Upload
prasetiyo-himawan
View
482
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
I PENDAHULUAN
Indonesia banyak terdapat jenis tanaman yang berpotensi untuk dijadikan
obat. Sehingga saat ini banyak penelitian yang dilakukan peneliti Indonesia yang
mengkaji potensi suatu tanaman asal Indonesia sebagai khasiat kesehatan. Saat ini
pengobatan tradisional dengan menggunakan tanaman obat telah banyak
digunakan karena memiliki beberapa keuntungan diantaranya lebih aman dan
tidak memiliki resiko efek samping bagi tubuh (Wijayakusuma 2000). Dewasa ini
banyak tumbuhan di Indonesia yang telah diketahui potensinya sebagai obat,
tetapi masih banyak tanaman yang memiliki potensi sebagai tanaman obat belum
diketahui manfaat utuhnya di Indonesia, beberapa diantara tenaman tersebut
adalah jahe, temulawak dan kawista.
Tanaman jahe mudah tumbuh dan telah banyak dibudidayakan di
Indonesia. Rimpang jahe dapat digunakan sebagai burnbu untuk masakan, bahan
baku minurnan, dan obat-obatan. Dalam bidang makanan minurnan, jahe
dapat dibuat wedang jahe, sekoteng, manisan jahe, wedang kopi jahe, dan
sebagainya. Menurut Darwis et al. (1991), dalam bidang obat-obatan, jahe
berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti urus-urus, rnasuk
angin, cacingan, mengobati encok, mengobati luka, bronkhitis, asma, penyakit
jantung, memperbaiki pencemaan dan perangsang syahwat.
Kawista atau Limonia acidissima merupakan tanaman asal Famili
Rutaceae (jeruk-jerukan) dengan genus Feronia. Tumbuhan ini sebagian besar
banyak tumbuh pada daerah tropis. Di Indo-Cina, duri dan kulit batang kawista
digunakan dalam berbagai ramuan obat tradisional untuk mengobati haid yang
berlebihan, gangguan hati, gigitan dan sengatan binatang, dan untuk mengobati
mual-mual (Sukamto 1999). Menurut Ilango et al. (2009) buah kawista dapat
digunakan dalam pengobatan tumor, asma, sembelit, lemah jantung, dan hepatitis.
Hasil penelitian menyatakan bahwa buah kawista mengandung flavonoid,
glikosida, saponin, tanin, kumarin, dan turunan tiramin. Banyak penelitian yang
telah menyatakan bahwa buah kawista yang matang memiliki potensi sebagai
tanaman obat karena memiliki banyak khasiat, salah satunya adalah sebagai
antioksidan. Cangkang kawista buah memiliki senyawa anti jamur yaitu
psoralena, xanthotoxin, 2,6-dimetoksibenzakuinon dan osthenol bersama dengan
1
beberapa senyawa alkaloid, kumarin, flavonon, lignan, sterol dan triterpen yang
memilki aktivitas antimikroba.
Tujuan dari praktikum ini adalah, menetukan kadar air, kadar abu,
metabolit sekunder dengan fitokimia serta melakukan ekstraksi secara
maserasisokletesasi dandistilasi tanaman jahe. Setelah mendapatkan ekstrak
tujuan selanjutnya untuk menentukan eluen terbaik pada pemisahan ekstrak jahe
dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan memisahkan ekstrak dengan
kromatografi kolom. Tujuan berikutnya adalah mengetahui toksisitas ekstrak
dengan metode Brien Shrimp Letality Test (BSLT).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
Jahe merupakan akar-akaran segar atau kering dari Zingiber officinale.
Ahli botani Inggris William Roscoe (1753-1831) mempopularkan nama Zingiber
officinale pada tahun 1807. Keluarga jahe merupakan kelompok tanaman tropis,
terutama yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Terdiri atas lebih dari 1200
spesies tanaman dalam 53 genera. Genus Zingiber terdiri dari 85 spesies tanaman
obat aromatik yang berasal dari Asia Timur dan Australia tropis. Nama genus
tersebut diturunkan dari kata Sanskrit yang menunjukkan “bentuk tanduk,” yang
menerangkan tonjolan keluar pada bagian rimpang. Tanaman jahe tumbuh tegak
selama bertahun-tahun dengan ketinggian 1-3 kaki. Cabangnya dikelilingi pelepah
sebagai tempat tinggal daun-daunan bertingkat dua. Kayunya menyerupai paku
kekuningan dengan bunga-bunga bertepi ungu yang menjadi penguat di bagian
bawahnya yang berwarna kuning kehijauan, namun, jahe jarang berbunga dalam
pembudidayaan (Foster 2000 dalam Aminah 2004).
Klasifikasi tanaman jahe menurut Roscoe (1881) diacu dalam (Aminah
2004) adalah sebagai berikut:
Dunia : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledoneae
Ordo : Musales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale
Gambar 1. Jahe (Zingiber officinale) Sumber; http://permathic.blogspot.com
Komponen yang terkandung dalam rimpang jahe sangat banyak gunanya,
terutama sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa makanan dan minuman
serta digunakan dalam industri farmasi, industri parfum dan industri kosmetika
(Paimin dan Murhananto 1991). Di Indonesia, jahe digunakan sebagai bahan
pembuat jamu. Jahe yang masih muda dimakan sebagai lalap, acar, dan manisan
baik basah maupun kering. Dalam bentuk tepung atau oleoresinnya, digunakan
3
sebagai bahan flavor pada industri makanan (Koswara, 1995). Selain itu, jahe
juga sering digunakan untuk pengobatan tradisional (Darwis et al., 1991).
II.2 Kawista (Limonia acidissima)
Kawista atau Limonia acidissima merupakan jenis tanaman yang termasuk
ke dalam suku jeruk-jerukan (Rutaceae). Tanaman ini masih kerabat dekat dengan
maja, yaitu sejenis jeruk-jerukan yang berasal dari Asia tropika dan subtoprika.
Menurut Jones (1992) diacu dalam Sukamto (1999), tanaman kawista dahulunya
berasal dari India terutama di daerah-daerah kering. Selain tumbuh subur di
daerah kering India, tanaman ini diperkirakan pula tumbuh subur di daerah-daerah
kering Srilanka, Myanmar, dan Indo-China. Kemudian menyebar ke Malaysia dan
Indonesia. Tanaman ini biasanya tumbuh di daerah tropic musho yang sewaktu-
waktu mengalami musim kering. Mengenai adaptasinya, menurut Sukamto
(1999), tanaman ini mempunyai adaptasi yang baik pada daerah yang kering dan
tanah yang berpasir. Di Indonesia, kawista umumnya ditanam di pekarangan pada
daerah pantai. Kawista diperoleh di padang-padang rumput yang kering terutama
dekat laut dan kearah daratan tanaman ini sering ditanam.
Klasifikasi kawista menurut linaeus (sumber www.plantamor.com) adalah
sebagai berikut :
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Sapindales
Famili: Rutaceae
Genus: Limonia
Spesies: Limonia acidissima L.
Gambar 2. Buah Kawista (Limonia acidissima L.) sumber www.plantamor.com
Kawista memiliki beberapa manfaat menurut Ilango et al. (2009) buah
kawista dapat digunakan dalam pengobatan tumor, asma, sembelit, lemah jantung
dan hepatitis. Hasil penelitian menyatakan bahwa buah kawista mengandung
flavonoid, glikosida, saponin, tanin, kumarin dan turunan tiramin. Selain
berpotensi sebagai antioksidan buah kawista juga berpotensi sebagai antidiabetes
serta daunnya sebagai hepatoprotektif. Pada cangkang buah dilaporkan memiliki
4
senyawa anti jamur, yaitu psoralena, xanthotoxin, 2,6-dimetoksibenzakuinon dan
ostenol. Kulit batang tanaman menghasilkan 2S-5,3-dihidroksi-4-metoksi-6, 6-
dimetilkromeno-(7,8.2”,3”)-flavon bersama dengan beberapa senyawa alkaloid,
kumarin, flavanon, lignan, sterol dan triterpen yang ditemukan memiliki aktivitas
antimikroba.
