15
LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PENANGANAN PERMASALAHAN URBANISASI DI KOTA MEDAN DAN KOTA SURABAYA Yulia Indahri (Kepakaran Studi Masyarakat dan Sosiologi Perkotaan) PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI JAKARTA 2016

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PENANGANAN …berkas.dpr.go.id/puslit/files/hasil_penelitian/hasil-penelitian-74.pdf · JAKARTA 2016 . RINGKASAN EKSEKUTIF ... 4 Siti Umajah Masjkuri,

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU

PENANGANAN PERMASALAHAN URBANISASI

DI KOTA MEDAN DAN KOTA SURABAYA

Yulia Indahri

(Kepakaran Studi Masyarakat dan Sosiologi Perkotaan)

PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI

JAKARTA

2016

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. Pendahuluan

Salah satu masalah penting yang dihadapi negara-negara di dunia dewasa

ini adalah pesatnya pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di perkotaan.

Secara global, masyarakat dunia lebih memilih hidup di wilayah perkotaan,

dengan 54 persen populasi dunia tinggal di perkotaan di tahun 2014.1 Jika

dibandingkan, di tahun 1950, hanya 30 persen penduduk dunia hidup di

perkotaan, dengan perkiraan di tahun 2050, akan ada sekitar 66 persen populasi

dunia di wilayah perkotaan.2 Asia untuk saat ini sudah mendekati separuh

penduduknya hidup di daerah perkotaan dengan selisih hanya empat persen.

Diperkirakan dunia akan mengalami urbanisasi lebih besar dalam kurun waktu

satu dekade mendatang, dengan proyeksi untuk benua Asia sebesar 64 persen di

tahun 2050.3 Hal ini selain disebabkan oleh pertumbuhan penduduk alami

(natural growth) yang pesat juga karena terjadi urbanisasi (migration growth).

Pada saat yang sama keadaan ini tidak diikuti dengan kecepatan pertumbuhan

industrialisasi.4

Dari hasil proyeksi urbanisasi, laju urbanisasi menunjukkan tren yang

menaik. Tingkat urbanisasi Indonesia pada tahun 2010 adalah 49,8 persen naik

menjadi 53,3 persen di tahun 2015. Tingkat urbanisasi ini diperkirakan akan

naik menjadi 56,7 persen di tahun 2020 serta menjadi 60 persen di tahun 2025.

Hasil penelitian Graeme (1990) seperti dikutip Masjkuri menyatakan

bahwa masyarakat Indonesia cenderung melakukan migrasi, hal ini disebabkan

selain oleh faktor-faktor daya tarik dari daerah tujuan, juga kecenderungan

daerah asal yang pertumbuhan penduduknya lebih cepat daripada daerah

tujuan.5 Hal yang demikian ini menjadi daya pendorong penduduk pedesaan

1 UN DESA, World Urbanization Prospects, The 2014 Revision (New York: UN, 2014), hlm. 1. 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Siti Umajah Masjkuri, “Perbaikan Kampung Komprehensif dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Sosial serta Kemandirian Masyarakat Miskin Kampung Kumuh di Kota Surabaya”, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya 2007, hlm. 1. 5 Masjkuri, op. cit. hlm. 8.

untuk bermigrasi ke perkotaan. Dampak yang ditimbulkan untuk daerah yang

ditinggalkan (pedesaan) meliputi kenaikan pendapatan (bertambah karena ada

kiriman dari kota), peningkatan peran secara tradisional (khususnya wanita),

peningkatan tingkat kesehatan dan kesejahteraan serta perubahan sosial

cenderung mengalami peningkatan. Sedangkan untuk produktivitas pertanian

dan tenaga kerja cenderung menurun.6 Dampak negatifnya untuk daerah

perkotaan di bidang sosial dan ekonomi ditandai dengan penurunan tingkat

kesejahteraan dan peluang ekonomi yang tidak dapat diakses masyarakat secara

merata.

