Upload
ranti-apriliani-putri
View
59
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
STEP 1
Ruam adalah suatu lesi atau inflamasi pada kulit biasanya berbatas tegas,berwarna
kemerahan dan terkadang disertai rasa gatal
Susu Formula adalah cairan atau bubuk dengan formula tertentu yang diberikan pada
bayi dan anak-anak, biasanya digunakan sebagai pendamping maupun pengganti ASI.
1
STEP 2
1. Respon Imun Tubuh ?
2. Patogenesis ruam?
3. Hubungan susu formula dengan ruam?
4. Hubungan diagnosa kasus dengan rewel?
5. Diagnosa pada kasus?
6. Diferensial diagnosa kasus?
7. Pemeriksaan penunjang pada kasus?
8. Penatalaksanaan pada kasus?
2
STEP 3
1. Respon Imun Tubuh ?
Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel
makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks.
Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik dan
mekanisme pertahanan spesifik.
2. Patogenesis ruam?
Antigen + antibodi mast cell degranulasi histamin ruam
Adapun efek histamin bagi tubuh :
Vasodilatasi ( eritema )
↑permeabilitas kapiler (edema)
Kontraksi otot polos
Pengaktifan saraf gatal (urticaria)
Peningkatan sekresi mukus
Stimulus pelepasan mediator kimiawi lain (sitokin,kemokin,interleukin)
Aktifasi sistem imun
3. Hubungan susu formula dengan ruam?
Susu formula kaya akan protein berupa beta laktoglobulin yang dikenali tubuh sebagai
antigen sehingga menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang mengakibatkan terjadinya
ruam
4. Hubungan diagnosa kasus dengan rewel?
Rewel pada bayi dapat mengindikasikan dengan berbagai penyakit, namun rewel yang
ditimbulkan pada kasus dapat diakibatkan dari reaksi inflamasi dan juga dari rasa gatal
yang ditimbulkan dari alergi tersebut.
5. Diagnosa pada kasus?
Berdasarkan gejala klinis yang ada dan ada riwayat diberi susu formula, diagnosa kasus
tersebut mengarah pada alergi susu formula tepatnya reaksi hipersensitivitas (alergi)
3
6. Diferensial diagnosa kasus?
Adapun diferensial diagnosa pada kasus yang mungkin yaitu ;
Intoleransi laktosa
Dermatitis atopi
Campak
Urtikaria
Dermatitis venenata
7. Pemeriksaan penunjang pada kasus(alergi)?LO
8. Penatalaksanaan pada kasus?LO
4
STEP 4
1. Respon Imun Tubuh ?
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks
terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat
melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit,
komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Mekanisme
pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme
pertahanan spesifik.
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau
imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu
jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak
bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan
pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas
didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen,
karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan
tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau
ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan
pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.
Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons
imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah
kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan
enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit,
polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non
spesifik.
5
Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme.
Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan
berjumpa dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada
mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung
sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau
leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai
reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik
akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan
memfagositnya.
Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan
jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein
(CRP) merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali
protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok.
Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis
antigen.
Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor.
Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang
bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel
NK.
6
Mekanisme Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka
imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme
pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen
sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh
maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang
merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori
imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di
kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang
spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen
(APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit
T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral.
Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen.
Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang
akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh
komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang
dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa
bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel
pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa,
lalu pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi
limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada
permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada
permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan
dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD,
artinya cluster of differentiation.
7
Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer
(limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan
limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga
dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang
dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali
gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan
reseptor antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap
limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya
mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak
bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor.
Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong
meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8)
yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi.
Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis
sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang
merekrut sel radang ke tempat antigen berada.
Pajanan antigen pada sel T
Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya
antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th
melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti
bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung
pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan
berulang-ulang, biasanya bermolekul besar.
Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul
produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain
terdapat pada membran sel makrofag.
8
Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama molekul kelas II
MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan tersebut
terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga
terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel Tc
memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan
mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel
Tc aktif yang melisis sel target yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen
pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th
aktif juga dapat merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang melepaskan limfokin yang
dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.
Limfokin
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc
dan C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah
berikatan dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah
fagositosis. Selain itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta
metabolit oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri,
parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.
Aktivitas lain untuk eliminasi antigen
Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan
faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga
penyebaran dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil
akhir aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga
menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi.
9
Imunitas humoral
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa
bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin
yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu
IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia
dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati,
sumsum tulang dan lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT).
Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan
reseptor antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan
imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin
permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga
memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa.
Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai
reseptor antigen tertentu.
Pajanan antigen pada sel B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel
Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga
terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang
mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara
langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau
berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses
yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan
komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks
antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran
antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat
karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang
merupakan hasil aktivasi komplemen.
10
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang
mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent
cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi
komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi
komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang
kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan
berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang
terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai
kadar protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan
vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang
tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel
memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
2. Patogenesis ruam?
Antigen + antibodi mast cell degranulasi histamin ruam
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik
serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam
plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah
uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam
beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos,
serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi.
11
Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah
hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil
pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada
mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak
dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin
membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin
dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi.
Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi
pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus
mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek
modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi
radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah
terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu
degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang
terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada
penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil
karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru
manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa
menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau
setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena
mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer.
