33
Laporan Praktikum Toksikologi Industri Pemeriksaan SGPT sebagai Biomarker Keracunan Zat Hepatotoksin Asisten : M. Julian Aldwin KIA006 Oleh Kelompok : 1. Hanna Chris S.R G1B007030 2. Ayu Pramita D G1B007032 3. Amazonia Dhita G1B007036 4. Subekhan G1B007038 5. Arie J Putra G1B007042 6. Viola Nindita P G1B007054 7. Valentina Ratna MRA G1B007058 8. Dina Fajar O G1B007062 9. Imam Apriyana G1B007072 10. Yunanto Eko N G1B007074 11. Sri Utami G1B007076 12. Seni Oktaviani G1B007128

Laporan Praktikum Toksikologi Industri

  • Upload
    hriesti

  • View
    1.161

  • Download
    11

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Pemeriksaan SGPT sebagai Biomarker Keracunan Zat Hepatotoksin

Asisten : M. Julian Aldwin KIA006

Oleh Kelompok :

1. Hanna Chris S.R G1B0070302. Ayu Pramita D G1B0070323. Amazonia Dhita G1B0070364. Subekhan G1B0070385. Arie J Putra G1B0070426. Viola Nindita P G1B0070547. Valentina Ratna MRA G1B0070588. Dina Fajar O G1B0070629. Imam Apriyana G1B00707210. Yunanto Eko N G1B00707411. Sri Utami G1B00707612. Seni Oktaviani G1B007128

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILKU KESEHATAN JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT

PURWOKERTO2009

Page 2: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

I. PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum

Pemeriksaan aktivitas enzim SGPT dengan metode IFCC sebagai biomarker

keracunan boraks.

B. Tanggal Praktikum

Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 Nopember 2009.

C. Tujuan Praktikum

1. Mengukur kadar SGPT dengan metode IFCC

2. Dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan SGPT pada saat praktikum setelah

membandingkannya dengan nilai normal

3. Mengetahui efek keracunan zat hepatotoksin.

D. Dasar Teori

Enzim merupakan katalisator yang menggalakkan reaksi, tanpa ikut

serta dalam reaksi dalam proses metabolisme tubuh. Penyebab kenaikan

enzim:

1. Kematian sel, nekrosis, kebocoran membran sel

2. Adanya stimulasi pada sel

3. Bertambahnya populasi sel

4. Adanya penurunan ekskresi dalam plasma

Penyebab penurunan enzim:

1. Penurunan populasi sel

2. Keadaan malnutrisi

Pengukuran konsentrasi enzim secara langsung sangat sukar dilakukan

sehingga ditempuh cara dengan mengukur aktivitas katalitiknya yang akan

dapat menunjukkan konsentrasi enzim. Enzim dari kelas aminotransferase

atau transaminase berfungsi mengkatalisis perpindahan secara reversible satu

Page 3: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

gugus amino dari asam amino menjadi asam amino alfa keto. Ada dua macam

enzim transaminase yaitu Alanin amino ransferase (ALT)/Glutamat Pyruvat

Transferase (GPT) dan Aspartat Amino Transferase (AST)/Glutamat

Oxaloacetat (GOT).

Pengukuran kadar enzim digunakan sebagai alat bantu diagnostic

penyakit tertentu. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT selain dapat

menunjukkan adanya kelainan pada hepar juga dapat digunakan sebagai

biomarker keracunan hepetotoksin.

E. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Spuit 3cc

b. Torniquet

c. Flakon

d. Sentrifuse

e. Wppendorf

f. Tabung reaksi 5 ml

g. Mikropipet (100µl-100 µl)

h. Blue tip

i. Kuvet

j. Spektrofotometer

2. Bahan

a. Sampel darah

b. EDTA

c. Reagen 1 = enzim (buffer)

d. Reagen 2 = starting reagen (substrat)

Page 4: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

F. Cara Kerja

1. Membuat working reagen

Reagen 1 sebanyak 4 cc dicampurkan dengan reagen 2 sebanyak 1 cc

(perbandingan reagen 1 dan 2 adalah 4:1).