Perencanaan yang baik, baik dari sisi perencanaan ruang dan

perencanaan sosial ekonomi harus menjadi perhatian pemerintah baik di pusat

maupun di daerah untuk membangun kota dan daerah yang lebih baik agar

urbanisasi dengan daerah tujuan yang terpolarisasi di kota-kota yang sudah

mempunyai beban sosial dan ekonomi yang melebihi kapasitasnya, dapat

diminalisir. Oleh karena itu, pembangunan perkotaan walaupun dirasakan tidak

terencana dengan baik, tetapi tetap harus didukung oleh semua pihak.

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana Pemerintah Kota Medan dan Kota Surabaya

menangani urbanisasi yang terlihat sering kali memunculkan masalah agar tidak

merugikan masyarakat di kota yang menjadi tujuan urbanisasi.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

penelitian:

1. Bagaimana perkembangan urbanisasi di Indonesia?

2. Bagaimana perkembangan urbanisasi di Kota Medan dan Kota Surabaya?

3. Bagaimana permasalahan sosial yang muncul akibat urbanisasi di Kota

Medan dan Kota Surabaya?

4. Bagaimana Kebijakan urbanisasi yang lebih baik untuk Kota Medan dan Kota

Medan pada masa mendatang?

Selain itu, penelitian ini juga sesuai dengan bidang kepakaran peneliti

yang bersangkutan dan merupakan kelanjutan dari studi mengenai urbanisasi

yang sebelumnya telah dilakukan oleh peneliti bidang Ekonomi Kebijakan Publik

di Pusat Penelitian BKD (dahulu P3DI) dan studi lain yang dilakukan di beberapa

6 Ibid.

lembaga demografi. Penelitian terdahulu oleh P3DI hanya dilakukan di kota

Jakarta dengan karakteristik urbanisasi yang cukup spesifik karena sudah

mencapai angka 100 persen.7 Jika penelitian terdahulu lebih menekankan aspek

ekonomi, terutama aspek ketenagakerjaan, maka penelitian ini diharapkan akan

bermanfaat dalam memperkaya kajian sosial perkotaan. Selain itu, penelitian ini

dapat dijadikan masukan bagi pengambil keputusan dalam mengevaluasi serta

menentukan kebijakan pembangunan daerah urban.

Penelitian akan bersifat deskriptif yang secara sistematis dan faktual

menyampaikan permasalahan sosial yang muncul terkait dengan urbanisasi di

Kota Medan dan Kota Surabaya berdasarkan diskusi dengan pemangku

kepentingan, mulai dari SKDP sampai pejabat dan tokoh masyarakat di tingkat

kelurahan dan kecamatan. Metode dan pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Selain itu, dari penelitian ini diharapkan, pertama, menganalisis

perkembangan urbanisasi di Indonesia pada umumnya dengan melihat bahwa

Kota Medan merupakan kota terbesar di luar Pulau Jawa dan kota metropolitan

terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Selain itu Kota Medan

juga merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia di bagian barat. Sementara

Kota Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia.

Tujuan kedua adalah untuk mengidentifikasi permasalahan sosial yang

muncul dengan mengacu pada kajian atau penelitian terdahulu. Identifikasi

dapat dilihat dari angka tingkat kesejahteraan, akses pendidikan, ada tidaknya

slum area, angka kriminalitas, angka tuna wisma dan tuna karya, serta kondisi

lingkungan dan sosial lainnya dengan juga melihat bahwa di tahun 2015,

berdasarkan laporan tahun 2014, Indeks Pembangunan Manusia di kota Medan

(78,26) dan Surabaya (68,14) berada di atas (Medan) dan di bawah (Surabaya)

rata-rata nasional (68,90).

Tujuan ketiga adalah untuk mengidentifikasi kebijakan pemerintah kota

dalam menghadapi urbanisasi berdasarkan kebijakan nasional yang telah

disusun oleh pemerintah pusat. Saat ini Rencana Pembangunan Jangka

7 Asep Ahmad Saefuloh, “Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu”, dalam buku Perkembangan dan Permasalahan Tenaga Kerja (Jakarta: P3DI, 2011).

Menengah Nasional 2015–20198 sudah sangat memerhatikan kondisi nyata

bahwa terjadi ketimpangan dan kesenjangan pembangunan antara desa dengan

kota maupun antarkota yang perlu ditangani secara serius untuk mencegah

terjadinya urbanisasi.

