Upload
truongtu
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
LAPORAN PENELITIAN MANDIRI
KOMUNIKASI TRANSENDENTAL LAFADZ
TAQWA, DZIKIR, DAN FALAH DALAM MAKNA
SEMANTIK
Oleh:
Dr. Muhtadin, MA
OKTOBER, 2017
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
2
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN PENELITIAN MANDIRI
JUDUL
KOMUNIKASI TRANSENDENTAL LAFADZ
TAQWA, DZIKIR, DAN FALAH DALAM MAKNA
SEMANTIK
OLEH
DR MUHTADIN, MA
Jakarta Oktober 2017 Mengetahui Menyetujui Dekan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Dr. Prasetya Yoga Santoso, M.M Drs. YS. Gunadi, M.M
3
ABSTRAKSI
KAJIAN KOMUNIKASI TRANSENDENTAL LAFADZ
TAQWA, DZIKIR, DAN FALAH DALAM MAKNA SEMANTIK
Oleh: Dr. Muhtadin, MA
Secara harfiyah kata “takwa” berasal dari kata “waqaa-yaqii-wiqaayah”
yang berarti memelihara, menjaga, dan lain sebagainya. Takwa juga berarti
menghindar, dalam arti ini mencakup tiga aspek yaitu :
1. Mmenghindar dari sikap kufur dengan jalan beriman kepada Allah
SWT.
2. Berupaya melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-
larangan-Nya dengan seoptimal mungkin.
3. Menghundar dari segala aktifitas yang menjauhkan pikiran dari Allah
.SWT.
Kata “dzikir” secara harfiyah berasal dari kata “dzakara-yadzkuru-
dzikran”. menurut M. Quraish Shihab bisa dikaitkan dengan akal pikiran
dalam arti mengingat atau dalam arti sesuatu yang mengantar akal untuk
meraih apa yang belum diraihnya. Inilah dzikir yang bermakna “peringatan”.
Dzikir juga bisa diartikan dengan menghadirkan ke dalam benak terhadap apa
yang tadinya terlupakan dan inilah dzikir yang bermakna “mengingat”. Kata
ddzikir juga dapat dipahami dalam arti “kemulian”. Maksudnya adalah “Al-
Qur’an”.
Makna dasar “falah” adalah keberuntungan. Kata falah ketika
dihubungkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an adalah keberuntungan,
keselamatan, dan langgeng dalam kenikmatan dan kebaikan. Hal ini
tercermin dalam surat Ali ‘Imran ayat 130, tentang pelarangan riba. Dalam
ayat ini yang diakhiri dengan peringatan Allah , supaya bertakwa kepada-Nya
agar orang mendapat keberuntungan. Orang yang menghalalkan riba diancam
dengan api neraka.
Konsep Al-Qur’an tentang takwa, dzikir, dan falah adalah setali tiga
uang, dimana ketiga konsep ini mempunyai pencapaian hidup melangit dan
hidup membumi. Pencapaian hidup melangit diapresiasikan oleh takwa dalam
bentuk keshalihan individu, sedangkan oleh dzikir dalam bentuk moralitas
ilahiyyah yang berujung pada keberuntungan atau keberuntungan dari Allah
yang akan diterima di hari kelak.
i
4
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini guna memenuhi kewajiban sebagai seorang dosen
dan sebagai BKD demi meningkatkan kualitas dosen.
Di dalam menyusun penelitian yang berjudul KOMUNIKASI
TRANSENDENTAL LAFADZ TAQWA, DZKIR DAN FALAH DALAM
MAKNA SEMANTIK ini, mulai dari persiapan-persiapan sampai selesainya,
penulis banyak sekali memperoleh bantuan dan bimbingan baik moril maupun
materiil dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan yang baik ini, penulis
menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga atas budi baik dari :
1. Prof. Dr. H. Sunarto, M.Si, Staf Ahli Bidang Pendidikan Yayasan
Universitas Prof. Dr. Moestopo yang telah memberi motivasi dan
bimbingan demi kesuksesan penelitian ini.
2. Dr. Prasetya Yoga Santoso, MM, dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UPDM
(B) yang memotivasi untuk meningkatkan kinerja dosen
3. Istri tercinta, Dra. Ika Dyah Damayanti Dewi Prabandari, yang senantiasa
mendampingi dan membantu mengatasi berbagai persoalan yang muncul,
meskipun dengan segala kesibukannya dalam mengatasi rumah tangga dan
sebagai SOSWOKERdi Rumah Sakit Pandanaran Boyolali, serta anak-anak
tersayang Nur Fadhilah Al-Karimah, S.Ps, M. Psi Nur Rizqiyah Al-
Karimah,S.Pi dan Nur Imamah Al-Karimah
4. Rekan-rekan dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr.
Moestopo (Beragama), atas bantuannya dalam penulisan ini.
5. Semua pihak yang tidak bisa saya sebut namanya, yang telah membantu,
mendorong, dan membimbing dalam penyelesaian penelitian ini.
Semoga Allah SWT, membalas seluruh jerih payah beliau atas pengorbanannya
yang semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah SWT. Dan mudah-
mudahan penelitian ini bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara. Amin Yaa
Rabba al-‘Alamin.
Jakarta, Oktober 2017
Muhtadin
ii
5
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1
A.Latar Belakang Masalah ..............................................................................1
B.Pembatasan Masalah ..................................................................................4
C.Perumusan Masalah ...................................................................................6
D.Tujuan Penelitian ........................................................................................6
E.Kegunaan Penelitian ...................................................................................6
F.Waktu Penelitian .........................................................................................7
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP ......... 8
A.Kajian Pustaka ......................................................................................8
B.Kata dan Makna ..................................................................................35
C.Semiotika Dalam Komunikasi .............................................................40
D.Tanda dan Makna ...............................................................................50
BAB III METODE PENELITIAN .................................................. 57
A.Paradigma Penelitian .........................................................................57
B.Jenis dan Sifat Penelitian ....................................................................61
C.Teknik Pengumpulan Data ..................................................................64
D.Teknik Analisis ......................................................................................... 65
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 66
A.Makna Taqwa .......................................................................................... 66
B.Makna Dzikir ............................................................................................ 76
C.Makna Falah ............................................................................................ 90
D.Korelasi Antara Taqwa-Dzikir dan Falah .................................................. 96
BAB V PENUTUP ................................................................................. 98
A.Kesimpulan .............................................................................................. 98
B.Saran-Saran ............................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 101
iii
6
B A B I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Upaya memahami makna, sesungguhnya merupakan salah satu
masalah filsafat yang tertua dalam umur manusia. Konsep makna telah
menarik perhatian bagi komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi dan
linguistic. Maka para pakar komunikasi sering menyebut kata makna
ketika merumuskan definisi komunikasi, antara lain Stewart L. Tubbs dan
Sylvia Mass menyatakan : Komunikasi adalah proses pembentukan makna
di antara dua orang atau lebih.(Stewart L. Tubbs dan Sylvia Mass, 1994;6).
Pakar yang lain juga menyatakan bahwa : Komunikasi adalah proses
memahami dan berbagi makna. (Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson,
1979:3).
Kita seringkali menggunakan makna tanpa memikirkan makna itu
sendiri. Suatu ketika sekelompok orang yang kita kenal dekat, tertawa
dengan kehadiran kita; kita mencari makna, apakah mereka menertawai
kita atau mengajak tertawa?. Seseorang tengah duduk di sebuah kursi
dengan mata tertutup; kita mencari makna apakah dia tengah tidur atau
sekedar melepas lelah ?.
Kita perlu membedakan pemaknaan secara lebih tajam tentang
istilah-istilah yang biasa disebut terjemah (translation), tafsir atau
interpretasi, dan ekstrapolasi, serta makna (meaning).
Membuat terjemah adalah upaya mengemukakan materi atau
1
7
substansi yang sama dengan media yang berbeda; media tersebut mungkin
berupa bahasa satu ke bahasa lain, dari verbal ke gambar dan sebagainya.
Penafsiran, kita tetap berpegang pada materi yang ada, kemudian dicari
latar belakangnya, konteksnya, agar dapat dikemukakan konsep atau
gagasannya lebih jelas. Ekstrapolasi lebih menekankan kepada
kemampuan daya pikir manusia untuk menangkap hal di balik yang
tersajikan. Materi yang tersajikan dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau
indicator pada sesuatu yang lebih jauh lagi. Memberikan makna
merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran, dan mempunyai kesejajaran
dengan ekstrapolasi. Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif
manusia; indrawinya, daya pikirnya, dan akal budinya. Materi yang
tersajikan , seperti juga ekstrapolasi , dilihat tidak lebih dari tanda-tanda
atau indicator bagi sesuatu yang lebih jauh. Di balik yang tersajikan bagi
ekstrapolasi terbatas dalam arti emperik logic, sedangkan pada pemaknaan
dapat pula menjangkau yang etik ataupun yang transcendental.
Efektifitas komunikatif bahasa sebagian besar ditentukan oleh pola
semantik bahasa, yaitu makna referensial dan makna gramatikal. Makna
referensial adalah meletakkan hubungan antara kata atau bentuk bahasa
dengan dunia di luar bahasa (kognitif, social, atau fisik). Misalnya sedih
berhubungan dengan suatu jenis emosi, sadar berhubungan dengan suatu
keadaan mental, ibu berhungan dengan suatu kekrabatan dan sebagainya.
Makna gramatikal memperlihatkan bentuk-bentuk di dalam kalimat
sehingga membentuk makna yang terpadu. Misalnya awalan di-“pasif”
menyatakan pertalian yang berbeda dengan yang dinyatakan oleh awalan
me-“aktif”. Misalnya orang itu menembak, berbeda dengan orang itu
2
8
ditembak.
Salah satu cara yang digunakan para ahli untuk membahas lingkup
makna yang lebih besar ini adalah dengan membedakan antara makna
denotatif dengan makna konotatif. Makna denotatif pada dasarnya meliputi
hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna
refensial), sedangkan makna konotatif adalah makna denotatif ditambah
dengan segala gambaran, ingatan dan perasaan.Misalnya kata “mawar”
makna denotasinya adalah sejenis bunga, sedangkan makna konotatifnya
antara lain adalah tanda cinta.
Menelaah istilah-istilah komunikasi transendental di dalam Al-
Qur’an dari sudut pandang semantik, maka kita akan menemukan satu hal
yang begitu nyata dan begitu dangkal, dan mungkin sepintas kilas tidak
begitu jelas, persoalan tersebut adalah bahwa masing-masing kata
individu diambil secara terpisah, memiliki makna dasar atau kandungan
kontekstualnya sendiri yang akan tetap melekat pada kata itu meskipun
kalau kita ambil di luar konteks Al-Qur'annya. Kata kitab, misalnya,
dasarnya baik yang ditemukan dalam Al-Qur'an maupun di luar Al-Qur'an
sama.
Kata ini sepanjang dirasakan secara aktual oleh masyarakat penuturnya
menjadi satu kata, mempertahankan makna fundamentalnya, dalam hal
ini, makna yang sangat umum dan tidak spesifik, 'kitab", dimana pun
ditemukan, baik digunakan sebagai istilah dalam sistem konsep yang ada
atau lebih umum lagi di luar sistem tersebut. Kandungan unsur semantik ini
tetap ada pada kata itu apapun ia diletakkkan dan bagaimanapun ia
digunakan, inilah yang disebut dengan makna 'dasar' kata itu.
3
9
Dalam Al-Qur'an, kata kitab menerima makna yang luar biasa
penting bagai isyarat konsep religius yang sangat khusus yang dilingkupi
banyak kesucian.. Ini dilihat dari kenyataan bahwa dalam konteks ini ia
berdiri dalam hubungan yang sangat dekat dengan Wahyu Ilahi, konsep-
konsep yang cukup beragam yang merujuk langsung pada kata tersebut.
Ini berarti bahwa kata sederhana kitab dengan makna dasarnya
"kitab", ketika diperkenalkan ke dalam sistem khusus dan posisi tcrtentu
yang jelas, memerlukan banyak unsur semantik yang muncul dari situasi
khusus ini, dan juga muncul dari hubungan keragaman yang dibuat untuk
mcnunjang konsep-konsep pokok lain tersebut. Dan sebagaimana sering
terjadi, unsur-unsur baru cenderung mempengaruhi dan sering secara
esensial memodifikasi makna asli dari kata itu.
Jadi, makna 'dasar' kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu
sendiri, yang selalu terbawa di mana pun kata itu diletakkan, sedangkan
makna 'relasional' adalah sesuatu yang konotatil yang diberikan dan
ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada
posisi khusus dalam bidang khusus berada pada relasi yang berbeda dengan
semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
Dalam hal ini, penulis berusaha untuk menjelaskan makna semantik
yang terkandung dalam Al-Qur’an tentang lafadz taqwa, ddzikir, dan falah.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan batasan-batasan
dari masalah penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna bagi
kita untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk dalam ruang
4
10
lingkup masalah dan mana yang tidak. (Usman dan Akbar, 1996: 23).
Masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini dibatasi sesuai
judul penelitian, yaitu : Kajian Komunikasi Transendental Lafadz Taqwa,
Dzikir dan Al-Falah secara Semantik
1. Transendental
Menonjolkan hal-hal bersifat kerohanian, sukar dipahami,
ghoib, dan abstrak. (Departemen Pendidikan Nasional, 2008:484)
2. Taqwa
Taqwa secara harfiyah berarti memelihara, menjaga dan lain
sebagainya. (A. Warson Munawir, 1984:1577)
3. DZIKIR
Pengertian dzikir, secara etimologis (tinjauan bahasa) berasal dari
asal kata : dzakara-yadzkuru-dzikran, yang berarti menyebut atau
mengingat. (Mahmud Yunus, 1989:134). Menurut Bey Afirin mengartikan
dengan tiga makna, yaitu; ingat, sebut, dan ajaran (Bey Arifin, tt:71).
4. Falah
Makna dasar falah adalah keberuntungan. (Fuad Irfan, 1956:560),
falah berasal dari kata falaha yaflihu falahan, yaitu pengertian bagi orang
yang mendapatkan sesuatu yang ia harapkan, sukses dalam kehidupannya,
dan lancar dalam tiap aktivitasnya. Arti dasar falah ini umum bagi orang
yang mendapatkan kesuksesan dalam tiap hal. Baik urusan di dunia
maipun akhirat. Seseorang dapat dikatakan mendapatkan keberuntungan
ketika ia mengharapkan sesuatu dan menjadi kenyataan. Karena ia
mendapatkan sesuatu yang ia harapkan, ia masuk dalam arti dasar kata
falah.
5
11
5. Semantik
Semantik adalah ilmu arti kata, atau pengetahuan mengenai seluk
beluk dan pergeseran arti kata-kata. (Poerwadarminto, WJS, 1976:903)
C. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan
jalan pemecahannya. (Husaini Usman dan Purnomo Setiadi Akbar,
2001:26). Penelitian ini mengangkat makna komunikasi Allah tentang lafadz
Taqwa, Dzikir dan Al-Falah secara senmatik.
Dari uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana makna Komunikasi Transendental
Lafadz Taqwa, Dzikir dan Al-Falah secara senmatik:?”
D. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini secara spesifik penulis bertujuan untuk dapat
menjelaskan: makna Komunikasi transendental tentang lafadz Taqwa,
Dzikir dan Al-Falah secara semantik.
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
kemajuan Ilmu Komunikasi khususnya dalam makna secara semantik.
Selanjutnya penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi untuk
melakukan penelitian lain yang menggunakan teknis analisis yang sama.
6
12
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam
memecahkan masalah pemakaian secara semantik yang terdapat dalam Al-
Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW.
F. Waktu Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif, dimulai sejak persiapan sampai
pengumpulan data dan penyimpulan dapat dilaksanakan sekitar 4 (empat)
bulan, yaitu mulai bulan April sampai bulan Juli 2017
7
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian Sejenis
Dalam penelitian ini penulis merujjuk pada sebagian para peneliti yang
terdahulu yang ada persamaannya, antara lain adalah penelitian yang
berjudul “Pendekatan Psikologi Dakwah Bil –Hikmah dalam Surat An-
Nahl ayat 125 dengan Makna Hakiki dan Majazi” oleh Birrul Walidaini.
Peneliti tersebut adalah dalam rangka menyelesaikan studi Pasca Sarjana
S-2 Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an Jakarta tahun 2014.
Peneliti tersebut menggunakan metode kualitatif dengan teori makna
Hakiki dan majazi. Makna hakiki adalah makna atau arti menurut apa
adanya, sedangkan makna majazi adalah makna yang tidak sebenarnya.
Dalam penelitian tersebut ada persamaan dengan penelitian penulis, yaitu
bahwa penulis meneliti tentang makna Taqwa, Dzilir dan Falah dalam arti
semantik yang membahas tentang makna secara denotative dan konotatif
atau dalam bahasa Arab adalah makna hakiki dan majazi.
2. Hakikat Komunikasi
Komunikasi merupakan hal yang esensial dalam kehidupan
manusia untuk berinteraksi dengan sesama. Kehidupan akan terasa hampa,
apabila tidak ada komunikasi atau interaksi dengan orang lain.
Komunikasi dapat difungsikan sebagai sarana untuk mendapatkan,
menyebarkan, dan menukar informasi. Dalam berkomunikasi minimal
harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat.
Dikatakan minimal, karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif,
yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar
orang lain bersedia menerima suatu pemahaman atau keyakinan,
8
14
melakukan suatu perbuatan atau kegiatan. (Onong Uchayana Efendi,
2002:9}
Wilbur Schramm yang dikutip oleh Lukiati Komala menjelaskan
bahwa komunikasi berasal dari Bahasa Latin yaitu communis, commun.
Selanjutnya dijelaskan bahwa bila kita mengadakan komunikasi, itu
artinya kita mencoba untuk membentuk persamaan dengan orang lain,
yakni kita mencoba membagi informasi, ide atau suatu sikap. (Lukiati
Komala, 2009:75
Namun demikian, menurut Laurence D. Brennan, yang dikutip
ole Lukiati Komala komunikasi tidak hanya menyangkut masalah “human
statement” atau pernyataan manusia yang berupa lisan atau tulisan saja,
tetapi lebih luas dari itu termasuk pula roman muka (mimik), penampilan
(appearance), gerak-gerik tubuh (gesture), pakaian (dress) dan bahkan
pembungkus (packaging) dalam urusan perniagaan. (Lukiati Komala,
2009:76)
Pendapat Brennan ini sama dengan Sasa Djuarsa Sendjaja yang
mengatakan bahwa, “Kata atau istilah komunikasi berasal dari
communicate dalam Bahasa Latin yang artinya berbagi atau menjadi milik
bersama, menurut Lexcographer (ahli kamus bahasa), menunjuk pada
suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. (Sasa Djuarsa,
2003:10)
Menurut Sasa Djuarsa Sendjaja, “Komunikasi adalah suatu
proses pembentukan, penyampaian, penerimaan, dan pengolahan pesan
yang terjadi dalam diri seseorang dan atau diantara dua orang atau lebih
dengan tujuan tertentu. (Sasa Djuarsa, 2003:8)
9
15
Komunikasi membutuhkan suatu proses dimana proses ini
terjadi ketika manusia berinteraksi dalam aktivitas komunikasi yaitu
menyampaikan pesan sebagai perwujudan motif dilakukannya
komunikasi.
Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap yakni primer dan
sekunder. Proses primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
(symbol) sebagai media. Sedangkan proses sekunder adalah proses
penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai
lambang sebagai media pertama. Media kedua tersebut meliputi: surat,
telepon, televisi, radio, internet, surat kabar, majalah, buletin, dan lain
sebagainya. (Onong Uchayana Efendi, 2002:11-16).
