Dengan demikian, level

inflasi pada 2016 akan tetap dalam kisaran target

inflasi Bank Indonesia, yaitu 4% ± 1%.

Peningkatan inflasi diperkirakan berasal dari

inflasi komoditas volatile foods. Mundurnya

musim tanam akibat El Nino, minimnya

infrastruktur pendukung produksi pangan, dan

gangguan cuaca (banjir, longsor), diperkirakan

akan mendorong tekanan inflasi pangan. Selain

itu, peningkatan inflasi 2016 akan terjadi seiring

dengan perkiraan prospek perbaikan daya beli

dan konsumsi serta progres pembangunan

infrastruktur yang mendorong meningkatnya

permintaan barang dan jasa.

Peningkatan inflasi 2016 diperkirakan akan

tertahan oleh terjaganya ekspektasi

masyarakat dan dampak lanjutan penurunan

harga administered prices. Proyeksi kenaikan

harga minyak dunia diperkirakan masih belum

terjadi di tahun 2016 yang berdampak pada

berkurangnya tekanan harga administered prices.

Penurunan harga ini diperkirakan memiliki

dampak lanjutan terhadap harga komoditas

volatile foods dan komoditas inti. Di samping itu,

beberapa program ketahanan pangan

pemerintah serta beberapa langkah

pengendalian inflasi melalui koordinasi TPID

diperkirakan dapat mengantisipasi lonjakan

inflasi.

Page 36: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 37: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Bunga Anggrek Bulan (Phalaenopsis Amabilis)Merupakan Puspa Pesona Nasional, Banyak Dibudidayakan Terutama di Jawa.

Page 38: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Perekonomian Jawa

Bagian

III

Page 39: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

25

Bagian III

Perekonomian Jawa Kinerja perekonomian Jawa pada triwulan I 2016 tumbuh 5,3%, melambat jika dibandingkan

pertumbuhan triwulan IV 2015 sebesar 5,9%. Pertumbuhan yang lebih rendah ini seiring dengan

siklus konsumsi pemerintah pada triwulan I 2016 yang tidak setinggi triwulan IV 2015 serta

melambatnya investasi bangunan. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 5,26%,

pertumbuhan ekonomi triwulan ini sedikit lebih tinggi. Pada triwulan II 2016, pertumbuhan

perekonomian Jawa diprakirakan meningkat didorong oleh konsumsi yang menguat, akselerasi

belanja dan investasi pemerintah serta perbaikan kinerja ekspor luar negeri. Secara keseluruhan

2016, ekonomi Jawa diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,6%-6,0% didorong oleh perbaikan

konsumsi rumah tangga dan perdagangan luar negeri serta peningkatan belanja modal pemerintah.

Lapangan usaha industri, perdagangan, konstruksi dan pertanian juga diperkirakan tumbuh lebih

tinggi seiring meningkatnya belanja rumah tangga.

Tekanan inflasi di Jawa masih terjaga meski laju inflasi mengalami peningkatan secara tahunan.

Pada triwulan I 2016 inflasi Jawa tercatat pada level 3,93% (yoy) atau 0,53% (ytd). Secara umum

tekanan inflasi pada triwulan laporan didorong oleh meningkatnya harga beberapa komoditas

bahan pangan (volatile foods), seperti aneka cabai dan bawang merah. Sementara itu, tekanan

inflasi dari kelompok inti relatif stabil. Namun demikian, tekanan inflasi relatif tetap terjaga dengan

menurunnya harga komoditas administered prices seperti bensin dan Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang

menyumbang deflasi pada selama tiga bulan berturut-turut di awal tahun 2016. Pada triwulan II

2016, inflasi diperkirakan menurun seiring dengan kondisi pasokan yang relatif terjaga dan

rendahnya inflasi kelompok administered prices. Secara keseluruhan, inflasi tahunan Jawa pada

2016 diperkirakan lebih tinggi dari 2015 berada pada kisaran 3,35%–3,75% (yoy).

Pertumbuhan Ekonomi

Pada triwulan I 2016, perekonomian Jawa

tumbuh sebesar 5,3% (yoy) atau melambat

dibandingkan triwulan IV 2015 yang tercatat

sebesar 5,9% (yoy). Meskipun demikian,

pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2016 ini

masih lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2015.

Perekonomian seluruh provinsi di Jawa, kecuali

Banten, pada triwulan I 2016 mengalami

perlambatan jika dibandingkan triwulan

sebelumnya.

Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Jawa

Sumber : BPS dan Perkiraan Bank Indonesia

Sumber : BPS

Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Menurut Penggunaan

Perlambatan ekonomi Jawa bersumber dari

melambatnya pertumbuhan konsumsi

pemerintah dan masih terbatasnya perbaikan

kinerja ekspor luar negeri. Perlambatan ekonomi

yang lebih dalam dapat ditahan oleh peningkatan

konsumsi rumah tangga yang tercatat sebesar

4,9% (yoy).

I II III IV I IIp

Banten 5.47 5.51 5.21 5.90 4.87 5.37 5.15 5.35

DKI Jakarta 5.87 5.54 5.33 6.12 6.48 5.88 5.62 6.19

Jawa Barat 5.09 4.91 4.94 5.02 5.23 5.03 5.08 5.19

Jawa Tengah 5.24 5.64 5.06 5.00 6.08 5.44 5.12 5.42

D.I. Yogyakarta 5.16 4.26 4.63 5.33 5.50 4.94 5.04 5.21

Jawa Timur 5.86 5.09 5.23 5.53 5.94 5.44 5.34 5.64

Jawa 5.57 5.20 5.15 5.51 5.87 5.45 5.31 5.63

Provinsi 20142015

20152016

Page 40: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

26

Pelonggaran kebijakan moneter, tingkat inflasi

yang terjaga pada level yang rendah dan stabil

serta peningkatan optimisme konsumen yang

tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumsen (IKK)

memberikan dukungan yang cukup bagi

perbaikan konsumsi RT (Grafik III.2). Selain itu,

perbaikan konsumsi RT juga tercermin dari

pertumbuhan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB)

dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) yang

membaik, meskipun masih lebih rendah

dibanding triwulan I tahun 2015.

Sumber : Bank Indonesia

Grafik III.2. Perkembangan KPR, KKB dan Indeks Keyakinan Konsumen

Sumber : Bank Indonesia

Grafik III.3. Perkembangan Investasi – Liaison dan SKDU

Peningkatan optimisme pelaku ekonomi

sebagaimana diindikasikan oleh hasil SKDU

triwulan I 2016, mendorong pertumbuhan

investasi di Jawa pada triwulan laporan, terutama

investasi non-bangunan swasta. Investasi PMA

tumbuh sebesar 5,9% (yoy), sedangkan investasi

PMDN tumbuh 12,2% (yoy), lebih tinggi

dibanding triwulan sebelumnya. Di sisi lain,

belanja infrastruktur pemerintah masih tumbuh

positif meskipun masih terbatas pada awal tahun.

Sumber : BKPM

Grafik III.4. Perkembangan Realisasi Investasi

Kinerja ekspor kawasan Jawa tumbuh meningkat

di triwulan I 2016 menjadi 6,7% (yoy), terutama

didorong oleh perdagangan antar daerah.

Sementara, perdagangan luar negeri masih dalam

fase kontraksi meskipun sudah lebih kecil

penurunannya. Peningkatan ekspor ke Eropa,

USA, Jepang dan Tiongkok yang memiliki pangsa

sekitar 50% dari total ekspor, tercatat membaik,

khususnya terkait komoditas emas perhiasan,

ikan dan produk olahan ikan, dan alas kaki. Di sisi

lain, kinerja impor tumbuh positif didorong oleh

peningkatan impor barang konsumsi seperti

makanan dan minuman.

Sumber : Bloomberg, MARKIT dan FXSTREET

Grafik III.5. Purchasing Manager Index (PMI) Mitra Dagang Utama

Pada triwulan II 2016, kinerja perekonomian Jawa

diprakirakan meningkat sebesar 5,6% (yoy)

terutama didorong oleh konsumsi yang menguat,

nilai tukar yang stabil, efek penurunan BI Rate,

akselerasi belanja dan investasi pemerintah serta

perbaikan kinerja ekspor luar negeri. Seluruh

provinsi di Jawa diprediksi akan mengalami

peningkatan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan

Page 41: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

27

ini juga terindikasi dari angka Likert Scale8 (LS)

hasil Liaison Bank Indonesia, khususnya angka

proyeksi penjualan domestik, yang menunjukkan

menguatnya konsumsi domestik.

Kinerja Lapangan Usaha

Di sisi lapangan usaha, perlambatan

pertumbuhan ekonomi triwulan I 2016 Jawa

disebabkan oleh menurunnya kinerja industri

pengolahan, konstruksi dan pertanian.

Sementara, kinerja lapangan usaha perdagangan

tetap terjaga didukung konsumsi masyarakat

yang masih kuat.

Sumber: BPS

Grafik III.6. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama di Jawa

Industri Pengolahan

Industri pengolahan tumbuh melambat pada

triwulan I 2016. Lapangan usaha ini tumbuh

sebesar 4,5% (yoy), lebih rendah dibanding

triwulan IV 2015 yang sebesar 4,8% (yoy). Hal ini

disebabkan oleh penurunan kinerja beberapa

sub-lapangan usaha industri, diantaranya industri

elektronik, semen dan logam. Perlambatan sub

lapangan usaha elektronik salah satunya

disebabkan adanya penutupan beberapa

perusahaan besar di wilayah Jawa. Sementara itu,

laju investasi bangunan yang melambat pada

triwulan I 2016 membuat permintaan akan

semen dan logam menurun. Perlambatan kinerja

industri pengolahan yang lebih dalam ditahan

oleh membaiknya kinerja industri makanan-

minuman, tekstil dan tembakau yang tercatat

8 Likert scale (LS) merupakan salah satu tools dalam statistic yang

digunakan untuk menilai beberapa variabel/indikator. Skala LS adalah -5 untuk penurunan signifikan dan 5 untuk peningkatan signifikan.

meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi

masyarakat dan ekspor. Sementara, industri

kimia tumbuh stabil setelah sempat menurun

pada triwulan IV 2015 akibat menurunnya

kapasitas produksi terutama pada produk naphta

cracker.

Sumber : Bank Indonesia

Grafik III.7. Perkembangan Industri Pengolahan – Liaison dan SKDU

Kinerja industri pengolahan di seluruh provinsi

tercatat melambat, kecuali Provinsi Banten yang

mengalami peningkatan pertumbuhan.

Membaiknya kinerja industri Banten bersumber

dari perbaikan kinerja industri kimia seiring

meningkatnya kapasitas produksi dan juga

meningkatnya ekspor pakaian jadi.

Sumber: BPS

Grafik III.8. Pertumbuhan Lapangan Usaha Industri Pengolahan di Jawa

Pada triwulan II 2016, kinerja industri

pengolahan diprakirakan mengalami perbaikan.

Kondisi ini didorong oleh peningkatan produksi

sebagai antisipasi menjelang hari besar

keagamaan serta berlanjutnya pemulihan

ekonomi di negara mitra dagang utama

khususnya pada komoditas tekstil dan produk

Page 42: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

28

turunannya yang ditujukan ke negara Amerika

Serikat dan Eropa.

Konstruksi

Kinerja lapangan usaha konstruksi melambat

cukup dalam pada triwulan I 2016. Konstruksi

tumbuh sebesar 3,9% (yoy), lebih rendah dari

triwulan sebelumnya yang 5,6% (yoy). Kondisi ini

disebabkan oleh menurunnya kinerja properti

swasta yang tercermin melalui penjualan semen

dan logam baja. Provinsi dengan perlambatan

konstruksi terdalam adalah Banten dan DKI

Jakarta.

Sumber: BPS

Grafik III.9. Pertumbuhan Lapangan Usaha Konstruksi di Jawa

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia

Grafik III.10. Konsumsi Semen Jawa

Penurunan kinerja lapangan usaha konstruksi

juga terkonfirmasi dari hasil liaison, dimana

beberapa pengembang properti residensial di

Jabodetabek menyatakan target penjualan tahun

2015 tidak tercapai dan belum berencana untuk

menambah investasi pembangunan properti baru

di awal tahun 2016. Kondisi ini berbeda dengan

fase boom property di tahun 2013, dimana

banyak properti dijual dengan sistem inden.

Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha

konstruksi diprakirakan meningkat. Hal ini

sejalan dengan pola musiman dimana realisasi

proyek pembangunan pemerintah mulai

mengalami akselerasi setelah diselesaikannya

proses lelang. Proyek-proyek tersebut antara lain

pembangunan Tol Trans Jawa sepanjang 615 km

yang ditargetkan selesai pada tahun 2019

(progress pembebasan lahan mencapai 77% per

triwulan I 2016) dan masih berlangsungnya

proses pembangunan pembangkit listrik sebagai

bagian dari mega proyek 35.000 MW.

Pertanian

Grafik III.11. Pertumbuhan Lapangan Usaha Pertanian

di Jawa

Pertumbuhan lapangan usaha pertanian

terkontraksi menjadi -0,01% (yoy), setelah

triwulan sebelumnya dapat tumbuh 2,4% (yoy) di

triwulan IV 2015. Penurunan tersebut disebabkan

oleh pergeseran musim panen raya ke bulan April

2016 dari biasanya pada bulan Maret.

Penurunan kinerja pertanian terbesar terjadi di

Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan

D.I. Yogyakarta. Kondisi ini terkonfirmasi dari

hasil liaison kepada beberapa Gabungan

Kelompok Tani (Gapoktan) di Jawa. Hasil SKDU

juga mengkonfirmasi arah yang serupa (Grafik

III.12).

Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha

pertanian diprakirakan membaik terutama

didorong oleh sub lapangan usaha tanaman

pangan. Hal ini sejalan dengan mulai

berlangsungnya musim panen raya padi dengan

puncak panen pada bulan April 2016. Perbaikan

kinerja lapangan usaha pertanian terkonfirmasi

Page 43: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

29

dari ekspektasi pertanian SKDU dan peningkatan

pasokan padi yang tercermin dari perkembangan

harga beras pada April 2016 yang mengalami

deflasi sebesar 1,2% (mtm).

Sumber : Bank Indonesia

Grafik III.12. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian – Liaison dan SKDU

Perdagangan

Lapangan usaha perdagangan menjadi salah

satu sumber pertumbuhan wilayah Jawa di

triwulan laporan. Perdagangan tumbuh 5,1%,

dari 4,0% pada triwulan V 2015. Perbaikan

perdagangan ditopang oleh membaiknya

permintaan domestik sejalan dengan masih

terjaganya daya beli masyarakat. Kondisi ini

tercermin dari perbaikan Indeks Penjualan Riil

(IPR) pada Survei Penjualan Eceran (SPE) dan

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Survei

Konsumen (SK). Hasil liaison juga menunjukkan

peningkatan dengan likert scale dari 0,17 di

triwulan IV 2015 menjadi 0,61 di triwulan I 2016.

Sumber : Bank Indonesia

Grafik III.13. Penjualan Riil dan Keyakinan Konsumen – SPE dan SKDU

Perbaikan lapangan usaha perdagangan

berlangsung di sebagian besar Jawa terutama di

Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur

dan D.I. Yogyakarta. Sementara itu, perdagangan

luar negeri juga mengalami perbaikan seiring

dengan perbaikan kondisi ekonomi negara mitra

dagang Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.

Indikasi peningkatan permintaan terlihat dari

membaiknya Purchasing Managers Index (PMI).

Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha

perdagangan diperkirakan meningkat sejalan

dengan pola seasonal menjelang hari besar

keagamaan. Selain itu, terjaganya daya beli

masyarakat juga ditopang oleh tingkat inflasi

yang relatif rendah serta nilai tukar yang

cenderung stabil dan menguat. Sejalan dengan

hal tersebut, hasil SKDU juga menunjukkan

peningkatan ekspektasi kinerja perdagangan

pada triwulan II 2016.

Sumber: BPS

Grafik III.14. Pertumbuhan Lapangan Usaha Perdagangan di Jawa

Sumber : BPS

Grafik III.15. Perkembangan Ekspor Luar Negeri Jawa

Jasa Keuangan

Lapangan usaha jasa keuangan tumbuh

melambat pada triwulan laporan. Jasa keuangan

tumbuh sebesar 10,2% (yoy), lebih rendah

dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai

Page 44: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

30

15,2% (yoy). Kondisi ini sejalan dengan masih

melambatnya penyaluran kredit oleh perbankan

yang mencapai single digit di awal tahun 2016.

Perlambatan sub lapangan usaha perbankan,

yang memiliki pangsa terbesar dalam lapangan

usaha jasa keuangan, menahan laju pertumbuhan

jasa keuangan secara umum. Financial

Intermediation Services Indirectly Measured

(FISIM) atau pendapatan dari hasil intermediasi

perbankan pada triwulan I 2016 juga tercatat

menurun dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Pertumbuhan provisi atau komisi

perbankan juga melambat seiring lesunya

permintaan kredit. Perlambatan perbankan di DKI

Jakarta menekan pertumbuhan jasa keuangan

secara keseluruhan.

Sumber : Bank Indonesia

Grafik III.16. Pertumbuhan FISIM di Jawa

Lapangan usaha jasa keuangan diperkirakan

relatif stabil pada triwulan II 2016. Hal ini

disebabkan masih terbatasnya pertumbuhan

kredit di seluruh provinsi di Jawa. Akibatnya,

pendapatan perbankan dari provisi dan komisi

diperkirakan juga masih akan tumbuh stabil.

Fiskal Daerah

Total anggaran belanja fiskal pemerintah

provinsi/kabupaten/kota di wilayah Jawa

mengalami peningkatan dibandingkan tahun

2015. Anggaran belanja APBD Jawa sebesar

Rp375 triliun untuk keseluruhan tahun 2016,

lebih tinggi dibandingkan dengan tahun

sebelumnya yang sebesar Rp365 triliun.

Peningkatan terutama berasal dari anggaran

untuk belanja hibah dan belanja pegawai.

Peningkatan total anggaran belanja, tidak diikuti

oleh peningkatan anggaran belanja modal yang

menurun 8,81% (yoy). Penurunan anggaran

belanja modal terutama terjadi di Provinsi DKI

Jakarta dan Jawa Timur, yang diperkirakan terjadi

karena pertimbangan serapan belanja modal

tahun 2015 yang masih belum optimal.

Sementara itu, peningkatan anggaran belanja

modal di Jawa Barat, DIY dan Jawa Tengah masih

terus berlanjut sebagai dukungan bagi realisasi

proyek pembangunan infrastruktur strategis,

seperti pembangunan Bandara Internasional

Kertajati (Jawa Barat) dan Bandara Internasional

Ahmad Yani (Jawa Tengah) meski masih

membutuhkan tambahan dana dari APBN.

Tabel III.2. Realisasi APBD Provinsi dan Kab/Kota

Sumber: TEPRA (diolah)

Realisasi belanja APBD provinsi maupun

kabupaten/kota pada triwulan laporan lebih

tinggi dibandingkan periode yang sama tahun

sebelumnya. APBD Jawa triwulan I 2016 telah

terealisasi sebesar 10,43% dari target 13,14%.

Realisasi tertinggi dicatatkan oleh DKI Jakarta,

Jawa Timur dan Jawa Tengah (Tabel III.2). Namun

demikian, pencapaian realisasi APBD sebagian

besar daerah masih lebih rendah dibandingkan

target triwulan I tahun 2016.

Anggaran pendapatan Pemerintah Provinsi di

Jawa meningkat 8,04% (yoy). Kenaikan tertinggi

anggaran pendapatan terjadi di DKI sebesar Rp

59 triliun, sejalan dengan upaya Pemerintah DKI

Q1 '16 Q1 '16

(target) (realisasi)

Jawa Barat1

9,83% 18,79% 11,46%

Banten2 9,76% 16,78% 9,51%

Jawa Tengah3

9,74% 8,31% 6,49%

DIY4

9,12% 14,63% 11,78%

Jawa Timur5

9,53% 18,69% 12,06%

DKI Jakarta6 0,85% 0,21% 10,65%

Jawa7

7,79% 13,14% 10,43%1) Data APBD Provinsi & APBD 18 dari 27 kab/kot (63%) di Prov Jabar

2) Data APBD Provinsi & APBD 6 dari 8 kab/kot (75%) di Prov Banten

3) Data APBD Provinsi & APBD 17 dari 35 kab/kot (49%) di Prov Jateng

4) Data APBD Provinsi & 5 kab/kota (100%) di Prov DIY

5) Data APBD Provinsi & APBD 17 dari 38 kab/kot (63%) di Prov Jatim

6) Data total APBD DKI Jakarta

7) Data APBD 6 Prov & 76 kab/kot (64%)

Provinsi Q1 '15

Page 45: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

31

untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli

Daerah) melalui kenaikan NJOP PBB (Pajak Bumi

dan Bangunan), kenaikan pajak kendaraan dan

bea balik nama, retribusi parkir on the street dan

pemasangan TPE (Terminal Parkir Elektronik).

Perkembangan Inflasi

Tekanan inflasi Jawa pada triwulan pertama

tahun 2016 masih terjaga, meski secara tahunan

laju inflasi mengalami peningkatan. Pada

triwulan I 2016 inflasi Jawa tercatat pada level

3,93% (yoy), lebih tinggi dibandingkan realisasi

akhir tahun sebesar 3,12% (yoy). Pencapaian

inflasi Jawa tersebut masih berada di bawah

realisasi inflasi nasional yang tercatat 4,45%

(yoy). Dengan demikian, laju inflasi kalendar pada

triwulan I 2016 tercatat pada angka 0,53% (ytd),

di bawah angka historisnya dalam 5 tahun

terakhir.

Sumber : BPS (diolah)

Grafik III.17. Perkembangan Inflasi Jawa dan Nasional

Tekanan inflasi pada triwulan laporan didorong

oleh naiknya harga beberapa komoditas volatile

foods (VF). Tekanan inflasi dari kelompok inti

relatif stabil. Sementara, tekanan inflasi lebih

tinggi dapat tertahan oleh deflasi yang terjadi

pada kelompok administered prices sepanjang

triwulan I 2016, yaitu pada komoditas BBM dan

Tarif Tenaga Listrik (TTL). Peningkatan laju inflasi

tahunan terjadi di seluruh daerah Jawa.

Terjaganya laju inflasi di Provinsi DKI Jakarta,

yang memiliki bobot terbesar dalam perhitungan

inflasi, dapat menahan tekanan inflasi Jawa yang

lebih besar.

Sumber : BPS (diolah)

Grafik III.18. Disagregasi Kelompok Inflasi

Tekanan inflasi kelompok volatile foods berasal

dari melonjaknya harga aneka cabai dan bawang

merah akibat bergesernya masa panen yang

disertai dengan curah hujan tinggi. Namun

demikian, masa panen untuk kedua komoditas

tersebut yang berlangsung pada awal triwulan II

2016 mengakibatkan tekanan harga komoditas

tersebut mulai berkurang di akhir triwulan I 2016.

Inflasi bahan pangan tertinggi terjadi pada

Provinsi Jawa Tengah karena pasokan bawang

merah yang terindikasi lebih banyak keluar dari

Jawa Tengah. Sementara itu, laju inflasi VF yang

lebih tinggi dapat ditahan oleh penurunan harga

daging ayam ras dan telur ayam ras seiring

berangsur pulihnya pasokan Day Old Chicken

(DOC). Secara umum, laju inflasi bulanan

kelompok volatile foods pada triwulan I 2016

relatif di bawah angka historisnya 5 tahun

terakhir.

Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi dan Deflasi

Sumber: BPS (diolah)

Tekanan pada kelompok administered prices

cukup rendah, meski secara tahunan realisasi

qtq andil qtq qtq andil qtq

1 Cabai Merah 0.37 0.15 1 Daging Ayam Ras 0.99 -0.07

2 Bawang Merah 0.32 0.12 2 Telur Ayam Ras 0.61 -0.05

3 Bawang Putih 0.14 0.04 3 Wortel 0.06 -0.01

1 Rokok Kretek Filter 1.25 0.04 1 Bensin 2.69 -0.15

2 Rokok Kretek 0.73 0.02 2 Angkutan Udara 0.46 -0.12

3 Rokok Putih 0.33 0.01 3 Tarif Listrik 2.45 -0.07

1 Emas Perhiasan 1.14 0.07 1 Telepon Seluler 0.75 -0.01

2 Mobil 1.77 0.02 2 Besi Beton 0.19 0.00

3 Sewa Rumah 3.43 0.02 3 Kamera 0.10 0.00

Core Inflation Core Inflation

Komoditas Inflasi Komoditas Deflasi

Volatile Food Volatile Food

Administered Prices Administered Prices

Page 46: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

32

inflasi pada triwulan pertama tahun 2016 lebih

tinggi dibandingkan dengan akhir tahun 2015.

Kelompok administered prices tercatat

mengalami deflasi dalam 3 bulan pertama tahun

2016 dan berada di bawah rata-rata pencapaian

dalam 5 tahun terakhir. Rendahnya tekanan

inflasi disebabkan oleh turunnya harga BBM,

yaitu premium dan solar pada bulan Januari,

serta bahan bakar non subsidi di sepanjang

triwulan I 2016 seiring dengan harga minyak

dunia yang masih berada pada level rendah.

Lebih lanjut, kondisi harga minyak dunia disertai

terjaganya nilai tukar rupiah juga mendorong

penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan

memberikan sumbangan deflasi yang cukup

besar.

Selain itu, tarif angkutan udara juga mengalami

penurunan setelah mengalami masa puncaknya

pada liburan akhir tahun, didukung pula oleh

penurunan harga bahan bakar avtur. Di sisi lain,

cukai rokok tahun 2016 yang diberlakukan sejak

akhir 2015 lalu masih memberikan dampak

terhadap kenaikan harga rokok kretek dan rokok

kretek filter. Komoditas tersebut konsisten

menyumbang inflasi sepanjang triwulan laporan

meski magnitude-nya tidak terlalu besar.

Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial

Sumber : BPS (diolah)

Pada kelompok inti, tekanan inflasi relatif stabil

dan secara tahunan tercatat lebih rendah

dibandingkan periode sebelumnya. Nilai tukar

rupiah yang relatif stabil dan menguat pada awal

tahun mendukung terjaganya infasi kelompok

inti. Tekanan inflasi inti berasal dari peningkatan

harga emas internasional dan penyesuaian harga

mobil oleh Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM)

memasuki awal tahun 2016.

Memasuki triwulan II 2016, wilayah Jawa

mencatatkan deflasi sebesar 0,35% (mtm) pada

April 2016. Deflasi disebabkan oleh menurunnya

harga aneka cabai seiring sudah mulai masuknya

musim panen. Terjaganya pasokan beras juga

menahan tekanan inflasi seiring panen raya beras

yang mulai berlangsung di beberapa daerah

sentra produksi. Selain itu, tekanan inflasi yang

rendah juga didorong oleh adanya penyesuaian

harga dari beberapa komoditas administered

prices seperti bensin dan tarif tenaga listrik.

Dengan demikian, tekanan inflasi pada triwulan

II 2016 diperkirakan akan menurun meski akan

memasuki periode peningkatan permintaan

menjelang hari besar keagamaan. Rendahnya

tekanan dari kelompok volatile foods seiring

dengan kondisi pasokan yang relatif terjaga dan

kelompok administered prices, membantu

terjaganya laju inflasi sepanjang triwulan II 2016.

Sementara itu, tekanan terbesar diperkirakan

akan berasal dari kelompok inti dengan

meningkatnya permintaan barang menjelang

bulan puasa dan hari raya Idul Fitri.

Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia

Grafik III.19. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen

Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) provinsi

maupun kabupaten/kota telah menjalankan

berbagai program dalam upayanya membantu

menjaga kestabilan harga, khususnya komoditas

bahan pangan. Tingkat inflasi kelompok bahan

pangan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I.

Yogyakarta yang relatif tinggi perlu mendapatkan

perhatian lebih lanjut. Beberapa program TPID

seperti operasi pasar dan sidak ke pasar telah

2014 2016

IV I II III IV I

Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.73 3.78

Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29 5.70

Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73 4.21

DIY 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09 3.69

Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.70 3.08 3.71

DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30 3.62

Jawa 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12 3.93

Nasional 8.36 6.38 7.26 6.83 3.35 4.45

2015

Page 47: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

33

dilakukan dalam meminimalisir kenaikan harga

bahan pangan lebih lanjut.

Pada tahun 2015 hingga kuartal pertama tahun

2016, seluruh provinsi tengah mengembangkan

berbagai fitur dalam Pusat Informasi Harga

Pangan Strategis (PIHPS) untuk mengurangi

asymmetric information antara pihak produsen

dan konsumen. Sebagai informasi, saat ini PIHPS

berbentuk website telah dimiliki seluruh provinsi,

yaitu SIGAP (Banten), PRIANGAN (Jawa Barat),

Informasi Pangan Jakarta (DKI Jakarta), SiHaTi

(Jawa Tengah), TPID-DIY (D.I. Yogyakarta) dan

Siskaperbapo (Provinsi Jawa Timur).

Salah satu fitur yang sedang dikembangkan dan

saat ini telah tersedia pada PIHPS Provinsi Jawa

Tengah adalah Early Warning System (EWS). Fitur

tersebut sangat berguna dalam memberikan

peringatan dini terhadap adanya lonjakan harga

komoditas yang tidak wajar. Dengan adanya

peringatan tersebut, maka Pemerintah Daerah

bersama dengan instansi terkait dapat segera

merencanakan action plan untuk mengantisipasi

peningkatan harga lebih lanjut.