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

primer meliputi data-data yang diperoleh dari studi lapangan terkait dengan

penanganan permasalahan urbanisasi yang didapat dari berbagai Dinas/SKPD

yang akan ditemui. Sedangkan data sekunder meliputi data-data terkait

kebijakan penangan permasalahan urbanisasi yang berasal dari penelitian

terdahulu, buku-buku mengenai urbanisasi, serta artikel-artikel di media massa

yang turut memperkaya informasi yang dapat mendukung analisis penelitian.

Lokasi penelitian adalah Kota Surabaya dan Kota Medan. Sedangkan waktu

pelaksanaan penelitian adalah pada bulan Mei 2016 di Kota Medan dan Agustus

2016 di Kota Surabaya.

B. Perkembangan Urbanisasi di Indonesia

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 berdasarkan Sensus

Penduduk 2010 (SP2010) adalah sebanyak 237.641.326 jiwa, yang mencakup

mereka yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa

(49,79 persen) dan di daerah perdesaan sebanyak 119.321.070 jiwa (50,21

persen).9

Penyebaran penduduk menurut pulau-pulau besar adalah: pulau

Sumatera yang luasnya 25,2 persen dari luas seluruh wilayah Indonesia dihuni

oleh 21,3 persen penduduk, Jawa yang luasnya 6,8 persen dihuni oleh 57,5

persen penduduk, Kalimantan yang luasnya 28,5 persen dihuni oleh 5,8 persen

penduduk, Sulawesi yang luasnya 9,9 persen dihuni oleh 7,3 persen penduduk,

Maluku yang luasnya 4,1 persen dihuni oleh 1,1 persen penduduk, dan Papua

yang luasnya 21,8 persen dihuni oleh 1,5 persen penduduk.10

Jumlah penduduk yang merupakan migran risen terus meningkat dari

waktu ke waktu. Hasil SP2010 mencatat 5.396.419 penduduk atau 2,5 persen

8 Bappenas, Rancangan Awal RPJMN 2015 – 2019, hlm. 20. 9 BPS, “Jumlah dan Distribusi Penduduk”, http://sp2010.bps.go.id/, diakses pada 1 November 2016. 10 Ibid.

penduduk merupakan migran masuk risen antarprovinsi. Persentase migran

risen di daerah perkotaan tiga kali lipat lebih besar migran risen di daerah

perdesaan, masing-masing sebesar 3,8 dan 1,2 persen. Menurut gender, jumlah

migran laki-laki lebih banyak daripada migran perempuan, 2.830.114

berbanding 2.566.305 orang. Seks rasio migran risen adalah 110,3. Beberapa

provinsi merupakan daerah tujuan migran, seperti: Kepulauan Riau, Papua

Barat, dan DI Yogyakarta.11

Jumlah penduduk yang merupakan migran seumur hidup terus

meningkat dari waktu ke waktu. Hasil SP2010 mencatat 27.975.612 penduduk

atau 11,8 persen penduduk merupakan migran masuk seumur hidup

antarprovinsi. Persentase migran seumur hidup di daerah perkotaan hampir tiga

kali lipat migran seumur hidup di daerah perdesaan, masing-masing sebesar

17,2 dan 6,3 persen. Menurut gender, jumlah migran laki-laki lebih banyak

daripada migran perempuan, 14.736.632 berbanding 13.238.980 orang. Seks

rasio migran seumur hidup adalah 111,3. Beberapa provinsi merupakan daerah

tujuan migran, seperti: Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur.12

Data migran risen dan migran seumur hidup tersebut menunjang teori,

bahwa migran lebih banyak menuju ke daerah perkotaan dan laki-laki lebih

banyak yang melakukan perpindahan. Daerah-daerah tujuan migrasi

mempunyai daya tarik tersendiri bagi migran. Pada umumnya alasan utama

pindah para migran ini adalah karena pekerjaan, mencari pekerjaan, atau

sekolah.

