Upload
lyhanh
View
239
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
IV
V
Daftar isi v
Kata Pengantar vii
Bagian I 1 Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi
Daerah
Bagian II 9 Perekonomian Sumatera
Bagian III 25 Perekonomian Jawa
Boks 1 40 Kemacetan : Meningkatkan Biaya Logistik dan
Menghilangkan Potensi Pertumbuhan Ekonomi
Bagian IV 43
Perekonomian Kalimantan
Boks 2 56
Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan Indonesia-
Malaysia
Bagian V 59 Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Bagian VI 75 Isu Strategis :
Mendorong Peningkatan Daya Saing Kawasan Perkotaan
Sebagai Penggerak Ekonomi Regional
Lampiran 91
alam proses perumusan kebijakan, selain asesmen menyeluruh
perekonomian global dan nasional, Bank Indonesia selalu
mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian dan isu
terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan
menyeluruh terkait perkembangan perekonomian terkini dan
berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan antara
Dewan Gubernur dengan Kepala Departemen Regional yang
mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia1
. Pembahasan tersebut
memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai
berbagai aspek risiko spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam
proses perumusan kebijakan.
Pada triwulan I 2016, realisasi pertumbuhan ekonomi secara nasional tercatat
sebesar 4,92%, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 5,04%. Perlambatan ekonomi terjadi di semua wilayah, yang secara berurut
dari yang terdalam adalah Kawasan Timur Indonesia (KTI), Jawa, Sumatera dan
Kalimantan. Rendahnya kinerja ekspor terkait masih lemahnya permintaan global
dan terbatasnya perbaikan harga komoditas, tertahannya investasi, serta masih
rendahnya penyerapan belanja pemerintah daerah karena transisi pemerintahan
hasil Pilkada dan keterlambatan pengesahan APBD mempengaruhi perlambatan
ekonomi di triwulan laporan. Di tengah permintaan eksternal yang masih terbatas,
pertumbuhan ekonomi triwulan I 2016 lebih bertumpu pada permintaan domestik
tercermin dari meningkatnya konsumsi rumah tangga yang mampu menahan
perlambatan ekonomi lebih dalam di berbagai daerah.
Berbagai indikator ekonomi terkini pada triwulan II 2016 secara agregat
mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi. Kondisi ini ditopang menguatnya
konsumsi rumah tangga menjelang siklus Ramadhan dan persiapan Lebaran serta
didorong realisasi belanja pemerintah dan berlanjutnya pembangunan
infrastruktur. Selain itu, kinerja ekspor diperkirakan membaik seiring indikasi
perbaikan harga komoditas sehingga diperkirakan dapat berdampak positif pada
perbaikan kinerja industri dan perkebunan. Pergeseran masa panen bahan pangan
ke triwulan II 2016 di berbagai daerah sentra produksi tanaman bahan makan
diperkirakan juga dapat mendorong kinerja pertanian. Namun, kinerja
pertambangan diperkirakan masih terbatas karena dibayangi oleh prospek
perbaikan ekspor barang tambang, terutama batubara, yang masih cenderung
lemah.
Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2016 secara agregat
berada pada level yang terjaga yakni sebesar 4,45%. Realisasi inflasi di Sumatera
merupakan yang tertinggi yakni sebesar 5,71%, diikuti Kalimantan sebesar 5,07%,
KTI 4,72% dan Jawa 3,93%. Terjaganya inflasi sepanjang triwulan I 2016 tidak
terlepas dari adanya beberapa kebijakan penurunan tarif yang dilakukan oleh
pemerintah dan rendahnya tekanan inflasi pangan.
1 Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
D
Prospek pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2016 mengindikasikan secara
agregat perekonomian akan tumbuh di kisaran 5,0-5,4%; lebih rendah prakiraan
sebelumnya yang sebesar 5,2-5,6%. Perbaikan perekonomian diprakirakan akan
ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jawa dan Sumatera dan didorong oleh
realisasi berbagai proyek infrastruktur berskala besar di daerah. Di sisi inflasi,
prospek perkembangan inflasi di berbagai daerah untuk keseluruhan tahun 2016
tetap terkendali dalam kisaran sasaran inflasi sebesar 4%±1%. Perkiraan masih
terbatasnya perbaikan harga komoditas global serta harga minyak dunia
berdampak pada minimnya tekanan inflasi. Selain itu, meskipun permintaan
domestik diperkirakan akan tumbuh lebih baik pada 2016, namun tekanan inflasi
dari sisi permintaan domestik diperkirakan masih minim seiring dengan masih
terbatasnya ekpektasi perbaikan ekonomi dari pelaku ekonomi.
Buku Laporan Nusantara ini menguraikan secara lengkap mengenai dinamika
terkini dan prospek ekonomi. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu
khusus mengenai upaya mendorong peningkatan daya saing kawasan perkotaan
sebagai penggerak ekonomi regional. Daya dukung kota dari berbagai dimensi (a.l
SDM, ekonomi, teknologi, infrastruktur, lingkungan, tata kelola) yang mencukupi
akan menjamin daya saing perkotaan, sehingga mampu memberikan kontribusi
yang produktif bagi masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan. Strategi
pembangunan kota jangka menengah panjang diarahkan kepada tahapan
pencapaian kota yang nyaman ditinggali (liveable city) pada 2025, yang kemudian
secara bertahap mengarah pada kota hijau (green city) sampai dengan kota cerdas
(smart city) pada 2045. Pengembangan kawasan perkotaan yang mulai mengarah
ke luar Jawa, terutama melalui pengembangan perdagangan berbasis digital (e-
commerce), diharapkan dapat meningkatkan pemerataan ekonomi di berbagai
daerah di Indonesia.
Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I-
IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini
dapat bermanfaat dan menjadi acuan bagi para pemangku kepentingan dan
pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia
dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 23 Mei 2016
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
viii
Melati Putih (Jasminum Sambac)Bunga Nasional Indonesia (Puspa Bangsa), Dianggap Mampu Mewakili Karakteristik Bangsa Indonesia Yang Sederhana dan Penuh Kesucian Namun Memiliki Keelokan Budi.
1
Ringkasan Perkembangan
Terkini dan Prospek
Ekonomi Daerah
Bagian
I
1
Bagian I
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek
Ekonomi Daerah Perkembangan Terkini Perekonomian Daerah
Perekonomian nasional pada triwulan I 2016
tumbuh melambat dibanding triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi pada
triwulan laporan tercatat sebesar 4,92%, lebih
rendah dibanding triwulan sebelumnya yang
tumbuh 5,04%2. Perlambatan ekonomi terjadi di
hampir seluruh daerah terutama karena
pengaruh masih rendahnya kinerja ekspor dan
investasi, serta terbatasnya penyerapan belanja
pemerintah daerah. Meski demikian, kinerja
konsumsi rumah tangga yang meningkat dapat
menahan perlambatan ekonomi lebih dalam di
berbagai daerah. Perlambatan ekonomi yang
cukup dalam dialami oleh Kawasan Timur
Indonesia (KTI), diikuti Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan.
Pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur
Indonesia (KTI) melambat dari sebelumnya
tumbuh 8,60% menjadi 6,01% pada triwulan I
2016. Penyerapan belanja pemerintah di
berbagai daerah di KTI yang cenderung terbatas,
disertai kinerja produksi tambang yang menurun
menjadi faktor utama cukup dalamnya
perlambatan ekonomi KTI. Terbatasnya
penyerapan belanja pemerintah di berbagai
daerah, termasuk di KTI, dipengaruhi antara lain
oleh transisi pemerintahan hasil Pilkada dan
keterlambatan pengesahan APBD. Selain itu,
mulai terkontraksinya ekonomi Provinsi Papua
karena turunnya produksi mineral dan pertanian,
setelah pada empat kuartal terakhir dapat
tumbuh rata-rata 8%, turut memberi dampak
pada melemahnya kinerja ekonomi KTI secara
keseluruhan. Meski demikian, tingkat
2 Berdasarkan angka rilis BPS pada 4 Mei 2016
pertumbuhan ekonomi KTI secara agregat yang
masih sebesar 6,0% merupakan yang paling tinggi
dibanding wilayah lainnya.
Perekonomian Jawa yang memiliki pangsa
terbesar, hampir 60% dari perekonomian
nasional, juga tumbuh melambat dari 5,87%% di
triwulan sebelumnya menjadi sebesar 5,31%
pada triwulan laporan. Kondisi ini terutama
dipengaruhi oleh terbatasnya penyerapan belanja
pemerintah di berbagai daerah di Jawa. Selain
itu, perlambatan juga dipengaruhi tertahannya
kinerja industri pengolahan diantaranya sebagai
dampak penutupan beberapa pabrik elektronik
besar dan kendaraan di penghujung 2015. Di sisi
lain, perbaikan ekspor masih berlanjut meski
tidak sebesar kenaikan impor, terutama didorong
perdagangan antar daerah sejalan dengan
adanya perbaikan konsumsi domestik.
Berlanjutnya proyek infrastruktur pemerintah
pusat berskala besar seperti pembangunan jalan
trans Jawa, transportasi massal, dan bandar
udara berkontribusi dalam menahan
perlambatan ekonomi berbagai daerah di Jawa
lebih dalam.
Perlambatan ekonomi juga dialami oleh
Sumatera setelah dalam tiga kuartal terakhir
cenderung tumbuh meningkat. Pada triwulan I
2016, perekonomian berbagai daerah di
Sumatera secara agregat tumbuh 4,18%, lebih
rendah dibandingkan realisasi triwulan
sebelumnya yang sebesar 4,56%. Melambatnya
pertumbuhan ekonomi Sumatera ini dipengaruhi
oleh kinerja ekspor beberapa daerah penghasil
perkebunan yang melemah karena masih relatif
rendahnya harga komoditas di pasar global serta
khususnya penurunan produksi kelapa sawit
sebagai akibat tingginya curah hujan dan dampak
kabut asap pada tahun 2015. Selain itu,
2
penyerapan belanja pemerintah di berbagai
daerah di Sumatera juga masih terbatas sehingga
turut memengaruhi kinerja investasi Sumatera.
Namun, perbaikan konsumsi rumah tangga
seiring dengan cukup tingginya kenaikan UMP di
sejumlah daerah dan berlanjutnya proyek
infrastruktur pemerintah berskala besar di
Sumatera dapat menahan perlambatan ekonomi
lebih lanjut.
Perekonomian Kalimantan pada triwulan
laporan tumbuh rendah 1,08% melambat
dibanding triwulan lalu yang sebesar 1,45%.
Berlanjutnya penurunan ekspor komoditas
tambang migas dan batubara karena masih
rendahnya harga komoditas menjadi penyebab
utama perlambatan ekonomi Kalimantan.
Penurunan kinerja ekspor tambang ini
menyebabkan ekonomi Kalimantan Timur,
provinsi penyumbang PDRB terbesar di
Kalimantan, mengalami kontraksi pertumbuhan
ekonomi yang lebih dalam dari triwulan
sebelumnya. Perlambatan perekonomian
Kalimantan juga dipengaruhi pelemahan investasi
di seluruh daerah di Kalimantan karena pelaku
usaha yang masih melakukan penguatan
(konsolidasi) internal di tengah rendahnya
permintaan komoditas di pasar global. Dari
empat provinsi di wilayah ini, hanya Kalimantan
Barat yang masih dapat tumbuh meningkat
didorong oleh beroperasinya smelter alumina dan
membaiknya produksi perkebunan.
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan I 2016
Memasuki triwulan II 2016, perkembangan
berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah
mengindikasikan membaiknya kinerja ekonomi.
Kondisi ini ditopang menguatnya konsumsi
rumah tangga menjelang siklus Ramadhan dan
persiapan Lebaran serta didorong realisasi
belanja pemerintah dan berlanjutnya
pembangunan infrastruktur. Selain itu, kinerja
ekspor diperkirakan membaik seiring indikasi
perbaikan harga komoditas mulai terlihat
sehingga diperkirakan dapat berdampak positif
pada perbaikan kinerja industri dan perkebunan.
Pergeseran masa panen bahan pangan ke
triwulan II 2016 di berbagai daerah sentra
produksi tanaman bahan makan diperkirakan
juga dapat mendorong kinerja pertanian di
berbagai daerah. Namun, kinerja pertambangan
diperkirakan masih terbatas karena dibayangi
oleh prospek perbaikan ekspor barang tambang,
terutama batubara yang masih cenderung lemah.
3
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan II 2016*
* Tendensi arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Keterangan : merah (berkontribusi negatif terhadap PDRB), hijau (berkontribusi positif terhadap PDRB)
Stabilitas Keuangan Daerah
Kinerja sektor korporasi pada triwulan I 2016
masih melanjutkan perlambatan. Hal ini
ditunjukkan oleh penyaluran kredit ke sektor
korporasi yang melambat hampir di seluruh
wilayah. Perlambatan penyaluran kredit
korporasi terdalam terjadi di Jawa yakni dari
16,11% di triwulan IV 2015 menjadi 12,94% pada
akhir triwulan I 2016 yang lebih banyak
dipengaruhi tekanan kredit ke Industri
Pengolahan. Di sisi lain, pertumbuhan penyaluran
kredit di Kalimantan masih sangat rendah, yakni
sebesar 3,70%, meski sedikit lebih tinggi
dibanding triwulan lalu yang tumbuh 2,17%.
Sejalan dengan melambatnya kinerja
pertambangan dan industri pengolahan,
penyaluran kredit ke kedua sektor tersebut juga
melambat. Namun, perbaikan kredit ke sektor
pertanian di berbagai wilayah dapat menahan
perlambatan pertumbuhan kredit korporasi lebih
dalam. Hal yang perlu dicermati adalah rasio NPL
gross kredit korporasi yang, meski masih dibawah
batas aman 5%, namun cenderung meningkat
pada triwulan laporan. Kinerja perlambatan
kredit yang diiringi kenaikan risiko tersebut
diperkirakan membaik terbatas pada triwulan
mendatang yang didorong penguatan konsumsi
domestik dan perbaikan harga komoditas
sehingga mendorong penguatan kinerja
korporasi.
Di tengah pelemahan ekonomi yang masih
membayangi, rasio keuangan korporasi masih
relatif sehat. Kondisi ini tercermin dari gross
profit margin korporasi yang meningkat akibat
efisiensi produksi, perbaikan net income margin
yang menunjukkan perbaikan3
pasca tekanan
minimnya laba pada 2015, serta Interest
coverage ratio4 yang masih dalam kondisi sehat.
Sementara itu, Debt to Equity Ratio cenderung
stabil kecuali pada korporasi pertambangan yang
mengalami penurunan karena posisi utang yang
terus menurun.
3 Net Income Margin mencerminkan kemampuan korporasi
dalam menghasilkan laba 4 Interest coverage ratio menunjukkan kemampuan korporasi
melunasi biaya bunga
Tendensi
KawasanAsesmen
Tendensi
KawasanAsesmen
Tendensi
KawasanAsesmen
Tendensi
KawasanAsesmen
Pertumbuhan
Ekonomi
Perbaikan konsumsi RT,
pemerintah & investasi
Peningkatan konsumsi dan
investasi
Peningkatan konsumsi dan
investasi
Percepatan pertumbuhan
konsumsi dan investasi
Konsumsi RT Didorong oleh faktor persiapan
hari besar keagamaan, inflasi
yang rendah & perbaikan daya
beli sejalan dengan peningkatan
harga komoditas
Didorong oleh faktor persiapan hari
besar keagamaan, berlangsungnya
panen raya, inflasi yang terjaga &
perbaikan optimisme konsumen
Didorong oleh faktor
persiapan hari besar
keagamaan, inflasi yang
terjaga & perbaikan
pendapatan petani (tabama &
perkebunan)
Persiapan hari besar
keagamaan didukung oleh
keyakinan konsumen yang
membaik dan terjaganya
pendapatan lapangan usaha
utama
Konsumsi
Pemerintah
Akselerasi belanja pemerintah Adanya akselerasi belanja Pemda &
pengaruh base effect 2015 (realisasi
rendah pada Tw II 2015 karena
terkendala pengesahan APBD DKI
Jakarta)
Akselerasi belanja pemerintah Penyerapan anggaran yang
lebih baik khususnya dalam
realisasi bantuan pertanian dan
dana desa
Investasi
(PMTB)
Peningkatan belanja modal
pemerintah (infrastruktur) dan
swasta
Realisasi proyek infrastruktur
pemerintah dan perbaikan investasi
swasta (indikasi SKDU)
Realisasi proyek infrastruktur
pemerintah dan investasi
swasta meski investasi
pertambangan masih terbatas
Peningkatan aktivitas
pembangunan di sektor riil baik
dari sisi swasta (fiber optik,
penambahan kapasitas
smelter) maupun pemerintah
(jalan, pembangkit listrik,
bendungan).
Ekspor Perbaikan ekspor masih terbatas
didukung oleh batubara, minyak
bumi, dan karet
Perbaikan ekonomi negara mitra
dagang utama. Meningkatnya
ekspor antar daerah akibat panen
dan peningkatan permintaan
menjelang hari besar keagamaan.
Ekspor masih terbatas karena
produksi LNG yang menurun &
harga batubara rendah
namun, ekspor CPO sedikit
membaik
Perlambatan ekspor olahan
tambang seiring disinsentif
harga dan terbatasnya kuota
ekspor mineral.
Impor Ditopang peningkatan Impor
barang konsumsi
Peningkatan impor barang
konsumsi & barang modal, seiring
dengan perkiraan peningkatan
konsumsi RT dan investasi
Dipicu oleh masih terbatasnya
investasi, namun impor antar
daerah diperkirakan
meningkat
Penurunan kebutuhan bahan
baku tambang dan produk
olahannya.
SUMATERA JAWA KALIMANTAN TIMUR INDONESIA
4
Sejalan dengan perlambatan kinerja sektor
korporasi, kinerja sektor rumah tangga juga
melambat. Hal ini tercermin dari penyaluran
kredit ke sektor rumah tangga yang melambat
dari 10,03% pada triwulan lalu menjadi 9,17%
pada triwulan laporan. Perlambatan terutama
terjadi Jawa dan Sumatera, sementara
Kalimantan cukup stabil dan KTI justru
meningkat. Lebih jauh, perlambatan terutama
terjadi pada kredit kendaraan bermotor di
berbagai wilayah. Meski demikian, masih
membaiknya kredit perumahan rakyat dan kredit
multiguna mampu menahan perlambatan lebih
dalam.
Membaiknya konsumsi rumah tangga pada
triwulan laporan disertai terjaganya risiko kredit
ke sektor rumah tangga. Hal ini tercermin dari
NPL gross yang masih dibawah 5%. Meski
demikian, NPL gross kredit perumahan di
Kalimantan yang mulai meningkat perlu
mendapat perhatian.
Kinerja sektor rumah tangga yang masih cukup
baik juga tercermin dari simpanan perseorangan
yang tumbuh meningkat. Di sisi lain,
perkembangan terkini menunjukkan kenaikan
pertumbuhan tabungan yang lebih akseleratif
dibandingkan deposito.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Rupiah
Sejalan dengan kondisi perekonomian, aktivitas
transaksi keuangan juga cenderung masih
terbatas. Nilai transaksi keuangan melalui sistem
Real Time Gross Settlement (RTGS) secara
nominal masih tumbuh negatif 7,41% pada
triwulan laporan atau senilai Rp26,7 triliun,
sedikit lebih baik dibanding periode akhir
triwulan sebelumnya yang tumbuh negatif
15,82%. Demikian halnya dari sisi volume yang
menunjukkan transaksi pada sistem RTGS masih
terbatas yang terkontraksi sedikit lebih dalam
dari -48,20% menjadi -48,98% atau sekitar 1,43
juta transaksi.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, April 2016 (yoy)
Peningkatan aktivitas transaksi keuangan
terlihat pada kliring. Aktivitas kliring melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
pada triwulan I 2016 secara nominal tumbuh
51,58%, meningkat dibanding triwulan lalu yang
tumbuh 33,77%. Secara volume, transaksi melalui
sistem kliring juga tumbuh sedikit meningkat dari
8,13% menjadi 8,30%.
Sementara itu, peredaran uang kartal
menunjukkan peningkatan seiring meningkatnya
Konsumsi Rumah Tangga. Hal tersebut tercermin
dari peningkatan outflow uang kartal dari Bank
Indonesia pada triwulan I 2016 yaitu 12,10%
5
(yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tumbuh 8,74% (yoy).
Perkembangan Inflasi
Perkembangan inflasi di berbagai daerah pada
triwulan I 2016 secara agregat berada pada level
yang terjaga yakni sebesar 4,45%. Realisasi
inflasi di Sumatera merupakan yang tertinggi
yakni sebesar 5,71%, diikuti Kalimantan sebesar
5,07%, KTI 4,72% dan Jawa 3,93%. Terjaganya
inflasi sepanjang triwulan I 2016 tidak terlepas
dari adanya beberapa kebijakan penurunan harga
BBM, tarif angkutan dalam kota, dan tarif listrik
serta rendahnya tekanan inflasi pangan.
Kebijakan pemerintah untuk melakukan
penyesuaian harga LPG dan BBM berdampak
signifikan pada rendahnya inflasi sepanjang
triwulan I 2016. Penurunan harga BBM,
khususnya bahan bakar bersubsidi, kemudian
diikuti oleh kebijakan untuk menurunkan tarif
angkutan Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dan
angkutan dalam kota di sejumlah daerah. Selain
itu, penyesuaian tarif listrik pada bulan Febuari
dan Maret 2016 serta koreksi tarif angkutan
udara turut menyebabkan rendahnya inflasi di
berbagai daerah. Keseluruhan kebijakan ini
mengakibatkan kelompok administered price
mengalami deflasi secara berturut-turut
sepanjang triwulan I 2016.
Sementara itu, minimalnya tekanan kenaikan
inflasi pangan sepanjang triwulan I 2016
didukung oleh terjaganya pasokan dan
minimalnya gangguan distribusi. Penurunan
tekanan inflasi bersumber dari komoditas daging
ayam ras dan telur ayam ras seiring dengan
peningkatan pasokan Day Old Chicken (DOC),
setelah sebelumnya mencatatkan inflasi yang
cukup tinggi pada awal tahun. Kondisi serupa
juga terjadi pada komoditas beras yang
mengalami deflasi seiring dengan berlangsungnya
panen padi di beberapa sentra produksi. Secara
umum, kondisi pasokan pangan pada triwulan I
2016 relatif terjaga meskipun masih dibayangi
oleh dampak gangguan iklim El Nino. Upaya
Pemerintah dalam mengantisipasi peningkatan
harga komoditas pangan terkait lanjutan dampak
El Nino di 2016, diantaranya berupa dukungan
impor beras dan jagung untuk mendukung
kebutuhan peternakan memberikan dampak
positif bagi pencapaian inflasi.
Tekanan inflasi pada triwulan I 2016 berasal dari
peningkatan harga pangan. Peningkatan harga
pangan terutama terjadi pada komoditas
hortikultura yaitu bawang merah dan cabai
merah. Peningkatan harga terjadi sebagai
dampak berkurangnya pasokan kedua komoditas
tersebut seiring dengan masih terbatasnya panen
dan kendala produksi akibat intensitas hujan
yang tinggi. Beberapa daerah sentra bawang
merah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur mengalami kendala produksi akibat
tingginya intensitas hujan.
Memasuki awal triwulan II 2016, tekanan inflasi
di berbagai daerah berada pada level yang lebih
rendah dibanding bulan sebelumnya. Sebagian
besar daerah mengalami deflasi pada bulan April
2016 dengan deflasi terdalam terjadi di wilayah
Sumatera yakni 0,91%, kemudian diikuti oleh KTI
0,40%, Jawa 0,35% dan Kalimantan 0,24%.
Pencapaian ini ditopang oleh deflasi kelompok
administered prices dan bahan pangan. Deflasi
bahan pangan terutama bersumber dari
komoditas cabai merah, beras, ikan segar, daging
ayam ras, dan cabai rawit. Penurunan harga
beras dan cabai merah didukung oleh panen raya
yang mulai berlangsung. Namun, terdapat
beberapa daerah yang masih mencatatkan inflasi
yaitu Kalimantan Selatan, NTT dan Maluku Utara,
meskipun rendah. Inflasi pada daerah tersebut
disebabkan oleh komoditas makanan jadi
(Kalimantan Selatan), bawang merah (Maluku
Utara), daging ayam ras dan sayuran (NTT).
Pada triwulan II 2016 diperkirakan terjaga pada
level yang rendah, meskipun terdapat potensi
peningkatan tekanan inflasi seiring dengan
peningkatan permintaan menjelang Ramadhan
dan persiapan Lebaran. Secara tahunan, inflasi di
seluruh wilayah diperkirakan menurun
dibandingkan dengan triwulan I 2016. Penurunan
6
prospek inflasi ditopang oleh penyesuaian harga
BBM dan dampak lanjutannya. Selain itu, kondisi
pasokan yang relatif terjaga ditengah
peningkatan permintaan menjelang hari besar
keagamaan turut mendukung pencapaian inflasi
yang lebih rendah. Meski demikian, tekanan
inflasi dari komoditas pangan khususnya bawang
merah, bawang putih dan minyak goreng dalam
jangka pendek perlu diwaspadai seiring dengan
keterbatasan pasokan dan peningkatan harga
CPO.
Prospek dan Tantangan Ekonomi Daerah
Prospek Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016
diprakirakan lebih baik dibanding 2015, meski
tidak seoptimis perkiraan sebelumnya.
Perbaikan perekonomian diprakirakan akan
ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jawa dan
Sumatera. Prospek perekonomian daerah tahun
2016 secara agregat mengindikasikan
perekonomian nasional tumbuh pada kisaran 5,0-
5,4%, sedikit lebih rendah dibandingkan
prakiraan sebelumnya yang sebesar 5,2-5,6%.
Prakiraan meningkatnya pertumbuhan ekonomi
Jawa ditopang oleh konsumsi masyarakat yang
semakin kuat yang mendorong meningkatnya
perdagangan antar daerah. Selain itu, akselerasi
penyerapan belanja pemerintah terutama terkait
pembangunan infrastruktur akan mendorong
perbaikan investasi dan usaha konstruksi.
Pemulihan ekonomi negara tujuan ekspor utama
juga diprakirakan akan mendorong ekspor luar
negeri serta kinerja Industri Pengolahan.
Pertumbuhan ekonomi Sumatera diprakirakan
akan didukung akselerasi proyek infrastruktur
pemerintah. Beberapa proyek infrastruktur
berskala besar di Sumatera seperti pembangunan
jalan trans Sumatera, pembangkit listrik, dan
sarana penunjang kegiatan Asian Games 2018
diperkirakan dapat mendorong investasi dan
kinerja perekonomian secara keseluruhan. Selain
itu, meningkatnya produksi pertanian
diprakirakan akan diikuti perbaikan ekspor,
terutama komoditas SDA, meskipun masih
dibayangi risiko tekanan harga komoditas.
Di sisi lain, berbeda dengan prakiraan
sebelumnya, perkembangan indikator ekonomi
terkini mengindikasikan perekonomian
Kalimantan masih akan menghadapi tantangan
yang cukup berat. Kontraksi pertambangan
batubara masih menjadi penghambat kinerja
perekonomian secara keseluruhan seiring masih
rendahnya harga komoditas serta penurunan
target produksi batubara dibanding tahun lalu.
Meski demikian, produksi CPO dan beroperasinya
smelter alumina diprakirakan akan menopang
pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2016.
Sebagaimana Kalimantan, perekonomian KTI
pada 2016 juga diprakirakan tumbuh lebih
lambat yang disebabkan oleh kegiatan investasi
non bangunan dan ekspor pertambangan yang
tumbuh tidak sebaik tahun sebelumnya. Meski
demikian, pertumbuhan diprakirakan tetap
tercatat tinggi ditopang konsumsi yang masih
kuat seiring prospek peningkatan pendapatan
pada usaha jasa dan perdagangan.
Prospek inflasi di berbagai daerah untuk
keseluruhan tahun 2016 diperkirakan terkendali
dalam kisaran sasaran inflasi sebesar 4%±1%.
Perkiraan masih terbatasnya kenaikan harga
komoditas global serta masih rendahnya harga
minyak dunia berdampak pada minimnya
tekanan inflasi dari faktor eksternal. Selain itu,
meskipun permintaan domestik diperkirakan
akan tumbuh lebih baik pada 2016, namun
tekanan inflasi dari sisi permintaan domestik
diperkirakan masih minim seiring dengan masih
terbatasnya ekspektasi perbaikan ekonomi dari
pelaku ekonomi domestik.
Risiko inflasi di daerah pada 2016 diperkirakan
berasal dari kelompok bahan pangan.
Pencapaian inflasi bahan pangan diberbagai
wilayah sepanjang Januari hingga April 2016
masih berada diatas target roadmap
pengendalian inflasi. Selain itu, terdapat potensi
risiko gangguan produksi pada beberapa jenis
7
komoditas pangan antara lain cabai merah dan
bawang merah akibat fenomena La Nina yang
diperkirakan akan berlangsung pada paruh kedua
2016 perlu mendapatkan perhatian. Di sisi lain,
berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah
untuk mengantisipasi dampak La Nina (a.l
pemberian bantuan pompa, pembuatan sumur
dangkal dan bibit unggul) dan normalisasi harga
berbagai komoditas pangan (a.l terkait impor
beras dan daging sapi) diperkirakan akan mampu
meminimalisir peningkatan tekanan inflasi.
Sementara, upaya pemerintah terkait
pembangunan infrastruktur penunjang produksi
pangan seperti bendungan, waduk, dan irigasi
yang telah dilakukan sejak 2015 diperkirakan
belum akan berdampak besar pada peningkatan
produksi pangan dalam jangka pendek, karena
berbagai infrastruktur tersebut masih
membutuhkan dukungan penyediaan
infrastruktur penunjang seperti irigasi teknis, dll.
Faktor risiko inflasi lainnya adalah rencana
pemerintah terkait kebijakan mengalihkan
pelanggan listrik daya 900VA yang selama ini
disubsidi secara bertahap pada bulan Juni,
Agustus, Oktober dan Desember 2016 .
Secara keseluruhan, inflasi 2016 diperkirakan
masih dalam kisaran target yang ditetapkan.
Kondisi ini terkait dengan masih rendahnya harga
minyak global yang kemudian mempengaruhi
penurunan tarif listrik dan harga BBM.
Upaya untuk menjaga stabilitas harga menjadi
fondasi dalam mewujudkan stabilitas makro.
Oleh karena itu, koordinasi pengendalian inflasi
yang ditempuh BI bersama dengan pemerintah
baik di tingkat pusat maupun daerah akan terus
diperkuat. Berbagai pembenahan struktural terus
diupayakan melalui implementasi dan
internalisasi roadmap pengendalian inflasi,
khususnya di tingkat daerah. Upaya pengendalian
inflasi difokuskan pada upaya menjaga
ketersediaan dan keterjangkauan pasokan
pangan, kelancaran distribusi, dan pengelolaan
ekspektasi masyarakat melalui komunikasi yang
intensif. Upaya tersebut diatas juga didukung
oleh kebijakan pemerintah untuk memperkuat
kapasitas produksi dan pengelolaan pasokan
pangan domestik disertai upaya pembenahan
distribusi barang.
Tantangan Ke Depan
Pemulihan ekonomi di 2016 masih akan
menghadapi tantangan karena terbatasnya
perbaikan ekonomi global serta kinerja fiskal
dan optimisme sektor swasta terhadap prospek
pemulihan perekonomian yang masih terbatas.
Perbaikan ekonomi negara tujuan ekspor utama
yang masih belum solid di tengah belum
signifikannya perbaikan harga komoditas global,
berdampak pada terbatasnya perbaikan kinerja
ekonomi daerah. Perbaikan ekonomi yang
terbatas terutama terjadi pada daerah yang
mengandalkan ekspor komoditas primer (SDA)
antara lain beberapa daerah di Kalimantan,
Sumatera, dan sebagian KTI. Hal ini selanjutnya
berdampak pada melemahnya kinerja korporasi
di daerah-daerah tersebut karena turunnya
pendapatan usaha, khususnya yang bersumber
dari ekspor. Pada gilirannya kondisi ini berimbas
pada daya beli masyarakat di tengah optimisme
masyarakat terhadap perekonomian yang belum
pulih sepenuhnya, serta berdampak juga pada
turunnya pendapatan fiskal daerah.
Di sisi lain, peningkatan transfer ke daerah secara
signifikan pada 2016 memberikan peluang
sekaligus juga merupakan tantangan bagi daerah.
Alokasi dana transfer daerah, termasuk dana
desa, pada APBN 2016 mencapai Rp770,2 triliun
atau meningkat 15,9% dari APBN-P 2015
sehingga memberikan peluang bagi daerah untuk
turut berperan lebih besar dalam mendorong
percepatan pembangunan ekonomi. Sementara
itu, PMK No. 235/PMK.07/2015 tentang Konversi
Penyaluran DBH/DAU dalam Bentuk Non Tunai
telah diterapkan. Hingga akhir triwulan laporan, 6
daerah dikenai konversi SBN karena memiliki
saldo kas daerah di perbankan yang lebih besar
dari jumlah yang dianggap wajar, sementara 144
daerah dikenai sanksi penundaan pencairan DAU
karena tidak menyampaikan laporan keuangan
bulanan sebagaimana yang diwajibkan dalam
8
PMK di atas. Namun, pada tahap kedua
pengenaan sanksi penundaan pencairan DAU
(April 2016), jumlah daerah yang dikenai sanksi
jauh berkurang menjadi hanya 50 daerah. Hal
tersebut mengindikasikan komitmen pemerintah
daerah untuk terus meningkatkan kepatuhan dan
kinerja pengelolaan keuangan yang lebih baik.
Peningkatan efektivitas dan optimalisasi
penyerapan belanja anggaran pemerintah ini
sangat penting dalam menstimulasi
perekonomian di sepanjang tahun 2016.
Dari sisi inflasi, terdapat beberapa tantangan
dalam upaya pencapaian inflasi yang stabil dan
rendah. Tantangan tersebut antara lain terkait
dengan fluktuasi inflasi komoditas bahan pangan
yang masih terjadi di berbagai wilayah dan
beberapa permasalahan yang bersifat struktural.
Beberapa persoalan struktural tersebut antara
lain terkait dengan keterbatasan kapasitas
produksi pangan, inefisiensi struktur pasar, dan
belum memadainya dukungan infrastruktur
logistik dalam menjamin kelancaran distribusi
pangan. Berbagai persoalan struktural ini
menyebabkan tingginya ketergantungan produksi
pangan terhadap faktor iklim dan cuaca,
inefisiensi pembentukan harga di pasar yang
ditandai dengan disparitas harga antara produsen
dan konsumen maupun antar wilayah yang cukup
lebar.
Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut,
strategi kebijakan yang terintegrasi dan
koordinasi yang intensif antara pusat-daerah
perlu secara konsisten dilakukan dan diperkuat.
Langkah koordinasi diarahkan pada upaya untuk
mempercepat implementasi pembangunan
berbagai infrastruktur utama yang mampu
menjadi akselerator bagi kinerja perekonomian
daerah di tahun 2016. Pentingnya pembangunan
infrastruktur dituangkan secara lebih mendetail
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2016
yang mengambil tema besar percepatan
pembangunan infrastruktur. Secara khusus,
pengembangan perkotaan menjadi salah satu
unsur dalam prioritas dan sasaran pembangunan
terkait dengan dimensi pemerataan dan
kewilayahan yaitu terkait upaya mengurangi
kemiskinan dan kesenjangan antar wilayah. Peran
daerah perkotaan yang strategis dalam
menopang dan memberikan umpan balik bagi
akselerasi perekonomian daerah membutuhkan
daya dukung yang mencukupi baik secara kualitas
maupun kuantitas, salah satunya melalui
pemenuhan infrastruktur dasar perkotaan.
Daya dukung kota dari berbagai dimensi (a.l SDM,
ekonomi, teknologi, infrastruktur, lingkungan,
tata kelola) yang mencukupi akan menjamin daya
saing perkotaan, sehingga daerah perkotaan
mampu memberikan kontribusi yang produktif
bagi masyarakat dan perekonomian secara
keseluruhan. Perkembangan daerah perkotaan
yang saat ini berlangsung di berbagai daerah
sebagai bagian dari proses urbanisasi, perlu
diperkuat oleh dasar/konsep pengembangan
perkotaan yang jelas dan terarah. Hal ini
diperlukan agar pengembangan perkotaan dapat
berlangsung secara terintegrasi dan memberikan
dukungan produktif bagi wilayah disekitarnya
(perkotaan-pedesaan) serta dapat meminimalisir
berbagai dampak negatif perkotaan yang
mungkin timbul. (Lihat Isu Khusus Mendorong
Peningkatan Daya Saing Kawasan Perkotaan
sebagai Penggerak Ekonomi Regional).
Bunga Padma Raksasa (Rafflesia Arnoldii)Merupakan Puspa Langka Berasal Dari Provinsi Bengkulu, Sumatera.
Perekonomian Sumatera
Bagian
II
9
Bagian II
Perekonomian Sumatera Perekonomian Sumatera triwulan I 2016 tumbuh 4,18%, lebih rendah dibanding triwulan IV 2015
yang sebesar 4,56%. Pertumbuhan yang lebih rendah tersebut dipengaruhi oleh rendahnya konsumsi
pemerintah di awal tahun serta kinerja ekspor yang masih tumbuh negatif. Adanya pergeseran
musim panen menyebabkan kinerja lapangan usaha pertanian dan industri tidak setinggi triwulan
sebelumnya. Meski demikian, masih kuatnya konsumsi rumah tangga dapat menahan perlambatan
ekonomi lebih lanjut. Perkembangan terkini mengindikasikan perekonomian Sumatera pada
triwulan II 2016 dapat tumbuh lebih tinggi dengan ditopang oleh menguatnya konsumsi rumah
tangga dan meningkatnya penyerapan fiskal daerah serta peningkatan kinerja investasi. Perbaikan
ekonomi diperkirakan berlanjut hingga akhir 2016 didukung realisasi berbagai pembangunan
infrastruktur berskala besar sehingga, secara keseluruhan tahun 2016, perekonomian Sumatera
diperkirakan tumbuh membaik dibanding periode tahun 2015, yakni di kisaran 4,2%-4,7%.
Tekanan inflasi di Sumatera pada triwulan I 2016 tercatat cukup tinggi yang didorong peningkatan
harga beberapa komoditas pangan terkait pergeseran masa tanam. Pada triwulan II 2016, tekanan
inflasi diperkirakan sedikit meningkat akibat naiknya permintaan dan indikasi adanya kendala
produksi pangan karena faktor iklim serta masih besarnya risiko gangguan distribusi karena logistik
yang belum optimal. Meski demikian, melalui dukungan koordinasi yang erat dalam TPID, inflasi
2016 diperkirakan dapat tetap berada pada rentang sasaran inflasi nasional 4%+ 1%.
Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.1. Survei Konsumen dan Perkiraan Konsumsi RT
Pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera di
triwulan I 2016 tercatat lebih rendah dibanding
triwulan IV 2015. Pada periode laporan, ekonomi
Sumatera tumbuh 4,18% (yoy), lebih rendah dari
pertumbuhan triwulan IV 2015 yang sebesar
4,56% (yoy). Perlambatan ekonomi di Sumatera
terutama terjadi di provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Lampung,
dan Kep. Bangka Belitung (Tabel II.1).
Perlambatan di Sumatera Utara, Riau, dan
Sumatera Barat sangat dipengaruhi oleh
penurunan kinerja CPO dan tabama. Sementara
itu, perlambatan di Kep. Riau sangat dipengaruhi
oleh penurunan kinerja industri pengolahan dan
konstruksi. Penurunan permintaan komoditas
timah membuat perlambatan ekonomi di Kep.