2. Darah dari probandus diambil sebanyak 3 cc dengan

spuit.

3. Setelah itu dimasukkan ke dalam eppendorf yang

sudah diberi EDTA sebanyak 10 µl.

4. Melakukan sentrifuse pada eppendorf selama 10 menit

dengan kecepatan 4000 rpm.

5. Mengambil plasma sebanyak 200 µl dan

mencampurnya dengan working reagen sebanyak 1 cc.

6. Membaca absorbansinya pada spektrofotometer

dengan panjang gelombang 340 nm dan nilai factor 952. Kode parameter

SGPT pada spektro adalah n0 30 menggunakan metode kinetik.

G. Nilai Normal

Perempuan = 0-17 U/L

Laki-laki = 0-22 U/L

Page 5: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

II. PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

Diukur absorbansi dengan

spektrofotometer pada panjang

gelombang 340 nm

Hasil pengamatan tidak menunjukkan hasil pembacaan absorbansi. Hal ini

disebabkan darah sampel mengalami hemolisis saat dilakukan sentrifugasi.

Hemolisis darah membuat sampel tidak bisa diukur atau tidak layak diukur

dengan menggunakan spektrofotometer.

B. Hasil perhitungan

1. Nama probandus : Imam Apriana

2. Jenis kelamin : Laki-laki

3. Usia : 20 Tahun

4. Kadar hasil praktikum : -

Nilai Normal pada :

Perempuan : 0-17 U/L.

Laki-laki : 0-22 U/L.

Hasil perhitungan tidak bisa diketahui karena sampel tidak bisa diukur

sehingga data tidak didapatkan.

Working Reagent 1ml

Plasma200 µl.

Page 6: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

C. Pembahasan

Boraks merupakan garam natrium yang banyak digunakan di berbagai

industri non pangan, khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, dan

keramik. Boraks biasa berupa serbuk kristal putih, tidak berbau, mudah larut

dalam air, tetapi boraks tidak larut dalam alkohol. Boraks biasa digunakan

sebagai pengawet dan antiseptik kayu. Daya pengawet yang kuat dari boraks

berasal dari kandungan asam borat di dalamnya.

Asam borat sering digunakan dalam dunia pengobatan dan kosmetika.

Misalnya larutan asam borat dalam air digunakan sebagai obat cuci mata dan

dikenal sebagai boor water. Asam borat juga digunakan sebagi obat kumur,

semprot hidung, dan salep luka kecil. Namun bahan ini tidak boleh diminum

atau digunakan pada luka luas, karena beracun ketika terserap masuk dalam

tubuh.

Berikut beberapa pengaruh boraks pada kesehatan :

a. Tanda dan gejala akut

Muntah-muntah, diare, konvulsi, dan depresi sistem saraf pusat.

b. Tanda dan gejala kronis

Nafsu makan menurun, gangguan pencernaan, gangguan sistem saraf pusat

(bingung, dan bodoh), anemia, rambut rontok, dan kanker.

Boraks merupakan bahan tambahan yang sangat berbahaya bagi

manusia karena merupakan racun. Bila terkonsumsi dalam konsentrasi tinggi

racunnya akan mempengaruhi kerja syaraf. Secara awam kita tidak dapat

mengetahui seberapa besar kadar konsentrat boraks yang digunakan dalam

suatu makanan. Oleh karena itu lebih baik hindari makanan yang mengandung

boraks.

Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks memang tidak serta

berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi

sedikit karena diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Seringnya

mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan

Page 7: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

gangguan otak, hati dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan

demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, meransang sistem syaraf pusat,

menimbulkan depresi apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal,

pingsan hingga kematian.

Masuknya boraks yang terus-menerus, akan menyebabkan rusaknya

membran sel hepar, kemudian diikuti kerusakan pada sel parenkim hepar. Hal

ini terjadi karena gugus aktif boraks B=0 akan mengikat protein dan lipid tak

jenuh sehingga menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid dapat merusak

permaebilitas sel karena membran sel kaya akan lipid, sebagai akibatnya semua

zat dapat keluar masuk ke dalam sel.

