17
LAPORAN PORTOFOLIO Topik : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Tanggal Kasus : 13 April 2014 – 16 April 2014 Tanggal Presentasi : 01 Juli 2014 Presenter : dr. Kartika Achmad Pendamping : dr. Sri Rahayu, Sp.PD : dr. Zukhrida A, M.KK Tempat Presentasi : Ruang Rapat Komite Medik Obyektif Presentasi : Keilmuan Keterampil an Penyegaran √ Tinjauan Pustaka Diagnosti k Manajemen √ Masalah Istimewa Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja √ Dewasa □ Lansia Deskripsi : Laki-laki berusia 59 tahun datang dengan keluhan sesak nafas dan batuk produktif yang dirasakan sejak 3-4 tahun yang lalu dengan riwayat merokok lebih dari 20 tahun dan berhenti tahun 2001, DM tipe 2 NO, Hiperlipidemia dan HHD.

LAPORAN PORTOFOLIO PPOK.doc

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN PORTOFOLIO

Topik : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Tanggal Kasus : 13 April 2014 – 16 April 2014

Tanggal Presentasi : 01 Juli 2014

Presenter : dr. Kartika Achmad

Pendamping : dr. Sri Rahayu, Sp.PD

: dr. Zukhrida A, M.KK

Tempat Presentasi : Ruang Rapat Komite Medik

Obyektif Presentasi :

√ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran √ Tinjauan Pustaka

√ Diagnostik √ Manajemen √ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja √ Dewasa □ Lansia

Deskripsi : Laki-laki berusia 59 tahun datang dengan keluhan sesak nafas dan batuk

produktif yang dirasakan sejak 3-4 tahun yang lalu dengan riwayat merokok

lebih dari 20 tahun dan berhenti tahun 2001, DM tipe 2 NO, Hiperlipidemia

dan HHD.

Tujuan : Menambah pengetahuan tentang penyakit PPOK, tatalaksana dan manajemen

terapi yang tepat serta edukasi pada pasien dengan multidiagnosa

Bahan Bahasan : √Tinjauan Pustaka □ Riset √ Kasus □ Audit

Cara Membahas : □ Diskusi √ Presentasi dan Diskusi □ Email □ Pos

Data Pasien :

Nama : Tn. MS

Umur : 59 tahun

No Register : 00 06 13

MRS : 13 April – 16 April 2014

Data utama untuk bahan diskusi :

1. Diagnosis/Gambaran Klinis :

PPOK. PPOK derajat sedang eksaserbasi, keadaan umum sedang, mengeluhkan sesak

sejak 3-4 tahun yang lalu diikuti dengan batuk berlendir, dirasakan memberat 2 minggu

terakhir dan diikuti produksi sputum aktif dan purulen. TD : 150/90mmHg, Thorax :

retraksi supresternal (+), VF ki=ka, Rh +/+, Wheezing +/+. Rontgent thorax : Bronkitis.

2. Riwayat Pengobatan :

a. Pulmo : Tiotropium Bromide 1x1 puff sejak tahun 2011, N-asetilsistein (tidak

rutin), Ipratroprium bromida + Albuterol Sulfate (bila di Nebulizer)

b. Cardio : Asam Asetilsalisilat 80mg, Valsartan 80mg, Fenofibrate 300mg

c. Interna : Insulin Glargin dan Insulin Aspart

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :

a. 2005 : Hipelipidemia, Angina Pectoris Stabil

b. 2011 : PPOK + Hipertensi, DM tipe 2 Non Obese

c. 2012 : CHF ec HHD

4. Riwayat Keluarga :

Riwayat keluarga dengan DM tipe 2 (+), Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)

5. Riwayat Pekerjaan :

Pensiunan Karyawan PKT bagian lingkungan dan sekarang bekerja wiraswata di rumah.

Daftar Pustaka :

1. Tarigan , A. P. (2010, July 15). USU Institutional Repository : Open Access Repository -

Olahraga pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis . USU Institutional Repository :

Open Access Repository - Olahraga pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis .

Retrieved May 22, 2014, from http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/18722

2. Persatuan Dokter Paru Indonesia.2003.PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)-

Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana di Indonesia. Available from:

http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf

3. Hariman , A. S., & Tarigan , A. P. (2010, November 10). USU Institutional Repository :

Open Access Repository - Efek latihan pernafasan terhadap faal paru , derajat sesak nafas

dan kapasitas fungsional penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik stabil . USU

Institutional Repository : Open Access Repository - Efek latihan pernafasan terhadap

faal paru , derajat sesak nafas dan kapasitas fungsional penderita Penyakit Paru

Obstruktif Kronik stabil . Retrieved May 22, 2014, from

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20900

4. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2014. Global Strategy for

Diagnosis, Management, and Prevention of COPD. Available from :

http://www.goldcopd.org/Guidelines/guidelines-resources.html

5. Ikawati Z. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Available from :

http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/copd.pdf

6. Perdhana SAP, Denny B, dkk. 2011. Tatalaksana Rehabilitasi pada PPOK. Bagian

Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran UNS. Solo.

Hasil Pembelajaran :

1. Diagnosis dan Klasifikasi PPOK

2. Mekanisme terjadinya PPOK

3. Temuan pemeriksaan fisis PPOK serta temuan penunjangnya

4. Tatalaksana PPOK saat stabil dan eksaserbasi

5. Manajemen Farmakologi dan Non Farmakologi pada pasien PPOK

6. Rasionalisasi penggunaan Antibiotik pada PPOK

7. Edukasi, Rehabilitasi, Nutrisi dan Olahraga pada pasien PPOK

8. Terapi tambahan dan Terapi emergensi pada PPOK

9. PPOK yang membutuhkan bidang spesialistik

10. Diagnosis banding dan comorbid PPOK

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subyektif :

Sesak nafas yang dialami sejak 2 minggu SMRS dan semakin memberat hingga 1

hari SMRS.

Sesak dirasakan sejak 3-4 tahun yang lalu dan dirasakan tidak mengganggu

aktifitas.

Sesak dirasakan memberat terutama saat beraktifitas dan berkurang bila duduk

atau istirahat.

Sesak dirasakan bertambah berat bila terpapar debu, asap rokok dan bau-bauan

menyengat dalam waktu yang lama (>1minggu)

Sesak disertai bunyi mengi dan sesak disertai bengkak pada kelopak mata dan

anggota gerak disangkal.

Pasien tidur dengan 2 bantal, menyangkal sesak muncul saat istirahat dan

terbangun malam hari karena sesak.

Keluhan sesak disertai dengan batuk yang dirasakan sejak 3 tahun terakhir disertai

produksi lendir berwarna putih-bening.

Keluhan Batuk dirasakan semakin memberat 2 minggu SMRS disertai produksi

lendir yang banyak dan berwarna kuning kental.

Batuk juga muncul dan dirasakan semakin memberat bila terpapar debu,asap

rokok ataupun bau-bauan menyengat.

Demam, keringat malam, penurunan berat badan dan nafsu makan juga disangkal.

BAK dan BAB normal. Bengkak pada tangan dan kaki disangkal

2. Objektif : Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan :

Anamnesa

Gejala klinis

Pemeriksaan fisik (Retraksi suprasternal (+), Rh +/+, Wh +/+)

Pemeriksaan penunjang (EKG, Rontgent Thorax)

Pemeriksaan lab (Darah lengkap, Kimia darah, Kolesterol, Gula Darah)

3. Assessment (Penalaran Klinis):

Keluhan pasien yaitu sesak nafas yang dialami sejak 2 minggu SMRS dan

semakin memberat hingga 1 hari sebelum masuk rumah sakit dimana sesak ini dirasakan

sejak 3-4 tahun yang lalu dan dirasakan tidak mengganggu aktifitas. Sesak juga diikuti

oleh batuk berdahak yang memberat 2 minggu terakhir disertai adanya peningkatan

produksi dan perubahan warna sputum. Pasien sendiri adalah bekas perokok yang

berhenti sejak tahun 2001. Pasien biasa merokok 1-2 bungkus perharinya. Keluhan ini

sesuai untuk pasien dengan PPOK eksaserbasi dengan riwayat merokok lebih dari 20

tahun dimana pada pasien PPOK terjadi limitasi dan progresifitas hambatan di saluran

nafas pasien akibat adanya paparan toksin dari luar seperti rokok ataupun faktor

lingkungan akan menyebabkan terjadinya bronkitis dan emfisema.