12
Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi.Leukotrien LTB4 juga
bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari
jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan
produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi.
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan
satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta
tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga
dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di
mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas
vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator
sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan
yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4
merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4
adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk
lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari
jaringan paru yang tersensitisasi.
13
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama
dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan
antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang
lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek
bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan
permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri
dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.
Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF
dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit.
Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan
permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan
oleh IgE.
Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna.
Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam
reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh
trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
14
3. Hubungan susu formula dengan ruam?
Susu formula: Hanya sedikit mengandung imunoglobulin, dan sebagian besar
merupakan jenis yang “salah” (tidak dibutuhkan oleh tubuh bayi). Selain itu, tidak
mengandung sel-sel darah putih dan sel-sel lain dalam keadaan hidup.Sehingga
frekwensi menimbulkan alerginya sangat besar. Alergi adalah suatu proses inflamasi
yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi
kronis yang kompleks dipengaruhi faktor genetik, lingkungan dan pengontrol internal.
Berbagai sel mast, basofil, eosinofil, limfosit dan molekul seperti IgE, mediator sitokin,
kemokin merupakan komponen yang berperanan inflamasi. Gejala klinis terjadi karena
reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa mediator tersebut dapat mengganggu
organ tertentu yang disebut organ sasaran. Ahli alergi modern berpendapat serangan
alergi atas dasar target organ (organ sasaran). Organ sasaran tersebut misalnya paru-paru
maka manifestasi klinisnya adalah batuk atau asma. Bila sasarannya kulit akan terlihat
sebagai gatal dan bercak merah di kulit (ruam). Bila organ sasarannya saluran pencernaan
maka gejalanya adalah diare dan sebagainya. Sistem Susunan Saraf Pusat atau otak juga
dapat sebagai organ sasaran, apalagi otak adalah merupakan organ tubuh yang sensitif
dan lemah. Sistem susunan saraf pusat adalah merupakan pusat koordinasi tubuh dan
fungsi luhur. Maka bisa dibayangkan kalau otak terganggu maka banyak kemungkinan
manifestasi klinik ditimbulkannya termasuk gangguan perilaku pada anak. Apalagi pada
alergi sering terjadi proses inflamasi kronis yang kompleks.
4. Hubungan diagnosa kasus dengan rewel?
Manifestasi klinis yang sering dikaitkan dan diperberat karena reaksi alergi pada
bayi:
• Gangguan saluran cerna: Gastrooesephageal Refluks, sering muntah, gumoh,
kembung,“cegukan”, sering buang angin, sering “ngeden /mulet”, sering rewel, gelisah
dan kolik terutama malam hari. Sering buang air besar (> 3 kali perhari), tidak BAB tiap
hari. Kotoran berwarna hijau, gelap dan berbau tajam. Hernia Umbilikalis (pusar
menonjol), Scrotalis, inguinalis (benjolan di selangkangan, daerah buah zakar atau pusar
atau “turun berok”) karena sering ngeden sehingga tekanan di dalam perut meningkat.
Lidah sering timbul putih (seperti jamur) dan air liur berlebihan (drooling atau ngiler).
15
Bibir tampak kering mengelupas.
• Kulit sensitif, sering timbul bintik atau bisul kemerahan terutama di pipi, telinga dan
daerah yang tertutup popok. Kerak di daerah rambut.Timbul bekas hitam seperti tergigit
nyamuk. Mata, telinga dan daerah sekitar rambut sering gatal, disertai pembesaran
kelenjar di kepala belakang. Kotoran telinga berlebihan kadang sedikit berbau.
• Napas grok-grok, kadang disertai batuk sesekali terutama malam dan pagi hari siang
hari hilang. Sesak bayi baru lahir disertai kelenjar thimus membesar (TRDN/TTNB)
• Sering bersin, pilek, kotoran hidung banyak, kepala sering miring ke salah satu sisi
(Sehingga beresiko kepala “peyang”) karena hidung buntu. Mata sering berair atau sering
timbul kotoran mata (belekan) salah satu sisi/kedua sisi.
• Sering berkeringat (berlebihan). Kepala, telapak tangan atau telapak kaki sering teraba
sumer/hangat.
• Karena minum yang berlebihan atau sering minta minum berakibat berat badan lebih
dan kegemukan (umur <1tahun). Sebaliknya terjadi berat badan turun setelah usia 4-6
bulan, karena makan dan minum berkurang
• Mempengaruhi gangguan hormonal : keputihan/keluar darah dari vagina, timbul bintil
merah bernanah, pembesaran payudara, rambut rontok, timbul banyak bintil kemerahan
dengan cairan putih (eritema toksikum) atau papula warna putih
• Problem minum ASI: sering menangis (karena perut tidak nyaman) seperti minta
minum sehingga berat badan lebih karena minum berlebihan. Sering menangis belum
tentu karena haus atau bukan karena ASI kurang. Sering menggigit puting (agresif)
sehingga luka. Minum ASI sering tersedak, karena hidung buntu & napas dengan mulut.
Minum ASI lebih sebentar pada satu sisi, karena satu sisi hidung buntu, jangka panjang
bisa berakibat payudara besar sebelah.
16
5. Diagnosa pada kasus?
Kasus diatas pasien menderita alergi susu.