Dalam upayanya menjaga kestabilan harga-harga

pada triwulan II 2016 dan menjelang bulan

Ramadhan dan Lebaran, TPID

Provinsi/Kabupaten/Kota telah menyiapkan

berbagai program antara lain pelaksanaan pasar

murah dan bantuan ongkos angkut untuk

komoditas strategis, kerjasama antar instansi

terkait penyediaan stok beras dan daging sapi,

dan kerjasama dengan pihak kepolisian dalam

rangka pencegahan penimbunan, serta edukasi

masyarakat dalam pengendalian ekspektasi.

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Perlambatan ekonomi domestik berimbas pada

melemahnya performa korporasi industri

pengolahan. Beberapa indikator seperti Return of

Asset (ROA), Return of Equity (ROE) serta profit

margin mengalami penurunan hingga akhir 2015.

Selain itu, rasio asset turnover dan inventory

turnover juga cenderun menurun.

Rasio rentabilitas korporasi yang memburuk

tidak berdampak signifikan terhadap ketahanan

korporasi dari sisi likuiditas, solvabilitas dan

repayment capacity yang masih cukup terjaga

baik. Rasio kemampuan bayar korporasi terhadap

utang masih terlihat baik dengan tingkat Interest

Coverage Ratio (ICR) yang meningkat serta Debt

Service Ratio (DSR) yang relatif stabil pada level

122%. Tingkat Debt to Equity Ratio (DER)

korporasi manfaktur di Jawa juga mengalami

penurunan dalam merespon melambatnya

pertumbuhan ekonomi domestik.

Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk

di Jawa)

Grafik III.20. Kredit Korporasi Sektor Utama

Sementara itu, rasio likuiditas (current ratio)

cenderung meningkat yang sejalan dengan

adanya peningkatan DPK dari sektor korporasi

manufaktur. Namun demikian, peningkatan

likuiditas korporasi dapat memberikan sinyal

akan adanya sikap sektor swasta untuk

melakukan konsolidasi internal guna penguatan

modal seiring menurunnya permintaan akan

kredit.

Tingkat solvabilitas atau ketahanan korporasi

dalam memenuhi kewajiban jangka panjang

yang tercermin dalam rasio Total Asset/Total

Liabilities (TA/TL) korporasi manufaktur di Jawa

mengalami peningkatan. Rasio TA/TL mengalami

peningkatan dari 1,41 menjadi 1,54, menandakan

Page 48: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

34

makin kuatnya kemampuan perusahaan dalam

menutupi keseluruhan utang atau kewajiban.

Mayoritas korporasi industri pengolahan

mengalami peningkatan rasio solvabilitas, kecuali

untuk sub lapangan usaha semen yang sedikit

menurun, sementara solvabilitas sub lapangan

usaha otomotif dan komponennya relatif stabil.

Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi

Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk

di Jawa)

Sejalan dengan tingkat solvabilitas yang baik,

kemampuan korporasi dalam membayar pokok

utang maupun beban bunga masih tergolong

baik. Kemampuan membayar bunga atau rasio

ICR memiliki kecenderungan meningkat. ICR

manufaktur di Jawa pada tahun 2015 mengalami

peningkatan menjadi 9,83, dari 7,10 pada 2014.

Peningkatan rasio ICR menunjukkan resiliensi

perusahaan dalam menghadapi perlambatan

ekonomi meski rasio rentabilitas korporasi

mengalami penurunan. Berdasarkan sektoralnya,

hanya ICR dari sub lapangan usaha semen dan

tekstil & garmen yang sedikit memburuk. Namun

demikian, rasio ICR untuk kedua sub lapangan

usaha tersebut masih berada di atas 2 (dua)

sehingga EBIT korporasi masih mampu menutupi

beban bunganya. Sementara itu, terdapat

beberapa sub lapangan usaha manufaktur yang

perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut terkait

dengan peningkatan DSR, yaitu industri pulp &

kertas serta kimia dan sejenisnya.

Tabel III.6. Indikator Kemampuan Bayar Korporasi

Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk

di Jawa)

Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk

di Jawa)

Grafik III.21. Indikator Kemampuan Bayar Korporasi

Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa

yang melambat, penyaluran kredit berdasarkan

lokasi proyek turut mengalami perlambatan.

Pertumbuhan kredit Jawa secara keseluruhan

tercatat sebesar 8,21% (yoy), melambat

dibandingkan posisi akhir tahun 2015 yang

10,71% (yoy). Realisasi tersebut juga lebih rendah

dari pencapaian pertumbuhan nasional yang

mencapai 8,52% (yoy) dan merupakan yang

terendah dalam beberapa tahun terakhir.

Perlambatan kredit Jawa terjadi baik pada

penyaluran kredit dari sektor korporasi maupun

rumah tangga.

Kredit korporasi triwulan I 2016 tumbuh sebesar

9,58% (yoy), melambat dibanding triwulan

sebelumnya yang sebesar 13,38% (yoy).

Perlambatan penyaluran kredit terjadi pada

kredit modal kerja dan investasi, masing-masing

sebesar 8,74% (yoy) dan 11,84% (yoy) dibawah

pencapaian periode sebelumnya. Perlambatan

2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015

1 Pulp & kertas 1.81 2.81 5.19 7.63 1.75 1.69 1.57 1.59

2 Semen 15.12 11.07 20.60 15.31 0.37 0.39 3.68 3.56

3 Logam & sejenisnya -5.43 -10.05 -13.67 -23.19 1.85 1.06 1.54 1.94

4 Kimia & sejenisnya 1.45 1.66 3.09 3.51 1.13 1.10 1.89 1.91

5 Makanan & Minuman 6.85 6.35 13.76 12.77 1.03 0.99 1.97 2.01

6 Rokok 14.40 14.37 29.56 27.02 1.14 0.71 1.88 2.41

7 Otomotif & komponen 7.44 5.12 15.55 10.60 1.07 1.07 1.94 1.93

8 Tekstil & garment 4.68 5.01 8.93 10.13 1.05 1.01 1.96 1.99

7.73 6.21 15.50 12.23 1.01 0.93 1.41 1.54

2014 2015 2014 2015 2014 2015

1 Pulp & kertas 1.34 1.38 0.43 0.41 3.15 3.33

2 Semen 2.43 1.98 0.71 0.65 11.43 12.04

3 Logam & sejenisnya 0.77 0.63 0.69 0.35 3.58 3.11

4 Kimia & sejenisnya 1.45 1.13 1.23 0.75 8.13 6.12

5 Makanan & Minuman 1.90 1.86 0.90 0.86 8.18 8.67

6 Rokok 1.51 2.50 1.65 1.54 2.94 2.83

7 Otomotif & komponen 1.31 1.34 0.85 0.75 11.00 9.15

8 Tekstil & garment 3.14 3.43 0.78 0.72 4.93 4.45

1.52 1.61 5.68 5.19 0.96 0.86

Asset TONo

Subsektor Industri

Pengolahan

Agregat

Current Ratio Inventory TO

NoSubsektor Industri

Pengolahan

Agregat

ROA ROE DER TA/TL

2014 2015 2014 2015

1 Pulp & kertas 206.78 218.12 1.76 2.85

2 Semen 15.95 25.19 21.55 11.09

3 Kimia & sejenisnya 102.49 151.42 1.27 4.15

4 Makanan & Minuman 101.59 92.01 5.73 7.08

5 Rokok 112.29 90.84 9.84 14.92

6 Otomotif & komponen 148.09 139.03 8.86 18.97

7 Tekstil & garment 92.61 78.61 2.98 2.86

121.18 121.53 7.10 9.83

NoSubsektor Industri

Pengolahan

DSR (%) ICR

Agregat

Page 49: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

35

kredit korporasi terjadi hampir di seluruh

lapangan usaha ekonomi utama Jawa, kecuali

lapangan usaha jasa keuangan. Lapangan usaha

industri pengolahan, yang memiliki pangsa

terbesar dalam kredit korporasi (33,2% dari total

kredit korporasi), mengalami perlambatan yang

cukup dalam hingga 8,4% (yoy). Penyaluran kredit

lapangan usaha perdagangan turut mengalami

perlambatan, sehingga perlambatan penyaluran

kredit kedua lapangan usaha utama tersebut

menarik turun pertumbuhan kredit korporasi

secara keseluruhan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.22. Pangsa Kredit Sektor Korporasi

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.23. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi

Melambatnya penyaluran kredit korporasi

industri pengolahan juga tercermin dari

menurunnya rasio DER. Tingkat utang terhadap

ekuitas pada akhir tahun 2015 mengalami

penurunan menjadi 0,93, lebih rendah

dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 1,05.

Menurunnya tingkat DER tersebut

mengindikasikan adanya penurunan preferensi

korporasi dalam menerima pinjaman di tengah

masih melambatnya kinerja korporasi.

Perlambatan penyaluran kredit korporasi

disertai dengan peningkatan risiko kredit, meski

masih berada dalam kategori aman. Pada

triwulan I 2016 ini, risiko kredit korporasi (NPL)

meningkat menjadi 2,76%, lebih tinggi dari rasio

NPL secara keseluruhan yang sebesar 2,64%.

Menurunnya kualitas kredit korporasi terutama

disumbang oleh kredit modal kerja, yang

mengalami peningkatan NPL cukup tinggi

menjadi 3,05%, dari 2,37% pada triwulan

sebelumnya. Berdasarkan sektor ekonomi,

peningkatan risiko kredit tertutama terjadi pada

sektor perdagangan, yaitu menjadi 4,58%, jauh

lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya

yang sebesar 3,17%.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.24. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.25. Pangsa DPK Perseorangan

Page 50: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

36

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.26. Pertumbuhan DPK Perseorangan

Perlambatan pertumbuhan DPK perseorangan

disumbang oleh penurunan deposito. Dengan

pangsa mencapai 46% dari total DPK, penurunan

deposito pada triwulan I 2016 sebesar 4,01%

(yoy), menahan pertumbuhan DPK secara

keseluruhan. Sementara, tabungan tumbuh

9,67% (yoy), menunjukkan kecenderungan

perbaikan sejak triwulan III 2015. Hal ini

mengindikasikan adanya perubahan preferensi

rumah tangga dalam memilih jenis DPK yang

lebih likuid, seiring dengan kondisi ekonomi yang

tidak terlalu kondusif di 2015.

Kredit Perseorangan di Perbankan

Kredit rumah tangga tumbuh melambat dari

9,93% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 9,86%

(yoy) pada triwulan I 2016. Perlambatan

penyaluran kredit rumah tangga utamanya

disumbang oleh kredit multiguna yang tumbuh

13,69% (yoy), lebih rendah dari triwulan

sebelumnya sebesar 14,54% (yoy). Peningkatan

pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan

Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), belum mampu

menahan perlambatan kredit rumah tangga

secara keseluruhan. Peningkatan KPR dan KKB

sejalan dengan hasil Survei Konsumen yang

menunjukkan adanya kenaikan optimisme

masyarakat terhadap pembelian barang tahan

lama.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.27. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

Perbaikan permintaan KPR berasal dari kenaikan

permintaan KPR untuk tipe rumah sampai dengan

21 serta tipe di atas 70. KPR tipe rumah di atas 70

tumbuh hingga 6,06% (yoy), sementara

pertumbuhan KPR untuk tipe rumah sampai

dengan 21 membaik menjadi -6,41% (yoy) dari -

9,20% (yoy) pada triwulan sebelumnya.

Permintaan akan Kredit Pemilikan Apartemen

dan Ruko juga mengalami peningkatan.

Meningkatnya permintaan kredit terkait properti

sejalan dengan hasil Survei Harga Properti

Residensial (SHPR) yang menunjukkan adanya

peningkatan indeks harga di seluruh kota besar di

Jawa. Sementara itu, penjualan kendaraan

bermotor roda 4 (empat) dan roda 2 (dua) pada

triwulan I 2016 tumbuh membaik menjadi 1,72%

(yoy), dari kuartal sebelumnya yang sebesar

1,18% (yoy).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.28. Perkembangan KPR

Page 51: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

37

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.29. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga

Risiko kredit rumah tangga mengalami

peningkatan. Rasio NPL untuk kredit rumah

tangga tercatat meningkat ke level 1,62%, lebih

tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar

1,43%. Risiko kredit yang meningkat disumbang

oleh semua jenis kredit rumah tangga dengan

dengan kenaikan terbesar pada rasio NPL KPR

dan kredit multiguna. Memburuknya kualitas KPR

terjadi di seluruh tipe KPR, dengan kenaikan rasio

NPL tertinggi pada tipe di atas 70. Peningkatan

risiko kredit KPR terutama terjadi di provinsi DKI

Jakarta.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Sistem Pembayaran Non-Tunai

Jumlah transaksi Sistem Kliring Nasional Bank

Indonesia (SKNBI) pada triwulan I 2016

mengalami penurunan dibandingkan triwulan

sebelumnya. Volume transaksi SKNBI tercatat

turun dari 25,5 juta transaksi menjadi 24 juta

transaksi. Sementara berdasarkan nominalnya,

transaksi SKNBI mengalami peningkatan menjadi

Rp 874 triliun atau tumbuh 46,9% (yoy).

Peningkatan nominal SKNBI terjadi di hampir

seluruh wilayah Jawa, kecuali DKI Jakarta. Secara

nominal, pangsa SKNBI untuk DKI Jakarta

mencapai 69%, sehingga pertumbuhan SKNBI

lebih lanjut tertahan oleh penurunan DKI Jakarta.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.30. Volume Transaksi SKNBI Jawa

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.31. Nominal Transaksi SKNBI Jawa

Pengelolaan Uang Rupiah

Pada triwulan I 2016 wilayah Jawa mengalami

net-inflow sebesar Rp 43,6 triliun, berbeda

dibandingkan periode sebelumnya yang

mengalami net-outflow. Nominal inflow

mengalami peningkatan pertumbuhan yang

tinggi, dari 1,16% (yoy) pada triwulan IV 2015

menjadi 16,75% (yoy) di triwulan I 2016.

Sebaliknya, pertumbuhan outflow melambat

cukup dalam menjadi 16,90% (yoy), setelah

sebelumnya dapat tumbuh hingga 38,02% (yoy).

Seluruh provinsi mengalami net-inflow atau

sesuai dengan pola historisnya yang juga selalu

mengalami net-inflow di awal tahun. Namun,

khusus untuk DKI Jakarta, net-inflow yang dialami

pada triwulan I 2016 ini merupakan yang

pertama kali dalam 3 tahun terakhir.

Page 52: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

38

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.32. Perkembangan Inflow dan Outflow

Jumlah uang palsu (atau yang diragukan

keasliannya) yang dilaporkan kepada Bank

Indonesia pada triwulan pertama tahun 2016

tercatat sebanyak 43.402 lembar, meningkat

dibandingkan triwulan sebelumnya yang

sebanyak 39.169 lembar. Peningkatan pelaporan

uang palsu salah satunya disebabkan oleh

meningkatnya arus inflow di Jawa. Selanjutnya

dalam mengantisipasi peningkatan uang palsu,

upaya-upaya edukasi kepada masyarakat terkait

ciri-ciri keaslian uang rupiah akan senantiasa

ditingkatkan. Hal tersebut juga akan didukung

oleh penguatan koordinasi dengan perbankan

dan pihak berwajib mengenai penanganan

laporan masyarakat terkait uang yang diragukan

keasliannya.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri

wilayah Jawa senantiasa memastikan

ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat di

wilayah kerja baik melalui kerjasama dengan

perbankan maupun penyelenggaraan layanan kas

keliling. Pada triwulan pertama tahun 2015,

jumlah pemusnahan UTLE menglami peningkatan

dari Rp 29,59 triliun, menjadi Rp 38,41 triliun.

Peningkatan pemusnahan UTLE sejalan dengan

meningkatnya net inflow pada triwulan I 2016

serta komitmen Bank Indonesia dalam menjaga

kelayakan uang beredar.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.33. Perkembangan Penemuan Uang Palsu

Sumber: Bank Indonesia

Grafik III.34. Perkembangan Pemusnahan UTLE

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kawasan Jawa pada 2016

diprakirakan tumbuh lebih baik pada kisaran

5,6%-6,0% (yoy). Prakiraan ini sedikit lebih

rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya.

Optimisme perbaikan ekonomi tahun 2016

bersumber dari komitmen pemerintah untuk

mempercepat belanja infrastruktur. Selain itu,

potensi perbaikan permintaan negara mitra

dagang, yaitu Amerika Serikat, Jepang, ASEAN

dan Eropa serta adanya pelonggaran kebijakan

moneter diperkirakan mampu mendukung

pemulihan ekonomi Jawa.

Dari sisi permintaan, perbaikan ekonomi juga

bersumber dari optimisme peningkatan

konsumsi baik rumah tangga maupun

pemerintah serta pemulihan minat investasi

swasta. Sementara itu, seiring dengan optimisme

peningkatan konsumsi dan pemulihan minat

investasi swasta, seluruh lapangan usaha utama

di Jawa berpotensi mengalami peningkatan

Page 53: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

39

kinerja, khususnya pada lapangan usaha industri

pengolahan dan perdagangan. Berbagai indikator

ekonomi baik dari sumber liaison maupun survei

mengindikasikan perbaikan persepsi dan

ekspektasi terhadap kondisi perekonomian,

peningkatan pendapatan dan rencana akselerasi

proyek infrastruktur Pemerintah pada tahun

2016.

Di sisi lain, masih terdapat risiko dari penurunan

harga komoditas dan implementasi lelang dini

yang tidak optimal serta asumsi pemulihan

ekonomi global yang tidak sebesar perkiraan

semula. Penerimaan negara juga diperkirakan

dibawah target sehingga memicu pengetatan

belanja. Selain itu, kinerja perdagangan antar

daerah dengan wilayah Jawa berpotensi

terganggu seiring dengan belum pulihnya harga

komoditas tambang dan perkebunan yang

mempengaruhi kinerja ekonomi wilayah luar

Jawa yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA).

Risiko anomali cuaca La Nina turut memberikan

potensi risiko banjir yang dapat mengganggu

capaian produksi pertanian Jawa.

Selain beberapa faktor yang telah disebutkan

sebelumnya, momen pemulihan ekonomi Jawa

juga dipengaruhi oleh tingkat optimalisasi peran

perkotaan yang memiliki share besar dalam

perekonomian Jawa. Optimaliasi peran

perkotaan mensyaratkan adanya konektivitas

yang berkualitas baik di dalam wilayah perkotaan

tersebut maupun dengan wilayah penopang

sekitarnya. Saat ini, perkembangan daerah

perkotaan di berbagai wilayah Jawa dihadapkan

pada permasalahan kemacetan yang

menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup

signifikan, terutama akibat minimnya efisiensi

kegiatan transportasi/distribusi. Di lain sisi,

perekonomian perkotaan yang efisien akan

meningkatkan daya saing kota, sehingga

perkotaan akan mampu mendukung akselerasi

pemulihan ekonomi Jawa yang lebih baik (Lihat

Boks: Kemacetan: meningkatkan biaya logistik

dan menghilangkan potensi petumbuhan

ekonomi).

Prospek Inflasi

Laju inflasi tahunan Jawa pada 2016

diperkirakan lebih tinggi dari 2015 namun masih

akan berada dalam rentang target inflasi

sebesar 4±1%. Tingkat inflasi pada 2016

diprakirakan berada pada kisaran 3,35%–3,75%

(yoy) atau lebih rendah dibandingkan proyeksi

sebelumnya.

Risiko tekanan inflasi pada 2016 terutama

bersumber dari kelompok volatile foods akibat

pergeseran musim tanam. Kemarau

berkepanjangan akibat El Nino pada tahun 2015

berdampak kepada bergesernya masa tanam

tanaman pangan. Mundurnya masa panen raya

padi dan masa tanam berikutnya berisiko

menurunkan produksi beras Jawa dari 16,9 juta

ton menjadi sekitar 15–15,5 juta ton pada tahun

2016. Selain itu, peningkatan curah hujan pada

tahun 2016 akibat anomali cuaca La Nina juga

dikhawatirkan dapat menimbulkan banjir yang

berisiko mengganggu keberlanjutan pasokan

pangan baik dari sisi produksi maupun

menghambat proses distribusi.

Di sisi lain terdapat potensi downside risk yang

bersumber dari tren penurunan harga minyak

dunia. Inflasi berpotensi lebih rendah dari

prakiraan apabila penurunan harga minyak dunia

terus berlanjut dan lebih dalam sehingga

menyebabkan adanya penyesuaian harga BBM di

dalam negeri dan tarif listrik. Selain itu, efek

lanjutan berupa penurunan tarif angkutan akan

menahan tekanan inflasi lebih dalam. Tekanan

dari kelompok inti diperkirakan rendah.

Page 54: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

40

Kemacetan: Meningkatkan Biaya Logistik dan

Menghilangkan Potensi Pertumbuhan Ekonomi

Aktivitas Commuting

Pesatnya perkembangan kota jika tidak didahului

oleh pembangunan dan penyediaan infrastruktur

dasar pelayanan kota, seperti sarana dan

prasarana transportasi, pada akhirnya akan

menimbulkan externalities seperti kemacetan

jalan. Hal ini akan menghambat produktivitas

ekonomi kota, meningkatkan biaya logistik dan

akhirnya menekan potensi pertumbuhan

ekonomi.

Faktor harga membuat sebagian besar pekerja

memilih untuk tinggal di sekitar wilayah kota alih-

alih di dalam kota. Sekitar 16% dari pekerja yang

bekerja di megacities Jawa merupakan

commuters. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi

seperti Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Semarang,

Surabaya dan Bandung merupakan tujuan utama

aktivitas pergi-pulang (commuting) di masing-

masing megacities.

Sumber: SAKERNAS BPS 2014 (diolah)

Grafik III.35. Pekerja Dengan Aktivitas Commuting

Minimnya sarana transportasi publik yang layak

membuat commuters lebih memilih untuk

menggunakan kendaraan pribadi menuju tempat

kerja. Penggunaan angkutan umum oleh

commuters saat ini rata-rata masih di bawah

25%. Penggunaan kendaraan pribadi yang tinggi

ini menyebabkan terjadinya kemacetan parah di

wilayah perkotaan di Jawa. Hal ini terlihat dari

besarnya commuters yang menempuh jarak di

atas 10 km dengan waktu di atas 60 menit (Grafik

III.36 dan III.37).

Sumber: SAKERNAS BPS 2014 (diolah)

Grafik III.36. Waktu Tempuh Commuters

Sumber: SAKERNAS BPS 2014 (diolah)

Grafik III.37. Jarak Tempuh Commuters

Sumber: SAKERNAS BPS 2014 (diolah)

Grafik III.38. Penggunaan Moda Transportasi

Kombinasi penggunaan kendaraan pribadi yang

tinggi dan jarak tempuh yang jauh menimbulkan

padatnya lalu lintas. Hal ini berdampak kepada

waktu tempuh yang lebih panjang terutama di

Boks 1

Page 55: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

41

Jabodetabek. Persentase commuters dengan

waktu tempuh lebih dari 1 jam yang tertinggi

terjadi di daerah Jabodetabek yaitu sebanyak

34% dari total commuters.

Aktivitas Logistik Perusahaan

Sumber: Quick Survey Dampak Kemacetan, Bank Indonesia

(diolah)

Grafik III.39. Dampak Umum Kemacetan Kota Besar

Kepadatan dan kemacetan jalan akan sangat

memengaruhi tingkat mobilitas masyarakat dan

kegiatan produktif ekonomi kota. Terkait hal itu,

Bank Indonesia telah mengadakan quick survey

terhadap perusahaan manufaktur dan

perusahaan jasa logistik di kota besar di Jawa,

dengan hasil sebagai berikut:

a) Kemacetan berdampak terhadap aktivitas

perusahaan dan jasa logistik di megacities di

Jawa. Dampak kemacetan yang paling

dirasakan adalah kenaikan biaya transportasi

yang berdampak lanjutan pada penurunan

profit margin (Grafik III.39). 9

b) Kemacetan juga berdampak pada

pengurangan kecepatan kendaraan dengan

tingkat keparahan tertinggi di Jakarta yang

mencapai 44% (Grafik III.40). Hal ini akan

menurunkan tingkat mobilitas di kota besar di

Jawa.

c) Sementara itu, kelompok responden

perusahaan jasa pengiriman menyatakan

bahwa kemacetan telah menimbulkan

kenaikan biaya transportasi rata-rata sebesar

10%. Kenaikan biaya ini tidak serta merta

9 Dampak diukur dari skala 1 sampai dengan 4 dimana 1

menunjukkan “tidak berdampak” dan 4 menunjukkan “sangat

berdampak”.

dapat dibebankan langsung pada konsumen

karena adanya risiko kehilangan pelanggan

akibat persaingan yang semakin tajam di

antara pelaku usaha di tengah lemahnya

perekonomian saat ini.

Sumber: Quick Survey Dampak Kemacetan, Bank Indonesia

(diolah)

Grafik III.40. Pengurangan Kecepatan Karena Kemacetan

Dalam rangka mengurangi dampak kemacetan,

kelompok responden korporasi menyatakan

mengambil berbagai langkah diantaranya

melakukan pengaturan jadwal pengiriman barang

sepanjang memungkinkan, meningkatkan

persediaan untuk mengantisipasi keterlambatan

pengiriman, mengalihdayakan aktivitas

transportasi ke perusahaan lain, serta melakukan

relokasi usaha ke daerah dengan tingkat

kemacetan yang lebih rendah.

Potensi Kenaikan Pertumbuhan

Dengan mempertimbangkan dampaknya yang

cukup besar terhadap biaya transportasi dan

aktivitas perusahaan, permasalahan kemacetan

harus diatasi untuk mendorong daya saing

korporasi dan logistik nasional. Sesuai dengan

hasil simulasi model Computable General

Equilibrium dari riset Growth Diagnostic DKI

Jakarta, terdapat potensi pertumbuhan sebesar

0,20% (terhadap pertumbuhan baseline) jika

permasalahan kemacetan dapat diatasi.

Page 56: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 57: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Bunga Anggrek Hitam (Coelogyne Pandurata)Maskot Flora Provinsi Kalimantan Timur dan Termasuk Salah Satu Spesies Anggrek Yang Langka dan Dilindungi.

Page 58: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Perekonomian Kalimantan

Bagian

IV

Page 59: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

43

Bagian IV

Perekonomian Kalimantan Kinerja perekonomian Kalimantan pada triwulan I 2016 tumbuh 1,1%, melambat dibandingkan

triwulan sebelumnya sebesar 1,4%. Masih lemahnya permintaan ekspor luar negeri khususnya

batubara yang merupakan komoditas utama Kalimantan menjadi sumber utama perlambatan

ekonomi. Realisasi investasi, yang merupakan turunan dari kinerja sektor utama Kalimantan, pada

akhirnya juga mengalami perlambatan selama periode laporan. Pada triwulan II 2016, kinerja

perekonomian Kalimantan diperkirakan sedikit membaik yang didukung peningkatan konsumsi RT

dan mulai membaiknya ekspor CPO karena faktor harga. Secara keseluruhan 2016, perekonomian

Kalimantan diproyeksikan tumbuh lebih baik dari 2015 dan akan tumbuh pada kisaran 1,0%-1,5%.

Sejalan dengan masih lesunya perekonomian, tekanan inflasi Kalimantan pada triwulan I 2016

tercatat sebesar 5,07%, menurun dari 5,12% pada triwulan sebelumnya. Penurunan laju inflasi

bersumber dari inflasi inti dan bahan pangan. Dibandingkan triwulan sebelumnya, tekanan inflasi

pada triwulan II 2016 diperkirakan akan melemah seiring dengan koreksi harga BBM. Potensi

penurunan ini diawali dengan deflasi yang terjadi pada bulan April 2016 sebesar 0,24% (mtm),

dibawah rata-rata inflasi bulanan periode yang sama lima tahun terakhir. Didukung oleh optimisme

terhadap peningkatan produksi pangan daerah, potensi penurunan harga minyak dan terjaganya

ekspektasi inflasi masyarakat serta upaya penguatan pengendalian inflasi daerah yang terus

dilakukan, secara keseluruhan tahun 2016, inflasi Kalimantan diperkirakan menurun dan berada

pada kisaran 4,09%-4,49%.

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kalimantan triwulan I 2016

tumbuh melambat dibandingkan triwulan

sebelumnya. Perekonomian Kalimantan tumbuh

1,1% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan

sebelumnya sebesar 1,4% (yoy). Perlambatan

diakibatkan semakin dalamnya penurunan ekspor

dan investasi. Di sisi lain, peningkatan konsumsi

rumah tangga dan pemerintah menahan

perlambatan perekonomian yang lebih dalam.

Perlambatan ekonomi terjadi di seluruh provinsi

kecuali Kalimantan Barat yang meningkat sejalan

dengan perbaikan kinerja industri akibat mulai

beroperasinya dua smelter alumina.