Pada waktu sel-sel hepar rusak akan menyebabkan induksi enzim yang

berada di dalam sel hepar (enzim intraseluler) sehingga enzim tersebut akan

dilepaskan ke dalam darah. Enzim hepar tersebut antara lain Glutamat Piruvat

Transaminase atau GPT. Peningkatan kadar SGPT dan SGOT dalam darah

dapat dijadikan indikator biologis tidak langsung untuk keracunan boraks.

Salah satu jenis pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mengetahui adanya

kerusakan pada hati adalah pemeriksaan enzimatik.

Enzim adalah protein dan senyawa organik yang dihasilkan oleh sel

hidup dan umumnya terdapat di dalam sel. Dalam keadaan normal terdapat

keseimbangan antara pembentukan enzim dengan penghancurannya. Apabila

terjadi kerusakan sel atau peningkatan permeabilitas membran sel, enzim akan

banyak keluar ke ruang ekstra sel dan dapat digunakan sebagai sarana untuk

membantu diagnostik dengan mengetahui kadar enzim tersebut di dalam darah.

Pemeriksaan enzim dapat dibagi dalam beberapa bagian ;

1. Enzim yang berhubungan dengan kerusakan sel yaitu SGOT, SGPT,

GLDH, dan LDH

2. Enzim yang berhubungan dengan penanda adanya sumbatan pada kantung

empedu (kolestasis) seperti gamma GT dan fosfatase alkali.

3. Enzim yang berhubungan dengan kapasitas pembentukan (sintesis) hati

misalnya kolinestrase.

Page 8: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Secara laboratoris pemeriksaan enzim hati pada hepatitis akut didapati

adanya peninggian SGOT dan SGPT sampai 20-50 kali normal dengan SGPT

lebih tinggi dari SGOT (SGOT/SGPT < 0,7) Selain itu gamma-GT lebih kecil

dari SGOT Albumin /Globulin dalam batas kadar normal. Fosfatase alkali dapat

meninggi bila terjadi gejala kolestasis. Pada hepatitis kronis, dari pemeriksaan

laboratories kadar enzim hati didapati adanya peningkatan kadar enzim SGPT

5-10 X lebih tinggi dari kadar normal, dan ratio albumin-globulin terbalik.

Pada pemeriksaan SGPT yang dilakukan pada saat praktikum, hasil

pembacaan absorbansi pada spektrofotometri tidak dapat dideteksi. Hal ini

terjadi karena darah probandus mengalami hemolisis, sehingga

spektrofotometer tidak dapat menganalisanya. Hal ini mengakibatkan tidak

dapat diketahui pula bagaimana kondisi hepar dari probandus.

Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin

bebas ke dalam medium sekelilingnya (plasma). Kerusakan membran eritrosit

dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis atau hipertonis

ke dalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, zat atau

unsur kimia tertentu, pemanasan atau pendinginan, serta rapuh karena ketuaan

dalam sirkulasi darah. Apabila medium di sekitar eritrosit menjadi hipotonis

(karena penambahan larutan NaCl hipotonis) medium tersebut (plasma dan

larutan) akan masuk ke dalam eritrosit melalui membran yang bersifat

semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit menggembung. Bila membran

tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada di dalam sel eritrosit itu sendiri,

maka sel akan pecah, akibatnay hemoglobin akan bebas ke dalam medium

sekelilingnya. Sebaliknya bila eritrosit berada pada medium yang hipertonis,

maka cairan eritrosit akan keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma),

akibatnya eritrosit akan keriput (krenasi).

Page 9: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

D. Aplikasi Klinis

SGOT-SGPT merupakan dua enzim transaminase yang dihasilkan

terutama oleh sel-sel hati. Bila sel-sel liver rusak, misalnya pada kasus

hepatitis atau sirosis, kadar kedua enzim ini akan meningkat. Melalui hasil tes

laboratorium, keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada

hati. Dibandingkan dengan SGOT, SGPT lebih spesifik menunjukkan tidak

berfungsinya sel hati dengan baik, karena SGPT hanya sedikit saja diproduksi

oleh sel non liver.