II.3 Kromatografi
Istilah kromatografi digunakan pada beberapa teknik pemisahan
berdasarkan pada “migration medium” yang berbeda, yaitu distribusinya terhadap
fase diam dan fase gerak. terdapat 3 hal yang wajib ada pada teknik ini. yang
pertama yaitu harus terdapat medium perpindahan tempat, yaitu tempat terjadinya
pemisahan. Kedua harus terdapat gaya dorong agar spesies dapat berpisah
sepanjang “migration medium“. Yang ketiga harus terdapat gaya tolakan selektif.
Gaya yang terakhir ini dapat menyebabkan pemisahan dari bahan kimia yang
dipertimbangkan (sienko,et.al, 1984).
Kromatografi Lapis Tipis merupakan teknik pemisahan yang telah lama
digunakan secara luas, terutama dalam analisis campuran yang rumit dari sumber
alam. Tetapi dalam belakangan ini kromatografi lapis tipis digantikan oleh
“HPLC” (High Performance Thin-layer Chromatography) atau Kromatografi
Lapis Tipis Kinerja Tinggi (Munson, 1991). Adsorben yang paling banyak
digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah silika gel dan aluminium oksida.
Silika gel umumnya mengandung zat tambahan Kalsium sulfat untuk
mempertinggi daya lekatnya. Zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk
kromatografi senyawa netral, asam dan basa. Aluminum iksida mempunyai
kemampuan koordinasi dan oleh karena itu sesuai untuk pemisahan senyawa yang
mengandung gugs fungsi yang berbeda. Alu,inium okida mengandung ion alkali
dan dengan demikianbereaksi sebagai basa dalam suspensi air. Disamping kedua
adsorben yang sangat aktif ini dalam hal tertentu dapat digunakan “kieselgur”
yang kurang aktif sebagai lapis sorpsi.
Pada dasarnya kromatografi lapis tipis (KLT atau TLC = Thin layer
Chromatography) sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara
melakukannya. Perbedaan nyata terlihat pada media pemisahannya, yakni
digunakan lapisan tipis adsorben halus yang tersangga pada papan kaca,
5
aluminium atau plastic sebagai pengganti kertas. Lapisan tipis adsorben ini pada
proses pemisahan berlaku sebagai fasa diam (Soebagio 2002). Adsorben yang
paling banyak digunakan yaitu silika gel yang dipakai untuk pemisahan campuran
lipofil maupun senyawa hidrofil. ketebalan adsorben yang paling sering
digunakan ialah 0,5 – 2 mm. pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah
tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLTP. Ukuran
partikel dan porinya kurang lebih sama dengan ukuran tingkat mutu KLT
(Hostettmann and Maston, 1986).
Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal
ditemukan. Ditinjau dari mekanismenya kromatografi kolom merupakan
kromatografi terapan atau adsorpsi berdasarkan jenis fasa yang digunakan. Fasa
diam berupa adsorben yang tidak boleh larut dalam fasa gerak, ukuran partikel
fasa diam harus seragam. Zat pengotor yang terdapat pada fasa diam dapat
menyebabkan adsorpsi tidak reversible. Sebagai fasa diam dapat digunakan
alumina, silica gel, arang, bauksit, magnesium kerbonat, talk, pati, sekilator, gula,
dan tanah diatome. Pengisian fasa diam ke dalam kolom dapat dlakukan dengan
cara kering dan cara basah. Fasa gerak pada kromatografi kolom dapat berupa
pelarut tunggal atau campuran beberapa pelarut dengan komposisi tertentu.
Pelarut dapat berupa pelarut polar dan pelarut non polar. Umumnya senyawa non
polar dengan berat molekul kecil lebih cepat meninggalkan fasa diam (Soebagio
2002).
II.4 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari
suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solven) sebagai separating
agent. Prinsip ekstraksi yang umum digunakan adalah prinsip atau metode
maserasi yang lebih praktis dan tidak terlalu banyak menggunakan alat. Metode
ini menggunakan tiga macam pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, yaitu
kloroform (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar) (Nurjanah et al.
2012). Ekstraksi dilakukan untuk mengambil zat-zat yang terkandung dalam suatu
campuran. Ekstraksi merupakan proses secara selektif mengambil zat terlarut
dengan bantuan pelarut. Metode pemisahan pada ekstraksi pelarut bekerja
menurut prinsip kelarutan like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan
6
senyawa polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Dengan
demikian, hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang
terdapat dalam sampel dan jenis pelarut yang digunakan. Dalam pemilihan
pelarut, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah selektivitas, sifat racun, dan
kemudahannya untuk diuapkan (Harborne, 1987).
Metode ekstraksi yang dilakukan tergantung pada tekstur, kandungan air
bahan tumbuhan yang diekstrak, dan jenis senyawa yang diisolasi. Beberapa
metode yang umumnya digunakan adalah maserasi, penggodogan, refluks, dan
sokletasi. Metode maserasi dilakukan dengan merendam sampel dalam pelarut
pada waktu tertentu. Kelebihan metode ini adalah tidak memerlukan alat-alat yang
rumit, relatif murah, bisa menghindari kerusakan komponen senyawa karena tidak
menggunakan panas sehingga baik untuk sampel yang tidak tahan panas dan
banyak mengandung komponen volatil seperti jahe merah. Selain itu, proses
pengadukan dengan bantuan pengocok selama ekstraksi juga bertujuan untk
mempercepat pelarutan dan ekstraksi padatan dengan jalan membentuk suspensi
serta melarutkan partikel-partikel ke dalam media pelarut (Lestari, 2006).
Setelah direndam dalam pelarut, dilakukan penyaringan untuk
memisahkan ampas dengan filtrat. Pelarut harus dipisahkan dengan ekstrak
menggunakan rotary vaccuum evaporator untuk menghindari bias efek toksik
pelarut terhadap sel target. Dalam tahapan pemisahan pelarut, hal yang harus
diperhatikan adalah suhu evaporasi. Suhu evaporasi yang tinggi akan
menyebabkan terjadinya degradasi komponen dalam ekstrak yang tidak tahan
panas. Oleh karena itu, pemisahan pelarut dilakukan dengan menggunakan
bantuan pompa vakum untuk menurunkan titik didih pelarut (Lestari, 2006).
Sokletasi penyarian simplisia secara berkesinambungan dimana cairan
penyari dipanaskan hingga menguap. Uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul cairan oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia di
dalam klonsong, selanjutnya cairan penayri bersama-sama dengan kandungan
kimia akan turun kembali ke labu alas bulat atau labu penampung. Proses ini
berlangsung hingga penyarian zat aktif dianggap sempurna yang ditandai dengan
beningnya cairan penyari yang melalui pipa siphon dan jika diidentifikasi dengan
KLT tidak memberikan noda (Najib, 2006). Sedangkan refluk merupakan teknik
7
ekstraksi dengan cara mendidihkan cairan dalam wadah yang disambungkan
dengan kondensor sehingga cairan terus menerus kembali kedalam wadah. Teknik
ini digunakan untuk melaksanakan reaksi dalam waktu lama, semisal sintesis
organik (Freiser 1957)
II.5 Fitokimia
Flavonoid merupakan salah satu dari sekian banyak senyawa metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh suatu tanaman, yang bisa dijumpai pada bagian
daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Secara kimia, flavonoid
mengandung cincin aromatic tersusun dari 15 atom karbon dengan inti dasar
tersusun dalam konjugasi C6-C3-C6 (dua inti aromatik terhubung dengan 3 atom
karbon) (Ningsih, 2005). Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi
struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi, mencegah
keropos tulang dan sebagai antibiotik (Agestia, 2009).