Bank Dunia secara khusus menjadikan permasalahan perkotaan sebagai

topik kajiannya mengingat saat ini secara global, lebih dari 50 persen penduduk

dunia tinggal di daerah perkotaan, dan tren ini diperkirakan akan terus

berlanjut. Pada 2045, jumlah penduduk perkotaan akan meningkat 1,5 kali lipat

menjadi 6 miliar, artinya penambahan 2 miliar lebih penduduk perkotaan.13

Indonesia dikelompokkan oleh Bank Dunia sebagai negara yang

didominasi oleh ekonomi perkotaan. Kota-kota di Indonesia tumbuh rata-rata

11 Ibid. 12 Ibid. 13 “Overview, Urban Development”, http://www.worldbank.org/en/topic/urbandevelopment/overview#1, diakses pada 1 November 2016.

4,1 persen per tahun - laju yang lebih cepat dari kota-kota negara Asia lainnya.

Pada tahun 2025, atau kurang dari 10 tahun lagi, diperkirakan 68 persen

penduduk Indonesia adalah warga kota.14 Lahan perkotaan di Indonesia,

terbesar ketiga di Asia Timur, setelah Tiongkok dan Jepang. Antara tahun 2000

hingga 2010, jumlah lahan perkotaan di Indonesia meningkat, dari sekitar 8.900

km2 menjadi 10.000 km2, bertambah 1,1 persen per tahun - laju pertumbuhan

lahan perkotaan tertinggi setelah Tiongkok.15

C. Urbanisasi di Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera

Utara, kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis

secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan

sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan

pemerintah daerah. Perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya mendorong

Kota Medan menjadi pusat pertumbuhan dan pergerakan pembangunan di

Provinsi Sumatera Utara. Saat ini Kota Medan telah mengukuhkan diri sebagai

salah satu kota metropolitan baru di Indonesia.16

Jika dibandingkan dengan kota besar lainnya di Indonesia, Kota Medan

memiliki keterbatasan ruang karena bentuk wilayah administratif yang ramping

di tengah. Dengan keterbatasan ruang tersebut, daya dukung lingkungan

perkotaan menjadi kurang optimal. Hambatan terbesar bersifat alamiah yaitu

terbatasnya pengembangan wilayah utara Kota Medan, khususnya dalam

penyediaan prasarana dan sarana perkotaan. Kondisi tersebut menyebabkan

kurang seimbangnya dan kurang terpadunya penataan ruang kota di bagian

utara dan bagian selatan.

Keberagaman penduduk menurut umur dan jenis kelamin memengaruhi

jenis penyediaan pelayanan umum seperti pelayanan kesehatan, pendidikan,

fasilitas umum, dan penyediaan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Angka

ketergantungan, yaitu perbandingan penduduk usia produktif (kelompok umur

15–64 tahun) dan penduduk usia tidak produktif (kelompok umur 0–14 dan 65

14 World Bank, Indonesia’s Urban Story(Jakarta: World Bank, 2016), hlm. 20, 15 Ibid., hlm. 19. 16 Pemerintah Kota Medan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun 2011–2015 (Medan: Pemko Medan, 2011), hlm. I-1.

tahun atau lebih) relatif besar. Struktur penduduk kota Medan ini menunjukkan

bahwa potensi ketenagakerjaan penduduk Kota Medan sangat besar. Hal ini

menjadi modal dasar untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi

daerah.

Saat ini Kota Medan sedang mengalami masa transisi demografi. Istilah

ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan di mana tingkat

kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan di mana tingkat kelahiran dan

kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak

faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang

diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi.

Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat

akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan

penduduk mulai menurun.

Berdasarkan data BPS Kota Medan yang tersebar dalam laporan per

Kecamatan yang diterbitkan di tahun 2016, dari 21 Kecamatan yang ada di Kota

Medan, Kecamatan Medan Deli adalah kecamatan dengan jumlah penduduk

terbesar, yaitu 181.460 jiwa. Sedangkan kelahiran terbanyak ada di Kecamatan

Medan Tembung, kematian terbanyak terjadi di Kecamatan Medan Petisah.

Kecamatan Medan Denai menjadi kecamatan yang paling banyak menerima

pendatang sementara warga di Kecamatan Medan Polonia paling banyak pindah

ke tempat lain. Tabel 3 memperlihatkan komposisi penduduk Kota Medan

berdasarkan komponen kependudukan untuk 21 Kecamatan yang ada di Kota

Medan.

