Upload
melissa-lenardi
View
489
Download
17
Embed Size (px)
Citation preview
LTM Pemicu 3 Modul Kulit dan Jaringan PenunjangPatofisiologi Gatal
Melissa Lenardi, 0906058296
I. PendahuluanPruritus (gatal) didefinisikan sebagai sensasi yang tidak menyenangkan yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk. Pruritus merupakan karakteristik dari beberapa penyakit kulit dan penyakit sistemik. Pruritus sebagai diagnosis (tanpa penyakit kulit yang mendasarinya) pada dasarnya tidak menimbulkan gangguan fungsional, namun dapat mengganggu tidur dan kualitas hidup seseorang.1
Pruritus biasanya diikuti dengan aktivitas menggaruk, yang dapat menyebabkan degradasi kulit dan memungkinkan terjadinya infeksi sekunder. Pada akhirnya kulit dapat mengalami likenifikasi, bersisik, dan eskoriasis.2
Pruritus dapat bersifat lokal maupun general, dan dapat terjadi pada kondisi akut maupun kronis. Gatal yang terjadi lebih dari 6 minggu disebut pruritis kronik. Faktor yang menyebabkan pruritus senditi masih diperdebatkan. Sampai saat ini, faktor penginduksi gatal yang paling sering dibicarakan adalah histamin.1,3
II. Tinjauan PustakaTipe Pruritus1. Pruritoreceptive itch: gatal yang disebabkan kelainan pada kulit yang
merupakan akibat inflamasi, kulit kering, atau kerusakan lain yang ditransmisikan oleh C nerve fiber. Misalnya gata; yang disebabkan atopik dermatitis, scabies, urticaria, dan reaksi gigitan serangga. Meskipun disebabkan mediator kimia atau stimulus fisik, pruritus diturunkan dari non-specialized receptor yang berlokasi di epidermis dan dermo-epidermal junction
2. Peuropathic itch: gatal yang disebabkan oleh penyakit yang terjadi di sepanjang jaras sensorik
3. Neurogenic itch: gatal yang diakibatkan kelainan sistemik yang merupakan akibat ketidakseimbangan sistem opioid atau perubahan kadar interleukin
atau neuropeptida. Misalnya gatal yang terkait enyakit liver kromik ataugagal ginjal kronik
4. Psychogenic itch: gatal delusional (psikologi) terutama pada penderita parasitphobia, obsessive compulsive disorder, dan depresi4,5
Neuroanatomi gatal
Gambar 1. jaras neuroanatomi gatal
Proses peripheral Jaras sensori kulit dimulai dari impuls yang diterima ujung saraf bebas di bagian epidermis dan si di dermis bagian papila. Terdapat 2 jenis ujung saraf bebas di kulit, yaitu serabut A bermielin sebagai reseptor nosiseptif, dan serabut C tidak bermielin. Serabut C tidak bermielin sendiri 80%nya merupakan reseptor impuls mekanosensitif (nosiseptif) yang bersifat polimodal, 15% mekanoinsensitif, 5%
1
pruritoseptif (reseptor rasa gatal). Serabut C yang bekerja pada konduksi gatal histaminergik (prurireseptor) memiliki kecepatan rambat yang relatif lebih lambat dibandingkan dengan serat C polimodal karena ia bertanggung jawab pada area persarafan yang lebih luas dan dengan jumlah yang lebih sedikit. Neurotransmiter utama jaras ini adalah Substansi P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene related peptide (CGRP)
Jenis lain dari neuron primer ini hanya bekerja dengan stimulus histamin. Perbedaan ini menjelaskan adanya perbedaan tingkatan gatal Ujung saraf ini berespon dengan berbagai stimulus gatal dan thermal (tidak berespon pada rangsang mekanik). Ujung saraf tersebut terhubung dengan pleksus superfisialis di dermo-epidermal junction kemudian diteruskan ke bagian pleksus saraf dalam di dermal subkutis hingga di subkutis yang merupakan bagian neuron primer afferen (neuron sensori), dan akan memasuki jaras spinothalamikus di medula spinalis hingga ke thalamus..
