40
LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN Disusun Oleh: Anditya Candra Satriani 12/334989/PN/12980 Teknologi Hasil Perikanan Asisten: Bobby Dwi Kusuma Nababan Arif Nurul Binti Isnaini Mirna Trissa LABORATORIUM MIKROBIOLOGI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN

Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan limbah tentang reduksi beban pencemaran dengan bioremediasi.

Citation preview

Page 1: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN LIMBAH INDUSTRI

PERIKANAN

Disusun Oleh:

Anditya Candra Satriani

12/334989/PN/12980

Teknologi Hasil Perikanan

Asisten:

Bobby Dwi Kusuma Nababan

Arif

Nurul Binti Isnaini

Mirna Trissa

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI

JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

Page 2: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN

ANALISIS DAN PREDIKSI BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR

INDUSTRI PERIKANAN

Disusun Oleh:

Anditya Candra Satriani

12/334989/PN/12980

Teknologi Hasil Perikanan

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI

JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

Page 3: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan hasil perikanan. Umumnya

hasil perikanan tersebut dapat dikonsumsi dalam bentuk segar ataupun olahan. Berbagai

macam jenis olahan hasil perikanan dapat dijumpai diberbagai wilayah di Indonesia. Dengan

berkembangnya jenis olahan hasil perikanan maka industry perikanan pun semakin

berkembang dan jumlahnya meningkat. Industry perikanan di Indonesia umumnya masih

konvensional. Berkembangnya industry perikanan selain membawa dampak positif yaitu

sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, juga telah

memberikan dampak negative yaitu berupa buangan limbah. Adanya limbah tersebut pada

akhirnya yang menjadi korban adalah makhluk hidup dan lingkungan yang berada di sekitar

kawasan industry tersebut. (Azwar, 1996).

Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu

tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. (Ginting, 2007).

Limbah industry perikanan mengandung karbohidrat, lemak, protein, garam, mineral dan sisa

bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan. Limbah yang diproduksi oleh industry

perikanan bervariasi dalam kuantitas dan kualitasnya. Jenis limbah industri perikanan:

1. Limbah padat basah : limbah dari industry perikanan yang berupa benda padat

yang mengandung air, baik secara alami maupun karena proses produksi

(potongan kepala ikan/udang, sisik, kulit, tulang, duri, trimming, isi perut,

insang, dan karton basah).

2. Limbah padat kering : limbah padat yang tidak mengandung air, atau sifat

bahannya tidak mengandung air (karton kemasan, tali pengemas, sisa label, sisa

pengemasan dll.)

3. Limbah cair : limbah yang berbentuk cair, baik air sisa cucian, air sisa proses

produksi, dan air bekas MCK dari areal produksi (pabrik).

Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa treatment sebelumnya, mengandung

tingkat polutan organic yang tinggi serta mempengaruhi kesesuaian air sungai untuk

digunakan manusia dan merangsang pertumbuhan alga maupun tanaman air lainnya. Hal ini

akan menyebabkan dampak negative terhadap lingkungan sehingga dibutuhkan pengolahan

limbah cair untuk mengurangi dampak yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan tersebut.

Metode pengolahan limbah secara biologi atau dikenal dengan bioremediasi adalah

salah satu cara pengolahan air limbah dengan bantuan agen biologis untuk menguraikan

Page 4: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

polutan organic yang biodegradable dan terdapat dalam air limbah. Senyawa organic yang

kurang biodegradable dapat diolah akan etapi membtuhkan waktu yang lebih lama.

Mikroorganisme menjadi salah satu agen yang digunakan dalam teknologi bioremediasi ini.

Pada proses bioremediasi ini, mikroba dikondisikan untuk menguraikan senyawa

organic dengan cepat. Pengkondisian tersebut diperlukan fasilitas pengolahan dan parameter

operasi agar mikroba dapat bekerja seccara optimal. Banyak hal yang harus diperhatikan agar

mikroba dapat bekerja secara optimal, diantaranya adalah keseimbangan nutrisi yang

dibutuhkan oleh mikroba (harus memperhatikan perbandingan rasio antara C, N, dan P),

beban pencemar yang masuk ke dalam instalasi pengolahan air, aerator, dan fasilitas lainnya

yang dibutuhkan serta pengkondisian terhadap mikroba itu sendiri.

B. Tujuan Praktikum

1. Praktikan mampu melakukan pengukuran parameter fisika dan kimia dari limbah

industri perikanan

2. Praktikan mampu mengetahui kuantitas parameter pencemaran limbah cair industri

perikanan

3. Praktikan mampu menentukan besar debit dan beban pencemaran limbah cair industri

perikanan

4. Praktikan mampu mengetahui dan menerapkan cara penanganan limbah secara

biologis meliputi fitoremediasi, aerob, dan anaerob.

C. Manfaat

1. Menambah ketrampilan dalam pengukuran parameter fisika, kimia, dan biologi dari

limbah industri perikanan

2. Menambah wawasan mengenai kuantitas parameter pencemaran limbah cair industri

perikanan

3. Menambah kemampuan dalam menentukan besar debit dan beban pencemaran serta

penanganan limbah cair industri perikanan

Page 5: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Limbah

Suatu tatanan lingkungan hidup dapat tercemar atau menjadi rusak disebabkan oleh

banyak hal. Namun yang paling utama dari sekian banyak penyebab tercemarnya suatu

tatanan lingkungan adalah limbah. Limbah digolongkan atas beberapa kelompok berdasarkan

pada jenis, sifat dan sumbernya. Berdasarkan pada jenis, limbah dikelompokkan atas

golongan limbah padat dan limbah cair. Berdasarkan pada sifat yang dibawanya, limbah

dikelompokkan atas limbah organic dan limbah anorganik. Sedangkan bila berdasarkan pada

sumbernya, limbah dikelompokkan atas limbah rumah tangga atau limbah domestic dan

limbah industry. Limbah cair adalah semua jenis bahan sisa yang dibuang dalam bentuk

larutan atau berupa zat cair. Limbah cair dapat berupa air bekas pencucian, busa detergen dan

lain lain. (Palar, 2008)

