7
Legalisasi Perampasan Hak Tenaga Kerja Oleh: Nanang Suharto Menjelang memasuki tahun ajaran baru dunia pendidikan dan lebaran tahun 2015 ini, Pemerintah memberi kado pahit bagi masyarakat tenaga kerja peserta sistem jaminan sosial nasional bidang ketenagakerjaan. Khususnya bagi yang telah berstatus atau dalam waktu dekat akan berstatus Putus Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan tempatnya bekerja dan telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan (dulunya Jamsostek) selama lima tahun atau lebih. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang disahkan tanggal 30 Juni 2015 mengubah syarat pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dari lima tahun menjadi sepuluh tahun. Syarat lainnya adalah pencairan JHT sebelum umur 56 tahun hanya boleh 10% untuk persiapan hari tua, atau 30% untuk uang muka kepemilikan rumah dari total akumulasi saldo iuran. Bahkan tenaga kerja yang telah berstatus putus hubungan kerja dan sedang menunggu proses pencairan saja juga turut terkena aturan ini. Di ketentuan sebelumnya (UU No 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja), pencairan bisa diklaim setelah 5 tahun ditambah satu bulan jadi peserta, dan bisa ditarik sepenuhnya. Atas dasar kebijakan baru tersebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, melaksanakan langsung kebijakan ini dengan memberlakukannya efektif mulai 1 Juli 2015. Pemberlakuan kebijakan ini dijadikan bagian dari momentum, yaitu menjadikan tonggak sejarah beroperasinya BPJS secara penuh secara nasional sesuai yang ditargetkan Pemerintah. Dengan demikian era baru rezim perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia pun dimulai. Pemberlakuan kebijakan ini oleh BPJS Ketengakerjaan ditandai dengan diedarkannya surat untuk bersiap-siap dari Direksi BPJS kepada seluruh jajaran BPJS Ketenagakerjaan beberapa hari sebelumnya, sebelum PP-nya disahkan. Juga, dengan menempel pemberitahuan dengan kertas pengumuman atau tulisan karton yang ditulis seadanya di depan kantor-kantor layanan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu juga penguncian sistem klaim JHT dan penutupan akses ke situs BPJS untuk integrasi ke sistem baru secara sentral. Terakhir BPJS juga menolak pengajuan klaim JHT yang baru. Kesibukan sepihak BPJS Ketenagakerjaan ini tidak disadari dari awal oleh masyarakat peserta BPJS Ketenagakerajaan kalau mereka akan terkena dampak yang merugikan terhadap kepesertaannya pada program JHT. Berita-berita di media massa sebelumnya juga lebih tergiring pada isu pembahasan besaran iuran yang harus ditanggung perusahaan untuk Program Pensiun; 8% usulan Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan, 1,5% usulan dunia usaha dan 3% usulan Kementerian Keuangan 3%, dari total iuran kepesertaan. Masyarakat tidak siap dan tidak tahu ada

Legalisasi Perampasan Hak Tenaga Kerja

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang disahkan tanggal 30 Juni 2015 mengubah syarat pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dari lima tahun menjadi sepuluh tahun. Syarat lainnya adalah pencairan JHT sebelum umur 56 tahun hanya boleh 10% untuk persiapan hari tua, atau 30% untuk uang muka kepemilikan rumah dari total akumulasi saldo iuran. Bahkan tenaga kerja yang telah berstatus putus hubungan kerja dan sedang menunggu proses pencairan saja juga turut terkena aturan ini.

