Upload
irma-kurniawati
View
172
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tutorial blok kulit
Citation preview
LAPORAN TUTORIAL
BLOK KULIT
SKENARIO 2
KELOMPOK XX
Ajeng Oktavia Griselda G0013014
Annisa Julia Nahuway G0013034
Arifah Qudsiyah G0013036
Avicena Hafsah P G0013050
Ayu Luh Ratri Wening G0013052
Faris Muwaffaq Akmal G0013092
Hepy Hardiyanti K G0013112
Irma Kurniawati G0013120
Novia Hartanti G0013180
Reza Satria Nugraha G0013198
Wakhid Ryan Cahyadi G0013232
Widati Hikmatul Fitri G0013234
Yasmin Zahirah G0013238
TUTOR : Dwi Rahayu, dr.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO II
BERCAK MERAH DI PIPI
Seorang bayi perempuan berusia satu tahun datang berobat diantar ibunya berobat ke
pliklinik kulit dengan keluhan bercak merah pada wajah. Berdasarkan aloanamnesis, keluhan itu
mulai diperhatikan oleh ibunya sejak dua minggu yang lalu. Bercak kemeraham muncul di pipi
kanan dan kiri disertai sedikit sisik halus. Penyakit ini sering kambuh. Anggota keluarga lainnya
belum pernah menderita keluhan seperti ini tetapi kakaknya menderita asma yang berat dan
sering dirawat di RS. Sejak muncul bercak tersebut si anak sering rewel dan suka mengusap
pipinya dengan tangannya.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai bercak eritem dengan skuama halus pada pipi kanan dan
kiri. Oleh dokter kemudian diberikan obat berupa krim yg dioleskan 2 kali per hari.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jumps
1. Langkah I : Klarifikasi Istilah
a. Alloanamnesis adalah anamnesis yang diungkapkan secara tidak langsung oleh pasien
b. Bercak eritem yaitu bercak berwarna kemerahan.
2. Langkah II : Menentukan / mendefinisikan permasalahan
a. Apakah kaitan usia dengan keluhan pasien?
b. Bagaimana mekanisme timbulnya bercak merah?
c. Bagaimana hubungan keluhan bayi dan yang diderita kakaknya?
d. Mengapa sering kambuhan?
e. Mengapa bayi tersebut sering mengusap pipi ?
f. Mengapa bisa dipipi apakah bisa ditempat lain ?
g. Apakah tujuan diberikan krim, dan kandungan apa yg terkandung di dalamnya?
h. Bagaimana Diagnosis Banding pada kasus tersebut beserta penjelasannya?
3. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara mengenai
permasalahan
a. Penyebab anak sering rewel pada kasus tersebutSi anak sering rewel dan suka mengusap pipinya hal ini menandakan anak merasa gatal dan tidak nyaman sehingga melakukan hal tersebut. Pada kasus scenario anak masih berusia satu tahun sehingga belum mengkomunikasikan rasa gatalnya secara verbal.
b. Bercak Merah
Bercak merah karena reaksi inflamasi juga menimbulkan tanda-tanda inflmasi yang lain
seperti nyeri. Rasa nyeri memiliki ambang batas yang berbeda-beda tiap individu, salah
satunya yang kita kenal dengan gatal. Gatal adalah ambang terendah dari nyeri.
Kemerahan terjadi karena proses inflamasi. Proses inflamasi berkaitan dengan sistem
imunitas tubuh. Secara garis besar sistem imun tubuh dibagi atas sistem imunitas bawaan
(non spesifik) dan sistem imunitas yang didapat (spesifik). Pada sistem imunitas non
spesifik akan menyerang semua antigen yang masuk, ketika antigen masuk kedalam
tubuh maka spealis fagostik (makrofag dan netrofil) akan memfagosit antigen tersebut.
Hal tersebut bersamaan dengan terjadinya pelepasan histamin oleh sel mast pada daerah
jaringan yang masuk. Histamin yang dilepaskan akan membuat pembuluh darah,
bervasodilitasi untuk menaikkan aliran darah pada daerah yang terinfeksi. Selain itu
histamin yang membuat permeabilitas kapiler meningkat, sehingga protein plasma yang
seharusnya tetap di pembuluh darah akan masuk ke jaringan yang bisa membuat
kemerahan.
c. Mekanisme terbentuknya skuama
Sel-sel hidup pada stratun basalis mengalami deferensiasi. Kemudian bergerak keatas ke
stratum korneum menjadi sel-sel mati yang berisi keratin. Pada stratum korneum, sel-sel
tanduk menghasilkan keratosit yang mengalami keratinisasi. Tetapi karena adanya proses
inflamasi yng menyebabkan kemerahan pada wajah menimbulkan proses keratinisasi
menjadi terganggu. Sel-sel tanduk yang telah mati akan mengalami penumpukan yang
kemudian menyebabkan terbentuknya skuama.
d. Bagaimana hubungan keluhan bayi dengan penyakit yang diderita kakaknya?
Saalah satu diagnosis banding yang mungkin adalah dermatitis atopi. Dermatitis atopi
cenderung diturunkan. Oleh karena itu, adanya anggota keluarga yang menderita penyakit
alergi seperti dermatitis alergi atau asma meningkatkan faktor risiko anggota keluarga
lain menderita dermatitis alergi. Pada kasus tersebut, kakak dari pasien menderita asma.
Kemungkinan yang terjadi adalah orangtua dari pasien menurunkan penyakit alergi
kepada kedua anaknya. Manifestasi alergi yang timbul pada balita biasanya adalah
dermatitis alergi
4. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah 3
5. Jump V: Merumuskan sasaran pembelajaran
Apa saja diagnosis banding dari kasus pada skenario?
6. Jump VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok
Langkah ini dilakukan mahasiswa diluar diskusi tutorial untuk mendapatkan informasi baru
terkait skenario. Sumber dapat diperoleh dari penelusuran pustaka, konsultasi pakar dan
pengamatan lapangan.
7. Jump VII: Melakukan sintesa dan pengujian informasi-informasi yang telah terkumpul
1. Diagnosis banding:
a. Dermatitis Atopi
Riwayat Keluarga : Asma
Bayi perempuan
Bercak merah 1th
UKK
Patch,eritem, skuama halus
Keluhan Penyerta
Rewel dan mengusap pipi
Diagnosis
Banding
Dermatitis Atopi
Dermatitis Kontak iritan
Dermatitis Kontak alergi
Ptiriasis rosea
Eritoderma
Psoriasis
Dermatitis atopik (DA) adalah inflamasi kulit dengan etiologi yang belum
diketahui, timbul biasanya pada masa bayi atau anak, selanjutnya dapat terjadi
pada usia dewasa dan berhubungan dengan keadaan atopi. Gejala atau tanda
utama adalah rasa gatal, serta predileksi lesi yang sangat khas tergantung umur
penderita. Terminologi DA berasal dari kata “dermatitis” yang artinya inflamasi
kulit dan “atopi” yang berarti satu penyakit aneh (a strange disease). Etiologi dan
patogenesis DA sampai sekarang belum jelas benar sehingga pengobatannya
masih bersifat simptomatis. Kortikosteroid merupakan obat yang banyak
digunakan dalam penatalaksaan DA, baik pemakaian topikal maupun sistemik.
