50
I PENDAHULUAN Indonesia banyak terdapat jenis tanaman yang berpotensi untuk dijadikan obat. Sehingga saat ini banyak penelitian yang dilakukan peneliti Indonesia yang mengkaji potensi suatu tanaman asal Indonesia sebagai khasiat kesehatan. Saat ini pengobatan tradisional dengan menggunakan tanaman obat telah banyak digunakan karena memiliki beberapa keuntungan diantaranya lebih aman dan tidak memiliki resiko efek samping bagi tubuh (Wijayakusuma 2000). Dewasa ini banyak tumbuhan di Indonesia yang telah diketahui potensinya sebagai obat, tetapi masih banyak tanaman yang memiliki potensi sebagai tanaman obat belum diketahui manfaat utuhnya di Indonesia, beberapa diantara tenaman tersebut adalah jahe, temulawak dan kawista. Tanaman jahe mudah tumbuh dan telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Rimpang jahe dapat digunakan sebagai burnbu untuk masakan, bahan baku minurnan, dan obat-obatan. Dalam bidang makanan minurnan, jahe dapat dibuat wedang jahe, sekoteng, manisan jahe, wedang kopi jahe, dan sebagainya. Menurut Darwis et al. (1991), dalam bidang obat-obatan, jahe berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti urus-urus, rnasuk angin, cacingan, mengobati encok, mengobati luka, bronkhitis, asma, penyakit jantung, memperbaiki pencemaan dan perangsang syahwat. 1

Laporan tiyo

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan tiyo

I PENDAHULUAN

Indonesia banyak terdapat jenis tanaman yang berpotensi untuk dijadikan

obat. Sehingga saat ini banyak penelitian yang dilakukan peneliti Indonesia yang

mengkaji potensi suatu tanaman asal Indonesia sebagai khasiat kesehatan. Saat ini

pengobatan tradisional dengan menggunakan tanaman obat telah banyak

digunakan karena memiliki beberapa keuntungan diantaranya lebih aman dan

tidak memiliki resiko efek samping bagi tubuh (Wijayakusuma 2000). Dewasa ini

banyak tumbuhan di Indonesia yang telah diketahui potensinya sebagai obat,

tetapi masih banyak tanaman yang memiliki potensi sebagai tanaman obat belum

diketahui manfaat utuhnya di Indonesia, beberapa diantara tenaman tersebut

adalah jahe, temulawak dan kawista.

Tanaman jahe mudah tumbuh dan telah banyak dibudidayakan di

Indonesia. Rimpang jahe dapat digunakan sebagai burnbu untuk masakan, bahan

baku minurnan, dan obat-obatan. Dalam bidang makanan minurnan, jahe

dapat dibuat wedang jahe, sekoteng, manisan jahe, wedang kopi jahe, dan

sebagainya. Menurut Darwis et al. (1991), dalam bidang obat-obatan, jahe

berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti urus-urus, rnasuk

angin, cacingan, mengobati encok, mengobati luka, bronkhitis, asma, penyakit

jantung, memperbaiki pencemaan dan perangsang syahwat.

Kawista atau Limonia acidissima merupakan tanaman asal Famili

Rutaceae (jeruk-jerukan) dengan genus Feronia. Tumbuhan ini sebagian besar

banyak tumbuh pada daerah tropis. Di Indo-Cina, duri dan kulit batang kawista

digunakan dalam berbagai ramuan obat tradisional untuk mengobati haid yang

berlebihan, gangguan hati, gigitan dan sengatan binatang, dan untuk mengobati

mual-mual (Sukamto 1999). Menurut Ilango et al. (2009) buah kawista dapat

digunakan dalam pengobatan tumor, asma, sembelit, lemah jantung, dan hepatitis.

Hasil penelitian menyatakan bahwa buah kawista mengandung flavonoid,

glikosida, saponin, tanin, kumarin, dan turunan tiramin. Banyak penelitian yang

telah menyatakan bahwa buah kawista yang matang memiliki potensi sebagai

tanaman obat karena memiliki banyak khasiat, salah satunya adalah sebagai

antioksidan. Cangkang kawista buah memiliki senyawa anti jamur yaitu

psoralena, xanthotoxin, 2,6-dimetoksibenzakuinon dan osthenol bersama dengan

1

Page 2: Laporan tiyo

beberapa senyawa alkaloid, kumarin, flavonon, lignan, sterol dan triterpen yang

memilki aktivitas antimikroba.

Tujuan dari praktikum ini adalah, menetukan kadar air, kadar abu,

metabolit sekunder dengan fitokimia serta melakukan ekstraksi secara

maserasisokletesasi dandistilasi tanaman jahe. Setelah mendapatkan ekstrak

tujuan selanjutnya untuk menentukan eluen terbaik pada pemisahan ekstrak jahe

dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan memisahkan ekstrak dengan

kromatografi kolom. Tujuan berikutnya adalah mengetahui toksisitas ekstrak

dengan metode Brien Shrimp Letality Test (BSLT).

2

Page 3: Laporan tiyo

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Jahe (Zingiber officinale Rosc.)

Jahe merupakan akar-akaran segar atau kering dari Zingiber officinale.

Ahli botani Inggris William Roscoe (1753-1831) mempopularkan nama Zingiber

officinale pada tahun 1807. Keluarga jahe merupakan kelompok tanaman tropis,

terutama yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Terdiri atas lebih dari 1200

spesies tanaman dalam 53 genera. Genus Zingiber terdiri dari 85 spesies tanaman

obat aromatik yang berasal dari Asia Timur dan Australia tropis. Nama genus

tersebut diturunkan dari kata Sanskrit yang menunjukkan “bentuk tanduk,” yang

menerangkan tonjolan keluar pada bagian rimpang. Tanaman jahe tumbuh tegak

selama bertahun-tahun dengan ketinggian 1-3 kaki. Cabangnya dikelilingi pelepah

sebagai tempat tinggal daun-daunan bertingkat dua. Kayunya menyerupai paku

kekuningan dengan bunga-bunga bertepi ungu yang menjadi penguat di bagian

bawahnya yang berwarna kuning kehijauan, namun, jahe jarang berbunga dalam

pembudidayaan (Foster 2000 dalam Aminah 2004).

Klasifikasi tanaman jahe menurut Roscoe (1881) diacu dalam (Aminah

2004) adalah sebagai berikut:

Dunia : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotyledoneae

Ordo : Musales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Zingiber

Species : Zingiber officinale

Gambar 1. Jahe (Zingiber officinale) Sumber; http://permathic.blogspot.com

Komponen yang terkandung dalam rimpang jahe sangat banyak gunanya,

terutama sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa makanan dan minuman

serta digunakan dalam industri farmasi, industri parfum dan industri kosmetika

(Paimin dan Murhananto 1991). Di Indonesia, jahe digunakan sebagai bahan

pembuat jamu. Jahe yang masih muda dimakan sebagai lalap, acar, dan manisan

baik basah maupun kering. Dalam bentuk tepung atau oleoresinnya, digunakan

3

Page 4: Laporan tiyo

sebagai bahan flavor pada industri makanan (Koswara, 1995). Selain itu, jahe

juga sering digunakan untuk pengobatan tradisional (Darwis et al., 1991).

II.2 Kawista (Limonia acidissima)

Kawista atau Limonia acidissima merupakan jenis tanaman yang termasuk

ke dalam suku jeruk-jerukan (Rutaceae). Tanaman ini masih kerabat dekat dengan

maja, yaitu sejenis jeruk-jerukan yang berasal dari Asia tropika dan subtoprika.

Menurut Jones (1992) diacu dalam Sukamto (1999), tanaman kawista dahulunya

berasal dari India terutama di daerah-daerah kering. Selain tumbuh subur di

daerah kering India, tanaman ini diperkirakan pula tumbuh subur di daerah-daerah

kering Srilanka, Myanmar, dan Indo-China. Kemudian menyebar ke Malaysia dan

Indonesia. Tanaman ini biasanya tumbuh di daerah tropic musho yang sewaktu-

waktu mengalami musim kering. Mengenai adaptasinya, menurut Sukamto

(1999), tanaman ini mempunyai adaptasi yang baik pada daerah yang kering dan

tanah yang berpasir. Di Indonesia, kawista umumnya ditanam di pekarangan pada

daerah pantai. Kawista diperoleh di padang-padang rumput yang kering terutama

dekat laut dan kearah daratan tanaman ini sering ditanam.

