Upload
haris-setiawan
View
142
Download
25
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Teknik Mesin
Citation preview
1
MODUL 1
PENGUJIAN TARIK
1. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Untuk membandingkan kekuatan maksimum beberapa jenis logam (besi
tuang, baja, tembaga dan alumunium).
2. Untuk membandingkan titik-titk luluh (yield) logam-logam tersebut.
3. Untuk membandingkan tingkat keuletan logam-logam tersebut melalui %
elongasi dan % pengurangan luas.
4. Untuk membandingkan fenomena necking pada logam-logam tersebut.
5. Untuk membandingkan modulus elastisitas dari logam-logam tersebut.
6. Untuk membuat, membandingkan serta menganalisis kurva tegangan
regangan, baik kurva rekayasa maupun kurva sesungguhnya dari beberapa
jenis logam.
7. Untuk membandingkan tampilan perpatahan (fractografi) logam-logam
tersebut dan mengAnalisisnya berdasarkan sifat-sifat mekanis yang telah
dicapai.
2. DASAR TEORI
Tujuan dari dilakukannya suatu pengujian mekanis adalah untuk menentukan
respon material dari suatu konstruksi, komponen atau rakitan fabrikasi pada saat
dikenakan beban atau deformasi dari luar. Dalam hal ini akan ditentukan seberapa
jauh perilaku inheren (sifat yang lebih merupakan ketergantungan atas fenomena
atomik maupun mikroskopis dan bukan dipengaruhi bentuk dan ukuran benda uji)
dari material terhadap pembebanan tersebut di antara semua pengujian mekanis
tersebut, pengujian terik merupakan jenis pengujian yang paling banyak
digunakan karena mampu memberikan informasi representati dari perilaku
mekanis material.
Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan
beban kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat
2
berupa perubahan panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan
dalam bentuk grafik tegangan-regangan.
2. 1. Perilaku Mekanik Material
Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan
nonlogam) dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku
material tersebut terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa
didapat adalah:
a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)
Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan
proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti
dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier σ = Eε
(bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili
regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada
Gambar 1.1 di bawah ini menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-
regangan.
Gambar 1.1. kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat dari baja ulet
b. Batas Elastis (Elastic Limit)
Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang
semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan bahagian
3
dari batas plastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan (deformasi dari
luar) maka batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan
kembali kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat didefinisikan bahwa batas
elastis merupakan suatu titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan
terjadinya deformasi permanen (plastis) untuk pertama kalinya. Kebanyakan material
teknik memiliki batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas
proporsionalitasnya. Kebanyakan material teknik mempunyai batas elastisitas yang
hampir berimpitan dengan batas proposionalnya.
c. Titik Luluh (Yield Point) dan Kekuatan Luluh (Yield Strength)
Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami
deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang mengakibatkan
bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress).
Gambar 1.2. Fenomena yield pada kurva hasil uji tarik
Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan
struktur kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-
atom carbon, boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antara dislokasi dan atom-atom
tersebut menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah
(lower yield point) dan titik luluh atas (upper yield point).
Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas umumnya tidak
memperlihatkan batas luluh yang jelas. Untuk menentukan kekuatan luluh material
seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode Offset.
Dengan metode ini kekuatan luluh (yieldstrength) ditentukan sebagai tegangan
dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari
4
proporsionalitas tegangan dan regangan . Umumnya garis offset diambil 0.1 – 0.2%
dari regangan total dimulai dari 0, dan ditarik keatas sejajar dengan garis
proporsional hingga berpotongan dengan kurva. Kekuatan luluh atau titik luluh
merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan deformasi permanen bila
digunakan dalam penggunaan struktural yang melibatkan pembebanan mekanik
seperti tarik, tekan, bending atau puntiran. Di sisi lain, batas luluh ini harus dicapai
ataupun dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam proses manufaktur produk-
produk logam seperti proses rolling, drawing, stretching dan sebagainya. Dapat
dikatakan bahwa titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang:
Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service)
Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)
d. Kekuatan tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength)
Merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung oleh material sebelum
terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum σuts ditentukan dari
beban maksium Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.
Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (kurva
tegangan regangan) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B.
Bahan yang bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan
maksimum sekaligus tegangan perpatahan Dalam kaitannya dengan penggunaan
struktural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum adalah atas
tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.
e. Kekuatan Putus (breaking strength)
Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus
(Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk patahan yang bersifat ulet pada
saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus
B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu
deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil
daripada kekuatan maksimum sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah
5
sama dengan kekuatan maksimumnya.
f. Keuletan (ductility)
Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam
menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa
tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses
rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya. Secara
umum dilakukan dengan tujuan sebagai :
Untuk menunjukkan perpanjangan dimana suatu logam dapat berdeformasi
tanpa terjadinya patah dalam suatu proses pembentukan logam, misal
pengerolan dan ekstrusi.
Untuk memberi petunjuk umum mengenai kemampuan logam untuk
berdeformasi secara plastis sebelum patah.
Sebagai petunjuk adanya perubahan permukaan kemurnian atau kondisi
pengolahan.
Gambar 1.3. Perbandingan kurva uji tarik material ulet dan getaS
6
Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu:
Persentase perpanjangan (elongation)
Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang
awalnya.
Elongasi, ε (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%
dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji.
Persentase pengurangan penampang (Area reduction)
Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan
terhadap luas penampang awalnya.
Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%
dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.
g. Modulus Elastisitas (Modulus Young)
Merupakan ukuran kekakuan suatu material. Semakin besar harga modulus ini
maka semakin kecil regangan elastis yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan
tertentu, atau dapat dikatakan material tersebut semakin kaku (stiff). Modulus
kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis yang
linier,diberikan oleh :
E= σ /ε atau E= tan α
dimana α adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-
regangan. Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar atom-
atom, sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses
tanpa merubah struktur bahan. Gambar di bawah ini menunjukkan grafik tegangan
regangan beberapa jenis baja :
7
Gambar 1.4. Grafik tegangan regangan beberapa baja yang memperlihatkan
kesamaan modulus kekakuan.
h. Modulus Kelentingan (modulus of reselience)
Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa
terjadinya kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk
oleh area elastik diagram tegangan-regangan. Pada gambar di samping ditunjukkan
oleh segitiga putus-putus.
Gambar 1.5. Daerah modulus resilience
8
i. Modulus Ketangguhan (modulus of toughness)
Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya
perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di bawah
kurva tegangan regangan hasil pengujian tarik. Pertimbangan disain yang mengikut
sertakan modulus ketangguhan menjadi sangat penting untuk komponen-komponen
yang mungkin mengalami pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material
dengan modulus ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena
pembebanan berlebih,tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan
modulus yang rendah dimana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan
terlebih dahulu.
Gambar 1.6. Kurva tegangan regangan
j. Kurva tergangan rekayasa dan sesungguhnya
Kurva tegangan-regangan rekayasa (engineering stress-strain) didasarkan atas
dimensi awal (Ao dan lo) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva
tegangan-regangan seungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat
pembebanan setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlalu besar pada
regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada rentang terjadinya pengerasan
regangan (strain hardening), yaitu setelah titik luluh terlampaui. Secara khusus
perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah necking.
Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji
secara actual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai
konstan pada saat perhitungan tegangan σ=P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-
regangan sesungguhnya luas area actual adalah selalu turun sehingga terjadinya
9
perpatahan dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena σ=P/A.
Sehingga notasi true stress & true strain dan hubungannya dengan engineering stress
dan engineering strain dapat dituliskan sebagai :
Dan
dibawah ini adalah grafik yang membandingkan antara kurva tegangan regangan
rekayasa dan sesungguhnya.