Bangka Belitung.
Tabel II.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera
(% year-on-year)
Sumber: BPS
I I I I I I IV I
PDRB (% YoY) 3.47 2.98 3.13 4.56 3.54 4.18
Provinsi Aceh (1.93) (2.09) (0.29) 1.42 (0.72) 3.66
Provinsi Sumut 4.84 5.13 5.09 5.32 5.10 5.02
Provinsi Sumbar 5.50 5.48 4.93 5.74 5.41 5.48
Provinsi Riau (0.01) (2.13) (1.38) 4.45 0.22 2.34
Provinsi Jambi 5.00 4.33 4.38 3.18 4.21 3.42
Provinsi Kep. Riau 6.83 6.70 5.40 5.20 6.02 4.58
Provinsi Sumsel 4.58 4.71 4.75 3.94 4.50 4.94
Provinsi Bengkulu 5.29 5.24 5.18 4.86 5.14 4.99
Provinsi Lampung 4.91 5.06 5.22 5.33 5.13 5.05
Provinsi Kep. Bangka Belitung 4.10 3.97 3.97 4.28 4.08 3.30
Indikator Makroekonomi
Daerah2015
20162015
10
Dari sisi pengeluaran, melambatnya
pertumbuhan ekonomi Sumatera dipengaruhi
oleh rendahnya kinerja konsumsi pemerintah dan
masih terbatasnya ekspor di tengah investasi
yang masih tumbuh terbatas. Meski demikian,
pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lebih
tinggi dari capaian triwulan sebelumnya mampu
menahan perlambatan lebih dalam.
Kinerja konsumsi rumah tangga triwulan I 2016
tumbuh lebih tinggi dari triwulan IV 2015, yakni
dari 4,49% menjadi tumbuh 5,24%. Hal ini
sejalan dengan meningkatnya Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) Sumatera di triwulan laporan,
yakni dari 96,04 menjadi 109,11. (Grafik II.1).
Selain itu, peningkatan UMP yang cukup besar di
beberapa daerah pada awal tahun 2016 turut
mendukung menguatnya konsumsi rumah
tangga. Peningkatan konsumsi juga terkonfirmasi
oleh hasil survei penjualan eceran (Grafik II.2)
dan peningkatan impor barang konsumsi (Grafik
II.3).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.2. Survei Penjualan Eceran
Sumber: Bea cukai
Grafik II.3. Impor Barang konsumsi
Di sisi lain, konsumsi pemerintah yang tumbuh
sangat rendah dipengaruhi oleh pola
pengeluaran APBD di awal tahun yang
cenderung rendah. Masa transisi pasca Pilkada
Desember 2015 di beberapa daerah
diperkirakan turut berdampak pada penetapan
dan juga penyerapan APBD. Hal ini ditunjukkan
dari pertumbuhan konsumsi pemerintah triwulan
I 2016 yang sebesar 0,76% (yoy), jauh lebih
rendah dari triwulan IV 2015 sebesar 7,39% (yoy)
maupun triwulan I 2015 sebesar 2,72% (yoy).
Secara rata-rata, realisasi APBD wilayah Sumatera
pada triwulan laporan sebesar 8,30%. Agregasi
APBD provinsi di Sumatera tahun 2016 sebesar
Rp196,8 triliun, turun dibandingkan APBD tahun
2015 yang berjumlah Rp226,3 triliun.
Investasi di triwulan I 2016 tumbuh relatif tinggi
5,48% (yoy) meski lebih rendah dibandingkan
triwulan sebelumnya 5,68% (yoy). Relatif
tingginya pertumbuhan investasi terutama
didorong oleh pertumbuhan investasi non-
bangunan di Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Sumatera Selatan, dan Kep. Bangka
Belitung. Sementara melambatnya investasi
pemerintah ditengarai dipengaruhi oleh belum
optimalnya belanja infrastruktur pemerintah
yang masih pada tahap awal. Hingga triwulan I
2016 realisasi belanja infrastruktur pemerintah
masih pada kisaran 0-18%.
Ekonomi Sumatera triwulan II 2016 diperkirakan
tumbuh lebih tinggi yakni sebesar 4,45% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi triwulan tersebut
diperkirakan didorong oleh semakin
meningkatnya kinerja konsumsi pemerintah dan
investasi bersamaan dengan konsumsi rumah
tangga yang tetap kuat. Perkiraan realisasi
belanja pemerintah pada triwulan II serta
selesainya proses konsolidasi pasca Pilkada
Desember 2015 diperkirakan akan mendorong
ekonomi Sumatera tumbuh lebih tinggi. Rencana
realisasi pembayaran gaji PNS ke-14 dan
pencairan dana desa diperkirakan berdampak
positif bagi peningkatan kinerja ekonomi
Sumatera. Investasi swasta diperkirakan
meningkat sejalan dengan optimisme sektor
swasta terhadap prospek ekonomi kawasan yang
terindikasi oleh perkembangan pembangunan
11
pabrik kertas di Sumatera, pembangunan
pelabuhan multipurposes Kuala Tanjung, serta
investasi baru di sejumlah kawasan tambang.
Konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap kuat
seiring dengan daya beli yang membaik dan
stabilnya kondisi makroekonomi. Di sisi lain,
konsumsi yang tinggi akan mendorong impor
lebih tinggi meski belum akan disertai perbaikan
kinerja ekspor secara signifikan karena prospek
masih rendahnya harga komoditas dan
permintaan eksternal. Akibatnya, net ekspor
diperkirakan terkontraksi lebih dalam dan
berpotensi menahan perbaikan ekonomi
Sumatera lebih lanjut.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.4. Likert Scale Pertanian
Menurunnya kinerja pertanian menjadi sumber
perlambatan ekonomi Sumatera pada triwulan I
2016. Berakhirnya masa panen kelapa sawit
menyebabkan penurunan hasil sawit di hampir
semua provinsi penghasil. Selain itu, tingginya
curah hujan serta dampak kabut asap pada akhir
tahun 2015 membuat produktivitas tanaman
kelapa sawit menurun. Selain perkebunan,
tanaman bahan makanan (tabama) juga
mengalami penurunan produksi akibat banjir,
gagal panen, dan pergeseran waktu panen di
beberapa daerah. Sebagai contoh, produksi
tabama di Sumatera Barat menurun akibat
bencana banjir dan gagal panen, sementara
produksi tabama di Lampung menurun akibat
adanya pergeseran musim panen. Kondisi yang
sama juga diperkirakan terjadi pada komoditas
karet karena faktor harga yang belum
menunjukkan perbaikan signifikan. Penurunan
hasil pertanian juga dikonfirmasi oleh pelaku
usaha melalui liaison (Grafik II.4).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.5. SKDU Pertanian
Kinerja pertanian diperkirakan mengalami
perbaikan pada triwulan II 2016 sejalan dengan
intensifnya upaya mendorong produksi pangan.
Optimisme ini terlihat dari indikasi optimisme
pelaku usaha pertanian hingga April 2016
berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha
(SKDU) (Grafik II.5). Hasil tabama berpeluang
meningkat sejalan dengan pelaksanaan program-
program ketahanan pangan di sejumlah provinsi
pada 2015 dan 2016. Beberapa program
dimaksud juga mencakup penambahan lahan
pertanian padi dan pemberian bantuan peralatan
pertanian.
Sumber: Bloomberg
Grafik II.6. Harga CPO Internasional
Optimisme juga terjadi pada sub sektor
perkebunan seiring dengan prospek perbaikan
harga komoditas pertanian. Harga CPO pada
bulan April 2016 tercatat meningkat sebesar
14,0% (yoy) (Grafik II.6). Berdasarkan hasil liaison,
12
perbaikan harga ini sudah dirasakan di level
petani. Sementara itu, harga karet juga membaik
meski masih mengalami kontraksi 2,4% (yoy).
Prediksi membaiknya kinerja sektor pertanian
juga didukung masih relatif tingginya kredit
sektor pertanian. Kredit sektor pertanian pada
triwulan I 2016 tumbuh 19,63% (yoy), terutama
ditopang oleh peningkatan penyaluran kepada
subsektor perkebunan kelapa sawit. (Grafik II.7).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.7. Kredit Pertanian
Pertambangan
Di tengah harga komoditas yang masih
cenderung rendah, kinerja lapangan usaha
pertambangan tercatat membaik dibanding
triwulan sebelumnya, meski masih berada pada
zona negatif. Kinerja pertambangan masih
tumbuh negatif 0,69% (yoy), lebih baik dibanding
kontraksi triwulan sebelumnya sebesar 3,83%
(yoy). Perbaikan ditopang oleh produksi migas
yang sedikit meningkat di Riau. Selain itu,
peningkatan eksplorasi gas di Jambi serta
kenaikan produksi batu bara Sumatera Selatan
mendukung perbaikan kinerja sektor
pertambangan. Peningkatan produksi batu bara
di Sumatera Selatan terjadi seiring dengan
beroperasinya infrastruktur pendukung, seperti
rel kereta api, tempat penampung, dan beberapa
PLTU yang menggunakan energi batu bara.
Sektor pertambangan diperkirakan masih
mencatatkan kontraksi pada triwulan II karena
perkembangan harga komoditas yang masih
rendah. Kontraksi diperkirakan masih terus
terjadi pada komoditas migas selaras dengan
prospek harga migas yang masih menurun.
Produksi pertambangan nonmigas juga
diperkirakan menurun sejalan dengan masih
terbatasnya permintaan komoditas
pertambangan. Produksi batubara di Sumatera
Selatan diperkirakan akan relatif stabil.
Sementara produksi timah diperkirakan masih
rendah akibat minimnya permintaan, di tengah
harga yang sudah mulai membaik (Grafik II.8).
Sumber: Bloomberg
Grafik II.8. Harga Timah
Industri Pengolahan
Kinerja usaha industri pengolahan melambat,
sejalan dengan penurunan produksi pertanian
dan permintaan ekspor yang masih rendah.
Pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan
I 2016 tercatat 4,66% (yoy), lebih rendah dari
triwulan sebelumnya sebesar 5,76% (yoy).
Lemahnya kinerja industri pengolahan juga
tercermin dari hasil liaison yang menunjukkan
penurunan penjualan ekspor maupun domestik
dan penurunan kapasitas utilisasi industri (Grafik
II.9).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.9. Likert Scale Industri Pengolahan
13
Kinerja industri pengolahan diperkirakan
mengalami perbaikan pada triwulan II 2016. Hal
ini sejalan dengan perkiraan membaiknya hasil
pertanian. Optimisme tersebut terkonfirmasi dari
hasil SKDU yang menyatakan adanya peningkatan
lapangan usaha industri pengolahan di triwulan II
2016 (Grafik II.10). Hal serupa juga ditunjukan
oleh hasil liaison bahwa penjualan, baik domestik
maupun ekspor, juga tercatat mengalami
perbaikan walaupun masih terbatas.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.10. SKDU Industri Pengolahan
Perdagangan
Kinerja perdagangan menguat pada triwulan I
2016 sejalan dengan menguatnya konsumsi
rumah tangga. Sektor perdagangan tumbuh
4,92% (yoy), meningkat dibanding pertumbuhan
triwulan sebelumnya yang sebesar 4,86% (yoy).
Peningkatan daya beli akibat penguatan rupiah,
terjaganya inflasi, dan optimisme terhadap
prospek perekonomian ke depan mendukung
peningkatan aktivitas perdagangan. Peningkatan
aktivitas sektor perdagangan terkonfirmasi oleh
meningkatnya penjualan eceran yang terindikasi
dari hasil Survei Penjualan Eceran (SPE).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.11. SKDU Perdagangan
Meningkatnya kinerja perdagangan diperkirakan
berlanjut di triwulan mendatang. Peningkatan
tersebut terindikasi dari keyakinan masyarakat
maupun pelaku usaha. Bulan puasa pada Juni
2016 diperkirakan menjadi puncak belanja
konsumsi masyarakat. Selain itu, adanya gaji ke-
14 diperkirakan akan mendorong peningkatan
konsumsi. Searah dengan itu, pelaku usaha
berkeyakinan bahwa pada triwulan II 2016 akan
terjadi peningkatan perdagangan seperti
terindikasi dari indeks perdagangan pada SKDU
(Grafik II.11).
Konstruksi
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Grafik II.12. Penjualan Semen Sumatera
Kinerja konstruksi relatif stabil pada triwulan I
2016 yakni tumbuh sebesar 5,63% (yoy). Capaian
ini tidak berbeda jauh dengan triwulan IV 2015
yang tumbuh 5,62% (yoy). Realisasi proyek
infrastruktur yang telah dilakukan sejak triwulan
lalu diperkirakan menjadi faktor penyebab
tumbuhnya lapangan usaha konstruksi.
Berdasarkan hasil SKDU, terdapat sedikit
peningkatan pada realisasi kegiatan usaha sektor
bangunan pada triwulan laporan. Indikasi
tersebut tercermin oleh peningkatan konsumsi
semen Sumatera yang tercatat tumbuh tinggi
10,97% (yoy) (Grafik II.12).
14
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.13. SKDU Konstruksi
Ke depan, usaha konstruksi diperkirakan terus
menguat sejalan dengan semakin besarnya
realisasi konsumsi pemerintah. Meningkatnya
kinerja konstruksi sejalan dengan proyeksi
kenaikan investasi pemerintah dan swasta.
Pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan
mencapai 7,37% (yoy). Kondisi ini juga
ditunjukkan dari hasil survei SKDU kepada
perusahaan konstruksi yang menyatakan bahwa
proyeksi konstruksi triwulan II semakin baik
dibanding triwulan sebelumnya. (Grafik II.13)
Fiskal Daerah
Penyerapan fiskal daerah yang cenderung
rendah di awal tahun 2016 berdampak pada
terbatasnya dukungan fiskal dalam
mengakselerasi pertumbuhan ekonomi
Sumatera. Realisasi anggaran pemerintah daerah
di wilayah Sumatera baru sebesar 8,30% dari
target penyerapan anggaran triwulan I 2016 yang
sebesar 20,26% (Grafik II.14). Rendahnya realisasi
penyerapan anggaran terjadi terutama akibat
dari rendahnya serapan anggaran belanja fisik
yang baru mencapai 7,40% dari target realisasi
sebesar 16,88%.
Faktor utama rendahnya serapan belanja fisik
daerah adalah progres sejumlah proyek
infrastruktur Sumatera yang masih berada dalam
tahap pembebasan/pengadaan lahan. Beberapa
proyek infrastruktur multiyears tersebut antara
lain pembangunan jalan tol intra provinsi dan
trans Sumatera, pembangunan/pengembangan
jalur kereta api, dan pengembangan angkutan
massal terintegrasi di beberapa provinsi.
Sumber: Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran
Grafik II. 14. Realisasi APBD Sumatera Triwulan I 2016
Meski demikian, beberapa proyek lainnya telah
berjalan di atas target seperti pengembangan
jalur kereta api Spoor Simpang Pertanian-Sei
Mangke di Sumatera Utara, double track Airport
Railing Services di Sumatera Utara, Trans Kutaraja
di Aceh, serta bandara Pekon Serai di Lampung.
Di samping itu, secara agregat APBD Sumatera
tahun 2016 mengalami penurunan menjadi
sebesar Rp196,8 triliun dibandingkan APBD tahun
2015 yang berjumlah Rp226,3 triliun. Penurunan
terjadi pada komponen belanja rutin, sementara
anggaran belanja modal meningkat 3,39%. Hal ini
antara lain disebabkan oleh menurunnya
pendapatan daerah karena rendahnya harga
komoditas ekspor terutama perkebunan.
Perkembangan Inflasi
Hingga triwulan I 2016, laju inflasi Sumatera
mengalami tren meningkat. Pada triwulan I 2016,
inflasi Sumatera meningkat dari triwulan
sebelumnya yang sebesar 3,05% (yoy) menjadi
5,71% (yoy). Capaian tersebut juga tercatat lebih
tinggi dibandingkan dengan inflasi Nasional
sebesar 4,45% (yoy).
Inflasi Sumatera pada bulan Februari 2016 dan
Maret 2016 masing-masing sebesar 0,01% (mtm)
dan 0,44% (mtm) lebih tinggi dibandingkan rata-
rata historisnya. Peningkatan laju inflasi terutama
didorong peningkatan laju inflasi pada komoditas
hortikultura, khususnya cabai merah, beras,
bawang merah, dan bawang putih, seiring
dengan adanya gangguan cuaca, banjir, serta
pergeseran masa tanam akibat el nino di wilayah-
wilayah pemasok di Sumatera dan Jawa.
15
Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi
permintaan relatif berkurang akibat terjaganya
ekspektasi inflasi dan stabilnya nilai tukar. Namun
demikian, terdapat tekanan dari meningkatnya
harga emas internasional kepada kelompok
sandang khususnya komoditas emas perhiasan.
Penurunan harga bahan bakar juga telah
berpengaruh terhadap tarif angkutan. Selain itu,
berbagai kebijakan telah membuat komoditas
tarif listrik, serta tarif angkutan udara menurun.
Kebijakan lain jug dapat mendorong inflasi
terutama terkait komoditas rokok kretek dan
rokok kretek filter.
Secara spasial, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi
Sumatera Utara dan Sumatera Barat dengan
masing-masing sebesar 7,16% (yoy) dan 6,62%
(yoy). Sebaliknya, inflasi terendah terjadi di
provinsi Aceh dan Riau yang masing-masing
tercatat sebesar 3,55% (yoy) dan 4,42% (yoy).
Grafik II.15. Proyeksi Inflasi Triwulan II 2016
Pada bulan April 2016, Sumatera mengalami
deflasi 0,91% (mtm). Dengan capaian tersebut,
inflasi Sumatera pada triwulan II 2016
diperkirakan berada pada posisi lebih rendah
yakni pada kisaran 4,16% (Grafik II.15).
Penurunan laju inflasi diperkirakan akan
bersumber dari dampak lanjutan penurunan
harga BBM, tarif angkutan, dan tarif listrik kepada
biaya distribusi. Selain itu, membaiknya pasokan
sejalan masuknya musim panen akan membuat
inflasi bahan pangan di triwulan II terjaga.
Dalam rangka menjaga fluktuasi inflasi di
kawasan Sumatera, Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (TPID) di Sumatera secara konsisten
melaksanakan beberapa kegiatan unggulan
daerah, antara lain:
a. Mengupayakan optimalisasi dan
pengembangan toko tani dan eks-terminal agro
bisnis untuk mengurangi jalur distribusi
komoditas pangan utama serta
mengembangkan sistem resi gudang di
beberapa kota, seperti di Lampung.
b. Pengembangan lahan-lahan pertanian baru
daerah-daerah yang potensial untuk
penanaman padi, seperti di Natuna, Lingga,
serta pemanfaatan lahan-lahan eks-
pertambangan.
c. Melaksanakan operasi cabai terkait dengan
aktivitas panen cabai merah di Kab. Karo serta
selanjutnya Bulog akan bekerjasama dengan
anak perusahaannya untuk membantu
distribusi cabai merah serta mengupayakan
harga referensi daerah.
d. Memfasilitasi pertemuan petani dengan PTPN
IV untuk menyukseskan program pemberian
modal dengan bunga ringan di Sumatera Utara.
e. Pembentukan Klaster Cabai Merah, Bawang
Merah dan Hortikultura serta pengadaan
kebutuhan pangan mengantisipasi puasa dan
lebaran, serta penghapusan retribusi di Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) di Bangka Belitung
f. Peresmian Gedung Pengendalian Inflasi di
Sumatera Barat yang berfungsi sebagai
terminal agrobisnis dalam rangka
menyeimbangkan permintaan-penawaran dan
stabilisasi harga komoditas pangan utama di
Sumatera Barat;
g. Diversifikasi pangan dan konsumsi produk lokal
di Bengkulu. TPID Bengkulu menghimbau
kepada pemda, perusahaan, para stakeholders
dan masyarakat setempat untuk
mengkonsumsi produk-produk hasil lokal,
seperti makanan, pakaian, dsb. Di samping itu,
TPID Bengkulu juga menghimbau masyarakat
untuk sarapan dengan pisang sebagai
komoditas utama Provinsi Bengkulu;
16
h. Pembentukan klaster cabai dan padi di Jambi.
Selain kegiatan tersebut, beberapa provinsi telah
mengadakan kerjasama antar daerah dalam
rangka menjaga pasokan serta menstabilkan
harga. Adapun bentuk-bentuk kerjasama antara
daerah yang ada di Sumatera antara lain:
a. Kerjasama dalam pengendalian pasokan cabai
merah di Kabupaten Batubara dan Kabupaten
Simalungun, Provinsi Sumatera Utara;
b. Rapat koordinasi pembahasan draft
Memorandum of Understanding (MoU) kerja
sama antar daerah di Kota Padang dan Kota
Solok, Provinsi Sumatera Barat;
c. Rapat koordinasi pertukaran informasi bahan
pangan di Pulau Bintan dan Kota Tanjung
Pinang, Provinsi Kepulauan Riau;
d. Pengadaan kegiatan temu usaha pengusaha
cabai merah di Palembang dan Kabupaten
Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan
e. Kerjasama penyediaan bahan pangan antara
Provinsi Lampung dengan Provinsi DKI Jakarta.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
Di tengah menurunnya kinerja korporasi,
stabilitas keuangan masih terjaga. Secara umum,
kinerja korporasi di Sumatera terkena imbas
dinamika perkembangan ekonomi global dan
domestik. Hal ini terkonfirmasi oleh menurunnya
kinerja sektor korporasi utama di Sumatera,
seperti pertambangan, pertanian, dan industri
pengolahan. Meski demikian, ketahanan sektor
korporasi dan sektor keuangan masih terjaga.
Tabel II.2. Indikator Kunci Kinerja Keuangan Korporasi Sumatera
Sumber: Bloomberg Tw IV 2014 dan 2015, (diolah dari 12
korporasi Tbk di pulau Sumatera)
Hasil liaison Bank Indonesia mengindikasikan
penjualan perusahaan masih mengalami
penurunan pada triwulan I 2016 yang ditandai
dengan likert yang bernilai negatif, terutama
terjadi pada penjualan ekspor. Hal yang sama
ditunjukkan oleh indikator asset turnover5
yang
turun dari 0,58 menjadi 0,57 (Tabel II.2).
Sumber: Bloomberg 2008-2015, (diolah dari 12 korporasi Tbk
di Sumatera)
Grafik II.16. Indikator Profitabilitas Korporasi Sumatera
Lebih lanjut, Likert Scale dan indeks SKDU
kapasitas utilisasi juga mengalami penurunan,
terutama untuk kapasitas utilisasi kegiatan
industri dan pertanian. Perkembangan tersebut
juga menyebabkan profitabilitas perusahaan
menurun (Grafik II.16).
5Indikator ini mencerminkan rasio penjualan terhadap total
aset yang menunjukkan tingkat produktivitas dari sisi kemampuan korporasi dalam menggunakan asetnya untuk menghasilkan penjualan.
2014 2015 2014 2015 2014 2015
AGRI 5.70 1.02 11.68 2.06 1.08 0.96
IND 2.17 3.62 5.84 9.32 1.58 1.57
MINE 4.78 (0.71) 10.90 (1.83) 1.41 1.73
TOTAL 4.26 1.54 9.77 3.59 1.30 1.36
SektorROA ROE DER
2014 2015 2014 2015 2014 2015
AGRI 0.82 1.02 1.93 2.04 0.77 0.78
IND 1.52 1.48 1.63 1.64 0.38 0.43
MINE 1.80 1.81 1.71 1.58 0.54 0.47
TOTAL 1.21 1.41 1.77 1.74 0.59 0.58
SektorCR SR Asset TO
2014 2015 2014 2015 2014
AGRI 4.92 7.95 4.70 (11.83) 5.24
IND 6.34 6.29 16.74 14.12 2.74
MINE 5.17 (17.25) 15.95 (12.80) 2.47
TOTAL 5.31 2.04 9.89 (5.86) 3.78
SektorProfit Margin Sales ICR
17
Sumber: Bloomberg 2008-2015, (diolah dari 12 korporasi Tbk
di Sumatera)
Grafik II.17. Indikator Solvabilitas Korporasi Sumatera
Namun demikian, ketahanan korporasi dalam
jangka panjang (solvabilitas) dan jangka pendek
(likuditas) masih relatif terjaga, meski mengalami
penurunan. Hal tersebut tercermin dari rasio
Total Asset/Total Liabilitas yang masih berada di
atas 1,0 (Grafik II.17).
*Data disetahunkan Sumber: Bloomberg 2014-2015, (diolah dari 12 korporasi Tbk
di Sumatera)
Grafik II.18. Perkembangan Kemampuan Membayar Porporasi Keuangan Sumatera
Masih baiknya ketahanan korporasi juga
didukung oleh kemampuan korporasi dalam
membayar utang yang meningkat. Rasio
kemampuan membayar utang korporasi (debt
service ratio) menunjukkan penurunan pada
2015, dari sebesar 46,68% menjadi sebesar
24,64%6. Berdasarkan sebaran sektor ekonomi
6 DSR: Cicilan pokok + bunga / EBITDA
yang memiliki DSR paling tinggi terdapat pada
sektor pertanian dan industri. Hal yang sama juga
ditunjukan oleh indikator kemampuan
perusahaan dalam membayar bunga. Rasio ICR
(interest coverage ratio) menunjukkan
peningkatan dari 3,78 pada 2014 (Grafik II.18),
menjadi sebesar 5,03 pada 20157.
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Penurunan suku bunga kredit di triwulan I 2016
belum diikuti peningkatan penyaluran kredit
kepada korporasi. Suku bunga kredit tercatat
10,02%, menurun dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar 10,14%. Penurunan suku
bunga ini terjadi baik pada suku bunga kredit
modal kerja maupun suku bunga kredit investasi.
Pada triwulan I 2016 tercatat penyaluran kredit
perbankan melambat dari 14,90% (yoy) pada
triwulan IV 2015 menjadi 11,23% (yoy) pada
triwulan I 2016. Perlambatan terutama terjadi
pada penyaluran kredit industri pengolahan dan
kredit perdagangan yang masing-masing memiliki
pangsa 32% dan 15% dari total penyaluran kredit
korporasi (Grafik II.19). Kredit sektor industri
pertanian melambat dari 12,78% (yoy) pada
triwulan IV 2015 menjadi 7,38% (yoy). Sementara
kredit perdagangan tumbuh negatif menjadi -
1,94% (yoy) dari sebelumnya 19,95% (yoy).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.19. Proporsi Kredit Sektoral Korporasi
7 ICR: EBIT / biaya bunga. Threshold ICR yang aman adalah di
atas 1,5
18
Berdasarkan jenis penggunaan, perlambatan
didorong oleh penurunan pertumbuhan kredit
modal kerja dan kredit investasi. Kedua jenis
kredit tersebut memiliki pangsa terbesar dalam
penyaluran kredit korporasi, masing-masing 55%
dan 45% (Grafik II.20). Kredit modal kerja
melambat dari 13,09% (yoy) menjadi 11,13%
(yoy), demikian pula dengan kredit investasi, dari
17,88% (yoy) menjadi 11,58% (yoy). Perlambatan
kedua jenis kredit ini turut mengkonfirmasi
kondisi dunia usaha Sumatera yang masih
tertekan oleh dampak perlambatan ekonomi.
Triwulan I 2015 Triwulan I 2016
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.20. Proporsi Kredit Korporasi per Jenis Penggunaan
Perlambatan kredit korporasi dipicu oleh respon
korporasi terhadap dinamika perekonomian
dengan melakukan upaya-upaya efisiensi,
termasuk menahan pencairan kredit (tidak
menambah komponen sumber dana pinjaman)
untuk mengurangi biaya operasional.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.21. Pertumbuhan Kredit Korporasi Sektor Utama Sumatera
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.22. Pertumbuhan NPL Kredit Korporasi Sektor Utama Sumatera
Perlambatan kredit berdampak kepada
meningkatnya rasio NPL. Tingkat NPL sektor
korporasi meningkat dari 2,28% menjadi 2,43%.
Secara sektoral, peningkatan NPL terjadi pada
sektor-sektor pendukung seperti konstruksi,
listrik gas dan air, serta transportasi dan
komunikasi (Grafik II.22). Namun demikian,
keseluruhan rasio NPL masih terjaga di bawah
5%.
DPK perbankan untuk korporasi juga terpantau
mengalami perlambatan dari 1,24% (yoy) menjadi
0,84% (yoy) terutama pada tabungan dan
deposito (Grafik II.24).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.23. Perkembangan Suku Bunga Kredit dan Simpanan Korporasi Sumatera
Sumber: Bank Indonesia
Modal Kerja55%
Investasi45%
Konsumsi0%
Modal Kerja55%
Investasi45%
Konsumsi0%
19
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.24. Pertumbuhan DPK Korporasi Sumatera
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Sumber Kerentanan dan Kondisi Sektor Rumah
Tangga
Di tengah perlambatan ekonomi Sumatera pada
triwulan I 2016, ketahanan sektor rumah tangga
membaik. (Detail kondisi konsumsi rumah tangga
dapat dilihat pada bagian Pertumbuhan
Ekonomi).
Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan
Perbaikan daya beli dan pendapatan mendorong
peningkatan konsumsi RT dan kenaikan
tabungan perseorangan Sumatera pada triwulan
I 2016. Pertumbuhan DPK perseorangan
Sumatera pada triwulan I 2016 tercatat tumbuh
sebesar 7,61% (yoy), sedikit membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 7,56% (yoy). DPK perseorangan masih
mendominasi porsi DPK perbankan atau
mencapai 70,16% (Grafik II.25). walau sedikit
menurun dibandingkan periode sebelumnya.
Sementara itu, pertumbuhan DPK perseorangan
masih menjadi penopang pertumbuhan DPK
(Grafik II.26).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.25. Perkembangan Pangsa DPK Perseorangan
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.26. Perkembangan Pertumbuhan DPK Perseorangan
Pertumbuhan DPK pada triwulan ini didorong
oleh pertumbuhan tabungan dari 7,09% (yoy)
menjadi 8,77% (yoy). Sementara itu,
pertumbuhan deposito dan giro mengalami
perlambatan masing-masing dari 9,68% (yoy) dan
-1,90% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi
6,91% (yoy) dan -1,51% (yoy) pada triwulan I
2016 (Grafik II.27). Peningkatan tabungan ini juga
dikonfirmasi dari hasil Survei Konsumen yang
menunjukkan peningkatan proporsi penghasilan
masyarakat untuk tabungan dari 19,8% menjadi
21,5%.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.27. Perkembangan DPK Perseorangan
Kredit Perseorangan di Perbankan
Penurunan suku bunga untuk KPR dan KKB di
triwulan I 2016 belum berdampak kepada
peningkatan pertumbuhan kredit KPR dan KKB.
Secara keseluruhan, kredit sektor rumah tangga
(RT) melambat dari 6,83% (yoy) pada triwulan IV
2015 menjadi 6,33% (yoy). Perlambatan terjadi di
seluruh kelompok kredit RT utama seperti KPR,
KKB, dan kredit multiguna (Grafik II.28).
20
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh 5,32%
(yoy) melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tumbuh 5,59% (yoy) (Grafik
II.29). Perlambatan terutama disebabkan oleh
perlambatan penyaluran kredit untuk rumah dan
apartemen di atas tipe 21 dan rumah kantor
(rukan). Perlambatan kredit KPR diindikasikan
disebabkan oleh peningkatan harga properti.
Indeks Harga Properti Residensial (SHPR)
menunjukkan terjadinya peningkatan harga
untuk seluruh kelas properti, terutama untuk
kelas besar.
Sementara itu, pertumbuhan Kredit Kendaraan
Bermotor mengalami kontraksi dari -6,26% (yoy)
menjadi -9,21% (yoy). Penurunan penyaluran
kredit terjadi pada seluruh jenis kendaraan,
terutama sepeda motor. Perlambatan kredit
terjadi pula pada penyaluran kredit multiguna.
Kredit multiguna di triwulan I 2016 tumbuh
9,69% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang sebesar 10,14% (yoy).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.28. Pertumbuhan Pembiayaan Sektor Rumah Tangga per Jenis Penggunaan
Perlambatan pertumbuhan kredit dan
peningkatan DPK sektor rumah tangga
berdampak kepada penurunan komposisi
pengeluaran masyarakat untuk cicilan pinjaman.
Survei Konsumen mengindikasikan porsi cicilan
pinjaman mengalami penurunan dari 12,9%
menjadi 12,5%. Sementara porsi pengeluaran
masyarakat untuk tabungan mengalami
peningkatan (Tabel II.3).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.29. Pertumbuhan KPR per Tipe
Di tengah perlambatan penyaluran kredit RT,
rasio NPL masih terjaga di bawah 5%, dengan
kecenderungan NPL yang meningkat. Rasio NPL di
triwulan I 2016 meningkat dari 1,80% di triwulan
IV 2015 menjadi 1,89% (Grafik II.30). Peningkatan
NPL RT terjadi pada seluruh jenis penyaluran
kredit RT dengan kenaikan tertinggi pada NPL
KPR/KPA.
Tabel II.3. Komposisi Pengeluaran Masyarakat
Sumber: Survei Konsumen, Bank Indonesia
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.30. Posisi NPL Sektor Rumah Tangga per Jenis
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Penyaluran kredit UMKM di Sumatera
cenderung melambat serta tumbuh di bawah
pertumbuhan nasional. Penyaluran kredit UMKM
pada triwulan I 2016 tercatat tumbuh sebesar
5,38% (yoy), menurun dibandingkan triwulan IV
2015 sebesar 5,83% (yoy) bahkan lebih rendah
dari penyaluran kredit UMKM secara nasional
2016
I II III IV I II III IV IKonsumsi 65.0 65.8 67.1 66.2 62.2 63.0 64.2 67.2 66.1
Cicilan 12.2 11.5 12.4 10.9 13.1 14.0 12.8 12.9 12.5
Tabungan 22.8 22.6 20.5 22.9 24.7 23.0 23.0 19.8 21.5
2014 2015Komponen
21
yang dapat tumbuh 6,16% (yoy). Secara sektoral,
perlambatan kredit UMKM terjadi pada sektor
ekonomi utama di Sumatera, seperti industri
pengolahan, perdagangan, dan sektor lainnya
yang masing-masing melambat dari -9,73% (yoy),
10,87% (yoy), dan -3,23% (yoy) pada triwulan IV
2015 menjadi -14,48% (yoy), 10,76% (yoy), dan -
3,87% (yoy). Perlambatan penyaluran kredit
UMKM tersebut diiringi dengan peningkatan NPL.
Rasio NPL kredit UMKM meningkat dari 5,46%
(yoy) di triwulan IV 2015 menjadi 6,21% di
triwulan I 2016 (yoy) (Grafik II.31).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.31. Penyaluran Kredit UMKM
Perlambatan penyaluran kredit UMKM selain
dipengaruhi oleh dinamika pertumbuhan
ekonomi domestik yang masih terbatas, juga
ditengarai akibat masih relatif tingginya suku
bunga kredit UMKM. Pada triwulan I 2016, rata-
rata kredit UMKM adalah sebesar 13,92%, lebih
tinggi dari kredit korporasi yang sebesar 10,02%.
Tidak jauh berbeda dari kondisi historisnya,
penyaluran kredit UMKM Sumatera pada
triwulan I 2016 masih didominasi oleh sektor
perdagangan, hotel, dan restoran (PHR), dan
sektor pertanian, masing-masing tercatat sebesar
53,74% dan 20,83%.
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Transaksi keuangan tunai di triwulan I 2016
tercatat mengalami peningkatan net inflow
dibanding triwulan yang sama tahun lalu.
Peningkatan ini sejalan dengan pola operasi
keuangan pemerintah di triwulan I. Kondisi net
inflow ini dialami hampir seluruh provinsi di
Sumatera, kecuali Kepulauan Riau. Secara total,
net inflow Sumatera di Triwulan I 2016 mencapai
Rp13,0 triliun atau meningkat 13,07% (yoy).
Berdasarkan provinsinya, aliran uang masuk
(inflow) terbesar terjadi di Sumatera Utara,
Sumatera Barat, dan Lampung. (Grafik II.32)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.32. Pembayaran Tunai
Sementara itu, temuan uang palsu (UPAL) di
wilayah Sumatera pada triwulan I 2016 sebanyak
5.371 lembar menurun dibanding triwulan IV
2015 yang berjumlah sebanyak 6.316 lembar.
Namun demikian, temuan UPAL ini lebih besar
dibandingkan periode yang sama tahun lalu
sebesar 3.619 lembar. Secara spasial, temuan
UPAL se-Sumatera berasal dari Lampung
(36,75%) dan Sumatera Utara (25,95%) (Grafik
II.33).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.33. Temuan Uang Palsu (UPAL)
Sistem Pembayaran Nontunai
Transaksi kliring di kawasan Sumatera baik secara
nominal maupun volume pada triwulan I 2016
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya
seiring dengan peningkatan aktivitas sektor
perdagangan dan konsumsi domestik serta
implementasi SKNBI 2. Implementasi SKNBI 2
22
mengharuskan minimal transaksi sebesar Rp500
juta. Secara nominal, transaksi kliring triwulan I
2016 tumbuh sebesar 59,29% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan triwulan IV 2015 yang hanya
19,14% (yoy) (Grafik II.34). Total transaksi kliring
pada triwulan I tahun 2016 berjumlah Rp131,79
Triliun meningkat dari Rp105,26 triliun di triwulan
IV 2015. Sejalan dengan peningkatan nominal,
volume kliring turut mengalami peningkatan
sebesar 20,82% (yoy) pada triwulan I 2016
dibandingkan dengan triwulan IV 2015 yang
tercatat hanya tumbuh sebesar 5,08% (yoy)
(Grafik II.35).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.34. Transaksi Kliring Menurut Nominal (Wilayah Sumatera)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik II.35. Transaksi Kliring Menurut Volume
Secara spasial, transaksi kliring tertinggi terjadi di
Sumatera Utara sebesar Rp58,78 triliun atau
44,6% dari keseluruhan transaksi di Sumatera.
Sementara itu, transaksi kliring terendah terjadi
di Bengkulu dengan nominal sebesar Rp1,68
triliun atau 1,3% dari total Sumatera.
Perkembangan Layanan Keuangan Digital
Ketersediaan Layanan Keuangan Digital (LKD)
bagi penduduk Sumatera menunjukkan
peningkatan signifikan. Pada triwulan I 2016
ketersediaan LKD meningkat 83,1% (yoy). Jumlah
agen LKD di wilayah Sumatera saat ini telah
mencapai 8.664 agen atau sebesar 11,1% dari
jumlah agen LKD secara nasional. Provinsi dengan
jumlah agen LKD terbesar berasal dari Riau atau
sebanyak 27,29% dari total agen LKD se-
Sumatera. Sementara itu, Aceh memiliki jumlah
agen LKD paling sedikit dengan hanya 2,05% dari
total agen LKD di wilayah Sumatera.
Beberapa kegiatan terkini Bank Indonesia dalam
usaha meningkatkan jumlah agen LKD di daerah
diantaranya adalah:
a. Melakukan sosialisasi & kampanye LKD kepada
pemerintah daerah, sekolah, universitas, dan
pengusaha (termasuk UMKM).
b. Melakukan MoU antara BI, Perbankan dan
instansi terkait untuk pembayaran gaji, pajak,
tagihan, cicilan, dan sebagainya.
c. Mendorong kerjasama antara perbankan,
pemerintah daerah, dan sekolah dalam
penyaluran dana sosial bergulir ke masyarakat,
pelaku UMKM, serta pembayaran pajak oleh
pemda.