Klasifikasi kawista menurut linaeus (sumber www.plantamor.com) adalah

sebagai berikut :

Kingdom: Plantae (Tumbuhan)

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Magnoliopsida

Ordo: Sapindales

Famili: Rutaceae

Genus: Limonia

Spesies: Limonia acidissima L.

Gambar 2. Buah Kawista (Limonia acidissima L.) sumber www.plantamor.com

Kawista memiliki beberapa manfaat menurut Ilango et al. (2009) buah

kawista dapat digunakan dalam pengobatan tumor, asma, sembelit, lemah jantung

dan hepatitis. Hasil penelitian menyatakan bahwa buah kawista mengandung

flavonoid, glikosida, saponin, tanin, kumarin dan turunan tiramin. Selain

berpotensi sebagai antioksidan buah kawista juga berpotensi sebagai antidiabetes

serta daunnya sebagai hepatoprotektif. Pada cangkang buah dilaporkan memiliki

4

Page 5: Laporan tiyo

senyawa anti jamur, yaitu psoralena, xanthotoxin, 2,6-dimetoksibenzakuinon dan

ostenol. Kulit batang tanaman menghasilkan 2S-5,3-dihidroksi-4-metoksi-6, 6-

dimetilkromeno-(7,8.2”,3”)-flavon bersama dengan beberapa senyawa alkaloid,

kumarin, flavanon, lignan, sterol dan triterpen yang ditemukan memiliki aktivitas

antimikroba.

II.3 Kromatografi

Istilah kromatografi digunakan pada beberapa teknik pemisahan

berdasarkan pada “migration medium” yang berbeda, yaitu distribusinya terhadap

fase diam dan fase gerak. terdapat 3 hal yang wajib ada pada teknik ini. yang

pertama yaitu harus terdapat medium perpindahan tempat, yaitu tempat terjadinya

pemisahan. Kedua harus terdapat gaya dorong agar spesies dapat berpisah

sepanjang “migration medium“. Yang ketiga harus terdapat gaya tolakan selektif.

Gaya yang terakhir ini dapat menyebabkan pemisahan dari bahan kimia yang

dipertimbangkan (sienko,et.al, 1984).

Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik pemisahan yang telah lama

digunakan secara luas, terutama dalam analisis campuran yang rumit dari sumber

alam. Tetapi dalam belakangan ini kromatografi lapis tipis digantikan oleh

“HPLC” (High Performance Thin-layer Chromatography) atau Kromatografi

Lapis Tipis Kinerja Tinggi (Munson, 1991). Adsorben yang paling banyak

digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah silika gel dan aluminium oksida.

Silika gel umumnya mengandung zat tambahan Kalsium sulfat untuk

mempertinggi daya lekatnya. Zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk

kromatografi senyawa netral, asam dan basa. Aluminum iksida mempunyai

kemampuan koordinasi dan oleh karena itu sesuai untuk pemisahan senyawa yang

mengandung gugs fungsi yang berbeda. Alu,inium okida mengandung ion alkali

dan dengan demikianbereaksi sebagai basa dalam suspensi air. Disamping kedua

adsorben yang sangat aktif ini dalam hal tertentu dapat digunakan “kieselgur”

yang kurang aktif sebagai lapis sorpsi.

Pada dasarnya kromatografi lapis tipis (KLT atau TLC = Thin layer

Chromatography) sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara

melakukannya. Perbedaan nyata terlihat pada media pemisahannya, yakni

digunakan lapisan tipis adsorben halus yang tersangga pada papan kaca,

5

Page 6: Laporan tiyo

aluminium atau plastic sebagai pengganti kertas. Lapisan tipis adsorben ini pada

proses pemisahan berlaku sebagai fasa diam (Soebagio 2002). Adsorben yang

paling banyak digunakan yaitu  silika gel yang dipakai untuk pemisahan campuran

lipofil maupun senyawa hidrofil. ketebalan adsorben yang paling sering

digunakan ialah 0,5 – 2 mm. pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah

tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLTP. Ukuran

partikel dan porinya kurang lebih sama dengan ukuran tingkat mutu KLT

(Hostettmann and Maston, 1986).

Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal

ditemukan. Ditinjau dari mekanismenya kromatografi kolom merupakan

kromatografi terapan atau adsorpsi berdasarkan jenis fasa yang digunakan. Fasa

diam berupa adsorben yang tidak boleh larut dalam fasa gerak, ukuran partikel

fasa diam harus seragam. Zat pengotor yang terdapat pada fasa diam dapat

menyebabkan adsorpsi tidak reversible. Sebagai fasa diam dapat digunakan

alumina, silica gel, arang, bauksit, magnesium kerbonat, talk, pati, sekilator, gula,

dan tanah diatome. Pengisian fasa diam ke dalam kolom dapat dlakukan dengan

cara kering dan cara basah. Fasa gerak pada kromatografi kolom dapat berupa

pelarut tunggal atau campuran beberapa pelarut dengan komposisi tertentu.

Pelarut dapat berupa pelarut polar dan pelarut non polar. Umumnya senyawa non

polar dengan berat molekul kecil lebih cepat meninggalkan fasa diam (Soebagio

2002).

II.4 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari

suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solven) sebagai separating

agent. Prinsip ekstraksi yang umum digunakan adalah prinsip atau metode

maserasi yang lebih praktis dan tidak terlalu banyak menggunakan alat. Metode

ini menggunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, yaitu

kloroform (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar) (Nurjanah et al.

2012). Ekstraksi dilakukan untuk mengambil zat-zat yang terkandung dalam suatu

campuran. Ekstraksi merupakan proses secara selektif mengambil zat terlarut

dengan bantuan pelarut. Metode pemisahan pada ekstraksi pelarut bekerja

menurut prinsip kelarutan like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan

6

Page 7: Laporan tiyo

senyawa polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Dengan

demikian, hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang

terdapat dalam sampel dan jenis pelarut yang digunakan. Dalam pemilihan

pelarut, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah selektivitas, sifat racun, dan

kemudahannya untuk diuapkan (Harborne, 1987).

Metode ekstraksi yang dilakukan tergantung pada tekstur, kandungan air

bahan tumbuhan yang diekstrak, dan jenis senyawa yang diisolasi. Beberapa

metode yang umumnya digunakan adalah maserasi, penggodogan, refluks, dan

sokletasi. Metode maserasi dilakukan dengan merendam sampel dalam pelarut

pada waktu tertentu. Kelebihan metode ini adalah tidak memerlukan alat-alat yang

rumit, relatif murah, bisa menghindari kerusakan komponen senyawa karena tidak

menggunakan panas sehingga baik untuk sampel yang tidak tahan panas dan

banyak mengandung komponen volatil seperti jahe merah. Selain itu, proses

pengadukan dengan bantuan pengocok selama ekstraksi juga bertujuan untk

mempercepat pelarutan dan ekstraksi padatan dengan jalan membentuk suspensi

serta melarutkan partikel-partikel ke dalam media pelarut (Lestari, 2006).

Setelah direndam dalam pelarut, dilakukan penyaringan untuk

memisahkan ampas dengan filtrat. Pelarut harus dipisahkan dengan ekstrak

menggunakan rotary vaccuum evaporator untuk menghindari bias efek toksik

pelarut terhadap sel target. Dalam tahapan pemisahan pelarut, hal yang harus

diperhatikan adalah suhu evaporasi. Suhu evaporasi yang tinggi akan

menyebabkan terjadinya degradasi komponen dalam ekstrak yang tidak tahan

panas. Oleh karena itu, pemisahan pelarut dilakukan dengan menggunakan

bantuan pompa vakum untuk menurunkan titik didih pelarut (Lestari, 2006).