Ada beberapa karakteristik yang dimiliki air limbah seperti berikut ini:

a. Karakteristik fisik

Air limbah terdiri dari 99,9% air, sedangkan kandungan bahan padatnya mencapai

0,1% dalam bentuk suspense padat (suspended solid) yang volumenya bervariasi

antara 100-500 mg/l. apabila volume suspense padat kurang dari 100 mg/l air limbah

disebut lemah, sedangkan bila lebih dari 500 mg/l disebut kuat.

b. Karakteristik kimia

Air limbah biasanya bercampur dengan zat kimia anorganik yang berasal dari air

bersih dan zat organic dari limbah itu sendiri. Saat keluar dari sumber, air limbah

bersifat basa. Namun, air limbah yang sudah lama atau membusuk akan bersifat asam

karena sudah mengalamai kandungan bahan organiknya mengalami proses

dekomposisi yang dapat menimbulkan bau tidak menyenangkan. Komposisi

campuran dari zat-zat itu dapat berupa:

1. Gabungan dengan nitrogen misalnya urea, protein atau asam amino.

2. Gabungan dengan non-nitrogen misalnya lemak, sabun, atau karbohidrat.

c. Karakteristik bakteriologis

Bakteri pathogen yang terdapat dalam air limbah biasanya termasuk golongan E. coli.

Page 6: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

B. Parameter Pencemaran

Sumber air dikatakan tercemar apabila mengandung bahan pencemar yang dapat

mengganggu kesejahteraan makhluk hidup (hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan) dan

lingkungan. Akan tetapi air yang mengandung bahan pencemar tertentu dikatakan tercemar

untuk keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan rumah tangga belum tentu dapat

dikatakan tercemar untuk keperluan lain. Dengan demikian standar kualitas air untuk setiap

keperluan akan berbeda, bergantung pada penggunaan air tersebut, untuk keperluan rumah

tangga berbeda dengan standar kualitas air untuk keperluan lain seperti untuk keperluan

pertanian, irigasi, pembangkit tenaga listrik dan keperluan industry. Dengan demikian

tentunya parameter yang digunakan pun akan berbeda pula.

Indikator pencemaran air dapat diketahui dan diamati baik secara visual maupun

pengujian, seperti :

a. Perubahan pH atau konsentrasi ion hydrogen

Air dapat bersifat asam atau basa, tergantung pada besarnya konsentrasi

ion hydrogen di dalam air. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu

kehidupan mempunyai pH antara 6,5 – 7,5. Air limbah industry belum terolah yang

dibuang langsung ke sungai akan mengubah pH air yang dapat mengganggu

kehidupan organism di dalam sungai. Kondisi ini akan semakin parah jika daya

dukug lingkungan rendah seperti debit sungai yang kecil. (Sunu, 2001). Proses

penanganan biologik konvenional tidak dapat bekerja dengan baik di luar daerah

pH 6,5 – 8,5 dan sifat asam atau alkali harus dimodifikasi dengan cara tertentu

seperti dengan pengenceran, netralisasi, dan pengendalian proses reaksi biologic.

Air limbah yang mengandung konsentrasi asam organic yang cukup banyak sering

mempunyai pH yang rendah, dan dapat diatasi secara efektif dengan menyesuaikan

laju penghilangan dengan laju input massa dari asam. (Laksmi, 1993).

b. Oksigen terlarut

Oksigen terlarut adalah suatu factor yang terpenting dalam setiap system

perairan. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses

fotosintesis tumbuhan hijau. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung.

Oksigen hilang dari air oleh adanya pernafasan biota, penguraian bahan organic,

aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen, adanya besi, dan kenaikan

suhu.

Page 7: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

Biologycal Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologi adalah suatu

analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses

mikrobiologis yang benar-benar di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen

yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) hamper semua

zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air.

Bila suatu badan air tercemar oleh zat-zat anorganik, bakteri tersebut dapat

menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bias

mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobic dan

dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut. Pemeriksaan BOD didasarkan

pada reaksi oksidasi zat organic dengan oksigen di dalam air, dan proses tersebut

berlangsung karena adanya bakteri aerobic. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk

karbon dioksida, air, dan amoniak. Atas dasar reaksi tersebut, yang memerlukan

kira-kira 2 hari dimana 50% reaksi telah tercapai, 5 hari supaya 75% dan 20 hari

supaya 100% tercapai, maka pemeriksaan BOD dapat digunnakan untuk

menafsirkan beban pencemaran zat organis (Alaerts, 1987).

COD (Chemical Oxygen Demand) atau Kebutuhan Oksigen Kimia adalah jumlah

oksigen (mg) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam

satu liter air, dimana k2cr2o7 digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidating

Agent). Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis

yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis, dan

mengakibatkan berkurangnya oksigen dalam air. (Alaerts, 1987)

c. Adanya endapan, koloid, bahan terlarut

Total Suspended Solid atau Padatan Tersuspensi adalah padatan yang

menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung.

Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya

lebih kecil dari sedimen seperti bahan-bahan organic tertentu, tanah liat dan lain-

lain. Misalnya air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk tersuspensi. Air

buangan selain mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah yang bervariasi,

juga sering mengandung bahan-bahan yang bersifat koloid seperti protein. Air

buangan industry makanan mengandung padatan tersuspensi yang relatif tinggi.

Padatan terendap dan padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar

matahari ke dalam air, sehinggga dapat mempengaruhi regenerasi oksigen secara

fotosintesa.

Page 8: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

Pengukuran langsung padatan tersuspensi (TSS) sering memakan waktu cukup

lama. TSS adalah bobot bahan yang tersuspensi dalam volume air tertentu yang

biasanya dinyatakan dalam mg/L atau ppm. Partikel tersuspensi akan menyebarkan

cahaya yang datang, sehingga menurunkan intensitas cahaya yang disebarkan.