Citation preview

Legalisasi Perampasan Hak Tenaga KerjaOleh: Nanang Suharto Menjelang memasuki tahun ajaran baru dunia pendidikan dan lebaran tahun 2015 ini, Pemerintah memberi kado pahit bagi masyarakat tenaga kerja peserta sistem jaminan sosial nasional bidang ketenagakerjaan. Khususnya bagi yang telah berstatus atau dalam waktu dekat akan berstatus Putus Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan tempatnya bekerja dan telah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan (dulunya Jamsostek) selama lima tahun atau lebih. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang disahkan tanggal 30 Juni 2015 mengubah syarat pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dari lima tahun menjadi sepuluh tahun. Syarat lainnya adalah pencairan JHT sebelum umur 56 tahun hanya boleh 10% untuk persiapan hari tua, atau 30% untuk uang muka kepemilikan rumah dari total akumulasi saldo iuran. Bahkan tenaga kerja yang telah berstatus putus hubungan kerja dan sedang menunggu proses pencairan saja juga turut terkena aturan ini. Di ketentuan sebelumnya (UU No 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja), pencairan bisa diklaim setelah 5 tahun ditambah satu bulan jadi peserta, dan bisa ditarik sepenuhnya. Atas dasar kebijakan baru tersebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, melaksanakan langsung kebijakan ini dengan memberlakukannya efektif mulai 1 Juli 2015. Pemberlakuan kebijakan ini dijadikan bagian dari momentum, yaitu menjadikan tonggak sejarah beroperasinya BPJS secara penuh secara nasional sesuai yang ditargetkan Pemerintah. Dengan demikian era baru rezim perburuhan dan ketenagakerjaan di Indonesia pun dimulai.Pemberlakuan kebijakan ini oleh BPJS Ketengakerjaan ditandai dengan diedarkannya surat untuk bersiap-siap dari Direksi BPJS kepada seluruh jajaran BPJS Ketenagakerjaan beberapa hari sebelumnya, sebelum PP-nya disahkan. Juga, dengan menempel pemberitahuan dengan kertas pengumuman atau tulisan karton yang ditulis seadanya di depan kantor-kantor layanan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu juga penguncian sistem klaim JHT dan penutupan akses ke situs BPJS untuk integrasi ke sistem baru secara sentral. Terakhir BPJS juga menolak pengajuan klaim JHT yang baru. Kesibukan sepihak BPJS Ketenagakerjaan ini tidak disadari dari awal oleh masyarakat peserta BPJS Ketenagakerajaan kalau mereka akan terkena dampak yang merugikan terhadap kepesertaannya pada program JHT. Berita-berita di media massa sebelumnya juga lebih tergiring pada isu pembahasan besaran iuran yang harus ditanggung perusahaan untuk Program Pensiun; 8% usulan Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan, 1,5% usulan dunia usaha dan 3% usulan Kementerian Keuangan 3%, dari total iuran kepesertaan. Masyarakat tidak siap dan tidak tahu ada hal lain yang sedang mengintai rasa keadilan mereka dibalik isu tarik ulur besarnya iuran Progam Jaminan Pensiun itu.Bagi peserta yang tergolong masyarakat menengah kebawah akan sangat terasa sekali dampak buruk kebijakan ini. Apalagi saat ini menjelang lebaran dan memasuki tahun ajaran baru dunia pendidikan, dimana kebutuhan hidup biasanya akan lebih dari biasanya. Kebijakan ini juga tidak berpihak kepada upaya pembentukan wirausaha-wirausaha baru. Ditengah kesulitan akses permodalan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, sudah menjadi fakta umum bahwa banyak yang menggantungkan harapan perolehan modal untuk membuka usaha dari JHT setelah keluar atau dikeluarkan dari