Permasalahan lain yang muncul dari kegiatan urbanisasi dan juga migrasi

di Kota Medan di antaranya adalah:

1. Eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berlebihan

yang berdampak negatif terhadap kesinambungan pembangunan kota.

2. Penurunan produksi dan pendapatan pelaku usaha tradisional.

3. Permasalahan sosial akibat penurunan produksi, seperti peningkatan angka

pengangguran, angka kemiskinan, angka kriminalitas.

4. Tidak self-reliance.

5. Degradasi budaya lokal.

6. Dominasi kepemilikan modal dan usaha produksi oleh pelaku usaha dari luar

Kota Medan.

D. Urbanisasi di Kota Surabaya

Kota Surabaya merupakan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia,

setelah DKI Jakarta. Berbagai potensi Kota Surabaya, diantaranya di bidang

industri, bisnis dan perdagangan, transportasi maritim dan pelabuhan,

pendidikan, dan pariwisata.

Sumber data utama yang digunakan dalam pembangunan di Kota Surabaya

adalah berdasarkan hasil registrasi penduduk yang terpusat dalam Sistem

Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Unit analisis mulai dari tingkat

kelurahan, kecamatan dan Kota Surabaya bersumber dari Dinas Kependudukan

dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) selama bulan Januari–Desember tahun

2015.

Di samping itu, dikumpulkan juga data-data lain yang bersumber dari

Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) lain di lingkungan Pemerintah Kota

Surabaya, yaitu: Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Kantor Urusan

Agama, Pengadilan Agama, dan Badan Pusat Statistik Kota Surabaya. Data yang

bersumber dari SKPD lain merupakan informasi kualitas penduduk, untuk

mengetahui indikator kesehatan, indikator pendidikan, dan sosial.

Sampai dengan bulan Desember 2015, jumlah penduduk Kota Surabaya

mencapai 2.943.280 jiwa, terdiri atas 50.06 persen (1.473.499 jiwa) penduduk

laki-laki dan 49,94 persen (1.469.781 jiwa) penduduk perempuan, yang

menyebar di 31 kecamatan. Selama enam tahun terakhir penduduk Kota

Surabaya yang teregistrasi di SIAK cenderung fluktuatif, seperti disajikan pada

Gambar 4.1. Dalam periode 2010–2013, jumlah penduduk Kota Surabaya

mengalami peningkatan tajam, selanjutnya menurun pada tahun 2014.

Kemudian tahun 2015, terdapat peningkatan jumlah penduduk sebesar 3,14

persen (89.619 jiwa) dari tahun 2014.

Penurunan jumlah penduduk tahun 2014 bukan karena faktor kelahiran

dan kematian ataupun peristiwa migrasi, namun adanya pembersihan data

ganda penduduk yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kota Surabaya. Adanya kebijakan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP),

sehingga penduduk Kota Surabaya banyak teridentifikasi memiliki KTP ganda.

Oleh karena itu dilakukan penghapusan data ganda penduduk, sehingga

menyebabkan jumlah penduduk turun drastis. Penurunan penduduk ini

mengindikasikan bahwa penduduk yang ber-KTP ganda Iebih memilih untuk

menjadi penduduk luar Kota Surabaya.

Lima kecamatan di Kota Surabaya dengan jumlah penduduk terbesar

dengan jumlah penduduk lebih dari 150 ribu jiwa, yaitu: Kecamatan Tambaksari

(223.893 jiwa), Kecamatan Sawahan (207.099 jiwa), Kecamatan Semampir

(190.146 jiwa), Kecamatan Wonokromo (164.115 jiwa), dan Kecamatan

Kenjeran (154.529 jiwa). Besarnya persentase jumlah penduduk kelima

kecamatan tersebut terhadap total penduduk Kota Surabaya mencapai di atas

lima persen, masing-masing secara berurutan, yaitu: 7,61 persen, 7,04 persen,

6,46 persen, 5,58 persen dan 5,25 persen.

Kota Surabaya sebagai salah satu kota metropolitan menarik banyak

orang untuk datang dengan berbagai alasan baik ekonomi maupun sosial.