Normalnya pada saluran nafas yang sehat terdapat epitel pseudostratified

columnar yang memiliki silia diatasnya, dan juga terdapat sel goblet diantara epitel-epitel

tersebut dimana sel goblet ini secara kontinyu mensekresi mukus membentuk selimut

yang tak terputus di saluran nafas. Mukus ini secara konstan disapu oleh silia ke esofagus

dimana produksi mukus sehari sekitar 1L dan kita menelannya tanpa menyadarinya. Bila

adanya paparan toxin dari luar misalnya merokok akan menyebabkan fungsi silia ini

terganggu dan lama-lama silia menjadi rusak. Sehingga mukus tidak dapat disapu oleh

silia menuju esofagus sehingga mukus dapat statis dan menumpuk di saluran nafas

misalnya di carina yang akan memicu refleks batuk ataupun statis di saluran nafas yang

lebih dalam lagi sehingga dapat menyebabkan obstruksi juga merupakan tempat

predileksi untuk infeksi sehingga dapat terjadi infeksi saluran nafas berulang (bronkitis).

Selain itu, adanya ketidakseimbangan antara anti-protease yang mendestruksi dan

merusak paru dengan Anti-protease yang mencegah proses perusakan tersebut dapat juga

memicu terjadinya PPOK dimana paparan toksin dari luar juga dapat mengaktifkan

makrofag alveolar untuk mensekresi mediator inflamasi dan sitokin inflamasi seperti IL-

1,IL-6, IL-8, TNFα, LB4 dimana IL-1 dan TNFα akan merekrut neutrofil ke dalam

alveolus sehingga neutrofil akan menghasilkan protease terutama elastase yang akan

merusak elastik fibers yang berfungsi pada saat recoil proses inhalasi dan ekshalasi.

Makrofag sendiri juga mensekresi MMP yang akan merusak jaringan sekitar alveolar.

Tak hanya sel-sel diatas, sel T yaitu T limfosit juga muncul sehingga merusak jaringan

melalui mekanisme apoptosis sel T, sehingga setelahnya dapat terjadi deposisi dari

kolagen yang menyebabkan kemungkinann terjadinya fibrosis paru dimana bila udara di

inhalasi mudah masuk tetapi sulit dikeluarkan karen udara akan terjebak karena paru

kesulitan untuk melakukan recoil proses inhalsi dan ekshalasi. Hal ini menyebabkan

pasien akan mengalami sesak nafas yang sifatnya progresif.

Tatalaksana PPOK terutama pada saat eksaserbasi sangat perlu diperhatikan

dimana pada saat eksaserbasi dibutuhkan beberapa kombinasi dan pilihan terapi

farmakologi yaitu pertama : bronkodilator. Bronkodilator yang dipilih adalah yang kerja

singkat contohnya Ipratropium bromida dan diutamakan bentuk inhalasi. Bronkodilator

yang dipilih adalah kombinasi antara anti kolinergik dan β2 agonist dimana pada saluran

nafas terdapat reseptor sel β2 yang bekerja sebagai relaksasi otot polos pernapasan

sehingga kita memerlukan obat yang mendukung kerja sel β2 tersebut, sedangkan di otot

polos terdapat reseptor muskarinik yang berfungsi untuk kontraksi otot polos pernapasan

sehingga menyebabkan bronkokonstriksi sehingga kita membutuhkan antagonis

muskarinic yaitu antikolinergik. Yang kedua adalah Kortikosteroid sebagai efek

antiinflamasi dalam bentuk oral/IV dimana di saluran nafas bila terjadi inflamasi akan

menyebabkan saluran nafas menjadi menyempit karena proses inflmasinya sehingga

dibutuhkan kortikosteroid, serta yang ketiga adalah Antibiotik dimana berdasarkan

penelitian bahwa antibiotik harus diberikan terutama pada saat eksaserbasi. Tatalaksana

ini sangat penting untuk pasien PPOK eksaserbasi sehingga dapat mencegah terjadinya

kondisi yang lebih buruk seperti gagal nafas. Hal ini dapat diantisipasi dengan monitoring

pemberian obat dan gejala, pemberian terapi oksigen, pemeriksaan AGD dan persiapan

untuk pertimbangan pemakaian ventilator

Dalam perjalanan penyakitnya, pasien telah melakukan terapi yang sudah sesuai

dengan tingkatan penyakitnya. Selain obat-obatan yang diekomendasikan oleh GOLD

dan PDPI, pasien juga sudah sudah berhenti merokok dan memulai mencoba hidup lebih

sehat untuk menghindari eksaserbasi berulang pada penyakitnya.