Komunikasi meliputi lima unsure, yaitu ::
a. Sumber (pengirim pesan, komunikator)
Seseorang, sekelompok orang, atau suatu organisasi,
atau institusi yang mengambil inisiatif menyampaikan
pesan.
b. Pesan
Adalah lambang atau tanda seperti kata-kata tertulis
atau secara lisan, gambar, angka, isyarat.
c. Saluran
Sesuatu yang dipakai sebagai alat penyampaian atau
pengiriman pesan (misalnya telepon, surat kabar,
10
16
majalah, radio, televisi, dalam konteks komunikasi
antar pribadi secara tatap muka)
d. Penerimaan (komunikasi)
Seseorang, sekelompok orang, atau organisasi, atau
institusi yang menjadi sasaran pesan.
e. Efek
Seseorang, akan memberi pesan kembali ke
komunikator, sehingga komunikasi dikatakan efektif
ada umpan balik. (Onong Uchjana Efendy, 2011:10).
Adapun elemen atau faktor dalam proses komunikasi, antara lain:
a. Dampak atau hasil yang terjadi pada komunikasi.
b. Umpan balik, yakni tanggapan balik dari pihak
komunikasi atau pesan yang diterimanya.
c. Noise (gangguan), yakni faktor-faktor fisik ataupun
psikologis yang dapat mengganggu atau menghambat
kelancaran komunikasi.
Berdasarkan karakteristik dari objek penelitian ini yang berupa
iklan di televisi, maka komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi
massa. Ruben dan Steward menjelaskan bahwa ada beberapa karakteristik
khusus dari komunikasi massa, yaitu:
a. Jumlah audience yang sangat besar dan heterogen.
b. Impersonal yaitu sumber penyampai informasi tidak
mengenal keseluruhan partisipan secara personal.
c. Terencana, dapat diprediksikan dan formal.
d. Adanya kontrol terhadap sumber informasi.
11
17
e. Keterbatasan interaktifitas antara sumber dengan
audience.
f. Sentralitas terhadap sumber informasi, yaitu sumber
merupakan suatu institusi yang mempunyai akses
yang mudah dan langsung untuk mencapai
audiencenya dalam sekali waktu dan difasilitasi oleh
berbagai bentuk media massa baik cetak maupun
elektronik. (Lukiati Komala,2009:112)
Komunikasi (termasuk komunikasi massa) dijelaskan oleh
Palapah dan Syamsudin (dalam Komala, 2009: 143) dapat dilakukan
melalui media umum (contoh: telepon, telegram, dan sebagainya) maupun
melalui media massa yaitu media cetak (contoh: surat kabar, majalah, dan
sebagainya) dan media elektronik (contoh: radio, televisi, dan sebagainya).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses sekunder
dalam komunikasi yang melewati media ini merupakan suatu bentuk
komunikasi massa. Palapah dan Syamsudin menyebutkan bahwa ruang
lingkup komunikasi adalah sebagai berikut:
Bentuk Komunikasi meliputi:
a. Komunikasi Persona; komunikasi dengan diri sendiri,
komunikasi antar pribadi, komunikasi dengan isyarat,
komunikasi transedental.
b. Komunikasi Kelompok; komunikasi kelompok kecil,
komunikasi kelompok besar.
c. Komunikasi Massa; public speaking, jurnalistik, periklanan,
public relations, agitasi, propaganda. (lukiati Komala,
2009:143)
12
18
Bagaimanapun bentuknya, komunikasi memiliki karakteristik-
karakteristik tertentu seperti yang dijelaskan oleh Sasa Djuarsa sebagai
berikut:
a. Komunikasi sebagai suatu proses.
Komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa
yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau sekuensi)
serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu
tertentu.
b. Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai
tujuan.
Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
sadar, disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan
dari para pelakunya.
c. Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama
dari para pelaku yang terlibat.
Kegiatan komunikasi akan berlangsung baik, apabila pihak-
pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama-
sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian
yang sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan.
d. Komunikasi bersifat simbolis.
Komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang
dilakukan dengan lambang-lambang. Lambang yang paling
umum digunakan dalam komunikasi antarmanusia adalah
bahasa verbal dalam bentuk kata-kata.
Selain bahasa verbal, juga ada lambang-lambang yang
bersifat nonverbal yang dapat dipergunakan dalam
komunikasi sperti gestura (gerak tangan, kaki, atau bagian
lain dari tubuh), warna, sikap duduk atau berdiri, jarak dan
berbagai bentuk lambang lainnya.
e. Komunikasi bersifat transaksional.
13
19
Komunikasi pada dasarnya menuntut
f. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu. (Lukiati
Komala, 2009: 113).
Komunikasi ini dapat dilakukan dengan cara yang sederhana
hingga cara yang kompleks. Suatu proses komunikasi tidak hanya
melibatkan khalayak sebagai pihak penerima pesan dari komunikatornya
saja, tetapi juga terpengaruh olehnya, di mana terdapat proses yang lebih
luas dan bersifat interpretatif terhadap pesan-pesan yang diterimanya,
termasuk pemaknaannya. Pada intinya setiap pesan komunikasi yang
diajukan oleh manusia mengandung tanda-tanda yang mempunyai makna.
Makna tanda itulah yang kemudian direspon oleh komunikasi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komunikasi
merupakan suatu proses pertukaran makna, di mana makna-makna
tersebut disimpulkan melalui bahasa, simbol-simbol, warna-warna,
gambar, gerak tubuh, suara, dan lain-lain yang kesemua itu mengandung
arti-arti tertentu yang sesuai yang telah disepakati bersama oleh
masyarakat tersebut.
Dari berbagai penjelasan mengenai komunikasi di atas dapat
disimpulkan bahwa komunikasi pada dasarnya adalah suatu cara untuk
membentuk persamaan dan menyampaikan sesuatu kepada orang lain baik
melalui verbal dan nonverbal. Komunikasi memiliki proses (primer dan
sekunder) dan bentuk yang berbeda (yaitu: persona, kelompok, dan
massa). Komunikasi dapat dilakukan secara langsung maupun melalui
media sebagai alat atau sarana.
14
20
Meski demikian, karakteristik komunikasi selalu menonjol baik
langsung maupun melalui media, diantaranya adalah: komunikasi
merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara
berurutan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan satu sama lainnya
dalam kurun waktu tertentu yang dilakukan dengan sengaja dan memiliki
tujuan, komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para
pelaku yang terlibat serta bersifat simbolis, menuntut dan dapat menembus
ruang dan waktu.
3. Komunikasi dalam Islam
Berdasarkan Q.S. al-Hujurat ayat 13 bahwa manusia diciptakan
oleh Allah berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, hidup secara
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal-mengenal
(lita’arafu). Untuk saling kenal-mengenal satu dengan lainnya, satu suku
dengan suku yang lain, satu bangsa dengan bangsa yang lain haruslah
dengan komunikasi. Untuk maka perlu dipahami tentang pengertian
komunikasi itu sendiri.
Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang
menjelaskan siapa? Mengatakan apa? dengan saluran apa? Kepada siapa?
Dengan akibat atau hasil apa? (who? says what? In which chanel? To
whom? With what effect?). who ? (siapa/sumber).
Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang
mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu
komunikasi,bisa seorang individu, kelompok,organisasi, maupun suatu
negara sebagai komunikator. Says what? (pesan).
15
21
Apa yang akan disampaikan / dikomunikasikan kepada penerima
(komunikan), dari sumber (komunikator) atau isi informasi. Merupakan
seperangkat symbol verbal/non verbal yang mewakili perasaan, nilai,
gagasan/maksud sumber tadi. Ada 3 komponen pesan yaitu makna, simbol
untuk menyampaikan makna dan bentuk / organisasi pesan. In which
channel?(saluran/media). Wahana / alat untuk menyampaikan pesan dari
komunikator (sumber)kepada komunikan (penerima) baik secara langsung
(tatap muka),maupun tidak langsung (melalui mediacetak/elektronik. To
whom?(untuk siapa/penerima). Orang/kelompok/organisasi/suatu negara
yang menerima pesan dari sumber. Disebut tujuan (destination) pendengar
(listener)/khalayak (audience)/ komunikan/penafsir/penyandi balik
(decoder). With what effect? (dampak/efek).
Dampak/efek yang terjadi pada komunikan (penerima) setelah
menerima pesan dari sumber, seperti perubahan sikap, bertambahnya
pengetahuan, dll.
Berdasarkan pengertian di atas maka yang dimaksud komunikasi
adalah pesan yang disampaikan kepada komunikan (penerima) dari
komunikator (sumber) melalui saluan-saluran tertentu baik secara
langsung/tidak langsung dengan maksud memberikan dampak/effect
kepada komunikan sesuai dengan yang diinginkan komunikator. Yang
memenuhi 5 unsur yaitu : who, says what, in which channel, to whom
what effect.
16
22
4. Tujuan Komunikasi Islam
Arti komunikasi Islam seperti telah diuraikan terdahulu apabila kita
hubungkan dengan dakwah, akan menjadi tambah jelas. Tujuan dari
komunikasi Islam sebagai suatu dakwah perlu dijelaskan secara kongkrit
untuk memberikan gambaran kepada kita apa yang harus dicapai sebagai
suatu tujuan, agar tidak menyimpang dari tujuan itu.
Ada 3 (tiga) hal pokok yang terpenting dari tujuan-tujuan itu, yakni :
a. Mengajak manusia seluruhnya agar menyembah kepadaAllah Yang
Maha Esa, tanpa mempersekutukannya dengan sesuatu, dan tidak pula
berTuhan selain Allah SWT.
وال تشرك وا به شيئا واعبدوا للاه
“Sembahlah olehmu akan Allah, janganlah kamu
mempersekutukannya dengan sesuatu”.Q.S:4:36
b. Mengajak kaum muslimin agar mereka ikhlas beragama, karena
Allah, menjaga agar amal perbuatannya jangan bertentangan dengan
iman.
Firman Allah dalam surah Al-Bayinah ayat 5:
ين مخلصين له الد وما أمروا إاله ليعبدوا للاه
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali agar menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepadaNya”.
Juga Firman Allah dalam surah Al Kahfi ayat 103, 104 dan 105
menjelaskan sebagai berikut.
الهذين ضله سعيهم في ,باألخسرين أعماال قل هل ننبئكم
نيا وهم يحسبون أنه أولئك ,هم يحسنون صنعا الحياة الد
17
23
حبطت أعمالهم فال الهذين كفروا بآيات ربهم ولقائه ف
نقيم لهم يوم القيامة وزنا
“Katakanlah: apakah akan kami bertahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang
yang telah sia-sia akan perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Mereka itu orang yang kafir terhadap ayat Tuhan mereka dan kufur
terhadap perjumpaan denganNya, maka hapuslah amalan-amalah
mereka, dan Kami tidak mengadakan satu penilaian bagi amalan
mereka pada hari qiyamat”(Al-Kahfi:103-105).
c. Mengajak manusia untuk menetrapkan hukum Allah yang akan
mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan bagi umat manusia
seluruhnya. Hal ini seperti yang diperintahkan Allah di dalam Al
Qur’an surah Al Maidah ayat 44,45 dan 47 sebagai berikut:
فأولئك هم الكافرون ومن ,ومن لم يحكم بما أنزل للاه
فأولئك هم الظهالمون ومن لم ,لم يحكم بما أنزل للاه
فأولئك هم الفاسقون يحكم بما أنزل للاه
.... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang
diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
... Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa-apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim.
.... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa-apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasik”.(Al-Maidah:44,45, 47)
Itulah tujuan pokok yang terpenting dari melakukan
komunikasi Islam sebagai suatu dakwah, sehingga dengan demikian
jelas dan terang arti dari tujuan komunikasi Islam itu sebenar-
benarnya. Oleh karena itu harus disadari orang-orang berTuhan Yang
18
24
Maha Esa ikhlas dalam beragama, dan menterapkan hukum Allah
untuk kepentingan manusia. Manusia di ajak supaya memasuki Islam
jangan setengah-setengah, tapi keseluruhan lahir bathin dengan jiwa
iman yang meliputi jasmani dan rohaninya.
Firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Baqorah ayat 208
menyatakan:
لم كافهة يا أيها الهذين آمنوا ادخلوا في الس
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhannya”.(Al-Baqarah:208)
Dari konteks ayat ini memerintahkan juga kepada kita untuk
masuk ke dalam agama Allah dengan seluruh kegiatan hidup dan
kehidupan apapun pangkat dan jabatannya, kedudukan atau
sebangsanya. Dengan kata lain; dia menyembah (ubudiyah) kepada
Allah di dalam segala kegiatan kehidupannya, atau setiap saat dalam
hidup selalu merupakan pengabdian kepada Allah semata.
Pengertian inilah yang harus diberikan / disebarluaskan kepada
setiap komunikasi (sender) untuk kita ajak, siapa saja untuk dapat
menerimanya. Kemudian dalam tujuan yang kedua, mengajak
kepada pembersihan hati dari noda-noda kemunafikan. Kita harus
menjaga agar jangan terjadi kontradiksi antara keyakinan dan
perbuatan; antara pengakuan dan kelakuan; antara hati dan ucapan
atau pembicaraan.
Adapun yang dimaksud dengan kemunafikan ialah di satu pihak dia
mengaku sebagai orang beriman, namun di lain pihak ia bersedia
diatur oleh peraturan yang datang bukan dari Allah. Salahlah mereka
19
25
yang berpendapat bahwa dalam satu kegiatan kehidupan mentaati
agama, namun di pihak lain membangkang terhadap perintah dan
laranganNya. Hal ini ditegaskan dengan firman Allah dalam Al
Qur’an surah Al Baqoroh ayat 85 sebagai berikut:
أفتؤمنون ببعض الكتاب وتكفرون ببعض فما ....
نيا جزاء من يفعل ذلك منكم إاله خزي في الحياة الد
بغافل ون إلى أشد العذاب وما للاه ويوم القيامة يرد
ا تعملون عمه
“…. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar
terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan
bagi dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada sikap
yang berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”.Q.S:2:85
Konsekuensi logis daripada iman, ialah menyerahkan sepenuhnya
kepada Allah dan kehendakNya. Adapun seorang mengaku beriman,
menegakkan sembahyang, berpuasa dan lain-lain ibadat. Kemudian di
dalam kegiatan kehidupannya itu yang dilakukannya bukan yang datang
dari Allah inilah yang dimaksud suatu yang bertentangan dengan
pengabdian. Mengaku beragama Islam, tetapi dalam kegiatan
kehidupannya pergaulan-nya, cita-cita kemasyarakatannya, pekerjaan
sehari-harinya tidak terlihat ciri-ciri ke Islamannya ini yang disebut
munafik. Kemudian merekapun tidak keberatan untuk tunduk kepada
hukum yang datang bukan dari Allah, ini merupakan suatu penyakit
yang sering menimpa umat. Dan selama penyakit ini tidak diobati,
maka mereka tidak berdaya mengangkat dirinya dari lembah kehinaan.
Jelaslah hal ini merupakan kontradiksi antara perbuatan dan keyakinan,
20
26
di dalam hati yakin hanya kepada hukum Allah akan tunduk, namun
dalam perbuatannya jauh menyimpang. Penyakit inilah yang harus
segera diobati oleh para mubaligh melalui berbagai media dan metode
dakwah agar penyakit itu tidak segera menyebar. Jika salah menduga
penyakit serta salah mengobatinya, maka dakwah itu tidak akan
berhasil.
Tujuan ketiga ialah konsekuensi dari pengertian pengabdian yang
sempurna. Maka yang harus dilakukan para mubaligh dalam
dakwahnya dengan penerapan suatu komunikasi yang baik, maka
dakwah itu sendiri bertujuan untuk menterapkan hukum Allah untuk
kepentingan manusia itu sendiri. Apabila semua kegiatan kehidupan
berlandaskan hukum Allah, baik kegiatan urusan dunia, ilmu
pengetahuan, perdagangan dan industri, maka tujuan dakwah akan
tercapai, dimana mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan
memenuhi petunjuk menyuruh mereka berbuat kebajikan dan melarang
mereka dari perbuatan munkar, agar mereka mendapatkan kebahagiaan
di dunia dan akhirat.
5. Fungsi Komunikasi Islam
Fungsi pelaksanaan komunikasi Islam sebagai suatu dakwah,
mempunyai tugas atau fungsi menyebarkan ajaran agama Islam,
menyampaikan ajaran-ajaran tersebut kepada orang lain, dengan jalan:
a. Meluruskan i’tiqad
Sepanjang zaman dan sejarah selalu timbul kepercayaan –
kepercayaan dan keyakinan-keyakinan yang silih berganti dianut dan
21
27
ditinggalkan orang. Ada yang dikembangkan oleh orang-orang tertentu
pada suatu masa, kemudian menjadi lenyap pada masa-masa
selanjutnya. Diantara kepercayaan-kepercayaan serta keyakinan-
keyakinan itu, ada yang menyalahi tuntutan Allah dan RasulNya.
Seperti kepercayaan syirik (menyekutukan Allah, memandang Allaht
itu tiga atau banyak, memandang Allah itu suka akan makanan yang
enak-enak, memandang Allah itu identik dengan alam = pantheisme)
dan ada pula yang menganggap bahwa Allah itu tidak ada = atheisme.
Dalam hubungan ini, tugas kita adalah membersihkan kepercayaan
dan keyakinan yang keliru tersebut dan mengembalikannya kepada
kepercayaan dan keyakinan yang hak, yakni ajaran tauhid. Mengajak
manusia meninggalkan kepercayaan dan itiqad yang salah dan kembali
kepada aqidah yang benar (Islam), sebagaimana missi yang dibawakan
oleh para Rasul di zaman dahulu dan juga Rasulullah SAW.
Sebagaimana Allah telah berfirman:
على بصيرة أنا ومن اتهبعني قل هذه سبيلي أدعو إلى للاه
وما أنا من المشركين وسبحان للاه
“Katakanlah! Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak kamu kepada jalan Tuhan, dengan penghlihatan /
pemandangan yang terang. Maha Suci Tuhan dan bukanlah aku
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (Surah Yusuf
ayat 108).
Kita sebagai pengikut (umat) Muhammad saw, mengikuti jalan
yang terang dengan pengertian dan bukti-bukti yang nyata, bahwa jalan
Tuhan itulah yang dapat menyampaikan kita kepada kebahagiaan dan
kebenaran sejati. Dan oleh karena itu, ajaran Islam adalah ajaran yang
22
28
rasional, dan di dalam meluruskan itiqad tersebut kita harus membawa
argumentasi yang kuat dan tepat dari yang tersebut di dalam Al Qur’an
maupun dalil-dalil logika dan akademis yang mudah dipahami.
Di dalam hal ini kita akan menghadapi berbagai macam golongan
masyarakat, diantaranya:
i. golongan yang tidak berTuhan
golongan yang mensyariatkan Tuhan
ii. golongan agama samawi yang telah menyimpang dari ajaran
Nabinya. Umpamanya Nasrani yang memandang Yesus sebagai
anak Tuhan.
iii. Golongan yang mengaku muslim, tetapi karena faktor keturunan,
harta, lingkungan geografis dan situasi serta kondisinya telah
membawanya kepada itiqad yang bertentangan dengan ajaran
Islam.
Tugas kita adalah mengajak mereka meninggalkan kepercayaan
yang sesat, agar kembali kepada kesatuan aqidah yang benar.
Meninggalkan berbagai aliran dan jalan pikiran yang keliru dan kembali
ke jalan Allah. Jika di dunia Timur tempat tumbuhnya kebanyakan
agama-agama besar di dunia termasuk agama yang telah menyimpang
dari kemurnian dan keasliannya, maka di dunia Barat merupakan tempat
tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran filsafat termasuk aliran
filsafat kebendaan (materialisme) yang melahirkan faham atheisme.