Menurut cepat timbulnya reaksi maka alergi terhadap makanan dapat berupa reaksi cepat
(Immediate Hipersensitivity/rapid onset reaction) dan reaksi lambat (delayed onset
reaction). Immediate Hipersensitivity atau reaksi cepat terjadi berdasarkan reaksi
hipersensitifitas tipe I (Gell& Coombs). Terjadi beberapa menit sampai beberapa jam
setelah makan atau terhirup pajanan alergi.Delayed Hipersensitivity atau reaksi lambat
terdapat 3 kemungkinan, yaitu terjadi berdasarkan reaksi hipersensitifitas tipe I fase
lambat, reaksi hipersensitifitas tipe III dan reaksi hipersensitifitas tipe IV. Terjadi lebih
dari 8 jam setelah terpapar allergen.
Reaksi tipe III dihubungkan dengan bukti ditemukannya IgG terhadap susu dalam
sirkulasi anak yang alergi susu. Sedangkan reaksi tipe IV secara invitro terbukti dengan
reaksi selular terhadap fraksi protein susu melalui uji stimulasi limfosit, uji tranformasi
blast dan uji hambatan migrasi leukosit.
6. Diferensial diagnosa kasus?(sudah jelas)
7. Pemeriksaan penunjang pada kasus (alergi)?LO
8. Penatalaksanaan pada kasus?LO
17
STEP 5
1. Reaksi Hipersensitivitas ?
2. Pemeriksaan penunjang pada kasus (alergi)?
3. Perbedaan alergi susu sapi dengan intoleransi laktosa ?
4. Obat yang bisa menimbulkan reaksi hipersensitivitas ?
5. Penatalaksanaan pada kasus?
18
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.
Jakarta: FKUI
Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun.
Jakarta: Widya Medika
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik dan Ringkas. Denpasar: EGC.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Hoffbrand, A.V. Petit, J.E. 1996. Kapita Selekta Haematologi. Jakarta: EGC.
htpp://www.childrenallergyclinic.wordpress.com/
Tanuwidjaya S. Kebutuhan dasar tumbuh kembang anak. Dalam: Narendra MB,
Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IGNG, penyunting. Tumbuh kembang
anak dan remaja. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. h.13-21
19
STEP7
1. Reaksi Hipersensitivitas ?
Reaksi Hipersensitivitas
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers
merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi
timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang
masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit
alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe III
disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan
dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi
melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+
(Baratawidjaja, 2006).
20
Jenis
Hipersensitivitas
Mekanisme Imun
Patologik
Mekanisme Kerusakan Jaringan dan
Penyakit
Tipe I
Hipersensitivitas cepat
IgE Sel mast dan mediatornya (amin
vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)
Tipe II
Reaksi melalui
antibodi
IgM, IgG terhadap
permukaan sel atau
matriks antigen
ekstraseluler
Opsonisasi & fagositosis sel
Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag)
atas pengaruh komplemen dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam
sinyal reseptor hormone)
Tipe III
Kompleks imun
Kompleks imun (antigen
dalam sirkulasi dan IgM
atau IgG)
Pengerahan dan aktivasi leukosit atas
pengaruh komplemen dan Fc-R
Tipe IV (melalui sel
T)
Tipe IVa
Tipe IVb
1. CD4+ : DTH
2. CD8+ : CTL
1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas
pengaruh sitokin
2. Membunuh sel sasaran direk,
inflamasi atas pengaruh sitokin
(Baratawidjaja, 2006).
1. B. Mekanisme Alergi ─ Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah
antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis
sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal
(misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi
tipe I adalah sebagai berikut:
21
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara
imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh.
Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon
yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk
melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik
terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan
reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada
makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi
tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast
melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang
menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi
lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga
mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat
(Rengganis dan Yunihastuti, 2007).
22
Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif
(mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.
1. Mediator jenis pertama
Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.
- histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf
sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.
- Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.
1. Mediator jenis kedua
Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid
membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan
lipoksigenase.
- Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan
tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus
pembuluh darah.
- Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien.
Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive
substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos
dibandingkan dengan histamin.
1. Mediator jenis ketiga
Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2)
kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)
23
2. Pemeriksaan penunjang pada kasus (alergi)?
Tes kulit alergi
Terdapat beberapa jenis uji kulit untuk mengetahui penyebab alergi, diantaranya adalah :
uji tusuk, uji gores dan uji tempel. Banyak disukai oleh penderita adalah uji tempel,
karena tidak terlalu menyakitkan dan praktis. Hasil uji kulit bukanlah hasil akhir atau
penentu diagnosis. Sering informasi yang diterima penderita menyesatkan, bahwa
dianggap dengan tes alergi dapat diketahui pasti penyebab alergi. Tes kulit alergi sangat
terbatas sebagai alat diagnosis. Bila hasil tes kulit alergi positif belum tentu alergi
terhadap makan bahan makanan tersebut, sebaliknya bila hasilnya negatif belum tentu
bukan alergi makanan. Sehingga pelaksanaan tes kulit alergi berulang-ulang untuk
evaluasi adalah sesuatu yang tidak ilmiah, tidak logis dan menyesatkan.
Penggunaan test konvensional berupa tes kulit alergi ini ditemukan sejak tahun 1911. Tes
kulit dapat dilakukan dengan uji gores (scratch test), uji tusuk (prick test), uji suntik
intradermal (intrademal test) atau uji tempel. Dapat dilakukan sebagai pemeriksaan
penyaring dengan menggunkan ekstrak allergen yang ada di lingkungan penderita seperti
debu, bulu kucing, susu, telur, coklat, kacang dan lain-lain. Cara pemeriksaannya adalah
kulit digores atau ditusuk ringan kemudian ditetesi cairan penguji tersebut. Setelah sekitar
sepuluh menit atau lebih, dilakukan pengamatan pada kulit tersebut. Bila terdapat
kemerahan atau lepuhan pada kulit dibandingkan dengan pembanding atau cairan netral
pada titik lainnya akan memberi petunjuk adanya alergi.