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian 2016 diperkirakan tumbuh sesuai
dengan perkiraan sebelumnya. Secara
keseluruhan tahun 2016, perekonomian
Sumatera diperkirakan tumbuh 4,2%-4,7% (yoy),
lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun
2015 yang sebesar 3,52%. Konsumsi rumah
tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi
diperkirakan menjadi motor penggerak ekonomi
pada 2016. Dari sisi lapangan usaha, sektor
pertanian, industri, dan konstruksi serta
perdagangan diperkirakan akan menjadi
kontributor utama pertumbuhan tahun 2016.
Berdasarkan asesmen harga komoditas, proyeksi
kenaikan harga palm oil diperkirakan akan
menjadi faktor pemicu meningkatnya
23
pertumbuhan sektor pertanian dan industri yang
berdampak kepada peningkatan konsumsi,
investasi dan aktivitas perdagangan.
Tabel II.4. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Sumatera (% year-on-year)
Indikator Makroekonomi
Daerah 2015
2016 2016f
I IIf
PDRB (% YoY) 3.52 4.18 4.42 4.22 - 4.72
Aceh (0.72) 3.66 4.12 3.61 - 4.11
Sumut 5.10 5.02 5.21 5.09 - 5.59
Sumbar 5.41 5.48 5.62 5.31-5.81
Riau 0.22 2.34 2.51 1.41-1.91
Jambi 4.21 3.42 3.96 4.01 - 4.51
Kep. Riau 6.02 4.58 4.75 5.31 - 5.81
Sumsel 4.50 4.94 5.28 5.12 - 5.62
Bengkulu 5.14 4.99 5.12 4.94 - 5.44
Lampung 5.13 5.05 5.22 5.15 - 5.65
Kep. Babel 4.08 3.30 3.81 3.50 - 4.00
Sumber: Bank Indonesia
Secara spasial, perbaikan ekonomi Sumatera
tahun 2016 diperkirakan terjadi di hampir seluruh
provinsi, dengan pertumbuhan tertinggi di
Sumatera Barat dan Kep. Riau. Sementara
pertumbuhan ekonomi terendah terjadi di Riau
dan Aceh (Tabel II.4).
Secara keseluruhan 2016, peran fiskal masih
belum mampu menjadi pendorong utama
pertumbuhan ekonomi Sumatera. Namun
demikian, dukungan belanja modal terhadap
perekonomian sejalan dengan meningkatnya
alokasi belanja modal diperkirakan mampu
menahan perlambatan belanja rutin. Peningkatan
alokasi ini diperkirakan memberikan efek lanjutan
bagi perekonomian Sumatera.
Perbaikan ekspor tahun 2016, khususnya
perbaikan ekspor komoditas pertambangan
relatif terbatas sejalan dengan prospek tahunan
peningkatan harga batu bara, minyak bumi, dan
karet. Meski demikian, prospek peningkatan
harga CPO akibat berkurangnya pasokan CPO
dunia diperkirakan dapat memperbaiki kinerja
ekspor Sumatera.
Dari sisi penawaran, prospek peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi berasal dari
meningkatnya kinerja sektor utama. Sektor
pertanian diperkirakan meningkat akibat
peningkatan produksi pasca realisasi berbagai
upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi
Tabama serta prospek kenaikan harga CPO pasca
penurunan stok CPO Malaysia dan kenaikan
permintaan biodiesel domestik. Sektor konstruksi
diprediksi melanjutkan pertumbuhannya sejalan
dengan kelanjutan pengembangan beberapa
megaproyek infrastruktur di wilayah Sumatera
dan meningkatnya realisasi investasi swasta.
Prospek Inflasi
Secara keseluruhan tahun, inflasi Sumatera pada
2016 diprakirakan lebih tinggi dibandingkan
2015. Inflasi Sumatera akan berada pada kisaran
4,29% hingga 4,79%, relatif sesuai dengan
perkiraan sebelumnya. Dengan demikian, level
inflasi pada 2016 akan tetap dalam kisaran target
inflasi Bank Indonesia, yaitu 4% ± 1%.
Peningkatan inflasi diperkirakan berasal dari
inflasi komoditas volatile foods. Mundurnya
musim tanam akibat El Nino, minimnya
infrastruktur pendukung produksi pangan, dan
gangguan cuaca (banjir, longsor), diperkirakan
akan mendorong tekanan inflasi pangan. Selain
itu, peningkatan inflasi 2016 akan terjadi seiring
dengan perkiraan prospek perbaikan daya beli
dan konsumsi serta progres pembangunan
infrastruktur yang mendorong meningkatnya
permintaan barang dan jasa.
Peningkatan inflasi 2016 diperkirakan akan
tertahan oleh terjaganya ekspektasi
masyarakat dan dampak lanjutan penurunan
harga administered prices. Proyeksi kenaikan
harga minyak dunia diperkirakan masih belum
terjadi di tahun 2016 yang berdampak pada
berkurangnya tekanan harga administered prices.
Penurunan harga ini diperkirakan memiliki
dampak lanjutan terhadap harga komoditas
volatile foods dan komoditas inti. Di samping itu,
beberapa program ketahanan pangan
pemerintah serta beberapa langkah
pengendalian inflasi melalui koordinasi TPID
diperkirakan dapat mengantisipasi lonjakan
inflasi.
Halaman ini sengaja dikosongkan
Bunga Anggrek Bulan (Phalaenopsis Amabilis)Merupakan Puspa Pesona Nasional, Banyak Dibudidayakan Terutama di Jawa.
Perekonomian Jawa
Bagian
III
25
Bagian III
Perekonomian Jawa Kinerja perekonomian Jawa pada triwulan I 2016 tumbuh 5,3%, melambat jika dibandingkan
pertumbuhan triwulan IV 2015 sebesar 5,9%. Pertumbuhan yang lebih rendah ini seiring dengan
siklus konsumsi pemerintah pada triwulan I 2016 yang tidak setinggi triwulan IV 2015 serta
melambatnya investasi bangunan. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 5,26%,
pertumbuhan ekonomi triwulan ini sedikit lebih tinggi. Pada triwulan II 2016, pertumbuhan
perekonomian Jawa diprakirakan meningkat didorong oleh konsumsi yang menguat, akselerasi
belanja dan investasi pemerintah serta perbaikan kinerja ekspor luar negeri. Secara keseluruhan
2016, ekonomi Jawa diprakirakan tumbuh pada kisaran 5,6%-6,0% didorong oleh perbaikan
konsumsi rumah tangga dan perdagangan luar negeri serta peningkatan belanja modal pemerintah.
Lapangan usaha industri, perdagangan, konstruksi dan pertanian juga diperkirakan tumbuh lebih
tinggi seiring meningkatnya belanja rumah tangga.
Tekanan inflasi di Jawa masih terjaga meski laju inflasi mengalami peningkatan secara tahunan.
Pada triwulan I 2016 inflasi Jawa tercatat pada level 3,93% (yoy) atau 0,53% (ytd). Secara umum
tekanan inflasi pada triwulan laporan didorong oleh meningkatnya harga beberapa komoditas
bahan pangan (volatile foods), seperti aneka cabai dan bawang merah. Sementara itu, tekanan
inflasi dari kelompok inti relatif stabil. Namun demikian, tekanan inflasi relatif tetap terjaga dengan
menurunnya harga komoditas administered prices seperti bensin dan Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang
menyumbang deflasi pada selama tiga bulan berturut-turut di awal tahun 2016. Pada triwulan II
2016, inflasi diperkirakan menurun seiring dengan kondisi pasokan yang relatif terjaga dan
rendahnya inflasi kelompok administered prices. Secara keseluruhan, inflasi tahunan Jawa pada
2016 diperkirakan lebih tinggi dari 2015 berada pada kisaran 3,35%–3,75% (yoy).
Pertumbuhan Ekonomi
Pada triwulan I 2016, perekonomian Jawa
tumbuh sebesar 5,3% (yoy) atau melambat
dibandingkan triwulan IV 2015 yang tercatat
sebesar 5,9% (yoy). Meskipun demikian,
pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2016 ini
masih lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2015.
Perekonomian seluruh provinsi di Jawa, kecuali
Banten, pada triwulan I 2016 mengalami
perlambatan jika dibandingkan triwulan
sebelumnya.
Tabel III.1. Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Jawa
Sumber : BPS dan Perkiraan Bank Indonesia
Sumber : BPS
Grafik III.1. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Menurut Penggunaan
Perlambatan ekonomi Jawa bersumber dari
melambatnya pertumbuhan konsumsi
pemerintah dan masih terbatasnya perbaikan
kinerja ekspor luar negeri. Perlambatan ekonomi
yang lebih dalam dapat ditahan oleh peningkatan
konsumsi rumah tangga yang tercatat sebesar
4,9% (yoy).
I II III IV I IIp
Banten 5.47 5.51 5.21 5.90 4.87 5.37 5.15 5.35
DKI Jakarta 5.87 5.54 5.33 6.12 6.48 5.88 5.62 6.19
Jawa Barat 5.09 4.91 4.94 5.02 5.23 5.03 5.08 5.19
Jawa Tengah 5.24 5.64 5.06 5.00 6.08 5.44 5.12 5.42
D.I. Yogyakarta 5.16 4.26 4.63 5.33 5.50 4.94 5.04 5.21
Jawa Timur 5.86 5.09 5.23 5.53 5.94 5.44 5.34 5.64
Jawa 5.57 5.20 5.15 5.51 5.87 5.45 5.31 5.63
Provinsi 20142015
20152016
26
Pelonggaran kebijakan moneter, tingkat inflasi
yang terjaga pada level yang rendah dan stabil
serta peningkatan optimisme konsumen yang
tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumsen (IKK)
memberikan dukungan yang cukup bagi
perbaikan konsumsi RT (Grafik III.2). Selain itu,
perbaikan konsumsi RT juga tercermin dari
pertumbuhan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB)
dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) yang
membaik, meskipun masih lebih rendah
dibanding triwulan I tahun 2015.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik III.2. Perkembangan KPR, KKB dan Indeks Keyakinan Konsumen
Sumber : Bank Indonesia
Grafik III.3. Perkembangan Investasi – Liaison dan SKDU
Peningkatan optimisme pelaku ekonomi
sebagaimana diindikasikan oleh hasil SKDU
triwulan I 2016, mendorong pertumbuhan
investasi di Jawa pada triwulan laporan, terutama
investasi non-bangunan swasta. Investasi PMA
tumbuh sebesar 5,9% (yoy), sedangkan investasi
PMDN tumbuh 12,2% (yoy), lebih tinggi
dibanding triwulan sebelumnya. Di sisi lain,
belanja infrastruktur pemerintah masih tumbuh
positif meskipun masih terbatas pada awal tahun.
Sumber : BKPM
Grafik III.4. Perkembangan Realisasi Investasi
Kinerja ekspor kawasan Jawa tumbuh meningkat
di triwulan I 2016 menjadi 6,7% (yoy), terutama
didorong oleh perdagangan antar daerah.
Sementara, perdagangan luar negeri masih dalam
fase kontraksi meskipun sudah lebih kecil
penurunannya. Peningkatan ekspor ke Eropa,
USA, Jepang dan Tiongkok yang memiliki pangsa
sekitar 50% dari total ekspor, tercatat membaik,
khususnya terkait komoditas emas perhiasan,
ikan dan produk olahan ikan, dan alas kaki. Di sisi
lain, kinerja impor tumbuh positif didorong oleh
peningkatan impor barang konsumsi seperti
makanan dan minuman.
Sumber : Bloomberg, MARKIT dan FXSTREET
Grafik III.5. Purchasing Manager Index (PMI) Mitra Dagang Utama
Pada triwulan II 2016, kinerja perekonomian Jawa
diprakirakan meningkat sebesar 5,6% (yoy)
terutama didorong oleh konsumsi yang menguat,
nilai tukar yang stabil, efek penurunan BI Rate,
akselerasi belanja dan investasi pemerintah serta
perbaikan kinerja ekspor luar negeri. Seluruh
provinsi di Jawa diprediksi akan mengalami
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan
27
ini juga terindikasi dari angka Likert Scale8 (LS)
hasil Liaison Bank Indonesia, khususnya angka
proyeksi penjualan domestik, yang menunjukkan
menguatnya konsumsi domestik.
Kinerja Lapangan Usaha
Di sisi lapangan usaha, perlambatan
pertumbuhan ekonomi triwulan I 2016 Jawa
disebabkan oleh menurunnya kinerja industri
pengolahan, konstruksi dan pertanian.
Sementara, kinerja lapangan usaha perdagangan
tetap terjaga didukung konsumsi masyarakat
yang masih kuat.
Sumber: BPS
Grafik III.6. Pertumbuhan Lapangan Usaha Utama di Jawa
Industri Pengolahan
Industri pengolahan tumbuh melambat pada
triwulan I 2016. Lapangan usaha ini tumbuh
sebesar 4,5% (yoy), lebih rendah dibanding
triwulan IV 2015 yang sebesar 4,8% (yoy). Hal ini
disebabkan oleh penurunan kinerja beberapa
sub-lapangan usaha industri, diantaranya industri
elektronik, semen dan logam. Perlambatan sub
lapangan usaha elektronik salah satunya
disebabkan adanya penutupan beberapa
perusahaan besar di wilayah Jawa. Sementara itu,
laju investasi bangunan yang melambat pada
triwulan I 2016 membuat permintaan akan
semen dan logam menurun. Perlambatan kinerja
industri pengolahan yang lebih dalam ditahan
oleh membaiknya kinerja industri makanan-
minuman, tekstil dan tembakau yang tercatat
8 Likert scale (LS) merupakan salah satu tools dalam statistic yang
digunakan untuk menilai beberapa variabel/indikator. Skala LS adalah -5 untuk penurunan signifikan dan 5 untuk peningkatan signifikan.
meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi
masyarakat dan ekspor. Sementara, industri
kimia tumbuh stabil setelah sempat menurun
pada triwulan IV 2015 akibat menurunnya
kapasitas produksi terutama pada produk naphta
cracker.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik III.7. Perkembangan Industri Pengolahan – Liaison dan SKDU
Kinerja industri pengolahan di seluruh provinsi
tercatat melambat, kecuali Provinsi Banten yang
mengalami peningkatan pertumbuhan.
Membaiknya kinerja industri Banten bersumber
dari perbaikan kinerja industri kimia seiring
meningkatnya kapasitas produksi dan juga
meningkatnya ekspor pakaian jadi.
Sumber: BPS
Grafik III.8. Pertumbuhan Lapangan Usaha Industri Pengolahan di Jawa
Pada triwulan II 2016, kinerja industri
pengolahan diprakirakan mengalami perbaikan.
Kondisi ini didorong oleh peningkatan produksi
sebagai antisipasi menjelang hari besar
keagamaan serta berlanjutnya pemulihan
ekonomi di negara mitra dagang utama
khususnya pada komoditas tekstil dan produk
28
turunannya yang ditujukan ke negara Amerika
Serikat dan Eropa.
Konstruksi
Kinerja lapangan usaha konstruksi melambat
cukup dalam pada triwulan I 2016. Konstruksi
tumbuh sebesar 3,9% (yoy), lebih rendah dari
triwulan sebelumnya yang 5,6% (yoy). Kondisi ini
disebabkan oleh menurunnya kinerja properti
swasta yang tercermin melalui penjualan semen
dan logam baja. Provinsi dengan perlambatan
konstruksi terdalam adalah Banten dan DKI
Jakarta.
Sumber: BPS
Grafik III.9. Pertumbuhan Lapangan Usaha Konstruksi di Jawa
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Grafik III.10. Konsumsi Semen Jawa
Penurunan kinerja lapangan usaha konstruksi
juga terkonfirmasi dari hasil liaison, dimana
beberapa pengembang properti residensial di
Jabodetabek menyatakan target penjualan tahun
2015 tidak tercapai dan belum berencana untuk
menambah investasi pembangunan properti baru
di awal tahun 2016. Kondisi ini berbeda dengan
fase boom property di tahun 2013, dimana
banyak properti dijual dengan sistem inden.
Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha
konstruksi diprakirakan meningkat. Hal ini
sejalan dengan pola musiman dimana realisasi
proyek pembangunan pemerintah mulai
mengalami akselerasi setelah diselesaikannya
proses lelang. Proyek-proyek tersebut antara lain
pembangunan Tol Trans Jawa sepanjang 615 km
yang ditargetkan selesai pada tahun 2019
(progress pembebasan lahan mencapai 77% per
triwulan I 2016) dan masih berlangsungnya
proses pembangunan pembangkit listrik sebagai
bagian dari mega proyek 35.000 MW.
Pertanian
Grafik III.11. Pertumbuhan Lapangan Usaha Pertanian
di Jawa
Pertumbuhan lapangan usaha pertanian
terkontraksi menjadi -0,01% (yoy), setelah
triwulan sebelumnya dapat tumbuh 2,4% (yoy) di
triwulan IV 2015. Penurunan tersebut disebabkan
oleh pergeseran musim panen raya ke bulan April
2016 dari biasanya pada bulan Maret.
Penurunan kinerja pertanian terbesar terjadi di
Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan
D.I. Yogyakarta. Kondisi ini terkonfirmasi dari
hasil liaison kepada beberapa Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) di Jawa. Hasil SKDU
juga mengkonfirmasi arah yang serupa (Grafik
III.12).
Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha
pertanian diprakirakan membaik terutama
didorong oleh sub lapangan usaha tanaman
pangan. Hal ini sejalan dengan mulai
berlangsungnya musim panen raya padi dengan
puncak panen pada bulan April 2016. Perbaikan
kinerja lapangan usaha pertanian terkonfirmasi
29
dari ekspektasi pertanian SKDU dan peningkatan
pasokan padi yang tercermin dari perkembangan
harga beras pada April 2016 yang mengalami
deflasi sebesar 1,2% (mtm).
Sumber : Bank Indonesia
Grafik III.12. Perkembangan Lapangan Usaha Pertanian – Liaison dan SKDU
Perdagangan
Lapangan usaha perdagangan menjadi salah
satu sumber pertumbuhan wilayah Jawa di
triwulan laporan. Perdagangan tumbuh 5,1%,
dari 4,0% pada triwulan V 2015. Perbaikan
perdagangan ditopang oleh membaiknya
permintaan domestik sejalan dengan masih
terjaganya daya beli masyarakat. Kondisi ini
tercermin dari perbaikan Indeks Penjualan Riil
(IPR) pada Survei Penjualan Eceran (SPE) dan
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Survei
Konsumen (SK). Hasil liaison juga menunjukkan
peningkatan dengan likert scale dari 0,17 di
triwulan IV 2015 menjadi 0,61 di triwulan I 2016.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik III.13. Penjualan Riil dan Keyakinan Konsumen – SPE dan SKDU
Perbaikan lapangan usaha perdagangan
berlangsung di sebagian besar Jawa terutama di
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan D.I. Yogyakarta. Sementara itu, perdagangan
luar negeri juga mengalami perbaikan seiring
dengan perbaikan kondisi ekonomi negara mitra
dagang Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.
Indikasi peningkatan permintaan terlihat dari
membaiknya Purchasing Managers Index (PMI).
Pada triwulan II 2016, kinerja lapangan usaha
perdagangan diperkirakan meningkat sejalan
dengan pola seasonal menjelang hari besar
keagamaan. Selain itu, terjaganya daya beli
masyarakat juga ditopang oleh tingkat inflasi
yang relatif rendah serta nilai tukar yang
cenderung stabil dan menguat. Sejalan dengan
hal tersebut, hasil SKDU juga menunjukkan
peningkatan ekspektasi kinerja perdagangan
pada triwulan II 2016.
Sumber: BPS
Grafik III.14. Pertumbuhan Lapangan Usaha Perdagangan di Jawa
Sumber : BPS
Grafik III.15. Perkembangan Ekspor Luar Negeri Jawa
Jasa Keuangan
Lapangan usaha jasa keuangan tumbuh
melambat pada triwulan laporan. Jasa keuangan
tumbuh sebesar 10,2% (yoy), lebih rendah
dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai
30
15,2% (yoy). Kondisi ini sejalan dengan masih
melambatnya penyaluran kredit oleh perbankan
yang mencapai single digit di awal tahun 2016.
Perlambatan sub lapangan usaha perbankan,
yang memiliki pangsa terbesar dalam lapangan
usaha jasa keuangan, menahan laju pertumbuhan
jasa keuangan secara umum. Financial
Intermediation Services Indirectly Measured
(FISIM) atau pendapatan dari hasil intermediasi
perbankan pada triwulan I 2016 juga tercatat
menurun dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan provisi atau komisi
perbankan juga melambat seiring lesunya
permintaan kredit. Perlambatan perbankan di DKI
Jakarta menekan pertumbuhan jasa keuangan
secara keseluruhan.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik III.16. Pertumbuhan FISIM di Jawa
Lapangan usaha jasa keuangan diperkirakan
relatif stabil pada triwulan II 2016. Hal ini
disebabkan masih terbatasnya pertumbuhan
kredit di seluruh provinsi di Jawa. Akibatnya,
pendapatan perbankan dari provisi dan komisi
diperkirakan juga masih akan tumbuh stabil.
Fiskal Daerah
Total anggaran belanja fiskal pemerintah
provinsi/kabupaten/kota di wilayah Jawa
mengalami peningkatan dibandingkan tahun
2015. Anggaran belanja APBD Jawa sebesar
Rp375 triliun untuk keseluruhan tahun 2016,
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang sebesar Rp365 triliun.
Peningkatan terutama berasal dari anggaran
untuk belanja hibah dan belanja pegawai.
Peningkatan total anggaran belanja, tidak diikuti
oleh peningkatan anggaran belanja modal yang
menurun 8,81% (yoy). Penurunan anggaran
belanja modal terutama terjadi di Provinsi DKI
Jakarta dan Jawa Timur, yang diperkirakan terjadi
karena pertimbangan serapan belanja modal
tahun 2015 yang masih belum optimal.
Sementara itu, peningkatan anggaran belanja
modal di Jawa Barat, DIY dan Jawa Tengah masih
terus berlanjut sebagai dukungan bagi realisasi
proyek pembangunan infrastruktur strategis,
seperti pembangunan Bandara Internasional
Kertajati (Jawa Barat) dan Bandara Internasional
Ahmad Yani (Jawa Tengah) meski masih
membutuhkan tambahan dana dari APBN.
Tabel III.2. Realisasi APBD Provinsi dan Kab/Kota
Sumber: TEPRA (diolah)
Realisasi belanja APBD provinsi maupun
kabupaten/kota pada triwulan laporan lebih
tinggi dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya. APBD Jawa triwulan I 2016 telah
terealisasi sebesar 10,43% dari target 13,14%.
Realisasi tertinggi dicatatkan oleh DKI Jakarta,
Jawa Timur dan Jawa Tengah (Tabel III.2). Namun
demikian, pencapaian realisasi APBD sebagian
besar daerah masih lebih rendah dibandingkan
target triwulan I tahun 2016.
Anggaran pendapatan Pemerintah Provinsi di
Jawa meningkat 8,04% (yoy). Kenaikan tertinggi
anggaran pendapatan terjadi di DKI sebesar Rp
59 triliun, sejalan dengan upaya Pemerintah DKI
Q1 '16 Q1 '16
(target) (realisasi)
Jawa Barat1
9,83% 18,79% 11,46%
Banten2 9,76% 16,78% 9,51%
Jawa Tengah3
9,74% 8,31% 6,49%
DIY4
9,12% 14,63% 11,78%
Jawa Timur5
9,53% 18,69% 12,06%
DKI Jakarta6 0,85% 0,21% 10,65%
Jawa7
7,79% 13,14% 10,43%1) Data APBD Provinsi & APBD 18 dari 27 kab/kot (63%) di Prov Jabar
2) Data APBD Provinsi & APBD 6 dari 8 kab/kot (75%) di Prov Banten
3) Data APBD Provinsi & APBD 17 dari 35 kab/kot (49%) di Prov Jateng
4) Data APBD Provinsi & 5 kab/kota (100%) di Prov DIY
5) Data APBD Provinsi & APBD 17 dari 38 kab/kot (63%) di Prov Jatim
6) Data total APBD DKI Jakarta
7) Data APBD 6 Prov & 76 kab/kot (64%)
Provinsi Q1 '15
31
untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) melalui kenaikan NJOP PBB (Pajak Bumi
dan Bangunan), kenaikan pajak kendaraan dan
bea balik nama, retribusi parkir on the street dan
pemasangan TPE (Terminal Parkir Elektronik).
Perkembangan Inflasi
Tekanan inflasi Jawa pada triwulan pertama
tahun 2016 masih terjaga, meski secara tahunan
laju inflasi mengalami peningkatan. Pada
triwulan I 2016 inflasi Jawa tercatat pada level
3,93% (yoy), lebih tinggi dibandingkan realisasi
akhir tahun sebesar 3,12% (yoy). Pencapaian
inflasi Jawa tersebut masih berada di bawah
realisasi inflasi nasional yang tercatat 4,45%
(yoy). Dengan demikian, laju inflasi kalendar pada
triwulan I 2016 tercatat pada angka 0,53% (ytd),
di bawah angka historisnya dalam 5 tahun
terakhir.
Sumber : BPS (diolah)
Grafik III.17. Perkembangan Inflasi Jawa dan Nasional
Tekanan inflasi pada triwulan laporan didorong
oleh naiknya harga beberapa komoditas volatile
foods (VF). Tekanan inflasi dari kelompok inti
relatif stabil. Sementara, tekanan inflasi lebih
tinggi dapat tertahan oleh deflasi yang terjadi
pada kelompok administered prices sepanjang
triwulan I 2016, yaitu pada komoditas BBM dan
Tarif Tenaga Listrik (TTL). Peningkatan laju inflasi
tahunan terjadi di seluruh daerah Jawa.
Terjaganya laju inflasi di Provinsi DKI Jakarta,
yang memiliki bobot terbesar dalam perhitungan
inflasi, dapat menahan tekanan inflasi Jawa yang
lebih besar.
Sumber : BPS (diolah)
Grafik III.18. Disagregasi Kelompok Inflasi
Tekanan inflasi kelompok volatile foods berasal
dari melonjaknya harga aneka cabai dan bawang
merah akibat bergesernya masa panen yang
disertai dengan curah hujan tinggi. Namun
demikian, masa panen untuk kedua komoditas
tersebut yang berlangsung pada awal triwulan II
2016 mengakibatkan tekanan harga komoditas
tersebut mulai berkurang di akhir triwulan I 2016.
Inflasi bahan pangan tertinggi terjadi pada
Provinsi Jawa Tengah karena pasokan bawang
merah yang terindikasi lebih banyak keluar dari
Jawa Tengah. Sementara itu, laju inflasi VF yang
lebih tinggi dapat ditahan oleh penurunan harga
daging ayam ras dan telur ayam ras seiring
berangsur pulihnya pasokan Day Old Chicken
(DOC). Secara umum, laju inflasi bulanan
kelompok volatile foods pada triwulan I 2016
relatif di bawah angka historisnya 5 tahun
terakhir.
Tabel III.3. Komoditas Penyumbang Inflasi dan Deflasi
Sumber: BPS (diolah)
Tekanan pada kelompok administered prices
cukup rendah, meski secara tahunan realisasi
qtq andil qtq qtq andil qtq
1 Cabai Merah 0.37 0.15 1 Daging Ayam Ras 0.99 -0.07
2 Bawang Merah 0.32 0.12 2 Telur Ayam Ras 0.61 -0.05
3 Bawang Putih 0.14 0.04 3 Wortel 0.06 -0.01
1 Rokok Kretek Filter 1.25 0.04 1 Bensin 2.69 -0.15
2 Rokok Kretek 0.73 0.02 2 Angkutan Udara 0.46 -0.12
3 Rokok Putih 0.33 0.01 3 Tarif Listrik 2.45 -0.07
1 Emas Perhiasan 1.14 0.07 1 Telepon Seluler 0.75 -0.01
2 Mobil 1.77 0.02 2 Besi Beton 0.19 0.00
3 Sewa Rumah 3.43 0.02 3 Kamera 0.10 0.00
Core Inflation Core Inflation
Komoditas Inflasi Komoditas Deflasi
Volatile Food Volatile Food
Administered Prices Administered Prices
32
inflasi pada triwulan pertama tahun 2016 lebih
tinggi dibandingkan dengan akhir tahun 2015.
Kelompok administered prices tercatat
mengalami deflasi dalam 3 bulan pertama tahun
2016 dan berada di bawah rata-rata pencapaian
dalam 5 tahun terakhir. Rendahnya tekanan
inflasi disebabkan oleh turunnya harga BBM,
yaitu premium dan solar pada bulan Januari,
serta bahan bakar non subsidi di sepanjang
triwulan I 2016 seiring dengan harga minyak
dunia yang masih berada pada level rendah.
Lebih lanjut, kondisi harga minyak dunia disertai
terjaganya nilai tukar rupiah juga mendorong
penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan
memberikan sumbangan deflasi yang cukup
besar.
Selain itu, tarif angkutan udara juga mengalami
penurunan setelah mengalami masa puncaknya
pada liburan akhir tahun, didukung pula oleh
penurunan harga bahan bakar avtur. Di sisi lain,
cukai rokok tahun 2016 yang diberlakukan sejak
akhir 2015 lalu masih memberikan dampak
terhadap kenaikan harga rokok kretek dan rokok
kretek filter. Komoditas tersebut konsisten
menyumbang inflasi sepanjang triwulan laporan
meski magnitude-nya tidak terlalu besar.
Tabel III.4. Perkembangan Inflasi Spasial
Sumber : BPS (diolah)
Pada kelompok inti, tekanan inflasi relatif stabil
dan secara tahunan tercatat lebih rendah
dibandingkan periode sebelumnya. Nilai tukar
rupiah yang relatif stabil dan menguat pada awal
tahun mendukung terjaganya infasi kelompok
inti. Tekanan inflasi inti berasal dari peningkatan
harga emas internasional dan penyesuaian harga
mobil oleh Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM)
memasuki awal tahun 2016.
Memasuki triwulan II 2016, wilayah Jawa
mencatatkan deflasi sebesar 0,35% (mtm) pada
April 2016. Deflasi disebabkan oleh menurunnya
harga aneka cabai seiring sudah mulai masuknya
musim panen. Terjaganya pasokan beras juga
menahan tekanan inflasi seiring panen raya beras
yang mulai berlangsung di beberapa daerah
sentra produksi. Selain itu, tekanan inflasi yang
rendah juga didorong oleh adanya penyesuaian
harga dari beberapa komoditas administered
prices seperti bensin dan tarif tenaga listrik.
Dengan demikian, tekanan inflasi pada triwulan
II 2016 diperkirakan akan menurun meski akan
memasuki periode peningkatan permintaan
menjelang hari besar keagamaan. Rendahnya
tekanan dari kelompok volatile foods seiring
dengan kondisi pasokan yang relatif terjaga dan
kelompok administered prices, membantu
terjaganya laju inflasi sepanjang triwulan II 2016.
Sementara itu, tekanan terbesar diperkirakan
akan berasal dari kelompok inti dengan
meningkatnya permintaan barang menjelang
bulan puasa dan hari raya Idul Fitri.
Sumber : BPS (diolah) dan Bank Indonesia
Grafik III.19. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei Konsumen
Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) provinsi
maupun kabupaten/kota telah menjalankan
berbagai program dalam upayanya membantu
menjaga kestabilan harga, khususnya komoditas
bahan pangan. Tingkat inflasi kelompok bahan
pangan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan D.I.
Yogyakarta yang relatif tinggi perlu mendapatkan
perhatian lebih lanjut. Beberapa program TPID
seperti operasi pasar dan sidak ke pasar telah
2014 2016
IV I II III IV I
Jawa Barat 7.60 5.46 6.51 6.11 2.73 3.78
Banten 10.20 7.46 8.91 8.14 4.29 5.70
Jawa Tengah 8.21 5.68 6.15 5.78 2.73 4.21
DIY 6.59 5.13 5.68 5.23 3.09 3.69
Jawa Timur 7.77 6.08 6.77 6.70 3.08 3.71
DKI Jakarta 8.95 7.10 7.59 7.24 3.30 3.62
Jawa 8.35 6.28 7.07 6.71 3.12 3.93
Nasional 8.36 6.38 7.26 6.83 3.35 4.45
2015
33
dilakukan dalam meminimalisir kenaikan harga
bahan pangan lebih lanjut.
Pada tahun 2015 hingga kuartal pertama tahun
2016, seluruh provinsi tengah mengembangkan
berbagai fitur dalam Pusat Informasi Harga
Pangan Strategis (PIHPS) untuk mengurangi
asymmetric information antara pihak produsen
dan konsumen. Sebagai informasi, saat ini PIHPS
berbentuk website telah dimiliki seluruh provinsi,
yaitu SIGAP (Banten), PRIANGAN (Jawa Barat),
Informasi Pangan Jakarta (DKI Jakarta), SiHaTi
(Jawa Tengah), TPID-DIY (D.I. Yogyakarta) dan
Siskaperbapo (Provinsi Jawa Timur).
Salah satu fitur yang sedang dikembangkan dan
saat ini telah tersedia pada PIHPS Provinsi Jawa
Tengah adalah Early Warning System (EWS). Fitur
tersebut sangat berguna dalam memberikan
peringatan dini terhadap adanya lonjakan harga
komoditas yang tidak wajar. Dengan adanya
peringatan tersebut, maka Pemerintah Daerah
bersama dengan instansi terkait dapat segera
merencanakan action plan untuk mengantisipasi
peningkatan harga lebih lanjut.
Dalam upayanya menjaga kestabilan harga-harga
pada triwulan II 2016 dan menjelang bulan
Ramadhan dan Lebaran, TPID
Provinsi/Kabupaten/Kota telah menyiapkan
berbagai program antara lain pelaksanaan pasar
murah dan bantuan ongkos angkut untuk
komoditas strategis, kerjasama antar instansi
terkait penyediaan stok beras dan daging sapi,
dan kerjasama dengan pihak kepolisian dalam
rangka pencegahan penimbunan, serta edukasi
masyarakat dalam pengendalian ekspektasi.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Perlambatan ekonomi domestik berimbas pada
melemahnya performa korporasi industri
pengolahan. Beberapa indikator seperti Return of
Asset (ROA), Return of Equity (ROE) serta profit
margin mengalami penurunan hingga akhir 2015.
Selain itu, rasio asset turnover dan inventory
turnover juga cenderun menurun.
Rasio rentabilitas korporasi yang memburuk
tidak berdampak signifikan terhadap ketahanan
korporasi dari sisi likuiditas, solvabilitas dan
repayment capacity yang masih cukup terjaga
baik. Rasio kemampuan bayar korporasi terhadap
utang masih terlihat baik dengan tingkat Interest
Coverage Ratio (ICR) yang meningkat serta Debt
Service Ratio (DSR) yang relatif stabil pada level
122%. Tingkat Debt to Equity Ratio (DER)
korporasi manfaktur di Jawa juga mengalami
penurunan dalam merespon melambatnya
pertumbuhan ekonomi domestik.
Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk
di Jawa)
Grafik III.20. Kredit Korporasi Sektor Utama
Sementara itu, rasio likuiditas (current ratio)
cenderung meningkat yang sejalan dengan
adanya peningkatan DPK dari sektor korporasi
manufaktur. Namun demikian, peningkatan
likuiditas korporasi dapat memberikan sinyal
akan adanya sikap sektor swasta untuk
melakukan konsolidasi internal guna penguatan
modal seiring menurunnya permintaan akan
kredit.
Tingkat solvabilitas atau ketahanan korporasi
dalam memenuhi kewajiban jangka panjang
yang tercermin dalam rasio Total Asset/Total
Liabilities (TA/TL) korporasi manufaktur di Jawa
mengalami peningkatan. Rasio TA/TL mengalami
peningkatan dari 1,41 menjadi 1,54, menandakan
34
makin kuatnya kemampuan perusahaan dalam
menutupi keseluruhan utang atau kewajiban.
Mayoritas korporasi industri pengolahan
mengalami peningkatan rasio solvabilitas, kecuali
untuk sub lapangan usaha semen yang sedikit
menurun, sementara solvabilitas sub lapangan
usaha otomotif dan komponennya relatif stabil.
Tabel III.5. Indikator Kinerja Korporasi
Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk
di Jawa)
Sejalan dengan tingkat solvabilitas yang baik,
kemampuan korporasi dalam membayar pokok
utang maupun beban bunga masih tergolong
baik. Kemampuan membayar bunga atau rasio
ICR memiliki kecenderungan meningkat. ICR
manufaktur di Jawa pada tahun 2015 mengalami
peningkatan menjadi 9,83, dari 7,10 pada 2014.
Peningkatan rasio ICR menunjukkan resiliensi
perusahaan dalam menghadapi perlambatan
ekonomi meski rasio rentabilitas korporasi
mengalami penurunan. Berdasarkan sektoralnya,
hanya ICR dari sub lapangan usaha semen dan
tekstil & garmen yang sedikit memburuk. Namun
demikian, rasio ICR untuk kedua sub lapangan
usaha tersebut masih berada di atas 2 (dua)
sehingga EBIT korporasi masih mampu menutupi
beban bunganya. Sementara itu, terdapat
beberapa sub lapangan usaha manufaktur yang
perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut terkait
dengan peningkatan DSR, yaitu industri pulp &
kertas serta kimia dan sejenisnya.
Tabel III.6. Indikator Kemampuan Bayar Korporasi
Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk
di Jawa)
Sumber: Bloomberg (diolah dari 38 korporasi manufaktur Tbk
di Jawa)
Grafik III.21. Indikator Kemampuan Bayar Korporasi
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Jawa
yang melambat, penyaluran kredit berdasarkan
lokasi proyek turut mengalami perlambatan.
Pertumbuhan kredit Jawa secara keseluruhan
tercatat sebesar 8,21% (yoy), melambat
dibandingkan posisi akhir tahun 2015 yang
10,71% (yoy). Realisasi tersebut juga lebih rendah
dari pencapaian pertumbuhan nasional yang
mencapai 8,52% (yoy) dan merupakan yang
terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Perlambatan kredit Jawa terjadi baik pada
penyaluran kredit dari sektor korporasi maupun
rumah tangga.
Kredit korporasi triwulan I 2016 tumbuh sebesar
9,58% (yoy), melambat dibanding triwulan
sebelumnya yang sebesar 13,38% (yoy).