Padatan tersuspensi dalam air umunya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, sisa

tanaman dan limbah industry. (Sunu, 2001)

d. Perubahan warna bau rasa

C. Debit Limbah

Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh suatu kegiatan

atau industry yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan

(air). Mutu limbah cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit (aliran

masuk dan keluar), kadar maksimum, dan beban pencemaran.

a. Debit maksimum yaitu debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke

lingkungan.

b. Kadar maksimum yaitu kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke

lingkungan.

c. Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan

dibuang ke lingkungan.

Itulah sebabnya sebelum dibuang ke system perairan, limbah cair terlebih dahulu harus diolah

pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sampai kualitas yang dicapai memenuhi

peryaratan yang ditetapkan.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, beban pencemaran adalah

jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah. Limbah cair yang

dihasilkan dari suatu industri perikanan harus dianalisis terlebih dahulu agar dapat diketahui

atau diprediksi beban pencemarannya. Parameter yang harus diperhatikan dalam analisis

tersebut adalah pH, TSS, BOD, COD, dan minyak atau lemak. Beban pencemaran industri

perikanan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 06 Tahun 2007 adalah sebagai

berikut:

Page 9: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

D. Beban Pencemaran Limbah

Menurut Djabu (1999), beban pencemaran adalah bahan pencemar dikalikan

kapasitas aliran air yang mengandung bahan pencemar, artianya adalah jumlah berat

pencemar dalam satuan waktu tertentu misalnya kg/hari. Istilah beban pencemaran dikaitkan

dengan jumlah total pencemar atau campuran pencemar yang masuk ke dalam lingkungan

(langsung atau tidak langsung) oleh suatu industry atau kelompok industry pada areal tertentu

dalam periode waktu tertentu. Pada kasus limbah rumah tangga dan kota, istilah beban

pencemaran berkaitan dengan jumlah total limbah yang masuk ke dalam lingkungan

(langsung atau tidak langsung dari komunitas kota selama periode waktu tertentu.)

(Djajadiningrat dan Amir, 1991).

Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001, daya tampung beban

pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air untuk menerima masukan beban

pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar. (Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup No. 110 tahun 2003)

E. Baku Mutu Limbah Cair Industri Perikanan

Baku mutu limbah cair adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan

pencemar untuk dibuang dari sumber pencemar ke dalam air pada sumber air sehingga tidak

mengakibatkan dilampauinya baku mutu air.

Tabel 1 Baku Mutu Limbah Cair Industri Perikanan

Parameter

Pembekuan Ikan Pengalengan Ikan Tepung Ikan

Beban Pencemaran Beban Pencemaran

Kadar

(mg/l)

Beban

Pencemaran

(kg/ton

produk)

Kadar

(mg/l)

(kg/ton bahan baku)Kadar

(mg/l)

Beban Pencemaran

Ikan UdangLain-

lainIkan Udang

Lain-

lain

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

pH 6-9

TSS 100 1 3 1,5 100 1,5 3 2 100 1,2

Sulfida - - - - - 0,015 0,03 0,02 1 0,012

Amoniak 10 0,1 0,3 0,15 5 0,075 0,15 0,1 5 0,06

Klor Bebas 1 0,01 0,03 0,015 1 0,015 0,03 0,02 - -

BOD5 100 2 3 1,5 75 1,125 2,25 1,5 100 1,2

COD 200 0,15 6 3 150 2,25 4,5 3 300 3,6

Page 10: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

Minyak/

lemak15 0,45 0,225 15 0,225 0,45 0,3 15 0,18

Debit Air

Limbah

(m3/ton)

- 10 30 15 - 15 30 20 - 12

F. Mekanisme Reduksi Limbah

Pada umumnya pengolahan secara biologi dipergunakan untuk mereduksi atau

menurunkan kadar pencemaran organic dalam air limbah dengan menggunakan dan

memanfaatkan keaktifan mikroorganisme, misalnya dengan lumpur aktif (activated sludge),

saringan menetes (trickling filter), kolam stabilisasi dan sebagainya. Mara (1976)

mengemukakan bahwa untuk kemungkinan perlakuan limbah dan tidak semua tahap ini harus

dikerjakan, tergantung dari kualitas dan kebutuhan limbah. Keempat tahap perlakuan limbah

tersebut meliputi : perlakuan pendahuluan, primer, sekunder dan tersier, diuraikan sebagai

berikut :

a. Perlakuan pendahuluan

Tahap ini terdiri dari penyaringan (screening) dan pembersihan limbah dengan kerikil

halus. Tahap awal ini adalah pembersihan limbah dari benda-benda besar yang mengapung

seperti potongan-potongan kayu dan partikel padat (pasir dan kerikil). Tahap ini dilakukan

untuk melindungi kerusakan peralatan yang dipakai pada tahap perlakuan. Perlakuan

pendahuluan adalah tahap pemisahan sampah berukuran besar dan partikel terlarut dengan

cara penyaringan. Mula-mula limbah dialirkan pada sebuah saringan yang berfungsi

memisahkan sampah berukuran besar seperti kertas, botol-botol dan lain-lain, sedangkan

pasir batu-batu kecil akan diendapkan pada suatu saluran yang akan dialiri limbah dengan

konstan atau dapat juga melalui kamar pasir. Menurut Mason (1981), yang dimaksud kamar

pasir adalah suatu ruangan yang akan dialiri limbah dan diberi aerasi dari dasar kamar untuk

menciptakan gerakan spiral, sehingga pasir akan terkumpul pada tempat penampungannya

untuk kemudian dibuang. Pengguanaan tahap ini yaitu apabila limbah dalam jumlah besar

mengandung sampah yang berukuran besar.

b. Perlakuan primer

Proses yang menjadi cirri pada tahap ini adlaah proses pengendapan yang menurut

Mara (1976) merupakan pemisahan suspense terlarut menjadi komponen cair dan padat. Pada

tahap ini limbah ditempatkan pada tangki terbuka dan partikel-partikel terlarut dibiarkan

Page 11: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

mengendap, sedangkan partikel-partikel yang ringan akan mengapung membentuk busa.