Flavonoida mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom
karbon, dimana dua cincin benzene (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-
C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur senyawa flavonoida
yaitu flavonoida, isoflavonoida dan neoflavonoida. Senyawa-senyawa flavonoid
terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propane dari
sistem 1,3-diarilpropana. Flavon, flavonol dan antosianidin adalah jenis yang
banyak ditemukan di alam sehingga sering disebut sebagai flavonoida utama.
Banyaknya senyawa flavonoida ini disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi,
alkosilasi atau glikosilasi dari struktur tersebut (Lenny, 2006).
Alkaloid adalah senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau
alkali dan sifat basa ini disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen) dalam
molekul senyawa tersebut dalam struktur lingkar heterosiklik atau aromatis, dan
dalam dosis kecil dapat memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan.
Selain itu ada beberapa pengecualian, dimana termasuk golongan alkaloid tapi
atom N (Nitrogen)nya terdapat di dalam rantai lurus atau alifatis (Nadjeb, 2010).
Ciri khas yang menandai bahwa suatu ekstrak mengandung alkaloid adalah
terbentuknya endapan pada uji Mayer, Wagner dan Dragendorff. Tujuan
penambahan HCl adalah karena alkaloid bersifat basa sehingga biasanya diekstrak
dengan pelarut yang mengandung asam (Harborne, 1996). Perlakuan ekstrak
8
dengan NaCl sebelum penambahan pereaksi dilakukan untuk menghilangkan
protein. Adanya protein yang mengendap pada penambahan pereaksi yang
mengandung logam berat (pereaksi Mayer) dapat memberikan reaksi positif palsu
pada beberapa senyawa (Santos et al., 1998).
Menurut Marliana et al. (2005) Hasil positif alkaloid pada uji Mayer
ditandai dengan terbentuknya endapan putih. Diperkirakan pada uji alkaloid
dengan pereaksi nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari
kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang
mengendap. Hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai dengan terbentuknya
endapan coklat muda sampai kuning. Diperkirakan endapan tersebut adalah
kalium-alkaloid. Sedangkan Hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff juga
ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. Endapan
tersebut adalah kalium-alkaloid.
Tanin berkolerasi dengan kandungan protein adanya tanin akan
mengendapkan protein pada gelatin. Tanin bereaksi dengan gelatin membentuk
kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Reaksi ini lebih sensitif dengan
penambahan NaCl untuk mempertinggi penggaraman dari tanin-gelatin
(Harborne, 1996). Ciri khas hasil positif kandungan saponin adalah timbulnya
busa pada uji Forth yang menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai
kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan
senyawa lainnya (Rusdi, 1990 dalam Marliana et al. 2005).
II.6 Toksisitas Akut BSLT (Brine Shrimp Letality Test)
Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas
farmakologi suatu senyawa. Larva udang memiliki kulit yang tipis dan peka
terhadap lingkungannya sehingga banyak digunakan dalam uji toksisitas. Zat atau
senyawa asing yang ada di lingkungan akan terserap ke dalam tubuh secara difusi
dan langsung mempengaruhi kehidupannya. Prinsip uji toksisitas adalah bahwa
komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan dengan dosis rendah
(Hamburger dan Hostettman 1991).
Salah satu metode uji bahan sitotoksik adalah uji toksisitas terhadap larva
udang Artemia salina Leach (brine shrimp lethality test). Metode uji toksisitas
larva udang (BSLT) dengan menggunakan A. salina dianggap memiliki korelasi
9
dengan daya toksisitas senyawa-senyawa bioaktif, sehingga sering dilakukan
untuk skrining awal pencarian senyawa bioaktif. Metode ini dikenal sebagai
metode yang mudah, cepat, murah, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
(Meyer et al. 1982). Proses penetasan larva udang A. salina menggunakan air laut
dengan bantuan aerator untuk menjaga agar kadar oksigen yang terlarut. Telur
akan sulit menetas jika oksigen dalam air kurang. Umur larva udang yang
digunakan adalah 24 jam setelah menetas. Kondisi larva udang pada umur
tersebut masih lunak, sehingga memudahkan senyawa asing dalam air laut masuk
dan menyebabkan kematian. Kematian larva udang yang disebabkan masuknya
senyawa asing dijadikan dasar untuk pengujian toksisitas bahan ekstrak aktif.
Uji toksisitas digunakan untuk menentukan toksisitas senyawa kimia yang
terkandung dalam tanaman obat dan untuk menentukan potensi bioaktif senyawa
bahan alam (Sukadirman et al. 2004). Hasil uji toksisitas dinyatakan dengan nilai
LC50. Nilai LC50 yaitu konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk menurunkan
kemampuan hidup larva udang sebesar 50%. Jika nilai LC50 dibawah 1000
µg/mL maka suatu senyawa atau ekstrak aktif dari suatu sampel memiliki potensi
bioaktif (Meyer et al. 1982).
10
III. BAHAN DAN METODE
2.1 Kadar air dan kadar abu
Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol timbang, neraca
analitik, eksikator, oven, tanur listrik, cawan porselin, pembakar gas dan gegep
besi. Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut
cottonii
Prosedur praktikum
a. Penetapan kadar air
Botol timbang dicuci lalu dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit.
Setelah didinginkan dalam eksikator, botol kemudian ditimbang. Sebanyak 3
gram bahan, dimasukan dalam botol timbang, kemudian dikeringkan pada suhu
105 oC selama 2 jam. Setelah didinginkan dalam deksikator kemudian ditimbang
lagi. Bila bobot hasil penimbnagan kedua telah sama dengan sebelumnya maka
telah dapat ditentukan kadar airnya. Dimana perlakuan dilakukan dublo.
Perhitungankadar air=(a−b)a
×100 %
Keterangan : a : bobot bahan sebelum dikeringkan
b: bobot bahan setelah dikeringkan.
b. Penetapan kadar abu
Cawan porselin dikeringkan pada suhu 600 oC selama 30 menit,
didinginkan didalam eksikator kemudian ditimbang. Sebanyak 2 gram contoh
dimasukan ke dalam cawan porselin, kemudian cawan dan isinya dipanaskan
dengan nyala Bunsen sampai tidak berasap lagi kemudian dimasukkan kedalam
tanur listrik dengan suhu 600 oC sampai contoh menjadi abu selama 30 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Dimana perlakuan
dilakukan dublo.
Perhitungankadar abu=ab
× 100 %
Keterangan : a = Bobot abu,
b = Bobot sampel
11
2.2 Uji Fitokimia
Prosedur kerja
a. Identifikasi flavonoid
Sebanyak 50 gram sampel ditambah air panas, didihkan selam 5 menit lalu
disaring. Filtrat sebanyak 5 ml ditambah serbuk Mg, 1 ml HCL pekat dan 1 ml
amil alcohol kemudian dikocok dengan kuat. Adanya flavonoid ditunjukan
dengan terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alcohol.
b. Identifikasi Alkoloid
Sebayak 50 mg sampel ditambah 10 ml klorofoan amoniak, kemudian
disaring dalam tabung reaksi tertutup. Ekstrak klorofoam dalam tabung reaksi
kemudian dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2M, kemudian lapisan asamnya
dipisahkan dalam tabung reaksi lain. Sampel diteteskan dalam spot plat dan
ditambahkan tiga tetes pereaksi dragendorf, mayer dan wagner. Uji positif untuk
alkaloid jika terbentuk endapan berwarna merah- jingga, putih dan cokelat.
c. Identifikasi saponin
Sebanyak 50 mg sampel ditambah dietil eter. Residu yang tidak larut
dalam dietil eter diambil, dipisahkan dan ditambahkan 5 ml air kemudian dikocok
sampai timbul busa yang stabil.
d. Identifikasi Steroid-Triterpenoid
Fraksi yang larut dalam dietil eter pada uji saponin dipisahkan dalam
campuran tersebut ditambahkan anhidrida, asam asetat dan asam sulfat pekat
(3:1). Apabila terbentuk warna merah atau ungu menunjukkan kandungan steroid
atau triterpenoid.
e. Identifikasi Tanin
Sebanyak 50 mg sampel dilarutkan dalam 5 ml etanol ditambah dengan
beberapa tetes pereaksi FeCl3 1 %. Adanya tannin ditunjukan dengan
terbentuknya warna hijau, biru atau ungu.