Gambar 1.7. Kurva perbandingan true dan engineering stress
10
2. Karakteristik Perpatahan
Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan
perpatahan seperti diilustrasikan oleh gambar di bawah ini :
Gambar 1.8. Mode perpatahan material ulet ke geta
Material dikatakan ulet bila material tersebut mengalami deformasi elastis dan
plastis sebelum akhirnya putus. Sedangkan material getas tidak mengalami deformasi
elastis sebelum mengalami putus.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
1. Universal testing machine, Servopulser Shimadzu kapasitas 30 ton
2. Caliper dan/atau micrometer
3. Spidol permanen atau penggores (cutter)
4. Stereoscan macroscope
5. Sampel Uji Tarik
Sangat ulet Sangat getas
11
3.2. Diagram Alir
Pasang sampel pada grip mesin Shimadzu
Mulai penarikan, perhatikan mekanisme
yang terjadi
Tandai pada grafik titik UTS dan
fracturepoint
Lepaskan sampel dari mesin dan ukur panjang
dan diameter akhir
Mengamati karakteristik perpatahan, sketsa
Pengujian selesai
Hitung formulasi sesuai nilai-nilai yang
ditentukan
Mengulangi pengujian dengan material yang
berbeda
Finish
Mulai
Menghitung posisi sampel
Sketsa sampel, catat ukurannya
Tandai gaugelength dengan spidol
12
4. PENGOLAHAN DATA
a. Data Percobaan
i. Tabel Data
No Time (s) P (kgf) dL
(mm) ε
σ
(Mpa) εt σt(Mpa) Keterangan
1 0 0 0 0 0 0 0
2 8.44500 3301,37 0,35 0,01 412,40 0,007 415,297
3 8.45000 3303,296 0,35 0,01 412,64 0,007 415,542
4 8.46500 3307,03 0,35 0,01 413,10 0,007 416,016
5 8.48500 3310,513 0,35 0,01 413,54 0,007 416,461
6 8.49000 3312,053 0,35 0,01 413,73 0,007 416,657
7 8.50500 3314,776 0,35 0,01 414,07 0,007 417,004
8 8.52500 3317,681 0,35 0,01 414,44 0,007 417,378
9 8.53500 3318,693 0,36 0,01 414,56 0,007 417,508
10 8.54500 3319,992 0,36 0,01 414,72 0,007 417,674
11 8.56500 3321,586 0,36 0,01 414,92 0,007 417,883
12 8.57500 3322,05 0,36 0,01 414,98 0,007 417,944 Yield Strength
13 8.58500 3322,586 0,36 0,01 415,05 0,007 418,014
14 8.60500 3323,167 0,36 0,01 415,12 0,007 418,095
15 8.61500 3323,295 0,36 0,01 415,14 0,007 418,114
16 8.62500 3323,33 0,36 0,01 415,14 0,007 418,121
17 8.65000 3322,997 0,36 0,01 415,10 0,007 418,089
18 8.66000 3322,75 0,36 0,01 415,07 0,007 418,061
19 8.69000 3321,834 0,36 0,01 414,95 0,007 417,956
20 8.70000 3321,288 0,36 0,01 414,89 0,007 417,891
21 8.73000 3319,906 0,36 0,01 414,71 0,007 417,727
22 43.96000 4345,435 1,83 0,04 542,82 0,036 562,690
23 43.98000 4345,473 1,83 0,04 542,82 0,036 562,702
24 43.99500 4345,491 1,83 0,04 542,83 0,036 562,713
25 44.01000 4345,494 1,83 0,04 542,83 0,036 562,720
26 44.03000 4345,485 1,83 0,04 542,83 0,036 562,727
27 44.04000 4345,473 1,83 0,04 542,82 0,036 562,729
28 44.05000 4345,469 1,83 0,04 542,82 0,036 562,735
29 44.07000 4345,468 1,83 0,04 542,82 0,036 562,742
30 44.08500 4345,467 1,84 0,04 542,82 0,036 562,750
31 44.10000 4345,485 1,84 0,04 542,83 0,036 562,760
32 44.12000 4345,496 1,84 0,04 542,83 0,036 562,770
13
ALUMINIUM
No P (kg) dL (mm) ε σ (Mpa) εt σt(Mpa) Keterangan
0 0 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
1 600 0.125 0.003 79.658 0.002 79.857
2 1200 0.250 0.005 159.315 0.005 160.112
3 1578 0.375 0.008 185.868 0.007 187.262 Yield Strength
4 1600 0.500 0.010 192.506 0.010 194.431
5 1618 0.625 0.013 196.489 0.012 198.945
6 1628 0.750 0.015 203.127 0.015 206.174
7 1633 0.875 0.018 207.110 0.017 210.735
8 1636 1.000 0.020 209.765 0.020 213.961
9 1637 1.125 0.023 212.421 0.022 217.200
33 44.13500 4345,497 1,84 0,04 542,83 0,036 562,777 Tensile Strength
34 44.15500 4345,487 1,84 0,04 542,83 0,036 562,783
35 44.16000 4345,477 1,84 0,04 542,82 0,036 562,786
36 44.17500 4345,482 1,84 0,04 542,83 0,036 562,793
37 44.19000 4345,454 1,84 0,04 542,82 0,036 562,797
38 44.21000 4345,437 1,84 0,04 542,82 0,036 562,802
39 44.22500 4345,427 1,84 0,04 542,82 0,036 562,808
40 44.24500 4345,418 1,84 0,04 542,82 0,036 562,815
41 44.26000 4345,415 1,84 0,04 542,82 0,036 562,822
42 44.27500 4345,407 1,84 0,04 542,82 0,036 562,827
43 56.55000 3239,493 2,35 0,05 404,67 0,046 423,723
44 56.56500 3234,426 2,36 0,05 404,04 0,046 423,067
45 56.58500 3228,715 2,36 0,05 403,32 0,046 422,325
46 56.60000 3223,587 2,36 0,05 402,68 0,046 421,660
47 56.62000 3217,722 2,36 0,05 401,95 0,046 420,898
48 56.63500 3212,511 2,36 0,05 401,30 0,046 420,223
49 56.65000 3206,603 2,36 0,05 400,56 0,046 419,454
50 56.66000 3203,919 2,36 0,05 400,22 0,046 419,108
51 56.67500 3199,114 2,36 0,05 399,62 0,046 418,483
52 56.69000 3193,259 2,36 0,05 398,89 0,046 417,723
53 56.71000 3184,706 2,36 0,05 397,82 0,046 416,610 Breaking Strength
14
10 1639 1.250 0.025 215.076 0.025 220.453
11 1640 1.375 0.028 217.731 0.027 223.719
12 1650 1.500 0.030 219.059 0.030 225.631
13 1670 1.625 0.033 221.714 0.032 228.920
14 1690 1.750 0.035 224.369 0.034 232.222
15 1700 1.875 0.038 225.697 0.037 234.161
16 1740 2.000 0.040 227.025 0.039 236.106
17 1778 2.125 0.043 228.352 0.042 238.057 Tensile Strength
18 1776 2.250 0.045 233.663 0.044 244.178
19 1772 2.375 0.048 234.990 0.046 246.152
20 1767 2.500 0.050 236.318 0.049 248.134
21 1760 2.625 0.053 236.318 0.051 248.725
22 1750 2.750 0.055 237.646 0.054 250.716
23 1740 2.875 0.058 238.973 0.056 252.714
24 1735 3.000 0.060 238.973 0.058 253.312
25 1710 3.125 0.063 240.301 0.061 255.320
26 1640 3.250 0.065 240.301 0.063 255.920
27 1620 3.375 0.068 241.628 0.065 257.938
28 1573 3.500 0.070 241.628 0.068 258.542
29 1520 3.625 0.073 241.628 0.070 259.147
30 1490 3.750 0.075 241.628 0.072 259.751
31 1470 3.875 0.078 241.628 0.075 260.355
32 1420 4.000 0.080 241.628 0.077 260.959
33 1415 4.125 0.083 241.628 0.079 261.563
34 1370 4.250 0.085 241.628 0.082 262.167
35 1320 4.375 0.088 241.628 0.084 262.771
36 1310 4.500 0.090 241.628 0.086 263.375
37 1295 4.625 0.093 240.301 0.088 262.529
38 1270 4.750 0.095 238.973 0.091 261.676
39 1240 4.875 0.098 238.973 0.093 262.273
40 1230 5.000 0.100 237.646 0.095 261.410
15
41 1215 5.125 0.103 236.318 0.098 260.541
42 1200 5.250 0.105 233.663 0.100 258.197
43 1190 5.375 0.108 232.335 0.102 257.311
44 1140 5.500 0.110 231.007 0.104 256.418
45 1120 5.625 0.113 228.352 0.107 254.042