Lesunya perekonomian disebabkan kinerja

ekspor yang kembali terkontraksi. Kontraksi

terjadi semakin dalam dari -1,3% (yoy) pada

triwulan IV 2015, menjadi -1,9% (yoy) di triwulan

I 2016. Permintaan ekspor batubara khususnya

dari India masih cenderung lesu, karena masih

tingginya stok Batubara di pembangkit listrik di

negara tersebut. Selain itu, tetap terkontraksinya

permintaan Tiongkok yang tercermin dari

rendahnya PMI sebagai indikator kebutuhan

energi Tiongkok, juga berkontribusi pada

perlambatan ekspor Kalimantan. Meskipun

demikian, penurunan ekspor batubara sedikit

tertahan dengan beroperasinya beberapa PLTU

baru di Malaysia dan Vietnam serta kebijakan

pemerintah Jepang untuk tidak mengurangi

konsumsi batubara dengan alasan keekonomian.

Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan

Sumber : BPS

Semakin dalamnya kontraksi ekspor batubara

terutama terjadi di Kalimantan Timur sebagai

produsen batubara berorientasi ekspor terbesar

di Kalimantan. Sementara, pertambangan

I II III IV Total I II*

Kalimantan Barat 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 5.9 5.3

Kalimantan Tengah 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.2 6.8

Kalimantan Selatan 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.0 3.8

Kalimantan Timur -0.2 -0.4 -2.2 -0.5 -0.9 -1.3 -1.0

Kalimantan 2.0 1.4 0.4 1.4 1.3 1.1 1.3

2015 2016Provinsi

Page 60: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

44

batubara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan

Tengah sedikit terbantu oleh permintaan

domestik dalam menyerap hasil produksinya.

Selain batubara, lesunya ekspor Kalimantan juga

disebabkan oleh keterbatasan pasokan feed gas

LNG ditengah tingkat permintaan yang masih

cukup baik.

Sumber : Bea Cukai

Grafik IV.1. Ekspor Batubara Kalimantan Berdasarkan Negara Tujuan

Sejalan dengan lesunya permintaan eksternal dan

menurunnya kinerja sektor utama, investasi pada

triwulan I 2016 juga terkontraksi. Investasi

mengalami kontraksi semakin dalam dari -1,4%

(yoy) pada triwulan sebelumnya, menjadi -2,1%

(yoy). Lesunya investasi terjadi di seluruh provinsi

Kalimantan. Hal ini terindikasi dari penurunan

konsumsi semen dan impor barang modal yang

semakin dalam. Kontraksi juga terjadi pada

investasi non bangunan. Kondisi tersebut tidak

terlepas dari kecenderungan pelaku usaha dalam

menahan investasinya di tengah kondisi ekonomi

daerah yang masih tertekan. Namun demikian,

kontraksi investasi sedikit tertahan dengan

adanya realisasi investasi fisik dari pemerintah.

Konsumsi rumah tangga dan konsumsi

pemerintah yang tumbuh cukup signifikan

belum mampu menahan laju perlambatan

ekonomi Kalimantan. Konsumsi RT meningkat

dari 3,7% (yoy) menjadi 4,2% (yoy), didukung

oleh peningkatan konsumsi makanan, terindikasi

dari tren peningkatan likert scale (LS) dan saldo

bersih tertimbang (SBT) perdagangan pada

triwulan I 2016. Konsumsi pemerintah pun

meningkat signifikan dari -9,1% (yoy) menjadi

4,5% (yoy), terkonfirmasi dari penurunan

penempatan dana Pemerintah Daerah di

perbankan yang cukup dalam.

Sumber : Bank Indonesia

Grafik IV.2. LS dan SBT Perdagangan

Memasuki triwulan II 2016, perekonomian

Kalimantan diperkirakan meningkat meski

terbatas, didukung oleh perbaikan konsumsi RT,

investasi dan ekspor. Perbaikan didukung oleh

kinerja perkonomian Kalimantan Timur dan

Kalimantan Tengah. Di sisi lain, Kalimantan Barat

dan Kalimantan Selatan diperkirakan mengalami

perlambatan.

Peningkatan konsumsi swasta (rumah tangga dan

LNPRT) pada triwulan II 2016 didukung oleh

meningkatnya konsumsi masyarakat memasuki

siklus Ramadhan dan persiapan Lebaran 2016.

Perbaikan konsumsi swasta terjadi di Kalimantan

Tengah dan Kalimantan Timur, sementara

Kalimantan Barat diperkirakan melambat sejalan

dengan berakhirnya masa perayaan Imlek.

Peningkatan konsumsi tersebut terkonfirmasi

dari Indeks Tendensi Konsumen Kalimantan yang

lebih optimis. Selain itu, likert scale sektor

perdagangan di awal triwulan II 2016 juga

menunjukkan perbaikan.

Sumber : Bank Indonesia

Grafik IV.3. ITK dan Likert Scale Perdagangan

Page 61: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

45

Kinerja ekspor yang diperkirakan tumbuh lebih

baik dibandingkan triwulan I 2016, meskipun

masih mengalami kontraksi. Ekspor komoditas

batubara diperkirakan masih akan berada pada

level yang stagnan, namun ekspor CPO

diproyeksikan meningkat sejalan dengan

turunnya pasokan dunia akibat El Nino. Turunnya

pasokan CPO dunia berakibat pada membaiknya

proyeksi harga CPO yang diperkirakan meningkat

0,1% (yoy) pada triwulan II 2016, lebih tinggi dari

triwulan sebelumnya senilai -0,9% (yoy). Khusus

di Kalimantan Barat, ekspor didorong oleh

komoditi alumina pasca ekspansi salah satu

smelter alumina CGA (Chemical Grade Alumia)

dan beroperasinya 1 smelter alumina SGA

(Smelter Grade Alumia).

Sumber : Bank Indonesia

Grafik IV.4. Likert Scale Ekspor

Investasi juga diperkirakan menjadi pendorong

laju perekonomian di triwulan II 2016. Masih

terus berlanjutnya realisasi investasi berbagai

proyek infrastruktur pemerintah pusat di daerah

seperti jalan tol Samarinda-Balikpapan, jalan

perbatasan dan berbagai proyek lainnya turut

berkontribusi bagi aktivitas perekonomian

Kalimantan. Lebih lanjut, meskipun masih

terbatas, arah investasi swasta juga meningkat

yang terindikasi dari kenaikan Likert Scale

investasi sektor swasta.

Di sisi lain, konsumsi pemerintah mengalami

perlambatan dari 4,5% (yoy) menjadi 4,1% (yoy)

yang antara lain disebabkan penundaan realisasi

anggaran belanja langsung di Kalimatan Timur10

.

Penundaan belanja langsung merupakan dampak

dari defisit fiskal di propinsi tersebut. Adapun,

pergeseran realisasi pembayaran THR dari tahun

sebelumnya pada triwulan III menjadi triwulan II

(Juni) pada 2016 belum dapat menset-off dampak

negatif dari penundaan belanja langsung

tersebut.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertambangan

Pada triwulan I 2016, sektor pertambangan

belum menunjukan perbaikan yang berarti,

kecuali untuk komoditas mineral. Sektor

pertambangan masih terkontraksi 5,9% (yoy)

atau sedikit lebih buruk dibandingkan triwulan

sebelumnya yang terkontraksi 5,7% (yoy). Sektor

pertambangan di Kalimantan didominasi oleh

batubara dan migas yang pada periode ini

terkontraksi lebih dalam dibandingkan triwulan

sebelumnya. Masih rendahnya kinerja

pertambangan dikonfirmasi oelh hasil SKDU yang

menurun. Sementara, turunnya produksi migas

tercermin darI penurunan lifting minyak dan gas.

Sumber : ESDM

Grafik IV.5. Lifting Migas Kalimantan

Pada komoditas batubara, tingginya stok

batubara India dan lemahnya permintaan

Tiongkok menjadi penyebab masih rendahnya

harga batubara dunia (saat ini US$48,39/ton atau

10

Berdasarkan surat edaran Gubernur bernomor

903/030/003-II/Keu tertanggal 5 Januari 2016 yang menyatakan penundaan realisasi 35% belanja langsung diluar kegiatan terkait pelayanan publik. Penundaan juga diberlakukan padarealisasi belanja tidak terduga, belanja hibah, dan bantuan keuangan.

Page 62: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

46

terkontraksi 21,12% yoy). Ketiga faktor tersebut

mendorong kontraksi produksi dan ekspor

batubara Kalimantan pada triwulan I 2016.

Meskipun demikian, beberapa perusahaan

tambang batubara berskala besar berencana

untuk menaikkan target produksinya di tahun

2016.

Berbeda dengan pertambangan energi, sektor

pertambangan di Kalimantan Barat justru tumbuh

tinggi. Tingginya angka pertumbuhan

pertambangan merupakan dampak kenaikan

produksi bauksit sejalan dengan peningkatan

produksi 1 smelter alumina CGA.

Memasuki triwulan II, kinerja sektor

pertambangan diperkirakan sedikit membaik

meskipun masih terkontraksi sebesar 5,6%

(yoy). Lebih landainya kontraksi didukung oleh

optimisme contact liaison subsektor batubara

terhadap permintaaan domestik. Peningkatan

konsumsi batubara PLN pada 2016 sebesar 8%-

16% dan beroperasinya salah satu site batubara

tujuan ekspor di Kalimantan Selatan yang

sebelumnya bermasalah dengan kontraktor

diperkirakan turut mendorong perbaikan kinerja

subsektor batubara. Pada tambang mineral,

beroperasinya dua fasilitas pengolahan tambang

zircon di Kalimantan Tengah dan smelter alumina

SGA (Smelter Grade Alumina) berkapasitas

161.000 WMT di Kalimantan Barat menjadi

pendorong laju pertambangan.

Industri

Sektor industri pengolahan mengalami

perlambatan pada triwulan I 2016. Sektor

industri tumbuh melambat 7,7% (yoy), lebih

rendah dibandingkan triwulan IV 2015 yang

tumbuh 10,3% (yoy). Walaupun sektor industri

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan

Kalimantan Tengah mengalami pertumbuhan

yang meningkat dibandingkan triwulan

sebelumnya, namun perlambatan sektor industri

Kalimantan Timur yang menguasai lebih dari 50%

pangsa industri pengolahan di Kalimantan

mengakibatkan perlambatan industri pengolahan

secara keseluruhan di wilayah Kalimantan.

Perlambatan industri disebabkan oleh penurunan

kinerja industri pengolahan LNG yang

terkonfirmasi dari menurunnya realisasi

pengiriman LNG pada triwulan I 2016. Sementara

itu, kinerja industri pengolahan nonmigas seperti

CPO dan smelter mengalami peningkatan pada

triwulan I 2016 walaupun belum mampu

mendorong kinerja industri pengolahan

Kalimantan secara agregat karena kontribusinya

yang masih rendah. Produksi CPO Kalimantan

tercatat tumbuh meningkat di tengah rebound

harga sejak Desember 2015. Peningkatan industri

pengolahan di Kalimantan Barat disumbang oleh

kenaikan kapasitas produksi smelter alumina

CGA. Kedua smelter tersebut telah memasuki

produksi komersial dengan prakiraan penjualan

sebesar 161.000 WMT di tahun 2016.

Sumber : Bank Indonesia

Grafik IV.6. Likert Scale Proyeksi Penjualan dan Proyeksi Investasi

Memasuki triwulan II 2016, industri pengolahan

Kalimantan kembali melambat menjadi 5,4%

(yoy). Hal ini terindikasi dari proyeksi Likert Scale

penjualan dan investasi yang cenderung

melambat. Penurunan output industri LNG

diperkirakan masih akan terus berlanjut dan

menjadi penyebab utama melambatnya

pertumbuhan industri pengolahan. Di sisi lain,

industri nonmigas diperkirakan tumbuh lebih baik

didorong industri CPO dan smelter alumina.

Berdasarkan hasil liaison, penjualan CPO pada

triwulan II 2016 diperkirakan mengalami

peningkatan khususnya penjualan domestik.

Peningkatan terkonfirmasi dari naiknya produksi

TBS sejalan dengan kondisi curah hujan yang

kondusif dan penambahan luas lahan produktif di

Kalimantan Tengah sebesar 17,3%. Lebih lanjut,

Page 63: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

47

harga CPO diperkirakan akan mengalami

peningkatan pada triwulan II 2016. Kinerja

industri Kalimantan juga ditopang oleh

beroperasinya smelter alumina SGA di Ketapang

dengan kapasitas produksi hingga 1 Juta WMT.

Pertanian

Pada triwulan I 2016, sektor pertanian,

kehutanan dan perikanan tumbuh sebesar 1,6%

(yoy), sedikit meningkat dibandingkan triwulan

sebelumnya yang tumbuh 1,5% (yoy).

Peningkatan kinerja sektor pertanian Kalimantan

terutama didukung oleh kinerja subsektor bahan

pangan sebagai dampak dari peningkatan luas

tanam lahan tanaman pangan pada triwulan IV

2015. Penurunan luas lahan gagal panen juga

menjadi pendorong peningkatan produksi

tabama. Selain tanaman pangan, perbaikan

kinerja sektor pertanian juga didukung oleh

peningkatan kinerja subsektor perkebunan,

khususnya perkebunan kelapa sawit. Hal ini

ditandai peningkatan indeks produksi TBS yang

tercatat berada pada level yang tinggi karena

didukung oleh curah hujan yang kondusif,

peningkatan luas wilayah tanaman produktif dan

insentif tren kenaikan harga sejak Desember

2015.

Peningkatan kinerja pertanian diperkirakan

masih berlanjut sampai dengan triwulan II 2016.

Perbaikan kinerja masih berasal dari perbaikan

kinerja subsektor perkebunan, khususnya

produksi TBS dan karet. Peningkatan produksi

TBS disebabkan bertambah luasnya lahan

produktif di wilayah Kalimantan ditambah

dukungan curah hujan yang diperkirakan lebih

baik dibandingkan tahun sebelumnya. Lebih

lanjut, pembukaan beberapa pabrik pengolahan

CPO baru di Kalimantan juga diperkirakan

berdampak pada meningkatnya permintaan TBS

di Kalimantan. Selain itu, subsektor tabama juga

diperkirakan akan turut berkontribusi bagi

perbaikan kinerja sektor pertanian seiring dengan

percetakan sawah baru di Kalimantan Tengah dan

Kalimantan Barat melalui proyek pemerintah

Upsus Pajale (Upaya Khusus Padi, Jagung, dan

Kedelai) serta pembangunan jaringan irigasi

seluas 9.500 ha di Kalimantan Barat. Sejalan

dengan produksi, nilai tukar petani yang

meningkat juga menjadi insentif bagi petani

untuk menggiatkan produksinya yang pada

gilirannya juga ikut meningkatkan kinerja sektor

pertanian.

Sumber : BPS

Grafik IV.7. NTP

Fiskal Daerah

Anggaran belanja fiskal Pemerintah Daerah di

Kalimantan pada tahun 2016 mengalami

peningkatan 6,23% (yoy). Secara spasial,

peningkatan tertinggi terjadi di Kalimantan

Tengah yang tumbuh 24,04% (yoy), disusul oleh

Kalimantan Barat (22,32% yoy), Kalimantan Utara

(4,9% yoy), dan Kalimantan Selatan (2,74% yoy).

Di sisi lain belanja Kalimantan Timur mengalami

penurunan -5,78% (yoy) sebagai dampak defisit

fiskal daerah.

Tabel IV.2. Realisasi Belanja Pemda Kalimantan TW I-2016 (% yoy)

Sumber : TEPRA

Pemerintah daerah masih terus fokus untuk

pengerjaan infrastuktur. Hal tersebut tercermin

dari anggaran belanja modal yang meningkat

15,13% (yoy), jauh di atas peningkatan belanja

non modal senilai 2,49% (yoy). Peningkatan pada

Modal Non Modal Total

Kalbar 122.4 -6.5 22.3

Kalteng 33.2 20.6 24.0

Kalsel 0.4 3.6 2.7

Kaltim -12.0 -2.5 -5.8

Kaltara -3.9 9.1 4.9

Kalimantan 15.1 2.5 6.2

Page 64: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

48

belanja modal memiliki dampak multiplier yang

besar pada perekonomian secara umum.

Dari sisi pendanaan, dana perimbangan pada

tahun 2016 diperkirakan meningkat signifikan

24,68% (yoy). Peningkatan dana perimbangan

didukung oleh kenaikan DBH 18,79% (yoy), DAU

14,19% (yoy), dan Dana transfer lainnya sebesar

59,42% (yoy). Peningkatan DBH ditopang oleh

kenaikan DBH pertambangan umum, sejalan

dengan rencana kenaikan royalti tambang dan

PBB tambang. Selain itu, kenaikan DBH juga

disumbang oleh kenaikan PPh perorangan. Di sisi

lain, DBH migas diperkirakan mengalami

penurunan seiring dengan semakin terbatasnya

lifting di Kalimantan.

Memasuki triwulan I 2016, realisasi belanja

Pemerintah daerah tercatat mencapai 9,62%.

Bila dibandingkan dengan historisnya, realisasi di

triwulan I 2016 lebih tinggi dibandingkan realisasi

triwulan I 2015 yang tercatat 8,93%. Lebih

tingginya realisasi belanja Pemerintah Daerah

terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan

dan Kalimantan Timur. Sementara realisasi

Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara berada

di bawah realisasi periode yang sama tahun 2015.

Sumber : TEPRA

Grafik IV.8. Realisasi Belanja Pemda (%)

Perkembangan Inflasi

Inflasi Kalimantan pada triwulan I 2016 lebih

rendah dibandingkan triwulan sebelumnya.

Inflasi tercatat sebesar 5,07% (yoy), turun dari

5,12% (yoy) ditriwulan IV 2015. Capaian inflasi ini

masih berada di atas nasional yang tercatat

4,45% (yoy). Inflasi di seluruh provinsi Kalimantan

berada di atas nasional (Grafik IV.9) dengan

capaian tertinggi di Kalimantan Selatan sebesar

6,04% (yoy). Meskipun demikian, apabila

dibandingkan dengan historisnya, capaian inflasi

Kalimantan triwulan I 2016 berada di bawah rata-

rata 3 tahun terakhir. Tren penurunan tersebut

sudah berlangsung sejak awal tahun 2015.

Turunnya tekanan inflasi terutama terjadi di

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Turunnya tekanan inflasi pada triwulan I 2016

disumbang oleh meredanya inflasi kelompok

bahan pangan (volatile food) dan inflasi

kelompok inti, meskipun di sisi lain inflasi

kelompok administered prices menunjukkan

tren meningkat. Inflasi volatile food mengalami

penurunan dari 8,18% (yoy) menjadi 7,20% (yoy)

yang merupakan kontribusi dari turunnya harga

daging ayam ras dan beberapa jenis sayur mayur.

Capaian inflasi VF ini berada di bawah level

nasional (9,6% yoy) dan terjadi di semua provinsi

di Kalimantan dengan tingkat harga paling

terkendali di Kalimantan Selatan. Adapun

penurunan tekanan inflasi kelompok inti dari

5,08% (yoy) menjadi 4,48% (yoy) tidak terlepas

dari masih lesunya kondisi perekonomian

sehingga pengeluaran masyarakat cenderung

tertahan. Capaian inflasi kelompok inti terendah

terjadi di Kalimantan Tengah sebesar 4,01% (yoy).

Sumber :BPS

Grafik IV.9. Perkembangan Inflasi Kalimantan

Kelompok inflasi administered prices mengalami

peningkatan dari 2,29% (yoy) menjadi 4,38%

(yoy). Peningkatan tersebut dipicu oleh kenaikan

tarif angkutan udara di Kalimantan Timur-Utara

dan Kalimantan Selatan serta kenaikan cukai

Page 65: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

49

untuk tembakau dan minuman beralkohol.

Kenaikan tarif angkutan udara di Kalimantan

Selatan bersumber dari tingginya permintaan

akibat hari besar keagamaan dan long weekend,

sementara tingginya tarif angkutan udara di

Kaltimra lebih disebabkan tingginya mobilitas

tenaga kerja dan pengusaha pertambangan.

Sementara itu, penyesuaian harga dan tarif

sejumlah komoditas administered price seperti

BBM, tarif listrik dan LPG yang dilakukan

pemerintah menahan peningkatan inflasi

administered prices yang lebih jauh di

Kalimantan.

Sumber :BPS, diolah

Grafik IV.10. Disagregasi Kelompok Inflasi

Memasuki awal triwulan II 2016, inflasi

Kalimantan pada bulan April 2016 turun menjadi

4,59% (yoy). Turunnya tekanan inflasi merupakan

dampak langsung dari keputusan Pemerintah

untuk menyesuaikan harga Premium dan Solar

masing-masing Rp500/liter di awal April 2016.

Selain itu, permintaan terhadap bahan makanan

dan kondisi pasokan yang terkendali juga menjadi

faktor pendukung penurunan inflasi.

Sampai dengan akhir triwulan II 2016, tekanan

inflasi diperkirakan kembali turun sejalan

pertumbuhan ekonomi yang terbatas dan

penyesuaian tarif energi. Inflasi pada triwulan II

2016 diperkirakan turun dari 5,07% (yoy) menjadi

4,91% (yoy). Penurunan inflasi diperkirakan

terjadi di semua provinsi di Kalimantan, kecuali

Kalimantan Timur dengan perkiraan inflasi

masing-masing sebesar 4,28% (yoy) untuk

Kalimantan Barat, 3,68% (yoy) untuk Kalimantan

Tengah dan 5,61% (yoy) untuk Kalimantan

Selatan. Sementara inflasi Kalimantan Timur

diperkirakan sebesar 5,14% (yoy).

Berdasarkan komponen pembentuknya, turunnya

tekanan inflasi lebih disebabkan oleh kelompok

administered price. Turunnya BBM per 1 April

2016 menjadi pendorong utama semakin

rendahnya tekanan inflasi, selain kebijakan

penyesuaian tarif listrik pada bulan April dan Mei

dibandingkan rata-rata triwulan I 2016. Pada

kelompok inti, inflasi diperkirakan masih akan

stabil sejalan dengan perbaikan belanja

masyarakat yang masih terbatas. Masih belum

pulihnya perekonomian diperkirakan membuat

masyarakat cenderung menahan konsumsi

durable goods. Hal ini diindikasikan oleh turunnya

indeks konsumsi durable goods pada bulan April

2016 menjadi 93,3 atau lebih rendah

dibandingkan rata-rata triwulan I 2016 sebesar

106,1. Di sisi lain, tekanan inflasi inti diperkirakan

berasal dari kenaikan harga makanan jadi pada

masa Ramadhan yang jatuh pada akhir triwulan II

2016 dan potensi peningkatan harga emas

internasional.

Koordinasi Pengendalian Inflasi

Menghadapi berbagai risiko inflasi, fokus

pengendalian inflasi melalui Tim Pengendali

Inflasi Daerah (TPID) di wilayah Kalimantan akan

difokuskan pada upaya peningkatan produksi

lokal, menjaga ketersediaan stok di pasar dan

mengelola ekspektasi masyarakat dengan

beberapa upaya sebagai berikut :

1. Mendorong Produksi Lokal, melalui perluasan

penanaman padi Hazton di Kalimantan Barat

dari 2.000 ha menjadi 45.000 ha di tahun

2016, pengembangan klaster bawang, tomat

dan cabai di Kalimantan Selatan,

Pengembangan kandang penyangga di

Kalimantan Tengah serta pelaksanaan

budidaya cabai organik, tanaman pangan dan

holtikultura di Kalimantan Timur.

2. Menjaga stok di pasar melalui rekomendasi

pembangunan pasar sentral di Kalimantan

Page 66: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

50

Barat, rekomendasi pencabutan keputusan

Gubernur No. 26 tahun 2008 tentang

pembatasan distribusi masuk hewan ternak

dalam rangka pemberantasan Kartel Ayam

dan Telur di Kalimantan Barat, optimalisasi

Operasi beras bekerjasama dengan BULOG

serta Pencegahan penimbunan BBM.

3. Mengelola ekspektasi masyarakat melalui

pelaksanaan pasar murah, peningkatan

frekuensi pasar penyeimbang, pengadaan

kegiatan sekolah peduli inflasi di Kalimantan

Timur serta roadshow dan pelaksanaan

sekolah sadar inflasi di Kalimantan Timur.

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Sumber-sumber Kerentanan Sektor Korporasi

Perlambatan ekonomi Kalimantan diakibatkan

oleh melambatnya kinerja sektor ekonomi

unggulan Kalimantan seperti sektor

pertambangan dan sektor industri pengolahan.

Pada triwulan I 2016, faktor utama perlambatan

ekonomi adalah semakin terkontraksinya

investasi dan ekspor dibandingkan periode

sebelumnya seiring dengan masih berlanjutnya

penurunan harga komoditas utama serta

penurunan permintaan komoditas ekspor dari

negara mitra dagang utama.

Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko

Sejalan dengan perlambatan ekonomi

Kalimantan, hasil SKDU Bank Indonesia

mengindikasikan kegiatan usaha pada akhir

triwulan I 2016 menurun dibandingkan kondisi

triwulan sebelumnya. Hal ini terlihat pada hampir

semua parameter pengukuran antara lain

realisasi maupun pekiraan kegiatan usaha,

utilisasi, realisasi dan prakiraan harga, realisasi

dan perkiraan tenaga kerja, realisasi dan

prakiraan investasi di hampir semua sektor

perekonomian di Kalimantan khususnya sektor

pertambangan, pengangkutan dan komunikasi

serta keuangan, persewaaan dan jasa

perusahaan.

Sejalan dengan penurunan kegiatan usaha, rata-

rata utilisasi pada triwulan I 2016 menurun dari

86,04% menjadi 74,78% jika dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya. Sementara,

penurunan kapasitas produksi terjadi pada sektor

pertanian, pertambangan dan industri

pengolahan yang secara rata-rata mengalami

penurunan dari 83,6% pada triwulan sebelumnya

menjadi 66,37% pada periode laporan.

Meskipun terdampak dari perlambatan ekonomi

global dan penurunan harga komoditas,

beberapa korporasi di Kalimantan masih mampu

menunjukan kinerja keuangan positif meskipun

belum menggembirakan. Hal ini tercermin dari

beberapa indikator kinerja keuangan korporasi

seperti produktivitas, profitabilitas, solvabilitas,

likuiditas, dan repayment capacity yang mulai

menunjukan gejala rebound meskipun masih

terbatas. Tekanan perlambatan ekonomi yang

diikuti penurunan harga komoditi global yang

semula berpengaruh negatif terhadap

produktivitas korporasi di sektor pertambangan,

khususnya batubara, terindikasi telah mampu

disiasati korporasi yang bergerak di bidang

tambang batubara. Hal tersebut terlihat dari

indikator asset turnover yang mulai rebound,

meskipun masih terbatas.

Sumber: Bloomberg, diolah

Grafik IV.11. Asset Turnover

Page 67: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

51

Sumber: Bloomberg, diolah

Grafik IV.12. Current Ratio Korporasi Batubara

Jika ditinjau lebih jauh, terdapat perbedaan

ketahanan korporasi dalam jangka panjang

(solvabilitas) dengan jangka pendek (likuiditas)

antara korporasi pertambangan batubara dan

korporasi perkebunan kelapa sawit dan CPO yang

merupakan sektor utama Kalimantan. Korporasi

batubara relatif lebih memiliki ketahanan yang

lebih baik dalam jangka panjang maupun jangka

pendek jika dibandingkan dengan korporasi

kelapa sawit dan CPO, sebagaimana ditunjukkan

oleh indikator likuiditas dan solvabilitas korporasi

batubara yang cenderung berada di atas

korporasi kelapa sawit dan CPO.

Sumber: Bloomberg, diolah

Grafik IV.13. Solvability Ratio Korporasi Batubara

Sumber: Bloomberg, diolah

Grafik IV.14. Current Ratio Korporasi CPO

Dari sisi kemampuan korporasi dalam membayar

utang, korporasi batubara memperlihatkan

kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan

korporasi perkebunan kelapa sawit dan CPO.

Kedua indikator repayment capacity, baik itu

Debt Service Ratio (DSR) maupun Interest

Coverage Ratio (ICR) bagi korporasi batubara

mengalami perbaikan, relatif lebih baik daripada

korporasi perkebunan kelapa sawit dan CPO.

Sumber: Bloomberg, diolah

Grafik IV.15. Solvability Ratio Korporasi CPO

Sumber: Bloomberg, diolah

Grafik IV.16. DSR & ICR Korporasi Batubara

Sumber: Bloomberg, diolah

Grafik IV.17. DSR & ICR Korporasi Perkebunan CPO

Page 68: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

52

Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi

Sejalan dengan perlambatan kedua sektor utama

perekonomian Kalimantan, penyaluran kredit

korporasi juga mengalami perlambatan.

Sementara kredit korporasi untuk sektor

pertambangan, walaupun masih tumbuh negatif,

namun telah menunjukan perbaikan

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Kontraksi pertumbuhan kredit untuk korporasi

pertambangan tercatat membaik menjadi -

13,47% dari semula -16,39%.

Grafik IV.18. Perkembangan Kredit Korporasi

Meskipun penyaluran kredit korporasi masih

lemah, namun kualitas penyaluran kredit

korporasi relatif stabil jika dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Hal ini ditopang oleh

rendahnya NPL sektor pertanian, meskipun perlu

diwaspadai kenaikan NPL sektor pertambangan

dan sektor industri.

Dengan demikian, berdasarkan beberapa

indikator tersebut, stabilitas sistem keuangan

yang bersumber dari korporasi di Kalimantan

relatif aman.