Kepercayaan dan filsafat ini mempengaruhi di mana manusia
berkembang, akhirnya menyeret manusia kepada perbedaan pendapat
dan keyakinan. Islam diturunkan Tuhan sebagai rumus penyelesaian
yang paling tepat agar umat manusia berhimpun dalam satu kesatuan
faham dan aqidah, dan itulah jalan yang paling benar.
Tuhan berfirman dalam surah Al Anam ayat 153 sebagai berikut:
23
29
بل وأنه هذا صراطي مستقيما فاتهبعوه وال تتهبعوا الس
اكم به لعلهكم تتهقون ق بكم عن سبيله ذلكم وصه فتفره
“Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka turutlah. Dan
janganlah kamu turutkan jalan yanglain, karena nanti kamu akan
terpisah dari jalan Tuhan. Itulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu,
mudah-mudahan kamu memelihara diri”.(Al-An’am:153)
b. Mencegah Kemunkaran
Setiap saat dan dimana saja selalu ada kemunkaran, baik yang
besar maupun yang kecil. Kemunkaran dan kemaksiatan adalah bentuk
perbuatan yang dilarang Allah. Perbuatan ini wajib dicegah dengan
menggunakan berbagai cara menurut ukuran kemampuan. Pertama-tama
hendaknya diusahakan dengan tangan, tenaga atau kekuatan, jika faktor
ini dimiliki. Dan apabila tidak memiliki kekuatan, hendaknya berusaha
mengubah kemunkaran itu dengan perkataan, nasihat atau teguran, tetapi
jika hal itu berbahaya bagi dirinya dengan kata lain tidak kuasa untuk
mencegah kemunkaran secaralisan, maka hendaklah ia mengubahnya,
mencegahnya dengan hati. Artinya tetap bercita-cita akan mengubah,
mencegah kemunkaran itu pada suatu saat baik secara lisan maupun
dengan kekuatan tangan, pada situasi dan kondisi yang memungkinkan.
Demikian maksud hadist yang pernah dikemukakan / disabdakan
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam hubungan ini
diperlukan keberanian dan istiqomah untuk melaksanakan pencegahan
terhadap kemunkaran itu. Jika kita lemah untuk mengubah serta
mencegah kemunkaran itu, dan keadaan ini berlarut-larut, maka akan
timbul malapetaka bagi umat, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW,
yakni:
24
30
ان الناس اذا رأوا الظالم فلم يأخذ وا على يديه او شك
ان يعمهم للا بعقاب منه
“Sesungguhnya manusia jika melihat kezaliman, sedangkan dia tidak
berusaha mencegahnya, niscaya Allah akan mengumumkan azab kepada
mereka dari padaNya”. (Riwayat Abu Dawud, Turmudzi dan Nasai).
Maka jelaslah apabila para mubaligh digelisahkan oleh kemunkaran
dan kemaksiatan yang berlangsung disekitarnya, adalah karena didorong
oleh keimanan mereka, dan karenanya mereka berusaha mencegah
kemunkaran itu setidak-tidaknya dalam bentuk nasehat. Ada pun
manusia yang tidak merasa cemas oleh keadaan dimana kemunkaran itu
berada di sekitarnya, tanpa usaha untuk mengubahnya, mencerminkan
suatu jiwa yang hampa keimanan, meskipun mereka mengakui dirinya
beriman. Tegasnya berusaha mengubah dan mencegah kemunkaran dan
kemaksiatan dalam bentuk apapun adalah merupakan konsekuensi yang
ada pada diri setiap muslim yang sejati.
c. Membersihkan jiwa
Manusia tidak cukup baik hanya dari sudut lahiriahnya saja, tetapi perlu
pula bersih batin atau rohaninya. Memberikan sadaqah, misalnya secara
lahiriah adalah baik, tetapi apakah artinya apabila sadaqah itu dibarengi
dengan perasaan buruk, misalnya sombong dan mengeluarkan perkataan
yang menyakitkan hati. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al
Baqarah ayat 264 menerangkan :
25
31
يا أيها الهذين آمنوا ال تبطلوا صدقاتكم بالمن واألذى
واليوم كالهذي ينفق ماله رئاء النهاس وال يؤمن بالله
....اآلخر
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu hapuskan nilai
sodaqohmu dengan kesombongan dan cercaan seperti orang-orang yang
menafkahkan hartanya karena ingin dilihat orang lain dan tidak
beriman kepada Tuhan dan hari kemudain.”.(Al-Baqarah:264)
Serta banyak lagi penyakit-penyakit yang tidak disadari oleh
orang yang memilikinya seperti sum’ah, dengki, tamak dan sebagainya.
Para mubaligh bertugas memberikan santapanrohani untuk kebersihan
jiwa umat dari berbagai penyakit rohani. Sebab penyakit-penyakit rohani
itu adalah sebagai sumber timbulnya perbuatan-perbuatan munkar dan
maksiat. Disamping membina dalam rohani umat juga membina untuki
dapat memiliki sifat-sifat mulia, seperti ikhlas, sabar, istiqomah, adil
berani dalam kebenaran, penyantun, zuhud, dan sebagainya sifat
keluhuran budi yang diajarkan Islam. Sejalan dengan hal itu, maka kita
sudah mengetahui bagaimana Islam mendidik umatnya untuk memiliki
jiwa yang bersih dengan selalu menekankan perlunya niat dalam setiap
amal yang dilakukan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
انما اال عمال بالنيات و انما لكل امرء ما نوى ....
“Sesungguhnya amalan itu memerlukan niat, tiap-tiap orang beroleh
apa yang dia niatkan”. (riwayat Bukhari dan Muslim).
d. Mendorong dan merangsang untuk beramal
Seseorang mungkin saja berpengetahuan, tetapi pengetahuannya itu
tidaklah cukup menimbulkan sikap untuk bertindak, kurang bergairah
melakukan segala amal. Hal ini disebabkan pengetahuan itu kurang
26
32
mendalam atau kurang daya rangsang. Dalam hubungan ini tugas kita
harus dapat mengemukakan argumentasi yang mantap dan terarah yang
dapat menimbulkan gairah untuk beramal. Kita dapat melalui berbagai
cara, misalkan dengan melakukan indzar, yakni membayangkan
kesulitan dan kepahitan yang bakal menimpa, apabila seseorang tidak
dapat melakukan amal-amal kebajikan. Sebaliknya juga kita harus
melakukan tabsyir, yakni merangsang untuk keberuntungan yang bakal
diperoleh bagi orang yang melakukan amal kebajikan, menyangkut
penyadaran terhadap mereka melalui pscyhologis dan sosiologis.
e. Mengkokohkan pribadi
Kepribadian adalah aktivitas psychis yang dimanifestasikan oleh
individu-individu dalam hubungannya dengan lingkungannya. Aktivitas
psychis berupa tanggapan, fikiran, perasaan, intuisi dan tanggapan indera
yang bekerja secara seimbang dan saling mgnisi di dalam menghadapi
berbagai tantangan (challenge), akan membentuk tabiat yang baik.
Tabiat ini tidak akan sama bagi semua manusia, karena tantangan yang
dihadapinyapun berbeda-beda. Tugas kita untuk mengkokohkan
kepribadian seseorang agar kepribadiannya diwarnai agama dan stiap
masalah selalu dianalisa dengan kacamata keagamaan melalui hukum,
etika, sosial politik, dan sebagainya. Bukan sebaliknya, seorang muslim
yang bergeser kepribadiannya dengan pola sekularisme (keduniawian
belaka). Pada intinya dikehendaki agar seluruh aspek kehidupan dihayati
oleh sinar keagamaan, yang didasarkan kepada firman Allah dalam surah
Al An’am ayat 162:
رب العالمين قل إنه صالتي ونسكي ومحياي ومماتي لله
27
33
“Katakanlah ! sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanya
untuk berbakti kepada Allah Tuhan sekalian alam”.(Al-An’am:162)
Di dalam berkomunikasi sebagai pelaksanaan dakwah mempunyai
fungsi mengkokohkan kepribadian manusia agar falsafah hidupnya betul-
betul didasarkan kepada Islam dan tindakannya dihayati oleh sinar ajaran
Islam. Dalam hubungan ini tidak sedikit jumlah orang yang mengaku
dirinya sebagai seorang musli, tetapi tiap tindakannya dan
kepribadiannya dihayati oleh ajaran di luar Islam. Mereka menuruti
kebudayaan Barat yang tidak sesuai dengan Islam, dalam pergaulan,
dalam berpakaian, dan sebagainya yang dianggap oleh mereka suatu
kemajuan. Tugas kita mengajak mereka supaya mereka menjadi muslim
dalam pengertian yang sebenarnya yang didasarkan kepada firman Allah
dalam surah Al Baqarah ayat 208:
لم كافهة وال تتهبعوا يا أيها الهذين آمنوا ادخلوا في الس
يطان إنهه لكم عدو مبين خطوات الشه
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
seluruhnya, dan janganlah kamu turut akan langkah-langkah syaitan,
sesungguhnya syaitan itu musuh yang jelas bagimu”Q.S:2:208
Prinsip dari mengkokohkan kepribadian tersebut adalah mengusahakan
agar dirinya sendiri dan manusia sekitarnya mempersembahkan seluruh
hidup dan kehidupannya untuk mengabdi kepada Allah semata.
Firman Allah dalam surah Adz Dzariyat 56:
وما خلقت الجنه واإلنس إاله ليعبدون
“Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi dan beribadat kepadaKu”.
28
34
f. Membina persatuan dan kesatuan
Persatuan dan kesatuan dalam kehidupan masyarakat, adalah kebutuhan
primer bagi umat untuk menjamin ketentraman dan mencapai kemajuan
bersama. Sebaliknya, perpecahan, permusuhan di antara sesama di dalam
masyarakat merupakan ancaman terhadap ketentraman dan azab bagi
umat itu sendiri.
Dalam hal ini tugas kita membina persatuan umat dan meluaskan
rasa kesatuan (persaudaraan) di antara mereka. Seni dan keterampilan
Nabi Muhammad SAW di dalam membina persatuan dan persaudaraan
di antra umatnya, merupakan contoh dan tauladan yang paling baik.
Oleh karena itu, apabila kita semua mengaku sebagai pewaris tugas-
tugas tabligh daripada Nabi, maka hendaknya mereka dapat melakukan
persatuan dan kesatuan. Rumus untuk hal itu, adalah rumus Iman, aqidah
dan taqwa. Itulah yang pernah mengikat sekian banyak kabilah-kabilah
Arab yang pada waktu dahulunya secara turun temurun melakukan
permusuhan, kemudian menjadi bersatu dan bersaudara di bawah panji-
panji tauhid. Tema di dalam hubungan ini, sebagaimana firman Allah
dalam surah Al Hujurat 10:
إنهما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu saling bersaudara, maka
perkokohlah persaudaraan itu diantara kamu”.
Allah menjanjikan keimanan itu sebagai rumus dalam mengikat
persatuan yang tepat, dengan tanpa membedakan bangsa dan warna
kulit, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
بالتقوى ال فضل لعربي على اعجمي و ال بيض اسود اال
29
35
“Tidak ada kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa Ajam (yang bukan
Arab) dan tidak ada kelebihan bagi orang yang berkulit putih daripada
orang berkulit hitam, melainkan karena taqwa”. (hadits riwayat
Muslim).
g. Menolak kebudayaan yang merusak
Di dalam pergaulan dengan dunia luar, kaum muslim akan berkenalan
dengan kebudayaan lain yang telah mereka miliki, baik yang telah maju
maupun yang masih rendah, yangdidukung oleh segelintir orang,
ataupun yang dianut oleh sejumlah besar manusia. Dalam pergaulan
internasional akan terjadi saling mempengaruhi dalam hal kebudayaan.
Orang Barat mempengaruhi orang Timur, dan sebaliknya. Setiap
kebudayaan hasil ciptaan manusia yang tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam, tidak perlu ditolak, malah boleh dimanfaatkan.
Misalnya hasil-hasil penemuan teknologi farmasi dan kesehatan,
teknologi pertanian, dan sebagainya. Ada pun kebudayaan lain yang
bertentangan dengan ajaran Islam, seperti kumpul kebo, samen leven,
free sex, free love, dan sebagainya perlu ditolak jangan idbiarkan
menyebar luas dan merejalela di kalangan umat Islam.
6. Komunikasi dan Dakwah
Inti dakwah adalah mengajak kepada orang lain untuk mengikuti
apa yang diserukannya. Oleh karena itu, kemampuan berkomunikasi
dengan baik menduduki posisi yang cukup strategis, demikian itu karena
islam memandang bahwa setiap orang adalah da’i. Sebagai da’i, ia
senantiasa dituntut untuk mengkomunikasikan ajaran-ajaran ilahi secara
baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru
30
36
akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah
islam itu sendiri. (Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2009, hal : 319)
Allah berfirman dalam Surah Ali ‘Imran ayat 104 :
و التكن منكم امة يدعون الى الخير و يأ مرون بالمعروف و
ينهون عن المنكر و اولئك هم المفلحون
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali Imran : 104)
Ayat tersebut memberikan pengertian kepada setiap anggota
masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada kebaikan
(Al Khair), memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar. Tentu saja bukan tanpa sengaja jika ayat ini mendahulukan
da’wah ilal khair dari pada al amr bil ma’ruf. Kata al khair di pandang
lebih umum daripada al ma’ruf, meskipun dari segi penerjemahan
keduanya memiliki arti yang sama, yaitu “kebaikan”. Oleh para ahli kata al
khair dipahami sebagai kebaikan yang bersifat universal, seperti keadilan,
kejujuran, kepedualian sosial, dan lain-lain, artinya konsep ini juga harus
dipandang sebagai konsep universal. Dengan demikian, mengajak kepada
al khair, sebenarnya juga menjadi konsen bagi agama-agama di luar Islam.
Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya kehidupan yang
harmonis, aman, tentram, saling menghormati sesama, dan sebagainya.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus memiliki
komitmen yang sama untuk peduli terhadap segala bentuk perilaku-
perilaku anti sosial yang terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat
muslim harus senantiasa tampil yang terdepan untuk menyeru atau
mengkomunikasikan, sekaligus memberi keteladanan.
31
37
Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur
adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya,
masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial
yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan
penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan
kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.
Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah SAW
sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari
keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang
luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam
dan keagungan Al Qur’an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang
dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan
masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam
mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan
persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika
kita telusuri sirah (sejarah) Nabi, maka akan dijumpai betapa beliau telah
menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam Al Qur’an,
sebagaimana diuraikan, secara konsisten.
7. Prinsip-prinsip Komunikasi Dakwah
Dakwah itu telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki
ataupun perempuan. Nabi Muhammad SAW telah menyampaikan
anjurannya yang artinya “sampaikan dariku meskipun hanya satu ayat”.
32
38
Dalam berdakwah, umat Islam telah diberi penjelasan baik dalam
Al Qur’an atau pun dalam hadits-hadits Nabi SAW. Dan berikut ini ayat
atau hadits yang menjelaskan prinsip-prinsip berdakwah.
ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة
وجادلهم بالهتي هي أحسن إنه ربهك هو أعلم بمن ضله
عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An Nahl 125)
اتهبعك واخفض جناحك لمن , رتك األقربين ذر عشيوأن
ا تعملون ,من المؤمنين فإن عصوك فقل إني بريء ممه
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,
yaitu orang-orang yang berman. Jika mereka mendurhakaimu maka
katakanlah : “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap
apa yang kamu kerjakan”; (As Su’ara 214-216)
لنت لهم ولو كنت فظا غليظ ال قلب فبما رحمة من للاه
وا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم النفض
إنه للاه ل على للاه وشاورهم في األمر فإذا عزمت فتوكه
لين فال غالب لكم وإن ,يحب المتوك إن ينصركم للاه
يخذلكم فمن ذا الهذي ينصركم من بعده وعلى للاه
ل المؤمنون فليتوكه
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
33
39
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepadaNya. Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang
dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak
memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada
Allah saja orang-orang mu’min bertawakkal. (Ali Imran 159-160)
أن النبي صلى للا عليه و سلم بعث معاذا و أبا موسى
الى اليمن قال : يسروا و ال تعسروا و بشروا و ال
تنفروا و تطاوعا و ال تختلفا. رواه البخارى
“Bahwasannya Nabi saw mengutus mu’adz dan abu musa untuk
(berdakwah) ke yaman, beliau bersabda: mudahkanlah mereka dan
janganlah kamu persulit, gembirakanlah mereka dan jangan kamu
takut-takuti serta bersatulah kalian dan jangan berselisih”.
(HR.Bukhari)
ضعيف أال أخبركم بأهل الجنة ؟ قالوا : بلى , قال : كل
متضعف لو أقسم على للا أل بره, ثم قال : أال أخبركم
بأهل النار قالوا : بلى, قال : كل عتل جواظ مستكبر.
رواه مسلم
“Maukah kalian aku beritahu tentang penghuni surga? Mereka
menjawab mau, beliau bersabda: semua yang (bersikap) lemah lembut
dan berusaha untuk bersikap lemah lembut. Bila bersumpah kepada
Allah benar-benar dia lebih berbakti. Kemudian bersabda lagi :
maukah kalian aku beri tahu tentang penghuni neraka? Mereka
menjawab mau. Beliau bersabda : semua yang (bersikap) kasar, keras
dan sombong” (HR. Muslim)
Ayat dan hadits tersebujt memberikan penjelasan prinsip-prinsip
dakwah atau mengajak kebaikan secara singkat seperti berikut:
a. Bersikap lemah lembut kepada yang didakwahi. Dan
meninggalkan sikap yang keras, benci serta sifat tercela
yang lain.
34
40
b. Dalam berdakwah harus penuh dengan hikmah, nasehat
yang baik sesuai dengan obyeknya.
c. Mengutamakan dialog, bermusyawarah dalam segala hal,
terutama dalam menentukan keputusan.
d. Terkesan mudah, tidak menakutkan, familier,selalu
menjaga kebersamaan dan menghindari perpecahan.
e. Tidak merendahkan pihak lain, dan menghindari hujatan,
celaan dan perolok-olokan (sukhriyah).
f. Penyampaian materi hendaknya disesuaikan dengan
bahasa obyeknya. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ali
bin abi Thalib. “Sampaikan kepada masa sesuai tarap
pendidikannya”.
g. Bertawakal kepada Allah SWT, dan mau menerima hasil
akhir apapun bentuknya.
h. Selalu memohon ampunan dan pertolongan kepada Allah
dengan sabar dan shalat, hanya Dialah yang mampu
menolong siapa saja.
i. Tidak memihak kepada golongan tertentu (ashabiyah) dan
tidak diboncengi oleh golongan tertentu.
B. Kata dan Makna
1. Pengertian Kata
Sebetulnya orang boleh berbicara panjang sekali dengan kata-kata,
tapi kata-kata sebetulnya tidak bermakna apa-apa, kecuali kita sendiri yang
memaknainya. Kata adalah kata, maknanya ambigu dan tidak persis. Ini
sejalan dengan pendapat para ahli komunikasi bahwa makna kata sangat
35
41
subyektif. Words don’t mean, people mean. Jalaluddin Rahmad
menyatakan : Seorang penyusun kamus hanya menghimpun makna yang ia
temukan dalam pemakaian; dalam percakapan atau tulisan. (Rahmad,
1996:49). Jadi, kata tidak teriring makna, atau dari semula sudah memiliki
makna. Manusialah yang memberikan makna pada kata-kata, tergantung
dari cara mereka memaknainya. Manusialah yang memiliki makna-makna
itu, bukan kata-kata dan bukan kamus.