46 1110 5.750 0.115 227.025 0.109 253.132
47 1100 5.875 0.118 225.697 0.111 252.216
48 1080 6.000 0.120 223.042 0.113 249.807
49 1070 6.125 0.123 221.714 0.116 248.874
50 1065 6.250 0.125 220.386 0.118 247.935
51 1060 6.375 0.128 217.731 0.120 245.492
52 1058 6.500 0.130 215.076 0.122 243.036 Breaking Strength
Benda Uji Al Baja
Diameter benda uji, d (mm) 8,75 10,00
Luas Awal, Ao (mm²) 60,10 78,50
Luas Akhir, Af (mm²) 42,99 33,17
Panjang Awal, Lo (mm) 50 50
Panjang Akhir, Lf (mm) 56 66
Beban Luluh, kg 1578 3322
Beban Maksimum, kg 1778 4345
Beban putus, kg 1058 3184
Kekuatan Luluh, kg/mm² 26,26 42,32
UTS, kg/mm2 29,58 55,35
Elongasi, % 12,00 32,00
Tabel Sifat Mekanik Hasil Pengujian Tarik
16
ii. Foto Sampel
Aluminium (Al)
Sketsa perpatahan logam Al hasil uji tarik
Baja (Fe3C)
Sketsa perpatahan logam Fe3C hasil uji tarik
b. Contoh Perhitungan
Baja (Fe3C)
1. Regangan Rekayasa
ε = dL/Lo
= 0.36mm/ 50mm
= 0.01
17
2. Tegangan Rekayasa
σ = P/Ao
= 3322kg x 9.806 m/s2 /78,5 mm
2
= 414,98 MPa
3. Regangan Sesungguhnya
εT = ln (1 + ε)
= ln (1 + 0.01)
= 0.007
4. Tegangan Sesungguhnya
σT = σ (1 + ε)
= 414,98 (1 + 0.01)
= 417,944 MPa
5. Ultimate Tensile strength
UTS = Pmax/Ao
= 4345 kg / 78,5 mm2 x 9,806
= 542,77 MPa
6. % Elongasi Sampel
% elongasi = (Lf-Lo)/Lo x 100%
= (66- 50)/50 x 100%
= 32 %
7. % Reduksi
% reduksi = (Ao-Af)/Ao x 100%
= (78,5 – 33,17) / 78,5 x 100%
= 57,74 %
8. Modulus Elastisitas
E = σ /ε
= 414,98 Mpa / 0.01
= 41498 MPa
18
Aluminium (Al)
1. Regangan Rekayasa
ε = dL/Lo
= 0.375mm/ 50 mm
= 0.008
2. Tegangan Rekayasa
σ = P/Ao
= 1578 kg x 9.806 m/s2 / 60,1 mm
2
= 185,86 Mpa
3. Regangan Sesungguhnya
εT= ln (1 + ε)
= ln (1 + 0.008)
= 0.00747
4. Tegangan Sesungguhnya
σT = σ (1 + ε)
= 185,86 (1 + 0.008)
= 187.262 MPa
5. Ultimate Tensile strength
UTS = Pmax/Ao
= 1778 kg / 60,1 mm2 x 9.806
= 290,09 MPa
6. % Elongasi Sampel
%elongasi sampel = (Lf-Lo)/Lo x 100%
= (56 - 50)/50 x 100%
= 12 %
7. % reduksi
% reduksi = (Ao-Af)/Ao x 100%
= (60,1 – 42,9)/60,1x 100%
= 28,6 %
19
8. Modulus Elastisitas
E= σ /ε
= 185,86 Mpa / 0.008
= 23232 Mpa
c. Grafik
i. Grafik P vs dL
Aluminium (Al)
Baja (Fe3C)
20
ii. Grafik Engineering Stress-Strain
Aluminium (Al)
Baja (Fe3C)
0,000
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
0,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120 0,140
Stress vs Strain
0,000
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
0,000 0,050 0,100 0,150 0,200
Stress vs Strain
21
iii. Grafik True Stress-Strain
Aluminium (Al)
Baja (Fe3C)
0,000
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
0,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120 0,140 0,160 0,180
t
t
t vs t
22
5. PEMBAHASAN
A. Prinsip Pengujian
Definisi pengujian tarik ialah pengujian untuk mengetahui respon suatu
material terhadap Beban tarik yang diberikan. Mesin yang dipakai dalam
pengujian tarik ini adalah Universal testing machine (Servopulser Shimadzu
kapasitas 30 ton). Prinsip pengujian kali ini adalah meletakkan sampel pada mesin
dengan posisi vertikal. Lalu beban tarik akan diberikan, mekanisme yang terjadi
adalah sampel akan mengalami bebarap fase dari fase elastis sampai fase plastis.
Saat mencapai daerah plastis perubahan yang terjadi adalah pertambahan panjang
dari material dan pada akhirnya akan mencapai patah/putus.
Sampel yang digunakan adalah Fe3C dan Al dengan sampel yang sengaj
diberi Gauge Length supaya patahan yang dinginkan bisa terjadi di daerah
tersebut dan mudah diamat perubahan yang terjadi dengan panjang awal 50 mm.
Hasil dari pengujian ini adalah grafik antara Beban dengan perpanjangan
(elongasi). Setelah hasil dari pengujian ini selesai, kita harus mengkonversikan
menjadi nilai Stress dan Strain. Setelah kurva Stress-Strain didadapat, maka akan
didapatkan pula beberapa nilai yang menggambarkan kemampuan mekanik dari
material tersebut seperti, Batas Proporsional, Yield Point, Yield Strength, UTS,
Modulus Young, serta sifat keuletan dapat terlihat dari hasil perpatahan logam
yang diuji. Pengujian Tarik juga punya standar pengujian yaitu ASTM E8.
B. Analisis Grafik
1. Analisis Grafik P vs dL (Fe3C dan Al)
Grafik ini menunjukkan nilai yang dicatat secara otomatis oleh alat uji tarik
Shimadzu. Dua variabel yang penting dalam bentuk grafik yaitu beban secara
kontinyu (Kg) dan pertambahan panjang (dL) dari tiap pembebanan. Grafik stress
– strain didapat dari ini setelah dikonversikan dari P(kg) menjadi Stress dengan
dibagi Ao, lalu dari Elongasi (mm) dirubah menjadi Strain dengan dibagi Panjang
Awal.
Pada grafik diatas dapat disimpulkan bahwa Fe3C mempunyai keuletan
paling tinggi, lalu Al. Data ini sesuai dengan literatur walaupun terkadang terdapat
23
perbedaan. Perbedaan antara data dan literatur terhadap hasil praktikum bisa saja
disebabkan oleh cacat yang ada pada sampel tersebut. Karena cacat tersebut
sampel yang akan kita ujikan akan putus dengan beban yang lebih sedikit. Hal ini
bisa menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan dan menjadi tempat putus pada
saat penarikan dilakukan.
2. Analisis Grafik σ vs ε (Fe dan Al)
Pada grafik Engineering Stress dan Engineering Strain, kita akan melihat
beberapa titik yang merepresentasikan sifat mekanik logam Fe3C dan Al akibat
beban tarik yang diberikan.
Kuat Max (UTS)
Pada Grafik Engineering Stress dan Engineering Strain terlihat bahwa
logam Fe memiliki nilai UTS yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan logam
Al. Hal ini menunjukkan bahwa logam Fe3C memiliki kekuatan tarik yang lebih
tinggi. UTS merupakan beban maksimum yang mampu diterima oleh material saat
deformasi plastis terjadi.
Titik Luluh
Yield point yang tertera pada grafik menunjukkan bahwa logam Fe
memiliki Titik luluh yang paling tinggi dibandingkan dengan logam lainnya.
Alasan mengapa Fe3C memiliki titik luluh yang tinggi adalah karena saat logam
Fe3C diberikan beban atau tegangan, hal ini akan memicu dislokasi untuk
bergerak. Pergerakan dislokasi terjadi pada slip sistem dimana logam Fe3C yang
berstruktur BCC memiliki lebih sedikit slip sistem dibandingkan Al yang
memiliki struktur FCC. Sehingga akan semakin sulit untuk berubah dari fase
elastis menjadi plastis.