Page 10: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

III. KESIMPULAN

Hasil dari pemeriksaan kadar SGPT sebagai biomarker keracunan boraks

tidak dapat diketahui karena darah hemolisis

Page 11: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Daftar Pustaka

Anonim. 2009. Hemolisis. http://www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 18

November 2009.

Putra, AK. 2009. Boraks dan formalin pada makanan. Uwityangyoyo.wordpress.com.

Diakses pada tanggal 18 November 2009.

Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Pemeriksaan Kreatinin darah sebagai Biomarker Keracunan Zat Nefrotoksin

Page 12: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Asisten : Julian

Oleh Kelompok :

1. Hanna Cris SR G1B007030

2. Ayu Pramita D G1B007032

3. Amazonia Dhita G1B007036

4. Subekhan G1B007038

5. Arie J Putra G1B007042

6. Viola Nindita P G1B007054

7. Valentina Ratna MRA G1B007058

8. Dina Fajar O G1B007062

9. Imam Apriyana G1B007072

10. Yunanto Eko N G1B007074

11. Sri Utami G1B007076

12. Seni Oktaviani G1B007128

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILKU KESEHATAN JURUSAN

KESEHATAN MASYARAKAT

PURWOKERTO

2009

I. PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum

Pemeriksaan kreatinin darah dengan metode Jaffe Kinetik

B. Tanggal Praktikum

12 Nopember 2009

C. Tujuan Praktikum

1. Mengukur kadar kreatinin darah dengan metode Jaffe kinetic

Page 13: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

2. Dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan kreatinin darah pada saat

praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal

3. Dapat melekukan pemeriksaan biomarker keracunan zat nefrotoksin

D. Dasar Teori

Kreatinin merupakan produk akhir keratin yang terbentuk secara spontan dan

sifatnya irreversible. Produk kreatinin setiap hari stabil ± 2% dari keratin

dalam waktu 24 jam.

Kreatin ataupun bentuk simpanan energinya, yaitu fosfo keratin, terdapat di

dalam otot, otak dan darah. Kreatinin (keratin anhidrida) terbentuk di dalam

otot dari keratin fosfat melelui proses dehidrasi nonenzimatik irreversible dan

hilangnya fosfat.

Reaksi kreatinin dan fosfat menjadi fosfokreatin berulang kali pada waktu

energi dilepas atau diikat, akan tetapi sebagian kecil dari keratin itu secara

irreversible berubah menjadi kreatinin yang tidak mempunyai fungsi sebagai

zat berguna dan keberadaannya dalam sirkulasi darah adalah hanya untuk

diangkut ke gimjal. Ajumlah kreatinin yang disusun sebanding dengan massa

otot rangka, sedangkan kegiatan otot tidak banyak berpengaruh.

Ekskresi kreatinin di dalam urin 24 jam pada diri seseaorang akan tampak

konstan setiap harinya dan sebanding denhan massa ototnya. Kreatin dalam

jumlah renik juga terdapat secara normal di urin. ATP yang diperlukan

sebagai sumber energi konstan untuk siklus kontraksi-relaksasi otot yang

dapat dihaif

silkan melelui:

a. Glikolisis dengan menggunakan glukosa darah atau glikogen otot

b. Melelui fosforilasi oksidatif

c. Kreatin fosfat

d. Dari dua malekul ADP

Kreatin fosfat merupakan simpanan energi yang utama di otot. Kreaatin fosfat

mencegah deplesi ATP yang cepat dengan menyediakan fosfat energi tinggi

yang siap digunakan untuk menghasilkan ATP dan ADP. Kreatin fosfat

Page 14: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

terbentuk dari ATP dan keratin pada saat otot dalam keadaan relaksasi dan

kebutuhan akan ATP tidak begitu besar. Kadar kreatinin meninggi pada

penurunan fungsi ginjal. Contohnya pada kerusakan glomerulus.