2.3 Ekstraksi
a. Alat dan bahan
Alat yang yang digunakan dalam praktikum ini adalah neraca, labu
erlenmeyer, gelas piala, rotary evaporator, corong, kertas saring dan pengaduk,
12
sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut
Eucheuma cottonii, methanol.
c. Prosedur kerja
1. Metode Maserasi (proses ekstraksi tanpa pemanasan)
Ditimbang sample ± 10 gram kering, lalu sampel dimasukkan kedalam
gelas piala. Gelas piala yang sudah berisi sampel kemudian ditambah methanol
100 ml, diaduk hingga semua ekstrak larut. Tunggu 1 jam kemudian disaring
(proses maserasi dilakukan di stirrer plate) (Start waktu 8.24, stop 9.24).
Lanjutkan dengan pengeringan pada rotary evaporator setelah itu sampel
ditimbang.
2. Metode sochlet
Timbang 10 gr sampel (duplo), Buat selongsong dari kertas saring
kemudian diikat dengan tali kasur. Masukkan dalam tabung sochlet, tambahkan
kedalam labu sochlet 50 ml methanol dan beberapa labu didih. Running selama 2
jam (start 9.00, stop 11.00). suhu mempengaruhi kecepatan siklus. Semakin tinggi
suhu maka siklus akan semakin cepat. Ukuran optimum proses adl 4-5 siklus/jam.
Ekstak dalam labu sochlet kemudian diuapkan dalam rotary evaporator dan
setelah kering selanjutnya ditimbang.
3. Destilasi
Sampel jahe yang dicincang halus, kemudian ditambah aquades sampai
terendam, tunggu hingga mendidih dan uap ditampung dan didinginkan
menggunakan air es. Buarkan uap panasnya menyublim dan kembali menjadi
cairan. Tampung cairan dan keringkan menggunakan rotary evaporator dan
setelah kering selanjutnya ditimbang.
4. Refluks (proses ekstraksi dengan pemanasan)
Timbang sampel jahe sebanyak 10 gram dan lakukan duplo masukan dalam
tabung refluks. Tambahkan methanol 50 ml, ditempat tersebut letakkan akuades di
beaker glass untuk mengukur suhu. Proses refluks (start waktu : 8.36, stop : 9.36).
Kedalam tabung dimasukkan bandul supaya kalau panas tidak meletup-letup.
Tunggu selama 1 jam kemudian saring filtrat yang didapat. Kemudian Ampasnya
+ methanol 50 ml Refluks kembali Saring filtrat didapat. Ampas + 50 ml
13
methanol, refluks kembali selama 1 jam saring Filtrat tersebut kemudian
campurkan semua filtra dan dikeringkan dalam rotary evaporator.
2.4 Kromatografi
Alat dan bahan
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cahmber KLT,
pipet volumetrik dan mohr, pinset pipa kapiler. Sedangkan bahan yang diperlukan
adalah ekstrak methanol, pelarut untuk eluen (heksan dan etil 3:1) dan pelat silica
gel GF254.
Prosedur kerja
Persiapan larutan pengembang dan bejana kromatografi
Siapkan eluen yang sesuai dengan kandungan fitokimia yang terdapat pada
akar mogrove avincenia marina (heksan dan etil 3:1) didalam bejana
kromatografi. Setelah ditutup benjana digoyangkan agar eluen didalamnya
tercampur dengan baik. Eluen dijenuhkan minimal selama 15 menit.
Aplikasi dan pemisahan sampel
Teteskan larutan ekstrak dengan menggunakan pipa kapiler kepermukaan
pelat TLC. Penetesan dilakukan berulang hingga diperoleh spot/ pita yang pekat
(pastikan pelarut dibiarkan kering terlebih dahulu sebelum pengulangan
penetesan). Pelat TLC dimasukkan kedalam bejana kromatografi, pengembangan
dilakukan hingga larutan pengembang mencapai jarak ± 1 cm dari tepi atas pelat.
Pelat diangkat dan dikeringkan. Catat nilai Rf masing-masing spot dan warna
lyang teramati.
Rumus Rf = Jarak tempu h komponendi h itung daritempat penetesanjarak tempu h eluendi h itung daritempat penetesan
2.5 Pemisahan ekstrak dengan kromatografi kolom
Alat dan bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ekstrak
methanol, eluen terbaik (heksan dan etil) dan serbuk silica gel.
Prosedur kerja:
14
Pengemasan kolom kromatografi
Pada bagian dasar kolom yang bersih dimasukkan glass wol secukupnya,
kemudian dimasukkan eluen hingga ketinggian 1/3 kolom. Sementara itu siapkan
bubur silica dengan melarutkan bubuk silica dalam eluen yang digunakan. Bubur
silica dimasukkan secara perlahan-lahan. Setelah selesai cerat kolo dibuka dan
eluen dialirkan terus menerus melalui cerat kolom hingga diperoleh kolom yang
pengepakannya homogeni dan tidak ada lagi gelembung udara dari dalam kolom.
Sementara itu, eluen terus dialirkan ke dalam kolom dari tampungan eluen tetes
demi tetes.
Aplikasi dan pemisahan ekstrak
Larutan ekstrak diteteskan dengan menggunakan pipet tetes kepermukaan
mulut kolom bagian atas. Pemisahan dilakukan hinggaekstrak keluar dari kolom.
Eluen yang digunakan adalah etil dan heksan. Setelah itu fraksi-fraksi yang
didapat dikumpulkan secara visual dan dikumpulkan dan bandingkan kesamannya
dengan penggunaan KLT.
2.6 Uji aktivitas BSLT
a. Alat dan bahan
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pipet mikro, pelat
pengujian toksisitas terhadap larva udang, labu takar yang berukuran 25 dan 50 ml
dan pipet mohr. Sedangkan bahan yang digunakan meliputi larva udang, ekstrak
lorjuk dan air laut.
b. Prosedur kerja
Ekstrak metabolit sekundar dilarutkan dalam air laut. Kedalam masing-
masing pelat pengujian dimasukkan 10 ekor larva udang dan larutan ekstrak
metabolit sekundar hingga diperoleh kosentrasi 50-1000 ppm ( masing-masing
tiga kali ulangan). Larva udang diinkubasi selama 24 jam. Jumlah larva udang
yang mati dihitung dan ditentukan rerata jumlah larva yang mati dari 3 kali
ulangang yang dilakukan. Kemudian dibuat kurva hubungan antara kosentrasi
ekstrak metabolit sekunder sebagai sumbu X dan rerata persen kematian larva
udang sebagai sumbu Y untuk mendapatkan nilai LC50.
15
III HASIL DAN PEMBAHASAN
3. 1 Kadar air dan kadar abu
Hasil pengukuran kadar air dan abu sampel Jahe Zingiber officinale dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kadar air dan kadar abu Jahe
Ulangan Kadar air (%) Kadar abu (%)
1 4,1148 8,6768
2 4,1690 8,9953
3 4,4375 8,6042
Rataan 4,240 8,7587
Air merupakan komponen penyusun terbesar yang ada pada makhluk hidup
selain itu air juga merupakan komponen terpenting dalam bahan makanan karena
air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Semua
bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan
makanan hewani maupun nabati. Kandungan air dalam bahan makanan ikut
menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu (Winarno 1997).
Kadar air Jahe (Zingiber officinale pada praktikum ini ditentukan dengan cara
pengeringan (thermogravimetri). Prinsip cara thermogravimetri yaitu menguapkan
air yang ada pada bahan dengan jalan pemanasan, kemudian menimbang bahan
sampai berat konstan yang berarti semua air telah diuapkan (Sudarmadji et al.