Sokletasi penyarian simplisia secara berkesinambungan dimana cairan

penyari dipanaskan hingga menguap. Uap cairan penyari terkondensasi menjadi

molekul-molekul cairan oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia di

dalam klonsong, selanjutnya cairan penayri bersama-sama dengan kandungan

kimia akan turun kembali ke labu alas bulat atau labu penampung. Proses ini

berlangsung hingga penyarian zat aktif dianggap sempurna yang ditandai dengan

beningnya cairan penyari yang melalui pipa siphon dan jika diidentifikasi dengan

KLT tidak memberikan noda (Najib, 2006). Sedangkan refluk merupakan teknik

7

Page 8: Laporan tiyo

ekstraksi dengan cara mendidihkan cairan dalam wadah yang disambungkan

dengan kondensor sehingga cairan terus menerus kembali kedalam wadah. Teknik

ini digunakan untuk melaksanakan reaksi dalam waktu lama, semisal sintesis

organik (Freiser 1957)

II.5 Fitokimia

Flavonoid merupakan salah satu dari sekian banyak senyawa metabolit

sekunder yang dihasilkan oleh suatu tanaman, yang bisa dijumpai pada bagian

daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Secara kimia, flavonoid

mengandung cincin aromatic tersusun dari 15 atom karbon dengan inti dasar

tersusun dalam konjugasi C6-C3-C6 (dua inti aromatik terhubung dengan 3 atom

karbon) (Ningsih, 2005). Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi

struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi,  mencegah

keropos tulang dan sebagai antibiotik (Agestia, 2009).

Flavonoida mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom

karbon, dimana dua cincin benzene (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-

C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur senyawa flavonoida

yaitu flavonoida, isoflavonoida dan neoflavonoida. Senyawa-senyawa flavonoid

terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propane dari

sistem 1,3-diarilpropana. Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis yang

banyak ditemukan di alam sehingga sering disebut sebagai flavonoida utama.

Banyaknya senyawa flavonoida ini disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi,

alkosilasi atau glikosilasi dari struktur tersebut (Lenny, 2006).

Alkaloid adalah senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau

alkali dan sifat basa ini disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen) dalam

molekul senyawa tersebut dalam struktur lingkar heterosiklik atau aromatis, dan

dalam dosis kecil dapat memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan.

Selain itu ada beberapa pengecualian, dimana termasuk golongan alkaloid tapi

atom N (Nitrogen)nya terdapat di dalam rantai lurus atau alifatis (Nadjeb, 2010).

Ciri khas yang menandai bahwa suatu ekstrak mengandung alkaloid adalah

terbentuknya endapan pada uji Mayer, Wagner dan Dragendorff. Tujuan

penambahan HCl adalah karena alkaloid bersifat basa sehingga biasanya diekstrak

dengan pelarut yang mengandung asam (Harborne, 1996). Perlakuan ekstrak

8

Page 9: Laporan tiyo

dengan NaCl sebelum penambahan pereaksi dilakukan untuk menghilangkan

protein. Adanya protein yang mengendap pada penambahan pereaksi yang

mengandung logam berat (pereaksi Mayer) dapat memberikan reaksi positif palsu

pada beberapa senyawa (Santos et al., 1998).

Menurut Marliana et al. (2005) Hasil positif alkaloid pada uji Mayer

ditandai dengan terbentuknya endapan putih. Diperkirakan pada uji alkaloid

dengan pereaksi nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari

kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang

mengendap. Hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai dengan terbentuknya

endapan coklat muda sampai kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalah

kalium-alkaloid. Sedangkan Hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff juga

ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. Endapan

tersebut adalah kalium-alkaloid.

Tanin berkolerasi dengan kandungan protein adanya tanin akan

mengendapkan protein pada gelatin. Tanin bereaksi dengan gelatin membentuk

kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Reaksi ini lebih sensitif dengan

penambahan NaCl untuk mempertinggi penggaraman dari tanin-gelatin

(Harborne, 1996). Ciri khas hasil positif kandungan saponin adalah timbulnya

busa pada uji Forth yang menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai

kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan

senyawa lainnya (Rusdi, 1990 dalam Marliana et al. 2005).

II.6 Toksisitas Akut BSLT (Brine Shrimp Letality Test)

Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas

farmakologi suatu senyawa. Larva udang memiliki kulit yang tipis dan peka

terhadap lingkungannya sehingga banyak digunakan dalam uji toksisitas. Zat atau

senyawa asing yang ada di lingkungan akan terserap ke dalam tubuh secara difusi

dan langsung mempengaruhi kehidupannya. Prinsip uji toksisitas adalah bahwa

komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan dengan dosis rendah

(Hamburger dan Hostettman 1991).

Salah satu metode uji bahan sitotoksik adalah uji toksisitas terhadap larva

udang Artemia salina Leach (brine shrimp lethality test). Metode uji toksisitas

larva udang (BSLT) dengan menggunakan A. salina dianggap memiliki korelasi

9

Page 10: Laporan tiyo

dengan daya toksisitas senyawa-senyawa bioaktif, sehingga sering dilakukan

untuk skrining awal pencarian senyawa bioaktif. Metode ini dikenal sebagai

metode yang mudah, cepat, murah, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan

(Meyer et al. 1982). Proses penetasan larva udang A. salina menggunakan air laut

dengan bantuan aerator untuk menjaga agar kadar oksigen yang terlarut. Telur

akan sulit menetas jika oksigen dalam air kurang. Umur larva udang yang

digunakan adalah 24 jam setelah menetas. Kondisi larva udang pada umur

tersebut masih lunak, sehingga memudahkan senyawa asing dalam air laut masuk

dan menyebabkan kematian. Kematian larva udang yang disebabkan masuknya

senyawa asing dijadikan dasar untuk pengujian toksisitas bahan ekstrak aktif.

Uji toksisitas digunakan untuk menentukan toksisitas senyawa kimia yang

terkandung dalam tanaman obat dan untuk menentukan potensi bioaktif senyawa

bahan alam (Sukadirman et al. 2004). Hasil uji toksisitas dinyatakan dengan nilai

LC50. Nilai LC50 yaitu konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk menurunkan

kemampuan hidup larva udang sebesar 50%. Jika nilai LC50 dibawah 1000

µg/mL maka suatu senyawa atau ekstrak aktif dari suatu sampel memiliki potensi

bioaktif (Meyer et al. 1982).

10

Page 11: Laporan tiyo

III. BAHAN DAN METODE

2.1 Kadar air dan kadar abu

Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol timbang, neraca

analitik, eksikator, oven, tanur listrik, cawan porselin, pembakar gas dan gegep

besi. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut

cottonii

Prosedur praktikum

a. Penetapan kadar air

Botol timbang dicuci lalu dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit.

Setelah didinginkan dalam eksikator, botol kemudian ditimbang. Sebanyak 3

gram bahan, dimasukan dalam botol timbang, kemudian dikeringkan pada suhu

105 oC selama 2 jam. Setelah didinginkan dalam deksikator kemudian ditimbang

lagi. Bila bobot hasil penimbnagan kedua telah sama dengan sebelumnya maka

telah dapat ditentukan kadar airnya. Dimana perlakuan dilakukan dublo.

Perhitungankadar air=(a−b)a

×100 %

Keterangan : a : bobot bahan sebelum dikeringkan

b: bobot bahan setelah dikeringkan.

b. Penetapan kadar abu

Cawan porselin dikeringkan pada suhu 600 oC selama 30 menit,

didinginkan didalam eksikator kemudian ditimbang. Sebanyak 2 gram contoh

dimasukan ke dalam cawan porselin, kemudian cawan dan isinya dipanaskan

dengan nyala Bunsen sampai tidak berasap lagi kemudian dimasukkan kedalam

tanur listrik dengan suhu 600 oC sampai contoh menjadi abu selama 30 menit,

kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Dimana perlakuan

dilakukan dublo.