Semua steroid yang digunakan dalam pengobatan berasal dari derivat hormon
hidrokortison endogen (kortisol).
Pendapat yang banyak diterima saat ini, DA merupakan penyakit inflamasi kulit
yang berdasarkan mekanisme atopi, paralel dengan asma dan rinitis atopi. Teori
imunologik untuk menjelaskan patogenesis DA berdasarkan kulit merupakan
organ yang tidak saja sebagai sasaran atau target tetapi juga mampu mengawali
(inisiasi) respon imun, sesuai dengan konsep sistem imun pada kulit (Djuanda,
2011). Berbagai bukti dan hasil penelitian menunjukkan respon imun memberi
kontribusi pada terjadinya lesi DA, antara lain meningkatnya produksi IL-5, dan
menurunnya sintesis IL-2 dari sel mononuklear darah perifer anak yang menderita
DA. Keadaan ini mencerminkan aktivasi eosinofil dan IgE dalam serum yang
tinggi pada DA. Ganguan respon imun baik humoral maupun selular pada
penderita DA telah dibuktikan dengan percobaan uji tusuk yang memberikan
reaksi segera ataupun uji tempel menggunakan alergen tungau debu rumah.
Penelitian dengan uji temple dapat dijelaskan timbulnya lesi kulit pada DA yang
menyerupai lesi dermatitis kontak alergi yang merupakan hasil interaksi antara
berbagai sel imunokompeten di jaringan kulit. Teori imunologis yang
menjelaskan patogenesis DA didukung oleh beberapa bukti antara lain perubahan
pada variabel imunitas humoral dan seluler. (Daili, 2005).
Gambar 1. Plak erimatosa difuse dan kering pada pipi
Penatalaksanaan Umun
Kulit penderita DA lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu penting
mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu.
Misalnya sabun, detergen, kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan
terhadap panas dan dingin yang ekstrim.
Lebih baik menggunakan sabun yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan
yang punya pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci sebelum dipakai untuk
membersihkan formaldehid/bahan kimia tambahan. Mencuci pakaian dengan
detergen harus dibilas dengan baik, sebab sisa detergen dapat bersifat iritan.
Penatalaksanaan Topikal
1. Hidrasi kulit
Kulit pada penderita DA memiliki karakter yang kering dan fungsi sawar
berkurang, mudah retak, sehingga memudahkan masuknya mikroorganisme
patogen, bahan iritan, dan alergen. Sehingga perlu diberikan pelembab, misal
krim hidrofilik urea 10% dan hidrokortison 1%.
2. Kortikosteroid Topikal
Fungsinya sebagai anti-inflamasi. Pada bayi diberikan salep steroid berpotensi
rendah misalnya hidrokortison 1%-2,5%. Pada anak dan dewasa diberi salep
steroid berpotensi menengah, misal triamsinolon, kecuali pada muka di pakai
yang berpotensi lebih rendah. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, salep steroid
tetap dipakai secara intermitten, yaitu setiap 2 x seminggu untuk menjaga agar
tidak cepat kambuh.
Pengobatan Sistemik
1. Kortikosteroid sistemik
Hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dosis rendah. Kemudian
segera diganti dengan kortikosteroid topikal.
2. Anti histamin
Untuk mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam hari.
3. Antiinfeksi / antibiotik
Hanya diindikasikan jika sudah ada gejala sekunder. Pada DA biasanya
ditemukan peningkatan koloni Staphylococcus aureus.
4. Interferon
INF-alfa diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi
sel TH2.
Prognosis
Prognosis dari DA sulit diramalkan. Lebih buruk jika kedua orang tua penderia
juga DA.
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan prognosis DA :
1. DA yang luas pada anak
2. Menderita rinitis alergi dan asma bronkial
3. Riwayat DA pada ortu atau saudara kandung
4. Awitan DA pada usia muda
5. Anak tunggal
6. Kadar IgE serum tinggi
b. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, linefikasi)
dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin
hanya beberapa (oligomorfik). dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Sinonim dermatitis adalah eksem. Ada yang membedakan antara dermatitis dan
eksem, tetapi pada umumnya menganggap sama.
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia, fisik
(contoh: sinar), mikroorganisme (bakteri, jamur); dapat pula dari dalam
(endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui pasti.
Banyak macam dermatitis yang belum diketahui patogenesisnya, terutama yang
penyebabnya faktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah tentang
dermatitis kontak, baik yang tipe alergik maupun iritan primer.
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung
pada stadium penyakit, batasnya dapat tegas dapat pula tidak tegas,
penyebarannya dapat setempat, generalisata, bahkan universalis.
Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula, erosi
dan eksudasi, sehingga tampak basah (medidans). Stadium subakut, eritema
berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis
tampak lesi kronis, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, dan papul, mungkin
juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu
berurutan, bisa saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa
kelainan kulit stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensinya tidak selalu
harus polimorfi, mungkin hanya oligomorfi.
Hingga kini belum ada kesepakatan internasional mengenai tatanama dan
klasifikasi dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya yang multi faktor, tetapi
juga karena seseorang dapat menderita lebih dari satu jenis dermatitis pada waktu
yang bersamaan atau bergantian.
Ada yang memberi nama berdasarkan etiologi (contoh: dermatitis kontak,
radiodermatitis, dermatitis medikamentosa), morfologi (contoh: dermatitis
papulosa, dermatitis vesikulosa, dermatitis eksfoliativa), bentuk (contoh:
dermatitis numularis), lokalisasi (contoh: dermatitis interdigitalis, dermatitis
intertriginosa, dermatitis manus, dermatitis generalisata), dan ada pula yang
berdasarkan lama atau stadium penyakit (contoh: dermatitis akut, dermatitis
subakut, dermatitis kronis)
Perubahan histopatologi dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis, bergantung
pada stadiumnya.
Pada stadium akut kelainan di epidermis berupa vesikel atau bula, spongiosis,
edema intrasel, dan eksositosis, terutama sel mononuklear. Dermis sembab,
pembuluh darah melebar, ditemukan sebukan terutama sel mononuklear; eosinofil
kadang ditemukan, bergantung pada penyebab dermatitis.
Kelainan pada stadium subakut hampir seperti stadium akut, jumlah vesikel di
epidermis berkurang, spongiosis masih jelas, epidermis tertutup krusta, dan
parakeratosis; edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih tampak jelas,
demikian pula sebukan sel radang.
Epidermis pada stadium kronis, hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, rete
ridges memanjang, kadang ditemukan spongiosis ringan; vesikel tidak ada lagi.