perusahaan tempat bekerja. Terlebih lagi bagi yang memiliki motivasi membuka usaha sendiri, seharusnya diapresiasi dan dipermudah oleh pemerintah. Uang JHT itu adalah amanah dan hasil keringat mereka sendiri, bukan santunan dari negara sehingga tidak tepat juga kalau pemerintah berfilosofi menjelaskan peruntukan dana tersebut saat situasi sudah seperti ini. Jika pemerintah tidak paham dengan kondisi sosiologis masyarakat yang sudah tertanam konsep JHT bukan seperti yang diargumenkan Pemerintah, artinya pemerintah tidak ingin buruh atau pekerja menjadi kelas pengusaha, tetap saja jadi buruh atau pekerja selamanya sampai tua. Seharusnya kalau mau berfilosofi tentang konsep JHT, seharusnya Pemerintah jauh-jauh hari merubah paradigma masyarakat dulu sebelum mengeluarkan peraturan.Ketika akhirnya kebijakan ini dijalankan pada 1 Juli, wajar masyarakat tenaga kerja merasa terkesima, tertipu dan menjadi reaktif. Di kantor-kantor layanan BPJS Ketenagakerjaan, komplain dari cara yang halus sampai unjuk rasa massa harus dihadapi dan dilayani petugas walaupun itu sebenarnya akan sia-sia. Karena hanya jawaban-jawaban normatif tanpa solusi yang akan didapat karena mereka bukan pengambil keputusan. Diluar itu suara-suara keluhan di media sosial online mulai riak-riuh, terhimpun dan semakin meluas. Diantaranya ada yang meratap galau, menghujat hingga yang merasa dirampok haknya karena kebijakan baru ini. Harus maklum, karena peserta yang sebagian besar kelompok masyarakat menengah kebawah ada yang sedang membangun mimpi-mimpi tentang rencana kedepan dengan memanfaatkan JHT yang hak klaimnya sudah di depan mata. Lima tahun bagi mereka bukan waktu yang sedikit dan juga bukan sewaktu-waktu seperti yang diargumenkan Menteri Tenaga Kerja di media massa. Harus diingat ada proses menunggu disitu, minimal 5 tahun.Dengan pola seperti sekarang ini dan reaksi penolakan yang keras dari masyarakat, artinya tidak ada mekanisme penyesuaian atau transisi yang disiapkan Pemerintah untuk memilah mana peserta yang masih berhak mengajukan klaim JHT dan mana yang harus tunduk pada aturan baru. Bagaimana mungkin peserta yang sudah PHK sebelum 1 Juli 2015 dapat dikenai peraturan ini? Bahkan peserta yang hampir memenuhi persyaratan sebelumnya, yaitu yang telah hampir menjadi peserta minimal selama lima tahun dalam beberapa bulan kedepan, seharusnya masih layak mendapatkan pencairan JHT-nya. Dasar berpikirnya adalah karena mereka bergabung dan diikat sesuai dengan ketentuan lama dan kepesertaan mereka sedang berjalan.Di situs petisi online (change.org) juga sudah muncul ajakan untuk menuntut pemerintah membatalkan kebijakan ini. Pada hari kedua, tanggal 2 Juli malam hari, terhitung hampir mencapai lebih 50.000 orang yang ikut menandatangani petisi ini secara online. Fenomena ini membuktikan masyarakat sangat tidak siap dengan kebijakan yang sangat mengusik rasa keadilan ini. Tidak ada juga penjelasan yang logis dan dapat diterima nalar selain hanya dibenturkan dengan alasan adanya kebijakan baru berupa PP yang keluar. Pertanyaan kritisnya, jika PP tersebut memang baru, kenapa harus mengikat mereka yang sudah di PHK sebelum 1 Juli 2015? Cara berpikir seperti apa yang dipakai Pemerintah atau BPJS Ketenagakerjaan? Berapa juta jiwa tenaga kerja yang akan dikorbankan karena kebijakan ini? Benarkah tidak ada sebenarnya motivasi lain dan politis dari Pemerintah dibalik kebijakan ini?Beberapa waktu kedepan isu ini tentunya akan terus mengemuka dan bisa meledak ke permukaan. Pemerintah sadar atau tidak, fenomena