Banyak orang yang berkeinginan mendapat penghasilan dan pekerjaan yang

lebih baik, maka mereka berdatangan ke Kota Surabaya untuk mengadu nasib.

Tingginya fasilitas pendidikan dan lapangan pekerjaan yang tersedia merupakan

salah atu faktor yang mendorong tingginya orang untuk datang ke Kota

Surabaya.

Jumlah penduduk yang migrasi masuk di Kota Surabaya mengalami

fluktuasi selama periode tahun 2010 sampai 2014, yaitu berkisar antara 65.000

jiwa sampai dengan 108.000 jiwa per tahun. Mulai tahun 2010, jumlah penduduk

migrasi masuk meningkat hingga tahun 2012 dan menurun pada tahun 2014.

Perkembangan jumlah penduduk migrasi masuk mulai tahun 2010 sampai 2014

di Kota Surabaya disajikan pada Tabel 5. Pada tahun 2014 angka migrasi masuk

ke Kota Surabaya mencapai angka 23,92. Angka ini menunjukkan bahwa

sebanyak 23–24 orang yang datang per 1000 penduduk di Kota Surabaya.

Terdapat hubungan yang erat antara angka migrasi masuk dan angka

migrasi keluar antarkecamatan dan berbanding terbalik. Artinya bahwa suatu

kecamatan semakin besar penduduk yang migrasi masuk, semakin kecil

penduduk yang migrasi keluar. Terdapat empat kelompok kecamatan menurut

persebaran angka migrasi masuk dan migrasi keluar.

Secara alamiah penduduk suatu wilayah akan mengalami penambahan

seiring berjalannya waktu. Seperti halnya Kota Surabaya yang mempunyai

pertumbuhan penduduk tergolong tinggi dengan pertumbuhan tidak merata di

setiap kecamatan. Sebagai kota metropolitan, Kota Surabaya tumbuh lebih

disebabkan oleh faktor migrasi daripada faktor kelahiran dan kematian.

Perubahan peraturan Perda terkait penyelenggaraan administrasi

penduduk nonpermanen telah terjadi beberapa kali, Perda yang pernah memuat

peraturan tersebut di antaranya adalah Perda No. 5 Tahun 1993, Perda No. 5

Tahun 1996, Perda No. 5B Tahun 200, Perda No. 2 Tahun 2007, Perda No. 5

Tahun 2011, serta Perda No. 14 Tahun 2014. Sejak berlakunya Perda tahun 1993

sampai tahun 2000, kartu identitas penduduk nonpermanen disebut dengan

KIPEM (Kartu Identitas Penduduk Musiman), pada Perubahan Perda tahun 2007

berubah menjadi SKTS (Surat Keterangan Tinggal Sementara), kemudian pada

Perubahan Perda tahun 2011 kembali menjadi KIPEM, dan pada Perubahan

Perda tahun 2014 berubah lagi menjadi SKTS.

Sejak tahun 2011, permasalahan penduduk nonpermanen (musiman)

menjadi perhatian khusus Pemerintah Kota Surabaya, sejak tahun itu pencatatan

dan peraturan terkait penduduk nonpermanen lebih diperketat. Berdasarkan

Perda tahun 2011 penduduk yang ingin membuat KIPEM harus melengkapi

beberapa persyaratan yaitu surat keterangan pindah sementara dari daerah asal,

KTP asli, surat pernyataan jaminan tempat tinggal, dan surat keterangan

pekerjaan atau studi. Pendaftaran KIPEM bisa dilaksanakan di kecamatan

penduduk nonpermanen menetap dan prosedur pencatatannya masih dilakukan

secara manual, maksudnya penduduk nonpermanen yang ingin membuat KIPEM

harus mendaftarkan langsung ke kecamatan.

Pada Perda tahun 2014 persyaratan dan prosedur untuk mengurus surat

tinggal sementara bagi penduduk nonpermanen lebih dipermudah dan namanya

berubah menjadi SKTS. Pembuatan SKTS tidak lagi memerlukan surat

keterangan pindah sementara dari daerah asal. Pada tahun 2014 pendaftaran

KIPEM juga lebih dipermudah, pendaftaran dapat dilaksanakan secara online

melalui website Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya

(www.dispendukcapil.surabaya.go.id).