Papila dermis memanjang (papilamatosis), dinding pembuluh darah menebal,
dermis terutama di bagian atas bersebukan sel radang m
ononuklear, jumlah fibroblas dan kolagen bertambah.
Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya.
Tetapi, seperti diketahui penyebab dermatitis multi faktor, kadang juga tidak
diketahui pasti, maka pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan
menghilangkan/mengurangi keluhan dan menekan peradangan.
Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin, atau antihistamin dikombinasi
dengan antiserotonin, antibradikinin, anti-SRA, dan sebagainya. Pada kasus akut
dan berat dapat diberi kortikosteroid.
Prinsip umum terapi topikal diuraikan di bawah ini:
1. Dermatitis akut/basah (medidans) harus diobati secara basah (kompres
terbuka). Bila subakut, diberi losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentum
(pasta pendingin). Krim diberikan pada daerah yang berambut, sedang pasta pada
daerah yang tidak berambut. Bila kronik, diberi salap.
2. Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah persentase obat spesifik.
(Djuanda, Djuanda, Hamzah, 1993)
DERMATITIS KONTAK IRITAN
EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan
umur, ras, dan jenis kelamin.
Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun
angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak
penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat. (Arnold, Odom, James,
1990)
Berdasar survey tahunan The Bureau of Labor Statistics, insiden penyakit akibat
kerja pada pekerja Amerika, maka dermatitis kontak meliputi 90% - 95% dari
semua penyakit kulit akibat kerja dan DKI mencakup 80% dari dermatitis kontak
akibat kerja. (Amado, Taylor, Sood, 2008)
ETIOLOGI
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi, kohikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh
faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus-menerus
atau berselang) adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian juga
gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.
Dermatitis kontak iritan yang disebabkan karena trauma sangat jarang, bisa
dihitung dengan jari penderitanya. Etiologinya dimungkinkan karena tekanan
yang menyebabkan adanya induksi dari makrofag dan sel imun seluler untuk
mengalami peradangan.
Faktor individu juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya
perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan
permeabilitas; usia (anak di bawah umur 8 tahun lebih mudah teriritasi); ras (kulit
hitam lebih tahan dari pada kulit putih); jenis kelamin (insidens dermatitis kontak
iritan lebih tinggi pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami
(ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik.
(Djuanda, Djuanda, Hamzah, 1993)
PATOGENESIS
Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat
kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja
kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan
tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak
lisosom, mitokondria dan komponen-komponen inti sel (Djuanda,
2011).
Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka fosfolipase
akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan
membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor
sirkulasi dari komplemen dan sistem kinin. Juga akan menarik
neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang akan
membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin. PAF akan
mengaktivasi platelets yang akan menyebabkan perubahan
vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang ekspresi gen dan
sintesis protein. Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan
keratinosit dan keluarnya mediator- mediator sehingga
menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya
kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri bila iritan
kuat (Djuanda, 2011).
Empat mekanisme yang saling berkaitan pada DKI:
1. Hilangnya lipid permukaan dan substansi pengikat air
2. Kerusakan membrane sel
3. Denaturasi keratin dermis
4. Efek sitotoksik langsung
Terdapat komponen immunologic-like yang jelas terhadap respon iritan, yang
ditandai oleh pelepasan mediator proinflamatory terutama sitokin yang berasal
dari sel keratinosit sebagai repon terhadap stimulus kimiawi. Ini adalah proses
yang tidak memerlukan pre-sensitisasi. Kerusakan barier kulit menyebabkan
pelepasan sitokin IL-1α, IL-1β, dan TNF-α. Peningkatan 10x dari TNF-α dan IL-
6, dan 3x level GM-CSF dan IL-2, ditemui pada DKI. TNF-α adalah satu dari
sitokin kunci pada DKI, yang menyebabkan peningkatan ekspresi MHC II dan
ICAM-1 pada keratinosit.
Faktor yang Mempengaruhi
DKI adalah penyakit multifaktorial dimana faktor eksogen (iritan dan lingkungan) dan
faktor endogen (host) memegang peranan.
A. Faktor eksogen
1. Sifat kimiawi iritan: pH, konsentrasi, ukuran molekul, kuantitas, polarisasi,
ionisasi, vehikulum, kelarutan
2. Karakteristik pajanan: jumlah, konsentrasi, durasi, tipe pajanan, pajanan
simultan terhadap iritan lain, interval setelah pajanan sebelumnya
3. Faktor lingkungan: regio tubuh dan temperature dan faktor mekanik:
tekanan, friksi, abrasi.
Apabila 1 atau lebih iritan dikombinasi atau digunakan secara simultan,
efek sinergis atau antagonistik dapat terjadi sebagai konsekuensi dari
interaksi seluler spesifik antar senyawa, atau perubahan dalam
pemeabilitas kulit oleh 1 atau lebih senyawa, yang tidak akan terjadi bila
iritan digunakan secara tunggal. Ini dikenal sebagai crossover
phenomenon. Ini dapat dijelaskan bahwa 1 irtitan menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap iritan lainnya.
. B. Faktor endogen
1. Genetik
2. Gender: Mayoritas DKI klinis mengenai tangan, dan wanita merupakan
mayoritas, karena wanita lebih banyak terpajan iritan dan kerja di kondisi yang
basah, dan barangkali lebih sering mencari pengobatan.
3. Usia: anak < 8 tahun lebih rentan terhadap absopsi perkutan bahan
kimia dan iritan.
4. Etnis: belum ada penelitian bahwa tipe kulit mempengaruhi secara
nyata perkembangan DKI.
5. Lokasi kulit: Terdapat perbedaan fungsi barier dari tiap lokasi, sehingga kulit
wajah, leher, skrotum dan punggung tangan lebih sensitif terhadap DKI.
6. Faktor atopi: atopi merupakan faktor predisposisi DKI pada tangan. Hal
tersebut karena ada gangguan fungsi barier kulit sehingga lebih rentan terhadap
DKI. (Arnold, Taylor, Sood, 2008)
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan irisan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat
air kulit. Keadan ini akan merusak sel epidermis.
Ada dua jenis bahan iritan yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan
menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang,
sedang iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami
kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan,
gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
GEJALA KLINIS
Sebagaimana disebabkan diatas bahwa ada dua jenis bahan iritan, maka dermatitis
kontak iritan juga ada dua macam yaitu dermatitis kontak iritan akut dan
dermatitis kontak iritan kronis. (Djuanda, Djuanda, Hamzah, 1993)
Dermatititis kontak iritan akut
Penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit terasa pedih atau
panas, eritema, vesikel, atau bula. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang
terkena, berbatas tegas.
Pada umumnya kelainan kulit muncul segera, tetapi ada segera, tetapi ada
sejumlah bahan kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat misalnya podofilin,
antralin, asam fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan akut lambat.