Ketika serabut C teraktivasi, berbagai transmiter inflamasi dilepaskan dan terjadi transmisi sinyal orthodromic sepanjang jaras saraf dari perifer sampai ganglia spinalis. Saraf afferent nocireceptor berakhir pada bagian superfisial di bagian dorsar horn, dan neuron spesifik “gatal”.Reseptor vanilloid yang diaktifkan oleh panas dan dingin, serta reseptor sensitif mentol-dingin “TRPs” (transient receptor potential) dapat mengaktifkan proses periferal untuk gatal juga. Reseptor yang dimaksud merupakan jenis eksisatori ion channels. Hal ini menjelaskan mengapa panas dan dingin (temperatur) juga dapat menginduksi terjadinya gatal. 4
Proses spinalNeuron spesifik penghantar rangsang “gatal” di kucing menyebrang pada sisi kontralateral dari korda spinalis dan berakhir pada bagian talamus lateral. Konduksi yang terjadi berlangsung lambat. Sedangkan pada primata, neuron spinotalamikus lamina 1 langsung menuju ke bagian ventral medial bagian nukleus dorsal dari thalamus. Thalamus yang merupakan organ bertanggungjawab dalam interpretasi rasa sakit secara emosional, namun masih belum diketakui, apakan
bagian ini melakukan modulasi gatal. Konduksi pada jaras pruritis berhubungan dengan peningkatan opioidergic pada level spinal. 4
Gambar 2. Reseptor serabut C mekano insensitif
Proses sentralPenelitian mengenai pusat gatal di otak menunjukkan bahwa tidak terdapat sebuah pusat pemprosesan khusus di otak. Neuron bagian ventral medial nukleus berakhir di bagian 3a korteks sensorimotor, sedangkan nukleus medial bagian dorsal di bagian korteks singuli anterior. Keikutsertaan motor cortex menjelaskan keinginan untuk menggaruk. Keikutsertaan korteks singuli anterior menjelaskan pengaruh emosional gatal. Juga ditemukannya hubungan eksisatorik langsung dari thamamus ke korteks insular yang berada si bagian lobus frontalis, yang
2
menjelaskan adanya reaksi kompulsif pada beberapa pasien dengan rasa gatal yang hebat. 4
Gambar 3. Area somatosensorik sebagai pusat gatal
Penyebab keinginan menggarukMenggaruk merupakan respons behavioral; garukan repetitif mengaktivasi area di prefrontal cortex dan orbifrontal cortex yang melibatkan sistem rewards dan pengambilan keputusan yang mungkin dapat menjelaskan kompoen hedonik dan kompulsif dari menggaruk. Garukan hedonik berasosiasi dengan pelepasan opioid endogen. Garukan repetisi pada kondisi kronik (pada dermatitis atopik) dan psoriasis dapat menambah kerusakan kulit dan memicu sekresi neuropeptida sehingga terbentuklah itch scrach cycle. 4,5
Derajat keparahannya (keinginan menggaruknya) dipengaruhi oleh kepadatan sel mast, kepadatan inervasi bagian tersebut, konsentrasi mediator, kecepatam degrasasi dan interaksi yang terjadi antar mediator, transmitter, dan
neuron. Liberasi dan degradasi mediator bekerja untuk meningkatkan regulasi dan menginhibisi jaras spinal dan cental yang dinamis. 4
Gambar 4. Mekanisme menggaaruk
Modulasi gatalGatal yang berkepanjangan selalu meningkatkan keinginan untuk menggaruk, yang akan menimbulkan kondisi sekunder kulit (seperti inflamasi, eskoriasis, infeksi), yang dapat menyebabkan gatal menjadi lebih hebat. Sebenarnya, menggaruk mengurangi sensasi gatal secara temporer, karena hanya mengaktifkan jaras inhibitor dari jaras gatal tersebut2,5
Mediator pruriceptive itchMediator farmakologi pro-inflamasi menyebabkan pruritus pada penyakit kulit terinflamasi (co: urtika). Sebagian besar mediator juga menimbulkan tanda inflamasi lain, seperti nyeri, eritema, dan peningkatan permeabilitas vaskular.
3
Menggaruk
Serabut A deltaterangsang
Interneuron inhibisi
teraktivasi (temporer)
Impuls gatal terhenti
Serabut C nosiseptif
terangsang
Impuls nyeri
Inhibisi sensasi gatal
[garukan hebat]
Ujung serabut sensorik rusak
Impuls gatal dan nyeri berhenti
Mediator perifer meliputi histamin, proteinase, SP, NGF, Ils dan PGs. Mediator pusat meliputi opiat dan neuroadrenalin5
Histamin merupakan mediator berbagai gejala inflamasi, termasuk pruritus. Dermal mast cell dan neuron tidak termielinisasi meningkatkan kemungkinan hubungan pseudosinatik dan menunjukkan kedekatan hubungan fungsional antara sistem imun dengan sistem saraf. Histamin menimbulkan gatal dengan berkaitan dengan reseptor H1 dan cepat menyebabkan tachyphilaxis. Histamin sebagai mediator utama pruritus terbatas pada beberapa jenis penyakit kulit, meliputi urtikaria akut dan kronik, mastositosis (urtika pigmentosa), gigitan serangga, dan reaksi alergi obat. Antihistamin tidak banyak berperan dalam pengobatan pruritus kronik seperti atopik dermatitis
Proteinase yang penting dalam regulasi inflamasi dan sistem imun pada kulit terdiri dari tryptase dan chymase. Tryptase mengaktivasi reseptor PAR-2 yang terletak di Serabut C terminal. Serabut saraf c teraktivasi mentransmisikan informasi ini ke SSP sehingga timbulah sensasi gatal.