Kata pada dasarnya adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah
mengandung satuan makna tertentu. Aminudin membedakan kata menjadi
dua macam, yaitu:
a. Autosemantis yaitu kata yang telah memiliki satuan makna
secara penuh tanpa harus diletakkan pada bentuk lain. Misalnya
pergi, tidur, malam dan sebagainya.
b. Sinsemantis yaitu kata yang tidak memiliki satuan makna secara
mandiri karena satuan maknanya dibentuk oleh kata atau bentuk
lainnya. Misalnya kata sambung; di, me, serta, dan sebagainya.
(Aminuddin, 1997:203).
Kata yang autosemantis dapat membentuk satuan persepsi tertentu
pada diri penanggapnya. Sedangkan yang sinsemantis tidak dapat
membuahkan satuan persepsi tertentu. Karena satuan semantisnya
terbentuk atas dasar hubungannya dengan kata atau bentuk yang lain,
maka satuan persepsi yang dibuahkannya juga terbentuk setelah kata itu
dilekatkan pada kata yang lain.
Persepsi penanggap menyangkut referensi suatu kata selalu
membentuk satuan pengertian tertentu. Kata “meja”, misalnya, oleh
36
42
penanggapnya tidak dipersepsikan sebagai “benda” melainkan sebagai
“tempat makan”
Pada sisi lain, dalam proses kreatif penciptaan pemaknaan, kata
selalu dihubungkan dengan relasi semantisnya dengan kata yang
mendahuluinya maupun mengikutinya, dengan konteks verbalnya, maupun
dengan konteks non verbal. Dalam berbagai hubungan ciri semantis
tersebut, gambaran makna suatu kata pada dasarnya tidak hadir secara
otomatis. Penafsir menemukan gambaran ciri semantic yang dianggap
paling tepat sesuai dengan intensi yang ingin dicapainya. Dalam limpahan
penemuan makna pun penanggap harus memilih sesuai dengan
kemungkinan ciri kombinasi dan karakteristik gagasan maupun efek lain
yang ingin diperolehnya.
Selain berfungsi referensial, kata juga memiliki fungsi ekspresif dan
emptif. (Aminuddin, 1997:214). Pada fungsi ekspresif kata-kata seseorang
dapat menampilkan gagasan sesuai dengan satuan pengertian yang ingin
disampaikannya. Sementara lewat emotif, pemakai bahasa dapat
mengaduk emosi penanggapnya, baik melalui pemelihan kata berdasarkan
aspek bentuk, cirri semantic kata itu secara internal, maupun hubungan
asosiatifnya dengan kata yang lain, baik itu dihadirkan dalam untaian
teksnya maupun tidak. Menyangkut nilai emotof tersebut, kata juga dapat
dinyatakan memiliki nilai evokatif, dalam arti secara potensial kata-kata
pada dasarnya dapat membangkitkan aspek emotif penanggapnya.
Pembangkitan aspek emotif itu mungkin ditempuh lewat penggunaan kata
yang secara potensial mampu menggambarkan berbagai gagasan, kata
yang arkais, kata yang berasal dari dialek tertentu, hingga ke kata yang
37
43
vulgar.
Lepas dari itu, ada yang disebut “erosi makna kata”. Erosi makna
kata dari maknanya yang asli dapat dilihat pada reaksi semantic seseorang
terhadap suatu kata. (Muchtar Lubis, 1983:285-286).
Setiap orang mempunyai hubungan mesra tersendiri dengan kata-
kata tertentu, yang bagi dirinya memiliki makna khusus. Misalnya
kata”cinta”. Bagi seorang wanita yang hidup berbahagia dengan
suaminya, kata cinta penuh dengan makna : bahagia, beruntung, gairah
hidup, senang hati dan sebagainya. Akan tetapi, bagi seorang wanita yang
patah hati korban hawa nafsu lelaki yang memakai kata cinta untuk
mengelabuhinya saja. Kata cinta pasti mempunyai makna lain sekali.
Sebuah kata adalah juga sebuah symbol, sebab keduanya sama-sama
menghadirkan sesuatu yang lain. Setiap kata pada dasarnya bersifat
konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi
pembaca atau pendengarnya (kecuali kata-kata anomatopoik, misalnya
kata-kata yang menggambarkan suara kucing, bunyi senapan dan
sebagainya). Lebih jauh lagi, orang yang berbicara membentuk pola-pola
makna secara tidak sadar dalam kata-kata yang dikeluarkannya. Pola-pola
makna ini secara luas memberikan gambaran tentang konteks hidup dan
sejarah orang tersebut.
2. Makna Denotatif dan Konotatif
Salah satu cara yang digunakan para ahli untuk membahas lingkup
makna adalah dengan membedakan antara makna denotatif dengan makna
38
44
konotatif.
Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh
kata-kata (yang disebut sebagai makna refrensial). Makna denotatif ialah
makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Contoh dalam kamus kata
“mawar” berarti “sejenis bunga”.
Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat
dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran
sebuah petanda. (Berger, 2000:55). Harimurti Kridalaksana menyatakan
bahwa makna denotasi adalah sebagai makna kata atau kelompok kata
yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa
atau didasarkan atas konvensi tertentu, sikfatnya obyektif. (Harimurti
Kridalaksan, 2001:40).
Makna konotasi diartikan sebagai “aspek” makna sebuah atau
kelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul
atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).
Dengan kata lain makna konotatif merupakan makna leksikal. (Harimurti
Kridalaksana, 2001:117). Misalnya kata “amplop”. Kata amplop bermakna
sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang akan disampaikan
kepada orang lain atau kantor. Makna ini adalah makna denotasinya.
Tetapi pada kalimat “Berilah ia amplop agar urusan segera beres”, maka
kata amplop sudah bermakna konotatif, yakni berilah ia uang. Kata
amplop dan uang masih ada hubungan, karena amplop dapat diisi uang.
Dengan kata lain, kata amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus
lagi uang pelancar, uang pelican, uang sogok dan sebagainya.
Jadi makna denotasi sebuah kata adalah definisi obyektif kata
39
45
tersebut, sedangkan makna kata konotasi adalah makna subyektif atau
emosional.
Sebuah kata bisa memiliki konotasi yang berbeda, tergantung pada
pembicaraannya. Misalnya kata pohon. Kata ini akan mempunyai makna
bermacam-macam tergantung pada pembicaraannya; apakah ia seorang
penebang kayu, pematung, penyair, ekologis, petani dan sebagainya.
3. Makna Hakiki dan Majazi
Sesuatu kata-kata kadang-kadang dipakai dalam arti hakiki (arti yang
sebenarnya) dan kadang-kadang dipakai dalam arfti majazi (bukan arti
sebenarnya). (Ahmad Hanafi, 1970: 137). Hal ini akan menjadi pengaruh
dalam perbedaan penafsiran. Misalnya Membaca surat al-Fatihah dalam
shalat apakah menjadi rukun shalat atau tidak. Hal ini yang menjadikan
pemaknaan dalam Hadits Rasulullah saw, dari segi makna hakiki dan
majazi.
Adapun haditsnya adalah :
ال صال ة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak ada (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah”.
Menurut Imam Syafi’I, Hadits tersebut dimaknai secara hakiki, sedangkan
Imam Abu Hanifah memaknai secara majazi.
C. Semiotika dalam Komunikasi
1. Pengertian Semiotika
Dalam memahami konteks penelitian ini, akan dijelaskan mengenai
pendekatan semiotika secara umum. Dengan mengetahui konsep-konsep
40
46
dasar semiotika maka analisis pemaknaan terhadap taqwa, dzikir dan falah
dapat dengan mudah dipahami..
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign),
fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain. Semiotik mengkaji tanda, penggunaan
tanda dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Semiotika berasal
dari bahasa Yunani semeion yang berati berarti ”tanda” atau sign dalam
bahasa Inggris ini adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda yang
menjadi segala bentuk komunikasi yang mempunyai makna antara lain:
kata (bahasa), ekspresi wajah, isyarat tubuh, film, sign, serta karya sastra
yang mencangkup musik ataupun hasil kebudayaan dari manusia itu
sendiri. Tanpa adanya sistem tanda seorang tidak akan dapat
berkomunikasi dengan satu sama lain.
Sebagai “ilmu tentang tanda” semiotika memiliki prinsip, sistem, aturan
maupun prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Namun pengertian ilmu
dalam semiotika tidak dapat dibandingkan dengan ilmu alam yang
menuntut ukuran-ukuran matematis yang pasti untuk menghasilkan sebuah
pengetahuan objektif sebagai suatu kebenaran tunggal. Semiotika
bukanlah ilmu yang memiliki sifat kepastian, ketunggalan dan objektivitas.
Logika semiotik adalah logika dimana interpretasi tidak diukur
berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya
(Tinarbuko, 2008).
2. Tokoh-Tokoh Semiotika
a. Charles Sanders Peirce (1839-1914)
Filsuf Amerika ini terkenal dengan pemikiran pragmatisnya
yang menyatakan bahwa tidak ada objek atau konsep yang memiliki
secara inheren keabsahannya. Kebermaknaannya hanya ada apabila
41
47
objek atau konsep tersebut diterapkan dalam praktik. Peirce dikenal
dengan konsep triadik dan trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik
tersebut bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi
wakil yang menjelaskan sesuatu: Peirce called the perceivable part of
the sign a representamen (literally “something that does the
representing”) and the concept that it encodes the object
(literally”something cast outside for observation”). He termed the
meaning that someone gets from the sign the interpretant.
Rumusan ini mengimplikasikan bahwa makna sebuah tanda dapat
berlaku secara pribadi, sosial atau bergantung pada konteks khusus
tertentu. Representamen berfungsi sebagai tanda (Saussure
menamakannya signifier). Perlu dicatat bahwa secara teoritis, Peirce
menggunakan istilah representamen dengan merujuk pada triadik secara
keseluruhan. Namun secara terminologis, ia menggunakan istilah sign
alih-alih representamen. Object adalah sesuatu yang diwakili oleh
representamen yang berkaitan dengan acuan. Object dapat berupa
representasi mental (ada dalam pikiran), dapat juga berupa sesuatu yang
nyata di luar tanda. Interpretant merupakan makna dari tanda. Pada
beberapa kesempatan ia menggunakan istilah significance,
signification, atau interpretation. Tanda sendiri tidak dapat
mengungkapkan sesuatu. Tanda hanya menunjukkan. Tugas penafsir
memberi makna berdasarkan pengalamannya (Nöth, Hanbook of
Semiotics. 1995:42, 43).
42
48
b. Ferdinand de Saussure (1857 - 1913)
Teori ini mengatakan bahwa strukturalisme adalah sebuah
metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan
pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba
mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa.
Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian
struktural yaitu menganalisis hubungan - hubungan internal bagian-
bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan
penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik. Melihat kenyataan
di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme
dalam konteks perkembangan kajian budaya harus dilakukan dalam
konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir
sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-
kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme
dan semiotik (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang
kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi tidak
dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak
dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya
dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari
strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya
melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan
(kontinuitas) dan yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme
untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda (evolusi).
43
49
c. Semiotika Roland Barthes
Semiotika menurut Roland Bartes menjelaskan bahwa setiap
tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan
istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian
pengembangan-nya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah
ekspresi disebut metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut
konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini
tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh
paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan
perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang
membentuk konotasi.
Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak
hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek
kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur-
unsur kebudayaan. Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut
dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak
sekadar membatasi diri pada analisis secara semiosis, tetapi juga
menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala
kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’ yang
tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4)
44
50
Gambar 2.
Dari penjelasan tersebut dapat diuraikan bahwa setiap
potongan gambar, sepenggengal jingle akan memberikan Barthes
menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan
gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan,
film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu
bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Ferdinand de
Saussure, yaitu mendeskripsikan system tanda dalam bahasa.
3. Konsep-konsep Dasar Semiotika
Tiga studi utama dalam semiotika yang menarik untuk
dipelajari, yang pertama, semiotika dalam tanda yaitu studi tentang
tanda yang mampu manyampaikan makna. Kedua, kode adalah studi
yang mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi
kebutuhan suatu masyarakat budaya. Ketiga, kebudayaan tempat kode
dan tanda bekerja, dimana tanda terkait dengan manusia yang
menggunakannya (Fiske, 2004). Sebagai dasar penelitian semiotika, ada
konsep-konsep dasar yang dapat dipahami, yakni tanda/simbol, kode,
makna, mitos dan metafora.
a. Tanda
45
51
Menurut Saussure (dalam Sobur, 2006) tanda (sign) terbagi
menjadi 3 komponen yaitu :
1) Tanda (sign) meliputi aspek material (suara, huruf, gambar, gerak,
bentuk).
2) Penanda (signifier) adalah aspek material dari bahasa : apa yang
dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
3) Petanda (signified) adalah gambaran mental, pikiran, dan konsep.
Petanda adalah aspek mental dari bahasa.
Ketiga unsur tersebut harus utuh, tanpa salah satu unsur, tidak ada
tanda yang dapat dibicarakan bahkan tidak dapat dibayangkan. Jadi,
pertanda (signified) merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh
penanda (signifier) serta hubungan antara signified dan signifier disebut
hubungan simbolik yang akan menghasilkan makna (Barthes dalam
Sunardi, 2004).
b. Kode
Kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara
sosial, untuk memungkinkan suatu pesan disampaikan dari seseorang ke
orang lainnya. Dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada
penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode.
c. Makna
Makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari suatu kata, jadi
makna dengan bendanya sangat bertautan dan saling menyatu. Jika suatu
kata tidak bisa dihubungkan dengan bendanya, peristiwa atau keadaan
tertentu maka kita tidak bisa memperoleh makna dari kata itu (Tjiptadi,
1984:19).
d. Mitos
46
52
Mitos dapat mengacu kepada cerita tradisional. Pada umumnya
mitos menceritakan terjadinya alam semesta, dunia dan semua makhluk-
Nya, bentuk topografi, kisah para makhluk supranatural, dan sebagainya.
Mitos dapat timbul sebagai catatan peristiwa sejarah yang terlalu dilebih-
lebihkan, sebagai fenomena alam atau sebagai suatu penjelasan tentang
ritual. Mereka disebarkan untuk menyampaikan pengalaman religius atau
ideal, untuk membentuk model sifat-sifat tertentu, dan sebagai bahan
ajaran dalam suatu komunitas.
e. Metafora
Metafora didefinisikan sebagai ungkapan bahasa yang digunakan
dalam ungkapan bahasa lain yang berbentuk penggambaran. Contohnya,
langit menangis merupakan metafora dari hujan. Titik air mata yang
dikeluarkan pada saat menangis digunakan untuk menggambarkan hujan.
(Duden, 2002: 618)
Terkait dengan penjelasan bahwa komunikasi memiliki
sifat simbolik yang berupa tindakan yang dilakukan dengan
lambang-lambang, studi mengenai tanda dan segala yang
berhubungan dengannya termasuk; cara berfungsinya, hubungannya
dengan tanda-tanda lain, kemudian pengirimannya dan
penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya dikenal dengan
semiotika yaitu ilmu tentang tanda-tanda (Rahmat Kiryantono,
2006:263)
47
53
Lebih jauh, semiotika berupaya menemukan makna tanda
termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda karena
sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada
pengguna tanda tersebut. (Rahmat Kiryantono, 2006:264)
Secara etimologis, Indiwan menjelaskan bahwa istilah
semiotika berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang artinya tanda.
Secara termiologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu
yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa,
seluruh kebudayaan sebagai tanda. (Indiwan Seto Wahyu Wibowo,
2011:5).
Sebagai sebuah disiplin keilmuan, yaitu ilmu tentang tanda
(natural science), yang menuntut ukuran-ukuran matematis yang
pasti untuk menghasilkan sebuah pengetahuan ‘objektif’ sebagai
sebuah kebenaran tunggal. Semiotika bukanlah ilmu yang
mempunyai sifat kepastian, ketunggalan dan objektifitas macam itu,
melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi
aneka interpretasi.
Dalam pandangan Piliang (dalam Tinarbuko, 2008: 11),
penjelajahan semiotika memiliki kecenderungan untuk memandang
pelbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain,
bahasa dijadikan model dalam pelbagai wacana sosial. Berdasarkan
pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap
sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang
sebagai tanda (Tinarbuko, 2008: 11),
48
54
Ada dua jenis semiotika, yang pertama adalah semiotika
komunikasi sedangkan yang kedua adalah semiotika signifikansi.
Yang pertama menekankan pada teori yang memproduksi tanda
dimana diasumsikan bahwa ada faktor dalam komunikasi, yaitu
pengirim dan penerima kode (hal yang dibicarakan). Yang kedua
memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam
konteks tertentu. (Alex Sobur, 2006:15). Pada jenis kedua ini tidak
dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang
diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses
kognisi pada penerima diperhatikan prosesnya.
Dari berbagai penjelasan mengenai semiotika di atas, dapat
disimpulkan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda.
Bahkan lebih jauh dijelakan bahwa semiotika berupaya menemukan
makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah
tanda karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung
pada pengguna tanda tersebut. Piliang mengatakan berdasarkan
pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap
sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang
sebagai tanda.
Sedangkan secara termiologis, semiotika dapat
diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas
objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.
49
55
D. Tanda dan Makna
Konsep makna telah menarik perhatian disiplin ilmu
komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan linguistik.
Beberapa pakar komunikasi sering menyebutkan kata makna ketika
mereka merumuskan definisi komunikasi.
Pemaknaan merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran suatu tanda
atau objek, di dalam pemberian makna, kita dituntut memiliki
kemampuan integratif manusia yang berdasarkan indrawi, daya
berfikir, dan akal budinya atas materi-materi yang dilihat sebagai
tanda-tanda yang disajikan. (Alex Sobur, 2006:255-256)
Menurut Piliang (dalam Tinarbuko, 2008: ix), tanda
ditempatkan dalam rantai komunikasi sehingga mempunyai peran
yang penting dalam penyampaian pesan.
Tanda memiliki maksud yang sangat luas. Peirce (dalam
Sobur, 2001: 110) menjelaskan bahwa logika harus mempengaruhi
orang bernalar, penalaran itu menurutnya adalah melalui suatu cara
mendasar yaitu tanda, di mana notasi tanda ini membawa fungsi-
fungsi tertentu bagi proses logika berfikir tertentu dari manusia itu
sendiri. Peirce (dalam Sobur, 2001: 108) juga menjelaskan bahwa
tanda memungkinkan kita berfikir, berhubungan dengan orang lain,
dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh alam
semesta.
Lebih jelasnya, Peirce (dalam Fiske, 1994: 50) membedakan
tanda atas lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Dapat
dijelaskan sebagai berikut:
50
56
a. Lambang
Suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan
acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk
secara konvensional. Lambang ini adalah tanda yang
dibentuk karena adanya konsensus dari para pengguna
tanda.
b. Ikon
Suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan
acuannya berupa hubungan berupa kemiripan. Jadi,
ikon adalah bentuk tanda yang dalam berbagai bentuk
menyerupai objek dari tanda tersebut.
c. Indeks
Suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan
acuannya timbul karena ada kedekatan eksistensi. Jadi
indeks adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan
langsung (kausalitas) dengan objeknya.
Peirce dalam Tinarbuko (2008: 13) mengatakan bahwa
tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Peirce
disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau
menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan
dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant
ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda.
Artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat
ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu
pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, Indiwan (2011: 120)
menjelaskan bahwa tanda adalah sesuatu yang lain. Tanda
mempunyai dua dimensi; pertama adalah ekspresi, kedua adalah
isi. Ekspresi merupakan bentuk fisik dari tanda itu sendiri
sedangkan isi merupakan isi dari tanda atau yang ditandai oleh
suatu tanda. Lebih jauh, isi merupakan makna dari tanda.