Setelah dibiarkan beberapa saat, proses ini dapat dilanjutkan. Tahap perlakuan primer dapat

mengendapkan 55% partikel terlarut sebagai lumpur dan dapat menurunkan BOD5 sampai

35%. Ada beberapa macam tangki pengendapan, tetapi yang seirng digunakan adalah tangki-

tangki dangkal berpola radier (lingkaran) yang dilengkapi dengan gigi mekanik untuk

memindahkan lumpur. (Mason, 1981)

c. Perlakuan sekunder

Pada prinsipnya tahap perlaukan sekunder adalah tahap oksidasi senyawa organic

terlarut dengan adanya mikroorganisme. Limbah dibiarkan dalam waktu yang agak lama pada

kondisi optimal untuk pertumbuhan mikrobia. (Mutiara, 1999), biasanya dilakukan dengan 3

cara yaitu menggunakan kolam oksidasi, metode lumpur aktif, dan trickling filter.

Penggunaan kolam oksidasi sebagai instalasi penanggulangan limbah di daerah tropic yang

sepanjang tahun menerima cahaya matahari adalah sangat memungkinkan. (Mason, 1981).

Kolam oksidasi dapat membersihkan limbah dengan menggunakan kerjasama antara bakteri

dan alga. Menurut Mutiara (1999), keanekaragaman jenis algae yang terdapat dalam kolam

oksidasi tidak dipengaruhi iklim dan letak geografis dan tampaknya lebih dipengaruhi kondisi

fisika-kimia limbah serta besarnya jumlah material yang tidak dapat dioksidasi. Kolam

oksidasi merupakan kolam terbuka dengan kedalaman 1-2 meter. Limbah yang masuk

diperlakukan selama 3 sampai 6 minggu. Bakteri yang terdapat dalam kolam oksidasi

menguraikan bahan-bahan organic dan menghasilkan CO2 , ammonia, nitrat dan fosfat.

Selanjutnya senyawa-senyawa ini akan digunakan algae untuk mengadakan fotosintesis

digunakan oleh jasad-jasad aerob untuk proses kehidupan dan aktivitasnya.

d. Perlakuan tersier

Tahap ini akan menghasilkan buangan yang lebih baik dari kualitasnya dan hanya dikerjakan

bila sangat diperlukan. Dalam berbagai keadaan limbah yang telah ditanggulangi melalui

tahap-tahap penanggulangan di atas, belum cukup memadai bila dibuang ke lingkungan. Oleh

karena itu perlu ditanggulangi lebih lanjut, misalnya dengan penggunaan saringan mikro

untuk menyaring bakteri pathogen atau zat-zat terlarut yang masih terkandung dalam cairan

limbah. Proses ini menurut Mason (1981) dapat menurunkan BOD5 < 10 mg/L. Limbah yang

telah diberi perlakuan pendahuluan, primer, sekunder dan tersier diharapkan tidak lagi

bersifat racun baik bagi lingkungan maupun organism air dan manusia.

Page 12: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

III. HIPOTESIS

1. Pengolahan limbah secara biologis dapat mereduksi beban pencemaran limbah cair

industri perikanan

2. Semakin banyak perlakuan bioremediasi yang diberikan maka reduksi beban pencemaran

limbah cair industri perikanan semakin baik dan optimal

Page 13: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

IV. METODOLOGI PENELITIAN

A. Alat

1. Pipet tetes

2. Tabung

mikrotube

3. Petridish

4. Drigalski

5. Bunsen

6. Jarum ose

7. Tabung reaksi

8. Autoklaf

9. Mikroskop

10. Erlenmeyer

11. Toples kaca

12. Botol oksigen

13. Kempot

14. Pipet ukur

15. Pipet tetes

16. Botol film

17. Kertas pH

18. pH meter

19. Kertas saring

20. Aerator

21. Ember plastik

22. Plastik hitam

penutup

23. Selang

B. Bahan

1. Medium Luria

Bertani

2. Akuades

3. Bacto agar

4. Tryptone Soya

Broth (TSB)

5. NaCl 0,85%

6. Phenol Blue

7. H2SO4 4N

8. KMnO4 0,1 N

9. Amonium oksalat

10. MnSO4

11. Reagen oksigen

12. H2SO4 pekat

13. Amilum

14. 1/80 N Na2S2O3

15. Limbah cair

industri

pengolahan ikan

16. Tanaman air

C. Tata Laksana Praktikum

1) Persiapan sampel

Media Luria Bertani (LB)

Media Tryptone Soya Broth (TSB)

Isolasi bakteri B (Bacillus lichiniformis)

Isolasi bakteri A (Arachnia propionica)

Page 14: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

2) Persiapan Isolasi Bakteri

3) Pengkayaan Bakteri

Diambil satu ose

Dimasukkan ke dalam Media LB dan aduk secukupnya

Diinkubasi dalam incubator shaker selama 24 jam dengan suhu 35 ± 2 C

Inkubasi dalam incubator shaker dengan suhu 35 ± 2 C selama 24 jam

Dimasukkan dalam media LB 10 ml

Diambil 1 ose biakan bakteri

Diambil satu ose, dimasukkan ke dalam TSB dan aduk secukupnya

Isolat bakteri B (Bacillus licheniformis)

Bakteri A

Inkubasi 24 jam

7 ml TSB

Inkubasi 24 jam 10 ml TSB

Keterangan

Bakteri A : Arachnia propionica Bakteri B : Bacillus licheniformes

Bakteri B

Inkubasi 24 jam

7 ml LB

Inkubasi 24 jam 10 ml LB

Page 15: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

Masukkan kertas pH ke dalam limbah selama beberapa detik

Diamati hasil dan dibandingkan warna kertas pH dengan indikator pH

Fitoremediasi Fito + aerob Fito + aerob Aerob + Aerob + Kontrol Aerob Bakteri A Bakteri B Bakteri A Bakteri B