Simpanan fosfat berenergi tinggi terutama dalam otot jantung dan skeletal

terjadi melelui pemindahan gugus fosfat dari ATP ke kreatinin. Kreatinin

disintesis melelui pemindahan gugus guanidine arginin ke glisin, diikuti oleh

penambahan gugus metal dari adomet. Jumlah keratin di dalam tubuh

berhubungan dengan massa otot dan massa persentasenya mengalami naik

turunsetiap hari. Sebanyak 1-2% keratin fosfat direcycle secara non enzimatik

menjadi kreatinin dan diekskresikan dalam urin dan keratin baru disintesis

untuk menggantikannya. Jumlah kreatinin yang diekskresikan seseorang

adalah konstan setiap hari. Ketika urin 24 jam ditampung, jumlah kreatinin di

dalam sample urin dapat digunakan untuk menentukan apakah sample

sungguh-sungguh representatif untuk mengukur urin output.

E. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Spuit 3 cc

b. Tourniquet

c. Plakon

d. Pipet ukur 5 ml

e. Eppendorf

f. Sentrifugator

g. Mikropipet 10-100 µl

h. Yellow tip

i. Kuvet Spektrofotometer

2. Bahan

a. Sampel darah

b. EDTA

c. Reagen 1 (Larutan asam pikrat)

d. Reagen 2 (Larutan NaOH)

Page 15: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

e. Aquades

F. Cara Kerja

1. Menyiapkan sample

a. Mengambil darah probandus sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuit

b. Memasukkan ke dalam tabung eppendorf yang

telah diberi EDTA

c. Melakukan sentrifuse pada darah yang sudah bercampur dengan EDTA

dengankecepatan 4000 rpm selama 10 menit dan kemudian mengambil

plasmanya untuk sample

2. Menyiapkan working reagen

a. Melarutkan reagen 2 yang berisi NaOH dengan aquades dengan

perbandingan 1:4

b. Mencampur reagen 2 yang sudah ditambah aquades dengan plasma

sebanyak 100 µl dan langsung membaca absorbansinya pada

spektrofotometer dengan panjang gelombang 492 nm, nilai factor 2

G. Nilai Normal

Laki-laki : 0,6-11 mg/dl

Perempuan :0,5-0,9 mg/dl

II. PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan pada sampel yang diperiksa menunjukkan bahwa nilai

kreatinin darah sebanyak 0,7 mg/dl.

B. Hasil Perhitungan

C. Pembahasan

D. Aplikasi klinis

I. KESIMPULAN

Daftar Pustaka

Page 16: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Pemeriksaan Karboksihemoglobin sebagai Biomarker Keracunan Gas CO

Page 17: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Asisten : Julian

Oleh Kelompok :

1. Hanna Cris SR G1B007030

2. Ayu Pramita D G1B007032

3. Amazonia Dhita G1B007036

4. Subekhan G1B007038

5. Arie J Putra G1B007042

6. Viola Nindita P G1B007054

7. Valentina Ratna MRA G1B007058

8. Dina Fajar O G1B007062

9. Imam Apriyana G1B007072

10. Yunanto Eko N G1B007074

11. Sri Utami G1B007076

12. Seni Oktaviani G1B007128

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILKU KESEHATAN JURUSAN

KESEHATAN MASYARAKAT

PURWOKERTO

2009

I. PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum

Page 18: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Pemeriksaan karboksihemoglobin sebagai biomarker keracunan gas CO

dengan metode Hindsberg- -Lang

B. Tanggal Praktikum

14 Nopember 2009

C. Tujuan Praktikum

1. Dapat mengukur kadar karboksihemoglobin dengan metode Hindsberg-

Lang

2. Dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan karboksihemoglobin dalam darah

setelah membandingkan dengan nilai normal

3. Dapat melakukan pemeriksaan biomarker keracunan CO

D. Dasar teori

Karbon monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan

tidak berasa. Gas ini terbentuk dari suatu proses pembakaran yang tidak

sempurna dari bahan bakar yang mengandung karbon, contohnya adalah

bensin. Kadar CO di daerah perkotaan menunjukkan korelasi positif dengan

kepadatan lalu lintas dan banyaknya bangunan. Data di Jepang da USA

menunjukkan bahwa pada umumnya kadar Co dengan pengukuran selama 8

jam, kurang dari 17 ppm, tetapi akan meningkat menjadi 53 pp karena

kapadatan lalu lintas dan adanya ruang terbatas seperti benkel motor, garasi

dan padatnya rumah penduduk.