di masyarakat saat ini harus diakui menjadi sangat sensitif di aras kalangan bawah. Semua pihak yang terlibat harus bisa bertangungjawab, terutama pihak-pihak yang terlibat dalam rapat di Bogor awal bulan Juni 2015 lalu. Rapat tersebut di pimpin oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi Rapat Persiapan BPJS Ketenagakerjaan 2,5 Jam, Ini Hasilnya, Detik.com, 5/6). Diberitakan yang hadir tediri dari Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan, Menteri Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakiri, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dan Dirut BPJS Elvyn Masassya. Rapat tersebut untuk membahas PP pelaksanan UU No 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditargetkan bisa diberlakukan pada 1 Juli 2015.Pernyataan BPJS Ketenagakerjaan melalui VP Communication Division-nya yang dalam pemberitaan menyatakan tidak bisa berbuat apa-apa dengan kebijakan baru ini, tidak bisa berkilah begitu saja. Karena faktanya BPJS ikut terlibat dalam pembahasan di rapat tersebut dan tentunya juga ada andil dalam keseluruhan proses lahirnya kebijakan ini dari awal hingga akhir serta praktek-praktek yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan sejauh ini.Pemerintah juga harus memastikan apakah kebijakan ini sesuai yang diarahkan atau ada yang keliru dan lalai. Terutama dalam hal strategi penerapan peraturan baru ini dan jangkauan pengaturannya. Tidak mungkin kebijakan ini memukul rata semua peserta dan dilaksanakan mendadak tanpa persiapan sosialisasi yang memadai dan menyingkirkan rasa keadilan serta akal sehat. Jika dibiarkan hal ini bisa mengkristal dan terus menggelinding menjadi isu politik yang sarat kepentingan karena semua tahu betapa besarnya aset yang dihimpun BPJS dari masyarakat dan dikelola melalui portofolio investasi. Ini lebih dari sekedar alasan kesejahteraan rakyat, ada motivasi politik dan ekonomi yang sedang dimainkan rezim kekuasaan yang tidak diakui didepan publik. Memaksa masyarakat melalui intstrumen legal untuk tertahan haknya lebih lama dan membatasi penarikannya dibanding ketentuan yang berlaku sebelumnya bisa menimbulkan pertanyaan, siapa sebenarnya yang sedang diuntungkan? Sungguh ini akan menjadi isu yang ngeri-ngeri sedap dalam kancah perpolitikan nasional kalau tidak diperbaiki segera.

Cara Pemberlakuan Peraturan Yang AnehPihak BPJS Ketenagakerjaan berkilah bahwa kebijakan ini berlaku 1 Juli 2015 mengikuti PP yang keluar pada Juli 2015, tanpa menyebutkan nomor, judul, tanggal ditetapkan dan tanggal diundangkannya PP tersebut. Pihak manajemen sebuah kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan hanya mendapat surat edaran tertulis dari Direksi beberapa hari sebelum tanggal 1 Juli 2015 yang isinya persiapan untuk pemberlakuan kebijakan baru dan integrasi ke sistem baru. Diteruskan atau tidak ke perusahaan dan peserta BPJS Ketenagakerjaan, faktanya tidak semua perusahaan mengetahui kebijakan baru tersebut pada tanggal 1 Juli 2015. Dapat dipahami bahwa sebenarnya PP dimaksud adalah sebagai peraturan pelaksanaan UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN dan juga mendukung pemberlakuan UU No 24 tahun 2011 Tentang BPJS. Namun sampai tanggal 2 Juli dapat dibuktikan masyarakat dan perusahaan tidak tahu seperti apa wujud dan isi pengaturan PP tersebut karena BPJS hanya bisa menyebut PP yang keluar bulan Juli 2015 tanpa bisa menunjukkan fisik PP dimaksud. Penelusuran online yang penulis lakukan juga tidak berhasil menemukan PP tersebut. Di situs Kemenkumham