Tabel IV.3. Perkembangan NPL

Sumber: Bank Indonesia

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Sumber Kerentanan dan kondisi Sektor RT

Berlanjutnya perlambatan ekonomi Kalimantan

hingga triwulan I 2016 berimbas terhadap tingkat

keyakinan sektor rumah tangga terhadap kondisi

ekonomi triwulan berjalan yang tercermin dari

terbatasnya pertumbuhan konsumsi RT di kisaran

4,2%. Hal ini juga terlihat dari angka Indeks

Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi

Ekonomi (IKE) di sepanjang tahun 2016 yang

terus memperlihatkan penurunan jika

dibandingkan dengan tahun 2015. IKK Januari

2016 hingga April 2016 terus mengalami

penurunan masing-masing tercatat sebesar

116.6, 116.5, 103.8, dan 102.8. Sementara IKE

Januari 2016 hingga April 2016 masing-masing

tercatat sebesar 108.8, 108.3, 98.9, 90.3.

Meskipun demikian, RT masih optimis akan

terjadi perbaikan ekonomi dalam sisa tahun

2016, tercermin dari Indeks Ekspektasi Konsumen

(IEK) yang masih tercatat sebesar 115.2 atau

meningkat dibandingkan periode Maret 2016.

DPK Perseorangan di Perbankan

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.19. Pertumbuhan DPK RT

DPK RT Kalimantan masih tumbuh stabil

didukung oleh peningkatan tabungan di satu sisi

serta penurunan deposito di sisi lain. Liquidity

profiling yang dilakukan oleh RT di Kalimantan ini

mengindikasikan strategi yang dilakukan oleh RT

untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak

diinginkan dalam jangka pendek.

'15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I

Kalsel 3.3 3.5 0.5 0.5 1.8 1.7 0.6 0.7 7.5 4.2 5.1 12.3 8.2 7.9 6.6 8.1

Kalbar 5.2 5.6 0.1 0.1 0.0 0.1 26.9 29.2 1.3 1.3 0.3 0.0 2.2 1.6 3.9 5.8

Kaltim 6.9 6.4 1.7 0.2 10.8 12.1 0.3 0.3 6.0 6.2 16.0 15.4 30.6 31.6 13.0 14.3

Kalteng 3.0 3.4 0.0 0.0 41.2 43.5 5.4 0.2 1.1 2.3 0.4 0.4 6.7 5.7 2.1 15.3

Kalimantan 5.3 5.3 0.5 0.1 9.7 10.4 6.4 6.9 5.4 4.6 10.0 11.9 23.7 23.2 9.9 12.2

Transkom Jasa KonstruksiKorporasi Tani Tambang Industri Dagang

Page 69: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

53

Kredit Perseorangan di Perbankan

Berbeda halnya dengan kondisi perlambatan

kinerja korporasi, kredit sektor rumah tangga (RT)

secara agregat masih stabil meskipun

pertumbuhan kredit untuk durable goods seperti

kendaraan dan multiguna tercatat menurun.

Kredit RT untuk pemilikan kendaraan mengalami

kontraksi hingga 19,4% pada triwulan I 2016.

Pangsa kredit RT saat ini masih didominasi oleh

kredit multiguna sebesar 53%, disusul kredit

perumahan, kredit kendaraan dan kredit ruko

masing-masing sebesar 30%, 11% dan 3%.

Perlambatan KPR terutama didorong kontraksi

KPR tipe rumah 21 dari sebelumnya tumbuh 3%

(yoy) menjadi -6,74% (yoy), serta perlambatan

KPR tipe rumah di atas 70 dari 12,07% (yoy)

menjadi 11,93% (yoy). Perlambatan KPR tipe

rumah di atas 70, selain dipengaruhi peningkatan

suku bunga kredit dari 10,67% menjadi 10,94%,

juga adanya perkiraan peningkatan Indeks Harga

Properti Residensial (IHPR) sehingga menahan

permintaan KPR. Sementara, penurunan KPR tipe

21 ditengah penurunan suku bunga dari 11,38%

menjadi 11,24% mengkonfirmasi lemahnya

konsumsi masyarakat kelompok menengah ke

bawah pada periode laporan.

Pertumbuhan kredit RT relatif stabil dengan

kualitas kredit yang masih terjaga. Hal ini terlihat

dari masih rendahnya NPL (2%) dan rasio debt to

service yang sehat (12,3%). DSR tertinggi terjadi

Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan

masing-masing sebesar 17,5% dan 12,7%. Kondisi

ini sejalan dengan hasil Survei Konsumen di

kantor Perwakilan Bank Indonesia di Kalimantan,

dimana pengeluaran masyarakat untuk

pembelian barang tahan lama (durable goods)

turun dari 107,3 menjadi 93,3. Begitu pula

dengan indeks pengeluaran konsumen yang juga

mengalami penurunan untuk setiap kelompok

komoditas.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.20. NPL RT

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.21. DSR- Survei Konsumen

Pengelolaan Uang Rupiah

Sesuai pola siklikalnya, pengedaran uang kartal

selama periode triwulan I 2016 di Kalimantan

mengalami penurunan. Kondisi ini terjadi di

hampir semua provinsi di Kalimantan kecuali di

Kalimantan Tengah. Outflow tercatat turun

sebesar 1,25% (yoy) dan inflow naik sebesar 5,2%

(yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya,

sehingga net inflow tumbuh 5% (yoy).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.22. Perkembangan Outflow dan Inflow

Guna memastikan ketersediaan uang layak edar

di Kalimantan, Bank Indonesia memastikan

ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

-20

-15

-10

-5

0

5

10

I II III IV I II III IV I II III IV I

2013 2014 2015 2016

Inflow Outflow g. inflow g. outflow

(Rp triliun)

Page 70: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

54

melalui perluasan jaringan distribusi dalan

layanan kas antara lain melalui pengembangan

Centralized Cash Network Planning (CCNP).

Sepanjang triwulan I 2016, Bank Indonesia telah

membuka tiga kas titipan baru di wilayah

Kalimantan yaitu kas titipan Batulicin di

Kalimantan Selatan, kas titipan Tanjung Selor di

Kalimanan Utara dan kas titipan Tanjung Redeb

di Kalimantan Timur. Untuk jangka panjang

(2015-2019), Bank Indonesia juga akan membuka

beberapa kas titipan di beberapa titik lainnya

seperti Kalimantan Barat (Putussibau),

Kalimantan Tengah (Purukcahu, Nangabulik,

Buntok dan Kuala Kapuas), Kalimantan Selatan

(Batulicin, Tanjung dan Barabai), Kalimantan

Timur (Tanjung Redeb dan Melak) serta

Kalimantan Utara (Tanjung Selor, Tarakan dan

Malinau).

Sementara itu, Uang Tidak Layak Edar (UTLE)

yang dimusnahkan mencapai Rp 3,2 triliun, jauh

meningkat dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya senilai Rp 1,9 triliun. Di sisi lain, rasio

UTLE terhadap inflow tercatat menurun menjadi

32,5% dari 37,88% pada triwulan sebelumnya.

Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas uang

yang masuk kembali ke sistem perbankan sesuai

pola siklikalnya adalah Uang Layak Edar (ULE).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.23. Perkembangan Pemusnahan UTLE

Sumber: Bank Indonesia

Grafik IV.24. Penemuan Uang Palsu

Sementara itu, temuan uang palsu pada

triwulan I 2016 turun dibandingkan triwulan

sebelumnya. Penurunan temuan uang palsu

terjadi di hampir semua provinsi di Kalimantan

kecuali Kalimantan Barat. Penurunan signifikan

terjadi di Kalimantan Selatan dari 5.109 bilyet

pada triwulan IV 2015 menjadi 220 bilyet pada

triwulan I 2016. Pangsa temuan uang palsu di

Kalimantan tercatat sebesar 3,4% dari temuan

uang palsu nasional atau sebanyak 1.869 bilyet.

Berbagai upaya terus dilakukan Kantor

Perwakilan Bank Indonesia di daerah dalam

mencegah dan mengurangi peredaran uang palsu

antara lain melalui kegiatan edukasi/sosialisasi

tentang ciri-ciri keaslian uang Rupiah (Cikur),

mendorong pelaporan uang palsu oleh

perbankan dan masyarakat serta kerjasama

dengan pihak yang berwenang serta mendorong

Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) melalui

melalui elektronifikasi dan keuangan inklusif.

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kalimantan pada tahun 2016

diprakirakan tumbuh terbatas pada kisaran 1,0%-

1,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan proyeksi

sebelumnya. Terbatasnya laju perekonomian

Kalimantan tersebut disebabkan oleh masih

lesunya sektor pertambangan di tengah

permintaan eksternal yang belum pulih dan

konsumsi pemerintah yang kurang

menggembirakan terkait dengan penundaan 35%

belanja langsung di Kalimantan Timur yang

Page 71: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

55

merupakan perekonomian terbesar di

Kalimantan. Lemahnya permintaan eksternal

antara lain disebabkan oleh kebijakan substitusi

impor di negara India, yang merupakan pasar

potensial ekspor produksi batubara Kalimantan.

Pemerintah India mewajibkan peningkatan

penggunaan produksi batubara domestik hingga

10%. Selain itu, permintaan Tiongkok juga masih

menurun seiring belum kuatnya pemulihan

ekonomi. Dari sisi suplai, pasar batubara Asia

pada 2016 diperkirakan akan semakin ketat

dengan masuknya Kolombia dan Afrika Selatan

sebagai supplier batubara ke beberapa negara

Asia seperti India dan Pakistan. Berdasarkan

proyeksi IMF, harga komoditas batubara pada

tahun 2016 turun -21% (yoy), lebih buruk

daripada koreksi harga batubara 2015 senilai -

18% (yoy). Di sisi lain, sektor industri non migas,

khususnya CPO masih akan tumbuh cukup baik

didukung perbaikan harga CPO sejalan dengan

kenaikan permintan dari negara mitra (India,

Italia dan negara Asia lainnya), jatuhnya puncak

masa panen kelapa sawit yang diperkirakan

terjadi pada tahun 2016 serta dikeluarkannya izin

pendirian pabrik CPO baru di Kaltim.

Secara agregat, perbaikan ekspor masih akan

terbatas. Sementara pada sisi domestik,

konsumsi rumah tangga dan pemerintah

diprediksi tumbuh meningkat sejalan dengan

masih terjaganya optimisme masyarakat. Di sisi

lain, investasi diprediksi akan melambat terutama

akibat masih terbatasnya potensi kenaikan

permintaan pada tahun 2016.

Prospek Inflasi

Inflasi Kalimantan pada tahun 2016 diprakirakan

menurun. Inflasi Kalimantan 2016 diprakirakan

berada pada kisaran 4,09% - 4,49%. Penurunan

proyeksi inflasi terjadi pada semua provinsi di

Kalimantan, masing-masing sebesar 3,85% (yoy)

untuk Kalimantan Barat, 4,33% (yoy) untuk

Kalimantan Timur, 4,88% (yoy) untuk Kalimantan

Selatan dan 3,88% (yoy) untuk Kalimantan

Tengah.

Berdasarkan disagregasinya, inflasi seluruh

kelompok komoditas diprakirakan menurun.

Penurunan terbesar diprakirakan berasal dari

volatile foods. Optimisme peningkatan produksi

tanaman pangan di Kalimantan akan menjadi

penahan laju kenaikan inflasi volatile foods.

Pembangunan dan revitalisasi irigasi guna

mendukung produksi pertanian juga memberikan

sentimen positif dalam mendukung pencapaian

target 2016. Selain itu, dengan diterapkannya

metode tanam Hazton di berbagai provinsi di

Kalimantan, diprakirakan juga mendorong

kenaikan produksi sehingga dapat menjaga

tingkat ketersediaan pasokan pangan.

Laju inflasi inti juga diprakirakan relatif terjaga

seiring dengan ekspektasi masyarakat yang cukup

terkendali. Selain itu, terkendalinya inflasi

terutama dipengaruhi oleh stabilnya pergerakan

harga pada kelompok administered prices.

Potensi koreksi harga minyak dunia yang masih

berada pada tren yang menurun akan

ditransmisikan pada minimnya tekanan harga

bahan bakar domestik. Lebih lanjut lagi,

terkendalinya permintaan masyarakat di tengah

kondisi perekonomian Kalimantan yang belum

sepenuhnya kondusif serta semakin

kolaboratifnya pengendalian inflasi daerah oleh

TPID melalui implementasi roadmap inflasi,

mendukung terjaganya inflasi Kalimantan di level

yang stabil dan rendah.

Adapun risiko tekanan inflasi 2016 diprakirakan

bersumber dari potensi gangguan distribusi dan

produksi akibat kondisi iklim. Terdapatnya

kendala infrastruktur logistik khususnya terkait

impor pangan dari daerah lain seperti fasilitas

gudang dan pelabuhan laut, turut berpotensi

menambah tekanan inflasi volatile foods pada

tahun 2016. Selain itu, peningkatan konsumsi

masyarakat sejalan dengan perbaikan beberapa

sektor ekonomi pada 2016 akan meningkatkan

permintaan yang kemudian menjadi faktor risiko

kenaikan inflasi kelompok inti. Namun demikian,

potensi berlanjutnya penurunan harga minyak

internasional diperkirakan akan menahan

tekanan inflasi di Kalimantan.

Page 72: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

56

Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan

Indonesia-Malaysia

Pengantar

Kalimantan merupakan satu dari beberapa

daerah di Indonesia yang memiliki wilayah

perbatasan dengan negara lain yang cukup luas

yaitu sepanjang 2.250 km dengan Malaysia.

Beberapa kabupaten di wilayah perbatasan masih

banyak yang berstatus daerah tertinggal dengan

tingkat kesejahteraan yang relatif lebih rendah

dibandingkan daerah nonperbatasan. Perbedaan

(gap) pengembangan ekonomi Indonesia dan

Malaysia yang sangat tinggi mengakibatkan

tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat

wilayah perbatasan kepada negara tetangga

tersebut terus meningkat.

Infrastruktur jalan atau jaringan konektivitas yang

menghubungkan wilayah perbatasan dengan

kota-kota utama di Kalimantan seperti Pontianak

dan Samarinda masih sangat minim. Kondisi

daerah perbatasan tersebut diperparah dengan

kurangnya pelayanan sosial dan terbatasnya

ketersediaan barang kebutuhan sehari-hari.

Rendahnya tingkat perkembangan perekonomian

di wilayah perbatasan pada akhirnya memicu

masyarakat usia produktif mencari pekerjaan,

umumnya sebagai buruh, ke negara tetangga.

Ketergantungan masyarakat di daerah

perbatasan kepada negara tetangga yang tidak

ditangani dengan serius, dalam jangka panjang

berpotensi menyebabkan semakin tertinggalnya

perekonomian di daerah perbatasan dan

penurunan kedaulatan Rupiah bahkan menjurus

pada kedaulatan negara.

Untuk itu, komitmen dan upaya berkelanjutan

dari Pemerintah untuk mendukung dan

mengembangkan perekonomian daerah

perbatasan perlu terus disuarakan.

Pengembangan ekonomi berbasis SDA lokal

menjadi pilihan bagi peningkatan perekonomian

dan selanjutnya bagi daya saing wilayah

perbatasan indonesia.

Ketergantungan pada kebutuhan sehari-hari dari Malaysia

Ketergantungan masyarakat wilayah perbatasan

terhadap Malaysia terutama terkait dengan

pasokan kebutuhan sehari-hari. Strategi

pembangunan wilayah perbatasan oleh Malaysia

mengakibatkan arus logistik menjadi mudah dan

komoditas asal Malaysia bisa lebih murah jika

dibandingkan barang produksi dalam negeri.

Kondisi tersebut menjadi alasan utama maraknya

perdagangan antar negara di daerah perbatasan.

Saat ini, perdagangan di wilayah perbatasan

Malaysia diatur dalam perjanjian Sosek Malindo,

dimana pemegang Pas Lintas Batas (PLB)

diizinkan untuk melakukan perdagangan senilai

600 Ringgit per bulan di wilayah perbatasan.

Namun demikian, cakupan perbatasan yang luas

dan terbatasnya Pos Pemeriksaan Lintas Batas

(PPLB) serta tingginya ketergantungan

masyakarat terhadap pasokan dari Malaysia,

meningkatkan risiko terjadinya perdagangan

ilegal.

Strategi Pengembangan Wilayah Perbatasan oleh Pemerintah

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah

menetapkan 7 (tujuh) Pusat Kawasan Strategis

Nasional (PKSN) perbatasan nasional sebagai

upaya untuk meningkatkan daya saing wilayah

perbatasan. Tujuh kawasan tersebut yakni Aruk,

Jagoi Babang, Entikong, Nanga Badau, Long

Pahangi, Long Nawang dan Long Midang.

Pengembangan PKSN tersebut didukung oleh

ketersediaan lahan yang masih luas dan

ketersediaan SDM usia produktif. Beberapa

strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat

dalam pengembangan PKSN yaitu berupa: (i)

penguatan dan fasilitasi kawasan perbatasan; (ii)

Boks 2

Page 73: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

57

pengembangan ekonomi lokal; (iii) penguatan

konektivitas dan Sislognas; (iv) penguatan SDM

dan IPTEK; serta (v) penguatan regulasi dan

pemberian insentif.

Untuk mendukung upaya Pemerintah Pusat

dalam mengembangkan daerah perbatasan,

beberapa Pemerintah Daerah turut menetapkan

strategi lanjutan. Salah satunya adalah

Pemerintah Daerah Kalimantan Barat yang

menetapkan strategi antara lain (i) menetapkan

ketertiban dan keamanan; (ii) fokus peningkatan

taraf hidup; serta (iii) menjaga keseimbangan

antara pembangunan ekonomi dan kepentingan

ekologis. Strategi di tingkat daerah tersebut juga

disertai dengan identifikasi jenis komoditas yang

berpotensi untuk dijadikan komoditas unggulan

di wilayah perbatasan Kalimantan, diantaranya

lada, karet, kakao, kelapa sawit, rotan, damar,

gaharu, sarang burung walet, madu, arwana serta

ecotourism Danau Sentarum.

Sumber : Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan BPS

Gambar IV.1. Peta Sebaran PKSN di Kalimantan dan Peta Perbatasan dan Wilayah PLBN di Kalimantan

Dalam rangka menunjang pemberdayaan

ekonomi wilayah perbatasan, peningkatan

konektivitas antarwilayah perbatasan merupakan

hal yang paling krusial. Beberapa program

peningkatan konektivitas wilayah perbatasan

dilakukan oleh Pemerintah antara lain berupa

pembangunan jalan paralel perbatasan

Kalimantan sepanjang 1.830,6 km yang

menghubungkan Temajuk di ujung barat wilayah

perbatasan Kalimantan Barat hingga Nunukan di

ujung timur wilayah perbatasan Kalimantan

Timur. Saat ini, sepanjang 1.400 km jalan paralel

perbatasan telah tersambung dengan 511,6 km

diantaranya telah beraspal, menyisakan ruas

sepanjang 427 km yang belum terhubung.

Pembukaan akses jalan di perbatasan diharapkan

mampu menekan biaya transportasi sehingga

memungkinkan aliran pasokan barang dari kota-

kota utama di Kalimantan. Peningkatan

konektivitas wilayah perbatasan juga diharapkan

mampu menstimulasi investasi, terutama industri

pengolahan hasil perkebunan yang berorientasi

ekspor, mengingat sebagian besar lahan di

wilayah perbatasan dimanfaatkan untuk

perkebunan dan pertanian.

Melalui pengembangan daerah perbatasan,

terdapat potensi penambahan aktivitas

perekonomian senilai Rp413,41 miliar yang

berasal dari penyerapan tenaga kerja yang

sebelumnya bekerja sebagai TKI di perbatasan

Malaysia. Selain itu juga terdapat potensi

penambahan ruang belanja APBD sampai dengan

Rp34,46 miliar yang berasal dari potensi

peningkatan penerimaan pajak. Pengembangan

ekonomi lokal perbatasan yang terhubung erat

dengan pusat-pusat ekonomi di wilayah

Kalimantan pada akhirnya juga akan mendukung

peningkatan penggunaan dan kedaulatan Rupiah

di perbatasan.

Page 74: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

58

Selain dukungan pembangunan infrastruktur

pembangunan infrastruktur dan perbaikan

konektivitas, pengembangan daerah perbatasan

perlu difokuskan pada peningkatan layanan sosial

dasar. Peningkatan layanan sosial dasar seperti

kemudahan akses pendidikan maupun fasilitas

kesehatan yang memadai merupakan modal

dasar dalam pengembangan SDM daerah

perbatasan yang berkualitas. Hal tersebut akan

mampu mendukung pengembangan ekonomi

dan daya saing lokal yang lebih produktif.

Peran Bank Indonesia

Dalam mendukung pengembangan ekonomi di

daerah perbatasan, Bank Indonesia memiliki

peran penting terkait sistem pembayaran,

peredaran uang Rupiah dan advisory terkait

pengembangan ekonomi lokal. Upaya menjamin

ketersediaan uang Rupiah di daerah perbatasan

diwujudkan melalui sosialisasi aktif penggunaan

Rupiah serta melakukan kegiatan kas keliling di

daerah perbatasan. Selain itu, Bank Indonesia

juga membuka kas titipan di beberapa lokasi

untuk menjangkau daerah perbatasan seperti

Tanjung Selor, Singkawang dan Sintang. Dari sisi

peran advisory, Bank Indonesia berupaya

mendukung proses pengambilan kebijakan

Pemerintah Daerah melalui penyediaan data dan

informasi ekonomi, antara lain dalam bentuk

kajian pengembangan daerah perbatasan/

terpencil serta pemetaan Komoditas Produk Jasa

Unggulan (KPJU) daerah.

Page 75: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Bunga Anggrek Larat (Dendrobium Phalaenopsis)Termasuk Tanaman Langka dan Dilindungi Serta Merupakan Salah Satu Bunga Identitas Indonesia, Khususnya di Maluku.

Page 76: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Perekonomian Kawasan Timur

Indonesia

Bagian

V

Page 77: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

59

Bagian V

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Pada triwulan I 2016, perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) tumbuh melambat dari 8,6%

(yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 6,0% (yoy). Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama

disebabkan oleh terbatasnya konsumsi pemerintah karena faktor siklikal (rendahnya penyerapan

belanja pemerintah daerah di awal tahun) serta kinerja investasi yang menurun. Memasuki triwulan

II 2016, ekonomi KTI diperkirakan cenderung meningkat, didukung oleh perbaikan di lapangan usaha

utama yang ditopang oleh menguatnya sisi permintaan khususnya akselerasi konsumsi rumah

tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi. Secara keseluruhan tahun 2016, ekonomi KTI

diproyeksikan tumbuh melambat di kisaran 7,1%-7,5% (yoy).

Dari aspek perkembangan harga, laju inflasi KTI pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 4,72% (yoy),

lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (4,06%, yoy). Peningkatan laju inflasi pada triwulan I 2016

terutama disebabkan oleh meningkatnya inflasi volatile foods dan administered prices. Tekanan

inflasi pada triwulan II 2016 diperkirakan berkurang, yang diawali dengan deflasi sebesar -0,40%

(mtm) pada April 2016. Meski tekanan permintaan akan meningkat pada akhir triwulan II 2016,

inflasi tahunan relatif akan terkendali khususnya karena relatif stabilnya harga pangan dan

komoditas energi. Hingga akhir tahun 2016, beberapa faktor seperti optimisme terhadap capaian

produksi pangan dan masih rendahnya harga minyak dunia menyebabkan tendensi penurunan

inflasi di KTI yang diproyeksikan berada pada kisaran 3,6%-4,0% (yoy).

Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI)

mengalami perlambatan pada triwulan I 2016

dibandingkan dengan triwulan IV 2015.

Pertumbuhan ekonomi secara agregat tercatat

sebesar 6,0% (yoy), lebih rendah dari triwulan

sebelumnya yang tercatat sebesar 8,6% (yoy).

Melambatnya perekonomian KTI terutama terjadi

di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Barat,

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo,

Nusa Tenggara Barat. Papua bahkan tercatat

kembali mengalami kontraksi pertumbuhan

ekonomi setelah pada empat kuartal terakhir

dapat tumbuh cukup tinggi (Tabel V.1). Kembali

terkontraksinya ekonomi Papua disebabkan oleh

penurunan ekspor tambang yang cukup besar.

Secara umum, perlambatan ekonomi di berbagai

daerah di KTI dipengaruhi oleh kinerja konsumsi

pemerintah yang melambat. Di samping itu,

selesainya pembangunan beberapa proyek

hilirisasi tambang di beberapa daerah seperti di

Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah turut

memengaruhi kinerja ekonomi KTI secara

keseluruhan.

Tabel V.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI (% year-on-year)

Sumber: BPS dan Prakiraan Bank Indonesia

Di sisi permintaan, melambatnya ekonomi KTI

dipengaruhi oleh perlambatan konsumsi

pemerintah dan investasi bangunan.

Perlambatan konsumsi pemerintah dipengaruhi

oleh realisasi APBD yang belum optimal di

triwulan I 2016. Hal ini disebabkan antara lain

oleh adanya kendala dalam pengesahan APBD

antara lain terkait dengan transisi pemerintahan

I II III IV I IIp

SulawesiSelatan 7,5 5,7 8,0 7,6 7,2 7,1 7,4 7,7

SulawesiBarat 8,9 5,6 8,7 6,3 8,7 7,4 6,1 7,4

SulawesiTenggara 6,3 5,7 7,2 7,0 7,5 6,9 5,2 6,6

SulawesiTengah 5,1 16,5 15,1 15,6 15,1 15,6 11,8 16,3

Gorontalo 7,3 4,8 6,7 5,9 7,7 6,2 6,6 6,9

SulawesiUtara 6,3 6,4 6,3 6,3 5,6 6,1 6,0 6,1

MalukuUtara 5,5 5,0 6,5 6,8 6,0 6,1 5,1 5,7

Maluku 6,6 4,1 5,5 5,6 6,5 5,4 5,5 5,9

PapuaBarat 5,4 (2,0) 7,0 6,6 5,2 4,1 5,5 5,3

Papua 3,8 1,6 13,8 2,5 14,1 8,0 (2,0) 2,1

Bali 6,7 6,0 5,9 6,3 6,0 6,0 6,0 6,1

NusaTenggaraBarat 5,1 19,4 20,1 34,2 12,0 21,2 10,0 8,4

NusaTenggaraTimur 5,1 4,6 5,1 5,1 5,1 5,0 5,1 5,2

KTI 6,1 6,5 9,4 8,9 8,6 8,4 6,0 6,9

20142015

20152016

Provinsi

Page 78: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

60

pasca Pilkada. Kinerja keuangan pemerintah

daerah yang belum optimal juga menahan

perkembangan investasi di KTI. Di samping itu,

investasi bangunan juga terbatas seiring dengan

selesainya beberapa proyek hilirisasi tambang di

Sulawesi. Realisasi PMA pada triwulan I 2016

tercatat sebesar US$1,07 miliar atau tumbuh

hanya 2,7% (yoy), lebih rendah dari triwulan

sebelumnya yang mencapai US$1,10 miliar atau

tumbuh sebesar 5,1% (yoy).

Di sisi lain, ekspor luar negeri dan konsumsi

rumah tangga menjadi penopang pertumbuhan

ekonomi KTI pada triwulan I 2016. Penguatan

ekspor terutama bersumber dari hasil industri

pengolahan dan ekspor jasa pariwisata. Liaison

Bank Indonesia mengindikasikan penjualan

ekspor hasil tambang dan olahannya didorong

oleh pengurangan persediaan dari beberapa

pelaku usaha besar di KTI (Grafik V.1). Sementara

itu, konsumsi rumah tangga juga tumbuh lebih

tinggi dari capaian ditriwulan sebelumnya

didukung oleh terkendalinya inflasi, pendapatan

usaha manufaktur yang membaik, serta tingginya

rata-rata peningkatan UMP di KTI yang tercatat

tumbuh di atas 10%.

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha dan Liaison Bank

Indonesia

Grafik V.1. SBT Realisasi Kegiatan Usaha dan Likert Scale

Perkembangan berbagai indikator dan hasil

liaison mengindikasikan potensi membaiknya

ekonomi KTI pada triwulan II 2016.

Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2016

diperkirakan berada pada kisaran 6,9% (yoy).

Prakiraan membaiknya perekonomian terjadi di

hampir seluruh provinsi di KTI, kecuali NTB.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai

daerah tersebut didukung oleh kinerja konsumsi

rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan

investasi (PMTB) yang tumbuh menguat. Di sisi

lain, perlambatan yang terjadi di NTB terutama

dipengaruhi oleh terbatasnya sisa kuota ekspor

konsentrat mineral selama periode triwulan II

2016.

Meningkatnya konsumsi rumah tangga di

berbagai daerah di KTI terindikasi dari kenaikan

penjualan eceran pada awal triwulan II 2016

(Grafik V.2). Kenaikan ini diperkirakan didukung

oleh optimisme konsumen terhadap pendapatan

disertai inflasi yang dinilai terkendali, khususnya

dari komoditas yang harganya diatur pemerintah

(Grafik V.3). Di samping itu, tingkat pendapatan

di lapangan usaha pertanian juga diperkirakan

membaik seiring dengan datangnya musim panen

raya di daerah sentra. Sementara itu, kinerja

konsumsi pemerintah juga membaik pada

triwulan II 2016. Penyerapan anggaran

diperkirakan tumbuh lebih tinggi terutama dalam

upaya peningkatan bantuan pada usaha

pertanian dan belanja operasional untuk

mendukung realisasi proyek pemerintah.

Penyaluran dana desa juga akan dilakukan pada

triwulan II 2016 di berbagai daerah sehingga

mendukung arah akselerasi konsumsi.

Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia

Grafik V.2. Pertumbuhan Omset Penjualan Eceran

Investasi (PMTB) diperkirakan tumbuh

meningkat pada triwulan II 2016. Meningkatnya

kinerja investasi terutama didorong oleh

semakin intensifnya realisasi pembangunan

infrastruktur di berbagai daerah yang

berhubungan dengan penguatan konektivitas

yaitu proyek-proyek terkait dengan pelabuhan

Page 79: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

61

laut (NTT, Sulawesi Selatan), jalan antarkota, dan

rel kereta api (Gorontalo, Sulawesi Selatan).

Sementara itu, investasi non-bangunan

diperkirakan juga meningkat untuk memenuhi

kebutuhan smelter baru serta penambahan

kapasitas produksi yang dilakukan oleh beberapa

pelaku usaha tambang mineral. Kinerja investasi

juga ditopang oleh proyek multiyears pembangkit

listrik di berbagai daerah serta investasi fiber

optic di Papua Barat dalam rangka perluasan

jaringan telekomunikasi.

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik V.3. Indeks Keyakinan Konsumen

Namun, masih terbatasnya kinerja ekspor luar

negeri diperkirakan menahan laju pertumbuhan

ekonomi KTI lebih lanjut pada triwulan II 2016.

Ekspor hasil olahan nikel diperkirakan mengalami

perlambatan seiring dengan kondisi harga yang

belum menunjukkan pemulihan berarti. Faktor

disinsentif harga akan turut menahan ekspor LNG

dari Sulawesi Tengah dan Papua Barat. Di

samping itu, selama periode triwulan II 2016,

kuota ekspor produsen konsentrat mineral dari

NTB hanya tersisa sekitar 9% dan izin

perpanjangan ekspor baru akan diajukan pada

Juli 2016. Ekspor tambang dari Papua juga

diperkirakan tercatat tumbuh melambat karena

faktor base effect tingginya ekspor pada triwulan

yang sama tahun 2015 pasca diperolehnya izin

ekspor. Masih terbatasnya ekspor diikuti oleh

melambatnya impor, khususnya impor bahan

baku yang dibutuhkan pada kegiatan

pertambangan dan proses pengolahannya.

Kinerja Lapangan Usaha

Pertanian

Pertumbuhan lapangan usaha pertanian,

kehutanan, dan perikanan kembali mengalami

perlambatan pada triwulan I 2016. Kinerja

lapangan usaha ini tercatat tumbuh melambat

dari 3,5% (yoy) menjadi 2,2% (yoy). Melambatnya

kinerja pertanian terutama terjadi di Provinsi

Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo,

Papua, Bali, NTB, dan NTT. Perlambatan yang

terjadi terkait dengan dampak kekeringan yang

menyebabkan terjadinya kemunduran masa

panen. Selain itu, kinerja perkebunan juga belum

optimal yang tercermin dari volume ekspor biji

kakao yang masih terkontraksi selama tiga bulan

pertama di tahun 2016. Hal ini dipengaruhi oleh

produktivitas tanaman yang belum maksimal

serta harga jual yang lebih rendah dari akhir

tahun lalu (Grafik V.4). Ekspor komoditas pala

juga tercatat menurun karena permintaan dari

negara importir yang terbatas. Di sisi lain, kinerja

produksi perikanan yang tumbuh membaik

karena cuaca yang kondusif dan bantuan sarana

dan prasarana yang telah direalisasikan di

beberapa sentra penangkapan ikan di KTI.

Sumber: World Bank, diolah

Grafik V.4. Harga Internasional Kakao

Memasuki triwulan II 2016, kinerja pertanian

diperkirakan tumbuh meningkat didukung oleh

membaiknya produksi tanaman bahan makanan

(tabama) dan perikanan. Masuknya masa panen

raya di daerah sentra penghasil padi, khususnya

di Sulawesi dan Balinusra, diperkirakan

mendukung arah peningkatan usaha pertanian.

Panen jagung juga diperkirakan mencapai

Page 80: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

62

puncaknya pada April-Mei 2016 di Gorontalo.

Berdasarkan hasil liaison di beberapa daerah

sentra produksi, terindikasi adanya peningkatan

produktivitas tabama di KTI. Di samping itu,

membaiknya tangkapan ikan, utamanya di

Maluku, didukung oleh peningkatan produksi

ikan lokal. Demikian halnya dengan produksi

perkebunan yang diperkirakan cenderung

meningkat, terutama didukung oleh produksi

kakao.

Membaiknya produksi hasil pertanian, terutama

perkebunan dan perikanan, diperkirakan

menopang kinerja ekspor KTI di triwulan II

2016. Peningkatan produksi pertanian, khususnya

dari hasil perkebunan dan perikanan akan

menjaga pasokan bahan baku untuk kegiatan

ekspor pertanian yang bersifat mentah maupun

yang akan diolah lebih lanjut. Liaison kepada

eksportir komoditas udang dan ikan segar

mengindikasikan permintaan dari negara mitra

dagang cenderung meningkat sehingga

mendorong pelaku usaha untuk menjaga tingkat

produksi. Perbaikan dari sisi pendapatan ekspor

pertanian akan mendukung kinerja konsumsi

rumah tangga mengingat besarnya serapan

tenaga kerja lapangan usaha pertanian di KTI.

Sumber: BPS

Grafik V.5. Nilai Tukar Petani

Beberapa indikator lainnya juga

mengindikasikan adanya peningkatan kinerja

lapangan usaha pertanian. Survei Kegiatan Dunia

Usaha (SKDU) mengindikasikan potensi

peningkatan kegiatan usaha, harga jual, dan

investasi untuk lapangan usaha pertanian pada

triwulan II 2016. Hal ini terutama didukung oleh

masuknya puncak panen di berbagai daerah

sentra pertanian di KTI. Selain itu, Nilai Tukar

Petani (NTP) di beberapa provinsi cenderung

mulai meningkat sejak April 2016 (Grafik V.5).

Pertambangan

Lapangan usaha pertambangan di KTI tumbuh

melambat pada triwulan I 2016 dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya. Usaha

pertambangan tercatat tumbuh hanya sebesar

0,8% (yoy) pada triwulan I 2016, setelah tumbuh

mencapai 19,2% (yoy) pada triwulan sebelumnya.

Perlambatan usaha pertambangan terjadi di

daerah basis tambang yaitu di Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tengah, Papua Barat, dan NTB. Di

Provinsi Papua, Sulawesi Tenggara, dan Maluku

Utara bahkan mengalami kontraksi

pertumbuhan. Kontraksi pertumbuhan usaha

pertambangan di Papua terjadi karena

terkendalanya proses produksi akibat persoalan

teknis. Selain itu, produktivitas hasil galian

konsentrat di Papua juga tidak setinggi triwulan

sebelumnya. Hal tersebut memengaruhi capaian

produksi mineral di Papua yang lebih rendah

dibanding triwulan IV 2015 (Grafik V.6). Produksi

nikel di Sulawesi juga tumbuh melambat

terutama karena faktor masih rendahnya harga

sehingga berdampak pada sisi permintaan. Stok

nikel yang masih tersedia terindikasi digunakan

untuk memenuhi kebutuhan industri olahan

nikel setempat. Di Sulawesi Selatan, perlambatan

produksi nikel lebih disebabkan oleh adanya

jadwal maintenance mesin produksi yang

menahan kinerja operasional di awal tahun

(Grafik V.7).

Pada triwulan II 2016, kinerja pertambangan

diperkirakan berbalik arah dan tumbuh lebih

tinggi dari triwulan sebelumnya. Kembali

meningkatnya kinerja pertambangan

diperkirakan bersumber dari kenaikan produksi

nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Meski harga komoditas tambang diperkirakan

belum pulih (Grafik V.8) dan permintaan dari

negara mitra dagang masih lemah, kegiatan

Page 81: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

63

produksi akan ditingkatkan setelah pelaku usaha

terindikasi meminimalkan produksi pada triwulan

sebelumnya. Hasil produksi lebih diarahkan untuk

memenuhi permintaan industri nikel serta

mengisi kembali persediaan yang telah digunakan

pada triwulan sebelumnya. Di Sulawesi Selatan

dan Papua, kegiatan operasional diperkirakan

akan kembali normal dan utilisasi kapasitas

produksi akan ditingkatkan pasca perbaikan pada

mesin produksi.

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.6. Produksi Mineral Papua

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.7. Produksi Mineral Sulawesi Selatan

Namun, kinerja produksi pertambangan yang

meningkat pada triwulan II 2016 diperkirakan

belum mendorong kenaikan kinerja ekspor.

Masih lemahnya permintaan dari negara mitra

dagang, khususnya Tiongkok dan Jepang, serta

faktor rendahnya harga komoditas masih

menahan perbaikan kinerja ekspor

pertambangan. Produksi yang meningkat lebih

disebabkan oleh rendahnya produksi di triwulan

sebelumnya karena adanya permasalahan

operasional di beberapa daerah serta

pengurangan stok yang dilakukan produsen. Di

samping itu, faktor base effect tingginya

pertumbuhan ekspor di triwulan II 2015 berimbas

pada akan lebih rendahnya angka realisasi

pertumbuhan ekspor di triwulan II 2016.

Sumber: World Bank

Grafik V.8. Harga Komoditas Tambang

Industri

Kinerja lapangan usaha industri pengolahan

mengalami percepatan pada triwulan I 2016.

Setelah tumbuh 11,0% (yoy) pada triwulan

sebelumnya, pertumbuhan usaha industri

tercatat mencapai 11,9% (yoy) pada triwulan I

2016. Kenaikan kinerja industri pengolahan

tersebut masih bersumber dari industri berbasis

tambang mineral dan gas alam di Sulawesi seiring

dengan mulai beroperasinya pabrik pengolahan

baru didukung oleh tersedianya stok dan bahan

baku (Grafik V.9). Produksi LNG di Papua Barat

juga turut meningkat untuk memenuhi target

produksi di tahun 2016. Kinerja beberapa industri

lainnya seperti ikan olahan dan kayu olahan juga

mengalami perbaikan yang didukung oleh

terjaganya pasokan bahan baku sehingga

produksi dapat didorong pada tingkat yang

optimal. Sementara itu, liaison kepada kontak

industri olahan kelapa dan minyak atsiri,

mengindikasikan adanya peningkatan harga jual

sehingga memberikan insentif bagi produsen

untuk menaikkan produksinya.

Pada triwulan II 2016, kinerja industri

pengolahan diperkirakan cenderung meningkat.

Peningkatan pertumbuhan akan didorong oleh

naiknya permintaan domestik untuk produk

industri makanan dan sandang. Hal ini sebagai

Page 82: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

64

respons dari pelaku usaha yang mengantisipasi

kenaikan permintaan pada masa Ramadhan dan

Lebaran. Industri perhiasan di Bali juga

diperkirakan meningkat karena permintaan yang

masih kuat. Di Sulawesi Selatan, industri bahan

makanan mendorong produksi untuk

mengantisipasi lonjakan permintaan saat hari

besar keagamaan. Sementara itu, penjualan

semen juga diperkirakan meningkat untuk

memenuhi kebutuhan pembangunan pemerintah

dan swasta yang lebih intensif di triwulan II 2016.

Mulai beroperasinya pabrik gula baru di NTB

diperkirakan turut berkontribusi pada

meningkatnya kinerja sektor industri di KTI.

Sumber: Produsen, diolah

Grafik V.9. Produksi Feronikel Sulawesi Tenggara

Ekspor berbasis industri tumbuh terbatas karena

faktor eksternal yang belum kondusif.

Permintaan dan harga global yang masih lesu,

khususnya untuk komoditas tambang, membuat

kinerja penjualan ekspor industri olahan nikel

relatif terbatas dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya. Di sisi lain, kenaikan produksi

industri pengolahan terutama diarahkan untuk

memenuhi kebutuhan pasar domestik, terutama

untuk mengantisipasi kenaikan permintaan pada

masa Ramadhan dan Lebaran. Peningkatan

industri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi

domestik tercermin dari perkembangan indeks

produksi industri berskala mikro dan kecil di KTI

yang masih dalam tren meningkat di beberapa

daerah (Grafik V.10).

Sumber: BPS, diolah

Grafik V.10. Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil

Konstruksi

Pada triwulan I 2016, lapangan usaha konstruksi

mengalami perlambatan dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konstruksi

pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 7,5% (yoy),

lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang

sebesar 9,8% (yoy). Selesainya beberapa proyek

swasta berskala besar untuk pembangunan

pabrik hilirisasi komoditas tambang menjadi

penyebab perlambatan tersebut. Perlambatan

juga dipengaruhi oleh kegiatan belanja modal

yang masih tertahan pada awal tahun

sebagaimana pola siklikalnya. Beberapa proyek

lain terkait infrastruktur pariwisata di berbagai

daerah tujuan wisatawan juga masih dalam tahap

pembebasan lahan. Indikator realisasi pengadaan

semen di KTI yang tumbuh melambat

mengkonfirmasi perlambatan usaha konstruksi

(Grafik V.11).

Memasuki triwulan II 2016, kinerja konstruksi

diperkirakan tumbuh lebih tinggi dari triwulan

sebelumnya. Hal tersebut bergerak sejalan

dengan kegiatan investasi dan belanja modal

pemerintah daerah yang meningkat. Peningkatan

kegiatan pembangunan di sisi pemerintah akan

didukung oleh realisasi berbagai proyek fisik

pemerintah. Dari sisi swasta, berbagai proyek

hotel dan pelabuhan, di beberapa daerah tujuan

wisata KTI, akan mendorong kinerja konstruksi.

Selain itu, berbagai proyek pengembangan

kawasan ekonomi terpadu juga terus berlanjut

seperti di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,

Maluku Utara, serta NTB.

Page 83: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

65

Sumber: ASI, diolah

Grafik V.11. Realisasi Pengadaan Semen

Perkembangan usaha konstruksi yang

diperkirakan meningkat pada triwulan II 2016

sejalan dengan perkembangan investasi

bangunan. Meski melambat pada triwulan I 2016,

perkembangan investasi bangunan terindikasi

membaik pada triwulan II 2016. Hal ini terindikasi

dari hasil SKDU baik dari perkiraan realisasi

usaha, harga jual, dan kegiatan investasi di

berbagai sektor ekonomi yang menunjukkan

peningkatan dibandingkan dengan triwulan

sebelumnya (Grafik V.12).

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia

Grafik V.12. Perkembangan Lapangan Usaha Bangunan

Perdagangan

Pada triwulan I 2016, kinerja perdagangan di KTI

tumbuh melambat. Realisasi pertumbuhan

perdagangan tercatat tumbuh lebih rendah yakni

dari 8,1% (yoy) pada triwulan sebelumnya dan

menjadi 7,4% (yoy) pada triwulan I 2016.

Perlambatan pertumbuhan terutama terjadi di

provinsi yang memiliki pangsa cukup besar dalam

struktur ekonomi KTI, seperti Sulawesi Selatan,

Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku, Papua Barat,

Papua, dan NTT. Melambatnya kinerja

perdagangan terutama dipengaruhi oleh

melambatnya kinerja perdagangan antardaerah.

Hal ini tercermin dari kegiatan bongkar-muat di

Pelabuhan Makassar (Grafik V.13) yang masih

terkontraksi pada Februari-Maret 2016. Demikian

halnya kinerja perdagangan besar yang tumbuh

melambat sebagaimana tercermin dari

menurunnya penjualan otomotif. Hasil liaison

mengindikasikan penurunan penjualan otomotif

diikuti oleh upaya pelaku usaha untuk untuk

sedikit menurunkan harga jual mobil.

Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah

Grafik V.13. Volume Bongkar Muat Pelabuhan Makassar

Memasuki periode triwulan II 2016, kinerja

usaha perdagangan diperkirakan cenderung

meningkat. Peningkatan kinerja lapangan usaha

perdagangan terutama didorong oleh permintaan

yang meningkat saat momen masuknya masa

persiapan Lebaran. Baik dari sisi perdagangan

eceran maupun perdagangan besar diperkirakan

akan mengalami peningkatan seiring dengan

perbaikan di berbagai sektor ekonomi di KTI

(pertanian, industri, konstruksi) yang

membutuhkan berbagai barang pendukung

produksi. Perkembangan usaha perdagangan

yang meningkat juga dikonfirmasi dari hasil SKDU

yang menunjukkan optimisme pelaku usaha

terhadap realisasi kegiatan usaha pada triwulan II

2016 (Grafik V.14).

Percepatan pertumbuhan usaha perdagangan

tersebut bergerak searah dengan kinerja

konsumsi. Membaiknya penyerapan anggaran

serta momen menjelang hari besar keagamaan

akan mendorong kegiatan konsumsi pemerintah

maupun konsumsi rumah tangga. Di samping itu,

Page 84: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

66

kegiatan perdagangan antardaerah diperkirakan

tumbuh meningkat seiring peningkatan

permintaan.

Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia

Grafik V.14. Perkembangan Kegiatan Usaha dan Harga Jual Perdagangan

Akomodasi

Kinerja usaha penyediaan akomodasi tercatat

tumbuh meningkat pada triwulan I 2016.

Pertumbuhan usaha penyediaan akomodasi

tercatat sebesar 7,3% pada triwulan I 2016,

meningkat dibanding periode triwulan

sebelumnya yang sebesar 5,9% . Kenaikan kinerja

penyediaan akomodasi terutama terjadi di

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, dan NTB.

Hal ini tidak terlepas dari menigkatnya aktivitas

pariwisata didukung oleh libur panjang dan

perayaan Imlek sehingga mendorong

pertumbuhan kunjungan wisman di awal tahun

(Grafik V.15). Liaison kepada pelaku usaha

perhotelan pada saat menjelang Imlek,

kunjungan wisatawan, khususnya dari Tiongkok

ke Bali, mengalami peningkatan hingga 10%

dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Pertumbuhan lapangan usaha penyediaan

akomodasi diperkirakan sedikit melambat pada

triwulan II 2016. Perlambatan terutama

dipengaruhi oleh kinerja pariwisata yang relatif

tertahan, terutama di akhir triwulan, seiring

dengan dimulainya masa puasa. Meski jumlah

kunjungan wisman dan wisnus diperkirakan

masih bertumbuh, pertumbuhan diperkirakan

tidak terakselerasi karena memasuki periode low

season.

Sumber: BPS, diolah

Grafik V.15. Kunjungan Wisatawan Mancanegara

Melambatnya kinerja lapangan usaha

penyediaan akomodasi pada triwulan II 2016

turut menekan kinerja ekspor. Dengan adanya

pesimisme dari sisi kunjungan wisman karena

dimulainya periode low season, membuat kinerja

ekspor jasa diperkirakan turut melambat. Hal

tersebut akan memengaruhi perlambatan kinerja

ekspor secara keseluruhan.

Fiskal Daerah

Penyerapan belanja APBD di berbagai daerah di

KTI pada triwulan I 2016 masih belum optimal

sehingga belum mampu mendukung percepatan

pertumbuhan eknomomi di KTI. Berbagai

kendala penyerapan belanja APBD masih ditemui

di beberapa daerah, seperti adanya penyusunan

ulang program pemerintah dan adanya proyek

yang terlambat dari jadwal sehingga baru

memasuki proses lelang. Selain itu, masa transisi

pemerintahan baru pasca Pilkada ditengarai

menahan laju percepatan belanja daerah.

Walau belum mampu mendorong percepatan

ekonomi, kinerja belanja APBD di berbagai

daerah di KTI pada triwulan I 2016 mengalami

peningkatan dibandingkan dengan periode yang

sama tahun sebelumnya. Dari total Rp49,4

triliun nilai APBD Provinsi11

di KTI tahun 2016,

penyerapan belanja triwulan I 2016 mencapai

10,6%, atau lebih tinggi dari penyerapan di

periode yang sama tahun sebelumnya yang

tercatat 8,8% (Tabel V.2). Seluruh komponen

belanja mencatat peningkatan realisasi. Belanja

11

Berdasarkan data sementara realisasi APBD Provinsi

(belum termasuk Papua Barat)

Page 85: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

67

operasional (termasuk transfer) tercatat

meningkat realisasinya dari 10,5% menjadi

12,3%. Sementara itu, belanja modal masih

tercatat di bawah 5% yaitu sebesar 4,1%. Meski

demikian, angka realisasi belanja modal tersebut

meningkat dari triwulan I 2015 yang hanya

terealisasi sebesar 2,5%.

Peningkatan realisasi belanja APBD didukung

oleh peningkatan dana perimbangan yang

ditransfer dari Pusat. Secara total, realisasi

pendapatan daerah mencapai 20,7% di triwulan I

2016, lebih tinggi dari realisasi triwulan I 2015

sebesar 18,7% yang didorong oleh peningkatan

realisasi penerimaan dana perimbangan yaitu

dari 21,7% menjadi 27,1%. Namun demikian,

kinerja penerimaan dari sisi PAD dan pendapatan

lain yang sah menunjukkan penurunan

dibandingkan dengan triwulan I 2015.

Tabel V.2. Realisasi Penyerapan Agregat APBD Provinsi di KTI

Sumber: SKPD masing-masing provinsi

Peningkatan kinerja belanja APBD dibandingkan

dengan triwulan I 2015 didukung berbagai

stategi yang diterapkan oleh beberapa

pemerintah provinsi. Di Bali, upaya percepatan

realisasi dilakukan melalui monitoring dan

evaluasi secara bulanan oleh Gubernur.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi NTT

menerapkan strategi dengan meningkatkan

target realisasi belanja APBD menjadi 40% di

semester I 2016. Di Sulawesi Selatan, realisasi

yang lebih baik dipengaruhi oleh minimalnya

permasalahan nomenklatur.

Perkembangan Inflasi

Laju inflasi KTI pada triwulan I 2016 tercatat

sebesar 4,72% (yoy) masih cukup terkendali

meskipun sedikit lebih tinggi dibandingkan

dengan triwulan IV 2015 sebesar 4,06% (yoy).

Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh terjaganya

pasokan pangan sepanjang periode triwulan

laporan. Hal ini disertai dengan deflasi secara

bulanan yang terjadi pada beberapa komoditas

pangan seperti ikan segar, aneka sayur, aneka

buah, serta daging. Terjaganya inflasi juga

didukung oleh deflasi bulanan administered

prices selama tiga bulan berturut-turut sejak

Januari 2016 seiring dengan penurunan harga

BBM dan tarif angkutan. Meski demikian,

kenaikan harga beberapa komoditas bumbu-

bumbuan terutama cabe dan bawang merah

memberikan tekanan kenaikan harga di sejumlah

daerah di Sulawesi dan Maluku.

Memasuki awal triwulan II 2016, tekanan inflasi

di KTI cenderung menurun. Pada April 2016, KTI

mengalami deflasi akibat menurunnya harga-

harga pada kelompok transpor, bahan makanan,

dan kelompok perumahan. Deflasi yang terjadi

tercatat sebesar -0,40% (mtm) dengan inflasi

tahunan sebesar 4,02% (yoy). Hampir seluruh

provinsi yang berada di KTI mengalami deflasi,

kecuali Maluku Utara dan NTT yang tercatat

mengalami inflasi tipis masing-masing 0,05%

(mtm) dan 0,04% (mtm). Penurunan harga

kelompok transpor terutama disebabkan oleh

turunnya harga komoditas bensin dan tarif

angkutan udara. Sementara itu, harga bahan

makanan mengalami penurunan karena

membaiknya pasokan aneka cabai, ikan layang,

dan telur ayam ras, di tengah kenaikan harga

aneka bawang. Adapun penyesuaian Tarif Dasar

Listrik (TDL) menyebabkan deflasi pada kelompok

perumahan.

Dengan perkembangan tersebut, inflasi tahunan

pada triwulan II 2016 diperkirakan lebih rendah

dari triwulan sebelumnya. Sumber penurunan

inflasi terutama dari penurunan tarif

administered prices seperti harga bensin, tarif

Tw 1 2015 Tw I 2016

Pendapatan APBD Provinsi 18.7 20.7

Pendapatan Asli Daerah 21.8 16.1

Dana Perimbangan 21.7 27.1

Lain-lain Pendapatan yang Sah 9.6 7.5

Belanja APBD Provinsi 8.8 10.6

Belanja Operasi + Transfer 10.5 12.3

Belanja Modal 2.5 4.1

Belanja Tidak Terduga 0.0 0.9

Komponen APBDRealisasi (%)

Page 86: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

68

angkutan, serta TDL yang terjadi di awal triwulan.

Di samping itu, penurunan juga diperkirakan

terjadi pada beberapa komoditas pangan seperti

beras, aneka cabai, dan daging ayam ras (Grafik

V.16). Turunnya harga beras dan hortikultura

didukung oleh tibanya musim panen raya. Meski

demikian, penurunan inflasi lebih lanjut akan

tertahan oleh kecenderungan meningkatnya

harga-harga saat Ramadhan dan menjelang

Lebaran di akhir triwulan II 2016. Tekanan

permintaan dimaksud terutama akan terjadi pada

kelompok makanan jadi dan perumahan.

Kelompok sandang juga diperkirakan menambah

tekanan inflasi seiring dengan tren meningkatnya

harga emas di pasar global. Berdasarkan kondisi

tersebut, inflasi KTI pada triwulan II 2016

diperkirakan berada pada kisaran 4,28% (yoy).

Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia

Grafik V.16. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas

Mendekati hari besar keagamaan, TPID di KTI,

baik di level provinsi maupun kabupaten/kota

terus melakukan kegiatan koordinasi untuk

meredam lonjakan harga yang signifikan. Hal ini

dilakukan antara lain dengan mengadakan rapat

koordinasi secara rutin dengan berbagai

stakeholders, khususnya terkait proses

pengadaan dan distribusi barang. Kegiatan

inspeksi langsung dan peninjauan ke gudang-

gudang dan tempat penyimpanan barang

kebutuhan pokok milik distributor di daerah

menjadi salah satu agenda tindak lanjut. Di

samping itu, upaya untuk menjaga ekspektasi

inflasi baik dari sisi pedagang maupun

masyarakat terus dilakukan melalui sosialisasi

dan komunikasi di media cetak dan elektronik.

Apalagi, ekspektasi inflasi cenderung akan

meningkat pada saat menjelang Lebaran (Grafik

V.17). Untuk memperkuat komunikasi kepada

masyarakat, TPID juga semakin mengoptimalkan

media informasi “Pusat Informasi Harga Pangan

Strategis” atau PIHPS yang juga berfungsi sebagai

alat evaluasi bagi TPID dalam mengendalikan

inflasi.

Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia

Grafik V.17. Ekspektasi Harga Komsumen

Stabilitas Keuangan Daerah

Ketahanan Sektor Korporasi

Melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI

memiliki dampak terhadap meningkatnya risiko

yang dihadapi pelaku usaha. Tren penurunan

harga komoditas menjadi salah satu faktor yang

memengaruhi kinerja profitabilitas korporasi di

KTI, terutama oleh para pelaku usaha atau

korporasi di KTI yang terkait dengan komoditas

tambang dan perkebunan. Berlanjutnya tren

penurunan harga komoditas di pasar ekspor

menekan kinerja pendapatan dan produksi

pelaku usaha. Pertumbuhan lapangan usaha

tambang pada triwulan I 2016 tercatat sebesar

0,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan

triwulan IV 2015 yang mencapai 19,2% (yoy).

Sementara itu, kinerja usaha pertanian pada

triwulan I 2016 tercatat sebesar 2,2% (yoy), lebih

rendah dari triwulan IV 2015 yang mencapai 3,5%

(yoy).

Dari sisi eksposur perbankan, tercatat bahwa

pangsa kredit perbankan yang disalurkan ke

sektor korporasi di KTI mencapai 23,20% dari

total penyaluran kredit. Angka persentase kredit

korporasi tersebut sedikit menurun dibandingkan

dengan akhir triwulan sebelumnya yang

Page 87: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

69

mencapai 23,35%. Lapangan usaha perdagangan

masih mendominasi penyaluran kredit korporasi

dengan pangsa mencapai 24,63%. Selanjutnya,

pangsa terbesar dimiliki oleh lapangan usaha

akomodasi dan konstruksi yang masing-masing

memiliki pangsa sebesar 18,63% dan 15,05% dari

total kredit korporasi sebesar Rp88,56 triliun.

Kredit perbankan kepada korporasi

menunjukkan perlambatan terutama di

lapangan usaha dengan pangsa terbesar di KTI.

Usaha konstruksi mengalami perlambatan yang

cukup dalam dari tumbuh sebesar 17,81% (yoy)

pada triwulan IV 2015 menjadi 8,87% (yoy).

Demikian juga dengan usaha perdagangan yang

mengalami perlambatan dari 18,87% (yoy) pada

triwulan IV 2015 menjadi menjadi 18,00% (yoy).

Di sisi lain, kredit kepada usaha penyediaan

akomodasi mengalami kenaikan menjadi 22,30%

(yoy) pada triwulan I 2016 dari 18,78% (yoy).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.18. Pertumbuhan Kredit Korporasi

Perlambatan pertumbuhan kredit memengaruhi

pertumbuhan DPK korporasi di tengah

menurunnya kondisi kualitas kredit kepada

korporasi. Melambatnya pertumbuhan DPK

dinilai terjadi seiring dengan telah selesainya

pembangunan beberapa pabrik hilirisasi di KTI.

Kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya

alokasi dana korporasi di perbankan daerah,

khususnya jenis simpanan giro. Sementara itu,

penurunan kualitas kredit tercermin dari

kenaikan angka rasio NPL korporasi yang

mencapai 4,85%. Hal ini utamanya dipengaruhi

oleh kondisi perekonomian yang masih tumbuh

melambat di awal tahun sehingga menekan

pendapatan pelaku usaha.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.19. Perkembangan NPL Kredit Korporasi

Di tengah tren perlambatan perekonomian di

awal tahun 2016, ketahanan korporasi, baik

dalam jangka panjang (solvabilitas) maupun

jangka pendek (likuiditas), masih dapat terjaga.

Hal ini tercermin dari agregat kinerja keuangan

beberapa korporasi terbuka (listed company)

yang beroperasi di KTI yang masih cukup baik

hingga akhir 2015. Korporasi yang bergerak di

lapangan usaha pertambangan, seperti batubara,

minyak mentah, dan produk logam, memiliki

kemampuan membayar hutang jangka panjang

yang tinggi, terutama pada korporasi berbasis

produk logam. Hal tersebut tercermin dari

solvability ratio pada 2015 yang cenderung

meningkat dibandingkan dengan 2014. Kondisi

yang relatif sama juga terjadi pada korporasi yang

bergerak di lapangan usaha perkebunan,

khususnya karet, yang memiliki kemampuan

untuk membayar hutang jangka panjang tertinggi

dibandingkan dengan pelaku usaha komoditas

lainnya (Tabel V.3).

Kemampuan penyelesaian kewajiban korporasi

di KTI relatif masih berada pada level yang

cukup tinggi walau beban hutang meningkat. Hal

ini tercermin dari Interest Coverage Ratio (ICR)

yang pada 2015 mencapai 10,12, meningkat

dibandingkan dengan 2014 (9,41). Peningkatan

tersebut terutama didorong oleh korporasi yang

bergerak pada usaha pertambangan. Di sisi lain,

beban hutang yang ditanggung korporasi di KTI

relatif mengalami kenaikan. Kondisi tersebut

tercermin dari Debt to Service Ratio (DSR) yang

pada 2015 mencapai angka 0,89, lebih tinggi dari

2014 yang mencapai 0,63. Secara sektoral, DSR

Page 88: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

70

yang tinggi dimiliki oleh korporasi tambang.

Kondisi ini dipengaruhi oleh diperolehnya izin

ekspor mineral mentah yang membuat

pendapatan korporasi kembali meningkat.

Namun demikian, pemerintah juga mewajibkan

korporasi tambang untuk membangun smelter,

sehingga rasio hutang turut meningkat.

Tabel V.3. Indikator Kinerja Keuangan Korporasi di KTI

Sumber: Bloomberg, diolah dari data 13 korporasi terbuka yang beroperasi di KTI

Ketahanan Sektor Rumah Tangga

Perkembangan ekonomi KTI yang fluktuatif dan

cenderung melambat di awal 2016 belum

berdampak signifikan terhadap kegiatan

konsumsi masyarakat. Rata-rata alokasi

pengeluaran untuk konsumsi di KTI pada triwulan

I 2016 relatif terjaga pada angka 66,67%, sedikit

lebih rendah dari akhir tahun 2015 yang tercatat

sebesar 67,65%. Kondisi tersebut sejalan dengan

masih kuatnya kinerja konsumsi rumah tangga di

triwulan I 2016. Adapun persentase untuk

tabungan dan cicilan masih terjaga pada angka

18,50% dan 14,80%, kondisi tersebut relatif tidak

banyak mengalami perubahan bila dibandingkan

dengan kinerja di triwulan sebelumnya.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.20. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

Dari sisi penyaluran kredit, pertumbuhan kredit

yang disalurkan kepada sektor rumah tangga

hingga akhir triwulan I 2016 masih tumbuh

terbatas. Angka pertumbuhan kredit kepada

sektor rumah tangga tercatat sebesar 10,02%

(yoy), relatif tidak mengalami perubahan

dibandingkan dengan periode triwulan IV 2015.

Kinerja positif kredit sektor rumah tangga

ditopang oleh peningkatan kredit perlengkapan

rumah tangga dan kredit multiguna yang masing-

masing tumbuh sebesar 20,77% (yoy) dan 13,96%

(yoy). Di tengah kondisi pertumbuhan kredit yang

masih kuat, kualitas kredit sektor rumah tangga

relatif terjaga dan berada di bawah batas aman.

Secara total, NPL kredit rumah tangga pada

triwulan I 2016 tercatat sebesar 1,51%.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.21. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga

Dari sisi perkembangan simpanan, pertumbuhan

DPK perorangan di KTI pada triwulan I 2016 juga

tercatat relatif stabil. Pada akhir triwulan I 2016,

DPK perorangan tercatat tumbuh 11,56% (yoy),

tidak banyak berubah dari pertumbuhan pada

periode akhir triwulan sebelumnya yang sebesar

2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015

Batubara -2.93% -4.77% -5.90% -9.14% 1.11 0.66 0.80 1.25 1.90 2.52 2.84 7.78 7.72 1.74

Karet 10.97% 7.10% 13.72% 8.69% 0.24 0.21 N.A N.A 5.09 5.86 N.A N.A N.A N.A

Kelapa Sawit 9.67% 1.59% 18.96% 3.38% 0.99 1.25 0.82 0.91 2.01 1.80 17.80 7.29 0.51 1.08

Minyak Mentah & Gas Alam -0.52% -3.71% -1.70% -12.96% 2.39 2.62 1.50 1.89 1.42 1.38 3.97 12.01 0.75 0.70

Produk Logam 2.29% -1.82% 3.38% -2.63% 0.49 0.41 2.25 3.17 3.02 3.45 16.43 10.28 0.67 1.20

Agregat Korporasi KTI 3.33% -1.07% 6.37% -2.07% 0.95 0.91 1.37 1.79 2.06 2.10 9.41 10.12 0.63 0.89

ICR DSRLapangan Usaha Korporasi

ROA ROE DER Current Ratio Solvability

Page 89: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

71

11,60% (yoy). Kondisi ini didukung oleh akselerasi

pertumbuhan simpanan jenis tabungan.

Sementara itu, simpanan deposito dan giro

tumbuh pada kisaran yang stabil dibandingkan

dengan triwulan sebelumnya.

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengan (UMKM)

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.22. Pertumbuhan Kredit UMKM

Pertumbuhan kredit untuk sektor UMKM

cenderung melambat pada triwulan I 2016.

Kredit UMKM tercatat tumbuh 8,51% (yoy), lebih

rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar

10,46% (yoy). Perlambatan tersebut terutama

terjadi pada penyaluran kredit kepada UMKM

yang bergerak di lapangan usaha perdagangan,

akomodasi dan konstruksi. Kondisi tersebut

sejalan dengan perlambatan kondisi ekonomi

maupun perlambatan kinerja perbankan KTI di

periode laporan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.23. Perkembangan NPL Kredit UMKM

Meski terjadi deselerasi penyaluran kredit,

kualitas kredit UMKM pada triwulan laporan

masih berada pada batas aman. Hal tersebut

tercermin dari NPL kredit UMKM yang relatif

membaik pada triwulan I 2016. NPL kredit UMKM

berada di level 4,09%, menurun dari triwulan IV

2015 yang tercatat sebesar 4,19%. Perbaikan

didorong oleh membaiknya kualitas kredit di

seluruh lapangan usaha utama. Selain itu,

melambatnya kredit di tengah perbaikan NPL

mengindikasikan perbankan lebih berhati-hati

dalam penyaluran kredit.

Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

Sistem Pembayaran

Pada triwulan I 2016, transaksi kliring melalui

Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)

masih terus menunjukkan peningkatan.

Peningkatan ini terlihat baik dari sisi volume

maupun nominal transaksinya (Grafik V.24).

Peningkatan transaksi tersebut memperlihatkan

perilaku yang berbeda dari pola historis di awal

tahun yang cenderung akan menurun

dibandingkan akhir tahun, apalagi dengan kondisi

perekonomian yang relatif melambat dari

triwulan sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena

penerapan kebijakan penetapan batas minimal

transaksi RTGS menjadi Rp500 juta pada triwulan

IV 2015 sehingga transaksi di bawah nilai

tersebut dialihkan melalui SKNBI. Hal tersebut

menjadi faktor penyebab tingginya pertumbuhan

transaksi kliring pada triwulan I 2016 baik dari sisi

volume (32,49%, yoy) maupun nominal (87,44%,

yoy).

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.24. Perkembangan Transaksi Kliring di KTI

Pengelolaan Uang Tunai Rupiah

Sesuai dengan pola historisnya, perkembangan

aliran uang kartal di KTI pada triwulan I 2016

Page 90: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

72

menunjukkan terjadinya net inflow. Seluruh

provinsi di KTI mengalami kondisi net inflow.

Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa

kebutuhan nasabah, baik perbankan, masyarakat,

maupun pelaku usaha, terhadap uang kartal

relatif menurun di awal tahun. Kondisi ini

berbeda dibanding triwulan sebelumnya, dimana

kebutuhan masyarakat akan uang kartal

meningkat tinggi selama musim liburan Natal dan

Tahun Baru.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.25. Perkembangan Aliran Uang di KTI

Seiring dengan kebijakan clean money policy,

kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar

(UTLE) dan kegiatan penukaran uang melalui kas

keliling Bank Indonesia cenderung meningkat di

daerah. Pada triwulan I 2016, jumlah UTLE yang

dimusnahkan mencapai Rp6,34 triliun dengan

rasio terhadap inflow sebesar 25,26% (Grafik

V.26). Pemusnahan UTLE dilakukan sejalan

dengan komitmen Bank Indonesia untuk secara

konsisten memastikan ketersediaan uang layak

edar bagi masyarakat. Untuk memperkuat

kegiatan pengedaran uang layak edar (ULE) ke

seluruh pelosok negeri, 19 (sembilan belas) kas

titipan sudah beroperasi di KTI. Jumlah kas titipan

ini akan terus ditingkatkan sesuai dengan

roadmap pengembangan distribusi uang kartal

yang nantinya diharapkan dapat semakin

menjangkau daerah terpencil. Hingga 2017,

beberapa pengembangan jaringan distribusi uang

kartal antara lain direncanakan di NTB, NTT,

Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Tengah, dan Papua. Sesuai dengan program

Centralized Cash Network Planning (CCNP) Bank

Indonesia, periode 2016-2018, direncanakan

pembukaan 25 (dua puluh lima) kas titipan di

wilayah KTI.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.26. Perkembangan Rasio UTLE di KTI

Selama triwulan I 2016, temuan uang palsu di

wilayah KTI pada tercatat sebanyak 4.759

lembar. Secara spasial, uang palsu terbanyak di

KTI ditemukan di Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan

(Grafik V.27). Kesadaran masyarakat serta

perbankan terhadap uang palsu dinilai semakin

meningkat. Sebagai indikator, 98% temuan uang

palsu di Bali berasal dari laporan perbankan.

Upaya untuk meningkatkan kehati-hatian

masyarakat terus digiatkan Bank Indonesia

melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan edukasi

sepanjang triwulan I 2016. Di seluruh provinsi di

KTI, Bank Indonesia telah melakukan sosialisasi

mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada

masyarakat, pelaku usaha, nasabah perbankan,

dan kasir perbankan.

Sumber: Bank Indonesia

Grafik V.27. Pangsa Temuan Uang Palsu KTI Triwulan I 2016

Sementara itu, isu yang terjadi saat ini adalah

shortage uang koin yang tengah mengemuka

selama beberapa tahun terakhir. Di KTI, salah

Page 91: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

73

satu studi kasus terjadi di Bali. Uang koin tercatat

mengalami net outflow pada tahun 2015 sebesar

Rp32,10 miliar, meningkat 30% dibandingkan

dengan tahun 2014. Hasil survei uang logam

menunjukkan bahwa 62% masyarakat

menyimpan uang logamnya di rumah/ celengan.

Kondisi tersebut mendorong Kantor Perwakilan

Bank Indonesia di Bali melakukan “Gerakan

Peduli Koin”. Dari kegiatan tersebut, jumlah koin

yang berhasil terkumpul adalah sebanyak 149

ribu keping dengan nominal Rp45,70 juta.

Gerakan yang sama juga rencananya akan

dilaksanakan oleh Kantor Perwakilan Bank

Indonesia di Sulawesi Utara dengan nama

program “Tukar Ngana Pe Koin”.

Prospek Perekonomian

Prospek Pertumbuhan Ekonomi

Perekonomian KTI pada tahun 2016

diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan

dengan tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi KTI

diprakirakan berada pada kisaran 7,1%-7,5%

(yoy). Perlambatan ekonomi pada tahun 2016

terutama terkait dengan perlambatan kinerja

investasi bangunan dan penjualan ekspor luar

negeri. Deselerasi investasi disebabkan oleh telah

selesainya beberapa proyek pengembangan

industri di KTI yang berskala besar seperti pabrik

gula di NTB, pabrik LNG di Sulawesi Tengah, serta

smelter nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi

Tenggara, dan Maluku Utara. Sementara itu,

pelemahan kinerja ekspor luar negeri terkait

dengan hilangnya dampak base effect yang

mengakselerasi pertumbuhan ekspor tambang

pada tahun 2015. Ekspor pertambangan tercatat

tumbuh sangat signifikan pada 2015 pasca

pembatasan ekspor mineral mentah di tahun

2014.

Di tengah proyeksi perlambatan tersebut,

beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal

maupun internal perlu mendapat perhatian.

Dari sisi eksternal, risiko tersebut lebih bersifat

downside risk seiring dengan tren harga

komoditas yang masih menurun serta belum

pulihnya perekonomian negara berkembang,

khususnya Tiongkok. Hal ini akan memengaruhi

kinerja ekspor dari KTI, terutama komoditas hasil

pertanian dan olahan tambang. Sementara itu,

dari sisi internal, risiko yang ada lebih banyak

bersifat upside risk. Risiko yang pertama terkait

dengan komitmen pembangunan smelter dari

pihak swasta. Apabila komitmen investor dapat

terjaga dan pembangunan berjalan sesuai jadwal

maka penambahan kapasitas produksi industri

pengolahan dapat mendorong pertumbuhan

ekonomi KTI. Upside risk yang lain adalah

komitmen dari pemerintah daerah dalam

merealisasikan anggaran dan melakukan

deregulasi kebijakan. Apabila hal tersebut

berhasil dilakukan, maka peningkatan

pertumbuhan akan datang dari sisi investasi baru

dan semakin baiknya pertumbuhan konsumsi

pemerintah. Meski demikian, terdapat downside

risk berupa faktor keamanan pariwisata dan

kontinuitas izin ekspor dari eksportir mineral

tembaga.

Prospek Inflasi

Laju inflasi KTI sampai akhir tahun 2016

diperkirakan dalam tren yang menurun seiring

dengan menurunnya tekanan inflasi volatile

foods. Inflasi tahunan KTI diproyeksikan pada

kisaran 3,6%-4,0% (yoy). Rentang proyeksi

tersebut lebih rendah dari perkiraan sebelumnya

yang dipengaruhi oleh optimisme pada

penurunan inflasi volatile foods. Optimisme

tersebut didukung oleh kembali normalnya

pasokan komoditas pangan strategis seiring

dengan hilangnya pengaruh fenomena El Nino.

Berbagai upaya peningkatan produksi pangan

juga terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan

daerah melalui penambahan luas lahan,

pendampingan, dan pemanfaatan teknologi

pertanian. Selain itu, percepatan pembangunan

infrastruktur konektivitas dan peningkatan

kerjasama antardaerah akan turut mendorong

terciptanya efisensi pada distribusi barang. Peran

TPID dalam upaya menjaga tekanan inflasi

volatile foods diharapkan dapat meredam adanya

risiko penurunan pasokan. Risiko terhadap

pengendalian harga pangan terutama bersumber

Page 92: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

74

dari adanya La Nina yang dapat menekan

produksi perikanan dan hortikultura.

Sementara itu, tekanan inflasi administered

prices dan inflasi inti juga terjaga hingga akhir

2016. Terjaganya inflasi administered prices

didukung oleh tren harga minyak yang

diperkirakan belum akan menunjukkan

pemulihan hingga akhir tahun. Dengan demikian,

harga komoditas energi seperti BBM dan TDL

diperkirakan relatif terjaga seiring minimalnya

kebijakan pemerintah untuk meningkatkan harga

dan tarif. Adapun infasi inti KTI diperkirakan

cenderung stabil seiring dengan tekanan

permintaan dari sisi konsumsi yang tidak

berlebihan di tengah perlambatan perekonomian

secara keseluruhan. Meski demikian, terdapat

risiko penyesuaian harga yang diatur pemerintah

di luar perkiraan. Selain itu, terdapat risiko

tendensi peningkatan harga emas yang dapat

memengaruhi inflasi emas perhiasan.

Melihat adanya beberapa faktor risiko

pendorong tekanan inflasi di tahun 2016, maka

diperlukan peran aktif dari TPID, pemerintah

dan Bank Indonesia dalam pengendalian inflasi

di daerah. Upaya pengendalian inflasi di KTI pada

tahun 2016 terutama diarahkan sesuai dengan

arahan dalam Rapat Koodinasi Nasional TPID,

antara lain: (i) mempertegas komitmen daerah

dalam menjaga stabilitas harga dengan

mewujudkan strategi 4K (ketersediaan pasokan,

keterjangkauan harga, kelancaran distribusi,

komunikasi yang efektif); (ii) melakukan

percepatan pembangunan infrastruktur dan

mewujudkan kedaulatan pangan di daerah; dan

(iii) melakukan penajaman langkah pemerintah

pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan

anggaran. Selain itu, penyusunan dan penerapan

roadmap pengendalian inflasi di KTI yang

konsisten akan turut memperkuat upaya

pengendalian inflasi di daerah.

Page 93: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Kantung Semar (Nepenthes)Merupakan tumbuhan karnivora di kawasan tropis, banyak ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera.

Page 94: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Isu Strategis Daerah

Bagian

VI

Page 95: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

75

Bagian VI

Isu Strategis: Mendorong Peningkatan Daya Saing Kawasan Perkotaan Sebagai

Penggerak Ekonomi Regional

Tantangan perlambatan ekonomi global dan nasional yang masih terus berlangsung memerlukan

upaya-upaya untuk mendorong percepatan pengembangan perekonomian domestik. Salah satu

upaya tersebut adalah dengan mendorong peningkatan daya saing kawasan perkotaan dari

berbagai aspek. Kawasan perkotaan yang merupakan tempat berkumpul dan bertemunya sumber

daya manusia yang memiliki berbagai jenis keahlian terbukti mampu menjadi motor penggerak

perekonomian daerah. Pengembangan dan pengelolaan kawasan perkotaan yang terencana,

terintegrasi, dan berkelanjutan menjadi kunci bagi peningkatan daya saing perkotaan sehingga

menumbuhkembangkan berbagai kegiatan ekonomi termasuk industri kreatif serta berbagai inovasi

yang menciptakan keunggulan kompetitif. Secara regional, daya saing kawasan perkotaan di

Indonesia pada umumnya masih berada di bawah negara-negara peers yang antara lain

ditunjukkan oleh relatif rendahnya elastisitas peningkatan pendapatan perkapita untuk setiap

kenaikan urbanisasi. RPJMN 2015 – 2019 menekankan perlunya pengembangan wilayah perkotaan,

terutama pengembangan kota di luar Jawa, dengan prioritas yang diarahkan kepada pemenuhan

daya dukung perkotaan yang kemudian secara bertahap mengarah ke kota hijau dan kota cerdas.

Namun demikian, belum adanya landasan hukum dan kejelasan perencanaan yang terintegrasi

antara pusat dan daerah mengakibatkan inisiatif dan rencana pengembangan kota masih

bergantung sepenuhnya kepada inisiatif Kepala Daerah. Pemanfaatan teknologi informasi dan

komunikasi dalam kerangka kota cerdas (smart city) dapat membantu pengelolaan dan

pengembangan kota yang lebih baik menuju kota yang berdaya saing dan berkelanjutan.

Kawasan Perkotaan sebagai Penggerak Ekonomi Regional

Aglomerasi yang terencana dan terkelola

dengan baik akan menghasilkan kawasan

perkotaan yang berdaya saing. Kota yang terus

berkembang selain menjadikan penduduknya

semakin berkualitas juga memiliki daya tarik bagi

migrasi penduduk untuk tinggal (urbanisasi).

Fenomena yang umum di dunia ini menjadikan

kawasan perkotaan menjadi tempat

berkumpulnya sumber daya manusia yang

memiliki berbagai keahlian, sehingga dengan

infrastruktur yang mendukung akan menciptakan

peluang yang lebih besar bagi interaksi produktif

untuk menciptakan biaya yang makin efisien dan

hasil yang makin optimal. Interaksi tersebut

kemudian juga memicu terjadinya proses inovasi

pada suatu sektor ekonomi yang merambat juga

ke sektor lainnya. Proses aglomerasi tersebut

berujung pada peningkatan produktivitas

perekonomian secara keseluruhan di wilayah

perkotaan (Grafik VI.1).

Page 96: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

76

Grafik VI.1. Kota Sebagai Penggerak Ekonomi Regional

Perkotaan memegang peran penting dalam

perkembangan perekonomian dunia. Kota besar

dunia dengan berbagai aktifitas ekonominya

telah menyumbang sepertiga dari perekonomian

dunia dan lebih dari setengah output dunia.12

Perkembangan kota mendorong terjadinya

urbanisasi yang selanjutnya mendorong

terjadinya peningkatan permintaan dan produksi

di berbagai lapangan usaha dan wilayah.

Semakin maju suatu perekonomian, semakin

besar jumlah penduduk urbannya. Negara-

negara maju seperti Jepang, UK, dan USA

memiliki rasio penduduk urban yang lebih tinggi

dari rata-rata dunia dan negara-negara yang

tingkat kemajuan ekonominya lebih rendah

(Grafik VI.2). Pertumbuhan populasi urban dunia

mencapai 2,2%, sementara di Indonesia memiliki

pertumbuhan populasi urban yang lebih tinggi

yaitu 3,5%. Dengan tingkat pertumbuhan

penduduk urban yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pertumbuhan penduduk, populasi urban

Indonesia diprediksi akan meningkat hingga

hampir 60% dari jumlah penduduk, atau sedikit

lebih tinggi daripada populasi urban dunia.

12

Sumber: Worldbank, UN dan McKinsey.

Sumber: Worldbank

Grafik VI.2. Porsi Populasi Urban 2014

Sumber: Worldbank

Grafik VI.3. Perkembangan Penduduk Urban

Proporsi penduduk urban berbanding positif

dengan besarnya PDB perkapita. Penduduk

dengan proporsi penduduk urban yang lebih

tinggi memiliki kecenderungan untuk mempunyai

PDB/kapita yang lebih besar. Namun demikian,

Page 97: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

77

perkembangan kota di Indonesia yang kurang

didukung oleh pembangunan infrastruktur

(infrastructure deficits) membuat daya dukung

perkotaan menjadi tidak optimal, menyebabkan

efek dari setiap 1% peningkatan urbanisasi

terhadap kenaikan PDB/kapita, hanya sebesar

2%, jauh di bawah negara-negara peers seperti

Vietnam yang mencapai 8% dan India sebesar

6%. Sementara untuk negara Belanda mencapai

10% dan Tiongkok sebesar 6%.13

Sumber: Worldbank, 2014

Grafik VI.4. Populasi Urban dan PDB/kapita

Perkotaan juga memegang peranan penting

dalam perekonomian daerah. Perkembangan

ekonomi daerah di Indonesia, secara spasial, juga

mencerminkan sebaran dan konsentrasi kota-

kota. Pangsa ekonomi wilayah Jawa selama ini

yang selalu dominan yaitu sebesar 58,30%

terhadap total PDB, memperlihatkan korelasi

kuat dengan keberadaan jumlah kota yang

mencapai 58,53%. Agregasi PDRB kota di wilayah

Jawa pada tahun 2013 menunjukkan kontribusi

cukup besar yaitu 51,4% terhadap total PDRB

wilayah Jawa. Wilayah Sumatra, dengan pangsa

terhadap PDB sebesar 22,2% mempunyai jumlah

kota mencapai 22,14% terhadap nasional.

Sedangkan wilayah KTI dan Kalimantan yang

mempunyai pangsa masing-masing sebesar

11,4% dan 8,2% terhadap PDB, memiliki jumlah

kota masing-masing sebesar 14,98% dan 4,36%

terhadap nasional.

13

The Rise of Metropolitan Region, World Bank, 2012.

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.5. Jumlah Perkotaan di Indonesia

Kontribusi kota-kota di luar Jawa terhadap

perekonomian nasional relatif tidak mengalami

perubahan selama 5 tahun terakhir yaitu 12%.

Secara wilayah, walaupun peran kota di wilayah

KTI mengalami peningkatan, namun tetap jauh

lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya di

Indonesia.

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.6. Peran Kota terhadap PDRB Wilayah

Peningkatan penduduk usia produktif dan

proses urbanisasi perlu ditopang oleh daya

dukung perkotaan (infrastruktur) agar

pertumbuhan ekonomi di perkotaan optimal.

Peningkatan jumlah penduduk usia produktif

apabila dapat dikelola dengan baik akan

membawa peluang bagi peningkatan

perekonomian daerah. Rasio jumlah penduduk

usia produktif, khususnya di wilayah luar Jawa

diperkirakan akan mengalami lonjakan yang

signifikan, lebih besar daripada di Jawa.

Page 98: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

78

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.7. Jumlah Penduduk Usia Produktif

Pembangunan antar wilayah yang kurang

seimbang dikhawatirkan akan memengaruhi

migrasi penduduk usia produktif antar wilayah.

Ketertinggalan pembangunan wilayah perkotaan

di luar Jawa diperkirakan akan mendorong

perpindahan penduduk ke Jawa, menyebabkan

beban di Jawa akan semakin tinggi dan

berpotensi mengakibatkan ketimpangan dan

kemiskinan yang lebih dalam.

Tabel VI.1. Kontribusi terhadap PDB dan Persentase Akses Listrik Rumah Tangga

Sumber: BPS

Walaupun tingkat kemiskinan absolut mengalami

penurunan di seluruh wilayah, namun kemiskinan

di wilayah KTI tetap lebih dalam dan lebih parah

dibandingkan kemiskinan di wilayah lainnya.

Sementara itu, kemiskinan wilayah perkotaan

(urban) cenderung lebih rendah dibandingkan

dengan kemiskinan wilayah pedesaan (rural).

Sumber: BPS, diolah

Grafik VI.8. Kemiskinan Urban-Rural Wilayah

Tingkat kemiskinan yang lebih parah di wilayah

pedesaan di KTI membuat tingkat ketimpangan di

wilayah timur relatif lebih besar dibandingkan

dengan di wilayah barat, dan berada di atas rata-

rata nasional 2015 sebesar 0,41.

Indeks Kota Berkelanjutan14

yang disusun oleh

Bappenas menghasilkan kota-kota dengan

peringkat tinggi terkonsentrasi di Jawa, dan

menguatkan fakta adanya ketimpangan antara

wilayah Timur dan Barat. Dari enam aspek untuk

mengukur keberlanjutan kota, untuk aspek tata

kelola kota berada pada skor yang paling rendah

yang mengindikasikan kelemahan utama daya

saing perkotaan di Indonesia.

14

IKB dikeluarkan oleh Bappenas sejak tahun 2015 sebagai

alat ukur pembangunan kota dan disusun berdasarkan 6 aspek yaitu: Lingkungan, sosial budaya, ekonomi, pelayanan perkotaan, tata kelola pembiayaan & sistem perkotaan.

Page 99: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

79

Sumber: Bappenas (2015)

Gambar VI.1. IKB perkotaan di berbagai wilayah Indonesia

Pengembangan Kota Cerdas (Smart City)

Pemerintah melalui RPJMN 2015-2019 telah

menetapkan arah pembangunan perkotaan

menuju kota yang berdaya saing dan

berkelanjutan, serta terintegrasi dengan wilayah

sekitarnya. Strategi pembangunan kota jangka

menengah panjang diarahkan kepada tahapan

pencapaian kota yang nyaman ditinggali (liveable

city) pada 2025, yang kemudian secara bertahap

mengarah pada kota hijau (green city) sampai

dengan kota cerdas (smart city) pada 2045. 15

Sumber: RPJMN 2015, RKP 2016, Bappenas

Gambar VI.2. Pembangunan Perkotaan 2015 – 2019

Pengembangan kota di luar Jawa menjadi

prioritas agar pemerataan pembangunan dapat

diwujudkan. Selama 2015–2019, pembangunan

perkotaan diarahkan pada pembangunan: (i) 5

15

Sumber: Publikasi Bappenas RPJMN 2015, RKP 2016.

Kawasan Metropolitan baru di luar Jawa-Bali; (ii)

7 kawasan metropolitan existing; (iii) 20 kota

Otonom (sedang) di luar Jawa dengan

mengoptimalisasi kota menjadi pusat kegiatan

nasional/wilayah; (iv) 10 kota baru publik; dan (v)

39 pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Kota Cerdas (smart city) secara umum memiliki

karakteristik adanya interaksi antara

Pemerintah, Penduduk, dan Teknologi yang

memungkinkan terjadinya partisipasi aktif

masyarakat dalam perencanaan, implementasi

dan monitoringnya, dalam upaya peningkatan

efisiensi pelayanan publik dan manajemen

perkotaan serta ketahanan dan keberlanjutan

kota.16

Dalam implementasinya, konsep kota

cerdas menghadapi tantangan yang bersifat

multi-sektor. Tantangan yang dihadapi cukup

beragam, mulai dari perencanaan,

pengembangan, pelayanan perizinan,

terpenuhinya daya dukung standar pelayanan

perkotaan (SPP), sampai dengan penanganan

limbah secara menyeluruh. Partisipasi

masyarakat dan pemerintah yang didukung oleh

pemanfaatan Teknologi Informasi dan

Komunikasi (TIK) menjadi bagian penting,

terutama sejak pesatnya perkembangan

teknologi digital dunia.