Uji kulit mempunyai keterbatasan sebagai alat diagnostik. Nilai diagnosisnya tidak begitu
baik. karena hanya bisa mendiagnosis alergi tipe cepat. Tes kulit alergi hanya bisa
menduga adanya alergi, selanjutnya harus dikonfirmasi dengan eliminasi dan provokasi
makanan. Cara ini seringkali tidak akurat, karena masih ditemukan hasil negatif palsu
(false negatif) atau hasil negatif belum tentu bukan alergi. Sebaliknya hasil Positif palsu
(false positif) artinya hasil positif belum tentu alergen tersebut sebagai penyebab alergi.
Pada tes kulit seringkali yang terdeteksi adalah proses alergi reaksi cepat (reaksi terjadi
kurang 8 jam). Seperti, bila makan udang dalam beberapa jam timbul gatal-gatal. Tetapi
proses alergi makanan reaksi lambat (reaksi terjadi lebih dari 8 jam) seringkali negatif
atau tidak terdeteksi. Sehingga sering terjadi pada tes kulit yang positif hanyalah debu
yang merupakan alergi tipe reaksi cepat dan makanan lainnya negatif.
24
Fenomena inilah yang mengakibatkan timbul persepsi bahwa gejala alergi sebagian besar
disebabkan karena debu dan alergi makanan tidak dianggap sebagai penyebab alergi
.
Banyak para klinisi atau masyarakat yang masih menjadikan tes kulit alergi sebagai
pedoman untuk menghindari makanan tersebut hingga jangka panjang. Atau sebaliknya
terus mengkonsumsi makanan yang dalam tes dinyatakan negatif. Sehingga menghindari
makanan penyebab alergi atas dasar tes tersebut seringkali tidak menunjukkan hasil yang
optimal.
Pemeriksaan darah
Beberapa pemeriksaan laboratorium melalui pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk
mencari penyebab alergi. Pemeriksaan konvesional lainnya adalah pemeriksaan darah
dengan cara RAST (Radio-allergo-sorbent test). Pemeriksaan ini adalah untuk melihat
antibodi terhadap makanan tertentu, debu, serbuk bunga, bulu kucing dan lainnya.
Namun pemeriksaan ini cukup rumit dan mahal. Satu jenis alergen misalnya debu
harganya mencapai sekitar 350 – 450 ribu rupiah. Bisa dibayangkan bila jenis makanan
yang demikian banyak diperiksa semuanya. Beberapa ahli juga berpendapat bahwa
pemeriksaan ini juga dianggap kecil artinya, bila digunakan untuk penghindaran makanan
penyebab alergi.
Pemeriksaan IgE total dengan PRIST (Paper radioimmunosorbent test) berguna untuk
menentukan status alergi penderita. Harga normal adalah 100 u/ml sampai usia 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30 u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi
atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi sistem imun
Pemeriksaan lainnya adalah tes Sitotoksik. Darah disentrifuge (dipusingkan) untuk
memisahkan sel darah putih dalam jumlah banyak. Kemudian sel darah putih tersebut
dites dengan sejumlah bahan allergen atau yangh dicurugai alergi seperti makanan
tertentu atau debu. Dicurigai alergi bila sel darah putih tersebut rusak atau mati. Namun
sejali lagi bahwa tes ini sebagai alat diagnosis tidak terlalu bagus, karena terdapat hasil
negative palsu yang mengacaukannya.
25
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang lainnya yang jarang dikerjakan adalah
pemeriksaan lemak tinja, immunoglobulin, AntibodI monoclonal dalam sirkulasi,
pelepasan histamine oleh basofil (Basofil histamine release assay/BHR), kompleks imun
dan imunitas seluler, intestinal mast cell histamine release (IMCHR), provokasi intra
gastral melalui endoskopi, biopsi usus setelah dan sebelum pemberian makanan.
3. Perbedaan alergi susu sapi dengan intoleransi laktosa ?
Alergi susu sapi terjadi karena mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran
cerna bayi belum sempurna. susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan kepada
seorang bayi, Harus dibedakan antara alergi susu sapi suatu reaksi imunologis dan reaksi
intoleransi yang bukan berdasarkan kelainan imunologis seperti efek toksik dari bakteri
stafilokok, defek metabolik akibat kekurangan enzim laktase, reaksi idiosinkrasi atau
reaksi simpang dari bahan-bahan lain yang terkandung dalam susu formula.
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi hipersensitivitas pada
anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein yang dapat mengganggu
respon imun yang menyimpang pada seseorang.. Protein susu sapi terbagi menjadi kasein
and whey. Kasein yang berupa bagian susu berbentuk kental biasanya didapatkan pada
terdiri dari 76-86% dari protein susu sapi. Kasein dapat dipresipitasi dengan zat asam
pada pH 4,6. Whey terdiri dari 20% total protein susu, tang terdiri dari β -lactoglobulin
(9% total protein susu), α -lactalbumin (4%), bovine immunoglobulin (2%), bovine
serum albumin (1%), dan sebagian kecil beberapa proteins seperti lactoferrin, transferrin,
lipases (4%). Dengan pasteurisasi rutin tidak cukup untuk menghilangkan protein ini
tetapi sebaliknya meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein susu seperti b-
laktoglobulin.