Kelainan kulit baru terlihat setelah 12-24 jam atau lebih. Contohnya ialah
dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari
(dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih setelah esok harinya, pada
awalnya terlihat eritema dan sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
Dermatitis kontak iritan kronis
Nama lain ialah dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh kontak dengan iritan
lembah yang berulang-ulang (oleh faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro,
kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan contohnya detergen, sabun,
pelarut, tanah, bahkan juga air). Dermatitis kontak iritan kronis mungkin terjadi
oleh karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak
cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor
lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu atau bulan,
bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak
merupakan faktor paling penting. Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan
dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal
(hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus
berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit
tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Ada
kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga
diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat
perhatian. Banyak pekerjaan yang beresiko tinggi yang memungkinkan terjadinya
dermatitis kontak iritan kumulatif, misalnya : mencuci, memasak, membersihkan
lantai, kerja bangunan, kerja di bengkel dan berkebun.
HISTOPATOLOGI
Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakteristik. Pada
dermatitis kontak iritan akut (oleh iritan primer), dalam dermatitis terjadi
vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear dan determis bagian atas. Eksositosis di
epidermis disertai spongiosis dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis
epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis ini dapat menimbulkan bula
subepidermal.
DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis. Dermatitis kontak iritan akut lebih mudah diketahui
karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa
yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, dermatitis kontak irita kronis, timbulnya
lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya
sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Untuk ini diperlukan uji tempel
dengan bahan yang dicurigai.
Dermatitis kontak iritan dapat dibedakan dengan dermatitis kontak alergi selain
dari pemeriksaan penunjang seperti skin prick test, tes tempel, dan IgE. Pada
pemeriksaan IgE, pasien dengan dermatitis kontak alergi akan selalu tinggi
sebelum dan sesudah terkena pemicu, sedangkan pada dermatitis kontak iritan
tidak ada peran IgE. Selain itu kita dapat berpegangan pada analogi sebagai
berikut : Pada dermatitis kontak iritan yang kuat maka akan langsung memberikan
manifestasi klinik, sedang pada kontak iritan yang lemah maka butuh waktu
sehingga akan tampak kronis untuk menimbulkan manifestasi klinik. Pada
dermatitis kontak alergi jika pasien terpapar pemicu maka akan langsung
memberikan manifestasi klinik yang menunjang tanpa melihat akut dan
kronisnya. Sehingga jika dilakukan uji tempel, maka pada pasien dermatitis
kontak iritan, saat iritan ditempelkan dikulit, maka hanya saat itu saja uncul gatal,
merah, edema, dll setelah dilepas maka akan langsung hilang. Berbeda dengan
dermatitis kontak alergi yang diberi pemicu maka saat itu sampai dilapasnya
pemicu tersebut, manifestasi klinik akan tetap ada bahkan menyebar baru mereda.
Diagnosis banding DKI:
Dermatitis seboroik
Dermatitis stasis
Dermatitis atopik
Tinea
Asteatosis
Kriteria diagnostik DKI
Tabel 7.1. Kriteria diagnostik DKI
Kriteria mayor Kriteria minor
Subyektif
Awitan gejala dalam menit sampai
jam dari pajanan
Nyeri, rasa terbakar melebihi gatal
pada awal perjalanan penyakit
Awitan dermatitis dalam 2 minggu
pajanan
Banyak individu dalam lingkungan
mendapat penyakit sama
Obyektif
Macula eritem, hiperkeratosis, atau
fisur lebih dominan dari vesikulasi
Glazed, parched, or scalded
appearance of the epidermis
Proses penyembuhan mulai dengan
cepat pada penyingkiran pajanan
agen penyebab
Uji tempel negative
Dermatitis berbatas tegas
Bukti adanya pengaruh gravitasi,
seperti dripping effect
Tidak ada tendensi dermatitis
menyebar
Perbedaan konsentrasi dan waktu
pajan menghasilkan perbedaan besar
pada kerusakan kulit
PENCEGAHAN
DKI adalah faktor risiko terjadinya DKA, karena terganggunya barier kulit dapat
meningkatkan potensi fase induksi dan elisitasi DKA. Jadi, mencegah DKI
berarti secara simultan mencegah DKA. Pasien perlu diberitahu mengenai cara
pencegahan iritan. Pemakaian peralatan proteksi personal, terutama pada high-risk
jobs, sangat penting.
PENGOBATAN
Upaya pengobatan dermatitis kontak iritan yang terpenting adalah menyingkirkan
pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisik maupun kimiawi. Bila hal
ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka
dermatitis iritan tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan
topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid
topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis bisa diawali
dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
Pengobatan dengan kortikosteroid sendiri dapat berbeda – beda tergantung dari
lokasinya, semakin tebal epidermis dan luas lesi maka jenis, kandungan, dan dosis
kortikosteroid akan lebih tinggi karena dibutuhkan lebih banyak dan lebih kuat
untuk menembus epidermis ke dermis dan subkutan dan ke pembuluh darah
sehingga dapat memberikan efek sesuai keinginan kita. Sehingga pada punggung
akan memerlukan jenis, dosis, dan kandungan yang lebih tinggi dibandingkan
wajah.
Pemakaian alat pelindung yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja
dengan bahan iritan, untuk mencegah kontak dengan bahan tersebut.
PROGNOSIS
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan
sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada
dermatitis kontak iritan kronis yang penyebabnya multi faktor.
c. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
EPIDEMIOLOGI
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis
kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat
peka (hipersensitif). Namun sedikit sekali informasi mengenai prevalensi
dermatitis ini di masyarakat. (Larsen, 1992)
Di seluruh dunia, antara 10% dan 20% dari anak-anak memiliki DA. Sekitar 1%
hingga 3% dari orang dewasa memiliki DA. Orang dari semua warna kulit
mendapatkan DA. Kebanyakan orang (90%) mendapatkan DA sebelum usia 5
tahun. DA jarang dimulai ketika seseorang sudah dewasa (AAD, 2015). (Cohen,
Jacob, 2008)
ETIOLOGI
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan
kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi
alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
PATOGENESIS
DKA adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap agen kimia eksternal. Bukti
menunjukkan bahwa kemampuan untuk disensitasi terhadap agen spesifik, mempunyai
basis genetik.
Untuk menimbulkan reaksi imun terhadap alergen, individu harus rentan secara
genetik, mendapat pajanan yang cukup terhadap agen kimia pensensitasi, dan
mendapat pajanan ulang dikemudian hari. Ini adalah perbedaan DKA dengan DKI
(tidak ada reaksi imunologik).
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah
mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune
respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbulnya lambat
(delayed hypersensitivit), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan
alergen. (Larsen, 1992)
Beberapa Fase Dermatitis Kontak Alergi.
A. Fase Aferens (Sensitisasi)
1. Antigen processing and presentation. Sel Langerhans (LCs) menelan hapten
dengan cara PINOSITOSIS/ENDOSITOSIS, dilanjutkan dengan degradasi parsial
antigen secara nonlisosomal menghasilkan PEPTID ANTIGENIK (antigen komplit).