Perhitungankadar abu=ab

× 100 %

Keterangan : a = Bobot abu,

b = Bobot sampel

11

Page 12: Laporan tiyo

2.2 Uji Fitokimia

Prosedur kerja

a. Identifikasi flavonoid

Sebanyak 50 gram sampel ditambah air panas, didihkan selam 5 menit lalu

disaring. Filtrat sebanyak 5 ml ditambah serbuk Mg, 1 ml HCL pekat dan 1 ml

amil alcohol kemudian dikocok dengan kuat. Adanya flavonoid ditunjukan

dengan terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alcohol.

b. Identifikasi Alkoloid

Sebayak 50 mg sampel ditambah 10 ml klorofoan amoniak, kemudian

disaring dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak klorofoam dalam tabung reaksi

kemudian dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2M, kemudian lapisan asamnya

dipisahkan dalam tabung reaksi lain. Sampel diteteskan dalam spot plat dan

ditambahkan tiga tetes pereaksi dragendorf, mayer dan wagner. Uji positif untuk

alkaloid jika terbentuk endapan berwarna merah- jingga, putih dan cokelat.

c. Identifikasi saponin

Sebanyak 50 mg sampel ditambah dietil eter. Residu yang tidak larut

dalam dietil eter diambil, dipisahkan dan ditambahkan 5 ml air kemudian dikocok

sampai timbul busa yang stabil.

d. Identifikasi Steroid-Triterpenoid

Fraksi yang larut dalam dietil eter pada uji saponin dipisahkan dalam

campuran tersebut ditambahkan anhidrida, asam asetat dan asam sulfat pekat

(3:1). Apabila terbentuk warna merah atau ungu menunjukkan kandungan steroid

atau triterpenoid.

e. Identifikasi Tanin

Sebanyak 50 mg sampel dilarutkan dalam 5 ml etanol ditambah dengan

beberapa tetes pereaksi FeCl3 1 %. Adanya tannin ditunjukan dengan

terbentuknya warna hijau, biru atau ungu.

2.3 Ekstraksi

a. Alat dan bahan

Alat yang yang digunakan dalam praktikum ini adalah neraca, labu

erlenmeyer, gelas piala, rotary evaporator, corong, kertas saring dan pengaduk,

12

Page 13: Laporan tiyo

sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut

Eucheuma cottonii, methanol.

c. Prosedur kerja

1. Metode Maserasi (proses ekstraksi tanpa pemanasan)

Ditimbang sample ± 10 gram kering, lalu sampel dimasukkan kedalam

gelas piala. Gelas piala yang sudah berisi sampel kemudian ditambah methanol

100 ml, diaduk hingga semua ekstrak larut. Tunggu 1 jam kemudian disaring

(proses maserasi dilakukan di stirrer plate) (Start waktu 8.24, stop 9.24).

Lanjutkan dengan pengeringan pada rotary evaporator setelah itu sampel

ditimbang.

2. Metode sochlet

Timbang 10 gr sampel (duplo), Buat selongsong dari kertas saring

kemudian diikat dengan tali kasur. Masukkan dalam tabung sochlet, tambahkan

kedalam labu sochlet 50 ml methanol dan beberapa labu didih. Running selama 2

jam (start 9.00, stop 11.00). suhu mempengaruhi kecepatan siklus. Semakin tinggi

suhu maka siklus akan semakin cepat. Ukuran optimum proses adl 4-5 siklus/jam.

Ekstak dalam labu sochlet kemudian diuapkan dalam rotary evaporator dan

setelah kering selanjutnya ditimbang.

3. Destilasi

Sampel jahe yang dicincang halus, kemudian ditambah aquades sampai

terendam, tunggu hingga mendidih dan uap ditampung dan didinginkan

menggunakan air es. Buarkan uap panasnya menyublim dan kembali menjadi

cairan. Tampung cairan dan keringkan menggunakan rotary evaporator dan

setelah kering selanjutnya ditimbang.

4. Refluks (proses ekstraksi dengan pemanasan)

Timbang sampel jahe sebanyak 10 gram dan lakukan duplo masukan dalam

tabung refluks. Tambahkan methanol 50 ml, ditempat tersebut letakkan akuades di

beaker glass untuk mengukur suhu. Proses refluks (start waktu : 8.36, stop : 9.36).

Kedalam tabung dimasukkan bandul supaya kalau panas tidak meletup-letup.

Tunggu selama 1 jam kemudian saring filtrat yang didapat. Kemudian Ampasnya

+ methanol 50 ml Refluks kembali Saring filtrat didapat. Ampas + 50 ml

13

Page 14: Laporan tiyo

methanol, refluks kembali selama 1 jam saring Filtrat tersebut kemudian

campurkan semua filtra dan dikeringkan dalam rotary evaporator.

2.4 Kromatografi

Alat dan bahan

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cahmber KLT,

pipet volumetrik dan mohr, pinset pipa kapiler. Sedangkan bahan yang diperlukan

adalah ekstrak methanol, pelarut untuk eluen (heksan dan etil 3:1) dan pelat silica

gel GF254.

Prosedur kerja

Persiapan larutan pengembang dan bejana kromatografi

Siapkan eluen yang sesuai dengan kandungan fitokimia yang terdapat pada

akar mogrove avincenia marina (heksan dan etil 3:1) didalam bejana

kromatografi. Setelah ditutup benjana digoyangkan agar eluen didalamnya

tercampur dengan baik. Eluen dijenuhkan minimal selama 15 menit.

Aplikasi dan pemisahan sampel

Teteskan larutan ekstrak dengan menggunakan pipa kapiler kepermukaan

pelat TLC. Penetesan dilakukan berulang hingga diperoleh spot/ pita yang pekat

(pastikan pelarut dibiarkan kering terlebih dahulu sebelum pengulangan

penetesan). Pelat TLC dimasukkan kedalam bejana kromatografi, pengembangan

dilakukan hingga larutan pengembang mencapai jarak ± 1 cm dari tepi atas pelat.

Pelat diangkat dan dikeringkan. Catat nilai Rf masing-masing spot dan warna

lyang teramati.

Rumus Rf = Jarak tempu h komponendi h itung daritempat penetesanjarak tempu h eluendi h itung daritempat penetesan

2.5 Pemisahan ekstrak dengan kromatografi kolom

Alat dan bahan

Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ekstrak

methanol, eluen terbaik (heksan dan etil) dan serbuk silica gel.

Prosedur kerja:

14

Page 15: Laporan tiyo

Pengemasan kolom kromatografi

Pada bagian dasar kolom yang bersih dimasukkan glass wol secukupnya,

kemudian dimasukkan eluen hingga ketinggian 1/3 kolom. Sementara itu siapkan

bubur silica dengan melarutkan bubuk silica dalam eluen yang digunakan. Bubur

silica dimasukkan secara perlahan-lahan. Setelah selesai cerat kolo dibuka dan

eluen dialirkan terus menerus melalui cerat kolom hingga diperoleh kolom yang

pengepakannya homogeni dan tidak ada lagi gelembung udara dari dalam kolom.

Sementara itu, eluen terus dialirkan ke dalam kolom dari tampungan eluen tetes

demi tetes.

Aplikasi dan pemisahan ekstrak

Larutan ekstrak diteteskan dengan menggunakan pipet tetes kepermukaan

mulut kolom bagian atas. Pemisahan dilakukan hinggaekstrak keluar dari kolom.

Eluen yang digunakan adalah etil dan heksan. Setelah itu fraksi-fraksi yang

didapat dikumpulkan secara visual dan dikumpulkan dan bandingkan kesamannya

dengan penggunaan KLT.

2.6 Uji aktivitas BSLT

a. Alat dan bahan

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pipet mikro, pelat

pengujian toksisitas terhadap larva udang, labu takar yang berukuran 25 dan 50 ml

dan pipet mohr. Sedangkan bahan yang digunakan meliputi larva udang, ekstrak

lorjuk dan air laut.

b. Prosedur kerja

Ekstrak metabolit sekundar dilarutkan dalam air laut. Kedalam masing-

masing pelat pengujian dimasukkan 10 ekor larva udang dan larutan ekstrak

metabolit sekundar hingga diperoleh kosentrasi 50-1000 ppm ( masing-masing

tiga kali ulangan). Larva udang diinkubasi selama 24 jam. Jumlah larva udang

yang mati dihitung dan ditentukan rerata jumlah larva yang mati dari 3 kali

ulangang yang dilakukan. Kemudian dibuat kurva hubungan antara kosentrasi

ekstrak metabolit sekunder sebagai sumbu X dan rerata persen kematian larva

udang sebagai sumbu Y untuk mendapatkan nilai LC50.