E (Modulus Young)
Berdasarkan grafik diatas, Modulous young Fe3C merupakan yang paling
tinggi. ini sesuai dengan literatur dimana E dari Baja sekitar 105 -200 Gpa, dan Al
Alloy 69-75 Gpa. Semakin tinggi nilai modulous young maka semakin kaku
24
material tersebut. karena semakin besar tegangan yang harus diberikan untuk
mendapatkan regangan yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh energi ikatan antar
atom.
Necking
Mekanisme penciutan (necking) untuk ditandai ketika material mulai
mengalami penciutan terhadap diameter awalnya atau pada saat kekuatan tarik
maksimumnya terlewati. Mekanisme penciutan ini terjadi karena adanya
pergerakan dislokasi akibat pemberian tegangan yang tinggi pada ujung dislokasi
yang diikuti oleh proses penggabungan rongga-rongga udara secara memanjang
melalui jembatan-jembatan material yang berada di antara rongga-rongga tersebut.
Pada pengujian tarik yang telah dilakukan, ketiga spesimen uji tarik yang terdiri
dari Fe3C dan Al menunjukkan adanya fenomena penciutan (necking) yang berarti
bahwa ketiga spesimen ini cukup ulet.
Pada grafik Proses Necking yang menghasilkan perpanjangan cukup lama
adalah Fe3C yang berarti dia memiliki keuletan yang cukup baik. Untuk Al
mungkin banyak faktor yang mempengaruhi seperti micro-crack sehingga
sebelum ditarik memang sudah ada rongga yang tercipta.
Keuletan
Keuletan atau ductility ketiga sampel ini bisa kita lihat dari perubahan
panjang atau % elongasi. Berdasarkan data yang ada, % elongasi terbesar dimiliki
oleh Fe3C 32 % lalu Al 12 %. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa struktur
kristal Al tidak mampu menghasilkan keuletan yang tinggi. Karena pada hasil
pengujian Fe3C mempunyai keuletan yang lebih tinggi daripada Al.
3. Analisis Grafik σt vs εt (Fe3C dan Al)
True stress dan True Strain merupakan kondisi yang akan dialami material
pada kehidupan nyata. Secara perhitungan, untuk mendapatkan true stress harus
dibagi dengan Luas area saat kondisi terakhir material tersebut, sedangkan pada
25
Engineering stress bisa didapat dengan dibagi luas penampang awal. Bisa dilihat
pada grafik bahwa nilai daru True Stress lebih besar dibanding dengan
engineering stress. Seharusnya bentuk grafik untuk true Stress adalah terus naik
ke atas. Karena nilai Af akan terus mengecil dan nilai Stress akan terus bertambah.
Dibandingkan dengan ketiga sampel, logam Fe3C tetap memiliki True Stress yang
paling tinggi.
4. Analisis Hasil Perpatahan
Pengamatan ini bertujuan untuk mengAnalisis data kualitatif berupa
bentuk patahan sampel. Bentuk patahan pada uji tarik memberikan informasi
apakah material uji bersifat ductile atau brittle. Berikut gambar perbandingan hasil
perpatahan ketiga sampel (Fe3C dan Al)
Dari data percobaan dapat disimpulkan bahwa semua sample bersifat ulet
(ductile), karena mengalami mekanisme necking. Necking adalah salah satu ciri
yang dimilki oleh material ductile. Selain itu, ketiga perpatahan memiliki patahan
yang berserabut (tidak rata) dan gelap (dull). Hal ini sesuai dengan Analisis
grafik yang ditampilkan sebelumnya. Pada spesimen Fe3C hasil perpatahan yang
dihasilkan berupa cup dan cone. Sedangkan pada spesimen Al bentuk patahannya
miring hampir 45o.
Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa proses perpatahan ini terjadi melalui
beberapa tahapan, yaitu : necking, pembentukan pori kecil pada material (di
tengah ataupun permukaan), penyebaran pori / lubang (cavities propagation),
untuk kemudian bergabung membentuk pori yang lebih besar dimana sumbu
panjangnya tegak lurus terhadap arah pembebanan. Penyebaran crack berlanjut
hingga pada akhirnya terjadi perpatahan akibat benda tidak mampu lagi menahan
beban yang ada.
26
6. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
UTS Logam Fe3C dan Al :
Fe3C = 542,77 MPa
Al = 290,09 MPa
Titik luluh secara urutan yaitu Fe3C dan Al
Fenomena necking terjadi pada ketiga sampel logam
Modulous Elastisitas Fe3C paling tinggi lalu Al
Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas luas penampang awal
dan kurva tegangan-regangan sesungguhnya didasarkan atas luas
penampang aktual.
Patahan yang terjadi menampakan adanya fibrous dan tidak memantulkan
cahaya, menunjukan bahwa termasuk patahan ulet.
B. Saran
Terlalu lama menghabiskan waktu untuk pada tahap membahas laporan
awal dan paper, sehingga praktikum kurang dapat dipahami
Asisten memberi informasi dengan jelas dan baik
Praktikum pengujian tarik menyenangkan karena suasana praktikum yang
nyaman
27
MODUL 2
PENGUJIAN KEKERASAN
1. Tujuan Praktikum
1 Menguasai beberapa metode pegujian yang umum dilakukan untuk
mengetahui nilai kekerasan suatu logam.
2 Menjelaskan makna nilai kekerasan material dalam lingkungan ilmu
metalurgi dan ilmu-ilmu terapan lainnya.
3 Menjelaskan perbedaan antara pengujian kekerasan dengan metode gores,
pantulan dan indentasi.
4 Menjelaskan kekhususan pengujian kekerasan dengan metode Brinell,
Vickers, Knoop, dan Rockwell.
5 Mengaplikasikan beberapa formulasi dasar untuk memperoleh nilai
kekerasan material dengan uji Brinell dan Vickers.
2. Dasar Teori
Kekerasan ( hardness ) merupakan kemampuan dari suatu bahan/ material
terhadap gaya tekan/ goresan/ pengikisan. Pengujian kekerasan adalah satu dari sekian
banyak pengujian yang dipakai, karena dapat dilaksanakan pada benda uji yang kecil
tanpa kesukaran mengenai spesifikasi. Pengujian paling banyak dipakai ialah dengan
menekankan penekan tertentu kepada benda uji dengan beban tertentu dan dengan
mengukur ukuran bekas penekanan yang terbentuk di atasnya, cara ini dinamakan cara
kekerasan penekanan.
Kekerasan merupakan ketahanan material terhadap deformasi plastis terlokalisir
(misalnya indentasi kecil atau gores). Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme
penggoresan (scratching), pantulan (rebound) ataupun indentasi dari material keras
terhadap permukaan benda uji. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3
metode uji kekerasan. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut , dikenal 3 metode
uji kekerasan :
2.1 Metode Goresan
Prinsip dari pengujian gores adalah menggoreskan permukaan benda uji dengan
material pembanding. Material yang tergores menunjukkan bahwa kekerasannya lebih
rendah dari material yang menggores. Namun, metode ini tidak banyak digunakan
28
dalam dunia metalurgi, namun masih dalam dunia mineralogi.
Metode ini dikenalkan oleh Friedrich Mohs yaitu dengan membagi kekerasan
material di dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs).
Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, nilai 10 sebagai skala
kekerasan tertinggi. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan material di dunia diwakili
oleh :
1. Talc 6. Orthoclase
2. Gipsum 7. Quartz
3. Calcite 8. Topaz
4. Fluorite 9. Corundum
5. Apatite 10. Diamond (intan)
Bila suatu material mampu digores oleh apatite (no.5 ) tetapi tidak mampu digores
oleh Fluorite (no.4) , maka kekerasan material tersebut berada anatar 4 dan 5.
Kekurangan utama metode3 ini adalah ketidakakuratan nilai kekerasan suatu material.
Bila kekerasan mineral-mineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya
berkisar antara 1 – 9 saja. Sedangkan nilai 9 – 10 memiliki interval yang besar (jarang
ditemukan).