2007).
Rata-rata hasil analisis kadar air Jahe (Zingiber officinale) yaitu 4,240%,
hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Prasetyawati (2003)
dimana rimpang kering jahe mengandung 6,4 ± 0,9 kadar air. Hasil tersebut sesuai
dengan persyaratan baku mutu jahe kering menurut SNI (1994) dimana
kandungan maksimal jahe yang diperbolehkan adalah sebesar 12%. Rendahnya
kadar air jahe disebabkan hal ini disebabkan jahe yang digunakan telah
dikeringkan secara optimal sehingga semakin sedikit air terperangkap dalam sel.
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam
16
suatu bahan (Sudarmadji et al. 2007). Mineral memegang peranan penting dalam
pemeliharaan fungsi tubuh baik di tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi
tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Hasil analisis kadar abu jahe yaitu
8,76 % hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dilakukan
Prasetyawati (2003) dimana kadar abu jahe kering sebesar 8,1±0,13. Kadar abu
tersebut sedikit jauh dari kriteria baku mutu jahe kering menurut SNI (1994)
dimana kandungan abu jahe kering maksimal diperbolehkan sebesar 8 %.
3.2 Uji Fitokimia
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif yang terdapat
pada suatu bahan alam. Komponen bioaktif berpotensi mencegah berbagai
penyakit seperti penyakit degeneratif dan kardiovaskular (Harborne 1987). Uji
fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, dan
tanin. Hasil uji fitokimia Jahe (Zingiber officinale) dapat dilihat pada Tabel
dibawah ini.
Tabel 2. Hasil Uji Fitokimia Jahe Zingiber officinale
Identifikasi Hasil Uji KeteranganFlavonoid ++ Warna kuning ada endapan Alkaloid- Mayer- Wagner- Dragendorf
+++
Warna merah kecoklatanWarna merah kecoklatanWarna merah kecoklatan
Saponin + Tidak timbul busaSteroid-Triterpenoid - Warna ungu kehitaman
Terdapat endapan Tanin - Coklat kehitaman
3.2.1 Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun
jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder,
dimana saat ini diketahui sebanyak 5500 jenis alkaloid (Harborne 1987). Alkaloid
terdiri dari 3 pengujian yaitu: Dragendrof, Meyer, dan Wagner. Berdasarkan uji
fitokimia jahe menunjukkan pereaksi Dragendrof, Meyer, dan Wagner pada uji
alkaloid menunjukkan hasil positif yang ditandai dengan terbentuknya endapan.
Menurut Marliana et al. (2005) terbentuknya endapan putih pada uji Mayer,
Wagner dan Dragendorff menunjukan dalam ekstrak bahan tersebut terdapat
17
kandungan alkaloid. Diperkirakan endapan tersebut adalah kompleks kalium-
alkaloid. Hasil tersebut sama dengan hasil penelitian Tarigan et al (2008) bahwa
jahe yang digunakan sebagai bahan jamu tradisional positif mengandung alkaloid
(+). Menurut Choudhury et al. (2011), alkaloid dapat berada dalam bentuk garam
dari asam organik, asam oksalat, melica, laktat, tartat dan aconitin pada bagian
tumbuhan.
3.2.2 Flavonoid
Flavonoid juga dikenal sebagai chrysin, oroxylin-a, scutellarin, baicalein,
biochanin-a, dan asam elagic yang memberikan respon sebagai anti-inflammatory,
diuretic, anti fungi,dan anti bakteri (Maitreyi et al., 2008). Dari hasil uji fitokimia
ternyata jahe (Zingiber officinale) positif mengandung flavonoid. Hasil tersebut
sesuai yang dengan hasil penelitian yang dilakukan Tarigan et al. (2008) dimana
jahe yang digunakan sebagai bahan jamu tradisional positif mengandung
flavonoid (+). Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk
aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne 1987). Karena
mempunyai sejumlah gugus gula, flavonoid bersifat polar. Flavonoid dapat
digunakan untuk mengurangi resiko berberapa penyakit kronis dengan
kemampuannya sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti-proliferasi.
3.2.3 Saponin
Dari hasil uji fitokimia jahe (Zingiber officinale) positif mengandung
saponin yang dapat dilihat dari larutan yang terdapat gelembung. Hasil tersebut
kurang sesuai dengan hasil penelitian Tarigan et al. (2006) dimana jahe yang
digunakan sebagai bahan jamu tradisional negatif (-) mengandung saponin.
Didukung dengan penelitian Mudrikah (2006) dimana jahe merah negatif
mengandung saponin. Saponin didefinisikan berdasarkan aktivitas permukaannya.
Kebanyakan saponin mampu membentuk busa dan stabil dalam air, memiliki
aktivitas hemolitik dan memiliki rasa yang pahit dan beracun terhadap ikan
(piscicidal). Saponin banyak ditemukan di beberapa tumbuhan, termasuk
beberapa di antaranya sering digunakan sebagai bahan makanan seperti kacang-
kacangan (Sezgin 2010).
Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel
hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal dapat menimbulkan
18
efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan oleh saponin
dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia. Sifat ini lendir akan dilunakkan
atau dicairkan. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat oleh aktivitas
permukaan serta dapat meregang partikel (Sirait 2007).
3.2.4 Steroid-Tripenoid
Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik, yaitu skualena. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik
lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia
tidak reaktif (Harborne 1987). Dari hasil uji Steroid-Tripenoid jahe (Zingiber
officinale) tidak mengandung seyawa steroid tripenoid. Hasil tersebut kurang
sesuai dengan hasil penelitian Tarigan et al. (2008) dimana jahe negatif (-)
mengandung tripenoid. Hasil praktikum didukung dengan penelitian Mudrikah
(2006) dimana jahe merah negatif (-) mengandung Steroid-Tripenoid.
Steroid merupakan triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidrofenantrena. Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa
dan pengelompokkan ini didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh
masing-masing senyawa. Kelompok-kelompok tersebut yaitu sterol, asam-asam
empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon kardiak dan sapogenin
(Harborne 1987).
3.2.5 Tanin
Tanin umumnya didefinisikan sebagai senyawa polifenol alami dengan
berat molekul yang tinggi dan cukup untuk membentuk kompleks dengan protein.
Metode kuantifikasi tannin didasarkan pada sifat kimia tannin atau
kemampuannya untuk mengikat substrat, terutama protein. Tannin berdasarkan
jenis struktualnya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu tanin
terhidrolisa dan tannin kondensasasi (FAO 2000). Tannin bersifat toksik terhadap
mikroba melalui mekanisme penghambatan enzim dan penghambatan penggunaan
substrat oleh mikroba, menghambat penggunaan ion logam dan mengganggu
membran mikroba. Tanin dapat digunakan sebagai komponen antidiare,
hemostatic dan antihemorrhoidal (Shahidi dan Naczk 1995).
19
Hasil uji fitokimia terhadap jahe (Zingiber officinale) menunjukkan bahwa
tidak terdapatnya tanin, hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya perubahan
warna pada sampel. Hasil praktikum kurang sesuai dengan penelitian Tarigan et
al. (2008) dimana jahe positif mengandung tanin. Hasil praktikun sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Mudrikah et al. (2006) dimana hasil uji tanin negatif
terhadap ekstrak jahe merah. Jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) merupakan
salah satu jenis strain dari jenis jahe.
Tanin terkondensasi yaitu tanin yang terbentuk dengan cara kondensasi
katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang
lebih tinggi. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila
direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung
satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin. Sedangkan tanin
terhidrolisis terdiri dari dua kelas yaitu depsida galoilglukosa dan dimer asam
galat (Harborne, 1987).