15

Page 16: Laporan tiyo

III HASIL DAN PEMBAHASAN

3. 1 Kadar air dan kadar abu

Hasil pengukuran kadar air dan abu sampel Jahe Zingiber officinale dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kadar air dan kadar abu Jahe

Ulangan Kadar air (%) Kadar abu (%)

1 4,1148 8,6768

2 4,1690 8,9953

3 4,4375 8,6042

Rataan 4,240 8,7587

Air merupakan komponen penyusun terbesar yang ada pada makhluk hidup

selain itu air juga merupakan komponen terpenting dalam bahan makanan karena

air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Semua

bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan

makanan hewani maupun nabati. Kandungan air dalam bahan makanan ikut

menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu (Winarno 1997).

Kadar air Jahe (Zingiber officinale pada praktikum ini ditentukan dengan cara

pengeringan (thermogravimetri). Prinsip cara thermogravimetri yaitu menguapkan

air yang ada pada bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan

sampai berat konstan yang berarti semua air telah diuapkan (Sudarmadji et al.

2007).

Rata-rata hasil analisis kadar air Jahe (Zingiber officinale) yaitu 4,240%,

hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Prasetyawati (2003)

dimana rimpang kering jahe mengandung 6,4 ± 0,9 kadar air. Hasil tersebut sesuai

dengan persyaratan baku mutu jahe kering menurut SNI (1994) dimana

kandungan maksimal jahe yang diperbolehkan adalah sebesar 12%. Rendahnya

kadar air jahe disebabkan hal ini disebabkan jahe yang digunakan telah

dikeringkan secara optimal sehingga semakin sedikit air terperangkap dalam sel.

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara

pengabuannya. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam

16

Page 17: Laporan tiyo

suatu bahan (Sudarmadji et al. 2007). Mineral memegang peranan penting dalam

pemeliharaan fungsi tubuh baik di tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi

tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Hasil analisis kadar abu jahe yaitu

8,76 % hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dilakukan

Prasetyawati (2003) dimana kadar abu jahe kering sebesar 8,1±0,13. Kadar abu

tersebut sedikit jauh dari kriteria baku mutu jahe kering menurut SNI (1994)

dimana kandungan abu jahe kering maksimal diperbolehkan sebesar 8 %.

3.2 Uji Fitokimia

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif yang terdapat

pada suatu bahan alam. Komponen bioaktif berpotensi mencegah berbagai

penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskular (Harborne 1987). Uji

fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, dan

tanin. Hasil uji fitokimia Jahe (Zingiber officinale) dapat dilihat pada Tabel

dibawah ini.

Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Jahe Zingiber officinale

Identifikasi Hasil Uji KeteranganFlavonoid ++ Warna kuning ada endapan Alkaloid- Mayer- Wagner- Dragendorf

+++

Warna merah kecoklatanWarna merah kecoklatanWarna merah kecoklatan

Saponin + Tidak timbul busaSteroid-Triterpenoid - Warna ungu kehitaman

Terdapat endapan Tanin - Coklat kehitaman

3.2.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun

jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder,

dimana saat ini diketahui sebanyak 5500 jenis alkaloid (Harborne 1987). Alkaloid

terdiri dari 3 pengujian yaitu: Dragendrof, Meyer, dan Wagner. Berdasarkan uji

fitokimia jahe menunjukkan pereaksi Dragendrof, Meyer, dan Wagner pada uji

alkaloid menunjukkan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya endapan.

Menurut Marliana et al. (2005) terbentuknya endapan putih pada uji Mayer,

Wagner dan Dragendorff menunjukan dalam ekstrak bahan tersebut terdapat

17

Page 18: Laporan tiyo

kandungan alkaloid. Diperkirakan endapan tersebut adalah kompleks kalium-

alkaloid. Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian Tarigan et al (2008) bahwa

jahe yang digunakan sebagai bahan jamu tradisional positif mengandung alkaloid

(+). Menurut Choudhury et al. (2011), alkaloid dapat berada dalam bentuk garam

dari asam organik, asam oksalat, melica, laktat, tartat dan aconitin pada bagian

tumbuhan.

3.2.2 Flavonoid

Flavonoid juga dikenal sebagai chrysin, oroxylin-a, scutellarin, baicalein,

biochanin-a, dan asam elagic yang memberikan respon sebagai anti-inflammatory,

diuretic, anti fungi,dan anti bakteri (Maitreyi et al., 2008). Dari hasil uji fitokimia

ternyata jahe (Zingiber officinale) positif mengandung flavonoid. Hasil tersebut

sesuai yang dengan hasil penelitian yang dilakukan Tarigan et al. (2008) dimana

jahe yang digunakan sebagai bahan jamu tradisional positif mengandung

flavonoid (+). Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk

aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne 1987). Karena

mempunyai sejumlah gugus gula, flavonoid bersifat polar. Flavonoid dapat

digunakan untuk mengurangi resiko berberapa penyakit kronis dengan

kemampuannya sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti-proliferasi.

3.2.3 Saponin

Dari hasil uji fitokimia jahe (Zingiber officinale) positif mengandung

saponin yang dapat dilihat dari larutan yang terdapat gelembung. Hasil tersebut

kurang sesuai dengan hasil penelitian Tarigan et al. (2006) dimana jahe yang

digunakan sebagai bahan jamu tradisional negatif (-) mengandung saponin.

Didukung dengan penelitian Mudrikah (2006) dimana jahe merah negatif

mengandung saponin. Saponin didefinisikan berdasarkan aktivitas permukaannya.

Kebanyakan saponin mampu membentuk busa dan stabil dalam air, memiliki

aktivitas hemolitik dan memiliki rasa yang pahit dan beracun terhadap ikan

(piscicidal). Saponin banyak ditemukan di beberapa tumbuhan, termasuk

beberapa di antaranya sering digunakan sebagai bahan makanan seperti kacang-

kacangan (Sezgin 2010).

Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel

hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal dapat menimbulkan

18

Page 19: Laporan tiyo

efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan oleh saponin

dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia. Sifat ini lendir akan dilunakkan

atau dicairkan. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat oleh aktivitas

permukaan serta dapat meregang partikel (Sirait 2007).

3.2.4 Steroid-Tripenoid

Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari

enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30

asiklik, yaitu skualena. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik

lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia

tidak reaktif (Harborne 1987). Dari hasil uji Steroid-Tripenoid jahe (Zingiber

officinale) tidak mengandung seyawa steroid tripenoid. Hasil tersebut kurang

sesuai dengan hasil penelitian Tarigan et al. (2008) dimana jahe negatif (-)

mengandung tripenoid. Hasil praktikum didukung dengan penelitian Mudrikah

(2006) dimana jahe merah negatif (-) mengandung Steroid-Tripenoid.

Steroid merupakan triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin

siklopentana perhidrofenantrena. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa

dan pengelompokkan ini didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh

masing-masing senyawa. Kelompok-kelompok tersebut yaitu sterol, asam-asam

empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin

(Harborne 1987).

3.2.5 Tanin

Tanin umumnya didefinisikan sebagai senyawa polifenol alami dengan

berat molekul yang tinggi dan cukup untuk membentuk kompleks dengan protein.

Metode kuantifikasi tannin didasarkan pada sifat kimia tannin atau

kemampuannya untuk mengikat substrat, terutama protein. Tannin berdasarkan

jenis struktualnya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu tanin

terhidrolisa dan tannin kondensasasi (FAO 2000). Tannin bersifat toksik terhadap

mikroba melalui mekanisme penghambatan enzim dan penghambatan penggunaan

substrat oleh mikroba, menghambat penggunaan ion logam dan mengganggu

membran mikroba. Tanin dapat digunakan sebagai komponen antidiare,

hemostatic dan antihemorrhoidal (Shahidi dan Naczk 1995).

19

Page 20: Laporan tiyo

Hasil uji fitokimia terhadap jahe (Zingiber officinale) menunjukkan bahwa

tidak terdapatnya tanin, hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya perubahan

warna pada sampel. Hasil praktikum kurang sesuai dengan penelitian Tarigan et

al. (2008) dimana jahe positif mengandung tanin. Hasil praktikun sesuai dengan

penelitian yang dilakukan Mudrikah et al. (2006) dimana hasil uji tanin negatif

terhadap ekstrak jahe merah. Jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) merupakan

salah satu jenis strain dari jenis jahe.