2.2 Metode Pantulan (rebound)
Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat Scleroscope
yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu yang
dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji. Tinggi pantulan
(rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan
tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur, maka kekerasan benda uji
dinilai semakin tinggi.
2. 3. Metode Indentasi
Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan
indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu
material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan (tergantung
jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip bekerjanya metode uji
kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
29
2.3.1 Metode Brinell
Diperkenalkan oleh JA Brinell tahun 1900. Pengujian kekerasan ini dilakukan
dengan menggunakan bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan
beban dan waktu indentasi tertentu. Hasil penekanan berupa jejak yang berbentuk
setengah bola dengan permukaan lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya
dengan mikroskop khusus pengukur jejak.
Gambar 2.1. Prinsip indentasi dengan metoda Brinell
Prosedur pengujiannya yaitu dengan menggunkan indentor berbentuk bola
dengan diamter D= 10 mm terbuat dari baja atau karbida tungsten. Beban yang
diaplikasikan dapat dipilih sebesar 500, 1500, atau 3000 kg, tergantung jenis bahan
yang akan diuji (pada umumnya 3000 kg untuk logam-logam ferous dengan waktu
indentasi sekitar 10 detik dan 500 untuk logam-logam nonferous, dengan waktu
indentasi sebesar 30 detik) sehingga terbentuk jejak berupa lingkaran atau
cekungan yang simetris dipermukaan bahan dengan diameter d (mm). Besarnya
nilai kekerasan Brinnel (BHN= Brinell Hardness Number) dihitung dengan
menggunakan persamaan di atas.
2.3.2 Metode Vickers
Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut
136°. Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang
dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan
skala pada mikroskop pengukur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:
VHN 1.854 P
d2
dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar\
30
Gambar 2.2. Jejak pada metoda Vickers
Penggunaan indentor intan berbentuk piramid pada metode Vickers sangat
menguntungkan karena dapat digunakan untuk memeriksa bahan-bahan dengan
kekerasan tinggi. Di samping itu, bentuk dan geometri jejak yang dihasilkan tidak
banyak terpengaruh oleh besarnya beban yang diberikan sehingga besarnya beban
tidak perlu dikontrol terlalu ketat seperti halnya pada metode brinnel. Selain pada
skala makro, metode vickers dapat digunakan pada skala mikro, dengan
pembebanan sangat rendah, yaitu 1-1000 gram. Penampang jejek untuk uji ini
sangat bergantung dari sifat material yang akan diindentasi.
Gambar 2.3 Penampang hasil jejak metode Vickers
2.3.3 Metode Rockwell
Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers di mana kekerasan suatu bahan
dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan, maka metode ini merupakan uji
kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak
digunakan dalam industri karena praktis. Prinsip pengujian pada metode rockwell
yaitu dengan melakukan pembebanan sebanyak 2 tahap, dimana tahap pertama
31
adalah pembebanan minor untuk menentukan titik awal (starting point) dan tahap
kedua adalah pembebanan mayor (pembebanan utama) .
Tabel 2.1 Daftar Indentor untuk metode Rockwell
Indentor pada metode rockwell ini berbentuk kerucut dengan sudut 120o dari
intan dengan diameter 1/16 inch atau bola baja berdiameter 1/8 inch. Beban yang
digunakan bervariasi 60, 100, dan 150. Jenis indentor dan beban menentukan skala
kekerasan yang digunakan. Nilai kekerasan dapat langsung dibaca pada display
sehingga pengujian ini cukup banyak digunakan di industri.
Gambar 2.4. Penjejakan metoda Rockwell
32
2.3.4 Metode Knoop
Merupakan salah satu metoe micro-hardness, yaitu uji kekerasan dengan
benda uji yang kecil. Metode ini digunakan saat benda uji berukuran kecil atau tipis.
Disebut microhardness karena beban yang digunakan kurang dari 2N sedangkan
ketiga pengujian kekerasan diatas merupakan macrohardness karena beban yang
digunakan lebih besar dari 2 N.
Nilai kekerasan knoop adalah pembebanan dibagi dengan luas penampang
yang terdeformasi permanen. Jejak yang dihasilkan sekitar 0.01 mm- 0.1 mm dan
beban yang digunakan sebesar 5gr – 5 kg. Permukaan benda uji harus benar-benar
halus.
3. Metoda Penelitian
3.1 Alat dan Bahan
1. Hoytom macrohardness tester (metode Brinell, Vicker, dan Rockwell)
2. Buehler Micromet 2100 series microhardness tester (metode Vickers)
3. Micrometer
4. Measurin microscope
5. Sampel uji silinder pejal dan uji tarik (besi tuang, baja, tembaga dan
alumunium).
33
3.2 Diagram Alir Proses Pengujian
3.2.1 Proses Vickers
Mulai
Mengamplas bagian
grip sampel uji tarik
Meletakkan sampel
pada anvil dengan
posisi mendatar
Memilih indentor
dan beban yang
sesuai
Melakukan
pengujian pada
beberapa titik di
bagian grip
Mengukur
diameter jejak
Menghitung dan
membandingkan nilai
kekerasan dengan sampel
silinder
Melakukan pengujian
pada sampel lain
Selesai
34
3.2.2 Proses Brinell
Mulai
Menyiapkan
sampel
Memasang indentor
yang sesuai
Memasang beban yang
sesuai
Putar ring hingga jarum
menunjukkan angka
nol pada skala
Menyesuaikan skala
dengan metode
rockwell yang dipilih
Memutar poros
searah jarum jam,
untuk pre-load
Memutar tuas ke
belakang untuk
pembebanan
Mengembalikan tuas
ke posisi semula
Membaca nilai
kekerasan pada dial
Memutar poros
berlawanan arah
jarum jam
Melanjutkan pengujian
untuk lokasi dan
sampel lain
Selesai
35
3.2.3 Metode Rockwell
Mulai
Menyiapkan
sampel uji
kekerasan
Memasang indentor
Memilih beban
sesuai sampel uji
Memutar poros
searah jarum jam
Memutar poros
hingga menyentuh
batas merah
Memutar tuas ke
belakang untuk
melakukan indentasi
selama 10-15 detik
Memutar poros
berlawanan arah
jarum jam
Melakukan proses
untuk lokasi dan
sampel lainnya
Mengukur diameter
jejak indentasi
Menghitung nilai
kekerasan
Selesai
36
3.2.4 Metode Knoop (Mikro)
37
4. PENGOLAHAN DATA
a. Data Percobaan
i. Tabel
ii. Foto Sampel
Aluminum (Al)
Sketsa indentasi logam Al hasil uji keras
Tembaga (Cu)
Sketsa indentasi logam Cu hasil uji keras
Benda UjiNomor
IndentasiP (N) D (mm) d (mm)
dave
(mm)
BHN
(N/mm2)
BHNave
(N/mm2)
1 0,727 41
2 0,723 43,5
3 0,723 43
4 0,721 40
5 0,769 45
1 0,794 124,22
2 0,709 156,31
3 0,709 123,27
4 0,76 132,51
5 0,797 135,6
42,50
Tembaga 1000 3,175 0,754 134,38
Aluminum 1000 3,175 0,733
38
b. Contoh Perhitungan
Aluminum
BHN =
( √ )
=
( √ )
= 42,5
Tembaga
BHN =
( √ )
=
( √ )
= 134.38
c. Grafik
i. Grafik BHN vs beban (Al)
39
ii. Grafik BHN Vs P (Cu)
iii. Grafik BHN perbandingan rata-rata ketiganya
40
5. PEMBAHASAN
1. Prinsip Pengujian
Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengukur ketahanan material
terhadap deformasi plastis yang terlokalisir. Selain itu, pengujian kekerasan juga
dilakukan untuk mengukur nilai kekerasan material serta untuk memberikan
indikasi dari kekuatan tarik dan kemampuan material terhadap ketahanan aus.
Sampel uji yang digunakan ialah logam Al dan Cu. Waktu penjejakan ditentukan
selama 10 detik. Sedangkan beban yang diberikan pada masing-masing sampel
ialah Cu = 100 Kg dan Al = 100 Kg, dengan diameter indentor sebesar 3,175 mm.