Perlambatan penyaluran kredit terjadi pada
kredit modal kerja dan investasi, masing-masing
sebesar 8,74% (yoy) dan 11,84% (yoy) dibawah
pencapaian periode sebelumnya. Perlambatan
2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015
1 Pulp & kertas 1.81 2.81 5.19 7.63 1.75 1.69 1.57 1.59
2 Semen 15.12 11.07 20.60 15.31 0.37 0.39 3.68 3.56
3 Logam & sejenisnya -5.43 -10.05 -13.67 -23.19 1.85 1.06 1.54 1.94
4 Kimia & sejenisnya 1.45 1.66 3.09 3.51 1.13 1.10 1.89 1.91
5 Makanan & Minuman 6.85 6.35 13.76 12.77 1.03 0.99 1.97 2.01
6 Rokok 14.40 14.37 29.56 27.02 1.14 0.71 1.88 2.41
7 Otomotif & komponen 7.44 5.12 15.55 10.60 1.07 1.07 1.94 1.93
8 Tekstil & garment 4.68 5.01 8.93 10.13 1.05 1.01 1.96 1.99
7.73 6.21 15.50 12.23 1.01 0.93 1.41 1.54
2014 2015 2014 2015 2014 2015
1 Pulp & kertas 1.34 1.38 0.43 0.41 3.15 3.33
2 Semen 2.43 1.98 0.71 0.65 11.43 12.04
3 Logam & sejenisnya 0.77 0.63 0.69 0.35 3.58 3.11
4 Kimia & sejenisnya 1.45 1.13 1.23 0.75 8.13 6.12
5 Makanan & Minuman 1.90 1.86 0.90 0.86 8.18 8.67
6 Rokok 1.51 2.50 1.65 1.54 2.94 2.83
7 Otomotif & komponen 1.31 1.34 0.85 0.75 11.00 9.15
8 Tekstil & garment 3.14 3.43 0.78 0.72 4.93 4.45
1.52 1.61 5.68 5.19 0.96 0.86
Asset TONo
Subsektor Industri
Pengolahan
Agregat
Current Ratio Inventory TO
NoSubsektor Industri
Pengolahan
Agregat
ROA ROE DER TA/TL
2014 2015 2014 2015
1 Pulp & kertas 206.78 218.12 1.76 2.85
2 Semen 15.95 25.19 21.55 11.09
3 Kimia & sejenisnya 102.49 151.42 1.27 4.15
4 Makanan & Minuman 101.59 92.01 5.73 7.08
5 Rokok 112.29 90.84 9.84 14.92
6 Otomotif & komponen 148.09 139.03 8.86 18.97
7 Tekstil & garment 92.61 78.61 2.98 2.86
121.18 121.53 7.10 9.83
NoSubsektor Industri
Pengolahan
DSR (%) ICR
Agregat
35
kredit korporasi terjadi hampir di seluruh
lapangan usaha ekonomi utama Jawa, kecuali
lapangan usaha jasa keuangan. Lapangan usaha
industri pengolahan, yang memiliki pangsa
terbesar dalam kredit korporasi (33,2% dari total
kredit korporasi), mengalami perlambatan yang
cukup dalam hingga 8,4% (yoy). Penyaluran kredit
lapangan usaha perdagangan turut mengalami
perlambatan, sehingga perlambatan penyaluran
kredit kedua lapangan usaha utama tersebut
menarik turun pertumbuhan kredit korporasi
secara keseluruhan.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.22. Pangsa Kredit Sektor Korporasi
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.23. Penyaluran Kredit Sektoral Korporasi
Melambatnya penyaluran kredit korporasi
industri pengolahan juga tercermin dari
menurunnya rasio DER. Tingkat utang terhadap
ekuitas pada akhir tahun 2015 mengalami
penurunan menjadi 0,93, lebih rendah
dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 1,05.
Menurunnya tingkat DER tersebut
mengindikasikan adanya penurunan preferensi
korporasi dalam menerima pinjaman di tengah
masih melambatnya kinerja korporasi.
Perlambatan penyaluran kredit korporasi
disertai dengan peningkatan risiko kredit, meski
masih berada dalam kategori aman. Pada
triwulan I 2016 ini, risiko kredit korporasi (NPL)
meningkat menjadi 2,76%, lebih tinggi dari rasio
NPL secara keseluruhan yang sebesar 2,64%.
Menurunnya kualitas kredit korporasi terutama
disumbang oleh kredit modal kerja, yang
mengalami peningkatan NPL cukup tinggi
menjadi 3,05%, dari 2,37% pada triwulan
sebelumnya. Berdasarkan sektor ekonomi,
peningkatan risiko kredit tertutama terjadi pada
sektor perdagangan, yaitu menjadi 4,58%, jauh
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya
yang sebesar 3,17%.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.24. Rasio NPL Kredit Sektoral Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.25. Pangsa DPK Perseorangan
36
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.26. Pertumbuhan DPK Perseorangan
Perlambatan pertumbuhan DPK perseorangan
disumbang oleh penurunan deposito. Dengan
pangsa mencapai 46% dari total DPK, penurunan
deposito pada triwulan I 2016 sebesar 4,01%
(yoy), menahan pertumbuhan DPK secara
keseluruhan. Sementara, tabungan tumbuh
9,67% (yoy), menunjukkan kecenderungan
perbaikan sejak triwulan III 2015. Hal ini
mengindikasikan adanya perubahan preferensi
rumah tangga dalam memilih jenis DPK yang
lebih likuid, seiring dengan kondisi ekonomi yang
tidak terlalu kondusif di 2015.
Kredit Perseorangan di Perbankan
Kredit rumah tangga tumbuh melambat dari
9,93% (yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 9,86%
(yoy) pada triwulan I 2016. Perlambatan
penyaluran kredit rumah tangga utamanya
disumbang oleh kredit multiguna yang tumbuh
13,69% (yoy), lebih rendah dari triwulan
sebelumnya sebesar 14,54% (yoy). Peningkatan
pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan
Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), belum mampu
menahan perlambatan kredit rumah tangga
secara keseluruhan. Peningkatan KPR dan KKB
sejalan dengan hasil Survei Konsumen yang
menunjukkan adanya kenaikan optimisme
masyarakat terhadap pembelian barang tahan
lama.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.27. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Perbaikan permintaan KPR berasal dari kenaikan
permintaan KPR untuk tipe rumah sampai dengan
21 serta tipe di atas 70. KPR tipe rumah di atas 70
tumbuh hingga 6,06% (yoy), sementara
pertumbuhan KPR untuk tipe rumah sampai
dengan 21 membaik menjadi -6,41% (yoy) dari -
9,20% (yoy) pada triwulan sebelumnya.
Permintaan akan Kredit Pemilikan Apartemen
dan Ruko juga mengalami peningkatan.
Meningkatnya permintaan kredit terkait properti
sejalan dengan hasil Survei Harga Properti
Residensial (SHPR) yang menunjukkan adanya
peningkatan indeks harga di seluruh kota besar di
Jawa. Sementara itu, penjualan kendaraan
bermotor roda 4 (empat) dan roda 2 (dua) pada
triwulan I 2016 tumbuh membaik menjadi 1,72%
(yoy), dari kuartal sebelumnya yang sebesar
1,18% (yoy).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.28. Perkembangan KPR
37
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.29. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga
Risiko kredit rumah tangga mengalami
peningkatan. Rasio NPL untuk kredit rumah
tangga tercatat meningkat ke level 1,62%, lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar
1,43%. Risiko kredit yang meningkat disumbang
oleh semua jenis kredit rumah tangga dengan
dengan kenaikan terbesar pada rasio NPL KPR
dan kredit multiguna. Memburuknya kualitas KPR
terjadi di seluruh tipe KPR, dengan kenaikan rasio
NPL tertinggi pada tipe di atas 70. Peningkatan
risiko kredit KPR terutama terjadi di provinsi DKI
Jakarta.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
Sistem Pembayaran Non-Tunai
Jumlah transaksi Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI) pada triwulan I 2016
mengalami penurunan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Volume transaksi SKNBI tercatat
turun dari 25,5 juta transaksi menjadi 24 juta
transaksi. Sementara berdasarkan nominalnya,
transaksi SKNBI mengalami peningkatan menjadi
Rp 874 triliun atau tumbuh 46,9% (yoy).
Peningkatan nominal SKNBI terjadi di hampir
seluruh wilayah Jawa, kecuali DKI Jakarta. Secara
nominal, pangsa SKNBI untuk DKI Jakarta
mencapai 69%, sehingga pertumbuhan SKNBI
lebih lanjut tertahan oleh penurunan DKI Jakarta.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.30. Volume Transaksi SKNBI Jawa
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.31. Nominal Transaksi SKNBI Jawa
Pengelolaan Uang Rupiah
Pada triwulan I 2016 wilayah Jawa mengalami
net-inflow sebesar Rp 43,6 triliun, berbeda
dibandingkan periode sebelumnya yang
mengalami net-outflow. Nominal inflow
mengalami peningkatan pertumbuhan yang
tinggi, dari 1,16% (yoy) pada triwulan IV 2015
menjadi 16,75% (yoy) di triwulan I 2016.
Sebaliknya, pertumbuhan outflow melambat
cukup dalam menjadi 16,90% (yoy), setelah
sebelumnya dapat tumbuh hingga 38,02% (yoy).
Seluruh provinsi mengalami net-inflow atau
sesuai dengan pola historisnya yang juga selalu
mengalami net-inflow di awal tahun. Namun,
khusus untuk DKI Jakarta, net-inflow yang dialami
pada triwulan I 2016 ini merupakan yang
pertama kali dalam 3 tahun terakhir.
38
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.32. Perkembangan Inflow dan Outflow
Jumlah uang palsu (atau yang diragukan
keasliannya) yang dilaporkan kepada Bank
Indonesia pada triwulan pertama tahun 2016
tercatat sebanyak 43.402 lembar, meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya yang
sebanyak 39.169 lembar. Peningkatan pelaporan
uang palsu salah satunya disebabkan oleh
meningkatnya arus inflow di Jawa. Selanjutnya
dalam mengantisipasi peningkatan uang palsu,
upaya-upaya edukasi kepada masyarakat terkait
ciri-ciri keaslian uang rupiah akan senantiasa
ditingkatkan. Hal tersebut juga akan didukung
oleh penguatan koordinasi dengan perbankan
dan pihak berwajib mengenai penanganan
laporan masyarakat terkait uang yang diragukan
keasliannya.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri
wilayah Jawa senantiasa memastikan
ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat di
wilayah kerja baik melalui kerjasama dengan
perbankan maupun penyelenggaraan layanan kas
keliling. Pada triwulan pertama tahun 2015,
jumlah pemusnahan UTLE menglami peningkatan
dari Rp 29,59 triliun, menjadi Rp 38,41 triliun.
Peningkatan pemusnahan UTLE sejalan dengan
meningkatnya net inflow pada triwulan I 2016
serta komitmen Bank Indonesia dalam menjaga
kelayakan uang beredar.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.33. Perkembangan Penemuan Uang Palsu
Sumber: Bank Indonesia
Grafik III.34. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kawasan Jawa pada 2016
diprakirakan tumbuh lebih baik pada kisaran
5,6%-6,0% (yoy). Prakiraan ini sedikit lebih
rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya.
Optimisme perbaikan ekonomi tahun 2016
bersumber dari komitmen pemerintah untuk
mempercepat belanja infrastruktur. Selain itu,
potensi perbaikan permintaan negara mitra
dagang, yaitu Amerika Serikat, Jepang, ASEAN
dan Eropa serta adanya pelonggaran kebijakan
moneter diperkirakan mampu mendukung
pemulihan ekonomi Jawa.
Dari sisi permintaan, perbaikan ekonomi juga
bersumber dari optimisme peningkatan
konsumsi baik rumah tangga maupun
pemerintah serta pemulihan minat investasi
swasta. Sementara itu, seiring dengan optimisme
peningkatan konsumsi dan pemulihan minat
investasi swasta, seluruh lapangan usaha utama
di Jawa berpotensi mengalami peningkatan
39
kinerja, khususnya pada lapangan usaha industri
pengolahan dan perdagangan. Berbagai indikator
ekonomi baik dari sumber liaison maupun survei
mengindikasikan perbaikan persepsi dan
ekspektasi terhadap kondisi perekonomian,
peningkatan pendapatan dan rencana akselerasi
proyek infrastruktur Pemerintah pada tahun
2016.
Di sisi lain, masih terdapat risiko dari penurunan
harga komoditas dan implementasi lelang dini
yang tidak optimal serta asumsi pemulihan
ekonomi global yang tidak sebesar perkiraan
semula. Penerimaan negara juga diperkirakan
dibawah target sehingga memicu pengetatan
belanja. Selain itu, kinerja perdagangan antar
daerah dengan wilayah Jawa berpotensi
terganggu seiring dengan belum pulihnya harga
komoditas tambang dan perkebunan yang
mempengaruhi kinerja ekonomi wilayah luar
Jawa yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA).
Risiko anomali cuaca La Nina turut memberikan
potensi risiko banjir yang dapat mengganggu
capaian produksi pertanian Jawa.
Selain beberapa faktor yang telah disebutkan
sebelumnya, momen pemulihan ekonomi Jawa
juga dipengaruhi oleh tingkat optimalisasi peran
perkotaan yang memiliki share besar dalam
perekonomian Jawa. Optimaliasi peran
perkotaan mensyaratkan adanya konektivitas
yang berkualitas baik di dalam wilayah perkotaan
tersebut maupun dengan wilayah penopang
sekitarnya. Saat ini, perkembangan daerah
perkotaan di berbagai wilayah Jawa dihadapkan
pada permasalahan kemacetan yang
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup
signifikan, terutama akibat minimnya efisiensi
kegiatan transportasi/distribusi. Di lain sisi,
perekonomian perkotaan yang efisien akan
meningkatkan daya saing kota, sehingga
perkotaan akan mampu mendukung akselerasi
pemulihan ekonomi Jawa yang lebih baik (Lihat
Boks: Kemacetan: meningkatkan biaya logistik
dan menghilangkan potensi petumbuhan
ekonomi).
Prospek Inflasi
Laju inflasi tahunan Jawa pada 2016
diperkirakan lebih tinggi dari 2015 namun masih
akan berada dalam rentang target inflasi
sebesar 4±1%. Tingkat inflasi pada 2016
diprakirakan berada pada kisaran 3,35%–3,75%
(yoy) atau lebih rendah dibandingkan proyeksi
sebelumnya.
Risiko tekanan inflasi pada 2016 terutama
bersumber dari kelompok volatile foods akibat
pergeseran musim tanam. Kemarau
berkepanjangan akibat El Nino pada tahun 2015
berdampak kepada bergesernya masa tanam
tanaman pangan. Mundurnya masa panen raya
padi dan masa tanam berikutnya berisiko
menurunkan produksi beras Jawa dari 16,9 juta
ton menjadi sekitar 15–15,5 juta ton pada tahun
2016. Selain itu, peningkatan curah hujan pada
tahun 2016 akibat anomali cuaca La Nina juga
dikhawatirkan dapat menimbulkan banjir yang
berisiko mengganggu keberlanjutan pasokan
pangan baik dari sisi produksi maupun
menghambat proses distribusi.
Di sisi lain terdapat potensi downside risk yang
bersumber dari tren penurunan harga minyak
dunia. Inflasi berpotensi lebih rendah dari
prakiraan apabila penurunan harga minyak dunia
terus berlanjut dan lebih dalam sehingga
menyebabkan adanya penyesuaian harga BBM di
dalam negeri dan tarif listrik. Selain itu, efek
lanjutan berupa penurunan tarif angkutan akan
menahan tekanan inflasi lebih dalam. Tekanan
dari kelompok inti diperkirakan rendah.
40
Kemacetan: Meningkatkan Biaya Logistik dan
Menghilangkan Potensi Pertumbuhan Ekonomi
Aktivitas Commuting
Pesatnya perkembangan kota jika tidak didahului
oleh pembangunan dan penyediaan infrastruktur
dasar pelayanan kota, seperti sarana dan
prasarana transportasi, pada akhirnya akan
menimbulkan externalities seperti kemacetan
jalan. Hal ini akan menghambat produktivitas
ekonomi kota, meningkatkan biaya logistik dan
akhirnya menekan potensi pertumbuhan
ekonomi.
Faktor harga membuat sebagian besar pekerja
memilih untuk tinggal di sekitar wilayah kota alih-
alih di dalam kota. Sekitar 16% dari pekerja yang
bekerja di megacities Jawa merupakan
commuters. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
seperti Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Semarang,
Surabaya dan Bandung merupakan tujuan utama
aktivitas pergi-pulang (commuting) di masing-
masing megacities.
Sumber: SAKERNAS BPS 2014 (diolah)
Grafik III.35. Pekerja Dengan Aktivitas Commuting
Minimnya sarana transportasi publik yang layak
membuat commuters lebih memilih untuk
menggunakan kendaraan pribadi menuju tempat
kerja. Penggunaan angkutan umum oleh
commuters saat ini rata-rata masih di bawah
25%. Penggunaan kendaraan pribadi yang tinggi
ini menyebabkan terjadinya kemacetan parah di
wilayah perkotaan di Jawa. Hal ini terlihat dari
besarnya commuters yang menempuh jarak di
atas 10 km dengan waktu di atas 60 menit (Grafik
III.36 dan III.37).
Sumber: SAKERNAS BPS 2014 (diolah)
Grafik III.36. Waktu Tempuh Commuters
Sumber: SAKERNAS BPS 2014 (diolah)
Grafik III.37. Jarak Tempuh Commuters
Sumber: SAKERNAS BPS 2014 (diolah)
Grafik III.38. Penggunaan Moda Transportasi
Kombinasi penggunaan kendaraan pribadi yang
tinggi dan jarak tempuh yang jauh menimbulkan
padatnya lalu lintas. Hal ini berdampak kepada
waktu tempuh yang lebih panjang terutama di
Boks 1
41
Jabodetabek. Persentase commuters dengan
waktu tempuh lebih dari 1 jam yang tertinggi
terjadi di daerah Jabodetabek yaitu sebanyak
34% dari total commuters.
Aktivitas Logistik Perusahaan
Sumber: Quick Survey Dampak Kemacetan, Bank Indonesia
(diolah)
Grafik III.39. Dampak Umum Kemacetan Kota Besar
Kepadatan dan kemacetan jalan akan sangat
memengaruhi tingkat mobilitas masyarakat dan
kegiatan produktif ekonomi kota. Terkait hal itu,
Bank Indonesia telah mengadakan quick survey
terhadap perusahaan manufaktur dan
perusahaan jasa logistik di kota besar di Jawa,
dengan hasil sebagai berikut:
a) Kemacetan berdampak terhadap aktivitas
perusahaan dan jasa logistik di megacities di
Jawa. Dampak kemacetan yang paling
dirasakan adalah kenaikan biaya transportasi
yang berdampak lanjutan pada penurunan
profit margin (Grafik III.39). 9
b) Kemacetan juga berdampak pada
pengurangan kecepatan kendaraan dengan
tingkat keparahan tertinggi di Jakarta yang
mencapai 44% (Grafik III.40). Hal ini akan
menurunkan tingkat mobilitas di kota besar di
Jawa.
c) Sementara itu, kelompok responden
perusahaan jasa pengiriman menyatakan
bahwa kemacetan telah menimbulkan
kenaikan biaya transportasi rata-rata sebesar
10%. Kenaikan biaya ini tidak serta merta
9 Dampak diukur dari skala 1 sampai dengan 4 dimana 1
menunjukkan “tidak berdampak” dan 4 menunjukkan “sangat
berdampak”.
dapat dibebankan langsung pada konsumen
karena adanya risiko kehilangan pelanggan
akibat persaingan yang semakin tajam di
antara pelaku usaha di tengah lemahnya
perekonomian saat ini.
Sumber: Quick Survey Dampak Kemacetan, Bank Indonesia
(diolah)
Grafik III.40. Pengurangan Kecepatan Karena Kemacetan
Dalam rangka mengurangi dampak kemacetan,
kelompok responden korporasi menyatakan
mengambil berbagai langkah diantaranya
melakukan pengaturan jadwal pengiriman barang
sepanjang memungkinkan, meningkatkan
persediaan untuk mengantisipasi keterlambatan
pengiriman, mengalihdayakan aktivitas
transportasi ke perusahaan lain, serta melakukan
relokasi usaha ke daerah dengan tingkat
kemacetan yang lebih rendah.
Potensi Kenaikan Pertumbuhan
Dengan mempertimbangkan dampaknya yang
cukup besar terhadap biaya transportasi dan
aktivitas perusahaan, permasalahan kemacetan
harus diatasi untuk mendorong daya saing
korporasi dan logistik nasional. Sesuai dengan
hasil simulasi model Computable General
Equilibrium dari riset Growth Diagnostic DKI
Jakarta, terdapat potensi pertumbuhan sebesar
0,20% (terhadap pertumbuhan baseline) jika
permasalahan kemacetan dapat diatasi.
Halaman ini sengaja dikosongkan
Bunga Anggrek Hitam (Coelogyne Pandurata)Maskot Flora Provinsi Kalimantan Timur dan Termasuk Salah Satu Spesies Anggrek Yang Langka dan Dilindungi.
Perekonomian Kalimantan
Bagian
IV
43
Bagian IV
Perekonomian Kalimantan Kinerja perekonomian Kalimantan pada triwulan I 2016 tumbuh 1,1%, melambat dibandingkan
triwulan sebelumnya sebesar 1,4%. Masih lemahnya permintaan ekspor luar negeri khususnya
batubara yang merupakan komoditas utama Kalimantan menjadi sumber utama perlambatan
ekonomi. Realisasi investasi, yang merupakan turunan dari kinerja sektor utama Kalimantan, pada
akhirnya juga mengalami perlambatan selama periode laporan. Pada triwulan II 2016, kinerja
perekonomian Kalimantan diperkirakan sedikit membaik yang didukung peningkatan konsumsi RT
dan mulai membaiknya ekspor CPO karena faktor harga. Secara keseluruhan 2016, perekonomian
Kalimantan diproyeksikan tumbuh lebih baik dari 2015 dan akan tumbuh pada kisaran 1,0%-1,5%.
Sejalan dengan masih lesunya perekonomian, tekanan inflasi Kalimantan pada triwulan I 2016
tercatat sebesar 5,07%, menurun dari 5,12% pada triwulan sebelumnya. Penurunan laju inflasi
bersumber dari inflasi inti dan bahan pangan. Dibandingkan triwulan sebelumnya, tekanan inflasi
pada triwulan II 2016 diperkirakan akan melemah seiring dengan koreksi harga BBM. Potensi
penurunan ini diawali dengan deflasi yang terjadi pada bulan April 2016 sebesar 0,24% (mtm),
dibawah rata-rata inflasi bulanan periode yang sama lima tahun terakhir. Didukung oleh optimisme
terhadap peningkatan produksi pangan daerah, potensi penurunan harga minyak dan terjaganya
ekspektasi inflasi masyarakat serta upaya penguatan pengendalian inflasi daerah yang terus
dilakukan, secara keseluruhan tahun 2016, inflasi Kalimantan diperkirakan menurun dan berada
pada kisaran 4,09%-4,49%.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kalimantan triwulan I 2016
tumbuh melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Perekonomian Kalimantan tumbuh
1,1% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar 1,4% (yoy). Perlambatan
diakibatkan semakin dalamnya penurunan ekspor
dan investasi. Di sisi lain, peningkatan konsumsi
rumah tangga dan pemerintah menahan
perlambatan perekonomian yang lebih dalam.
Perlambatan ekonomi terjadi di seluruh provinsi
kecuali Kalimantan Barat yang meningkat sejalan
dengan perbaikan kinerja industri akibat mulai
beroperasinya dua smelter alumina.
Lesunya perekonomian disebabkan kinerja
ekspor yang kembali terkontraksi. Kontraksi
terjadi semakin dalam dari -1,3% (yoy) pada
triwulan IV 2015, menjadi -1,9% (yoy) di triwulan
I 2016. Permintaan ekspor batubara khususnya
dari India masih cenderung lesu, karena masih
tingginya stok Batubara di pembangkit listrik di
negara tersebut. Selain itu, tetap terkontraksinya
permintaan Tiongkok yang tercermin dari
rendahnya PMI sebagai indikator kebutuhan
energi Tiongkok, juga berkontribusi pada
perlambatan ekspor Kalimantan. Meskipun
demikian, penurunan ekspor batubara sedikit
tertahan dengan beroperasinya beberapa PLTU
baru di Malaysia dan Vietnam serta kebijakan
pemerintah Jepang untuk tidak mengurangi
konsumsi batubara dengan alasan keekonomian.
Tabel IV.1. Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan
Sumber : BPS
Semakin dalamnya kontraksi ekspor batubara
terutama terjadi di Kalimantan Timur sebagai
produsen batubara berorientasi ekspor terbesar
di Kalimantan. Sementara, pertambangan
I II III IV Total I II*
Kalimantan Barat 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 5.9 5.3
Kalimantan Tengah 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.2 6.8
Kalimantan Selatan 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.0 3.8
Kalimantan Timur -0.2 -0.4 -2.2 -0.5 -0.9 -1.3 -1.0
Kalimantan 2.0 1.4 0.4 1.4 1.3 1.1 1.3
2015 2016Provinsi
44
batubara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah sedikit terbantu oleh permintaan
domestik dalam menyerap hasil produksinya.
Selain batubara, lesunya ekspor Kalimantan juga
disebabkan oleh keterbatasan pasokan feed gas
LNG ditengah tingkat permintaan yang masih
cukup baik.
Sumber : Bea Cukai
Grafik IV.1. Ekspor Batubara Kalimantan Berdasarkan Negara Tujuan
Sejalan dengan lesunya permintaan eksternal dan
menurunnya kinerja sektor utama, investasi pada
triwulan I 2016 juga terkontraksi. Investasi
mengalami kontraksi semakin dalam dari -1,4%
(yoy) pada triwulan sebelumnya, menjadi -2,1%
(yoy). Lesunya investasi terjadi di seluruh provinsi
Kalimantan. Hal ini terindikasi dari penurunan
konsumsi semen dan impor barang modal yang
semakin dalam. Kontraksi juga terjadi pada
investasi non bangunan. Kondisi tersebut tidak
terlepas dari kecenderungan pelaku usaha dalam
menahan investasinya di tengah kondisi ekonomi
daerah yang masih tertekan. Namun demikian,
kontraksi investasi sedikit tertahan dengan
adanya realisasi investasi fisik dari pemerintah.
Konsumsi rumah tangga dan konsumsi
pemerintah yang tumbuh cukup signifikan
belum mampu menahan laju perlambatan
ekonomi Kalimantan. Konsumsi RT meningkat
dari 3,7% (yoy) menjadi 4,2% (yoy), didukung
oleh peningkatan konsumsi makanan, terindikasi
dari tren peningkatan likert scale (LS) dan saldo
bersih tertimbang (SBT) perdagangan pada
triwulan I 2016. Konsumsi pemerintah pun
meningkat signifikan dari -9,1% (yoy) menjadi
4,5% (yoy), terkonfirmasi dari penurunan
penempatan dana Pemerintah Daerah di
perbankan yang cukup dalam.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik IV.2. LS dan SBT Perdagangan
Memasuki triwulan II 2016, perekonomian
Kalimantan diperkirakan meningkat meski
terbatas, didukung oleh perbaikan konsumsi RT,
investasi dan ekspor. Perbaikan didukung oleh
kinerja perkonomian Kalimantan Timur dan
Kalimantan Tengah. Di sisi lain, Kalimantan Barat
dan Kalimantan Selatan diperkirakan mengalami
perlambatan.
Peningkatan konsumsi swasta (rumah tangga dan
LNPRT) pada triwulan II 2016 didukung oleh
meningkatnya konsumsi masyarakat memasuki
siklus Ramadhan dan persiapan Lebaran 2016.
Perbaikan konsumsi swasta terjadi di Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur, sementara
Kalimantan Barat diperkirakan melambat sejalan
dengan berakhirnya masa perayaan Imlek.
Peningkatan konsumsi tersebut terkonfirmasi
dari Indeks Tendensi Konsumen Kalimantan yang
lebih optimis. Selain itu, likert scale sektor
perdagangan di awal triwulan II 2016 juga
menunjukkan perbaikan.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik IV.3. ITK dan Likert Scale Perdagangan
45
Kinerja ekspor yang diperkirakan tumbuh lebih
baik dibandingkan triwulan I 2016, meskipun
masih mengalami kontraksi. Ekspor komoditas
batubara diperkirakan masih akan berada pada
level yang stagnan, namun ekspor CPO
diproyeksikan meningkat sejalan dengan
turunnya pasokan dunia akibat El Nino. Turunnya
pasokan CPO dunia berakibat pada membaiknya
proyeksi harga CPO yang diperkirakan meningkat
0,1% (yoy) pada triwulan II 2016, lebih tinggi dari
triwulan sebelumnya senilai -0,9% (yoy). Khusus
di Kalimantan Barat, ekspor didorong oleh
komoditi alumina pasca ekspansi salah satu
smelter alumina CGA (Chemical Grade Alumia)
dan beroperasinya 1 smelter alumina SGA
(Smelter Grade Alumia).
Sumber : Bank Indonesia
Grafik IV.4. Likert Scale Ekspor
Investasi juga diperkirakan menjadi pendorong
laju perekonomian di triwulan II 2016. Masih
terus berlanjutnya realisasi investasi berbagai
proyek infrastruktur pemerintah pusat di daerah
seperti jalan tol Samarinda-Balikpapan, jalan
perbatasan dan berbagai proyek lainnya turut
berkontribusi bagi aktivitas perekonomian
Kalimantan. Lebih lanjut, meskipun masih
terbatas, arah investasi swasta juga meningkat
yang terindikasi dari kenaikan Likert Scale
investasi sektor swasta.
Di sisi lain, konsumsi pemerintah mengalami
perlambatan dari 4,5% (yoy) menjadi 4,1% (yoy)
yang antara lain disebabkan penundaan realisasi
anggaran belanja langsung di Kalimatan Timur10
.
Penundaan belanja langsung merupakan dampak
dari defisit fiskal di propinsi tersebut. Adapun,
pergeseran realisasi pembayaran THR dari tahun
sebelumnya pada triwulan III menjadi triwulan II
(Juni) pada 2016 belum dapat menset-off dampak
negatif dari penundaan belanja langsung
tersebut.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertambangan
Pada triwulan I 2016, sektor pertambangan
belum menunjukan perbaikan yang berarti,
kecuali untuk komoditas mineral. Sektor
pertambangan masih terkontraksi 5,9% (yoy)
atau sedikit lebih buruk dibandingkan triwulan
sebelumnya yang terkontraksi 5,7% (yoy). Sektor
pertambangan di Kalimantan didominasi oleh
batubara dan migas yang pada periode ini
terkontraksi lebih dalam dibandingkan triwulan
sebelumnya. Masih rendahnya kinerja
pertambangan dikonfirmasi oelh hasil SKDU yang
menurun. Sementara, turunnya produksi migas
tercermin darI penurunan lifting minyak dan gas.
Sumber : ESDM
Grafik IV.5. Lifting Migas Kalimantan
Pada komoditas batubara, tingginya stok
batubara India dan lemahnya permintaan
Tiongkok menjadi penyebab masih rendahnya
harga batubara dunia (saat ini US$48,39/ton atau
10
Berdasarkan surat edaran Gubernur bernomor
903/030/003-II/Keu tertanggal 5 Januari 2016 yang menyatakan penundaan realisasi 35% belanja langsung diluar kegiatan terkait pelayanan publik. Penundaan juga diberlakukan padarealisasi belanja tidak terduga, belanja hibah, dan bantuan keuangan.
46
terkontraksi 21,12% yoy). Ketiga faktor tersebut
mendorong kontraksi produksi dan ekspor
batubara Kalimantan pada triwulan I 2016.
Meskipun demikian, beberapa perusahaan
tambang batubara berskala besar berencana
untuk menaikkan target produksinya di tahun
2016.
Berbeda dengan pertambangan energi, sektor
pertambangan di Kalimantan Barat justru tumbuh
tinggi. Tingginya angka pertumbuhan
pertambangan merupakan dampak kenaikan
produksi bauksit sejalan dengan peningkatan
produksi 1 smelter alumina CGA.
Memasuki triwulan II, kinerja sektor
pertambangan diperkirakan sedikit membaik
meskipun masih terkontraksi sebesar 5,6%
(yoy). Lebih landainya kontraksi didukung oleh
optimisme contact liaison subsektor batubara
terhadap permintaaan domestik. Peningkatan
konsumsi batubara PLN pada 2016 sebesar 8%-
16% dan beroperasinya salah satu site batubara
tujuan ekspor di Kalimantan Selatan yang
sebelumnya bermasalah dengan kontraktor
diperkirakan turut mendorong perbaikan kinerja
subsektor batubara. Pada tambang mineral,
beroperasinya dua fasilitas pengolahan tambang
zircon di Kalimantan Tengah dan smelter alumina
SGA (Smelter Grade Alumina) berkapasitas
161.000 WMT di Kalimantan Barat menjadi
pendorong laju pertambangan.
Industri
Sektor industri pengolahan mengalami
perlambatan pada triwulan I 2016. Sektor
industri tumbuh melambat 7,7% (yoy), lebih
rendah dibandingkan triwulan IV 2015 yang
tumbuh 10,3% (yoy). Walaupun sektor industri
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah mengalami pertumbuhan
yang meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya, namun perlambatan sektor industri
Kalimantan Timur yang menguasai lebih dari 50%
pangsa industri pengolahan di Kalimantan
mengakibatkan perlambatan industri pengolahan
secara keseluruhan di wilayah Kalimantan.
Perlambatan industri disebabkan oleh penurunan
kinerja industri pengolahan LNG yang
terkonfirmasi dari menurunnya realisasi
pengiriman LNG pada triwulan I 2016. Sementara
itu, kinerja industri pengolahan nonmigas seperti
CPO dan smelter mengalami peningkatan pada
triwulan I 2016 walaupun belum mampu
mendorong kinerja industri pengolahan
Kalimantan secara agregat karena kontribusinya
yang masih rendah. Produksi CPO Kalimantan
tercatat tumbuh meningkat di tengah rebound
harga sejak Desember 2015. Peningkatan industri
pengolahan di Kalimantan Barat disumbang oleh
kenaikan kapasitas produksi smelter alumina
CGA. Kedua smelter tersebut telah memasuki
produksi komersial dengan prakiraan penjualan
sebesar 161.000 WMT di tahun 2016.
Sumber : Bank Indonesia
Grafik IV.6. Likert Scale Proyeksi Penjualan dan Proyeksi Investasi
Memasuki triwulan II 2016, industri pengolahan
Kalimantan kembali melambat menjadi 5,4%
(yoy). Hal ini terindikasi dari proyeksi Likert Scale
penjualan dan investasi yang cenderung
melambat. Penurunan output industri LNG
diperkirakan masih akan terus berlanjut dan
menjadi penyebab utama melambatnya
pertumbuhan industri pengolahan. Di sisi lain,
industri nonmigas diperkirakan tumbuh lebih baik
didorong industri CPO dan smelter alumina.
Berdasarkan hasil liaison, penjualan CPO pada
triwulan II 2016 diperkirakan mengalami
peningkatan khususnya penjualan domestik.
Peningkatan terkonfirmasi dari naiknya produksi
TBS sejalan dengan kondisi curah hujan yang
kondusif dan penambahan luas lahan produktif di
Kalimantan Tengah sebesar 17,3%. Lebih lanjut,
47
harga CPO diperkirakan akan mengalami
peningkatan pada triwulan II 2016. Kinerja
industri Kalimantan juga ditopang oleh
beroperasinya smelter alumina SGA di Ketapang
dengan kapasitas produksi hingga 1 Juta WMT.
Pertanian
Pada triwulan I 2016, sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan tumbuh sebesar 1,6%
(yoy), sedikit meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tumbuh 1,5% (yoy).
Peningkatan kinerja sektor pertanian Kalimantan
terutama didukung oleh kinerja subsektor bahan
pangan sebagai dampak dari peningkatan luas
tanam lahan tanaman pangan pada triwulan IV
2015. Penurunan luas lahan gagal panen juga
menjadi pendorong peningkatan produksi
tabama. Selain tanaman pangan, perbaikan
kinerja sektor pertanian juga didukung oleh
peningkatan kinerja subsektor perkebunan,
khususnya perkebunan kelapa sawit. Hal ini
ditandai peningkatan indeks produksi TBS yang
tercatat berada pada level yang tinggi karena
didukung oleh curah hujan yang kondusif,
peningkatan luas wilayah tanaman produktif dan
insentif tren kenaikan harga sejak Desember
2015.
Peningkatan kinerja pertanian diperkirakan
masih berlanjut sampai dengan triwulan II 2016.
Perbaikan kinerja masih berasal dari perbaikan
kinerja subsektor perkebunan, khususnya
produksi TBS dan karet. Peningkatan produksi
TBS disebabkan bertambah luasnya lahan
produktif di wilayah Kalimantan ditambah
dukungan curah hujan yang diperkirakan lebih
baik dibandingkan tahun sebelumnya. Lebih
lanjut, pembukaan beberapa pabrik pengolahan
CPO baru di Kalimantan juga diperkirakan
berdampak pada meningkatnya permintaan TBS
di Kalimantan. Selain itu, subsektor tabama juga
diperkirakan akan turut berkontribusi bagi
perbaikan kinerja sektor pertanian seiring dengan
percetakan sawah baru di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat melalui proyek pemerintah
Upsus Pajale (Upaya Khusus Padi, Jagung, dan
Kedelai) serta pembangunan jaringan irigasi
seluas 9.500 ha di Kalimantan Barat. Sejalan
dengan produksi, nilai tukar petani yang
meningkat juga menjadi insentif bagi petani
untuk menggiatkan produksinya yang pada
gilirannya juga ikut meningkatkan kinerja sektor
pertanian.
Sumber : BPS
Grafik IV.7. NTP
Fiskal Daerah
Anggaran belanja fiskal Pemerintah Daerah di
Kalimantan pada tahun 2016 mengalami
peningkatan 6,23% (yoy). Secara spasial,
peningkatan tertinggi terjadi di Kalimantan
Tengah yang tumbuh 24,04% (yoy), disusul oleh
Kalimantan Barat (22,32% yoy), Kalimantan Utara
(4,9% yoy), dan Kalimantan Selatan (2,74% yoy).
Di sisi lain belanja Kalimantan Timur mengalami
penurunan -5,78% (yoy) sebagai dampak defisit
fiskal daerah.
Tabel IV.2. Realisasi Belanja Pemda Kalimantan TW I-2016 (% yoy)
Sumber : TEPRA
Pemerintah daerah masih terus fokus untuk
pengerjaan infrastuktur. Hal tersebut tercermin
dari anggaran belanja modal yang meningkat
15,13% (yoy), jauh di atas peningkatan belanja
non modal senilai 2,49% (yoy). Peningkatan pada
Modal Non Modal Total
Kalbar 122.4 -6.5 22.3
Kalteng 33.2 20.6 24.0
Kalsel 0.4 3.6 2.7
Kaltim -12.0 -2.5 -5.8
Kaltara -3.9 9.1 4.9
Kalimantan 15.1 2.5 6.2
48
belanja modal memiliki dampak multiplier yang
besar pada perekonomian secara umum.
Dari sisi pendanaan, dana perimbangan pada
tahun 2016 diperkirakan meningkat signifikan
24,68% (yoy). Peningkatan dana perimbangan
didukung oleh kenaikan DBH 18,79% (yoy), DAU
14,19% (yoy), dan Dana transfer lainnya sebesar
59,42% (yoy). Peningkatan DBH ditopang oleh
kenaikan DBH pertambangan umum, sejalan
dengan rencana kenaikan royalti tambang dan
PBB tambang. Selain itu, kenaikan DBH juga
disumbang oleh kenaikan PPh perorangan. Di sisi
lain, DBH migas diperkirakan mengalami
penurunan seiring dengan semakin terbatasnya
lifting di Kalimantan.
Memasuki triwulan I 2016, realisasi belanja
Pemerintah daerah tercatat mencapai 9,62%.
Bila dibandingkan dengan historisnya, realisasi di
triwulan I 2016 lebih tinggi dibandingkan realisasi
triwulan I 2015 yang tercatat 8,93%. Lebih
tingginya realisasi belanja Pemerintah Daerah
terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur. Sementara realisasi
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara berada
di bawah realisasi periode yang sama tahun 2015.
Sumber : TEPRA
Grafik IV.8. Realisasi Belanja Pemda (%)
Perkembangan Inflasi
Inflasi Kalimantan pada triwulan I 2016 lebih
rendah dibandingkan triwulan sebelumnya.