Peptid kemudian diangkut HLA-DR ke permukaan LCs, dan komplek HLA-DR-
peptid siap dipresentasikan ke sel T.
2. Pematangan/maturasi LCs. Selama prosesing antigen, LCs mengalami perubahan
fenotipik yang memfasilitasi migrasi LCs dari kulit ke kelenjar getah bening regional,
dan mempersiapkan interaksi dengan sel T CD4+. Perubahan tersebut berupa ekspresi
molekul adesi, ICAM1 (CD54), B7-2 (CD86), CD40, LFA3 (CD58), dan HLA-DR
(klas II). Perubahan fenotipik LCs dipengaruhi oleh IL-1β (berasal dari LCs), dan IL-
1α dan TNF-α (berasal dari keratinosit).
3. Migrasi LCs dari kulit ke kelenjar getah bening (KGB) regional. Faktor yang
mengontrol migrasi LCs adalah upregulasi sialyl Lewis X (selektin) pada LCs dan
E-selectin pada sel endotel, dilanjutkan dengan interaksi ke duanya. Selain itu, E-
cadherin pada LCs di downregulasi sehingga ikatan LCs dengan keratinosit
dilepas. Upregulasi sialyl Lewis X dan down regulasi E-cadherin dipengaruhi
oleh TNF-α dari keratinosit, dan protein kinase C (PKC) dari LCs.
4. Presentasi sentral (bagian parakortek/thymus-dependent KGB). Pada proses
sensitisasi awal, LCs matang mempresentasikan antigen kepada sel T CD4+ yang
belum pernah tersensitisasi (sel T virgin/sel Th0/sel CD45RA+). Interaksi awal
melibatkan HLA-DR-Peptid pada LCs dengan CD4/CD8-TCR-CD3 pada sel T, serta
molekul adesi pada LCs dan ligand nya pada sel T (lihat gambar). Interaksi
menyebabkan sel Th0 mengalami aktivasi dan sel Langerhans menghasilkan IL-12,
yang akan mengarahkan perkembangan sel T aktif ke arah sel Th1. IL-1 bersama IL-6
akan memicu sel T menghasilkan dan mensekresikan IL-2. Kerjasama IL-1, Il-6, dan
IL-2 akan menginduksi IL-2R pada sel T. Interaksi Il-2 dan IL-2R menyebabkan
proliferasi sel T dan produksi IFN-γ, dilanjutkan dengan diferensiasi CD45RA+
menjadi CD45RO+ memory/effector Th1 cells. Sel Th1 CD45RO+ selanjutnya
mengekspresikan newly acquired ‘homing’ antigens, CLA (common leukocyte
antigen), dan very late antigen-4 (VLA-4). Ke dua molekul tersebut (dan LFA-1)
diperlukan sel Th1 untuk ke kulit melalui pembuluh darah. Interleukin yang dihasilkan
oleh sel Th1 CD4+ akan mengaktifkan sel Tc CD8+ dan sel makrofag. IFN-γ
menstimulasi ekspresi molekul adesi sel endotel yang diperlukan untuk migrasi sel T
melalui pembuluh darah ke kulit.
5. Invasi sel Th1 memori yang antigen spesifik, sel Tc CD8+, sel inflamasi lain nya ke
dalam kulit, menimbulkan respon yang secara klinis dikenal sebagai DKA. Mekanisme
berbagai sel tersebut dikerahkan ke kulit, adalah melalui rolling, arrest (firmed
adhesion), and extravasation pada endotel vaskuler, dan hal tersebut dimediasi oleh
aktivasi sekuensial LFA-1, VLA-4, CLA pada sel T, dan ICAM-1, VCAM-1, E-
selectin pada sel endotel. Interaksi CLA dengan E-selectin menyebabkan sel dalam
sirkulasi melambat dan mulai rolling sepanjang dinding endotel. Perlambatan tersebut
memudahkan sel menangkap sinyal peradangan (ada pertempuran di tempat tersebut).
Sel segera mengekspresikan LFA-1 dan VLA-4 yang akan berinteraksi dengan ICAM-
1 dan VCAM-1, sehingga sel mengalami firmed adhesion, dan siap untuk ekstravasasi
di tempat yang sesuai (lokasi peradangan). Keseluruhan proses, mulai dari prosesing
antigen sampai terdapatnya sel Th1 memori/efektor dan sel Tc CD8+ di dalam kulit,
dinamai FASE SENSITISASI.
B. Fase Eferens (Elisitasi)
Gambaran klinik DKA terjadi apabila hapten yang sama kontak ulang ke dalam kulit
yang telah mengandung sel Th1 dan/sel Tc1 aktif. Peptid antigenik hasil prosesing
APC dipresentasikan kepada sel Th1/Tc1 aktif di dalam kulit (perifer). Sel Th,
keratinosit dan LCs menghasilkan berbagai interleukin, IL-2, IL-12, IFN-γ, TNF-α,
IL-8, yang menyebabkan pengerahan berbagai sel radang (sel Tc, NK cell, makrofag,
PMN), ekspresi molekul adesi, dan peradangan. Semuanya akan tampak sebagai DKA.
C. Fase Resolusi
Pada fase lanjut DKA, IL-10 dan TGF-β men downregulasi DKA. Stimulasi IFN-
γ terhadap sel makrofag mengakibatkan sel tersebut menghasilkan prostaglandin-
E. Prostaglandin-E menghambat produksi IL-2 dan ekspresi IL-2R, sehingga
aktivasi sel T dan NK terhambat. Proses deskuamasi, degradasi antigen dan APC
semuanya memberi andil dalam resolusi DKA. (Robert, Kupper, 1999)
GEJALA KLINIS
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas
jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat
kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis;
mungkin penyebabnya juga campuran.
Berbagai lokalisasi terjadinya dermatitis kontak :
Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di
tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula kebanyakan dermatitis
kontak akibat kerja ditemukan di tangan. Sebagian besar memang oleh karena
bahan iritan. Bahan penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah
sayuran/tanaman, semen, dan pestisida.
Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di aksila umumnya oleh
bahan pengharum.
Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
obat topikal, alergen yang di udara, nekel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau
sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat
rambut, eyeshadows, dan obat mata.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada cuping telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat
rambut, hearing-aids.
Leher. Penyebanya kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian.
Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, dan detergen.
Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut
wanita, dan alergen yang ada di tangan.
Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh
pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal (misalnya
anestesi lokal, neomisin, etilendiamin), semen, dan sepatu. (Larsen, 1992)
DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis
yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang
ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilikus
berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang
yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi
riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang
pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik,
psoriasis).