51
57
Shimp (dalam Indiwan, 2011: 120) menjelaskan makna
sebagai tanggapan internal yang dimiliki atau diacu seseorang
terhadap rangsangan dari luar. Makna hadir akibat adanya suatu
rangsang dari luar diri manusia. Pesan dalam komunikasi
merupakan suatu rangsangan luar. Pesan-pesan tersebut terdiri dari
seperangkat tanda-tanda dan tanda-tanda ini kemudian ditanggapi
di dalam diri manusia dan menghasilkan suatu pemaknaan.
Serupa dengan Shimp, Brown (dalam Sobur; 2003: 256)
mengatakan bahwa makna merupakan kecenderungan total untuk
menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bahasa. Brown
menganggap makna sebagai suatu bentuk kecenderungan yang ada
di dalam diri manusia untuk menanggapi suatu rangsangan.
Perbedaan kecil Brown dengan Shimp, Brown hanya memasukkan
bahasa sebagai rangsangan yang dimaksud.
Wendell Johnson (dalam Sobur, 2003: 258) memberikan
suatu asumsi tentang pemaknaan dalam komunikasi, yaitu:
a. Makna ada dalam diri manusia.
Makna tidak terletak pada kata-kata tetapi dalam diri
manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati
makna yang ingin kita komunikasikan. Makna yang
didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat
berbeda dengan makna yang ingin dikomunikasikan.
b. Makna terus berubah.
Banyak kata yang maknanya terus berubah tergantung
segala pemahaman dan kejadian yang bergulir seiring
dengan waktu.
c. Makna butuh acuan.
Komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai
kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.
d. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna.
52
58
Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian,
dan perilaku dalam dunia nyata.
e. Makna tidak terbatas jumlahnya.
Pada suatu saat, jumlah kata dalam suatu bahasa
terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Satu kata bisa
memiliki ribuan makna.
f. Makna dikomunikasikan hanya sebagian.
Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat
multi aspek dan sangat kompleks, hanya sebagian saja
dari makna-makna tersebut yang benar-benar dapat
dijelaskan.
Dari berbagai penjelasan mengenai tanda dan makna di atas,
dapat disimpulkan bahwa tanda dapat dibedakan dalam lambang,
ikon, dan indeks. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain,
oleh Peirce disebut objek (denotatum).
Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda
mempunyai dua dimensi; pertama adalah ekspresi, kedua adalah isi.
Ekspresi merupakan bentuk fisik dari tanda itu sendiri sedangkan isi
merupakan isi dari tanda atau yang ditandai oleh suatu tanda. Lebih
jauh, isi merupakan makna dari tanda.
Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpresentasikan dalam
benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant adalah
pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda.
Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat
ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan
tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga
unsur yang dikemukakan Peirce terkenal dengan nama segitiga
semiotik.
53
59
Makna muncul ketika sebuah sign yang mengacu pada
suatu objek dipakai oleh pengguna sign. Saat itulah terjadi proses
pembentukan makna di dalam benak si pemakai. Sign dapat berupa
kata, tulisan, simbol, maupun isyarat. Sedangkan objek bisa mengacu
pada benda, ide, atau konsep.
Menurut Peirce, sebuah sign yang mengacu pada sesuatu di
luar dirinya, yaitu objek, akan mempunyai pengaruh pada pikiran
pemakainya. Kemudian dilambangkan oleh pemakainya dengan
suatu simbol, antara lain kata-kata, gambar, atau isyarat.
Misalnya, ‘permata’, adalah batu mulia untuk perhiasan
yang mahal harganya. Kata ‘permata’ adalah simbol, batu permata
adalah objek rujukan, sedangkan sebagai pemakainya adalah anda
sendiri. Makna yang muncul dari ketiga elemen tersebut, pertama,
adalah batu permata untuk perhiasan yang mahal harganya. (Sasa
Djuarsa, 2008:18)
Berikut adalah gambar segitiga makna untuk menjelaskan
pernyataan Peirce bahwa sebuah sign yang mengacu pada sesuatu di
luar dirinya, yaitu objek, akan mempunyai pengaruh pada pikiran
pemakainya. Kemudian dilambangkan oleh pemakainya dengan
suatu simbol, antara lain kata-kata, gambar, atau isyarat.
54
60
Gambar 2.1
Teori Segitiga Makna (Triangle Meaning Theory)
Pikiran atau referensi
Simbol Objek sasaran
Adapun makna dijelaskan sebagai tanggapan internal yang
dimiliki atau diacu seseorang terhadap rangsangan dari luar. Makna
hadir akibat adanya suatu rangsang dari luar diri manusia. Pesan
dalam komunikasi merupakan suatu rangsangan luar. Pesan-pesan
tersebut terdiri dari seperangkat tanda-tanda dan tanda-tanda ini
kemudian ditanggapi di dalam diri manusia dan menghasilkan suatu
pemaknaan.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
tanda dapat kita temukan di mana-mana, kata-kata, gerak, dan
isyarat. Tanda merupakan sesuatu yang terdiri atas sesuatu yang lain.
Dari hubungan makna tanda yang tercipta antara komunikator dan
komunikan tercapailah suatu bentuk konvensi. Konvensi tentang
tanda yang dimengerti bersama oleh pelaku komunikasi disebut
dengan kode.
55
61
Tanda yang kita temukan dalam iklan terdiri dari tanda-
tanda verbal dan non verbal, tanda verbal mencakup bahasa yang
kita kenal, sedangkan tanda non-verbal adalah bentuk dan warna
yang disajikan dalam iklan. (Sasa Djuarsa, 2008:116)
Alex Sobur dalam Analisis Teks Media mengutip pendapat
Peirce bahwa segala sesuatu dapat menjadi tanda dan kita hanya
dapat berfikir dengan sarana tanda. Sudah dipastikan bahwa tanpa
tanda-tanda kita tidak dapat berkomunikasi. (Alex Sobur, 2003:43)
Terkait dengan masalah penelitian, adalah masalah
pemaknaan tentang kata-kata taqwa, dzikir dan al-falah dalam ayat-
ayat Al-Qur’an.
56
62
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Beraneka ragam definisi yang mengartikan paradigma. Namun secara
umum, paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau
keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan
sehari-hari. (Agus Salim, 2001:33)
Banyak pemikiran dari para ilmuwan dalam menjelaskan bagaimana
suatu bagian-bagian saling berfungsi dan berhubungan. Dalam paradigma,
ilmuwan berupaya mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang
mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan
bagaimana cara untuk mendapatkannya.(Agus Salim, 2001:34)
Dengan kata lain sebuah paradigma dapat diartikan sebagai suatu cara
kita memandang realita ini. Karena manusia yang satu dengan yang lainnya
memiliki pandangan yang berbeda. Maka di dunia ini terdapat berbagai jenis
paradigma.
Secara teori, ada tiga jenis paradigma ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh para ilmuwan. Yaitu; positivisme postpositivisme,
konstruktivis (interpretatif), dan teori kritis (critical theory).
Berikut adalah tabel dari ke-tiga paradigma tersebut seperti yang
dijelaskan oleh Dedy N. Hidayat (dalam Quartama, 2009: 37):
57
63
Tabel 1
Tiga Perpektif Ilmu Sosial
Positivis dan
Postpositivis
Konstruktivis
(interpretatif)
Teori-teori Kritis
(Critical Theory)
Menempatkan ilmu
sosial seperti ilmu-
ilmu alam dan fisika,
dan sebagai metode
untuk menyatukan
deductive logic dengan
pengamatan empiris
guna secara
probabilistic
menemukan atau
mencari konfirmasi
hukum kausal yang
biasa digunakan
memprediksi pola-
pola umum gelaja
sosial tertentu
Memandang ilmu
sosial sebagai analisis
sistematis terhadap
socially meaningful
action, melalui
pengamatan langsung
terhadap perilaku sosial
dalam setting yang
alamiah, agar mampu
memahami dan
menafsirkan bagaimana
perilaku sosial yang
bersangkutan
menciptakan dan
memelihara dunia
sosial mereka.
Mendefinisikan ilmu
sosial sebagai suatu
proses yang secara
kritis berusaha
mengungkap ‘the real
structure’ di balik
ilusi. False needs yang
dinampakkan dunia
materi, dengan tujuan
membantu membentuk
suatu kesadaran sosial
dan merubah kondisi
manusia.
Dalam penelitian ini, paradigma yang dipakai adalah paradigma
konstruktivis. Seperti yang dijelaskan di atas, paradigma ini hampir merupakan
antitesis terhadap paham yang menempatkan pentingnya pengamatan dan
objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan.
Secara ontologi, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam
beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan pada pihak yang
melakukannya. Karena itu realitas yang diamati tidak bisa dilakukan di
kalangan positivis atau postpositivisme. Atas dasar filosofis ini, aliran ini
menyatakan bahwa hubungan epistomologis antara pengamat dan objek
merupakan satu kesatuan, subjektif, dan merupakan hasil perpaduan antara
keduanya.
58
64
Dengan demikian hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan
perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif, dan spesifik mengenai hal-
hal tertentu.
Paradigma konstruktivis memandang ilmu sosial sebagai analisis
sistematika atas ‘socially meaningful action’ melalui pengamatan aktor sosial
dalam setting yang alamiah, agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana
aktor sosial mencipta dan memelihara dunia sosial.(Agus Salim, 2001:71-72)
Tujuan penelitian dalam paradigma konstruktivis adalah, “Memahami
dan membentuk ulang kosntruksi-konstruksi yang saat ini dipegang (termasuk
oleh periset itu sendiri) (Agus Salim, 2001:75)
Paradigma konstruktivis menyebut tingkat kepercayaan
(truthworthness), dan keaslian (authenticity) sebagai kriteria kebenaran. Kedua
aspek tersebut mengacu pada berbagai konsep yang mengandung lima unsur
sebagai berikut:
a. Kredibilitas
Garis kebenaran yang berasal dari dalam.
b. Transferabilitas
Garis kebenaran yang bisa dikembangkan atau disandarkan
kepada unsur kebenaran lain.
c. Konfirmibilitas
Penegasan terhadap objektifitas.
d. Keaslian-ontologis
Kemampuan untuk memperluas konstruksi konsepsi yang
ada.
e. Edukatif-autentik
Kebenaran pendidikan, kemampuan pemimpin dan
mengandalkan perbaikan.
f. Katalitis-autentik
Kemampuan dalam merangsang dan menindak.
g. Taktikal-autentik
Kemampuan untuk memberdayakan masyarakat. (Agus
Salim, 2001:103)
Paradigma konstruktivis menurunkan interpretivis yang kemudian
berkembang dalam beberapa sub-varian, yaitu: symbolic interactionsm,
59
65
phenomenology, hermeneutics. Adapun teori kritis merupakan turunan dari
subjectivism, dan objectivism menurunkan positivism dan postpositivism.
Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 2
Epistemologi – Perspektif Teoriti
Epistemology Theoritical Perspective
1. Objetivism
2. Constructivism
3. Subjectivism
Positivism (dan post-positivism)
Interpretativism:
- Symbolic Interactionsm
- Phenomenology
- Hermeneutics
Critical Theory
(Dani Vardiansyah, 2005:59).
Konstruktivis adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh
karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Pengetahuan bukanlah gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan
selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitif kenyataan yanga ada.
Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kenyataan
melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang membentuk skema,
kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari
pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari
pengalaman atau dunia yang secara terus-menerus dialaminya.
60
66
Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat atau sarana
yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya.
Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat,
mendengar, menjamah, mencium dan merasakannya.
B. Jenis dan Sifat Penelitian
Peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian dan menemukan gejala-
gejala sosial yang terkait dengan masalah penelitian. Bogdan dan Taylor
(dalam Moleong, 2005:4) menjelaskan metode kualitatif sebagai berikut:
Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini
diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).
Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau
organisasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.(Lexy
Moleong,2005:4).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa metode kualitatif
menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan sehingga
dalam penelitian yang menggunakan metode kualitatif individu atau
organisasi yang diteliti tidak boleh diisolasikan ke dalam variabel atau
hipotesis.
Sedangkan Rosady Ruslan mengatakan bahwa penelitian
kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang
sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif
partisipan. Pemahama tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu,
tetapi diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan
sosial yang menjadi fokus penelitian, dan kemudian ditarik
suatu kesimpulan berupa pemahaman umum tentang
kenyataan-kenyataan tersebut. (Rosady Ruslan,2004:213)
61
67
Adapun sifat penelitian berdasarkan tataran atau cara menganalisis
data, dikenal beberapa jenis atau tipe riset, yaitu:
1. Jenis Eksploratif
Riset ini untuk menggali data, tanpa mengoperasionalisasi atau
menguji konsep pada realitas yang diteliti.
2. Jenis Deskriptif
Jenis riset ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis,
faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
atau objek tertentu.
3. Jenis Eksplanatif
Periset menghubungkan atau mencari sebab akibat antara dua
atau lebih konsep (variabel) yang akan diteliti.
4. Jenis Evaluatif
Riset ini mengkaji efektifitas atau keberhasilan suatu program.
(Rosady Ruslan,2004:213)
Jenis riset yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah jenis
deskriptif. Mengenai deskripsi yang dimaksud dalam penelitian kualitatif,
Moleong menjelaskan bahwa:
Data deskriptif dalam penelitian kualitatif adalah berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka. Selain itu, semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang
sudah di teliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi
kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan
tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara,
catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau
memo dan dokumen resmi lainnya. (Rahmat Kriyantono,2006: 67)
Dari penjelasan di atas penulis memahami bahwa data dalam
penelitian kualitatif berupa kata-kata, bukan gambar atau angka. Peneliti
dalam penelitian kualitatif harus berhati-hati dalam memilah data karena
data yang telah dikumpulkan masing-masing memiliki peluang untuk
menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Oleh karena itu data harus disertai
kutipan untuk memberikan gambaran yang berasal dari naskah wawancara,
catatan, memo atau dokumen resmi lainnya.
Morrison, Sheehan, dan Taylor menjelaskan bahwa penelitian
kualitatif tidak berupaya untuk mendapakan pembuktian terhadap suatu
62
68
teori melainkan mencoba untuk mengetahui suatu fenomena penelitian
tanpa memiliki hipotesa sebelumnya. (Morrison dkk.,2002:22)
Dari berbagai penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penelitian
kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum
terhadap kenyataan sosial dan perspektif partisipan. Pemahaman tersebut
tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi diperoleh setelah melakukan analisis
terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian, dan kemudian
ditarik suatu kesimpulan berupa pemahaman umum tentang kenyataan-
kenyataan tersebut.
Penelitian kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian
yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan tingkah laku yang dapat
diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, organisasi tertentu
dalam suatu konteks setting tertentu yag dikaji idari sudut pandang yang
utuh, komprehensif, dan holistik.
Dari keseluruhan penjelasan mengenai jenis dan sifat penelitian di
atas dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif berakar pada latar ilmiah
sebagai keutuhan mengendalikan manusia, memanfaatkan metode kualitatif,
mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran
penelitiannya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif,
lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus,
memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan dalam rancangan
penelitian yang bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati oleh
kedua belah pihak (peneliti dan subjek penelitian).
63
69
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting
dalam penelitian, dimana tujuan utama dari penelitian itu sendiri adalah
memperoleh data.:
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan oleh manusia,
yaitu peneliti sendiri. Peneliti pada penelitian kualitatif bekerja sebagai
perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis, penafsir, dan pada
akhirnya menjadi pelapor hasil penelitiannya. (eaxy Moleong,2005:121)
Menurut Moleong, manusia dipakai dalam penelitian sebagai
instrumen terkait beberapa hal yang berkenaan dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Responsif, yakni manusia responsif terhadap gejalan
lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan
lingkungan.
2. Dapat menyesuaikan diri, manusia sebagai instrumen hampir
tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi
pengumpulan data.
3. Menekankan kebutuhan, manusia sebagai instrumen
memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya dan memandang
dunia ini sebagai suatu keutuhan.
4. Mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan, sewaktu peneliti
melakukan fungsinya sebagai pengumpul data mempunyai
kemampuan untuk memperluas dan meningkatkan
pengetahuannya.
5. Memproses data secepatnya. Kemampuan lain yang ada pada
manusia sebagai instrumen ialah ia mampu memproses data
secepatnya setelah ia menerima data-data tersebut.
6. Memanfaatkan kesempatan untuk mengklasifikasi dan
mengikhtisarkan.
7. Memanfaatkan kesempatan untuk mencari respon yang tidak
lazim. (Lexy Moleong,2005:121)
64
70
Beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
a. Data Primer
Menurut Hasan (2002: 82) data primer ialah data yang diperoleh
atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan
penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer di
dapat dari sumber informan yaitu Al-Qur’an
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada
(Hasan, 2002: 58). Data ini digunakan untuk mendukung informasi primer
yang telah diperoleh yaitu dari bahan pustaka, literatur, penelitian
terdahulu, buku, dan lain sebagainya.
Penulis melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data dari
kepustakaan berdasarkan sumber informasi yang terdapat diperpustakaan,
literatur, penelitian terdahulu.
D. Teknik Analisis
Teknik analisis yang dipakai penulis adalah analisis semiotika yang
didasarkan pada semiotika Roland Barthes. Mengacu pada kata-kata yang
diteliti peneliti, yaitu kata taqwa, dzikir dan falah dalam Al-Qur’an, dilihat
dari makna semantic berupa denotasi dan konotasinya.
65
71
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Makna Taqwa
1. Makna Dasar atau Makna Hakiki Dan Relasi Taqwa
Secara harfiah taqwa berasal dari kata وقايىة –يقىى -وقىى ) waqaa-
yaqii – wiqaayah, yang berartii memelihara menjaga dan lain sebagainya.
(Warson Munawir, 1984:1577). Takwa juga berarti menghindar, takwa
dalam arti ini mencakup tiga aspek. Pertama, menghindar dari sikap kufur
dengan jalan beriman kepada Allah. Kedua, berupaya melaksanakan
perintah Allah sejauh kemampuan yang dimiliki dan menjauhi larangan-
Nya. Ketiga, menghindar dari segala aktifitas yang menjauhkan pikiran dari
Allah. Inilah tingkatan upaya menghindar yang tertinggi. Arti ini merupakan
salah satu dari arti konotatif.
Takwa dapat diartikan dengan kondisi perasaan takut. Maksudnya
adalah rasa takut terhadap hari kiamat dan Penguasa hari tersebut. Inilah
konsep dasar yang menentukan moral dasarnya. Hal ini dapat dibuktikan
dengan seringnya kata takwa tersebut oleh Allah SWT disandingkan dengan
peristiwa-peristiwa yang menakutkan. Misalnya firman Allah, surat al-Hajj
ayat 1 sebagaimana berikut,
ظيم يا أيها النهاس اتهقوا ربهكم إنه زلزلة السهاعة شيء ع
"Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan
hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat)”.
Q.S.22:1
66
72
Takwa merupakan manifestasi dari nilai-nilai luhur yang berkisar
pada empat hal ;
a. Keimanan yang sejati dan murni;
b. Kesiapan untuk memancarkan keimanan tersebut ke luar dalam
bentuk tindakan kemanusiaan kepada sesama;
c. Kesiapan untuk menjadi bagian masyarakat yang baik, yang
mendukung sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan;
d. Keteguhan jiwa dalam menghadapi setiap kondisidan situasi.(Bey
Arifin, 1977:65).
Dengan demikian, makna takwa dalam hal ini menjadi lebih luas dan
bulat. Takwa dalam hal ini berarti 'kesadaran ke-Tuhanan' (God-
consciousness), yaitu kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Maha Hadir
dalam kehidupan manusia. Kesadaran atau takwa seperti ini mendorong jiwa
untuk mengetahui dan meyakini bahwa dalam hidup ini tidak ada jalan
menghindar dari Tuhan dan pengawasanNya terhadap tingkah lakunya. Baik
dalam sirr maupun 'alaniyah. Dengan kata lain, kesadaran akan kehadiran
Tuhan dalam hidup ini mendorong kita untuk menempuh jalan hidup sesuai
garis-garis yang diridlaiNya dan sesuai dengan ketentuanNya. (Bey Arifinl,
1977:45).