Hasil kajian Dispendukcapil (2014) menunjukkan bahwa penduduk

musiman tidak mengurus SKTS karena tiak mengetahui adanya peraturan

administrasi kependudukan tersebut. Menurut mereka, Kelurahan termasuk RT

dan RW tidak mmemberitahukan aturan tersebut. Sebagian dari penduduk

musiman memang sudah melapor ke RT atau RW namun tidak dilanjutkan

dalam kepengurusan SKTS. Kurangnya sosialisasi kepada penduduk

nonpermanen berdampak pada ketidaktahuan bahwa harus memiliki SKTS

ketika tinggal sementara selama 3 bulan berturut-turut.

E. Permasalahan Sosial Akibat Urbanisasi

Permasalahan sosial yang terjadi akibat urbanisai di Kota Medan dan

Kota Surabaya dapat disimpulkan menjadi gambaran (umum) terhadap

beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia sebagai satu negara dengan

permasalahan pertambahan penduduk perkotaan yang terus meningkat.

Di Indonesia urbanisasi pada umumnya mempunyai kaitan dengan

timbulnya beberapa masalah sosial, ekonomi, dan pemukiman, baik di kota

maupun di desa. Sebab-sebab urbanisasi di Indonesia adalah:

a) sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami di kota;

b) sebagai akibat dari perpindahan penduduk desa ke kota; dan

c) berkembangnya daerah tepian kota.

Kadang-kadang ketiga sebab tersebut terjadi bersamaan, sehingga dapat

mempercepat proses urbanisasi. Kecepatan urbanisasi di Indonesia tergantung

pada beberapa faktor, antara lain:

a) tingkat pendidikan penduduk yang melakukan urbanisasi (urbanit);

b) tingkat kesehatan masyarakat;

c) persentase penduduk yang miskin;

d) latar belakang pertanian di daerah pedesaan;

e) kondisi geografis; serta

f) fungsi serta peranan kota-kota sebagai faktor penarik.

Apabila diinventarisasi permasalahan akibat urbanisasi akan dapat

dilihat bahwa jumlahnya tidak sedikit. Misalnya saja dapat disebutkan di sini:

- Kepadatan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesehatan

lingkungan, masalah perumahan, masalah persampahan.

- Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan dan

mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah pengangguran

dan gelandangan.

- Penyempitan ruang dengan segala akibat negatifnya di kota karena

banyaknya orang, bertambahnya bangunan untuk perumahan, perkantoran,

kegiatan industri, dan bertambahnya kendaraan bermotor yang terus-

menerus membanjiri kota.

- Masalah lalu lintas, kemacetan jalan, dan masalah parkir yang menghambat

kelancaran kota.

- Industrialisasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air, dan polusi

kebisingan.

Sebagai akibat dari cepatnya pertambahan penduduk yang ditunjang

dengan perkembangan ekonomi, transportasi dan pendidikan, frekuensi

mobilitas semakin meningkat. Memerhatikan informasi yang didapat dalam

diskusi, maka implikasi urbanisasi terhadap sektor kehidupan dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

- Di sektor ekonomi, struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi. Bermacam-

macam usaha atau kegiatan di bidang transportasi, perdagangan dan jasa

timbul dari mereka yang bermodal gurem sampai yang bermodal besar,

terutama timbulnya kegiatan di sektor informal. Sangat menarik ialah

kegiatan usaha yang dikenal dengan istilah pedagang “kaki lima”, dan di

bidang jasa yang juga dilaksanakan oleh kaum wanita, sebagai tenaga angkut

di pasar dan tenaga anak-anak sebagai penyemir sepatu dan penjual surat

kabar.

- Perkembangan di bidang wiraswasta juga nampak meluas, misalnya saja

peternakan telur ayam, telur burung puyuh, kegiatan di bidang kerajinan

tangan, dan lain-lain untuk kepentingan pariwisata, kegiatan di bidang

perjalanan atau travel bureau, di bidang perbengkelan dan pertukangan, di

bidang catering, dan masih banyak lagi.