PAR berperan penting dalam regulasi inflamasi neurologik. Pada kulit, PAR-2 yang diekspresikan pada neuron sensoris diaktivasi dengan sendirinya ileh pajanan ligan peptid setelah pembelahan ekstraseluler oleh tripsin atau triptase sel mast. PAR-2 agonis menginduksi pelepasan calcitonin gene-relatef peptide dan SP yang menginduksi inflamasi neurogenik. Pada atopik dermatitis terjadi peningkatan kadar typtase dan reseptornya (PAR-2). Aktivitas proteinase dapat ditemukan pada allergen dan infeksi kulit oleh staphyloccocus yang dapat memperparah gatal dan atopik dermatitis
Substansi P terdistribusi di sentral perifer, dihasilkan oleh badan sel C dan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. SP meningkat pada pasien atopik dermatitis dan berkaitan erat dengan aktivitas penyakit tersebut. Pelepasan SP endogen tidak mendegranulasi sel mast pada kulit manusia sehat. Namun SP dengan konsentrasi tinggi dapat menstimulasi degranulasi sel mast, sedangkan pada konsentrasi rendah dapat mengaktivasi reseptor Neurokinin 1 [ada sel mest yang mengakibatkan sensitisasi sel
tersebut dan meningkatkan produksi TNF. TNF mensensitisasi ujung saraf nocireceptor yang meningkatkan konsumsi antara saraf dengan sel mast
Opioid menginduksi gatal dengan 2 mekanisme, yaitu dengan mendegranulasi sel mast dan langsung menyebabkan efekprutogenik dengan mengaktivasi opioid receptor Aktivitas receptorµopioid menstimulasi persepsi gata;, sedangkan reseptor K opioid berperan sebagai inhibitor Neurotropin. Peningkatan kadar NGF epidermal berkolerasi dengan
proliferasi ujung saraf kulit dan peningkatan regulasi neuropeptida.NGF menginduksi pertumbuhan serat saraf, sensitisasi ujung saraf, transport aksonal pada ganglia spinal, dan meningkatkan ekspresi neuropeptida. Ada keterkaitan yang signifikan antara kadar NGF dalam plasma dengan aktivitas penyakit atopik dermatitis. Pasien atopik dermatitis mengalami peningkatan ekspresi gen NGF kulit pada sel mast, keratinosit, dan fibroblast yang dapat berkontribusi pada timbulnya rasa gatal. Selain itu juga terjadi peningkatan aktivitas neurotropin 4 keratinosit pada penderita atopik dermatitis
Prostanoid. PG1 menimbulkan rasa gatal jika disuntikkan bersama dengan histamin. Siklooksigenasi-2 menginduksi respon spinal cord terhadap inflamasi kulit. Kadar PG1 dan PG2 pada jaringan spinal cord berkolerasi dengan central pruritus. PG2 memiliki efekpruritogenik langsung dengan kadar rendah
Interleukin. Pada atopik dermatitis, beberapa jenis sitokin (IL-2 dan IL-6) menginduksi rasa gatal. Penelitian menunjukkan bahwa induksi gatal IL-31 pada tikus serupa dengan peningkatan kadar IL-31 pada atopik dermatitis dan prurigo nodularis.
Sel inflamasi yang mempengaruhi gatal1. Eosinofil. Sel randang eosinofil dapat berperan secara langsung maupun tidak
langsung terhadap munculnya gatal. Secara langsung, eosinofil dapat menghasilkan mediator seperti PAF, leukotrien, prstanoid, kitin, sitokin, dan protease. Secara tidak langsung, eosinofil menghasilkan mediator yang dapat merangsang sel mast untuk menghasilkan histamin.
4
2. Basofil. Sel basofil merupakan sel radang yang menghasilkan histamin
Gambar 5. Mekanisme substansi P dalam menginduksi gatal dan garuk
III. Kesimpulan LTMAtas dasar proses pruritiknya, rasa gatal atau nyeri tergantung dengan jenis C-fiber yang teraktivasi, dimana sensasi gatal hanya terjadi bila serabut gatal teraktivasi dan serabut nyeri tidak teraktivasi.
IV. Daftar Pustaka1. Taylor JS, Zirwas MJ. Pruritis [online]. Cleveland: The Cleveland clinic centre for
continuing education; 2010. Available from: http://www.clevelandclinic meded . com/medicalpubs/diseasemanagement/dermatology/pruritus-itch/
2. MacNeal RJ. Itching (Pruritus) [online]; 2009. Available from: http:// www.merck.com/mmpe/sec10/ch109/ch109d.html
3. Greaves MW, Wall PD. Pathophysiology of itching. London: St John’s Insitude of Dermatology; 1996. 348(9032): 938-40. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8843816
4. Burton G. Pathophysiology of pruritus. Melbourne: Animal Skin Ear and Allergy Clinic. 2006.
5. Yosipovitch G, Dawn AG, Greaves MW. Pathophysiology and clinical aspects of pruritus. In: Wolff K Goldmith La, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editor. Fotzpartick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 902-8
5