4) Pengukuran Derajat Keasaman (pH)

2 liter limbah

2 liter limbah

2 liter limbah

2 liter limbah

2 liter limbah

2 liter limbah

2 liter limbah

Diinkubasi 7 hari

Pengamatan

(BOD, DO, suhu, pH, TSS, bau, kekeruhan,

kandungan protein terlarut)

H+5 uji BOD5Setiap hari diamati bau dan kekeruan

Page 16: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

5) Pengukuran Suhu

6) Pengukuran Kandungan O2 Terlarut (Dissolved Oxygen atau DO)

Masukkan thermometer ke dalam limbah selama beberapa detik

Diamati hasil thermometer

Diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer

Ditambahkan 1 ml larutan MnSO4 dan 1 ml reagen oksigen ke dalam botol oksigen secara berturut-turut.

Diambil sampel air menggunakan botol oksigen tanpa gelembung udara

Botol oksigen ditutup, kemudian digojok perlahan-lahan hingga reaksi berjalan sempura

Ditambahkan indicator amilum sebanyak 3 ml

Dititrasi dengan larutan 1/80 N Na2S2O3 sambil erlenmeyer digoyang-goyang perlahan hingga larutan menjadi bening (a ml)

Didiamkan beberapa saat hingga endapan yang timbul terlihat mengendap sempurna

Botol dibuka dan ditambahkan 1 ml larutan H2SO4 pekat

Botol ditutup kembali, digojok dengan cara bolak balik sehingga endapan larut sempurna

Page 17: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

Perhitungan :

Kandungan O2 terlarut = 1000

50 x a x f x 0.1 mg/l

(f) = faktor koreksi = 1

7) Pengukuran BOD (Biologycal Oxygen Demand)

Diambil sampel air menggunakan botol oksigen (botol BOD) tanpa gelembung udara, kemudian inkubasi

Ditambahkan 1 ml larutan 4N H2SO4, ditambahkan 1-2 tetes 0,1 N kalium permanganat (warna pink keunguan), gojog botol hingga homogen

Didiamkan beberapa saat hingga warna rose tidak hilang, jika hilang tambahkan 1-2 tetes 0,1 N kalium permanganat, gojog dan diamkan

Titrasi dengan 0,1 N ammonium oksalat, gojog dan diamkan sampai warna rose hilang hingga mengarah ke warna bening

Ditambahkan 1ml larutan MnSO4 dan 1ml reagen oksigen ke dalam botol

Botol ditutup kembali, digojok dengan cara bolak balik sehingga endapan larut sempurna

Diamkan beberapa saat hingga endapan yang timbul terlihat mengendap sempurna

Membuka botol dan menambahkan 1 ml larutan H2SO4 pekat

Botol ditutup kembali, digojok secara bolak balik sehingga endapan larut sempurna

Page 18: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

Perhitungan :

Kandungan BOD = 1000

50 x (b – a) x f x 0.1 mg/L

(f) = faktor koreksi = 1

8) Pengukuran TSS

Diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer

Ditambahkan indikator amilum 3 tetes

Dititrasi dengan larutan 1/80 N Na2S2O3, erlenmeyer digoyangkan perlahan hingga larutan menjadi bening (a mL) jikaada inkubasi maka (b mL)

Timbang berat awal kertas saring (a gram)

Lipat kertas saring dan letakkan diatas corong

Saring 1000 mL air sampel

Keringkan kertas saring dengan dikering anginkan selama ± 24 jam

Timbang berat akhir kertas saring (b gram)

Hitung TSS dengan rumus :

TSS = (b-a) x 10 x 100 mg/L

Page 19: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

0,5 ml sampel

Tambahkan 0,7 ml larutan D (Laury A + B + C)

Vortex lalu inkubasi suhu ruang 20 menit

Tambakhan 0,1 ml larutan E (reagen ciocaiteau)

Vortex lalu inkubasi suhu ruang 30 menit

1,3 ml sampel

Ditera OD pada λ = 750 nm

9) Uji Kandungan Protein

mikrotube

kuvet

Page 20: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

ParameterSebelu

mSetelah Perlakuan

I II III IV V KontrolSuhu 28 28 30 31 30 30 20TTS (mg/l) 0,4 0,1 0,2 0,2 0,2 0 0,2pH 7 7 7 8 8 8 8Kekeruhan +++ ++ ++ ++ ++ ++ ++++Bau ++++ ++ ++ + ++ ++ +++++DO (mg/l) 5,8 8 6 12 3 5 2BODHo (mg/l) 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8 3,8BODH5 (mg/l) - 2,6 2,8 2,8 0,6 0,8 7Aborbansi sampel 0,068 0,0195 0,0125 0,013 0,025 0,0225 0,1145Protein Terlarut              

Keterangan :

++++ Sangat keruh/Sangat bau

+++ Keruh/Bau

++ Agak keruh/Agak bau

+ Bening/Tidak bau

Perlakuan:

I Fitoremediasi Aerob

II Fitoremediasi + Aerob + Bakteri A

III Fitoremediasi + Aerob + Bakteri B

IV Aerob + Bakteri A

V Aerob + Bakteri B

Tabel 2. Hasil Aplikasi Bioremediasi pada Limbah Cair Industri Perikanan

Page 21: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

B. Pembahasan

Praktikum Analisis dan Prediksi Beban Pencemaran Limbah Cair Industri

Perikanan dilakukan dengan menggunakan sampel limbah industri UKM Mina Tayu dengan

satu control dan lima perlakuan, yaitu:

1. Perlakuan fitoremediasi dan aerasi

2. Perlakuan fitoremediasi, aerasi dan penambahan kultur bakteri A

3. Perlakuan fitoremediasi, aerasi dan penambahan kultur bakteri B

4. Perlakuan aerasi dan penambahan kultur bakteri A

5. Perlakuan aerasi dan penambahan kultur bakteri B

Cara kerja yang dilakukan pertama adalah isolasi dan identifikasi bakteri. Medium

Luria Bertani (LB) disiapkan untuk isolasi bakteri A (Arachnia propionica) dan medium

Tryptone Soya Broth (TSB) untuk isolasi bakteri B (Bacillus licheniformis).