Tabel 6.1. Anamnesis pasien dengan kecurigaan DKA
Demografi dan riwayat pekerjaan Usia, jenis kelamin, ras/etnis, agama,
status perkawinan, pekerjaan dan
deskripsi pekerjaan, lokasi pekerjaan,
kegiatan di luar pekerjaan tetap,
pekerjaan sebelumnya
Riwayat medik keluarga faktor genetik, predisposisi
Riwayat medik pasien alergi obat, penyakit penyerta, obat,
operasi
Riwayat dermatitis awitan, lokasi lesi, terapi
Pendekatan morfologik
Setelah riwayat penyakit diperoleh, langkah selanjutnya adalah penilaian
pemeriksaan status dermatologic menyeluruh. Pengetahuan mengenai ukuran ,
sifat dan lokasi dermatitis meningkatkan kemungkinan pemilihan allergen untuk
uji tempel.
Diagnosis
1. in vito test: Patch test (gold standard)
2. in vitro test: lymphocyte transformation test, macrophage migration inhibition
test. (Cohen, Jacob, 2008)
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di
ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki
oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit,
untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan kulit dermatitis kontak alergik sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis,
dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang terutama ialah dengan
dermatitus kontak iritan. Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak
alergi.
UJI TEMPEL
Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya sembuh (tenang), bila
mungkin setelah 3 minggu. Tempat melakukan uji tempel biasanya di punggung,
dapat pula di bagian luar lengan atas. Bahan uji diletakkan pada sepotong kain
atau kertas, ditempelkan pada kulit yang utuh, ditutup dengan bahan
impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah 48 jam dibuka. Reaksi
dibaca setelah 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau 96 jam. Untuk bahan
tertentu bahkan baru memberi reaksi setelah satu minggu. Hasil positif dapat
berupa eritema dengan urtika sampai vesikel atau bula. Penting dibedakan, apakah
reaksi karena alergi kontak atau karena iritasi, sehubungan dengan konsentrasi
bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48
jam (reaksi tipe decresendo), sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat
(reaksi tipe cresendo).
PENGOBATAN
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan
kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema,
edema, bula atau vesikel, serta eksufatif (madidans), misalnya prednison 30
mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan
kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal.
Untuk dermatitis kontak alergik yang ringan, atau dermatitis akut yang telah
mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan
kortikosteroid topikal.
PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaktannya
dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis, bila bersamaan
dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis,
atau psoriasis), atau pajanan dengan bahan iritan yang tidak mungkin dihindari.
(Larsen, 1992)
d. Pityriasis Rosea
Pityriasis rosea adalah penyakit kulit yang menimbulkan bercak merah. Biasanya
ditemukan atau diderita pada usia 10-35 tahun. Pityriasis rosea disebabkan oleh
virus, namun bercak kulit tidak menular kepada orang lain. (Anonim, 2015)
Dimulai dengan lesi inisial (herald patch) berbentuk eritema dengann skuama
halus di tepinya, namun bentuknya masih oval dan di tengahnya tampak
hipopigmentasi. Lesi selanjutnya timbul 4-10 hari berikutnya, ruam seperti lesi
pertama namun lebih kecil. Umumnya susunannya sejajar kosta punggung (seperti
pohon cemara terbalik), dapat timbul serentak maupun beberapa hari. Pada anak-
anak biasanya muncul sebagai urtika, vesikel, dan papul. Penyakit ini masih
belum diketahui penyebabnya, namun diperkirakan akibat virus karena bersifat
self limitting disease. Penyakit ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 3-8 minggu.
Pengobatan yang diberikan umumnya bersifat simtomatis. Untuk mengobati
gatalnya, secara sistemik pasien diberi sedativa secara topikal diberi bedak asam
salisilat yang dibubuhi mentol 0,5-1%. (Mansjoer, 2009)
e. Psoriasis
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai juga fenomena tetesan
lilin, Auspitz signs dan Koebner. Psoriasis merupakan jenis penyakit kulit yang
penderitanya mengalami proses pergantian kulit yang terlalu cepat. Kemunculan
penyakit ini terkadang untuk jangka waktu lama atau hilang timbul, penyakit ini
secara klinis sifatnya tidak mengancam jiwa, tidak menular tetapi karena
timbulnya dapat terjadi pada bagian tubuh mana saja sehingga dapat menurunkan
kualitas hidup serta menggangu kekuatkan mental seseorang bila tidak dirawat
dengan baik.
Berbeda dengan pergantian kulit pada manusia normal yang biasanya berlangsung
selama tiga sampai empat minggu, proses pergantian kulit pada penderita
psoriasis berlangsung secara cepat yaitu sekitar 2–4 hari, (bahkan bisa terjadi
lebih cepat) pada psoriasis juga terjadi pergantian sel kulit yang banyak dan
menebal.
ETIOLOGI
Faktor genetik diduga ikut berperan, bila orangtuanya tidak menderita psoriasis
resiko mendapat psoriasis 12%, sedangkan jika salah satu orangtuanya menderita
psoriasis resikonya mencapai 34-39%. Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua
tipe yaitu psoriasis tipe I dengan awitan dini bersifat familial, psoriasis tipe II
dengan awitan lambat bersifat non familial. Hal lain yang mendukung adanya
faktor genetik adalah bahwa psoriasis berkaitan dengan HLA. Psoriasis tipe I
berhubungan dengan HLA-B13, B17,Bw57, dan Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan
dengan HLA-BR7 dan Cw2, sedangkan psoriasis pustulosa berkorelasi dengan
HLA-B27.
Faktor imunologik juga berperan, defek genetik pada psoriasis dapat
diekspresikan pada salah satu dari tiga jenis sel, yakni limfosit T, sel penyaji
antigen (dermal), atau keratinosit. Keratinosit psoriasis membutuhkan stimuli
untuk aktivasinya. Lesi psoriasis matang umumnya penuh dengan sebukan
limfosit T pada dermis yang terutama terdiri atas limfosit T CD4 dengan sedikit
sebukan limfosit dalam epidermis. Sedangkan pada lesi baru umumnya lebih
banyak didominasi oleh limfosit T CD8. Pada lesi psoriasis terdapat sekitar 17
sitokin yang produksinya bertambah. Sel langerhans juga berperan pada
imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis diawali dengan
adanya pergerakan antigen, baik eksogen maupun endogen oleh sel langerhans.
Pada psoriasis pembentukan epidermis (turn over time) lebih cepat hanya 3-4 hari,
sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari. Nickoloff (1998) berkesimpulan
bahwa psoriasis merupakan penyakit autoimun. Lebih 90% kasus dapat
mengalami remisi setelah diobati dengan imunosupresif. Berbagai faktor pencetus
pada psoriasis antara lain stress psikis, infeksi local, trauma (fenomena Kobner),
endokrin, gangguan metabolik, obat, alcohol dan merokok. Stress psikis
merupakan faktor pencetus utama. Infeksi fokal mempunyai hubungan erat
dengan salah satu bentuk psoriasis yaitu psoriasis gutata, sedangkan hubunganya
dengan psoriasis vulgaris tidak jelas. Puncak insiden psoriasis pada waktu
pubertas dan menapouse. Pada waktu kehamilan umumnya membaik, sedangkan
pada masa pasca partus memburuk. Gangguan metabolisme contohnya
hipokalsemi dan dialisis telah dilaporkan sebagai faktor pencetus.