Tanin terkondensasi yaitu tanin yang terbentuk dengan cara kondensasi

katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang

lebih tinggi. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila

direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung

satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Sedangkan tanin

terhidrolisis terdiri dari dua kelas yaitu depsida galoilglukosa dan dimer asam

galat (Harborne, 1987).

3.3 Ekstraksi

Tabel 3. Data hasil ekstraksi Jahe (Zingiber officinale)

Tipe EkstraksiRendemen (Duplo) %

1 2 Rata-rata

Maserasi (Tanpa Pemanasan) 16,8879 19,8696 18,3787

Refluks (Pemanasan) 30,27 25,85 28,06

Sochlet 4,864 7,8849 6,3744

Distilasi - - -

Ekstraksi dilakukan untuk memisahkan komponen-komponen senyawa aktif

dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut. Tujuan dari proses ini adalah

mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung

komponen-komponen bioaktif (Harborne 1987). Ekstraksi Jahe (Zingiber

officinale) dilakukan dengan metode soksletasi, destilasi, maserasi dan refluks

menggunakan pelarut metanol. Soksletasi adalah ekstraksi solute dari padatan

dengan menggunakan pelarut organik yang cocok dan proses terjadi berulang-

ulang, sedangkan destilasi merupakan teknik pemisahan berdsarkan titik didih

atau volatilitas.

20

Page 21: Laporan tiyo

Penentuan rendemen ekstrak yang dilakukan pemisahan ekstrak dengan

pelarut menggunakan rotary evaporator. Rendemen dihitung dengan

membandingkan antara berat ekstrak dan berat sampel yang digunakan. Hasil

perhitungan menunjukan rendemen ekstrak kasar jahe dengan metode maserasi

adalah rata-rata sebesar 18,3787 % dan refluks menghasilkan rendemen rata

sebesar 28,06 % dan metode soklet menghasilkan rendemen sebesar 6,3744.

Terdapat kegagalan dalam penggunaan metode distilasi. Dari hasil tersebut dapat

dilihat bahwa ekstraksi dengan metode refluk lebih efektif dibanding metode lain

yang digunakan. Hasil ini dapat dilihat dari rendemen ekstrak kasar yang lebih

besar. Proses ekstraksi dengan metode refluks, contoh selalu diekstrak dengan

pelarut segar.

3.3.1 Penentuan Eluen terbaik dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer Chromatography) merupakan metode

awal pemisahan senyawa dan identifikasi komponen-komponennya. Metode ini

berdasarkan distribusi komponen yang berbeda dari suatu senyawa campuran

antara fase bergerak dan fase diam pada suatu lempeng tipis. Fase diamnya berupa

lapisan tipis yang melekat atau terikat pada suatu material (dapat berupa gelas,

plastik atau lembaran metal), yang memungkinkan fase bergerak dapat bergerak

ke atas secara kapilari. Proses pemisahan senyawa berdasarkan prinsip bahwa

tiap komponen dalam campuran senyawa memiliki perbedaan polaritas dan akan

terserap oleh fase diamnya (misalnya gel silika), demikian juga pelarut

(adsorbent) dan zat terlarut (dissolve) yang berada pada fase gerak, akan bergerak

pada tingkatan yang berbeda. Oleh karena itu, tiap komponen dalam campuran

senyawa akan tertarik oleh pelarut fase gerak pada tingkatan yang berbeda di

sepanjang plat kromatografi. Senyawa yang terikat lebih dulu (fase diam)

merupakan senyawa polar dan senyawa yang terus bergerak atau yang memiliki

nilai Rf yang tinggi (berada paling atas) merupakan senyawa non polar.

Hasil pemisahan senyawa akan menunjukkan spot-spot yang terpisah

sepanjang plat kromatografi lapis tipis (KLT) berdasarkan tingkat polaritasnya.

Spot-spot ini kemudian ditandai di bawah sinar UV (Ultra Violet). Faktor

retardasi (Rf) dari tiap spot komponen yang terpisah dapat dikalkulasi dengan

mengukur jarak dari titik awal sampel ke tengah spot yang sudah terpisah. Nilai

21

Page 22: Laporan tiyo

Rf tersebut merupakan langkah awal untuk memperkirakan jenis (identifikasi

awal) senyawa organik yang telah terpisah (Furniss et al. 2004 diacu dalam Ismet

2007).

Identifikasi awal dalam menentukan keberadaan (ada atau tidaknya

senyawa) dan kemurnian senyawa dilakukan dengan menggunakan Alumunium

Sheets Silika Gel 60F254 pada metoda Thin Layer Chromatography (TLC) atau

Kromatografi Lapis Tipis (KLT). KLT dilakukan dengan mencoba empat jenis

pelarut yaitu metanol, kloroform, etil asetat, dan heksana. Hasil KLT berupa

band-band atau spot (kelompok senyawa sejenis) dengan nilai Rf (retardaction

fraction) tertentu adalah petunjuk keberadaan senyawa bioaktif yang terpisah

menurut kepolarannya. Hasil selengkapnya pengidentifikasian awal senyawa

bioaktif hasil fraksinasi ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil ini digunakan sebagai

panduan pemilihan macam pelarut untuk proses pemurnian dengan kolom

kromatografi.

Tabel 4. Nilai Rf fraksi organik ekstrak buah Kawista (Feronia limonia)

Jenis Sampel Pelarut Jumlah Spot Rf

Ekstrak Buah Kawista

Heksan 4

0,0630,0880,5250,750

Metanol 30,1250,4380,500

Etil asetat 5

0,0630,1250,5250,7500,788

Khloroform 30,1250,4380,688

22

Page 23: Laporan tiyo

Gambar 3. Fraksi organik ekstrak buah kawista dengan pemisahan menggunakan

KLT pada berbagai pelarut: (M) methanol; (Kl) kloroform; (EA) etil asetat; (He)

heksana.

Gambar 4. Pengamatan Fraksi organik ekstrak buah kawista dengan

pemisahanmenggunakan KLTdi bawah sinar UV

Fraksi atau kelompok senyawa yang telah memisah berdasarkan

kepolarannya pada plat tipis gel silika KLT terlihat saat dibantu dengan sinar UV.

23

Page 24: Laporan tiyo

Eluan dengan pelarut non polar, yaitu kloroform dan metanol memiliki 3 spot.

Untuk kloroform hasil cukup bagus dan totolan cenderung naik sementara

metanol cenderung naik namun spotnya cenderung membesar. Eluen

menggunakan etil asetat menghasilkan 5 spot senyawa dengan jarak totolan yang

cenderung masih bergabung. Eluen menggunakan heksana menghasilkan 4 spot

dengan karakter cenderung naik dan mulai memisah. Belum adanya karakter spot

terbaik sehingga dilakukan ujilanjutan dengan mengkombinasikan masing-masing

jenis pelarut.

Hasil uji lanjut menggunakan perbandingan kloroform dan metanol dengan

perbandingan 9 :1 dan 8 :2 serta etil asetat dan an heksan dengan perbandingan

4 :1. Kemudian lakukan langkah seperti prosedur diatas dan diamati di bawah UV

Light pada panjang gelombang 254 atau 366. Hasil pengamatan menunjukan

perbandingan eluen terbaik adalah kloroform dan metanol dengan perbandingan

8 : 2. Koroform dan metanol dengan perbandingan 8 : 2menghasilkan spot

pemisahan terbaik sehingga digunakan sebagai eluen pada proses pemisahan

selanjutnya, yaitu kromatografi kolom.

3.3.2 Pemisahan ekstrak dengan kromatografi kolom

Kromatografi kolom dilakukan dengan tujuan memisahkan fraksi-fraksi

yang terdapat pada ekstrak Kawista (Feronia limonia). Fase diam berupa

serbuk/bubur silika digunakan sebagai fase diam. Absorben silika lebih banyak

digunakan karena memiliki tekstur dan struktur yang lebih kompak dan teratur.

Silika dapat membentuk ikatan hidrogen di permukaannya karena terikat gugus

hidroksil. Oleh karena itu, silika gel bersifat sangat polar. Fase gerak yang

digunakan yaitu heksana. Heksana merupakan senyawa dengan polaritas yang

rendah (non polar). Panjang kolom yang digunakan adalah 14 cm sedangkan

diameter kolom adalah 1,2 cm.