Isolasi bakteri A dilakukan dengan mengambil 1 ose isolat bakteri kemudian

dimasukkan kedalam medium TSB dan diaduk secukupnya. Selanjutnya TSB yang sudah

diberi isolat diinkubasi dalam incubator shaker selama 24 jam dengan suhu 35±2oC.

Selanjutnya adalah tahap pengkayaan bakteri dengan cara mengambil 1 ose biakan kemudian

dimasukkan kedalam medium TSB 10 ml dan diinkubasi dengan incubator shaker pada suhu

35±2oC selama 24 jam. Isolasi bakteri B dilakukan dengan mengambil 1 ose isolat bakteri

kemudian dimasukkan kedalam medium LB dan diaduk secukupnya. Medium LB adalah

terdiri atas bahan-bahan tryptone, NaCl, yeast extract dan akuades yang dicampur

menggunakan stirrer tanpa panas agar homogen yang selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf

selama 15 menit pada suhu 121oC. Selanjutnya LB yang sudah diberi isolat diinkubasi dalam

incubator shaker selama 24 jam dengan suhu 35±2oC. Selanjutnya adalah tahap pengkayaan

bakteri dengan cara mengambil 1 ose biakan kemudian dimasukkan kedalam medium LB 10

ml dan diinkubasi dengan incubator shaker pada suhu 35±2oC selama 24 jam.

Limbah cair yang digunakan dalam praktikum acara Analisis dan Prediksi Beban

Pencemaran Limbah Cair Industri Perikanan didapap dari Mina Tayu. Industri ini mengolah

rolade ikan dan limbah cair didapat dari air bekas cucian ikan. Limbah yang didapat

kemudian diberi perlakuan bioremedias. Bioremediasi ini dilakukan dengan pertama-tama

menyaring limbah cair agar terpisah dari padatan. Limbah ini kemudian diukur DO, BOD,

BOD5, TSS, dan pHnya untuk dibandingkan dengan hasil perlakuan sebagai perlakuan awal.

Selanjutnya limbah dibagi menjadi ke dalam enam toples kaca. Satu toples digunakan sebagai

control dan tidak diberi perlakuan, sedangkan kelima toples lainnya diberikan perlakuan

sebagai berikut :

Page 22: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

1. Perlakuan fitoremediasi dan aerasi

2. Perlakuan fitoremediasi, aerasi dan penambahan kultur bakteri A

3. Perlakuan fitoremediasi, aerasi dan penambahan kultur bakteri B

4. Perlakuan aerasi dan penambahan kultur bakteri A

5. Perlakuan aerasi dan penambahan kultur bakteri B

Fitoremediasi dilakukan menggunakan tanaman air. Setelah itu air limbah di inkubasi selama

7 hari untuk melihat kerja dari masing-masing perlakuan. Selanjutnya diamati parameter DO,

BOD, BOD5, TSS, pH, kekeruhan, bau, dan protein terlarutnya. Hasil yang didapat kemudia

dibandingkan dengan baku mutu dan dihitung beban pencemarannya.

Fitoremediasi merupakan salah satu teknologi yang muncul berdasarkan gabungan

kegiatan tanaman dan asosiasinya dengan komunitas mikroorganisme untuk menurunkan,

memindahkan, menginaktifkan atau mengurangi bahan beracun di dalam perairan. Sejalan

dengan itu, menurut Chappel (1997), fitoremediasi adalah menggunakan tanaman hidup

secara langsung untuk mendegradasi dan meremediasi tanah, lumpur, sedimen dan perairan

yang tercemar secara in situ. Fitoremediasi dapat digunakan untuk membersihkan logam,

pestisida, pelarut minyak mentah, PAH, dan limbah cair yang dihasilkan oleh sebuah tempat

penampungan sampah. Berdasarkan etimologinya, fitoremediasi berasal dari bahasa

yunani/greek, phyton yang berarti tumbuhan/tanaman dan remediation berasal dari kata latin

remediare yang berarti memperbaiki, menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Fungsi

aerasi ini adalah menyuplai O2 untuk pengolahan secara biologi oleh bakteri aerobic untuk

penurunan kadar COD dalam limbah.

Hasil praktikum bioremediasi limbah menunjukkan nilai tiap parameter yang diuji.

DO (Dissolved Oxygen) atau Oksigen Terlarut adalah jumlah oksigen yang tersedia dalam

suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki

kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut

telah tercemar. (Weiss, 1970). Pada perlakuan fitoremediasi dan aerasi, kadar DO yang

didapat adalah 8 ppm. Hal tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan control yang tidak

diberi perlakuan apapun dengan kadar DO sebesar 2 ppm. Peningkatan kadar oksigen terlarut

disebabkan karena penggunaan tumbuhan air sebagai agen bioremediasi karena tumbuhan

menghasilkan oksigen sebagai produk dari fotosintesis yang dilakukannya. Oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa perlakuan fitoremediasi ini dapat mereduksi beban pencemaran.

pH, salah satu dari analisis yang paling umum dilakukan pada pengujian kualitas

tanah maupun perairan, adalah suatu standar perhitungan yang digunakan untuk mengetahui

seberapa asam maupun basa suatu senyawa. Diukur dengan skala dari 0-14, pH 7 adalah

Page 23: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

netral, pH kurang dari 7 bersifat asam dan lebih dari 7 bersifat basa.(Addy et. al., 2004).