16

Definisi Smart City cenderung beragam, sehingga merujuk

pada berbagai sumber yaitu: World Bank, Accenture, Garuda Smart City (ITB), UK Dept. Of Bussiness, International Telecommunication Union Focus Group on Smart Sustainable Cities, emunicipality

Page 100: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

80

Dibandingkan dengan negara lain di dunia,

pencapaian kota cerdas di Indonesia masih

relatif terbatas. Dalam IKB Dunia (Sustanaible

Cities Index, Arcandis, 2015), Indonesia yang

diwakili oleh kota Jakarta menduduki peringkat

ke-45 dari 50 kota yang disurvei. Sementara itu,

berdasarkan Cities in Motion Index (IESE, 2014),

Jakarta hanya menduduki peringkat ke-125 dari

139 kota yang disurvei. Pengembangan kota

cerdas di Indonesia yang masih bersifat parsial

dan sporadis menjadikan pengembangan kota

cerdas masih pada taraf scattered. 17

Tabel VI.2. Sustainable Cities Index dan Cities in Motion

Sumber: Sustainable Cities Index (Arcandis, 2015), Cities in

Motion (IESE, 2014)

Harian Kompas bekerja sama dengan ITB (Garuda

Smart City) membagi tingkat maturitas suatu kota

dalam 5 tahap sebagai berikut:

Tabel VI.3. Pembagian Tingkat Maturitas Kota Maturity Level Penjelasan

Ad Hoc Kota belum memiliki inisiatif menuju Smart City

Initiative Kota sudah memiliki inisiatif menerapkan konsep kota cerdas

Scattered Kota sudah secara intensive menerapkan konsep kota cerdas namun belum terintegrasi

Integrative (low, medium, high)18

Komponen kota cerdas mulai terintegrasi

Smart Komponen sudah terintegrasi

Sumber: IKCI Kompas-ITB

17

Garuda Smart City (ITB) menggunakan 5 tingkat

kematangan kota cerdas mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi: Ad-Hoc, Initiative, Scattered, Integrative dan Smart yang meliputi 3 aspek penilaian: ekonomi, masyarakat dan lingkungan. Sebagian besar kota di Indonesia tertinggi pada tingkatan Scattered 18

Tahapan integrative dibagi menjadi tiga tahap yaitu low,

medium, dan high. Pembagian ini berdasarkan persentase implementasi program yaitu 1-5 strategi (low), 6-10 strategi (medium), 11-15 strategi (high).

Penerapan pengembangan kota dan smart city

di Indonesia menghadapi beberapa tantangan

yang membutuhkan koordinasi banyak pihak.

Tantangan yang dihadapi meliputi perencanaan

yang terintegrasi dan konsisten, konektivitas di

dalam kota maupun dengan daerah penyangga di

sekitarnya, transparansi kebijakan, ketersediaan

infrastruktur serta partisipasi dan kolaborasi aktif

pemerintah, swasta dan masyarakat.

Gambar VI.3. Kendala Pengembangan Perkotaan dan

Kota Cerdas

Pemanfaatan TIK dalam pencapaian kota cerdas

adalah dengan meningkatkan efisiensi

pengolahan data yang tersedia dalam jumlah

besar dan saling berkait mengenai perkotaan. TIK

dapat digunakan untuk mengelola data/informasi

secara cepat dan akurat yang diperlukan untuk

pengambilan keputusan secara tepat.

Berikut ini adalah gambaran singkat mengenai

progres dan tantangan pembangunan kota di

berbagai wilayah di Indonesia, terkait dengan

program RPJMN 2015-2019 berikut rencana

pengembangan kota cerdas di wilayah dimaksud.

Secara umum, Perkembangan kawasan

perkotaan KTI masih terkendala pada (1)

perencanaan yang belum terintegrasi khususnya

pada planning perkotaan dan anggaran, (2)

kompetensi pemerintah daerah yang terbatas, (3)

layanan infrastruktur dasar yang terbatas serta

(4) kualitas sumber daya manusia yang lebih

rendah.

Page 101: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

81

Gambar VI.4. Pemanfaatan TIK Mengatasi Masalah

Perkotaan

Wilayah di luar Jawa pada umumnya

menghadapi tantangan rendahnya kualitas SDM

terkait kualitas migran dan kesinambungan

industri. Wilayah di luar Jawa umumnya

mempunyai pola migrasi keluar (outflow) yaitu

SDM dengan kualitas pendidikan yang lebih baik

dan bekerja di sektor non pertanian, sementara

migran pendatang (inflow) dalam kondisi

sebaliknya. Motif migrasi baik dalam maupun

antar-wilayah terutama untuk melanjutkan

sekolah dan memperoleh pendapatan yang lebih

baik.

Selain itu, pembangunan proyek dalam RPJMD

Provinsi maupun Kabupaten/Kota secara umum

masih belum sepenuhnya sejalan dengan RPJMN.

Hal ini akibat belum tersedianya roadmap

pengembangan kawasan perkotaan, koordinasi

kelembagaan yang masih lemah, dan kurangnya

ketersediaan infrastruktur dasar bagi Standar

Pelayanan Perkotaan selain infrastruktur

pendukung TIK bagi pengembangan kota cerdas.

Tingkat Maturitas Kota-Kota di Indonesia

Sesuai RPJMN, pengembangan kota di Indonesia

diarahkan menuju kota cerdas (smart city).

Sebagai tahapan akhir pengembangan kota,

pencapaian kota cerdas menjadi tingkatan

maturitas tertinggi dari pengembangan kota.

Implementasi kota cerdas sangat memerlukan

dukungan layanan TIK yang handal.

Kota cerdas sudah ada di Indonesia terutama di

wilayah Jawa. Kota Jakarta, Bandung dan

Surabaya sudah secara intensif melakukan

perbaikan-perbaikan fundamental untuk

mentransformasi kota menuju kota cerdas.

Implementasi kota cerdas di wilayah Jawa relatif

lebih maju dibandingkan wilayah lainnya di

Indonesia.

Pada sisi lain, progres pengembangan kota

menuju kota cerdas di wilayah luar Jawa

khususnya KTI masih berjalan cukup lambat.

Pemetaan tingkat maturitas yang dilakukan di 21

kota administratif di KTI menunjukkan bahwa

hanya 1 kota yang sudah pada tahap scattered

yaitu kota Denpasar. Selanjutnya, Kota Makassar

dan Manado berada pada tingkat initiative

dengan intensitas yang sudah cukup baik, atau

high initiative. Meski sudah pada tahapan yang

cukup baik namun perencanaan ketiga kota

tersebut belum dilengkapi dengan blue print yang

komprehensif selain juga belum memiliki alokasi

anggaran yang mendukung perencanaan

pengembangan kota menuju kota cerdas.

Selanjutnya, 18 kota lainnya, pada umumnya

berada pada tingkat initiative low. Kota di wilayah

Sulawesi dan Nusa Tenggara memiliki tingkat

maturitas yang lebih baik dibandingkan kota di

wilayah Maluku dan Papua. Kendala utama di

Maluku dan Papua adalah fokus pembangunan

pemerintah kota yang masih pada pembangunan

icon-icon kota dan berubah sesuai dengan

perubahan kepemimpinan. Kondisi yang berbeda

terjadi di Sulawesi dan NTB yang sudah relatif

lebih baik, arah pengembangan kota pada

umumnya hanya fokus pada pengembangan

infrastruktur tanpa pengembangan pada

komponen ekonomi, sumber daya manusia serta

tata kelola.

Berbeda dengan KTI, rata-rata tingkat maturitas

kota di Sumatera sudah pada tahap high

initiative. Permasalahan utama pengembangan

kota cerdas di Sumatera adalah belum

Page 102: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

82

terdapatnya grand design kota cerdas oleh

masing-masing pemerintah daerah.

Pengembangan kota masih bersifat parsial dan

belum meliputi keseluruhan desain kota cerdas.

Kondisi perkotaan yang lebih baik ditemukan di

Kalimantan dengan mayoritas kota berada dalam

tahapan scattered. Beberapa diantaranya bahkan

mendapatkan penghargaan sebagai kota cerdas

sesuai kategorinya. Kota Balikpapan dan

Pontianak, misalnya, ditetapkan sebagai kota

terbaik ke-2 dan ke-4 IKCI 2015 untuk kategori

kota sedang dengan penduduk 200.000 sampai

dengan 1 juta jiwa. Sementara Kota Bontang

ditetapkan sebagai kota terbaik ke-3 untuk

kategori kota kecil dengan penduduk kurang dari

200.000 jiwa . Namun masih terdapat beberapa

pembenahan yang harus dilakukan, khususnya

terkait integrasi TIK.

Beberapa kota lainnya di Kalimantan memiliki

tingkat maturitas yang beragam. Palangkaraya

dan Banjarmasin, masih dalam tahapan initiative

dengan fokus pada smart economy. Sementara

itu, Banjarbaru dan Tarakan sudah berada dalam

tahapan scattered dengan fokus relatif merata

pada smart economy maupun smart society.

Saat ini, pengembangan kota cerdas masih

bersifat sporadik antar kota dengan keterbatasan

komitmen pemerintah dalam tata kelola kota

cerdas serta belum adanya payung hukum kota

cerdas. Kemudian, kota cerdas yang dilakukan

baru terfokus kepada pengembangan TIK.

Gambar VI.5. Peta Smart City di Indonesia

Wilayah Sumatera

Berdasarkan RPJMN 2015-2019, lokasi prioritas

kawasan strategis nasional perkotaan adalah 1).

Mebidangro: Medan, Binjai, Deli Serdang dan

Karo, 2). Patungraya Agung (Palembang, Betung,

Indralaya dan Kayu Agung, dan 3). Palapa:

Padang, Lubuk Alung, Pariaman, Indarung, Teluk

Bayur, Bungus, Mandeh.

Diantara 3 kawasan perkotaan tersebut,

Mebidangro menjadi kawasan yang sangat

penting untuk ditata dan dikembangkan,

mengingat kepadatan dan jumlah penduduk yang

tinggi serta pelaju (commuters) yang lebih banyak

terutama dari berbagai kawasan di sekitarnya.

Selain Mebidangro, Patungraya Agung juga perlu

ditata dan dikembangkan. Hal ini didasari oleh

pertumbuhan ekonomi Palembang yang cukup

Page 103: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

83

tinggi dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa

serta commuters yang mendekati 5% jumlah

penduduk. Sementara itu, Palapa memiliki

urgensi yang lebih rendah terutama karena

jumlah penduduknya yang masih kurang dari 1

juta dan jumlah komuter yang masih di bawah

5%.

Selain dari ketiga kota di atas, pengembangan

kota terintegrasi juga perlu dilakukan di wilayah

Batam. Pengembangan kota cerdas di Batam

diperlukan dalam rangka mendorong investasi

dan pertumbuhan industri di kawasan industri

yang lebih besar sebagai bagian dari Free Trade

Zone.

Mayoritas pengembangan kota cerdas di

Sumatera berada pada tahap Initiative (memiliki

inisiasi melalui inovasi smart city parsial).

Tingkatan Scattered (kota mulai intensif

menerapkan smart city) hanya pada kota Medan,

Batam, Palembang, dan Lampung. Hampir semua

kota dimaksud memiliki permasalahan terkait

daya dukung kawasan perkotaan termasuk

Standar Pelayanan Perkotaan (air bersih siap

minum, area kebersihan), kawasan hijau

(termasuk green building yang ramah lingkungan)

dan pengembangan SDM.

Pengembangan Medan sebagai kota cerdas

bertujuan peningkatan fasilitas kota Metropolitan

yang didukung pengembangan kawasan

penyangga dan transportasi pendukung serta

transparansi kepemerintahan. Kota Medan

memiliki infrastruktur mobility yang baik, sistem

governance yang relatif maju.

Pengembangan Palembang sebagai kota cerdas

bertujuan meningkatkan akses dan mobilitas

penduduk khususnya terkait persiapan ASEAN

GAMES 2018, meliputi pembangunan fasilitas

olahraga dan saran transportasinya. Dalam kaitan

dengan kawasan sekitarnya, akan dikembangkan

kawasan perkotaan Patungraya Agung.

Palembang merupakan kota yang sudah

dilengkapi sistem governance dan transportasi

yang relatif bagus.

Sementara itu, terkait pengembangan Batam

menjadi pusat investasi industri di Sumatera

sebagai bagian dari Free Trade Zone, sedang

dikembangkan 29 kawasan industri, industri

perkapalan, serta infrastruktur pusat jasa dan

perdagangan.

Wilayah Jawa

Dalam RPJMN 2015-2019, empat dari tujuh

lokasi pengembangan kawasan metropolitan

terdapat di Jawa di antaranya: 1). Jabodetabek

(Jakarta, Kab. Bogor, Kota Bogor, Kota Depok,

Kab. Tangerang, Kota Tangerang, Kab. Tangerang

Selatan, dan Kota Bekasi);2). Bandung Raya (Kota

Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat,

Kota Cimahi, Kab. Majalengka, dan Kab.

Sumedang); 3). Kedungsepur (Kab. Kendal, Kab.

Demak, Ungaran, Kota Semarang, dan

Purwodadi) dan 4). Gerbang-Kertosusilo (Kab.

Gresik, Kab. Bangkalan, Kab. Mojokerto, Kota

Mojokerto, Kota Surabaya, Kab. Sidoarjo, dan

Kab. Lamongan).

Setiap metropolitan didesain untuk fokus pada

kegiatan yang dapat menjadi kekuatan daerah

tersebut. Jabodetabek difokuskan menjadi pusat

pemerintahan, keuangan, MICE, perdagangan

dan jasa, pusat distribusi, dan industri. Bandung

Raya, Kedungsepur dan Gerbangkertosusila

difokuskan pada pengembangan industri, jasa

pendidikan dan urban tourism. Secara lebih

spesifik, Bandung Raya memiliki fokus pada

sektor Teknologi Informasi sementara Surabaya

pada industri perkapalan.

Selain keempat wilayah tersebut di Jawa juga

terdapat kawasan perkotaan lain yaitu

Yogyakarta, Sleman, dan Bantul atau sering

disebut Kartamantul yang memiliki peran besar

dalam sektor pendidikan dan pusat kebudayaan

di Jawa.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk

di perkotaan, berbagai masalah mulai muncul

seperti kemiskinan, kemacetan, banjir,

keterbatasan pemukiman, dan kriminalitas,

sehingga diperlukan solusi guna mengatasi

Page 104: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

84

masalah tersebut. Penerapan konsep kota cerdas

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah

merupakan salah satu solusi guna mengurai

permasalahan di perkotaan.

Pemanfaatan TIK untuk membantu

penanggulangan kemiskinan di perkotaan

terutama dalam bentuk penyaluran bantuan

dana pendidikan dan fasilitas kesehatan bagi

penduduk miskin. Pada sektor pendidikan, DKI

Jakarta memberikan bantuan berupa dana

bantuan operasional pendidikan dan Kartu

Jakarta Pintar, sementara Pemerintah Kota

Surabaya memberikan fasilitas pendidikan gratis

dari SD hingga SMA untuk warga asli Surabaya

(angggaran pendidikan 32% dari APBD Kota

Surabaya) dan Broadband Learning Center (BLC)

sebagai sarana pendidikan nonformal. Di kota

Yogyakarta, pelayanan kesehatan diberikan

melalui Rumah Sehat Lansia (Rusela) berupa

pelayanan kesehatan gratis bagi lansia,

sementara di Kota Semarang dan Kota Tangerang

terdapat pelayanan kesehatan gratis di

Puskesmas bagi masyarakat. Di beberapa kota

besar lainnya di Jawa juga terdapat inisiatif

pemanfaatan aplikasi TIK sebagaimana di DKI

Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya.

TIK juga dapat digunakan untuk memitigasi

tindak kejahatan. DKI Jakarta telah

mengembangkan aplikasi publik guna

mengidentifikasi tindak kejahatan di masyarakat

yang disebut SafetiPin yang merupakan Aplikasi

Penanda Tindak Kejahatan.

Berkaitan dengan penyediaan pemukiman,

pembangunan rumah susun baik sewa

(rusunawa) maupun milik (rusunami) menjadi

alternatif sebagaimana dilakukan Pemkot DKI.

Pemkot Bandung dengan program bantuan

rumah tidak layak huni (Rutilahu), sementara

Pemkot Yogyakarta dengan pilot project

Kampung Susun di Gemawang, Yogyakarta.

Pemanfaatan TIK juga dilakukan untuk

mengatasi masalah kemacetan di perkotaan.

Penerapan Area Traffic Control System (ATCS)

Room & CCTV di 6 Kota Besar Jawa sebagai alat

yang secara otomatis mengatur lampu lalu-lintas

berdasarkan panjangnya antrian kendaraan. DKI

Jakarta sebagai salah satu megacity di Jawa juga

mengembangkan aplikasi penanggulangan

kemacetan melalui UPT Jakarta Smart City,

seperti Aplikasi Angkutan Jakarta (APPAJA),

aplikasi monitoring keramaian halte dan tracking

TransJakarta. Aplikasi tersebut dapat memantau

kondisi kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta.

Selain itu, fasilitas transportasi publik perlu dan

terus dikembangkan untuk mengurangi tingkat

kemacetan, baik melalui moda transportasi bus

(Trans Jabodetabek, Trans Jakarta, Trans Metro

Bandung, Trans Semarang, Trans Jogja, bus

sekolah, bus wisata) dan KRL.

Kemacetan di kota akan mengurangi daya saing

kota akibat inefisiensi yang timbul sebagai

dampak dari tingginya biaya transportasi, biaya

penyesuaian kebijakan perusahaan untuk

memitigasi dampak kemacetan dan

berkurangnya daya tarik investasi yang berujung

pada tidak optimalnya alokasi sumber daya

perkotaan. Kajian mengenai dampak kemacetan

di Jawa dapat dilihat pada Boks: Kemacetan:

meningkatkan biaya logistik dan menghilangkan

potensi pertumbuhan ekonomi.

Aplikasi TIK juga digunakan untuk menampung

dan memantau tingkat responsif Pemda

terhadap keluhan masyarakat. DKI Jakarta telah

mengembangkan aplikasi berbasis mobile yang

disebut QLUE sebagai wadah menampung

keluhan masyarakat dan aplikasi CROP (Cepat

Respon Opini Publik) agar petugas Pemda lebih

cepat tanggap dalam menangani laporan

masyarakat. Tidak hanya Jakarta, beberapa Kota

besar di Jawa juga telah mengembangkan

berbagai aplikasi berbasis website dan

smartphone untuk memperoleh masukan dari

masyarakat serta meningkatkan pelayanan oleh

pemerintah kota. Keterlibatan masyarakat dalam

pengembangan kota cerdas sangat berperan bagi

keberlanjutan program. Adopsi TIK yang tinggi

tersebut di beberapa kota di Jawa telah

Page 105: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

85

menempatkan kota-kota di Jawa dalam ranking

tertinggi kota cerdas di Indonesia.19

Pengembangan perkotaan juga harus didukung

oleh pengembangan daerah sekitar. Keterkaitan

antara Kota-Kota Satelit dan Desa mendorong

penguatan pembangunan dan pemberdayaan

desa berbasis IT untuk mengurangi kesenjangan

yang ada antara Kota dengan Desa.

Gambar VI.6. Skema Hubungan Kota-Desa

Inisiatif tersebut diwujudkan dalam

pengembangan pedesaan berbasis IT seperti

Smart Kampung Banyuwangi dan Kampung UKM

Digital. Inisiatif ini membutuhkan keterlibatan

berbagai pemangku kepentingan seperti

Pemerintah Daerah, BUMN, dan UMKM, dan

perlu terus didorong penerapannya.

Wilayah Kalimantan

Apabila dibandingkan dengan kawasan perkotaan

di Jawa, daya saing kawasan perkotaan di

Kalimantan adalah lebih rendah, baik dari

ketersediaan infrastruktur, pembangunan SDM,

teknologi dan tata kelola.

Berdasarkan RPJMN, pengembangan wilayah

perkotaan di Kalimantan diarahkan untuk

pengembangan kawasan perkotaan berdaya

saing melalui optimalisasi kawasan perkotaan

yang ada, pengembangan perkotaan baru, serta

kawasan perbatasan. Program RPJMN tersebut

dituangkan dalam beberapa program strategis.

Pengembangan kawasan perkotaan Banjar-

Bakula (Banjarmasin, Banjarbaru, Baritokuala dan

Tanah Laut) menjadi salah satu program strategis

di Kalimantan Selatan. Salah satu programnya

adalah Pembangunan Sistem Penyediaan Air

19

Salah satu indikatornya adalah Indeks Kota Cerdas

Indonesia (IKCI) yang diterbitkan Kompas bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Penilaian ICKI tidak mencakup wilayah DKI Jakarta

Minum (SPAM) Regional Bakula. Dalam

implementasinya, program ini terkendala

ketersediaan energi listrik. Selain itu,

pengembangan Banjar Bakula juga menghadapi

belum optimalnya fungsi koordinasi antar daerah

akibat masih minimnya peran Pemprov sebagai

koordinator dan sekretariat program, tingginya

egosentrisme daerah, dan belum optimalnya

perencanaan teknis, kelembagaan dan

pembuatan perencanaan teknis.

Selain Kawasan Perkotaan Metropolitan,

Pembangunan Kota Baru (Kab. Pontianak,

Tanjung Selor, dan Kab. Banjar) juga menjadi

fokus pembangunan daerah selain Optimalisasi

Kota Sedang (Singkawang, Bontang, Tarakan dan

Palangkaraya).

Peranan kawasan perkotaan semakin penting di

tengah melemahnya perekonomian Kalimantan.

Pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan

menunjukkan tren yang meningkat di tengah

pelemahan ekonomi Kalimantan terkait

lemahnya kinerja pertambangan. Hal ini terkait

dengan industri pengolahan yang lebih banyak

terdapat di wilayah perkotaan dibandingkan

pertambangan yang terdapat di wilayah bukan

perkotaan.

Sekalipun kontribusi Perkotaan lebih rendah

dibandingkan pedesaan, namun perkotaan

memiliki kualitas SDM dan produktivitas industri

yang lebih baik. Meskipun di Kalimantan pangsa

PDRB Kabupaten masih lebih tinggi dibandingkan

kota, secara perkapita, tingkat penghasilan

masyarakat kota lebih tinggi daripada wilayah

pedesaan yang tercermin dari PDRB per Kapita

Kota (Rp71 juta) yang lebih tinggi dibandingkan

Kabupaten (Rp59 juta). Selain itu, kemandirian

fiskal dan kredit per kapita Kota juga lebih tinggi

dibandingkan dengan Kabupaten.

Kesinambungan industri perlu menjadi fokus

terutama terkait sektor pertambangan yang

mempunyai sifat tidak berkelanjutan.

Kota-kota di Kalimantan juga dihadapkan pada

permasalahan ketimpangan pendapatan dan

pengangguran yang relatif lebih tinggi.

Page 106: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

86

Ketimpangan dan pengangguran yang tinggi

tersebut terutama diakibatkan ketidakmampuan

daya dukung infrastruktur dasar wilayah

perkotaan untuk mengoptimalkan penambahan

tenaga kerja melalui urbanisasi yang muncul

akibat daya tarik tingkat pendapatan,

produktivitas dan IPM yang lebih tinggi dan relatif

lebih rendahnya kemiskinan di perkotaan.

Perbaikan infrastruktur dasar menjadi sangat

diperlukan yang meliputi ketersediaan energi dan

air bersih, sarana dan prasarana pendidikan serta

konektivitas antar wilayah sebagaimana

diantaranya yang saat ini sedang dilakukan (jalan

tol, kereta api, bandara dan pelabuhan).

Wilayah KTI

Pangsa Kota di Kawasan Timur Indonesia (KTI)

hanya 21% dibandingkan dengan jumlah seluruh

kota di Indonesia, cukup minim mengingat

pangsa luas wilayah KTI mencapai lebih dari 50%

luas wilayah Indonesia. Hanya terdapat 1 Kota

Besar di KTI, yaitu Kota Makassar dari total 21

Kota yang tersebar di 13 Provinsi. Sedangkan

untuk Kota Sedang dan Kota Kecil masing-masing

terdapat 8 Kota dan 12 kota. Sebaran perkotaan

di KTI masih terpusat di Pulau Sulawesi dan

Balinusra dan umumnya berada pada kategori

Kota Kecil.

Secara spasial, terdapat tiga koridor arah

pengembangan KTI, yakni Koridor Sulawesi,

Koridor Balinustra, dan Koridor Papua dan

Kepulauan Maluku. Koridor Sulawesi difokuskan

sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil

pertanian, perkebunan, perikanan, migas, dan

pertambangan nasional. Koridor Balinustra

sebagai pintu gerbang pariwisata nasional dan

pendukung pangan nasional. Sementara Koridor

Papua dan Kepulauan Maluku menjadi pusat

pengembangan pangan, perikanan, energi, dan

pertambangan nasional.

Sesuai dengan perencanaan Bappenas, terdapat

tiga aglomerasi kota yang berpotensi menjadi

kawasan metropolitan yaitu Kawasan Sarbagita

(Denpasar-Badung, Gianyar, Tabanan),

Maminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa

dan Takalar), dan Bimindo (Bitung, Minahasa

dan Manado). Ketiga daerah ini diharapkan

menjadi motor pertumbuhan sektor industri

pengolahan, pariwisata, dan ekonomi maritim.

Rata-rata pengembangan kota di KTI masih

berada pada tahapan low initiative (berinisiatif

menerapkan konsep kota cerdas namun

implementasinya masih rendah). Hanya terdapat

dua kota yang implementasinya sudah pada

tahapan high-initiative yaitu Makassar dan

Manado, dan hanya satu kota yaitu Denpasar

yang sudah pada tahap scattered. Hal tersebut

mencerminkan bahwa pengembangan kota di KTI

masih jauh dibandingkan kota-kota di Jawa.20

Di antara kota Manado, Makasar, dan Denpasar

yang direncanakan sebagai kota cerdas, hanya

kota Manado yang memiliki blueprint

pengembangan kota cerdas, selebihnya belum

memiliki.

Pengembangan Manado yang dicanangkan sejak

2013 dalam implementasinya masih bersifat

sporadik dan belum sesuai dengan visinya

menjadi kota pariwisata dunia modern yang

berwawasan lingkungan. Selain itu, awareness

pemerintah masih rendah, dan blue print masih

bersifat normative, di samping keterbatasan

anggaran pendukung baik dari pemerintah

daerah maupun pemerintah pusat.

Berbeda dengan Manado, pengembangan

Makassar sebagai kota cerdas yang dicanangkan

sejak 2007, dengan visi “menjadi kota dunia

dengan peningkatan layanan publik untuk kota

cerdas”, lebih berfokus pada pengembangan

start up business berbasis kelurahan dengan

target 60.460 wirausaha per tahunnya. Selain itu,

sebagaimana Jakarta, walaupun dalam ruang

lingkup lebih terbatas, Makassar memiliki

program Makassar Smart Card melalui kerja

sama perluasan layanan keuangan digital (LKD)

dan e-money.

20

Analisis dilakukan dengan membandingkan program

Pemerintah yang ada saat itu khususnya terkait pengembangan kota cerdas.

Page 107: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

87

Perencanaan Denpasar menjadi kota cerdas

sudah mencakup seluruh aspek sebagaimana

pada perencanaan Bappenas dan mendapatkan

penghargaan kategori smart economy, smart

environment, smart governance, dan smart living.

Bekerjasama dengan Pemerintah Kota Haikou di

Cina sebagai sister city-nya, Pemerintah Kota

Denpasar menggandeng investasi berbagai

lembaga dan perusahaan lainnya seperti Telkom,

Microsoft, dan BPD.

Dalam kerangka pengembangan kota cerdas di

KTI, permasalahan terutama lebih pada belum

adanya masterplan pembangunan kota cerdas,

keterbatasan konektivitas antar wilayah,

keterbatasan anggaran serta sulitnya proses

pembebasan lahan.

Elektronifikasi: Upaya Mendukung Pencapaian Kota Cerdas

Perkembangan ekonomi digital yang sangat

cepat, mengefisienkan banyak tahapan proses

produksi, mempermudah banyak kegiatan

ekonomi dan perdagangan. Sejak

berkembangnya era TIK yang sangat pesat, telah

membawa banyak perubahan pada kegiatan

ekonomi yang dilakukan saat ini.

Sumber: Internetworldstats.com

Grafik VI.9. Jumlah Pengguna Internet (juta)

Akses internet meningkat luar biasa di banyak

negara dan membawa banyak peluang usaha

yang sebelumnya tidak ada. Indonesia, dengan

jumlah penduduk 259,5 juta jiwa, jumlah

pengguna internet mencapai 34% dari total

populasi atau 88,1 juta jiwa, terbesar ke-4 di Asia,

memiliki potensi besar untuk berkembangnya

ekonomi digital kedepan.