Gas CO apabila terhirup dan masuk ke dalam aliran darah manusia, ajan

berikatan dengan hemoglobin (Hb) membentuk karboksihemoglobin (HbCO).

Daya ikat CO terhadap Hb lebih kuat 250 kali dibandingkan dengan daya ikat

O2 terhadap hb. Sebagai akibatnya orang yang keracuan Co akan mengalami

kekurangan oksigen di dalam jaringan (hipoksia).

Pengaruh konsentrasi CO terhdadap kesehatan manusia dapat dilihat pada

table di bawah ini:

No Konsentrasi CO

ppm

Konsentrasi HbCO (%) Gejala terhadap

kesehatan

1. 0-10 <1,0-2,5 Belum ada gejala

Page 19: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

2. 10 3,0-4,0 Gangguan pada tingkah

laku

3. 10-20 5,0-6,0 Gangguan pada system

saraf, penglihatan, panca

indra dll

4. 30-50 10,0-<20,0 Perubahan fungsi pada

jantung dan paru

5. 50-70 >20,0-60,0 Sakit kepala, lesu,

pusing, sesak napas,

koma

6. 80-90 70,0-90,0 Kematian

E. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Spuit 3 cc

b. Tourniquet

c. Plakon

d. Pipet ukur 5 ml

e. Mikropipet (10µl-100 µl)

f. Yellow tip

g. Erlenmeyer 50 ml

h. Spatula

i. Tabung reaksi 10 ml

j. Rak tabung reaksi

k. Spektrofotometer

l. Kuvet

2. Bahan

a. Sampel darah

Page 20: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

b. EDTA

c. Ammonia 0,1%

d. Sodium dithionit

F. Cara Kerja

1. Menyiapkan sampel whole blood

a. Mengambil darah probandus sebanyak 1 cc dengan menggunakan

spuit, kemudian memasukkan ke dalam plakon yang diberi EDTA

b. Mengambil larutan ammonia 0,1% sebanyak 20 ml dan memasukkan

ke dalam Erlenmeyer

c. Mengambil sampel whole blood sebanyak 10 µl dengan menggunakan

yellow tip, kemudian memasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi

larutan ammonia 0,1%

d. Membagi campuran ke dalam 2 tabung , masing-masing sebanyak 5

ml

Tabung 1: menambahkan sodium dithionit sebanyak 1 spatula

Tabung 2 : tidak menambahkan sodium dithionit

e. Menginkubasi kedua tabung selama 5 menit

f. Mengukur absorbansi masing-masing larutan pada kedua tabung

dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 546

nm dan nilai factor 6,08.

G. Nilai Normal

CO endogen :0,7%

HbCO :<1 %

Batas toleransi HbCO : 2%-<3%

II. PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

Page 21: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Hasil pengamatan HbCO terhadap sampel adalah 1,86% dengan interpretasi

masih dalam batas toleransi.

B. Hasil Perhitungan

C. Pembahasan

1. Keracunan Karbonmonoksida

Karbon monoksida (CO) merupakan gas yang tidak berwarna, tidak

berbau, tidak berasa, dan non-iritatif, yang densitasnya relatif sedikit lebih

rendah dibandingkan dengan udara. Sumber utama karbon monoksida pada

kasus kematian adalah kebakaran, knalpot mobil, pemanasan tidak sempurna,

dan pembakaran yang tidak sempurna dari produk-produk terbakar, seperti

bongkahan arang. Diluar kematian akibat kebakaran, ada sekitar 2700

kematian yang disebabkan oleh karbon monoksida setiap tahunnya di AS.