GEJALA KLINIS
Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi
eritroderma. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada
scalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor
terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan
skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium
penyembuhan sering eritem yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih seperti mika, serta
transparan. Besar kelainan bervariasi : lentikuler, numuler atau plakat, dapat
berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian besar lentikuler disebut psoriasis
gutata, biasanya pada anak-anak dan dewasa muda dan terjadi setelah infeksi akut
oleh Streptococcus. Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan
Kobner (isomorfik). Kedua fenomena yang disebut lebih dahulu dianggap khas,
sedangkan yang terakhir tak khas, hanya kira-kira 47% yang positif dan didapati
pula pada penyakit lain, misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis.
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada
goresan, seperti lilin yang digores, disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Cara
menggores dapat dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena Auspitz tampak
serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis, caranya
skuama yang berlapis-lapis itu dikerok, setelah skuamanya habis maka
pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan tampak
perdarahan yang berbintik-bintik melainkan perdarahan yang merata. Trauma
pada kulit penderita psoriasis, misalnya garukan dapat menyebabkan kelainan
yang sama dengan kelainan psoriasis dan disebut fenomena kobner yang timbul
kira-kira setelah 3 minggu. Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku,
yakni sebanyak kira-kira 50%, yang agak khas ialah yang disebut pitting nail atau
nail pit berupa lekukan-lekukan miliar. Kelainan yang tak khas adalah kuku yang
keruh, tebal, bagian distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk
dibawahnya (hyperkeratosis subungual) dan onikolisis.
BENTUK KLINIS
Pada psoriasis terdapat berbagai bentuk klinis antara lain:
1. Psoriasis vulgaris
Bentuk ini adalah yang lazim terdapat karena itu disebut vulgaris, dinamakan pula
tipe plak karena lesi-lesinya umumnya berbentuk plak.
2. Psoriasis gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak dan
diseminata, umumnya setelah infeksi streptococcus di saluran napas bagian atas
sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu
juga dapat timbul setelah infeksi yang lain, baik bakterial maupun viral.
3. Psoriasis inversa
Psoriasis tersebut mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor sesuai
dengan namanya. Inverse psoriasis ditemukan pada ketiak, pangkal paha,
dibawah payudara, dan di lipatan-lipatan kulit di sekitar kemaluan dan panggul
Tipe psoriasis ini pertama kali tampak sebagai bercak (lesions) yang sangat merah
dan biasanya lack the scale associated dengan psoriasis plak. Bercak itu bisa
tampak licin dan bersinar.
Psoriasis Inversa sangat menganggu karena iritasi yang disebabkan
gosokan/garukan dan keringat karena lokasinya di lipatan-lipatan kulit dan daerah
sensitif (tender). terutama sangat mengganggu bagi penderita yang gemuk dan
yang mempunyai lipatan kulit yang dalam. Pengobatan bisa sukar, karena kulit
peka pada daerah lipatan-lipatan. Krem steroid dan salep diyakini sangat efektif,
tetapi tidak boleh di tutup dengan plastic. Penggunaan berlebihan atau kesalahan
pemakaian steroid, terutama pada lipatan-lipatan kulit, dapat menimbul efek
samping, terutama penipisan pada kulit dan meninggalkan tanda. Karena pada
daerah ini cenderung timbul infeksi disebabkan yeast dan jamur, dokter akan
menguji untuk infeksi dan mungkin akan menggunakan krem cair oles steroid di
gabungkan dengan obat-obatan lain, seperti, 1% atau 2% hydrocortisone dengan
anti-yeast atau anti-jamur. Krem/salep lain, seperti Dovonex(daivonex), coal tar
atau anthralin, bisa juga efektif untuk pengobatan psoriasis pada lipatan kulit,
tetapi bisa menyebabkan iritasi. Obat-obatan ini harus dipergunakan secara hati-
hati dan dibawah pengawasan dokter. Penderita psoriasis inverse yang telah parah
mungkin sewaktu-waktu memerlukan obat telan/minum seperti methotrexate
(MTX), untuk mengontrol penyakit mereka. Desember 2000 yang lalu, badan
POM Amerika mensahkan (approved) obat yang disebut Protopic (dikenal juga
dengan nama generik tacrolimus) untuk eksim. banyak dokter kulit menemukan
bahwa obat ini bekerja dengan baik pada bercak-bercak psoriasis pada lipatan
kulit. Elidel (dikenal juga dengan nama generik pimecrolimus) dapat juga
dipergunakan untuk penderita psoriasis inverse. Pada umumnya Elidel tidak se-
efektif Protopic, tapi lebih tidak berminyak. Kadang-kadang sebuah obat yang
diberikan pakai resep oleh seorang dokter, pembuatannya dicampur oleh seorang
apoteker, atau dibawa keluar negeri dengan nama brand Castederm) digunakan
untuk pengobatan psoriasis inversa. Obat berbentuk cairan dapat dioleskan pada
bercak kulit dan dapat membantu mengeringkan bercak-bercak psoriasis pada
lipatan kulit, seperti penggunaan macam-macam bedak kulit. Sebagian orang akan
menggunakan krem pada malam hari dan bedak pada pagi hari, Zeasorb dan
Zeasorb AF adalah bedak yang efekfif untuk digunakan untuk psoriasis inverse.
Pengobatan dengan penyuntikan pertama kali dipelajari dan diakui untuk
penderita psoriasis plak, obat tersebut efektif juga dipergunakan untuk mengobati
psoriasis inverse.
4. Psoriasis eksudativa
Bentuk tersebut sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis kering, tetapi pada
bentuk ini kelainannya eksudatif seperti dermatitis akut.
5. Psoriasis seboroik
Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis dan
dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak berminyak dan
agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim, juga terdapat pada tempat
seboroik.
6. Psoriasis pustulosa
Terdapat dua bentuk psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata, dan generalisata.
Bentuk lokalisata, contohnya psoriasis pustulosa palmo-plantar (barber).
Sedangkan bentuk generalisata, contohnya psoriasis pustulosa generalisata akut.
7. Eritroderma psoriatic
Eritroderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topical yang terlalu kuat
atau oleh penyakit sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas untuk psoriasis
tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama yang tebal universal. Ada
kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar yakni lebih eritematosa dan
kulitnya lebih meninggi.
DIAGNOSA BANDING
1. Dermatofitosis
Pada stadium penyembuhan dermatofitosis, eritema dapat terjadi hanya dipinggir
sehingga menyerupai dermatofitosis.
2. Sifilis psoriasiformis
Sifilis stadium II dapat menyerupai sifilis psoriasiformis
3. Dermatitis seboroik
Skuama dermatitis seboroik berminyak dan kekuning-kuningan dan bertempat
predileksi pada tempat yang seboroik.