Takwa merupakan satu konsep kunci dari keimanan. Antara
keduanya terdapat hubungan yang tak terpisahkan, bahkan saling menjelma.
Takwa bukanlah tingkatan dari ketaatan seseorang kepada Allah akan tetapi
ia merupakan penamaan bagi setiap orang yang beriman dan mengamalkan
amal shaleh. Orang yang telah mencapaii puncak ketaatan dapat disebut
orang yang bertakwa, tetapi orang yang belum berhasil mencapai puncaknya
pun juga dapat disebut bertakwa. Bahkan Toshihiko Izutsu merumuskan satu
67
73
konsep bahwa orang beriman adalah orang yang tunduk dengan penuh rasa
takut kepada Allah. (Toshihiko Izutsu,1995:319)
Hubungan mesra antara dua kata ini di dalam al-Qur'an disebutkan,
نيا ويسىخرون مىن الهىذين آمنىوا زين للهىذين كفىروا الحيىاة الىد
يىرزق مىن يشىاء بغيىر والهذين اتهقوا فوقهم يوم القيامىة وللاه
حساب
"Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir,
dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. padahal orang-
orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. dan
Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa
batas". (Q.S.2:212)
Dalam ayat lain Allah menyandingkan kata takwa dengan kebalikan dari
kata iman, kufur, misalnya:
هىا مثل الجنهة الهتي وعد المتهقون تجري من تحتها األنهار أكل
دائم وظلها تلك عقبى الهذين اتهقوا وعقبى الكافرين النهار
"Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa
ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak
henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan
bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-
orang kafir ialah neraka." (QS.13:35)
Selain itu Allah di dalam al-Qur'an menjadikan kata takwa sebagai
antonim dari kata zulm, misalnya:
شىىيئا وإنه الظهىىالمين بعضىىهم إنههىىم لىىن يغنىىوا عنىىك مىىن للاه
ولي المتهقين أولياء بعض وللاه
"Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang
yang bertakwa." (QS.45:19)
68
74
Pemaknaan kata takwa dengan kata 'takut' ini dapat diperkuat ayat-
ayat lainnya yang menyandingkan kata tersebut dengan kata-kata lain yang
memiliki serupa. Diantara kata yang sering muncul di dalam al-Qur'an
adalah kata khasyyah dan kata khawf.
ولقد آتينىا موسىى وهىارون الفرقىان وضىياء وذكىرا للمتهقىين
الهذين يخشون ربههم بالغيب وهم من السهاعة مشفقون 48)
"Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab
Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa.,
(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka
tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat."
(QS. Al-Anbiya': 48-49)
Pada dasarnya terdapat sedikit perbedaan makna antara khasyyah dan
khawf. Makna khawf sepintas menunjukkan perasaan takut yang bersifat
alamiah umum, lazimnya rasa takut karena adanya gejala yang tidak lazim
dan misterius. Misalnya peristiwa apa dirasakan Nabi Musa as., ketika
beliau melihat tongkat dan tali dengan cara menakjubkan tiba-tiba menjadi
ular. Peristiwa ini disebut berulang-ulang dengan menggunakan kata khawf.
Misalnya,
ىىا رآهىىا تهتىىز كأنههىىا جىىان ولهىىى مىىدبرا ولىىم وألىىق عصىىاك فلمه
إني ال يخاف لديه المرسلون يعقب يا موسى ال تخف
"Dan lemparkanlah tongkatmu". Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular
dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti dia seekor ular yang gesit,
larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. "Hai Musa, janganlah kamu
takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-
Ku." (QS. Al-Naml: 10)
Selain itu kata khawf seringkali digunakan dalam ayat-ayat al-Qur'an yang
berkenaan dengan siksa neraka agar manusia tidak melanggar aturan
maupun syariat yang digariskan. Misalnya:
69
75
لىون وآتينىا وما منعنا أن نرسل باآليىات إاله أن كىذهب بهىا األوه
ثمىىىود النهاقىىىة مبصىىىرة فظلمىىىوا بهىىىا ومىىىا نرسىىىل باآليىىىات إاله
وإذ قلنىىا لىىك إنه ربهىىك أحىىاط بالنهىىاس ومىىا جعلنىىا 59تخويفىىا )
ىىجرة الملعونىىة فىىي ؤيىىا الهتىىي أرينىىاك إاله فتنىىة للنهىىاس والشه الر
فهم فما يزيدهم إاله طغيانا كبيرا ) 60القرآن ونخو
"Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi kami untuk mengirimkan
(kepadamu) tanda-tanda (kekuasan kami), melainkan Karena tanda-tanda
itu Telah didustakan oleh orang-orang dahulu dan Telah kami berikan
kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi
mereka menganiaya unta betina itu. dan kami tidak memberi tanda-tanda itu
melainkan untuk menakuti. Dan (ingatlah), ketika kami wahyukan
kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". dan
kami tidak menjadikan mimpi yang Telah kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang
terkutuk dalam Al Quran. dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang
demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka." (QS. Al-
Israa': 59-60)
Oleh karena itu, jika kita tinjau objek dari kata takwa, khasyyah dan
khawf, maka terdapat persamaan. Objek ketiga kata tersebut bermuara pada
Allah, walaupun dengan media yang berbeda-beda. Misalnya, adzab neraka,
jatuhnya siksa sebagai sunnatullah baik di dunia maupun di akhirat.
Setelah pembahasan tentang pengertian korelasional takwa di atas,
sangat penting kita ketahui berikutnya tentang bagaimana menggapai takwa
tersebut.
70
76
2. Metode Bertaqwa
Dr. Ahmad Faridl dalam kitabnya, al-Taqwa; al-Durratul Mafqudah
waal-Ghayah al-Mansyudah, menyatakan ada lima langkah untuk
menggapai maqam takwa; (Ahmad Faridh,tt: 55-60)
a. Cinta kepada Allah (Mahabbatullah).
Dengan cinta, Ibnu al-Qayyim, mengibaratkan cinta dengan pohon
yang tumbuh di dalam hati. Pangkalnya adalah ketundukan kepada Dzat
yang dicintai. Batangnya adalah makrifat kepadaNya. Rantingnya adalah
takut kepadaNya. Daunnya adalah malu kepadaNya. Buahnya adalah
ketaatan kepadaNya. Materinya untuk menyiraminya adalah dzikir
kepadaNya. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa bila cinta ditopang
dengan sebagian unsur di atas, maka cinta itu menjadi pincang. (Ahmad
Faridh,tt: 55)
Ibnu Rajab dalam bukunya Ahmad Faridh, menyatakan bahwa
cinta kepada Allah (mahabbatullah) memiliki dua tingkatan; pertama,
cinta kepada Allah dan RasulNya dengan cara mencintai kewajiban dan
laranganNya; kedua, tingkatan cinta orang-orang yang berlomba-lomba
dalam kebaikan (istibaq al-khair). Maksudnya, cinta yang mengantarkan
pada semangat melakukan hal-hal yang sunnah dan meninggalkan hal-hal
yang makruh. (Ahmad Faridh,tt: 56). Dua macam tingkatan cinta di atas
merupakan refleksi dari hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari,
71
77
Rasulullah SAW bersabda, "Allah berfirman, 'Barangsiapa yang
memusuhiKu, telah Aku izinkan untuk diperangi. Bila hambaKu
mendekat kepadaKu dengan sesuatu yang paling ia cintai dari yang telah
Aku wajibkan. Dan hambaKu itu senantiasa mendekat kepadaKu dengan
ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.
Jika aku mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang
dengannya ia mendengar, padangannya yang dengannya ia mellihat,
tangannya yang dengannya ia dapat memegang dan kakinya yang
dengannya ia dapat melangkah. Jika ia meminta kepadaKu, niscaya akan
Aku beri.. Jika ia meminta perlindungan kepadaKu pasti Aku lindungi.
Tidaklah Aku ragu terhadap sesuatu yang pasti aku lakukan, seperti
keraguanKu dalam mencabut nyawa seorang mukmin. Sedangkan ia
benci mati dan Aku tidak suka menyakitinya."
b. Mawas diri (Muraqabatullah)
Sadar bahwa Allah mengawasai dan menyaksikan setiap derap
langkah dan amal, akan mengantarkan pada siap pengendalian diri dan
penghindaran serta pemeliharan diri dari segala apa yang menyimpang
dari syariat dan ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui setiap amal
maupun gerak yang terjadi pada makkhlukNya bahkan dedaunan yang
berjatuhan di malam hari pun. Kiranya terlalu banyak ayat al-Qur'an yang
menegaskan hal di atas dengan variasi kosa kata yang dipakai, seperti
'Alim, Khabir, Syahid dan lain sebaginya.
72
78
Inilah tingkatan Islam yang paling tinggi yaitu ihsan. Sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadits,
اإلحسىىان أن تعبىىد للا كأنىىك تىىراه وإن لىىم تكىىن تىىراه فإنىىه
يراك )رواه البخاري
"Ihsan adalah hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau
melihatnya, dan jika engkau tidak dapat melihatnya (ingatlah)
sesungguhnya Dia melihatmu. H.R. Bukhori"
Sikap mawas diri (muraqabatullah) ini membuahkan dua hal yang
merupakan bagian dari iman; khawf (rasa takut) dan haya' (rasa malu).
(Ahmad Faridl, tt:65). Sufyan bin Uyainah berkata, "Malu adalah takwa
yang paling lembut. Seorang hamba tidak akan takut sampai ia merasa
malu. Bukanlah ahli takwa itu masuk hanya melalui pintu malu?"
c. Mengerti bahwa kemaksiatan dan dosa pasti berimplikasi keburukan dan
penderitaan
Allah menciptakan makhlukNya di dunia dengan berpasang-
pasangan. Kebajikan berpasangan dengan lawannya, keburukan.
Kebahagiaan berpasangan dengan penderitaan. Atas dasar semua itu, Dia
meletakkan ketentuan-ketentuan yang merupakan prinsip dasar.
Ketentuan-ketentuan itu akhirnya kita kenal dengan sunnatullah. Manusia
lahir kedunia dengan sebuah kemampuan yang berupa akal agar dapat
memilih dengan cerdas mana yang baik dan mana yang jelek. Yang baik
berimplikasi pada kebahagiaan dan kejahatan dan kemaksiatan pasti
berdampak pada kenistaan. Ketentuan seperti ini telah berlaku sejak
manusia pertama diciptakan, Adam dan Hawa. Oleh karananya, Ibn al-
Qayyim menyatakan, "Apakah yang mengeluarkan ayah-ibu kita dari
73
79
surga, negeri kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kebahagiaan menuju
negeri derita, kesedihan dan musibah?.......Apa pula yang mengeluarkan
Iblis dari alam malakut di langit dan membuatnya terusir, terlaknat dan
mengubah lahir batinnya sehingga menjadi sosok terburuk dan terhina,
sementara batinny lebih buruk dan lebih hina daripada penampilannya"?
Tidak ada keburukan dan derita dunia ini dan di akhirat kecuali
disebabkan oleh dosa, kejahatan dan kemaksiatan. Inilah sejarah
kehidupan manusia dari awal diciptakan hingga kini. Tegaknya
sunnatullah ini akan menyadarkan kita, sehingga dapat bangkit dan di
dalam diri kita tumbuh rasa khawf dan berupaya menghindar diri dari
perbuatan maksiat kepada Allah.
d. Belajar mengalahkan hawa nafsu dan menaati perintah Allah.
Hawa nafsu adalah satu unsur kejiwaan yang ada pada diri
manusia. Ia mempunyai tabiat untuk mengajak manusia pada kejelekan
dan kejahatan manakala yang berhasil bernegosiasi dengan unsur
eksternal, sifat syaithaniah. Allah tidak menyediakan jalan ke surga selain
menyelisihi hawa nafsu dan tidak menyediakan jalan ke neraka selain
mengikutinya. Hal ini sebagaimana dipertegas di dalam al-Qur'an,
ا من طغىى ) نيا )37فأمه فىإنه الجحىيم 38 وآثىر الحيىاة الىد
ىا مىن خىاف مقىام ربىه ونهىى الىنهفس 39هي المأوى ) وأمه
فإنه الجنهة هي المأوى 40عن الهوى )
"Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia. Makas esungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya
syurgalah tempat tinggal (nya)." (QS. Al-Nazi'at: 37-41).
74
80
Dengan demikian berupaya keras untuk bersikap kontras terhadap
hawa nafsu menjadi jalan kebahagiaan yang penuh rintangan dan
menuntuk kesabaran yang super ekstra. Ibn al-Qayyyim dalam hal
hubungan memerangi hawa nafsu berpendapat,
"Ketahuilah bahwa bersabar terhadap syahwat lebih mudah daripada
bersabar terhadap akibat dari syahwat. Jika tidak mengakibatkan derita dan
hukuman, syahwat akan memupus kelezatan yang lebih sempurna
daripada syahwat itu sendiri."
e. Mengetahui tipu daya dan jerat-jerat syetan
Syetan adalah makhluk ciptaan Allah yang dipersiapkan oleh
menjerat manusia ke dalam jurang-jurang kesesatan. Sejak dari awal
diciptakannya manusia, syetan telah memproklamirkan dirinya sebagai
musuh manusia. Ia telah berjanji kepada Allah untuk menjerat mereka
dengan berbagai cara hingga akhir masa kelak, kecuali mereka yang
ikhlas. Allah di dalam kitabNya telah mengumumkan bahwa musuh
manusia yang paling nyata adalah syetan. Diantara firmanNya,
ىىيطان لكىىم عىىدو فاتهخىى ذوه عىىدوا إنهمىىا يىىدعو حزبىىه إنه الشه
عير ليكونوا من أصحاب السه
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia
musuh(mu), Karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu Hanya mengajak
golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-
nyala" (QS. Fathir: 6).
Jerat dan tipu daya syetan sangat beragam, menyusup dalam segala
aspek kehidupan manusia, baik dalam bermu'amalah kepada Allah
75
81
maupun kepada manusia (hablun minannass). Ia menggoda manusia sesuai
dengan kadar dan tingkatan kemampuannya. Ibu Haraj Ibn al-Jauzy
berkata, "Iblis menggoda manusia sesuai kemampuannya. Kemampuannya
akan bertambah dan berkuarang sesuai kadar kesadaran, kelalaian,
kebodohan dan ilmunya."
Hati yang lalai dari dzikir adalah lahan yang paling untuk dijadikan
objek jeratan syetan. Oleh karenanya, hal pertama yang paling dibentengi
manusia adalah hati. Hati adalah bak raja semua anggota tubuh manusia.
Syetan akan lebih leluasa merasuk ke dalam jiwa manusia manakala
benteng itu jebol.
B. Makna Dzikir
1. Makna Dasar atau makna Hakiki Dzikir
Pengertian dzikir, secara etimologis (tinjauan bahasa) berasal dari
asal kata : اذكىىر -يىىذكر –ذكىىر dzakara-yadzkuru-dzikran), yang berarti
menyebut atau mengingat. (Mahmud Yunus, 1989:134). Sedang Bey Afirin
mengartikan dengan tiga makna, yaitu; ingat, sebut, dan ajaran. (Bey
Arifin,tt:71). Arti merupakan arti denotasi.
Ensikloopedi Islam menjelaskan bahwa dzikir bermakna antara lain:
menyebut. menuturkan, mengingat. menjaga. atau mengerti perbuatan baik.
Hanafiah Dasuki, 1995:235)
Dzikir dalam pengertian mengingat Allah, sebaiknya dilakukan
setiap saat, baik secara lisan maupun dalam hati. Artinya, kegiatan apa pun
yang dilakukan oleh seorang Muslim sebaiknya jangan sampai melupakan
Allah SWT. Di mana pun seorang Muslim berada, sebaiknya selalu ingat
76
82
kepada Allah SWT., sehingga akan menimbulkan cinta beramal saleh dan
menjauhkan perbuatan dosa dan maksiat.
Sedangkan dzikir dalam arti menyebut nama Allah yang diamalkan
secara rutin biasa disebut wirid. Dan amalan ini termasuk ibadah mahdhah.
yaitu ibadah langsung kepada Allah SWT. Sebagai ibadah mahdhah, maka
dzikir jenis ini terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah,
yaitu harus ma 'tsur (ada contoh atau ada perintah dari Rasulullah SAW).
Secara terminologis definisi dzikir banyak sekali. Ensiklopedi
National Indonesia menjelaskan, dzikir adalah ingat kepada Allah dengan
menghayati kehadiran-Nya, ke-Maha Sucian-Nya ke-Maha Terpuji-Nya
dan ke-Maha Besaran-Nya. Dddzikir merupakan sikap batin yang bisa
diungkapkan melalui ucapan tahlil (La Ilaha Illa Allah, artinya tidak ada
Tuhan selain Allah), tasbih (Subhana Allah, artinya Maha Suci Allah),
tahmid (A1 Hamdulilldh, artinya segala puji bagi Allah), dan takbir (Allahu
Akbar, artinya Allah Maha Besar). (Setiawan,tt:436)
Sedangkan menurut Aboe Bakar Atjeh, dalam bukunya Pengantar
Ilmu Tarekat Uraian tentang Mistik, dzikir ialah ucapan yang dilakukan
dengan lidah, atau mengingat Tuhan dengan hati, dengan ucapan atau
ingatan yang mensucikan Tuhan dan membersihkan-Nya dari sifat-sifat
yang tidak layak untuk-Nya, selanjutnya memuji dengan puji-pujian dan
sanjung-sanjungan dengan sifat-sifat yang sempurna, sifat-sifat yang
menunjukan kebesaran dan kemurnian. (Aboe Bakar Atyeh, 1992:262).
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, dalam bukunya
Pedoman dzikir dan Doa, menjelaskan. Dzikir adalah menyebut Allah
dengan membaca tasbih (subhan'allah), membaca tahlil (la ilaha illallah).
77
83
membaca tahmid (al-hamdulillahi). membaca taqdis (quddusun), membaca
takbir (Allahu Akbar), membaca hauqalah (la hawla wa la quwwata illa
billahi), membaca hasbalah (hasbiyallahii), membaca basmalah
(bismillahirrahmanirrahim), membaca al-Quranul Majid dan membaca
doa-doa yang ma 'tsur, yaitu doa-doa yang diterima dari Nabi SAW. (Hasbi
Ash Shiddiqy,1997:262)
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, "dzikir adalah tebaran
kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berarti
telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti
telah dipecat." (Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul, 1997:263)
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan, "Seorang yang benar-benar
dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan
melindunginya dari segala sesuatu. dan ia diberi ganti dari segala sesuatu."
(Amin Syukur, 2007:94-96). Hal ini merupakan arti dzikir secara konotatif.
2. Macam-macam Dzikir
Mengenai macam-macam dzikir, Amin Syukur menjelaskan sebagai
berikut; (Amin Syukur, 2007:94-96).
a. Dzikir dengan lisan; yaitu mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil dan
sebagainya. Intinya dzikir lisan ini adalah berdzikir dengan
menyebut nama Allah dan sifat-Nya. Dalam kaitan ini Allah
memerintahkan, "... dan sebutlah Tuhanmu (waktu) pagi dan
petang," (QS Al-Insan [76]: 25). Dzikir dengan lisan merupakan
dzikir pada taraf elementer. Ucapan lisan akan membimbing hati,
78
84
agar selalu ingat kepada-Nya. Setelah dia terbiasa dengan dzikir,
maka dengan sendirinya hati yang bersangkutan menjadi ingat.
b. Ingat Tuhan dalam hati itu merupakan sikap ingat, tanpa menyebut
atau mengucapkan sesuatu. Dzikir seperti ini juga diperintahkan
oleh Allah. Dan, dalam posisi ini seseorang secara kontinyu selalu
ingat kepada-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah
kepada Allah sebanyak-banyaknya, " (QS Al-Ahzab [33]: 4).
c. Dan bentuk dzikir yang ketiga ialah dengan aktifitas sosial, yakni
berdzikir dengan menginfakkan sebagian harta untuk kepentingan
sosial, melakukan hal-hal yang berguna bagi pembangunan bangsa
dan negara serta agama. Dzikir ini merupakan refleksi dari dzikir
lisan dan dzikir hati, yang manfaatnya lebih terlihat daripada bentuk
dzikir pertama dan kedua. Jika dzikir pertama dan kedua hanya
bersifat individual, maka dzikir ketiga ini lebih bersifat sosial;
mempunyai kepedulian dan kepekaan sosial kemasyarakatan. Dan,
model dzikir ini yang paling banyak disinggung dalam Al-Quran.