Gejala yang terjadi pada Alergi susu sapi secara umum hampir sama dengan
gejala Alergi makanan lainnya. Target organ utama reaksi terhadap Alergi susu
sapi adalah kulit, saluran cerna dan saluran napas. Reaksi akut (jangka pendek)
yang sering terjadi adalah gatal dan anafilaksis. Sedangkan reaksi kronis (jangka
panjang) yang tyerjadi adalah astma, dermatitis (eksim kulit) dan gangguan
26
saluran cerna. Beberapa manifestasi reaksi simpang karena susu sapi melalui
mekanisme IgE dan Non IgE.
Target organ yang sering terkena adalah kulit berupa urticaria dan angioedema.
Sistem saluran cerna yang terganggu adalah sindrom oral Alergi , gastrointestinal
anaphylaxis, allergic eosinophilic gastroenteritis. Saluran napas yang terjadi
adalah asma, pilek, batuk kronis berulang. Target multiorgan berupa anafilaksis
karena makanan atau anafilaksis dipicu karena aktifitas berkaitan dengan
makanan
Intoleransi terhadap Laktosa (Lactose Intolerance) adalah kondisi di mana seseorang
tidak mampu mencerna laktosa, yaitu bentuk gula yang berasal dari susu.
Ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh kurangnya atau tidak mampunya tubuh
memproduksi LAKTASE, yaitu salah satu enzim pencernaan yang diproduksi oleh sel-sel
di usus kecil yang bertugas memecah gula susu menjadi bentuk yang lebih mudah untuk
diserap ke dalam tubuh. Kondisi ini disebut juga Defisiensi Laktase (Lactase Deficiency).
Dalam kondisi normal, ketika laktosa mencapai system pencernaan, enzim lactase akan
segera bekerja memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Galaktosa sendiri oleh
hati akan diubah menjadi glukosa, thus meningkatkan kadar gula dalam darah. Oleh
karena itu, tidak meningkatnya kadar gula darah setelah minum susu bisa dianggap
sebagai diagnosa adanya intoleransi laktosa.
Pada beberapa kasus, ada anak-anak yang terlahir tanpa kemampuan memproduksi enzim
lactase. Namun kondisi ini membaik secara alami seiring waktu sampai sekitar usia 2
tahun, tubuh mulai ‘belajar’ memproduksi lactase sedikit demi sedikit. Sehingga tidak
heran jika pada usia dewasa, gejala-gejala intoleransi laktosa bisa berangsur-angsur
hilang.
27
Produk-produk Mengandung Laktosa
Selain dari susu dan olahannya (seperti keju dan mentega), laktosa juga sering
ditambahkan ke dalam berbagai produk jadi. Penderita intoleransi laktosa sebaiknya
mengetahui produk-produk makanan apa saja yang mungkin mengandung laktosa,
walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Beberapa produk yang mungkin mengandung
laktosa antara lain: Roti, biscuit, kue kering, dan sejenisnya.
Pembeli yang cermat hendaknya memperhatikan label makanan yang dibeli dengan
seksama, bukan hanya untuk kandungan ‘susu’ dan ‘laktosa’, tapi juga untuk kandungan
turunan susu seperti ‘whey’, ‘curds’, ‘hasil sampingan susu’, ‘serbuk susu’, dan
‘serbuk susu nonfat’. Jika di dalam label tercantum kandungan-kandungan di atas, bisa
dipastikan produk tersebut mengandung laktosa. Sebagai informasi tambahan, saat ini
laktosa juga masih digunakan sebagai bahan pengisi obat.
Gejala Intoleransi Laktosa
Laktosa yang tidak tercerna akan menumpuk di usus besar dan terfermentasi,
menyebabkan gangguan pada usus seperti nyeri perut, keram, kembung dan bergas, serta
diare, sekitar setengah jam sampai dua jam setelah mengkonsumsi produk laktosa.
Gejala-gejala ini kadang-kadang disalahartikan sebagai gangguan saluran pencernaan.
Tingkat keparahan gejala-gejala tersebut bergantung pada seberapa banyak laktosa yang
dapat ditoleransi oleh masing-masing tubuh. Gejala-gejala ini mirip dengan reaksi alergi
susu, namun pada kasus alergi, gejala-gejala ini timbul lebih cepat, kadangkala hanya
dalam hitungan menit.
Jika seseorang yang menderita defisiensi lactase tidak menghindari produk-produk yang
mengandung laktosa, lama kelamaan orang tersebut dapat kehilangan berat badan dan
menderita malnutrisi.
28
4. Obat yang bisa menimbulkan reaksi hipersensitivitas ?
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya
melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi
selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi
simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping,
idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan
dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek obat selain khasiat utama
yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi
adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat
dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui.
Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena
proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi.
Patogenesis
Pengetahuan kita tentang metabolisme obat serta metabolitnya masih terbatas dan banyak
yang belum jelas, demikian pula tentang mekanisme imun terhadap obat. Alergi obat
biasanya tidak dihubungkan dengan efek farmakologik, tidak tergantung dari dosis yang
diberikan, dan tidak terjadi pada pajanan awal. Sensitisasi imunologik memerlukan
pajanan awal dan tenggang waktu beberapa lama (masa laten) sebelum timbul reaksi
hipersensitivitas.