3.3 Ekstraksi
Tabel 3. Data hasil ekstraksi Jahe (Zingiber officinale)
Tipe EkstraksiRendemen (Duplo) %
1 2 Rata-rata
Maserasi (Tanpa Pemanasan) 16,8879 19,8696 18,3787
Refluks (Pemanasan) 30,27 25,85 28,06
Sochlet 4,864 7,8849 6,3744
Distilasi - - -
Ekstraksi dilakukan untuk memisahkan komponen-komponen senyawa aktif
dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut. Tujuan dari proses ini adalah
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung
komponen-komponen bioaktif (Harborne 1987). Ekstraksi Jahe (Zingiber
officinale) dilakukan dengan metode soksletasi, destilasi, maserasi dan refluks
menggunakan pelarut metanol. Soksletasi adalah ekstraksi solute dari padatan
dengan menggunakan pelarut organik yang cocok dan proses terjadi berulang-
ulang, sedangkan destilasi merupakan teknik pemisahan berdsarkan titik didih
atau volatilitas.
20
Penentuan rendemen ekstrak yang dilakukan pemisahan ekstrak dengan
pelarut menggunakan rotary evaporator. Rendemen dihitung dengan
membandingkan antara berat ekstrak dan berat sampel yang digunakan. Hasil
perhitungan menunjukan rendemen ekstrak kasar jahe dengan metode maserasi
adalah rata-rata sebesar 18,3787 % dan refluks menghasilkan rendemen rata
sebesar 28,06 % dan metode soklet menghasilkan rendemen sebesar 6,3744.
Terdapat kegagalan dalam penggunaan metode distilasi. Dari hasil tersebut dapat
dilihat bahwa ekstraksi dengan metode refluk lebih efektif dibanding metode lain
yang digunakan. Hasil ini dapat dilihat dari rendemen ekstrak kasar yang lebih
besar. Proses ekstraksi dengan metode refluks, contoh selalu diekstrak dengan
pelarut segar.
3.3.1 Penentuan Eluen terbaik dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer Chromatography) merupakan metode
awal pemisahan senyawa dan identifikasi komponen-komponennya. Metode ini
berdasarkan distribusi komponen yang berbeda dari suatu senyawa campuran
antara fase bergerak dan fase diam pada suatu lempeng tipis. Fase diamnya berupa
lapisan tipis yang melekat atau terikat pada suatu material (dapat berupa gelas,
plastik atau lembaran metal), yang memungkinkan fase bergerak dapat bergerak
ke atas secara kapilari. Proses pemisahan senyawa berdasarkan prinsip bahwa
tiap komponen dalam campuran senyawa memiliki perbedaan polaritas dan akan
terserap oleh fase diamnya (misalnya gel silika), demikian juga pelarut
(adsorbent) dan zat terlarut (dissolve) yang berada pada fase gerak, akan bergerak
pada tingkatan yang berbeda. Oleh karena itu, tiap komponen dalam campuran
senyawa akan tertarik oleh pelarut fase gerak pada tingkatan yang berbeda di
sepanjang plat kromatografi. Senyawa yang terikat lebih dulu (fase diam)
merupakan senyawa polar dan senyawa yang terus bergerak atau yang memiliki
nilai Rf yang tinggi (berada paling atas) merupakan senyawa non polar.
Hasil pemisahan senyawa akan menunjukkan spot-spot yang terpisah
sepanjang plat kromatografi lapis tipis (KLT) berdasarkan tingkat polaritasnya.
Spot-spot ini kemudian ditandai di bawah sinar UV (Ultra Violet). Faktor
retardasi (Rf) dari tiap spot komponen yang terpisah dapat dikalkulasi dengan
mengukur jarak dari titik awal sampel ke tengah spot yang sudah terpisah. Nilai
21
Rf tersebut merupakan langkah awal untuk memperkirakan jenis (identifikasi
awal) senyawa organik yang telah terpisah (Furniss et al. 2004 diacu dalam Ismet
2007).
Identifikasi awal dalam menentukan keberadaan (ada atau tidaknya
senyawa) dan kemurnian senyawa dilakukan dengan menggunakan Alumunium
Sheets Silika Gel 60F254 pada metoda Thin Layer Chromatography (TLC) atau
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). KLT dilakukan dengan mencoba empat jenis
pelarut yaitu metanol, kloroform, etil asetat, dan heksana. Hasil KLT berupa
band-band atau spot (kelompok senyawa sejenis) dengan nilai Rf (retardaction
fraction) tertentu adalah petunjuk keberadaan senyawa bioaktif yang terpisah
menurut kepolarannya. Hasil selengkapnya pengidentifikasian awal senyawa
bioaktif hasil fraksinasi ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil ini digunakan sebagai
panduan pemilihan macam pelarut untuk proses pemurnian dengan kolom
kromatografi.
Tabel 4. Nilai Rf fraksi organik ekstrak buah Kawista (Feronia limonia)
Jenis Sampel Pelarut Jumlah Spot Rf
Ekstrak Buah Kawista
Heksan 4
0,0630,0880,5250,750
Metanol 30,1250,4380,500
Etil asetat 5
0,0630,1250,5250,7500,788
Khloroform 30,1250,4380,688
22
Gambar 3. Fraksi organik ekstrak buah kawista dengan pemisahan menggunakan
KLT pada berbagai pelarut: (M) methanol; (Kl) kloroform; (EA) etil asetat; (He)
heksana.
Gambar 4. Pengamatan Fraksi organik ekstrak buah kawista dengan
pemisahanmenggunakan KLTdi bawah sinar UV
Fraksi atau kelompok senyawa yang telah memisah berdasarkan
kepolarannya pada plat tipis gel silika KLT terlihat saat dibantu dengan sinar UV.
23
Eluan dengan pelarut non polar, yaitu kloroform dan metanol memiliki 3 spot.
Untuk kloroform hasil cukup bagus dan totolan cenderung naik sementara
metanol cenderung naik namun spotnya cenderung membesar. Eluen
menggunakan etil asetat menghasilkan 5 spot senyawa dengan jarak totolan yang
cenderung masih bergabung. Eluen menggunakan heksana menghasilkan 4 spot
dengan karakter cenderung naik dan mulai memisah. Belum adanya karakter spot
terbaik sehingga dilakukan ujilanjutan dengan mengkombinasikan masing-masing
jenis pelarut.
Hasil uji lanjut menggunakan perbandingan kloroform dan metanol dengan
perbandingan 9 :1 dan 8 :2 serta etil asetat dan an heksan dengan perbandingan
4 :1. Kemudian lakukan langkah seperti prosedur diatas dan diamati di bawah UV
Light pada panjang gelombang 254 atau 366. Hasil pengamatan menunjukan
perbandingan eluen terbaik adalah kloroform dan metanol dengan perbandingan
8 : 2. Koroform dan metanol dengan perbandingan 8 : 2menghasilkan spot
pemisahan terbaik sehingga digunakan sebagai eluen pada proses pemisahan
selanjutnya, yaitu kromatografi kolom.
3.3.2 Pemisahan ekstrak dengan kromatografi kolom
Kromatografi kolom dilakukan dengan tujuan memisahkan fraksi-fraksi
yang terdapat pada ekstrak Kawista (Feronia limonia). Fase diam berupa
serbuk/bubur silika digunakan sebagai fase diam. Absorben silika lebih banyak
digunakan karena memiliki tekstur dan struktur yang lebih kompak dan teratur.
Silika dapat membentuk ikatan hidrogen di permukaannya karena terikat gugus
hidroksil. Oleh karena itu, silika gel bersifat sangat polar. Fase gerak yang
digunakan yaitu heksana. Heksana merupakan senyawa dengan polaritas yang
rendah (non polar). Panjang kolom yang digunakan adalah 14 cm sedangkan
diameter kolom adalah 1,2 cm.
Hasil pemisahan ekstrak kasar Kawista (Feronia limonia) menghasilkan
setiap fraksi tidak menunjukkan kelompok pola yang berbeda, artinya semua
memiliki pola yang sama. Hasil tersebut diperoleh setelah memisahkan kembali
fraksi-fraksi yang diperoleh dari pemisahan dengan kromatografi kolom
menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dilihat pola yang sama berdasarkan
Rf (jarak eluen yang sama). Pemisahan dengan KLT dilakukan untuk menentukan
24
fraksi-fraksi yang memiliki spot sama, sehingga diduga fraksi tersebut
mengandung komponen yang sama.