Sedang Abdul Aziz Musthafa membagi dzikir menjadi 4
(empat) macam, yaitu:
a. Membaca al-Qur’an,
b. Membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan istighfar,
c. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw.
d. Dzikir-dzikir yang telah ditentukan. (Abdul Aziz,2007:75-82)
Kebanyakan ulama klasik (seperti; Imam Nawawi, Syaikh Amin Al
Kurdi, an-Naisabury, dll) membagi dzikir ini hanya pada dua bagian saja,
79
85
yaitu ddzikir lisan dan ddzikir dalam hati. (Sulaiman al-Kurmayi, 2005:12-
13)
Mengenai tingkatan /peringkat dzikir, para ahli ma’rifat (tasauf)
membagi dalam 4 (empat) tingkatan, yaitu;
a. Dzikir dengan lesan( (Ddzikir Jahar), yaitu ddzikir tingkat yang
paling dasar, bagi orang-orang awam.
b. Dzikir Khafi (samar), disebut juga ddzikir itsbat, karena hanya
diucapkan dalam hati dan tidak bersuara dan diikuti akal pikiran
dengan penuh penghayatan sehingga nur illahi masuk ke dalam
hati, ingatan hanya semata=mata kepada Allah SWT. Dan akhirnya
terjadi penyatuan, seakan-akan hanya dipenuhi oleh ddzikir.
Sedang lafadz yang diucapkan adalah lafadz ismudzat.
c. Dzikir ruh, yaitu ddzikir hati dan dzikir lesan bersama-sama.
d. Dzikir rahasia, dzikrus sirri, yaitu, ddzikir lisan, ddzikir hati dan
ddzikir ruh bersama-sama/serentak, puncak dari ddzikir adalah
ddzikir hakiki, yaitu ddzikir yang dilakukan oleh seluruh jiwa raga
lahiriyah dan batiniyah, kapan dan di mana saja. . (Sulaiman al-
Kurmayi, 2005:12-13)
Dari segi teknis pengucapannya ddzikir terbagi dua , yaitu
ddzikir al khafi dan ddzikir bi jalalah. Sedang jika dilakukan sendiri
dinamakan ddzikir al-awqat, dan jika bersama-sama dinamakan ddzikir
al-hadarah. (lihat: M Muhsin Djamil, 2005:67)
80
86
3. Makna Korelasi Dzikir
M Quraish Syihab menjelaskan, kata dzikr sendiri, bisa dikaitkan
dengan akal pikiran dalam arti mengingat atau dalam arti sesuatu yang
mengantar akal untuk meraih apa yang belum diraihnya dan inilah yang
bermakna peringatan. Bisa iuga dengan menghadirkan ke dalam benak apa
yang tadinya terlupakan dan inilah yang berarti mengingat. Kalau kata
ddzikir dikaitkan dengan lidah maka ia bisa berarti menyebut-nyebut, dan
dalam konteks ayat ini pelakunya adalah orang lain yakni menyebut
kebaikan dan keistimewaan siapa yang diturunkan kepadanya dan untuknya
wahyu itu. Dari sini kata dzikr dipahami dalam arti kemuliaan. Hemat
penulis, kedua makna di atas dicakup oleh kata dzikr. Yakni al-Qur'an
adalah kemuliaan sekaligus peringatan. (M. Quraish Syihab,2006:571-572)
Lebih detail M Quraish Shihab memaparkan pengertian dzikir
sebagai berikut;
Kata dzikir dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur'an
tidak kurang dari 280 kali. Kata tersebut pada mulanya digunakan oleh
pengguna bahasa Arab dalam arti sinonim lupa. Ada juga sebagian pakar
yang berpendapat bahwa kata itu pada mulanya berarti mengucapkan
dengan lidah menyebut sesuatu. Makna ini kemudian berkembang menjadi
"mengingat", karena mengingat sesuatu seringkali mengantar lidah
menyebutnya. Demikian juga, menyebut dengan lidah dapat mengantar hati
untuk mengingat lebih banyak lagi apa yang disebut-sebut itu.
Kalau kata "menyebut" dikaitkan dengan sesuatu, maka apa yang
disebut itu adalah namanya. Pada sisi lain, bila nama sesuatu terucapkan,
maka pemilik nama itu diingat atau disebut sifat, perbuatan, atau peristiwa
81
87
yang berkaitan dengannya. Dari sini kata dzikrullah dapat mencakup
penyebutan nama Allah atau ingatan menyangkut sifat-sifat atau perbuatan-
perbuatan Allah, surga atau neraka-Nya, rahmat atau siksa-Nya, perintah ;
atau larangan-Nya dan juga wahyu-wahyu-Nya, bahkan segala yang
dikaitkan dengan-Nya.
Mengingat adalah satu nikmat yang sangat besar, sebagaimana lupa
pun merupakan nikmat yang tidak kurang besarnya. Ini tergantung dari
objek yang diingat. Sungguh besar nikmat lupa bila yang dilupakan adalah
kesalahan orang lain, atau kesedihan atas luputnya nikmat. Dan sungguh
besar pula keistimewaan mengingat jika ingatan tertuju kepada hal-hal
yang diperintahkan Allah untuk diingat.
Sebagian ilmuwan menyatakan bahwa otak manusia normal dapat
menyimpan sepuluh billion satuan informasi sedang komputer tercanggih
hanya sekitar empat juta. Seandainya manusia bermaksud mencatat segala
sesuatu yang diketahuinya selama dua puluh empat jam, maka dia
membutuhkan waktu ratusan tahun.
Kembali kepada kata dzikir, secara umum dapat juga dikatakan
bahwa kata itu digunakan dalam arti me-melihara sesuatu, karena tidak
melupakan sesuatu berarti memeliharanya atau terpelihara dalam benaknya.
Dari sini pula maka kata dzikir tidak harus selalu dikaitkan dengan sesuatu
yang telah terlupakan, tetapi bisa saja ia masih tetap berada dalam benak
dan terus terpelihara. Dengan berdzikir, sesuatu itu direnungkan dan
dimantapkan pemeliharaannya. Renungan itu bisa dilanjutkan dengan
mengucapkannya lewat lidah dan bisa juga berhenti pada merenungkannya
tanpa keterlibatan lidah. Karena itu pula ketika Rasul saw. dan orang-orang
82
88
yang dekat kepada Allah swt. diperintahkan untuk berdzikir, mengingat
Allah atau asma'-Nya, maka itu tidak berarti bahwa mereka tidak berdzikir
sebelum perintah itu datang apalagi melupakan-Nya. Karena itu, tidaklah
keliru orang yang berkata bahwa dzikir adalah kondisi kejiwaan yang
menjadikan seseorang memelihara sesuatu yang telah diperoleh
sebelumnya.
Dari sini dzikir dapat dipersamakan dengan menghafal, hanya saja
yang ini tekanannya lebih pada upaya memperoleh pengetahuan dan
menyimpannya dalam benak, sedang dzikir adalah menghadirkan kembali
apa yang tadinya telah berada dalam benak. Atas dasar ini, maka dzikir
dapat terjadi dengan hati atau dengan lisan, baik karena sesuatu telah
dilupakan maupun karena ingin memantapkannya dalam benak.
Para ulama yang berkecimpung dalam bidang olah Jiwa
mengingatkan bahwa dzikir kepada Allah, secara garis besar dapat
dipahami dalam pengertian sempit dan dapat juga dalam pengertian luas.
Yang dalam pengertian sempit adalah yang dilakukan dengan lidah saja.
Dzikir dengan lidah ini adalah menyebut-nyebut Allah atau apa yang
berkaitan dengan-Nya, seperti mengucapkan Tasbih, Tahmid, Tahlil,
Takbir, Hauqalah, dan lain-lain. Bisa juga pengucapan lidah disertai
dengan kehadiran kalbu, yakni membaca kalimat-kalimat tersebut disertai
dengan kesadaran hati tentang kebesaran Allah yang dilukiskan oleh
kandungan makna kata yang disebut-sebut itu.
Kehadiran dalam kalbu/benak dapat terjadi dengan upaya
pemaksaan diri untuk menghadirkannya dan dapat juga—dan ini
merupakan tingkatan yang lebih tinggi— tanpa pemaksaan diri. Sedangkan
83
89
peringkat dzikir yang tertinggi adalah larutnya dalam benak si pedzikir
sesuatu yang diingat itu, sehingga ia terus-menerus hadir walau seandainya
ia hendak dilupakan. Sebaliknya, berdzikir dengan lidah semata adalah
peringkat dzikir yang terendah. Kendati demikian, dzikir dengan lidah tidak
luput dari manfaat—walau hanya sedikit—dan karena itu pesan orang-
orang arif kepada mereka yang baru sampai pada peringkat terendah ini
agar jangan meninggalkan dzikir. Kata mereka: "Bersyukur dan pujilah
Allah swt. yang telah menganugerahkan salah satu anggota badan, yakni
lidah, untuk melakukan dzikir kepada Allah dan berupayalah untuk
menghadirkan kalbu saat menyebut-nyebut-Nya." Rasul saw. pun pernah
menasihati seorang sahabat beliau yang mengeluh berkata:
"Sesungguhnya banyak pintu-pintu kebajikan. Aku tidak dapat
melaksanakan seluruhnya, maka beritahulah aku sesuatu yang dapat
kubergantung padanya dan janganlah memperbanyak (pesanmu) sehingga
menjadikan aku lupa. "
Nabi saw. memberinya petunjuk dengan bersabda:
سانك رطبا من ذكر للا. رواه الترمذىال يزال ل
"Hendaklah lidahmu selalu basah dengan berdzikir kepada Allah"(HR. at-
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban melalui Abdullah bin Busr).
Dengan seringnya lidah menyebut-nyebut nama Allah, maka paling
tidak sebagian di antara kalimat-kalimat yang terucapkan itu akan berbekas
di dalam hati dan ini pada gilirannya dapat mengantar pada kesadaran
tentang kehadiran Allah dan kebesaran-Nya, walau untuk tahap pertama
tidak selalu demikian.
84
90
Dzikir dalam pengertian luas adalah kesadaran tentang kehadiran
Allah di mana dan kapan saja, serta kesadaran akan kebersamaan-Nya
dengan makhluk; kebersamaan dalam arti pengetahuan-Nya terhadap apa
pun di alam raya ini serta bantuan dan pembelaan-Nya terhadap hamba-
hamba-Nya yang taat. Dzikir dalam peringkat inilah yang menjadi
pendorong utama melaksanakan tuntunan-Nya dan menjauhi larangan-Nya,
bahkan hidup bersama-Nya. Ketika itu, seperti yang dilukiskan oleh sufi
besar Abu al-Qasim al-Junaid (w. 910 M):
Dia tidak menoleh kepada dirinya lagi, selalu dalam hubungan intim
dengan Tuhan melalui dzikir, senantiasa menunaikan hak-hak-Nya. Dia
memandang kepada-Nya dengan mata hati , terbakar hatinya oleh sinar
hakikat llahi, meneguk minum dari gelas cinta kasih-Nya, tabir pun terbuka
baginya sehingga sang Maba Kuasa muncul dari tirai-tirai gaib-Nya, maka
tatkala berucap, dengan Allah dia, tatkala berbicara, demi Allah dia,
tatkala bergerak, atas perintah Allah dia, tatkala diam, bersama Allah dia.
Sungguh dengan, demi, dan bersama Allah selalu dia.
Rifyal Ka’bah dengan mengutip pendapat Syamsuddin Abu
'Abdullah Muhammad bin Qayyim al-Jawziyyah menyatakan , sebagai
hamba, manusia harus ddzikir (ingat) kepada Allah. Ingat kepada Allah
adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Seperti disebutkan dalam al-
Shahihayn, berasal dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda bahwa Allah
Tabaraka wa Ta’ala berfirman (dalam sebuah Hadits Qudsi):
85
91
ن ذكرنى فى ن عبدى بى, و انا معه اذا ذكرنى فاعند ظانا
ى ان ذكرنى فى مالء ذكرت فنفسه ذكرت فى نفسى, و
ز متفق عليهء خير منهم.مال
"Aku adalah menurut perkiraan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku berada
bersamanya bila ia ddzikir kepada-Ku. Bila ia mengingat-Ku pada dirinya,
maka Aku mengingatnya pada diri-Ku. Bila ia mengingat-Ku pada orang
banyak, Aku mengingatnya pada orang banyak yang lebih baik dari
mereka". H.R. Bukhori dan Muslim
اذا تقرب العبد الي شبرا تقربت اليه ذراعا و اذا تقرب
الي ذراعا تقربت منه باعا, و اذا أتانى يمشى أتيته هرولة.
رواه البخارى
"Bila ia mendekatkan diri dalam jarak sedepa kepada-Ku, Aku
mendekatkan diri dalam jarak sehasta kepadanya. Bila ia mendekatkan diri
dalam jarak sehasta, Aku mendekatkan diri dalam jarak sejengkal. Bila ia
datang kepada-Ku dalam keadaan berjalan, Aku akan datang kepadanya
dalam keadaan berlari”. H.R. Bukhori
.
Allah Yang Maha Tinggi, tanpa diingat dan disembah akan tetap
merupakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusialah yang butuh kepada
Allah.
كرى تنفع المؤمنين ر فإنه الذ وذك
Ingatlah, karena ingat kepada Allah itu menguntungkan untuk orang
beriman (Q., S. al-Dzariyat/51:55).
Dalam ayat di atas ada kata "dzikra", yang mempunyai arti yang
sama dengan kata "ddzikir", tetapi dengan bahasa yang lebih halus
(ablagh). Jadi, dapat dikatakan bahwa dengan ingat kepada Allah menurut
pengertian yang benar, secara tersurat dan tersirat, sesuai dengan
kemampuan, akan betul-betul berguna bagi kehidupan orang beriman.
86
92
Allah meminta manusia untuk ddzikir kepada-Nya. Dengan ddzikir
kepada Allah, hati kita akan tenteram.
تطمىئن أال بىذكر للاه الهذين آمنوا وتطمىئن قلىوبهم بىذكر للاه
القلوب
Orang-orang yang beriman, hati mereka tenang dengan ddzikir kepada
Allah. Ketahuilah bahwa dengan ddzikir kepada Allah, hati akan menjadi
tenang (Q., s. aI-Ra'd/13:28).
Ingat kepada Allah akan menjauhkan manusia dari setan. Setan itu
menjanjikan kemiskinan dan al-fahsya' (perbuatan keji dan dosa),
sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan keutamaan (Q.,S./2:268). Setan
mendatangkan permusuhan serta kebencian dan menghalang-halangi
manusia untuk mengingat Allah. Ini jelas sekali dalam hubungannya
dengan larangan meminum khamar dan bermain judi.
ىىيطان أن يوقىىع بيىىنكم العىىداوة والبغضىىاء فىىي إنهمىىا يريىىد الشه
ىىالة فهىىل وعىىن الصه كم عىىن ذكىىر للاه الخمىىر والميسىىر ويصىىده
أنتم منتهون
”Dengan khamar dan judi itu, setan hanya ingin menimbulkan permusuhan
dan kebencian di kalanganmu, dan menghambatmu dari mengingat Allah
dan melakukan shalat. Apakah kamu dapat berhenti dari perbuatan
terlarang itu?” (Q., s. a)-Ma'idah/5:91).
Dari uraian di atas dapat dipahami tentang makna ddzikir sebagai kata
kerja (mengingat) dalam al-Qur'an mempunyai berbagai pengertian:
a. Mengucapkan dan menyebut nama Allah, serta menghadirkannya
dalam ingatan.
87
93
b. Mengingat nikmat Allah dengan menghadirkan Allah dalam
kehidupan kita, dengan menjalankan kewajiban kita sebagai hamba
Allah.
c. Mengingat Allah dengan menghadirkannya dalam hati, yang
disertai dengan tadabbur, baik disertai dengan ucapan lisan atau
tidak.
d. Allah mengingat hamba-Nya melalui pembalasan kebaikan kepada
mereka dan mengangkat derajatnya.(M Majma' al-Lughah al-
'Arabiyyah, t.t:219-222).
Para ulama, bahkan yang berkecimpung dalam bidang hukum (baca:
fiqih), menyatakan bahwa jika lidah telah sering berdzikir, maka suatu
ketika kendati lidah tak menyebut nama Allah, namun agama dapat menilai
yang bersangkutan telah menyebutnya. Dalam QS. al-An'am [6]: 121, Allah
berfirman:
عليىىه وإنهىىىه لفسىىىق وإنه ىىىا لىىم يىىىذكر اسىىىم للاه وال تىىأكلوا ممه
ياطين ليوحىون إلىى أوليىائهم ليجىادلوكم وإن أطعتمىوهم الشه
ن إنهكم لمشركو
”Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika
disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu
kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-
kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka,
tentu kamu telah menjadi orang musyrik”. Q.S. 6:121
Dalam Tafsir al-Mishbah, M Qiraish Shihab antara lain
mengemukakan bahwa ayat ini mengundang diskusi ulama tentang halal
tidaknya memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah SWT, ketika
88
94
menyembelihnya, walau yang menyembelihnya seorang Muslim. Imam
Syafi'i berpendapat bahwa tidak menyebut nama-Nya baik dengan sengaja
apalagi lupa, tidak mengakibatkan haramnya sembelihan binatang halal itu.
Alasan beliau, antara lain, merujuk pada keterangan sahabat Nabi saw.,
Ibnu Abbas ra., yang berkata: "Kalau seorang Muslim menyembelih dan
dia tidak membaca Bismillah, maka hendaklah dia memakannya, karena
dalam diri Muslim ada nama dari nama-nama Allah" (HR. ad-Daruquthni).
Mutawalli asy-Sya'rawi, ulama besar Mesir kontemporer, menulis
dalam tafsirnya bahwa yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah tidak
dibatasinya apa yang dimaksud dengan ddzikir dalam firman-Nya: yudzkar
ism Allah. Asy-Sya’rawi bertanya, apakah yang dimaksud berddzikir oleh
ayat ini apakah menyebut nama-Nya dengan lidah, atau sekedar terlintas
dalam benak? Asy Sya’rawi cenderung memaknai kata dzikr pada ayat di
atas dalam arti terlintas dalam benak, dengan alasan bahwa Nabi saw.,
dalam hadis beliau menggunakan kata itu untuk sesuatu yang terlintas
dalam benak. Karena itu asy-Sya’rawi menguatkan pendapat Imam Syafi’i
di atas. Seorang muslim boleh jadi enggan menyembelih satu binatang yang
bentuk dan penampilannya lebih indah dari pada binatang halal yang lain.
Oleh karena dalam benak seorang muslim ketika akan tampil menyembelih,
selalu terlintas apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan Allah SWT.,
dan ini menunjukkan bahwa ketika itu dia mengingat Allah SWT, yang
berwenang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu (walaupun hal
tersebut tidak diucapkannya). Pemilihan binatang halal – oleh seorang
Muslim - telah merupakan bukti bahwa dia mengingat atau dalam istilah
ayat ini ia berddzikir kepada Allah. Hal ini telah cukup untuk menilai
89
95
bahwa sembelihannya halal, baik dia mengucapkan dzikir itu dengan
lidahnya, maupun tidak.