Prognosis pasien ini ragu-ragu, karena adanya limitasi dan progresivitas dari

penyakit PPOK itu sendiri, pasien dapat bertahan dalam kondisi stabil bila menerapkan

terapi dan pola hidup yang sesuai dengan tingkat penyakitnya, serta menghindari

kemungkinan tercetusnya eksaserbasi pada penyakitnya, tetapi juga dapat menjadi

semakin progresif bilamana terus menerus adanya paparan toxin dari luar seperti

merokok yang menyebabkan eksaserbasi berulang hingga gagal nafas, adanya

ketidakpatuhan dalam berobat dan menggunakan obat-obatan PPOK, serta adanya

penyakit-penyakit lain yang menyertai penyakit PPOK itu sendiri. Perlu dijelaskan

kepada pasien dan keluarga mengenai tanda-tanda eksaserbasi serta pertolongan pertama

pada saat eksaserbasi dan aturan-aturan pemakaian obat-obatan yang digunakan serta

perlunya menghindari faktor-faktor pencetus eksaserbasi PPOK itu sendiri sehingga

pasien dan keluarga dapat memahami dan mendukung serta motivasi pasien agar dapat

membantu meningkatkan kualitas hidupnya.

4. Plan :

a. Diagnosis

Upaya diagnosis pada pasien ini cukup maksimal. Diagnosis pasien ini tegak

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang (EKG, thorax), serta

pemeriksaan laboratorium untuk mendukung dan menyingkirkan diagnosis banding

pada pasien ini.

b. Pengobatan

Pengobatan pada pasien ini sudah sesuai dengan tatalaksana eksaserbasi PPOK oleh

GOLD 2014 yaitu pemasangan O2, pemberian kombinasi dari bronkodilator

(antikolinergik dan β2 agonis), Pemberian Kortikosteroid oral/iv, serta Pemberian

antibiotik.

c. Pendidikan

Diberikan pengarahan kepada pasien untuk menghindari pencetus eksaserbasi, tidak

melakukan aktifitas yang berat dan melakukan kontrol berkala sesuai dengan anjuran

dokter spesialis.

d. Konsultasi

Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi (kontrol) kepada dokter spesialis paru,

penyakit dalam dan jantung. Konsultasi/kontrol ini merupakan upaya untuk mencegah

kekambuhan pada pasien dan memonitoring gejala/keluhan yang timbul serta

penggunaan obat-obatan pada pasien tiap bulannya

LAMPIRAN

Daftar Pertanyaan Pesentasi Kasus

dr. Fakhriel :1. Perlukah pemberian vaksin influenza pada edukasi pasien ini?

Ya perlu. Pada pasien PPOK terutama dengan riwayat alergi seperti pasien ini diperlukan vaksinasi influenza per tahunnya sehingga dapat mencegah infeksi saluran nafas berulang yang dapat memperparah progresifitas penyakit PPOK itu sendiri. Tetapi, vaksinasi influenza ini lebih merupakan anjuran bukanlah sebuah kewajiban pada pasien PPOK kecuali pada pasien lansia direkomendasikan untuk tetap dilakukan pemberian vaksin influenza pertahunnya mengingat lansia lebih rentan untuk terkena infeksi saluran nafas berulang dan resiko terinfeksi saat hospitalisasi pun tinggi. Jadi, sangat penting untuk diedukasi kepada pasien PPOK dengan riwayat alergi, serta pasien lansia >65th ataupun pasien-pasien dengan FEV1 <40%.

2. Bagaimana dengan pemeriksaan penunjang spirometri pada pasien ini? Dan bagaimana ciri-ciri spirometrinya?Pada pasien ini tidak terdapat hasil rekam uji faal paru (spirometri) pada rekam medisnya, tetapi menurut pasien, pasien sudah melakukan uji spirometri pada dokter spesialis paru di Samarinda dan dikatakan adanya keterbatasan aliran udara sehingga pasien didiagnosa PPOK, selama kontrol dan dirawat pasien tidak dilakukan pemeriksaan spirometri sehingga merupakan suatu kekurangan pada kasus ini mengingat spirometri adalah gold standar penunjang dan screening awal bagi perokok menurut kriteria GOLD 2014. Sedangkan untuk hasil spirometrinya pada pasien dengan PPOK dinilai 3 hal yaitu FVC (forced vital capacity) bisa normal atupun berkurang, kemudian FEV1 (forced expiratory volume in 1 second) berkurang yaitu <80% atau <0,8, dan terakhir adalah FEV1/FVC didapatkan berkurang yaitu <70% atau <0,7.