Substansi obat biasanya mempunyai berat molekul rendah sehingga tidak dapat langsung
merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan karier yang mempunyai berat
molekul besar. Antigen yang bersifat tidak lengkap seperti ini merupakan kompleks obat
dan protein yang disebut sebagai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen
dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama
diproses di makrofag dan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya
stabil.
29
Sebagian kecil substansi obat mempunyai berat molekul besar (insulin, antisera, ekstrak
organ) dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh.
Tetapi ada beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang bersifat
imunogenik tanpa bergabung dengan karier. Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga
obat ini membentuk polimer rantai panjang.
Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan
antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20
hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut
sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori
(reaksi anamnestik) .
Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe
menurut Gell dan Coombs (lihat bab tentang reaksi hipersensitivitas). Alergi obat dapat
terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut (Tabel 26-2). Bila antibodi spesifik yang
terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi
tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti
oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau
tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe
IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan
tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated). Perlu diingat bahwa dapat saja
terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara
bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Sedangkan
alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari
kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
Penatalaksanaan
Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai
kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.
30
kriteria umum reaksi hipersensitivitas obat :
1. Gejala pasien sesuai dengan reaksi imunologi terhadap obat.]
2. Pasien mendapatkan obat yang memang dapat memberikan gejala alergi (struktur
kimia obat memang telah dikaitkan dengan reaksi imun).
3. Terdapat hubungan temporal antara pemberian obat dengan timbulnya gejala
reaksi alergi.
4. Tidak ada penyebab lain yang jelas terhadap manifestasi klinis pasien yang
sedang menggunakan obat tertentu yang memang dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas.
5. Data laboratorium menunjang mekanisme imunologi yang dapat menjelaskan
reaksi obat.
Tata laksana
Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian
mengatasi gejala klinis yang timbul. Di samping itu perlu pula dipikirkan upaya
pencegahan alergi obat.
Penghentian obat
Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit karena biasanya, terutama pada
anak, penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Bila mungkin
semua obat dihentikan dulu, kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai
penyebab reaksi alergi, atau menggantikannya dengan obat lain. Bila obat tersebut
dianggap sangat penting dan tak tergantikan, bila tidak ada alternatif lain dan reaksi
alerginya relatif ringan, dapat terus diberikan dengan persetujuan penderita dan keluarga.
Pada beberapa keadaan dapat dilakukan desensitasi obat atau prosedur provakasi
bertahap. Desentisasi biasa dilakukan pada jenis obat penisilin, antibiotik non-beta laktam
dan insulin. Sedangkan provokasi bertahap biasa dilakukan asam aminosalisilat,
isoniazid, trimetoprim-sulfametoksazol, dapson, alopurinol, sulfasalazin dan
difenilhidantoin.
31
5. Penatalaksanaan pada kasus?
Penanganan alergi pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan
berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam
penanganan alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa
menimbulkan keluhan alergi tersebut.
Penghindaran makanan penyebab alergi pada anak harus dicermati secara benar, karena
beresiko untuk terjadi gangguan gizi. Sehingga orang tua penderita harus diberitahu
tentang makanan pengganti yang tak kalah kandungan gizinya dibandingklan dengan
makanan penyebab alergi. Penghindaran terhadap susu sapi dapat diganti dengan susu
soya, formula hidrolisat kasein atau hidrolisat whey., meskipun anak alergi terhadap susu
sapi 30% diantaranya alergi terhadap susu soya. Sayur dapat dipakai sebagai pengganti
buah. Tahu, tempe, daging sapi atau daging kambing dapat dipakai sebagai pengganti
telur, ayam atau ikan. Pemberian makanan jadi atau di rumah makan harus dibiasakan
mengetahui kandungan isi makanan atau membaca label makanan.
Obat-obatan simtomatis, anti histamine (AH1 dan AH2), ketotifen, ketotofen,
kortikosteroid, serta inhibitor sintesaseprostaglandin hanya dapat mengurangi gejala
sementara, tetapi umumnya mempunyai efisiensi rendah. Sedangkan penggunaan
imunoterapi dan natrium kromogilat peroral masih menjadi kontroversi hingga sekarang.
Sifat-sifat dan mekanisme kerja antihistaminika
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas
tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan
alergi.Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang
juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu
rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya
antazolin.
32
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan
histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan
kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun
tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody,
melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-
reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena
antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima
histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap
jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan
histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.
Penggunaan
Pada pengobatan dari berbagai gangguan alergi dan anafilaksi, antihistaminika dapat
menghilangkan sebagian besar dari gejala-gejala tanpa melenyapkan sebab-sebab
utamanya. Meskipun kerjanya tidak begitu lengkap dan cepat seperti adrenalin atau
aminofilin, namun obat-obat antihistaminik kini banyak digunakan untuk mengobati
keadaan-keadaan alergi. Misalnya pada keadaan gatal-gatal (“kaligata”), urticaria karena
makanan (udang) atau obat-obat tertentu (asetosal, penisilin), dan penyakit serum
(“serum sickness”) setelah suntikan dengan suatu serum asing. Juga untuk mencegah atau
mengurangi reaksi-reaksi alergi, seringkali diberikan antihistaminika satu jam sebelum
dilakukan penyuntikan dengan suatu antigen spesifik (misalnya serum, penisilin). Untuk
mengobati penyakit asma (bronchiale), antihistaminika tidak begitu berkhasiat, karena
hanya dapat meringankan saja gejala-gejalanya.