- Di bidang pendidikan makin banyak diusahakan adanya pendidikan kejuruan

setingkat SMTP, SMTA bahkan setingkat perguruan tinggi yaitu adanya

program non-gelar bagi mereka yang ingin memiliki ilmu yang bisa dicapai

dalam jangka studi yang pendek tetapi sudah dapat mendatangkan

penghasilan. Selain itu juga timbulnya kursus montir, kursus pengetikan,

kursus di bidang teknik dan pertukangan dapat diharapkan menampung para

urbanit yang ingin mendapat pekerjaan di kota.

- Implikasi lain yang juga dapat diamati adalah jumlah perluasan fisik kota ke

arah daerah tepian atau pinggiran kota (the periphery areas) yang

menimbulkan permasalahan baru mengenai soal administratif pertanahan,

kependudukan, dan administratif pemerintahan.

- Demikian pula dapat dipahami bahwa harga atau nilai tanah baik di kota

maupun di daerah tepian kota cenderung menaik. Dan keadaan ini juga mulai

dirasakan oleh penduduk di daerah pedesaan.

F. Kebijakan Urbanisasi yang Lebih Baik

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan agar kebijakan urbanisasi ke depan

lebih baik untuk kondisi Indonesia. Tiga hal tersebut adalah:

a. Daya Dukung Kota

Daya dukung kota sebagai tujuan urbanisasi dititikberatkan pada

aspek demografis atau kependudukan, sebab urbanisasi yang ditimbulkan

oleh eksplosi penduduk di pedesaan dan di kota sudah cenderung, bahkan

mungkin sudah melampaui daya dukung masing-masing. Masalah kepadatan

penduduk yang berakibat lanjut terhadap masalah perumahan dan masalah

kelebihan tenaga kerja menjadi masalah yang sangat mengganggu, bahkan

dapat menghambat pembangunan.

b. Kualitas Urbanit

Dari sudut pandang perilaku (behavioral) urbanisasi dilihat dari segi

pentingnya atau sejauh mana manusia itu dapat menyesuaikan diri terhadap

situasi yang berubah-ubah baik yang disebabkan oleh kemajuan teknologi

maupun dengan adanya perkembangan-perkembangan baru dalam

kehidupan. Hasil penyesuaian atau adaptasi para urbanit di daerah

perkotaan mencerminkan kelincahan hidup dan kejelian melihat dan

menangkap sesuatu gejala, dan ini sangat tergantung pada latar belakang

pendidikan dan mental para urbanit.

c. Kebijakan Pemerintah

Urbanisasi mempunyai hubungan erat dengan berbagai aspek

pembangunan nasional. Oleh karena itu, peranan pemerintah sangat

diperlukan dalam mengatur kebijaksanaan urbanisasi agar proses urbanisasi

dapat mencapai keseimbangan dalam suatu urban system yang secara efektif

dapat memperluas pelayanan terhadap penduduk secara keseluruhan.

G. Penutup

Dengan bertambahnya penduduk, maka berdampak pada tingkat

kepadatan wilayah akan bertambah pula, apalagi daya dukung tidak memadai.

Oleh karena itu, upaya pengendalian penduduk perlu dilakukan. Wilayah yang

perlu mendapatkan perhatian adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk

permanen yang sudah tinggi dan ditambah dengan penduduk non-permanen

yang tinggi pula.

Kebijakan yang dapat dipertimbangkan guna memungkinkan lebih

banyak manfaat dari urbanisasi di antaranya adalah:

- memprioritaskan urbanisasi dalam agenda pembangunan nasional dan

mengatasi masalah melalui pendekatan komprehensif;

- membiayai infrastruktur perkotaan dapat menggunakan pilihan domestik

yang tersedia;

- meningkatkan pengelolaan pemerintahan kota;

- konsistensi perencanaan tata ruang di tiap tingkat kepemerintahan (pusat,

propinsi, dan kabupaten/kota);

- menyesuaikan strategi pembangunan perkotaan dengan besarnya kota yang

bersangkutan; serta

- memperbaiki konektivitas antarkawasan metropolitan, begitu juga antara

kawasan perkotaan dan pedesaan mengingat kondisi geografis Indonesia

yang beragam dan terbentang luas.