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan pH sebesar 7 pada perlakuan pertama (fitoremediasi

+ aerasi). Bila dibandingkan dengan control maka terjadi penurunan pH dari basa (pH 8)

menjadi netral (pH 7). pH dapat dipengaruhi oleh kandungan CO2 yang ada dalam perairan,

semakin tinggi CO2 yang ada dalam perairan, maka pH akan semakin bersifat asam. (Addy

et. al., 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar CO2 dalam limbah cukup tinggi

sehingga dapat menurunkan pH, dapat disebabkan karena proses respirasi yang terjadi pada

tumbuhan yang menghasilkan CO2. Dibandingkan pada baku mutu pH limbah, maka pH

pada limbah yang diberi perlakuan fitoremediasi dan aerasi sudah memenuhi standar karena

berada dalam kisaran pH 6-9 yaitu pH 7. Maka, perlakuan fitoremediasi dan aerasi dapat

mereduksi beban pencemaran limbah perikanan dengan cukup baik.

Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis adalah

jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobic pada suatu badan air

untuk memecah material organic yang ada pada sampel. (Sawyer et. al., 2003). Oleh karena

itu semakin tinggi nilai BOD maka kualitas perairan semakin buruk karena semakin banyak

mikrobia yang menggunakan oksigen terlarut yang ada dalam perairan sehingga kandungan

oksigen terlarutnya sedikit. BOD yang diukur pada praktikum ini ada dua macam yaitu

BOD0 dan BOD5, BOD0 adalah BOD yang diukur pada hari pertama pengujian dilakukan

dan BOD5 adalah jumlah oksigen terlarut yang terdapat pada sampel air setelah diinkubasi

selama 5 hari. Karena pada saat pengujian BOD digunakan sampel yang sama maka angka

BOD0 kontrol dan semua perlakuan sama. Pada BOD5, control mempunyai kadar 7 ppm

sedangkan perlakuan pertama (fitoremediasi + aerasi) mempunyai kadar BOD5 sebesar 2,6

ppm. BOD5 pada control meningkat dibanding BOD0-nya (3,8 ppm menjadi 7 ppm)

menunjukkan bahwa perairan semakin memburuk tanpa adanya perlakuan, sehingga banyak

mikroorganisme yang berkembang biak dan menggunakan oksigen lalu mengurangi jumlah

DO yang terdapat dalam perairan. Sedangkan pada perlakuan fitoremediasi, BOD5 berkurang

dibandingkan BOD0 yaitu 3,8 ppm menjadi 2,6 ppm. Bila dibandingkan dengan baku mutu,

maka kadar BOD5 pada perlakuan fitoremediasi dan aerasi ini masih cukup tinggi karena

seharusnya menurut baku mutu, kadar BOD5 pada limbah adalah 1 ppm. Hal tersebut berarti

bahwa perlakuan fitoremediasi dan aerasi masih belum terlalu baik dan tidak dapat mereduksi

beban pencemaran limbah sesuai standar.

TSS (Total Suspended Solid) adalah semua partikel yang tersuspensi di air yang

tidak dapat melewati sebuah filter. Padatan tersuspensi dapat ditemukan pada air buangan dan

berbagai tipe limbah cair industry. Saat TSS meningkat, suatu badan perairan mulai

Page 24: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

kehilangan kemampuannya untuk menyokong diversitas kehidupan akuatik. Padatan

tersuspensi menyerap panas dari matahari yang dapat meningkatkan temperature air dan

kemudian menurunkan kadar oksigen terlarut. (Edward and Glysson, 1999). Pada perlakuan

fitoremediasi dan aerasi, TSS yang didapatkan adalah 0,1 mg/l. TSS pada perlakuan pertama

tersebut mempunyai jumlah lebih sedikit bila dibandingkan dengan control yang mempunyai

TSS 0,2 mg/l. Bila dibandingkan dengan baku mutu, maka perlakuan fitoremediasi dan aerasi

tersebut telah sesuai baku mutu karena baku mutu TSS limbah cair perikanan adalah 1 mg/l.

Protein terlarut dalam perairan dapat terdekomposisi lanjut. Protein kaya akan asam amino

bersulfur (sistein) yang dapat menghasilkan asam sulfide, gugus thiol dan amoniak. Hal

tersebut dapat menimbulkan bau busuk pada perairan. (Oktavia et. al., 2012).

Mikroorganisme yang digunakan dalam bioproses limbah udang harus memiliki sifat

proteolitik dan dapat menciptakan suasana asam agar protein dapat mengalami deproteinase.

(Austin, 1988). Bila dibandingkan dengan control, jumlah protein terlarut dalam limbah yang

diberi perlakuan fitoremediasi dan aerasi mengalami penurunan dari 1097 ppm menjadi 147

ppm. Hal tersebut menunjukkan bahwa mikroorganisme yang ada dalam limbah tersebut

mampu melakukan deproteinasi pada protein terlarut yang ada dalam limbah. Bila

dibandingkan dengan perlakuan lain, maka perlakuan dengan fitoremediasi saja tidak sebaik

dengan perlakuan menggunakan bakteri. Pada perlakuan dengan pemberian kultur bakteri

Arachnia propionica dan Bacillus licheniformis, protein terlarutnya adalah 77 ppm dan 82

ppm. Hal tersebut dapat disebabkan karena kultur bakteri tersebut merupakan bakteri

proteolitik sehingga dapat melakukan proses deproteinase dengan baik dan mereduksi beban

pencemaran limbahh cair perikanan.

Kekeruhan pada limbah cair industri perikanan yang diberi perlakuan fitoremediasi

dan aerasi mengalami penurunan. Pada control, kekeruhannya adalah ++++ (sangat keruh),

sedangkan setelah diberi perlakuan fitoremediasi dan aerasi kekeruhannya berkurang menjadi

++ (agak bening), hal ini dapat disebabkan karena menurunnya TSS pada perairan sebab TSS

yang terdapat pada perairan dapat menyebabkan perairan menjadi keruh.