Penggunaan lainnya adalah sebagai obat anti emetik yang dapat melawan rasa mual dan
muntah-muntah pada mabuk perjalanan (“motion sickness”) dan selama hamil
(“morning-sickness”, hyperemesis gravidarum).
Untuk maksud ini biasanya digunakan garam klorotheofilinatnya, misalnya
difenhidramin dan promethazin klorotheofilinat, yang lebih berkhasiat daripada
persenyawaan-persenyawaan induknya.
33
Disamping peranannya dalam persaingan substrat dengan histamin, antihistaminika juga
memiliki khasiat antikolinergik lemah dan kegiatan vasokonstriksi. Berdasarkan hal ini
antihistaminika seringkali digunakan untuk meringankan gejala “common cold” misalnya
selesma, dengan atau tanpa dikombinasi dengan analgetika. Begitupula banyak sirop
batuk mengandung obat-obat ini, guna mengurangi rasa gatal di tenggorokan.
Antihistaminika juga berkhasiat terhadap vertigo (pusing-pusing) dengan jalan menekan
kegiatan reseptor-reseptor saraf vestibuler di bagian dalam telinga dan merintangi
kegiatan kolinergik sentral. Dalam hal ini antihistaminika yang sering digunakan adalah
sinarizin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin dan promethazin.
Antihistaminika dapat diberikan secara oral atau parenteral dengan resorpsi yang baik.
Pada pemberian oral, efek mulai tampak setelah 15 – 30 menit, sedangkan pada
umumnya lama kerjanya hanya lebih kurang 4 jam, terkecuali promethazin, meklizin dan
buklizin, yang memiliki kerja panjang (lebih kurang 16 jam).
Khasiat dan terutama dosisnya, juga toleransi untuk obat-obat ini adalah sangat
individual; suatu antihistaminika yang manjur untuk mengobati A dengan dosis kecil,
mungkin sama sekali tidak ada efeknya untuk mengobati penyakit yang sama pada B.
Dosis
Pada umumnya antihistaminika diberikan oral 3 – 4 kali sehari 1 satuan dosis (tablet,
kapsul). Hanya pada obat-obat yang memiliki kerja panjang (promethazin) cukup dengan
1 – 2 dosis sehari. Untuk feniramin dosisnya adalah lebih kecil, yaitu 3 – 4 kali sehari 2 –
4 mg.
Efek – sampingan
Karena antihistaminika juga memiliki khasiat menekan pada susunan saraf pusat, maka
efek sampingannya yang terpenting adalah sifat menenangkan dan menidurkannya. Sifat
sedatif ini adalah paling kuat pada difenhidramin dan promethazin, dan sangat ringan
pada pirilamin dan klorfeniramin. Kadang-kadang terdapat stimulasi dari pusat, misalnya
pada fenindamin. Guna melawan sifat-sifat ini yang seringkali tidak diinginkan
pemberian antihistaminika dapat disertai suatu obat perangsang pusat, sebagai
amfetamin. Kombinasi dengan obat-obat pereda dan narkotika sebaiknya dihindarkan.
34
Efek sampingan lainnya adalah agak ringan dan merupakan efek daripada khasiat
parasimpatolitiknya yang lemah, yaitu perasaan kering di mulut dan tenggorokan,
gangguan-gangguan pada saluran lambung usus, misalnya mual, sembelit dan diarrea.
Pemberian antihistaminika pada waktu makan dapat mengurangi efek sampingan ini.
Perintang-perintang reseptor-reseptor – H2
Antihistaminika yang dibicarakan diatas ternyata tidak dapat melawan seluruh efek
histamin, misalnya penciutan otot-otot licin dari bronchia dan usus serta dilatasi
pembuluh-pembuluh perifer dirintangi olehnya, dimana efeknya berlangsung melalui
jenis reseptor tertentu yang terdapat dipermukaan sel-sel efektor dari organ-organ
bersangkutan yang disebut reseptor-resep[tor H1. Sedangkan efek terhadap stimulasi dari
produksi asam lambung berlangsung melalui reseptor-reseptor lain, yaitu reseptor-
reseptor H2 yang terdapat dalam mukosa lambung.
Penelitian-penelitian akan zat-zat yang dapat melawan efek histamin H2 tersebut telah
menghasilkan penemuan suatu kelompok zat-zat baru yaitu antihistaminika reseptor-
reseptor H2 atau disingkat H2- blockers seperti burimamida, metiamida dan simetidin.
Zat-zat ini merupakan antagonis-antagonis persaingan dari histamin, yang memiliki
afinitas besar terhadap reseptor-reseptor H2 tanpa sendirinya memiliki khasiat histamin.
Dengan menduduki reseptor-reseptor tersebut, maka efek histamin dirintangi dan sekresi
asam lambung dikurangi.
Dari ketiga obat baru tersebut hanya imetidin digunakan dalam praktek pada pengobatan
borok-borok lambung dan usus. Obat-obat lambung burimamida kurang kuat khasiatnya
dan resorpsinya dari usus buruk sedangkan metiamida diserap baik, tetapi toksis bagi
darah (agranulocytosis).
Penggolongan
Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut :
A. Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O)
difenhidramin dan turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin
(Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan ini
memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap susunan saraf pusat.
35
Efek sampingannya: mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan mengantuk.
B. Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin,
klemizol dan mepiramin. Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf
pusat hanya lemah. Efek sampingannya: gangguan lambung usus dan perasaan lesu.
C. Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya,
tripolidin. Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki
kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan saraf pusat.
D. Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin
Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki
kegiatan teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat
teratogen ini tidak dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian
tidak diberikan pada wanita hamil.
1. Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat spasmolitik
sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson, dalam kombinasi dengan
obat-obat lain yang khusus digunakan untuk penyakit ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 – 50 mg, i.v. 10-50 mg
• Dimenhidrinat: difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo
(Phapros).
Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan muntah-muntah
sewaktu hamil.
Dosis : oral 4 kali sehari 50 – 100 mg, i.m. 50 mg.
• Metildifenhidramin : Neo-Benodin (Brocades)
Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi sedikit
lebih kuat.
Dosis : oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.
2. Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil
(OCH3).
36
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 – 100 mg.
3. Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya terletak
pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan untuk
mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba
Geigy
Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 – 100 mg
4. Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)
Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnya
Dosis : oral 3 kali sehari 25 mg
* klorfenamin (klorfeniramin, Methyrit-SKF; CTM, KF; Pehaclor, Phapros) adalah
derivat klor, Substitusi dari satu atom klor pada molekul feniramin meningkatkan
khasiatnya 20 kali lebih kuat, tetapi derajat toksisitasnya praktis tidak berubah. Efek
sampingan dari obat ini hanya sedikit dan tidak memiliki sifat menidurkan. Dosis : oral
4 kali sehari 2 – 8 mg, parenteral 5 – 10 mg.
* deksklorfeniramin (Polaramin, Schering) adalah d- isomer dari klorfeniramin (terdiri
dari suatu campuran rasemis) yang terutama bertanggung jawab untuk kegiatan
antihistaminiknya. Toksisitasnya dari campuran d-isomer ini tidak melebihi daripada
campuran rasemiknya. Dosis : oral 3 kali sehari 2 mg.
5. Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)
Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan. Dosis : oral 3 kali sehari 50
mg.
* meklozin (meclizin,Suprinal)
Sifat antihistaminiknya kuat dan terutama digunakan untuk menghindarkan dan
mengobati perasaan mual karena mabuk jalan dan pusing-pusing (vertigo). Mulai
bekerjanya lambat, tetapi berlangsung lama (9 – 24 jam).
37
Berhubung dengan peristiwa thalidomide, zat ini dilarang penggunaannya di Indonesia.
Kerja teratogennya hingga kini belum dibuktikan.
6. Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)
Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat
menidurkannya. Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-pusing,
maka sangat efektif pada bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh keliling);
mekanisme kerjanya belum diketahui.
Selain itu sinarizin memiliki khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung terhadap
rangsangan-rangsangan iritasi dan konstriksi. Perdarahan di pembuluh-pembuluh otak
dan perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa
menyebabkan tachycardia dan hipertensi secara reflektoris seperti halnya dengan
vasodilator-vasodilator lainnya.
Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 – 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali
sehari 75 mg
* primatour (ACF) adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan klorsiklizin HCl
25 mg. Preparat ini adalah kombinasi dari dua antihistaminika dengan kerja yang
panjang dan Singkat. Obat ini khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai
kerjanya cepat, yaitu ¼ sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama. Dosis : dewasa 1
tablet.
7. Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)
Adalah suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang sangat
kuat, tetapi toksisitasnya rendah. Penggunaan dan efek sampingannya sama seperti
antihistaminika lain dari golongan fenothiazin.
Dosis : 10 – 40 mg seharinya
8. Promethazin : Phenergan (Rhodia)
Persenyawaan fenothiazin ini adalah antihistaminikum yang kuat dan memiliki kegiatan
yang lama (16 jam). Memiliki kegiatan potensiasi untuk zat-zat penghalang rasa nyeri
(analgetika) dan zat-zat pereda (sedativa).
Berhubung sifat menidurkannya yang kuat maka sebaiknya diberikan pada malam hari.
38
Dosis : oral 3 kali sehari 25 – 50 mg; parenteral 25 mg lazimnya sampai 1 mg per Kg
berat badan
* promethazin-8-klorotheofilinat (Avomin)
adalah turunan dari promethazin yang memiliki khasiat dan penggunaan yang sama
dengan dimenhidrinat, tetapi tanpa efek menidurkan.
9. Thiazinamium : Multergan (Specia)
Disamping khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat antikolinergik
yang kuat, sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale dengan sekresi yang
berlebihan.
10. Siproheptadin : Periactin (Specia)
Persenyawaan piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat antikolinergik
lemah dan merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan tanpa khasiat hormonal.
Zat ini merupakan antagonis serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen (Sandomigran),
sehingga dianjurkan sebagai obat interval pada migrain.
Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan mulut kering. Tidak
boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi urine dan pada wanita hamil.
11. Mebhidrolin : Incidal (Bayer)
Mengandung 50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminikum yang praktis tidak memiliki
sifat-sifat menidurkan. Dosis : rata-rata 100 – 300 mg seharinya
39
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.
Jakarta: FKUI
Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun.
Jakarta: Widya Medika
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik dan Ringkas. Denpasar: EGC.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Hoffbrand, A.V. Petit, J.E. 1996. Kapita Selekta Haematologi. Jakarta: EGC.
htpp://www.childrenallergyclinic.wordpress.com/
Tanuwidjaya S. Kebutuhan dasar tumbuh kembang anak. Dalam: Narendra MB,
Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh IGNG, penyunting. Tumbuh kembang
anak dan remaja. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. h.13-21
40