Inflasi tercatat sebesar 5,07% (yoy), turun dari
5,12% (yoy) ditriwulan IV 2015. Capaian inflasi ini
masih berada di atas nasional yang tercatat
4,45% (yoy). Inflasi di seluruh provinsi Kalimantan
berada di atas nasional (Grafik IV.9) dengan
capaian tertinggi di Kalimantan Selatan sebesar
6,04% (yoy). Meskipun demikian, apabila
dibandingkan dengan historisnya, capaian inflasi
Kalimantan triwulan I 2016 berada di bawah rata-
rata 3 tahun terakhir. Tren penurunan tersebut
sudah berlangsung sejak awal tahun 2015.
Turunnya tekanan inflasi terutama terjadi di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Turunnya tekanan inflasi pada triwulan I 2016
disumbang oleh meredanya inflasi kelompok
bahan pangan (volatile food) dan inflasi
kelompok inti, meskipun di sisi lain inflasi
kelompok administered prices menunjukkan
tren meningkat. Inflasi volatile food mengalami
penurunan dari 8,18% (yoy) menjadi 7,20% (yoy)
yang merupakan kontribusi dari turunnya harga
daging ayam ras dan beberapa jenis sayur mayur.
Capaian inflasi VF ini berada di bawah level
nasional (9,6% yoy) dan terjadi di semua provinsi
di Kalimantan dengan tingkat harga paling
terkendali di Kalimantan Selatan. Adapun
penurunan tekanan inflasi kelompok inti dari
5,08% (yoy) menjadi 4,48% (yoy) tidak terlepas
dari masih lesunya kondisi perekonomian
sehingga pengeluaran masyarakat cenderung
tertahan. Capaian inflasi kelompok inti terendah
terjadi di Kalimantan Tengah sebesar 4,01% (yoy).
Sumber :BPS
Grafik IV.9. Perkembangan Inflasi Kalimantan
Kelompok inflasi administered prices mengalami
peningkatan dari 2,29% (yoy) menjadi 4,38%
(yoy). Peningkatan tersebut dipicu oleh kenaikan
tarif angkutan udara di Kalimantan Timur-Utara
dan Kalimantan Selatan serta kenaikan cukai
49
untuk tembakau dan minuman beralkohol.
Kenaikan tarif angkutan udara di Kalimantan
Selatan bersumber dari tingginya permintaan
akibat hari besar keagamaan dan long weekend,
sementara tingginya tarif angkutan udara di
Kaltimra lebih disebabkan tingginya mobilitas
tenaga kerja dan pengusaha pertambangan.
Sementara itu, penyesuaian harga dan tarif
sejumlah komoditas administered price seperti
BBM, tarif listrik dan LPG yang dilakukan
pemerintah menahan peningkatan inflasi
administered prices yang lebih jauh di
Kalimantan.
Sumber :BPS, diolah
Grafik IV.10. Disagregasi Kelompok Inflasi
Memasuki awal triwulan II 2016, inflasi
Kalimantan pada bulan April 2016 turun menjadi
4,59% (yoy). Turunnya tekanan inflasi merupakan
dampak langsung dari keputusan Pemerintah
untuk menyesuaikan harga Premium dan Solar
masing-masing Rp500/liter di awal April 2016.
Selain itu, permintaan terhadap bahan makanan
dan kondisi pasokan yang terkendali juga menjadi
faktor pendukung penurunan inflasi.
Sampai dengan akhir triwulan II 2016, tekanan
inflasi diperkirakan kembali turun sejalan
pertumbuhan ekonomi yang terbatas dan
penyesuaian tarif energi. Inflasi pada triwulan II
2016 diperkirakan turun dari 5,07% (yoy) menjadi
4,91% (yoy). Penurunan inflasi diperkirakan
terjadi di semua provinsi di Kalimantan, kecuali
Kalimantan Timur dengan perkiraan inflasi
masing-masing sebesar 4,28% (yoy) untuk
Kalimantan Barat, 3,68% (yoy) untuk Kalimantan
Tengah dan 5,61% (yoy) untuk Kalimantan
Selatan. Sementara inflasi Kalimantan Timur
diperkirakan sebesar 5,14% (yoy).
Berdasarkan komponen pembentuknya, turunnya
tekanan inflasi lebih disebabkan oleh kelompok
administered price. Turunnya BBM per 1 April
2016 menjadi pendorong utama semakin
rendahnya tekanan inflasi, selain kebijakan
penyesuaian tarif listrik pada bulan April dan Mei
dibandingkan rata-rata triwulan I 2016. Pada
kelompok inti, inflasi diperkirakan masih akan
stabil sejalan dengan perbaikan belanja
masyarakat yang masih terbatas. Masih belum
pulihnya perekonomian diperkirakan membuat
masyarakat cenderung menahan konsumsi
durable goods. Hal ini diindikasikan oleh turunnya
indeks konsumsi durable goods pada bulan April
2016 menjadi 93,3 atau lebih rendah
dibandingkan rata-rata triwulan I 2016 sebesar
106,1. Di sisi lain, tekanan inflasi inti diperkirakan
berasal dari kenaikan harga makanan jadi pada
masa Ramadhan yang jatuh pada akhir triwulan II
2016 dan potensi peningkatan harga emas
internasional.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Menghadapi berbagai risiko inflasi, fokus
pengendalian inflasi melalui Tim Pengendali
Inflasi Daerah (TPID) di wilayah Kalimantan akan
difokuskan pada upaya peningkatan produksi
lokal, menjaga ketersediaan stok di pasar dan
mengelola ekspektasi masyarakat dengan
beberapa upaya sebagai berikut :
1. Mendorong Produksi Lokal, melalui perluasan
penanaman padi Hazton di Kalimantan Barat
dari 2.000 ha menjadi 45.000 ha di tahun
2016, pengembangan klaster bawang, tomat
dan cabai di Kalimantan Selatan,
Pengembangan kandang penyangga di
Kalimantan Tengah serta pelaksanaan
budidaya cabai organik, tanaman pangan dan
holtikultura di Kalimantan Timur.
2. Menjaga stok di pasar melalui rekomendasi
pembangunan pasar sentral di Kalimantan
50
Barat, rekomendasi pencabutan keputusan
Gubernur No. 26 tahun 2008 tentang
pembatasan distribusi masuk hewan ternak
dalam rangka pemberantasan Kartel Ayam
dan Telur di Kalimantan Barat, optimalisasi
Operasi beras bekerjasama dengan BULOG
serta Pencegahan penimbunan BBM.
3. Mengelola ekspektasi masyarakat melalui
pelaksanaan pasar murah, peningkatan
frekuensi pasar penyeimbang, pengadaan
kegiatan sekolah peduli inflasi di Kalimantan
Timur serta roadshow dan pelaksanaan
sekolah sadar inflasi di Kalimantan Timur.
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Sumber-sumber Kerentanan Sektor Korporasi
Perlambatan ekonomi Kalimantan diakibatkan
oleh melambatnya kinerja sektor ekonomi
unggulan Kalimantan seperti sektor
pertambangan dan sektor industri pengolahan.
Pada triwulan I 2016, faktor utama perlambatan
ekonomi adalah semakin terkontraksinya
investasi dan ekspor dibandingkan periode
sebelumnya seiring dengan masih berlanjutnya
penurunan harga komoditas utama serta
penurunan permintaan komoditas ekspor dari
negara mitra dagang utama.
Kinerja Korporasi dan Penilaian Risiko
Sejalan dengan perlambatan ekonomi
Kalimantan, hasil SKDU Bank Indonesia
mengindikasikan kegiatan usaha pada akhir
triwulan I 2016 menurun dibandingkan kondisi
triwulan sebelumnya. Hal ini terlihat pada hampir
semua parameter pengukuran antara lain
realisasi maupun pekiraan kegiatan usaha,
utilisasi, realisasi dan prakiraan harga, realisasi
dan perkiraan tenaga kerja, realisasi dan
prakiraan investasi di hampir semua sektor
perekonomian di Kalimantan khususnya sektor
pertambangan, pengangkutan dan komunikasi
serta keuangan, persewaaan dan jasa
perusahaan.
Sejalan dengan penurunan kegiatan usaha, rata-
rata utilisasi pada triwulan I 2016 menurun dari
86,04% menjadi 74,78% jika dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Sementara,
penurunan kapasitas produksi terjadi pada sektor
pertanian, pertambangan dan industri
pengolahan yang secara rata-rata mengalami
penurunan dari 83,6% pada triwulan sebelumnya
menjadi 66,37% pada periode laporan.
Meskipun terdampak dari perlambatan ekonomi
global dan penurunan harga komoditas,
beberapa korporasi di Kalimantan masih mampu
menunjukan kinerja keuangan positif meskipun
belum menggembirakan. Hal ini tercermin dari
beberapa indikator kinerja keuangan korporasi
seperti produktivitas, profitabilitas, solvabilitas,
likuiditas, dan repayment capacity yang mulai
menunjukan gejala rebound meskipun masih
terbatas. Tekanan perlambatan ekonomi yang
diikuti penurunan harga komoditi global yang
semula berpengaruh negatif terhadap
produktivitas korporasi di sektor pertambangan,
khususnya batubara, terindikasi telah mampu
disiasati korporasi yang bergerak di bidang
tambang batubara. Hal tersebut terlihat dari
indikator asset turnover yang mulai rebound,
meskipun masih terbatas.
Sumber: Bloomberg, diolah
Grafik IV.11. Asset Turnover
51
Sumber: Bloomberg, diolah
Grafik IV.12. Current Ratio Korporasi Batubara
Jika ditinjau lebih jauh, terdapat perbedaan
ketahanan korporasi dalam jangka panjang
(solvabilitas) dengan jangka pendek (likuiditas)
antara korporasi pertambangan batubara dan
korporasi perkebunan kelapa sawit dan CPO yang
merupakan sektor utama Kalimantan. Korporasi
batubara relatif lebih memiliki ketahanan yang
lebih baik dalam jangka panjang maupun jangka
pendek jika dibandingkan dengan korporasi
kelapa sawit dan CPO, sebagaimana ditunjukkan
oleh indikator likuiditas dan solvabilitas korporasi
batubara yang cenderung berada di atas
korporasi kelapa sawit dan CPO.
Sumber: Bloomberg, diolah
Grafik IV.13. Solvability Ratio Korporasi Batubara
Sumber: Bloomberg, diolah
Grafik IV.14. Current Ratio Korporasi CPO
Dari sisi kemampuan korporasi dalam membayar
utang, korporasi batubara memperlihatkan
kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan
korporasi perkebunan kelapa sawit dan CPO.
Kedua indikator repayment capacity, baik itu
Debt Service Ratio (DSR) maupun Interest
Coverage Ratio (ICR) bagi korporasi batubara
mengalami perbaikan, relatif lebih baik daripada
korporasi perkebunan kelapa sawit dan CPO.
Sumber: Bloomberg, diolah
Grafik IV.15. Solvability Ratio Korporasi CPO
Sumber: Bloomberg, diolah
Grafik IV.16. DSR & ICR Korporasi Batubara
Sumber: Bloomberg, diolah
Grafik IV.17. DSR & ICR Korporasi Perkebunan CPO
52
Eksposur Perbankan pada Sektor Korporasi
Sejalan dengan perlambatan kedua sektor utama
perekonomian Kalimantan, penyaluran kredit
korporasi juga mengalami perlambatan.
Sementara kredit korporasi untuk sektor
pertambangan, walaupun masih tumbuh negatif,
namun telah menunjukan perbaikan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Kontraksi pertumbuhan kredit untuk korporasi
pertambangan tercatat membaik menjadi -
13,47% dari semula -16,39%.
Grafik IV.18. Perkembangan Kredit Korporasi
Meskipun penyaluran kredit korporasi masih
lemah, namun kualitas penyaluran kredit
korporasi relatif stabil jika dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Hal ini ditopang oleh
rendahnya NPL sektor pertanian, meskipun perlu
diwaspadai kenaikan NPL sektor pertambangan
dan sektor industri.
Dengan demikian, berdasarkan beberapa
indikator tersebut, stabilitas sistem keuangan
yang bersumber dari korporasi di Kalimantan
relatif aman.
Tabel IV.3. Perkembangan NPL
Sumber: Bank Indonesia
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Sumber Kerentanan dan kondisi Sektor RT
Berlanjutnya perlambatan ekonomi Kalimantan
hingga triwulan I 2016 berimbas terhadap tingkat
keyakinan sektor rumah tangga terhadap kondisi
ekonomi triwulan berjalan yang tercermin dari
terbatasnya pertumbuhan konsumsi RT di kisaran
4,2%. Hal ini juga terlihat dari angka Indeks
Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Kondisi
Ekonomi (IKE) di sepanjang tahun 2016 yang
terus memperlihatkan penurunan jika
dibandingkan dengan tahun 2015. IKK Januari
2016 hingga April 2016 terus mengalami
penurunan masing-masing tercatat sebesar
116.6, 116.5, 103.8, dan 102.8. Sementara IKE
Januari 2016 hingga April 2016 masing-masing
tercatat sebesar 108.8, 108.3, 98.9, 90.3.
Meskipun demikian, RT masih optimis akan
terjadi perbaikan ekonomi dalam sisa tahun
2016, tercermin dari Indeks Ekspektasi Konsumen
(IEK) yang masih tercatat sebesar 115.2 atau
meningkat dibandingkan periode Maret 2016.
DPK Perseorangan di Perbankan
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.19. Pertumbuhan DPK RT
DPK RT Kalimantan masih tumbuh stabil
didukung oleh peningkatan tabungan di satu sisi
serta penurunan deposito di sisi lain. Liquidity
profiling yang dilakukan oleh RT di Kalimantan ini
mengindikasikan strategi yang dilakukan oleh RT
untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak
diinginkan dalam jangka pendek.
'15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I '15-IV '16-I
Kalsel 3.3 3.5 0.5 0.5 1.8 1.7 0.6 0.7 7.5 4.2 5.1 12.3 8.2 7.9 6.6 8.1
Kalbar 5.2 5.6 0.1 0.1 0.0 0.1 26.9 29.2 1.3 1.3 0.3 0.0 2.2 1.6 3.9 5.8
Kaltim 6.9 6.4 1.7 0.2 10.8 12.1 0.3 0.3 6.0 6.2 16.0 15.4 30.6 31.6 13.0 14.3
Kalteng 3.0 3.4 0.0 0.0 41.2 43.5 5.4 0.2 1.1 2.3 0.4 0.4 6.7 5.7 2.1 15.3
Kalimantan 5.3 5.3 0.5 0.1 9.7 10.4 6.4 6.9 5.4 4.6 10.0 11.9 23.7 23.2 9.9 12.2
Transkom Jasa KonstruksiKorporasi Tani Tambang Industri Dagang
53
Kredit Perseorangan di Perbankan
Berbeda halnya dengan kondisi perlambatan
kinerja korporasi, kredit sektor rumah tangga (RT)
secara agregat masih stabil meskipun
pertumbuhan kredit untuk durable goods seperti
kendaraan dan multiguna tercatat menurun.
Kredit RT untuk pemilikan kendaraan mengalami
kontraksi hingga 19,4% pada triwulan I 2016.
Pangsa kredit RT saat ini masih didominasi oleh
kredit multiguna sebesar 53%, disusul kredit
perumahan, kredit kendaraan dan kredit ruko
masing-masing sebesar 30%, 11% dan 3%.
Perlambatan KPR terutama didorong kontraksi
KPR tipe rumah 21 dari sebelumnya tumbuh 3%
(yoy) menjadi -6,74% (yoy), serta perlambatan
KPR tipe rumah di atas 70 dari 12,07% (yoy)
menjadi 11,93% (yoy). Perlambatan KPR tipe
rumah di atas 70, selain dipengaruhi peningkatan
suku bunga kredit dari 10,67% menjadi 10,94%,
juga adanya perkiraan peningkatan Indeks Harga
Properti Residensial (IHPR) sehingga menahan
permintaan KPR. Sementara, penurunan KPR tipe
21 ditengah penurunan suku bunga dari 11,38%
menjadi 11,24% mengkonfirmasi lemahnya
konsumsi masyarakat kelompok menengah ke
bawah pada periode laporan.
Pertumbuhan kredit RT relatif stabil dengan
kualitas kredit yang masih terjaga. Hal ini terlihat
dari masih rendahnya NPL (2%) dan rasio debt to
service yang sehat (12,3%). DSR tertinggi terjadi
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
masing-masing sebesar 17,5% dan 12,7%. Kondisi
ini sejalan dengan hasil Survei Konsumen di
kantor Perwakilan Bank Indonesia di Kalimantan,
dimana pengeluaran masyarakat untuk
pembelian barang tahan lama (durable goods)
turun dari 107,3 menjadi 93,3. Begitu pula
dengan indeks pengeluaran konsumen yang juga
mengalami penurunan untuk setiap kelompok
komoditas.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.20. NPL RT
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.21. DSR- Survei Konsumen
Pengelolaan Uang Rupiah
Sesuai pola siklikalnya, pengedaran uang kartal
selama periode triwulan I 2016 di Kalimantan
mengalami penurunan. Kondisi ini terjadi di
hampir semua provinsi di Kalimantan kecuali di
Kalimantan Tengah. Outflow tercatat turun
sebesar 1,25% (yoy) dan inflow naik sebesar 5,2%
(yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya,
sehingga net inflow tumbuh 5% (yoy).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.22. Perkembangan Outflow dan Inflow
Guna memastikan ketersediaan uang layak edar
di Kalimantan, Bank Indonesia memastikan
ketersediaan uang layak edar bagi masyarakat
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
-20
-15
-10
-5
0
5
10
I II III IV I II III IV I II III IV I
2013 2014 2015 2016
Inflow Outflow g. inflow g. outflow
(Rp triliun)
54
melalui perluasan jaringan distribusi dalan
layanan kas antara lain melalui pengembangan
Centralized Cash Network Planning (CCNP).
Sepanjang triwulan I 2016, Bank Indonesia telah
membuka tiga kas titipan baru di wilayah
Kalimantan yaitu kas titipan Batulicin di
Kalimantan Selatan, kas titipan Tanjung Selor di
Kalimanan Utara dan kas titipan Tanjung Redeb
di Kalimantan Timur. Untuk jangka panjang
(2015-2019), Bank Indonesia juga akan membuka
beberapa kas titipan di beberapa titik lainnya
seperti Kalimantan Barat (Putussibau),
Kalimantan Tengah (Purukcahu, Nangabulik,
Buntok dan Kuala Kapuas), Kalimantan Selatan
(Batulicin, Tanjung dan Barabai), Kalimantan
Timur (Tanjung Redeb dan Melak) serta
Kalimantan Utara (Tanjung Selor, Tarakan dan
Malinau).
Sementara itu, Uang Tidak Layak Edar (UTLE)
yang dimusnahkan mencapai Rp 3,2 triliun, jauh
meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya senilai Rp 1,9 triliun. Di sisi lain, rasio
UTLE terhadap inflow tercatat menurun menjadi
32,5% dari 37,88% pada triwulan sebelumnya.
Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas uang
yang masuk kembali ke sistem perbankan sesuai
pola siklikalnya adalah Uang Layak Edar (ULE).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.23. Perkembangan Pemusnahan UTLE
Sumber: Bank Indonesia
Grafik IV.24. Penemuan Uang Palsu
Sementara itu, temuan uang palsu pada
triwulan I 2016 turun dibandingkan triwulan
sebelumnya. Penurunan temuan uang palsu
terjadi di hampir semua provinsi di Kalimantan
kecuali Kalimantan Barat. Penurunan signifikan
terjadi di Kalimantan Selatan dari 5.109 bilyet
pada triwulan IV 2015 menjadi 220 bilyet pada
triwulan I 2016. Pangsa temuan uang palsu di
Kalimantan tercatat sebesar 3,4% dari temuan
uang palsu nasional atau sebanyak 1.869 bilyet.
Berbagai upaya terus dilakukan Kantor
Perwakilan Bank Indonesia di daerah dalam
mencegah dan mengurangi peredaran uang palsu
antara lain melalui kegiatan edukasi/sosialisasi
tentang ciri-ciri keaslian uang Rupiah (Cikur),
mendorong pelaporan uang palsu oleh
perbankan dan masyarakat serta kerjasama
dengan pihak yang berwenang serta mendorong
Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) melalui
melalui elektronifikasi dan keuangan inklusif.
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kalimantan pada tahun 2016
diprakirakan tumbuh terbatas pada kisaran 1,0%-
1,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan proyeksi
sebelumnya. Terbatasnya laju perekonomian
Kalimantan tersebut disebabkan oleh masih
lesunya sektor pertambangan di tengah
permintaan eksternal yang belum pulih dan
konsumsi pemerintah yang kurang
menggembirakan terkait dengan penundaan 35%
belanja langsung di Kalimantan Timur yang
55
merupakan perekonomian terbesar di
Kalimantan. Lemahnya permintaan eksternal
antara lain disebabkan oleh kebijakan substitusi
impor di negara India, yang merupakan pasar
potensial ekspor produksi batubara Kalimantan.
Pemerintah India mewajibkan peningkatan
penggunaan produksi batubara domestik hingga
10%. Selain itu, permintaan Tiongkok juga masih
menurun seiring belum kuatnya pemulihan
ekonomi. Dari sisi suplai, pasar batubara Asia
pada 2016 diperkirakan akan semakin ketat
dengan masuknya Kolombia dan Afrika Selatan
sebagai supplier batubara ke beberapa negara
Asia seperti India dan Pakistan. Berdasarkan
proyeksi IMF, harga komoditas batubara pada
tahun 2016 turun -21% (yoy), lebih buruk
daripada koreksi harga batubara 2015 senilai -
18% (yoy). Di sisi lain, sektor industri non migas,
khususnya CPO masih akan tumbuh cukup baik
didukung perbaikan harga CPO sejalan dengan
kenaikan permintan dari negara mitra (India,
Italia dan negara Asia lainnya), jatuhnya puncak
masa panen kelapa sawit yang diperkirakan
terjadi pada tahun 2016 serta dikeluarkannya izin
pendirian pabrik CPO baru di Kaltim.
Secara agregat, perbaikan ekspor masih akan
terbatas. Sementara pada sisi domestik,
konsumsi rumah tangga dan pemerintah
diprediksi tumbuh meningkat sejalan dengan
masih terjaganya optimisme masyarakat. Di sisi
lain, investasi diprediksi akan melambat terutama
akibat masih terbatasnya potensi kenaikan
permintaan pada tahun 2016.
Prospek Inflasi
Inflasi Kalimantan pada tahun 2016 diprakirakan
menurun. Inflasi Kalimantan 2016 diprakirakan
berada pada kisaran 4,09% - 4,49%. Penurunan
proyeksi inflasi terjadi pada semua provinsi di
Kalimantan, masing-masing sebesar 3,85% (yoy)
untuk Kalimantan Barat, 4,33% (yoy) untuk
Kalimantan Timur, 4,88% (yoy) untuk Kalimantan
Selatan dan 3,88% (yoy) untuk Kalimantan
Tengah.
Berdasarkan disagregasinya, inflasi seluruh
kelompok komoditas diprakirakan menurun.
Penurunan terbesar diprakirakan berasal dari
volatile foods. Optimisme peningkatan produksi
tanaman pangan di Kalimantan akan menjadi
penahan laju kenaikan inflasi volatile foods.
Pembangunan dan revitalisasi irigasi guna
mendukung produksi pertanian juga memberikan
sentimen positif dalam mendukung pencapaian
target 2016. Selain itu, dengan diterapkannya
metode tanam Hazton di berbagai provinsi di
Kalimantan, diprakirakan juga mendorong
kenaikan produksi sehingga dapat menjaga
tingkat ketersediaan pasokan pangan.
Laju inflasi inti juga diprakirakan relatif terjaga
seiring dengan ekspektasi masyarakat yang cukup
terkendali. Selain itu, terkendalinya inflasi
terutama dipengaruhi oleh stabilnya pergerakan
harga pada kelompok administered prices.
Potensi koreksi harga minyak dunia yang masih
berada pada tren yang menurun akan
ditransmisikan pada minimnya tekanan harga
bahan bakar domestik. Lebih lanjut lagi,
terkendalinya permintaan masyarakat di tengah
kondisi perekonomian Kalimantan yang belum
sepenuhnya kondusif serta semakin
kolaboratifnya pengendalian inflasi daerah oleh
TPID melalui implementasi roadmap inflasi,
mendukung terjaganya inflasi Kalimantan di level
yang stabil dan rendah.
Adapun risiko tekanan inflasi 2016 diprakirakan
bersumber dari potensi gangguan distribusi dan
produksi akibat kondisi iklim. Terdapatnya
kendala infrastruktur logistik khususnya terkait
impor pangan dari daerah lain seperti fasilitas
gudang dan pelabuhan laut, turut berpotensi
menambah tekanan inflasi volatile foods pada
tahun 2016. Selain itu, peningkatan konsumsi
masyarakat sejalan dengan perbaikan beberapa
sektor ekonomi pada 2016 akan meningkatkan
permintaan yang kemudian menjadi faktor risiko
kenaikan inflasi kelompok inti. Namun demikian,
potensi berlanjutnya penurunan harga minyak
internasional diperkirakan akan menahan
tekanan inflasi di Kalimantan.
56
Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan
Indonesia-Malaysia
Pengantar
Kalimantan merupakan satu dari beberapa
daerah di Indonesia yang memiliki wilayah
perbatasan dengan negara lain yang cukup luas
yaitu sepanjang 2.250 km dengan Malaysia.
Beberapa kabupaten di wilayah perbatasan masih
banyak yang berstatus daerah tertinggal dengan
tingkat kesejahteraan yang relatif lebih rendah
dibandingkan daerah nonperbatasan. Perbedaan
(gap) pengembangan ekonomi Indonesia dan
Malaysia yang sangat tinggi mengakibatkan
tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat
wilayah perbatasan kepada negara tetangga
tersebut terus meningkat.
Infrastruktur jalan atau jaringan konektivitas yang
menghubungkan wilayah perbatasan dengan
kota-kota utama di Kalimantan seperti Pontianak
dan Samarinda masih sangat minim. Kondisi
daerah perbatasan tersebut diperparah dengan
kurangnya pelayanan sosial dan terbatasnya
ketersediaan barang kebutuhan sehari-hari.
Rendahnya tingkat perkembangan perekonomian
di wilayah perbatasan pada akhirnya memicu
masyarakat usia produktif mencari pekerjaan,
umumnya sebagai buruh, ke negara tetangga.
Ketergantungan masyarakat di daerah
perbatasan kepada negara tetangga yang tidak
ditangani dengan serius, dalam jangka panjang
berpotensi menyebabkan semakin tertinggalnya
perekonomian di daerah perbatasan dan
penurunan kedaulatan Rupiah bahkan menjurus
pada kedaulatan negara.
Untuk itu, komitmen dan upaya berkelanjutan
dari Pemerintah untuk mendukung dan
mengembangkan perekonomian daerah
perbatasan perlu terus disuarakan.
Pengembangan ekonomi berbasis SDA lokal
menjadi pilihan bagi peningkatan perekonomian
dan selanjutnya bagi daya saing wilayah
perbatasan indonesia.
Ketergantungan pada kebutuhan sehari-hari dari Malaysia
Ketergantungan masyarakat wilayah perbatasan
terhadap Malaysia terutama terkait dengan
pasokan kebutuhan sehari-hari. Strategi
pembangunan wilayah perbatasan oleh Malaysia
mengakibatkan arus logistik menjadi mudah dan
komoditas asal Malaysia bisa lebih murah jika
dibandingkan barang produksi dalam negeri.
Kondisi tersebut menjadi alasan utama maraknya
perdagangan antar negara di daerah perbatasan.
Saat ini, perdagangan di wilayah perbatasan
Malaysia diatur dalam perjanjian Sosek Malindo,
dimana pemegang Pas Lintas Batas (PLB)
diizinkan untuk melakukan perdagangan senilai
600 Ringgit per bulan di wilayah perbatasan.
Namun demikian, cakupan perbatasan yang luas
dan terbatasnya Pos Pemeriksaan Lintas Batas
(PPLB) serta tingginya ketergantungan
masyakarat terhadap pasokan dari Malaysia,
meningkatkan risiko terjadinya perdagangan
ilegal.
Strategi Pengembangan Wilayah Perbatasan oleh Pemerintah
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah
menetapkan 7 (tujuh) Pusat Kawasan Strategis
Nasional (PKSN) perbatasan nasional sebagai
upaya untuk meningkatkan daya saing wilayah
perbatasan. Tujuh kawasan tersebut yakni Aruk,
Jagoi Babang, Entikong, Nanga Badau, Long
Pahangi, Long Nawang dan Long Midang.
Pengembangan PKSN tersebut didukung oleh
ketersediaan lahan yang masih luas dan
ketersediaan SDM usia produktif. Beberapa
strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat
dalam pengembangan PKSN yaitu berupa: (i)
penguatan dan fasilitasi kawasan perbatasan; (ii)
Boks 2
57
pengembangan ekonomi lokal; (iii) penguatan
konektivitas dan Sislognas; (iv) penguatan SDM
dan IPTEK; serta (v) penguatan regulasi dan
pemberian insentif.
Untuk mendukung upaya Pemerintah Pusat
dalam mengembangkan daerah perbatasan,
beberapa Pemerintah Daerah turut menetapkan
strategi lanjutan. Salah satunya adalah
Pemerintah Daerah Kalimantan Barat yang
menetapkan strategi antara lain (i) menetapkan
ketertiban dan keamanan; (ii) fokus peningkatan
taraf hidup; serta (iii) menjaga keseimbangan
antara pembangunan ekonomi dan kepentingan
ekologis. Strategi di tingkat daerah tersebut juga
disertai dengan identifikasi jenis komoditas yang
berpotensi untuk dijadikan komoditas unggulan
di wilayah perbatasan Kalimantan, diantaranya
lada, karet, kakao, kelapa sawit, rotan, damar,
gaharu, sarang burung walet, madu, arwana serta
ecotourism Danau Sentarum.
Sumber : Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan BPS
Gambar IV.1. Peta Sebaran PKSN di Kalimantan dan Peta Perbatasan dan Wilayah PLBN di Kalimantan
Dalam rangka menunjang pemberdayaan
ekonomi wilayah perbatasan, peningkatan
konektivitas antarwilayah perbatasan merupakan
hal yang paling krusial. Beberapa program
peningkatan konektivitas wilayah perbatasan
dilakukan oleh Pemerintah antara lain berupa
pembangunan jalan paralel perbatasan
Kalimantan sepanjang 1.830,6 km yang
menghubungkan Temajuk di ujung barat wilayah
perbatasan Kalimantan Barat hingga Nunukan di
ujung timur wilayah perbatasan Kalimantan
Timur. Saat ini, sepanjang 1.400 km jalan paralel
perbatasan telah tersambung dengan 511,6 km
diantaranya telah beraspal, menyisakan ruas
sepanjang 427 km yang belum terhubung.
Pembukaan akses jalan di perbatasan diharapkan
mampu menekan biaya transportasi sehingga
memungkinkan aliran pasokan barang dari kota-
kota utama di Kalimantan. Peningkatan
konektivitas wilayah perbatasan juga diharapkan
mampu menstimulasi investasi, terutama industri
pengolahan hasil perkebunan yang berorientasi
ekspor, mengingat sebagian besar lahan di
wilayah perbatasan dimanfaatkan untuk
perkebunan dan pertanian.
Melalui pengembangan daerah perbatasan,
terdapat potensi penambahan aktivitas
perekonomian senilai Rp413,41 miliar yang
berasal dari penyerapan tenaga kerja yang
sebelumnya bekerja sebagai TKI di perbatasan
Malaysia. Selain itu juga terdapat potensi
penambahan ruang belanja APBD sampai dengan
Rp34,46 miliar yang berasal dari potensi
peningkatan penerimaan pajak. Pengembangan
ekonomi lokal perbatasan yang terhubung erat
dengan pusat-pusat ekonomi di wilayah
Kalimantan pada akhirnya juga akan mendukung
peningkatan penggunaan dan kedaulatan Rupiah
di perbatasan.
58
Selain dukungan pembangunan infrastruktur
pembangunan infrastruktur dan perbaikan
konektivitas, pengembangan daerah perbatasan
perlu difokuskan pada peningkatan layanan sosial
dasar. Peningkatan layanan sosial dasar seperti
kemudahan akses pendidikan maupun fasilitas
kesehatan yang memadai merupakan modal
dasar dalam pengembangan SDM daerah
perbatasan yang berkualitas. Hal tersebut akan
mampu mendukung pengembangan ekonomi
dan daya saing lokal yang lebih produktif.
Peran Bank Indonesia
Dalam mendukung pengembangan ekonomi di
daerah perbatasan, Bank Indonesia memiliki
peran penting terkait sistem pembayaran,
peredaran uang Rupiah dan advisory terkait
pengembangan ekonomi lokal. Upaya menjamin
ketersediaan uang Rupiah di daerah perbatasan
diwujudkan melalui sosialisasi aktif penggunaan
Rupiah serta melakukan kegiatan kas keliling di
daerah perbatasan. Selain itu, Bank Indonesia
juga membuka kas titipan di beberapa lokasi
untuk menjangkau daerah perbatasan seperti
Tanjung Selor, Singkawang dan Sintang. Dari sisi
peran advisory, Bank Indonesia berupaya
mendukung proses pengambilan kebijakan
Pemerintah Daerah melalui penyediaan data dan
informasi ekonomi, antara lain dalam bentuk
kajian pengembangan daerah perbatasan/
terpencil serta pemetaan Komoditas Produk Jasa
Unggulan (KPJU) daerah.
Bunga Anggrek Larat (Dendrobium Phalaenopsis)Termasuk Tanaman Langka dan Dilindungi Serta Merupakan Salah Satu Bunga Identitas Indonesia, Khususnya di Maluku.
Perekonomian Kawasan Timur
Indonesia
Bagian
V
59
Bagian V
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Pada triwulan I 2016, perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) tumbuh melambat dari 8,6%
(yoy) pada triwulan IV 2015 menjadi 6,0% (yoy). Perlambatan pertumbuhan ekonomi terutama
disebabkan oleh terbatasnya konsumsi pemerintah karena faktor siklikal (rendahnya penyerapan
belanja pemerintah daerah di awal tahun) serta kinerja investasi yang menurun. Memasuki triwulan
II 2016, ekonomi KTI diperkirakan cenderung meningkat, didukung oleh perbaikan di lapangan usaha
utama yang ditopang oleh menguatnya sisi permintaan khususnya akselerasi konsumsi rumah
tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi. Secara keseluruhan tahun 2016, ekonomi KTI
diproyeksikan tumbuh melambat di kisaran 7,1%-7,5% (yoy).
Dari aspek perkembangan harga, laju inflasi KTI pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 4,72% (yoy),
lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (4,06%, yoy). Peningkatan laju inflasi pada triwulan I 2016
terutama disebabkan oleh meningkatnya inflasi volatile foods dan administered prices. Tekanan
inflasi pada triwulan II 2016 diperkirakan berkurang, yang diawali dengan deflasi sebesar -0,40%
(mtm) pada April 2016. Meski tekanan permintaan akan meningkat pada akhir triwulan II 2016,
inflasi tahunan relatif akan terkendali khususnya karena relatif stabilnya harga pangan dan
komoditas energi. Hingga akhir tahun 2016, beberapa faktor seperti optimisme terhadap capaian
produksi pangan dan masih rendahnya harga minyak dunia menyebabkan tendensi penurunan
inflasi di KTI yang diproyeksikan berada pada kisaran 3,6%-4,0% (yoy).
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI)
mengalami perlambatan pada triwulan I 2016
dibandingkan dengan triwulan IV 2015.
Pertumbuhan ekonomi secara agregat tercatat
sebesar 6,0% (yoy), lebih rendah dari triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar 8,6% (yoy).
Melambatnya perekonomian KTI terutama terjadi
di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo,
Nusa Tenggara Barat. Papua bahkan tercatat
kembali mengalami kontraksi pertumbuhan
ekonomi setelah pada empat kuartal terakhir
dapat tumbuh cukup tinggi (Tabel V.1). Kembali
terkontraksinya ekonomi Papua disebabkan oleh
penurunan ekspor tambang yang cukup besar.
Secara umum, perlambatan ekonomi di berbagai
daerah di KTI dipengaruhi oleh kinerja konsumsi
pemerintah yang melambat. Di samping itu,
selesainya pembangunan beberapa proyek
hilirisasi tambang di beberapa daerah seperti di
Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah turut
memengaruhi kinerja ekonomi KTI secara
keseluruhan.
Tabel V.1. Pertumbuhan Ekonomi Daerah di KTI (% year-on-year)
Sumber: BPS dan Prakiraan Bank Indonesia
Di sisi permintaan, melambatnya ekonomi KTI
dipengaruhi oleh perlambatan konsumsi
pemerintah dan investasi bangunan.
Perlambatan konsumsi pemerintah dipengaruhi
oleh realisasi APBD yang belum optimal di
triwulan I 2016. Hal ini disebabkan antara lain
oleh adanya kendala dalam pengesahan APBD
antara lain terkait dengan transisi pemerintahan
I II III IV I IIp
SulawesiSelatan 7,5 5,7 8,0 7,6 7,2 7,1 7,4 7,7
SulawesiBarat 8,9 5,6 8,7 6,3 8,7 7,4 6,1 7,4
SulawesiTenggara 6,3 5,7 7,2 7,0 7,5 6,9 5,2 6,6
SulawesiTengah 5,1 16,5 15,1 15,6 15,1 15,6 11,8 16,3
Gorontalo 7,3 4,8 6,7 5,9 7,7 6,2 6,6 6,9
SulawesiUtara 6,3 6,4 6,3 6,3 5,6 6,1 6,0 6,1
MalukuUtara 5,5 5,0 6,5 6,8 6,0 6,1 5,1 5,7
Maluku 6,6 4,1 5,5 5,6 6,5 5,4 5,5 5,9
PapuaBarat 5,4 (2,0) 7,0 6,6 5,2 4,1 5,5 5,3
Papua 3,8 1,6 13,8 2,5 14,1 8,0 (2,0) 2,1
Bali 6,7 6,0 5,9 6,3 6,0 6,0 6,0 6,1
NusaTenggaraBarat 5,1 19,4 20,1 34,2 12,0 21,2 10,0 8,4
NusaTenggaraTimur 5,1 4,6 5,1 5,1 5,1 5,0 5,1 5,2
KTI 6,1 6,5 9,4 8,9 8,6 8,4 6,0 6,9
20142015
20152016
Provinsi
60
pasca Pilkada. Kinerja keuangan pemerintah
daerah yang belum optimal juga menahan
perkembangan investasi di KTI. Di samping itu,
investasi bangunan juga terbatas seiring dengan
selesainya beberapa proyek hilirisasi tambang di
Sulawesi. Realisasi PMA pada triwulan I 2016
tercatat sebesar US$1,07 miliar atau tumbuh
hanya 2,7% (yoy), lebih rendah dari triwulan
sebelumnya yang mencapai US$1,10 miliar atau
tumbuh sebesar 5,1% (yoy).
Di sisi lain, ekspor luar negeri dan konsumsi
rumah tangga menjadi penopang pertumbuhan
ekonomi KTI pada triwulan I 2016. Penguatan
ekspor terutama bersumber dari hasil industri
pengolahan dan ekspor jasa pariwisata. Liaison
Bank Indonesia mengindikasikan penjualan
ekspor hasil tambang dan olahannya didorong
oleh pengurangan persediaan dari beberapa
pelaku usaha besar di KTI (Grafik V.1). Sementara
itu, konsumsi rumah tangga juga tumbuh lebih
tinggi dari capaian ditriwulan sebelumnya
didukung oleh terkendalinya inflasi, pendapatan
usaha manufaktur yang membaik, serta tingginya
rata-rata peningkatan UMP di KTI yang tercatat
tumbuh di atas 10%.