3.4 BSLT (Uji toksisitas)
Uji toksisitas dilakukan dengan mengamati kematian hewan percobaan
dan respon kematian dianggap sebagai pengaruh senyawa yang diuji. Uji
toksisitas dimaksudkan untuk memaparkan adanya efek toksik dan untuk meneliti
batas keamanan dalam kaitannya dengan penggunaan senyawa yang ada dalam
tumbuhan tersebut (Widyastuti 2008).
BSLT (Brine Shrimp LethalityTest) merupakan salah satu metode skrining
bahan yang berpotensi sebagai tanaman berkhasiat. Pengujian menggunakan
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) diterapkan dengan menentukan nilai Lethal
Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50 merupakan angka
yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian sebesar 50 % dari
jumlah hewan uji (Meyer et al., 1982).
Suhirman et al. (2006) mengemukakan bahwa dalam metode penelitiannya
menggunakan larva udang (Artemia salina Leach.) sebagai bioindikator. Larva
udang ini merupakan organisme sederhana dari biota laut yang sangat kecil dan
mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap toksik. Pujiati et al. (2002)
mengatakan telur Artemia salina Leach memiliki daya tahan hidup selama
beberapa tahun dalam keadaan kering. Telur udang dalam air laut akan menetas
menjadi larva (nauplii) dalam waktu 24–28 jam Bila bahan yang diuji
memberikan efek toksik terhadap larva udang, maka hal ini merupakan indikasi
awal dari efek farmakologi yang terkandung dalam bahan tersebut. Meyer et al.
(1982) mengatakan bahwa beberapa penelitian menunjukkan Artemia salina
memiliki korelasi positif terhadap ekstrak yang bersifat bioaktif. Metoda ini juga
banyak digunakan dalam berbagai analisis biosistim seperti analisis terhadap
residu pestisida, miko toksin, polusi, senyawa turunan morfin, dan karsinogenik
dari phorbol ester
Artemia salina Leach merupakan organisme sejenis udang-udangan yang
berukuran kecil dan dikenal dengan nama brine shrimp. Artemia salina Leach
digunakan sebagai hewan uji untuk menentukan ketoksikan suatu senyawa dalam
ekstrak tumbuhan yang diwujudkan sebagai racun (Meyer et al. 1982). Hasil
25
praktikum uji aktivitas BSLT dari larva udang Artemia salina Leach dengan
penambahan larutan ekstrak Kawista (Feronia limonia) dan air laut dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 5. Rata-rata kematian larva udang Artemia salina dengan penambahan
larutan Kawista (Feronia limonia) dan air laut
UlanganPersentase kematian larva udang Artemia salina tiap konsentrasi
0 ppm 50 ppm 100 ppm 200 ppm 300 ppm 500 ppm 1000 ppm
1 80 80 90 100 100 100 100
2 70 80 70 90 90 100 100
3 70 70 90 100 100 100 100
Rata-rata %
Mortalitas73,33 76,67 83,33 96,67 96,67 100,00 100,00
Bil. Probit 5.61 5.71 5.95 6,75 6,75 8,09 8,09
Atmoko dan Ma’ruf (2009) mengemukakan bahwa uji mortalitas
dilakukan dengan lethal concentration 50% (LC50). LC adalah suatu nilai yang
menunjukkan konsentrasi zat toksik yang dapat mengakibatkan kematian
organisme sampai 50%. Nilai kematian 50% per hari (LC50 dalam unit waktu)
ditentukan dengan menggunakan persamaan regresi antara log konsentrasi dan
mortalitas (%). Grafik presentase kematian larva Artemia salina dapat dilihat pada
Gambar 4.
26
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.50
1
2
3
4
5
6
7
8
f(x) = 0.625645001030456 x + 5.25297133851718R² = 0.714461862204788
Probit
ProbitLinear (Probit)
Log Konsentrasi
Bila
ngan
Pro
bit
Gambar 5. Grafik Presentase Kematian Larva Artemia salina
Perhitungan :
y = a + bx
5 = 5,0211+0,8276x
x = -0,03828
LC50 = antilog x
= antilog (-0,03758)
= 2,4144 ppm
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode yang
sering digunakan untuk praskrining terhadap senyawa aktif yang terkandung
dalam ekstrak tanaman. Melalui uji BSLT, pelaksanaan skrining akan berlangsung
relatif cepat, mudah, dengan biaya relatif murah, dan dapat dipercaya. Pengujian
menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) diterapkan dengan menentukan
nilai Lethal Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50
merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian
sebesar 50 % dari jumlah hewan uji.
Meyer et al. (1982) berpendapat bahwa ketersediaan telur, kemudahan
dalam menetaskan telur menjadi larva, pertumbuhan yang cepat dari naupli dan
relatif mudah dalam mempertahankan populasi dalam kondisi laboratorium
membuat kondisi Artemi salina merupakan hewan percobaan yang efektif dan
27
sederhana dalam ilmu biologi dan toksikologi. Artemia salina sering digunakan
dalam penelitian, sederhana dan yang terpenting tidak mahal, dan mudah
diproduksi. Prinsip metode BSLT adalah menggunakan tingkat kematian naupli
pada berbagai tahap perkembangan hidupnya untuk mengetahui toksisitas suatu
bahan. Tingkat toksisitas suatu bahan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 6. Kategori toksisitas bahan
Kategori LC50 (μg/ml)
Sangat toksik
Toksik
Tidak toksik
< 30
30-1000
>1000
Sumber : Meyer et al. (1982)
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai LC50 adalah 0,9171 ppm
sehingga dapat disimpulkan pada pengujian aktivitas BSLT pada larva udang
Artemia salina Leach dengan penambahan larutan ekstrak dari kawista (Feronia
limonia) dan air laut menghasilkan tingkat toksisitas yang sangat toksik. Hasil
ppraktikum tersebut kurang sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dewi (2013)
dimana LC50 ekstrak buah kawista yang terendah terdapat pada ekstrak buah
matang yaitu sebesar 58.702 dan yang tertinggi pada buah kawista tua yaitu
sebesar 222.35. Uji toksisitas digunakan untuk menentukan toksisitas senyawa
kimia yang terkandung dalam tanaman obat dan untuk menentukan potensi
bioaktif senyawa bahan alam (Sukadirman et al. 2004). Hasil uji toksisitas
dinyatakan dengan nilai LC50. Nilai LC50 yaitu konsentrasi ekstrak yang
dibutuhkan untuk menurunkan kemampuan hidup larva udang sebesar 50%. Jika
nilai LC50 dibawah 1000 µg/mL maka suatu senyawa atau ekstrak aktif dari suatu
sampel memiliki potensi bioaktif (Meyer et al. 1982).
28
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil praktikum yang dilakukan diperoleh bahwa Jahe Zingiber
officinale memiliki kadar air 4,240 % dan kadar abu 8,7587 %. Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza) mengandungan komponen bioaktif yang terdeteksi
meliputi alkaloid, flavonoid dan steroid triterpenoid. Selanjutnya sampel ekstrak
kasar Kawista (Feronia limonia) menghasilkan tingkat toksisitas 54,3365 ppm
dan tergolong toksik. Metode refluk merupakan metode ekstraksi terbaik dengan
menghasilkan rendemen terbanyak 28,06 %. Hasil uji Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) menunjukan eluen kloroform dan metanol dengan perbandingan 8 : 2
menghasilkan pemisahan senyawa terbaik. Hasil kromatografi kolom menunjukan
masing-masing fraksi tidak menunjukan pola cincin yang berbeda.