C. Makna Falah
1. Makna Dasar atau makna hakiki Falah
Makna dasar falah adalah keberuntungan, berasal dari kata
فآلحا -يفلح –فلح (falaha yaflihu falaha),, yaitu pengertian bagi orang yang
mendapatkan sesuatu yang ia harapkan, sukses dalam kehidupannya, dan
lancar dalam tiap aktivitasnya. (Fuad Ifram, ,1956: 560). Makna ini
merupakan makna denotasi.
Arti dasar falah ini umum bagi orang yang mendapatkan kesuksesan
dalam tiap hal. Baik urusan di dunia maipun akhirat. Seseorang dapat
dikatakan mendapatkan keberuntungan ketika ia mengharapkan sesuatu dan
menjadi kenyataan. Karena ia mendapatkan sesuatu yang ia harapkan, ia
masuk dalam arti dasar kata falah.
Menurut hemat penulis, makna dasar falah dalam konsep ushul fiqih
disebut dengan makna hakekat lughowi, yaitu suatu bahasa yang
dipergunakan oleh masyarakat sesuai dengan istilah lughot. Oleh karena
itu, kata falah sesuai dengan makna dasar dalam metodologi semantik atau
makna hakekat lughowi dalam metodologi ushul fiqih adalah
keberuntungan.
Keberuntungan merupakan bagian dari sebuah kebahagiaan yang
diidam-idamkan oleh setiap orang. Orang yang memiliki keberuntungan,
baik itu dengan kepemilikan terhadap harta, sahabat, dan kekuasaan dapat
berbuat apa saja sesuai yang ia mau. Dan dengan keberuntungan pula ia
90
96
dapat berbuat kebaikan, menolong orang yang membutuhkan, dan dapat
beribadah pada Allah dengan tenang. Dengan keberuntungan itu pula ia
dapat melakukan kebajikan yang dapat menambah kemuliaannya di sisi
Allah SWT.
2. Makna Relasional Kata Falah Dalam Al-Qur’an
Kata falah ketika dihubungkan dengan ayat-ayat dalam Al-Qur'an
adalah keberuntungan, keselamatan, dan langgeng dalam kenikmatan dan
kebaikan. (Ibnu Mundzir, tt:547). Hal itu tercermin dalam al-Qur’an surat
Q.S. Ali Imran ayat 130, tentang pelarangan riba.
بىا أضىعافا مضىاعفة واتهقىوا يا أيها الهذين آمنوا ال تىأكلوا الر
لعلهكم تفلحون للاه
“Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung”. Q.S. 3:130
Dalam ayat ini yang diakhiri dengan peringatan Allah, supaya
bertaqwa kepada-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan. Orang yang
menghalalkan riba diancam dengan ancaman yang berat yaitu, api neraka.
(M. Quraish Syihab,2006:217). Ini mengisyaratkan bahwa pengertian
keberuntungan disini terjadi pada dua hal, yaitu keberuntungan didunia
dengan keuntungan dalam ekonomi, dan juga keberuntungan di akhirat
yaitu terjauh dari siksa api neraka. Sebaliknya orang yang memakan riba,
secara lahiriyah ia mendapatkan harta, namun secara hakekat ia telah
kehilangan harta. Yaitu dengan banyaknya orang yang iri dan selalu
merongrong terhadap keamanan eksistensi hartanya. Berbeda dengan orang
yang menyedekahkan hartanya, secara lahiriyah ia kehilangan harta, namun
91
97
secara hakekat ia dengan mudah akan mendapatkan ganti dari harta yang ia
sedekahkan. Logikanya, dengan menyedekahkan hartanta, banyak orang
yang menaruh respect terhadapnya, sehingga hal tersebut berakibat
terhadap lancarnya usaha yang ia geluti dan juga banyak orang yang
berlangganan terhadapnya. Di samping mendapatkan pahala dari tuhan
dengan amal kebaikannya. Sehingga ia menjadi orang yang beruntung di
dunia dan akhirat.
Makna keberuntungan di dunia dan akhirat dalam kata falah
diperkuat dengan ayat Q.S. Ali Imran ayat 200 yang menyatakan falah
merupakan hasil/buah dari sebuah ketekunan seseorang dalam menjalankan
ibadah.
يا أيها الهىذين آمنىوا اصىبروا وصىابروا ورابطىوا واتهقىوا للاه
لعلهكم تفلحون
”Wahai orang-orang yang beriman ! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. Q.S.3:200
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa syarat orang yang akan
mendapat keberuntungan adalah orang yang taqwa dengan
mengaplikasikan bentuk sabar dalam segala sendi kehidupan. Tanpa adanya
ketakwaan dan kesabaran, sulit bagi seseorang untuk mendapatkan suatu
keberuntungan. Karena keberuntungan merupakan sebuah hasil yang sangat
tergantung pada usaha dan dedikasi seseorang yang mengerjakannya.
Sehingga tiada suatu keberuntungan tanpa ada sebuah usaha yang
menyertainya.
92
98
Ketika kata falah dikaitkan dengan Q.S. Al Maidah ayat 35
وابتغوا إليه الوسىيلة وجاهىدوا يا أيها الهذين آمنوا اتهقوا للاه
في سبيله لعلهكم تفلحون
’Wahai orang-orang yang beriman ! Bertakwalah kepada Allah dan
carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan
berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung”. Q.S.5:35
Ayat ini disebutkan orang yang beruntung sebagaimana diterangkan
dalam ayat ini adalah orang-orang yang beriman, orang yang bertaqwa, dan
orang yang bersungguh-sungguh mencari jalan mendekatkan diri kepada-
Nya, dan orang yang berjihad di jalan-Nya. Ayat ini menjelaskan syarat
mutlak bagi orang yang menginginkan keberuntungan dunia akhirat adalah
dengan menjalankan ketaqwaan, mendekatkan diri pada Allah, dan
berjiihad di jalan-Nya. Di sini kata falah yang makna dasarnya adalah
keberuntungan secara mutlak, ketika dihubungkan dengan ayat-ayat al-
Qur’an berubah menjadi sebuah keberuntungan dunia akhirat yang hanya
bisa didapatkan oleh orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Hal ini
dalam surat Q.S. Al A'Raaf ayat 69
أوعجبتم أن جاءكم ذكر من ربكم علىى رجىل مىنكم لينىذركم
واذكىىروا إذ جعلكىىم خلفىىاء مىىن بعىىد قىىوم نىىو وزادكىىم فىىي
لعلهكم تفلحون الخلق بسطة فاذكروا آالء للاه
“Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari Tuhanmu
melalui seorang laki-laki dari kalanganmu sendiri, untuk memberi
peringatan kepadamu ?. Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai
khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam
kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah
agar kamu beruntung”. Q.S.7:69
93
99
Ayat ini disebutkan bahwa orang yang akan memperoleh
keberuntungan adalah orang yang pandai bersyukur dengan penuh
kerendahan hati akan nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan-Nya,
baik berupa kelebihan manusia dari makhluk lain atau kelebihan yang satu
dari yang lainnya, di bidang jasmani, pikiran, ketegaran dan kemampuan
sehingga manusia lebih tinggi, kuat, dan kekar, serta lebih cerdas dibanding
umat sebelum kamu, atau dibanding umat segenerasi kamu (M. Quraish
Syihab,2006:142). Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan tentang syarat
keimanan dan ketakwaan dalam meraih keberuntungan. Sedangkan ayat ini
menjelaskan di samping ketakwaan dan keimanan juga disertai dengan rasa
syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah terhadap manusia. Sehingga
dengan rasa syukur ia terhindar dari rasa sombong dan ‘ujub yang justru
menjadi penyebab terhalangnya sebuah keberuntungan itu sendiri.
Juga dalam Surat Al Anfaal ayat 45.
كثيىرا يا أيها الهذين آمنوا إذا لقيتم فئة فىاثبتوا واذكىروا للاه
لعلهكم تفلحون
“Wahai orang-orang yang beriman ! Apabila kamu bertemu pasukan
(musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak
(berdzikir dan berdo’a) agar kamu beruntung”. Q.S.8:45
Kata tuflihun dalam ayat ini mengandung pengertian keberuntungan
akan diperoleh oleh orang yang beriman yang selalu berteguh hati, yang
memelihara semangat, menjaga dan mempertahankan kebenaran, yang
selalu menyebut nama Allah dengan sebanyak-banyaknya. (M.Quraish
Syihab,2006:457)
94
100
Menurut hemat penulis, dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas semua
menjelaskan terhadap sebab-sebab hal yang bisa menghantarkan terhadap
sebuah keberuntungan. Makna keberuntungan dalam falah ini disikapi oleh
Ibnu Mandzur sebagai keberuntungan abadi di dunia akhirat.
Keberuntungan di dunia dengan keuntungan dalam setiap aktivitasnya, dan
juga keberuntungan di akhirat yaitu terjauh dari siksa api neraka dan meraih
tiket masuk surga (Ibnu Mundzir,tt:548). Al-Qur’an memberikan pelajaran
bahwa dalam suatu keberuntungan terdapat suatu hukum sebab-akibat
(kausalitas). Terbukti untuk mendapatkan suatu keberuntungan seseorang
harus mempunyai ketakwaan, keimanan, dan rasa syukur pada Allah swt.
Hal tersebut berlaku dalam tiap aspek kehidupan, seseorang yang
menginginkan kesuksesan tidak bisa terlepas dari usaha yang keras dalam
memperolehnya.
Kata falah dengan makna keberuntungan diperkuat oleh kata
Sa’idun dan Syaqiyyun dalam sebuah riwayat, bahwa terdapat beberapa
klasifikasi tentang keberuntungan dan celaka seorang hamba. Yaitu:
a. Pertama, seseorang yang beruntung di dunia dan celaka di akhirat.
Seperti orang kaya yang kafir, mereka dapat berbahagia di dunia,
namun harus mendapatkan balasan siksa di akhirat.
b. Kedua, seseorang yang celaka di dunia dan beruntung di akhirat, yaitu
seorang muslim taat yang miskin dan teraniaya. Ia tidak dapat hidup di
dunia dengan memenuhi seluruh kebutuhannya, namun dengan ketaatan
dan keimanannya ia dapat menggapai keberuntungan di akhirat kelak.
c. Ketiga, seseorang yang celaka dunia akhirat, yaitu seseorang kafir yang
miskin dan teraniaya, ia tak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya di
95
101
dunia sekaligus dengan kekafirannya ia mendapatkan balasan neraka di
akhirat kelak.
d. Keempat, seseorang yang beruntung di dunia akhirat, adalah orang yang
hidup berkecukupan di dunia dan dengan ketaatannya ia mendapat
balasan surga di akhirat kelak. (Amin Syukur,2007:105) Hal ini
merupakan makna secara konotatif.
Ibnu Atsir menyikapi kata falah bukan dari hakekat kata tersebut,
namun sebagai majaz yang diartikan sebagai perantara yang menghantarkan
terhadap sebuah keberuntungan, hal itu ia terapkan dalam lafadz adzan
yang berbunyi Hayya ’alal falaah. Dalam lafadz adzan ini ia tidak
memaknai bersegeralah untuk mendapat keberuntungan, namun ia
memaknai dengan bersegeralah untuk mengerjakan hal yang
menghantarkan terhadap keberuntungan, yaitu shalat berjama’ah. .(M.
Quraish Syihab,2006:458).
Keberuntungan adalah istilah yang digunakan dalam tradisi etika,
para pemikir Islam seperti Ghazali memahami makna keberuntungan
tersebut sesuai dengan konsep dalam Al-Qur’an mengenai kodrat manusia
dan akibat perbuatan-perbuatan terhadapnya dalam kehidupan ini dan di
akhirat nanti.
D. Korelasi Antara Taqwa –Dzikir Dan Falah
Konsep al-Qur`an tentang taqwa-dzikir-falah setali tiga uang dimana
ketiga konsep ini mempunyai pencapaian hidup melangit dan hidup membumi.
Pencapaian hidup melangit diapresiasikan oleh taqwa pada bentuk kesalehan
individu sedangkan oleh dzikir pada bentuk moralitas Ilahiyyat yang berujung
96
102
pada keberuntungan berkelanjutan atau keberuntungan yang di dapat dari
Allah kelak di akherat.
Sedangkan pada pencapaian hidup membumi adalah proses aktualisasi diri
manusia sebagai makhluk sosial. Aktualisasi taqwa berupa kesalehan sosial,
aktualisasi dzikir berupa moralitas insaniyyat yang semuanya akan
mendapatkan keberuntungan profan atau hasil dari kerja keras yang dilakukan.
Relasi antara taqwa-dzikir-falah dengan realitas kehidupan sehari-hari nampak
bahwa ketiga konsep ini bukuan sekedar doktrin yang stagnan melainkan
mempunyai implementasi yang jelas dalam kehidupan sehari-hari.
Taqwa memiliki dua cakupan makna yaitu kesalehan individu dan
kesalehan sosial. Kesalehan individu adalah internalisasi diri sebagai makhluk
ciptaan Allah dengan menanamkan keimanan yang dalam akan ke-Esa-an
dalam diri manusia. Kesalehan sosial adalah bentuk aktualisasi diri terhadap
lingkungan sosialnya.
Dzikir juga memiliki dua arti yaitu moralitas Ilahiyyat dan moralitas
insaniyyat. Moralitas Ilahiyyat merupakan bentuk pengabdian dan penyerahan
diri sebagai bagian dari penciptaan manusia sebagai hamba. Moralitas
insaniyyat mrupakan bentuk tanggung jawab manusia terhadap kehidupan
sehari-hari baik kepada manusia maupun mahluq yang lain.
Falah merupakan proses yang telah dilakukan melalui jalan taqwa dan
dzikir sehingga keberuntungannya pun meliputi keberuntungan profan yang
bersifat duniawi dan keberuntungan berkelanjutan yaitu berupa keberuntungan
ukhrawi.
97
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Komunikasi
Transendental Lafadz/kata Taqwa, Dzikir dan Falah adalah sebagai
berikut:
1. Komunikasi kata “Takwa” mempunyai arti hakiki atau denotasi adalah
memelihara atau menjaga. Adapun arti secara konotati/ majazi
/semantik antara lain adalah :
a. Menghindar dari sikap kufur dengan jalan beriman kepada Allah.
b. Berupaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
c. Menghindar dari segala aktifitas yang dapat menjauhkan dari Allah.
Inilah tingkatan upaya menghindar yang tertinggi.
2. Komunikasi kata “Dzikir”, Arti denotasi/hakiki adalah mengingat.
Adapun arti konotatif/semantik atau/majazi mempunyai arti antara lain
a. Mengucapkan dan menyebut nama Allah, serta menghadirkannya
dalam ingatan.
b. Mengingat nikmat Allah dengan menghadirkan Allah dalam
kehidupannya, dengan menjalankan kewajiban hamba Allah.
c. Mengingat Allah dengan menghadirkannya dalam hati, baik
dengan ucapan atau tidak.
d. Allah mengingat hamba-Nya dengan pembalasan kebaikan dan
mengangkat derajatnya.
98
104
3. Komunikasi makna dasar falah beruntung. Adapun arti
konotatif//majazi/semantik adalah keselamatan dan kekal dalam
kebaikan dan kenikmatan.
4. Komunikasi transendental tentang lafadz/kata taqwa-dzikir-falah setali
tiga uang dimana ketiga konsep ini mempunyai pencapaian hidup
melangit.. Pencapaian hidup melangit diwujudkan dengan taqwa pada
bentuk kesalehan,sedangkan oleh dzikir pada bentuk moralitas
Ilahiyyat yang akhirnya mendafat falah yaitu keberuntungan yang di
dapat dari Allah khususnya di akherat nanti.
B. Saran-saran
1. Umat Islam khususnya para ulama dalam mengartikan kata/lafadz
dalam al-Qur’an harus ditinjau dari segi kata dasarnya dan juga dilihat
dari segi susunan kalimatnya.
2. Setiap kata/lafadz dalam al-Qur’an pasti memiliki arti yang berbeda
tergantung pada konteksnya. Apabila terjadi perbedaan penafsiran
dalan lafadz/kata maka para Ulama atau ustadz harus menjelaskan di
mana letak perbedaan tersebut.
3. Pemerintah harus dapat mentoler dan memberi toleransi terhadap
semua ulama atau ustadz yang berbeda dalam menafsirkan lafadz/kata
dalam Al-Qur’an
99
105
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bey, Mengenal Tuhan, PT Bina Ilmu, Surabaya, t.t.
Atjeh, Aboe Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadhani, Solo, cet. 7, 1992.
Dasuki, Hanafiah, dkk., Ddzikir, dalam Ensiklopedi Islam, Jld. 5., t.p., t.tp. 1995
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Empat,
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Djamil, M Muhsin, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, Tafsir Sosial Sufisme
Nusantara, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2005.
Faridl, Ahmad, al-Taqwa; al-Durratul Mafqudah waal-Ghayah al-Mansyudah.
Hakim, Lukman, Rasalah Gusti, Surabaya, 1997.
HR Bukhari: 1/114, Muslim: 1/157-158, al-Tirmidzi: X/87-88, Abu Dau: 4670
dan al-Nasai: VIII/97.
Ifram, Fuad, Munjid at-Tullab, Beirut: Darul Masyriq, 1956.
Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam Al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus,
cet. 2.
Ka’bah, Rifyal, Ddzikir Dan Doa Dalam Al Quran, Paramadina, Jakarta, 1999.
al-Kumayi, Sulaiman, Berddzikir dan Sehat Ala Ustadz H. Haryono, Menguak
Pengobatan Penyakit, dengan Daya Terapi Ddzikir, Syifa Press,
Semarang, 2005.
Kriyantono, Rahmat, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2006
Lukiati Komala, Ilmu Komunikasi. Perspektif, Proses, dan Konteks, Bandung, Widya Padjajaran, 2009
M Majma' al-Lughah al-'Arabiyyah, Mu jam Alfdzh al-Qur 'an al-Karim (Kairo:
Dar al-Syuruq, t.t.).
Mandzur, Ibnu, Lisanul Arab, Beirut: Darus Sodir, t.t, jilid 2.
Munawwir, A. Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif,
1984.
Musthafa, Abdul Aziz, 10 Sebab dicintai Allah, terj. Faishal , CMB Press,
Jakarta, 2007.
Moleong, Lexy J.,Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Cetakan ke- 21, Jakarta, PT. Remaja Rosdakarya, 2005
100
106
Morrison dkk. Using Qualitative Research in Advertising; Strategies Technique,
and Application,Thousand Oaks, Sage Publications. 2002
an-Naisabury, al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah, Induk Ilmu Tasauf, terj. Muh
Syukur, M Amin, Dzikir Menyembuhkan Kankerku, Hikmah, Jakarta,
2007.
Onong Uchajana Effendy, Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001
_____ Hubungan Masyarakat, Suatu Studi Komunikologis, Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya, 2002
Ruslan,Rosady,Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta, Tiara
Wacana, 2001
Sasa Djuarsa, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Universitas Terbuka,
2003 Sobur, Alex, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001
__________, Semiotika Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2003 Tinarbuko, Sumbo, Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta, Jalasutera,
2008
Simpul-simpul Keagamaan Pribadi: Taqwa, Tawakkal, dan Ikhlas,
Setiawan dkk., Ensiklopedi Nasional Indonesia, jld. 4, Cipta Adi Pustaka, t.th.
Ash Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Ddzikir dan Doa, Pustaka
Riski Putra, Semarang, 1997.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradapan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005.
Syihab. M Quraish, Tafsir Al Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al Qur’an,
Vol 12, Lentera Hati, Jakarta, Cet. V, 2006.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1989..
101