Sekitar 2000 dari kasus ini adalah bunuh diri dan 700-nya adalah kecelakaan.

Pada kenyataannya seluruh kasus bunuh diri tersebut melibatkan penghirupan

gas buangan mobil.

2. Mekanisme Keracunan gas CO

Karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan cara

bersaing dengan oksigen untuk melakukan ikatan pada hemeprotein pembawa

oksigen (hemoglobin, mioglobin, sitokrom C oksidase, sitokrom P-450).

Afinitas karbon monoksida terhadap hemeprotein bervariasi, mulai dari 30

sampai 500 kali lebih kuat dibandingkan afinitas oksigen, tergantung pada

hemeproteinnya. Disamping itu, lebih kuatnya afinitas hemoglobin terhadap

karbon monoksida menyebabkan dengan adanya karboksihemoglobin

mengganggu afinitas oksigen terhadap hemoglobin dengan menggeser kurva

disosiasi oksihemoglobin ke kiri sehingga mengurangi pelepasan oksigen ke

jaringan. Hipoksia jaringan yang dihasilkan lebih hebat dibandingkan dengan

yang akan dihasilkan oleh anemia dengan derajat yang sama. Diyakini bahwa

karbon monoksida memiliki efek toksik langsung pada tingkat seluler dengan

cara mengganggu respirasi mitokondria, disebabakan karena karbon

monoksida terikat pada kompleks sitokrom oksidase. Berbeda dengan

Page 22: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

hemoglobin, afinitas sitokrom oksidase lebih kuat terhadap oksigen. Akan

tetapi selama anoksia seluler, karbon monoksida dapat terikat. Pada saat

oksigen dari udara kembali ada maka pemindahan karbon monoksida menjadi

lambat.

Persentase saturasi karbon monoksida didefinisikan sebagai persentase

hemoglobin digabung dengan karbon monoksida dalam bentuk

karboksihemoglobin. Oleh karena afinitas hemoglobin yang lebih kuat

terhadap karbon monoksida, meskipun hanya dengan konsentrasi rendah di

udara dapat menghasilkan saturasi darah yang sangat tinggi dengan gas ini.

Dengan konsentrasi 0,5 sampai 1% (5000 – 10000 bagian per juta) di udara

dapat menghasilkan tingkat saturasi karboksihemoglobin sebesar 75% dalam

2 sampai 15 menit. Kelembaban, suhu lingkungan yang tinggi, pada daerah

ketinggian dan aktifitas fisik akan meningkatkan kecepatan respirasi, dan juga

absorpsi karbon monoksida. The Occupational Safety and Health

Administration (OSHA) menganjurkan batas keterpaparan maksimum yang

dapat diterima adalah 35 ppm selama 8 jam. Untuk alasan keamanan, para

pekerja yang terpapar karbon monoksida seharusnya tidak pernah memiliki

kadar karboksihemoglobin darah diatas 5%. Dalam praktiknya, hal ini tidak

selamanya dapat dilakukan. Jika seorang yang bukan perokok memiliki kadar

karboksihemoglobin 1 - 3%, para perokok seringkali memiliki kadar “normal”

karboksihemoglobin 5 – 6%, biasanya mencapai 10% dan kadang dapat

melebihi 15%. Kadar karboksihemoglobin sebesar 10 – 14 % sudah pernah

ditemukan pada pemadam kebakaran setelah memadamkan kebakaran.

Peningkatan kadar karboksihemoglobin (sampai 13%) dapat juga ditemukan

pada polisi yang bertugas di terowongan atau pekerja-pekerja di bengkel

dimana kendaraan bermotor dihidupkan, atau juga jika seseorang adalah

perokok.

D. Aplikasi Klinis

III. KESIMPULAN

Daftar Pustaka

Page 23: Laporan Praktikum Toksikologi Industri

Mubarak, Husnul. 2008. Keracunan Karbonmonoksida. http://cetrione .

Blogspot .com/2008/12/keracun-co.html. Diakses pada Tanggal 18

Nopember 2009.