Alat penguji kekerasan Brinell yang digunakan yaitu Hoytom Microhardness
Tester.
Penjejakan dengan metode Brinell ini dilakukan
sebanyak lima kali. Setelah dilakukan penjejakan lalu dilakukan pengukuran jejak
dengan menggunakan mikroskop. Dari lima buah data tersebut, dicari lebar
penjejakan rata-rata yang kemudian datanya diolah untuk dicari nilai kekerasan
BHN. Pengukuran nilai kekerasan suatu material dapat dilihat pada rumus di
bawah ini.
22
2dDD
D
PBHN
BHN = Brinell hardness number (Nilai kekerasan Brinell)
P = Beban Indentasi (kg)
D = Diameter Indentor (mm)
d = Diameter jejak (mm)
41
2. Analisis Grafik
2.1 Analisis Grafik BHN vs Beban (Al)
Hampir sama dengan sampel Cu, sampel Al juga memiliki kekerasan Al
yang berbeda-beda. Nilai kekerasan tertinggi pada sampel Al terdapat pada
indentasi kelima yaitu nilai kekerasannya 45 N/mm2.
Sama halnya dengan sampel Cu, grafik BHN vs beban sampel Al tidak
memiliki deviasi yang signifikan. Deviasi yang terjadi biasanya disebabkan oleh
ketidak-akuratan selama pembacaan diameter jejak. Letak indentasi yang cukup
berjauhan turut membantu dalam pengurangan deviasi BHN akibat strain
hardening yang terjadi.
2.2 Analisis Grafik BHN vs Beban (Cu)
Pada grafik BHN vs beban sampel Cu, kembali didapatkan nilai kekerasan
yang berbeda seperti halnya Al. Terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara
indentasi yang pertama dan kedua. Pada indentasi pertama BHN-nya
menunjukkan 124.22 N/mm2, sedangkan pada indentasi kedua nilai BHN-nya
156.31 N/mm2.
Pada indentasi ketiga, nilai kekerasan BHN-nya tidak terlalu berbeda
dengan nilai kekerasan pada indentasi yang pertama. Nilai BHN-nya adalah
123.27 N/mm2. Perbedaan ini diakibatkan juga seperti dialami oleh spesimen Al
yaitu kurang sempurnanya pengamplasan pada permukaan spesimen sehingga
masih ada lapisan oksida pada beberapa bagian permukaan.
2.3 Analisis Grafik BHN vs Sampel
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, didapat nilai kekerasan yang
berbeda antara sampel Cu dan Al. Nilai kekerasan ketiga sampel uji tersebut
dihitung rata-ratanya dan didapat dari data.
Nilai kekerasan tertinggi dimiliki oleh Cu. Hal ini sesuai dengan literature.
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kesalahan pada nilai kekerasan.
Antara lain pengamplasan sampel yang kurang baik sehingga masih ada lapisan
oksida pada beberapa bagian permukaan, serta pembacaan dengan menggunakan
mikroskop juga mempengaruhi nilai kekerasan.
42
Nilai kekerasan Cu lebih tinggi dari Al dapat dikarenakan beberapa faktor,
salah satu struktur kristalnya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Cu memiliki
struktur kristal BCC dan Al memiliki struktur kristal FCC. Struktur kristal FCC
memiliki slip sistem yang lebih banyak dari FCC yaitu berjumlah 12 buah.
Semakin banyaknya slip sistem maka dislokasi akan semakin mudah bergerak,
sehingga material dengan struktur FCC memiliki sifat mekanik yang lunak.
Dikarenakan sifat mekanik inilah maka Al memiliki ketahanan terhadap
pembebanan indentasi yang rendah tidak seperti Cu yang memiliki ketahanan
pembebanan yang cukup tinggi. Ketahanan terhadap pembebanan ini disebabkan
karena struktur kristal BCC memiliki slip sistem yang lebih sedikit daripada
struktur FCC sehingga dislokasi tidak bergerak semudah di dalam struktur FCC,
dan menyebabkan material dengan struktur BCC lebih keras.
2.4 Analisis Hubungan Nilai Kekerasan dengan Sifat Lain
Nilai kekerasan memiliki hubungan dengan kekuatan tarik pada logam.
Hal ini ditunjukkan pada grafik:
Sesuai persamaan: TS (MPa) = 3.45 x HB atau TS (psi) = 500 x HB
Dari grafik dan persamaan di atas, dapat kita lihat bahwa kekuatan tarik
(TS = Tensile Strength) berbanding lurus dengan kekerasan (HB = Hardness
Brinell). Sehingga dapat kita simpulkan, Cu memiliki kekuatan tarik yang paling
besar dibandingkan dengan Al dan berbanding lurus dengan kekerasannya. Selain
itu, nilai kekerasan juga berhubungan dengan tingkat resistansinya terhadap aus.
43
Semakin keras material, maka ketahanan ausnya semakin tinggi. Ini berarti Cu
memiliki ketahanan aus yang paling tinggi dibanding Al.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Terdapat Beberapa metode pengujian Kekerasan : Metode Brinell,
Rockwell, dan Vickers serta Knoop yang umum digunakan saat ini
Faktor yang mempengaruhi nilai kekerasan Brinell :
1. Beban
2. Diameter Identor
3. Diameter Jejak
Dengan rumus :
( ( √
Urutan nilai kekerasan pada sampel uji : Cu – Al.
1. Kekerasan Cu = 134.38 BHN
2. Kekerasan Al = 42,5 BHN
Terdapat formula antara kekerasan dan kekuatan tarik :
UTS (MPa) = 3,45*HB
UTS (psi) = 500*HB
B. Saran
Asisten memberikan informasi dengan jelas dan baik.
Terlalu lama menghabiskan waktu untuk membahas laporan awal dan
paper, sehingga praktikan kurang memahami praktikum yang
dilakukan.
Praktikum pengujian keras menyenangkan karena suasana praktikum
yang nyaman.
44
MODUL 3
PENGUJIAN IMPAK
1. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Menjelaskan tujuan dan prinsip dasar pengukuran harga impak dari logam.
2. Mengetahui temperatur transisi perilaku kegetasan baja struktural ST 42.
3. MengAnalisis permukaan patahan (fractografi) sampel impak yang diuji
pada beberapa temperatur.
4. Membandingkan nilai impak beberapa jenis logam.
5. Menjelaskan perbedaan metode Charpy dan Izod.
2. PRINSIP PENGUJIAN
Pengujian impak berbeda dengan pengujian tarik dan pengujian kekerasan.
Perbedaannya terletak pada pemberian beban atau pembebanannya. Untuk pengujian
tarik dan pengujian kekerasan, pembebanan dilakukan secara perlahan-lahan.
Sedangkan untuk pengujian impak, merupakan pengujian yang mengukur ketahanan
beban terhadap beban kejut.
Pengujian impak merupakan suatu upaya untuk mensimulasikan kondisi operasi
material yang sering ditemui dalam perlengkapan konstruksi dan transportasi dimana
beban tidak selamanya terjadi secara perlahan-lahan melainkan datang secara tiba-tiba,
misalnya deformasi pada bumper mobil pada saat kecelakaan.
Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum
beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk beban uji sehingga
beban uji mengalami deformasi.
Gambar 3.1 dibawah ini menunjukkan salah satu metode menentukan kekuatan
impak suatu. Gambar di bawah ini memberikan ilustrasi suatu pengujian impak dengan
metode Charpy:
45
Gambar 3.1. Mekanisme pengujian impak
Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan
dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi
yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan
metode Charpydiberikan oleh :
dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di
bawah takik dalam satuan mm2.
dimana : P = beban yang diberikan (Newton)
Ho= ketinggian awal bandul (mm)
H1= ketinggian akhir setelah terjadi perpatahan benda uji (mm)
Benda uji impak dikelompokkan kedalam dua golongan sampel standar (ASTM
E-23) yaitu batang uji Charpy (Metode Charpy - USA) dan batang uji Izod ( Metode Izod –
Inggris dan Eropa).
46
1. Batang Uji Charpy
Sampel uji memiliki dimensi ukuran yaitu 10x10x55 mm (tinggi x lebar x panjang).