3. Bagaimana dengan pemeriksaan fisis pada pasien ini apakah ditemukan Tripod position?Pada pasien ini memang mengeluhkan sesak namun pasien sendiri menyangkal melakukan tripod position dan selama pemeriksaan fisis pun pasien dapat tidur lurus dengan memakai 1 bantal, juga nyaman dengan posisi duduk dan berdiri, sehingga posisi tripod tidak dilakukan oleh pasien ketika sesak. Selain itu, pada pemeriksaan fisis ditemukan diameter antero-posterior dan transversal masih normal sehingga tidak terlalu nampak barrel chested, pada inspeksi terdapat retraksi suprasternal dan pada palpasi terdapat VF kiri cenderung sama dengan kanan, hanya pada auskultasi didapatkan adanya rhonki dan wheezing pada pasien ini.

4. Apakah kepanjangan SOPT? Dan bagaimana menyingkirkan differensial diagnosis SOPT ini?SOPT adalah Sindroma Obstruksi Pasca Tuberculosis, dimana pada pasien post pengobatan TB baik yang selesai maupun yang putus pengobatan didapatkan adanya

gejala sesak menetap akibat terjadinya destroyed lung selama proses infeksi kuman TB itu sendiri sehingga memberikan gejala sesak menetap yang meskipun pengobatan TB telah selesai diberikan terkadang pasien masih mengeluhkan adanya gejala sesak. Untuk membedakannya dengan PPOK, pada SOPT ini kita dapatkan dari anamnesis bahwa pasien pernah menderita TB ataupun menggunakan OAT, dan dapat terjadi pada semua usia tidak seperti pada PPOK yang timbul pada usia dewasa menuju lansia dengan riwayat merokok atau terpapar rokok/polusi dalam jangka lama. Dari pemeriksaan penunjang rontgen thorax pun dapat dilihat adanya gambaran TB lama sehingga dapat membedakannya dengan PPOK.

dr. Jaswin :1. Apa indikasi pemberian antibiotik pada pasien ini mengingat pada pasien ini tidak ada

tanda-tanda infeksi (Leukosit <10.000)?Berdasarkan evidence terbaru yang tersedia, antibiotika harus diberikan pada pasien-pasien PPOK yang :

– Pasien dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu : increased dyspnea, increased sputum volume, increased sputum purulence (Evidence B), atau

– Pasien dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi sputum merupakan salah satunya (Evidence C)

– Pasien dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif maupun non-invasif (Evidence B)

Dimana pada pasien ini datang dengan gejala eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu sesak yang semakin memberat, batuk yang semakin produktif, dan adanya perubahan warna sputum menjadi kuning sehingga perlu diberikan antibiotik.

2. Bagaimana untuk pemilihan antibiotiknya?Antibiotik yang dapat digunakan adalah golongan aminnopenicilin dengan atau tanpa asam klavulanat, makrolid, ataupun tetrasiklin. Sedangkan pada pasien dengan ekseserbasi sering, severe airflow limitation, dan pada eksaserbasi yang menggunakan ventilator diperlukan kultur sputum untuk menentukan antibiotik yang sesuai untuk diberikan.

dr. M. Ifan1. Bagaimana dengan Asma Bronkial? Apakah tidak dapat di diferensial diagnosis dengan

Asma pada pasien ini mengingat adanya riwayat alergi pada pasien ini?Betul sekali. Pada pasien ini juga saya DD/ dengan Asma Bronkiale karena pasien cenderung datang dengan gejala sesak dan adanya riwayat alergi, tetapi bila kita anamnesis dengan baik terdapat perbedaan yang signifikan dimana pada asma biasanya pasien sudah memiliki riwayat sejak masih kanak-kanak sedangkan pada PPOK tidak, asma cenderung dicetuskan oleh alergi sedangkan PPOK dicetuskan oleh merokok ataupun paparan polutan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan dari pemeriksaan fisisnya sama-sama bisa terdapat wheezing namun pada PPOK biasanya wheezing

minimal tidak seprominent pasien Asma, sedangkan pada laboratorium pun terdapat peningkatan eosinofil pada asma sedangkan pada PPOK tidak, sehingga Asma dapat disingkirkan sebagai diagnosis utama pada pasien kasus ini karena banyak ketidakcocokan,