Berdasarkan hasil perhitungan pada perlakuan fitoremediasi dan aerasi, beban

pencemaran TSS yang didapatkan adalah 210 kg. Hal tersebut menandakan bahwa beban

pencemaran limbah cair industry perikanan Mina Tayu yang telah diberi perlakuan

(fitoremediasi dan aerasi) masih memenuhi baku mutu beban pencemaran TSS yang

ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yaitu sebesar 210.000 kg atau

210 ton. Sedangkan beban pencemaran BOD limbah cair industry perikanan Mina tayu yang

telah diberi perlakuan (fitoremediasi dan aerasi) adalah 2.520 kg atau 2,52 ton. Beban

Page 25: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

pencemaran tersebut masih memenuhi baku mutu beban pencemaran BOD yang ditetapkan

oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yaitu sebesar 157.500 kg atau 157,5 ton.

Bila dibandingkan antar perlakuan berdasarkan parameternya maka perlakuan terbaik adalah

perlakuan III yaitu perlakuan dengan penambahan fitoremediasi, aerasi, dan bakteri Bacillus

licheniformis. Hal tersebut dapat dilihat dari parameter bau yang ditimbulkan, kandungan DO

dan protein terlarutnya. Bau yang ditimbulkan oleh perlakuan III adalah netral yang artinya

limbah tersebut tidak menghasilkan bau menyengat dan merupakan hasil terbaik dalam

menghilangkan bau limbah dibandingkan perlakuan lainnya. Pada kandungan DO,

kandungan DO perlakuan III adalah yang tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya (12 mg/l).

Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah oksigen terlarut meningkat dengan sangat baik pada

perlakuan III dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dilihat dari kemampuannya

mendeproteinase protein terlarut dalam limbah, maka perlakuan III tidak jauh berbeda dengan

perlakuan II. Namun hasil yang didapatkan sangat baik karena dapat menurunkan protein

terlarut yang dapat terdegradasi lanjut menjadi amoniak. Hal tersebut sesuai dengan teori

karena perlakuan III menggunakan kultur bakteri proteolitik yaitu Bacillus licheniformis.

Deproteinasi adalah proses pelepasan protein dari ikatan kitin limbah udang. Protein yang

terdapat pada limbah udang dapat berikatan secara fisik dan kovalen. Protein yang terikat

secara kovalen dapat didegradasi dengan perlakuan kimia yaitu pelarutan dalam larutan basa

kuat atau dengan perlakuan biologis (Austin, 1988). Deproteinasi secara biologis dilakukan

dengan menggunakan enzim protease, yaitu enzim yang mampu menghidrolisis ikatan

peptida dalam protein. Enzim protease ini dapat diperoleh dari metabolit sekunder mikroba

hasil kultivasi bakteri Bacillus licheniformis (Bisping, 2005).

Page 26: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengukuran parameter fisika limbah cair industry perikanan dilakukan dengan

mengukur TSS, kekeruhan dan bau. Pengukuran parameter kimia dilakukan dengan

mengukur pH, DO, BOD0 dan BOD5

2. Kuantitas tiap parameter berbeda sesuai dengan perlakuan :

a. TSS berkisar antara 0 mg/l (perlakuan V) hingga 0,2 mg/l (perlakuan II, III dan

IV)

b. pH berkisar antara 7 (perlakuan I dan II) hingga 8 (perlakuan III, IV, V)

c. DO berkisar antara 3 (perlakuan IV) hingga 12 (perlakuan III)

d. BOD5 berkisar antara 0,6 mg/l (perlakuan IV) hingga 2,8 (perlakuan II dan III)

B. Saran

Sebaiknya seluruh kegiatan praktikum dapat dilakukan oleh semua praktikan agar setiap

praktikan dapat memahami tiap perlakuan yang dilakukan.

Page 27: Laporan Reduksi Beban Pencemaran dengan Bioremediasi

DAFTAR PUSTAKA

Addy, K., Linda Green, and Elizabeth Herron. 2004. pH and Alkalinity. University of Rhode Island. Kingston.

Alaerts, G. dan Santika S. S. 1987. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.

Austin, P., C.J., Brine, J.E. Castle, and J.P. Zikakis. 1981. Chitin : New ofResearch. Science. 212 : 749

Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Bisping, B., G. Daun. and G. Haegan. 2005. Aerobik Deproteinization and Decalcification of Shrimp Wastes for Chitin Extraction. Discussion Forum “Prospect of Chitin Production and Aplication In Indonesia”. BPPT. Jakarta.

Chappel, S. 1997. Searching for Genetic Clues to The Causes of Pre-Eclampsia. Clinical Science 110 : 443-458.

Edwards, T.K., and Glysson, G.D., 1999, Field Methods for Measurement of Fluvial Sediment: U.S. Geological Survey Techniques of Water-Resources Investigations, Book 3, Chapter C2, 89 p.

Ginting, P. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Cetakan 1. Yrama Widya. Bandung.

Laksmi,B. S. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Jakarta.

Mara, D. 1976. Domestic Wastewater Treatment in Developing Countries. John Wiley & Son, Inc. New York.

Mason, C. F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman. New York.

Oktavia, D. A., Djumali M., Singgih W., Titi C.S., dan Mulyorini R. 2012. Pengelolaan Limbah Cair Perikanan Menggunakan Konsorsium Mikroba Indigenous Proteolitik dan Lipolitik. Agrointek Vol. 6 No. 2 : 65-71

Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta

Sawyer, C.N., Perry L. McCarty, Gene F. P. 2003. Chemistry for Environmental Engineering and Science. McGraw-Hill. New York.

Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. PT Grasindo. Jakarta.

Weiss, R. 1970. The Solubility of Nitrogen, Oxygen, and Argon in Water and Seawater. Deep-Sea Res. 17 : 721-735