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha dan Liaison Bank
Indonesia
Grafik V.1. SBT Realisasi Kegiatan Usaha dan Likert Scale
Perkembangan berbagai indikator dan hasil
liaison mengindikasikan potensi membaiknya
ekonomi KTI pada triwulan II 2016.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2016
diperkirakan berada pada kisaran 6,9% (yoy).
Prakiraan membaiknya perekonomian terjadi di
hampir seluruh provinsi di KTI, kecuali NTB.
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai
daerah tersebut didukung oleh kinerja konsumsi
rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan
investasi (PMTB) yang tumbuh menguat. Di sisi
lain, perlambatan yang terjadi di NTB terutama
dipengaruhi oleh terbatasnya sisa kuota ekspor
konsentrat mineral selama periode triwulan II
2016.
Meningkatnya konsumsi rumah tangga di
berbagai daerah di KTI terindikasi dari kenaikan
penjualan eceran pada awal triwulan II 2016
(Grafik V.2). Kenaikan ini diperkirakan didukung
oleh optimisme konsumen terhadap pendapatan
disertai inflasi yang dinilai terkendali, khususnya
dari komoditas yang harganya diatur pemerintah
(Grafik V.3). Di samping itu, tingkat pendapatan
di lapangan usaha pertanian juga diperkirakan
membaik seiring dengan datangnya musim panen
raya di daerah sentra. Sementara itu, kinerja
konsumsi pemerintah juga membaik pada
triwulan II 2016. Penyerapan anggaran
diperkirakan tumbuh lebih tinggi terutama dalam
upaya peningkatan bantuan pada usaha
pertanian dan belanja operasional untuk
mendukung realisasi proyek pemerintah.
Penyaluran dana desa juga akan dilakukan pada
triwulan II 2016 di berbagai daerah sehingga
mendukung arah akselerasi konsumsi.
Sumber: Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia
Grafik V.2. Pertumbuhan Omset Penjualan Eceran
Investasi (PMTB) diperkirakan tumbuh
meningkat pada triwulan II 2016. Meningkatnya
kinerja investasi terutama didorong oleh
semakin intensifnya realisasi pembangunan
infrastruktur di berbagai daerah yang
berhubungan dengan penguatan konektivitas
yaitu proyek-proyek terkait dengan pelabuhan
61
laut (NTT, Sulawesi Selatan), jalan antarkota, dan
rel kereta api (Gorontalo, Sulawesi Selatan).
Sementara itu, investasi non-bangunan
diperkirakan juga meningkat untuk memenuhi
kebutuhan smelter baru serta penambahan
kapasitas produksi yang dilakukan oleh beberapa
pelaku usaha tambang mineral. Kinerja investasi
juga ditopang oleh proyek multiyears pembangkit
listrik di berbagai daerah serta investasi fiber
optic di Papua Barat dalam rangka perluasan
jaringan telekomunikasi.
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik V.3. Indeks Keyakinan Konsumen
Namun, masih terbatasnya kinerja ekspor luar
negeri diperkirakan menahan laju pertumbuhan
ekonomi KTI lebih lanjut pada triwulan II 2016.
Ekspor hasil olahan nikel diperkirakan mengalami
perlambatan seiring dengan kondisi harga yang
belum menunjukkan pemulihan berarti. Faktor
disinsentif harga akan turut menahan ekspor LNG
dari Sulawesi Tengah dan Papua Barat. Di
samping itu, selama periode triwulan II 2016,
kuota ekspor produsen konsentrat mineral dari
NTB hanya tersisa sekitar 9% dan izin
perpanjangan ekspor baru akan diajukan pada
Juli 2016. Ekspor tambang dari Papua juga
diperkirakan tercatat tumbuh melambat karena
faktor base effect tingginya ekspor pada triwulan
yang sama tahun 2015 pasca diperolehnya izin
ekspor. Masih terbatasnya ekspor diikuti oleh
melambatnya impor, khususnya impor bahan
baku yang dibutuhkan pada kegiatan
pertambangan dan proses pengolahannya.
Kinerja Lapangan Usaha
Pertanian
Pertumbuhan lapangan usaha pertanian,
kehutanan, dan perikanan kembali mengalami
perlambatan pada triwulan I 2016. Kinerja
lapangan usaha ini tercatat tumbuh melambat
dari 3,5% (yoy) menjadi 2,2% (yoy). Melambatnya
kinerja pertanian terutama terjadi di Provinsi
Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo,
Papua, Bali, NTB, dan NTT. Perlambatan yang
terjadi terkait dengan dampak kekeringan yang
menyebabkan terjadinya kemunduran masa
panen. Selain itu, kinerja perkebunan juga belum
optimal yang tercermin dari volume ekspor biji
kakao yang masih terkontraksi selama tiga bulan
pertama di tahun 2016. Hal ini dipengaruhi oleh
produktivitas tanaman yang belum maksimal
serta harga jual yang lebih rendah dari akhir
tahun lalu (Grafik V.4). Ekspor komoditas pala
juga tercatat menurun karena permintaan dari
negara importir yang terbatas. Di sisi lain, kinerja
produksi perikanan yang tumbuh membaik
karena cuaca yang kondusif dan bantuan sarana
dan prasarana yang telah direalisasikan di
beberapa sentra penangkapan ikan di KTI.
Sumber: World Bank, diolah
Grafik V.4. Harga Internasional Kakao
Memasuki triwulan II 2016, kinerja pertanian
diperkirakan tumbuh meningkat didukung oleh
membaiknya produksi tanaman bahan makanan
(tabama) dan perikanan. Masuknya masa panen
raya di daerah sentra penghasil padi, khususnya
di Sulawesi dan Balinusra, diperkirakan
mendukung arah peningkatan usaha pertanian.
Panen jagung juga diperkirakan mencapai
62
puncaknya pada April-Mei 2016 di Gorontalo.
Berdasarkan hasil liaison di beberapa daerah
sentra produksi, terindikasi adanya peningkatan
produktivitas tabama di KTI. Di samping itu,
membaiknya tangkapan ikan, utamanya di
Maluku, didukung oleh peningkatan produksi
ikan lokal. Demikian halnya dengan produksi
perkebunan yang diperkirakan cenderung
meningkat, terutama didukung oleh produksi
kakao.
Membaiknya produksi hasil pertanian, terutama
perkebunan dan perikanan, diperkirakan
menopang kinerja ekspor KTI di triwulan II
2016. Peningkatan produksi pertanian, khususnya
dari hasil perkebunan dan perikanan akan
menjaga pasokan bahan baku untuk kegiatan
ekspor pertanian yang bersifat mentah maupun
yang akan diolah lebih lanjut. Liaison kepada
eksportir komoditas udang dan ikan segar
mengindikasikan permintaan dari negara mitra
dagang cenderung meningkat sehingga
mendorong pelaku usaha untuk menjaga tingkat
produksi. Perbaikan dari sisi pendapatan ekspor
pertanian akan mendukung kinerja konsumsi
rumah tangga mengingat besarnya serapan
tenaga kerja lapangan usaha pertanian di KTI.
Sumber: BPS
Grafik V.5. Nilai Tukar Petani
Beberapa indikator lainnya juga
mengindikasikan adanya peningkatan kinerja
lapangan usaha pertanian. Survei Kegiatan Dunia
Usaha (SKDU) mengindikasikan potensi
peningkatan kegiatan usaha, harga jual, dan
investasi untuk lapangan usaha pertanian pada
triwulan II 2016. Hal ini terutama didukung oleh
masuknya puncak panen di berbagai daerah
sentra pertanian di KTI. Selain itu, Nilai Tukar
Petani (NTP) di beberapa provinsi cenderung
mulai meningkat sejak April 2016 (Grafik V.5).
Pertambangan
Lapangan usaha pertambangan di KTI tumbuh
melambat pada triwulan I 2016 dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Usaha
pertambangan tercatat tumbuh hanya sebesar
0,8% (yoy) pada triwulan I 2016, setelah tumbuh
mencapai 19,2% (yoy) pada triwulan sebelumnya.
Perlambatan usaha pertambangan terjadi di
daerah basis tambang yaitu di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Papua Barat, dan NTB. Di
Provinsi Papua, Sulawesi Tenggara, dan Maluku
Utara bahkan mengalami kontraksi
pertumbuhan. Kontraksi pertumbuhan usaha
pertambangan di Papua terjadi karena
terkendalanya proses produksi akibat persoalan
teknis. Selain itu, produktivitas hasil galian
konsentrat di Papua juga tidak setinggi triwulan
sebelumnya. Hal tersebut memengaruhi capaian
produksi mineral di Papua yang lebih rendah
dibanding triwulan IV 2015 (Grafik V.6). Produksi
nikel di Sulawesi juga tumbuh melambat
terutama karena faktor masih rendahnya harga
sehingga berdampak pada sisi permintaan. Stok
nikel yang masih tersedia terindikasi digunakan
untuk memenuhi kebutuhan industri olahan
nikel setempat. Di Sulawesi Selatan, perlambatan
produksi nikel lebih disebabkan oleh adanya
jadwal maintenance mesin produksi yang
menahan kinerja operasional di awal tahun
(Grafik V.7).
Pada triwulan II 2016, kinerja pertambangan
diperkirakan berbalik arah dan tumbuh lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya. Kembali
meningkatnya kinerja pertambangan
diperkirakan bersumber dari kenaikan produksi
nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Meski harga komoditas tambang diperkirakan
belum pulih (Grafik V.8) dan permintaan dari
negara mitra dagang masih lemah, kegiatan
63
produksi akan ditingkatkan setelah pelaku usaha
terindikasi meminimalkan produksi pada triwulan
sebelumnya. Hasil produksi lebih diarahkan untuk
memenuhi permintaan industri nikel serta
mengisi kembali persediaan yang telah digunakan
pada triwulan sebelumnya. Di Sulawesi Selatan
dan Papua, kegiatan operasional diperkirakan
akan kembali normal dan utilisasi kapasitas
produksi akan ditingkatkan pasca perbaikan pada
mesin produksi.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.6. Produksi Mineral Papua
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.7. Produksi Mineral Sulawesi Selatan
Namun, kinerja produksi pertambangan yang
meningkat pada triwulan II 2016 diperkirakan
belum mendorong kenaikan kinerja ekspor.
Masih lemahnya permintaan dari negara mitra
dagang, khususnya Tiongkok dan Jepang, serta
faktor rendahnya harga komoditas masih
menahan perbaikan kinerja ekspor
pertambangan. Produksi yang meningkat lebih
disebabkan oleh rendahnya produksi di triwulan
sebelumnya karena adanya permasalahan
operasional di beberapa daerah serta
pengurangan stok yang dilakukan produsen. Di
samping itu, faktor base effect tingginya
pertumbuhan ekspor di triwulan II 2015 berimbas
pada akan lebih rendahnya angka realisasi
pertumbuhan ekspor di triwulan II 2016.
Sumber: World Bank
Grafik V.8. Harga Komoditas Tambang
Industri
Kinerja lapangan usaha industri pengolahan
mengalami percepatan pada triwulan I 2016.
Setelah tumbuh 11,0% (yoy) pada triwulan
sebelumnya, pertumbuhan usaha industri
tercatat mencapai 11,9% (yoy) pada triwulan I
2016. Kenaikan kinerja industri pengolahan
tersebut masih bersumber dari industri berbasis
tambang mineral dan gas alam di Sulawesi seiring
dengan mulai beroperasinya pabrik pengolahan
baru didukung oleh tersedianya stok dan bahan
baku (Grafik V.9). Produksi LNG di Papua Barat
juga turut meningkat untuk memenuhi target
produksi di tahun 2016. Kinerja beberapa industri
lainnya seperti ikan olahan dan kayu olahan juga
mengalami perbaikan yang didukung oleh
terjaganya pasokan bahan baku sehingga
produksi dapat didorong pada tingkat yang
optimal. Sementara itu, liaison kepada kontak
industri olahan kelapa dan minyak atsiri,
mengindikasikan adanya peningkatan harga jual
sehingga memberikan insentif bagi produsen
untuk menaikkan produksinya.
Pada triwulan II 2016, kinerja industri
pengolahan diperkirakan cenderung meningkat.
Peningkatan pertumbuhan akan didorong oleh
naiknya permintaan domestik untuk produk
industri makanan dan sandang. Hal ini sebagai
64
respons dari pelaku usaha yang mengantisipasi
kenaikan permintaan pada masa Ramadhan dan
Lebaran. Industri perhiasan di Bali juga
diperkirakan meningkat karena permintaan yang
masih kuat. Di Sulawesi Selatan, industri bahan
makanan mendorong produksi untuk
mengantisipasi lonjakan permintaan saat hari
besar keagamaan. Sementara itu, penjualan
semen juga diperkirakan meningkat untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan pemerintah
dan swasta yang lebih intensif di triwulan II 2016.
Mulai beroperasinya pabrik gula baru di NTB
diperkirakan turut berkontribusi pada
meningkatnya kinerja sektor industri di KTI.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.9. Produksi Feronikel Sulawesi Tenggara
Ekspor berbasis industri tumbuh terbatas karena
faktor eksternal yang belum kondusif.
Permintaan dan harga global yang masih lesu,
khususnya untuk komoditas tambang, membuat
kinerja penjualan ekspor industri olahan nikel
relatif terbatas dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Di sisi lain, kenaikan produksi
industri pengolahan terutama diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan pasar domestik, terutama
untuk mengantisipasi kenaikan permintaan pada
masa Ramadhan dan Lebaran. Peningkatan
industri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
domestik tercermin dari perkembangan indeks
produksi industri berskala mikro dan kecil di KTI
yang masih dalam tren meningkat di beberapa
daerah (Grafik V.10).
Sumber: BPS, diolah
Grafik V.10. Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil
Konstruksi
Pada triwulan I 2016, lapangan usaha konstruksi
mengalami perlambatan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konstruksi
pada triwulan I 2016 tercatat sebesar 7,5% (yoy),
lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang
sebesar 9,8% (yoy). Selesainya beberapa proyek
swasta berskala besar untuk pembangunan
pabrik hilirisasi komoditas tambang menjadi
penyebab perlambatan tersebut. Perlambatan
juga dipengaruhi oleh kegiatan belanja modal
yang masih tertahan pada awal tahun
sebagaimana pola siklikalnya. Beberapa proyek
lain terkait infrastruktur pariwisata di berbagai
daerah tujuan wisatawan juga masih dalam tahap
pembebasan lahan. Indikator realisasi pengadaan
semen di KTI yang tumbuh melambat
mengkonfirmasi perlambatan usaha konstruksi
(Grafik V.11).
Memasuki triwulan II 2016, kinerja konstruksi
diperkirakan tumbuh lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya. Hal tersebut bergerak sejalan
dengan kegiatan investasi dan belanja modal
pemerintah daerah yang meningkat. Peningkatan
kegiatan pembangunan di sisi pemerintah akan
didukung oleh realisasi berbagai proyek fisik
pemerintah. Dari sisi swasta, berbagai proyek
hotel dan pelabuhan, di beberapa daerah tujuan
wisata KTI, akan mendorong kinerja konstruksi.
Selain itu, berbagai proyek pengembangan
kawasan ekonomi terpadu juga terus berlanjut
seperti di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Maluku Utara, serta NTB.
65
Sumber: ASI, diolah
Grafik V.11. Realisasi Pengadaan Semen
Perkembangan usaha konstruksi yang
diperkirakan meningkat pada triwulan II 2016
sejalan dengan perkembangan investasi
bangunan. Meski melambat pada triwulan I 2016,
perkembangan investasi bangunan terindikasi
membaik pada triwulan II 2016. Hal ini terindikasi
dari hasil SKDU baik dari perkiraan realisasi
usaha, harga jual, dan kegiatan investasi di
berbagai sektor ekonomi yang menunjukkan
peningkatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya (Grafik V.12).
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik V.12. Perkembangan Lapangan Usaha Bangunan
Perdagangan
Pada triwulan I 2016, kinerja perdagangan di KTI
tumbuh melambat. Realisasi pertumbuhan
perdagangan tercatat tumbuh lebih rendah yakni
dari 8,1% (yoy) pada triwulan sebelumnya dan
menjadi 7,4% (yoy) pada triwulan I 2016.
Perlambatan pertumbuhan terutama terjadi di
provinsi yang memiliki pangsa cukup besar dalam
struktur ekonomi KTI, seperti Sulawesi Selatan,
Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku, Papua Barat,
Papua, dan NTT. Melambatnya kinerja
perdagangan terutama dipengaruhi oleh
melambatnya kinerja perdagangan antardaerah.
Hal ini tercermin dari kegiatan bongkar-muat di
Pelabuhan Makassar (Grafik V.13) yang masih
terkontraksi pada Februari-Maret 2016. Demikian
halnya kinerja perdagangan besar yang tumbuh
melambat sebagaimana tercermin dari
menurunnya penjualan otomotif. Hasil liaison
mengindikasikan penurunan penjualan otomotif
diikuti oleh upaya pelaku usaha untuk untuk
sedikit menurunkan harga jual mobil.
Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan, diolah
Grafik V.13. Volume Bongkar Muat Pelabuhan Makassar
Memasuki periode triwulan II 2016, kinerja
usaha perdagangan diperkirakan cenderung
meningkat. Peningkatan kinerja lapangan usaha
perdagangan terutama didorong oleh permintaan
yang meningkat saat momen masuknya masa
persiapan Lebaran. Baik dari sisi perdagangan
eceran maupun perdagangan besar diperkirakan
akan mengalami peningkatan seiring dengan
perbaikan di berbagai sektor ekonomi di KTI
(pertanian, industri, konstruksi) yang
membutuhkan berbagai barang pendukung
produksi. Perkembangan usaha perdagangan
yang meningkat juga dikonfirmasi dari hasil SKDU
yang menunjukkan optimisme pelaku usaha
terhadap realisasi kegiatan usaha pada triwulan II
2016 (Grafik V.14).
Percepatan pertumbuhan usaha perdagangan
tersebut bergerak searah dengan kinerja
konsumsi. Membaiknya penyerapan anggaran
serta momen menjelang hari besar keagamaan
akan mendorong kegiatan konsumsi pemerintah
maupun konsumsi rumah tangga. Di samping itu,
66
kegiatan perdagangan antardaerah diperkirakan
tumbuh meningkat seiring peningkatan
permintaan.
Sumber: Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik V.14. Perkembangan Kegiatan Usaha dan Harga Jual Perdagangan
Akomodasi
Kinerja usaha penyediaan akomodasi tercatat
tumbuh meningkat pada triwulan I 2016.
Pertumbuhan usaha penyediaan akomodasi
tercatat sebesar 7,3% pada triwulan I 2016,
meningkat dibanding periode triwulan
sebelumnya yang sebesar 5,9% . Kenaikan kinerja
penyediaan akomodasi terutama terjadi di
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, dan NTB.
Hal ini tidak terlepas dari menigkatnya aktivitas
pariwisata didukung oleh libur panjang dan
perayaan Imlek sehingga mendorong
pertumbuhan kunjungan wisman di awal tahun
(Grafik V.15). Liaison kepada pelaku usaha
perhotelan pada saat menjelang Imlek,
kunjungan wisatawan, khususnya dari Tiongkok
ke Bali, mengalami peningkatan hingga 10%
dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Pertumbuhan lapangan usaha penyediaan
akomodasi diperkirakan sedikit melambat pada
triwulan II 2016. Perlambatan terutama
dipengaruhi oleh kinerja pariwisata yang relatif
tertahan, terutama di akhir triwulan, seiring
dengan dimulainya masa puasa. Meski jumlah
kunjungan wisman dan wisnus diperkirakan
masih bertumbuh, pertumbuhan diperkirakan
tidak terakselerasi karena memasuki periode low
season.
Sumber: BPS, diolah
Grafik V.15. Kunjungan Wisatawan Mancanegara
Melambatnya kinerja lapangan usaha
penyediaan akomodasi pada triwulan II 2016
turut menekan kinerja ekspor. Dengan adanya
pesimisme dari sisi kunjungan wisman karena
dimulainya periode low season, membuat kinerja
ekspor jasa diperkirakan turut melambat. Hal
tersebut akan memengaruhi perlambatan kinerja
ekspor secara keseluruhan.
Fiskal Daerah
Penyerapan belanja APBD di berbagai daerah di
KTI pada triwulan I 2016 masih belum optimal
sehingga belum mampu mendukung percepatan
pertumbuhan eknomomi di KTI. Berbagai
kendala penyerapan belanja APBD masih ditemui
di beberapa daerah, seperti adanya penyusunan
ulang program pemerintah dan adanya proyek
yang terlambat dari jadwal sehingga baru
memasuki proses lelang. Selain itu, masa transisi
pemerintahan baru pasca Pilkada ditengarai
menahan laju percepatan belanja daerah.
Walau belum mampu mendorong percepatan
ekonomi, kinerja belanja APBD di berbagai
daerah di KTI pada triwulan I 2016 mengalami
peningkatan dibandingkan dengan periode yang
sama tahun sebelumnya. Dari total Rp49,4
triliun nilai APBD Provinsi11
di KTI tahun 2016,
penyerapan belanja triwulan I 2016 mencapai
10,6%, atau lebih tinggi dari penyerapan di
periode yang sama tahun sebelumnya yang
tercatat 8,8% (Tabel V.2). Seluruh komponen
belanja mencatat peningkatan realisasi. Belanja
11
Berdasarkan data sementara realisasi APBD Provinsi
(belum termasuk Papua Barat)
67
operasional (termasuk transfer) tercatat
meningkat realisasinya dari 10,5% menjadi
12,3%. Sementara itu, belanja modal masih
tercatat di bawah 5% yaitu sebesar 4,1%. Meski
demikian, angka realisasi belanja modal tersebut
meningkat dari triwulan I 2015 yang hanya
terealisasi sebesar 2,5%.
Peningkatan realisasi belanja APBD didukung
oleh peningkatan dana perimbangan yang
ditransfer dari Pusat. Secara total, realisasi
pendapatan daerah mencapai 20,7% di triwulan I
2016, lebih tinggi dari realisasi triwulan I 2015
sebesar 18,7% yang didorong oleh peningkatan
realisasi penerimaan dana perimbangan yaitu
dari 21,7% menjadi 27,1%. Namun demikian,
kinerja penerimaan dari sisi PAD dan pendapatan
lain yang sah menunjukkan penurunan
dibandingkan dengan triwulan I 2015.
Tabel V.2. Realisasi Penyerapan Agregat APBD Provinsi di KTI
Sumber: SKPD masing-masing provinsi
Peningkatan kinerja belanja APBD dibandingkan
dengan triwulan I 2015 didukung berbagai
stategi yang diterapkan oleh beberapa
pemerintah provinsi. Di Bali, upaya percepatan
realisasi dilakukan melalui monitoring dan
evaluasi secara bulanan oleh Gubernur.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi NTT
menerapkan strategi dengan meningkatkan
target realisasi belanja APBD menjadi 40% di
semester I 2016. Di Sulawesi Selatan, realisasi
yang lebih baik dipengaruhi oleh minimalnya
permasalahan nomenklatur.
Perkembangan Inflasi
Laju inflasi KTI pada triwulan I 2016 tercatat
sebesar 4,72% (yoy) masih cukup terkendali
meskipun sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan triwulan IV 2015 sebesar 4,06% (yoy).
Terkendalinya inflasi dipengaruhi oleh terjaganya
pasokan pangan sepanjang periode triwulan
laporan. Hal ini disertai dengan deflasi secara
bulanan yang terjadi pada beberapa komoditas
pangan seperti ikan segar, aneka sayur, aneka
buah, serta daging. Terjaganya inflasi juga
didukung oleh deflasi bulanan administered
prices selama tiga bulan berturut-turut sejak
Januari 2016 seiring dengan penurunan harga
BBM dan tarif angkutan. Meski demikian,
kenaikan harga beberapa komoditas bumbu-
bumbuan terutama cabe dan bawang merah
memberikan tekanan kenaikan harga di sejumlah
daerah di Sulawesi dan Maluku.
Memasuki awal triwulan II 2016, tekanan inflasi
di KTI cenderung menurun. Pada April 2016, KTI
mengalami deflasi akibat menurunnya harga-
harga pada kelompok transpor, bahan makanan,
dan kelompok perumahan. Deflasi yang terjadi
tercatat sebesar -0,40% (mtm) dengan inflasi
tahunan sebesar 4,02% (yoy). Hampir seluruh
provinsi yang berada di KTI mengalami deflasi,
kecuali Maluku Utara dan NTT yang tercatat
mengalami inflasi tipis masing-masing 0,05%
(mtm) dan 0,04% (mtm). Penurunan harga
kelompok transpor terutama disebabkan oleh
turunnya harga komoditas bensin dan tarif
angkutan udara. Sementara itu, harga bahan
makanan mengalami penurunan karena
membaiknya pasokan aneka cabai, ikan layang,
dan telur ayam ras, di tengah kenaikan harga
aneka bawang. Adapun penyesuaian Tarif Dasar
Listrik (TDL) menyebabkan deflasi pada kelompok
perumahan.
Dengan perkembangan tersebut, inflasi tahunan
pada triwulan II 2016 diperkirakan lebih rendah
dari triwulan sebelumnya. Sumber penurunan
inflasi terutama dari penurunan tarif
administered prices seperti harga bensin, tarif
Tw 1 2015 Tw I 2016
Pendapatan APBD Provinsi 18.7 20.7
Pendapatan Asli Daerah 21.8 16.1
Dana Perimbangan 21.7 27.1
Lain-lain Pendapatan yang Sah 9.6 7.5
Belanja APBD Provinsi 8.8 10.6
Belanja Operasi + Transfer 10.5 12.3
Belanja Modal 2.5 4.1
Belanja Tidak Terduga 0.0 0.9
Komponen APBDRealisasi (%)
68
angkutan, serta TDL yang terjadi di awal triwulan.
Di samping itu, penurunan juga diperkirakan
terjadi pada beberapa komoditas pangan seperti
beras, aneka cabai, dan daging ayam ras (Grafik
V.16). Turunnya harga beras dan hortikultura
didukung oleh tibanya musim panen raya. Meski
demikian, penurunan inflasi lebih lanjut akan
tertahan oleh kecenderungan meningkatnya
harga-harga saat Ramadhan dan menjelang
Lebaran di akhir triwulan II 2016. Tekanan
permintaan dimaksud terutama akan terjadi pada
kelompok makanan jadi dan perumahan.
Kelompok sandang juga diperkirakan menambah
tekanan inflasi seiring dengan tren meningkatnya
harga emas di pasar global. Berdasarkan kondisi
tersebut, inflasi KTI pada triwulan II 2016
diperkirakan berada pada kisaran 4,28% (yoy).
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Grafik V.16. Perkembangan Harga Beberapa Komoditas
Mendekati hari besar keagamaan, TPID di KTI,
baik di level provinsi maupun kabupaten/kota
terus melakukan kegiatan koordinasi untuk
meredam lonjakan harga yang signifikan. Hal ini
dilakukan antara lain dengan mengadakan rapat
koordinasi secara rutin dengan berbagai
stakeholders, khususnya terkait proses
pengadaan dan distribusi barang. Kegiatan
inspeksi langsung dan peninjauan ke gudang-
gudang dan tempat penyimpanan barang
kebutuhan pokok milik distributor di daerah
menjadi salah satu agenda tindak lanjut. Di
samping itu, upaya untuk menjaga ekspektasi
inflasi baik dari sisi pedagang maupun
masyarakat terus dilakukan melalui sosialisasi
dan komunikasi di media cetak dan elektronik.
Apalagi, ekspektasi inflasi cenderung akan
meningkat pada saat menjelang Lebaran (Grafik
V.17). Untuk memperkuat komunikasi kepada
masyarakat, TPID juga semakin mengoptimalkan
media informasi “Pusat Informasi Harga Pangan
Strategis” atau PIHPS yang juga berfungsi sebagai
alat evaluasi bagi TPID dalam mengendalikan
inflasi.
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik V.17. Ekspektasi Harga Komsumen
Stabilitas Keuangan Daerah
Ketahanan Sektor Korporasi
Melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI
memiliki dampak terhadap meningkatnya risiko
yang dihadapi pelaku usaha. Tren penurunan
harga komoditas menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi kinerja profitabilitas korporasi di
KTI, terutama oleh para pelaku usaha atau
korporasi di KTI yang terkait dengan komoditas
tambang dan perkebunan. Berlanjutnya tren
penurunan harga komoditas di pasar ekspor
menekan kinerja pendapatan dan produksi
pelaku usaha. Pertumbuhan lapangan usaha
tambang pada triwulan I 2016 tercatat sebesar
0,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan
triwulan IV 2015 yang mencapai 19,2% (yoy).
Sementara itu, kinerja usaha pertanian pada
triwulan I 2016 tercatat sebesar 2,2% (yoy), lebih
rendah dari triwulan IV 2015 yang mencapai 3,5%
(yoy).
Dari sisi eksposur perbankan, tercatat bahwa
pangsa kredit perbankan yang disalurkan ke
sektor korporasi di KTI mencapai 23,20% dari
total penyaluran kredit. Angka persentase kredit
korporasi tersebut sedikit menurun dibandingkan
dengan akhir triwulan sebelumnya yang
69
mencapai 23,35%. Lapangan usaha perdagangan
masih mendominasi penyaluran kredit korporasi
dengan pangsa mencapai 24,63%. Selanjutnya,
pangsa terbesar dimiliki oleh lapangan usaha
akomodasi dan konstruksi yang masing-masing
memiliki pangsa sebesar 18,63% dan 15,05% dari
total kredit korporasi sebesar Rp88,56 triliun.
Kredit perbankan kepada korporasi
menunjukkan perlambatan terutama di
lapangan usaha dengan pangsa terbesar di KTI.
Usaha konstruksi mengalami perlambatan yang
cukup dalam dari tumbuh sebesar 17,81% (yoy)
pada triwulan IV 2015 menjadi 8,87% (yoy).
Demikian juga dengan usaha perdagangan yang
mengalami perlambatan dari 18,87% (yoy) pada
triwulan IV 2015 menjadi menjadi 18,00% (yoy).
Di sisi lain, kredit kepada usaha penyediaan
akomodasi mengalami kenaikan menjadi 22,30%
(yoy) pada triwulan I 2016 dari 18,78% (yoy).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.18. Pertumbuhan Kredit Korporasi
Perlambatan pertumbuhan kredit memengaruhi
pertumbuhan DPK korporasi di tengah
menurunnya kondisi kualitas kredit kepada
korporasi. Melambatnya pertumbuhan DPK
dinilai terjadi seiring dengan telah selesainya
pembangunan beberapa pabrik hilirisasi di KTI.
Kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya
alokasi dana korporasi di perbankan daerah,
khususnya jenis simpanan giro. Sementara itu,
penurunan kualitas kredit tercermin dari
kenaikan angka rasio NPL korporasi yang
mencapai 4,85%. Hal ini utamanya dipengaruhi
oleh kondisi perekonomian yang masih tumbuh
melambat di awal tahun sehingga menekan
pendapatan pelaku usaha.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.19. Perkembangan NPL Kredit Korporasi
Di tengah tren perlambatan perekonomian di
awal tahun 2016, ketahanan korporasi, baik
dalam jangka panjang (solvabilitas) maupun
jangka pendek (likuiditas), masih dapat terjaga.
Hal ini tercermin dari agregat kinerja keuangan
beberapa korporasi terbuka (listed company)
yang beroperasi di KTI yang masih cukup baik
hingga akhir 2015. Korporasi yang bergerak di
lapangan usaha pertambangan, seperti batubara,
minyak mentah, dan produk logam, memiliki
kemampuan membayar hutang jangka panjang
yang tinggi, terutama pada korporasi berbasis
produk logam. Hal tersebut tercermin dari
solvability ratio pada 2015 yang cenderung
meningkat dibandingkan dengan 2014. Kondisi
yang relatif sama juga terjadi pada korporasi yang
bergerak di lapangan usaha perkebunan,
khususnya karet, yang memiliki kemampuan
untuk membayar hutang jangka panjang tertinggi
dibandingkan dengan pelaku usaha komoditas
lainnya (Tabel V.3).
Kemampuan penyelesaian kewajiban korporasi
di KTI relatif masih berada pada level yang
cukup tinggi walau beban hutang meningkat. Hal
ini tercermin dari Interest Coverage Ratio (ICR)
yang pada 2015 mencapai 10,12, meningkat
dibandingkan dengan 2014 (9,41). Peningkatan
tersebut terutama didorong oleh korporasi yang
bergerak pada usaha pertambangan. Di sisi lain,
beban hutang yang ditanggung korporasi di KTI
relatif mengalami kenaikan. Kondisi tersebut
tercermin dari Debt to Service Ratio (DSR) yang
pada 2015 mencapai angka 0,89, lebih tinggi dari
2014 yang mencapai 0,63. Secara sektoral, DSR
70
yang tinggi dimiliki oleh korporasi tambang.
Kondisi ini dipengaruhi oleh diperolehnya izin
ekspor mineral mentah yang membuat
pendapatan korporasi kembali meningkat.
Namun demikian, pemerintah juga mewajibkan
korporasi tambang untuk membangun smelter,
sehingga rasio hutang turut meningkat.
Tabel V.3. Indikator Kinerja Keuangan Korporasi di KTI
Sumber: Bloomberg, diolah dari data 13 korporasi terbuka yang beroperasi di KTI
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Perkembangan ekonomi KTI yang fluktuatif dan
cenderung melambat di awal 2016 belum
berdampak signifikan terhadap kegiatan
konsumsi masyarakat. Rata-rata alokasi
pengeluaran untuk konsumsi di KTI pada triwulan
I 2016 relatif terjaga pada angka 66,67%, sedikit
lebih rendah dari akhir tahun 2015 yang tercatat
sebesar 67,65%. Kondisi tersebut sejalan dengan
masih kuatnya kinerja konsumsi rumah tangga di
triwulan I 2016. Adapun persentase untuk
tabungan dan cicilan masih terjaga pada angka
18,50% dan 14,80%, kondisi tersebut relatif tidak
banyak mengalami perubahan bila dibandingkan
dengan kinerja di triwulan sebelumnya.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.20. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Dari sisi penyaluran kredit, pertumbuhan kredit
yang disalurkan kepada sektor rumah tangga
hingga akhir triwulan I 2016 masih tumbuh
terbatas. Angka pertumbuhan kredit kepada
sektor rumah tangga tercatat sebesar 10,02%
(yoy), relatif tidak mengalami perubahan
dibandingkan dengan periode triwulan IV 2015.
Kinerja positif kredit sektor rumah tangga
ditopang oleh peningkatan kredit perlengkapan
rumah tangga dan kredit multiguna yang masing-
masing tumbuh sebesar 20,77% (yoy) dan 13,96%
(yoy). Di tengah kondisi pertumbuhan kredit yang
masih kuat, kualitas kredit sektor rumah tangga
relatif terjaga dan berada di bawah batas aman.
Secara total, NPL kredit rumah tangga pada
triwulan I 2016 tercatat sebesar 1,51%.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.21. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga
Dari sisi perkembangan simpanan, pertumbuhan
DPK perorangan di KTI pada triwulan I 2016 juga
tercatat relatif stabil. Pada akhir triwulan I 2016,
DPK perorangan tercatat tumbuh 11,56% (yoy),
tidak banyak berubah dari pertumbuhan pada
periode akhir triwulan sebelumnya yang sebesar
2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015 2014 2015
Batubara -2.93% -4.77% -5.90% -9.14% 1.11 0.66 0.80 1.25 1.90 2.52 2.84 7.78 7.72 1.74
Karet 10.97% 7.10% 13.72% 8.69% 0.24 0.21 N.A N.A 5.09 5.86 N.A N.A N.A N.A
Kelapa Sawit 9.67% 1.59% 18.96% 3.38% 0.99 1.25 0.82 0.91 2.01 1.80 17.80 7.29 0.51 1.08
Minyak Mentah & Gas Alam -0.52% -3.71% -1.70% -12.96% 2.39 2.62 1.50 1.89 1.42 1.38 3.97 12.01 0.75 0.70
Produk Logam 2.29% -1.82% 3.38% -2.63% 0.49 0.41 2.25 3.17 3.02 3.45 16.43 10.28 0.67 1.20
Agregat Korporasi KTI 3.33% -1.07% 6.37% -2.07% 0.95 0.91 1.37 1.79 2.06 2.10 9.41 10.12 0.63 0.89
ICR DSRLapangan Usaha Korporasi
ROA ROE DER Current Ratio Solvability
71
11,60% (yoy). Kondisi ini didukung oleh akselerasi
pertumbuhan simpanan jenis tabungan.
Sementara itu, simpanan deposito dan giro
tumbuh pada kisaran yang stabil dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya.
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengan (UMKM)
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.22. Pertumbuhan Kredit UMKM
Pertumbuhan kredit untuk sektor UMKM
cenderung melambat pada triwulan I 2016.
Kredit UMKM tercatat tumbuh 8,51% (yoy), lebih
rendah dari triwulan sebelumnya yang sebesar
10,46% (yoy). Perlambatan tersebut terutama
terjadi pada penyaluran kredit kepada UMKM
yang bergerak di lapangan usaha perdagangan,
akomodasi dan konstruksi. Kondisi tersebut
sejalan dengan perlambatan kondisi ekonomi
maupun perlambatan kinerja perbankan KTI di
periode laporan.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.23. Perkembangan NPL Kredit UMKM
Meski terjadi deselerasi penyaluran kredit,
kualitas kredit UMKM pada triwulan laporan
masih berada pada batas aman. Hal tersebut
tercermin dari NPL kredit UMKM yang relatif
membaik pada triwulan I 2016. NPL kredit UMKM
berada di level 4,09%, menurun dari triwulan IV
2015 yang tercatat sebesar 4,19%. Perbaikan
didorong oleh membaiknya kualitas kredit di
seluruh lapangan usaha utama. Selain itu,
melambatnya kredit di tengah perbaikan NPL
mengindikasikan perbankan lebih berhati-hati
dalam penyaluran kredit.
Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
Sistem Pembayaran
Pada triwulan I 2016, transaksi kliring melalui
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
masih terus menunjukkan peningkatan.
Peningkatan ini terlihat baik dari sisi volume
maupun nominal transaksinya (Grafik V.24).
Peningkatan transaksi tersebut memperlihatkan
perilaku yang berbeda dari pola historis di awal
tahun yang cenderung akan menurun
dibandingkan akhir tahun, apalagi dengan kondisi
perekonomian yang relatif melambat dari
triwulan sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena
penerapan kebijakan penetapan batas minimal
transaksi RTGS menjadi Rp500 juta pada triwulan
IV 2015 sehingga transaksi di bawah nilai
tersebut dialihkan melalui SKNBI. Hal tersebut
menjadi faktor penyebab tingginya pertumbuhan
transaksi kliring pada triwulan I 2016 baik dari sisi
volume (32,49%, yoy) maupun nominal (87,44%,
yoy).
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.24. Perkembangan Transaksi Kliring di KTI
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Sesuai dengan pola historisnya, perkembangan
aliran uang kartal di KTI pada triwulan I 2016
72
menunjukkan terjadinya net inflow. Seluruh
provinsi di KTI mengalami kondisi net inflow.
Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa
kebutuhan nasabah, baik perbankan, masyarakat,
maupun pelaku usaha, terhadap uang kartal
relatif menurun di awal tahun. Kondisi ini
berbeda dibanding triwulan sebelumnya, dimana
kebutuhan masyarakat akan uang kartal
meningkat tinggi selama musim liburan Natal dan
Tahun Baru.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.25. Perkembangan Aliran Uang di KTI
Seiring dengan kebijakan clean money policy,
kegiatan pemusnahan uang tidak layak edar
(UTLE) dan kegiatan penukaran uang melalui kas
keliling Bank Indonesia cenderung meningkat di
daerah. Pada triwulan I 2016, jumlah UTLE yang
dimusnahkan mencapai Rp6,34 triliun dengan
rasio terhadap inflow sebesar 25,26% (Grafik
V.26). Pemusnahan UTLE dilakukan sejalan
dengan komitmen Bank Indonesia untuk secara
konsisten memastikan ketersediaan uang layak
edar bagi masyarakat. Untuk memperkuat
kegiatan pengedaran uang layak edar (ULE) ke
seluruh pelosok negeri, 19 (sembilan belas) kas
titipan sudah beroperasi di KTI. Jumlah kas titipan
ini akan terus ditingkatkan sesuai dengan
roadmap pengembangan distribusi uang kartal
yang nantinya diharapkan dapat semakin
menjangkau daerah terpencil. Hingga 2017,
beberapa pengembangan jaringan distribusi uang
kartal antara lain direncanakan di NTB, NTT,
Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, dan Papua. Sesuai dengan program
Centralized Cash Network Planning (CCNP) Bank
Indonesia, periode 2016-2018, direncanakan
pembukaan 25 (dua puluh lima) kas titipan di
wilayah KTI.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.26. Perkembangan Rasio UTLE di KTI
Selama triwulan I 2016, temuan uang palsu di
wilayah KTI pada tercatat sebanyak 4.759
lembar. Secara spasial, uang palsu terbanyak di
KTI ditemukan di Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan
(Grafik V.27). Kesadaran masyarakat serta
perbankan terhadap uang palsu dinilai semakin
meningkat. Sebagai indikator, 98% temuan uang
palsu di Bali berasal dari laporan perbankan.
Upaya untuk meningkatkan kehati-hatian
masyarakat terus digiatkan Bank Indonesia
melalui berbagai kegiatan sosialisasi dan edukasi
sepanjang triwulan I 2016. Di seluruh provinsi di
KTI, Bank Indonesia telah melakukan sosialisasi
mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada
masyarakat, pelaku usaha, nasabah perbankan,
dan kasir perbankan.
Sumber: Bank Indonesia
Grafik V.27. Pangsa Temuan Uang Palsu KTI Triwulan I 2016
Sementara itu, isu yang terjadi saat ini adalah
shortage uang koin yang tengah mengemuka
selama beberapa tahun terakhir. Di KTI, salah
73
satu studi kasus terjadi di Bali. Uang koin tercatat
mengalami net outflow pada tahun 2015 sebesar
Rp32,10 miliar, meningkat 30% dibandingkan
dengan tahun 2014. Hasil survei uang logam
menunjukkan bahwa 62% masyarakat
menyimpan uang logamnya di rumah/ celengan.
Kondisi tersebut mendorong Kantor Perwakilan
Bank Indonesia di Bali melakukan “Gerakan
Peduli Koin”. Dari kegiatan tersebut, jumlah koin
yang berhasil terkumpul adalah sebanyak 149
ribu keping dengan nominal Rp45,70 juta.
Gerakan yang sama juga rencananya akan
dilaksanakan oleh Kantor Perwakilan Bank
Indonesia di Sulawesi Utara dengan nama
program “Tukar Ngana Pe Koin”.
Prospek Perekonomian
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian KTI pada tahun 2016
diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan
dengan tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi KTI
diprakirakan berada pada kisaran 7,1%-7,5%
(yoy). Perlambatan ekonomi pada tahun 2016
terutama terkait dengan perlambatan kinerja
investasi bangunan dan penjualan ekspor luar
negeri. Deselerasi investasi disebabkan oleh telah
selesainya beberapa proyek pengembangan
industri di KTI yang berskala besar seperti pabrik
gula di NTB, pabrik LNG di Sulawesi Tengah, serta
smelter nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Maluku Utara. Sementara itu,
pelemahan kinerja ekspor luar negeri terkait
dengan hilangnya dampak base effect yang
mengakselerasi pertumbuhan ekspor tambang
pada tahun 2015. Ekspor pertambangan tercatat
tumbuh sangat signifikan pada 2015 pasca
pembatasan ekspor mineral mentah di tahun
2014.
Di tengah proyeksi perlambatan tersebut,
beberapa faktor risiko baik dari sisi eksternal
maupun internal perlu mendapat perhatian.
Dari sisi eksternal, risiko tersebut lebih bersifat
downside risk seiring dengan tren harga
komoditas yang masih menurun serta belum
pulihnya perekonomian negara berkembang,
khususnya Tiongkok. Hal ini akan memengaruhi
kinerja ekspor dari KTI, terutama komoditas hasil
pertanian dan olahan tambang. Sementara itu,
dari sisi internal, risiko yang ada lebih banyak
bersifat upside risk. Risiko yang pertama terkait
dengan komitmen pembangunan smelter dari
pihak swasta. Apabila komitmen investor dapat
terjaga dan pembangunan berjalan sesuai jadwal
maka penambahan kapasitas produksi industri
pengolahan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi KTI. Upside risk yang lain adalah
komitmen dari pemerintah daerah dalam
merealisasikan anggaran dan melakukan
deregulasi kebijakan. Apabila hal tersebut
berhasil dilakukan, maka peningkatan
pertumbuhan akan datang dari sisi investasi baru
dan semakin baiknya pertumbuhan konsumsi
pemerintah. Meski demikian, terdapat downside
risk berupa faktor keamanan pariwisata dan
kontinuitas izin ekspor dari eksportir mineral
tembaga.
Prospek Inflasi
Laju inflasi KTI sampai akhir tahun 2016
diperkirakan dalam tren yang menurun seiring
dengan menurunnya tekanan inflasi volatile
foods. Inflasi tahunan KTI diproyeksikan pada
kisaran 3,6%-4,0% (yoy). Rentang proyeksi
tersebut lebih rendah dari perkiraan sebelumnya
yang dipengaruhi oleh optimisme pada
penurunan inflasi volatile foods. Optimisme
tersebut didukung oleh kembali normalnya
pasokan komoditas pangan strategis seiring
dengan hilangnya pengaruh fenomena El Nino.
Berbagai upaya peningkatan produksi pangan
juga terus dilakukan oleh pemerintah pusat dan
daerah melalui penambahan luas lahan,
pendampingan, dan pemanfaatan teknologi
pertanian. Selain itu, percepatan pembangunan
infrastruktur konektivitas dan peningkatan
kerjasama antardaerah akan turut mendorong
terciptanya efisensi pada distribusi barang. Peran
TPID dalam upaya menjaga tekanan inflasi
volatile foods diharapkan dapat meredam adanya
risiko penurunan pasokan. Risiko terhadap
pengendalian harga pangan terutama bersumber
74
dari adanya La Nina yang dapat menekan
produksi perikanan dan hortikultura.
Sementara itu, tekanan inflasi administered
prices dan inflasi inti juga terjaga hingga akhir
2016. Terjaganya inflasi administered prices
didukung oleh tren harga minyak yang
diperkirakan belum akan menunjukkan
pemulihan hingga akhir tahun. Dengan demikian,
harga komoditas energi seperti BBM dan TDL
diperkirakan relatif terjaga seiring minimalnya
kebijakan pemerintah untuk meningkatkan harga
dan tarif. Adapun infasi inti KTI diperkirakan
cenderung stabil seiring dengan tekanan
permintaan dari sisi konsumsi yang tidak
berlebihan di tengah perlambatan perekonomian
secara keseluruhan. Meski demikian, terdapat
risiko penyesuaian harga yang diatur pemerintah
di luar perkiraan. Selain itu, terdapat risiko
tendensi peningkatan harga emas yang dapat
memengaruhi inflasi emas perhiasan.
Melihat adanya beberapa faktor risiko
pendorong tekanan inflasi di tahun 2016, maka
diperlukan peran aktif dari TPID, pemerintah
dan Bank Indonesia dalam pengendalian inflasi
di daerah. Upaya pengendalian inflasi di KTI pada
tahun 2016 terutama diarahkan sesuai dengan
arahan dalam Rapat Koodinasi Nasional TPID,
antara lain: (i) mempertegas komitmen daerah
dalam menjaga stabilitas harga dengan
mewujudkan strategi 4K (ketersediaan pasokan,
keterjangkauan harga, kelancaran distribusi,
komunikasi yang efektif); (ii) melakukan
percepatan pembangunan infrastruktur dan
mewujudkan kedaulatan pangan di daerah; dan
(iii) melakukan penajaman langkah pemerintah
pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan
anggaran. Selain itu, penyusunan dan penerapan
roadmap pengendalian inflasi di KTI yang
konsisten akan turut memperkuat upaya
pengendalian inflasi di daerah.
Kantung Semar (Nepenthes)Merupakan tumbuhan karnivora di kawasan tropis, banyak ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera.
Isu Strategis Daerah
Bagian
VI
75
Bagian VI
Isu Strategis: Mendorong Peningkatan Daya Saing Kawasan Perkotaan Sebagai
Penggerak Ekonomi Regional
Tantangan perlambatan ekonomi global dan nasional yang masih terus berlangsung memerlukan
upaya-upaya untuk mendorong percepatan pengembangan perekonomian domestik. Salah satu
upaya tersebut adalah dengan mendorong peningkatan daya saing kawasan perkotaan dari
berbagai aspek. Kawasan perkotaan yang merupakan tempat berkumpul dan bertemunya sumber
daya manusia yang memiliki berbagai jenis keahlian terbukti mampu menjadi motor penggerak
perekonomian daerah. Pengembangan dan pengelolaan kawasan perkotaan yang terencana,
terintegrasi, dan berkelanjutan menjadi kunci bagi peningkatan daya saing perkotaan sehingga
menumbuhkembangkan berbagai kegiatan ekonomi termasuk industri kreatif serta berbagai inovasi
yang menciptakan keunggulan kompetitif. Secara regional, daya saing kawasan perkotaan di
Indonesia pada umumnya masih berada di bawah negara-negara peers yang antara lain
ditunjukkan oleh relatif rendahnya elastisitas peningkatan pendapatan perkapita untuk setiap
kenaikan urbanisasi. RPJMN 2015 – 2019 menekankan perlunya pengembangan wilayah perkotaan,
terutama pengembangan kota di luar Jawa, dengan prioritas yang diarahkan kepada pemenuhan
daya dukung perkotaan yang kemudian secara bertahap mengarah ke kota hijau dan kota cerdas.
Namun demikian, belum adanya landasan hukum dan kejelasan perencanaan yang terintegrasi
antara pusat dan daerah mengakibatkan inisiatif dan rencana pengembangan kota masih
bergantung sepenuhnya kepada inisiatif Kepala Daerah. Pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi dalam kerangka kota cerdas (smart city) dapat membantu pengelolaan dan
pengembangan kota yang lebih baik menuju kota yang berdaya saing dan berkelanjutan.
Kawasan Perkotaan sebagai Penggerak Ekonomi Regional
Aglomerasi yang terencana dan terkelola
dengan baik akan menghasilkan kawasan
perkotaan yang berdaya saing. Kota yang terus
berkembang selain menjadikan penduduknya
semakin berkualitas juga memiliki daya tarik bagi
migrasi penduduk untuk tinggal (urbanisasi).
Fenomena yang umum di dunia ini menjadikan
kawasan perkotaan menjadi tempat
berkumpulnya sumber daya manusia yang
memiliki berbagai keahlian, sehingga dengan
infrastruktur yang mendukung akan menciptakan
peluang yang lebih besar bagi interaksi produktif
untuk menciptakan biaya yang makin efisien dan
hasil yang makin optimal. Interaksi tersebut
kemudian juga memicu terjadinya proses inovasi
pada suatu sektor ekonomi yang merambat juga
ke sektor lainnya. Proses aglomerasi tersebut
berujung pada peningkatan produktivitas
perekonomian secara keseluruhan di wilayah
perkotaan (Grafik VI.1).
76
Grafik VI.1. Kota Sebagai Penggerak Ekonomi Regional
Perkotaan memegang peran penting dalam
perkembangan perekonomian dunia. Kota besar
dunia dengan berbagai aktifitas ekonominya
telah menyumbang sepertiga dari perekonomian
dunia dan lebih dari setengah output dunia.12
Perkembangan kota mendorong terjadinya
urbanisasi yang selanjutnya mendorong
terjadinya peningkatan permintaan dan produksi
di berbagai lapangan usaha dan wilayah.
Semakin maju suatu perekonomian, semakin
besar jumlah penduduk urbannya. Negara-
negara maju seperti Jepang, UK, dan USA
memiliki rasio penduduk urban yang lebih tinggi
dari rata-rata dunia dan negara-negara yang
tingkat kemajuan ekonominya lebih rendah
(Grafik VI.2). Pertumbuhan populasi urban dunia
mencapai 2,2%, sementara di Indonesia memiliki
pertumbuhan populasi urban yang lebih tinggi
yaitu 3,5%. Dengan tingkat pertumbuhan
penduduk urban yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan penduduk, populasi urban
Indonesia diprediksi akan meningkat hingga
hampir 60% dari jumlah penduduk, atau sedikit
lebih tinggi daripada populasi urban dunia.
12
Sumber: Worldbank, UN dan McKinsey.
Sumber: Worldbank
Grafik VI.2. Porsi Populasi Urban 2014
Sumber: Worldbank
Grafik VI.3. Perkembangan Penduduk Urban
Proporsi penduduk urban berbanding positif
dengan besarnya PDB perkapita. Penduduk
dengan proporsi penduduk urban yang lebih
tinggi memiliki kecenderungan untuk mempunyai
PDB/kapita yang lebih besar. Namun demikian,
77
perkembangan kota di Indonesia yang kurang
didukung oleh pembangunan infrastruktur
(infrastructure deficits) membuat daya dukung
perkotaan menjadi tidak optimal, menyebabkan
efek dari setiap 1% peningkatan urbanisasi
terhadap kenaikan PDB/kapita, hanya sebesar
2%, jauh di bawah negara-negara peers seperti
Vietnam yang mencapai 8% dan India sebesar
6%. Sementara untuk negara Belanda mencapai
10% dan Tiongkok sebesar 6%.13
Sumber: Worldbank, 2014
Grafik VI.4. Populasi Urban dan PDB/kapita
Perkotaan juga memegang peranan penting
dalam perekonomian daerah. Perkembangan
ekonomi daerah di Indonesia, secara spasial, juga
mencerminkan sebaran dan konsentrasi kota-
kota. Pangsa ekonomi wilayah Jawa selama ini
yang selalu dominan yaitu sebesar 58,30%
terhadap total PDB, memperlihatkan korelasi
kuat dengan keberadaan jumlah kota yang
mencapai 58,53%. Agregasi PDRB kota di wilayah
Jawa pada tahun 2013 menunjukkan kontribusi
cukup besar yaitu 51,4% terhadap total PDRB
wilayah Jawa. Wilayah Sumatra, dengan pangsa
terhadap PDB sebesar 22,2% mempunyai jumlah
kota mencapai 22,14% terhadap nasional.
Sedangkan wilayah KTI dan Kalimantan yang
mempunyai pangsa masing-masing sebesar
11,4% dan 8,2% terhadap PDB, memiliki jumlah
kota masing-masing sebesar 14,98% dan 4,36%
terhadap nasional.
13
The Rise of Metropolitan Region, World Bank, 2012.
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.5. Jumlah Perkotaan di Indonesia
Kontribusi kota-kota di luar Jawa terhadap
perekonomian nasional relatif tidak mengalami
perubahan selama 5 tahun terakhir yaitu 12%.
Secara wilayah, walaupun peran kota di wilayah
KTI mengalami peningkatan, namun tetap jauh
lebih rendah dibandingkan wilayah lainnya di
Indonesia.
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.6. Peran Kota terhadap PDRB Wilayah
Peningkatan penduduk usia produktif dan
proses urbanisasi perlu ditopang oleh daya
dukung perkotaan (infrastruktur) agar
pertumbuhan ekonomi di perkotaan optimal.
Peningkatan jumlah penduduk usia produktif
apabila dapat dikelola dengan baik akan
membawa peluang bagi peningkatan
perekonomian daerah. Rasio jumlah penduduk
usia produktif, khususnya di wilayah luar Jawa
diperkirakan akan mengalami lonjakan yang
signifikan, lebih besar daripada di Jawa.
78
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.7. Jumlah Penduduk Usia Produktif
Pembangunan antar wilayah yang kurang
seimbang dikhawatirkan akan memengaruhi
migrasi penduduk usia produktif antar wilayah.
Ketertinggalan pembangunan wilayah perkotaan
di luar Jawa diperkirakan akan mendorong
perpindahan penduduk ke Jawa, menyebabkan
beban di Jawa akan semakin tinggi dan
berpotensi mengakibatkan ketimpangan dan
kemiskinan yang lebih dalam.
Tabel VI.1. Kontribusi terhadap PDB dan Persentase Akses Listrik Rumah Tangga
Sumber: BPS
Walaupun tingkat kemiskinan absolut mengalami
penurunan di seluruh wilayah, namun kemiskinan
di wilayah KTI tetap lebih dalam dan lebih parah
dibandingkan kemiskinan di wilayah lainnya.
Sementara itu, kemiskinan wilayah perkotaan
(urban) cenderung lebih rendah dibandingkan
dengan kemiskinan wilayah pedesaan (rural).
Sumber: BPS, diolah
Grafik VI.8. Kemiskinan Urban-Rural Wilayah
Tingkat kemiskinan yang lebih parah di wilayah
pedesaan di KTI membuat tingkat ketimpangan di
wilayah timur relatif lebih besar dibandingkan
dengan di wilayah barat, dan berada di atas rata-
rata nasional 2015 sebesar 0,41.
Indeks Kota Berkelanjutan14
yang disusun oleh
Bappenas menghasilkan kota-kota dengan
peringkat tinggi terkonsentrasi di Jawa, dan
menguatkan fakta adanya ketimpangan antara
wilayah Timur dan Barat. Dari enam aspek untuk
mengukur keberlanjutan kota, untuk aspek tata
kelola kota berada pada skor yang paling rendah
yang mengindikasikan kelemahan utama daya
saing perkotaan di Indonesia.
14
IKB dikeluarkan oleh Bappenas sejak tahun 2015 sebagai
alat ukur pembangunan kota dan disusun berdasarkan 6 aspek yaitu: Lingkungan, sosial budaya, ekonomi, pelayanan perkotaan, tata kelola pembiayaan & sistem perkotaan.
79
Sumber: Bappenas (2015)
Gambar VI.1. IKB perkotaan di berbagai wilayah Indonesia
Pengembangan Kota Cerdas (Smart City)
Pemerintah melalui RPJMN 2015-2019 telah
menetapkan arah pembangunan perkotaan
menuju kota yang berdaya saing dan
berkelanjutan, serta terintegrasi dengan wilayah
sekitarnya. Strategi pembangunan kota jangka
menengah panjang diarahkan kepada tahapan
pencapaian kota yang nyaman ditinggali (liveable
city) pada 2025, yang kemudian secara bertahap
mengarah pada kota hijau (green city) sampai
dengan kota cerdas (smart city) pada 2045. 15
Sumber: RPJMN 2015, RKP 2016, Bappenas
Gambar VI.2. Pembangunan Perkotaan 2015 – 2019
Pengembangan kota di luar Jawa menjadi
prioritas agar pemerataan pembangunan dapat
diwujudkan. Selama 2015–2019, pembangunan
perkotaan diarahkan pada pembangunan: (i) 5
15
Sumber: Publikasi Bappenas RPJMN 2015, RKP 2016.
Kawasan Metropolitan baru di luar Jawa-Bali; (ii)
7 kawasan metropolitan existing; (iii) 20 kota
Otonom (sedang) di luar Jawa dengan
mengoptimalisasi kota menjadi pusat kegiatan
nasional/wilayah; (iv) 10 kota baru publik; dan (v)
39 pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Kota Cerdas (smart city) secara umum memiliki
karakteristik adanya interaksi antara
Pemerintah, Penduduk, dan Teknologi yang
memungkinkan terjadinya partisipasi aktif
masyarakat dalam perencanaan, implementasi
dan monitoringnya, dalam upaya peningkatan
efisiensi pelayanan publik dan manajemen
perkotaan serta ketahanan dan keberlanjutan
kota.16
Dalam implementasinya, konsep kota
cerdas menghadapi tantangan yang bersifat
multi-sektor. Tantangan yang dihadapi cukup
beragam, mulai dari perencanaan,
pengembangan, pelayanan perizinan,
terpenuhinya daya dukung standar pelayanan
perkotaan (SPP), sampai dengan penanganan
limbah secara menyeluruh. Partisipasi
masyarakat dan pemerintah yang didukung oleh
pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) menjadi bagian penting,
terutama sejak pesatnya perkembangan
teknologi digital dunia.
16
Definisi Smart City cenderung beragam, sehingga merujuk
pada berbagai sumber yaitu: World Bank, Accenture, Garuda Smart City (ITB), UK Dept. Of Bussiness, International Telecommunication Union Focus Group on Smart Sustainable Cities, emunicipality
80
Dibandingkan dengan negara lain di dunia,
pencapaian kota cerdas di Indonesia masih
relatif terbatas. Dalam IKB Dunia (Sustanaible
Cities Index, Arcandis, 2015), Indonesia yang
diwakili oleh kota Jakarta menduduki peringkat
ke-45 dari 50 kota yang disurvei. Sementara itu,
berdasarkan Cities in Motion Index (IESE, 2014),
Jakarta hanya menduduki peringkat ke-125 dari
139 kota yang disurvei. Pengembangan kota
cerdas di Indonesia yang masih bersifat parsial
dan sporadis menjadikan pengembangan kota
cerdas masih pada taraf scattered. 17
Tabel VI.2. Sustainable Cities Index dan Cities in Motion
Sumber: Sustainable Cities Index (Arcandis, 2015), Cities in
Motion (IESE, 2014)
Harian Kompas bekerja sama dengan ITB (Garuda
Smart City) membagi tingkat maturitas suatu kota
dalam 5 tahap sebagai berikut:
Tabel VI.3. Pembagian Tingkat Maturitas Kota Maturity Level Penjelasan
Ad Hoc Kota belum memiliki inisiatif menuju Smart City
Initiative Kota sudah memiliki inisiatif menerapkan konsep kota cerdas
Scattered Kota sudah secara intensive menerapkan konsep kota cerdas namun belum terintegrasi
Integrative (low, medium, high)18
Komponen kota cerdas mulai terintegrasi
Smart Komponen sudah terintegrasi
Sumber: IKCI Kompas-ITB
17
Garuda Smart City (ITB) menggunakan 5 tingkat
kematangan kota cerdas mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi: Ad-Hoc, Initiative, Scattered, Integrative dan Smart yang meliputi 3 aspek penilaian: ekonomi, masyarakat dan lingkungan. Sebagian besar kota di Indonesia tertinggi pada tingkatan Scattered 18
Tahapan integrative dibagi menjadi tiga tahap yaitu low,
medium, dan high. Pembagian ini berdasarkan persentase implementasi program yaitu 1-5 strategi (low), 6-10 strategi (medium), 11-15 strategi (high).
Penerapan pengembangan kota dan smart city
di Indonesia menghadapi beberapa tantangan
yang membutuhkan koordinasi banyak pihak.
Tantangan yang dihadapi meliputi perencanaan
yang terintegrasi dan konsisten, konektivitas di
dalam kota maupun dengan daerah penyangga di
sekitarnya, transparansi kebijakan, ketersediaan
infrastruktur serta partisipasi dan kolaborasi aktif
pemerintah, swasta dan masyarakat.
Gambar VI.3. Kendala Pengembangan Perkotaan dan
Kota Cerdas
Pemanfaatan TIK dalam pencapaian kota cerdas
adalah dengan meningkatkan efisiensi
pengolahan data yang tersedia dalam jumlah
besar dan saling berkait mengenai perkotaan. TIK
dapat digunakan untuk mengelola data/informasi
secara cepat dan akurat yang diperlukan untuk
pengambilan keputusan secara tepat.
Berikut ini adalah gambaran singkat mengenai
progres dan tantangan pembangunan kota di
berbagai wilayah di Indonesia, terkait dengan
program RPJMN 2015-2019 berikut rencana
pengembangan kota cerdas di wilayah dimaksud.
Secara umum, Perkembangan kawasan
perkotaan KTI masih terkendala pada (1)
perencanaan yang belum terintegrasi khususnya
pada planning perkotaan dan anggaran, (2)
kompetensi pemerintah daerah yang terbatas, (3)
layanan infrastruktur dasar yang terbatas serta
(4) kualitas sumber daya manusia yang lebih
rendah.
81
Gambar VI.4. Pemanfaatan TIK Mengatasi Masalah
Perkotaan
Wilayah di luar Jawa pada umumnya
menghadapi tantangan rendahnya kualitas SDM
terkait kualitas migran dan kesinambungan
industri. Wilayah di luar Jawa umumnya
mempunyai pola migrasi keluar (outflow) yaitu
SDM dengan kualitas pendidikan yang lebih baik
dan bekerja di sektor non pertanian, sementara
migran pendatang (inflow) dalam kondisi
sebaliknya. Motif migrasi baik dalam maupun
antar-wilayah terutama untuk melanjutkan
sekolah dan memperoleh pendapatan yang lebih
baik.
Selain itu, pembangunan proyek dalam RPJMD
Provinsi maupun Kabupaten/Kota secara umum
masih belum sepenuhnya sejalan dengan RPJMN.
Hal ini akibat belum tersedianya roadmap
pengembangan kawasan perkotaan, koordinasi
kelembagaan yang masih lemah, dan kurangnya
ketersediaan infrastruktur dasar bagi Standar
Pelayanan Perkotaan selain infrastruktur
pendukung TIK bagi pengembangan kota cerdas.
Tingkat Maturitas Kota-Kota di Indonesia
Sesuai RPJMN, pengembangan kota di Indonesia
diarahkan menuju kota cerdas (smart city).
Sebagai tahapan akhir pengembangan kota,
pencapaian kota cerdas menjadi tingkatan
maturitas tertinggi dari pengembangan kota.
Implementasi kota cerdas sangat memerlukan
dukungan layanan TIK yang handal.
Kota cerdas sudah ada di Indonesia terutama di
wilayah Jawa. Kota Jakarta, Bandung dan
Surabaya sudah secara intensif melakukan
perbaikan-perbaikan fundamental untuk
mentransformasi kota menuju kota cerdas.
Implementasi kota cerdas di wilayah Jawa relatif
lebih maju dibandingkan wilayah lainnya di
Indonesia.
Pada sisi lain, progres pengembangan kota
menuju kota cerdas di wilayah luar Jawa
khususnya KTI masih berjalan cukup lambat.
Pemetaan tingkat maturitas yang dilakukan di 21
kota administratif di KTI menunjukkan bahwa
hanya 1 kota yang sudah pada tahap scattered
yaitu kota Denpasar. Selanjutnya, Kota Makassar
dan Manado berada pada tingkat initiative
dengan intensitas yang sudah cukup baik, atau
high initiative. Meski sudah pada tahapan yang
cukup baik namun perencanaan ketiga kota
tersebut belum dilengkapi dengan blue print yang
komprehensif selain juga belum memiliki alokasi
anggaran yang mendukung perencanaan
pengembangan kota menuju kota cerdas.
Selanjutnya, 18 kota lainnya, pada umumnya
berada pada tingkat initiative low. Kota di wilayah
Sulawesi dan Nusa Tenggara memiliki tingkat
maturitas yang lebih baik dibandingkan kota di
wilayah Maluku dan Papua. Kendala utama di
Maluku dan Papua adalah fokus pembangunan
pemerintah kota yang masih pada pembangunan
icon-icon kota dan berubah sesuai dengan
perubahan kepemimpinan. Kondisi yang berbeda
terjadi di Sulawesi dan NTB yang sudah relatif
lebih baik, arah pengembangan kota pada
umumnya hanya fokus pada pengembangan
infrastruktur tanpa pengembangan pada
komponen ekonomi, sumber daya manusia serta
tata kelola.
Berbeda dengan KTI, rata-rata tingkat maturitas
kota di Sumatera sudah pada tahap high
initiative. Permasalahan utama pengembangan
kota cerdas di Sumatera adalah belum
82
terdapatnya grand design kota cerdas oleh
masing-masing pemerintah daerah.
Pengembangan kota masih bersifat parsial dan
belum meliputi keseluruhan desain kota cerdas.
Kondisi perkotaan yang lebih baik ditemukan di
Kalimantan dengan mayoritas kota berada dalam
tahapan scattered. Beberapa diantaranya bahkan
mendapatkan penghargaan sebagai kota cerdas
sesuai kategorinya. Kota Balikpapan dan
Pontianak, misalnya, ditetapkan sebagai kota
terbaik ke-2 dan ke-4 IKCI 2015 untuk kategori
kota sedang dengan penduduk 200.000 sampai
dengan 1 juta jiwa. Sementara Kota Bontang
ditetapkan sebagai kota terbaik ke-3 untuk
kategori kota kecil dengan penduduk kurang dari
200.000 jiwa . Namun masih terdapat beberapa
pembenahan yang harus dilakukan, khususnya
terkait integrasi TIK.
Beberapa kota lainnya di Kalimantan memiliki
tingkat maturitas yang beragam. Palangkaraya
dan Banjarmasin, masih dalam tahapan initiative
dengan fokus pada smart economy. Sementara
itu, Banjarbaru dan Tarakan sudah berada dalam
tahapan scattered dengan fokus relatif merata
pada smart economy maupun smart society.
Saat ini, pengembangan kota cerdas masih
bersifat sporadik antar kota dengan keterbatasan
komitmen pemerintah dalam tata kelola kota
cerdas serta belum adanya payung hukum kota
cerdas. Kemudian, kota cerdas yang dilakukan
baru terfokus kepada pengembangan TIK.
Gambar VI.5. Peta Smart City di Indonesia
Wilayah Sumatera
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, lokasi prioritas
kawasan strategis nasional perkotaan adalah 1).
Mebidangro: Medan, Binjai, Deli Serdang dan
Karo, 2). Patungraya Agung (Palembang, Betung,
Indralaya dan Kayu Agung, dan 3). Palapa:
Padang, Lubuk Alung, Pariaman, Indarung, Teluk
Bayur, Bungus, Mandeh.
Diantara 3 kawasan perkotaan tersebut,
Mebidangro menjadi kawasan yang sangat
penting untuk ditata dan dikembangkan,
mengingat kepadatan dan jumlah penduduk yang
tinggi serta pelaju (commuters) yang lebih banyak
terutama dari berbagai kawasan di sekitarnya.
Selain Mebidangro, Patungraya Agung juga perlu
ditata dan dikembangkan. Hal ini didasari oleh
pertumbuhan ekonomi Palembang yang cukup
83
tinggi dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa
serta commuters yang mendekati 5% jumlah
penduduk. Sementara itu, Palapa memiliki
urgensi yang lebih rendah terutama karena
jumlah penduduknya yang masih kurang dari 1
juta dan jumlah komuter yang masih di bawah
5%.
Selain dari ketiga kota di atas, pengembangan
kota terintegrasi juga perlu dilakukan di wilayah
Batam. Pengembangan kota cerdas di Batam
diperlukan dalam rangka mendorong investasi
dan pertumbuhan industri di kawasan industri
yang lebih besar sebagai bagian dari Free Trade
Zone.
Mayoritas pengembangan kota cerdas di
Sumatera berada pada tahap Initiative (memiliki
inisiasi melalui inovasi smart city parsial).
Tingkatan Scattered (kota mulai intensif
menerapkan smart city) hanya pada kota Medan,
Batam, Palembang, dan Lampung. Hampir semua
kota dimaksud memiliki permasalahan terkait
daya dukung kawasan perkotaan termasuk
Standar Pelayanan Perkotaan (air bersih siap
minum, area kebersihan), kawasan hijau
(termasuk green building yang ramah lingkungan)
dan pengembangan SDM.
Pengembangan Medan sebagai kota cerdas
bertujuan peningkatan fasilitas kota Metropolitan
yang didukung pengembangan kawasan
penyangga dan transportasi pendukung serta
transparansi kepemerintahan. Kota Medan
memiliki infrastruktur mobility yang baik, sistem
governance yang relatif maju.
Pengembangan Palembang sebagai kota cerdas
bertujuan meningkatkan akses dan mobilitas
penduduk khususnya terkait persiapan ASEAN
GAMES 2018, meliputi pembangunan fasilitas
olahraga dan saran transportasinya. Dalam kaitan
dengan kawasan sekitarnya, akan dikembangkan
kawasan perkotaan Patungraya Agung.
Palembang merupakan kota yang sudah
dilengkapi sistem governance dan transportasi
yang relatif bagus.
Sementara itu, terkait pengembangan Batam
menjadi pusat investasi industri di Sumatera
sebagai bagian dari Free Trade Zone, sedang
dikembangkan 29 kawasan industri, industri
perkapalan, serta infrastruktur pusat jasa dan
perdagangan.
Wilayah Jawa
Dalam RPJMN 2015-2019, empat dari tujuh
lokasi pengembangan kawasan metropolitan
terdapat di Jawa di antaranya: 1). Jabodetabek
(Jakarta, Kab. Bogor, Kota Bogor, Kota Depok,
Kab. Tangerang, Kota Tangerang, Kab. Tangerang
Selatan, dan Kota Bekasi);2). Bandung Raya (Kota
Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat,
Kota Cimahi, Kab. Majalengka, dan Kab.
Sumedang); 3). Kedungsepur (Kab. Kendal, Kab.
Demak, Ungaran, Kota Semarang, dan
Purwodadi) dan 4). Gerbang-Kertosusilo (Kab.
Gresik, Kab. Bangkalan, Kab. Mojokerto, Kota
Mojokerto, Kota Surabaya, Kab. Sidoarjo, dan
Kab. Lamongan).
Setiap metropolitan didesain untuk fokus pada
kegiatan yang dapat menjadi kekuatan daerah
tersebut. Jabodetabek difokuskan menjadi pusat
pemerintahan, keuangan, MICE, perdagangan
dan jasa, pusat distribusi, dan industri. Bandung
Raya, Kedungsepur dan Gerbangkertosusila
difokuskan pada pengembangan industri, jasa
pendidikan dan urban tourism. Secara lebih
spesifik, Bandung Raya memiliki fokus pada
sektor Teknologi Informasi sementara Surabaya
pada industri perkapalan.
Selain keempat wilayah tersebut di Jawa juga
terdapat kawasan perkotaan lain yaitu
Yogyakarta, Sleman, dan Bantul atau sering
disebut Kartamantul yang memiliki peran besar
dalam sektor pendidikan dan pusat kebudayaan
di Jawa.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
di perkotaan, berbagai masalah mulai muncul
seperti kemiskinan, kemacetan, banjir,
keterbatasan pemukiman, dan kriminalitas,
sehingga diperlukan solusi guna mengatasi
84
masalah tersebut. Penerapan konsep kota cerdas
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
merupakan salah satu solusi guna mengurai
permasalahan di perkotaan.
Pemanfaatan TIK untuk membantu
penanggulangan kemiskinan di perkotaan
terutama dalam bentuk penyaluran bantuan
dana pendidikan dan fasilitas kesehatan bagi
penduduk miskin. Pada sektor pendidikan, DKI
Jakarta memberikan bantuan berupa dana
bantuan operasional pendidikan dan Kartu
Jakarta Pintar, sementara Pemerintah Kota
Surabaya memberikan fasilitas pendidikan gratis
dari SD hingga SMA untuk warga asli Surabaya
(angggaran pendidikan 32% dari APBD Kota
Surabaya) dan Broadband Learning Center (BLC)
sebagai sarana pendidikan nonformal. Di kota
Yogyakarta, pelayanan kesehatan diberikan
melalui Rumah Sehat Lansia (Rusela) berupa
pelayanan kesehatan gratis bagi lansia,
sementara di Kota Semarang dan Kota Tangerang
terdapat pelayanan kesehatan gratis di
Puskesmas bagi masyarakat. Di beberapa kota
besar lainnya di Jawa juga terdapat inisiatif
pemanfaatan aplikasi TIK sebagaimana di DKI
Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya.
TIK juga dapat digunakan untuk memitigasi
tindak kejahatan. DKI Jakarta telah
mengembangkan aplikasi publik guna
mengidentifikasi tindak kejahatan di masyarakat
yang disebut SafetiPin yang merupakan Aplikasi
Penanda Tindak Kejahatan.
Berkaitan dengan penyediaan pemukiman,
pembangunan rumah susun baik sewa
(rusunawa) maupun milik (rusunami) menjadi
alternatif sebagaimana dilakukan Pemkot DKI.
Pemkot Bandung dengan program bantuan
rumah tidak layak huni (Rutilahu), sementara
Pemkot Yogyakarta dengan pilot project
Kampung Susun di Gemawang, Yogyakarta.
Pemanfaatan TIK juga dilakukan untuk
mengatasi masalah kemacetan di perkotaan.
Penerapan Area Traffic Control System (ATCS)
Room & CCTV di 6 Kota Besar Jawa sebagai alat
yang secara otomatis mengatur lampu lalu-lintas
berdasarkan panjangnya antrian kendaraan. DKI
Jakarta sebagai salah satu megacity di Jawa juga
mengembangkan aplikasi penanggulangan
kemacetan melalui UPT Jakarta Smart City,
seperti Aplikasi Angkutan Jakarta (APPAJA),
aplikasi monitoring keramaian halte dan tracking
TransJakarta. Aplikasi tersebut dapat memantau
kondisi kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta.
Selain itu, fasilitas transportasi publik perlu dan
terus dikembangkan untuk mengurangi tingkat
kemacetan, baik melalui moda transportasi bus
(Trans Jabodetabek, Trans Jakarta, Trans Metro
Bandung, Trans Semarang, Trans Jogja, bus
sekolah, bus wisata) dan KRL.
Kemacetan di kota akan mengurangi daya saing
kota akibat inefisiensi yang timbul sebagai
dampak dari tingginya biaya transportasi, biaya
penyesuaian kebijakan perusahaan untuk
memitigasi dampak kemacetan dan
berkurangnya daya tarik investasi yang berujung
pada tidak optimalnya alokasi sumber daya
perkotaan. Kajian mengenai dampak kemacetan
di Jawa dapat dilihat pada Boks: Kemacetan:
meningkatkan biaya logistik dan menghilangkan
potensi pertumbuhan ekonomi.
Aplikasi TIK juga digunakan untuk menampung
dan memantau tingkat responsif Pemda
terhadap keluhan masyarakat. DKI Jakarta telah
mengembangkan aplikasi berbasis mobile yang
disebut QLUE sebagai wadah menampung
keluhan masyarakat dan aplikasi CROP (Cepat
Respon Opini Publik) agar petugas Pemda lebih
cepat tanggap dalam menangani laporan
masyarakat. Tidak hanya Jakarta, beberapa Kota
besar di Jawa juga telah mengembangkan
berbagai aplikasi berbasis website dan
smartphone untuk memperoleh masukan dari
masyarakat serta meningkatkan pelayanan oleh
pemerintah kota. Keterlibatan masyarakat dalam
pengembangan kota cerdas sangat berperan bagi
keberlanjutan program. Adopsi TIK yang tinggi
tersebut di beberapa kota di Jawa telah
85
menempatkan kota-kota di Jawa dalam ranking
tertinggi kota cerdas di Indonesia.19
Pengembangan perkotaan juga harus didukung
oleh pengembangan daerah sekitar. Keterkaitan
antara Kota-Kota Satelit dan Desa mendorong
penguatan pembangunan dan pemberdayaan
desa berbasis IT untuk mengurangi kesenjangan
yang ada antara Kota dengan Desa.