Hasil pemisahan ekstrak kasar Kawista (Feronia limonia) menghasilkan

setiap fraksi tidak menunjukkan kelompok pola yang berbeda, artinya semua

memiliki pola yang sama. Hasil tersebut diperoleh setelah memisahkan kembali

fraksi-fraksi yang diperoleh dari pemisahan dengan kromatografi kolom

menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dilihat pola yang sama berdasarkan

Rf (jarak eluen yang sama). Pemisahan dengan KLT dilakukan untuk menentukan

24

Page 25: Laporan tiyo

fraksi-fraksi yang memiliki spot sama, sehingga diduga fraksi tersebut

mengandung komponen yang sama.

3.4 BSLT (Uji toksisitas)

Uji toksisitas dilakukan dengan mengamati kematian hewan percobaan

dan respon kematian dianggap sebagai pengaruh senyawa yang diuji. Uji

toksisitas dimaksudkan untuk memaparkan adanya efek toksik dan untuk meneliti

batas keamanan dalam kaitannya dengan penggunaan senyawa yang ada dalam

tumbuhan tersebut (Widyastuti 2008).

BSLT (Brine Shrimp LethalityTest) merupakan salah satu metode skrining

bahan yang berpotensi sebagai tanaman berkhasiat. Pengujian menggunakan

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) diterapkan dengan menentukan nilai Lethal

Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50 merupakan angka

yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian sebesar 50 % dari

jumlah hewan uji (Meyer et al., 1982).

Suhirman et al. (2006) mengemukakan bahwa dalam metode penelitiannya

menggunakan larva udang (Artemia salina Leach.) sebagai bioindikator. Larva

udang ini merupakan organisme sederhana dari biota laut yang sangat kecil dan

mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap toksik. Pujiati et al. (2002)

mengatakan telur Artemia salina Leach memiliki daya tahan hidup selama

beberapa tahun dalam keadaan kering. Telur udang dalam air laut akan menetas

menjadi larva (nauplii) dalam waktu 24–28 jam Bila bahan yang diuji

memberikan efek toksik terhadap larva udang, maka hal ini merupakan indikasi

awal dari efek farmakologi yang terkandung dalam bahan tersebut. Meyer et al.

(1982) mengatakan bahwa beberapa penelitian menunjukkan Artemia salina

memiliki korelasi positif terhadap ekstrak yang bersifat bioaktif. Metoda ini juga

banyak digunakan dalam berbagai analisis biosistim seperti analisis terhadap

residu pestisida, miko toksin, polusi, senyawa turunan morfin, dan karsinogenik

dari phorbol ester

Artemia salina Leach merupakan organisme sejenis udang-udangan yang

berukuran kecil dan dikenal dengan nama brine shrimp. Artemia salina Leach

digunakan sebagai hewan uji untuk menentukan ketoksikan suatu senyawa dalam

ekstrak tumbuhan yang diwujudkan sebagai racun (Meyer et al. 1982). Hasil

25

Page 26: Laporan tiyo

praktikum uji aktivitas BSLT dari larva udang Artemia salina Leach dengan

penambahan larutan ekstrak Kawista (Feronia limonia) dan air laut dapat dilihat

pada Tabel 4.

Tabel 5. Rata-rata kematian larva udang Artemia salina dengan penambahan

larutan Kawista (Feronia limonia) dan air laut

UlanganPersentase kematian larva udang Artemia salina tiap konsentrasi

0 ppm 50 ppm 100 ppm 200 ppm 300 ppm 500 ppm 1000 ppm

1 80 80 90 100 100 100 100

2 70 80 70 90 90 100 100

3 70 70 90 100 100 100 100

Rata-rata %

Mortalitas73,33 76,67 83,33 96,67 96,67 100,00 100,00

Bil. Probit 5.61 5.71 5.95 6,75 6,75 8,09 8,09

Atmoko dan Ma’ruf (2009) mengemukakan bahwa uji mortalitas

dilakukan dengan lethal concentration 50% (LC50). LC adalah suatu nilai yang

menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat mengakibatkan kematian

organisme sampai 50%. Nilai kematian 50% per hari (LC50 dalam unit waktu)

ditentukan dengan menggunakan persamaan regresi antara log konsentrasi dan

mortalitas (%). Grafik presentase kematian larva Artemia salina dapat dilihat pada

Gambar 4.

26

Page 27: Laporan tiyo

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.50

1

2

3

4

5

6

7

8

f(x) = 0.625645001030456 x + 5.25297133851718R² = 0.714461862204788

Probit

ProbitLinear (Probit)

Log Konsentrasi

Bila

ngan

Pro

bit

Gambar 5. Grafik Presentase Kematian Larva Artemia salina

Perhitungan :

y = a + bx

5 = 5,0211+0,8276x

x = -0,03828

LC50 = antilog x

= antilog (-0,03758)

= 2,4144 ppm

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode yang

sering digunakan untuk praskrining terhadap senyawa aktif yang terkandung

dalam ekstrak tanaman. Melalui uji BSLT, pelaksanaan skrining akan berlangsung

relatif cepat, mudah, dengan biaya relatif murah, dan dapat dipercaya. Pengujian

menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) diterapkan dengan menentukan

nilai Lethal Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50

merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian

sebesar 50 % dari jumlah hewan uji.

Meyer et al. (1982) berpendapat bahwa ketersediaan telur, kemudahan

dalam menetaskan telur menjadi larva, pertumbuhan yang cepat dari naupli dan

relatif mudah dalam mempertahankan populasi dalam kondisi laboratorium

membuat kondisi Artemi salina merupakan hewan percobaan yang efektif dan

27

Page 28: Laporan tiyo

sederhana dalam ilmu biologi dan toksikologi. Artemia salina sering digunakan

dalam penelitian, sederhana dan yang terpenting tidak mahal, dan mudah

diproduksi. Prinsip metode BSLT adalah menggunakan tingkat kematian naupli

pada berbagai tahap perkembangan hidupnya untuk mengetahui toksisitas suatu

bahan. Tingkat toksisitas suatu bahan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 6. Kategori toksisitas bahan

Kategori LC50 (μg/ml)

Sangat toksik

Toksik

Tidak toksik

< 30

30-1000

>1000

Sumber : Meyer et al. (1982)

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai LC50 adalah 0,9171 ppm

sehingga dapat disimpulkan pada pengujian aktivitas BSLT pada larva udang

Artemia salina Leach dengan penambahan larutan ekstrak dari kawista (Feronia

limonia) dan air laut menghasilkan tingkat toksisitas yang sangat toksik. Hasil

ppraktikum tersebut kurang sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dewi (2013)

dimana LC50 ekstrak buah kawista yang terendah terdapat pada ekstrak buah

matang yaitu sebesar 58.702 dan yang tertinggi pada buah kawista tua yaitu

sebesar 222.35. Uji toksisitas digunakan untuk menentukan toksisitas senyawa

kimia yang terkandung dalam tanaman obat dan untuk menentukan potensi

bioaktif senyawa bahan alam (Sukadirman et al. 2004). Hasil uji toksisitas

dinyatakan dengan nilai LC50. Nilai LC50 yaitu konsentrasi ekstrak yang

dibutuhkan untuk menurunkan kemampuan hidup larva udang sebesar 50%. Jika

nilai LC50 dibawah 1000 µg/mL maka suatu senyawa atau ekstrak aktif dari suatu

sampel memiliki potensi bioaktif (Meyer et al. 1982).

28

Page 29: Laporan tiyo

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil praktikum yang dilakukan diperoleh bahwa Jahe Zingiber

officinale memiliki kadar air 4,240 % dan kadar abu 8,7587 %. Temulawak

(Curcuma xanthorrhiza) mengandungan komponen bioaktif yang terdeteksi

meliputi alkaloid, flavonoid dan steroid triterpenoid. Selanjutnya sampel ekstrak

kasar Kawista (Feronia limonia) menghasilkan tingkat toksisitas 54,3365 ppm

dan tergolong toksik. Metode refluk merupakan metode ekstraksi terbaik dengan

menghasilkan rendemen terbanyak 28,06 %. Hasil uji Kromatografi Lapis Tipis

(KLT) menunjukan eluen kloroform dan metanol dengan perbandingan 8 : 2

menghasilkan pemisahan senyawa terbaik. Hasil kromatografi kolom menunjukan

masing-masing fraksi tidak menunjukan pola cincin yang berbeda.