Saran
Dibutuhkan teknik preparasi dan persiapan sampel yang baik sehingga
kondisi bahan baku yang tidak kotor, selain itu diperlukan teknik ekstraksi
bertingkat untuk memastikan tingkat kemurnian sampel.
29
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia. Jakarta.
Aminah S. 2004. Aktivitas Antioksidan dan Antipoliferasi Sel Kanker K-562 pada Minuman Formulasi Susu Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Sterilisasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Asminar. 2007. Analisis Unsur-Unsur Pengotor Dalam Uranium Logam Secara Spektrofotometri Serapan Atom. Hasil-hasil Penelitian EBN Tahun 2007. ISSN 0854 – 5561
Anggadiredja JT, A. Zatnika, H. Purwoto, Sri Istini. 2006. Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya
Atmoko T, Ma’ruf A. 2009. Uji toksisitas dan skrining fitokimia ekstrak tumbuhan sumber pakan orangutan terhadap larva Artemia salina L. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. VI (1) : 37-45.
Bodamyali T, Kancler JM, Millar TM, Blake DR, Stevens CR. 2002. Free radicals in rheumatoid arthritis: Mediators and modulators. Di dalam: Fuchs J,Podda M, Packer L, editor. Redox Genome Interaction in Health and Disease. New York: Marcel Dekker.
Braja M. 2008. Uji toksisitas ekstrak daun Ficus elastic Nois ex Blume terhadap Artemia salina Leach dan profil kromatografi lapis tipis. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Chen CYO, Blumberg JB. 2008. Phytochemical composition of nuts. Asia Pac Journal Clin Nutr. 17(S1): 329-332.
Choudhury S, Datta S, Talukda AD, Choudhury MD. 2011. Phytochemistry of the Family Bignoniaceae- A review. Journal of Science & Technology : Biological and Environmental Sciences. 7: 145-150.
Darwis, SN, Indo M dan Hasiah S. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae . Pusat Penelitian Tanaman Industri Bogor.
Dewi, Resvina. 2013. Bioaktivitas Buah Kawista (Limonia acidissima) Bima dan Penentuan Sidik Jarinya Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis [Skripsi]. Departemen Kimia, IPB Bogor.
Ditjen PPHP. 2010. Warta Pasarikan Edisi Maret 2010/Vol.79. Kerang-Pasar Cemerlang, Pasokan Kurang. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan
FAO. 2000. Quantification of Tannins in Tree Foliage. Vienna.
Fieser, Louis. F. 1957. Experiment in Organic Chemistry, 3nd edition, Revised, D. C. Heath and Company : Boston.
Hanson, J. 2011. Introduction to Interpretation of Infrared Spectra. http://www2.ups.edu/faculty/hanson/Spectroscopy/IR/IRInterpretation.htm
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia Edisi Ke-2. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: Insitut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytocemical Methods.
30
Hayani, Eni. 2006. Analisis Kandungan Kimia Rimpang Temulawak. Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Balai Penelitlan Tanarnan Rempah dan Obat, Bogor
Hoorn Van et al. 2002. Accurate prediction of xanthine oxidase inhibition based on the structure of flavonoids. Eur J Pharmacol. 451: 111-118.
Hostetmann and Manson. 1986. Cara Kromatografi Preparatif. ITB Press.,Bandung
Ismet MS. 2007. Penapisan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Dari lokasi yang berbeda. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Isntitut Pertanian Bogor.
Ilango K dan Chitra V. 2009. Antidiabetic and antioxidant activity of Limonia acidissima Linn. in alloxan induced rats. Der Pharma Lettre.1:117-125.
Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Lenny Sofia. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida dan Alkaloida. http://repository.usu.ac.id/bitstream diakses tanggal 22 Juni 2012).
Lestari, W. E. 2006. Pengaruh Nisbah Rimpang dengan Pelarut dan Lama Ekstraksi terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubrum).Skripsi. Fateta.IPB Bogor.
Marliana SD, Suryanti V dan Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Biofarmasi 3 (1): 26-31, Pebruari 2005, ISSN: 1693-2242
Munson, James,W., 1991, Analisis Farmasi, Airlangga University Press, Surabaya
Maitreyi, Z., Khandhar, A. and Jain, S. (2008). Quantification of Baicalein, Chrysin, Biochanin-A and Ellagic Acid in Root Bark of Oroxylum indicum by RPHPLC with UV Detection. Eurasian Journal of Analytical Chemistry. 3(2).
Meyer BN, Ferigni N R, Putnam JE, Ja Cobsen LB, Nichols DE dan McLaughlin JL. 1982. Brine shrimp a convenient general bioassay for active constituents. Journal of Plant Medical Research. 45: 31-34.
Mudrikah, Fitri. 2006. Potensi Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officionale Rosc.) dan Campuranya dengan Herba Suruhan (Pepperomia pellucida L.) sebagai Antihiperurisemia pada Tikus [Skripsi]. Program Studi Biokimia, IPB Bogor.
Nadjeb. 2010. Alkaloid. (Online) (http://nadjeeb.files.wordpress.com/2009/03/ alkaloid.pdf diakses tanggal 22 juni 2013).
Naturfoto. 2010. Artemia salina L. www.naturephoto-cz.com. [Diakses tanggal 29 Mei 2012].
Nurhayati APD, Abdulgani N, Febrianto R. 2006. Uji toksisitas ekstrak eucheuma alvarezii terhadap Artemia salina sebagai studi pendahuluan potensi antikanker. Akta Kimindo. 2 (1) : 41-46.
31
Nurjanah, Abdullah dan Sudirman. 2012. Penuntun Praktikum Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Paimin, F.B. dan Murhananto. 1991. Budidaya, Pengolahan, dan Perdagangan Jahe. Penebar Swadaya, Jakarta
Prasetyawati, CR. 2003. Evaluasi Daya Antioksidatif Oleoresin Jahe Terhadap Aktifitas Superoksida Dismutase (SOD) Hati Tikus yang Mengalami Perlakuan Stress [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor
Pujiati I, Ningsih S, Palusi S, Windono T. 2002. Uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach. Dari fraksi n-heksan, khloroform, etil asetat dan air ekstrak etanol rimpang temumangga (Curcuma mangga VaL). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Universitas Surabaya, Surabaya : 109-115.
Rukmana R. 1995. Temulawak: Tanaman Rempah dan Obat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sezgin AEC, Artik N. 2010. Determination of Saponin Content in Turkish Tahini Halvah by Using HPLC. Advance Journal of Food Science and Technology. 2 (2) : 109-115.
Sidik. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza .Roxb..). Di dalam: Sirait M Moesdarsono, editor. Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam. Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.
Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: ITB.
Sienko, P. dan Marcus. 1984. Experimental Chemistry 6th Edition. McGraw Hill Book Co, Singapore
Soebagio. 2002. Kimia Analitik II. Malang : JICA. Hml 87
Sukamto LA. 1999. Morfogenesis berbagai eksplan kawista (Limonia acidissima L.) yang ditumbuhkan secara kultur [prosiding]. Bogor (ID) : LIPI
Suhirman S, Hernani, Syukur C. 2006. Uji toksisitas ekstrak lempuyang gajah (Zingiber zerumbet) terhadap larva udang (Artemia salina Leach.). Buletin Littro. XVII (1) : 30-38.
Sudarmadji, S.B., Haryanto dan Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Standart Nasional Indonesia. 1994. Jahe Kering. Dewan Standarisasi Nasional
Tarigan JB, Zuhra CF dan Sihotang H. 2008. Skrining Fitokimia Tumbuhan yang Digunakan Oleh Pedagang Jamu Gendong Untuk Merawat Kulit Wajah di Kecamatan Medan Baru. Jurnal Biologi Sumatera Vol. 3, No. 1 hlm. 1- 6.
Widiyastuti S. 2008. Uji toksisitas ekstrak daun iprih (Ficus glabella Blume) terhadap Artemia salina Leach dan profil kromatografi lapis tipis. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Winarno. 1997. Ilmu Pangan Dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
32