Gambar VI.6. Skema Hubungan Kota-Desa
Inisiatif tersebut diwujudkan dalam
pengembangan pedesaan berbasis IT seperti
Smart Kampung Banyuwangi dan Kampung UKM
Digital. Inisiatif ini membutuhkan keterlibatan
berbagai pemangku kepentingan seperti
Pemerintah Daerah, BUMN, dan UMKM, dan
perlu terus didorong penerapannya.
Wilayah Kalimantan
Apabila dibandingkan dengan kawasan perkotaan
di Jawa, daya saing kawasan perkotaan di
Kalimantan adalah lebih rendah, baik dari
ketersediaan infrastruktur, pembangunan SDM,
teknologi dan tata kelola.
Berdasarkan RPJMN, pengembangan wilayah
perkotaan di Kalimantan diarahkan untuk
pengembangan kawasan perkotaan berdaya
saing melalui optimalisasi kawasan perkotaan
yang ada, pengembangan perkotaan baru, serta
kawasan perbatasan. Program RPJMN tersebut
dituangkan dalam beberapa program strategis.
Pengembangan kawasan perkotaan Banjar-
Bakula (Banjarmasin, Banjarbaru, Baritokuala dan
Tanah Laut) menjadi salah satu program strategis
di Kalimantan Selatan. Salah satu programnya
adalah Pembangunan Sistem Penyediaan Air
19
Salah satu indikatornya adalah Indeks Kota Cerdas
Indonesia (IKCI) yang diterbitkan Kompas bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Penilaian ICKI tidak mencakup wilayah DKI Jakarta
Minum (SPAM) Regional Bakula. Dalam
implementasinya, program ini terkendala
ketersediaan energi listrik. Selain itu,
pengembangan Banjar Bakula juga menghadapi
belum optimalnya fungsi koordinasi antar daerah
akibat masih minimnya peran Pemprov sebagai
koordinator dan sekretariat program, tingginya
egosentrisme daerah, dan belum optimalnya
perencanaan teknis, kelembagaan dan
pembuatan perencanaan teknis.
Selain Kawasan Perkotaan Metropolitan,
Pembangunan Kota Baru (Kab. Pontianak,
Tanjung Selor, dan Kab. Banjar) juga menjadi
fokus pembangunan daerah selain Optimalisasi
Kota Sedang (Singkawang, Bontang, Tarakan dan
Palangkaraya).
Peranan kawasan perkotaan semakin penting di
tengah melemahnya perekonomian Kalimantan.
Pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan
menunjukkan tren yang meningkat di tengah
pelemahan ekonomi Kalimantan terkait
lemahnya kinerja pertambangan. Hal ini terkait
dengan industri pengolahan yang lebih banyak
terdapat di wilayah perkotaan dibandingkan
pertambangan yang terdapat di wilayah bukan
perkotaan.
Sekalipun kontribusi Perkotaan lebih rendah
dibandingkan pedesaan, namun perkotaan
memiliki kualitas SDM dan produktivitas industri
yang lebih baik. Meskipun di Kalimantan pangsa
PDRB Kabupaten masih lebih tinggi dibandingkan
kota, secara perkapita, tingkat penghasilan
masyarakat kota lebih tinggi daripada wilayah
pedesaan yang tercermin dari PDRB per Kapita
Kota (Rp71 juta) yang lebih tinggi dibandingkan
Kabupaten (Rp59 juta). Selain itu, kemandirian
fiskal dan kredit per kapita Kota juga lebih tinggi
dibandingkan dengan Kabupaten.
Kesinambungan industri perlu menjadi fokus
terutama terkait sektor pertambangan yang
mempunyai sifat tidak berkelanjutan.
Kota-kota di Kalimantan juga dihadapkan pada
permasalahan ketimpangan pendapatan dan
pengangguran yang relatif lebih tinggi.
86
Ketimpangan dan pengangguran yang tinggi
tersebut terutama diakibatkan ketidakmampuan
daya dukung infrastruktur dasar wilayah
perkotaan untuk mengoptimalkan penambahan
tenaga kerja melalui urbanisasi yang muncul
akibat daya tarik tingkat pendapatan,
produktivitas dan IPM yang lebih tinggi dan relatif
lebih rendahnya kemiskinan di perkotaan.
Perbaikan infrastruktur dasar menjadi sangat
diperlukan yang meliputi ketersediaan energi dan
air bersih, sarana dan prasarana pendidikan serta
konektivitas antar wilayah sebagaimana
diantaranya yang saat ini sedang dilakukan (jalan
tol, kereta api, bandara dan pelabuhan).
Wilayah KTI
Pangsa Kota di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
hanya 21% dibandingkan dengan jumlah seluruh
kota di Indonesia, cukup minim mengingat
pangsa luas wilayah KTI mencapai lebih dari 50%
luas wilayah Indonesia. Hanya terdapat 1 Kota
Besar di KTI, yaitu Kota Makassar dari total 21
Kota yang tersebar di 13 Provinsi. Sedangkan
untuk Kota Sedang dan Kota Kecil masing-masing
terdapat 8 Kota dan 12 kota. Sebaran perkotaan
di KTI masih terpusat di Pulau Sulawesi dan
Balinusra dan umumnya berada pada kategori
Kota Kecil.
Secara spasial, terdapat tiga koridor arah
pengembangan KTI, yakni Koridor Sulawesi,
Koridor Balinustra, dan Koridor Papua dan
Kepulauan Maluku. Koridor Sulawesi difokuskan
sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil
pertanian, perkebunan, perikanan, migas, dan
pertambangan nasional. Koridor Balinustra
sebagai pintu gerbang pariwisata nasional dan
pendukung pangan nasional. Sementara Koridor
Papua dan Kepulauan Maluku menjadi pusat
pengembangan pangan, perikanan, energi, dan
pertambangan nasional.
Sesuai dengan perencanaan Bappenas, terdapat
tiga aglomerasi kota yang berpotensi menjadi
kawasan metropolitan yaitu Kawasan Sarbagita
(Denpasar-Badung, Gianyar, Tabanan),
Maminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa
dan Takalar), dan Bimindo (Bitung, Minahasa
dan Manado). Ketiga daerah ini diharapkan
menjadi motor pertumbuhan sektor industri
pengolahan, pariwisata, dan ekonomi maritim.
Rata-rata pengembangan kota di KTI masih
berada pada tahapan low initiative (berinisiatif
menerapkan konsep kota cerdas namun
implementasinya masih rendah). Hanya terdapat
dua kota yang implementasinya sudah pada
tahapan high-initiative yaitu Makassar dan
Manado, dan hanya satu kota yaitu Denpasar
yang sudah pada tahap scattered. Hal tersebut
mencerminkan bahwa pengembangan kota di KTI
masih jauh dibandingkan kota-kota di Jawa.20
Di antara kota Manado, Makasar, dan Denpasar
yang direncanakan sebagai kota cerdas, hanya
kota Manado yang memiliki blueprint
pengembangan kota cerdas, selebihnya belum
memiliki.
Pengembangan Manado yang dicanangkan sejak
2013 dalam implementasinya masih bersifat
sporadik dan belum sesuai dengan visinya
menjadi kota pariwisata dunia modern yang
berwawasan lingkungan. Selain itu, awareness
pemerintah masih rendah, dan blue print masih
bersifat normative, di samping keterbatasan
anggaran pendukung baik dari pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat.
Berbeda dengan Manado, pengembangan
Makassar sebagai kota cerdas yang dicanangkan
sejak 2007, dengan visi “menjadi kota dunia
dengan peningkatan layanan publik untuk kota
cerdas”, lebih berfokus pada pengembangan
start up business berbasis kelurahan dengan
target 60.460 wirausaha per tahunnya. Selain itu,
sebagaimana Jakarta, walaupun dalam ruang
lingkup lebih terbatas, Makassar memiliki
program Makassar Smart Card melalui kerja
sama perluasan layanan keuangan digital (LKD)
dan e-money.
20
Analisis dilakukan dengan membandingkan program
Pemerintah yang ada saat itu khususnya terkait pengembangan kota cerdas.
87
Perencanaan Denpasar menjadi kota cerdas
sudah mencakup seluruh aspek sebagaimana
pada perencanaan Bappenas dan mendapatkan
penghargaan kategori smart economy, smart
environment, smart governance, dan smart living.
Bekerjasama dengan Pemerintah Kota Haikou di
Cina sebagai sister city-nya, Pemerintah Kota
Denpasar menggandeng investasi berbagai
lembaga dan perusahaan lainnya seperti Telkom,
Microsoft, dan BPD.
Dalam kerangka pengembangan kota cerdas di
KTI, permasalahan terutama lebih pada belum
adanya masterplan pembangunan kota cerdas,
keterbatasan konektivitas antar wilayah,
keterbatasan anggaran serta sulitnya proses
pembebasan lahan.
Elektronifikasi: Upaya Mendukung Pencapaian Kota Cerdas
Perkembangan ekonomi digital yang sangat
cepat, mengefisienkan banyak tahapan proses
produksi, mempermudah banyak kegiatan
ekonomi dan perdagangan. Sejak
berkembangnya era TIK yang sangat pesat, telah
membawa banyak perubahan pada kegiatan
ekonomi yang dilakukan saat ini.
Sumber: Internetworldstats.com
Grafik VI.9. Jumlah Pengguna Internet (juta)
Akses internet meningkat luar biasa di banyak
negara dan membawa banyak peluang usaha
yang sebelumnya tidak ada. Indonesia, dengan
jumlah penduduk 259,5 juta jiwa, jumlah
pengguna internet mencapai 34% dari total
populasi atau 88,1 juta jiwa, terbesar ke-4 di Asia,
memiliki potensi besar untuk berkembangnya
ekonomi digital kedepan.
Dengan tingkat pertumbuhan pengguna internet
sebesar 15%/tahun dan jumlah pengguna media
sosial mencapai 79 juta jiwa dengan tingkat
pertumbuhan 10%/tahun, maka terbuka peluang
yang sangat besar bagi pemanfaatan TIK yang
jauh lebih besar.
Sumber: e-Marketer A.T. Kearney Analysis
Grafik VI.10. Besar Pasar Transaksi Online
Potensi belanja online di Indonesia masih sangat
besar terutama jika dibandingkan dengan potensi
di negara peer karena besarnya pasar yang
tersedia yang diperkirakan dapat mencapai 28-30
milyar dollar. Pada tahun 2013, besar pasar yang
menggunakan transaksi online hanya sekitar 1,3
milyar dollar. (Grafik VI.10)
Sumber: e-Marketer A.T. Kearney Analysis
Grafik VI.11. Pangsa Penjualan Ritel Online
88
Sumber: e-Marketer A.T. Kearney Analysis
Grafik VI.12. Pola Pembayaran Online
Sampai dengan tahun 2017, selama 5 tahun sejak
2013, pertumbuhan e-Commerce di ASEAN-5
diperkirakan mencapai 25%, seimbang dengan
China, 25%, dan jauh berada di atas USA dan EU-
5 yang masing-masing mencapai 11% dan 10%.
Dibandingkan dengan negara-negara tersebut,
aktivitas penjualan secara online di Indonesia
hanya 1% (2014) dari total penjualan ritel.
Perluasan akses elektronifikasi sistem
pembayaran berperan penting untuk
mengakselerasi pengembangan e-commerce.
Saat ini pola pembayaran transaksi online di
Indonesia sebagian besar atau 85% nya masih
dilakukan melalui transfer bank dan Cash-On-
Delivery (COD).
Ruang lingkup penerapan Elektronifikasi saat ini
meliputi seluruh kegiatan transaksi antara
Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. Mapping
yang dilakukan pada tahun 2015 mengindikasikan
beberapa kegiatan transaksi yang telah dilakukan
elektronifikasi.
Tabel VI.4. Mapping Transaksi Pembayaran Masyarakat
Keterangan: E: Elektronik, T: Tunai
Untuk mendukung koordinasi implementasi
program elektronifikasi, BI berinisiatif
membentuk Forum Koordinasi Bank Indonesia
dengan Otoritas/Lembaga terkait yang meliputi
Mitra Pemerintah, Asosiasi, Pelaku Industri, dan
Penasehat Independen.
Dalam eletronifikasi, BI berperan sebagai (i)
Advisor, narasumber dan Fasilitator; (ii)
Mendukung sebanyak mungkin bank yang eligible
dapat berpartisipasi dalam proyek elektronifikasi;
(iii) Mendukung dari sisi ketentuan dan perizinan
serta kesiapan sistem yang menjadi kewenangan
BI sesuai dengan tetap memperhatikan
ketentuan dalam regulasi yang berlaku; dan (iv)
Membantu Pemda dalam melakukan sosialisasi
dalam kaitannya dengan peningkatan
pertumbuhan less cash society di masyarakat.
89
Gambar VI.7. Forum Koordinasi Sistem Pembayaran Mendukung Elektronifikasi
Rekomendasi Dalam Rangka Kebijakan Mengembangkan Kota Cerdas
Berdasarkan asesmen yang dilakukan, terdapat
tujuh rekomendasi kebijakan dalam rangka
pengembangan kota cerdas.
Pertama, perlunya menyusun roadmap mengenai
pengembangan perkotaan secara detil, jelas,
lengkap, dan terintegrasi antara pusat-daerah
sehingga dapat digunakan sebagai panduan
pengembangan kota di Indonesia. Dalam
pelaksanaannya perlu keterlibatan aktif
pemerintah daerah dan pihak lain yang terkait
agar roadmap tersebut mendapat dukungan
penuh dan dapat diimplementasikan.
Selanjutnya, pengembangan kota harus sejalan
dengan Rencana Tata Kota dan Rencana Wilayah
serta memperhatikan pengembangan lingkungan
yang berkesinambungan.
Kedua, perlunya mempercepat penyelesaian
dasar hukum yang menjadi acuan dalam
pengembangan kota. Keberadaan payung hukum
yang kuat dan panduan yang jelas akan
memudahkan Pimpinan Daerah dalam
mengimplementasikan pengembangan kota
terutama terkait kota cerdas.
Ketiga, perlunya penguatan kelembagaan &
koordinasi dalam pengembangan kota di
Indonesia, termasuk dalam pembiayaan rencana
pengembangan kota. Apabila diperlukan dapat
dibentuk lembaga baru untuk melakukan
perancangan dan standarisasi, edukasi dan
supervisi implementasi kota cerdas agar
pembangunannya dapat berkelanjutan.
Keempat, perlunya peningkatan kapasitas
aparatur di pemerintah daerah terkait dgn
perencanaan & pengelolaan kota. Dalam
pengawasannya, partisipasi publik dapat
digunakan dalam rangka menjaga konsistensi dan
komitmen.
Kelima, mempercepat penyediaan infrastruktur
dasar standar pelayanan kota sebagai prasyarat
utama untuk menuju kota cerdas. Tanpa
infrastruktur dasar, maka kota akan rentan
terhadap berbagai persoalan terkait urbanisasi
dan pertumbuhan ekonomi akan menjadi
terbatas. Selain itu infrastruktur dalam upaya
memperkuat dukungan TIK yang handal juga
dibutuhkan terutama untuk mendukung kota
cerdas. TIK dapat digunakan sebagai alat untuk
membantu perencanaan, implementasi dan
pengawasan pelaksanaan program kota cerdas.
Keenam, perlunya komitmen pimpinan daerah &
dukungan masyarakat kota untuk pengembangan
kota. Dalam implementasinya, masing-masing
daerah perlu untuk menyusun prioritas
90
pengembangan yang disesuaikan dengan
kekuatan anggaran, urgensi persoalan, dan
sasaran jangka pendek, menengah, dan panjang
sebagaimana tercantum dalam RKPD dan RPJMD.
Ketujuh, perlunya inovasi ketentuan optimalisasi
pemanfaatan lahan misal melalui pengenaan
skema pajak yang berbeda bagi lahan-lahan idle
di wilayah perkotaan dan penerapan kebijakan
pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi
berdasarkan atas kemampuan individu
menyediakan lahan parkir kendaraannya, disertai
dengan otomasi parkir (parking meter).
Selain itu, dalam rangka mengurangi dampak
negatif yang ditimbulkan oleh adanya urbanisasi
maka diperlukan upaya-upaya untuk
meningkatkan kualitas SDM (antara lain melalui
kewirausahaan dan pembangunan SMK),
peningkatan akses desa dan kota, pengembangan
daerah penyangga kota-kota besar, dan
manajemen transportasi publik yang terpadu.
Kenanga (Cananga odorata)Merupakan tumbuhan asli Indonesia, sering digunakan dalam upacara adat.
Lampiran
91
I II III IV I IIf
PDRB (%,yoy) 4.6 3.5 3.0 3.1 4.6 3.5 4.2 4.4 4.2 - 4.7
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.4 5.3 5.3 4.8 4.5 5.0 5.2 5.7 5.4 - 5.9
Konsumsi LNPRT 10.9 (3.5) (2.9) 6.0 8.7 2.0 6.5 5.2 4.5 - 5.0
Konsumsi Pemerintah 2.2 2.7 2.6 5.5 7.4 4.9 0.8 3.9 3.0 - 3.5
Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.0 1.7 1.9 3.1 5.7 3.1 5.5 6.3 6.0 - 6.5
Ekspor (1.4) 0.1 (4.6) (5.9) 1.2 (2.4) (1.3) 2.0 0.8 - 1.3
Impor (2.1) (1.8) (7.5) (6.7) 2.3 (3.4) (1.3) 4.1 2.5 - 3.0
Net Ekspor 2.0 8.5 9.5 (2.7) (5.7) 2.7 (1.3) (6.7) (7.0) - (6.5)
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 5.4 2.5 0.7 6.2 3.6 3.8 4.3 4.3 - 4.8
Pertambangan dan Penggal ian (1.5) (3.5) (2.4) (1.4) (3.8) (2.9) (0.7) (1.1) (0.8) - (0.3)
Industri Pengolahan 4.6 1.8 3.1 4.3 5.8 3.8 4.7 5.0 4.4 - 4.9
Pengadaan Lis trik dan Gas 7.6 6.0 1.7 2.1 3.4 3.2 9.1 5.7 7.2 - 7.7
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah
dan Daur Ulang 5.0 5.2 6.1 4.2 3.9 4.9 3.3 3.0 3.6 - 4.1
Konstruks i 7.0 3.7 2.5 4.8 5.6 4.2 5.6 5.8 5.0 - 5.5
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i
Mobi l dan Sepeda Motor 5.9 5.0 4.6 3.2 4.9 4.4 4.9 5.8 4.9 - 5.4
Transportas i dan Pergudangan 6.5 7.8 7.2 8.2 5.6 7.2 6.2 5.6 6.0 - 6.5
Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum 7.7 7.9 6.5 7.3 8.9 7.7 7.6 7.2 6.8 - 7.3
Informas i dan Komunikas i 7.5 8.4 9.1 8.9 7.8 8.5 8.1 6.1 6.5 - 7.0
Jasa Keuangan dan Asurans i 3.7 4.8 0.9 5.4 6.1 4.1 6.0 6.2 5.4 - 5.9
Real Estate 6.6 5.5 5.5 5.8 6.3 5.8 4.9 5.1 5.1 - 5.6
Jasa Perusahaan 6.7 6.7 6.1 5.2 5.3 5.8 5.3 6.0 5.7 - 6.2
Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sos ia l Wajib 6.1 5.9 7.8 6.7 8.3 7.2 5.4 5.5 5.2 - 5.7
Jasa Pendidikan 8.1 8.9 7.1 7.2 4.9 6.9 6.2 8.0 7.1 - 7.6
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l 7.4 7.4 7.6 8.7 6.3 7.5 7.2 7.1 7.4 - 7.9
Jasa la innya 6.7 7.2 7.8 7.5 7.6 7.5 6.0 6.3 6.1 - 6.6
Provins i Aceh 1.5 (1.9) (2.1) (0.3) 1.4 (0.7) 3.7 4.1 3.6 - 4.1
Provins i Sumatera Utara 5.2 4.8 5.1 5.1 5.3 5.1 5.0 5.2 5.1 - 5.6
Provins i Sumatera Barat 5.9 5.5 5.5 4.9 5.7 5.4 5.5 5.6 5.3 - 5.8
Provins i Riau 2.7 (0.0) (2.1) (1.4) 4.5 0.2 2.3 2.5 1.4 - 1.9
Provins i Jambi 7.4 5.0 4.3 4.4 3.2 4.2 3.4 4.0 4.0 - 4.5
Provins i Kepulauan Riau 6.6 6.8 6.7 5.4 5.2 6.0 4.6 4.8 5.3 - 5.8
Provins i Sumatera Selatan 4.7 4.6 4.7 4.7 3.9 4.4 4.9 5.3 5.1 - 5.6
Provins i Bengkulu 5.5 5.3 5.2 5.2 4.9 5.1 5.0 5.1 4.9 - 5.4
Provins i Lampung 5.1 4.9 5.1 5.2 5.3 5.1 5.1 5.2 5.2 - 5.7
Provins i Kep. Bangka Bel i tung 4.7 4.1 4.0 4.0 4.3 4.1 3.3 3.8 3.5 - 4.0
2016f
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
92
I II III IV I IIf
PDRB (%,yoy) 4.6 3.5 3.0 3.1 4.6 3.5 4.2 4.4 4.2 - 4.7
Inflasi IHK (%,yoy) 8.6 6.1 7.7 6.8 3.0 3.0 5.7 4.2 4.3 - 4.8
Provins i Aceh 8.1 5.4 6.2 4.2 1.5 1.5 3.6 3.7 4.6 - 5.1
Provins i Sumatera Utara 8.2 6.1 7.8 6.6 3.2 3.2 7.2 4.2 4.5 - 5.0
Provins i Sumatera Barat 11.6 6.3 8.2 6.2 1.1 1.1 6.6 6.2 6.5 - 7.0
Provins i Riau 8.6 6.2 7.4 5.7 2.6 2.6 4.4 2.7 3.8 - 4.3
Provins i Kepulauan Riau 7.6 5.7 8.2 8.3 4.4 4.4 5.6 3.8 4.2 - 4.7
Provins i Jambi 8.7 4.9 6.4 5.3 1.4 1.4 5.0 3.3 4.0 - 4.5
Provins i Sumatera Selatan 8.5 6.3 7.5 7.0 3.1 3.1 5.1 4.9 3.6 - 4.1
Provins i Bengkulu 10.9 7.7 9.9 8.6 3.3 3.3 5.9 4.8 3.9 - 4.4
Provins i Lampung 8.1 6.6 8.2 7.7 4.3 4.3 5.3 3.3 3.6 - 4.1
Provins i Kep. Bangka Bel i tung 9.0 6.7 6.9 7.3 3.3 3.3 5.5 5.9 3.7 - 4.2
2016f
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
93
I II III IV I IIf
PDRB (%,yoy) 5.6 5.3 5.2 5.5 5.9 5.5 5.3 5.6 5.6 - 6.0
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.1 4.8 4.8 4.1 4.5 4.5 5.0 5.2 5.5 - 5.9
Konsumsi LNPRT 12.7 (11.8) (12.3) 4.5 5.9 (4.0) 6.1 6.6 5.0 - 5.4
Konsumsi Pemerintah 2.7 0.3 1.7 7.9 5.2 4.2 2.3 4.1 5.7 - 6.1
Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.8 5.1 4.3 4.1 3.8 4.3 4.3 5.1 4.5 - 4.9
Ekspor 3.0 (1.5) (1.4) 0.6 (4.5) (1.7) 0.5 10.5 9.4 - 9.8
Impor 1.2 (5.0) (9.2) (9.0) (12.4) (9.0) (4.9) 2.9 2.1 - 2.5
Net Ekspor (4.1) 1.4 (5.0) (12.5) (30.9) (10.7) (7.8) (9.9) 1.9 - 2.3
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 1.3 2.6 6.7 1.8 2.4 3.4 (0.0) 3.0 2.6 - 3.0
Pertambangan dan Penggal ian 3.1 (0.2) 6.1 5.5 8.9 5.1 3.5 6.3 4.4 - 4.8
Industri Pengolahan 5.8 4.8 3.9 5.0 4.8 4.6 4.5 5.0 4.9 - 5.3
Pengadaan Lis trik dan Gas 4.3 (5.4) (3.9) (3.3) (2.9) (3.9) 2.5 1.6 1.8 - 2.2
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah
dan Daur Ulang 3.3 4.8 4.5 4.1 3.7 4.2 2.7 0.8 2.4 - 2.8
Konstruks i 5.5 4.9 3.8 5.0 5.6 4.8 3.9 4.7 4.6 - 5.0
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i
Mobi l dan Sepeda Motor 4.5 4.3 4.3 4.1 4.0 4.2 5.1 5.7 5.4 - 5.8
Transportas i dan Pergudangan 8.7 8.7 9.1 8.2 6.6 8.1 8.0 8.1 8.2 - 8.6
Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum 7.2 6.5 6.5 6.8 7.8 6.9 7.8 6.4 6.4 - 6.8
Informas i dan Komunikas i 11.0 10.0 10.1 9.5 9.5 9.8 9.9 9.2 9.3 - 9.7
Jasa Keuangan dan Asurans i 4.5 8.8 2.6 11.3 15.2 9.5 10.2 9.5 8.7 - 9.1
Real Estate 6.1 5.9 5.3 5.1 4.6 5.2 5.6 5.1 5.3 - 5.7
Jasa Perusahaan 8.8 7.1 7.8 7.9 7.8 7.6 7.3 7.2 7.5 - 7.9
Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sos ia l Wajib 1.3 2.4 3.6 4.1 4.4 3.7 3.8 3.3 2.9 - 3.3
Jasa Pendidikan 7.3 6.5 8.2 7.6 6.9 7.3 7.5 6.2 5.9 - 6.3
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l 8.9 8.7 7.5 8.3 8.2 8.2 8.0 6.8 7.0 - 7.4
Jasa la innya 7.8 7.5 6.3 6.8 7.7 7.1 7.5 4.9 5.5 - 5.9
Provins i DKI Jakarta 5.9 5.5 5.3 6.1 6.5 5.9 5.6 6.2 6.0 - 6.4
Provins i Jawa Barat 5.1 4.9 4.9 5.0 5.2 5.0 5.1 5.2 5.1 - 5.5
Provins i Banten 5.5 5.5 5.2 5.9 4.9 5.4 5.2 5.4 5.2 - 5.6
Provins i Jawa Tengah 5.3 5.6 5.1 5.0 6.1 5.4 5.1 5.4 5.3 - 5.7
Provins i DI Yogyakarta 5.2 4.3 4.6 5.3 5.5 4.9 5.0 5.2 5.1 - 5.5
Provins i Jawa Timur 5.9 5.0 5.2 5.5 5.9 5.4 5.3 5.6 5.5 - 5.9
Inflasi IHK (%,yoy) 8.4 6.3 7.1 6.7 3.1 3.1 3.9 3.0 3.4 - 3.8
Provins i DKI Jakarta 9.0 7.1 7.6 7.2 3.3 3.3 3.6 2.5 2.9 - 3.3
Provins i Jawa Barat 7.6 5.5 6.5 6.1 2.7 2.7 3.8 3.0 3.4 - 3.8
Provins i Banten 10.2 7.5 8.9 8.1 4.3 4.3 5.7 4.0 4.0 - 4.4
Provins i Jawa Tengah 8.2 5.7 6.2 5.8 2.7 2.7 4.2 3.4 3.5 - 3.9
Provins i DI Yogyakarta 6.6 5.1 5.7 5.2 3.1 3.1 3.7 3.4 4.0 - 4.4
Provins i Jawa Timur 7.8 6.1 6.8 6.7 3.1 3.1 3.7 3.3 3.7 - 4.1
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
2016f
94
I II III IV I IIf
PDRB (%,yoy) 3.3 2.0 1.4 0.4 1.4 1.3 1.1 1.3 1.0 - 1.5
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 3.9 3.4 3.7 4.0 3.4 3.6 4.2 4.4 3.8 - 4.3
Konsumsi LNPRT 2.7 (4.1) 4.6 11.1 15.2 6.6 5.8 2.9 3.5 - 4.0
Konsumsi Pemerintah 3.5 6.6 7.0 7.2 (9.1) 0.8 4.5 4.1 4.2 - 4.7
Pembentukan Modal Tetap Bruto 6.1 3.0 2.0 5.4 (1.4) 2.2 (2.1) 1.0 1.2 - 1.7
Ekspor 0.1 (0.4) 0.1 (2.0) (1.3) (0.9) (1.9) (1.2) (1.1) - (0.6)
Impor (0.1) (2.2) 1.9 2.0 (6.3) (1.3) (3.0) (0.4) 0.2 - 0.7
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 5.1 5.5 5.8 3.8 1.5 4.1 1.6 3.6 2.6 - 3.1
Pertambangan dan Penggal ian 0.1 (0.9) (3.0) (5.9) (5.7) (3.9) (5.9) (5.6) (5.5) - (5.0)
Industri Pengolahan 2.2 (1.8) 1.2 2.5 10.3 3.0 7.7 5.4 4.7 - 5.2
Pengadaan Lis trik dan Gas 17.1 38.4 28.1 25.9 (1.2) 20.1 6.2 9.1 9.1 - 9.6
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah
dan Daur Ulang 6.7 3.4 5.5 4.0 5.2 4.6 5.8 4.8 5.0 - 5.5
Konstruks i 7.6 4.1 2.1 2.7 2.5 2.8 0.5 3.3 2.7 - 3.2
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i
Mobi l dan Sepeda Motor 5.4 4.3 4.0 3.2 5.6 4.3 6.2 5.9 5.2 - 5.7
Transportas i dan Pergudangan 6.3 7.4 7.3 5.5 4.2 6.0 6.1 5.5 5.1 - 5.6
Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum 6.1 5.4 6.4 6.2 5.8 5.9 5.3 6.1 5.1 - 5.6
Informas i dan Komunikas i 10.6 11.5 8.8 8.4 8.4 9.3 9.5 8.9 9.0 - 9.5
Jasa Keuangan dan Asurans i 5.0 4.8 (0.2) 6.0 3.8 3.6 4.5 5.2 4.6 - 5.1
Real Estate 6.9 7.6 4.5 4.2 2.6 4.7 4.0 4.1 3.7 - 4.2
Jasa Perusahaan 7.3 3.0 2.1 2.6 0.5 2.0 2.2 1.7 1.7 - 2.2
Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sos ia l Wajib 7.6 7.0 8.6 8.1 9.1 8.2 8.9 7.8 8.0 - 8.5
Jasa Pendidikan 9.7 10.2 10.3 9.7 5.0 8.7 8.5 7.3 8.6 - 9.1
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l 7.9 7.7 9.8 10.0 8.5 9.0 8.5 8.6 8.8 - 9.3
Jasa la innya 7.5 6.7 7.1 6.8 8.5 7.3 9.1 8.0 8.1 - 8.6
Provins i Ka l imantan Barat 5.0 6.3 4.1 4.6 4.3 4.8 5.9 5.3 5.2 - 5.7
Provins i Ka l imantan Tengah 6.2 7.6 7.1 6.9 6.6 7.0 5.2 6.8 6.1 - 6.6
Provins i Ka l imantan Selatan 4.9 4.0 3.3 3.9 4.1 3.8 4.0 3.8 3.7 - 4.2
Provins i Ka l imantan Timur 2.2 (0.2) (0.4) (2.2) (0.5) (0.9) (1.3) (1.0) (1.3) - (0.8)
Inflasi IHK (%,yoy) 7.9 7.3 7.3 7.4 5.1 5.1 5.1 4.9 4.1 - 4.6
Provins i Ka l imantan Barat 9.4 8.9 9.0 8.8 5.8 5.8 4.6 4.3 3.6 - 4.1
Provins i Ka l imantan Tengah 7.1 5.9 5.9 5.8 4.7 4.7 4.6 3.7 3.6 - 4.1
Provins i Ka l imantan Selatan 7.3 7.0 6.1 7.0 5.2 5.2 6.0 5.6 4.6 - 5.1
Provins i Ka l imantan Timur 7.7 7.1 7.6 7.3 4.9 4.9 4.9 5.1 4.1 - 4.6
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
2016f
95
I II III IV I IIf
PDRB (%,yoy) 6.1 6.5 9.4 8.9 8.6 8.4 6.0 6.9 7.1 - 7.5
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga 5.8 5.7 5.7 5.4 5.2 5.5 5.8 6.9 6.4 - 6.8
Konsumsi LNPRT 10.0 (4.0) (1.8) 6.5 11.5 3.0 6.8 5.4 3.9 - 4.3
Konsumsi Pemerintah 3.8 6.0 4.5 5.3 10.6 6.9 5.5 5.9 6.4 - 6.9
Pembentukan Modal Tetap Bruto 8.6 8.7 10.0 9.2 8.5 9.1 8.5 10.2 8.9 - 9.3
Ekspor (9.0) 29.5 51.7 12.8 (4.3) 18.8 6.2 5.5 4.3 - 4.7
Impor 10.1 (16.3) (2.2) 6.1 18.2 1.4 16.5 13.7 9.3 - 9.7
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 6.6 4.0 6.1 3.6 3.5 4.3 2.2 5.6 4.8 - 5.2
Pertambangan dan Penggal ian (2.3) 7.3 23.6 22.1 19.2 18.1 0.8 1.8 4.3 - 4.9
Industri Pengolahan 7.7 5.7 11.8 9.4 11.0 9.5 11.9 13.6 13.1 - 13.5
Pengadaan Lis trik dan Gas 10.8 6.5 (2.6) (2.2) (0.7) 0.1 8.0 9.6 8.1 - 8.5
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah
dan Daur Ulang 5.6 2.6 3.6 1.1 2.9 2.5 6.1 4.3 4.8 - 5.2
Konstruks i 8.3 9.6 9.1 9.9 9.8 9.6 7.5 7.7 8.2 - 8.6
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparas i
Mobi l dan Sepeda Motor 7.6 6.1 6.8 7.2 8.1 7.1 7.4 8.8 8.2 - 8.6
Transportas i dan Pergudangan 6.8 6.6 7.1 7.9 5.7 6.8 7.9 8.7 7.9 - 8.3
Penyediaan Akomodas i dan Makan Minum 7.2 6.4 5.7 5.9 5.9 5.9 7.3 7.0 6.9 - 7.3
Informas i dan Komunikas i 7.3 7.3 7.3 8.8 9.1 8.2 8.9 7.7 7.8 - 8.2
Jasa Keuangan dan Asurans i 6.3 9.1 2.2 10.0 6.1 6.8 9.2 9.8 8.4 - 8.8
Real Estate 7.7 6.9 6.5 6.1 5.9 6.4 6.2 6.1 6.9 - 7.3
Jasa Perusahaan 7.7 4.0 5.2 6.3 6.5 5.5 7.1 6.9 7.0 - 7.4
Adminis tras i Pemerintahan, Pertahanan dan
Jaminan Sos ia l Wajib 8.4 6.7 8.5 7.8 9.4 8.1 7.4 6.3 7.1 - 7.5
Jasa Pendidikan 7.4 8.9 8.4 7.9 4.4 7.3 7.9 7.0 6.9 - 7.3
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sos ia l 8.8 7.6 8.2 9.1 6.9 7.9 8.1 6.0 6.2 - 6.6
Jasa la innya 7.6 7.1 6.9 7.9 7.0 7.2 7.3 6.5 6.4 - 6.9
Provins i Sulawes i Selatan 7.5 5.7 8.0 7.6 7.2 7.1 7.4 7.7 7.5 - 7.9
Provins i Sulawes i Barat 8.9 5.6 8.7 6.3 8.7 7.4 6.1 7.4 7.4 - 7.8
Provins i Sulawes i Tenggara 6.3 5.7 7.2 7.0 7.5 6.9 5.2 6.6 6.6 - 7.0
Provins i Sulawes i Tengah 5.1 16.5 15.1 15.6 15.1 15.6 11.8 16.3 13.9 - 14.3
Provins i Goronta lo 7.3 4.8 6.7 5.9 7.7 6.2 6.6 6.9 6.7 - 7.1
Provins i Sulawes i Utara 6.3 6.4 6.3 6.3 5.6 6.1 6.0 6.1 6.1 - 6.5
Provins i Maluku Utara 5.5 5.0 6.5 6.8 6.0 6.1 5.1 5.7 5.7 - 6.1
Provins i Maluku 6.6 4.1 5.5 5.6 6.5 5.4 5.5 5.9 5.6 - 6.0
Provins i Papua Barat 5.4 (2.0) 7.0 6.6 5.2 4.1 5.5 5.3 4.8 - 5.2
Provins i Papua 3.8 1.6 13.8 2.5 14.1 8.0 (2.0) 2.1 6.4 - 6.8
Provins i Ba l i 6.7 6.0 5.9 6.3 6.0 6.0 6.0 6.1 6.1 - 6.5
Provins i Nusa Tenggara Barat 5.1 19.4 20.1 34.2 12.0 21.2 10.0 8.4 5.2 - 5.6
Provins i Nusa Tenggara Timur 5.1 4.6 5.1 5.1 5.1 5.0 5.1 5.2 5.1 - 5.5
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
2016f
96
I II III IV I IIf
Inflasi IHK (%,yoy) 8.3 6.8 7.2 7.1 7.5 4.1 4.7 4.3 3.6 - 4.0
Provins i Sulawes i Selatan 8.6 7.1 7.2 8.1 8.2 4.5 5.7 5.4 3.3 - 3.7
Provins i Sulawes i Barat 7.9 6.7 6.3 7.0 7.2 5.1 5.2 4.9 4.1 - 4.5
Provins i Sulawes i Tenggara 8.4 7.8 7.7 6.4 6.7 2.3 4.8 4.4 3.2 - 3.6
Provins i Sulawes i Tengah 8.8 5.3 5.9 4.8 5.3 4.2 6.0 4.5 2.9 - 3.3
Provins i Gorontalo 6.1 5.3 5.8 7.2 6.6 4.3 5.7 4.6 3.4 - 3.8
Provins i Sulawes i Utara 9.7 8.0 8.0 8.6 9.0 5.6 4.9 3.1 4.1 - 4.5
Provins i Maluku Utara 7.2 9.1 8.7 7.6 9.6 6.1 2.2 1.3 3.0 - 3.4
Provins i Maluku 9.3 7.9 8.9 9.3 8.0 4.5 5.5 5.0 4.1 - 4.5
Provins i Papua Barat 9.1 6.8 9.1 7.1 8.1 3.6 3.8 4.1 4.2 - 4.6
Provins i Papua 6.6 7.0 7.5 6.5 7.2 5.3 5.5 5.5 4.7 - 5.1
Provins i Ba l i 8.4 6.4 7.0 7.1 7.0 2.7 3.6 3.2 3.5 - 3.9
Provins i Nusa Tenggara Barat 7.2 6.0 6.7 5.3 5.7 3.4 4.3 4.7 4.0 - 4.4
Provins i Nusa Tenggara Timur 7.8 5.4 5.6 6.1 6.9 4.9 5.0 4.9 4.1 - 4.5
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah 20142015
20152016
2016f
Penanggung Jawab dan Editor
Koordinator Penyusun
Tim Penulis
Arief Hartawan
Noor Yudanto
Gunawan Wicaksono Handri Adiwilaga Maximilian T. Tutuarima Neva Andina Ragil Misas Fu’adi
Rifat Pasha Septine Wulandini
Sulistiyo Rizki Fitrama
Hayatullah Khumeini Bernard Hasiholan
Evy Marya Deswita Siburian Ratu Miana Ulfani Andree Breitner Makahinda