2. Bagaimana dengan hasil spirometrinya? Dikarenakan spirometri adalah gold standar penunjang PPOK apakah terdapat perbedaan pada spirometri Asma dan PPOK?Tidak. Pada hasil spirometrinya didapatkan pola yang sama yaitu Obstructive Ventilatory Pattern dimana tipe ini (obstruksi) didapatkan pada pasien-pasien Asma, PPOK, Cystic Fibrosis, Bronkiektasis dll yang menyebabkan adanya penyempitan difus di saluran nafas. Spirometri sendiri merupakan gold standar PPOK untuk menentukan bahwa benar-benar terdapat obstruksi dan tingkat derajat keparahan obstruksinya sehingga dapat menentukan kemungkinan pemilihan terapinya berdasarkan derajat keparahan PPOKnya. Untuk membedakannya dengan asma pada saat spirometri dapat dilakukan Uji latih kortikosteroid dimana pada pasien dengan PPOK tidak terdapat perbaikan pada pemberian uji latih kortikosteroid ini setelah 2 minggu pemberian sedangkan pada Asma terdapat perbaikan yang signifikan pada FEV1 nya. Untuk lebih simpelnya dapat dilakukan Uji Jalan 6 menit pada lintasan datar dengan pantauan dokter dan persiapan oksigen sserta obat-obatan dikarenakan pada PPOK pasien akan segera lelah pada uji jalan 6 menit ini sehingga tidak dapat menempuh jarak 60m ataupun menyelesaikan jalan 6 menitnya.

dr. Rosatya1. Bagaimana dengan pemberian terapi Oksigen? Terutama pada pasien-pasien yang di

rawat di ICU?Terapi Oksigen sendiri dipilih karena pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Terapi oksigen sendiri sangat penting terutama untuk kasus hospitalisasi dengan eksaserbasi. Dimana pemberian oksigen harus dititrasi hingga mencapai target saturasi oksigen 88-92% dan diikuti oleh pemeriksaan AGD 30 menit-1 jam berikutnya. Untuk penggunaan terapi oksigen jangka panjang terutama pada pasien-pasien emfisema perlu diketahui bahwa pada emfisema recoil proses inhalasi dan ekshalasi terganggu sehingga udara cenderung terjebak di alveolus sehingga memperparah klinis pasien tersebut sehingga tidak dapat diberikan begitu saja terpai oksigen pada pasien-pasien PPOK terutama yang emfisema. Pasien harus memenuhi kriteria saturasi oksigen <88% dengan atau tanpa hiperkapnia yang sudah dikonfirmasi 2x selama periode 3 minggu ataupun SaO2 <88% dengan bukti adanya hipertensi pulmonal, edema perifer mengarah CHF ataupun polisitemia.

dr. Sitha

1. Pada pasien ini saat dirawat mengapa diberikan terapi Insulin? Mengingat kadar GDS,GDP dan A1C pada pasien ini baik, serta mengapa diberikan terapi Insulin basal saja?Berdasarkan anamnesis pasien dan rekam medis pasien, pasien sudah menderita DM sejak tahun 2011 dan berobat teratur di poli interna, sehingga kadar gula pasien sendiri terkontrol dengan baik. Untuk terapi DM yang diberikan pasien sudah menggunakan insulin glargine dan aspart sebelum masuk rumah sakit dan kadar gula pasien terkontrol dengan pemberian insulin itu sendiri. Diberhentikannya insulin sementara mengingat pasien datang dalam keadaan eksaserbasi dan kadar gula yang baik sehingga dipertimbangkan untuk menyetop penggunaan insulin sementara dan dimulai dengan dosis insulin basal karena memiliki kerja yang panjang sehingga mempermudah pengaturan dosis selama di rumah sakit, terutama pada pasien-pasien eksaserbasi dan pasien infeksi yang dirawat di rumah sakit.

2. Apakah pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dahak?Pada pasien ini perlu dilakukan kultur dahak dimana pasien sendiri dirawat di rumah sakit karena eksaserbasi sehingga berdasarkan kriteria GOLD pemberian antibiotik harus didasarkan pada hasil kultur dahak itu sendiri. Selain itu pasien mengeluhkan batuk dan didapatkannya rhonki terutama di apeks paru maka kemungkinan besar untuk DD/ TB paru itu ada sehingga perlu juga dilakukan pemeriksaan sputum untuk menyingkirkan DD/ tersebut.