Dengan posisi takik (notch) berada di tengah, kedalaman takik 2 mm dari permukaan
benda uji, dan sudut takik 45°. Bentuk takik berupa huruf bentuk U, V, key hole ( seperti
lubang kecil). Benda diletakkan pada tumpuan dengan posisi horisontal dan tidak dijepit.
Hal ini menyebankan pengujian berlangsung lebih cepat, sehingga memudahkan untuk
melakukan pengujian pada temperatur transisinya. Sedangkan ayunan bandul dari arah
belakang takik dengan pembebanan dilakukan dari arah punggung takik.
Gambar 3.2. Sampel uji impak Charpy
2. Batang Uji Izod
Sampel uji memiliki dimensi ukuran yaitu 10 x 10 x 75 mm (tinggi x lebar x
panjang). Dengan posisi takik berada pada jarak 28 mm dari ujung benda uji, kedalaman
takik 2 mm dari permukaan benda uji, dengan sudut takik 45°. Bentuk takik berupa
huruf U, V , atau key hole (seperti lubang kunci). Benda diletakkan pada tumpuan
dengan posisi vertikal dan dijepit. Sampel yang dijepit menyebabkan pengujian
berlangsung lama, sehingga tidak cocok digunakan pada pengujian dengan temperatur
yang bervariasi. Sedangkan ayunan bandul dari arah depan takik dengan pembebanan
dilakukan dari arah muka takik.
Gambar 3.3. Sampel uji impak izod
47
Pengukuran lain yang bisa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah
penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fractografi)
yang terjadi. Secara umum perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis perpatahan,
yaitu :
1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme
pergeseran bidang-bidang kristal di dalam material / logam (logam) yang ulet
(ductile).
2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan
(cleavage) pada butir-butir dari material / logam (logam) yang rapuh (brittle).
3. Perpatahan campuran, merupakan kombinasi kedua jenis perpatahan di atas.
Informasi lain yang dapat diperoleh dari pengujian impak adalah
temperatur transisi bahan.
Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi perubahan
jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda. Pada
pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat bahwa pada
temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada temperatur
rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini berkaitan dengan
vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana pada temperatur
kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi
tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa energi panas merupakan suatu driving
force terhadap pergerakan partikel atom bahan). Dengan meningkatnya vibrasi vacancy
akan semakin tinggi dan dengan begitu dislokasi akan sangat mudah bergerak. Dengan
semakin mudahnya dislokasi bergerak deformasi menjadi lebih tinggi dimana derajat
deformasi yang tinggi merupakan salah satu ciri keuletan.
Sebaliknya pada temperatur di bawah 0OC, vibrasi atom relatif sedikit sehingga
pada saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi tidak terlalu berperan dalam
terjadinya perpatahan ketika uji impak dilakukan. Ketika beban terjadi tiba-tiba pada
material dengan temperatur rendah maka patahan terjadi karena putusnya ikatan antar
atom, mode perpatahan yang terjadi adalah patahan getas dengan begitu perpatahan
energi yang relatif lebih rendah. Informasi mengenai temperatur transisi menjadi
demikian penting bila suatu material akan didisain untuk aplikasi yang melibatkan
rentang temperatur yang besar, misalnya dari temperatur dibawah 0OC hingga
temperatur tinggi di atas 100OC. Contoh sistem penukar panas (heat exchanger). Hampir
48
semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal FCC seperti tembaga dan
aluminium bersifat ulet pada semua temperatur sementara bahan dengan kekuatan
luluh yang tinggi bersifat rapuh
Pengukuran lain yang bisa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah
penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fractografi)
yang terjadi. Secara umum perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis perpatahan,
yaitu :
1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme
pergeseran bidang-bidang kristal di dalam material / logam (logam) yang ulet
(ductile).
2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan
(cleavage) pada butir-butir dari material / logam (logam) yang rapuh (brittle).
3. Perpatahan campuran, merupakan kombinasi kedua jenis perpatahan di atas.
Bahan keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh yang
rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir
semua baja karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya
bersifat rapuh pada temperatur rendah. Gambar di samping ini memberikan ilustrasi
efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa bahan.
Gambar 3.4. Grafik efek temperatur terhadap kekuatan impak
49
3. METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
1. Impact testing machine (metode Charpy) kapasitas 30 Joule.
2. Caliper dan/atau micrometer
3. Stereoscan macroscope
4. Termometer
5. Furnace
6. Sampel uji impak baja ST 42 dan Cu-Zn (3 buah)
7. Dry ice
3.2 Diagram Alir
MULAI
Mengukur luas area dibawah takik
Menyiapkan sampel uji untuk
temperatur rendah &
temperatur tingi
Uji sampel dengan berbagai
macam temperatur
Memastikan jarum merah pada posisi nol
Menaikkan pendulum
Meletakkan benda uji pada tempatnya
Melepaskan tombol hingga pendulum berayun
Menarik tuas rem
Membaca nilai pada skala
Menghitung nilai impak
Mengamati permukaan
patahannya
Buat sketsa patahan dan
mengukur luas area getas – ulet
(% luas area dibawah takik
Mengulangi pengujian untuk
sampel lain
Mengulangi pengujian untuk
sampel yang lain
SELESAI
50
4. PENGOLAHAN DATA
a. Data Percobaan
i. Tabel
Keterangan :
a = tinggi daerah bawah takik (mm)
b = lebar sampel (mm)
A = luas penampang bawah takik (mm2)
E = Energi yang diserap (Joule)
HI = Harga Impak (Joule/mm2)
ii. Foto Sampel
1. Fe dan Al pada Temperatur Tinggi
Bahan T (°C) a (mm) b (mm) A (mm²)E
(Joule)
HI
(Joule/mm²)
Deskripsi
Patahan
-20 7,95 9,95 79,10 14 0,177 Getas
23 7,3 9,45 68,99 85 1,232 Fibrous
170 8,6 9,9 85,14 95 1,116 Fibrous
-20 7,95 9,9 78,71 17 0,216 Getas
23 7,21 9,4 67,77 22 0,325 Fibrous
120 8,25 9,95 82,09 25 0,305 Fibrous
Fe
Al
51
2. Fe dan Al pada Temperatur Rendah
3. Fe dan Al pada Temperatur Ruang
b. Contoh Perhitungan
Harga Impak (HI) sampel Fe pada temperatur ruang
a = 7,3 mm
b = 9,45 mm
A = a x b = 68,99 mm2
E = 85 Joule
52
Harga Impak (HI) sampel Al pada temperature ruang
a = 7.21 mm
b = 9,4 mm
A = 67,77 mm2
E = 22 Joule
c. Grafik
Grafik HI vs T (Fe)
53
Grafik HI vs T (Al)
5. PEMBAHASAN
1. Prinsip Pengujian
Pengujian impak adalah pengujian untuk mengukur ketahanan material
terhadap beban kejut, terutama yang akan dipakai pada temperatur yang
bervariasi. Dasar dari pengujian impak iniadalah penyerapan energi potensial dari
pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk
benda uji hingga terdeformasi sampai titik maksimum yang mengakibatkan
perpatahan. Pengujian impak menghitung banyaknya energi yang diserap oleh
bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau
ketangguhan bahan tersebut. Semakin tangguh suatu material maka material
tersebut memiliki kemampuan untuk menyerap energi dari beban kejut yang besar
tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan mudah.
Secara umum, uji impak dikelompokkan dalam 2 golongan sampel standar
(ASTM E-23) yaitu batang uji Charpy dan Izod. Pada pengujian yang dilakukan
oleh praktikan, metode yang digunakan dalam pengujian adalah metode dengan
batang uji Charpy. Batang uji Charpy ini digunakan karena praktikan juga akan
mengukur harga impak sampel dalam temperatur yang bervariasi.
Al
54
Gambar Pengujian Impak
Pengujian impak ini akan menghasilkan data untuk mengetahui energi
yang mampu diterima material. Cara ini dapat dilakukan dengan mengamati
permukaan patahan benda uji. Ada 3 macam jenis patahan yang kita ketahui,
antara lain: patahan berserat (fibrous), patahan granular/kristalin dan patahan
campuran. Data lain yang dapat diketahui dari pengujian impak ini adalah
temperatur transisi bahan.
Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi
perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-
beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda, kita dapat melihat
bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile), sedangkan pada
temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Informasi
mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila suatu material akan
didesain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur yang besar, misalnya
dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga temperatur tinggi di atas 100
derajat Celcius.
Variasi temperatur pada pengujian kali ini meliputi 3 suhu, yaitu: di bawah
suhu ruangan, pada suhu ruangan, dan di atas suhu ruangan. Masing-masing
temperatur tersebut digunakan pada sampel besi (Fe) dan aluminium (Al).
Untuk mengkondisikan temperatur di bawah temperatur ruangan, sampel
55
dicelupkan dalam nitrogen cair. Sedangkan untuk suhu di atas temperatur ruang,
sampel dipanaskan di atas heater.
2. Analisis Grafik HI vs T
Dari kedua grafik terdapat perbedaan mengenai harga impak dari material
yang mengalami pengkondisian yang berbeda (temperature). Perbedaan harga
impak tersebut mengindikasikan adanya perubahan sifat mekanis dari logam.
Tingkat keuletan dari logam berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan oleh
hubungan dengan jenis perpatahan dari material ketika material diberikan beban.
Terjadi transisi dari logam yang cenderung logam menjadi lebih ductile, ataupun
sebaliknya.
2.1 Analisis Grafik HI vs T (Fe)
Dari grafik hubungan antara harga impak dan temperature uji dari Fe,
bahwa kurva harga impak Fe dari temperature rendah hingga temperature ruang
mengalami kenaikan kemudian mengalami penurunan lagi pada saat temperatur
Fe diatas temperatur ruang. Perubahan dalam harga impak tersebut tentunya
menunjukkan bahwa adanya perubahan temperature pada besi dapat merubah atau
minimal mempengaruhi sifat mekanis dari besi tersebut. Naiknya harga impak
tentunya mengindikasikan kemampuan besi dalam menyerap energi menjadi lebih
baik. Atau pengkonversian energi potensial dari bandul berlangsung secara lebih
maksimal. Sehingga material akan memiliki sifat yang cenderung lebih ulet.
Dari grafik terlihat bahwasanya nilai harga impak paling rendah terjadi
pada kondisi temperatur besi dengan temperature paling rendah, dan mengalami
peningkatan yang konstan hingga temperature ruang, sehingga melalui uraian
pada paragraph sebelumnya dapat disimpulkan bahwa besi sangat brittle pada
temperature rendah dan cenderung meningkat keuletannya pada temperature yang
lebih tinggi.
56
2.2 Analisis Grafik HI vs T (Al)
Grafik HI vs T pada Al mengalami perubahan harga impak meningkat
sesuai dengan peningkatan suhu, namun saat suhu Al diatas temperatur ruangan,
harga impak Al mengalami penurunan dari harga impak Al saat temperatur
ruangan. Jika dibandingkan dengan grafik HI vs T (Fe), maka harga impak Al
lebih rendah dari harga impak Fe. Hal ini disebabkan oleh susunan atom yang
mana susunan atom Fe lebih rapat dibandingkan Al, selain susunan atom, solid
solution yang terdapat Al dan Fe juga menjadi penyebab perbedaan harga impak.
3. Analisis Temperatur Transisi
Temperatur transisi merupakan temperatur yang menunjukkan perubahan
jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-beda.
Informasi mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila suatu
material akan didesain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur yang
besar, misalnya dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga temperatur
tinggi di atas 100 derajat Celcius, contohnya sistem penukar panas (heat
exchanger).
3.1 Analisis Temperatur Transisi (Fe)
Berdasarkan grafik Fe, material ini memiliki temperature transisi karena
memiliki peningkatan HI dari temperature rendah ke temperature tinggi yang
cukup besar.Temperatur transisi terjadi pada Fe, karena Fe merupakan logam
yang memiliki struktur kristal BCC. Menurut literatur, struktur kristal ini
mengalami transisi perpatahan ulet ke getas jika temperature diturunkan. Material
BCC akan bersifat rapuh pada temperature rendah karena kekuatan luluhnya
meningkat sedangkan bersifat ulet pada temperature tinggi karena kekuatan
luluhnya menurun.
3.2 Analisis Temperatur Transisi (Al)
Pada grafik Harga Impak (HI) versus Temperatur (T) untuk spesimen Al
bahwa peningkatan Harga Impak (HI) terlihat konstan. Berdasarkan data hasil
57
pengujian dapat disimpulkan bahwa Al mengalami fenomena temperatur transisi
ulet-getas pada rentang temperatur yang diujikan. Hal ini disebabkan karena Al
memiliki struktur kristal FCC.
Material dengan struktur FCC memiliki kepadatan atom yang lebih tinggi
dibandingkan dengan material BCC, sehingga pada saat terjadi pemanasan, vibrasi
atom yang terjadi pada material FCC tidak leluasa bergerak seperti pada BCC
yang lebih renggang. Dampaknya adalah vibrasi atom yang terjadi pada material
FCC tidak terlalu memengaruhi harga impak pada temperatur berapapun. Hal ini
seperti yang terlihat pada grafik bahwa tidak terjadi kenaikan harga impak yang
drastis pada perubahan temperatur yang dilakukan.
4. Analisis Hasil Perpatahan untuk Tiap Sampel pada Tiap T
4.1 Analisis Perpatahan (Fe)
Dari hasil deskripsi patahan yang telah difoto, dapat dilihat bahwa pada
logam Fe dengan kondisi temperature 230C memiliki bentuk patahannya yang
keseluruhan datar (hanya terdapat slope akibat dari penempatan sampel uji yang
tidak pas) dan terlihat terang (shiny) dimana menunjukkan bentuk patahan yang
getas. Pada temperatur ruang, Fe menunjukkan patahan campuran yang berserat
sekaligus granular. Namun pada temperatur 170°C, patahan yang dihasilkan
mirip dengan cup and cone, menunjukkan bahwa material tersebut bersifat sangat
ulet.
Pada suhu tinggi, harga impak dari Fe terjadi penurunan karena baja yang
digunakan adalah baja medium-to-high carbon steel dimana persentase karbonnya
cenderung tinggi sehingga menyebabkan atom-atom interstisi saat suhu dinaikkan
menjadi lebih sedikit akibat memiliki kandungan karbon yang cukup banyak.
4.1 Analisis Perpatahan (Al)
Dari hasil deskripsi patahan yang telah difoto, dapat dilihat bahwa pada
logam Al dengan kondisi temperature 230C memiliki bentuk patahannya yang
keseluruhan datar (hanya terdapat slope akibat dari penempatan sampel uji yang
tidak pas) dan terlihat gelap (shiny) dimana menunjukkan bentuk patahan yang
getas. Pada temperatur ruang, Fe menunjukkan patahan campuran yang berserat
58
sekaligus kasar. Namun pada temperatur tinggi, patahan yang dihasilkan mirip
dengan memiliki bentuk yang lebih kecil patahannya, menunjukkan bahwa
material tersebut bersifat sangat ulet.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
- Pengujian impak digunakan untuk mengetahui ketangguhan suatu material
terhadap pembebanan secara tiba-tiba (kejut).
- Semakin besar ketangguhan material, maka ketahanan impaknya semakin
bagus
- Temperatur mempengaruhi kegetasan atau keuletan dari suatu material.
- Semakin tinggi temperatur, maka material akan bersifat ulet atau ductile
dan begitu pula sebaliknya.
- Jika suhu pada material yang diuji telah melewati batas suhu maksimum
terhadap harga impak maksimum, maka harga impak akan mengalami
penurunan.
- Berdasarkan hasil pengujian, harga impak Fe lebih tinggi dari Al, sehingga
dapat disimpulkan bahwa Fe lebih tangguh jika dibandingkan dengan Al.
B. Saran
Asisten tidak memberikan informasi dengan jelas dan baik.
Terlalu singkat waktu untuk membahas laporan awal dan paper,
sehingga praktikan kurang memahami praktikum yang dilakukan.
Praktikum pengujian impak menyenangkan karena suasana praktikum
yang nyaman.