PENGOBATAN
PENGOBATAN SISTEMIK
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis, dosisnya kira-kira ekivalen dengan
prednisone 30 mg per hari. Setelah membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan,
kemudian diberi dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan
menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosis generalisata
2. Obat sitostatik
Obat sitostatik yang biasanya digunakan adalah metotreksat. Indikasinya ialah
untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, psoriasis artritis dengan lesi kulit, dan
eritroderma karena psoriasis, yang sukar terkontrol dengan obat standar.
Kontraindikasinya adalah kelainan hepar, ginjal, sistem hematopoetik, kehamilan
penyakit infeksi aktif, (misalnya tuberkulosis), ulkus peptikum, kolitis ulserosa
dan psikosis. Setiap 2 minggu diperiksa : Hb, jumlah lekosit, hitung jenis, jumlah
trombosit, dan urin lengkap. Efek sampingnya diantaranya ialah nyeri kepala,
alopesia, juga terhadap saluran cerna, sumsum tulang belakang, hepar dan lien.
Pada saluran cerna berupa nausea, nyeri lambung, stomatitis ulserasi, dan diare
3. Levodopa
Levodopa sebenarnya dipakai untuk penyakit Parkinson. Diantara penderita
Parkinson yang sekaligus juga menderita psoriasis, ada yang membaik
psoriasisnya dengan pengobata levodopa.
4. DDS
DDS (diaminodifenilsulfon) dipakai sebagai pengobatan psoriasis pustulosa tipe
barber dengan dosis 2 x 100 mg sehari. Efek sampingnya adalah anemia
hemolitik, methemoglobinemia, dan agranulositosis
5. Etretinat
Merupakan retinoid aromatic digunakan bagi psoriasis yang sukar disembuhkan
dengan obat-obat lain mengingat efek sampingnya. Dapat pula digunakan untuk
eritroderma psoriatika. Pada psoriasis obat tersebut mengurangi proliferasi sel
epidermal pada lesi psoriasis dan kulit normal
6. Siklosporin
Efeknya adalah imunosupresif. Dosisnya 6 mg/kgBB sehari. Bersifat nefrotoksis
dan hepatotoksik. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat
dihentikan dapat terjadi kekambuhan.
PENGOBATAN TOPIKAL
1. Preparat ter
2. Kortikosteroid
3. Ditranol (antralin)
4. Pengobatan dengan penyinaran
5. Calcipotriol
6. Tazaroten
7. Emolien
8. PUVA
Karena psoralen bersifat fotoaktif, maka dengan UVA akan terjadi efek yang
sinergik. Mula-mula 10-20 mg psoralen diberikan per os, 2 jam kemudian
dilakukan penyinaran. Terdapat bermacam-macam bagan, diantaranya 4 x
seminggu. Penyembuhan mencapai 93% setelah pengobatan 3-4 minggu, setelah
itu dilakukan terapi pemeliharaan (maintenance) seminggu sekali atau dijarangkan
untuk mencegah rekuren. PUVA juga dapat digunakan untuk eritroderma
psoriatik dan psoriasis pustulosa.
f. Eritroderma
Eritroderma/Dermatitis eksfoliatif merupakan komplikasi dari semua penyakit
kulit dimana 90% tubuh sudah mengalami eritem, skuama, nodul, vesikel, dll
tergantung penyebabnya. Biasanya menyerang wanita usia diatas 50 tahun.
Pengobatan yang diberikan dapat berupa kortikosteroid sistemik karena lesi tubuh
lebih dari 20% dan tidak sembuh dengan topikal. Tetapi terapi topikal dapat
diberikan dengan emolien (vaseline album) ditambah kortikosteroid ringan.
Namun karena bahaya dari penggunaaan berkepanjangan dari kortiksteroid
sistemik, maka dapat dikombinasikan dengan obat lain. Akan tetapi jika
kortikosteroid diturunkan maupun diganti sebentar maka akan terjadi flair atau
kekambuhan seperti semula. Oleh sebab itu pasien dengan eritroderma harapan
hidupnya kecil. Ditambah dengan adanya erosi pada stratum korneum, maka
fungsi kulit tidak berguna, sehingga bisa demam, menggigil, mudah infeksi
sekunder, sepsis, dehidrasi, dll. (Indian, 2005)
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi kami, didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Diantara diagnosis banding yang kami buat, pasien tersebut lebih mendekati ke penyakit
Dermatitis Atopi. Hal ini ditunjukkan dari keadaan fisik pasien yaitu bayi berumur satu
tahun dengan keluhan adanya bercak eritem, skuama halus, dan gatal di pipi. Selain itu
didapatkan pula riwayat bahwa kakak pasien juga menderita asma.
2. Pemilihan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis diperlukan agar efektif
dan sesuai ketepatannya.
3. Penatalaksanaan dapat dilakukan mulai dari nonmedikamentosa, medikamentosa, terapi
topikal, dan terapi sistemik seperti yang telah dijelaskan di atas.
BAB IV
SARAN
Dari diskusi tutorial ini kelompok kami menyarankan :
1. Dari segi fasilitas.
Hendaknya fasilitas pendukung tutorial ditingkatkan seperti AC.
2. Dari segi skenario.
Skenario sudah baik yaitu mencakup kompetensi 4A SKDI sehingga menunjang
kompetensi mahasiswa sebagai calon dokter umum.
3. Dari segi tutor
Tutor sudah memberikan bimbingan kepada mahasiswa untuk fokus pada tujuan/LO
dari blok, serta memberi masukan agar diskusi selanjutnya bisa lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amado A, Taylor JS, Sood A. Irritant Contact Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 395- 401.
Anonim (2014). Psoriasis. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37071/4/Chapter
%20II.pdf. Diakses 4 November 2015
Arnold HL., Odom RB., James WD., 1990. Andrew’s Dissease of Skin, 8th ed, London : WB
Sauders Co., 89-114
Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 135-146.
Daili, ES. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta: PT Medical Multimedia
Indonesia
Dermatitis atopi, dermatitis kontak alergi.
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/17/dermatitis-atopik/ Diakses pada 5
November 2015
Djuanda A., Djuanda S., Hamzah M., Aisah S., editor. 1993. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi Kedua, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Djuanda, Adhi, 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta: FKUI.
Indian J Dermatol Venerol Leprol.2010 Jul-Aug;76(4):341-7.doi:10.4103/0378-6323.66576.
Erytroderma in children by Sarkar R, Garg VK
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20657113 Diakses pada 5 November 2015
Larsen WG, 1992. Allergic Contact Dermatitis, In : Moschella SL., Hurley HJ, Dermatology, 3rd
ed, London : WB Sauders Co., 391-400
Mansjoer, Arief. (2009). Kapita Selekta Kedokteran FK UI Jilid 2 Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapicus FK UI.
Robert C, Kupper TS. Inflammatory Skin Diseases, T cells, and Immune Surveillance. N Engl J
Med. 1999;341(24):1817-1828.