hanya disebutkan PP ini adalah prioritas pembahasan tahun 2014 dan statusnya masih sedang harmonisasi. Baru pada tanggal 2 Juli muncul di pemberitaan online bahwa PP tersebut bernomor 46 Tahun 2015 Tentang Jaminan Hari Tua. Tapi tetap tidak bisa dicari keberadaan PP tersebut di ruang publik. Bahkan pada hari yang sama pihak BPJS secara tidak sengaja mengaku masih merujuk pada draft PP untuk mengklarifikasi info yang salah disampaikan ke awak media. Artinya BPJS sendiri belum memegang salinan resmi PP itu yang telah ditandatangani dan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara. Lalu kenapa BPJS serampangan memberlakukannya? Sebagai pengetahuan peraturan yang belum diundangkan dalam Lembaran Negara ataupun Berita Negara bisa disangkal keberadaan peraturan itu oleh masyarakat dan masyarakat berhak menolak diberlakukan ketentuan apapun yang disebut dalam peraturan itu.Catatan dari situasi ini, selain ada masalah dari sisi substansi, persyaratan dalam kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik juga diyakini belum terpenuhi. Pengundangan PP baru dalam Lembaran Negara oleh Menteri Hukum dan HAM sebagai syarat mengikatnya suatu peraturan perundang-undangan terhadap masyarakat bisa dipertanyakan. Mustahil dan aneh sekali dalam waktu yang bersamaan pemerintah mengesahkan, mengundangkan dan memberlakukan sebuah peraturan, sedangkan disamping itu juga ada sistem yang sedang berjalan sebelumnya. Tidak ada ketentuan atau upaya-upaya transisi atau peralihan sehingga tidak menciderai rasa keadilan masyarakat.Indikasi penambahan norma hukum dalam PP ini juga sangat kentara dan inilah pokok permasalahannya. UU No 40 Tahun 2004 hanya mengubah aturan UU No 3 Tahun 1992 menyangkut syarat kepesertaan untuk dapat mengklaim JHT dari 5 tahun menjadi 10 tahun. Namun di dalam PP turunannya ditambahkan dengan norma baru yaitu setelah 10 tahun dan itupun hanya boleh menarik 10% untuk persiapan hari tua atau 30% dari saldo iuran untuk uang muka kepemilikan rumah jika umur belum 56 tahun. Asas peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut juga tidak diindahkan, karena memberlakukannya terhadap peserta yang sudah berstatus PHK sebelum 1 Juli dan sedang terikat dengan peraturan sebelumnya.

Solusi dan PembelajaranJika Pemerintah tidak arif dalam hal ini serta terus memaksakan kebijakan ini maka jangan heran begitu PP ini beredar akan menjadi objek gugatan uji materil. Pasalnya ada kecerobohan ambisius dan tidak rasional dari pemerintah karena PP ini mengandung ketentuan yang melegalkan perampasan atas hak tenaga kerja. BPJS juga bisa menjadi pihak yang digugat di pengadin Tata Usaha Negara karena sembrono dalam memberlakukan peraturan yang masih dalam proses. Solusi untuk tetap memproses klaim JHT hingga waktu lebaran tidak akan menutup kesalahan substansi dan prosedural yang telah dilakukan. BPJS Ketenagakerjaan harus jujur sudah mempersiapkan segala sesuatunya menyambut momentum 1 Juli dengan langsung melakukan integrasi sistem di tanggal 30 Juni malam hari, tapi tidak mempersiapkan masyarakat dengan mensosialisasikan kebijakan substansial baru, dampak hukum apa yang akan terjadi pada masyarakat yang jadi peserta.Pilihan solusi yang ditawarkan kepada Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan sebelum situasi semakin memburuk adalah perbaiki kembali kebijakan ini dengan segera aspek substansi dan prosedur yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang seharusnya. Jangan tunggu dulu diperintah pengadilan Tata Usaha Negara