Dengan tingkat pertumbuhan pengguna internet

sebesar 15%/tahun dan jumlah pengguna media

sosial mencapai 79 juta jiwa dengan tingkat

pertumbuhan 10%/tahun, maka terbuka peluang

yang sangat besar bagi pemanfaatan TIK yang

jauh lebih besar.

Sumber: e-Marketer A.T. Kearney Analysis

Grafik VI.10. Besar Pasar Transaksi Online

Potensi belanja online di Indonesia masih sangat

besar terutama jika dibandingkan dengan potensi

di negara peer karena besarnya pasar yang

tersedia yang diperkirakan dapat mencapai 28-30

milyar dollar. Pada tahun 2013, besar pasar yang

menggunakan transaksi online hanya sekitar 1,3

milyar dollar. (Grafik VI.10)

Sumber: e-Marketer A.T. Kearney Analysis

Grafik VI.11. Pangsa Penjualan Ritel Online

Page 108: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

88

Sumber: e-Marketer A.T. Kearney Analysis

Grafik VI.12. Pola Pembayaran Online

Sampai dengan tahun 2017, selama 5 tahun sejak

2013, pertumbuhan e-Commerce di ASEAN-5

diperkirakan mencapai 25%, seimbang dengan

China, 25%, dan jauh berada di atas USA dan EU-

5 yang masing-masing mencapai 11% dan 10%.

Dibandingkan dengan negara-negara tersebut,

aktivitas penjualan secara online di Indonesia

hanya 1% (2014) dari total penjualan ritel.

Perluasan akses elektronifikasi sistem

pembayaran berperan penting untuk

mengakselerasi pengembangan e-commerce.

Saat ini pola pembayaran transaksi online di

Indonesia sebagian besar atau 85% nya masih

dilakukan melalui transfer bank dan Cash-On-

Delivery (COD).

Ruang lingkup penerapan Elektronifikasi saat ini

meliputi seluruh kegiatan transaksi antara

Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. Mapping

yang dilakukan pada tahun 2015 mengindikasikan

beberapa kegiatan transaksi yang telah dilakukan

elektronifikasi.

Tabel VI.4. Mapping Transaksi Pembayaran Masyarakat

Keterangan: E: Elektronik, T: Tunai

Untuk mendukung koordinasi implementasi

program elektronifikasi, BI berinisiatif

membentuk Forum Koordinasi Bank Indonesia

dengan Otoritas/Lembaga terkait yang meliputi

Mitra Pemerintah, Asosiasi, Pelaku Industri, dan

Penasehat Independen.

Dalam eletronifikasi, BI berperan sebagai (i)

Advisor, narasumber dan Fasilitator; (ii)

Mendukung sebanyak mungkin bank yang eligible

dapat berpartisipasi dalam proyek elektronifikasi;

(iii) Mendukung dari sisi ketentuan dan perizinan

serta kesiapan sistem yang menjadi kewenangan

BI sesuai dengan tetap memperhatikan

ketentuan dalam regulasi yang berlaku; dan (iv)

Membantu Pemda dalam melakukan sosialisasi

dalam kaitannya dengan peningkatan

pertumbuhan less cash society di masyarakat.

Page 109: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

89

Gambar VI.7. Forum Koordinasi Sistem Pembayaran Mendukung Elektronifikasi

Rekomendasi Dalam Rangka Kebijakan Mengembangkan Kota Cerdas

Berdasarkan asesmen yang dilakukan, terdapat

tujuh rekomendasi kebijakan dalam rangka

pengembangan kota cerdas.

Pertama, perlunya menyusun roadmap mengenai

pengembangan perkotaan secara detil, jelas,

lengkap, dan terintegrasi antara pusat-daerah

sehingga dapat digunakan sebagai panduan

pengembangan kota di Indonesia. Dalam

pelaksanaannya perlu keterlibatan aktif

pemerintah daerah dan pihak lain yang terkait

agar roadmap tersebut mendapat dukungan

penuh dan dapat diimplementasikan.

Selanjutnya, pengembangan kota harus sejalan

dengan Rencana Tata Kota dan Rencana Wilayah

serta memperhatikan pengembangan lingkungan

yang berkesinambungan.

Kedua, perlunya mempercepat penyelesaian

dasar hukum yang menjadi acuan dalam

pengembangan kota. Keberadaan payung hukum

yang kuat dan panduan yang jelas akan

memudahkan Pimpinan Daerah dalam

mengimplementasikan pengembangan kota

terutama terkait kota cerdas.

Ketiga, perlunya penguatan kelembagaan &

koordinasi dalam pengembangan kota di

Indonesia, termasuk dalam pembiayaan rencana

pengembangan kota. Apabila diperlukan dapat

dibentuk lembaga baru untuk melakukan

perancangan dan standarisasi, edukasi dan

supervisi implementasi kota cerdas agar

pembangunannya dapat berkelanjutan.

Keempat, perlunya peningkatan kapasitas

aparatur di pemerintah daerah terkait dgn

perencanaan & pengelolaan kota. Dalam

pengawasannya, partisipasi publik dapat

digunakan dalam rangka menjaga konsistensi dan

komitmen.

Kelima, mempercepat penyediaan infrastruktur

dasar standar pelayanan kota sebagai prasyarat

utama untuk menuju kota cerdas. Tanpa

infrastruktur dasar, maka kota akan rentan

terhadap berbagai persoalan terkait urbanisasi

dan pertumbuhan ekonomi akan menjadi

terbatas. Selain itu infrastruktur dalam upaya

memperkuat dukungan TIK yang handal juga

dibutuhkan terutama untuk mendukung kota

cerdas. TIK dapat digunakan sebagai alat untuk

membantu perencanaan, implementasi dan

pengawasan pelaksanaan program kota cerdas.

Keenam, perlunya komitmen pimpinan daerah &

dukungan masyarakat kota untuk pengembangan

kota. Dalam implementasinya, masing-masing

daerah perlu untuk menyusun prioritas

Page 110: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

90

pengembangan yang disesuaikan dengan

kekuatan anggaran, urgensi persoalan, dan

sasaran jangka pendek, menengah, dan panjang

sebagaimana tercantum dalam RKPD dan RPJMD.

Ketujuh, perlunya inovasi ketentuan optimalisasi

pemanfaatan lahan misal melalui pengenaan

skema pajak yang berbeda bagi lahan-lahan idle

di wilayah perkotaan dan penerapan kebijakan

pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi

berdasarkan atas kemampuan individu

menyediakan lahan parkir kendaraannya, disertai

dengan otomasi parkir (parking meter).

Selain itu, dalam rangka mengurangi dampak

negatif yang ditimbulkan oleh adanya urbanisasi

maka diperlukan upaya-upaya untuk

meningkatkan kualitas SDM (antara lain melalui

kewirausahaan dan pembangunan SMK),

peningkatan akses desa dan kota, pengembangan

daerah penyangga kota-kota besar, dan

manajemen transportasi publik yang terpadu.

Page 111: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Kenanga (Cananga odorata)Merupakan tumbuhan asli Indonesia, sering digunakan dalam upacara adat.

Page 112: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Lampiran

Page 113: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

91

I II III IV I IIf

PDRB (%,yoy) 4.6 3.5 3.0 3.1 4.6 3.5 4.2 4.4 4.2 - 4.7

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.4 5.3 5.3 4.8 4.5 5.0 5.2 5.7 5.4 - 5.9

Konsumsi LNPRT 10.9 (3.5) (2.9) 6.0 8.7 2.0 6.5 5.2 4.5 - 5.0

Konsumsi Pemerintah 2.2 2.7 2.6 5.5 7.4 4.9 0.8 3.9 3.0 - 3.5

Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.0 1.7 1.9 3.1 5.7 3.1 5.5 6.3 6.0 - 6.5

Ekspor (1.4) 0.1 (4.6) (5.9) 1.2 (2.4) (1.3) 2.0 0.8 - 1.3

Impor (2.1) (1.8) (7.5) (6.7) 2.3 (3.4) (1.3) 4.1 2.5 - 3.0

Net Ekspor 2.0 8.5 9.5 (2.7) (5.7) 2.7 (1.3) (6.7) (7.0) - (6.5)

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 5.4 2.5 0.7 6.2 3.6 3.8 4.3 4.3 - 4.8

Pertambangan dan Penggal ian (1.5) (3.5) (2.4) (1.4) (3.8) (2.9) (0.7) (1.1) (0.8) - (0.3)

Industri Pengolahan 4.6 1.8 3.1 4.3 5.8 3.8 4.7 5.0 4.4 - 4.9

Pengadaan Lis trik dan Gas 7.6 6.0 1.7 2.1 3.4 3.2 9.1 5.7 7.2 - 7.7

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 5.0 5.2 6.1 4.2 3.9 4.9 3.3 3.0 3.6 - 4.1

Konstruks i 7.0 3.7 2.5 4.8 5.6 4.2 5.6 5.8 5.0 - 5.5

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i

Mobi l dan Sepeda Motor 5.9 5.0 4.6 3.2 4.9 4.4 4.9 5.8 4.9 - 5.4

Transportas i dan Pergudangan 6.5 7.8 7.2 8.2 5.6 7.2 6.2 5.6 6.0 - 6.5

Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum 7.7 7.9 6.5 7.3 8.9 7.7 7.6 7.2 6.8 - 7.3

Informas i dan Komunikas i 7.5 8.4 9.1 8.9 7.8 8.5 8.1 6.1 6.5 - 7.0

Jasa Keuangan dan Asurans i 3.7 4.8 0.9 5.4 6.1 4.1 6.0 6.2 5.4 - 5.9

Real Estate 6.6 5.5 5.5 5.8 6.3 5.8 4.9 5.1 5.1 - 5.6

Jasa Perusahaan 6.7 6.7 6.1 5.2 5.3 5.8 5.3 6.0 5.7 - 6.2

Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sos ia l Wajib 6.1 5.9 7.8 6.7 8.3 7.2 5.4 5.5 5.2 - 5.7

Jasa Pendidikan 8.1 8.9 7.1 7.2 4.9 6.9 6.2 8.0 7.1 - 7.6

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l 7.4 7.4 7.6 8.7 6.3 7.5 7.2 7.1 7.4 - 7.9

Jasa la innya 6.7 7.2 7.8 7.5 7.6 7.5 6.0 6.3 6.1 - 6.6

Provins i Aceh 1.5 (1.9) (2.1) (0.3) 1.4 (0.7) 3.7 4.1 3.6 - 4.1

Provins i Sumatera Utara 5.2 4.8 5.1 5.1 5.3 5.1 5.0 5.2 5.1 - 5.6

Provins i Sumatera Barat 5.9 5.5 5.5 4.9 5.7 5.4 5.5 5.6 5.3 - 5.8

Provins i Riau 2.7 (0.0) (2.1) (1.4) 4.5 0.2 2.3 2.5 1.4 - 1.9

Provins i Jambi 7.4 5.0 4.3 4.4 3.2 4.2 3.4 4.0 4.0 - 4.5

Provins i Kepulauan Riau 6.6 6.8 6.7 5.4 5.2 6.0 4.6 4.8 5.3 - 5.8

Provins i Sumatera Selatan 4.7 4.6 4.7 4.7 3.9 4.4 4.9 5.3 5.1 - 5.6

Provins i Bengkulu 5.5 5.3 5.2 5.2 4.9 5.1 5.0 5.1 4.9 - 5.4

Provins i Lampung 5.1 4.9 5.1 5.2 5.3 5.1 5.1 5.2 5.2 - 5.7

Provins i Kep. Bangka Bel i tung 4.7 4.1 4.0 4.0 4.3 4.1 3.3 3.8 3.5 - 4.0

2016f

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

Page 114: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

92

I II III IV I IIf

PDRB (%,yoy) 4.6 3.5 3.0 3.1 4.6 3.5 4.2 4.4 4.2 - 4.7

Inflasi IHK (%,yoy) 8.6 6.1 7.7 6.8 3.0 3.0 5.7 4.2 4.3 - 4.8

Provins i Aceh 8.1 5.4 6.2 4.2 1.5 1.5 3.6 3.7 4.6 - 5.1

Provins i Sumatera Utara 8.2 6.1 7.8 6.6 3.2 3.2 7.2 4.2 4.5 - 5.0

Provins i Sumatera Barat 11.6 6.3 8.2 6.2 1.1 1.1 6.6 6.2 6.5 - 7.0

Provins i Riau 8.6 6.2 7.4 5.7 2.6 2.6 4.4 2.7 3.8 - 4.3

Provins i Kepulauan Riau 7.6 5.7 8.2 8.3 4.4 4.4 5.6 3.8 4.2 - 4.7

Provins i Jambi 8.7 4.9 6.4 5.3 1.4 1.4 5.0 3.3 4.0 - 4.5

Provins i Sumatera Selatan 8.5 6.3 7.5 7.0 3.1 3.1 5.1 4.9 3.6 - 4.1

Provins i Bengkulu 10.9 7.7 9.9 8.6 3.3 3.3 5.9 4.8 3.9 - 4.4

Provins i Lampung 8.1 6.6 8.2 7.7 4.3 4.3 5.3 3.3 3.6 - 4.1

Provins i Kep. Bangka Bel i tung 9.0 6.7 6.9 7.3 3.3 3.3 5.5 5.9 3.7 - 4.2

2016f

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

Page 115: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

93

I II III IV I IIf

PDRB (%,yoy) 5.6 5.3 5.2 5.5 5.9 5.5 5.3 5.6 5.6 - 6.0

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.1 4.8 4.8 4.1 4.5 4.5 5.0 5.2 5.5 - 5.9

Konsumsi LNPRT 12.7 (11.8) (12.3) 4.5 5.9 (4.0) 6.1 6.6 5.0 - 5.4

Konsumsi Pemerintah 2.7 0.3 1.7 7.9 5.2 4.2 2.3 4.1 5.7 - 6.1

Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.8 5.1 4.3 4.1 3.8 4.3 4.3 5.1 4.5 - 4.9

Ekspor 3.0 (1.5) (1.4) 0.6 (4.5) (1.7) 0.5 10.5 9.4 - 9.8

Impor 1.2 (5.0) (9.2) (9.0) (12.4) (9.0) (4.9) 2.9 2.1 - 2.5

Net Ekspor (4.1) 1.4 (5.0) (12.5) (30.9) (10.7) (7.8) (9.9) 1.9 - 2.3

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1.3 2.6 6.7 1.8 2.4 3.4 (0.0) 3.0 2.6 - 3.0

Pertambangan dan Penggal ian 3.1 (0.2) 6.1 5.5 8.9 5.1 3.5 6.3 4.4 - 4.8

Industri Pengolahan 5.8 4.8 3.9 5.0 4.8 4.6 4.5 5.0 4.9 - 5.3

Pengadaan Lis trik dan Gas 4.3 (5.4) (3.9) (3.3) (2.9) (3.9) 2.5 1.6 1.8 - 2.2

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 3.3 4.8 4.5 4.1 3.7 4.2 2.7 0.8 2.4 - 2.8

Konstruks i 5.5 4.9 3.8 5.0 5.6 4.8 3.9 4.7 4.6 - 5.0

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i

Mobi l dan Sepeda Motor 4.5 4.3 4.3 4.1 4.0 4.2 5.1 5.7 5.4 - 5.8

Transportas i dan Pergudangan 8.7 8.7 9.1 8.2 6.6 8.1 8.0 8.1 8.2 - 8.6

Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum 7.2 6.5 6.5 6.8 7.8 6.9 7.8 6.4 6.4 - 6.8

Informas i dan Komunikas i 11.0 10.0 10.1 9.5 9.5 9.8 9.9 9.2 9.3 - 9.7

Jasa Keuangan dan Asurans i 4.5 8.8 2.6 11.3 15.2 9.5 10.2 9.5 8.7 - 9.1

Real Estate 6.1 5.9 5.3 5.1 4.6 5.2 5.6 5.1 5.3 - 5.7

Jasa Perusahaan 8.8 7.1 7.8 7.9 7.8 7.6 7.3 7.2 7.5 - 7.9

Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sos ia l Wajib 1.3 2.4 3.6 4.1 4.4 3.7 3.8 3.3 2.9 - 3.3

Jasa Pendidikan 7.3 6.5 8.2 7.6 6.9 7.3 7.5 6.2 5.9 - 6.3

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l 8.9 8.7 7.5 8.3 8.2 8.2 8.0 6.8 7.0 - 7.4

Jasa la innya 7.8 7.5 6.3 6.8 7.7 7.1 7.5 4.9 5.5 - 5.9

Provins i DKI Jakarta 5.9 5.5 5.3 6.1 6.5 5.9 5.6 6.2 6.0 - 6.4

Provins i Jawa Barat 5.1 4.9 4.9 5.0 5.2 5.0 5.1 5.2 5.1 - 5.5

Provins i Banten 5.5 5.5 5.2 5.9 4.9 5.4 5.2 5.4 5.2 - 5.6

Provins i Jawa Tengah 5.3 5.6 5.1 5.0 6.1 5.4 5.1 5.4 5.3 - 5.7

Provins i DI Yogyakarta 5.2 4.3 4.6 5.3 5.5 4.9 5.0 5.2 5.1 - 5.5

Provins i Jawa Timur 5.9 5.0 5.2 5.5 5.9 5.4 5.3 5.6 5.5 - 5.9

Inflasi IHK (%,yoy) 8.4 6.3 7.1 6.7 3.1 3.1 3.9 3.0 3.4 - 3.8

Provins i DKI Jakarta 9.0 7.1 7.6 7.2 3.3 3.3 3.6 2.5 2.9 - 3.3

Provins i Jawa Barat 7.6 5.5 6.5 6.1 2.7 2.7 3.8 3.0 3.4 - 3.8

Provins i Banten 10.2 7.5 8.9 8.1 4.3 4.3 5.7 4.0 4.0 - 4.4

Provins i Jawa Tengah 8.2 5.7 6.2 5.8 2.7 2.7 4.2 3.4 3.5 - 3.9

Provins i DI Yogyakarta 6.6 5.1 5.7 5.2 3.1 3.1 3.7 3.4 4.0 - 4.4

Provins i Jawa Timur 7.8 6.1 6.8 6.7 3.1 3.1 3.7 3.3 3.7 - 4.1

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

2016f

Page 116: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

94

I II III IV I IIf

PDRB (%,yoy) 3.3 2.0 1.4 0.4 1.4 1.3 1.1 1.3 1.0 - 1.5

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 3.9 3.4 3.7 4.0 3.4 3.6 4.2 4.4 3.8 - 4.3

Konsumsi LNPRT 2.7 (4.1) 4.6 11.1 15.2 6.6 5.8 2.9 3.5 - 4.0

Konsumsi Pemerintah 3.5 6.6 7.0 7.2 (9.1) 0.8 4.5 4.1 4.2 - 4.7

Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.1 3.0 2.0 5.4 (1.4) 2.2 (2.1) 1.0 1.2 - 1.7

Ekspor 0.1 (0.4) 0.1 (2.0) (1.3) (0.9) (1.9) (1.2) (1.1) - (0.6)

Impor (0.1) (2.2) 1.9 2.0 (6.3) (1.3) (3.0) (0.4) 0.2 - 0.7

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 5.5 5.8 3.8 1.5 4.1 1.6 3.6 2.6 - 3.1

Pertambangan dan Penggal ian 0.1 (0.9) (3.0) (5.9) (5.7) (3.9) (5.9) (5.6) (5.5) - (5.0)

Industri Pengolahan 2.2 (1.8) 1.2 2.5 10.3 3.0 7.7 5.4 4.7 - 5.2

Pengadaan Lis trik dan Gas 17.1 38.4 28.1 25.9 (1.2) 20.1 6.2 9.1 9.1 - 9.6

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 6.7 3.4 5.5 4.0 5.2 4.6 5.8 4.8 5.0 - 5.5

Konstruks i 7.6 4.1 2.1 2.7 2.5 2.8 0.5 3.3 2.7 - 3.2

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i

Mobi l dan Sepeda Motor 5.4 4.3 4.0 3.2 5.6 4.3 6.2 5.9 5.2 - 5.7

Transportas i dan Pergudangan 6.3 7.4 7.3 5.5 4.2 6.0 6.1 5.5 5.1 - 5.6

Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum 6.1 5.4 6.4 6.2 5.8 5.9 5.3 6.1 5.1 - 5.6

Informas i dan Komunikas i 10.6 11.5 8.8 8.4 8.4 9.3 9.5 8.9 9.0 - 9.5

Jasa Keuangan dan Asurans i 5.0 4.8 (0.2) 6.0 3.8 3.6 4.5 5.2 4.6 - 5.1

Real Estate 6.9 7.6 4.5 4.2 2.6 4.7 4.0 4.1 3.7 - 4.2

Jasa Perusahaan 7.3 3.0 2.1 2.6 0.5 2.0 2.2 1.7 1.7 - 2.2

Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sos ia l Wajib 7.6 7.0 8.6 8.1 9.1 8.2 8.9 7.8 8.0 - 8.5

Jasa Pendidikan 9.7 10.2 10.3 9.7 5.0 8.7 8.5 7.3 8.6 - 9.1

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l 7.9 7.7 9.8 10.0 8.5 9.0 8.5 8.6 8.8 - 9.3

Jasa la innya 7.5 6.7 7.1 6.8 8.5 7.3 9.1 8.0 8.1 - 8.6

Provins i Ka l imantan Barat 5.0 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 5.9 5.3 5.2 - 5.7

Provins i Ka l imantan Tengah 6.2 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.2 6.8 6.1 - 6.6

Provins i Ka l imantan Selatan 4.9 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.0 3.8 3.7 - 4.2

Provins i Ka l imantan Timur 2.2 (0.2) (0.4) (2.2) (0.5) (0.9) (1.3) (1.0) (1.3) - (0.8)

Inflasi IHK (%,yoy) 7.9 7.3 7.3 7.4 5.1 5.1 5.1 4.9 4.1 - 4.6

Provins i Ka l imantan Barat 9.4 8.9 9.0 8.8 5.8 5.8 4.6 4.3 3.6 - 4.1

Provins i Ka l imantan Tengah 7.1 5.9 5.9 5.8 4.7 4.7 4.6 3.7 3.6 - 4.1

Provins i Ka l imantan Selatan 7.3 7.0 6.1 7.0 5.2 5.2 6.0 5.6 4.6 - 5.1

Provins i Ka l imantan Timur 7.7 7.1 7.6 7.3 4.9 4.9 4.9 5.1 4.1 - 4.6

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

2016f

Page 117: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

95

I II III IV I IIf

PDRB (%,yoy) 6.1 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 6.0 6.9 7.1 - 7.5

Sisi Permintaan

Konsumsi Rumah Tangga 5.8 5.7 5.7 5.4 5.2 5.5 5.8 6.9 6.4 - 6.8

Konsumsi LNPRT 10.0 (4.0) (1.8) 6.5 11.5 3.0 6.8 5.4 3.9 - 4.3

Konsumsi Pemerintah 3.8 6.0 4.5 5.3 10.6 6.9 5.5 5.9 6.4 - 6.9

Pembentukan Modal Tetap Bruto 8.6 8.7 10.0 9.2 8.5 9.1 8.5 10.2 8.9 - 9.3

Ekspor (9.0) 29.5 51.7 12.8 (4.3) 18.8 6.2 5.5 4.3 - 4.7

Impor 10.1 (16.3) (2.2) 6.1 18.2 1.4 16.5 13.7 9.3 - 9.7

Sisi Produksi

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.6 4.0 6.1 3.6 3.5 4.3 2.2 5.6 4.8 - 5.2

Pertambangan dan Penggal ian (2.3) 7.3 23.6 22.1 19.2 18.1 0.8 1.8 4.3 - 4.9

Industri Pengolahan 7.7 5.7 11.8 9.4 11.0 9.5 11.9 13.6 13.1 - 13.5

Pengadaan Lis trik dan Gas 10.8 6.5 (2.6) (2.2) (0.7) 0.1 8.0 9.6 8.1 - 8.5

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah

dan Daur Ulang 5.6 2.6 3.6 1.1 2.9 2.5 6.1 4.3 4.8 - 5.2

Konstruks i 8.3 9.6 9.1 9.9 9.8 9.6 7.5 7.7 8.2 - 8.6

Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i

Mobi l dan Sepeda Motor 7.6 6.1 6.8 7.2 8.1 7.1 7.4 8.8 8.2 - 8.6

Transportas i dan Pergudangan 6.8 6.6 7.1 7.9 5.7 6.8 7.9 8.7 7.9 - 8.3

Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum 7.2 6.4 5.7 5.9 5.9 5.9 7.3 7.0 6.9 - 7.3

Informas i dan Komunikas i 7.3 7.3 7.3 8.8 9.1 8.2 8.9 7.7 7.8 - 8.2

Jasa Keuangan dan Asurans i 6.3 9.1 2.2 10.0 6.1 6.8 9.2 9.8 8.4 - 8.8

Real Estate 7.7 6.9 6.5 6.1 5.9 6.4 6.2 6.1 6.9 - 7.3

Jasa Perusahaan 7.7 4.0 5.2 6.3 6.5 5.5 7.1 6.9 7.0 - 7.4

Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan

Jaminan Sos ia l Wajib 8.4 6.7 8.5 7.8 9.4 8.1 7.4 6.3 7.1 - 7.5

Jasa Pendidikan 7.4 8.9 8.4 7.9 4.4 7.3 7.9 7.0 6.9 - 7.3

Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l 8.8 7.6 8.2 9.1 6.9 7.9 8.1 6.0 6.2 - 6.6

Jasa la innya 7.6 7.1 6.9 7.9 7.0 7.2 7.3 6.5 6.4 - 6.9

Provins i Sulawes i Selatan 7.5 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4 7.7 7.5 - 7.9

Provins i Sulawes i Barat 8.9 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 6.1 7.4 7.4 - 7.8

Provins i Sulawes i Tenggara 6.3 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 5.2 6.6 6.6 - 7.0

Provins i Sulawes i Tengah 5.1 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 11.8 16.3 13.9 - 14.3

Provins i Goronta lo 7.3 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 6.6 6.9 6.7 - 7.1

Provins i Sulawes i Utara 6.3 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.0 6.1 6.1 - 6.5

Provins i Maluku Utara 5.5 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 5.1 5.7 5.7 - 6.1

Provins i Maluku 6.6 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 5.5 5.9 5.6 - 6.0

Provins i Papua Barat 5.4 (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.5 5.3 4.8 - 5.2

Provins i Papua 3.8 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 (2.0) 2.1 6.4 - 6.8

Provins i Ba l i 6.7 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.0 6.1 6.1 - 6.5

Provins i Nusa Tenggara Barat 5.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 10.0 8.4 5.2 - 5.6

Provins i Nusa Tenggara Timur 5.1 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 5.1 5.2 5.1 - 5.5

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

2016f

Page 118: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

96

I II III IV I IIf

Inflasi IHK (%,yoy) 8.3 6.8 7.2 7.1 7.5 4.1 4.7 4.3 3.6 - 4.0

Provins i Sulawes i Selatan 8.6 7.1 7.2 8.1 8.2 4.5 5.7 5.4 3.3 - 3.7

Provins i Sulawes i Barat 7.9 6.7 6.3 7.0 7.2 5.1 5.2 4.9 4.1 - 4.5

Provins i Sulawes i Tenggara 8.4 7.8 7.7 6.4 6.7 2.3 4.8 4.4 3.2 - 3.6

Provins i Sulawes i Tengah 8.8 5.3 5.9 4.8 5.3 4.2 6.0 4.5 2.9 - 3.3

Provins i Gorontalo 6.1 5.3 5.8 7.2 6.6 4.3 5.7 4.6 3.4 - 3.8

Provins i Sulawes i Utara 9.7 8.0 8.0 8.6 9.0 5.6 4.9 3.1 4.1 - 4.5

Provins i Maluku Utara 7.2 9.1 8.7 7.6 9.6 6.1 2.2 1.3 3.0 - 3.4

Provins i Maluku 9.3 7.9 8.9 9.3 8.0 4.5 5.5 5.0 4.1 - 4.5

Provins i Papua Barat 9.1 6.8 9.1 7.1 8.1 3.6 3.8 4.1 4.2 - 4.6

Provins i Papua 6.6 7.0 7.5 6.5 7.2 5.3 5.5 5.5 4.7 - 5.1

Provins i Ba l i 8.4 6.4 7.0 7.1 7.0 2.7 3.6 3.2 3.5 - 3.9

Provins i Nusa Tenggara Barat 7.2 6.0 6.7 5.3 5.7 3.4 4.3 4.7 4.0 - 4.4

Provins i Nusa Tenggara Timur 7.8 5.4 5.6 6.1 6.9 4.9 5.0 4.9 4.1 - 4.5

Tahun Dasar 2010

Indikator Makroekonomi Daerah 20142015

20152016

2016f

Page 119: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)

Penanggung Jawab dan Editor

Koordinator Penyusun

Tim Penulis

Arief Hartawan

Noor Yudanto

Gunawan Wicaksono Handri Adiwilaga Maximilian T. Tutuarima Neva Andina Ragil Misas Fu’adi

Rifat Pasha Septine Wulandini

Sulistiyo Rizki Fitrama

Hayatullah Khumeini Bernard Hasiholan

Evy Marya Deswita Siburian Ratu Miana Ulfani Andree Breitner Makahinda

Page 120: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)
Page 121: Laporan Nusantara Mei 2016.pdf (12,02 MB)