Saran

Dibutuhkan teknik preparasi dan persiapan sampel yang baik sehingga

kondisi bahan baku yang tidak kotor, selain itu diperlukan teknik ekstraksi

bertingkat untuk memastikan tingkat kemurnian sampel.

29

Page 30: Laporan tiyo

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia. Jakarta.

Aminah S. 2004. Aktivitas Antioksidan dan Antipoliferasi Sel Kanker K-562 pada Minuman Formulasi Susu Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Sterilisasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Asminar. 2007. Analisis Unsur-Unsur Pengotor Dalam Uranium Logam Secara Spektrofotometri Serapan Atom. Hasil-hasil Penelitian EBN Tahun 2007. ISSN 0854 – 5561

Anggadiredja JT, A. Zatnika, H. Purwoto, Sri Istini. 2006. Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya

Atmoko T, Ma’ruf A. 2009. Uji toksisitas dan skrining fitokimia ekstrak tumbuhan sumber pakan orangutan terhadap larva Artemia salina L. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. VI (1) : 37-45.

Bodamyali T, Kancler JM, Millar TM, Blake DR, Stevens CR. 2002. Free radicals in rheumatoid arthritis: Mediators and modulators. Di dalam: Fuchs J,Podda M, Packer L, editor. Redox Genome Interaction in Health and Disease. New York: Marcel Dekker.

Braja M. 2008. Uji toksisitas ekstrak daun Ficus elastic Nois ex Blume terhadap Artemia salina Leach dan profil kromatografi lapis tipis. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Chen CYO, Blumberg JB. 2008. Phytochemical composition of nuts. Asia Pac Journal Clin Nutr. 17(S1): 329-332.

Choudhury S, Datta S, Talukda AD, Choudhury MD. 2011. Phytochemistry of the Family Bignoniaceae- A review. Journal of Science & Technology : Biological and Environmental Sciences. 7: 145-150.

Darwis, SN, Indo M dan Hasiah S. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae . Pusat Penelitian Tanaman Industri Bogor.

Dewi, Resvina. 2013. Bioaktivitas Buah Kawista (Limonia acidissima) Bima dan Penentuan Sidik Jarinya Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis [Skripsi]. Departemen Kimia, IPB Bogor.

Ditjen PPHP. 2010. Warta Pasarikan Edisi Maret 2010/Vol.79. Kerang-Pasar Cemerlang, Pasokan Kurang. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan

FAO. 2000. Quantification of Tannins in Tree Foliage. Vienna.

Fieser, Louis. F. 1957. Experiment in Organic Chemistry, 3nd edition, Revised, D. C. Heath and Company : Boston.

Hanson, J. 2011. Introduction to Interpretation of Infrared Spectra. http://www2.ups.edu/faculty/hanson/Spectroscopy/IR/IRInterpretation.htm

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Edisi Ke-2. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: Insitut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytocemical Methods.

30

Page 31: Laporan tiyo

Hayani, Eni. 2006. Analisis Kandungan Kimia Rimpang Temulawak. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Balai Penelitlan Tanarnan Rempah dan Obat, Bogor

Hoorn Van et al. 2002. Accurate prediction of xanthine oxidase inhibition based on the structure of flavonoids. Eur J Pharmacol. 451: 111-118.

Hostetmann and Manson. 1986. Cara Kromatografi Preparatif. ITB Press.,Bandung

Ismet MS. 2007. Penapisan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Dari lokasi yang berbeda. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Isntitut Pertanian Bogor.

Ilango K dan Chitra V. 2009. Antidiabetic and antioxidant activity of Limonia acidissima Linn. in alloxan induced rats. Der Pharma Lettre.1:117-125.

Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Lenny Sofia. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida dan Alkaloida. http://repository.usu.ac.id/bitstream diakses tanggal 22 Juni 2012).

Lestari, W. E. 2006. Pengaruh Nisbah Rimpang dengan Pelarut dan Lama Ekstraksi terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum).Skripsi. Fateta.IPB Bogor.

Marliana SD, Suryanti V dan Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi 3 (1): 26-31, Pebruari 2005, ISSN: 1693-2242

Munson, James,W., 1991, Analisis Farmasi, Airlangga University Press, Surabaya

Maitreyi, Z., Khandhar, A. and Jain, S. (2008). Quantification of Baicalein, Chrysin, Biochanin-A and Ellagic Acid in Root Bark of Oroxylum indicum by RPHPLC with UV Detection. Eurasian Journal of Analytical Chemistry. 3(2).

Meyer BN, Ferigni N R, Putnam JE, Ja Cobsen LB, Nichols DE dan McLaughlin JL. 1982. Brine shrimp a convenient general bioassay for active constituents. Journal of Plant Medical Research. 45: 31-34.

Mudrikah, Fitri. 2006. Potensi Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officionale Rosc.) dan Campuranya dengan Herba Suruhan (Pepperomia pellucida L.) sebagai Antihiperurisemia pada Tikus [Skripsi]. Program Studi Biokimia, IPB Bogor.

Nadjeb. 2010. Alkaloid. (Online) (http://nadjeeb.files.wordpress.com/2009/03/ alkaloid.pdf diakses tanggal 22 juni 2013).

Naturfoto. 2010. Artemia salina L. www.naturephoto-cz.com. [Diakses tanggal 29 Mei 2012].

Nurhayati APD, Abdulgani N, Febrianto R. 2006. Uji toksisitas ekstrak eucheuma alvarezii terhadap Artemia salina sebagai studi pendahuluan potensi antikanker. Akta Kimindo. 2 (1) : 41-46.

31

Page 32: Laporan tiyo

Nurjanah, Abdullah dan Sudirman. 2012. Penuntun Praktikum Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Paimin, F.B. dan Murhananto. 1991. Budidaya, Pengolahan, dan Perdagangan Jahe. Penebar Swadaya, Jakarta

Prasetyawati, CR. 2003. Evaluasi Daya Antioksidatif Oleoresin Jahe Terhadap Aktifitas Superoksida Dismutase (SOD) Hati Tikus yang Mengalami Perlakuan Stress [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor

Pujiati I, Ningsih S, Palusi S, Windono T. 2002. Uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach. Dari fraksi n-heksan, khloroform, etil asetat dan air ekstrak etanol rimpang temumangga (Curcuma mangga VaL). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Universitas Surabaya, Surabaya : 109-115.

Rukmana R. 1995. Temulawak: Tanaman Rempah dan Obat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sezgin AEC, Artik N. 2010. Determination of Saponin Content in Turkish Tahini Halvah by Using HPLC. Advance Journal of Food Science and Technology. 2 (2) : 109-115.

Sidik. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza .Roxb..). Di dalam: Sirait M Moesdarsono, editor. Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam. Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.

Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB.

Sienko, P. dan Marcus. 1984. Experimental Chemistry 6th Edition. McGraw Hill Book Co, Singapore

Soebagio. 2002. Kimia Analitik II. Malang : JICA. Hml 87

Sukamto LA. 1999. Morfogenesis berbagai eksplan kawista (Limonia acidissima L.) yang ditumbuhkan secara kultur [prosiding]. Bogor (ID) : LIPI

Suhirman S, Hernani, Syukur C. 2006. Uji toksisitas ekstrak lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) terhadap larva udang (Artemia salina Leach.). Buletin Littro. XVII (1) : 30-38.

Sudarmadji, S.B., Haryanto dan Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Standart Nasional Indonesia. 1994. Jahe Kering. Dewan Standarisasi Nasional

Tarigan JB, Zuhra CF dan Sihotang H. 2008. Skrining Fitokimia Tumbuhan yang Digunakan Oleh Pedagang Jamu Gendong Untuk Merawat Kulit Wajah di Kecamatan Medan Baru. Jurnal Biologi Sumatera Vol. 3, No. 1 hlm. 1- 6.

Widiyastuti S. 2008. Uji toksisitas ekstrak daun iprih (Ficus glabella Blume) terhadap Artemia salina Leach dan profil kromatografi lapis tipis. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Winarno. 1997. Ilmu Pangan Dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

32