setelah ada yang menggugat. Jangan pula sampai mengabaikan fenomena ini sehingga semakin membenarkan amburadulnya pemerintahan era Presiden Jokowi dalam penyelenggaraan peraturan dan produk hukum lainnya seperti yang sering dipermasalahkan banyak pihak.Sebagai kebijakan dalam masa transisi atau peralihan alternatif nya, pertama, dipilah peserta yang bisa mengajukan klaim JHT adalah yang telah berakhir masa kerjanya hingga 30 Juni 2015 sesuai tanggal lahirnya kebijakan baru. Kedua, diberi hak memilih bagi yang masih bekerja jika terjadi PHK dalam dua tahun kedepan dengan catatan sudah jadi peserta selama lima tahun. Apakah ingin mengambil JHT-nya atau ingin melanjutkan di perusahaan baru dengan konsekuensi terikat dengan peraturan baru. Hal ini wajar karena tenaga kerja awalnya terikat dengan peraturan lama dan prosesnya sedang berjalan. Dua tahun sebagai masa transisi untuk kasus seperti ini juga masa yang cukup adil. Ketiga, setelah dua tahun kedepan dan seterusnya baru berlakukan secara penuh kebijakan ini kepada semua peserta lainnya. Tiga solusi ini juga masukan untuk revisi substansi yang diatur PP No 46 Tahun 2015 tersebut.Tentang batasan minimal sudah menjadi peserta selama 10 tahun pun harus dipertimbangkan. Jika bisa diturunkan kurang dari 10 tahun, maka UU No 40 Tahun 2004 yang harus direvisi karena diatur disana, tapi prosesnya jadi panjang karena melibatkan DPR. Jika tetap harus 10 tahun, maka perbolehkan peserta mengambil JHT-nya secara penuh setelah 10 tahun kerja dan telah PHK tanpa mencapai umur 56 tahun dulu. Baik PHK karena berakhir kontrak, keluar dari pekerjaan atau karena putusan pengadilan hubugan industrial. Sedangkan ketentuan dalam PP No 46 Tahun 2015 yang membatasi penarikan JHT 10% dan 30% dibawah umur 56 tahun harus dicabut. Alasannya ketentuan itu tidak bisa dikatakan sebagai aturan teknis atau merinci lebih lanjut UU No 40 Tahun 2004, apalagi tidak ada diatur ekspisit dalam UU No 40 Tahun 2004. Ketentuan itu bersifat penciptaan dan menambahkan norma hukum baru di aturan pelaksanaan dibawah, diluar apa yang sudah diatur dalam peraturan yang lebih tinggi. Ini bisa menjadi salah satu celah diajukannya judicial review ke pengadilan. Ketentuan seperti ini juga tidak layak ditempakan dalam PP tapi harus dalam Undang-Undang karena sangat normatif dan mendasar sekali dalam membatasi hak masyarakat, apalagi untuk menggantikan praktek yang sedang berjalan.Pembelajaran dari fenomena ini adalah adanya penegasan bahwa peranan negara sebenarnya semakin kuat dalam ranah hubungan industrial. Hal ini terlihat dan terasa dengan terus tergesernya rezim hukum perburuhan dan ketenagakerjaan dari ranah hukum perdata antara tenaga kerja dan perusahaan menjadi ranah hukum publik. Terlihat dari keberadaan Pemerintah dengan organ BPJS telah berperan sebagai determinan yang sangat aktif. Fungsi sebagai pemberi layanan untuk menengahi urusan atau kepentingan tenaga kerja dan pengusaha telah bergeser menjadi fungsi pemain ketiga yang ikut mengambil keuntungan, seperti penempatan dana JHT ini tenaga kerja kedalam portofolio investasi dengan risiko sampingan tergerus terus nilainya oleh inflasi. Bagi hasil dalam bentuk pengembangan saldo juga tidak seberapa. Tapi segalanya memang bisa berubah sesuai kebutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan catatan harus tetap dalam kerangka untuk melindungi kepentingan masyarakat, khususnya tenaga kerja, yang dalam teori dan prakteknya selalu berada dalam posisi lemah dalam hubungan industrial.***